Kamis, 08 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 14



Kembalinya Pendekar Rajawali 14

Terpikir pula olehnya bahwa imam itu meski jahat, tapi dosanya masih belum perlu harus sampai mati, kalau madu tawon ini tidak diminum, tentu luka antupan tawon yang dideritanya itu sukar sembuh kembali.
Karena pikiran ini, dengan tangan kiri pondong Yo Ko, lalu berangkatlah dia menuju ke Tiong-yang-kiong.
Tatkala itu sebagian Tiong-yang-kiong sudah diperbaiki, walaupun hanya sebagian kecil saja yang pulih dan jauh sekali kalau dibandingkan dengan kemegahan yang dulu, namun sedikitnya sudah ada rumah genting dan kamar papan.
Sementara itu demi mengetahui dirinya dibawa Sun-popoh ke Tiong-yang-kiong pula, Yo Ko menjadi kaget.
“He, Popoh, untuk apalagi kau ke sana ?” tanyanya cepat dengan suara pelahan.
“Antar obat untuk gurumu,” sahut Sun-popoh.
Dalam pada itu, Tiong-yang-kiong yang dituju sudah berada di depan mereka, Sesudah dekat, segera Sun-popoh melompat ke atas pagar tembok, dari sini ia hendak melompat turun ke pelataran bagian dalam.
Tetapi sebelum ia melompat turun, mendadak suasana gelap dan sunyi itu digemparkan oleh bunyi genta yang keras dan ramai, menyusul dari jauh maupun dekat hanya terdengar suara suitan belaka.
Dengan kejadian mendadak ini, insaflah Sun-popoh kalau dirinya telah terjebak ke dalam kepungan musuh, sungguhpun ilmu silatnya tinggi dan nyalinya besar, namun tidak urung ia merasa jeri juga.
Harus diketahui bahwa Coan-cin-kau adalah satu aliran persilatan terbesar dikalangan Bu-lim, penjagaan yang dilakukan ditempat mereka ini biasanya sangat keras, apalagi beberapa hari paling belakang ini selalu ada orang datang mencari setori, sudah tentu penjagaan semakin diperkuat dan dimanapun terdapat orang.
Kini ada orang melompati pagar tembok mereka, seketika juga genta dibunyikan sebagai tanda bahaya, Dengan tanda ini, bukan saja semua anak murid Coan-cin-kau yang berada di dalam istana lantas keluar memapak musuh dalam berbagai kelompok, bahkan tidak sedikit pula para imam yang menyebar jauh keluar, pertama2 untuk mengepung musuh yang berani menyerbu tempat mereka, kedua untuk merintangi bala bantuan musuh yang datang belakangan.
Begitulah demi nampak suasana yang berobah menjadi hebat ini, mau-tak-mau Sun-popoh merasa kebat-kebit juga.
“Hai, Thio Ci-keng, lekas keluar, aku ingin bicara dengan kau,” demikian ia lantas berteriak.
Akan tetapi Ci-keng sendiri tidak muncul, sebaliknya dari pendopo tengah sana tiba2 keluar satu imam setengah umur.
“Malam buta cianpwe berani masuk ke kuil kami, sebenarnya apakah maksud tujuannya ?” segera imam itu menegur.
“lni buat Thio Ci-keng, ini adalah obat penawar racunnya sengatan tawon,” sahut Sun-popoh, Berbareng ini, ia lemparkan botol madu tawon pada orang.
Imam itu ulur tangannya menyambut botol kecil yang dilemparkan itu, tetapi ia setengah percaya setengah sangsi, “Untuk apa ia berlaku begini baik hati, tadi sudah melukai orang, sekarang berbalik mengantarkan obat ?” demikian ia berpikir.
“Obat apakah ini ?” kemudian ia tanya dengan suara keras.
“Tak perlu tanya, asal kaiu minumkan dia seluruh isinya, tentu kau akan lihat chasiatnya,” sahut Sun-popoh.
“Tetapi darimana aku bisa tahu kau bermaksud baik atau bertujuan jahat, dan bagaimana pula aku tahu ini betul2 obat penawan racun atau racun malah, Thio-suheng sudah kau aniaya begitu rupa, kenapa sekarang kau berbalik berbaik hati hendak menolongnya ?” kata imam itu dengan curig.,
Dasar watak Sun-popoh memang tulus, mendengar orang mencurigai maksud baiknya, bahkan kata2nya tidak enak didengar, keruan api amarahnya tidak bisa ditahan lagi, Tiba2 ia letakkan Yo Ko ke bawah, habis ini dengan sekali lompat ia mendekati orang, begitu tangannya meraih secepat kilat botol madu tawon tadi telah direbutnya kembali.
“Buka mulutmu !” tiba2 ia berkata pada Yo Ko sambil mencopot tutup botol.
Yo Ko menjadi bingung oleh perintah orang yang mendadak ini, tetapi ia menurut juga dan mengangakan mulutnya.
Waktu Sun-popoh baliki botol madu tawon itu, maka tertuanglah seluruh isi botol itu ketenggorokan Yo Ko.
“Nah, enak bukan, mendingan daripada dicurigai orang sebagai racun,” demikian katanya mencemooh imam itu. “Ko-ji, mari kita pergi!”
Lalu dengan menarik tangan Yo Ko segera ia mendekati pinggir pagar tembok.
Rupanya imam tadi dari merasa malu berobah menjadi gusar, diam2 iapun menyesalkan dirinya yang seharusnya jangan banyak curigai. Kini tampaknya obat yang diantar orang ternyata memang betul2 obat pemunah, kalau Thio Ci-keng tidak tertolong oleh obat yang jitu, mungkin sukar untuk bertahan sampai besok.
Oleh karena kuatirnya itu, segera ia melompat ke atas dan mencegat didepan orang sambil pentang kedua tangannya, “Locianpwe, kenapa kau harus marah2 padaku, aku hanya berkata main2 saja, tapi kau anggap sungguhan,” demikian ia coba membujuk “Jika memang betul obat penawar, maka mohonlah engkau suka berikan sekarang.”
Akan tetapi Sun-popoh sudah terlanjur menjadi sengit, ia benci pada lidah orang yang tak bertulang, putar balik tidak menentu, maka ia menjawab dengan tertawa dingin.
“Obat tadi sayang hanya ada sebotol saja, ingin lebih banyak sudah tidak ada lagi. Hitung2 nyawa Thio Ci-keng melayang di tanganmu sendiri”. demikian kata Sun-popoh, berbareng ia baliki sebelah tangannya terus tambahi orang dengan sekali tempelengan sambil membentak: “Kau tidak menghormati kaum Cianpwe, kau inilah yang harus dihajar adat!”
Pukulan ini begitu aneh gerakannya dan cepat pula, ternyata imam itu tak mampu berkelit, maka terdengarlah suara “plak” yang keras, dengan tepat sebelah pipinya kena ditampar.
Melihat kawan mereka dihantam, dua imam lain yang menjaga dipinggir pintu menjadi gusar. “Seumpama betul kau adalah kaum Cianpwe, mana boleh kau berlaku tidak se-mena2 di Tiong-yang-kiong !” bentak mereka berbareng, Habis ini, yang satu memukul dengan tangan kiri dan yang lain dengan tangan kanan, bersama2 mereka menyerang dari samping.
Sun-popoh sudah pernah kenal lihaynya Pak-tau-tin dari Coan-cin-kau, maka ia tak berani terlibat dalam pertempuran dengan mereka, apa lagi kini dirinya sudah masuk “sarang harimau”, tentu saja ia lebih perlu pakai perhitungan, maka dengan sekali loncat segera ia melompat ke atas tembok yang lebih tinggi.
Tampaknya diatas tembok sana tiada seorangpun siapa duga, baru saja ia hendak tancapkan kaki di atas sana, mendadak dari sebelah luar seorang lain meloncat naik memapaki padanya.
“Turun saja !” bentak orang itu sambil kedua telapak tangannya mendorong dari depan.
Waktu itu Sun-popoh sedang terapung di udara, terpaksa dengan tangan kanan ia balas dorongan orang itu, karenanya satu tangan lantas saling bentur dengan dua tangan, masing2 sama tergetar mundur dan turun ke bawah kedua sisi tembok.
Nampak penyatron terjatuh kembali, segera ada enam atau tujuh imam mengerubut maju dengan teriakan ramai mereka desak Sun-popoh sampai dipojok dinding.
Para imam ini adalah jago pilihan murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, tampaknya mereka memang sengaja dipilih untuk menjaga pendopo besar kuil mereka, maka dalam sekejap saja secara bergantian, seperti ombak saja secara bergelombang mereka merangsak maju beberapa kali.
Sun-popoh terpepet dipojok tembok, ia bermaksud tarik Yo Ko buat menerjang keluar, tetapi barisan telah dipasang kuat oleh para imam itu tetap menahan dia ditempatnya, sudah beberapa kali Sun-popoh berusaha menerjang lagi, tetapi selalu didesak mundur kembali
Sebenarnya kalau Sun-popoh seorang diri saja, maka kepandaian para imam ini sekaH2 tidak nanti bisa merintanginya, cuma sekarang ia harus membagi perhatiannya untuk melindungi Yo Ko, maka ilmu kepandaiannya menjadi tak bisa dikeluarkan seluruhnya.
Sesudah belasan jurus lagi, Thio Ci-kong, adik, seperguruan Thio Ci-keng, yang ditugaskan mengepalai penjagaan pendopo depan, ketika mengetahui lawan sudah tak berdaya lagi, segera ia memberi perintah menyalakan api lilin.
Sejenak kemudian tertampaklah belasan lilin raksasa telah menyala terang diseluruh ruangan pendopo itu, muka Sun-popoh yang tersorot api lilin itu ter-tampak pucat seram, mukanya yang memang jelek kini kelihatannya lebih menakutkan lagi.
“Jaga rapat dan berhenti dulu menyerang,” tiba2 Thio Ci-kong berseru.
Karena itu, ketujuh imam yang mengerubuti Sun-popoh tadi segera melompat mundur ke belakang, tetapi mereka masih bersiap dan menjaga di tempat masing2 dengan kuat.
Sun-popoh menarik napas lega sesudah kepungan musuh menjadi kendur.
“Hm, nama Coan-cin-kau yang disegani di seluruh jagat nyata bukan omong kosong belaka,” demikian ia masih mengejek “Coba, belasan orang muda kuat bersama mengerubuti seorang nenek yang loyo dan seorang anak kecil, hm, hm, sungguh lihay, sungguh hebat !”
Muka Thio Ci-kong menjadi merah oleh ejekan orang.
“Kami tidak pandang apa kau orang tua atau dia anak kecil,” demikian ia coba menjawab, “kami hanya ingin menangkap penyatron yang berani terobosan di Tiong-yang-kiong kami, baik kau nenek2 ataupun laki2 sejati, kalau sudah berani masuk ke sini dengan tubuh tegak, maka sedikitnya harus keluar dengan tubuh membungkuk
“Hm, apa artinya tubuh membungkuk ?” sahut Sun-popoh dengan tertawa dingin, “Apa kau maksudkan nenekmu yang tua ini harus merangkak keluar dari sini, ya bukan ?”
Ci-kong tadi telah merasakan tempelengan orang tua ini dan sampai sekarang masih terasa sakit, sudah tentu dia tidak mau selesai dengan begitu saja.
“Jika kau ingin pergi bebas, itupun tidak sukar, asal kau mau turut tiga syarat kami,” demikian katanya kemudian, “Pertama, kau telah melepaskan tawon dan mencelakai Thio-suheng, maka obat penawarnya tadi harus kau tinggalkan. Kedua, anak ini adalah murid Coan-cin-kau, kalau tidak mendapat idzin Cosuya, mana boleh dia melepaskan diri dari ikatan perguruan secara gampang, maka dia harus kau tinggalkan juga di sini. Dan ketiga, kau telah berani menerobos masuk ke Tiong-yang-kiong, kau harus menjura di depan “pemujaan Tiong-yang Cosu untuk minta maaf.”
“Hahahaaa,” tiba2 Sun-popoh menjawab dengan gelak-ketawanya, “Memang sudah sejak dulu aku katakan pada Siao-liong-li kami bahwa para imam Coan-cin-kau tiada satupun yang berguna, nah, buktinya apa sekarang, kapan perkataan nenekmu pernah salah? - Baiklah, segera aku berlutut dan menjura minta maaf padamu.”
Sambil berkata, betul juga ia lantas membungkuk hendak berlutut
Tindakan orang tua ini justru sama sekali tak diduga Thio Ci-kong sebelumnya, karena itu ia menjadi tertegun, sementara ia lihat Sun-popoh betul2 telah bertekuk lutut dan pada saat itu juga, se-konyong2 berkelebatlah sinar mengkilap, tahu2 sebuah Am-gi atau senjata rahasia menyam-ber ke arahnya.
“Haya !” teriak Ci-kong saking kaget. Lekas juga ia hendak berkelit, akan tetapi menyamber-nya Am-gi itu ternyata secepat kilat, tidak ampun lagi tepat menancap di pundak kirinya.
Kiranya itu adalah sebuah anak panah kecil yang terpasang di punggung di dalam baju, asal orangnya menundukan kepalanya, maka anak panah itu lantas menjeplak dan menyamber keluar dengan cepat hingga sukar untuk menghindarinya.
Untung Sun-popoh tiada maksud hendak mengarah jiwanya, maka orang tua itu sengaja bikin menceng tempat yang dia incar, ia tidak arahkan tenggorokan melainkan menancap di pundak lawan.
Nampak Ci-kong terkena senjata orang, para imam yang lain menjadi kaget tercampur gusar, segera mereka membentak lalu serentak pula menghunus senjata mereka.
Semua Imam Coan-cin-kau biasanya memakai senjata pedang, oleh sebab itu sesaat di seluruh pelataran hanya tertampak sinar pedang belaka yang kemilauan.
Tapi Sun-popoh hanya berdiri dengan tenang saja sambil bersenyum dingin, dalam hati ia insaf juga bahwa urusan hari ini tentu akan runyam, tapi dasar wataknya memang keras, seperti jahe saja, semakin tua semakin pedas, maka tak nanti ia sudi menyerah pada orang.
“Kau takut tidak, nak ?” tiba2 ia berpaling menanya Yo Ko.
Nampak pedang para imam yang begitu banyak, diam2 Yo Ko sedang berpikir: “Jika Kwe-pepek yang berada di sini, lebih banyak lagi imam2 busuk ini tidak nanti aku takut Tetapi kini hanya mengandalkan kepandaian Sun-popoh saja, terang kami berdua tak akan bisa meloloskan diri.”
Maka waktu ditanya Sun-popoh, dengan suara keras ia segera menjawab: “Popoh, biarkan mereka membunuh diriku saja, Urusan ini tiada sangkut pautnya dengan engkau, lekas engkau pergi saja dari sini.”
Mendengar kata2 anak yang kepala batu ini, pula selalu memikirkan keselamatan dirinya, keruan Sun-popoh semakin sayang dan kasihan pada Yo Ko.
“Tidak, biar Popoh ikut bersama kau mati di sini, supaya para imam busuk ini merasa puas,” demikian jawabnya dengan suara lantang.
Habis ini, mendadak ia membentak sekali: “Kena !” Se-konyong2 ia ulur tangannya, pergelangan tangan dua imam segera kena di cekalnya, waktu ia menekuk dan memuntir tangan orang, tahu2 kedua pedang imam2 itu sudah berpindah tangan, telah kena direbut Sun-popoh.
“Kau berani tidak melabrak imam2 busuk ini, nak ?” tanya Sun-popoh sambil memberikan sebatang pedang rampasannya itu kepada Yo Ko.
“Sudah tentu aku tak takut,” sahut Yo Ko. “Cuma sayang di sini tiada orang luar yang menyaksikan kejadian ini.”
“Orang luar apa ?” tanya Sun-popoh tak mengerti.
“Bukankah nama Coan-cin-kau tiada bandingannya di seluruh jagat ini ?” kata Yo Ko. “Kalau cara mereka menghina dan mengeroyok seorang nenek dan satu anak kecil seperti sekarang ini tiada orang luar yang menyiarkan kejadian ini, bukankah sangat sayang ?”
Nyata meski usia Yo Ko masih muda, tetapi ia sangat cerdik, tadi ia mendengar Sun-popoh adu mulut dengan Thio Ci-kong, segera ia tahu di mana letaknya titik berat perdebatan mereka, maka dengan sengaja ia mengolok-olok nama baik Coan-cin-kau. suaranya memangnya nyaring dan melengking sebagaimana suara anak2, maka kata2-nya tadi semuanya dapat didengar para imam yang berada dipendopo itu hingga ada sebagian besar merasa malu diri oleh sindiran itu, mereka pikir kalau harus mengeroyok seorang nenek dan seorang anak, sesungguhnya hal ini memang tidak patut.
“Biar aku pergi melaporkan pada Ciangkau Cosu (guru besar pejabat ketua) dan minta petunjuknya,” segera terdengar ada diantara mereka yang berbisik2.
Akan tetapi Thio Ci-kong ternyata berpikir lain, ia sudah terluka oleh Am-gi di pundaknya, ketika anak panah hendak dia cabut, tiba2 dapat diketahui bahwa ujung anak panah itu ternyata berujung pancing yang membalik, kalau sudah nancap, semakin hendak dicabut semakin terasa sakit pula.
Karenanya ia menjadi kuatir kalau anak panah itu berbisa, ia pikir kalau tidak menawan wanita tua ini dulu dan menggeledah obat pemunahnya, mungkin jiwaku bisa melayang.
“Tidak, tangkap dia lebih dulu, kemudian baru lapor Ciangkau Cosu dan minta keputusan-nya,” begitulah dengan cepat ia mencegah, Lalu dengan suara keras ia membentak lagi: “Hayo, para Sute,maju bersama dan tawan dia !”
Akibat pikiran Thio Ci-kong yang sesat inilah, kelak terlalu menimbulkan banyak peristiwa2, sebab tatkala itu Ma Giok sendiri sedang bertapa disuatu gubuk yang didirikan di atas bukit di belakang Tiong-yang-kiong yang jauhnya belasan li, maka semua urusan keagamaan telah diserahkan pada In Ci-peng. Apabila Ma Giok sendiri tahu Sun-popoh menerjang masuk istana mereka itu, tentu ia selesaikan urusan itu dengan kata halus dan mencegah anak muridnya berbuat kurang hormat pada orang tua.
Tetapi sayang ia tidak keburu mendapat tahu, sedang Hek Tay-thong yang waktu jtu berada di Tiong-yang-kong, karena tabiatnya juga keras, maka terjadilah drama yang membawa ekor panjang ini.
Begitulah, sementara para imam digerakan Thio Ci-kong mengerubut maju, lambat laun jaring2 Pak-tau-tin mereka mulai sempit, tampaknya dengan segera Sun-popoh akan tertawan hidup2 oleh mereka. Tak terduga, meski tujuh imam itu mendesak sampai jarak antara tiga langkah lagi dari orang tua ini, namun Sun-popoh masih bisa menjaga diri dengan rapat luar biasa, bagaimanapun mereka menyerang tetap tak mampu maju lebih dekat lagi.
Kalau Pak-tau-tin ini langsung dipimpin Thio Ci-kong sendiri dan ikut bergerak sebenarnya masih bisa banyak berubah pula siasat mengepungnya, tapi karena Ci-kong terluka pundaknya, ia kuatir anak panah itu berbisa, kalau dia bergerak, mungkin bekerjanya racun akan bertambah cepat, maka dia hanya berdiri disamping sambil memberi pe-tunjuk2 saja, dan karena dia sendiri tidak maju. Dengan sendirinya daya tekanan barisan bintang2 pereka menjadi kurang kuat.
Begitulah sesudah lama masih belum bisa kalahkan orang, pelahan para imam itu menjadi kelabakan sendiri. Dalam pada itu mendadak terdengar Sun-popoh menggertak sekali, tiba2 ia lemparkan pedang di tangannya terus menyerobot maju selangkah, tahu2 ia menerobos di bawah sinar pedang dan secepat kilat berhasil menjamberet dada seorang imam muda, berbareng imam itu ia angkat pula.
“lmam busuk, sekarang kalian mau beri jalan atau tidak ?” teriak Sun-popoh murka.
Karena kawannya tertawan secara tak ter-duga2, maka seketika imam2 yang lain jadi tertegun. Tetapi pada saat itu juga tiba2 dari belakang imam2 Coan-cin-kau itu menyerobot kelus satu orang, sekali geraki tangannya, dengan Kim na-jiu-hoat (ilmu cara mencekal dan menangkap mendadak ia menyanggah lengan Sun-popoh, sebelum Sun-popoh bisa melihat jelas rupa orang yang datang mendadak ini atau sudah terasa olehnya pergelangan tangan menjadi pegal linu, tahu imam muda yang dia tawan tadi kena direbu orang itu, menyusul lagi segera ada angin santa menyamber dari depan, nyata orang itu telah menambahkan sekali pukulan yang mengarah ke muka Sun-popoh.
“Cepat benar gerak pukulan orang ini,” diami Sun-popoh membatin, Oleh karenanya secepat kilai pula ia balas dengan pukulan juga.
Kedua telapak tangan saling bentur hingga bersuara, nyata Sun-popoh sendiri tergetar mundur setindak.
Orang itu hanya tergetar mundur juga, tetapi hanya menggeser sedikit saja, habis ini, pukulan kedua kalinya segera dikirim lagi tanpa berhenti dahulu.
Seperti tadi, kembali Sun -popoh angkat tangannya menangkis, dan karena saling beradunya tangan, kembali Sun-popoh tergetar mundur setindak pula, sebaliknya orang itu malah bisa melangkah maju sedikit, lalu disusul lagi dengan pukulan yang ketiganya.
Demikianlah secara susul-menyusul dan satu lebih cepat dari yang lain, ber-runtun2 orang itu menyerang tiga kali, dan Sun-popoh beruntun terdesak mundur tiga tindak, karenanya orang tua ini sempat memandang wajah penyerangnyai ketika pukulan keempat kalinya dilontarkan orang itu pula, kini Sun-popoh sudah membelakangi tembok, ia sudah kepepet dan tiada jalan mundur lagi.
Tetapi pukulan sekali ini tidak penuh dikeluarkan oleh orang itu, begitu saling tempel dengan tangan Sun-popoh yang menangkisnya segera dengan suara lantang ia bersuara: “Popoh, hendaklah kau memberikan obat penawarnya dan tinggalkan anak ini saja !”
Waktu Sun-popoh menegasi maka tertampaklah olehnya orang ini rambut alisnya sudah putih semua, air mukanya kuning hangus, siapa lagi dia kalau bukan Hek Tay-thong yang siang harinya telah usir tawonnya dengan asap obor itu.
Sun-popoh menyadari kepandaian dan keuletan imam tua ini masih di atas dirinya, jika tenaga pukulan ke-empat kalinya ini dilontarkan penuh, mungkin dirinya tidak kuat menahan lagi, Akan tetapi wataknya yang keras itu tidak meng-idzinkan dia menyerah mentah2.
“Kau ingin aku tinggalkan bocah ini, untuk itu harus kau bunuh nenekmu dahulu,” demikian ia membentak.
Hek Tay-thong tahu orang tua ini mempunyai hubungan baik dengan mendiang gurunya, maka dia tak ingin mencelakainya, tenaga pukulannya masih dia tahan dan tidak dilontarkan.
“Kita bertetangga selama puluhan tahun, untuk apa harus cekcok oleh karena satu anak kecil saja ?” ia berkata dengan halus.
Akan tetapi Sun-popoh ternyata tidak gampang diajak berunding.
“Hm,” demikian jawabnya dengan menjengek, “memangnya aku datang kesini dengan maksud baik mengantar obat, jika tak percaya kau boleh tanya anak muridmu, apa aku bohong tidak ?”
Karena keterangan ini, segera Hek Tay-thong hendak menoleh buat bertanya, Diluar dugaannya se-konyong2 Sun-popoh menggeraki sebelah kaki-nya, tahu2 melayang terus menendang ke bagian selangkangannya.
Tendangan ini ternyata sangat keji, pula datangnya tanpa suara dan tiada tanda sama sekali, tubuhnya tidak bergerak, Kun-nya juga tidak bergoyang tetapi tahu2 kaki sudah melayang tiba, disinilah letak lihaynya “Kun-lay-tui” atau ilmu tendangan kaki dari balik Kun itu.
Karenanya, sewaktu Hek Tay-thong mengetahui dirinya diserang, sementara kaki Sun-popoh sudah melayang sampai di dekat perutnya, sekali pun dengan cepat ia bisa melompat mundur, namun pasti tidak keburu Iagi.
Akan tetapi Hek Tay-thong bukan anak murid Tiong-yang Cinjin yang diakui ahli silat nomor satu di seluruh kolong langit ini kalau dengan begitu ia kena diserang, sudah banyak pula pertem-puran2 besar pernah dia hadapi, maka dalam keadaan sangat berbahaya itu, tanpa pikir lagi ia kumpulkan tenaga pada tangannya terus mendorong ke depan, karena itu Sun-popoh tak kuat menahan hingga kena disurung mundur.
Tatkala itu punggung Sun-popoh sudah mepet pagar tembok, ketika mendadak didorong orang dengan kuat, ia menjadi tak tahan, terdengarlah suara “bluk” yang keras disusul dengan berhamburnya bata dan kapur pasir tembok yang gugur, tanpa ampun lagi Sun-popoh muntah darah segar, habis ini ia terkulai ke tanah untuk selanjutnya tak sadarkan diri lagi.
Tidak kepalang kejut Yo Ko melihat orang tua yang disayanginya itu jatuh semaput, dengan cepat ia tengkurap menutupi badan Sun-popoh yang sudah menggeletak tak berkutik itu.
“Kalau kalian hendak bunuh orang, bunulah aku saja, siapapun tak boleh mencelakai Popoh !” demikian teriaknya.
Rupanya suara teriakan ini masih bisa didengar oleh Sun-popoh, orang tua ini telah pentang sedikit matanya dan unjuk senyumnya, “Ya, nak, biar kita berdua mati bersama di sini,” katanya dengan suara lemah.
Tiba2 Yo Ko pentang kedua tangannya melindungi Sun-popoh, dengan membelakangi Hek Thay-thong dan lain2, sedikitpun ia tidak hiraukan keselamatan dirinya sendiri lagi.
Dengan serangannya tadi, Hek Tay-thong sesungguhnya telah menggunakan pukulan berat, nampak lawannya terkulai, dalam hati ia berbalik sangat menyesal, dengan sendirinya tidak nanti ia susulkan serangan lain pula, maka segera ia ingin mengetahui keadaan luka Sun-popoh dengan maksud akan memberi obat untuk menyembuhkan lukanya, tapi karena dialangi tubuh Yo Ko yang tengkurap hingga keadaan si nenek tak dapat di-lihatnya.
“Yo Ko, menyingkir kau, biar aku periksa keadaan Popoh,” dengan suara lembut ia coba membujuk.
Akan tetapi mana Yo Ko mau menurut, bahkan dengan kedua tangannya ia malah merangkul Sun-popoh dengan kencang.
Hek Thay-thong ulangi lagi bujukannya sampai beberapa kali dan Yo Ko masih tetap tidak gubris padanya, akhirnya ia menjadi gelisah, ia tak sabar lagi, segera ia tarik punggung Yo Ko.
“lmam busuk, tak boleh kau mencelakai Popoh,” segera Yo Ko ber-teriak2.
Dalam keadaan ribut2 itu, se-konyong2 terdengar suara orang menyindir dari belakang mereka: “Hm, menganiaya nenek dan anak kecil terhitung orang gagah macam apakah ini ?”
Suara itu begitu ketus dan dingin hingga hati Hek Tay-thong se-akan2 tergetar, cepat ia menoleh, maka tertampaklah olehnya seorang gadis yang sangat cantik tahu2 sudah berdiri di am-bang pintu pendopo besar mereka, Seluruh badan gadis ini mengenakan pakaian berkabung yang putih mulus, entah mengapa sinar matanya itu se-akan2 menyorotkan rasa dingin yang tak terhingga bagi orang yang menatap padanya.
Hek Tay-thong kaget oleh munculnya orang secara mendadak ini ia tahu, apabila genta tanda bahaya Tiong-yang-kiong mereka berbunyi maka dalam jarak sejauh belasan li yang terdapat penjagaan rapat luar biasa itu segera akan terdengar, akan tetapi datangnya gadis jelita ini sebelumnya ternyata tiada seorangpun yang memberitahu dengan tanda bahaya, entah cara bagaimana gadis jelita ini masuk secara diam2 tanpa konangan.
“Siapakah nona ? Ada keperluan apakah ?” segera ia menanya.
Akan tetapi gadis itu tidak menjawab melainkan melototinya sekali sambil mendekati Sun-popoh yang menggeletak tak berdaya itu.
Sementara itu rupanya Yo Ko sudah tahu siapa gerangan yang datang ini, ia telah mendongak dan dengan suara pilu ia berkata: “Liong-kokoh, Sun-popoh telah dipukul mati oleh imam jahat ini!”
Kiranya gadis jelita berbaju putih ini memang betul Siao-liong-li adanya, Tadi waktu Sun-popoh membawa Yo Ko meninggalkan kuburan, lalu masuk ke kuil imam Coan-cin-kau dan bergebrak dengan mereka, semua ini selalu dikuntit Siao-liong-li dari belakang dan disaksikannya dengan jelas, ia menduga tidak nanti Hek Tay-thong turun tangan yang mematikan, maka selama itu ia tidak unjuk diri, siapa tahu keadaan se-konyong2 berubah hingga akhirnya Sun-popoh terluka parah, ia bermaksud menolong namun sudah tidak keburu lagi.
Dan ketika dengan mati-matian Yo Ko berusaha melindungi Sun-popoh, kejadian inipun dapat dilihatnya, dalam hati ia pikir anak ini ternyata mempunyai jiwa jantan juga, Maka kini demi nampak anak ini berkata sambil matanya mengembeng air mata, Siao-liong-li lantas angguk2 : “Ya, setiap orang pasti akan mati, itu bukan soal apa2.”
Aneh sekali jawabannya ini, padahal sejak kecil Sun-popoh yang membesarkan dia, hubungan mereka boleh dikata laksana ibu dan anak, akan tetapi dasar watak Siao-liong-li memang dingin, ditambah lagi sejak kecil ia sudah berlatih Lwe-kang, sudah dilatihnya hingga tanpa emosi sedikit pun, sama sekali ia tidak pernah mengunjuk rasa suka-duka ataupun senang dan marah. Memang luka Sun-popoh yang berat itu terang sukar disembuhkan kembali, dengan sendirinya terasa pilu juga olehnya, akan tetapi rasa duka-pilu ini boleh dikatakan hanya sekilas saja berkelebat di lubuk hatinya untuk kemudian lantas lenyap, air muka gadis ini masih tetap tidak mengunjuk sesuatu perasaan.
Di lain pihak, demi mendengar Yo Ko memanggil gadis jelita itu sebagai “Liong-kokoh” (bibi Liong) maka tahulah Hek Tay-thong bahwa gadis cantik ayu yang berada di hadapannya ini bukan lain adalah Siao-liong-li yang pernah mengusir Pangeran Hotu dari Monggol tanpa unjuk diri itu, keruan ia jadi lebih2 heran.
Hendalah diketahui bahwa sejak Pangeran Hotu ngacir dari Cong-lam-san, peristiwa ini sekejap saja lantas tersiar luas di kalangan Kangouw, meski setapak saja Siao-liong-li belum pernah menginjak kakinya ke bawah gunung Cong-lam-san, akan tetapi namanya ternyata sudah tersohor di dunia persilatan dan disegani setiap orang,
Begitulah dengan pelahan Siao-liong-li berpaling dan memandang para imam Coan-cin-kau itu satu per satu, kecuali Hek Tay-thong yang Lwe-kangnya terlatih lebih dalam hingga hatinya lebih tenang tidak gampang terpengaruh maka imam2 yang lain semuanya melihat kedua mata bola gadis jelita ini se-akan2 sebening dan mengkilap seperti air, tetapi memancarkan sinar dingin menusuk seperti es, karenanya tak tertahan mereka sama bergidik seperti orang kedinginan.
“Bagaimana keadaanmu, Popoh ?” tiba2 Siao-liong-li tanya Sun-popoh sambil berjongkok untuk memeriksa lukanya.
“Nona,” sahut Sun-popoh dengan menghela napas lemah, “selama hidupku tiada pernah aku memohon sesuatu padamu, sekalipun memohon, kalau sudah kau tolak, tetap kau tolak,”
Siao-liong-li adalah gadis yang luar biasa pintarnya, maka demi mendengar lagu perkataan orang, ia lantas tahu kemana orang hendak ber-kata.
“Dan sekarang apa yang hendak kau mohon padaku ?” tanyanya kemudian sambil mengerut kening.
Sun-popoh angguk2, ia tuding Yo Ko, tetapi seketika tak sanggup mengucapkan sesuatu.
“Kau ingin aku menjaga dia ?” tanya Siao-liong-li lagi.
“Ya,” jawab Sun-popoh dengan sisa tenaga yang masih ada padanya. “Kau harus menjaga dia seumur hidupnya, jangan kau biarkan dia dihina orang barang sedikitpun. Bagaimana, kau sanggup tidak ?”.
“Menjaga dia seumur hidup ?” mengulangi Siao-liong-li dengan ragu-ragu.
“Ya,” kata Sun-popoh lagi dengan suara keras, “Nona, jika aku si-tua ini tidak mati, akupun akan menjaga kau seumur hidup, Di waktu kecil-mu, makan, tidur, mandi, ngompol, semua ini apa bukan nenek sendiri yang mengerjakannya ? Dan semua ini balasan apa yang pernah kau limpah-kan padaku ?”
Karena kata2 Sun-popoh ini, Siao-liong-li meng-gigit2 bibir, agaknya pertentangan batinnya sedang bekerja hebat.
“Baiklah, aku menyanggupi permohonanmu,” katanya kemudian tegas.
Maka puaslah Sun-popoh oleh jawaban ini, dari mukanya yang jelek itu tertampak senyuman lembut, matanya kemudian menatap Yo Ko, rupanya seperti ada sesuatu yang hendak dia katakan pada bocah itu, tetapi napasnya sudah memburu hingga tak sanggup bersuara.
Yo Ko yang cerdik itu tahu maksud si orang tua, maka dengan cepat ia tempelkan telinganya ke mulut orang.
“Popoh, adakah sesuatu yang hendak kau katakan padaku ?” tanyanya dengan suara pelahan.
“Mepetlah sedikit Iagi,” pinta Sun-popoh.
Betul juga Yo Ko berjongkok terlebih rendah hingga kupingnya menempel dengan bibir orang.
“Baju kapas yang ku…. pakai ini harus kau simpan baik2, di… di…” demikian kata Sun-popoh dengan suara lemah sekali hingga akhirnya napasnya tak sampai, maka berhenti-lah dia, mendadak ia menyemburkan darah segar hingga seluruh muka Yo Ko dan banjunya basah kuyup oleh darah, habis ini Sun-popoh tutup matanya dan menghembuskan napasnya yang terakhir.
“Popoh, Popoh !” Yo Ko menjerit-jerit, ia menggelendot di atas badan orang tua yang sudah tak bernyawa lagi itu dan menangis ter-gerung2.
Tangisan Yo Ko ini betul2 mengharukan sekali dan timbul dari hatinya yang murni, para imam yang mendengarkan itu mau-tidak-mau ikut tergerak juga perasaannya, lebih2 Hek Tay-thong, ia menjadi menyesal tidak kepalang.
“Popoh,” kata Hek Tay-thong kemudian sambil mendekati jenazah Sun-popoh dan memberi hormat, “tak disengaja aku telah menewaskan kau, hal ini sesungguhnya bukan tujuanku, Dosa utang jiwa sudah menimpa pada diriku, mana berani aku mengelakannya. Harap mangkatlah engkau dengan baik dan tenang !”
Mendengar kata2 orang yang se-akan2 sedang sembahyang ini, Siao-liong-li hanya berdiri saja tanpa buka suara, Sehabis Hek Tay-thong berkata, kemudian mereka berdua lantas saling berhadapan dan saling pandang.
“Bagaimana ? Kau tidak lantas bunuh diri, apa perlu aku sendiri yang turun tangan ?” kata Siao-liong-li tiba2 dengan mengkerut kening.
Hek Tay-thong terhitung imam yang beribadat tinggi, akan tetapi demi mendengar kata2 Siao-liong-li tadi, tidak urung ia melengak juga.
“Ha, apa ?” ia menegas.
“Apa ?” sahut Siao-liong-li mengejek “Hm, bunuh orang harus ganti jiwa, maka lekaslah kau bunuh diri supaya urusan menjadi selesai, dengan begitu aku lantas ampuni jiwa semua orang di dalam kuilmu ini.”
Keruan kata2 yang luar biasa ini seketika membikin suasana menjadi gempar, sebelum Hek Tay-thong buka suara pula atau para imam yang lain sudah pada ribut, sementara itu di pendopo depan sudah berkumpul imam Coan-cin-kau sebanyak tiga-empat puluh orang, seketika juga mereka pada balas mendamperat be-ramai2 atas ucapan Siao-liong-li yang tak pantas tadi.
“Eh, nona cilik, lekas kau pergi saja, kami tidak akan merintangi kau lagi!”
“Hm, perempuan sekecil ini, berani betul kau mengoceh seenaknya !” Begitulah antara lain kata2 yang terdengar diucapkan para imam itu.
Mendengar kawannya mengeluarkan kata2 kurang hormat, lekas Hek Tay-thong memberi tanda supaya diam.
Di lain pihak Siao-liong-li ternyata anggap sepi saja berisik imam2 tadi, dengan pelahan ia keluarkan segulung sutera putih yang halus tipis dari dalam bajunya.
Semua orang menjadi heran dan saling pandang, mereka tidak tahu hendak digunakan apakah sutera putih ini.
Tetapi lantas tertampak Siao-liong-li menjereng kain suteranya itu, ia masukkan potongan kain putih itu pada tangan kirinya, lalu tangan yang kanan dipakainya pula kain putih yang lain., Kiranya kain sutera putih itu adalah sepasang sarung tangan.
“Nah, imam tua, kalau kau tamak hidup dan takut mati, tak berani kau bunuh diri, maka bolehlah lolos senjatamu sekarang !” dengan suara pelahan Siao-liong-li lantas menantang.
Hek Tay-thong tersenyum sedih atas tantangan Siao-liong-li ini.
“Sudahlah, aku telah salah mencelakai Sun-popoh, maka tak ingin bertengkar dengan kau lagi, bolehlah kau membawa Yo Ko pergi dari kuil ini,” katanya kemudian.
Menurut jalan pikiran Hek Tay-thong. meski Siao-liong-li bisa mengusir pangeran Hotu hingga namanya terkenal dikolong langit, tapi apapun juga mengandalkan kekuatan tawon putih piaraannya, dalam usia semuda ini, sungguhpun ilmu silatnya mendapatkan ajaran guru kosen juga tidak akan letih kuat dari pada Sun-popoh. Oleh karena itu, kalau dia mengidinkan Siaolliong-Ii pergi membawa Yo Ko, boleh dikatakan ia ingin urusan ini menjadi damai dan tidak terjadi percekcokan lagi, jadi sesungguhnya ia sudah berlaku murah hati.
Siapa tahu, kata2nya tadi seperti tidak didengar oleh Siao-Iiong-Ii, ketika tangan kiri si gadis bergerak, se-konyong2 seutas kain sutera putih melayang terus menyamber ke muka Hek Tay-thong.
Gerak serangan ini datangnya terlalu cepat dan tanpa suara, sebelumnya pun tiada tanda2 Siao-liong-ii hendak melontarkan serangan, di bawah sorotan cahaya api lilin, ujung selendang sutera itu tertampak pula terikat dengan sebuah bola kecil berwarna emas.
Melihat tipu serangan orang yang begitu cepat, pula senjata yang dipakai ini aneh luar biasa, seketika Hek Tay-thong menjadi bingung, ia tidak tahu cara bagaimana harus menangkisnya, Tetapi usianya sudah lanjut, dengan sendirinya segala sesuatu dia lakukan dengan sangat tenang, meski ia yakin kepandaian sendiri lebih tinggi beberapa kali lipat dari lawannya, namun tak berani juga ia sambut serangan tadi, maka dengan mengegos saja ia berkelit kekiri.
Di luar dugaan selendang sutera Siao-liong-li yang membawa senjata di bagian ujung itu ternyata bisa memutar di tengah udara, ketika Hek Tay-thong berkelit kekiri, tahu2 selendang sutera inipun ikut mengarah ke kiri, maka terdengarlah suara “ting-ting-ting” tiga kali, bola kecil yang terikai pada ujung selendang itu tiba2 berbunyi sendirinya tiga kali terus menutul ke mukanya mengarah tiga tempat Hiat-to.
Cara menyerang tiga tempat sekaligus ini, cepat dan jitu, sekalipun Hek Tay-thong sudah banyak berpengalaman, belum pernah juga dilihat nya, apalagi diantara serangan itu terseling pula bunyi “ting-ting” yang nyaring, meski tidak keras suaranya, namun aneh sekali hingga hati orang terguncang.
Dalam kagetnya oleh perubahan serangan ini, lekas2 Hek Tay-thong mendayongkan tubuhnya ke belakang, ia keluarkan gerakan “thi-pan-kio” (jem-batan papan besi) dan membiarkan bola diujung selendang itu menyamber lewat di atas hidungnya, Tetapi ia kuatir pula bola emas itu mendadak mengetok lagi ke bawah, maka sewaktu tubuhnya mendoyong ke belakang tadi, mendadak pula ia geser tubuh kesamping, ilmu silat Hek Tay-thong sudah terlatih sampai tingkatan yang bisa dilakukan sekehendak hatinya, maka gerakan ke samping diwaktu tubuhnya mendoyong itu tidak sulit bagi-nya.
Karena gerakan ini rupanya tidak tersangka juga oleh Siao-liong-li, maka terdengarlah suara “ting-” sekali, bola emasnya ternyata benar telah mengetok tanah.
Dengan bola emasnya ini, biasanya Siao-1iong-li bisa mengetok Hiat-to orang secara ber-tuntun2 dan susul menyusul dengan jitu sekali, kini melihat Hek Tay-thong sanggup meluputkan diri di waktu terancam bahaya, mau-tidak-mau dalam hati Siao-liong-li memuji ketangkasan imam Coan-cin-kau yang hebat ini.
Ketika Hek Tay-thong bisa berdiri tegak lagi, tertampaklah mukanya berubah kecut.
Di antara para imam yang menyaksikan gebrakan tadi, semuanya juga menjadi geger, Para imam itu kalau bukan anak murid Hek Tay-thong tentu adalah murid-murid keponakannya, terhadap ilmu silatnya biasanya boleh dikata kagum tidak terhingga, tapi demi melihat caranya menghindari serangan orang, meski belum sampai terluka, namun jelas mengelak dengan ter-gopoh2, terang dalam keadaan terdesak. Dengan kuatir segera ada empat imam lain mengayunkan pedang mereka untuk merintangi Siao-liong-li.
“Ya, memangnya sejak tadi seharusnya kalian gunakan senjatamu !” terdengar Siao-liong-li menyambut.
Habis ini, begitu kedua tangannya bergerak, tahu2 kedua ujung selendang suteranya seperti ular perak saja me-lingkar2 ke depan dan terdengarlah bunyi suara “ting-ting” dua kali, bahkan menyusul berbunyi pula dua kali, tahu2 tempat “tay-yan-hiat” di pergelangan tangan keempat imam itu telah kena ditutuk semua oleh bola emas, senjata merekapun sama jatuh ke tanah hingga menerbitkan suara gemerincing yang nyaring.
Karena serangan serentak yang mematahkan semua tusukan empat imam itu, keruan imam2 yang lain menjadi jeri dan ternganga, tiada lagi yang berani coba2 ikut turun tangan.
Semula Hek Tay-thong menyangka Siao-liong-li tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, siapa tahu, hanya sekali gebrakan saja dirinya sudah hampir kecundang, tanpa terasa timbul juga rasa marah-nya, segera dari tangan salah seorang anak muridnya ia ambil sebatang pedang, ia hendak tempur orang lagi dengan senjata,
“llmu kepandaian Nona ternyata hebat, nyata Pinto (imam miskin, sebutan diri sendiri kaum Tosu) telah kurang hormat dan salah duga, Baik-lah, mari, kini biar Pinto minta petunjuk beberapa gebrakan yang hebat,” demikian ia berkata.
Siao-liong-li tidak menjawab melainkan hanya angguk2, habis ini kembali terdengar “ting-ting” dua kali, selendang suteranya tiba2 menyambet dari kiri ke kanan.
Kalau diurut menurut tingkatan, sebenarnya Hek Tay-thong masih lebih tinggi setingkat daripada Siao-liong-li, maka waktu mulai bergebrak, seharusnya Siao-liong-li menghormati kaum yang lebih tua dan mengalah dulu diserang tiga kali.
Akan tetapi kesemua ini ternyata tidak dihiraukan olehnya, begitu maju malah dia lantas menyerang lebih dulu dengan tipu2 yang mematikan, segala peraturan Bu-lim atau dunia persilatan ternyata dianggap sepi saja.
“Meski ilmu silat gadis ini mempunyai titik kelihayan yang tersendiri, tapi dia tidak paham apa2 tentang etika, terang dia kurang berpengalaman dalam pertempuran, meski kepandaiannya tinggi, tidak nanti melebihi aku,” demikian Hek Tay-thong berpikir.
Karena itu, segera pedangnya bergerak, Kiam-hoat dari Coan-cin-pay yang tiada bandingannya itu segera dikeluarkan, ia layani samberan selendang sutera putih Siao-liong-li dengan sama cepat dan sama lihaynya.
Imam2 yang lain pada menonton disamping dengan penuh perhatian, di bawah sinar lilin yang ber-goyang2, kelihatanlah satu gadis jelita berbaju putih sedang menempur seorang imam tua dengan jubah kelabu, yang satu cantik molek, yang lain tua ubanan, pertarungan mereka makin lama makin seru.
Sebenarnya kalau soal Kiam-hoat, karena Hek Tay-thong sudah melatih ilmu pedang selama puluhan tahun, di dalam Coan-cin-kau dia terhitung jago nomor tiga atau empat, tetapi kini sudah beberapa puluh jurus saling gebrak dengan Siao liong-li, sedikitpun ternyata dia tak bisa memperoleh keunggulan
Siao-liong-li memainkan selendang suteranya, begitu cepat dan hidup seperti naga sakti, pula bola emas yang terikat pada ujung selendang itu tiada hentinya mengeluarkan suara “ting-ting” yang nyaring, suara ini lebih mengacaukan perasaan lawan.
Setelah lama masih belum bisa mengalahkan orang, meski Hek Tay-thong sendiri juga belum tentu bisa kalah, tapi bila teringat dirinya sudah terkenal sebagai jago terkemuka di kalangan Bu-lim, jika harus bergebrak dua-tiga ratus jurus dengan gadis jelita ini, sungguhpun achirnya menang toh pasti kehilangan pamor juga. Oleh karena itu ia menjadi gopoh, begitu Kiam-hoatnya berubah, ia menyerang terlebih lambat malah.
Aneh bahwa tiap gerak serangannya jauh lebih lambat dari tadinya, akan tetapi sebaliknya daya tekanan pedangnya justru bertambah beberapa kali lipat lebih kuat. Kalau tadi pedangnya selalu harus menghindari gubetan selendang sutera orang, tapi kini setelah daya tekanannya bertambah, ia ber-berbalik mengincar buat menabas bola emas di ujung selendang itu.
Setelah beberapa jurus lagi, tiba2 terdengar suara “cring” yang keras, bola emas Siao-liong-li saling bentur dengan pedang, Tetapi Hek Tay-thong lebih ulet dan lebih kuat, pedangnya membikin bola emas orang mendal ke atas dan terpental balik mengarah muka Siao-liong-li sendiri.
Sudah tentu kesempatan baik ini tidak dilewatkan oleh Hek Tay-thong, berbareng ia kirim serangan yang lain, diiringi sorak sorai gembira para imam yang menonton, ujung pedangnya telah menerobos di antara kain selendang lawan terus mengarah pergelangan tangan Siao-liong-li.
Dengan, serangan ini Hek Tay-thong yakin sedikitnya lawan akan membuang kain selendangnya kalau pergelangan tangannya tidak mau tertusuk pedang.
Siapa duga Siao-liong-li justru tidak menghindari serangan itu, hanya tangannya membalik dan dengan sekali tangkap ia malah pegang senjata orang, menyusul ini lantas terdengar suara “pletak”, ternyata pedang Hek Tay-thong telah patah menjadi dua.
Sungguh hebat sekali ke jadian ini hingga semua imam sama menjerit kaget, dengan cepat pula Hek Tay-thong lantas melompat mundur ke belakang sambil masih memegangi sepotong pedangnya, ia berdiri terkesima.
Kiranya sarung tangan yang dipakai Siao-liong-li itu terbuat dari benang emas putih yang paling halus tetapi sangat ulet pula, walaupun tipis dan lemas, tapi tidak mempan oleh senjata2 biasa, sekalipun golok pusaka atau pedang tajam, sukar juga untuk menembusnya.
Sudah tentu hal ini tak diketahui Hek Tay-thong, ia menjadi bingung karena mendadak orang berani tangkap senjatanya dan dengan tenaga tekukan yang tepat telah mematahkan pedangnya secara mentah2.
Dalam keadaan kecundang sedemikian ini, dengan muka pucat Hek Tay-thong sampai tak bisa berpikir bahwa pada sarung tangan itulah terletak khasiat segala ketangkasan Siao-liong-li, ia malah mengira gadis ini betul2 sudah dapat berlatih semacam ilmu yang kebal dan tak mempan segala macam senjata.
“Bagus, bagus, baik Pinto mengaku kalah !” demikian katanya kemudian dengan suara ter-putus2. “Nah, nona, bolehlah kau membawa pergi anak ini”.
“Ha, sesudah kau mencelakai Sun-popoh, lalu bicara seenaknya, sekali ngaku kalah lantas anggap beres begini saja ?” Siao-liong-li mengejek.
“Haha, memang betul katamu, aku ini betuI2 sudah pikun !” kata Hek Tay-thong sambil mendongak.
Habis ini ia angkat pedangnya yang sudah patah itu terus menggorok kelehernya sendiri dengan maksud membunuh diri.
Akan tetapi sebelum pedang menempel lehernya, mendadak terdengar suara “creng” yang nyaring, tangannya tergetar keras, dari luar pagar tembok mendadak menyamber tiba sebuah mata uang hingga pedangnya terbentur jatuh.
Dengan tenaga Hek Tay-thong, bukanlah soal gampang orang hendak pukul jatuh senjatanya dengan sesuatu benda, Dalam terkejutnya itu, segera pula Hek Tay-thong tahu siapa yang telah datang ia mengenali tenaga sambitan mata uang itu.
“Khu-suheng, aku tak becus telah mencemarkan nama baik golongan kita, maka terserahlah padamu sajalah !” serunya kemudian sambil memandang ke arah datangnya mata uang tadi.
“Hek-sute, kalah-menang adalah soal biasa, kalau sekali mengalami kekalahan lalu mesti gorok leher sendiri, maka suhengmu ini sekalipun punya delapanbelas kepala tentu sudah habis tergorok,” demikian terdengar orang menjawab dari luar kelenteng dengan tertawa.
Ketika suara itu berhenti segera pula orangnya sudah muncul, dengan pedang terhunus Khu Ju-ki sudah melompat masuk melintasi pagar tembok itu.
Watak Khu Ju-ki paling suka blak2an, maka begitu datang segera pedangnya menusuk ke lengan kiri Siao-liong-li sambil berseru: “Tiang-jun-cu Khu Ju-ki minta petunjuk pada tetangga terhormat kita.”
“Ha, kau imam tua ini terhitung suka terus terang juga,” sahut Siao-liong-li.
Berbareng itu, tangan kirinya menjulur, kembali ia dapat menangkap pula pedang Khu Ju-ki yang menusuk itu.
“Awas, Suheng !” teriak Hek Tay-thong kuatir karena pengalamannya tadi.
Akan tetapi sudah terlambat, ketika Siao-liong-li gunakan tenaga menekan, Khu Ju-ki pun salurkan tenaga ke batang pedangnya, karena itu terjadilah tenaga lawan tenaga, keras lawan keras, maka terdengarlah suara “krak”, kembali pedang patah menjadi dua, tetapi tangan Siao-Iiong-li tidak urung tergetar hingga pegal linu, dada pun terasa rada sakit.
Cukup sekali gebrakan ini saja Siao-liong-li sudah tahu bahwa kepandaian Khu Ju-ki masih jauh di atas Hek Tay-thong, sedang ilmu kepandaian sendiri “Giok-li-cin-keng” masih belum sempurna, terang tiada harapan buat menang, maka tanpa pikir lagi ia buang pedang patah yang disebutnya itu, lalu dengan cepat ia kempit mayat Sun-popoh dan tangan lain pondong Yo Ko, begitu kedua kakinya menutul, tiba2 tubuhnya mencelat ke atas, dengan enteng sekali seperti daun saja ia melayang keluar dari pagar tembok.
Mendadak nampak Ginkang (ilmu entengi tubuh) orang yang hebat sekali ini, Khu Ju-ki dan Hek Tay-thong hanya saling pandang saja dengan terperanjat Khu Ju-ki dan Hek Tay-thong sudah saling gebrak dengan Siao-liong-li tadi, mereka bisa ukur ilmu silat Siao-liong-li yang meski tinggi, tapi belum pasti bisa menangkan mereka, namun ilmu entengi tubuh yang barusan dilihatnya itu sungguh belum pernah mereka saksikan selama ini.
“Sudahlah, sudahlah!” kata Hek Tay-thong dengan menghela napas panjang penuh menyesal.
“Hek-sute, percuma saja kau berlatih diri dalam agama selama sekian tahun, tapi sedikit ke cundang saja kau lantas putus asa ?” ujar Khu Ju-ki. “Harus kau ketahui bahwa saudara2 kita yang dikirim ke Soasay sekali ini, sama juga telah mengalami kekalahan habis2an.”
“Hah, kenapa ? Lalu ada yang terluka tidak ?” tanya Hek Tay-thong kaget oleh berita sang Suheng.
“Cerita ini terlalu panjang, marilah kita menemui Ma-suheng dahulu,” sahut Khu Ju-ki.
Kiranya sesudah melukai beberapa orang di-daerah Oh-tjiu, Kanglam, Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu mengerti terlalu banyak onar yang dia lakukan, maka ia telah menyingkir jauh ke daerah Soasay buat hindari percecokan, akan tetapi angkara murkanya ternyata tidak menjadi padam, di sana kembali dia celakai beberapa orang gagah dari Bu-lim, keruan akhirnya bikin gusar kalangan umum hingga pemimpin Bu-lim setempat telah menyebarkan undangan mengajak kawan segolongan untuk mengeroyok Li Bok-chiu.
Di antara yang diundang itu terdapat pula Coan-cin-kau. Tatkala itu Ma Giok telah berunding dengan Khu Ju-ki, mereka berpendapat meski Li Bok-chiu banyak melakukan kejahatan, tapi mengingat hubungan kakek gurunya dan gurunya sendiri, Tiong-yang Cinjin yang sangat erat, sedapat mungkin dibikin akur saja percecokan itu dan memberi jalan hidup baru kepada Li Bok-chiu untuk hari depan.
Oleh sebab itu, Lau Ju-hian dan Sun Put-ji lantas dikirim dahulu ke utara. Siapa tahu Li Bok-chiu ternyata tidak mau kenal kebaikan orang dan bahkan terus saling gebrak, akhirnya Lau Ju-hian dan Sun Put-ji berdua terkalahkan di bawah tangannya.
Belakangan Khu Ju-ki dan Ong Ju-it, kedua jago utama Coan-cin-pay ini menyusul memberi bantuan, Tetapi Li Bok-chiu ternyata sangat licin, ia insaf seorang diri sukar berlawanan dengan jago2 begitu banyak, maka ia menggunakan kata2 pancingan kepada Khu Ju-ki dan Ong Ju-it dan akhirnya menetapkan peraturan satu lawan satu pada hari yang tertentu.
Hari pertama yang turun bertanding adalah Sun Put-ji, tetapi diam2 Li Bok-chiu telah gunakan tipu keji, ia telah melukai tokoh wanita Coan-cin-kau itu dengan jarum berbisa yang sangat jahat itu. Habis ini ia sendiri malah mengunjungi rumah orang untuk memberikan obat penawar racunnya, dalam keadaan demikian tidak bisa tidak Khu Ju-ki harus menerimanya.
Dan dengan begitu pula imam2 Coan-cin-kau boleh dikatakan sudah menerima budi orang, menurut peraturan Kangouw lalu mereka tidak boleh bermusuhan lagi dengan Li Bok-chiu, tentu saja mereka hanya saling pandang dan tertawa getir belaka terus pulang ke Cong-lam-san.
Syukur Khu Ju-ki buru2 pulang lebih dahulu dan tidak mengiringi Ong Ju-it pesiar ke Thay-heng-san, karenanya pada saat yang sangat tepat telah berhasil menolong jiwanya Hek Tay-thong.
Kembali bercerita mengenai Siao-Iiong-li, sesudah pondong Yo Ko dan lain tangan merangkul mayat Sun-popoh, kembalilah mereka ke Hoat-su-jin-bong atau kuburan kuno itu.
Setelah Yo Ko diturunkan, mayat Sun-popoh direbahkan pada dipan yang biasa buat tidur, sedang Siao-liong-li sendiri dengan bertopang dagu duduk di kursi sambil ter-menung2.
Sebaliknya Yo Ko masih mengemblok di atas jenazah Sun-popoh dan masih menangis ter-guguk2.
“Orang sudah mati, untuk apa ditangisi ?” kata Siao-liong-li tiba2 sesudah agak lama Yo Ko tersedu-sedan, “Hari ini kau menangisi dia, kelak kalau kau sendiri mati, entah siapa yang akan menangisi kau ?”
Yo Ko tercengang oleh kata2 Siaonliong-Ii yang terlalu menusuk perasaan ini. Tapi bila dipikir lebih jauh, terasa ada betulnya juga, Karenanya ia menjadi makin berduka, tak tahan lagi ia menangis ter-gerung2.
Sama sekali hati Siao-liong-li tidak tergerak oleh tangisan anak itu, dengan sikap dingin saja ia menyaksikan Yo Ko menangis, mukanya sedikitpun tidak memberi sesuatu tanda perasaan.
“Marilah kita menanam mayatnya, ikutlah padaku !” katanya kemudian sesudah agak lama, Habis ini ia angkat mayat Sun-popoh dan menuju sebelah barat.
Lekas2 Yo Ko mengusap air matanya dengan baju, cepat ia ikut di belakang orang.
Di dalam kuburan itu tiada sinar terang sedikitpun terpaksa Yo Ko harus pentang matanya selebar mungkin, dengan begitu lapat2 baru dia bisa melihat bayangan baju Siao-liong-li yang putih itu.
Sesudah berjalan me-Iingkar2, belok sana dan tikung sini akhirnya Siao-liong-li membuka sebuah pintu batu yang kelihatannya sangat berat, kemudian mereka masuk ke dalam sebuah kamar batu yang sangat luas. Di sini Siao-liong-li mengeluarkan ketikan api dan menyalakan pelita minyak diatas meja batu.
Setelah ada sinar terang, segera Yo Ko memandang keadaan kamar besar ini, tetapi mau-tidak-mau ia rada bergidik oleh suasana yang seram, ia lihat ruangan yang begini besar ternyata kosong belaka tiada isi Iain kecuali beberapa buah peti mati dari batu yg berjajar di tengah ruangan.
Waktu Yo Ko memperhatikan ia lihat dua peti mati diantaranya tertutup rapat, sedang tiga peti lainnya tutupnya hanya dirapatkan separoh saja, dipandang dari jauh dalam peti kelihatan gelap, tidak diketahui di dalamnya ada mayat atau tidak.
“Cosu-popoh (kakek guru) tidur di dalam sini,” kata Siao-liong-li sambil menuding peti mati yang pertama, lalu ia tuding peti mati kedua dan sambung lagi: “Dan Suhu tidur di sini.”
Waktu Yo Ko lihat jari si nona menuding peti mati yang ketiga, hatinya menjadi ber-debar2, ia tidak tahu Siao-liong-li bakal bilang siapa yang tidur di situ, tapi ia lihat tutup peti itu belum dirapatkan, jika di dalamnya sudah ada isinya, bukankah itu sangat menakutkan ?
“Dan Sun-popoh tidur di sini,” demikian ia dengar Siao-liong-li menyambung lagi.
Karena kata2 inilah baru Yo Ko tahu bahwa peti mati itu memang kosong, diam2 ia merasa lega, Tetapi bila ia lihat di samping sana masih ada dua peti mati lagi yang kosong, tanpa terasa ia menjadi heran dan ingin mengetahui.
“Dan kedua peti yang itu, Liong-kokoh ?” tanyanya kemudian.
“Yang satu buat Suci (kakak seperguruan perempuan) Li Bok-chiu dan yang lain buat aku sendiri,” sahut Siao-liong-li.
Karena jawaban ini, seketika Yo Ko terkesima.
“Apakah Li Bok-chiu Kokoh akan kembali ke sini?” tanyanya.
“Kalau guruku sudah mengatur begini akhirnya dia pasti akan kembali,” kata Siao-liong-li. Dan sekarang ternyata masih kurang satu peti lagi, sebab guruku tidak pernah menduga kau akan datang ke sini.”
Keruan Yo Ko kaget oleh kata2 ini.
Tidak, aku tidak perlu !” sahutnya cepat.
“Aku sudah berjanji pada Sun-popoh untuk menjaga kau seumur hidup, kalau aku tidak meninggalkan tempat ini, dengan sendirinya kaupun tetap disini,” ujar Siao-liong-li.
Mendengar si nona berbicara soal mati-hidup orang seperti soal biasa saja, akhirnya Yo Ko juga tidak takut2 lagi.
“Seumpama kau tidak perbolehkan aku keluar, tapi kalau kau sudah mati, bukankah aku dapat keluar sendiri,” sahutnya kemudian.
“Kalau aku sudah bilang akan menjaga kau seumur hidup, sudah tentu aku tak akan mati lebih dulu dari pada kau,” kata Siao-liong-li
Keruan Yo Ko heran, “Mana bisa ?” ia debat “Bukankah umurmu lebih tua dari padaku ?”
“Ya, tapi sebelum aku mati pasti aku bunuh kau lebih dulu,” kata Siao-liong-li.
Namun meski usia Yo Ko masih kecil, nyata ia tidak kurang akal “Itu kan belum tentu bisa, aku punya kaki, memangnya aku tak bisa lari ?” demikian ia berpikir
Begitulah si Yo Ko ini, belum dia angkat guru pada Siao-liong-li, tapi diam2 ia sudah adu kepintaran dengan orang.
Sementara itu Siao-liong-li telah mendekati peti mati yang ketiga, ia dorong tutup peti ke belakang, ia angkat jenazah Sun-popoh dan hendak dimasukkan ke dalam peti.
Tiba2 Yo Ko ingat pesan Sun-popoh pada saat yang terakhir bahwa : “Baju kapas yang kupakai ini hendaklah kau simpan baik2, di…”
dan sebelum habis dikatakan atau orang tua itu sudah keburu putus napasnya, Kalau orang tua itu minta dirinya menyimpan baik2 baju kapas itu, mengingat perkenalan mereka yang baik, kalau disimpan sebagai tanda mata untuk hari kelak, sesungguhnya pantas juga.
“Kokoh, baju kapas Popoh itu ditinggalkan untukku saja,” serunya segera sambil menyerobot maju.
Sebenarnya Siao-liong-li tidak suka pada sifat2 insaniah yang menjemukan, ia lihat watak Yo Ko yang suka bergirang, marah2, menangis2 dan tertawa segala, meski belum ada satu hari berkenalan dengan Sun-popoh, tapi bocah ini sudah merasa begitu berat ditinggalkan orang tua itu, rasa Siao-liong-li menjadi muak, maka atas permintaannya tadi, ia mengkerut kening, namun tidak urung ia copot baju kapas itu dari badan Sun-popoh dan dilemparkan pada Yo Ko.
Setelah terima baju kapas itu, karena terharunya kembali Yo Ko mewek2 hendak menangis lagi. Tetapi Siao-liong-li telah melototinya, lalu ia masukkan mayat Sun-popoh ke dalam peti ia tarik penutup petinya, maka terdengarlah suara yang keras, tutup peti mati itu telah menutup dengan rapat sekali.
Karena merasa sebal kalau2 Yo Ko menangis lagi, maka tanpa pandang sedikitpun pada bocah ini segera Siao-liong-li mengajak: “Mari keluar !”
Berbareng itu ia kebaskan lengan bajunya, empat pelita minyak di dalam kamar itu sekaligus tersirap, keadaan seketika menjadi gelap guIita, Oleh karena kuatir kalau dirinya akan dikurung di kamar peti mati itu, lekas2 Yo Ko membawa baju kapas Sun-popoh itu terus ikut keluar.
Tinggal di dalam kuburan kuno yang bagaikan istana di bawah tanah itu, hakikatnya tidak diketahui dan tak dapat membedakan siang atau malam, Tetapi sesudah sibuk setengah harian, kedua orang sudah merasa letih, maka Siao-liong-li suruh Yo Ko tidur ke kamar Sun-popoh saja.
Sejak kecil Yo Ko terluntang-luntung di kalangan Kangouw seorang diri, sering ia harus menginap di kelenteng bobrok di hutan yang sunyi maka nyalinya sebenarnya sudah terlatih sangat berani Tetapi aneh, sejak melihat peti mati batu tadi dan sekarang diharuskan tidur sendirian, entah mengapa ia menjadi merasa takut tak terhingga.
Oleh karena itu, meski Siao-liong-li sudah mengulangi kata2nya menyuruh dia pergi tidur, dia masih tetap menjublek saja.
“Kau dengar tidak perkataanku ? Apa kau tuli ?” bentak Siao-liong-li menjadi gemas.
“Aku takut,” sahut Yo Ko.
“Takut apa ?” tanya Siao-liong-li.
“Entah, tapi aku tak berani tidur sendirian,” kata Yo Ko.
Melihat wajah anak ini memang takut, dalam hati Siao-liong-li pikir umur anak ini masih kecil, tidaklah perlu harus menghindarkan peraturan pemisahan antara 1aki2 dan wanita, Karenanya dengan menghela napas kemudian ia berkata : “Baik-lah, kau tidur sekamar dengan aku.”
Lalu ia bawa Yo Ko ke kamar tidurnya sendiri.
Siao-liong-li sudah biasa hidup dalam kegelapan selamanya dia tidak perlu menyalakan pelita atau lilin, tetapi sekarang sepesial ia menyulut satu lilin untuk Yo Ko.
Waktu melihat wajah Siao-liong-li yang begitu cantik ayu tiada bandingannya, pula baju yang dia pakai putih bersih seperti salju tanpa debu sedikitpun semula Yo Ko menyangka kamar si gadis ini tentunya teratur dengan indah sekali.
Tak terduga, begitu ia memasuki kamar orang, seketika ia merasa kecawa, Kiranya kamar Siao-liong-li kosong melompong tanpa sesuatu pajangan, serupa saja keadaannya dengan kamar peti mati tadi.
Di dalam kamar hanya terdapat satu lonjor batu hijau yang digunakan sebagai ranjang, di atas ranjang ini tergelar selembar tikar dan terdapat pula selapis kain sutera putih yang rupanya dipakai sebagai selimut. Kecuali itu tiada sesuatu benda lain yang dilihatnya.
“Entah aku harus tidur di mana ? Mungkin dia akan suruh aku tidur di lantai”, demikian Yo Ko membatin.
“Kau tidur saja di ranjangku,” tiba-tiba ia dengar Siaoliong-li berkata padanya.
“Itu tidak baik, biar saja aku tidur di lantai.” sahut Yo Ko.
Tak terduga, tiba2 Siao-liong-li menarik muka oleh jawabannya itu.
“Kurangajar, berani kau mernbangkang,” damperatnya.. “Aku adalah gurumu, apa yang kukatakan kau harus menurut, tahu ? Kau berani berkelahi melawan gurumu dari Coan-cin-kau itu, hal itu masa bodoh, Tetapi lain, kalau kau berani membangkang perintahku segera juga kucabut nyawamu !”
“Tak perlu kau begini galak, akan kuturut saja semua perkataanmu ” demikian Yo Ko menyahut.
“Berani kau adu mulut ?” bentak Siao liong-li.
Namun si Yo Ko memang anak bandel, ia lihat wajah Siao-liong-li sangat cantik dan usianya muda, sedikitpun tidak mirip seorang “Suhu”, karenanya ia melelet-lelet lidah atas bentakan tadi, habis ini ia diam saja.
Sudah tentu kelakuannya ini dapat dilihat Siao-liong-li,
“Kenapa kau melelet lidah ? Kau tak terima bukan ?” damperatnya lagi.
Yo Ko tak berani menjawab sekali ini, ia copot sepatunya terus naik ke atas ranjang buat tidur
Tetapi baru saja ia merebah, tiba-tiba terasa olehnya hawa sedingin es yang merasuk tulang, saking kagetnya sampai ia meloncat turun dengan kaki telanjang.
Nampak kelakuan Yo Ko yang lucu ini, sungguhpun Siao-liong-li tidak pernah mengunjuk sesuatu tanda perasaannya, tidak urung hampir2 saja ia mengeluarkan suara tertawa geli.
“Ada apa ?” ia coba tegur dengan menahan gelinya.
Namun Yo Ko memang terlalu cerdik, sekilas saja ia sudah melihat ada tanda2 tertawa pada wajah Siao-liong-li. Oleh karenanya ia tidak menjadi takut oleh teguran itu, bahkan ia tertawa sendiri.
“Di atas ranjang ini ada apa2nya yang aneh, kiranya engkau sengaja mempermainkan aku,” demikian jawabnya.
“Siapa mempermainkan kau. Memang beginilah ranjang ini, lekas kau naik lagi dan tidur,” kata Siao-liong-li dengan sungguh2. Habis ini ia sengaja ambil kemoceng (bulu ayam) dari belakang pintu, dengan alat ini ia lantas mengancam: “lni jika kau berani merosot turun lagi, rasakan nanti, sepuluh kali sabetanku !”
Sekali lompat dengan enteng Siao-liong-li merebahkan diri diatas tali kecil yang dianggapnya seperti ranjang empuk
Sudah tentu tak terbilang kagum Yo Ko oleh kepandaian yang luar biasa ini.
Melihat sigadis berlaku sungguh2, terpaksa Yo Ko naik ke atas ranjang batu dan tidur lagi.
Sekali ini Siao-liong-Ii sengaja menyingkirkan baju kapas tinggalan Sun-popoh, ia pindahkan ke tempat yang tak dapat dijamah tangan Yo Ko.
Sebaliknya karena pengalaman tadi, sekali ini Yo Ko tidak terkaget lagi, ia rebah diatas ranjang batu yang dingin itu.
Akan tetapi ranjang itu sama saja seperti balok es yang maha dingin, semakin tidur rasanya semakin dingin, sampai akhirnya saking tak tahan seluruh tubuh Yo Ko jadi gemetar, ia menggigil kedinginan hingga kedua baris giginya gemerutuk.
Tak lama, hawa dingin ranjang batu itu semakin men-jadi2 serasa meresap kedalam tulang sungsum, sungguh ia tak tahan lebih lama lagi.
Ketika Yo Ko melirik Siao-liong-li, ia lihat wajah nona itu mengunjuk senyum, tapi bukan senyum, terhadap penderitaannya itu se-akan2 merasa senang dan bersyukur. Diam2 Yo Ko mendongkol Tetapi ia masih berusaha melawan rasa dingin yang menembus keluar dari ranjang batu itu dengan sepenuh tenaganya.
Sementara ia lihat Siao-liong-li telah keluarkan seutas tali sebelah ujung tali ia ikat pada sebuah paku yang menancap di dinding sebelah timur, lalu tali ini ditarik dan diikat kencang pada paku yang berada di dinding sebelah barat.
Tali yang dipasang ini kira2 setinggi manusia, dengan sekali lompatan enteng Siao-liong-li telah merebah di atas talu tali itu dianggapnya sebagai ranjang saja, Bahkan berbareng lompatannya tadi, sekali ayun tangannya, dengan angin pukulannya ia sirapkan api lilin.
Sungguh tidak terbilang kagumnya Yo Ko oleh kepandaian orang yang luar biasa itu.
“Kokoh, maukah kau mengajarkan kepandaian seperti itu kepadaku besok ?” dalam kegelapan ia coba tanya si nona.
“Hm, terhitung apa kepandaian semacam ini ?” jengek Siao-liong-li. “Asal kau belajar dengan baik, masih banyak lagi kepandaian yang jauh lebih lihay yang akan kuajarkan padamu.”
Tabiat Yo Ko meski nakal tetapi sangat ter-guncang perasaannya demi mendengar Siao-liong-li dengan sungguh2 akan diajarkan kepandaian pada-nya, tanpa terasa ia menjadi tunduk dengan sepenuh hati, perasaan mengkalnya tadi seluruhnya dia lemparkan ke-awang2, dalam rasa terima kasihnya itu, saking terharunya ia mengucurkan air mata.
“Kokoh, kau begini baik terhadapku, tapi tadi aku malah benci padamu,” demikian katanya dengan suara berat
“ltu tidak perlu dibuat heran,” sahut Siao-liong-Ii, “Aku telah usir kau, sudah tentu kau benci padaku.”
“Tetapi soalnya bukan itu,” kata Yo Ko, “Semula aku mengira kau sama saja seperti guruku yang lalu, hanya mengajarkan segala kepandaian yang tak berguna.”
Mendengar bocah itu berkata sembari menggigil kedinginan tiba2 Siao-liong-li menanya: “Dinginkah kau ?”
“Ya, dingin sekali,” sahut Yo Ko, “Di bawah ranjang ini ada apa2 yang aneh, mengapa begini hebat rasa dinginnya ?”
“Kau suka tidur di situ tidak ?” tanya Siao-liong-li pula.
“Aku… aku tak suka,” sahut Yo Ko ragu2.
“Huh, kau tak suka ?” jengek Siao-liong-li, “Ketahuilah bahwa entah ada berapa banyak to-koh2 Bu-lim di seluruh jagat ini yang justru ingin meniduri ranjang ini, tetapi tak pernah kesanpaian cita-citanya.”
“Aneh, bukankah itu berarti cari siksaan belaka ?” ujar Yo Ko heran.
“Hm, siksaan ?” jengek Siao-liong-Ii, “Kira-nya aku sayang dan kasihan padamu, tetapi kau malah anggap tersiksa, sungguh tidak kenal kebaikan orang.”
Mendengar lagu suaranya agaknya memang tidak bermaksud jelek dengan menyuruh dirinya tidur di atas ranjang dingin ini, maka Yo Ko lantas memohon dengan suara lunak.
“Kokoh yang baik, apakah paedahnya ranjang dingin ini, maukah kau menerangkannya padaku ?”
“Kau harus tidur seumur hidup di atas ranjang ini, faedahnya pasti akan kau ketahui kelak”, sahut Siao-liong-li “Nah, sekarang pejamkan matamu dan tak boleh bicara Iagi”
Dalam kegelapan lalu terdengar suara gemerisik yang pelahan sekali dari baju sutera yang dipakainya, agaknya Siao-liong-li telah membalik tubuh, Sungguh sukar dimengerti padahal hanya tidur di atas seutas tali yang terapung diudara, tetapi bisa membalik tubuh sesukanya.
Karena kata2 terachir tadi yang bernada keren, maka Yo Ko tak berani bertanya lagi, betul juga ia lantas pejamkan mata untuk tidur, Akan tetapi hawa dingin yang menghembus keluar dari bagian bawah terus-meneras menyerang, mana bisa ia terpuIas.
Lama kelamaan, tak sangguplah Yo Ko bertahan pula.
“Kokoh, aku tak tahan lagi,” dengan suara pelahan ia memanggil
Namun suara pernapasan Siao-Iiong-li lapat terdengar agaknya sinona sudah tertidur.
Kembali Yo Ko memanggil dua kali lagi dengan pelahan dan tetap tiada jawaban, “Biarlah aku turun ke bawah sebentar, tentu dia takkan tahu,” demikian ia pikir.
Maka dengan pelahan2 ia merosot turun ke pinggir ranjang, ia berlaku hati2 sekali dengan menahan napas agar tidak mengeluarkan suara.
Siapa tahu, baru saja ia menginjak lantai se-konyong2 terdengar suara gemerisik yang sangat pelahan, tahu2 Siao-liong-li sudah melompat turun dari atas talinya, sekali cekal tangan kiri Yo Ko telah dipegangnya terus ditelikung ke belakang, bahkan ia digusur ke atas tanah.
Karena tindakan tiba2 ini, Yo Ko menjerit kaget tetapi sehabis ini ia lantas bungkam dalam segala bahasa.
Sementara itu Siao-liong-li telah angkat kemocengnya, dengan keras ia sabet pantat Yo Ko.
Yo Ko tahu percuma saja meski minta ampun, oleh karena itu dengan mengertak gigi kencang2 ia menahan rasa sakit sabetan kemoceng orang, Luar biasa sakitnya lima kali sabetan yang pertama, tetapi pada sabetan ke-enam kalinya, Siao-liong-li turunkan tangannya dengan enteng saja, sampai dua kali yang terakhir, kuatir Yo Ko tak tahan gebukannya, ia memukul terlebih pelahan lagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar