Kembalinya Pendekar Rajawali 76
Setelah berpikir sejenak, kemudian Siu-bun
menjawab: “Bahwa Suhu bermaksud menjodohkan adik Hu padamu, hal itu memang
betul. Namun Subo (ibu guru) justeru menjatuhkan pilihannya atas satu diantara
kami berdua. Jadi sesungguhnya kedudukan kita bertiga sekarang adalah sama,
siapapun belum punya hak. Soal siapa yang keluar sebagai pemenang kelak adalah
sukar diramalkan.?”
Yo Ko tidak menjawab, ia menengadah dan
bergelak tertawa, “Apa yang kau tertawakan?” damperat Siu-bun dengan gusar.
“Memangnya ucapanku salah?”
“Ya, salah, salah besar!” jawab Yo Ko, “Bahwa
paman Kwe suka padaku sudah tidak perlu di sangsikan lagi, malahan bibi Kwe
juga sangat suka padaku, kalian berdua mana dapat di bandingkan dengan diriku.”
“Hm, yang penting kenyataannya tiada berguna
beromong kosong,” jengek Siu-bun pula.
“Haha, untuk apa aku beromong kosong?” ujar
Yo Ko, “Bibi Kwe diam-diam sudah menjodohkan puterinya padaku, kalau tidak buat
apa kutolong ayah dan ibu mertuaku dengan mati-matian, itu lantaran mengingat
akan adik Hu itulah. Nah, coba katakan, apakah Subomu pernah berjanji kepada
kalian?”
Kedua Ba cilik itu saling pandang dengan
bingung, mereka merasa sang ibu guru memang tidak pernah memberi janji ucapan
apapun, malahan hanya saja belum pernah mengunjuk keinginan hendak memungut
menantu salah seorang di antara mereka. jangan-jangan ibu gurunya itu memang
betul telah menjodohkan Kwe Hu kepada bocah she Yo ini?
Tadinya kedua saudara itu hendak mengadu jiwa
sendiri, tapi sekarang mendadak diantara mereka diselipi seorang lawan,
seketika timbul rasa persatuan kedua saudara itu untuk menghadapi musuh
bersama.
Seperti diketahui Yo Ko pernah mengintip dan
mendengar percakapan Kwe Hu dengan kedua saudara Bu itu, maka ia sengaja hendak
memancing rasa cemburu mereka, dengan tertawa ia berkata pula “Adik Hu pernah
berkata padaku bahwa kedua kakak Bu bersaing memperebutkan dia, karena tak
dapat menolak, terpaksa adik Hu menyatakan menyukai ke-dua2nya. Padahal,
hahaha, masa ada perempuan baik-baik di dunia ini sekaligus mencintai dua orang
lelaki.
Adik Hu adalah gadis yang suci bersih, tidak
mungkin terjadi begitu, Nah biar kukatakan sejujurnya pada kalian, bahwa
menyukai ke-dua2nya berarti satupun tidak disukainya.”
Lalu ia sengaja menirukan lagak lagu ucapan
Kwe Hu pada malam itu: “O, Kakak Bu cilik, mengapa engkau selalu merecoki aku,
masakah kau tidak tahu perasaanku padamu? O, kakak Bu besar rasanya lebih baik
aku mati saja.”
Seketika air muka kedua saudara Bu berubah
ucapan Kwe Hu dikatakan kepada mereka secara tersendiri tatkala itu tiada orang
ketiga yang hadir disitu. Kalau saja Kwe Hu tidak menceritakan kembali padanya,
darimana Yo Ko mengetahuinya? Hati mereka terasa sakit seperti disayat, rupa
nya memang beginilah makanya selama ini Kwe Hu tidak mau menerima lamaran
mereka…
Paras air muka kedua saudara Bu itu dapatlah
Yo Ko mengetahui bahwa akalnya telah mencapai sasarannya, segera ia berkata
pula dengan sungguh-sungguh- “Pendek kata, adik Hu adalah bakal isteriku,
sesudah menikah kami akan hidup bahagia sampai kakek2 dan nenek2…” - Sampai
disini, tiba-tiba terdengar di belakang ada suara orang menghela napas pelan,
kedengarannya mirip benar dengan suara Siao-liong-li.
Yo Ko terkejut dan hampir-hampir saja
berseru memanggil, tapi segera ia menyadari suara itu adalah suara Li Bok chiu
di dalam gua, orang ini sekali-kali tidak boleh dipertemukan dengan keluarga Bu
ini.
Segera ia berkata pula kepada kedua saudara
Bu: “Nah, makanya kalian jangan bermimpi dan buang2 tenaga percuma, Mengingat
kebaikan bakal ayah dan ibu mertuaku, biarlah urusan kalian ini tidak
kupikirkan lagi, kalian boleh pulang saja ke Siangyang untuk membantu ayah
mertuaku menjaga benteng itu, kukira itulah tugas yang lebih utama bagi
kalian.”
BegituIah terus menerus ia menyebut Kwe Ceng
dan Oey Yong sebagai bakal ayah dan ibu mertuanya.
Sedih dan lesu kedua saudara Bu dan saling
genggam tangan dengan kencang, kata Siu-bun dengan lemah: “Baiklah, Nyo-toako,
kudoakan semoga engkau dan Kwe-sumoay hidup bahagia, kami bersaudara akan pergi
jauh dirantau dan anggaplah di dunia ini- tak pernah ada kami berdua ini.”
Habis berkata mereka lantas membalik tubuh,
diam-diam Yo Ko bergirang karena maksud tujuannya kelihatan akan tercapai ia
pikir meski kedua Bu cilik itu akan dendam padanya, tapi kelak keaua bersaudara
itu pasti akan rukun dan saling sayang sebagaimana yang diharapkan Bu Samthong.
Bu Sam-thong juga bergirang setelah
menyaksikan Yo Ko berhasil membikin kedua puteranya berhenti bertempur sendiri,
dilihatnya kedua anak muda itu bergandengan tangan dan melangkah pergi, tanpa
tertahan ia terus berseru: “Anak Bun dan anak Si, marilah kita berangkat
bersama.”
Kedua Bu cilik melengak kaget, mereka menoleh
dan memanggil “ayah” berbareng, Bu Sam-thong lantas memberi hormat kepada Yo Ko
dan berkata: “Adik Nyo, selama hidupku ini takkan melupakan budi
pertolonganmu.”
Yo Ko mengerut kuning, ia pikir sungguh
sembrono orang tua ini berbicara demikian di hadapan kedua Bu cilik, baru saja
ia hendak membingungkan mereka dengan perkataan lain, namun Bu Siu bun sudah
mulai curiga, katanya tiba-tiba kepada Tun-si.
“Toako, apa yang dikatakan bocah she Nyo tadi
belum tentu betul.”
Meski Bu Tun-si tidak banyak omong, tapi
kecerdasannya tidak di bawah sang adik, ia pandang sekejap kepada ayahnya, lalu
mengangguk kepada Siu-bun.
Melihat urusan bisa runyam, cepat Bu Samthong
menambahkan: “Eh, kalian jangan salah wesel, sama sekali aku tidak minta adik
Yo ini untuk melerai kalian.”
Sebenarnya kedua Bu cilik cuma curiga saja
dan belum tahu persis urusan yang sesungguhnya, tapi mereka menjadi curiga
setelah sang ayah bermaksud menutupi persoalannya, segera mereka ingat hubungan
Yo Ko dengan Kwe Hu biasanya tidak cocok pula Yo Ko sangat mencintai
Siao-liong-li, jadi apa yang dikatakan Yo Ko besar kemungkinan tidak betul.
“Toako,” kata Siu-bun kemudian, “Marilah kita
pulang ke Siangyang untuk menanyai adik Hu sendiri.”
“Benar,” jawab Tun-si. “Ocehan orang lalu
masakah dapat menipu kita,”
Segera Siu-bun berkata kepada Bu
Sam-thong: “Ayah, marilah engkau ikut juga ke Siangyang, Temuilah Suhu dan
Subo, mereka kan sahabatmu.”
“Aku… aku…” muka Bu Sam-thong menjadi merah,
ia bermaksud memperlihatkan wibawa seorang ayah untuk mengomeli kedua.
,puteranya, tapi kuatir kedua anak muda itu hanya mengiakan di depannya, tapi
di belakangnya akan bertarung mati-matian pula.
Yo Ko lantas menjengek: “Saudara Bu,
memangnya sebutan “adik Hu” boleh kau panggil se-sukamu? Selanjutnya kularang
kau menyebutnya, bahkan dalam hatipun tidak boleh kau pikirkan dia.”
Siu-bun menjadi gusar, teriaknya: “Bagus, di
dunia ini ternyata ada manusia se-wenang2 macam kau. “Adik Hu” sudah kusebut
selama sepuluh tahun, mengapa kau berani melarang aku menyebutnya”?
“Hm, bukan saja sekarang aku tetap memanggil
adik Hu, bahkan besok, lusa dan selanjutnya aku tetap akan memanggilnya. Adik
Hu, adik Hu, adik Hu, …..” belum habis ucapannya, “plok”, mendadak pipinya kena
ditempeleng satu kali oleh Yo Ko.
Segera Siu-bun mengacungkan pedangnya dan
berkata dengan geram: “Baik, orang she Nyo, sudah lama kita tidak berkelahi,
ya?
“He, anak Bun, berkelahi apa maksudmu?” cepat
Bu Sam-thong mencegahnya.
Mendadak Yo Ko berpaling kepada Bu Sam-thong
dan bertanya: “Paman Bu, kau membantu pihak mana?”
Menurut aturan, adalah wajar kalau Bu
Sam-thong membela anaknya sendiri, tapi tindakan Yo Ko sekarang jelas demi
untuk mencegah saling bunuh antara kedua bersaudara itu, karena itulah Bu-:
Sam-thong menjadi serba salah dan melongo belaka.
“Begini saja,” kata Yo Ko pula, “Silahkan
paman Bu duduk tenang di situ, aku takkan mencelakai jiwa mereka,
rasanya merekapun tidak mampu mencelakai aku,
engkau boleh menonton pertunjukan menarik ini saja.”
Usia Yo Ko berselisih jauh daripada Bu Sam
thong, tapi pintarnya dan cerdiknya jauh di atas-nya, jadi apa yang dikatakan
tanpa kuasa terus di turut saja oleh Bu Samthong, segera ia berduduk di atas
batu padas di samping sana.
Yo Ko lantas melolos Ci wi-kiam, seketika
cahaya dingin gemerlapan, ia menyabet pelahan pedang lemas itu, terdengar suara
mendesir, sepotong batu besar di sebelahnya disabetnya cara bersilang, waktu
kakinya mendepak, kontan batu besar itu pecah menjadi empat bagian, bagian yang
retak itu halus licin seperti insan tahu saja.
Melihat betapa tajamnya pedang orang, kedua
saudara Bu saling pandang dengan jeri, mereka menjadi ragu cara bagaimana akan
dapat menandingi Yo Ko dengan pedang selihay itu.
Tapi Yo Ko lantas menyimpan kembali
pedangnya, lalu berkata dengan tertawa. “Pedangku ini masakah kugunakan untuk
menghadapi kalian?? sekenanya ia memotong sebatang dahan pohon, ia buang
daunnya hingga berwujud. Sebatang pentung sepanjang satu meteran, lalu berkata
pula: “Tadi sudah kukatakan bahwa ibu mertua condong padaku, tapi kalian tidak
percaya. sekarang boieh kalian saksikan, aku akan menggunakan pentung ini untuk
melayani pedang kalian, kalian boleh maju sekaligus dan mengeluarkan segenap
kepandaian ajaran ayah ibu mertuaku serta ajaran paman Cu Cu-liu, Sebaliknya
aku hanya akan menggunakan ilmu silat ajaran ibu mertuaku saja, asalkan aku
salah menggunakan sejurus dari aliran lain, segera anggap saja aku kalah.”
Kedua saudara Bu sebenarnya jeri pada
kepandaian Yo Ko yang hebat, mereka sudah menyaksikan dia menempur Kim-lun
Hoat-ong dengan cara aneh, tapi mereka menjadi naik pitam pula demi mendengar
ucapan Yo Ko yang berulang-ulang menyebut “ayah dan ibu mertua” segala,
seakan-akan Kwe Hu benar-benar sudah menjadi isterinya, sungguh gemas mereka
tidak kepalang. Malahan dengan sombongnya Yo Ko menyatakan bersedia dikerubuti
serta melayani pedang mereka dengan pentung, bahkan terbatas pada ilmu silat
ajaran Oey Yong melulu.
Dalam keadaan begini kalau mereka tidak dapat
mengalahkan Yo Ko juga keterlaluan dan buat apalagi hidup di dunia ini.
Maka cepat Siu-bun menegas: “Baik, kau
sendiri yang berkata begitu dan bukan kami yang minta. Kalau kau salah
menggunakan ilmu silat dari golongan lain, lalu bagaimana?”
“Pertandingan kita ini bukan disebabkan
permusuhan dimasa lampau atau karena kebencian sekarang, kita bertempur demi
adik Hu,” kata Nyo-Ito. “Maka kalau aku kalah, asalkan aku memandang sekecap
padanya atau bicara sepatah saja dengan dia, katakanlah aku ini manusia rendah
yang tidak tahu malu. Tapi bagaimana pula jika kalian yang kalah?”
Pertanyaan Yo Ko sengaja memaksa kedua
saudara Bu itu harus menyatakan janji yang sama Ialu Siu-bun telah menjawab
“Jika kami kalah, kamipun takkan menemui adik Hu untuk selamanya.”
“Bagaimana kau, setuju?” tanya Yo Ko kepada
Tun Si.
“Kami bersaudara bersatu hati dan satu
tujuan, tak ada perbedaan pendirian?” jawab Tun-si dengan gusar.
“Bagus, setelah kalah nanti, kalau kalian
tidak pegang janji, maka kalian akan dianggap manusia tidak tahu malu yang
melebihi binatang, begitu bukan?” Yo Ko menegas pula.
“Benar,” jawab Siu-bun. “Tidak perlu banyak
bicara lagi, orang she Yo, marilah mulai.”
Habis berkata ia terus mendahulu menusuk dari
sebelah kanan, berbareng Bu Tun-si juga bergerak dari sebelah kiri, asalkan Yo
Ko berusaha menghindar serangan Siu-Bun berarti akan dimakan oleh serangan
Tun-si itu.
Akan tetapi dengan gesit Yo Ko dapat
menghindari beberapa kali serangan kedua Bu cilik itu sambil mengolok-olok.
Keruan kedua saudara Bu tambah murka dan menyerang terlebih gencar, “Kau
mengaco apa? Mengapa kepandaian ajaran Subo tidak lekas kau keluarkan?”
“Baik, kaumeminta tentu akan kuperlihatkan.
Nah, awasi inilah kepandaian asli ajaran ibu mertuaku!” seru Yo Ko.
Pentungnya menyabet serta diputar ke atas
itulah gaya “menjegal” dari Pak kau-pang-hoat, berbareng jari tangan lain
pura-pura hendak menutuk Hiat-to di tubuh Bu Tun-si.
Ketika Tun-si melompat mundur, “bluk”,
tahu-tahu Bu Siu-bun sudah jatuh kesandung pentung.
Nampak adiknya kecundang, cepat Tun-si
menubruk maju lagi dan menyerang dengan gencar.
“Benar, adik ada kesulitan, sang kakak yang
menolong.”
demikian sambil mengolok-olok, sekali
pentungnya berkelebat tahu-tahu Yo Ko sudah menggeser ke belakang Tun-si dan
“plok”, dengan tepat pantat Tun-si kena disabet sekali.
Gerakan pentung Yo Ko itu tampaknya lamban,
tapi tepat yang diarah adalah bagian yang sama sekali tak terduga. Dan memang
di situlah letak keistimewaan Pak-kau-pang-hoat yang termashur itu.
Setelah merasakan gebukan pada pantatnya,
walaupun tidak terlalu sakit, tapi jelas iapun sudah kecundang, karena itu
diam-diam timbul rasa kedernya. Dalam pada itu Bu Su-bun telah melompat bangun
dan berseru: “Ini adalah Pak to-pau hoat, macam mana Subo mengajarkan kau
secara diam-diam. jelas kau mencuri belajar beberapa jurus ketika kita
sama-sama menyaksikan Subo mengajarkan ilmu permainan pentung ini kepada
Loh-tianglo tempo hari.”
Mendadak pentung Yo Ko menjulur dan “bluk”
kembali Siu-bun dijegal hingga terbanting lagi, cepat Bu Tun-si menabas dengan
pedangnya untuk menolong sang adik.
Yo Ko menunggu Siu-bun merangkak bangun, lalu
berkata dengan tertawar “Kalau kita menyaksikan bersama waktu ibu mertuaku
mengajarkan pada loh-tianglo, kenapa aku bisa dan kalian tidak bisa? padahal
yang diajarkan ibu mertuaku kepada Loh-tianglo hanya kuncinya saja secara lisan,
bagaimana cara memainkan nya beliau telah mengajarkan padaku secara diam-diam,
bahkan adik Hu juga tidakbisa, apalagi kalian ini.”
Bu Siu-bun tidak tahu bahwa secara kebetulan
Yo Ko pernah mendapatkan ajaran dari Ang Chit-kong ketika pengemis sakti itu
bertanding dengan Auyang Hong dipuncak Hoasan dahulu, maka dalam hati
sebenarnya ia percaya apa yang dikatakan Yo Ko, cuma di mulut ia tetap tidak
mau kalah, katanya: “Huh, setiap orang memang berbeda. Bahwa secara kebetulan
kami mendengar ajaran Subo kepada Loh tianglo itu, namun ilmu pentung mana
boleh digunakan selain pangcu dari Kay-pang sendiri, sebelum ada perintah Subo,
mana kami berani melatihnya? Hanya manusia rendah saja mau berbuat begitu? Hm.
kau sendiri tidak tahu malu, tapi malah meng-okok2 orang lain.”
Yo Ko terbahak-bahak, pentungnya berputar
puIa dan “plok-plok” dua kali, tahu-tahu punggung Siu-bun dan Tun-si tersabet
pula, Cepat kedua saudara Bu melompat ke samping dengan muka merah padam.
“Baiklah, karena tiada bukti dan saksi, meski
kukalahkan kalian dengan Pak kau pang-hoat juga kalian belum mau mengaku
kalah,” ujar Yo Ko, “Nah, sekarang akan kugunakan pula sejurus kepandaian lain
ajaran Subo, coba lihat.
Habis ini ia pandang Siu-bun, kemudian
menatap Tun-Si pula, lalu bertanya: “Katakan lebih dulu, ilmu silat ibu
mertuaku berasal ajaran siapa?”
Dengan gusar Siu-bun menjawab. “Kalau kau
tanpa malu-malu menyebut lagi ibu mertua segala, maka kami tidak sudi bicara
pula dengan kau.”
“Ah, kenapa kalian berjiwa sesempit ini,”
kata Yo Ko dengan tertabak “Baiklah, coba jawab pertanyaanku, ilmu silat Subomu
berasal dari siapa?”
“Subo kami adalah puteri kesayangan Ui-tocu
dari Tho-hoa-to, sudah tentu ilmu silatnya berasal ajaran ayahnya sendiri,
masakah perlu kau tanyakan puia?” jawab Siu-bun.
“Benar” kata Yo Ko, “Kaltan sendiri pernah
tinggal beberapa tahun di Tho-hoa-to, apakah kalian tahu kepandaian khas
Oey-tocu, terutama ilmu pedangnya, apa nama ilmu pedang kebanggaan beliau
itu?”.
Dengan bersemangat Bu Siu-hun menjawab
“Oey-tocu terkenal maha sakti dan serba pintar segala apapun diketahui oleh
beliau, Semua kepandaiannya juga diketahui olehmu, mengapa kau bertanya padaku,
Giok-siau-kiam-hoat beliau termashur di seluruh dunia, tiada seorangpun di
dunia Kangouw yang tidak tahu.”
“Dan kalian pernah berjumpa dengan Oey tocu
tidak?” tanya Yo Ko pula.
“Tidak pernah.” jawab Siubun. “Oey-tocu suka
mengembara, bahkan Suhu dan Subo sendiri jarang bertemu dengan beliau, apalagi
orang muda seperti kami ini.”
“O, jika begitu Giok-siau-kiam-hoat Ui-tocu
itu tak pernah kalian lihat?” kata Yo Ko.
“Melihat langsung memang belum pernah,” jawab
Siu-bun dengan mendengus “Tapi ketika hari ulang tahun Uitocu, Subo telah
merayakannya dan berdoa dari jauh bagi kesehatan beliau, dalam pesta itu Subo
telah memperlihatkan ilmu pedang kebanggaan Ui-tocu itu. Tatkala itu Yo-heng
sendiri sudah berangkat ke Cong-lam-san untuk mencari guru lain.”
“Benar,” ujar Yo Ko sambil tertawa. Kemudian
ibu mertuaku… ooh, baikiah, kemudian Subo kalian diam-diam telah mengajarkan
ilmu pedang itu padaku.”
Kedua saudara Bu itu saling pandang, sudah
tentu mereka tidak percaya, sedangkan Kwe Hu saja yang merupakan puteri tunggal
kesayangan Oey Yong juga tidak diajari ilmu pedang, masakan bisa jadi Yo Ko
malah diberi pelajaran di luar tahu mereka.
“Kalian tentu tidak percaya, bukan?” kata Yo
Ko.”Baiklah, coba lihat jurus serangan ini?”
Mendadak pentungnya digunakan sebagai pedang,
“cret” tahu-tahu dada Bu Tunsi sudah tertusuk oleh ujung pedang.
Kalau saja pentung itu adalah pedang yang
tajam, maka dada Bu Tun-si pasti sudah tembus dan jiwanya tentu sudah melayang.
Siu-bun cukup cekatan, melihat Yo Ko mulai
menyerang, secepat kilat iapun menusukkan pedangnya ke iga kanan Yo Ko. Akan
tetapi tetap terlambat sedikit, pentung Yo Ko sempat diputar balik dan
tahu-tahu menusuk ke pergelangan tangannya.
Serangan Yo Ko ternyata mencapai sasarannya
lebih cepat daripada serangan Siubun itu, belum lagi ujung pedang Siu-bun
mengenai tubuh lawan atau pergelangan tangannya sudah tertusuk lebih dulu oleh
ujung pentung Yo Ko dan pedangnya pasti akan terlepas dari cekalan.
Cepat Siu-bun menarik kembali pedangnya dan
berganti serangan lain, sambil memutar balik pedangnya, kaki kirinya terus
menendang, sementara itu pentung Yo Ko telah ditusukkan ke bahu Bu Tun-si sembari
melangkah maju, tendangan Siu-buo seakan-akan tak dihiraukannya.
Dengan sendirinya tendangan Siu-bun menjadi
mengenai tempat kosong, sedangkan keadaan Bu Tun si menjadi berbahaya, cepat ia
putar pedangnya dengan kencang utk bertahan dengan dgn rapat, begitu
terhindarlah dia dari tusukan pentung lawan.
Hanya beberapa jurus saja kedua saudara Bu
itu sudah dibikin kelabakan oleh Yo Ko, bertahannya terasa sulit, jangankan
hendak balas menyerang. Sama sekali kedua Bu cilik itu tidak menyangka bahwa
Giok-siau-kiara-noat yang pernah dipertunjukkan oleh Oey Yong itu ternyata
memilik gerak perubahan yang begini indah dan hebat pula untuk digunakan.
Karena kecundang kedua saudara Bu menjadi
malu dan berduka pula, mereka mengira Giok siau-kiam hoat itu benar-benar diajarkan
oleh Oey Yong kepada Yo Ko. Sudah tentu tak pernah mereka bayangkan bahwa Yo Ko
pernah berkumpul cukup lama dengan Oey Yok-su dan mendapatkan ajaran langsung
kedua macam ilmu silatnya yang maha sakti itu.
Melihat kedua orang itu sedih dan lesu, hati
Yo Ko menjadi tidak tega. Tapi mengingat maksud tujuannya justeru hendak
menyelamatkan jiwa mereka, kalau sekarang keduanya tidak dibikin menyerah
betul-betul agar selamanya takkan menemui Kwe Hu lagi, maka kelak keduanya
pasti akan berkelahi mati-matian lagi bagi nona itu, karena inilah dia
mempergencar serangannya tanpa kenal ampun lagi.
Keruan kedua saudara Bo semakin keder,
bayangan pentung” berkelebat mengelilingi mereka, segenap Hiat-to penting
ditubuh mereka seluruhnya terancam oleh pentung Yo Ko itu.
Terpaksa mereka mengertak gigi dan bertahan
mati-matian.
Sebenarnya kepandaian kedua Bu cilik itu
tidak terlalu rendah, akan tetapi kalau dibandingkan Yo Ko yang kini sudah
menyamai jago kelas satu, dengan sendirinya mereka bukan tandingannya. Apalagi
sekarang mereka menjadi gelisah, cara bertempur mereka menjadi ngawur.
Sebaliknya Yo Ko tidak penggunakan serangan maut melainkan melayaninya dengan
tenang.
Lambat-laun kedua saudara merasa pentung
lawan itu seakan-akan membawa semacam kekuatan mengisap yang amat kuat, pedang
mereka seperti melengket ikut bergoyang kian jemari tanpa kuasa.
Sampai akhirnya kedua saudara itu seperti
saling tempur sendiri, pedang Bu Tun-si yang menusuk Yo Ko terkadang hampir
mengenai adiknya sendiri, begitu pula tabasan pedang Bu Siu-bun terpaksa harus
ditangkis oleh Tunsi.
“Kebagusan Giok-siau-kiam-hoat tidak cuma
begini saja, lihatlah” kata Yo Ko “Trak” pentungnya beradu dengan pedang
Tun-si, Cuma yang terbentur adalah bagian samping batang pedang sehingga
pentung kayu ttu tidak rusak.
Seketika Tun-si merasa dibetot oleh suatu tenaga kuat,
pedang hampir terlepas dari cekalannya. Lekas ia menarik balik sekuatnya, tapi
Yo Ko terus ikut mendorongkan pentungnya dan tahu-tahu pedang Bu Siu-bun juga
ikut melengket pada pentungnya, ketika pentung Yo Ko menahan ke bawah, segera
ujung kedua pedang tertindih ke atas tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar