Sabtu, 24 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 76



Kembalinya Pendekar Rajawali 76

Setelah berpikir sejenak, kemudian Siu-bun menjawab: “Bahwa Suhu bermaksud menjodohkan adik Hu padamu, hal itu memang betul. Namun Subo (ibu guru) justeru menjatuhkan pilihannya atas satu diantara kami berdua. Jadi sesungguhnya kedudukan kita bertiga sekarang adalah sama, siapapun belum punya hak. Soal siapa yang keluar sebagai pemenang kelak adalah sukar diramalkan.?”
Yo Ko tidak menjawab, ia menengadah dan bergelak tertawa, “Apa yang kau tertawakan?” damperat Siu-bun dengan gusar. “Memangnya ucapanku salah?”
“Ya, salah, salah besar!” jawab Yo Ko, “Bahwa paman Kwe suka padaku sudah tidak perlu di sangsikan lagi, malahan bibi Kwe juga sangat suka padaku, kalian berdua mana dapat di bandingkan dengan diriku.”
“Hm, yang penting kenyataannya tiada berguna beromong kosong,” jengek Siu-bun pula.
“Haha, untuk apa aku beromong kosong?” ujar Yo Ko, “Bibi Kwe diam-diam sudah menjodohkan puterinya padaku, kalau tidak buat apa kutolong ayah dan ibu mertuaku dengan mati-matian, itu lantaran mengingat akan adik Hu itulah. Nah, coba katakan, apakah Subomu pernah berjanji kepada kalian?”
Kedua Ba cilik itu saling pandang dengan bingung, mereka merasa sang ibu guru memang tidak pernah memberi janji ucapan apapun, malahan hanya saja belum pernah mengunjuk keinginan hendak memungut menantu salah seorang di antara mereka. jangan-jangan ibu gurunya itu memang betul telah menjodohkan Kwe Hu kepada bocah she Yo ini?
Tadinya kedua saudara itu hendak mengadu jiwa sendiri, tapi sekarang mendadak diantara mereka diselipi seorang lawan, seketika timbul rasa persatuan kedua saudara itu untuk menghadapi musuh bersama.
Seperti diketahui Yo Ko pernah mengintip dan mendengar percakapan Kwe Hu dengan kedua saudara Bu itu, maka ia sengaja hendak memancing rasa cemburu mereka, dengan tertawa ia berkata pula “Adik Hu pernah berkata padaku bahwa kedua kakak Bu bersaing memperebutkan dia, karena tak dapat menolak, terpaksa adik Hu menyatakan menyukai ke-dua2nya. Padahal, hahaha, masa ada perempuan baik-baik di dunia ini sekaligus mencintai dua orang lelaki.
Adik Hu adalah gadis yang suci bersih, tidak mungkin terjadi begitu, Nah biar kukatakan sejujurnya pada kalian, bahwa menyukai ke-dua2nya berarti satupun tidak disukainya.”
Lalu ia sengaja menirukan lagak lagu ucapan Kwe Hu pada malam itu: “O, Kakak Bu cilik, mengapa engkau selalu merecoki aku, masakah kau tidak tahu perasaanku padamu? O, kakak Bu besar rasanya lebih baik aku mati saja.”
Seketika air muka kedua saudara Bu berubah ucapan Kwe Hu dikatakan kepada mereka secara tersendiri tatkala itu tiada orang ketiga yang hadir disitu. Kalau saja Kwe Hu tidak menceritakan kembali padanya, darimana Yo Ko mengetahuinya? Hati mereka terasa sakit seperti disayat, rupa nya memang beginilah makanya selama ini Kwe Hu tidak mau menerima lamaran mereka…
Paras air muka kedua saudara Bu itu dapatlah Yo Ko mengetahui bahwa akalnya telah mencapai sasarannya, segera ia berkata pula dengan sungguh-sungguh- “Pendek kata, adik Hu adalah bakal isteriku, sesudah menikah kami akan hidup bahagia sampai kakek2 dan nenek2…” - Sampai disini, tiba-tiba terdengar di belakang ada suara orang menghela napas pelan, kedengarannya mirip benar dengan suara Siao-liong-li.
 Yo Ko terkejut dan hampir-hampir saja berseru memanggil, tapi segera ia menyadari suara itu adalah suara Li Bok chiu di dalam gua, orang ini sekali-kali tidak boleh dipertemukan dengan keluarga Bu ini.
Segera ia berkata pula kepada kedua saudara Bu: “Nah, makanya kalian jangan bermimpi dan buang2 tenaga percuma, Mengingat kebaikan bakal ayah dan ibu mertuaku, biarlah urusan kalian ini tidak kupikirkan lagi, kalian boleh pulang saja ke Siangyang untuk membantu ayah mertuaku menjaga benteng itu, kukira itulah tugas yang lebih utama bagi kalian.”
BegituIah terus menerus ia menyebut Kwe Ceng dan Oey Yong sebagai bakal ayah dan ibu mertuanya.
Sedih dan lesu kedua saudara Bu dan saling genggam tangan dengan kencang, kata Siu-bun dengan lemah: “Baiklah, Nyo-toako, kudoakan semoga engkau dan Kwe-sumoay hidup bahagia, kami bersaudara akan pergi jauh dirantau dan anggaplah di dunia ini- tak pernah ada kami berdua ini.”
Habis berkata mereka lantas membalik tubuh, diam-diam Yo Ko bergirang karena maksud tujuannya kelihatan akan tercapai ia pikir meski kedua Bu cilik itu akan dendam padanya, tapi kelak keaua bersaudara itu pasti akan rukun dan saling sayang sebagaimana yang diharapkan Bu Samthong.
Bu Sam-thong juga bergirang setelah menyaksikan Yo Ko berhasil membikin kedua puteranya berhenti bertempur sendiri, dilihatnya kedua anak muda itu bergandengan tangan dan melangkah pergi, tanpa tertahan ia terus berseru: “Anak Bun dan anak Si, marilah kita berangkat bersama.”
Kedua Bu cilik melengak kaget, mereka menoleh dan memanggil “ayah” berbareng, Bu Sam-thong lantas memberi hormat kepada Yo Ko dan berkata: “Adik Nyo, selama hidupku ini takkan melupakan budi pertolonganmu.”
Yo Ko mengerut kuning, ia pikir sungguh sembrono orang tua ini berbicara demikian di hadapan kedua Bu cilik, baru saja ia hendak membingungkan mereka dengan perkataan lain, namun Bu Siu bun sudah mulai curiga, katanya tiba-tiba kepada Tun-si.
“Toako, apa yang dikatakan bocah she Nyo tadi belum tentu betul.”
Meski Bu Tun-si tidak banyak omong, tapi kecerdasannya tidak di bawah sang adik, ia pandang sekejap kepada ayahnya, lalu mengangguk kepada Siu-bun.
Melihat urusan bisa runyam, cepat Bu Samthong menambahkan: “Eh, kalian jangan salah wesel, sama sekali aku tidak minta adik Yo ini untuk melerai kalian.”
Sebenarnya kedua Bu cilik cuma curiga saja dan belum tahu persis urusan yang sesungguhnya, tapi mereka menjadi curiga setelah sang ayah bermaksud menutupi persoalannya, segera mereka ingat hubungan Yo Ko dengan Kwe Hu biasanya tidak cocok pula Yo Ko sangat mencintai Siao-liong-li, jadi apa yang dikatakan Yo Ko besar kemungkinan tidak betul.
“Toako,” kata Siu-bun kemudian, “Marilah kita pulang ke Siangyang untuk menanyai adik Hu sendiri.”
“Benar,” jawab Tun-si. “Ocehan orang lalu masakah dapat menipu kita,”
 Segera Siu-bun berkata kepada Bu Sam-thong: “Ayah, marilah engkau ikut juga ke Siangyang, Temuilah Suhu dan Subo, mereka kan sahabatmu.”
“Aku… aku…” muka Bu Sam-thong menjadi merah, ia bermaksud memperlihatkan wibawa seorang ayah untuk mengomeli kedua. ,puteranya, tapi kuatir kedua anak muda itu hanya mengiakan di depannya, tapi di belakangnya akan bertarung mati-matian pula.
Yo Ko lantas menjengek: “Saudara Bu, memangnya sebutan “adik Hu” boleh kau panggil se-sukamu? Selanjutnya kularang kau menyebutnya, bahkan dalam hatipun tidak boleh kau pikirkan dia.”
Siu-bun menjadi gusar, teriaknya: “Bagus, di dunia ini ternyata ada manusia se-wenang2 macam kau. “Adik Hu” sudah kusebut selama sepuluh tahun, mengapa kau berani melarang aku menyebutnya”?
“Hm, bukan saja sekarang aku tetap memanggil adik Hu, bahkan besok, lusa dan selanjutnya aku tetap akan memanggilnya. Adik Hu, adik Hu, adik Hu, …..” belum habis ucapannya, “plok”, mendadak pipinya kena ditempeleng satu kali oleh Yo Ko.
Segera Siu-bun mengacungkan pedangnya dan berkata dengan geram: “Baik, orang she Nyo, sudah lama kita tidak berkelahi, ya?
“He, anak Bun, berkelahi apa maksudmu?” cepat Bu Sam-thong mencegahnya.
Mendadak Yo Ko berpaling kepada Bu Sam-thong dan bertanya: “Paman Bu, kau membantu pihak mana?”
 Menurut aturan, adalah wajar kalau Bu Sam-thong membela anaknya sendiri, tapi tindakan Yo Ko sekarang jelas demi untuk mencegah saling bunuh antara kedua bersaudara itu, karena itulah Bu-: Sam-thong menjadi serba salah dan melongo belaka.
“Begini saja,” kata Yo Ko pula, “Silahkan paman Bu duduk tenang di situ, aku takkan mencelakai jiwa mereka,
rasanya merekapun tidak mampu mencelakai aku, engkau boleh menonton pertunjukan menarik ini saja.”
Usia Yo Ko berselisih jauh daripada Bu Sam thong, tapi pintarnya dan cerdiknya jauh di atas-nya, jadi apa yang dikatakan tanpa kuasa terus di turut saja oleh Bu Samthong, segera ia berduduk di atas batu padas di samping sana.
Yo Ko lantas melolos Ci wi-kiam, seketika cahaya dingin gemerlapan, ia menyabet pelahan pedang lemas itu, terdengar suara mendesir, sepotong batu besar di sebelahnya disabetnya cara bersilang, waktu kakinya mendepak, kontan batu besar itu pecah menjadi empat bagian, bagian yang retak itu halus licin seperti insan tahu saja.
Melihat betapa tajamnya pedang orang, kedua saudara Bu saling pandang dengan jeri, mereka menjadi ragu cara bagaimana akan dapat menandingi Yo Ko dengan pedang selihay itu.
Tapi Yo Ko lantas menyimpan kembali pedangnya, lalu berkata dengan tertawa. “Pedangku ini masakah kugunakan untuk menghadapi kalian?? sekenanya ia memotong sebatang dahan pohon, ia buang daunnya hingga berwujud. Sebatang pentung sepanjang satu meteran, lalu berkata pula: “Tadi sudah kukatakan bahwa ibu mertua condong padaku, tapi kalian tidak percaya. sekarang boieh kalian saksikan, aku akan menggunakan pentung ini untuk melayani pedang kalian, kalian boleh maju sekaligus dan mengeluarkan segenap kepandaian ajaran ayah ibu mertuaku serta ajaran paman Cu Cu-liu, Sebaliknya aku hanya akan menggunakan ilmu silat ajaran ibu mertuaku saja, asalkan aku salah menggunakan sejurus dari aliran lain, segera anggap saja aku kalah.”
Kedua saudara Bu sebenarnya jeri pada kepandaian Yo Ko yang hebat, mereka sudah menyaksikan dia menempur Kim-lun Hoat-ong dengan cara aneh, tapi mereka menjadi naik pitam pula demi mendengar ucapan Yo Ko yang berulang-ulang menyebut “ayah dan ibu mertua” segala, seakan-akan Kwe Hu benar-benar sudah menjadi isterinya, sungguh gemas mereka tidak kepalang. Malahan dengan sombongnya Yo Ko menyatakan bersedia dikerubuti serta melayani pedang mereka dengan pentung, bahkan terbatas pada ilmu silat ajaran Oey Yong melulu.
Dalam keadaan begini kalau mereka tidak dapat mengalahkan Yo Ko juga keterlaluan dan buat apalagi hidup di dunia ini.
Maka cepat Siu-bun menegas: “Baik, kau sendiri yang berkata begitu dan bukan kami yang minta. Kalau kau salah menggunakan ilmu silat dari golongan lain, lalu bagaimana?”
“Pertandingan kita ini bukan disebabkan permusuhan dimasa lampau atau karena kebencian sekarang, kita bertempur demi adik Hu,” kata Nyo-Ito. “Maka kalau aku kalah, asalkan aku memandang sekecap padanya atau bicara sepatah saja dengan dia, katakanlah aku ini manusia rendah yang tidak tahu malu. Tapi bagaimana pula jika kalian yang kalah?”
 Pertanyaan Yo Ko sengaja memaksa kedua saudara Bu itu harus menyatakan janji yang sama Ialu Siu-bun telah menjawab “Jika kami kalah, kamipun takkan menemui adik Hu untuk selamanya.”
“Bagaimana kau, setuju?” tanya Yo Ko kepada Tun Si.
“Kami bersaudara bersatu hati dan satu tujuan, tak ada perbedaan pendirian?” jawab Tun-si dengan gusar.
“Bagus, setelah kalah nanti, kalau kalian tidak pegang janji, maka kalian akan dianggap manusia tidak tahu malu yang melebihi binatang, begitu bukan?” Yo Ko menegas pula.
“Benar,” jawab Siu-bun. “Tidak perlu banyak bicara lagi, orang she Yo, marilah mulai.”
Habis berkata ia terus mendahulu menusuk dari sebelah kanan, berbareng Bu Tun-si juga bergerak dari sebelah kiri, asalkan Yo Ko berusaha menghindar serangan Siu-Bun berarti akan dimakan oleh serangan Tun-si itu.
Akan tetapi dengan gesit Yo Ko dapat menghindari beberapa kali serangan kedua Bu cilik itu sambil mengolok-olok. Keruan kedua saudara Bu tambah murka dan menyerang terlebih gencar, “Kau mengaco apa? Mengapa kepandaian ajaran Subo tidak lekas kau keluarkan?”
“Baik, kaumeminta tentu akan kuperlihatkan. Nah, awasi inilah kepandaian asli ajaran ibu mertuaku!” seru Yo Ko.
Pentungnya menyabet serta diputar ke atas itulah gaya “menjegal” dari Pak kau-pang-hoat, berbareng jari tangan lain pura-pura hendak menutuk Hiat-to di tubuh Bu Tun-si.
 Ketika Tun-si melompat mundur, “bluk”, tahu-tahu Bu Siu-bun sudah jatuh kesandung pentung.
Nampak adiknya kecundang, cepat Tun-si menubruk maju lagi dan menyerang dengan gencar.
“Benar, adik ada kesulitan, sang kakak yang menolong.”
demikian sambil mengolok-olok, sekali pentungnya berkelebat tahu-tahu Yo Ko sudah menggeser ke belakang Tun-si dan “plok”, dengan tepat pantat Tun-si kena disabet sekali.
Gerakan pentung Yo Ko itu tampaknya lamban, tapi tepat yang diarah adalah bagian yang sama sekali tak terduga. Dan memang di situlah letak keistimewaan Pak-kau-pang-hoat yang termashur itu.
Setelah merasakan gebukan pada pantatnya, walaupun tidak terlalu sakit, tapi jelas iapun sudah kecundang, karena itu diam-diam timbul rasa kedernya. Dalam pada itu Bu Su-bun telah melompat bangun dan berseru: “Ini adalah Pak to-pau hoat, macam mana Subo mengajarkan kau secara diam-diam. jelas kau mencuri belajar beberapa jurus ketika kita sama-sama menyaksikan Subo mengajarkan ilmu permainan pentung ini kepada Loh-tianglo tempo hari.”
Mendadak pentung Yo Ko menjulur dan “bluk” kembali Siu-bun dijegal hingga terbanting lagi, cepat Bu Tun-si menabas dengan pedangnya untuk menolong sang adik.
Yo Ko menunggu Siu-bun merangkak bangun, lalu berkata dengan tertawar “Kalau kita menyaksikan bersama waktu ibu mertuaku mengajarkan pada loh-tianglo, kenapa aku bisa dan kalian tidak bisa? padahal yang diajarkan ibu mertuaku kepada Loh-tianglo hanya kuncinya saja secara lisan, bagaimana cara memainkan nya beliau telah mengajarkan padaku secara diam-diam, bahkan adik Hu juga tidakbisa, apalagi kalian ini.”
Bu Siu-bun tidak tahu bahwa secara kebetulan Yo Ko pernah mendapatkan ajaran dari Ang Chit-kong ketika pengemis sakti itu bertanding dengan Auyang Hong dipuncak Hoasan dahulu, maka dalam hati sebenarnya ia percaya apa yang dikatakan Yo Ko, cuma di mulut ia tetap tidak mau kalah, katanya: “Huh, setiap orang memang berbeda. Bahwa secara kebetulan kami mendengar ajaran Subo kepada Loh tianglo itu, namun ilmu pentung mana boleh digunakan selain pangcu dari Kay-pang sendiri, sebelum ada perintah Subo, mana kami berani melatihnya? Hanya manusia rendah saja mau berbuat begitu? Hm. kau sendiri tidak tahu malu, tapi malah meng-okok2 orang lain.”
Yo Ko terbahak-bahak, pentungnya berputar puIa dan “plok-plok” dua kali, tahu-tahu punggung Siu-bun dan Tun-si tersabet pula, Cepat kedua saudara Bu melompat ke samping dengan muka merah padam.
“Baiklah, karena tiada bukti dan saksi, meski kukalahkan kalian dengan Pak kau pang-hoat juga kalian belum mau mengaku kalah,” ujar Yo Ko, “Nah, sekarang akan kugunakan pula sejurus kepandaian lain ajaran Subo, coba lihat.
Habis ini ia pandang Siu-bun, kemudian menatap Tun-Si pula, lalu bertanya: “Katakan lebih dulu, ilmu silat ibu mertuaku berasal ajaran siapa?”
Dengan gusar Siu-bun menjawab. “Kalau kau tanpa malu-malu menyebut lagi ibu mertua segala, maka kami tidak sudi bicara pula dengan kau.”
“Ah, kenapa kalian berjiwa sesempit ini,” kata Yo Ko dengan tertabak “Baiklah, coba jawab pertanyaanku, ilmu silat Subomu berasal dari siapa?”
“Subo kami adalah puteri kesayangan Ui-tocu dari Tho-hoa-to, sudah tentu ilmu silatnya berasal ajaran ayahnya sendiri, masakah perlu kau tanyakan puia?” jawab Siu-bun.
“Benar” kata Yo Ko, “Kaltan sendiri pernah tinggal beberapa tahun di Tho-hoa-to, apakah kalian tahu kepandaian khas Oey-tocu, terutama ilmu pedangnya, apa nama ilmu pedang kebanggaan beliau itu?”.
Dengan bersemangat Bu Siu-hun menjawab “Oey-tocu terkenal maha sakti dan serba pintar segala apapun diketahui oleh beliau, Semua kepandaiannya juga diketahui olehmu, mengapa kau bertanya padaku, Giok-siau-kiam-hoat beliau termashur di seluruh dunia, tiada seorangpun di dunia Kangouw yang tidak tahu.”
“Dan kalian pernah berjumpa dengan Oey tocu tidak?” tanya Yo Ko pula.
“Tidak pernah.” jawab Siubun. “Oey-tocu suka mengembara, bahkan Suhu dan Subo sendiri jarang bertemu dengan beliau, apalagi orang muda seperti kami ini.”
“O, jika begitu Giok-siau-kiam-hoat Ui-tocu itu tak pernah kalian lihat?” kata Yo Ko.
“Melihat langsung memang belum pernah,” jawab Siu-bun dengan mendengus “Tapi ketika hari ulang tahun Uitocu, Subo telah merayakannya dan berdoa dari jauh bagi kesehatan beliau, dalam pesta itu Subo telah memperlihatkan ilmu pedang kebanggaan Ui-tocu itu. Tatkala itu Yo-heng sendiri sudah berangkat ke Cong-lam-san untuk mencari guru lain.”
“Benar,” ujar Yo Ko sambil tertawa. Kemudian ibu mertuaku… ooh, baikiah, kemudian Subo kalian diam-diam telah mengajarkan ilmu pedang itu padaku.”
Kedua saudara Bu itu saling pandang, sudah tentu mereka tidak percaya, sedangkan Kwe Hu saja yang merupakan puteri tunggal kesayangan Oey Yong juga tidak diajari ilmu pedang, masakan bisa jadi Yo Ko malah diberi pelajaran di luar tahu mereka.
“Kalian tentu tidak percaya, bukan?” kata Yo Ko.”Baiklah, coba lihat jurus serangan ini?”
Mendadak pentungnya digunakan sebagai pedang, “cret” tahu-tahu dada Bu Tunsi sudah tertusuk oleh ujung pedang.
Kalau saja pentung itu adalah pedang yang tajam, maka dada Bu Tun-si pasti sudah tembus dan jiwanya tentu sudah melayang.
Siu-bun cukup cekatan, melihat Yo Ko mulai menyerang, secepat kilat iapun menusukkan pedangnya ke iga kanan Yo Ko. Akan tetapi tetap terlambat sedikit, pentung Yo Ko sempat diputar balik dan tahu-tahu menusuk ke pergelangan tangannya.
Serangan Yo Ko ternyata mencapai sasarannya lebih cepat daripada serangan Siubun itu, belum lagi ujung pedang Siu-bun mengenai tubuh lawan atau pergelangan tangannya sudah tertusuk lebih dulu oleh ujung pentung Yo Ko dan pedangnya pasti akan terlepas dari cekalan.
Cepat Siu-bun menarik kembali pedangnya dan berganti serangan lain, sambil memutar balik pedangnya, kaki kirinya terus menendang, sementara itu pentung Yo Ko telah ditusukkan ke bahu Bu Tun-si sembari melangkah maju, tendangan Siu-buo seakan-akan tak dihiraukannya.
Dengan sendirinya tendangan Siu-bun menjadi mengenai tempat kosong, sedangkan keadaan Bu Tun si menjadi berbahaya, cepat ia putar pedangnya dengan kencang utk bertahan dengan dgn rapat, begitu terhindarlah dia dari tusukan pentung lawan.
Hanya beberapa jurus saja kedua saudara Bu itu sudah dibikin kelabakan oleh Yo Ko, bertahannya terasa sulit, jangankan hendak balas menyerang. Sama sekali kedua Bu cilik itu tidak menyangka bahwa Giok-siau-kiara-noat yang pernah dipertunjukkan oleh Oey Yong itu ternyata memilik  gerak perubahan yang begini indah dan hebat pula untuk digunakan.
Karena kecundang kedua saudara Bu menjadi malu dan berduka pula, mereka mengira Giok siau-kiam hoat itu benar-benar diajarkan oleh Oey Yong kepada Yo Ko. Sudah tentu tak pernah mereka bayangkan bahwa Yo Ko pernah berkumpul cukup lama dengan Oey Yok-su dan mendapatkan ajaran langsung kedua macam ilmu silatnya yang maha sakti itu.
Melihat kedua orang itu sedih dan lesu, hati Yo Ko menjadi tidak tega. Tapi mengingat maksud tujuannya justeru hendak menyelamatkan jiwa mereka, kalau sekarang keduanya tidak dibikin menyerah betul-betul agar selamanya takkan menemui Kwe Hu lagi, maka kelak keduanya pasti akan berkelahi mati-matian lagi bagi nona itu, karena inilah dia mempergencar serangannya tanpa kenal ampun lagi.
 Keruan kedua saudara Bo semakin keder, bayangan pentung” berkelebat mengelilingi mereka, segenap Hiat-to penting ditubuh mereka seluruhnya terancam oleh pentung Yo Ko itu.
Terpaksa mereka mengertak gigi dan bertahan mati-matian.
Sebenarnya kepandaian kedua Bu cilik itu tidak terlalu rendah, akan tetapi kalau dibandingkan Yo Ko yang kini sudah menyamai jago kelas satu, dengan sendirinya mereka bukan tandingannya. Apalagi sekarang mereka menjadi gelisah, cara bertempur mereka menjadi ngawur. Sebaliknya Yo Ko tidak penggunakan serangan maut melainkan melayaninya dengan tenang.
Lambat-laun kedua saudara merasa pentung lawan itu seakan-akan membawa semacam kekuatan mengisap yang amat kuat, pedang mereka seperti melengket ikut bergoyang kian jemari tanpa kuasa.
Sampai akhirnya kedua saudara itu seperti saling tempur sendiri, pedang Bu Tun-si yang menusuk Yo Ko terkadang hampir mengenai adiknya sendiri, begitu pula tabasan pedang Bu Siu-bun terpaksa harus ditangkis oleh Tunsi.
“Kebagusan Giok-siau-kiam-hoat tidak cuma begini saja, lihatlah” kata Yo Ko “Trak” pentungnya beradu dengan pedang Tun-si, Cuma yang terbentur adalah bagian samping batang pedang sehingga pentung kayu ttu tidak rusak.
Seketika Tun-si merasa dibetot oleh suatu tenaga kuat, pedang hampir terlepas dari cekalannya. Lekas ia menarik balik sekuatnya, tapi Yo Ko terus ikut mendorongkan pentungnya dan tahu-tahu pedang Bu Siu-bun juga ikut melengket pada pentungnya, ketika pentung Yo Ko menahan ke bawah, segera ujung kedua pedang tertindih ke atas tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar