Jilid
3. TOKOH JUBAH PUTIH YANG CANTIK
Anak
perempuan itu putar badan terus lari kencang pula, tiba-tiba ia menyelinap ke
depan dan sembunyi di belakang pohon, Tak lama kemudian Bu Siu-bun sudah
menyusul tiba, sesudah dekat, tiba2 kaki kiri anak dara itu diulur keluar
menjegal kaki orang.
Bu
Siu-bun tidak ber-jaga2, kontan badannya doyong ke depan, cepat ia gunakan cara mengendalikan keseimbangan badan tapi tahu2 kaki
kanan anak perempuan itu mendepak sekali lagi pada pantatnya, tanpa ampun Bu
Siu-bun jatuh terjungkal hidungnya menerjang sepotong batu runcing, darah
segera membasahi pakaiannya.
Melihat
darah bercucuran, anak perempuan itu menjadi gugup juga, tiba-tiba didengarnya
orang membentak di belakangnya: “Hu-ji, kau nakal lagi dan menganiaya orang ya
?”
Anak
perempuan itu tidak berpaling, sahutnya: “Siapa bilang ? Dia jatuh sendiri,
perduli amat dengan aku ? jangan kau sembarangan lapor kepada ayah lho!”
Bu
Siu-bun meraba hidung, sebetulnya tidak sakit, namun melihat kedua tangan
berlepotan darah, hatinya gugup juga. Mendengar anak perempuan itu bicara
dengan orang, segera ia angkat kepala, dilihatnya seorang kakek pincang dan
bertongkat rambut sudah jarang2 dan jenggot pun sudah ubanan, badannya kurus
kerempeng, namun semangatnya masih menyala-nyala.
Terdengar
orang tua itu mendengus: “Jangan kau sangka mataku buta tidak bisa melihat, apa
yang terjadi dapat kudengar dengan jelas, Kau budak kecil ini sekarang sudah
begini nakal, kelak kalau sudah besar pasti lebih nakal lagi ?”
Anak
perempuan itu maju menghampiri serta menarik lengan si kakek, katanya memohon
dan merengek: “Kongkong, jangan kau katakan kepada ayah ya ? Hidungnya keluar
darah, lekas kau mengobatinya !”
Kakek
pincang itu maju setapak, sekali raih ia tangkap lengan Bu-siau-bun, lalu
memijat beberapa kali di Bun-hiang-hiat di pinggir hidungnva, hanya sekali urut
dan usap, darah kontan berhenti mengalir Terasa oleh Bu Siu-bun jari2 tangan
orang seperti jepitan besi mencengkeram lengannya, hatinya menjadi takut, ia
meronta, tapi sedikitpun tak bergeming.
Pelahan
tangannya ditarik lalu diputar, ia lancarkan Siau-kim-na-jiu-hiat yang
diajarkan ibunya, telapak tangannya ikut berputar setengah lingkaran, terus
melintir dari dalam untuk melepaskan pegangan si kakek, Kakek itu tidak menduga
dan ber-jaga2, sungguh tak nyana bocah sekecil ini ternyata membekal ilmu silat
selincah itu, karena gerakan ronta membalik itu, pegangannya terlepas, sambil
bersuara heran tangannya menyamber pula menangkap tangan orang, Bu Siu-bun
kerahkan sepenuh tenaganya berusaha membebaskan diri, namun pegangan orang tak
bergeming lagi
“Adik
kecil jangan takut,” kata kakek itu, “Aku tidak melukai kau, kau she apa?”
“Aku
she Bu,” jawab Siu-bun.
Kakek
itu menengadah seperti mengingat sesuatu, lalu katanya menegas: “She Bu ?
Ayahmu murid It-teng Taysu bukan ?”
Bu
Siu-bun berjingkrak girang, “Ya, kau kenal Hong-ya kami ? Kau pernah melihatnya
tidak ? Aku sendiri tidak pernah melihatnya,”
“Dimana
ayah bundamu ? Kenapa seorang diri kau kelayapan di sini ?” kata si kakek
sambil lepaskan tangannya.
Bu
Siu-bun mewek2 ingin menangis teringat pada kejadian semalam dan terkenang
kepada ayah ibunya.
Anak
perempuan itu lantas mengolok-olok: “Cis, tidak tahu malu, sudah besar suka
menangisi.”
Bu
Siu-bun tegak kepala dan berkata: “Hm, siapa bilang aku menangis.” - lalu ia
ceritakan bahwa ibunya sedang menunggu kedatangan musuh di Liok-keh-cheng. Ayah entah pergi kemana
membawa kakaknya, lalu dirinya kepergok harimau buas itu. Karena gugup dan
pikiran tidak tenang, ceritanya putar balik tak teratur, namun kakek itu dapat
memahami sebagian besar ceritanya itu, tanyanya: “Tahukah kau siapa musuh yang
di tunggu ayah bundamu ?”
“Seperti
bernama Jik-lian-coa apa, pakai Chiu apa lagi,” tutur Siu-bun.
Kakek
itu menengadah pula, mulutnya menggumam: “Jik-lian-coa apa ?” mendadak ia ketuk
tongkat besinya di atas tanah, teriaknya keras: “Pastilah Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu
adanya !”
“Betul,
betul!” Bu Siu-bun bersorak gembira, “Memang Jik-lian-sian-cu”
Karena
tebakan si kakek yang tepat itu, maka ia kegirangan, namun si kakek ternyata
sangat tegang, katanya: “Kalian berdua boleh bermain di sini, setapakpun jangan
meninggalkan tempat ini, biar kutengok kesana !”
“Kongkong,
aku ikut kau !” rengek anak perempuan tadi.
Kakek
itu menjadi gugup: “Ai, ai, tidak boleh ! iblis perempuan itu sangat jahat, aku
sendiri bukan tandingannya. Soalnya tahu teman baik sedang menghadapi bahaya,
terpaksa aku harus menyusul kesana, Kalian harus menurut kataku. Habis berkata
segera ia berlalu dengan langkah terincang-incut.
Meski
pincang, tapi dengan bantuan tongkat besi segera ia kembangkan Ginkang, larinya
amat cepat, tidak kalah dari pada tokoh2 silat kelas tinggi
Tatkala
itu hari sudah terang, para petani sudah bekerja di sawah, dengan riang gembira
sedang menuai padi sambil berdendang, Kakek itu berlari bagai terbang tanpa
hiraukan suasana gembira kaum tani yang bekerja keras itu. sekejap saja dia
sudah tiba di depan Liok-keh-cheng. Kedua matanya memang buta, namun daya
pendengarannya amat tajam, jaraknya masih kira2 satu li, namun dari kejauhan ia
sudah mendengar suara bentrokan senjata keras, suara orang sedang bertempur
dengan sengit.
Ia
tidak kenal keluarga Bu atau keluarga Liok dan tiada hubungan, iapun tahu ilmu
silat sendiri jauh bukan tandingan Jik-lian-sian-cu, kedatangan dirinya ini
mungkin hanya mengantar jiwa belaka, namun selama hidupnya selalu bantu kaum
lemah demi kebenaran dan keadilan, selamanya ia tidak hiraukan keselamatan diri
sendiri, Maka langkah kakinya dipercepat waktu tiba di depan perkampungan
didengarnya di atas genteng ada empat orang sedang bertempur dengan seru.
Sebelah kanan satu orang melawan tiga orang, tapi agaknya ketiga orang itu
terdesak di bawah angin malah.
Ternyata
setelah Bu Sam-thong membawa pergi Tun-ji dan Siu-bun, Liok Lip-ting - suami
isteri semakin cemas dan heran, mereka tidak tahu apa maksud orang gila itu.
sebaliknya Bu
Sam-nio menjadi senang, katanya
tertawa: “Selamanya suamiku bertindak angin2an, kali ini ternyata bisa tahu
kasih sayang dan dapat melihat bahaya.”
Liok-toanio
mohon keterangan, tapi Bu Sam-nio hanya tersenyum saja, katanya: “Nanti
sebentar kau akan tahu sendiri.”
Waktu
itu sudah larut malam, Liok
Bu-siang sudah tertidur dalam
pangkuan ayahnya, Thia
Engpun sudah kantuk dan tidak
kuasa membuka matanya lagi. Liok-toanio berdiri hendak membawa kedua anak itu
masuk kamar, lekas Bu Sam-nio berseru mencegah: “Tunggulah lagi sebentar”.
Benar
juga tak lama kemudian, terdengar suara di atas genteng: “Lemparkan ke atas !”
Itulah
suara Bu Sam-thong. Pergi datangnya ternyata tidak berbekas, Liok Lip-ting
suami istri sebelumnya tidak tahu sama sekali.
Segera Bu Sam-nio bopong Thia Eng
keluar terus dilemparkan ke atas, Bu Sam-thong ulur tangan meraihnya. Baru saja
Liok Lip-ting berdua kaget dan ingin tanya,
Bu Sam-nio sudah lemparkan Liok
Bu-siang ke atas pula, Keruan Liok Lip-ting kuatir, serunya: “Apa yang kau
lakukan ?” - segera ia melompat ke atas genteng, namun sekelilingnya sunyi
sepi, bayangan Bu Sam-thong dan kedua anak perempuan itu sudah tidak kelihatan
Baru saja Liok Lip-ting hendak mengejar, dari bawah Bu Sam-nio keburu
berteriak: “Liok-ya tidak perlu kejar, dia bermaksud baik,”
Liok
Lip-ting ragu2, segera ia turun ke pelataran tanyanya kuatir: “Maksud baik apa
?”
Liok-toanio
sudah maklum lebih dulu, katanya: “Bu-samya kuatir iblis perempuan itu turun
tangan keji kepada anak2, maka sebelumnya hendak disembunyikan di tempat yang
rahasia!”
Baru
sekarang Liok Lip-ting sadar, ber-kali2 ia mengiakan, namun teringat Bu
Sam-thong juga mencuri jenazah ayah bundanya, hatinya berkuatir pula.
Bu
Sam-nio tertawa, ujarnya: “Biasanya suamiku tidak suka anak perempuan, entah
kenapa kali ini dia mau melindungi kedua puterimu, benar2 di luar dugaanku,
Waktu dia membawa pergi anak Ji dan anak Bun tadi, beberapa kali ia melirik
kepada putri2mu, sikapnya amat prihatin, betul juga dia kembali membawa mereka.
Ai, semoga sejak kini wataknya berubah, tidak linglung lagi.” - Lalu ia
menghela napas, katanya lebih lanjut: “Silahkan kalian pergi istirahat, iblis
itu amat membanggakan kepandaian sendiri, selamanya tidak mau menyergap musuh
diwaktu malam, sebelum terang tanah pasti dia tidak akan datang.”
Semula
Liok Lip-ting suami isteri memang menguatirkan keselamatan puteri dan
keponakannya, kini setelah kekuatiran itu tidak membebani benak mereka, rasa
takutpun hilang, timbul keberanian mereka untuk menghadapi musuh. Mereka sudah
membekal senjata masing2, semua duduk bersimpuh di ruang besar itu, bertiga
dengan Bu Sam-nio mulai semadi menghimpun tenaga.
Sang
waktu berjalan cepat, tidak lama fajar pun menyingsing, biasanya waktu seperti
itu, suasana diramaikan oleh kokok ayam dan gonggongan anjing, namun sekarang
keadaan sepi nyenyak
Di
tengah kesunyian pagi itulah tiba2 terdengar suara “blang” yang menggetarkan
hati, entah diterjang apa pintu besar itu tiba2 terbuka dan semplak pecah,
Pintu besar itu sudah dipantek dengan dua batang besi, menurut kebiasaan A Kin,
si jongos, setiap malam juga palang pula pintu itu dengan batang kayu. Kini
palang besi dan kayu luar dalam itu sama putus, tahu-tahu seorang Tokoh
pertengahan umur mengenakan jubah putih mulus melangkah masuk, dia bukan lain
adalah Jik-lian-sian-cu Li
Bok-chiu.
Saat
itu A Kin sedang menyapu di pelataran, segera ia membentak: “Siapa itu ?”
Cepat
Liok Lip-ting berteriak: “A Kin, lekas menyingkir !”
Tapi
sudah terlambat, sekali kebut di tangan Li Bok-chiu
terayun, seperti pula kematian anjing, babi dan lain, tanpa bersuara kepala A
Kin terpukul remuk dan melayanglah jiwanya tanpa bersuara.
Liok
Lip-ting segera menjinjing golok menerjang keluar terus membacok, Li Bok-chiu
miringkan badan berkelit terus melesat lewat disamping-nya, sekali kebutnya
bergerak pula, dua pelayan perempuan seketika tersabet mati, lalu tanyanya
dengan tertawa: “Dimana kedua bocah itu ?”
Melihat
musuh bertindak begitu ganas, meski sadar bukan tandingan lawan, namun Liok
Lip-ting berdua tetap merangsak dengan sengit dengan senjata masing2. Li Bok-chiu
sudah angkat kebut hendak memukul, tiba2 dilihatnya Bu Sam-nio
berdiri disamping, ia tersenyum manis, katanya: “O,
masih ada orang luar di sini, terpaksa aku bunuh kalian di luar rumah saja,” -.
suaranya merdu, gerak geriknya genit, tak terlihat bagaimana dia bergerak,
tahu2 badannya mengapung ke atas genteng, segera mengejar juga ke atas, Belum
lagi mereka berdiri tegak, kebut Li Bok-chiu sudah menyapu datang sehingga
senjata” mereka terpental balik, Agaknya ia sengaja hendak permainkan ketiga
lawannya, dalam puluhan jurus itu ia tidak pernah melancarkan serangan
mematikan, ia cuma desak ketiga lawannya berputar2 seperti kucing mempermainkan
tikus layaknya, Keruan Liok Lip-ting bertiga mandi keringat dan gusar pula
dibuatnya.
“Mau
bunuh lekas bunuh saja!” damperat Liok Lip-ting.
Tiba2
Li Bok-chiu bersiul nyaring panjang ia melayang turun ke tanah langsung
menubruk ke arah seorang kakek pincang bertongkat be yang berdiri di pinggir
kali, Dimana kebut Li
Bo chiu bergerak, tahu2 kebutnya
membelit ke leher si kakek pincang dan buta itu.
jurus
serangan ini dilancarkan disaat kakinya belum menyentuh tanah, namun kebutnya
bagai ular hidup tahu.2 sudah menyerang tempat mematikan dibadan lawan,
Walau
kakek tua itu buta, namun kupingnya dengan jelas mendengar serangan musuh yang
lihay ini, lekas tongkatnya terangkat dan mendadak menutul ke depan, ia balas
menjojoh pergelangan tangan kanan musuh,
Tongkat
besi merupakan senjata berat, umumnya piranti untuk menyapu, menggebuk,
mengemplang atau menggencet, namun kakek tua ini justru menjojoh dengan gaya seperti pedang
menusuk, tongkat seberat itu ternyata dapat ia mainkan dengan ringan dan lincah
seperti pedang.
Lekas Li Bok-chiu sedikit gentakan
kebutnya, ujung kebut memutar balik untuk membelit ujung tongkat terus ditarik
dan disendal sambil membentak: “Lepas tangan !”
jurus
ini merupakan ilmu pinjam tenaga lawan untuk memukul lawan, ujung kebutnya
meminjam tenaga jojohan tongkat tadi serta ditarik dan disendal, seketika si
kakek merasakan seluruh lengannya bergetar hebat, hampir saja ia tidak kuasa
pegang tongkatnya, dalam keadaan yang gawat itu, lekas ia melompat miring
mengikuti tarikan orang, dengan begitu barulah ia berhasil punahkan daya
tarikan kebutan lawan, diam2 ia terkejut: “Gembong iblis ini ternyata tidak
bernama kosong.”
Li Bok-chiu tadi sudah
menyerukan “lepas tangan,” namun ia tidak berhasil merebut tongkat besi lawan,
hal ini betul2 di luar dugaannya, pikirnya: “Siapa kakek pincang yang punya
kepandaian selihay ini ?”
Sekilas
dilihatnya biji mata orang memutih, kiranya seorang buta, barulah ia sadar dan
teringat teriaknya: “Kau ini Tin-ok ?”
Kakek
pincang buta ini memang tertua Kang-lam-chit-koay (tujuh manusia aneh dari
Kanglam) Hwi-thian-pian-kok (si kelelawar) Kwa Tin-ok adanya, seperti diketahui
sejak Hoa-san-lun-kiam pertandingan ilmu pedang di Hoa-san dulu. Kwe Ceng
dan Oey Yong menikah setelah mendapat restu Oey Yok-su,
lalu mereka mengasingkan diri di pulau Tho-hoa-to.
Sifat
Oey Yok-su memang lain dari pada yang lain, suka menyepi tidak suka keramaian,
setelah beberapa bulan berkumpul bersama puteri dan menantunya, lama kelamaan
ia menjadi bosan dan tidak kerasan tinggal dirumah, secara diam-diam ia
meninggalkan Tho-hoa-to, ia hanya meninggalkan sepucuk surat, katanya ia hendak mencari tempat lain
yang sepi dan nyaman.
Oey Yong kenal watak ayahnya,
meski hati merasa berat, namun apa boleh buat dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Semula ia mengira dalam beberapa bulan Oey Yok-su pasti akan pulang atau paling
tidak mengirim kabar, tak tahunya seka!i berpisah tahunan sudah lewat, namun
Oey Yong tidak pernah mendapat kabar berita sang ayah, Karena kangen pada
ayahnya, Oey Yong ajak suami-nya, Kwe Cerig keluar untuk mencarinya, selama
beberapa bulan mereka berkelana di Kangouw, terpaksa mereka pulang ke
Tho-hoa-to, sebab waktu itu Oey Yong ternyata sedang hamil.
Perangai
Oey Yong biasanya jahil dan suka aneh2, hampir tidak suka ketentraman sekejap
pun, karena hamil segala sesuatunya dirasakan serba repot dan kurang leluasa,
hatinya menjadi kesal dan risau, dalam keadaan itu ia menjadi uring-uringan, ia
anggap biang keladi yang membikin susah padanya itu ialah Kwe Ceng, Bagi
perempuan yang sedang hamil memang sering bersifat kasar dan suka marah, walau
Oey Yong amat mencintai Kwe Ceng, ada kalanya ia sengaja mencari kesalahan
orang dan mengajak bertengkar Dasar Kwe Ceng berwatak polos dan lugu, jika sang
istri sedang marah tanpa alasan, paling2 ia hanya tertawa-tawa saja tanpa
menghiraukan-nya.
Tanpa
terasa sepuluh bulan telah berselang, akhirnya Oey Yong
melahirkan seorang anak perempuan dan diberi nama Kwe Hu.,,
Waktu hamil hatinya kurang senang, setelah melahirkan ia amat kasih sayang
kepada puterinya, selalu dimanjakan Belum lagi genap satu tahun puterinya ini
sudah teramat nakal. Ada kalanya Kwe Ceng merasa anaknya keterlaluan lalu dia
memarahinya, namun Oey Yong segera membela dan melindunginya, lama kelamaan
sang puteri semakin menjadi nakal Waktu Kwe Hu berusia tiga tahun, Oey Yong
mulai mengajarkan ilmu silat padanya, Karena itu, celakalah binatang piaraan di
Tho-hoa-to, kalau bukan bulunya digunduli, tentu ekornya dicabuti Tho-hoa-to
yang biasanya aman tenteram dan damai itu, lama kelamaan menjadi tempat jagal
binatang.
Hari
berganti bulan dan beberapa tahun telah berselang pula, Suatu hari mereka
kedatangan seorang tamu, dia bukan lain adalah guru Kwe Ceng, Kwa Tin-oh
adanya. Setelah menetap beberapa tahun dikampung halamannya di Kang-lam, dulu
di sana ada Cu Jong, Han Po-ki, Lam Hi-jin, Thio Ah-seng, Coan Kim-hoat dan Han
Siau-eng, mereka bertujuh biasa malang melintang ke mana saja, sekarang tinggal
Kwa Tin-ok seorang, usia semakin lanjut lagi, lama kelamaan ia merasa kesepian
Hari itu ia teringat akan muridnya suami istri, segera ia jual segala harta
miliknya buat ongkos menuju ke Tho-hoa-to.
Kedatangan
sang guru sudah tentu membuat Kwe Ceng dan Oey Yong sangat senang, maka mereka
tahan beliau menetap saja di pulau itu, betapapun mereka tidak mengijinkan
Tin-ok meninggalkan mereka lagi, Kwa Tin-ok menganggur tak punya pekerjaan,
maka ia menjadi teman bermain Kwe Hu yang paling setia, satu tua satu anak,
ternyata mereka dapat bergaul rukun dan menjadi sahabat kental.
Hari
itu Oey Yong merasa kangen kepada sang ayah, maka esoknya ia meninggalkan pulau
bersama Kwe Ceng untuk mencari ayahnya, sebelum berangkat ia berpesan kepada
Kwa Tin-ok untuk tinggal dirumah saja menemani puterinya, Siapa tahu usia Kwe
Hu meski kecil, namun dia sudah mewarisi watak pemberani dan tidak takut
tingginya langit dan tebalnya bumi setelah ayah bundanya pergi, segera ia
merengek2 kepada Kwa Tin-ok agar mengajaknya keluar untuk mencari kakeknya
juga, Oey Yok-su.
Keruan
Kwa Tin-ok kaget, ia goyang tangan dan berteriak: “Tidak boleh jadi ? Tidak
boleh jadi ?”
Kalau
ada ayah bundanya Kwe Hu sih tidak berani mengumbar adat, setelah ayah, ibunya
pergi, tiada yang perlu dia takuti lagi Segera ia lari ke pinggir, laut lalu
terjun ke dalam air, teriaknya: “Baiklah Kwa-kongkong, biar aku berenang saja
kesana sendiri!”.
Kwa
Tik-ok tidak bisa berenang, mendengar deburan ombak yang besar itu, ia menjadi
gugup sendiri, kuatir Kwe
Hu ketimpa malang, lekas ia berteriak: “Kembali, lekas
kembali, dari sini ke daratan sana
ratusan li jauhnya, mana bisa kau berenang ke sana ?”
“Aku
tidak perduli, kalau kau mati tenggelam, kaulah penyebabnya!” seru Kwe Hu.
Saking
gugup Kwa Tin-ok sampai garuk-garuk kepala tak berdaya, terpaksa teriaknya
pula: “Lekas kau naik sini, marilah berunding dulu.”
“Kalau
kau berjanji mau bawa aku pergi mencari Gwakong, baru aku mau naik ke atas.”
Kwa
Tin-ok kewalahan, terpaksa ia berkata: “Baiklah, ku lulusi permintaanmu.”
Kwe Hu menirukan cara2
orang dewasa, serunya: “Seorang
Kuncu (laki2 sejati) hanya sepatah
kata !”
Tanpa
terasa Kwa Tin-ok segera menyambung: “Kuda lari sekali pecut !”
Sebagai
seorang kawakan Kangouw yang pernah malang melintang puluhan tahun, sekali Kwa
Tin-ok sudah keluarkan janjinya, selama hiduppun tidak akan menyesal Dulu dia
pernah bertaruh dengan Khu Ju-ki, hingga selama delapan belas tahun ia menyekap
diri di padang pasir yang berhawa panas dingin itu, tidak lain juga cuma untuk
memenuhi janji kedua kalimat yang diucapkannya itu.
Begitulah Kwe Hu lantas naik ke
daratan, sebaliknya Kwa Tin-ok menghela napas berulang kali, terpaksa mereka
berkemas dan menunggang kedua ekor rajawali terbang ke barat menuju ke daratan
besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar