Liok Bu Song |
Kembalinya Pendekar Rajawali 37
Makin lama suara nyanyian Li Bok-chiu makin
kecil, tapi makin kecil makin melengking tinggi juga nadanya, Rada kacau Yo Ko
terpengaruh oleh suara tangisnya, satu saat iapun tertarik menuruti irama orang
tanpa sadar, Thia Eng memangnya lebih cetek lagi keuletannya, lebih-lebih ia
tak bisa menguasai diri.
Diam-diam Li Bok-chiu sangat girang, ia pikir
tanpa turun tangan, cukup dengan suara nyanyianku saja sudah bisa bikin kalian
hilang semangat dan menyerah. Siapa tahu sedikit ia bergirang, suara
nyanyiannya segerapun timbul reaksi dan ikut menunjuk rasa girang juga.
Kesempatan ini digunakan Yo Ko dengan baik
untuk membelok kembali iramanya, menyusul Thia Eng pun bisa menguasai diri
kembali ke lagu mereka tadi.
Melihat usahanya gagal, tidak kepalang
gusarnya Li Bok-chiu, suara nyanyiannya bertambah tinggi dan beberapa kalimat
lanjutannya dinyatakan secara lebih pilu tapi bengis mengadung rasa marah, tapi
Yo Ko dapat melawannya dengan kuat.
Di antara empat orang ilmu silat Liok Bu
siang adalah paling rendah, mula-mula ia heran mengapa gurunya mendadak menarik
suara dan menyanyi, baru kemudian ia paham bahwa hakikatnya kedua pihak sedang
saling gebrak, cuma bukan gebrak dengan kaki tangan, melainkan adu pengaruh
batin, termasuk Lwekang. ia lihat paduan suara musik Yo Ko dan Thia Eng masih
tak sanggup menahan gempuran suara nyanyi gurunya, ia tahu gurunya tak berani
sembarang menyerbu masuk karena dirintangi barisan gundukan tanah di luar rumah
itu, maka dengan suara nyanyian hendak bikin kacau dulu semangat mereka
bertiga, habis itu tanpa banyak buang tenaga barisan gundukan tanah akan
dibobolnya.
Sejenak kemudian didengarnya suara kecapi dan
seruling mulai kisruh, ia tahu Yo Ko dan Thia Eng sudah repot melawan musuh,
cuma sayang ia tak berdaya buat membantunya, tiada jalan lain kecuali berkuatir
saja diam-diam.
Suatu saat, tiba-tiba Li Bok-chiu meninggikan
iramanya hingga lebih sedih dan seram kedengarannya, Sukar Yo Ko dan Thia Eng
hendak melawannya, ketika nada suara kecapi makin lama makin tinggi juga,
akhirnya terdengarlah suara “creng”, senar pertama kecapi itu telah putus.
Thia Eng terkejut, suara serulingnya rada
kacau, kembali senar kedua kecapi Yo Ko putus pula. Ketika Li Bok-chiu tarik
suaranya lebih tinggi segera senar ketiga lagi-lagi gugur.
Dengan demikian suara seruling Thia Eng tak
bisa lagi berpaduan dengan suara kecapi yang telah pincang itu.
Tadi waktu Li Bok-chiu mendatangi rumah gubuk
itu, dari jauh sudah dilihatnya barisan gundukan tanah yang kelihatan tertumpuk
serabutan itu, tapi di dalamnya sebenarnya penuh perubahan2 menurut lukisan
Pat-kwa, cuma belum sempurna.
Sebenarnya pada waktu senar kecapi Yo Ko
putus dan suaranya rada kacau, segera ia bisa menyerbu rnasuk, tapi ia masih
jeri terhadap barisan gundukan tanah itu.
Tiba-tiba tergerak pikirannya, cepat ia
memutar ke sebelah kiri itu, dibarengi suara nyanyianrya yang bernada tinggi,
ia melompati segundukan tanah terus membobol dinding rumah
dan menyerbu ke dalam.
Kiranya barisan gundukan tanah yang dipasang
Thia Eng itu melulu mengutamakan menjaga pintu depan dan tidak memikirkan bahwa
dinding rumah reyot yang kurang kokoh.
Kini Li Bok-chiu secara cerdik hindarkan
pintu depan dan main pintu belakang, ketika kedua telapak tangannya memukul
keras, dinding gubuk itu kena dirobohkannya dan diterjang masuk.
Terkejut sekali Liok Bu-siang dan Thia Eng,
ke-dua2nya berlari masuk ke dalam dengan pedang siap di tangan.
Melihat Li Bok-chiu masuk dengan membobol
dinding Yo Ko pun terkejut. Tapi bila ingat ia sendiri terluka dan tak mampu
melawan, segera ia menjadi nekad, mati hidup tak dipikirnya lagi, ia ganti nada
kecapinya dan tukar sebuah lagu “tho-yao” yang menyanyikan pasangan muda-mudi
pada hari penganten baru dengan penuh rasa bahagia.
Melihat si Yo Ko begitu tenang, musuh di
depan mata masih unjuk senyuman, diam-diam Li Bok-chiu kagum akan nyali orang,
tapi demi mendengat suara kecapinya yang mesra menarik itu, tak tahan harinya
terguncang.
“Mana kitabnya? sebenarnya direbut orang
Kay-pang atau tidak?” tanya Li Bok-chiu tiba-tiba pada Liok Bu-siang.
Bu-siang tak menjawab. sebaliknya Yo Ko
gunakan tangan kiri buat memetik kecapi dan tangan kanan melemparkan kitab
“panca-bisa” itu kepadanya.
“Oey-pangcu dari Kay-pang adalah seorang
berbudi luhur dan punya harga diri, mana ia sudi melihat kitabmu yang kotor
ini? Malah dia telah memberi perintah pada anak murid Kay-pang agar tidak
membalik barang sehalaman bukumu ini,” demikian kata Yo Ko.
Melihat kitab pusakanya masih baik-baik tak
kurang suatu apapun, girang sekali Li Bok-chiu, iapun kenal kelakuan orang
Kay-pang yang biasanya sangat terpuji, peraturan merekapun sangat keras,
mungkin juga belum pernah ada yang membuka kitabnya dan membacanya, Karena
girangnya itu pengaruh suara sedihnya tadi lantas berkurang beberapa bagian.
Kemudian Yo Ko keluarkan lagi dua potong
belahan saputangan bersulam dan dibentang di atas meja, “Saputangan inipun kau
ambil saja sekalian.” katanya pula.
Air muka Li Bok-chiu berubah hebat melihat
saputangan itu, begitu kebutnya menyamber, kedua potong saputangan itu sudah
terbelit dan sampai di tangannya, ia terkesima memandangi saputangan itu,
seketika perasaannya timbul tenggelam bagai ombak mendampar.
Di lain pihak Thia Eng dan Liok Bu-siang
telah saling pandang sekejap, paras merekapun merah jengah, sungguh tak terduga
masing-masing telah memberikan saputangan sendiri-sendiri pada Yo Ko, sedang
pemuda ini justru unjukkan saputangan itu di hadapan mereka.
Kedua saudara misan ini siulan sama tahu
masing-masing jatuh hati pada Yo Ko, tapi sifat anak gadis dengan sendirinya
sukar diucapkannya terus terang.
Mendadak Li Bok-chiu merobek kedua potong
saputangan itu menjadi empat potong, “Kejadian sudah lalu buat apa disesalkan
pula?” katanya tiba-tiba.
Dan ketika tangannya menyobek lagi
terus-dilempar ke udara, tahu-tahu sobekan saputangan tadi berhamburan bagai
bunga rontok.
Yo Ko terkejut, “creng”, kembali terdengar
suara nyaring, seutas senar kecapi yang lain kembali putus.
“Kalau kini kubunuh kau, gampang bagai
membalik tanganku sendiri,” bentak Li Bok-chiu.
“Tapi kau terluka, bila kubunuh kau mungkin
kan pun tidak rela, Cis, putus lagi seutas !”
Betul saja senar kecapi kelima kembali putus
menyusul suara ejekannya itu.
Kini kecapi yang tadinya bersenar tujuh itu
tinggal dua senar saja, betapa pandai Yo Ko memainkan kecapi sukar lagi
membentuk irama pula.
“Hayo lekas petik beberapa suara sedih saja
biar kalian menangis, dunia fana ini selalu membikin orang menderita, apa senangnya
orang hidup?” demikian tiba-tiba Li Bok-chiu membentak.
Tapi watak si Yo Ko sangat bandel, ia justru
pelik kedua senar kecapinya keras-keras dan tetap dengan nada nyanyian gembira
kemanten baru tadi.
“Baik, biar aku bunuh seorang dulu, coba kau
bakal sedih dan pilu tidak?” kata Bok-chiu pula. Karena kata-katanya ini,
kembali seutas senar kecapi gugur lagi.
Habis itu Bok-chiu angkat kebutnya terus
hendak disabetkan ke kepala Liok Bu-siang, namun Thia Eng segera angkat pedang
siap adu jiwa dengan musuh.
Insaf tak bisa menghindarkan ancaman musuh
lagi, tiba-tiba Yo Ko malah tertawa, “Hari ini kami bertiga bisa mati bersama
di suatu tempat dan saat yang sama senang dan bahagia, sungguh jauh lebih enak
daripada kau hidup sebatangkara di dunia ini dengan hati kosong,” demikian ia
ejek musuh.
“Hayo, Eng-moay, Siang-moay, marilah kalian
ke sini!”
Segera Thia Eng dan Bu-siang mendekati Yo Ko
sebuah tangan pemuda ini memegang Thia Eng dan tangan lain pegang Bu-siang,
lalu dengan tertawa ia berkata:
“Biarlah kita mati bersama, di tengah jalan
menuju alam baka kita masih dapat bicara sambil bergurau, bukankah jauh lebih
baik daripada perempuan jahat dan keji ini?”
“Ya, ya, Tolol, sedikitpun tak salah katamu,”
sahut Bu-siang tertawa, karena itu Thia Eng ikut tersenyum hangat.
Karena tangan kedua saudara misan ini
dipegang Yo Ko, seketika keberanian merekapun bertambah lipat ganda, perasaan
mereka amat senangnya.
“Apa yang dikatakan bocah ini tidak salah
juga, kalau mereka mati secara demikian, betul juga jauh lebih enakdaripada
hidupku,” diam-diam Bok-chiu membatin dengan wajah sedingin es. Tapi hatinya
yang kejam itu segera berpikir lagi: “Ah, mana boleh begitu enak bagi mereka?
Aku justru ingin membikin kalian mati dengan menderita lebih dulu.”
Habis ini ia geraki kebutnya pelahan terus
mulai menyanyi lagi, lagunya masih tetap seperti tadi, cuma nadanya bertambah
sedih bagai keluhan janda terbuang, seperti tangisan setan gentayangan di malam
sunyi.
Tangan Yo Ko bertiga masih saling genggam
hangat, setelah mendengarkan tak lama, tiba-tiba timbul rasa pilu mereka yang
tak tertahankan lwekang Yo Ko lebih tinggi ia coba kumpulkan semangat agar tak
terpengaruh dengan pertahankan senyumannya.
Hati Bu-siang juga lebih keras dan tidak
gampang terguncang, tapi Thia Eng agaknya tak tahan, air matanya meleleh.
Suara nyanyian Li Bok-chiu makin lama makin
rendah, sampai akhirnya menjadi begitu lirih seperti terputus, lalu menyambung
lagi Kelopak mata Yo Ko mulai merah, hidungnya mulai basah ingusan.
Jik-lian-sian-cu sedang menunggu, asal ketiga
orang mengalirkan air mata berbareng, begitu kebutnya menyabet, segera mereka
akan dibinasakannya.
Tapi pada saat nyanyiannya bertambah sedih
luar biasa itu, mendadak didengarnya di luar rumah ada orang datang dengan
bergelak tertawa, sambil bertepuk tangan dan bendendang.
Suara nyanyian itu suara kaum wanita,
kedengaran usia yang menyanyi pasti tidak muda lagi, tapi lagu yang
dibawakannya justeru lagu kanak-kanak yang riang gembira, karena itu nada suara
Li Bok-chiu yang sedih itu menjadi kacau balau.
Suara nyanyian itu makin mendekat, sejenak
kemudian masuklah seorang perempuan setengah umur dengan rambut semrawut, kedua
matanya besar bulat dan tertawa ketolol-tololan, sebelah tangannya membawa
sebatang garpu besar yang biasa dipakai tukang api.
Li Bok-chiu terkejut heran perempuan itu
dapat masuk ke rumah ini dengan mengitari barisan gundukan tanah yang diatur
oleh Thia Eng itu, jika perempuan sinting ini bukan sekomplotan dengan Thia Eng
bertiga, tentu dia mahir ilmu perhitungan bintang yang mujizat itu.
Lantaran pikirnya terganggu oleh pikiran
lain, seketika pengaruh nyanyiannya yang bernada sedih itupun surut, tidak
selihay tadi.
Thia Eng sangat girang melihat datangnya
perempuan setengah umur itu, segera ia berseru: “Suci, orang ini hendak
mencelakai diriku, lekas engkau membantu adikmu ini.”
Kiranya perempuan ini, adalah murid Oey
Yok-su, namanya Sah Koh (si nona tolol). ia tidak menjawab seruan Thia Eng itu,
tapi melanjutkan bernyanyi sambil tertawa. Lagunya tetap lagu kanak-anak yang bersuka
ria sehingga tidak terpengaruh oleh nada nyanyian Li Bok-chiu yang sangat sedih
itu.
Lama-lama Li Bok-chiu menjadi murka, ia pikir
perempuan sinting ini harus dibereskan lebih dulu, Maka sebelum berhenti suara
nyanyiannya, serentak kebutnya menyabet ke arah kepala Sah Koh.
Sungguh aneh, sama sekali Sah Koh tidak ambil
pusing akan serangan Li Bok-chiu itu, sebaliknya ia angkat garpunya terus
menusuk ke dada lawan.
Melihat serangan lawan sangat kuat, kembali
Li Bok-chiu terkejut ia tidak paham mengapa perempuan sinting ini memiliki
kekuatan sedemikian hebat. Cepat ia menggeser ke samping, menyusul kebutnya
menyabet pula ke leher orang.
Tapi Sah Koh tetap tidak pedulikan serangan
musuh, kembali garpunya menusuk lurus ke depan, Waktu Li Bok-chiu memutar kebutnya
untuk membelit ujung garpu, namun Sah Koh anggap tidak tahu saja, ujung garpu
tetap menusuk ke depan.
Kiranya Sah Koh ini aslinya adalah anak murid
Oey Yok-su yang bernama Ki Leng-hong.
Watak Oey Yok-su terkenal aneh, eksentrik,
Leng-hong telah menjadi korban wataknya yang luar biasa itu, Karena menyesal
Oey Yok-su telah pungut anak perempuan Ki Leng-hong, yaitu Sah Koh dan berjanji
pada diri sendiri akan mendidik Sah Koh dengan segenap kepandaian yang
dimilikinya. Cuma sayang, lantaran syaraf nya terganggu ketika menyaksikan
ayahnya tewas, maka otaknya menjadi miring, terbatas oleh bakatnya ini maka
sia-sia saja jerih payah Oey Yok-su yang berusaha menurunkan segenap
kepandaiannya kepada nona itu, walaupun begitu, selama belasan tahun ini dapat
pula dilatihnya suatu permainan ciang-hoat (pukulan dengan telapak tangan) dan
permainan Jeh-hoat (permainan garpu).
Apa yang disebut suatu permainan sebenarnya
Cuma terdiri dari tiga jurus saja setiap macamnya, soalnya Oey Yok-su memaklumi
bakat Sah Koh yang kurang itu, kalau diajari perubahan yang aneh dan rumit
tentu malah tak dapat diingatnya, Maka ia sengaja menciptakan tiga jurus ilmu
pukulan dan tiga jurus serangan garpu, keenam jurus ini sangat berbahaya, tiada
sesuatu perubahan sampingan dan tiada gerakan yang aneh, begitu2 melulu, letak
kelihaiannya hanya soal keteguhan pikiran dan kemantapan hati saja, latih terus
keenam jurus itu sekuatnya, lain tidak.
Karena itulah keenam jurus Sah Koh itu tak
dapat dipandang enteng, malah ketika ujung kebut Li Bok-chiu melilit ujung
garpu si Sah Koh, ternyata lawan tak ambil pusing, garpunya juga tidak
berhenti, tapi tetap lurus menusuk ke depan, sekejap saja ujung garpu sudah
sampai di depan dadanya.
Syukur Li Bok-chiu memang seorang tokoh maha
sakti, pada detik garpu musuh sudah hampir melubangi buah dadanya itulah,
mendadak ia berjumpalitan ke belakang, dengan demikian terhindarlah dia dari
renggutan maut, walaupun begitu keringat dinginpun telah membasahi tubuhnya.
Setelah berjumpalitan ke belakang, malahan ia
tidak berhenti, segera ia melompat maju, kebutnya menyabet pula dari atas. Tapi
lagi-lagi Sah Koh tidak pedulikan serangan lawan, kembali garpunya menusuk
lurus ke depan. Karena sekali ini Li Bok-chiu sedang melompat, maka garpu itu
jadinya mengarah ke perutnya.
Melihat ancaman bahaya itu, terpaksa Li
Bok-chiu tarik kebutnya untuk menangkis garpu orang, berbareng itu melompat ke
samping. ia pandang Sah Koh dengan tidak habis mengerti apa sebabnya setiap
tusukan garpu lawan yang sederhana itu seketika dapat mematahkan sabetan
kebutnya yang beraneka ragam perubahannya, padahal selama ini tokoh silat
manapun tidak berani meremehkan serangan kebutnya itu. jelas perempuan sinting
ini memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur, jaIan paling selamat rasanya
tiada pilihan Iain kecuali angkat langkah seribu saja.
Tapi baru saja Li Bok-chiu hendak kabur
melalui lubang dinding yang dibobolnya tadi, tiba-tiba terlihat di tepi bobolan
dinding itu sudah berduduk seorang berjubah hijau dan berjenggot panjang siapa
lagi dia kalau bukan Tho-hoa-tocu Oey Yok su adanya.
Oey Yok-su berduduk menghadap sebuah bangku
pendek, diatas bangku terletak kecapi Yo Ko tadi, Padahal Li Bok-chiu maha
cerdik, biarpun sedang bertempur juga panca inderanya selalu waspada terhadap
segala gerak-gerik di sekitarnya, Tapi kini Oey Yok-su masuk rumah, mengambil
kecapi dan berduduk di situ di luar tahunya sama sekali, bilamana Oey Yok-su
mau menyergapnya, maka jiwanya tentu sudah melayang sejak tadi.
Sembari bertempur melawan Sah Koh tadi,
kuatir kalau Thia Eng bertiga ikut mengerubutnya, maka Li Bok chiu tidak pernah
menghentikan nyanyinya untuk mengganggu pemusatan pikiran Thia Eng bertiga.
Kini mendadak nampak Oey Yok-su berduduk di
situ sambil memetik kecapi, saking kagetnya seketika iapun lupa menyanyi lagi.
Mendadak Oey Yok-su memetik senar kecapi
hingga menimbulkan suara “creng” yang nyaring, lalu dia mulai bemyanyi, yang
dibawakan ternyata adalah lagu yang dinyanyikan Li Bok-chiu tadi, padahal senar
kecapi itu tinggal satu saja, tapi Oey Yok-su adalah seorang mahaguru ilmu
silat,
dari sebuah senar itu dapatlah dipetiknya
menjadi berbagai irama yg diinginkannya, malahan nada duka suara kecapinya ini
jauh, melebihi suara nyanyian Li Bok-chiu tadi.
Karena lagu ini sudah apal bagi Li Bok-chiu,
sekali nadanya dikerahkan, seketika reaksi yang timbul dalam perasaannya
menjadi berlipat ganda terlebih hebat daripada Yo Ko bertiga.
Oey Yok-su tahu kejahatan yang diperbuat Li
Bok-chiu, kesempatan ini akan digunakan untuk menumpasnya. Asalkan lagu yang
dipetiknya itu selesai, andaikan tidak mampus juga Li Bok-chiu akan menjadi
gila.
Di luar dugaan, ketika mendadak si Sah Koh
melihat Yo Ko, di bawah cahaya lilin yang remang, ia lihat wajah Yo Ko mirip
benar dengan mendiang ayah Yo Ko, yaitu Yo Khong.
Biasanya Sah Koh sangat takut pada setan
iblis, dahulu ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika Yo Khong mati
keracunan, apa yang dilihatnya itu sukar terlupakan baginya, Kini dilihatnya Yo
Ko duduk termangu di sana, disangkanya arwah Yo Khong hendak menggodanya,
keruan ia kaget dan ketakutan, ia tuding Yo Ko dan berseru: “He, kau…
kau….saudara Nyo,jangan…jangan kau membikin… membikin susah aku… bukan aku yang
mencelakai kau… pergilah kau men… mencari orang lain saja!”
Sebenarnya saat itu Oey Yok-su sudah mulai
meninggikan nada kecapinya dan sejenak lagi Li Bok-chiu pasti akan celaka, tapi
mendadak terganggu oleh jeritan Sah Koh dan senar kecapi yang terakhir
segerapun putus.
Sah Koh sembunyi di belakang sang guru sambil
berteriak: “Setan… ada setan, Suhu ! Setan saudara Nyo !”
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Li
Bok-chiu, dengan kaburnya ia padamkan api lilin, cepat ia menerobos keluar
melalui bobolan dinding itu. Karena gagal membinasakan iblis itu dengan suara
kecapi, untuk menjaga harga diri. Oey Yok-su tidak ingin mengejarnya lagi .
Dalam kegelapan Sah Koh menjadi lebih takut,
teriakannya bertambah keras: “Ada setan, Suhu !”
Thia Eng menyalakan pula lilin itu, lalu
memberi hormat kepada sang guru serta menguraikan asal-usul Liok Bu-siang dan
Yo Ko secara singkat.
Lebih dulu Oey Yok-su membentak Sah Koh agar
diam, lalu berkata kepada Yo Ko dengan tertawa: “Dia kenal ayahmu, kau memang
sangat mirip dengan ayahmu.”
Yo Ko memberi hormat di atas pembaringan dan
berkata: “Maaf, karena Tecu terluka, maka tidak dapat memberi sembah kepada
locianpwe !”
Dengan ramah Oey Yok-su berkata: “Dengan
mati-matian kau telah menolong puteriku, kau sungguh anak yang baik.”
Kiranya Oey Yok-su sudah bertemu dengan Oey
Yong dan mengetahui duduknya perkara, mendengar Thia Eng telah menolong pergi
si Yo Ko, segera ia membawa Sah Koh mencarinya ke sini.
Begitulah Oey Yok-su lantas mengeluarkan obat
luar dalam untuk Yo Ko, lalu menggunakan Lwe-kangnya yang tinggi untuk mengurut
urat nadi Yo Ko, di mana teraba oleh tangan orang tua itu.
Ketika mendadak merasakan kulit daging pemuda
itu bergetar dan merasakan Lwekangnya cukup kuat, segera Oey Yok-su menambahkan
tenaganya. Selang tak lama, sekujur badan Yo Ko, terasakan nyaman sekali dan
akhirnya ia terpulas.
Besoknya, begitu mendusin segera Yo Ko
melihat Oey Yok-su berduduk di tepi pembaringannya. Cepat ia bangkit berduduk
dan memberi hormat.
“Apakah kau tahu julukanku di kalangan
Kangouw?” tanya Oey Yok-su.
“Engkau adalah Tho-hoa-tocu,” jawab Yo Ko.
“Apalagi?” tanya Oey Yok-su pula, “Semula Yo
Ko merasa sebutan “Tang Sia” (si eksentrik dari timur) kurang sedap untuk
diucapkan Tapi segera terpikir olehnya, kalau orang tua ini berjuluk “Sia” atau
eksentrik, maka wataknya tentu juga aneh dan lain daripada yang lain.
Karena itu, dengan tabah ia menjawab pula :
“Engkau adalah Tang Sia !”
Oey Yok-su terbahak-bahak,” katanya: “Benar,
Akupun pernah mendengar orang berkata bahwa ilmu silatmu tidak rendah, hatimu
baik, tapi tindak-tandukmu juga sangat eksentrik, Kabarnya kau hendak ambil
gurumu sebagai isteri, apa betul ?”
“Betul,” jawab Yo Ko. “Locianpwe, setiap
orang menganggap tidak pantas aku beristerikan guruku, tapi matipun aku ingin
menikahinya.”
Mendengar ucapan pemuda yang tegas dan pasti
itu, Oey Yok-su memandangnya kesima sejenak, mendadak ia menengadah dan
bergelak tertawa, begitu keras suara tertawanya hingga dinding rumah gubug itu
bergetar.
“Apanya yang lucu?” kata Yo Ko dengan gusar.
“Kau berjuluk Tang Sia, kukira kau pasti lain daripada yang lain, siapa tahu
kaupun sama buruknya dengan manusia umumnya itu.”
“Bagus, bagus, bagus !” seru Oey Yok-su,
habisi itu ia terus keluar rumah.
Yo Ko duduk termenung sendirian, ia pikir apa
yang diucapkannya barangkali telah membikin marah Locianpwe itu, tapi tampaknya
air muka orang tua itu mengunjuk rasa senang.
Kiranya watak Oey Yok-su itu memang aneh,
selama hidupnya malang melintang di dunia Kang-ouw, dia jemu dan benci pada
adat istiadat yang berlaku pada jaman itu, tindak-tanduknya selalu berlawanan
dengan adat umum, malahan suka menuruti keinginan hati sendiri, sebab itulah
dia mendapatkan julukan “Sia” Lantaran wataknya yang eksentrik itu, selamai
hidup itu hampir boleh dikatakan tidak mempunyai sahabat karib, sekalipun anak
perempuan dan menantu sendiri juga tidak seluruhnya cocok dengan pikirannya.
Siapa duga kini, dikala usianya sudah tua,
tiba-tiba ia bertemu dengan Yo Ko yang juga bertabiat aneh, Sudah lama ia
mendengar cerita tentang Yo Ko memberontak pada perguruannya sendiri, yaitu
Coan-cin-kau, menghajar gurunya sendiri serta macam-macam perbuatan yang
khianat, kini dia sempai berbicara berhadapan dengan pemuda itu dan satu dan
lain ternyata sangat cocok dengan seleranya.
Begitulah petangnya kembali Oey Yok-su
mendatangi kamar Yo Ko, katanya kepada pemuda itu “Yo Ko, bagaimana jika kau
memberontak lagi pada Ko-bong-pay dan berguru saja padaku.”
Sejenak Yo Ko termangu, lalu bertanya.
“Mengapa begitu?”
“Lebih dulu kau tidak mengakui Siao-liong-li
sebagai gurumu, habis itu baru mengambilnya sebagai isteri, dengan begitu
semuanya kan menjadi lebih pantas?”
Yo Ko pikir usul orang memang cukup bagus,
tapi bahwasanya antara guru dan murid tindak boleh terikat menjadi
suami-isteri, siapakah yang menetapkan peraturan ini.
Karena pikiran yang aneh itu, dengan tegas ia
menjawab:
“Tidak, aku justeru ingin memanggil dia
sebagai guru dan juga mengambil dia sebagai isteriku.”
“Hahaha ! Bagus, bagus ! Jalan pikiranmu ini
ternyata jauh lebih tinggi satu tingkat daripada jalan pikiranku !” puji Oey
Yok-su sambil bergelak tertawa, lalu ia memijati tubuh Yo Ko pula untuk
menyembuhkan Iukanya.
Katanya pula dengan gegetun: “Sebenarnya aku
ingin kau menjadi ahliwarisku agar dunia mengetahui bahwa sehabis Oey-losia (si
eksentrik tua she Ui) ada lagi seorang Nyo siausia
(eksentrik kecil she Nyo), Tapi kau menolak menjadi
muridku, ya, apa boleh buat ?!”
Kini Yo Ko benar-benar memahami watak Oey
Yok-su, semakin aneh dari apa yang dikatakan dilakukan, semakin mencocoki pula
selera orang tua itu, Karena itu ia lantas berkata lagi: “Antara kitapun tidak
perIu harus menjadi guru dan murid untuk bisa dijadikan ahliwarisnya, jika
engkau anggap usiaku terlalu muda dan kepandaianku masih rendah, maka kita
boleh bersahabat atau mengangkat saudara saja.”
Tapi Oey Yok-su menjadi marah, ujarnya: “Kau
ini sungguh berani aku bukanlah si Lo-wan tong Ciu Pek-thong, mana boleh
bergaul secara sembarangan dengan kau?”
“Siapa Lo-wan-tong Ciu Pek-thong itu?” tanya
Yo Ko.
Maka Oey Yok-su lantas menguraikan sekadarnya
kisah Ciu Pek-thong yang berjuluk Lo-wan-tong (si anak nakal tua) itu, lalu
menceritakan pula cara bagaimana Ciu Pek-thong mengangkat saudara dengan Kwe
Ceng, padahal usia antara kedua orang itu selisih sangat jauh.
Omong punya omong, ternyata keduanya menjadi
sangat cocok, Dasar Yo Ko memang pintar bicara, ditambah lagi wataknya sangat
mendekati watak Oey Yok-su yang aneh itu.
Setiap kata pemuda itu selalu membuat Oey
Yok-su manggut-manggut dan merasa benar-benar menemukan sahabat sejati, saking
cocoknya, malamnya ia suruh Thia Eng menyiapkan sebuah tempat tidur lagi di
kamar Yo Ko itu agar kedua orang dapat bicara sepanjang malam.
Beberapa hari kemudian, luka Yo Ko sudah
mulai sembuh, hubungannya dengan Oey Yok-su juga bertambah akrab, begitu erat
seakan-akan sukar dipisahkan. Sebenarnya Oey Yok-su akan membawa Sah Koh ke
daerah Kanglam, tapi sekarang sama sekali tak dipikirkan lagi keberangkatannya.
Melihat kedua orang itu, yang satu tua dan
yang lain muda. siang malam senantiasa bicara dan ngobrol dengan asyiknya,
diam-diam Thian Eng dan Liok Bu-siang menjadi geli dan heran pula. Mereka
anggap yang tua tidak jaga diri dan yang muda jugf teramat sembrono.
Bicara tentang ilmu pengetahuan dan
pengalaman
sebenarnya Yo Ko tiada dapat dibandingkan
dengan Oey Yok-su, cuma pemuda itu memang punya mulut manis, apa saja yang
dikatakan Oey Yok-su, selalu ia menyatakan akur dan setuju, malahan terkadang
ia menambahkan sedikit bumbu dan dirasakan Oey Yok-su menjadi lebih cocok lagi,
maka tidak heran Oey Yok-su benar-benar menganggap Yo Ko sebagai sahabat paling
karib selama hidupnya ini.
Selama itu dengan sendirinya Oey Yok-su
mengajarkan segenap kepandaiannya kepada Yo Ko. Meski kedua orang resminya
bukan guru dan murid, tapi cara Oey Yok-su mengajar Yo Ko ternyata lebih
sungguh-sungguh daripada dia mengajar muridnya.
Selain belajar silat dan mengobrol bersama
Oey Yok-su, yang selalu terpikir oleh Yo Ko adalah apa yang diucapkan Sah Koh
yang bersangkutan dengan mendiang ayahnya itu.
Dari ucapan Sah Koh itu jelas dia mengetahui
sebab musabab kematian ayahnya serta siapa yang membunuhnya, ia pikir dari
orang sinting ini mungkin akan dapat dipancing keterangan yang lebih jelas.
Suatu hari lewat lohor, di luar rumah Yo Ko
bertemu dengan sah Koh sendirian, segera ia memanggilnya: “Sini, Sah Koh aku
ingin bicara dengan kau…”
Sah Koh merasa Yo Ko teramat mirip dengan Yo
Khong dan takut, maka ia menggeleng kepala dan menjawab : “Aku tak mau bermain
dengan kau,”
“Aku bisa main sulap, kau mau lihat tidak?”
bujuk Yo Ko.
“Tidak, kau bohong,” jawab Sah Koh sambit
menggeleng.
Tiba-tiba Njo Ko mendapat akal, cepat ia
berjungkir dengan kepala di bawah dan kaki di atas, ia gunakan ilmu ajaran
Auyang Hong, ia berjalan dengan kepala dan melompat-Iompat ke sana.
Sah Koh menjadi ketarik, tanpa pikir ia
bersorak gembira dan ikut menuju ke suatu tempat yang lebat dengan pepohonan
dan cukup jauh dari gubuk Thia Eng itu.
Di situ Yo Ko lantas berhenti dan berkata:
“Sah Koh, marilah kita bermain sembunyi, kita taruhan.”
Sifat Sah Koh memang kekanak-kanakan, suka
bermain.
Tapi selama ini lebih sering ikut Oey Yok-su
ke sana sini, maka hampir tidak pernah ada kawan bermain. Kini Yo Ko mengajak
dolanan dengan dia, tentu saja dia sangat senang, serentak ia bertepuk tangan
menyatakan setuju, rasa takutnya tadi sudah terlupakan seluruhnya.
“Baik sekali saudara cilik, coba katakan cara
bagaimana kita bermain?” jawab Sah Koh dengan gembira, Dia sebut ayah Yo Ko
sebagai saudara, kini ia pun sebut Yo Ko
sebagai saudara.
Yo Ko mengeluarkan saputangan untuk menutup
kedua mata Sah Koh, lalu berkata: “Boleh kau tangkap diriku. Jika berhasil apa
saja yang kau tanya tentu akan kujawab dan tidak boleh berdusta sedikitpun
sebaliknya kalau kau tidak mampu menangkap aku, nanti akupun menanyai kau dan
kaupun harus menjawab apa yang kutanyakan.”
“Bagus, bagus!” seru Sah Koh. “Nah, mulai!
Aku di sini, hayo coba tangkap!” seru Yo Ko sambil melompat mundur.
Segera Sah Koh pentang kedua tangannya dan
mengejar ke depan mengikuti suara. Ginkang yang dipelajari Yo Ko adalah Ginkang
khas dari Ko-bong-pay, jangankan mata Sah Koh ditutup dengan sapu tangan, sekalipun
mata dapat memandang juga belum tentu mampu menyusulnya.
Maka setelah menguber kian kemari, bukannya
Yo Ko yang ditangkapnya, berbalik batok kepalanya benjut kebentur batang pohon
yang kena dirangkulnya, keruan ia berteriak kesakitan
Kuatir Sah Koh menjadi kapok dan tidak mau
bermain lagi, Yo Ko sengaja perlambat langkahnya di depan orang diserta suara
berdehem, mendengar suara itu, segera Sah Koh,
melompat maju dan berhasil mencengkeram
punggung si Nyo
Ko jambil berseru: “Aha, tertangkap sekarang!”
-berbareng ia menanggalkan saputangan yang menutupi kedua matanya itu dengan
wajah berseri-seri.
“Baiklah, aku kalah,” ujar Yo Ko. “Sekarang
boleh kau mengajukan pertanyaan padaku !”..
Hal ini ternyata merupakan soal sulit bagi
Sah Koh, iamemandang Yo Ko dengan melenggong bingung, ia tidak tahu apa
yang harus ditanyakan. Selang agak lama barulah ia membuka uara: “Saudara
cilik, kau sudah makan belum ?”
Sungguh tidak kepalang rasa geli Yo Ko,
berpikir sekian lama, yang ditanyakan ternyata adalah hal sepele ini. Tapi
iapun menjawab dengan sikap sungguh-sungguh: “Sudah, aku sudah makan.”
Sah Koh mengangguk lalu tidak bertanya pula.
“Kau ingin tanya apa lagi?” kata Yo Ko.
Tapi Sah Koh menggeleng, katanya: “Tidak ada,
marilah kita bermain lagi.”
“Baik, lekas kau tangkap diriku !” seru Yo Ko
sambil mundur.
“Sekali ini giliranmu menangkap diriku!” ujar
Sah Koh sambil meraba keningnya yang merah benjut itu.
Bahwa Sah Koh mendadak tidak bodoh lagi hal
ini sungguh di luar dugaan Yo Ko. Tapi ia pun tidak menolak, segera ia menutup
mata sendiri dengan saputangan dan berlagak mengejar.
Meski bodoh dan sinting, tapi Ginkang Sah Koh
ternyata sangat hebat, dalam keadaan mata tertutup sukar juga bagi Yo Ko untuk
menangkapnya. ia mendapat akal, ia pura-pura memburu ke sana sini, diam-diam ia
robek sedikit saputangan
itu, maka dapat dilihatnya Sah Koh
bersembunyi di balik pohon besar, ia pura-pura meraba ke sana sambil berseru:
“Di mana kau sembunyi?”
Sejenak kemudian mendadak ia melompat balik
dan berhasil memegang tangan Sah Koh, cepat ia melepaskan saputangan dan
dimasukkan saku agar kecurangannya tidak diketahui orang, Lalu dengan tertawa
berkata: “Sekali ini aku yang harus bertanya padamu.”
Belum sampai pertanyaan orang diajukan, lebih
dulu Sah Koh sudah menjawab dengan rasa kagum: “Aku sudah makan !”
Yo Ko tertawa, katanya : “Aku tidak tanya
urusan itu, Aku ingin tanya padamu, kau kenal ayahku, bukan?”
“Ayahmu?” Sah Koh menegas.
“Ya, Seorang yang sangat mirip dengan diriku,
siapakah dia?” kata Yo Ko.
“O, itulah saudara Nyo.” jawab Sah Koh, “Kau
menyaksikan saudara Nyo itu dicelakai orang, bukan?” tanya Yo Ko pula.
“Benar, tengah malam di kelenteng itu, banyak
sekali burung gagak, aok, aok, aok!” Sah Koh menirukan suara burung gagak,
suasana di tempat itu memangnya sunyi senyap dan rindang, suara gagak yang
ditirukan Sah Koh itu menjadi seram rasanya.
Tubuh Yo Ko rada bergetar, ia coba mengorek
lagi: “Cara bagaimana saudara Nyo itu tewas?”
“Kokoh (bibi) suruh aku bicara, tapi saudara
Nyo melarang aku, lalu saudara Nyo memukul Kokoh sekali, lalu dia tertawa,
haha… haha….haha !” sedapatnya Sah Koh ingin menirukan suara tertawa Yo Khong
menjelang ajalnya, maka makin meniru makin tidak keruan sehingga akhirnya ia
sendiri merasa mengkirik.
Yo Ko bingung oleh uraian Sah Koh itu, ia
coba tanya pula: “Siapakah Kokoh yang kau maksudkan?”
“Kokoh ya Kokoh, siapa lagi?” jawab Sah Koh.
Darah di rongga dada serasa bergolak karena
Yo Ko tahu rahasia kematian ayahnya segera akan dapat dibongkarnya, Selagi dia
hendak tanya lebih Ipijut, tiba-tiba terdengar seorang berkata di belakangnya:
“Kalian berdua sedang bermain apa?” Ternyata suaranya Oey Yok-su.
“Saudara Nyo sedang bermain sembunyi2-an
dengan aku,” jawab Sah Koh.
Oey Yok-su tersenyum sambil memandang Yo Ko
sekejap dengan penuh mengandung arti seakan akan sudah dapat menerka apa
kehendak Yo Ko itu.
Hati Yo Ko berdebar, sedianya dia hendak
berkata untuk menutupi maksud tujuannya itu, tiba-tiba terdengar suara orang
berlari mendatangi Thia Eng dan Liok Bu-siang tampak muncul dan melapor kepada
Oey Yok-su:
“Dugaan Suhu ternyata tidak keliru, dia
memang masih berada di sana!” - Sembari berkata Thia Eng menuding ke balik
gunung di sebelah barat sana.
“Siapa maksudmu?” tanya Yo Ko.
“Li Bhok chiu !” jawab Thia Eng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar