Senin, 05 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 3



Jilid 3. TOKOH JUBAH PUTIH YANG CANTIK
Anak perempuan itu putar badan terus lari kencang pula, tiba-tiba ia menyelinap ke depan dan sembunyi di belakang pohon, Tak lama kemudian Bu Siu-bun sudah menyusul tiba, sesudah dekat, tiba2 kaki kiri anak dara itu diulur keluar menjegal kaki orang.
Bu Siu-bun tidak ber-jaga2, kontan badannya doyong ke depan, cepat ia gunakan cara mengendalikan keseimbangan badan tapi tahu2 kaki kanan anak perempuan itu mendepak sekali lagi pada pantatnya, tanpa ampun Bu Siu-bun jatuh terjungkal hidungnya menerjang sepotong batu runcing, darah segera membasahi pakaiannya.
Melihat darah bercucuran, anak perempuan itu menjadi gugup juga, tiba-tiba didengarnya orang membentak di belakangnya: “Hu-ji, kau nakal lagi dan menganiaya orang ya ?”
Anak perempuan itu tidak berpaling, sahutnya: “Siapa bilang ? Dia jatuh sendiri, perduli amat dengan aku ? jangan kau sembarangan lapor kepada ayah lho!”
Bu Siu-bun meraba hidung, sebetulnya tidak sakit, namun melihat kedua tangan berlepotan darah, hatinya gugup juga. Mendengar anak perempuan itu bicara dengan orang, segera ia angkat kepala, dilihatnya seorang kakek pincang dan bertongkat rambut sudah jarang2 dan jenggot pun sudah ubanan, badannya kurus kerempeng, namun semangatnya masih menyala-nyala.
Terdengar orang tua itu mendengus: “Jangan kau sangka mataku buta tidak bisa melihat, apa yang terjadi dapat kudengar dengan jelas, Kau budak kecil ini sekarang sudah begini nakal, kelak kalau sudah besar pasti lebih nakal lagi ?”
Anak perempuan itu maju menghampiri serta menarik lengan si kakek, katanya memohon dan merengek: “Kongkong, jangan kau katakan kepada ayah ya ? Hidungnya keluar darah, lekas kau mengobatinya !”
Kakek pincang itu maju setapak, sekali raih ia tangkap lengan Bu-siau-bun, lalu memijat beberapa kali di Bun-hiang-hiat di pinggir hidungnva, hanya sekali urut dan usap, darah kontan berhenti mengalir Terasa oleh Bu Siu-bun jari2 tangan orang seperti jepitan besi mencengkeram lengannya, hatinya menjadi takut, ia meronta, tapi sedikitpun tak bergeming.
Pelahan tangannya ditarik lalu diputar, ia lancarkan Siau-kim-na-jiu-hiat yang diajarkan ibunya, telapak tangannya ikut berputar setengah lingkaran, terus melintir dari dalam untuk melepaskan pegangan si kakek, Kakek itu tidak menduga dan ber-jaga2, sungguh tak nyana bocah sekecil ini ternyata membekal ilmu silat selincah itu, karena gerakan ronta membalik itu, pegangannya terlepas, sambil bersuara heran tangannya menyamber pula menangkap tangan orang, Bu Siu-bun kerahkan sepenuh tenaganya berusaha membebaskan diri, namun pegangan orang tak bergeming lagi
“Adik kecil jangan takut,” kata kakek itu, “Aku tidak melukai kau, kau she apa?”
“Aku she Bu,” jawab Siu-bun.
Kakek itu menengadah seperti mengingat sesuatu, lalu katanya menegas: “She Bu ? Ayahmu murid It-teng Taysu bukan ?”
Bu Siu-bun berjingkrak girang, “Ya, kau kenal Hong-ya kami ? Kau pernah melihatnya tidak ? Aku sendiri tidak pernah melihatnya,”
“Dimana ayah bundamu ? Kenapa seorang diri kau kelayapan di sini ?” kata si kakek sambil lepaskan tangannya.
Bu Siu-bun mewek2 ingin menangis teringat pada kejadian semalam dan terkenang kepada ayah ibunya.
Anak perempuan itu lantas mengolok-olok: “Cis, tidak tahu malu, sudah besar suka menangisi.”
Bu Siu-bun tegak kepala dan berkata: “Hm, siapa bilang aku menangis.” - lalu ia ceritakan bahwa ibunya sedang menunggu kedatangan musuh di Liok-keh-cheng. Ayah entah pergi kemana membawa kakaknya, lalu dirinya kepergok harimau buas itu. Karena gugup dan pikiran tidak tenang, ceritanya putar balik tak teratur, namun kakek itu dapat memahami sebagian besar ceritanya itu, tanyanya: “Tahukah kau siapa musuh yang di tunggu ayah bundamu ?”
“Seperti bernama Jik-lian-coa apa, pakai Chiu apa lagi,” tutur Siu-bun.
Kakek itu menengadah pula, mulutnya menggumam: “Jik-lian-coa apa ?” mendadak ia ketuk tongkat besinya di atas tanah, teriaknya keras: “Pastilah Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu adanya !”
“Betul, betul!” Bu Siu-bun bersorak gembira, “Memang Jik-lian-sian-cu”
Karena tebakan si kakek yang tepat itu, maka ia kegirangan, namun si kakek ternyata sangat tegang, katanya: “Kalian berdua boleh bermain di sini, setapakpun jangan meninggalkan tempat ini, biar kutengok kesana !”
“Kongkong, aku ikut kau !” rengek anak perempuan tadi.
Kakek itu menjadi gugup: “Ai, ai, tidak boleh ! iblis perempuan itu sangat jahat, aku sendiri bukan tandingannya. Soalnya tahu teman baik sedang menghadapi bahaya, terpaksa aku harus menyusul kesana, Kalian harus menurut kataku. Habis berkata segera ia berlalu dengan langkah terincang-incut.
Meski pincang, tapi dengan bantuan tongkat besi segera ia kembangkan Ginkang, larinya amat cepat, tidak kalah dari pada tokoh2 silat kelas tinggi
Tatkala itu hari sudah terang, para petani sudah bekerja di sawah, dengan riang gembira sedang menuai padi sambil berdendang, Kakek itu berlari bagai terbang tanpa hiraukan suasana gembira kaum tani yang bekerja keras itu. sekejap saja dia sudah tiba di depan Liok-keh-cheng. Kedua matanya memang buta, namun daya pendengarannya amat tajam, jaraknya masih kira2 satu li, namun dari kejauhan ia sudah mendengar suara bentrokan senjata keras, suara orang sedang bertempur dengan sengit.
Ia tidak kenal keluarga Bu atau keluarga Liok dan tiada hubungan, iapun tahu ilmu silat sendiri jauh bukan tandingan Jik-lian-sian-cu, kedatangan dirinya ini mungkin hanya mengantar jiwa belaka, namun selama hidupnya selalu bantu kaum lemah demi kebenaran dan keadilan, selamanya ia tidak hiraukan keselamatan diri sendiri, Maka langkah kakinya dipercepat waktu tiba di depan perkampungan didengarnya di atas genteng ada empat orang sedang bertempur dengan seru. Sebelah kanan satu orang melawan tiga orang, tapi agaknya ketiga orang itu terdesak di bawah angin malah.
Ternyata setelah Bu Sam-thong membawa pergi Tun-ji dan Siu-bun, Liok Lip-ting - suami isteri semakin cemas dan heran, mereka tidak tahu apa maksud orang gila itu. sebaliknya Bu Sam-nio menjadi senang, katanya tertawa: “Selamanya suamiku bertindak angin2an, kali ini ternyata bisa tahu kasih sayang dan dapat melihat bahaya.”
Liok-toanio mohon keterangan, tapi Bu Sam-nio hanya tersenyum saja, katanya: “Nanti sebentar kau akan tahu sendiri.”
Waktu itu sudah larut malam, Liok Bu-siang sudah tertidur dalam pangkuan ayahnya, Thia Engpun sudah kantuk dan tidak kuasa membuka matanya lagi. Liok-toanio berdiri hendak membawa kedua anak itu masuk kamar, lekas Bu Sam-nio berseru mencegah: “Tunggulah lagi sebentar”.
Benar juga tak lama kemudian, terdengar suara di atas genteng: “Lemparkan ke atas !”
Itulah suara Bu Sam-thong. Pergi datangnya ternyata tidak berbekas, Liok Lip-ting suami istri sebelumnya tidak tahu sama sekali.
Segera Bu Sam-nio bopong Thia Eng keluar terus dilemparkan ke atas, Bu Sam-thong ulur tangan meraihnya. Baru saja Liok Lip-ting berdua kaget dan ingin tanya, Bu Sam-nio sudah lemparkan Liok Bu-siang ke atas pula, Keruan Liok Lip-ting kuatir, serunya: “Apa yang kau lakukan ?” - segera ia melompat ke atas genteng, namun sekelilingnya sunyi sepi, bayangan Bu Sam-thong dan kedua anak perempuan itu sudah tidak kelihatan Baru saja Liok Lip-ting hendak mengejar, dari bawah Bu Sam-nio keburu berteriak: “Liok-ya tidak perlu kejar, dia bermaksud baik,”
Liok Lip-ting ragu2, segera ia turun ke pelataran tanyanya kuatir: “Maksud baik apa ?”
Liok-toanio sudah maklum lebih dulu, katanya: “Bu-samya kuatir iblis perempuan itu turun tangan keji kepada anak2, maka sebelumnya hendak disembunyikan di tempat yang rahasia!”
Baru sekarang Liok Lip-ting sadar, ber-kali2 ia mengiakan, namun teringat Bu Sam-thong juga mencuri jenazah ayah bundanya, hatinya berkuatir pula.
Bu Sam-nio tertawa, ujarnya: “Biasanya suamiku tidak suka anak perempuan, entah kenapa kali ini dia mau melindungi kedua puterimu, benar2 di luar dugaanku, Waktu dia membawa pergi anak Ji dan anak Bun tadi, beberapa kali ia melirik kepada putri2mu, sikapnya amat prihatin, betul juga dia kembali membawa mereka. Ai, semoga sejak kini wataknya berubah, tidak linglung lagi.” - Lalu ia menghela napas, katanya lebih lanjut: “Silahkan kalian pergi istirahat, iblis itu amat membanggakan kepandaian sendiri, selamanya tidak mau menyergap musuh diwaktu malam, sebelum terang tanah pasti dia tidak akan datang.”
Semula Liok Lip-ting suami isteri memang menguatirkan keselamatan puteri dan keponakannya, kini setelah kekuatiran itu tidak membebani benak mereka, rasa takutpun hilang, timbul keberanian mereka untuk menghadapi musuh. Mereka sudah membekal senjata masing2, semua duduk bersimpuh di ruang besar itu, bertiga dengan Bu Sam-nio mulai semadi menghimpun tenaga.
Sang waktu berjalan cepat, tidak lama fajar pun menyingsing, biasanya waktu seperti itu, suasana diramaikan oleh kokok ayam dan gonggongan anjing, namun sekarang keadaan sepi nyenyak
Di tengah kesunyian pagi itulah tiba2 terdengar suara “blang” yang menggetarkan hati, entah diterjang apa pintu besar itu tiba2 terbuka dan semplak pecah, Pintu besar itu sudah dipantek dengan dua batang besi, menurut kebiasaan A Kin, si jongos, setiap malam juga palang pula pintu itu dengan batang kayu. Kini palang besi dan kayu luar dalam itu sama putus, tahu-tahu seorang Tokoh pertengahan umur mengenakan jubah putih mulus melangkah masuk, dia bukan lain adalah Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu.
Saat itu A Kin sedang menyapu di pelataran, segera ia membentak: “Siapa itu ?”
Cepat Liok Lip-ting berteriak: “A Kin, lekas menyingkir !”
Tapi sudah terlambat, sekali kebut di tangan Li Bok-chiu terayun, seperti pula kematian anjing, babi dan lain, tanpa bersuara kepala A Kin terpukul remuk dan melayanglah jiwanya tanpa bersuara.
Liok Lip-ting segera menjinjing golok menerjang keluar terus membacok, Li Bok-chiu miringkan badan berkelit terus melesat lewat disamping-nya, sekali kebutnya bergerak pula, dua pelayan perempuan seketika tersabet mati, lalu tanyanya dengan tertawa: “Dimana kedua bocah itu ?”
Melihat musuh bertindak begitu ganas, meski sadar bukan tandingan lawan, namun Liok Lip-ting berdua tetap merangsak dengan sengit dengan senjata masing2. Li Bok-chiu sudah angkat kebut hendak memukul, tiba2 dilihatnya Bu Sam-nio berdiri disamping, ia tersenyum manis, katanya: “O, masih ada orang luar di sini, terpaksa aku bunuh kalian di luar rumah saja,” -. suaranya merdu, gerak geriknya genit, tak terlihat bagaimana dia bergerak, tahu2 badannya mengapung ke atas genteng, segera mengejar juga ke atas, Belum lagi mereka berdiri tegak, kebut Li Bok-chiu sudah menyapu datang sehingga senjata” mereka terpental balik, Agaknya ia sengaja hendak permainkan ketiga lawannya, dalam puluhan jurus itu ia tidak pernah melancarkan serangan mematikan, ia cuma desak ketiga lawannya berputar2 seperti kucing mempermainkan tikus layaknya, Keruan Liok Lip-ting bertiga mandi keringat dan gusar pula dibuatnya.
“Mau bunuh lekas bunuh saja!” damperat Liok Lip-ting.
Tiba2 Li Bok-chiu bersiul nyaring panjang ia melayang turun ke tanah langsung menubruk ke arah seorang kakek pincang bertongkat be yang berdiri di pinggir kali, Dimana kebut Li Bo chiu bergerak, tahu2 kebutnya membelit ke leher si kakek pincang dan buta itu.
jurus serangan ini dilancarkan disaat kakinya belum menyentuh tanah, namun kebutnya bagai ular hidup tahu.2 sudah menyerang tempat mematikan dibadan lawan,
Walau kakek tua itu buta, namun kupingnya dengan jelas mendengar serangan musuh yang lihay ini, lekas tongkatnya terangkat dan mendadak menutul ke depan, ia balas menjojoh pergelangan tangan kanan musuh,
Tongkat besi merupakan senjata berat, umumnya piranti untuk menyapu, menggebuk, mengemplang atau menggencet, namun kakek tua ini justru menjojoh dengan gaya seperti pedang menusuk, tongkat seberat itu ternyata dapat ia mainkan dengan ringan dan lincah seperti pedang.
Lekas Li Bok-chiu sedikit gentakan kebutnya, ujung kebut memutar balik untuk membelit ujung tongkat terus ditarik dan disendal sambil membentak: “Lepas tangan !”
jurus ini merupakan ilmu pinjam tenaga lawan untuk memukul lawan, ujung kebutnya meminjam tenaga jojohan tongkat tadi serta ditarik dan disendal, seketika si kakek merasakan seluruh lengannya bergetar hebat, hampir saja ia tidak kuasa pegang tongkatnya, dalam keadaan yang gawat itu, lekas ia melompat miring mengikuti tarikan orang, dengan begitu barulah ia berhasil punahkan daya tarikan kebutan lawan, diam2 ia terkejut: “Gembong iblis ini ternyata tidak bernama kosong.”
Li Bok-chiu tadi sudah menyerukan “lepas tangan,” namun ia tidak berhasil merebut tongkat besi lawan, hal ini betul2 di luar dugaannya, pikirnya: “Siapa kakek pincang yang punya kepandaian selihay ini ?”
Sekilas dilihatnya biji mata orang memutih, kiranya seorang buta, barulah ia sadar dan teringat teriaknya: “Kau ini Tin-ok ?”
Kakek pincang buta ini memang tertua Kang-lam-chit-koay (tujuh manusia aneh dari Kanglam) Hwi-thian-pian-kok (si kelelawar) Kwa Tin-ok adanya, seperti diketahui sejak Hoa-san-lun-kiam pertandingan ilmu pedang di Hoa-san dulu. Kwe Ceng dan Oey Yong menikah setelah mendapat restu Oey Yok-su, lalu mereka mengasingkan diri di pulau Tho-hoa-to.
Sifat Oey Yok-su memang lain dari pada yang lain, suka menyepi tidak suka keramaian, setelah beberapa bulan berkumpul bersama puteri dan menantunya, lama kelamaan ia menjadi bosan dan tidak kerasan tinggal dirumah, secara diam-diam ia meninggalkan Tho-hoa-to, ia hanya meninggalkan sepucuk surat, katanya ia hendak mencari tempat lain yang sepi dan nyaman.
Oey Yong kenal watak ayahnya, meski hati merasa berat, namun apa boleh buat dan tidak bisa berbuat apa-apa. Semula ia mengira dalam beberapa bulan Oey Yok-su pasti akan pulang atau paling tidak mengirim kabar, tak tahunya seka!i berpisah tahunan sudah lewat, namun Oey Yong tidak pernah mendapat kabar berita sang ayah, Karena kangen pada ayahnya, Oey Yong ajak suami-nya, Kwe Cerig keluar untuk mencarinya, selama beberapa bulan mereka berkelana di Kangouw, terpaksa mereka pulang ke Tho-hoa-to, sebab waktu itu Oey Yong ternyata sedang hamil.
Perangai Oey Yong biasanya jahil dan suka aneh2, hampir tidak suka ketentraman sekejap pun, karena hamil segala sesuatunya dirasakan serba repot dan kurang leluasa, hatinya menjadi kesal dan risau, dalam keadaan itu ia menjadi uring-uringan, ia anggap biang keladi yang membikin susah padanya itu ialah Kwe Ceng, Bagi perempuan yang sedang hamil memang sering bersifat kasar dan suka marah, walau Oey Yong amat mencintai Kwe Ceng, ada kalanya ia sengaja mencari kesalahan orang dan mengajak bertengkar Dasar Kwe Ceng berwatak polos dan lugu, jika sang istri sedang marah tanpa alasan, paling2 ia hanya tertawa-tawa saja tanpa menghiraukan-nya.
Tanpa terasa sepuluh bulan telah berselang, akhirnya Oey Yong melahirkan seorang anak perempuan dan diberi nama Kwe Hu.,, Waktu hamil hatinya kurang senang, setelah melahirkan ia amat kasih sayang kepada puterinya, selalu dimanjakan Belum lagi genap satu tahun puterinya ini sudah teramat nakal. Ada kalanya Kwe Ceng merasa anaknya keterlaluan lalu dia memarahinya, namun Oey Yong segera membela dan melindunginya, lama kelamaan sang puteri semakin menjadi nakal Waktu Kwe Hu berusia tiga tahun, Oey Yong mulai mengajarkan ilmu silat padanya, Karena itu, celakalah binatang piaraan di Tho-hoa-to, kalau bukan bulunya digunduli, tentu ekornya dicabuti Tho-hoa-to yang biasanya aman tenteram dan damai itu, lama kelamaan menjadi tempat jagal binatang.
Hari berganti bulan dan beberapa tahun telah berselang pula, Suatu hari mereka kedatangan seorang tamu, dia bukan lain adalah guru Kwe Ceng, Kwa Tin-oh adanya. Setelah menetap beberapa tahun dikampung halamannya di Kang-lam, dulu di sana ada Cu Jong, Han Po-ki, Lam Hi-jin, Thio Ah-seng, Coan Kim-hoat dan Han Siau-eng, mereka bertujuh biasa malang melintang ke mana saja, sekarang tinggal Kwa Tin-ok seorang, usia semakin lanjut lagi, lama kelamaan ia merasa kesepian Hari itu ia teringat akan muridnya suami istri, segera ia jual segala harta miliknya buat ongkos menuju ke Tho-hoa-to.
Kedatangan sang guru sudah tentu membuat Kwe Ceng dan Oey Yong sangat senang, maka mereka tahan beliau menetap saja di pulau itu, betapapun mereka tidak mengijinkan Tin-ok meninggalkan mereka lagi, Kwa Tin-ok menganggur tak punya pekerjaan, maka ia menjadi teman bermain Kwe Hu yang paling setia, satu tua satu anak, ternyata mereka dapat bergaul rukun dan menjadi sahabat kental.
Hari itu Oey Yong merasa kangen kepada sang ayah, maka esoknya ia meninggalkan pulau bersama Kwe Ceng untuk mencari ayahnya, sebelum berangkat ia berpesan kepada Kwa Tin-ok untuk tinggal dirumah saja menemani puterinya, Siapa tahu usia Kwe Hu meski kecil, namun dia sudah mewarisi watak pemberani dan tidak takut tingginya langit dan tebalnya bumi setelah ayah bundanya pergi, segera ia merengek2 kepada Kwa Tin-ok agar mengajaknya keluar untuk mencari kakeknya juga, Oey Yok-su.
Keruan Kwa Tin-ok kaget, ia goyang tangan dan berteriak: “Tidak boleh jadi ? Tidak boleh jadi ?”
Kalau ada ayah bundanya Kwe Hu sih tidak berani mengumbar adat, setelah ayah, ibunya pergi, tiada yang perlu dia takuti lagi Segera ia lari ke pinggir, laut lalu terjun ke dalam air, teriaknya: “Baiklah Kwa-kongkong, biar aku berenang saja kesana sendiri!”.
Kwa Tik-ok tidak bisa berenang, mendengar deburan ombak yang besar itu, ia menjadi gugup sendiri, kuatir Kwe Hu ketimpa malang, lekas ia berteriak: “Kembali, lekas kembali, dari sini ke daratan sana ratusan li jauhnya, mana bisa kau berenang ke sana ?”
“Aku tidak perduli, kalau kau mati tenggelam, kaulah penyebabnya!” seru Kwe Hu.
Saking gugup Kwa Tin-ok sampai garuk-garuk kepala tak berdaya, terpaksa teriaknya pula: “Lekas kau naik sini, marilah berunding dulu.”
“Kalau kau berjanji mau bawa aku pergi mencari Gwakong, baru aku mau naik ke atas.”
Kwa Tin-ok kewalahan, terpaksa ia berkata: “Baiklah, ku lulusi permintaanmu.”
Kwe Hu menirukan cara2 orang dewasa, serunya: “Seorang Kuncu (laki2 sejati) hanya sepatah kata !”
Tanpa terasa Kwa Tin-ok segera menyambung: “Kuda lari sekali pecut !”
Sebagai seorang kawakan Kangouw yang pernah malang melintang puluhan tahun, sekali Kwa Tin-ok sudah keluarkan janjinya, selama hiduppun tidak akan menyesal Dulu dia pernah bertaruh dengan Khu Ju-ki, hingga selama delapan belas tahun ia menyekap diri di padang pasir yang berhawa panas dingin itu, tidak lain juga cuma untuk memenuhi janji kedua kalimat yang diucapkannya itu.
Begitulah Kwe Hu lantas naik ke daratan, sebaliknya Kwa Tin-ok menghela napas berulang kali, terpaksa mereka berkemas dan menunggang kedua ekor rajawali terbang ke barat menuju ke daratan besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar