Kembalinya Pendekar Rajawali 54
Segera ia mengayunkan gulungan bajunya lagi.
Terpaksa Kongsun Likoh harus loncat, kedua
kakinya mengencot sekuatnya pada batu karang, segera tubuhnya melayang ke
udara, didengarnya suara menyambernya gulungan baju itu di udara, kedua
tangannya terus merath, syukur tangan kanan dapat memegang ujung baju itu.
Ketika Yo Ko merasa tangannya terbetot,
sekuatnya ia terus menyendal sehingga tubuh si nona dapat dilontarkan ke mulut
gua tadi, Kuatir kalau nona itu kurang mantap berdirinya, sesudah mengayunkan
bajunya ia terus melompat pula ke sana dan menolak pelahan pada pinggang si
nona untuk kemudian duduklah mereka di mulut gua.
“Bagus sekali gagasanmu ini,” seru Lik-oh
kegirangan.
“Tapi di dalam gua ini entah ada makhluk buas
apa, terpaksa kita pasrah nasib saja,” ujar Yo Ko dengan tertawa, Segera ia
menerobos ke dalam lorong gua itu dengan membungkuk badan.
“Gunakan senjata ini untuk membuka jalan,”
kata Lik-oh sambil menyodorkan belati kepada Yo Ko.
Mulut gua itu sangat sempit, terpaksa kedua
orang merangkak maju, Lantaran hawa lembab kolam buaya, dalam gua ternyata
berlumut dan licin, bahkan berbau apek dan busuk.
“Pagi tadi kita masih menikmati pemandangan
alam dengan bunga yang mekar semerbak, siapa tahu beberapa jam kemudian kita
telah berada di tempat seperti ini, sungguh aku telah membikin susah saja
padamu,” kata Yo Ko sembari merangkak ke depan.
“Ini bukan salahmu,” ujar Lik-oh, Setelah
merangkak sekian Iamanya, terasalah lorong gua itu memang terus menyerong turun
ke bawah, tapi makin jauh makin kering dan bau busuk juga mulai lenyap.
“Ah, tampaknya habis merasakan pahit kini
telah mulai merasakan manisnya, kita sudah mulai memasuki wilayah bahagia.”
“Nyo-toako,” kata Lik-oh sambil menghela
napas, “kutahu hatimu sendiri susah, tidak perlu engkau sengaja membikin senang
hatiku.”
Belum habis ucapannya, mendadak dari sebelah
kiri sana berkumandang suara gelak tertawa seorang perempuan:
“Hahaha-hahahaaah!”
Jelas sekali suara itu adalah suara orang
tertawa, tapi kedengarannya justeru mirip orang menangis, suara “haha” itu
bernadakan rasa sedih memilukan luar biasa.
Selamanya Yo Ko dan Kongsun Lik-oh tak pernah
mendengar suara yang bukan tangis dan bukan tawa itu, apalagi di dalam goa yang
gelap dan seram itu mendadak mendengar suara aneh itu, tentu saja lebih
mengejutkan daripada tiba-tiba keper-gok binatang buas dan makhluk yang
menakutkan.
Yo Ko sebenarnya pemuda yang tabah dan
pemberani tapi tidak urung juga kaget oleh suara itu sehingga ubun-ubun
kepalanya kesakitan membentur atap gua itu, Lebih-lebih Lik-oh, ia bahkan
mengkilik dan merangkul kencang kaki Yo Ko.
Untuk sejenak Yo Ko berhenti merangkak dan
pasang telinga, tapi sedikitpun tiada suara orang lagi. Kedua orang menjadi
serba salah, ingin maju terus terasa takut, mau mundur terasa penasaran
“Apakah setan?” bisik Lik-oh dengan suara
lirih sekali.
Siapa tahu suara “tangis-tawa” tadi kembali
perkumandang pula, lalu terdengar perkataannya:
“Betul, aku ini setan, aku ini setan! Haha,
ha-hahaaah!”
Yo Ko pikir kalau dia mengaku sebagai setan
maka pasti bukanlah setan, dengan berani segera ia menanggapi dengan suara
lantang: “Cayhe bernama Yo Ko, bersama nona Kongsun ini kami lagi
tertimpa bencana, yang kami harapkan hanya cari selamat dan sama sekali tidak
bermaksud jahat
terhadap orang lain.”
“Nona Kongsun?” tiba-tiba orang itu menyela,
“Nona Kongsun apa?”
“Puteri Kongsun Kokcu, namanya Kongsun
Lik-oh,” jawab Yo Ko.
Habis tanya jawab ini, lalu lenyaplah suara
di sebelah sana, seakan-akan orang itu mendadak hilang sirna tanpa bekas.
Ketika orang itu mengeluarkan suara “tangis
bukan dan tawa tidak” itu, sebenarnya Yo Ko berdua sangat takut, kini keadaan
menjadi sunyi senyap mendadak, dalam kegelapan kedua orang merasa lebih ngeri
sehingga mereka meringkuk ber-dekapan tanpa berani bergerak.
Selang agak lama, sekonyong-konyong orang itu
membentak “Kongsun Kokcu apa maksudmu? Apakah Kongsun Ci?” Nadanya penuh rasa
gusar dan dendam.
Dengan menabahkan hati Kongsun Lik-oh
menjawab: “Betul, memang ayahku bernama Ci, apakah Locianpwe kenal ayahku?”
“Hehehe, apakah kukenal dia? Apakah kukenal
dia? Hehe!” demikian orang itu terkekeh aneh.
Lik-oh tak berani menanggapi lagi, terpaksa
diam saja.
Selang sejenak pula, mendadak orang itu
membentak: “Dan kau bernama siapa?”
“Wanpwe bernama Lik-oh, Lik artinya hijau dan
Oh artinya kelopak bunga,” demikian Lik-oh menjelaskan.
Orang itu mendengus: “Hm! Coba katakan, kau
dilahirkan tahun kapan, bulan dan hari apa serta waktunya?”
Tentu saja Lik-oh terheran-heran, ia tidak
mengerti untuk apakah orang aneh ini menanyakan waktu kelahirannya, apakah
bermaksud jahat padaku ia coba membisiki Yo Ko: “Bolehkah kukatakan padanya?”
Belum lagi Yo Ko menjawab, tiba-tiba orang
itu menjengek lagi: “Tahun ini kau berumur 18, lahir pada pukul 12 siang
tanggal 3 bulan 2, betul tidak?”
Lik-oh sangat terkejut serunya tersendat
Dari… darimana engkau meng… mengerti?”
Tiba-tiba timbul semacam firasat aneh yang
sukar terkatakan, ia merasa yakin manusia aneh ini pasti takkan membikin susah
dirinya, cepat ia mendahului Yo Ko merangkak ke sana, sesudah berputar beberapa
belokan, tiba-tiba pandangannya terbeliak, terlihat seorang nenek botak dan
setengah badan telanjang berduduk di atas tanah dengan gusar tapi berwibawa.
Lik-oh menjerit kaget sambil berdiri dengan
melenggong, Kuatir si nona mengalami apa-apa, cepat Yo Ko menyusul ke sana.
Terlihat tempat di mana si nenek botak itu
berduduk adalah suatu lekukan batu alam, sebuah gua yang tak diketahui berapa
dalamnya, di bagian atas ada sebuah lubang besar yang bulat tengahnya seluas
dua-tiga meter, dari situlah cahaya matahari memancar masuk, Cuma lubang besar
itu
terletak ratusan meter tingginya dari
permukaan tanah, besar kemungkinan nenek ini terjatuh dari lubang besar itu dan
untuk seterusnya tidak dapat keluar lagi.
Karena gua itu terletak jauh dibawah tanah,
sekalipun berteriak dan menjerit sekerasnya disitu juga sukar didengar oleh
orang lalu di atas sana. Cuma aneh juga, jatuh dari tempat setinggi itu
ternyata nenek botak ini tidak terbanting mampus, sungguh luar biasa dan sukar
dimengerti.
Yo Ko melihat si nenek menutupi tubuh bagian
bawah dengan kulit pohon dan daun-daunan, barangkali sudah terlalu lama dia
meringkuk di dalam gua ini sehingga pakaiannya sudah hancur semua.
Nenek itu tahu juga munculnya Yo Ko, tapi
tidak digubrisnya, melulu Kongsun Lik-oh saja yang diamat- amatinya, tiba-tiba
ia tertawa sedih, katanya: “Cantik amat kau, nona…”
Lik-oh membalasnya dengan tersenyum manis, ia
melangkah maju dan memberi hormat serta menyapa: “Selamat, Locianpwe!”
Kembali Nenek itu menengadah dan mengeluarkan
suara “tangis bukan tawa tidak” tadi, lalu berkata: “Locianpwe apa?
Hahaha, selamat? Aku selamat! Ahahahahaah!”
Habis ini mendadak wajahnya penuh rasa gusar dan mata melotot
Tentu saja Lik-oh merasa bingung dan takut
karena tidak tahu dimana ucapannya tadi telah membikin marah si nenek, ia
menoleh kepada Yo Ko sebagai tanda minta bantuan.
Yo Ko berpendapat mungkin si nenek sudah
terlalu lama hidup terpencil dan tersiksa lahir batin di gua ini sehingga
pikirannya menjadi abnormal, maka ia menggeleng kepada Lik-oh dengan tersenyum
sebagai tanda agar nona itu jangan pikirkan sikap si nenek yang aneh itu.
Disamping itu Yo Ko justeru lagi berpikir
cara bagaimana dapat merambat kemar lubang di atas itu. Namun letak lubang
teramat tinggi, sekalipun dengan Ginkang yang maha tinggi juga sukar
mencapainya.
Dalam pada itu Lik-oh sedang memperhatikan si
nenek dengan penuh perhatian, dilihatnya di atas kepala si nenek yang botak itu
cuma ada beberapa utas rambut yang sangat jarang-jarang, mukanya penuh keriput,
namun kedua matanya bersinar tajam, dari raut mukanya dapat dibayangkan di masa
dahulu si nenek pasti seorang wanita cantik.
Sementara nenek itupun masih memandangi
Kongsun Lik-oh tanpa berkedip. jadinya kedua orang hanya sa’ing pandang saja
dan tidak menggubris Yo Ko sama sekali.
Sejenak kemudian, tiba-tiba nenek itu
berkata: “Di sebelah kiri pinggangmu ada sebuah toh merah, betul tidak?”
Kembali Lik-oh terkejut, pikirnya: “Toh merah
pada tubuhku ini sekalipun ayah kandungku juga belum tentu tahu, mengapa nenek
yang terasing di gua bawah tuiah ini malah
tahu dengan jelas? Dia juga tahu waktu
kelahiranku, tampaknya dia pasti mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
keluargaku,”
Karena itu, segeru ia bertanya dengan suara
lembut: “Nenek, engkau pasti kenal ayahku dan tentu juga kenal pada mendiang
ibuku, bukan?”
Nenek itu melengak, lalu menggumam: “Mendiang
ibumu, mendiang ibumu? Hahaha, sudah tentu kukenal” Mendadak suaranya berubah
bengis, ia membentak: “Hm pinggangmu ada toh merah seperti kutanyakan tadi
tidak? Lekas buka pakaianmu dan perlihatkan padaku, kalau berbohong sedikit
saja akan kubinasakan kau seketika di sini”
Lik-oh berpaling sekejap kepada Yo Ko dengan
muka merah jengah, Cepat Yo Ko membalik tubuh ke sana, Maka Lik-oh membuka baju
Yo Ko yang dipakainya, lalu menyingkapkan sebagian kutang dan celananya,
kelihatanlah pinggangnya yang putih bersih itu memang betul ada sebuah toh
merah sebesar ibu jari.
Melihat sekejap saja toh merah itu, seketika
tubuh sinenek gemetarah, air matanya mendadak bercucuran terus merangkul Lik-oh
dengan erat sambil berseru: “O, permata hatiku, betapa ibu merindukan kau
selama ini.”
Melihat sikap dan air muka si nenek saja,
secara otomatis telah menggugah watak alamiah seorang anak terhadap ibunya,
terus saja Lik-oh mendekap si nenek sekencangnya dan berseru sambil menangisi
“O, ibu!”
Mendengar orang dibelakangnya saling berseru,
yang seorang memanggil “permata hati” dan yang lain menyebut ibu. Yo Ko
terkejut dan cepat berpaling dilihatnya kedua orang saling mendekap kencang, jelas
Kongsun Lik-oh sedang menangis tersedat dan muka si nenek juga kelihatan penuh
ingus dan air mata, ia menjadi heran apakah nenek botak ini benar-benar ibu
nona Kongsun?
Pada saat lain mendadak tertampak alis nenek
itu menegak dan air mukanya berubah beringas, mirip sekali dengan Kongsun Kokcu
apabila hendak menyerang orang, Yo Ko menjadi kuatir kalau nenek ini akan
mencelakai Kongsun Lik-oh, cepat ia melangkah maju.
Tapi segera terlihat si nenek menepuk pelahan
bahu Lik-oh dan membentak: “Coba berdiri sana, aku hendak tanya kau.”
Lik-oh tercengang dan menjauhi tubuh si nenek
sambil memanggil lagi sekali: “lbu”
Mendadak nenek itu menbentak dengan bengis.
“Untuk maksud apa Kongsun Ci menyuruh kau ke sini? Suruh kau membohongi aku
dengan kata-kata manis, bukan?”
Lik-oh menggeleng dan berseru: “O, ibu,
kiranya engkau masih hidup di dunia ini. O, ibu!” Air mukanya jelas
memperlihatkan rasa girang dan haru, inilah perasaan murni seorang anak dengan
ibunya, sedikitpun tidak pura-pura.
Tapi nenek botak itu tetap membentak lagi:
“Kongsun Ci bilang aku sudah mati, bukan?”
“Anak telah menderita selama belasan tahun
dan mengira sudah piatu tak beribu, ternyata ibu toh masih hidup dengan baik
sungguh girang hatiku sekarang,” kata Lik-oh.
“Dan siapa dia?” tanya si nenek sambil
menuding Yo Ko.
“Untuk apa kau membawanya ke sini?”
“Dengarkan dulu ceritaku, ibu,” kata Lik-oh
lalu iapun menguraikan cara bagaimana Yo Ko datang ke Cui-sian-kok serta
terkena racun duri bunga cinta, cara bagaimana kedua orang kejeblos dalam kolam
buaya, Hanya mengenai Kongsun Kokcu hendak menikah dengan Siao-liong-li tidak
diceritakannya untuk menjaga agar sang ibu tidak menaruh dendam dan cemburu.
Air muka si nenek tertampak lebih tenang
setelah mendengar cerita itu, pandangannya terhadap Yo Ko juga semakin simpatik
Sampai akhirnya ketika mengetahui Yo Ko telah membinasakan buaya dan
menyelamatkan Lik-oh berulang-ulang nenek itu manggut-manggut dan berkata:
“Bagus, anak muda, bagus tidak sia-sia
puteriku penujui kau.”
Wajah Lik-oh menjadi merah dan menunduk malu.
Yo Ko pun merasa serba kikuk untuk menuturkan seluk beluk dirinya, hanya
dikatakannya: “Kongsun-pekbo (bibi), sebaiknya kita mencari akal untuk bisa
keluar dari sini,”
Mendadak si nenek menarik muka dan berkata:
“Kongsun-pekbo apa katamu? selanjutnya jangan lagi kau menyebut perkataan
Kongsun segala, jangan kau kira kaki tanganku ini tak bertenaga, jika ku-hendak
bunuh kau, boleh dikatakan teramat mudah bagiku.”
“Crot”, mendadak dari mulutnya menyomprot
keluar sesuatu dan terdengarlah suara “cring” yang nyaring, belati yang
terpegang di tangan Yo Ko itu dengan tepat terbentur, seketika tangan Yo Ko
terasa kesemutan, “trang”, tahu-tahu belati itu terlepas dan jatuh ke tanah,
Dalam kagetnya cepat Yo Ko melompat mundur, waktu ia mengawasi, kiranya di tepi
belati ada satu butir biji kurma.
Yo Ko terkejut dan sangsi pula, pikirnya:
“Dengan tenaga yang kugunakan untuk memegangi belati ini, biarpun roda emas
Kim-Ium Hoat-ong, gada si Darba atau golok bergigi Kongsun Kokcu juga sukar
menggetar jatuh belatiku ini, tapi satu biji kurma yang disemburkan dari mulut
nenek ini mampu menjatuhkan senjata dalam cekalanku, meski aku sendiri memang
tidak bersiaga, namun dari sinipun dapat dibayangkan betapa hebat ilmu silat si
nenek yang sukar diukur ini,”
Melihat kegugupan air muka Yo Ko, cepat
Lik-oh berkata padanya: “jangan kuatir, Nyo-toako, ibuku pasti takkan
mencelakai kau.” Segera ia mendekati dan pegang tangan anak muda itu, lalu
berpaling dan berkata kepada sang ibu : “Engkau jangan marah, ibu, boleh engkau
suruh dia ganti sebutan saja. Dia kan tidak tahu persoalannya.”
“Baiklah,” ujar nenek itu dengan tertawa,
“nyonya selamanya tidak pernah ganti nama atau she, Thi-cio-lian-hoa (si bunga
teratai bertangan besi) Kiu Jian-jiu ialah diriku ini.
Dan cara bagaimana kau memanggil aku, hehe,
memangnya masih perlu tanya? Tidak lekas kau menyembah dan menyebut “ibu
mertua” padaku?
Cepat Lik-oh menyela: “lbu, sebenarnya
Yo-toako dan anak tiada apa-apa, dia hanya… hanya bermaksud baik saja kepada
anak dan tiada kehendak…”
“Hm,” si nenek alias Kiu Jian-jio mendengus,
“tiada apa-apa katamu dan tiada kehendak lain? Habis mengapa kau cuma memakai
baju dalam dan sebaliknya memakai bajunya,”
- Mendadak ia per-keras suaranya dan setengah
menjerit: “Jika bocah she Nyo ini berani meniru cara kotor dan rendah seperti
Kongsun Ci, hm, tentu akan kubinasakan dia disini.
Nah, orang she Yo, kau menikahi anakku atau
tidak?”
Melihat cara bicaranya seperti orang gila dan
sukar diberi penjelasan, Yo Ko menjadi serba salah.
Sungguh aneh, baru pertama kali kenal sudah
memaksa dirinya menikahi puterinya? Kalau ditolak secara terang-terangan,
dikuatirkan pula akan menyinggung perasaan Lik-oh. Apalagi ilmu silat nenek ini
sangat tinggi dan perangainya aneh juga, kalau sampai membikin marah padanya
bukan mustahil seketika akan dibunuh olehnya. Padahal mereka sekarang bernasib
sama yakni terkurung di goa bawah tanah ini, yang penting hanya mencari jalan
meloloskan diri.
Maka dengan tersenyum berkatalah Yo Ko
“Hendaklah Locianpwe jangan kuatir, nona Kongsun telah menolong aku dengan
segala pengorbanan, Yo Ko bukanlah manusia yang tidak berperasaan, betapapun
budi kebaikan nona Kongsun takkan kulupakan selama hidup ini,”
Ucapan Yo Ko ini cukup licin, meski tidak
jelas menyanggupi akan menikahi Kongsun Lik-oh, tapi terasa puas bagi
pendengaran Kiu Jian-Jiu. nenek ini manggut-manggut dan berkata: “Baiklah kalau
begitu.”
Kongsun Lik-oh paham isi hati Yo Ko,
dipandangnya sekejap anak muda itu dengan sorot yang menyesal dan perasaan
hampa, lalu menunduk dan tidak bicara kgi. Selang sejenak baru dia berkata
kepada Kiu Jian-Jio: “Mengapa engkau bisa berada di sini, ibu? Sebab apa ayah
justeru bilang engkau sudah meninggal dunia sehingga membikin anak berduka
selama belasan tahun ini, Bila anak mengetahui engkau berada di sini, dengan
cara apapun juga anak pasti akan mencari ke sini.”
Dilihatnya bagian atas tubuh sang ibu
telanjang, kalau baju Yo Ko itu diberikan padanya berarti ia sendiri yang
kurang pakaian, terpaksa Lik-oh merobek sebagian baju itu untuk disampirkan di
atas bahu ibu.
Diam-diam Yo Ko menyayangkan nasib baju yang
dibuatkan oleh Siao-liong-li itu, hatinya menjadi berduka sehingga merangsang
racun dari bunga cinta, seketika sejujur badan terasa kesakitan.
Melihat itu, tiba-tiba Kiu Jian-jio meraba
pangkuannya seperti hendak mengambil sesuatu, tapi setelah dipikir lagi
akhirnya tangan ditarik kembali dalam keadaan kosong.
Dari gerakan sang ibu Lik-oh melihat sesuatu,
segera ia memohon: “Oh ibu, tentunya engkau dapat menyembuhkan racun bunga cinta
itu, bukan?”
Dengan hambar Kiu Jian-jio menjawab: “Aku
sendiri dalam keadaan susah, orang lain tidak mampu menolong aku, mana aku
dapat pula menolong orang lain?”
“Tapi, asalkan ibu menolong dia, tentu dia
akan berusahamenolong ibu” kata Lik-oh cepat “Andaikah engkau tidak menolong
dia juga Nyo-toako akan membantu kau sepenuh tenaga, Betul tidak Nyo-toako.”
Sesungguhnya Yo Ko tidak menaruh simpatik
terhadap Kiu Jian-jio yang eksentrik itu, cuma mengingat si Lik-oh, dengan
sendirinya ia harus membantu sebisanya, maka jawabnya: “Ya, sudah tentu
locianpwe telah berdiam sekian lamanya di sini, keadaan tempat ini tentu sudah
sangat apal, apakah dapat memberi petunjuk sekedarnya?”
Kim Jian-jio menghela napas, katanya: “Meski
tempat ini sangat dalam di bawah tanah, tapi tidaklah sulit jika mau keluar
dari sini.”
Ia memandang Yo Ko sekejap, lalu menyambung.
“Tentu dalam hati kau sedang berpikir, kalau tidak sulit untuk keluar, mengapa
engkau masih menongkrong saja di sini? Ai,
ketahuilah bahwa urat nadi kaki dan tanganku
sudah putus, seluruh ilmu silat ku sudah punah”
Sejak tadi Yo Ko memang melihat anggota badan
nenek itu rada kurang wajar, maka iapun tidak heran mendengar keterangan itu,
Tapi Lik-oh menjerit lantas berseru: “Oh, ibu, siapakah yang mencelakai engkau?
“Kita harus menuntut balas.”
“Hmm, menuntut balas? Apakah kau tega
membalasnya?” jengek Kiu Jian-jio, “orang yang memutuskan urat kaki dan
tanganku justeru bukan Iain daripada Kongsun Ci adanya.”
Setelah mengetahui nenek itu adalah ibu
kandung sendiri, dalam hati Lik-oh samar-samar sudah mulai membayangkan hal
demikian, kini sang ibu mengatakannya sendiri, tidak urung hati Lik-oh tergetar
juga, segera ia bertanya :”Apa sebabnya ayah berbuat begitu terhadap ibu?”.
Kiu Jian-jio melirik Yo Ko sekejap, talu
berkata: “Sebab aku telah membunuh satu orang, seorang perempuan muda cantik
jelita, Hm, sebab aku telah membunuh perempuan yang dicintai Kongsun Ci.”
Bicara sampai di sini ia menggertak gigi
hingga berbunyi gemertak.
Likoh menjadi takut dan rada menjauhi sang
ibu dan menyurut mendekati Yo Ko.
Seketika dalam gua itu suasana menjadi sunyi
senyap.
Mendadak Kiu Jian-jio berkata: “Kalian sudah
lapar bukan? Di sini hanya bisa mengisi perut dengan kurma.
Habis-berkata ia terus berjongkok dan
merangkak ke depan dengan gerakan yang sangat cepat seperti binatang.
Pedih dan haru hati Yo Ko dan Lik-oh melihat
kelakuan orang tua itu, sebaliknya Kiu Jian-jio sudah biasa merangkak cara
begitu selama belasan tahun ini, maka bukan soal lagi baginya.
Segera Lik-oh bermaksud menyusul ke sana
untuk memayang ibunya, tapi terlihat orang tua itu sudah berhenti dibawah
sebatang pohon kurma yang besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar