Kembalinya Pendekar Rajawali 14
Terpikir
pula olehnya bahwa imam itu meski jahat, tapi dosanya masih belum perlu harus
sampai mati, kalau madu tawon ini tidak diminum, tentu luka antupan tawon yang
dideritanya itu sukar sembuh kembali.
Karena
pikiran ini, dengan tangan kiri pondong Yo Ko, lalu berangkatlah dia menuju ke
Tiong-yang-kiong.
Tatkala
itu sebagian Tiong-yang-kiong sudah diperbaiki, walaupun hanya sebagian kecil
saja yang pulih dan jauh sekali kalau dibandingkan dengan kemegahan yang dulu,
namun sedikitnya sudah ada rumah genting dan kamar papan.
Sementara
itu demi mengetahui dirinya dibawa Sun-popoh ke Tiong-yang-kiong pula, Yo Ko
menjadi kaget.
“He,
Popoh, untuk apalagi kau ke sana ?” tanyanya cepat dengan suara pelahan.
“Antar
obat untuk gurumu,” sahut Sun-popoh.
Dalam
pada itu, Tiong-yang-kiong yang dituju sudah berada di depan mereka, Sesudah
dekat, segera Sun-popoh melompat ke atas pagar tembok, dari sini ia hendak
melompat turun ke pelataran bagian dalam.
Tetapi
sebelum ia melompat turun, mendadak suasana gelap dan sunyi itu digemparkan
oleh bunyi genta yang keras dan ramai, menyusul dari jauh maupun dekat hanya
terdengar suara suitan belaka.
Dengan
kejadian mendadak ini, insaflah Sun-popoh kalau dirinya telah terjebak ke dalam
kepungan musuh, sungguhpun ilmu silatnya tinggi dan nyalinya besar, namun tidak
urung ia merasa jeri juga.
Harus
diketahui bahwa Coan-cin-kau adalah satu aliran persilatan terbesar dikalangan
Bu-lim, penjagaan yang dilakukan ditempat mereka ini biasanya sangat keras,
apalagi beberapa hari paling belakang ini selalu ada orang datang mencari
setori, sudah tentu penjagaan semakin diperkuat dan dimanapun terdapat orang.
Kini
ada orang melompati pagar tembok mereka, seketika juga genta dibunyikan sebagai
tanda bahaya, Dengan tanda ini, bukan saja semua anak murid Coan-cin-kau yang
berada di dalam istana lantas keluar memapak musuh dalam berbagai kelompok,
bahkan tidak sedikit pula para imam yang menyebar jauh keluar, pertama2 untuk
mengepung musuh yang berani menyerbu tempat mereka, kedua untuk merintangi bala
bantuan musuh yang datang belakangan.
Begitulah
demi nampak suasana yang berobah menjadi hebat ini, mau-tak-mau Sun-popoh
merasa kebat-kebit juga.
“Hai,
Thio Ci-keng, lekas keluar, aku ingin bicara dengan kau,” demikian ia lantas
berteriak.
Akan
tetapi Ci-keng sendiri tidak muncul, sebaliknya dari pendopo tengah sana tiba2
keluar satu imam setengah umur.
“Malam
buta cianpwe berani masuk ke kuil kami, sebenarnya apakah maksud tujuannya ?”
segera imam itu menegur.
“lni
buat Thio Ci-keng, ini adalah obat penawar racunnya sengatan tawon,” sahut
Sun-popoh, Berbareng ini, ia lemparkan botol madu tawon pada orang.
Imam
itu ulur tangannya menyambut botol kecil yang dilemparkan itu, tetapi ia
setengah percaya setengah sangsi, “Untuk apa ia berlaku begini baik hati, tadi
sudah melukai orang, sekarang berbalik mengantarkan obat ?” demikian ia
berpikir.
“Obat
apakah ini ?” kemudian ia tanya dengan suara keras.
“Tak
perlu tanya, asal kaiu minumkan dia seluruh isinya, tentu kau akan lihat
chasiatnya,” sahut Sun-popoh.
“Tetapi
darimana aku bisa tahu kau bermaksud baik atau bertujuan jahat, dan bagaimana
pula aku tahu ini betul2 obat penawan racun atau racun malah, Thio-suheng sudah
kau aniaya begitu rupa, kenapa sekarang kau berbalik berbaik hati hendak
menolongnya ?” kata imam itu dengan curig.,
Dasar
watak Sun-popoh memang tulus, mendengar orang mencurigai maksud baiknya, bahkan
kata2nya tidak enak didengar, keruan api amarahnya tidak bisa ditahan lagi,
Tiba2 ia letakkan Yo Ko ke bawah, habis ini dengan sekali lompat ia mendekati
orang, begitu tangannya meraih secepat kilat botol madu tawon tadi telah
direbutnya kembali.
“Buka
mulutmu !” tiba2 ia berkata pada Yo Ko sambil mencopot tutup botol.
Yo
Ko menjadi bingung oleh perintah orang yang mendadak ini, tetapi ia menurut
juga dan mengangakan mulutnya.
Waktu
Sun-popoh baliki botol madu tawon itu, maka tertuanglah seluruh isi botol itu
ketenggorokan Yo Ko.
“Nah,
enak bukan, mendingan daripada dicurigai orang sebagai racun,” demikian katanya
mencemooh imam itu. “Ko-ji, mari kita pergi!”
Lalu
dengan menarik tangan Yo Ko segera ia mendekati pinggir pagar tembok.
Rupanya
imam tadi dari merasa malu berobah menjadi gusar, diam2 iapun menyesalkan dirinya
yang seharusnya jangan banyak curigai. Kini tampaknya obat yang diantar orang
ternyata memang betul2 obat pemunah, kalau Thio Ci-keng tidak tertolong oleh
obat yang jitu, mungkin sukar untuk bertahan sampai besok.
Oleh
karena kuatirnya itu, segera ia melompat ke atas dan mencegat didepan orang
sambil pentang kedua tangannya, “Locianpwe, kenapa kau harus marah2 padaku, aku
hanya berkata main2 saja, tapi kau anggap sungguhan,” demikian ia coba membujuk
“Jika memang betul obat penawar, maka mohonlah engkau suka berikan sekarang.”
Akan
tetapi Sun-popoh sudah terlanjur menjadi sengit, ia benci pada lidah orang yang
tak bertulang, putar balik tidak menentu, maka ia menjawab dengan tertawa
dingin.
“Obat
tadi sayang hanya ada sebotol saja, ingin lebih banyak sudah tidak ada lagi.
Hitung2 nyawa Thio Ci-keng melayang di tanganmu sendiri”. demikian kata
Sun-popoh, berbareng ia baliki sebelah tangannya terus tambahi orang dengan
sekali tempelengan sambil membentak: “Kau tidak menghormati kaum Cianpwe, kau
inilah yang harus dihajar adat!”
Pukulan
ini begitu aneh gerakannya dan cepat pula, ternyata imam itu tak mampu
berkelit, maka terdengarlah suara “plak” yang keras, dengan tepat sebelah
pipinya kena ditampar.
Melihat
kawan mereka dihantam, dua imam lain yang menjaga dipinggir pintu menjadi
gusar. “Seumpama betul kau adalah kaum Cianpwe, mana boleh kau berlaku tidak
se-mena2 di Tiong-yang-kiong !” bentak mereka berbareng, Habis ini, yang satu
memukul dengan tangan kiri dan yang lain dengan tangan kanan, bersama2 mereka
menyerang dari samping.
Sun-popoh
sudah pernah kenal lihaynya Pak-tau-tin dari Coan-cin-kau, maka ia tak berani
terlibat dalam pertempuran dengan mereka, apa lagi kini dirinya sudah masuk
“sarang harimau”, tentu saja ia lebih perlu pakai perhitungan, maka dengan
sekali loncat segera ia melompat ke atas tembok yang lebih tinggi.
Tampaknya
diatas tembok sana tiada seorangpun siapa duga, baru saja ia hendak tancapkan
kaki di atas sana, mendadak dari sebelah luar seorang lain meloncat naik
memapaki padanya.
“Turun
saja !” bentak orang itu sambil kedua telapak tangannya mendorong dari depan.
Waktu
itu Sun-popoh sedang terapung di udara, terpaksa dengan tangan kanan ia balas
dorongan orang itu, karenanya satu tangan lantas saling bentur dengan dua
tangan, masing2 sama tergetar mundur dan turun ke bawah kedua sisi tembok.
Nampak
penyatron terjatuh kembali, segera ada enam atau tujuh imam mengerubut maju
dengan teriakan ramai mereka desak Sun-popoh sampai dipojok dinding.
Para
imam ini adalah jago pilihan murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, tampaknya
mereka memang sengaja dipilih untuk menjaga pendopo besar kuil mereka, maka
dalam sekejap saja secara bergantian, seperti ombak saja secara bergelombang
mereka merangsak maju beberapa kali.
Sun-popoh
terpepet dipojok tembok, ia bermaksud tarik Yo Ko buat menerjang keluar, tetapi
barisan telah dipasang kuat oleh para imam itu tetap menahan dia ditempatnya,
sudah beberapa kali Sun-popoh berusaha menerjang lagi, tetapi selalu didesak
mundur kembali
Sebenarnya
kalau Sun-popoh seorang diri saja, maka kepandaian para imam ini sekaH2 tidak
nanti bisa merintanginya, cuma sekarang ia harus membagi perhatiannya untuk
melindungi Yo Ko, maka ilmu kepandaiannya menjadi tak bisa dikeluarkan
seluruhnya.
Sesudah
belasan jurus lagi, Thio Ci-kong, adik, seperguruan Thio Ci-keng, yang
ditugaskan mengepalai penjagaan pendopo depan, ketika mengetahui lawan sudah
tak berdaya lagi, segera ia memberi perintah menyalakan api lilin.
Sejenak
kemudian tertampaklah belasan lilin raksasa telah menyala terang diseluruh
ruangan pendopo itu, muka Sun-popoh yang tersorot api lilin itu ter-tampak
pucat seram, mukanya yang memang jelek kini kelihatannya lebih menakutkan lagi.
“Jaga
rapat dan berhenti dulu menyerang,” tiba2 Thio Ci-kong berseru.
Karena
itu, ketujuh imam yang mengerubuti Sun-popoh tadi segera melompat mundur ke
belakang, tetapi mereka masih bersiap dan menjaga di tempat masing2 dengan
kuat.
Sun-popoh
menarik napas lega sesudah kepungan musuh menjadi kendur.
“Hm,
nama Coan-cin-kau yang disegani di seluruh jagat nyata bukan omong kosong
belaka,” demikian ia masih mengejek “Coba, belasan orang muda kuat bersama
mengerubuti seorang nenek yang loyo dan seorang anak kecil, hm, hm, sungguh
lihay, sungguh hebat !”
Muka
Thio Ci-kong menjadi merah oleh ejekan orang.
“Kami
tidak pandang apa kau orang tua atau dia anak kecil,” demikian ia coba
menjawab, “kami hanya ingin menangkap penyatron yang berani terobosan di
Tiong-yang-kiong kami, baik kau nenek2 ataupun laki2 sejati, kalau sudah berani
masuk ke sini dengan tubuh tegak, maka sedikitnya harus keluar dengan tubuh
membungkuk
“Hm,
apa artinya tubuh membungkuk ?” sahut Sun-popoh dengan tertawa dingin, “Apa kau
maksudkan nenekmu yang tua ini harus merangkak keluar dari sini, ya bukan ?”
Ci-kong
tadi telah merasakan tempelengan orang tua ini dan sampai sekarang masih terasa
sakit, sudah tentu dia tidak mau selesai dengan begitu saja.
“Jika
kau ingin pergi bebas, itupun tidak sukar, asal kau mau turut tiga syarat
kami,” demikian katanya kemudian, “Pertama, kau telah melepaskan tawon dan
mencelakai Thio-suheng, maka obat penawarnya tadi harus kau tinggalkan. Kedua,
anak ini adalah murid Coan-cin-kau, kalau tidak mendapat idzin Cosuya, mana
boleh dia melepaskan diri dari ikatan perguruan secara gampang, maka dia harus
kau tinggalkan juga di sini. Dan ketiga, kau telah berani menerobos masuk ke
Tiong-yang-kiong, kau harus menjura di depan “pemujaan Tiong-yang Cosu untuk
minta maaf.”
“Hahahaaa,”
tiba2 Sun-popoh menjawab dengan gelak-ketawanya, “Memang sudah sejak dulu aku
katakan pada Siao-liong-li kami bahwa para imam Coan-cin-kau tiada satupun yang
berguna, nah, buktinya apa sekarang, kapan perkataan nenekmu pernah salah? -
Baiklah, segera aku berlutut dan menjura minta maaf padamu.”
Sambil
berkata, betul juga ia lantas membungkuk hendak berlutut
Tindakan
orang tua ini justru sama sekali tak diduga Thio Ci-kong sebelumnya, karena itu
ia menjadi tertegun, sementara ia lihat Sun-popoh betul2 telah bertekuk lutut
dan pada saat itu juga, se-konyong2 berkelebatlah sinar mengkilap, tahu2 sebuah
Am-gi atau senjata rahasia menyam-ber ke arahnya.
“Haya
!” teriak Ci-kong saking kaget. Lekas juga ia hendak berkelit, akan tetapi
menyamber-nya Am-gi itu ternyata secepat kilat, tidak ampun lagi tepat menancap
di pundak kirinya.
Kiranya
itu adalah sebuah anak panah kecil yang terpasang di punggung di dalam baju,
asal orangnya menundukan kepalanya, maka anak panah itu lantas menjeplak dan
menyamber keluar dengan cepat hingga sukar untuk menghindarinya.
Untung
Sun-popoh tiada maksud hendak mengarah jiwanya, maka orang tua itu sengaja
bikin menceng tempat yang dia incar, ia tidak arahkan tenggorokan melainkan
menancap di pundak lawan.
Nampak
Ci-kong terkena senjata orang, para imam yang lain menjadi kaget tercampur
gusar, segera mereka membentak lalu serentak pula menghunus senjata mereka.
Semua
Imam Coan-cin-kau biasanya memakai senjata pedang, oleh sebab itu sesaat di
seluruh pelataran hanya tertampak sinar pedang belaka yang kemilauan.
Tapi
Sun-popoh hanya berdiri dengan tenang saja sambil bersenyum dingin, dalam hati
ia insaf juga bahwa urusan hari ini tentu akan runyam, tapi dasar wataknya
memang keras, seperti jahe saja, semakin tua semakin pedas, maka tak nanti ia
sudi menyerah pada orang.
“Kau
takut tidak, nak ?” tiba2 ia berpaling menanya Yo Ko.
Nampak
pedang para imam yang begitu banyak, diam2 Yo Ko sedang berpikir: “Jika
Kwe-pepek yang berada di sini, lebih banyak lagi imam2 busuk ini tidak nanti
aku takut Tetapi kini hanya mengandalkan kepandaian Sun-popoh saja, terang kami
berdua tak akan bisa meloloskan diri.”
Maka
waktu ditanya Sun-popoh, dengan suara keras ia segera menjawab: “Popoh, biarkan
mereka membunuh diriku saja, Urusan ini tiada sangkut pautnya dengan engkau,
lekas engkau pergi saja dari sini.”
Mendengar
kata2 anak yang kepala batu ini, pula selalu memikirkan keselamatan dirinya,
keruan Sun-popoh semakin sayang dan kasihan pada Yo Ko.
“Tidak,
biar Popoh ikut bersama kau mati di sini, supaya para imam busuk ini merasa
puas,” demikian jawabnya dengan suara lantang.
Habis
ini, mendadak ia membentak sekali: “Kena !” Se-konyong2 ia ulur tangannya,
pergelangan tangan dua imam segera kena di cekalnya, waktu ia menekuk dan
memuntir tangan orang, tahu2 kedua pedang imam2 itu sudah berpindah tangan,
telah kena direbut Sun-popoh.
“Kau
berani tidak melabrak imam2 busuk ini, nak ?” tanya Sun-popoh sambil memberikan
sebatang pedang rampasannya itu kepada Yo Ko.
“Sudah
tentu aku tak takut,” sahut Yo Ko. “Cuma sayang di sini tiada orang luar yang
menyaksikan kejadian ini.”
“Orang
luar apa ?” tanya Sun-popoh tak mengerti.
“Bukankah
nama Coan-cin-kau tiada bandingannya di seluruh jagat ini ?” kata Yo Ko. “Kalau
cara mereka menghina dan mengeroyok seorang nenek dan satu anak kecil seperti
sekarang ini tiada orang luar yang menyiarkan kejadian ini, bukankah sangat
sayang ?”
Nyata
meski usia Yo Ko masih muda, tetapi ia sangat cerdik, tadi ia mendengar
Sun-popoh adu mulut dengan Thio Ci-kong, segera ia tahu di mana letaknya titik
berat perdebatan mereka, maka dengan sengaja ia mengolok-olok nama baik
Coan-cin-kau. suaranya memangnya nyaring dan melengking sebagaimana suara
anak2, maka kata2-nya tadi semuanya dapat didengar para imam yang berada
dipendopo itu hingga ada sebagian besar merasa malu diri oleh sindiran itu,
mereka pikir kalau harus mengeroyok seorang nenek dan seorang anak,
sesungguhnya hal ini memang tidak patut.
“Biar
aku pergi melaporkan pada Ciangkau Cosu (guru besar pejabat ketua) dan minta
petunjuknya,” segera terdengar ada diantara mereka yang berbisik2.
Akan
tetapi Thio Ci-kong ternyata berpikir lain, ia sudah terluka oleh Am-gi di
pundaknya, ketika anak panah hendak dia cabut, tiba2 dapat diketahui bahwa
ujung anak panah itu ternyata berujung pancing yang membalik, kalau sudah
nancap, semakin hendak dicabut semakin terasa sakit pula.
Karenanya
ia menjadi kuatir kalau anak panah itu berbisa, ia pikir kalau tidak menawan
wanita tua ini dulu dan menggeledah obat pemunahnya, mungkin jiwaku bisa
melayang.
“Tidak,
tangkap dia lebih dulu, kemudian baru lapor Ciangkau Cosu dan minta keputusan-nya,”
begitulah dengan cepat ia mencegah, Lalu dengan suara keras ia membentak lagi:
“Hayo, para Sute,maju bersama dan tawan dia !”
Akibat
pikiran Thio Ci-kong yang sesat inilah, kelak terlalu menimbulkan banyak
peristiwa2, sebab tatkala itu Ma Giok sendiri sedang bertapa disuatu gubuk yang
didirikan di atas bukit di belakang Tiong-yang-kiong yang jauhnya belasan li,
maka semua urusan keagamaan telah diserahkan pada In Ci-peng. Apabila Ma Giok
sendiri tahu Sun-popoh menerjang masuk istana mereka itu, tentu ia selesaikan
urusan itu dengan kata halus dan mencegah anak muridnya berbuat kurang hormat
pada orang tua.
Tetapi
sayang ia tidak keburu mendapat tahu, sedang Hek Tay-thong yang waktu jtu
berada di Tiong-yang-kong, karena tabiatnya juga keras, maka terjadilah drama
yang membawa ekor panjang ini.
Begitulah,
sementara para imam digerakan Thio Ci-kong mengerubut maju, lambat laun jaring2
Pak-tau-tin mereka mulai sempit, tampaknya dengan segera Sun-popoh akan
tertawan hidup2 oleh mereka. Tak terduga, meski tujuh imam itu mendesak sampai
jarak antara tiga langkah lagi dari orang tua ini, namun Sun-popoh masih bisa
menjaga diri dengan rapat luar biasa, bagaimanapun mereka menyerang tetap tak
mampu maju lebih dekat lagi.
Kalau
Pak-tau-tin ini langsung dipimpin Thio Ci-kong sendiri dan ikut bergerak
sebenarnya masih bisa banyak berubah pula siasat mengepungnya, tapi karena
Ci-kong terluka pundaknya, ia kuatir anak panah itu berbisa, kalau dia
bergerak, mungkin bekerjanya racun akan bertambah cepat, maka dia hanya berdiri
disamping sambil memberi pe-tunjuk2 saja, dan karena dia sendiri tidak maju.
Dengan sendirinya daya tekanan barisan bintang2 pereka menjadi kurang kuat.
Begitulah
sesudah lama masih belum bisa kalahkan orang, pelahan para imam itu menjadi kelabakan
sendiri. Dalam pada itu mendadak terdengar Sun-popoh menggertak sekali, tiba2
ia lemparkan pedang di tangannya terus menyerobot maju selangkah, tahu2 ia
menerobos di bawah sinar pedang dan secepat kilat berhasil menjamberet dada
seorang imam muda, berbareng imam itu ia angkat pula.
“lmam
busuk, sekarang kalian mau beri jalan atau tidak ?” teriak Sun-popoh murka.
Karena
kawannya tertawan secara tak ter-duga2, maka seketika imam2 yang lain jadi
tertegun. Tetapi pada saat itu juga tiba2 dari belakang imam2 Coan-cin-kau itu
menyerobot kelus satu orang, sekali geraki tangannya, dengan Kim na-jiu-hoat
(ilmu cara mencekal dan menangkap mendadak ia menyanggah lengan Sun-popoh,
sebelum Sun-popoh bisa melihat jelas rupa orang yang datang mendadak ini atau sudah
terasa olehnya pergelangan tangan menjadi pegal linu, tahu imam muda yang dia
tawan tadi kena direbu orang itu, menyusul lagi segera ada angin santa
menyamber dari depan, nyata orang itu telah menambahkan sekali pukulan yang
mengarah ke muka Sun-popoh.
“Cepat
benar gerak pukulan orang ini,” diami Sun-popoh membatin, Oleh karenanya
secepat kilai pula ia balas dengan pukulan juga.
Kedua
telapak tangan saling bentur hingga bersuara, nyata Sun-popoh sendiri tergetar
mundur setindak.
Orang
itu hanya tergetar mundur juga, tetapi hanya menggeser sedikit saja, habis ini,
pukulan kedua kalinya segera dikirim lagi tanpa berhenti dahulu.
Seperti
tadi, kembali Sun -popoh angkat tangannya menangkis, dan karena saling
beradunya tangan, kembali Sun-popoh tergetar mundur setindak pula, sebaliknya
orang itu malah bisa melangkah maju sedikit, lalu disusul lagi dengan pukulan
yang ketiganya.
Demikianlah
secara susul-menyusul dan satu lebih cepat dari yang lain, ber-runtun2 orang
itu menyerang tiga kali, dan Sun-popoh beruntun terdesak mundur tiga tindak,
karenanya orang tua ini sempat memandang wajah penyerangnyai ketika pukulan
keempat kalinya dilontarkan orang itu pula, kini Sun-popoh sudah membelakangi
tembok, ia sudah kepepet dan tiada jalan mundur lagi.
Tetapi
pukulan sekali ini tidak penuh dikeluarkan oleh orang itu, begitu saling tempel
dengan tangan Sun-popoh yang menangkisnya segera dengan suara lantang ia
bersuara: “Popoh, hendaklah kau memberikan obat penawarnya dan tinggalkan anak
ini saja !”
Waktu
Sun-popoh menegasi maka tertampaklah olehnya orang ini rambut alisnya sudah
putih semua, air mukanya kuning hangus, siapa lagi dia kalau bukan Hek
Tay-thong yang siang harinya telah usir tawonnya dengan asap obor itu.
Sun-popoh
menyadari kepandaian dan keuletan imam tua ini masih di atas dirinya, jika
tenaga pukulan ke-empat kalinya ini dilontarkan penuh, mungkin dirinya tidak
kuat menahan lagi, Akan tetapi wataknya yang keras itu tidak meng-idzinkan dia
menyerah mentah2.
“Kau
ingin aku tinggalkan bocah ini, untuk itu harus kau bunuh nenekmu dahulu,”
demikian ia membentak.
Hek
Tay-thong tahu orang tua ini mempunyai hubungan baik dengan mendiang gurunya,
maka dia tak ingin mencelakainya, tenaga pukulannya masih dia tahan dan tidak
dilontarkan.
“Kita
bertetangga selama puluhan tahun, untuk apa harus cekcok oleh karena satu anak
kecil saja ?” ia berkata dengan halus.
Akan
tetapi Sun-popoh ternyata tidak gampang diajak berunding.
“Hm,”
demikian jawabnya dengan menjengek, “memangnya aku datang kesini dengan maksud
baik mengantar obat, jika tak percaya kau boleh tanya anak muridmu, apa aku
bohong tidak ?”
Karena
keterangan ini, segera Hek Tay-thong hendak menoleh buat bertanya, Diluar
dugaannya se-konyong2 Sun-popoh menggeraki sebelah kaki-nya, tahu2 melayang
terus menendang ke bagian selangkangannya.
Tendangan
ini ternyata sangat keji, pula datangnya tanpa suara dan tiada tanda sama
sekali, tubuhnya tidak bergerak, Kun-nya juga tidak bergoyang tetapi tahu2 kaki
sudah melayang tiba, disinilah letak lihaynya “Kun-lay-tui” atau ilmu tendangan
kaki dari balik Kun itu.
Karenanya,
sewaktu Hek Tay-thong mengetahui dirinya diserang, sementara kaki Sun-popoh
sudah melayang sampai di dekat perutnya, sekali pun dengan cepat ia bisa
melompat mundur, namun pasti tidak keburu Iagi.
Akan
tetapi Hek Tay-thong bukan anak murid Tiong-yang Cinjin yang diakui ahli silat
nomor satu di seluruh kolong langit ini kalau dengan begitu ia kena diserang,
sudah banyak pula pertem-puran2 besar pernah dia hadapi, maka dalam keadaan
sangat berbahaya itu, tanpa pikir lagi ia kumpulkan tenaga pada tangannya terus
mendorong ke depan, karena itu Sun-popoh tak kuat menahan hingga kena disurung
mundur.
Tatkala
itu punggung Sun-popoh sudah mepet pagar tembok, ketika mendadak didorong orang
dengan kuat, ia menjadi tak tahan, terdengarlah suara “bluk” yang keras disusul
dengan berhamburnya bata dan kapur pasir tembok yang gugur, tanpa ampun lagi
Sun-popoh muntah darah segar, habis ini ia terkulai ke tanah untuk selanjutnya
tak sadarkan diri lagi.
Tidak
kepalang kejut Yo Ko melihat orang tua yang disayanginya itu jatuh semaput,
dengan cepat ia tengkurap menutupi badan Sun-popoh yang sudah menggeletak tak
berkutik itu.
“Kalau
kalian hendak bunuh orang, bunulah aku saja, siapapun tak boleh mencelakai
Popoh !” demikian teriaknya.
Rupanya
suara teriakan ini masih bisa didengar oleh Sun-popoh, orang tua ini telah
pentang sedikit matanya dan unjuk senyumnya, “Ya, nak, biar kita berdua mati
bersama di sini,” katanya dengan suara lemah.
Tiba2
Yo Ko pentang kedua tangannya melindungi Sun-popoh, dengan membelakangi Hek
Thay-thong dan lain2, sedikitpun ia tidak hiraukan keselamatan dirinya sendiri
lagi.
Dengan
serangannya tadi, Hek Tay-thong sesungguhnya telah menggunakan pukulan berat,
nampak lawannya terkulai, dalam hati ia berbalik sangat menyesal, dengan
sendirinya tidak nanti ia susulkan serangan lain pula, maka segera ia ingin
mengetahui keadaan luka Sun-popoh dengan maksud akan memberi obat untuk
menyembuhkan lukanya, tapi karena dialangi tubuh Yo Ko yang tengkurap hingga
keadaan si nenek tak dapat di-lihatnya.
“Yo
Ko, menyingkir kau, biar aku periksa keadaan Popoh,” dengan suara lembut ia
coba membujuk.
Akan
tetapi mana Yo Ko mau menurut, bahkan dengan kedua tangannya ia malah merangkul
Sun-popoh dengan kencang.
Hek
Thay-thong ulangi lagi bujukannya sampai beberapa kali dan Yo Ko masih tetap
tidak gubris padanya, akhirnya ia menjadi gelisah, ia tak sabar lagi, segera ia
tarik punggung Yo Ko.
“lmam
busuk, tak boleh kau mencelakai Popoh,” segera Yo Ko ber-teriak2.
Dalam
keadaan ribut2 itu, se-konyong2 terdengar suara orang menyindir dari belakang
mereka: “Hm, menganiaya nenek dan anak kecil terhitung orang gagah macam apakah
ini ?”
Suara
itu begitu ketus dan dingin hingga hati Hek Tay-thong se-akan2 tergetar, cepat
ia menoleh, maka tertampaklah olehnya seorang gadis yang sangat cantik tahu2
sudah berdiri di am-bang pintu pendopo besar mereka, Seluruh badan gadis ini
mengenakan pakaian berkabung yang putih mulus, entah mengapa sinar matanya itu
se-akan2 menyorotkan rasa dingin yang tak terhingga bagi orang yang menatap
padanya.
Hek
Tay-thong kaget oleh munculnya orang secara mendadak ini ia tahu, apabila genta
tanda bahaya Tiong-yang-kiong mereka berbunyi maka dalam jarak sejauh belasan
li yang terdapat penjagaan rapat luar biasa itu segera akan terdengar, akan
tetapi datangnya gadis jelita ini sebelumnya ternyata tiada seorangpun yang
memberitahu dengan tanda bahaya, entah cara bagaimana gadis jelita ini masuk
secara diam2 tanpa konangan.
“Siapakah
nona ? Ada keperluan apakah ?” segera ia menanya.
Akan
tetapi gadis itu tidak menjawab melainkan melototinya sekali sambil mendekati
Sun-popoh yang menggeletak tak berdaya itu.
Sementara
itu rupanya Yo Ko sudah tahu siapa gerangan yang datang ini, ia telah mendongak
dan dengan suara pilu ia berkata: “Liong-kokoh, Sun-popoh telah dipukul mati
oleh imam jahat ini!”
Kiranya
gadis jelita berbaju putih ini memang betul Siao-liong-li adanya, Tadi waktu
Sun-popoh membawa Yo Ko meninggalkan kuburan, lalu masuk ke kuil imam
Coan-cin-kau dan bergebrak dengan mereka, semua ini selalu dikuntit
Siao-liong-li dari belakang dan disaksikannya dengan jelas, ia menduga tidak
nanti Hek Tay-thong turun tangan yang mematikan, maka selama itu ia tidak unjuk
diri, siapa tahu keadaan se-konyong2 berubah hingga akhirnya Sun-popoh terluka
parah, ia bermaksud menolong namun sudah tidak keburu lagi.
Dan
ketika dengan mati-matian Yo Ko berusaha melindungi Sun-popoh, kejadian inipun
dapat dilihatnya, dalam hati ia pikir anak ini ternyata mempunyai jiwa jantan
juga, Maka kini demi nampak anak ini berkata sambil matanya mengembeng air
mata, Siao-liong-li lantas angguk2 : “Ya, setiap orang pasti akan mati, itu
bukan soal apa2.”
Aneh
sekali jawabannya ini, padahal sejak kecil Sun-popoh yang membesarkan dia,
hubungan mereka boleh dikata laksana ibu dan anak, akan tetapi dasar watak
Siao-liong-li memang dingin, ditambah lagi sejak kecil ia sudah berlatih
Lwe-kang, sudah dilatihnya hingga tanpa emosi sedikit pun, sama sekali ia tidak
pernah mengunjuk rasa suka-duka ataupun senang dan marah. Memang luka Sun-popoh
yang berat itu terang sukar disembuhkan kembali, dengan sendirinya terasa pilu
juga olehnya, akan tetapi rasa duka-pilu ini boleh dikatakan hanya sekilas saja
berkelebat di lubuk hatinya untuk kemudian lantas lenyap, air muka gadis ini
masih tetap tidak mengunjuk sesuatu perasaan.
Di
lain pihak, demi mendengar Yo Ko memanggil gadis jelita itu sebagai
“Liong-kokoh” (bibi Liong) maka tahulah Hek Tay-thong bahwa gadis cantik ayu
yang berada di hadapannya ini bukan lain adalah Siao-liong-li yang pernah
mengusir Pangeran Hotu dari Monggol tanpa unjuk diri itu, keruan ia jadi lebih2
heran.
Hendalah
diketahui bahwa sejak Pangeran Hotu ngacir dari Cong-lam-san, peristiwa ini
sekejap saja lantas tersiar luas di kalangan Kangouw, meski setapak saja
Siao-liong-li belum pernah menginjak kakinya ke bawah gunung Cong-lam-san, akan
tetapi namanya ternyata sudah tersohor di dunia persilatan dan disegani setiap
orang,
Begitulah
dengan pelahan Siao-liong-li berpaling dan memandang para imam Coan-cin-kau itu
satu per satu, kecuali Hek Tay-thong yang Lwe-kangnya terlatih lebih dalam
hingga hatinya lebih tenang tidak gampang terpengaruh maka imam2 yang lain
semuanya melihat kedua mata bola gadis jelita ini se-akan2 sebening dan
mengkilap seperti air, tetapi memancarkan sinar dingin menusuk seperti es,
karenanya tak tertahan mereka sama bergidik seperti orang kedinginan.
“Bagaimana
keadaanmu, Popoh ?” tiba2 Siao-liong-li tanya Sun-popoh sambil berjongkok untuk
memeriksa lukanya.
“Nona,”
sahut Sun-popoh dengan menghela napas lemah, “selama hidupku tiada pernah aku
memohon sesuatu padamu, sekalipun memohon, kalau sudah kau tolak, tetap kau
tolak,”
Siao-liong-li
adalah gadis yang luar biasa pintarnya, maka demi mendengar lagu perkataan
orang, ia lantas tahu kemana orang hendak ber-kata.
“Dan
sekarang apa yang hendak kau mohon padaku ?” tanyanya kemudian sambil mengerut
kening.
Sun-popoh
angguk2, ia tuding Yo Ko, tetapi seketika tak sanggup mengucapkan sesuatu.
“Kau
ingin aku menjaga dia ?” tanya Siao-liong-li lagi.
“Ya,”
jawab Sun-popoh dengan sisa tenaga yang masih ada padanya. “Kau harus menjaga
dia seumur hidupnya, jangan kau biarkan dia dihina orang barang sedikitpun.
Bagaimana, kau sanggup tidak ?”.
“Menjaga
dia seumur hidup ?” mengulangi Siao-liong-li dengan ragu-ragu.
“Ya,”
kata Sun-popoh lagi dengan suara keras, “Nona, jika aku si-tua ini tidak mati,
akupun akan menjaga kau seumur hidup, Di waktu kecil-mu, makan, tidur, mandi,
ngompol, semua ini apa bukan nenek sendiri yang mengerjakannya ? Dan semua ini
balasan apa yang pernah kau limpah-kan padaku ?”
Karena
kata2 Sun-popoh ini, Siao-liong-li meng-gigit2 bibir, agaknya pertentangan
batinnya sedang bekerja hebat.
“Baiklah,
aku menyanggupi permohonanmu,” katanya kemudian tegas.
Maka
puaslah Sun-popoh oleh jawaban ini, dari mukanya yang jelek itu tertampak
senyuman lembut, matanya kemudian menatap Yo Ko, rupanya seperti ada sesuatu
yang hendak dia katakan pada bocah itu, tetapi napasnya sudah memburu hingga
tak sanggup bersuara.
Yo
Ko yang cerdik itu tahu maksud si orang tua, maka dengan cepat ia tempelkan
telinganya ke mulut orang.
“Popoh,
adakah sesuatu yang hendak kau katakan padaku ?” tanyanya dengan suara pelahan.
“Mepetlah
sedikit Iagi,” pinta Sun-popoh.
Betul
juga Yo Ko berjongkok terlebih rendah hingga kupingnya menempel dengan bibir
orang.
“Baju
kapas yang ku…. pakai ini harus kau simpan baik2, di… di…” demikian kata
Sun-popoh dengan suara lemah sekali hingga akhirnya napasnya tak sampai, maka
berhenti-lah dia, mendadak ia menyemburkan darah segar hingga seluruh muka Yo
Ko dan banjunya basah kuyup oleh darah, habis ini Sun-popoh tutup matanya dan
menghembuskan napasnya yang terakhir.
“Popoh,
Popoh !” Yo Ko menjerit-jerit, ia menggelendot di atas badan orang tua yang
sudah tak bernyawa lagi itu dan menangis ter-gerung2.
Tangisan
Yo Ko ini betul2 mengharukan sekali dan timbul dari hatinya yang murni, para
imam yang mendengarkan itu mau-tidak-mau ikut tergerak juga perasaannya, lebih2
Hek Tay-thong, ia menjadi menyesal tidak kepalang.
“Popoh,”
kata Hek Tay-thong kemudian sambil mendekati jenazah Sun-popoh dan memberi
hormat, “tak disengaja aku telah menewaskan kau, hal ini sesungguhnya bukan
tujuanku, Dosa utang jiwa sudah menimpa pada diriku, mana berani aku
mengelakannya. Harap mangkatlah engkau dengan baik dan tenang !”
Mendengar
kata2 orang yang se-akan2 sedang sembahyang ini, Siao-liong-li hanya berdiri
saja tanpa buka suara, Sehabis Hek Tay-thong berkata, kemudian mereka berdua
lantas saling berhadapan dan saling pandang.
“Bagaimana
? Kau tidak lantas bunuh diri, apa perlu aku sendiri yang turun tangan ?” kata
Siao-liong-li tiba2 dengan mengkerut kening.
Hek
Tay-thong terhitung imam yang beribadat tinggi, akan tetapi demi mendengar
kata2 Siao-liong-li tadi, tidak urung ia melengak juga.
“Ha,
apa ?” ia menegas.
“Apa
?” sahut Siao-liong-li mengejek “Hm, bunuh orang harus ganti jiwa, maka
lekaslah kau bunuh diri supaya urusan menjadi selesai, dengan begitu aku lantas
ampuni jiwa semua orang di dalam kuilmu ini.”
Keruan
kata2 yang luar biasa ini seketika membikin suasana menjadi gempar, sebelum Hek
Tay-thong buka suara pula atau para imam yang lain sudah pada ribut, sementara
itu di pendopo depan sudah berkumpul imam Coan-cin-kau sebanyak tiga-empat
puluh orang, seketika juga mereka pada balas mendamperat be-ramai2 atas ucapan
Siao-liong-li yang tak pantas tadi.
“Eh,
nona cilik, lekas kau pergi saja, kami tidak akan merintangi kau lagi!”
“Hm,
perempuan sekecil ini, berani betul kau mengoceh seenaknya !” Begitulah antara
lain kata2 yang terdengar diucapkan para imam itu.
Mendengar
kawannya mengeluarkan kata2 kurang hormat, lekas Hek Tay-thong memberi tanda
supaya diam.
Di
lain pihak Siao-liong-li ternyata anggap sepi saja berisik imam2 tadi, dengan
pelahan ia keluarkan segulung sutera putih yang halus tipis dari dalam bajunya.
Semua
orang menjadi heran dan saling pandang, mereka tidak tahu hendak digunakan
apakah sutera putih ini.
Tetapi
lantas tertampak Siao-liong-li menjereng kain suteranya itu, ia masukkan
potongan kain putih itu pada tangan kirinya, lalu tangan yang kanan dipakainya
pula kain putih yang lain., Kiranya kain sutera putih itu adalah sepasang
sarung tangan.
“Nah,
imam tua, kalau kau tamak hidup dan takut mati, tak berani kau bunuh diri, maka
bolehlah lolos senjatamu sekarang !” dengan suara pelahan Siao-liong-li lantas
menantang.
Hek
Tay-thong tersenyum sedih atas tantangan Siao-liong-li ini.
“Sudahlah,
aku telah salah mencelakai Sun-popoh, maka tak ingin bertengkar dengan kau
lagi, bolehlah kau membawa Yo Ko pergi dari kuil ini,” katanya kemudian.
Menurut
jalan pikiran Hek Tay-thong. meski Siao-liong-li bisa mengusir pangeran Hotu
hingga namanya terkenal dikolong langit, tapi apapun juga mengandalkan kekuatan
tawon putih piaraannya, dalam usia semuda ini, sungguhpun ilmu silatnya
mendapatkan ajaran guru kosen juga tidak akan letih kuat dari pada Sun-popoh.
Oleh karena itu, kalau dia mengidinkan Siaolliong-Ii pergi membawa Yo Ko, boleh
dikatakan ia ingin urusan ini menjadi damai dan tidak terjadi percekcokan lagi,
jadi sesungguhnya ia sudah berlaku murah hati.
Siapa
tahu, kata2nya tadi seperti tidak didengar oleh Siao-Iiong-Ii, ketika tangan
kiri si gadis bergerak, se-konyong2 seutas kain sutera putih melayang terus
menyamber ke muka Hek Tay-thong.
Gerak
serangan ini datangnya terlalu cepat dan tanpa suara, sebelumnya pun tiada
tanda2 Siao-liong-ii hendak melontarkan serangan, di bawah sorotan cahaya api
lilin, ujung selendang sutera itu tertampak pula terikat dengan sebuah bola
kecil berwarna emas.
Melihat
tipu serangan orang yang begitu cepat, pula senjata yang dipakai ini aneh luar
biasa, seketika Hek Tay-thong menjadi bingung, ia tidak tahu cara bagaimana
harus menangkisnya, Tetapi usianya sudah lanjut, dengan sendirinya segala
sesuatu dia lakukan dengan sangat tenang, meski ia yakin kepandaian sendiri lebih
tinggi beberapa kali lipat dari lawannya, namun tak berani juga ia sambut
serangan tadi, maka dengan mengegos saja ia berkelit kekiri.
Di
luar dugaan selendang sutera Siao-liong-li yang membawa senjata di bagian ujung
itu ternyata bisa memutar di tengah udara, ketika Hek Tay-thong berkelit
kekiri, tahu2 selendang sutera inipun ikut mengarah ke kiri, maka terdengarlah
suara “ting-ting-ting” tiga kali, bola kecil yang terikai pada ujung selendang
itu tiba2 berbunyi sendirinya tiga kali terus menutul ke mukanya mengarah tiga
tempat Hiat-to.
Cara
menyerang tiga tempat sekaligus ini, cepat dan jitu, sekalipun Hek Tay-thong
sudah banyak berpengalaman, belum pernah juga dilihat nya, apalagi diantara
serangan itu terseling pula bunyi “ting-ting” yang nyaring, meski tidak keras
suaranya, namun aneh sekali hingga hati orang terguncang.
Dalam
kagetnya oleh perubahan serangan ini, lekas2 Hek Tay-thong mendayongkan
tubuhnya ke belakang, ia keluarkan gerakan “thi-pan-kio” (jem-batan papan besi)
dan membiarkan bola diujung selendang itu menyamber lewat di atas hidungnya,
Tetapi ia kuatir pula bola emas itu mendadak mengetok lagi ke bawah, maka
sewaktu tubuhnya mendoyong ke belakang tadi, mendadak pula ia geser tubuh
kesamping, ilmu silat Hek Tay-thong sudah terlatih sampai tingkatan yang bisa
dilakukan sekehendak hatinya, maka gerakan ke samping diwaktu tubuhnya
mendoyong itu tidak sulit bagi-nya.
Karena
gerakan ini rupanya tidak tersangka juga oleh Siao-liong-li, maka terdengarlah
suara “ting-” sekali, bola emasnya ternyata benar telah mengetok tanah.
Dengan
bola emasnya ini, biasanya Siao-1iong-li bisa mengetok Hiat-to orang secara
ber-tuntun2 dan susul menyusul dengan jitu sekali, kini melihat Hek Tay-thong
sanggup meluputkan diri di waktu terancam bahaya, mau-tidak-mau dalam hati
Siao-liong-li memuji ketangkasan imam Coan-cin-kau yang hebat ini.
Ketika
Hek Tay-thong bisa berdiri tegak lagi, tertampaklah mukanya berubah kecut.
Di
antara para imam yang menyaksikan gebrakan tadi, semuanya juga menjadi geger,
Para imam itu kalau bukan anak murid Hek Tay-thong tentu adalah murid-murid
keponakannya, terhadap ilmu silatnya biasanya boleh dikata kagum tidak
terhingga, tapi demi melihat caranya menghindari serangan orang, meski belum
sampai terluka, namun jelas mengelak dengan ter-gopoh2, terang dalam keadaan
terdesak. Dengan kuatir segera ada empat imam lain mengayunkan pedang mereka
untuk merintangi Siao-liong-li.
“Ya,
memangnya sejak tadi seharusnya kalian gunakan senjatamu !” terdengar
Siao-liong-li menyambut.
Habis
ini, begitu kedua tangannya bergerak, tahu2 kedua ujung selendang suteranya
seperti ular perak saja me-lingkar2 ke depan dan terdengarlah bunyi suara
“ting-ting” dua kali, bahkan menyusul berbunyi pula dua kali, tahu2 tempat
“tay-yan-hiat” di pergelangan tangan keempat imam itu telah kena ditutuk semua
oleh bola emas, senjata merekapun sama jatuh ke tanah hingga menerbitkan suara
gemerincing yang nyaring.
Karena
serangan serentak yang mematahkan semua tusukan empat imam itu, keruan imam2
yang lain menjadi jeri dan ternganga, tiada lagi yang berani coba2 ikut turun
tangan.
Semula
Hek Tay-thong menyangka Siao-liong-li tidak memiliki ilmu silat yang tinggi,
siapa tahu, hanya sekali gebrakan saja dirinya sudah hampir kecundang, tanpa
terasa timbul juga rasa marah-nya, segera dari tangan salah seorang anak
muridnya ia ambil sebatang pedang, ia hendak tempur orang lagi dengan senjata,
“llmu
kepandaian Nona ternyata hebat, nyata Pinto (imam miskin, sebutan diri sendiri
kaum Tosu) telah kurang hormat dan salah duga, Baik-lah, mari, kini biar Pinto
minta petunjuk beberapa gebrakan yang hebat,” demikian ia berkata.
Siao-liong-li
tidak menjawab melainkan hanya angguk2, habis ini kembali terdengar “ting-ting”
dua kali, selendang suteranya tiba2 menyambet dari kiri ke kanan.
Kalau
diurut menurut tingkatan, sebenarnya Hek Tay-thong masih lebih tinggi setingkat
daripada Siao-liong-li, maka waktu mulai bergebrak, seharusnya Siao-liong-li
menghormati kaum yang lebih tua dan mengalah dulu diserang tiga kali.
Akan
tetapi kesemua ini ternyata tidak dihiraukan olehnya, begitu maju malah dia
lantas menyerang lebih dulu dengan tipu2 yang mematikan, segala peraturan
Bu-lim atau dunia persilatan ternyata dianggap sepi saja.
“Meski
ilmu silat gadis ini mempunyai titik kelihayan yang tersendiri, tapi dia tidak
paham apa2 tentang etika, terang dia kurang berpengalaman dalam pertempuran,
meski kepandaiannya tinggi, tidak nanti melebihi aku,” demikian Hek Tay-thong
berpikir.
Karena
itu, segera pedangnya bergerak, Kiam-hoat dari Coan-cin-pay yang tiada
bandingannya itu segera dikeluarkan, ia layani samberan selendang sutera putih
Siao-liong-li dengan sama cepat dan sama lihaynya.
Imam2
yang lain pada menonton disamping dengan penuh perhatian, di bawah sinar lilin
yang ber-goyang2, kelihatanlah satu gadis jelita berbaju putih sedang menempur
seorang imam tua dengan jubah kelabu, yang satu cantik molek, yang lain tua
ubanan, pertarungan mereka makin lama makin seru.
Sebenarnya
kalau soal Kiam-hoat, karena Hek Tay-thong sudah melatih ilmu pedang selama puluhan
tahun, di dalam Coan-cin-kau dia terhitung jago nomor tiga atau empat, tetapi
kini sudah beberapa puluh jurus saling gebrak dengan Siao liong-li, sedikitpun
ternyata dia tak bisa memperoleh keunggulan
Siao-liong-li
memainkan selendang suteranya, begitu cepat dan hidup seperti naga sakti, pula
bola emas yang terikat pada ujung selendang itu tiada hentinya mengeluarkan
suara “ting-ting” yang nyaring, suara ini lebih mengacaukan perasaan lawan.
Setelah
lama masih belum bisa mengalahkan orang, meski Hek Tay-thong sendiri juga belum
tentu bisa kalah, tapi bila teringat dirinya sudah terkenal sebagai jago
terkemuka di kalangan Bu-lim, jika harus bergebrak dua-tiga ratus jurus dengan
gadis jelita ini, sungguhpun achirnya menang toh pasti kehilangan pamor juga.
Oleh karena itu ia menjadi gopoh, begitu Kiam-hoatnya berubah, ia menyerang
terlebih lambat malah.
Aneh
bahwa tiap gerak serangannya jauh lebih lambat dari tadinya, akan tetapi
sebaliknya daya tekanan pedangnya justru bertambah beberapa kali lipat lebih kuat.
Kalau tadi pedangnya selalu harus menghindari gubetan selendang sutera orang,
tapi kini setelah daya tekanannya bertambah, ia ber-berbalik mengincar buat
menabas bola emas di ujung selendang itu.
Setelah
beberapa jurus lagi, tiba2 terdengar suara “cring” yang keras, bola emas
Siao-liong-li saling bentur dengan pedang, Tetapi Hek Tay-thong lebih ulet dan
lebih kuat, pedangnya membikin bola emas orang mendal ke atas dan terpental
balik mengarah muka Siao-liong-li sendiri.
Sudah
tentu kesempatan baik ini tidak dilewatkan oleh Hek Tay-thong, berbareng ia
kirim serangan yang lain, diiringi sorak sorai gembira para imam yang menonton,
ujung pedangnya telah menerobos di antara kain selendang lawan terus mengarah
pergelangan tangan Siao-liong-li.
Dengan,
serangan ini Hek Tay-thong yakin sedikitnya lawan akan membuang kain
selendangnya kalau pergelangan tangannya tidak mau tertusuk pedang.
Siapa
duga Siao-liong-li justru tidak menghindari serangan itu, hanya tangannya
membalik dan dengan sekali tangkap ia malah pegang senjata orang, menyusul ini
lantas terdengar suara “pletak”, ternyata pedang Hek Tay-thong telah patah
menjadi dua.
Sungguh
hebat sekali ke jadian ini hingga semua imam sama menjerit kaget, dengan cepat
pula Hek Tay-thong lantas melompat mundur ke belakang sambil masih memegangi
sepotong pedangnya, ia berdiri terkesima.
Kiranya
sarung tangan yang dipakai Siao-liong-li itu terbuat dari benang emas putih
yang paling halus tetapi sangat ulet pula, walaupun tipis dan lemas, tapi tidak
mempan oleh senjata2 biasa, sekalipun golok pusaka atau pedang tajam, sukar
juga untuk menembusnya.
Sudah
tentu hal ini tak diketahui Hek Tay-thong, ia menjadi bingung karena mendadak
orang berani tangkap senjatanya dan dengan tenaga tekukan yang tepat telah
mematahkan pedangnya secara mentah2.
Dalam
keadaan kecundang sedemikian ini, dengan muka pucat Hek Tay-thong sampai tak
bisa berpikir bahwa pada sarung tangan itulah terletak khasiat segala
ketangkasan Siao-liong-li, ia malah mengira gadis ini betul2 sudah dapat
berlatih semacam ilmu yang kebal dan tak mempan segala macam senjata.
“Bagus,
bagus, baik Pinto mengaku kalah !” demikian katanya kemudian dengan suara
ter-putus2. “Nah, nona, bolehlah kau membawa pergi anak ini”.
“Ha,
sesudah kau mencelakai Sun-popoh, lalu bicara seenaknya, sekali ngaku kalah
lantas anggap beres begini saja ?” Siao-liong-li mengejek.
“Haha,
memang betul katamu, aku ini betuI2 sudah pikun !” kata Hek Tay-thong sambil
mendongak.
Habis
ini ia angkat pedangnya yang sudah patah itu terus menggorok kelehernya sendiri
dengan maksud membunuh diri.
Akan
tetapi sebelum pedang menempel lehernya, mendadak terdengar suara “creng” yang
nyaring, tangannya tergetar keras, dari luar pagar tembok mendadak menyamber
tiba sebuah mata uang hingga pedangnya terbentur jatuh.
Dengan
tenaga Hek Tay-thong, bukanlah soal gampang orang hendak pukul jatuh senjatanya
dengan sesuatu benda, Dalam terkejutnya itu, segera pula Hek Tay-thong tahu
siapa yang telah datang ia mengenali tenaga sambitan mata uang itu.
“Khu-suheng,
aku tak becus telah mencemarkan nama baik golongan kita, maka terserahlah
padamu sajalah !” serunya kemudian sambil memandang ke arah datangnya mata uang
tadi.
“Hek-sute,
kalah-menang adalah soal biasa, kalau sekali mengalami kekalahan lalu mesti
gorok leher sendiri, maka suhengmu ini sekalipun punya delapanbelas kepala
tentu sudah habis tergorok,” demikian terdengar orang menjawab dari luar
kelenteng dengan tertawa.
Ketika
suara itu berhenti segera pula orangnya sudah muncul, dengan pedang terhunus
Khu Ju-ki sudah melompat masuk melintasi pagar tembok itu.
Watak
Khu Ju-ki paling suka blak2an, maka begitu datang segera pedangnya menusuk ke
lengan kiri Siao-liong-li sambil berseru: “Tiang-jun-cu Khu Ju-ki minta
petunjuk pada tetangga terhormat kita.”
“Ha,
kau imam tua ini terhitung suka terus terang juga,” sahut Siao-liong-li.
Berbareng
itu, tangan kirinya menjulur, kembali ia dapat menangkap pula pedang Khu Ju-ki
yang menusuk itu.
“Awas,
Suheng !” teriak Hek Tay-thong kuatir karena pengalamannya tadi.
Akan
tetapi sudah terlambat, ketika Siao-liong-li gunakan tenaga menekan, Khu Ju-ki
pun salurkan tenaga ke batang pedangnya, karena itu terjadilah tenaga lawan
tenaga, keras lawan keras, maka terdengarlah suara “krak”, kembali pedang patah
menjadi dua, tetapi tangan Siao-Iiong-li tidak urung tergetar hingga pegal
linu, dada pun terasa rada sakit.
Cukup
sekali gebrakan ini saja Siao-liong-li sudah tahu bahwa kepandaian Khu Ju-ki
masih jauh di atas Hek Tay-thong, sedang ilmu kepandaian sendiri
“Giok-li-cin-keng” masih belum sempurna, terang tiada harapan buat menang, maka
tanpa pikir lagi ia buang pedang patah yang disebutnya itu, lalu dengan cepat
ia kempit mayat Sun-popoh dan tangan lain pondong Yo Ko, begitu kedua kakinya
menutul, tiba2 tubuhnya mencelat ke atas, dengan enteng sekali seperti daun
saja ia melayang keluar dari pagar tembok.
Mendadak
nampak Ginkang (ilmu entengi tubuh) orang yang hebat sekali ini, Khu Ju-ki dan
Hek Tay-thong hanya saling pandang saja dengan terperanjat Khu Ju-ki dan Hek
Tay-thong sudah saling gebrak dengan Siao-liong-li tadi, mereka bisa ukur ilmu
silat Siao-liong-li yang meski tinggi, tapi belum pasti bisa menangkan mereka,
namun ilmu entengi tubuh yang barusan dilihatnya itu sungguh belum pernah
mereka saksikan selama ini.
“Sudahlah,
sudahlah!” kata Hek Tay-thong dengan menghela napas panjang penuh menyesal.
“Hek-sute,
percuma saja kau berlatih diri dalam agama selama sekian tahun, tapi sedikit ke
cundang saja kau lantas putus asa ?” ujar Khu Ju-ki. “Harus kau ketahui bahwa
saudara2 kita yang dikirim ke Soasay sekali ini, sama juga telah mengalami
kekalahan habis2an.”
“Hah,
kenapa ? Lalu ada yang terluka tidak ?” tanya Hek Tay-thong kaget oleh berita
sang Suheng.
“Cerita
ini terlalu panjang, marilah kita menemui Ma-suheng dahulu,” sahut Khu Ju-ki.
Kiranya
sesudah melukai beberapa orang di-daerah Oh-tjiu, Kanglam, Jik-lian-sian-cu Li
Bok-chiu mengerti terlalu banyak onar yang dia lakukan, maka ia telah
menyingkir jauh ke daerah Soasay buat hindari percecokan, akan tetapi angkara
murkanya ternyata tidak menjadi padam, di sana kembali dia celakai beberapa
orang gagah dari Bu-lim, keruan akhirnya bikin gusar kalangan umum hingga
pemimpin Bu-lim setempat telah menyebarkan undangan mengajak kawan segolongan
untuk mengeroyok Li Bok-chiu.
Di
antara yang diundang itu terdapat pula Coan-cin-kau. Tatkala itu Ma Giok telah
berunding dengan Khu Ju-ki, mereka berpendapat meski Li Bok-chiu banyak
melakukan kejahatan, tapi mengingat hubungan kakek gurunya dan gurunya sendiri,
Tiong-yang Cinjin yang sangat erat, sedapat mungkin dibikin akur saja
percecokan itu dan memberi jalan hidup baru kepada Li Bok-chiu untuk hari
depan.
Oleh
sebab itu, Lau Ju-hian dan Sun Put-ji lantas dikirim dahulu ke utara. Siapa
tahu Li Bok-chiu ternyata tidak mau kenal kebaikan orang dan bahkan terus
saling gebrak, akhirnya Lau Ju-hian dan Sun Put-ji berdua terkalahkan di bawah
tangannya.
Belakangan
Khu Ju-ki dan Ong Ju-it, kedua jago utama Coan-cin-pay ini menyusul memberi
bantuan, Tetapi Li Bok-chiu ternyata sangat licin, ia insaf seorang diri sukar
berlawanan dengan jago2 begitu banyak, maka ia menggunakan kata2 pancingan
kepada Khu Ju-ki dan Ong Ju-it dan akhirnya menetapkan peraturan satu lawan
satu pada hari yang tertentu.
Hari
pertama yang turun bertanding adalah Sun Put-ji, tetapi diam2 Li Bok-chiu telah
gunakan tipu keji, ia telah melukai tokoh wanita Coan-cin-kau itu dengan jarum
berbisa yang sangat jahat itu. Habis ini ia sendiri malah mengunjungi rumah
orang untuk memberikan obat penawar racunnya, dalam keadaan demikian tidak bisa
tidak Khu Ju-ki harus menerimanya.
Dan
dengan begitu pula imam2 Coan-cin-kau boleh dikatakan sudah menerima budi
orang, menurut peraturan Kangouw lalu mereka tidak boleh bermusuhan lagi dengan
Li Bok-chiu, tentu saja mereka hanya saling pandang dan tertawa getir belaka
terus pulang ke Cong-lam-san.
Syukur
Khu Ju-ki buru2 pulang lebih dahulu dan tidak mengiringi Ong Ju-it pesiar ke
Thay-heng-san, karenanya pada saat yang sangat tepat telah berhasil menolong
jiwanya Hek Tay-thong.
Kembali
bercerita mengenai Siao-Iiong-li, sesudah pondong Yo Ko dan lain tangan
merangkul mayat Sun-popoh, kembalilah mereka ke Hoat-su-jin-bong atau kuburan
kuno itu.
Setelah
Yo Ko diturunkan, mayat Sun-popoh direbahkan pada dipan yang biasa buat tidur,
sedang Siao-liong-li sendiri dengan bertopang dagu duduk di kursi sambil
ter-menung2.
Sebaliknya
Yo Ko masih mengemblok di atas jenazah Sun-popoh dan masih menangis ter-guguk2.
“Orang
sudah mati, untuk apa ditangisi ?” kata Siao-liong-li tiba2 sesudah agak lama
Yo Ko tersedu-sedan, “Hari ini kau menangisi dia, kelak kalau kau sendiri mati,
entah siapa yang akan menangisi kau ?”
Yo
Ko tercengang oleh kata2 Siaonliong-Ii yang terlalu menusuk perasaan ini. Tapi
bila dipikir lebih jauh, terasa ada betulnya juga, Karenanya ia menjadi makin
berduka, tak tahan lagi ia menangis ter-gerung2.
Sama
sekali hati Siao-liong-li tidak tergerak oleh tangisan anak itu, dengan sikap
dingin saja ia menyaksikan Yo Ko menangis, mukanya sedikitpun tidak memberi
sesuatu tanda perasaan.
“Marilah
kita menanam mayatnya, ikutlah padaku !” katanya kemudian sesudah agak lama,
Habis ini ia angkat mayat Sun-popoh dan menuju sebelah barat.
Lekas2
Yo Ko mengusap air matanya dengan baju, cepat ia ikut di belakang orang.
Di
dalam kuburan itu tiada sinar terang sedikitpun terpaksa Yo Ko harus pentang
matanya selebar mungkin, dengan begitu lapat2 baru dia bisa melihat bayangan
baju Siao-liong-li yang putih itu.
Sesudah
berjalan me-Iingkar2, belok sana dan tikung sini akhirnya Siao-liong-li membuka
sebuah pintu batu yang kelihatannya sangat berat, kemudian mereka masuk ke
dalam sebuah kamar batu yang sangat luas. Di sini Siao-liong-li mengeluarkan
ketikan api dan menyalakan pelita minyak diatas meja batu.
Setelah
ada sinar terang, segera Yo Ko memandang keadaan kamar besar ini, tetapi
mau-tidak-mau ia rada bergidik oleh suasana yang seram, ia lihat ruangan yang
begini besar ternyata kosong belaka tiada isi Iain kecuali beberapa buah peti
mati dari batu yg berjajar di tengah ruangan.
Waktu
Yo Ko memperhatikan ia lihat dua peti mati diantaranya tertutup rapat, sedang
tiga peti lainnya tutupnya hanya dirapatkan separoh saja, dipandang dari jauh
dalam peti kelihatan gelap, tidak diketahui di dalamnya ada mayat atau tidak.
“Cosu-popoh
(kakek guru) tidur di dalam sini,” kata Siao-liong-li sambil menuding peti mati
yang pertama, lalu ia tuding peti mati kedua dan sambung lagi: “Dan Suhu tidur
di sini.”
Waktu
Yo Ko lihat jari si nona menuding peti mati yang ketiga, hatinya menjadi
ber-debar2, ia tidak tahu Siao-liong-li bakal bilang siapa yang tidur di situ,
tapi ia lihat tutup peti itu belum dirapatkan, jika di dalamnya sudah ada
isinya, bukankah itu sangat menakutkan ?
“Dan
Sun-popoh tidur di sini,” demikian ia dengar Siao-liong-li menyambung lagi.
Karena
kata2 inilah baru Yo Ko tahu bahwa peti mati itu memang kosong, diam2 ia merasa
lega, Tetapi bila ia lihat di samping sana masih ada dua peti mati lagi yang
kosong, tanpa terasa ia menjadi heran dan ingin mengetahui.
“Dan
kedua peti yang itu, Liong-kokoh ?” tanyanya kemudian.
“Yang
satu buat Suci (kakak seperguruan perempuan) Li Bok-chiu dan yang lain buat aku
sendiri,” sahut Siao-liong-li.
Karena
jawaban ini, seketika Yo Ko terkesima.
“Apakah
Li Bok-chiu Kokoh akan kembali ke sini?” tanyanya.
“Kalau
guruku sudah mengatur begini akhirnya dia pasti akan kembali,” kata
Siao-liong-li. Dan sekarang ternyata masih kurang satu peti lagi, sebab guruku
tidak pernah menduga kau akan datang ke sini.”
Keruan
Yo Ko kaget oleh kata2 ini.
Tidak,
aku tidak perlu !” sahutnya cepat.
“Aku
sudah berjanji pada Sun-popoh untuk menjaga kau seumur hidup, kalau aku tidak
meninggalkan tempat ini, dengan sendirinya kaupun tetap disini,” ujar
Siao-liong-li.
Mendengar
si nona berbicara soal mati-hidup orang seperti soal biasa saja, akhirnya Yo Ko
juga tidak takut2 lagi.
“Seumpama
kau tidak perbolehkan aku keluar, tapi kalau kau sudah mati, bukankah aku dapat
keluar sendiri,” sahutnya kemudian.
“Kalau
aku sudah bilang akan menjaga kau seumur hidup, sudah tentu aku tak akan mati
lebih dulu dari pada kau,” kata Siao-liong-li
Keruan
Yo Ko heran, “Mana bisa ?” ia debat “Bukankah umurmu lebih tua dari padaku ?”
“Ya,
tapi sebelum aku mati pasti aku bunuh kau lebih dulu,” kata Siao-liong-li.
Namun
meski usia Yo Ko masih kecil, nyata ia tidak kurang akal “Itu kan belum tentu bisa,
aku punya kaki, memangnya aku tak bisa lari ?” demikian ia berpikir
Begitulah
si Yo Ko ini, belum dia angkat guru pada Siao-liong-li, tapi diam2 ia sudah adu
kepintaran dengan orang.
Sementara
itu Siao-liong-li telah mendekati peti mati yang ketiga, ia dorong tutup peti
ke belakang, ia angkat jenazah Sun-popoh dan hendak dimasukkan ke dalam peti.
Tiba2
Yo Ko ingat pesan Sun-popoh pada saat yang terakhir bahwa : “Baju kapas yang
kupakai ini hendaklah kau simpan baik2, di…”
dan
sebelum habis dikatakan atau orang tua itu sudah keburu putus napasnya, Kalau
orang tua itu minta dirinya menyimpan baik2 baju kapas itu, mengingat
perkenalan mereka yang baik, kalau disimpan sebagai tanda mata untuk hari
kelak, sesungguhnya pantas juga.
“Kokoh,
baju kapas Popoh itu ditinggalkan untukku saja,” serunya segera sambil
menyerobot maju.
Sebenarnya
Siao-liong-li tidak suka pada sifat2 insaniah yang menjemukan, ia lihat watak
Yo Ko yang suka bergirang, marah2, menangis2 dan tertawa segala, meski belum
ada satu hari berkenalan dengan Sun-popoh, tapi bocah ini sudah merasa begitu
berat ditinggalkan orang tua itu, rasa Siao-liong-li menjadi muak, maka atas
permintaannya tadi, ia mengkerut kening, namun tidak urung ia copot baju kapas
itu dari badan Sun-popoh dan dilemparkan pada Yo Ko.
Setelah
terima baju kapas itu, karena terharunya kembali Yo Ko mewek2 hendak menangis
lagi. Tetapi Siao-liong-li telah melototinya, lalu ia masukkan mayat Sun-popoh
ke dalam peti ia tarik penutup petinya, maka terdengarlah suara yang keras,
tutup peti mati itu telah menutup dengan rapat sekali.
Karena
merasa sebal kalau2 Yo Ko menangis lagi, maka tanpa pandang sedikitpun pada
bocah ini segera Siao-liong-li mengajak: “Mari keluar !”
Berbareng
itu ia kebaskan lengan bajunya, empat pelita minyak di dalam kamar itu
sekaligus tersirap, keadaan seketika menjadi gelap guIita, Oleh karena kuatir
kalau dirinya akan dikurung di kamar peti mati itu, lekas2 Yo Ko membawa baju
kapas Sun-popoh itu terus ikut keluar.
Tinggal
di dalam kuburan kuno yang bagaikan istana di bawah tanah itu, hakikatnya tidak
diketahui dan tak dapat membedakan siang atau malam, Tetapi sesudah sibuk
setengah harian, kedua orang sudah merasa letih, maka Siao-liong-li suruh Yo Ko
tidur ke kamar Sun-popoh saja.
Sejak
kecil Yo Ko terluntang-luntung di kalangan Kangouw seorang diri, sering ia
harus menginap di kelenteng bobrok di hutan yang sunyi maka nyalinya sebenarnya
sudah terlatih sangat berani Tetapi aneh, sejak melihat peti mati batu tadi dan
sekarang diharuskan tidur sendirian, entah mengapa ia menjadi merasa takut tak
terhingga.
Oleh
karena itu, meski Siao-liong-li sudah mengulangi kata2nya menyuruh dia pergi
tidur, dia masih tetap menjublek saja.
“Kau
dengar tidak perkataanku ? Apa kau tuli ?” bentak Siao-liong-li menjadi gemas.
“Aku
takut,” sahut Yo Ko.
“Takut
apa ?” tanya Siao-liong-li.
“Entah,
tapi aku tak berani tidur sendirian,” kata Yo Ko.
Melihat
wajah anak ini memang takut, dalam hati Siao-liong-li pikir umur anak ini masih
kecil, tidaklah perlu harus menghindarkan peraturan pemisahan antara 1aki2 dan
wanita, Karenanya dengan menghela napas kemudian ia berkata : “Baik-lah, kau
tidur sekamar dengan aku.”
Lalu
ia bawa Yo Ko ke kamar tidurnya sendiri.
Siao-liong-li
sudah biasa hidup dalam kegelapan selamanya dia tidak perlu menyalakan pelita
atau lilin, tetapi sekarang sepesial ia menyulut satu lilin untuk Yo Ko.
Waktu
melihat wajah Siao-liong-li yang begitu cantik ayu tiada bandingannya, pula
baju yang dia pakai putih bersih seperti salju tanpa debu sedikitpun semula Yo
Ko menyangka kamar si gadis ini tentunya teratur dengan indah sekali.
Tak
terduga, begitu ia memasuki kamar orang, seketika ia merasa kecawa, Kiranya
kamar Siao-liong-li kosong melompong tanpa sesuatu pajangan, serupa saja
keadaannya dengan kamar peti mati tadi.
Di
dalam kamar hanya terdapat satu lonjor batu hijau yang digunakan sebagai
ranjang, di atas ranjang ini tergelar selembar tikar dan terdapat pula selapis
kain sutera putih yang rupanya dipakai sebagai selimut. Kecuali itu tiada
sesuatu benda lain yang dilihatnya.
“Entah
aku harus tidur di mana ? Mungkin dia akan suruh aku tidur di lantai”, demikian
Yo Ko membatin.
“Kau
tidur saja di ranjangku,” tiba-tiba ia dengar Siaoliong-li berkata padanya.
“Itu
tidak baik, biar saja aku tidur di lantai.” sahut Yo Ko.
Tak
terduga, tiba2 Siao-liong-li menarik muka oleh jawabannya itu.
“Kurangajar,
berani kau mernbangkang,” damperatnya.. “Aku adalah gurumu, apa yang kukatakan
kau harus menurut, tahu ? Kau berani berkelahi melawan gurumu dari Coan-cin-kau
itu, hal itu masa bodoh, Tetapi lain, kalau kau berani membangkang perintahku
segera juga kucabut nyawamu !”
“Tak
perlu kau begini galak, akan kuturut saja semua perkataanmu ” demikian Yo Ko
menyahut.
“Berani
kau adu mulut ?” bentak Siao liong-li.
Namun
si Yo Ko memang anak bandel, ia lihat wajah Siao-liong-li sangat cantik dan
usianya muda, sedikitpun tidak mirip seorang “Suhu”, karenanya ia melelet-lelet
lidah atas bentakan tadi, habis ini ia diam saja.
Sudah
tentu kelakuannya ini dapat dilihat Siao-liong-li,
“Kenapa
kau melelet lidah ? Kau tak terima bukan ?” damperatnya lagi.
Yo
Ko tak berani menjawab sekali ini, ia copot sepatunya terus naik ke atas
ranjang buat tidur
Tetapi
baru saja ia merebah, tiba-tiba terasa olehnya hawa sedingin es yang merasuk
tulang, saking kagetnya sampai ia meloncat turun dengan kaki telanjang.
Nampak
kelakuan Yo Ko yang lucu ini, sungguhpun Siao-liong-li tidak pernah mengunjuk
sesuatu tanda perasaannya, tidak urung hampir2 saja ia mengeluarkan suara
tertawa geli.
“Ada
apa ?” ia coba tegur dengan menahan gelinya.
Namun
Yo Ko memang terlalu cerdik, sekilas saja ia sudah melihat ada tanda2 tertawa
pada wajah Siao-liong-li. Oleh karenanya ia tidak menjadi takut oleh teguran
itu, bahkan ia tertawa sendiri.
“Di
atas ranjang ini ada apa2nya yang aneh, kiranya engkau sengaja mempermainkan
aku,” demikian jawabnya.
“Siapa
mempermainkan kau. Memang beginilah ranjang ini, lekas kau naik lagi dan
tidur,” kata Siao-liong-li dengan sungguh2. Habis ini ia sengaja ambil kemoceng
(bulu ayam) dari belakang pintu, dengan alat ini ia lantas mengancam: “lni jika
kau berani merosot turun lagi, rasakan nanti, sepuluh kali sabetanku !”
Sekali
lompat dengan enteng Siao-liong-li merebahkan diri diatas tali kecil yang
dianggapnya seperti ranjang empuk
Sudah
tentu tak terbilang kagum Yo Ko oleh kepandaian yang luar biasa ini.
Melihat
sigadis berlaku sungguh2, terpaksa Yo Ko naik ke atas ranjang batu dan tidur
lagi.
Sekali
ini Siao-liong-Ii sengaja menyingkirkan baju kapas tinggalan Sun-popoh, ia
pindahkan ke tempat yang tak dapat dijamah tangan Yo Ko.
Sebaliknya
karena pengalaman tadi, sekali ini Yo Ko tidak terkaget lagi, ia rebah diatas
ranjang batu yang dingin itu.
Akan
tetapi ranjang itu sama saja seperti balok es yang maha dingin, semakin tidur
rasanya semakin dingin, sampai akhirnya saking tak tahan seluruh tubuh Yo Ko
jadi gemetar, ia menggigil kedinginan hingga kedua baris giginya gemerutuk.
Tak
lama, hawa dingin ranjang batu itu semakin men-jadi2 serasa meresap kedalam
tulang sungsum, sungguh ia tak tahan lebih lama lagi.
Ketika
Yo Ko melirik Siao-liong-li, ia lihat wajah nona itu mengunjuk senyum, tapi
bukan senyum, terhadap penderitaannya itu se-akan2 merasa senang dan bersyukur.
Diam2 Yo Ko mendongkol Tetapi ia masih berusaha melawan rasa dingin yang
menembus keluar dari ranjang batu itu dengan sepenuh tenaganya.
Sementara
ia lihat Siao-liong-li telah keluarkan seutas tali sebelah ujung tali ia ikat
pada sebuah paku yang menancap di dinding sebelah timur, lalu tali ini ditarik
dan diikat kencang pada paku yang berada di dinding sebelah barat.
Tali
yang dipasang ini kira2 setinggi manusia, dengan sekali lompatan enteng
Siao-liong-li telah merebah di atas talu tali itu dianggapnya sebagai ranjang
saja, Bahkan berbareng lompatannya tadi, sekali ayun tangannya, dengan angin
pukulannya ia sirapkan api lilin.
Sungguh
tidak terbilang kagumnya Yo Ko oleh kepandaian orang yang luar biasa itu.
“Kokoh,
maukah kau mengajarkan kepandaian seperti itu kepadaku besok ?” dalam kegelapan
ia coba tanya si nona.
“Hm,
terhitung apa kepandaian semacam ini ?” jengek Siao-liong-li. “Asal kau belajar
dengan baik, masih banyak lagi kepandaian yang jauh lebih lihay yang akan
kuajarkan padamu.”
Tabiat
Yo Ko meski nakal tetapi sangat ter-guncang perasaannya demi mendengar
Siao-liong-li dengan sungguh2 akan diajarkan kepandaian pada-nya, tanpa terasa
ia menjadi tunduk dengan sepenuh hati, perasaan mengkalnya tadi seluruhnya dia
lemparkan ke-awang2, dalam rasa terima kasihnya itu, saking terharunya ia
mengucurkan air mata.
“Kokoh,
kau begini baik terhadapku, tapi tadi aku malah benci padamu,” demikian katanya
dengan suara berat
“ltu
tidak perlu dibuat heran,” sahut Siao-liong-Ii, “Aku telah usir kau, sudah
tentu kau benci padaku.”
“Tetapi
soalnya bukan itu,” kata Yo Ko, “Semula aku mengira kau sama saja seperti
guruku yang lalu, hanya mengajarkan segala kepandaian yang tak berguna.”
Mendengar
bocah itu berkata sembari menggigil kedinginan tiba2 Siao-liong-li menanya:
“Dinginkah kau ?”
“Ya,
dingin sekali,” sahut Yo Ko, “Di bawah ranjang ini ada apa2 yang aneh, mengapa
begini hebat rasa dinginnya ?”
“Kau
suka tidur di situ tidak ?” tanya Siao-liong-li pula.
“Aku…
aku tak suka,” sahut Yo Ko ragu2.
“Huh,
kau tak suka ?” jengek Siao-liong-li, “Ketahuilah bahwa entah ada berapa banyak
to-koh2 Bu-lim di seluruh jagat ini yang justru ingin meniduri ranjang ini,
tetapi tak pernah kesanpaian cita-citanya.”
“Aneh,
bukankah itu berarti cari siksaan belaka ?” ujar Yo Ko heran.
“Hm,
siksaan ?” jengek Siao-liong-Ii, “Kira-nya aku sayang dan kasihan padamu,
tetapi kau malah anggap tersiksa, sungguh tidak kenal kebaikan orang.”
Mendengar
lagu suaranya agaknya memang tidak bermaksud jelek dengan menyuruh dirinya
tidur di atas ranjang dingin ini, maka Yo Ko lantas memohon dengan suara lunak.
“Kokoh
yang baik, apakah paedahnya ranjang dingin ini, maukah kau menerangkannya
padaku ?”
“Kau
harus tidur seumur hidup di atas ranjang ini, faedahnya pasti akan kau ketahui
kelak”, sahut Siao-liong-li “Nah, sekarang pejamkan matamu dan tak boleh bicara
Iagi”
Dalam
kegelapan lalu terdengar suara gemerisik yang pelahan sekali dari baju sutera
yang dipakainya, agaknya Siao-liong-li telah membalik tubuh, Sungguh sukar
dimengerti padahal hanya tidur di atas seutas tali yang terapung diudara,
tetapi bisa membalik tubuh sesukanya.
Karena
kata2 terachir tadi yang bernada keren, maka Yo Ko tak berani bertanya lagi,
betul juga ia lantas pejamkan mata untuk tidur, Akan tetapi hawa dingin yang
menghembus keluar dari bagian bawah terus-meneras menyerang, mana bisa ia
terpuIas.
Lama
kelamaan, tak sangguplah Yo Ko bertahan pula.
“Kokoh,
aku tak tahan lagi,” dengan suara pelahan ia memanggil
Namun
suara pernapasan Siao-Iiong-li lapat terdengar agaknya sinona sudah tertidur.
Kembali
Yo Ko memanggil dua kali lagi dengan pelahan dan tetap tiada jawaban, “Biarlah
aku turun ke bawah sebentar, tentu dia takkan tahu,” demikian ia pikir.
Maka
dengan pelahan2 ia merosot turun ke pinggir ranjang, ia berlaku hati2 sekali
dengan menahan napas agar tidak mengeluarkan suara.
Siapa
tahu, baru saja ia menginjak lantai se-konyong2 terdengar suara gemerisik yang
sangat pelahan, tahu2 Siao-liong-li sudah melompat turun dari atas talinya,
sekali cekal tangan kiri Yo Ko telah dipegangnya terus ditelikung ke belakang,
bahkan ia digusur ke atas tanah.
Karena
tindakan tiba2 ini, Yo Ko menjerit kaget tetapi sehabis ini ia lantas bungkam
dalam segala bahasa.
Sementara
itu Siao-liong-li telah angkat kemocengnya, dengan keras ia sabet pantat Yo Ko.
Yo
Ko tahu percuma saja meski minta ampun, oleh karena itu dengan mengertak gigi
kencang2 ia menahan rasa sakit sabetan kemoceng orang, Luar biasa sakitnya lima
kali sabetan yang pertama, tetapi pada sabetan ke-enam kalinya, Siao-liong-li
turunkan tangannya dengan enteng saja, sampai dua kali yang terakhir, kuatir Yo
Ko tak tahan gebukannya, ia memukul terlebih pelahan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar