Rabu, 14 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 37


Liok Bu Song

Kembalinya Pendekar Rajawali 37

Makin lama suara nyanyian Li Bok-chiu makin kecil, tapi makin kecil makin melengking tinggi juga nadanya, Rada kacau Yo Ko terpengaruh oleh suara tangisnya, satu saat iapun tertarik menuruti irama orang tanpa sadar, Thia Eng memangnya lebih cetek lagi keuletannya, lebih-lebih ia tak bisa menguasai diri.
Diam-diam Li Bok-chiu sangat girang, ia pikir tanpa turun tangan, cukup dengan suara nyanyianku saja sudah bisa bikin kalian hilang semangat dan menyerah. Siapa tahu sedikit ia bergirang, suara nyanyiannya segerapun timbul reaksi dan ikut menunjuk rasa girang juga.
Kesempatan ini digunakan Yo Ko dengan baik untuk membelok kembali iramanya, menyusul Thia Eng pun bisa menguasai diri kembali ke lagu mereka tadi.
Melihat usahanya gagal, tidak kepalang gusarnya Li Bok-chiu, suara nyanyiannya bertambah tinggi dan beberapa kalimat lanjutannya dinyatakan secara lebih pilu tapi bengis mengadung rasa marah, tapi Yo Ko dapat melawannya dengan kuat.
Di antara empat orang ilmu silat Liok Bu siang adalah paling rendah, mula-mula ia heran mengapa gurunya mendadak menarik suara dan menyanyi, baru kemudian ia paham bahwa hakikatnya kedua pihak sedang saling gebrak, cuma bukan gebrak dengan kaki tangan, melainkan adu pengaruh batin, termasuk Lwekang. ia lihat paduan suara musik Yo Ko dan Thia Eng masih tak sanggup menahan gempuran suara nyanyi gurunya, ia tahu gurunya tak berani sembarang menyerbu masuk karena dirintangi barisan gundukan tanah di luar rumah itu, maka dengan suara nyanyian hendak bikin kacau dulu semangat mereka bertiga, habis itu tanpa banyak buang tenaga barisan gundukan tanah akan dibobolnya.
Sejenak kemudian didengarnya suara kecapi dan seruling mulai kisruh, ia tahu Yo Ko dan Thia Eng sudah repot melawan musuh, cuma sayang ia tak berdaya buat membantunya, tiada jalan lain kecuali berkuatir saja diam-diam.
Suatu saat, tiba-tiba Li Bok-chiu meninggikan iramanya hingga lebih sedih dan seram kedengarannya, Sukar Yo Ko dan Thia Eng hendak melawannya, ketika nada suara kecapi makin lama makin tinggi juga, akhirnya terdengarlah suara “creng”, senar pertama kecapi itu telah putus.
Thia Eng terkejut, suara serulingnya rada kacau, kembali senar kedua kecapi Yo Ko putus pula. Ketika Li Bok-chiu tarik suaranya lebih tinggi segera senar ketiga lagi-lagi gugur.
Dengan demikian suara seruling Thia Eng tak bisa lagi berpaduan dengan suara kecapi yang telah pincang itu.
Tadi waktu Li Bok-chiu mendatangi rumah gubuk itu, dari jauh sudah dilihatnya barisan gundukan tanah yang kelihatan tertumpuk serabutan itu, tapi di dalamnya sebenarnya penuh perubahan2 menurut lukisan Pat-kwa, cuma belum sempurna.
Sebenarnya pada waktu senar kecapi Yo Ko putus dan suaranya rada kacau, segera ia bisa menyerbu rnasuk, tapi ia masih jeri terhadap barisan gundukan tanah itu.
Tiba-tiba tergerak pikirannya, cepat ia memutar ke sebelah kiri itu, dibarengi suara nyanyianrya yang bernada tinggi, ia melompati segundukan tanah terus membobol dinding rumah
dan menyerbu ke dalam.
Kiranya barisan gundukan tanah yang dipasang Thia Eng itu melulu mengutamakan menjaga pintu depan dan tidak memikirkan bahwa dinding rumah reyot yang kurang kokoh.
Kini Li Bok-chiu secara cerdik hindarkan pintu depan dan main pintu belakang, ketika kedua telapak tangannya memukul keras, dinding gubuk itu kena dirobohkannya dan diterjang masuk.
Terkejut sekali Liok Bu-siang dan Thia Eng, ke-dua2nya berlari masuk ke dalam dengan pedang siap di tangan.
Melihat Li Bok-chiu masuk dengan membobol dinding Yo Ko pun terkejut. Tapi bila ingat ia sendiri terluka dan tak mampu melawan, segera ia menjadi nekad, mati hidup tak dipikirnya lagi, ia ganti nada kecapinya dan tukar sebuah lagu “tho-yao” yang menyanyikan pasangan muda-mudi pada hari penganten baru dengan penuh rasa bahagia.
Melihat si Yo Ko begitu tenang, musuh di depan mata masih unjuk senyuman, diam-diam Li Bok-chiu kagum akan nyali orang, tapi demi mendengat suara kecapinya yang mesra menarik itu, tak tahan harinya terguncang.
“Mana kitabnya? sebenarnya direbut orang Kay-pang atau tidak?” tanya Li Bok-chiu tiba-tiba pada Liok Bu-siang.
Bu-siang tak menjawab. sebaliknya Yo Ko gunakan tangan kiri buat memetik kecapi dan tangan kanan melemparkan kitab “panca-bisa” itu kepadanya.
“Oey-pangcu dari Kay-pang adalah seorang berbudi luhur dan punya harga diri, mana ia sudi melihat kitabmu yang kotor ini? Malah dia telah memberi perintah pada anak murid Kay-pang agar tidak membalik barang sehalaman bukumu ini,” demikian kata Yo Ko.
Melihat kitab pusakanya masih baik-baik tak kurang suatu apapun, girang sekali Li Bok-chiu, iapun kenal kelakuan orang Kay-pang yang biasanya sangat terpuji, peraturan merekapun sangat keras, mungkin juga belum pernah ada yang membuka kitabnya dan membacanya, Karena girangnya itu pengaruh suara sedihnya tadi lantas berkurang beberapa bagian.
Kemudian Yo Ko keluarkan lagi dua potong belahan saputangan bersulam dan dibentang di atas meja, “Saputangan inipun kau ambil saja sekalian.” katanya pula.
Air muka Li Bok-chiu berubah hebat melihat saputangan itu, begitu kebutnya menyamber, kedua potong saputangan itu sudah terbelit dan sampai di tangannya, ia terkesima memandangi saputangan itu, seketika perasaannya timbul tenggelam bagai ombak mendampar.
Di lain pihak Thia Eng dan Liok Bu-siang telah saling pandang sekejap, paras merekapun merah jengah, sungguh tak terduga masing-masing telah memberikan saputangan sendiri-sendiri pada Yo Ko, sedang pemuda ini justru unjukkan saputangan itu di hadapan mereka.
Kedua saudara misan ini siulan sama tahu masing-masing jatuh hati pada Yo Ko, tapi sifat anak gadis dengan sendirinya sukar diucapkannya terus terang.
Mendadak Li Bok-chiu merobek kedua potong saputangan itu menjadi empat potong, “Kejadian sudah lalu buat apa disesalkan pula?” katanya tiba-tiba.
Dan ketika tangannya menyobek lagi terus-dilempar ke udara, tahu-tahu sobekan saputangan tadi berhamburan bagai bunga rontok.
Yo Ko terkejut, “creng”, kembali terdengar suara nyaring, seutas senar kecapi yang lain kembali putus.
“Kalau kini kubunuh kau, gampang bagai membalik tanganku sendiri,” bentak Li Bok-chiu.
“Tapi kau terluka, bila kubunuh kau mungkin kan pun tidak rela, Cis, putus lagi seutas !”
Betul saja senar kecapi kelima kembali putus menyusul suara ejekannya itu.
Kini kecapi yang tadinya bersenar tujuh itu tinggal dua senar saja, betapa pandai Yo Ko memainkan kecapi sukar lagi membentuk irama pula.
“Hayo lekas petik beberapa suara sedih saja biar kalian menangis, dunia fana ini selalu membikin orang menderita, apa senangnya orang hidup?” demikian tiba-tiba Li Bok-chiu membentak.
Tapi watak si Yo Ko sangat bandel, ia justru pelik kedua senar kecapinya keras-keras dan tetap dengan nada nyanyian gembira kemanten baru tadi.
“Baik, biar aku bunuh seorang dulu, coba kau bakal sedih dan pilu tidak?” kata Bok-chiu pula. Karena kata-katanya ini, kembali seutas senar kecapi gugur lagi.
Habis itu Bok-chiu angkat kebutnya terus hendak disabetkan ke kepala Liok Bu-siang, namun Thia Eng segera angkat pedang siap adu jiwa dengan musuh.
Insaf tak bisa menghindarkan ancaman musuh lagi, tiba-tiba Yo Ko malah tertawa, “Hari ini kami bertiga bisa mati bersama di suatu tempat dan saat yang sama senang dan bahagia, sungguh jauh lebih enak daripada kau hidup sebatangkara di dunia ini dengan hati kosong,” demikian ia ejek musuh.
“Hayo, Eng-moay, Siang-moay, marilah kalian ke sini!”
Segera Thia Eng dan Bu-siang mendekati Yo Ko sebuah tangan pemuda ini memegang Thia Eng dan tangan lain pegang Bu-siang, lalu dengan tertawa ia berkata:
“Biarlah kita mati bersama, di tengah jalan menuju alam baka kita masih dapat bicara sambil bergurau, bukankah jauh lebih baik daripada perempuan jahat dan keji ini?”
“Ya, ya, Tolol, sedikitpun tak salah katamu,” sahut Bu-siang tertawa, karena itu Thia Eng ikut tersenyum hangat.
Karena tangan kedua saudara misan ini dipegang Yo Ko, seketika keberanian merekapun bertambah lipat ganda, perasaan mereka amat senangnya.
“Apa yang dikatakan bocah ini tidak salah juga, kalau mereka mati secara demikian, betul juga jauh lebih enakdaripada hidupku,” diam-diam Bok-chiu membatin dengan wajah sedingin es. Tapi hatinya yang kejam itu segera berpikir lagi: “Ah, mana boleh begitu enak bagi mereka? Aku justru ingin membikin kalian mati dengan menderita lebih dulu.”
Habis ini ia geraki kebutnya pelahan terus mulai menyanyi lagi, lagunya masih tetap seperti tadi, cuma nadanya bertambah sedih bagai keluhan janda terbuang, seperti tangisan setan gentayangan di malam sunyi.
Tangan Yo Ko bertiga masih saling genggam hangat, setelah mendengarkan tak lama, tiba-tiba timbul rasa pilu mereka yang tak tertahankan lwekang Yo Ko lebih tinggi ia coba kumpulkan semangat agar tak terpengaruh dengan pertahankan senyumannya.
Hati Bu-siang juga lebih keras dan tidak gampang terguncang, tapi Thia Eng agaknya tak tahan, air matanya meleleh.
Suara nyanyian Li Bok-chiu makin lama makin rendah, sampai akhirnya menjadi begitu lirih seperti terputus, lalu menyambung lagi Kelopak mata Yo Ko mulai merah, hidungnya mulai basah ingusan.
Jik-lian-sian-cu sedang menunggu, asal ketiga orang mengalirkan air mata berbareng, begitu kebutnya menyabet, segera mereka akan dibinasakannya.
Tapi pada saat nyanyiannya bertambah sedih luar biasa itu, mendadak didengarnya di luar rumah ada orang datang dengan bergelak tertawa, sambil bertepuk tangan dan bendendang.
Suara nyanyian itu suara kaum wanita, kedengaran usia yang menyanyi pasti tidak muda lagi, tapi lagu yang dibawakannya justeru lagu kanak-kanak yang riang gembira, karena itu nada suara Li Bok-chiu yang sedih itu menjadi kacau balau.
Suara nyanyian itu makin mendekat, sejenak kemudian masuklah seorang perempuan setengah umur dengan rambut semrawut, kedua matanya besar bulat dan tertawa ketolol-tololan, sebelah tangannya membawa sebatang garpu besar yang biasa dipakai tukang api.
Li Bok-chiu terkejut heran perempuan itu dapat masuk ke rumah ini dengan mengitari barisan gundukan tanah yang diatur oleh Thia Eng itu, jika perempuan sinting ini bukan sekomplotan dengan Thia Eng bertiga, tentu dia mahir ilmu perhitungan bintang yang mujizat itu.
Lantaran pikirnya terganggu oleh pikiran lain, seketika pengaruh nyanyiannya yang bernada sedih itupun surut, tidak selihay tadi.
Thia Eng sangat girang melihat datangnya perempuan setengah umur itu, segera ia berseru: “Suci, orang ini hendak mencelakai diriku, lekas engkau membantu adikmu ini.”
Kiranya perempuan ini, adalah murid Oey Yok-su, namanya Sah Koh (si nona tolol). ia tidak menjawab seruan Thia Eng itu, tapi melanjutkan bernyanyi sambil tertawa. Lagunya tetap lagu kanak-anak yang bersuka ria sehingga tidak terpengaruh oleh nada nyanyian Li Bok-chiu yang sangat sedih itu.
Lama-lama Li Bok-chiu menjadi murka, ia pikir perempuan sinting ini harus dibereskan lebih dulu, Maka sebelum berhenti suara nyanyiannya, serentak kebutnya menyabet ke arah kepala Sah Koh.
Sungguh aneh, sama sekali Sah Koh tidak ambil pusing akan serangan Li Bok-chiu itu, sebaliknya ia angkat garpunya terus menusuk ke dada lawan.
Melihat serangan lawan sangat kuat, kembali Li Bok-chiu terkejut ia tidak paham mengapa perempuan sinting ini memiliki kekuatan sedemikian hebat. Cepat ia menggeser ke samping, menyusul kebutnya menyabet pula ke leher orang.
Tapi Sah Koh tetap tidak pedulikan serangan musuh, kembali garpunya menusuk lurus ke depan, Waktu Li Bok-chiu memutar kebutnya untuk membelit ujung garpu, namun Sah Koh anggap tidak tahu saja, ujung garpu tetap menusuk ke depan.
Kiranya Sah Koh ini aslinya adalah anak murid Oey Yok-su yang bernama Ki Leng-hong.
Watak Oey Yok-su terkenal aneh, eksentrik, Leng-hong telah menjadi korban wataknya yang luar biasa itu, Karena menyesal Oey Yok-su telah pungut anak perempuan Ki Leng-hong, yaitu Sah Koh dan berjanji pada diri sendiri akan mendidik Sah Koh dengan segenap kepandaian yang dimilikinya. Cuma sayang, lantaran syaraf nya terganggu ketika menyaksikan ayahnya tewas, maka otaknya menjadi miring, terbatas oleh bakatnya ini maka sia-sia saja jerih payah Oey Yok-su yang berusaha menurunkan segenap kepandaiannya kepada nona itu, walaupun begitu, selama belasan tahun ini dapat pula dilatihnya suatu permainan ciang-hoat (pukulan dengan telapak tangan) dan permainan Jeh-hoat (permainan garpu).
Apa yang disebut suatu permainan sebenarnya Cuma terdiri dari tiga jurus saja setiap macamnya, soalnya Oey Yok-su memaklumi bakat Sah Koh yang kurang itu, kalau diajari perubahan yang aneh dan rumit tentu malah tak dapat diingatnya, Maka ia sengaja menciptakan tiga jurus ilmu pukulan dan tiga jurus serangan garpu, keenam jurus ini sangat berbahaya, tiada sesuatu perubahan sampingan dan tiada gerakan yang aneh, begitu2 melulu, letak kelihaiannya hanya soal keteguhan pikiran dan kemantapan hati saja, latih terus keenam jurus itu sekuatnya, lain tidak.
Karena itulah keenam jurus Sah Koh itu tak dapat dipandang enteng, malah ketika ujung kebut Li Bok-chiu melilit ujung garpu si Sah Koh, ternyata lawan tak ambil pusing, garpunya juga tidak berhenti, tapi tetap lurus menusuk ke depan, sekejap saja ujung garpu sudah sampai di depan dadanya.
Syukur Li Bok-chiu memang seorang tokoh maha sakti, pada detik garpu musuh sudah hampir melubangi buah dadanya itulah, mendadak ia berjumpalitan ke belakang, dengan demikian terhindarlah dia dari renggutan maut, walaupun begitu keringat dinginpun telah membasahi tubuhnya.
Setelah berjumpalitan ke belakang, malahan ia tidak berhenti, segera ia melompat maju, kebutnya menyabet pula dari atas. Tapi lagi-lagi Sah Koh tidak pedulikan serangan lawan, kembali garpunya menusuk lurus ke depan. Karena sekali ini Li Bok-chiu sedang melompat, maka garpu itu jadinya mengarah ke perutnya.
Melihat ancaman bahaya itu, terpaksa Li Bok-chiu tarik kebutnya untuk menangkis garpu orang, berbareng itu melompat ke samping. ia pandang Sah Koh dengan tidak habis mengerti apa sebabnya setiap tusukan garpu lawan yang sederhana itu seketika dapat mematahkan sabetan kebutnya yang beraneka ragam perubahannya, padahal selama ini tokoh silat manapun tidak berani meremehkan serangan kebutnya itu. jelas perempuan sinting ini memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur, jaIan paling selamat rasanya tiada pilihan Iain kecuali angkat langkah seribu saja.
Tapi baru saja Li Bok-chiu hendak kabur melalui lubang dinding yang dibobolnya tadi, tiba-tiba terlihat di tepi bobolan dinding itu sudah berduduk seorang berjubah hijau dan berjenggot panjang siapa lagi dia kalau bukan Tho-hoa-tocu Oey Yok su adanya.
Oey Yok-su berduduk menghadap sebuah bangku pendek, diatas bangku terletak kecapi Yo Ko tadi, Padahal Li Bok-chiu maha cerdik, biarpun sedang bertempur juga panca inderanya selalu waspada terhadap segala gerak-gerik di sekitarnya, Tapi kini Oey Yok-su masuk rumah, mengambil kecapi dan berduduk di situ di luar tahunya sama sekali, bilamana Oey Yok-su mau menyergapnya, maka jiwanya tentu sudah melayang sejak tadi.
Sembari bertempur melawan Sah Koh tadi, kuatir kalau Thia Eng bertiga ikut mengerubutnya, maka Li Bok chiu tidak pernah menghentikan nyanyinya untuk mengganggu pemusatan pikiran Thia Eng bertiga.
Kini mendadak nampak Oey Yok-su berduduk di situ sambil memetik kecapi, saking kagetnya seketika iapun lupa menyanyi lagi.
Mendadak Oey Yok-su memetik senar kecapi hingga menimbulkan suara “creng” yang nyaring, lalu dia mulai bemyanyi, yang dibawakan ternyata adalah lagu yang dinyanyikan Li Bok-chiu tadi, padahal senar kecapi itu tinggal satu saja, tapi Oey Yok-su adalah seorang mahaguru ilmu silat,
dari sebuah senar itu dapatlah dipetiknya menjadi berbagai irama yg diinginkannya, malahan nada duka suara kecapinya ini jauh, melebihi suara nyanyian Li Bok-chiu tadi.
Karena lagu ini sudah apal bagi Li Bok-chiu, sekali nadanya dikerahkan, seketika reaksi yang timbul dalam perasaannya menjadi berlipat ganda terlebih hebat daripada Yo Ko bertiga.
Oey Yok-su tahu kejahatan yang diperbuat Li Bok-chiu, kesempatan ini akan digunakan untuk menumpasnya. Asalkan lagu yang dipetiknya itu selesai, andaikan tidak mampus juga Li Bok-chiu akan menjadi gila.
Di luar dugaan, ketika mendadak si Sah Koh melihat Yo Ko, di bawah cahaya lilin yang remang, ia lihat wajah Yo Ko mirip benar dengan mendiang ayah Yo Ko, yaitu Yo Khong.
Biasanya Sah Koh sangat takut pada setan iblis, dahulu ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika Yo Khong mati keracunan, apa yang dilihatnya itu sukar terlupakan baginya, Kini dilihatnya Yo Ko duduk termangu di sana, disangkanya arwah Yo Khong hendak menggodanya, keruan ia kaget dan ketakutan, ia tuding Yo Ko dan berseru: “He, kau… kau….saudara Nyo,jangan…jangan kau membikin… membikin susah aku… bukan aku yang mencelakai kau… pergilah kau men… mencari orang lain saja!”
Sebenarnya saat itu Oey Yok-su sudah mulai meninggikan nada kecapinya dan sejenak lagi Li Bok-chiu pasti akan celaka, tapi mendadak terganggu oleh jeritan Sah Koh dan senar kecapi yang terakhir segerapun putus.
Sah Koh sembunyi di belakang sang guru sambil berteriak: “Setan… ada setan, Suhu ! Setan saudara Nyo !”
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Li Bok-chiu, dengan kaburnya ia padamkan api lilin, cepat ia menerobos keluar melalui bobolan dinding itu. Karena gagal membinasakan iblis itu dengan suara kecapi, untuk menjaga harga diri. Oey Yok-su tidak ingin mengejarnya lagi .
Dalam kegelapan Sah Koh menjadi lebih takut, teriakannya bertambah keras: “Ada setan, Suhu !”
Thia Eng menyalakan pula lilin itu, lalu memberi hormat kepada sang guru serta menguraikan asal-usul Liok Bu-siang dan Yo Ko secara singkat.
Lebih dulu Oey Yok-su membentak Sah Koh agar diam, lalu berkata kepada Yo Ko dengan tertawa: “Dia kenal ayahmu, kau memang sangat mirip dengan ayahmu.”
Yo Ko memberi hormat di atas pembaringan dan berkata: “Maaf, karena Tecu terluka, maka tidak dapat memberi sembah kepada locianpwe !”
Dengan ramah Oey Yok-su berkata: “Dengan mati-matian kau telah menolong puteriku, kau sungguh anak yang baik.”
Kiranya Oey Yok-su sudah bertemu dengan Oey Yong dan mengetahui duduknya perkara, mendengar Thia Eng telah menolong pergi si Yo Ko, segera ia membawa Sah Koh mencarinya ke sini.
Begitulah Oey Yok-su lantas mengeluarkan obat luar dalam untuk Yo Ko, lalu menggunakan Lwe-kangnya yang tinggi untuk mengurut urat nadi Yo Ko, di mana teraba oleh tangan orang tua itu.
Ketika mendadak merasakan kulit daging pemuda itu bergetar dan merasakan Lwekangnya cukup kuat, segera Oey Yok-su menambahkan tenaganya. Selang tak lama, sekujur badan Yo Ko, terasakan nyaman sekali dan akhirnya ia terpulas.
Besoknya, begitu mendusin segera Yo Ko melihat Oey Yok-su berduduk di tepi pembaringannya. Cepat ia bangkit berduduk dan memberi hormat.
“Apakah kau tahu julukanku di kalangan Kangouw?” tanya Oey Yok-su.
“Engkau adalah Tho-hoa-tocu,” jawab Yo Ko.
“Apalagi?” tanya Oey Yok-su pula, “Semula Yo Ko merasa sebutan “Tang Sia” (si eksentrik dari timur) kurang sedap untuk diucapkan Tapi segera terpikir olehnya, kalau orang tua ini berjuluk “Sia” atau eksentrik, maka wataknya tentu juga aneh dan lain daripada yang lain.
Karena itu, dengan tabah ia menjawab pula : “Engkau adalah Tang Sia !”
Oey Yok-su terbahak-bahak,” katanya: “Benar, Akupun pernah mendengar orang berkata bahwa ilmu silatmu tidak rendah, hatimu baik, tapi tindak-tandukmu juga sangat eksentrik, Kabarnya kau hendak ambil gurumu sebagai isteri, apa betul ?”
“Betul,” jawab Yo Ko. “Locianpwe, setiap orang menganggap tidak pantas aku beristerikan guruku, tapi matipun aku ingin menikahinya.”
Mendengar ucapan pemuda yang tegas dan pasti itu, Oey Yok-su memandangnya kesima sejenak, mendadak ia menengadah dan bergelak tertawa, begitu keras suara tertawanya hingga dinding rumah gubug itu bergetar.
“Apanya yang lucu?” kata Yo Ko dengan gusar. “Kau berjuluk Tang Sia, kukira kau pasti lain daripada yang lain, siapa tahu kaupun sama buruknya dengan manusia umumnya itu.”
“Bagus, bagus, bagus !” seru Oey Yok-su, habisi itu ia terus keluar rumah.
Yo Ko duduk termenung sendirian, ia pikir apa yang diucapkannya barangkali telah membikin marah Locianpwe itu, tapi tampaknya air muka orang tua itu mengunjuk rasa senang.
Kiranya watak Oey Yok-su itu memang aneh, selama hidupnya malang melintang di dunia Kang-ouw, dia jemu dan benci pada adat istiadat yang berlaku pada jaman itu, tindak-tanduknya selalu berlawanan dengan adat umum, malahan suka menuruti keinginan hati sendiri, sebab itulah dia mendapatkan julukan “Sia” Lantaran wataknya yang eksentrik itu, selamai hidup itu hampir boleh dikatakan tidak mempunyai sahabat karib, sekalipun anak perempuan dan menantu sendiri juga tidak seluruhnya cocok dengan pikirannya.
Siapa duga kini, dikala usianya sudah tua, tiba-tiba ia bertemu dengan Yo Ko yang juga bertabiat aneh, Sudah lama ia mendengar cerita tentang Yo Ko memberontak pada perguruannya sendiri, yaitu Coan-cin-kau, menghajar gurunya sendiri serta macam-macam perbuatan yang khianat, kini dia sempai berbicara berhadapan dengan pemuda itu dan satu dan lain ternyata sangat cocok dengan seleranya.
Begitulah petangnya kembali Oey Yok-su mendatangi kamar Yo Ko, katanya kepada pemuda itu “Yo Ko, bagaimana jika kau memberontak lagi pada Ko-bong-pay dan berguru saja padaku.”
Sejenak Yo Ko termangu, lalu bertanya. “Mengapa begitu?”
“Lebih dulu kau tidak mengakui Siao-liong-li sebagai gurumu, habis itu baru mengambilnya sebagai isteri, dengan begitu semuanya kan menjadi lebih pantas?”
Yo Ko pikir usul orang memang cukup bagus, tapi bahwasanya antara guru dan murid tindak boleh terikat menjadi suami-isteri, siapakah yang menetapkan peraturan ini.
Karena pikiran yang aneh itu, dengan tegas ia menjawab:
“Tidak, aku justeru ingin memanggil dia sebagai guru dan juga mengambil dia sebagai isteriku.”
“Hahaha ! Bagus, bagus ! Jalan pikiranmu ini ternyata jauh lebih tinggi satu tingkat daripada jalan pikiranku !” puji Oey Yok-su sambil bergelak tertawa, lalu ia memijati tubuh Yo Ko pula untuk menyembuhkan Iukanya.
Katanya pula dengan gegetun: “Sebenarnya aku ingin kau menjadi ahliwarisku agar dunia mengetahui bahwa sehabis Oey-losia (si eksentrik tua she Ui) ada lagi seorang Nyo siausia
(eksentrik kecil she Nyo), Tapi kau menolak menjadi muridku, ya, apa boleh buat ?!”
Kini Yo Ko benar-benar memahami watak Oey Yok-su, semakin aneh dari apa yang dikatakan dilakukan, semakin mencocoki pula selera orang tua itu, Karena itu ia lantas berkata lagi: “Antara kitapun tidak perIu harus menjadi guru dan murid untuk bisa dijadikan ahliwarisnya, jika engkau anggap usiaku terlalu muda dan kepandaianku masih rendah, maka kita boleh bersahabat atau mengangkat saudara saja.”
Tapi Oey Yok-su menjadi marah, ujarnya: “Kau ini sungguh berani aku bukanlah si Lo-wan tong Ciu Pek-thong, mana boleh bergaul secara sembarangan dengan kau?”
“Siapa Lo-wan-tong Ciu Pek-thong itu?” tanya Yo Ko.
Maka Oey Yok-su lantas menguraikan sekadarnya kisah Ciu Pek-thong yang berjuluk Lo-wan-tong (si anak nakal tua) itu, lalu menceritakan pula cara bagaimana Ciu Pek-thong mengangkat saudara dengan Kwe Ceng, padahal usia antara kedua orang itu selisih sangat jauh.
Omong punya omong, ternyata keduanya menjadi sangat cocok, Dasar Yo Ko memang pintar bicara, ditambah lagi wataknya sangat mendekati watak Oey Yok-su yang aneh itu.
Setiap kata pemuda itu selalu membuat Oey Yok-su manggut-manggut dan merasa benar-benar menemukan sahabat sejati, saking cocoknya, malamnya ia suruh Thia Eng menyiapkan sebuah tempat tidur lagi di kamar Yo Ko itu agar kedua orang dapat bicara sepanjang malam.
Beberapa hari kemudian, luka Yo Ko sudah mulai sembuh, hubungannya dengan Oey Yok-su juga bertambah akrab, begitu erat seakan-akan sukar dipisahkan. Sebenarnya Oey Yok-su akan membawa Sah Koh ke daerah Kanglam, tapi sekarang sama sekali tak dipikirkan lagi keberangkatannya.
Melihat kedua orang itu, yang satu tua dan yang lain muda. siang malam senantiasa bicara dan ngobrol dengan asyiknya, diam-diam Thian Eng dan Liok Bu-siang menjadi geli dan heran pula. Mereka anggap yang tua tidak jaga diri dan yang muda jugf teramat sembrono.
Bicara tentang ilmu pengetahuan dan pengalaman
sebenarnya Yo Ko tiada dapat dibandingkan dengan Oey Yok-su, cuma pemuda itu memang punya mulut manis, apa saja yang dikatakan Oey Yok-su, selalu ia menyatakan akur dan setuju, malahan terkadang ia menambahkan sedikit bumbu dan dirasakan Oey Yok-su menjadi lebih cocok lagi, maka tidak heran Oey Yok-su benar-benar menganggap Yo Ko sebagai sahabat paling karib selama hidupnya ini.
Selama itu dengan sendirinya Oey Yok-su mengajarkan segenap kepandaiannya kepada Yo Ko. Meski kedua orang resminya bukan guru dan murid, tapi cara Oey Yok-su mengajar Yo Ko ternyata lebih sungguh-sungguh daripada dia mengajar muridnya.
Selain belajar silat dan mengobrol bersama Oey Yok-su, yang selalu terpikir oleh Yo Ko adalah apa yang diucapkan Sah Koh yang bersangkutan dengan mendiang ayahnya itu.
Dari ucapan Sah Koh itu jelas dia mengetahui sebab musabab kematian ayahnya serta siapa yang membunuhnya, ia pikir dari orang sinting ini mungkin akan dapat dipancing keterangan yang lebih jelas.
Suatu hari lewat lohor, di luar rumah Yo Ko bertemu dengan sah Koh sendirian, segera ia memanggilnya: “Sini, Sah Koh aku ingin bicara dengan kau…”
Sah Koh merasa Yo Ko teramat mirip dengan Yo Khong dan takut, maka ia menggeleng kepala dan menjawab : “Aku tak mau bermain dengan kau,”
“Aku bisa main sulap, kau mau lihat tidak?” bujuk Yo Ko.
“Tidak, kau bohong,” jawab Sah Koh sambit menggeleng.
Tiba-tiba Njo Ko mendapat akal, cepat ia berjungkir dengan kepala di bawah dan kaki di atas, ia gunakan ilmu ajaran Auyang Hong, ia berjalan dengan kepala dan melompat-Iompat ke sana.
Sah Koh menjadi ketarik, tanpa pikir ia bersorak gembira dan ikut menuju ke suatu tempat yang lebat dengan pepohonan dan cukup jauh dari gubuk Thia Eng itu.
Di situ Yo Ko lantas berhenti dan berkata: “Sah Koh, marilah kita bermain sembunyi, kita taruhan.”
Sifat Sah Koh memang kekanak-kanakan, suka bermain.
Tapi selama ini lebih sering ikut Oey Yok-su ke sana sini, maka hampir tidak pernah ada kawan bermain. Kini Yo Ko mengajak dolanan dengan dia, tentu saja dia sangat senang, serentak ia bertepuk tangan menyatakan setuju, rasa takutnya tadi sudah terlupakan seluruhnya.
“Baik sekali saudara cilik, coba katakan cara bagaimana kita bermain?” jawab Sah Koh dengan gembira, Dia sebut ayah Yo Ko sebagai saudara, kini ia pun sebut Yo Ko
sebagai saudara.
Yo Ko mengeluarkan saputangan untuk menutup kedua mata Sah Koh, lalu berkata: “Boleh kau tangkap diriku. Jika berhasil apa saja yang kau tanya tentu akan kujawab dan tidak boleh berdusta sedikitpun sebaliknya kalau kau tidak mampu menangkap aku, nanti akupun menanyai kau dan
kaupun harus menjawab apa yang kutanyakan.”
“Bagus, bagus!” seru Sah Koh. “Nah, mulai! Aku di sini, hayo coba tangkap!” seru Yo Ko sambil melompat mundur.
Segera Sah Koh pentang kedua tangannya dan mengejar ke depan mengikuti suara. Ginkang yang dipelajari Yo Ko adalah Ginkang khas dari Ko-bong-pay, jangankan mata Sah Koh ditutup dengan sapu tangan, sekalipun mata dapat memandang juga belum tentu mampu menyusulnya.
Maka setelah menguber kian kemari, bukannya Yo Ko yang ditangkapnya, berbalik batok kepalanya benjut kebentur batang pohon yang kena dirangkulnya, keruan ia berteriak kesakitan
Kuatir Sah Koh menjadi kapok dan tidak mau bermain lagi, Yo Ko sengaja perlambat langkahnya di depan orang diserta suara berdehem, mendengar suara itu, segera Sah Koh,
melompat maju dan berhasil mencengkeram punggung si Nyo
Ko jambil berseru: “Aha, tertangkap sekarang!” -berbareng ia menanggalkan saputangan yang menutupi kedua matanya itu dengan wajah berseri-seri.
“Baiklah, aku kalah,” ujar Yo Ko. “Sekarang boleh kau mengajukan pertanyaan padaku !”..
Hal ini ternyata merupakan soal sulit bagi Sah Koh, iamemandang Yo Ko dengan melenggong bingung, ia tidak  tahu apa yang harus ditanyakan. Selang agak lama barulah ia membuka uara: “Saudara cilik, kau sudah makan belum ?”
Sungguh tidak kepalang rasa geli Yo Ko, berpikir sekian lama, yang ditanyakan ternyata adalah hal sepele ini. Tapi iapun menjawab dengan sikap sungguh-sungguh: “Sudah, aku sudah makan.”
Sah Koh mengangguk lalu tidak bertanya pula.
“Kau ingin tanya apa lagi?” kata Yo Ko.
Tapi Sah Koh menggeleng, katanya: “Tidak ada, marilah kita bermain lagi.”
“Baik, lekas kau tangkap diriku !” seru Yo Ko sambil mundur.
“Sekali ini giliranmu menangkap diriku!” ujar Sah Koh sambil meraba keningnya yang merah benjut itu.
Bahwa Sah Koh mendadak tidak bodoh lagi hal ini sungguh di luar dugaan Yo Ko. Tapi ia pun tidak menolak, segera ia menutup mata sendiri dengan saputangan dan berlagak mengejar.
Meski bodoh dan sinting, tapi Ginkang Sah Koh ternyata sangat hebat, dalam keadaan mata tertutup sukar juga bagi Yo Ko untuk menangkapnya. ia mendapat akal, ia pura-pura memburu ke sana sini, diam-diam ia robek sedikit saputangan
itu, maka dapat dilihatnya Sah Koh bersembunyi di balik pohon besar, ia pura-pura meraba ke sana sambil berseru: “Di mana kau sembunyi?”
Sejenak kemudian mendadak ia melompat balik dan berhasil memegang tangan Sah Koh, cepat ia melepaskan saputangan dan dimasukkan saku agar kecurangannya tidak diketahui orang, Lalu dengan tertawa berkata: “Sekali ini aku yang harus bertanya padamu.”
Belum sampai pertanyaan orang diajukan, lebih dulu Sah Koh sudah menjawab dengan rasa kagum: “Aku sudah makan !”
Yo Ko tertawa, katanya : “Aku tidak tanya urusan itu, Aku ingin tanya padamu, kau kenal ayahku, bukan?”
“Ayahmu?” Sah Koh menegas.
“Ya, Seorang yang sangat mirip dengan diriku, siapakah dia?” kata Yo Ko.
“O, itulah saudara Nyo.” jawab Sah Koh, “Kau menyaksikan saudara Nyo itu dicelakai orang, bukan?” tanya Yo Ko pula.
“Benar, tengah malam di kelenteng itu, banyak sekali burung gagak, aok, aok, aok!” Sah Koh menirukan suara burung gagak, suasana di tempat itu memangnya sunyi senyap dan rindang, suara gagak yang ditirukan Sah Koh itu menjadi seram rasanya.
Tubuh Yo Ko rada bergetar, ia coba mengorek lagi: “Cara bagaimana saudara Nyo itu tewas?”
“Kokoh (bibi) suruh aku bicara, tapi saudara Nyo melarang aku, lalu saudara Nyo memukul Kokoh sekali, lalu dia tertawa, haha… haha….haha !” sedapatnya Sah Koh ingin menirukan suara tertawa Yo Khong menjelang ajalnya, maka makin meniru makin tidak keruan sehingga akhirnya ia sendiri merasa mengkirik.
Yo Ko bingung oleh uraian Sah Koh itu, ia coba tanya pula: “Siapakah Kokoh yang kau maksudkan?”
“Kokoh ya Kokoh, siapa lagi?” jawab Sah Koh.
Darah di rongga dada serasa bergolak karena Yo Ko tahu rahasia kematian ayahnya segera akan dapat dibongkarnya, Selagi dia hendak tanya lebih Ipijut, tiba-tiba terdengar seorang berkata di belakangnya: “Kalian berdua sedang bermain apa?” Ternyata suaranya Oey Yok-su.
“Saudara Nyo sedang bermain sembunyi2-an dengan aku,” jawab Sah Koh.
Oey Yok-su tersenyum sambil memandang Yo Ko sekejap dengan penuh mengandung arti seakan akan sudah dapat menerka apa kehendak Yo Ko itu.
Hati Yo Ko berdebar, sedianya dia hendak berkata untuk menutupi maksud tujuannya itu, tiba-tiba terdengar suara orang berlari mendatangi Thia Eng dan Liok Bu-siang tampak muncul dan melapor kepada Oey Yok-su:
“Dugaan Suhu ternyata tidak keliru, dia memang masih berada di sana!” - Sembari berkata Thia Eng menuding ke balik gunung di sebelah barat sana.
“Siapa maksudmu?” tanya Yo Ko.
“Li Bhok chiu !” jawab Thia Eng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar