Jumat, 16 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 54




Kembalinya Pendekar Rajawali 54

Segera ia mengayunkan gulungan bajunya lagi.
Terpaksa Kongsun Likoh harus loncat, kedua kakinya mengencot sekuatnya pada batu karang, segera tubuhnya melayang ke udara, didengarnya suara menyambernya gulungan baju itu di udara, kedua tangannya terus merath, syukur tangan kanan dapat memegang ujung baju itu.
Ketika Yo Ko merasa tangannya terbetot, sekuatnya ia terus menyendal sehingga tubuh si nona dapat dilontarkan ke mulut gua tadi, Kuatir kalau nona itu kurang mantap berdirinya, sesudah mengayunkan bajunya ia terus melompat pula ke sana dan menolak pelahan pada pinggang si nona untuk kemudian duduklah mereka di mulut gua.
“Bagus sekali gagasanmu ini,” seru Lik-oh kegirangan.
“Tapi di dalam gua ini entah ada makhluk buas apa, terpaksa kita pasrah nasib saja,” ujar Yo Ko dengan tertawa, Segera ia menerobos ke dalam lorong gua itu dengan membungkuk badan.
“Gunakan senjata ini untuk membuka jalan,” kata Lik-oh sambil menyodorkan belati kepada Yo Ko.
Mulut gua itu sangat sempit, terpaksa kedua orang merangkak maju, Lantaran hawa lembab kolam buaya, dalam gua ternyata berlumut dan licin, bahkan berbau apek dan busuk.
“Pagi tadi kita masih menikmati pemandangan alam dengan bunga yang mekar semerbak, siapa tahu beberapa jam kemudian kita telah berada di tempat seperti ini, sungguh aku telah membikin susah saja padamu,” kata Yo Ko sembari merangkak ke depan.
“Ini bukan salahmu,” ujar Lik-oh, Setelah merangkak sekian Iamanya, terasalah lorong gua itu memang terus menyerong turun ke bawah, tapi makin jauh makin kering dan bau busuk juga mulai lenyap.
“Ah, tampaknya habis merasakan pahit kini telah mulai merasakan manisnya, kita sudah mulai memasuki wilayah bahagia.”
“Nyo-toako,” kata Lik-oh sambil menghela napas, “kutahu hatimu sendiri susah, tidak perlu engkau sengaja membikin senang hatiku.”
Belum habis ucapannya, mendadak dari sebelah kiri sana berkumandang suara gelak tertawa seorang perempuan:
“Hahaha-hahahaaah!”
Jelas sekali suara itu adalah suara orang tertawa, tapi kedengarannya justeru mirip orang menangis, suara “haha” itu bernadakan rasa sedih memilukan luar biasa.
Selamanya Yo Ko dan Kongsun Lik-oh tak pernah mendengar suara yang bukan tangis dan bukan tawa itu, apalagi di dalam goa yang gelap dan seram itu mendadak mendengar suara aneh itu, tentu saja lebih mengejutkan daripada tiba-tiba keper-gok binatang buas dan makhluk yang menakutkan.
Yo Ko sebenarnya pemuda yang tabah dan pemberani tapi tidak urung juga kaget oleh suara itu sehingga ubun-ubun kepalanya kesakitan membentur atap gua itu, Lebih-lebih Lik-oh, ia bahkan mengkilik dan merangkul kencang kaki Yo Ko.
Untuk sejenak Yo Ko berhenti merangkak dan pasang telinga, tapi sedikitpun tiada suara orang lagi. Kedua orang menjadi serba salah, ingin maju terus terasa takut, mau mundur terasa penasaran
“Apakah setan?” bisik Lik-oh dengan suara lirih sekali.
Siapa tahu suara “tangis-tawa” tadi kembali perkumandang pula, lalu terdengar perkataannya:
“Betul, aku ini setan, aku ini setan! Haha, ha-hahaaah!”
Yo Ko pikir kalau dia mengaku sebagai setan maka pasti bukanlah setan, dengan berani segera ia menanggapi dengan suara lantang: “Cayhe bernama Yo Ko, bersama nona  Kongsun ini kami lagi tertimpa bencana, yang kami harapkan hanya cari selamat dan sama sekali tidak bermaksud jahat
terhadap orang lain.”
“Nona Kongsun?” tiba-tiba orang itu menyela, “Nona Kongsun apa?”
“Puteri Kongsun Kokcu, namanya Kongsun Lik-oh,” jawab Yo Ko.
Habis tanya jawab ini, lalu lenyaplah suara di sebelah sana, seakan-akan orang itu mendadak hilang sirna tanpa bekas.
Ketika orang itu mengeluarkan suara “tangis bukan dan tawa tidak” itu, sebenarnya Yo Ko berdua sangat takut, kini keadaan menjadi sunyi senyap mendadak, dalam kegelapan kedua orang merasa lebih ngeri sehingga mereka meringkuk ber-dekapan tanpa berani bergerak.
Selang agak lama, sekonyong-konyong orang itu membentak “Kongsun Kokcu apa maksudmu? Apakah Kongsun Ci?” Nadanya penuh rasa gusar dan dendam.
Dengan menabahkan hati Kongsun Lik-oh menjawab: “Betul, memang ayahku bernama Ci, apakah Locianpwe kenal ayahku?”
“Hehehe, apakah kukenal dia? Apakah kukenal dia? Hehe!” demikian orang itu terkekeh aneh.
Lik-oh tak berani menanggapi lagi, terpaksa diam saja.
Selang sejenak pula, mendadak orang itu membentak: “Dan kau bernama siapa?”
“Wanpwe bernama Lik-oh, Lik artinya hijau dan Oh artinya kelopak bunga,” demikian Lik-oh menjelaskan.
Orang itu mendengus: “Hm! Coba katakan, kau dilahirkan tahun kapan, bulan dan hari apa serta waktunya?”
Tentu saja Lik-oh terheran-heran, ia tidak mengerti untuk apakah orang aneh ini menanyakan waktu kelahirannya, apakah bermaksud jahat padaku ia coba membisiki Yo Ko: “Bolehkah kukatakan padanya?”
Belum lagi Yo Ko menjawab, tiba-tiba orang itu menjengek lagi: “Tahun ini kau berumur 18, lahir pada pukul 12 siang tanggal 3 bulan 2, betul tidak?”
Lik-oh sangat terkejut serunya tersendat Dari… darimana engkau meng… mengerti?”
Tiba-tiba timbul semacam firasat aneh yang sukar terkatakan, ia merasa yakin manusia aneh ini pasti takkan membikin susah dirinya, cepat ia mendahului Yo Ko merangkak ke sana, sesudah berputar beberapa belokan, tiba-tiba pandangannya terbeliak, terlihat seorang nenek botak dan setengah badan telanjang berduduk di atas tanah dengan gusar tapi berwibawa.
Lik-oh menjerit kaget sambil berdiri dengan melenggong, Kuatir si nona mengalami apa-apa, cepat Yo Ko menyusul ke sana.
Terlihat tempat di mana si nenek botak itu berduduk adalah suatu lekukan batu alam, sebuah gua yang tak diketahui berapa dalamnya, di bagian atas ada sebuah lubang besar yang bulat tengahnya seluas dua-tiga meter, dari situlah cahaya matahari memancar masuk, Cuma lubang besar itu
terletak ratusan meter tingginya dari permukaan tanah, besar kemungkinan nenek ini terjatuh dari lubang besar itu dan untuk seterusnya tidak dapat keluar lagi.
Karena gua itu terletak jauh dibawah tanah, sekalipun berteriak dan menjerit sekerasnya disitu juga sukar didengar oleh orang lalu di atas sana. Cuma aneh juga, jatuh dari tempat setinggi itu ternyata nenek botak ini tidak terbanting mampus, sungguh luar biasa dan sukar dimengerti.
Yo Ko melihat si nenek menutupi tubuh bagian bawah dengan kulit pohon dan daun-daunan, barangkali sudah terlalu lama dia meringkuk di dalam gua ini sehingga pakaiannya sudah hancur semua.
Nenek itu tahu juga munculnya Yo Ko, tapi tidak digubrisnya, melulu Kongsun Lik-oh saja yang diamat- amatinya, tiba-tiba ia tertawa sedih, katanya: “Cantik amat kau, nona…”
Lik-oh membalasnya dengan tersenyum manis, ia melangkah maju dan memberi hormat serta menyapa: “Selamat, Locianpwe!”
Kembali Nenek itu menengadah dan mengeluarkan suara “tangis bukan tawa tidak” tadi, lalu berkata: “Locianpwe apa?
Hahaha, selamat? Aku selamat! Ahahahahaah!” Habis ini mendadak wajahnya penuh rasa gusar dan mata melotot
Tentu saja Lik-oh merasa bingung dan takut karena tidak tahu dimana ucapannya tadi telah membikin marah si nenek, ia menoleh kepada Yo Ko sebagai tanda minta bantuan.
Yo Ko berpendapat mungkin si nenek sudah terlalu lama hidup terpencil dan tersiksa lahir batin di gua ini sehingga pikirannya menjadi abnormal, maka ia menggeleng kepada Lik-oh dengan tersenyum sebagai tanda agar nona itu jangan pikirkan sikap si nenek yang aneh itu.
Disamping itu Yo Ko justeru lagi berpikir cara bagaimana dapat merambat kemar lubang di atas itu. Namun letak lubang teramat tinggi, sekalipun dengan Ginkang yang maha tinggi juga sukar mencapainya.
Dalam pada itu Lik-oh sedang memperhatikan si nenek dengan penuh perhatian, dilihatnya di atas kepala si nenek yang botak itu cuma ada beberapa utas rambut yang sangat jarang-jarang, mukanya penuh keriput, namun kedua matanya bersinar tajam, dari raut mukanya dapat dibayangkan di masa dahulu si nenek pasti seorang wanita cantik.
Sementara nenek itupun masih memandangi Kongsun Lik-oh tanpa berkedip. jadinya kedua orang hanya sa’ing pandang saja dan tidak menggubris Yo Ko sama sekali.
Sejenak kemudian, tiba-tiba nenek itu berkata: “Di sebelah kiri pinggangmu ada sebuah toh merah, betul tidak?”
Kembali Lik-oh terkejut, pikirnya: “Toh merah pada tubuhku ini sekalipun ayah kandungku juga belum tentu tahu, mengapa nenek yang terasing di gua bawah tuiah ini malah
tahu dengan jelas? Dia juga tahu waktu kelahiranku, tampaknya dia pasti mempunyai hubungan yang sangat erat dengan keluargaku,”
Karena itu, segeru ia bertanya dengan suara lembut: “Nenek, engkau pasti kenal ayahku dan tentu juga kenal pada mendiang ibuku, bukan?”
Nenek itu melengak, lalu menggumam: “Mendiang ibumu, mendiang ibumu? Hahaha, sudah tentu kukenal” Mendadak suaranya berubah bengis, ia membentak: “Hm pinggangmu ada toh merah seperti kutanyakan tadi tidak? Lekas buka pakaianmu dan perlihatkan padaku, kalau berbohong sedikit saja akan kubinasakan kau seketika di sini”
Lik-oh berpaling sekejap kepada Yo Ko dengan muka merah jengah, Cepat Yo Ko membalik tubuh ke sana, Maka Lik-oh membuka baju Yo Ko yang dipakainya, lalu menyingkapkan sebagian kutang dan celananya, kelihatanlah pinggangnya yang putih bersih itu memang betul ada sebuah toh merah sebesar ibu jari.
Melihat sekejap saja toh merah itu, seketika tubuh sinenek gemetarah, air matanya mendadak bercucuran terus merangkul Lik-oh dengan erat sambil berseru: “O, permata hatiku, betapa ibu merindukan kau selama ini.”
Melihat sikap dan air muka si nenek saja, secara otomatis telah menggugah watak alamiah seorang anak terhadap ibunya, terus saja Lik-oh mendekap si nenek sekencangnya dan berseru sambil menangisi “O, ibu!”
Mendengar orang dibelakangnya saling berseru, yang seorang memanggil “permata hati” dan yang lain menyebut ibu. Yo Ko terkejut dan cepat berpaling dilihatnya kedua orang saling mendekap kencang, jelas Kongsun Lik-oh sedang menangis tersedat dan muka si nenek juga kelihatan penuh ingus dan air mata, ia menjadi heran apakah nenek botak ini benar-benar ibu nona Kongsun?
Pada saat lain mendadak tertampak alis nenek itu menegak dan air mukanya berubah beringas, mirip sekali dengan Kongsun Kokcu apabila hendak menyerang orang, Yo Ko menjadi kuatir kalau nenek ini akan mencelakai Kongsun Lik-oh, cepat ia melangkah maju.
Tapi segera terlihat si nenek menepuk pelahan bahu Lik-oh dan membentak: “Coba berdiri sana, aku hendak tanya kau.”
Lik-oh tercengang dan menjauhi tubuh si nenek sambil memanggil lagi sekali: “lbu”
Mendadak nenek itu menbentak dengan bengis. “Untuk maksud apa Kongsun Ci menyuruh kau ke sini? Suruh kau membohongi aku dengan kata-kata manis, bukan?”
Lik-oh menggeleng dan berseru: “O, ibu, kiranya engkau masih hidup di dunia ini. O, ibu!” Air mukanya jelas memperlihatkan rasa girang dan haru, inilah perasaan murni seorang anak dengan ibunya, sedikitpun tidak pura-pura.
Tapi nenek botak itu tetap membentak lagi: “Kongsun Ci bilang aku sudah mati, bukan?”
“Anak telah menderita selama belasan tahun dan mengira sudah piatu tak beribu, ternyata ibu toh masih hidup dengan baik sungguh girang hatiku sekarang,” kata Lik-oh.
“Dan siapa dia?” tanya si nenek sambil menuding Yo Ko.
“Untuk apa kau membawanya ke sini?”
“Dengarkan dulu ceritaku, ibu,” kata Lik-oh lalu iapun menguraikan cara bagaimana Yo Ko datang ke Cui-sian-kok serta terkena racun duri bunga cinta, cara bagaimana kedua orang kejeblos dalam kolam buaya, Hanya mengenai Kongsun Kokcu hendak menikah dengan Siao-liong-li tidak diceritakannya untuk menjaga agar sang ibu tidak menaruh dendam dan cemburu.
Air muka si nenek tertampak lebih tenang setelah mendengar cerita itu, pandangannya terhadap Yo Ko juga semakin simpatik Sampai akhirnya ketika mengetahui Yo Ko telah membinasakan buaya dan menyelamatkan Lik-oh berulang-ulang nenek itu manggut-manggut dan berkata:
“Bagus, anak muda, bagus tidak sia-sia puteriku penujui kau.”
Wajah Lik-oh menjadi merah dan menunduk malu. Yo Ko pun merasa serba kikuk untuk menuturkan seluk beluk dirinya, hanya dikatakannya: “Kongsun-pekbo (bibi), sebaiknya kita mencari akal untuk bisa keluar dari sini,”
Mendadak si nenek menarik muka dan berkata: “Kongsun-pekbo apa katamu? selanjutnya jangan lagi kau menyebut perkataan Kongsun segala, jangan kau kira kaki tanganku ini tak bertenaga, jika ku-hendak bunuh kau, boleh dikatakan teramat mudah bagiku.”
“Crot”, mendadak dari mulutnya menyomprot keluar sesuatu dan terdengarlah suara “cring” yang nyaring, belati yang terpegang di tangan Yo Ko itu dengan tepat terbentur, seketika tangan Yo Ko terasa kesemutan, “trang”, tahu-tahu belati itu terlepas dan jatuh ke tanah, Dalam kagetnya cepat Yo Ko melompat mundur, waktu ia mengawasi, kiranya di tepi belati ada satu butir biji kurma.
Yo Ko terkejut dan sangsi pula, pikirnya: “Dengan tenaga yang kugunakan untuk memegangi belati ini, biarpun roda emas Kim-Ium Hoat-ong, gada si Darba atau golok bergigi Kongsun Kokcu juga sukar menggetar jatuh belatiku ini, tapi satu biji kurma yang disemburkan dari mulut nenek ini mampu menjatuhkan senjata dalam cekalanku, meski aku sendiri memang tidak bersiaga, namun dari sinipun dapat dibayangkan betapa hebat ilmu silat si nenek yang sukar diukur ini,”
Melihat kegugupan air muka Yo Ko, cepat Lik-oh berkata padanya: “jangan kuatir, Nyo-toako, ibuku pasti takkan mencelakai kau.” Segera ia mendekati dan pegang tangan anak muda itu, lalu berpaling dan berkata kepada sang ibu : “Engkau jangan marah, ibu, boleh engkau suruh dia ganti sebutan saja. Dia kan tidak tahu persoalannya.”
“Baiklah,” ujar nenek itu dengan tertawa, “nyonya selamanya tidak pernah ganti nama atau she, Thi-cio-lian-hoa (si bunga teratai bertangan besi) Kiu Jian-jiu ialah diriku ini.
Dan cara bagaimana kau memanggil aku, hehe, memangnya masih perlu tanya? Tidak lekas kau menyembah dan menyebut “ibu mertua” padaku?
Cepat Lik-oh menyela: “lbu, sebenarnya Yo-toako dan anak tiada apa-apa, dia hanya… hanya bermaksud baik saja kepada anak dan tiada kehendak…”
“Hm,” si nenek alias Kiu Jian-jio mendengus, “tiada apa-apa katamu dan tiada kehendak lain? Habis mengapa kau cuma memakai baju dalam dan sebaliknya memakai bajunya,”
- Mendadak ia per-keras suaranya dan setengah menjerit: “Jika bocah she Nyo ini berani meniru cara kotor dan rendah seperti Kongsun Ci, hm, tentu akan kubinasakan dia disini.
Nah, orang she Yo, kau menikahi anakku atau tidak?”
Melihat cara bicaranya seperti orang gila dan sukar diberi penjelasan, Yo Ko menjadi serba salah.
Sungguh aneh, baru pertama kali kenal sudah memaksa dirinya menikahi puterinya? Kalau ditolak secara terang-terangan, dikuatirkan pula akan menyinggung perasaan Lik-oh. Apalagi ilmu silat nenek ini sangat tinggi dan perangainya aneh juga, kalau sampai membikin marah padanya bukan mustahil seketika akan dibunuh olehnya. Padahal mereka sekarang bernasib sama yakni terkurung di goa bawah tanah ini, yang penting hanya mencari jalan meloloskan diri.
Maka dengan tersenyum berkatalah Yo Ko “Hendaklah Locianpwe jangan kuatir, nona Kongsun telah menolong aku dengan segala pengorbanan, Yo Ko bukanlah manusia yang tidak berperasaan, betapapun budi kebaikan nona Kongsun takkan kulupakan selama hidup ini,”
Ucapan Yo Ko ini cukup licin, meski tidak jelas menyanggupi akan menikahi Kongsun Lik-oh, tapi terasa puas bagi pendengaran Kiu Jian-Jiu. nenek ini manggut-manggut dan berkata: “Baiklah kalau begitu.”
Kongsun Lik-oh paham isi hati Yo Ko, dipandangnya sekejap anak muda itu dengan sorot yang menyesal dan perasaan hampa, lalu menunduk dan tidak bicara kgi. Selang sejenak baru dia berkata kepada Kiu Jian-Jio: “Mengapa engkau bisa berada di sini, ibu? Sebab apa ayah justeru bilang engkau sudah meninggal dunia sehingga membikin anak berduka selama belasan tahun ini, Bila anak mengetahui engkau berada di sini, dengan cara apapun juga anak pasti akan mencari ke sini.”
Dilihatnya bagian atas tubuh sang ibu telanjang, kalau baju Yo Ko itu diberikan padanya berarti ia sendiri yang kurang pakaian, terpaksa Lik-oh merobek sebagian baju itu untuk disampirkan di atas bahu ibu.
Diam-diam Yo Ko menyayangkan nasib baju yang dibuatkan oleh Siao-liong-li itu, hatinya menjadi berduka sehingga merangsang racun dari bunga cinta, seketika sejujur badan terasa kesakitan.
Melihat itu, tiba-tiba Kiu Jian-jio meraba pangkuannya seperti hendak mengambil sesuatu, tapi setelah dipikir lagi akhirnya tangan ditarik kembali dalam keadaan kosong.
Dari gerakan sang ibu Lik-oh melihat sesuatu, segera ia memohon: “Oh ibu, tentunya engkau dapat menyembuhkan racun bunga cinta itu, bukan?”
Dengan hambar Kiu Jian-jio menjawab: “Aku sendiri dalam keadaan susah, orang lain tidak mampu menolong aku, mana aku dapat pula menolong orang lain?”
“Tapi, asalkan ibu menolong dia, tentu dia akan berusahamenolong ibu” kata Lik-oh cepat “Andaikah engkau tidak menolong dia juga Nyo-toako akan membantu kau sepenuh tenaga, Betul tidak Nyo-toako.”
Sesungguhnya Yo Ko tidak menaruh simpatik terhadap Kiu Jian-jio yang eksentrik itu, cuma mengingat si Lik-oh, dengan sendirinya ia harus membantu sebisanya, maka jawabnya: “Ya, sudah tentu locianpwe telah berdiam sekian lamanya di sini, keadaan tempat ini tentu sudah sangat apal, apakah dapat memberi petunjuk sekedarnya?”
Kim Jian-jio menghela napas, katanya: “Meski tempat ini sangat dalam di bawah tanah, tapi tidaklah sulit jika mau keluar dari sini.”
Ia memandang Yo Ko sekejap, lalu menyambung. “Tentu dalam hati kau sedang berpikir, kalau tidak sulit untuk keluar, mengapa engkau masih menongkrong saja di sini? Ai,
ketahuilah bahwa urat nadi kaki dan tanganku sudah putus, seluruh ilmu silat ku sudah punah”
Sejak tadi Yo Ko memang melihat anggota badan nenek itu rada kurang wajar, maka iapun tidak heran mendengar keterangan itu, Tapi Lik-oh menjerit lantas berseru: “Oh, ibu, siapakah yang mencelakai engkau? “Kita harus menuntut balas.”
“Hmm, menuntut balas? Apakah kau tega membalasnya?” jengek Kiu Jian-jio, “orang yang memutuskan urat kaki dan tanganku justeru bukan Iain daripada Kongsun Ci adanya.”
Setelah mengetahui nenek itu adalah ibu kandung sendiri, dalam hati Lik-oh samar-samar sudah mulai membayangkan hal demikian, kini sang ibu mengatakannya sendiri, tidak urung hati Lik-oh tergetar juga, segera ia bertanya :”Apa sebabnya ayah berbuat begitu terhadap ibu?”.
Kiu Jian-jio melirik Yo Ko sekejap, talu berkata: “Sebab aku telah membunuh satu orang, seorang perempuan muda cantik jelita, Hm, sebab aku telah membunuh perempuan yang dicintai Kongsun Ci.”
Bicara sampai di sini ia menggertak gigi hingga berbunyi gemertak.
Likoh menjadi takut dan rada menjauhi sang ibu dan menyurut mendekati Yo Ko.
Seketika dalam gua itu suasana menjadi sunyi senyap.
Mendadak Kiu Jian-jio berkata: “Kalian sudah lapar bukan? Di sini hanya bisa mengisi perut dengan kurma.
Habis-berkata ia terus berjongkok dan merangkak ke depan dengan gerakan yang sangat cepat seperti binatang.
Pedih dan haru hati Yo Ko dan Lik-oh melihat kelakuan orang tua itu, sebaliknya Kiu Jian-jio sudah biasa merangkak cara begitu selama belasan tahun ini, maka bukan soal lagi baginya.
Segera Lik-oh bermaksud menyusul ke sana untuk memayang ibunya, tapi terlihat orang tua itu sudah berhenti dibawah sebatang pohon kurma yang besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar