Minggu, 11 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 26




Kembalinya Pendekar Rajawali 26

Setelah kelabang2 itu digoreng sampai berwarna kuning,
kemudian Ang Chit-kong tambah bumbunya, selesai itu, tanpa
tunggu2 lagi ia comot seekor terus dimasukkan ke mulutnya,
dengan pelahan ia mengunyah, matanya meram-melek, begitu
nikmatnya sampai ia menghela napas, rasanya tiada sesuatu
lagi di dunia ini yang lebih nikmat dari pada saat ini.
Sekaligus bet-turut-urut ia pindahkan belasan ke-labang ke
perutnya, habis itu baru ia katakan pada Yo Ko: “Hayo,
makan! Sungkan-sungkan apa lagi?”
Akan tetapi Yo Ko menggeleng kepala, “Tidak, aku tak
doyan,” sahutnya.
Ang Chit-kong tertegun sejenak, tapi segera ia ketawa
terbahak-bahak.
“Ya, ya, betul, tidak sedikit orang gagah perkasa yang
pernah kujumpai sekalipun mereka dipenggal kepala dan
alirkan darah tidak nanti mereka mengkerut kening, tetapi
kalau bicara soal makan kelabang, tiada seorangpun yang
berani tiru aku Ang Chit-kong. Ha, kau bocah ini hanya
bermulut besar saja, sesungguhnya kau juga setan cilik
bernyali kecil,” demikian katanya.
Dikatai bernyali kecil, Yo Ko menjadi dongkol, pikirnya :
“Biar aku pejamkan mata dan tanpa mengunyah terus telan
saja beberapa ekor kelabang itu, supaya tidak dipandang
rendah olehnya.”
Maka dengan menggunakan dua tangkai lidi sebagai
sumpit, cepat ia jepit seekor kelabang goreng itu.
Siapa tahu, sebelum kelabang itu masuk mulutnya,
rupanya Ang Chit-kong sudah bisa menerka apa yang dia
pikirkan tadi.
“Tanpa mengunyah sedikitpun sambil tutup mata kau telan
sekaligus belasan kelabang, ini namanya akal bulus dan bukan
cara gagah kesatria,” kata pengemis tua itu.
“Masakah makan kelabang saja ada soal gagah kesatria
segala?” sahut Yo Ko tertawa dingin.
“Ya, di jagat ini tidak sedikit orang yang tanpa malu-malu
mengaku dirinya gagah kesatria, tetapi yang berani makan
kelabang rasanya tiada seberapa orang,” kata Chit-kong.
Yo Ko menjadi nekat karena dipandang rendah oleh
orang, ia pikir paling banyak hanya mati, kenapa harus takut.
Maka kelabang yang dia sumpit tadi segera dimasukkan ke
dalam mulut terus dikunyah.
Kalau tak dikunyah masih tak mengapa, tetapi karena jadi
dikunyahnya ini, seketika terasa daging kelabang itu
sedemikian gurih, begitu wangi dan begitu enak, sungguh
selama hidupnya belum pernah mengenyam makanan yang
begitu lezat rasanya. Karuan ia tidak mau sudah, cepat ia
telan daging kelabang itu, lalu sumpitnya menyamber lagi
kelabang yang kedua.
“Em, hebat, sungguh hebat rasanya!” demikian berulang
kali ia memuji.
Nampak bocah ini telah kenal rasa dan menjadi tuman,
Ang Chit-kong girang sekali, segerapun ia berebut duluan
dengan Yo Ko, hanya sekejap saja ratusan kelabang itu
sudah mereka sapu bersih.
Bagi Ang Chit-kong kelabang sebanyak itu rasanya masih
belum Cukua, lidahnya menggigit bibir, sungguh kalau bisa ia
pingin isi perutnya 100 ekor kelabang lagi.
“Biar aku pendam bangkai jago ini buat pancing kelabang
yang Iain,” kata Yo Ko tiba-tiba. ia betul sudah tuman oleh
rasa gurihnya kelabang goreng tadi.
“Tak bisa jadi lagi,” sahut Chit-kong, “bangkai jago itu
sudah hilang daya penariknya, pula di sekitar sini kelabang2
yang gemuk sudah tak tersisa lagi.
Habis berkata, mendadak ia menguap sambil mengulet
ngantuk, tahu-tahu iapun merebahkan diri ke tanah salju.
“Sudah ada 7 hari 7 malam aku tak tidur,” demikian ia
kata, “setelah makan enak besarZan ini, biarlah aku tidur
sepuas-puasnya selama tiga hari, seandainya langit bakal
ambruk juga jangan kau bangunkan aku.”
Sembari berkata suara menggeros pun mulai terdengar,
ternyata lantas pulas begitu saja.
“Cianpwe ini sungguh orang yang sangat aneh,” batin Yo
Ko. “Baiklah akupun tiada tempat tujuan, ia bilang mau tidur
tiga hari, biar akupun tunggu tiga hari padanya.”
Sementara itu bunga salju terus turun tiada hentinya,
seluruh tubuh Ang Chit-kong sudah penuh tertutup salju yang
putih seperti kapas.
Tubuh manusia bersuhu panas, bunga salju tentu akan
cair karena hawa panas itu, tetapi kenapa bisa tertimbun di
atas muka dan tubuhnya, hal ini mula-mula bikin Yo Ko tak
mengerti tetapi setelah ia pikir, segera iapun tahulah.
“Ya, ya, tentu diwaktu tidur ia telah keluarkan tenaga sakti
untuk menghimpun suhu panas ke dalam badannya, Seorang
yang masih hidup segar waktu tidur ternyata bisa kaku seperti
mayat, lwekang semacam ini sesungguhnya sangat hebat,
mungkin mendiang Suhu Ong Tiong-yang hidup kembali juga
tidak selihay dia ini,” demikianlah pikirnya.
Sementara itu hari sudah hampir pagi, tubuh Ang Chit-
kong telah terkubur di dalam salju, di atas tanah hanya
kelihatan sedikit tonjolan, bekas badannya sudah tak kelihatan
lagi
Yo Ko sendiri tidak merasa letih, waktu ia mendongak, ia
lihat keadaan gelap gulita dan-sunyi senyap.
Mendadak ia dikejutkan oleh suara gemerisik seperti orang
berjalan di jurusan timur gunung itu, Waktu ia tegasi, dari
jauh kelihatan mendatangi lima bayangan orang dengan
kecepatan luar biasa, terang sekali semuanya berilmu silat
amat tinggi
“Ah, tentu inilah Ngo-kui dari daerah Tibet yang dikatakan
Locianpwe ini tadi,” pikiran Yo Ko tergerak tiba-tiba. Karena
itu, lekas-lekas ia sembunyi di belakang batu padas.
Tidak lama kelima orang itu sudah sampai di depan batu
padas tempat sembunyi Yo Ko, seorang diantaranya
terdengar bersuara heran.
“He, wajan pengemis tua itu ada di sini, pasti dia berada di
sekitar sini saja,” kata orang itu.
Rupanya kelima orang itu merasa heran dan jeri, lalu
mereka berkumpul untuk berunding dengan bisik-bisik. Habis
ini, mendadak mereka terpencar pergi buat memeriksa
keadaan sekitar tempat ini.
Karena tempat di atas puncak gunung itu memang sempit,
maka tidak seberapa langkah mereka mencari, seorang di
antaranya kena injak badan Ang Chit-ong yang tertutup salju
itu. Karena kakinya tiba-tiba menginjak tempat Iunak, dalam
kagetnya sampai ia menjerit.
Dengan serta merta keempat saudaranya lantas merubung
dan menggali timbunan salju itu, maka tertampaklah Ang Chit-
kong yang kaku dan seperti sudah mati. Tentu saja kelima
orang itu sangat girang, mereka coba periksa pernapasan Ang
Chit-kong, terasa sudah berhenti tubuhpun dingin membeku.
“Pengemis tua ini terus menguntit aku sepanjang jalan
hingga aku menjadi sebal digodanya, tak tahunya kini sudah
mampus di sini,” kata seorang diantaranya.
“Orang ini sangat hebat ilmu silatnya, tanpa sebab kenapa
mati?” ujar yang lain ragu-ragu.
“ilmu silat bagus apa tidak bisa mati?” debat yang kin pula,
“Pikir saja, umurnya kini sudah berapa?”
Karena kata-kata terakhir ini, empat orang yang lain
menyatakan benar, kata mereka: “Ya, beruntung ia telah
dipanggil raja akherat, kalau tidak, sesungguhnya sukar
dilawan.”
“Hayo, kita masing-masing bacok tua bangka ini sekali
buat lampiaskan mendongkol kita! Biarkan dia gagah perkasa,
sesudah mati mayatnya pun tak bisa utuh,” ajak orang yang
pertama tadi.
Saat itu sebenarnya Yo Ko sudah siapkan segenggam
Giok-hong-ciam, ia pikir untuk melawan lima orang agak sulit,
tiada jalan lain kecuali cari kesempatan menyerang dulu
dengan Am-gi, kalau dua-tiga orang sudah dirobohkan,
sisanya tentu akan menjadi gampang dibereskan.
Tetapi dasar usianya masih muda dan kurang sabar, ketika
didengarnya orang bilang hendak bacok tubuh Ang Chit-kong,
ia kuatir orang benar-benar mencelakai pengemis tua itu,
maka Am-gi belum sempat dihamburkan satupun, dengan
sekali gertak ia sudah melompat keluar dari tempat
sembunyinya.
Karena tak bersenjata, terpaksa Yo Ko samber sekenanya
dua tangkai kayu dan digunakan sebagai Boan-koan-pit,
begitu kedua tangannya bergerak beruntun-runtun ia
menyerang lima kali, tiap-tiap serangannya mengincar Hiat-to
kelima orang itu.
Lirna serangannya ini boleh dikatakan dilakukan secepat
kilat, cuma sayang ia telah membentak dahulu hingga Ngo-kui
keburu berjaga-jaga, kalau tidak, sedikitnya satu-dua orang
diantara mereka pasti ada yang dirobohkan.
Sekalipun begitu, tidak urung Ngo-kui kaget hingga
berkeringat dingin, lekas-lekas mereka melompat.
Ngo-kui semuanya memakai senjata golok tebal, ilmu silat
mereka didapat dari satu guru, meski kepandaian masing-
masing ada beda antara tinggi dan rendah, tetapi cara-
caranya adalah sama.
Ketika mereka berpaling dan melihat Yo Ko hanya satu
pemuda “ingusan” yang bajunya rombeng, senjata yang
dipakai hanya dua kayu bakar, sikapnya kikuk-kikuk, wajahnya
biasa, seketika rasa kaget mereka pun hilang.
“Hai, anak busuk, apa kau adalah pengemis kecil dari Kay-
pang?” segera Tay-kui, si Kui (setan jelek) tertua membentak:
“Cosuya-mu sudah melayang jiwanya, lekas kau berlutut dan
minta ampun saja.”
“Ya, baik, biar aku menjura padamu”, sahut Yo Ko tiba-
tiba.
Tadi waktu menyaksikan caranya Ngo-kui berkelit Yo Ko
sudah dapat meraba sampai dimana ilmu silat mereka. ia
menaksir kalau seorang lawan seorang, kelima orang ini tiada
yang bisa menangkan dirinya, tetapi kalau main keroyok, ia
sendiri pun tak ungkuIan.
Tetapi Yo Ko memang anak cerdik, ketika mendengar
Tay-kui berteriak agar menjura padanya, segera ia sambut
baik terus melangkah maju dan berlagak menjura. Tak
terduga mendadak kedua tangannya terus menyabet ke
samping secepat kilat dengan gerak tipu “tui-jong-bong-goat”
(mendorong jendela memandang rembulan).
Waktu itu yang berdiri di sisi kirinya adalah Go-kui dan sisi
kanan Sam-kui.
Tipu serangan “Tui-jong-bong-goat” ini dilontarkan secara
tak kenal ampun, Sam-kui lebih tinggi kepandaiannya ia
sempat angkat goloknya buat menangkis, tetapi begitu
punggung goloknya kena disabet tangkai kayu Yo Ko, ia
merasa lengannya kesakitan hingga goloknya hampir tak kuat
digenggam Iagi.
Sebaliknya Go-kui telah kena disaber tulang kakinya,
terdengar suara “keletak”, meski tulang kaki tak sampai patah,
namun saking sakitnya Go-kui telah berjingkrak memegangi
kakinya.
Empat saudaranya menjadi gusar, senjata mereka
menyamber menghujam Yo Ko dengan kalap.
Tetapi dengan gesit Yo Ko dapat lompat kian kemari
untuk berkelit hingga seketika empat “Kui” itu tak mampu
berbuat apapun.
Tak lama dengan kaki pincang Go-kui ikut masuk kalangan
pertempuran lagi. ia adalah jagoan Bu-lim, tetapi kena dikibuli
seorang anak kemarin, tentu saja gusarnya bukan buatan.
Yo Ko sudah mendapatkan pelajaran asli Giok-li-sim-
keng, Ginkangnya jauh di atas Ngo-kui dari Tibet ini, kalau ia
niat lari, sebenarnya tidak sukar baginya, tetapi ia kuatir Ang
Chit-kong kalau ditinggal pergi tentu dicelakai Ngo-kui, oleh
karena itu ia tak berani menyingkir jauh hingga sebab itu pula
ia tak bisa bertempur secara Ieluasa, akhirnya ia sendiri
berulang kali harus menghadapi serangan bahaya.
Tetapi kemudian terpikir lagi olehnya, tiada jalan lain
kecuali melarikan diri, maka pada suatu kesempatan
sekonyong-konyong ia samber tubuh Ang Chit-kong, ia putar
tangkai kayu terus menerjang pergi sekaligus ia berlari sampai
beberapa tombak jauhnya.
Tentu saja Ngo-kui lantas mengudak, cuma kepandaian
mereka ada yang tinggi dan ada yang rendah, maka sekejap
saja yang tiga orang berada di depan dan yang dua
ketinggalan di belakang.
Merasakan tubuh Ang Chit-kong yang dia kempit itu
sedingin es, mau-tak-mau Yo Ko menjadi kuatir, ia pikir
betapapun nyenyak tidurnya seharusnya akan terbangun juga,
aku diudak musuh, kenapa ia diam saja tak mau menolong?
Jangan-jangan pengemis tua ini memang benar-benar telah
mati?
“Locianpwe, Locianpwe!” ia coba teriaki Ang Chit-kong.
Tetapi pengemis tua ini tetap tak bergerak sedikitpun
seperti mayat saja, cuma tidak kaku.
Dan karena sedikit merandeknya Yo Ko, di belakang Tay-
kui sudah menyusul datang, karena takut pada kepandaian
Yo Ko yang lihay, seorang diri Tay-kui tak berani terlalu
dekat, ketika ia tunggu datangnya kedua saudaranya yang
lain, sebaliknya Yo Ko sudah lari lagi sejauh beberapa puluh
tombak.
Melihat jalan yang diambil Yo Ko yalah panjat terus ke
puncak gunung, puncak itu melulu ada satu jalan kecil, maka
Ngo-kui menjadi heran, apa bocah ini bisa terbang ke langit?
Sebab itulah merekapun tak perlu buru-buru mengejar
mereka menyusul dari belakang dengan pelahan saja.
Jalan pegunungan itu makin jauh makin curam, sampai
suatu tempat tikungan, tiba-tiba Yo Ko melihat di kedua
samping adalah jurang yang beribu tombak dalamnya, di
tengah hanya ada sebuah jembatan batu sempit yang hanya
cukup dilalui seorang saja.
“Aha, bagus sekali tempat ini, biar disini juga aku tahan
mereka selama tiga hari,” demikian pikir Yo Ko. “Tetapi kalau
hari ke-4 Locianpwe ini masih belum bangun, aku… aku…”
Sampai disini ia tak berani berpikir lagi, sungguh ia tak
tahu apa yang harus diperbuatnya apa bila sampai saatnya
Ang Chit-kong masih belum sadar.
Segera pula ia percepat larinya melintasi jembatan batu
ciptaan alam itu, ia rebahkan Ang Chit-kong di bawah satu
batu padas di ujung jembatan sana, lalu dengan cepat ia putar
balik, sementara itu Tay-kui sudah menyusul sampai di ujung
jembatan.
“Siluman jelek, berani kau maju?” bentak Yo Ko tiba-tiba
sambil menerjang ke depan.
Karena takut ketumbuk dengan Yo Ko hingga ke-dua2nya
tergelincir masuk jurang, lekas-lekas Tay-kui mundur ke
belakang.
Waktu itu fajar sudah menyingsing, sang surya sudah
menampakkan diri di ufuk timur dengan cahayanya yang
kuning ke-emas2an, salju sudah berhenti turun, lapisan salju
yang menutupi seluruh gunung di bawah sorotan sinar
matahari, sungguh pemandangan indah yang tiada
bandingannya.
Dengan berdiri di tengah jembatan langit itu, tiba-tiba Nyo
Ko pasang kedok kulit manusia di mukanya.
“Hayo, siapa yang lebih jelek, kau atau aku?” bentaknya.
Wajah Ngo-kui dari Tibet ini semuanya memang sangat
jelek, tetapi lebih jelek lagi adalah sepak terjang mereka yang
jahat, Kini mendadak melihat Yo Ko berubah wajah yang
lain, pucat kuning, kaku tanpa perasaan, mirip seperti mayat
hidup yang baru muncul dari kuburan, Seketika Ngo-kui saling
pandang dengan kaget.
Pelahan Yo Ko mundur ke tengah jembatan batu itu,
dengan gaya “Kim-ke-tok-lip” atau ayam emas berdiri dengan
kaki tunggal, ia berdiri dengan kaki kiri dan kaki kanan
sengaja menendang pelahan ke atas sambil ber-gerak.2
diantara hembusan angin pegunungan yang silir, tampaknya
alangkah gembiranya pemuda ini.
“Darimanakah Kay-pang mendadak bisa muncul seorang
kesatria muda ini?” demikian diam-diam Ngo-kui berpikir.
Dan karena tak berani menerjang ke jembatan alam itu,
kemudian mereka lantas berunding. Keputusan diambil:
mereka akan berjaga secara bergilir untuk mencari bahan
makanan ke bawah gunung, dengan demikian tidak sampai
dua hari “mereka yakin pemuda itu pasti akan kewalahan
karena kelaparan.
Begitulah, lalu empat saudara mereka menjaga rapat di
ujung jembatan alam itu dan Ji-kui yang diutus pergi mencari
bahan makanan ke bawah gunung.
Dengan cara demikian kedua pihak saling bertahan sampai
setengah harian, Yo Ko tak berani menyeberang ke sana,
sebaliknya Su-kui juga tak berani menyeberang kesini.”
Sampai lewat lohor, Yo Ko duduk bersemadi untuk
kumpulkan tenaga. Sampai besok paginya, Ji-kui datang
kembali dengan membawa makanan, kelima saudara itu
sengaja makan dengan bernapsu untuk meng-iming2 Yo Ko.
Memangnya Yo Ko sudah kelaparan, tentu saja ia
mengiler, menyaksikan orang makan begitu enak. Waktu ia
Berpaling memandang Ang Chit-kong, ia lihat pengemis tua ini
masih tetap serupa saja seperti hari pertama, pikirnya: “Jika
betul-betul tidur, adalah lazim kalau suatu ketikapun akan
membalik tubuh, tetapi ia justru tidak bergerak sedikitpun
jangan-jangan memang benar-benar telah mati? Kalau aku
bertahan lagi satu hari, bila lebih lapar dan tak bertenaga,
tentu lebih susah lagi untuk lawan kelima musuh itu. Tidaklah
lebih baik terjang pergi sekarang saja mungkin masih bisa
menyelamatkan diri.”
Perlahan-lahan Yo Ko berdiri, tetapi lantas terpikir lagi
olehnya: “la bilang akan tidur selama tiga hari, kini baru hari
kedua, lebih baik jangan kutinggalkan pergi begitu saja.”
Maka dengan menahan perut yang keroncongan tiada
hentinya, ia pejamkan mata melatih lwekang sendiri, tak
dipandangnya lagi Ngo-kui yang sedang makan itu.
Sampai hari ketiga, Ang Chit-kong masih merebah saja
seperti hari pertama, makin melihat Yo Ko menjadi semakin
sangsi.
“Sudah terang ia telah mati, kalau aku berkeras tak mau
pergi, sesungguhnya terlalu bodoh, kalau sampai kelaparan
setengah hari lagi, tanpa mereka turun tangan, mungkin aku
sendiri akan mati kelaparan,” demikian Yo Ko membatin.
Namun ia tidak putus asa, ia telan dua kepal salju untuk
sekedar mengisi perut yang kosong itu, lalu terpikir lagi
olehnya: “Terhadap negara aku belum bersetia, terhadap
ayah-bunda akupun tak berbakti, pula aku tak punya sanak
saudara sekedar menyampaikan rasa hatiku, kini soal
“kepercayaan” ini betapapun juga jadinya aku harus
menjaganya sampai saat terakhir, apalagi aku Yo Ko selama
hidup ini selalu dipandang hina saja oleh orang, kalau aku tak
bisa tepati janji ini, lebih-lebih aku akan dibuat buah
tertawaan mereka, sekalipun aku harus mati, janji tiga hari ini
harus kulaksanakan.”
Dan karena keputusannya ini, rasa menderitanya lapar
menjadi rada ringan.
Sehari semalam ini dengan cepat dilalui lagi, pagi hari
keempat, segera Yo Ko mendekati tubuh Ang Chit-kong, ia
raba badan pengemis tua itu dan terasa tetap dingin seperti
es. Tanpa tertahan pemuda ini menghela napas.
“Locianpwe,” demikian ia memberi hormat kepada badan
Ang Chit-kong, “janji tiga hari ini sudah kulakukan, cuma
sayang cianpwe sudah terlanjur meninggal dunia, Tecu kuatir
tak sanggup menjaga keutuhan jenazahmu, maka terpaksa
melemparkan kau ke dalam jurang supaya tidak dibuat hinaan
orang-orang jahat itu.”
Habis ini, dengan cepat ia angkat tubuh Ang Chit-kong dan
berjalan ke jembatan alam, tubuh pengemis tua itu hendak
dilemparkannya ke jurang.
Pada saat itu juga, melihat Yo Ko tiba-tiba hendak
tinggalkan jembatan alam itu, Ngo-kui menyangka pemuda ini
tak tahan lapar, maka ingin melarikan diri. Dengan cepat
mereka saling memberi tanda, segera mereka merubung maju
memapaki Yo Ko.
Tatkala itu Yo Ko sudah menerjang ke tengah jembatan,
sementara itu Tay-kui juga sudah menghadang di tengah
jembatan
Dengan sekali gertak mendadak Yo Ko melemparkan Ang
Ching-kong ke bawah jembatan, menyusul ini Tay-kui pun
diterjangnya secara be-ringas.
Tak terduga mendadak angin santar berkesiur, tahu-tahu
ada seorang telah melayang lewat melalui kepalanya terus
tancapkan kaki di tengah-tengah antara Yo Ko dan Ngo-kui.
“Haha, tidurnya Lokiauhoa sekali ini sungguh nyenyak dan
puas sekali!” kata orang itu sambil bergelak ketawa, Nyata ia
bukan lain dari pada Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong.
Kejadian ini sungguh membikin Yo Ko girang tidak
kepalang, sebaliknya Ngo-kui terkejut dan ketakutan
Kiranya pada waktu Ang Chit-kong dilemparkan ke bawah
jembatan tadi, pada saat hampir terjerumus ke bawah,
mendadak ia mendusin dan dengan tepat lengannya yang
panjang keburu menahan di atas jembatan, berbareng itu
orangnya pun melompat lewat di atas kepala Yo Ko.
Maka tertampaklah Ang Ching-kong menggerak tangan kiri
ke depan, menyusul tangan kanan didorong maju, ini adalah
satu diantara tipu serangan “Hang-liong-sip-pat-ciang” atau
delapan-belas tipu pukulan penakluk naga, yang menjadi
kebanggaan hidupnya, yakni yang disebut “kang-liong-yu-
hwe”.
Tay-kui yang berhadapan pertama dengan Ang Chit-kong,
hendak menghindarkan diri juga tak ke buru lagi meski insaf
serangan pengemis tua ini tak sanggup disambutnya secara
keras, namun tiada jalan lain kecuali berbuat sehisanya,
terpaksa ia gunakan kedua telapak tangan untuk tangkis
pukulan Ang Chit-kong tadi.
Walaupun begitu toh Tay-kui merasakan kedua lengannya
kaku kesemutan dan dada sakit.
Nampak gelagat jelek, kuatir kalau saudara tuanya
dihantam terjungkal ke dalam jurang, lekas-lekas Ji-kui ulur
tangannya mendorong punggung sang toako. namun
demikian, ketika Ang Chit-kong tambahi tenaga telapak
tangannya, tiba-tiba Ji-kui kena didorong mendoyong ke
belakang dan hampiri terbanting jatuh.
Si-kui yang berdiri di belakang Ji-kui, terpaksa pula maju
mendukung kedua saudaranya, Dan karena menempel
tangannya ini, ia menjadi ikut kontak oleh tenaga pukulan Ang
Chit-kong, menyusul mana Si-kui menular pada Sam-kui dan
paling akhir Sam-kui menularkan juga pada Go-kui
Kelima orang ini hendak lari tak bisa lari, mau hindarkan
diri tak dapat menghindarkan diri, sekejap itu saja, bila Ang
Chit-kong tambahi tenaganya sedikit, sekaligus mereka pasti
akan kena dipukul mati oleh tenaga pukulan raksasa si
pengemis tua itu.
Menyaksikan betapa hebat daya pukulan itu, Yo Ko
menjadi tercengang sambit ternganga kagum.
“Kalian berlima setan jahat ini selamanya melakukan
berbagai kejahatan dan kekejaman, kini terpukul mati di
bawah tangan Lokiauhoa, agaknya mati pun tidak penasaran,”
kata Ang Chit-kong dengan tertawa.
Namun Ngo-kui tak menyerah mentah-mentah, mereka
pasang kuda-kuda dengan kuat, dengan mata mendelik
mereka melawan telapak tangan Ang Chit-kong yang tunggal
itu dengan gabungan tenaga mereka berlima.
Siapa tahu daya tekanan Ang Chit-kong makin Iama makin
berat hingga dada Ngo-kui terasa sesak, buat bernapas saja
rasanya sukar.
Pada saat yang sangat genting itu, tiba-tiba dari jauh sana
berkumandang suara “tok-tok-tok” yang keras, dari tikungan
jalan sana tahu-tahu muncul seorang aneh yang berjalan
dengan kepala, Siapa gerangan dia kalau bukan Auwyang
Hong.
“Ayah!” seru Yo Ko tanpa pikir.
Akan tetapi Auwyang Hong seperti tak dengar saja,
mendadak ia melompat ke belakang Go-kui.
Ia ulur kaki kanan terus menahan kepunggungnya, maka-
terasalah tiba-tiba satu kekuatan yang maha besar telah
disalurkan melalui tubuh kelima orang itu.
Melihat Auwyang Hong mendadak muncul di sini, Ang Chit-
kong menjadi kaget, apalagi Yo Ko memanggil padanya
“ayah”, diam-diam pengemis tua ini pikir kiranya bocah ini
adalah anak Auwyang Hong, pantas memiliki ilmu silat tinggi.
Dalam pada itu tangannya sudah terasa berat, tenaga
pukulan pihak lawan telah menembus datang melalui tubuh
Ngo-kui, mau-tak-mau Ang Chit-kong tambahi tenaga dan
balas menghantam.
Sejak “Hoa-san-lun-kiam” kedua rampung, selama belasan
tahun ini Ang Chit-kong dan Auwyang Hong belum pernah
bertemu lagi Meski otak Auwyang Hong rada kurang waras,
tetapi karena ia melatih Kiu-im-cin-keng secara terbalik hingga
ilmu silatnya makin dilatih makin aneh dan kuat.
Sebaliknya Ang Chit-kong sendiri pernah mendengar
sebagian isi kitab Kiu-im-cin-keng itu dari Kwe Ceng serta Ui
Yong yang ternyata banyak persamaannya dengan dasar ilmu
silatnya sendiri, maka iapun sudah jauh lebih maju.
Kini satu sama lain bertemu lagi, apapun juga yang baik
selalu mengalahkan yang jahat, meski isi Kiu-im-cin-keng yang
asli tak banyak di-pahami Ang Chit-kong, tapi sudah tak kalah
dengan Se-tok Auwyang Hong, Si racun tua dari barat.
Beberapa puluh tahun yang lalu kedua orang ini sudah
sukar dibedakan siapa yang lebih unggul, sesudah itu masing-
masing pun bertambah lebih hebat lagi kepandaiannya sendiri-
sendiri, kini untuk ketiga kalinya mereka bersua di Hoa-san,
sesudah saling gebrak, keadaan masih tetap sama kuatnya.
Sudah tentu yang paling celaka adalah Ngo-kui yang
tergencet di tengah, mereka menjadi terombang-ambing
diantara aduan kekuatan dua “raksasa” ini, tubuh mereka
sebentar dingin, sebentar lagi panas, napas merekapun
sebentar kencang sebentar kendur, sungguh penderitaan yang
mereka rasakan waktu itu beribu kali lebih hebat melebihi
siksaan badan.
Beberapa kali Ang Chit-kong mengerahkan tenaganya,
secara keras dan secara pelahan, tetapi setiap kali kena
dipatahkan oleh tenaga kaki Auw-yang Hong yang memancal
di sebelah sana, Ketika kakinya bertambah kuat memancalnya,
namun sukar juga bikin Ang Chit-kong mundur sedikitpun
Sesudah saling adu kekuatan ini, kedua orang pun sama
kagumnya, maka berbareng mereka melompat ke belakang
sambil ketawa terbahak-bahak.
Dan karena “lepas tangan” kedua “raksasa” ini, daya
tekanan pada Ngo-kui tadi seketikapun hilang hingga tubuh
kelima orang itu terhuyung-huyung kehilangan imbangan
bagai orang mabuk saja.
Sesudah badan kelima orang itu kena digencet ke sana ke
mari oleh tenaga raksasa Ang Chit-kong dan Auwyang Hong,
isi perut mereka sudah menderita luka parah semua, otot
tulang mereka pun lemas dan menjadi orang cacat, sekalipun
menghadapi seorang biasa merekapun tak sanggup melawan
lagi.
“Bangsat, hitung-hitung ajalmu belum sampai, baiknya
selanjutnya kalian tak bisa membikin celaka orang lagi, lekas
enyah dari sini!” demikian Ang Chit-kong membentak
Maka dengan Iesu dan tindakan sempoyongan, Ngo-kui
bertindak pergi pelahan dengan saling dukung-mendukung.
Dalam pada itu, setelah Auwyang Hong berdiri tegak, ia
lirik Ang Chit-kong dan lapat-lapat seperti pernah kenal, maka
segera ia menegurnya: “Hai, bagus amat ilmu silatmu,
siapakah nama-mu?”
Mendengar pertanyaan ini dan melihat air muka orang
yang linglung, Ang Chit-kong tahu selama belasan tahun ini
Auwyang Hong masih belum waras dari otaknya yang miring.
“Aku bernama Auwyang Hong, dan kau siapa?” demikian
sengaja Ang Chit-kong menjawab.
Hati Auwyang Hong tergetar, ia merasa nama “Auwyang
Hong” itu seperti sudah dikenalnya betul, cuma dirinya sendiri
bernama apa, itulah ia tak bisa ingat lagi.
“Entah, aku lupa,” demikian sahutnya kemudian “Eh, ya,
siapakah namaku ya?”
“Hahahaha!”, Ang Chit-kong tertawa geli. “Namamu sendiri
kenapa tak tahu? lekas kau pulang saja buat meng-ingat-
ingatnya”.
Auwyang Hong menjadi gusar ditertawai orang.
“Tentu kau tahu, hayo beritahukan padaku,” bentaknya.
“Baiklah, aku kasih tahu, kau bernama Hamo katak
busuk,” sahut Ang Chit-kong.
“Ha-mo, Ha-mo”, nama ini memang sangat dikenal
Auwyang Hong, kedengarannya rada mirip namanya sendiri,
tetapi bila dipikir lagi, rasanya pun bukan.
Seperti diketahui ilmu mujijatnya Auwyang Hong yang
sangat diunggulkan yalah “Ha-mo-kang” atau ilmu weduk
katak, bila digunakan harus berjongkok seperti lakunya katak
Oleh sebab itu Ang Chit-kong sengaja goda dan olok-olok
padanya.


Auwyang Hong dan Ang Chit-kong adalah musuh
kebuyutan selama berpuluh tahun, rasa benci masing-masing
sudah tertahan dalam di hati mereka, meski dalam keadaan
linglung, namun dengan sendirinya Auwyang Hong menjadi
gusar demi melihat macamnya Ang Chit-kong.
Di lain pihak demi nampak orang berdiri menjublek, habis
itu matanya tiba-tiba menyorotkan sinar bengis, diam-diam
Ang Chit-kong telah berjaga-jaga.
Betul saja, sekejap kemudian, mendadak terdengar
Auwyang Hong menggeram sekali dengan kalapnya ia
menubruk maju. Ang Chit-kong tak berani ayal, sekali
tangannya bergerak, segera “Hang-liong-sip-pat-ciang”
dikeluarkannya.
Cara begitulah kedua jago tua ini memulai dengan
pertarungan yang maha sengit di atas jembatan alam di
puncak tertinggi dari Hoa-san itu, di kedua sisi mereka adalah
jurang yang dalamnya ber-ribu2 tombak, asal sedikit ada yang
berlaku meleng, tentu orangnya akan hancur lebur tergelincir
ke dalam jurang.
Oleh karena resiko itulah, maka begitu saling gebrak,
segera kedua orang mengeluarkan tipu serangan yang paling
hebat untuk mengadu jiwa, kalau dibanding dengan
pertandingan Hoa-san-lun-kiam yang dilakukan secara
halusan, terang sekali ini sudah lain keadaannya.
Kedua jago tua ini kini sudah lanjut umurnya, meski ilmu
silat yang dilatih semakin sempurna, tetapi soal tenaga justru
berkurang daripada tadinya. Oleh sebab itu, pertarungan
sekali ini terutama tidak ditentukan oleh besar-kecilnya tenaga
masing-masing, tetapi semuanya ingin menang dengan tipu-
tipu pukulannya sendiri yang paling bagus.
Dan karena inilah rasanya yang paling untung ialah si Nyo
Ko, ia bisa menyaksikan segala kebagusan dari tiap-tiap ilmu
pukulan kedua jago tua itu hingga tidak sedikit intisari yang
dia petik, apa lagi dasarnya Yo Ko memang pintar, pula
sudah memahami inti2 Giok-li-sim-keng dan Kiu-im-cin-keng,
sudah tentu ia menjadi lebih gampang menerima dimana letak
inti ilmu silat kedua jago tua yang hebat itu.
Sewaktu kedua jago tua itu mulai bergebrak Yo Ko rada
kuatir Auwyang Hong akan terjerumus ke dalam jurang
mengingat tempat pertempuran yang berbahaya itu, tetapi
sesudah saling gebrak, kadang-kadang ia malah melihat Ang
Chit-kong terdesak di pihak terserang, tanpa terasa ia
mengharap agar pengemis tua itu diberkahi selamat.
Harus diketahui bahwa Auwyang Hong adalah ayah
angkatnya, perasaan kekeluargaan mereka sudah begitu rapat
dan melekat, tetapi tindak tanduk Ang Chit-kong juga
membawa semacam perbawa yang besar dan agung, hal ini
mau-tak-mau membikin Yo Ko menjadi kagum dan
menghormat padanya.
Begitulah sesudah beratus jurus kedua jago tua itu
bergebrak, meski kedua orang berulang kali sama-sama
menghadapi serangan lihay, namun selalu mereka sanggup
menyelamatkan diri dengan baik, maka Yo Ko akhirnya tak
perlu berkuatir lagi atas keselamatan kedua orang tua itu, ia
justru memusatkan pikirannya untuk mengingat baik-baik tipu
silat yang diunjuk mereka.
Sudah lama Yo Ko apalkan isi Kiu-im-cin-keng dengan
baik, kini menyaksikan setiap gerak-gerik tipu yang
dikeluarkan kedua jago tua itu ternyata cocok sekali dengan
intisari pelajaran kitab sakti itu, sungguh bukan buatan rasa
girang Yo Ko, pikirnya: “Satu istilah saja dalam kitab yang
disangka cuma biasa saja, siapa tahu mempunyai perubahan2
yang begini luas dan banyak,”
Dan sesudah ribuan jurus pertandingan itu berlangsung,
meski kepandaian kedua jago tua itu belum habis dikeluarkan,
namun, karena usia yang sudah lanjut, mau-tak-mau napas
mereka mulai memburu dan jantung memukul cepat, gerak-
gerik merekapun mulai kendur.
“Kalian berdua sudah setengah hari berkelahi, tentunya
perut sudah lapar, marilah kita makan yang keyang dulu, nanti
bertanding lagi!” demikian Yo Ko coba teriaki mereka.
Bagi Auwyang Hong segala makanan itu tidak menarik,
lain halnya dengan Ang Chit-kong, begitu mendengar kata-
kata “makan”, segera ia melompat mundur sambil berseru:
“Bagus, bagus! Memang harus makan duIu!”
Tadi Yo Ko melihat bakul bambu berisi barang makanan
yang dibawa Ngo-kui itu masih berada di situ, maka dengan
cepat bakul itu disambernya ke hadapan Ang Chit-kong, waktu
ia buka tutup bakul bambu itu, ternyata isinya banyak sekali,
ajam-daging komplit dengan nasi dan arak segala.
Soal makan, selamanya Ang Chit-kong tak pernah
sungkan-sungkan, tanpa permisi lagi ia samber seekor ayam
beku, baik daging berikut tulangnya terus dilalap semua
hingga bersuara keletak-keletuk.
“Ayah, selama ini berada di manakah kau?” dengan suara
lembut Yo Ko bertanya sambil menyodorkan sepotong daging
beku pada Auwyang Hong.
“Aku mencari kau,” sahut Auwyang Hong dengan mata
mendelong.
Yo Ko jadi terharu oleh jawaban orang, ia pikir di dunia
ini ternyata masih ada juga seorang yang begini cinta padaku
dengan sesungguh hati.
Maka sambil merangkul tangan orang, Yo Ko berkata
lagi: “Ayah, Ang-locian-pwe ini adalah orang baik, janganlah
kau berkelahi lagi dengan dia.”
“Dia, dia ialah Auwyang Hong, Auwyang Hong adalah
manusia jahat,” kata Auwyang Hong sambil tuding Ang Chit-
kong.
Melihat pikiran orang memang abnormal, sungguh pedih
sekali hati Yo Ko.
“Ya, ya, betul Auwyang Hong adalah manusia busuk dan
janat, Auwyang Hong pantas mampas!” Ang Ching-kong
terbahak-bahak geli.
Tentu saja Auwyang Hong semakin bingung, ia pandang
Ang Chit-kong, lalu pandang lagi pada Yo Ko, matanya
menyorotkan sinar yang guram dan hampa, pikirannya pun
menjadi kacau, sebisanya ia bermaksud meng-ingat-ingat
sesuatu, tetapi selalu tak bisa mengingatnya.
“Ang-locianpwe,” kata Yo Ko sesudah melayani Auwyang
Hong memakan sedikit, “dia adalah ayah angkatku, harap
engkau kasihan dia sedang menderita sakit ingatan, sukalah
jangan bikin susah lagi padanya.”
Ang Chit-kong adalah seorang berbudi demi mendengar
permohonan Yo Ko, berulang kali ia mengangguk “Anak baik,
anak baik,” demikian pujinya.
Siapa tahu Auwyang Hong yang abnormal itu mendadak
melompat bangun lagi.
“Hayo, Auwyang Hong, sekarang maju lagi.” demikian ia
berteriak-teriak atas nama sendiri kepada Ang Chit-kong,
“Daiam hal pukulan kita sama kuat, kini kita boleh coba-coba
senjata.”
“Tak usahlah sudah, anggaplah kau yang menang”, sahut
Ang Chit-kong sambil geleng-geleng kepala.
“Menang apa segala? Aku justru ingin bunuh kau,” teriak
Auwyang Hong tiba-tiba.
Habis itu, ia samber sepotong kayu digunakan sebagai
pentung terus menghantam ke atas kepala Ang Chit-kong.
Dahulu, dengan tongkat ular, senjata khasnya, pernah
Auwyang Hong malang melintang di dunia persilatan, ilmu
permainan tongkatnya itu lihay luar biasa, kini meski
tongkatnya tak berular pada ujungnya, namun hantamannya
sekali ini ternyata sangat keras, belum tiba pentungnya atau
Yo Ko sudah merasakan samberan angin yang menekan
dada.
Lekas-lekas Yo Ko melompat minggir, waktu ia pandang
Ang Chit-kong, dilihatnya pengemis tua ini sudah samber juga
sepotong kayu pendek dan dipakai sebagai senjata, lalu kedua
jago tua itupun saling labrak lagi dengan serunya.
“Pak-kau-pang-hoat”, ilmu permainan pentung pemukul
anjing yang dimiliki Ang Chit-kong adalah ilmu silat yang tiada
bandingannya di kolong langit ini, cuma tidak sembarangan
mau dia keluarkan selain ini iapun punya ilmu permainan
pentung lain yang bagus dan lihay, kini satu persatu ia
keluarkan untuk labrak Auwyang Hong, maka pertarungan
sekali ini menjadi berbeda lagi dengan gebrakan dengan
tangan dan kaki tadi, begitu hebat samber-menyambernya
tongkat dan pentung hingga Yo Ko yang menonton di
samping ikut berdebat dan ternganga.
Pertarungan sengit ini terus berlangsung sampai magrib,
tetapi masih tiada yang lebih unggul atau asor.
Melihat keadaan tempat itu sangat berbahaya, seluruh
gunung hanya tanah salju belaka yang halus licin, kedua jago
tua itu sudah lanjut usianya, kalau terjadi sedikit meleng,
mungkin akan menjadikan penyesalan selama hidup, maka
dengan suara keras Yo Ko berteriak-teriak minta mereka
berhenti.
Namun Ang Chit-kong dan Auwyang Hong sedang
bertempur dengan napsunya, mana bisa mereka berhenti
begitu saja?
Kemudian Yo Ko dapat akal, ia ingat kegemaran Ang
Chit-kong satu-satunya: “makan”, ia pikir kalau pancing
pengemis tua ini dengan makanan enak tentu orang akan
mengiler dan boleh jadi untuk sementara bisa diadakan
“gencatan senjata”.
Maka dengan cepat ia pergi mencari di alas belukar
pegunungan itu, ia dapatkan beberapa potong ubi dan
singkong, segera ia nyalakan api dan dibakar hingga
menguarkan bau sedap.
Betul saja, demi bau sedap itu, segera Ang Chit-kong
berteriak: “Ha-mo, busuk, tak mau lagi berkelahi dengan kau,
makan dulu paling perlu !”
Habis itu, iapun mendekati Yo Ko terus samber saja dua
potong ubi bakar itu terus digeragoti meski mulutnya sakit
kebakar oleh panasnya ubi itu, sambil tiada hentinya ia puji
Yo Ko yang pintar cari barang santapan.
Di sebelah sana Auwyang Hong tidak mau berhenti begitu
saja, ia susul Ang Chit-kong terus mengemplang kepala orang
dengan tongkatnya.
Namun sama sekali Ang Chit-kong tak berkelit sebaliknya
ia samber sepotong singkong bakar terus dilemparkan ke arah
Auwyang Hong sambil berseru : “Nih, makanlah !”
Auwyang Hong menjadi tertegun sebelum tongkatnya
diayunkan, sebelah tangannya otomatis pun tangkap singkong
yang dilemparkan padanya itu terus dimakan, seketika iapun
lupa pada pertarungan sengit tadi.
Malam itu mereka bertiga pun tidur di dalam suatu gua,
Yo Ko berusaha agar Auwyang Hong bisa ingat kembali pada
kejadian-kejadian masa dahulu, maka beberapa kali ia sengaja
memancingnya, tetapi Auwyang Hong selalu hanya
termenung-menung saja tanpa menjawab Kadang-kadang
orang tua ini ketok2 batok kepalanya sendiri dengan kepalan,
tampaknya sebisanya hendak mengingat, namun percuma
saja karena otaknya seakan-akan sudah pantul ia menjadi
sangat masgul.
Karena kuatir orang makin pikir makin gila, lekas-lekas Nyo
Ko menghibur Auwyang Hong buat tidur saja, sebaliknya ia
sendiri hanya guIang-guling tak bisa pulas, ia sedang pikirkan
ilmu pukulan kedua jago tua yang dilihatnya siang tadi, makin
mengingatnya makin bersemangat, sampai akhirnya diam-
diam ia bangun sendiri dan menjalankan gerak-gerik pukulan
itu menurut apa yang dilihatnya, ia merasakan kebagusan ilmu
silat yang tiada taranya itu, sampai tengah malam, sesudah
sangat lebih, barulah Yo Ko pergi tidur.
Besoknya pagi-pagi sekali, waktu Yo Ko masih layap-
layap dalam tidurnya, tiba-tiba didengarnya diluat gua ada
suara samberan angin yang menderu-deru di selingi dengan
suara bentakan dan lompatan, Lekas Yo Ko meloncat
bangun, di depan gua terlihat Ang Chit-kong dan Auwyang
Hong kembali sedang saling labrak dengan ramainya.
Melihat kebandelan kedua orang tua itu, Yo Ko menghela
napas tanpa berdaya, dengan kesal ia duduk menunggu di
samping, diam-diam iapun ingat baik-baik gerak tipu
permainan tongkat kedua orang itu, ia merasa setiap gerakan
Ang Chit-kong semuanya dapat dibedakan dengan jelas,
sebaliknya ge-rak-gerik Auwyang Hong sangat sulit diduga,
seringkali kalau Ang Chit-kong berada di atas angin, tahu-tahu
Auwyang Hong keluarkan tipu gerakan aneh dengan cepat,
lalu kedudukan merekapun berubah sama kuat Iagi.
Begitulah cara pertandingan mereka yang berlarut-larut
ini, siang berkelahi dan malam tidur, terus-menerus
berlangsung selama enam hari, begitu payah keadaan dua
orang tua ini hingga semangat lesu dan tenaga habis, namun
toh masih tiada satupun yang mau mengalah barang sekali
serangan saja.
“Jika pertarungan secara demikian berlangsung lagi, dua
harimau bertengkar, akhirnya tentu ada satu yang celaka,”
demikian Yo Ko membatin.
Karena itu, malamnya ia tunggu sesudah Auwyang Hong
tidur, diam-diam ia berkata pada Ang Chit-kong : “Marilah
Locianpwe keluar, ingin aku bicara sedikit.”
Ang Chit-kong tak menolak permintaan itu, ia ikut Yo Ko
keluar gua, mendadak pemuda ini berlutut di hadapannya
sambil menjura tiada hen-tinya, tetapi sepatah katapun tak
dikatakannya.
Ang Chit-kong adalah orang pintar, segera ia pun tahu
maksud hati orang, ia tahu pemuda ini memohon agar kasihan
pada Auwyang Hong yang menderita sakit ingatan itu dan
suka mengaku kalah saja padanya.
“Baiklah, aku turut permintaanmu,” demikian katanya
kemudian sambil ketawa terbahak-bahak.
Habis itu, dengan menyeret pentungnya iapun bertindak
pergi turun ke bawah gunung.
Tak tahunya, baru beberapa langkah ia ber-tindak,
sekonyong-konyong dari belakang ada angin me-nyamber,
ternyata Auwyang Hong sudah melompat keluar dari gua terus
menyabet dengan tongkatnya.
“Bangsat tua, kau mau lari ya?” bentak Auwyang Hong
dengan gusar.
Ang Chit-kong hindarkan tiga serangan orang berulang-
ulang, ia bermaksud cari jalan buat pergi, siapa tahu selalu
dicegat dan kena dikurung oleh tongkat Auwyang Hong hingga
tak sempat meloloskan diri.
Pertandingan silat diantara jago kelas tinggi sebenarnya
sedikitpun tidak boleh saling mengalah, kini karena Chit-kong
bermaksud mengalah, keruan saja ia menjadi kececar,
beberapa kali ia malah hampir dicelakai oleh tongkat
lawannya.
Pada suatu ketika, ia lihat Auwyang Hong menyodok cepat
dengan tongkatnya ke perutnya, Chit-kong tahu di belakang
serangan ini masih disusul serangan yang lebih lihay dan
sekali-kali tak boleh dihindari begitu saja, maka terpaksa ia
angkat tongkatnya sendiri buat menangkis.
Tak terduga, tiba-tiba terasa olehnya pada tongkat
Auwyang Hong membawa semacam tenaga dalam yang maha
kuat dan lihay, sungguh tidak kepalang kejut Ang Chit-kong.
“He, kau hendak adu lwekang dengan aku?” demikian sekilas
pikiran ini terlintas olehnya.
Betul saja, baru tergerak pikirannya, tahu-tahu tenaga
dalam musuh sudah mendesak, dalam keadaan demikian,
kecuali melawannya juga dengan tenaga dalam, memang
tiada jalan lain Iagi. Segera iapun kumpulkan Lwekangnya
buat lawan serangan tenaga dalam Auwyang Hong itu.
Dengan ilmu silat setinggi Ang Chit-kong dan Auwyang
Hong ini, kalau hanya terluka oleh sekali pukulan atau
pentungan juga belum pasti membahayakan jiwa mereka,
tetapi kini dengan adu tenaga dalam, keadaan telah
meningkat sampai detik yang tidak bisa saling mengalah Iagi,
hanya ada pilihan untuk mereka: “hidup atau mati”, lain tidak.
Pemah juga dahulu mereka saling bertanding, tetapi
karena sama-sama jeri terhadap kelihayan pihak lain, kalau
tidak yakin bakal menang, tiada yang berani sembarangan
melakukan tindakan berbahaya ini. Siapa tahu dalam keadaan
sinting, karena sudah beberapa hari bertanding masih belum
bisa menang, mendadak Auwyang Hong menyerang dengan
Lwekang asli.
Belasan tahun yang lalu, benci Ang Chit-kong terhadap Se-
tok Auwyang Hong boleh dikatakan meresap sampai ke
tulang, tetapi kini usianya sudah lanjut, tabiat kerasnya sudah
berkurang, pula melihat musuh kawakan itu tak waras
otaknya, sedang Yo Ko berulang kali mohon kasihan baginya,
sesungguhnya tiada maksud lagi pada Ang Chit-kong untuk
membunuhnya.
Oleh sebab itu, ia hanya pusatkan tenaga dalamnya di
perut, ia hanya bertahan dan tidak menyerang, ia tunggu biar
Auwyang Hong sendiri yang kepayahan kehabisan tenaga
dalam.
Tak terduga, bukan tenaga Auwyang Horg berkurang,
sebaliknya seperti ombak samudera saja yang
menggelombang tiada henti-hentinya, satu gelombang
didorong dengan gelombang yang lain, makin lama pun makin
keras.
Mendadak Ang Chit-kong teringat pada sesuatu, tak
tertahan lagi ia terkejut sekali. Kiranya teringat olehnya
pertarungan siang tadi waktu adu tenaga dengan Auwyang
Hong dengan Ngo-kui di tengah sebagai alat mengukur,
tatkala itu berulang Auwyang Hong memancal tiga kali dengan
kakinya dan tenaga yang dikeluarkan itupun yang satu lebih
besar dari yang lain, kini tampaknya sama seperti tadi itu,
belum reda tenaga serangan pertama, gelombang serangan
kedua sudah menyusul tiba dan begitu seterusnya, tenaga
serangan kedua masih kuat, segera tenaga gelombang ketiga
datang lagi.

Teringat akan itu, Ang Chit-kong tak berani ayal, segera
iapun pusatkan tenaga dalamnya melakukan serangan
balasan, dan karena keras lawan keras ini, tubuh kedua orang
sama-sama terguncang.
Melihat air muka kedua orang tua itu sangat tegang,
terang mereka sedang adu tenaga dalam yang maha hebat
secara mati-matian, diam-diam Yo Ko sangat kuatir, Kalau
dia mau bela Auwyang Hong sebagai ayah angkatnya, asal dia
serang Ang Chit-kong dari belakang dengan jarinya saja, pasti
jago tua itu akan luka parah. Tetapi dilihatnya Ang Chit-kong
berjiwa jantan sejati, ia menjadi ragu-ragu dan tak tega turun
tangan.
Lewat tak lama, mendadak Auwyang Hong menggertak
sekali, berbareng itu ia terus menjungkir tegak dengan kepala
dibawah, malahan sepatu dan kaos kaki ia buang juga,
dengan sepasang kaki yang telanjang inilah ia meng-gejol2
dan meng-ayun-ayun cepat di udara hingga menerbitkan
angin.
Sebaliknya Ang Chit-kong kelihatan tenang saja, tanpa
bergerak sedikitpun bagai patung.
Sesudah saling ngotot lagi tak lama, akhirnya telapak kaki
Auwyang Hong sampai menguap seperti digodok, nyata ia
telah kerahkan segenap tenaga dalamnya melakukan
serangan total. Begitu juga Ang Chit-kong, iapun melawan
dengan sepenuh kekuatan yang ada padanya.
Dalam keadaan demikian ia tak bisa lagi memikirkan bakal
mencelakai jiwa lawan atau tidak, yang dia harap asal dirinya
sendiri tak terluka, sudah sangat beruntung baginya.
Cara begitulah mereka bertanding dari fajar menyingsing
sampai lewat lohor, lambat laun Ang Chit-kong merasakan
tenaga dalamnya mulai “kering”, sebaliknya daya tekanan
lawan masih terus menerus membanjir seperti gelombang
ombak yang tiada habis-habisnya.
“Celaka, Si Racun tua ini semakin gila ternyata semakin
lihay, hari ini jiwa Lokiauhoa (pengemis tua) bisa melayang di
sini,” diam-diam Chit-kong mengeluh.
Nyata ia sudah menduga pertarungan ini bakal kalah,
sayangnya tiada jalan buat melepaskan diri, terpaksa ia
bertahan sekuatnya, Tak ia sangka, keadaan Auwyang Hong
pun sudah bagai pelita yang kehabisan minyak, tinggal
sirapnya saja. Kedua orang menjadi sama-sama mengeluh dan
sukar dipisahkan lagi kecuali diakhiri dengan “mati atau hidup”
Setelah dua jam lagi, hari sudah mulai sore, seluruh
tenaga yang ada pada Ang Ching-kong sudah dikeluarkan
semua tanpa ketinggalan “setetes” pun. Begitu juga Auwyang
Hong sudah napas lemah dan tenaga habis.
Nampak wajah kedua jago tua itu berubah hebat, Yo Ko
menaksir sebentar lagi kedua orang itu pasti akan gugur
bersama, tetapi kalau maju buat memisahkan mereka, rasanya
ilmu silat sendiri masih terlalu jauh selisihnya, kalau sampai di-
bentur kembali oleh tenaga dalam mereka, mungkin ia sendiri
bisa terluka parah kalau tidak mampus.
Karena itulah ia menjadi ragu-ragu. Tetapi bila
menyaksikan air muka Auwyang Hong yang tampak sangat
menderita, napas Ang Chit-kong juga memburu senin-kemis,
betapapun Yo Ko tak tega, ia ambil keputusan: “Sekalipun
harus mati, biarlah kutolong mereka”
Segera ia samber sebatang kayu, ia mendekati tengah
kedua orang tua itu dan duduk bersila, ia turuti inti pelajaran
Lwekang yang pernah diperolehnya dari Siao-liong-li dan
kumpulkan tenaga buat melindungi seluruh tubuhnya sendiri.
habis itu, sambil kuatkan hatinya mendadak ia ulur kayu tadi
terus mencungkit ke tengah-tengah kedua pentung orang.
Sungguh tak pernah diduga bahwa mencungkitnya ini
sedikitpun ternyata tak makan tenaga, ketika tenaga dalam
kedua jago tua itu kontak melalui batang kayunya dan kena
ditangkis Lwekang yang sudah dia kumpulkan, segera dapat
dipatahkan dengan gampang saja.
Kiranya itu disebabkan sisa tenaga kedua orang tua itu
sudah lapuk dan tiada artinya lagi. Meski ilmu silat Se-tok dan
Pak-kay (Si Racun dari Barat dan Si pengemis dari Utara)
setinggi langit, namun setelah dikuras selama beberapa hari
dalam pertandingan mati-matian ini, sisa tenaga mereka
hanya buat serang seorang biasa saja sukar melukainya,
apalagi melawan si Yo Ko?
Maka tertampaklah kedua orang tua itu men-doprok ke
tanah dengan lemas, muka mereka pucat seperti mayat dan
tak bisa berkutik lagi.
“Hai, Ang-locianpwe, Ayah, baik-baikkah kalian?” teriak
Yo Ko kuatir.
Akan tetapi bernapas saja kedua orang tua itu merasa
sulit, apalagi menjawabnya?
Yo Ko hendak angkat mereka ke dalam gua, namun Ang
Chit-kong telah goyang kepalanya pelahan.
Yo Ko tahu luka kedua orang itu terlalu berat, maka tak
berani lagi geser mereka, malam itu iapun tidur di tengah-
tengah kedua orang, ia kuatir tengah malam jangan-jangan
keduanya bangun saling labrak lagi. Padahal hendak
sembuhkan luka dengan menjalankan lwekang saja susah,
mana mungkin mereka sanggup bertempur pula?
Besok paginya, setelah Yo Ko mendusin, ia lihat napas
kedua orang tua itu terempas-empis, keadaan mereka lebih
buruk dari pada kemarinnya, keruan saja pemuda ini sangat
kuatir, lekas-lekas ia panggang beberapa singkong lagi dan
layani mereka makan.
Setelah dilolohi makanan sedikit, sampai hari ketiga,
semangat kedua jago tua itu baru mulai rada baik, ber-turut-
urut Yo Ko pindahkan mereka ke dalam gua, ia taruh yang
satu di sebelah timur dan yang lain sebelah barat, ia sendiri
tidur di tengah-tengah sebagai “garis pemisah”.
Cara begitulah mereka beristirahat beberapa hari Karena
Ang Chit-kpng memang doyan makan, maka pulihnya pun
lebih cepat sebaliknya sehari-hari Auwyang Hong hanya
bungkam saja dengan muka muram, Yo Ko ajak bicara
padanya, iapun tak menjawab.
Hari itu, ketika kedua orang itu rebah berhadapan tiba-tiba
Ang Ching-kong berteriak pada Auwyang Hong: “Hai, Ha-mo
busuk, kau menyerah padaku belum?”
“Menyerah apa?” sahut Auwyang Hong. “Masih banyak
ilmu kepandaianku yang belum kukeluarkan, kalau sempat
kumainkan semua, pasti aku akan hajar kau hingga kau minta
ampun.”
“Haha, sungguh kebetulan, akupun masih banyak ilmu
silat yang belum dikeluarkan,” kata Ang Chit-kong dengan
ketawa lebar. “Pernah tidak kau mendengar Pak-kau-pang-
hoat?”
Auwyang Hong terkesiap oleh pertanyaan itu, pikirnya:
“Ya, menurut Cerita, pangcu dari Kay-pang memiliki sejurus
Pak-kau-pang-hoat, kalau dimainkan bukan maki lihaynya.
Tetapi dalam pertarungan sengit dengan aku tadi, selamanya
belum dikeluarkannya, agaknya dia cuma omong kosong saja,
atau kalau tidak, hakekatnya ia tak bisa memainkan ilmu
tongkat itu.”
Karena pikiran itu, segera ia menjengek: “Hm, Pak-kau-
pang-hoat apa gunanya?”
Di lain pihak Ang Chit-kong menjadi menyesal juga kenapa
tidak mengeluarkan ilmu permainan tongkatnya yang sakti itu
pada waktu bertarung sengit kemarinnya, kalau sampai Pak-
kau-pang-hoat dikeluarkan, pasti Se-tok sudah dia robohkan,
cuma sayang karena terlalu percaya pada kemampuan sendiri,
bahwa tidak usah dengan ilmu pusaka Kay-pang itu juga bisa
menang atas lawannya, siapa tahu akibatnya berakhir dengan
ke-ke-dua2-nja sama-sama luka parah, Kini hendak
dikeluarkan namun tenaga sudah habis, sedang orang telah
menjengek padanya, tentu saja ia penasaran.
Tiba-tiba tergerak kecerdasannya, ia menggapai Yo Ko ke
dekatnya, lalu dengan bisik-bisik ia tanya pemuda ini: “Aku
adalah penjabat ketua Kay-pang yang lalu, apa kau tahu?”
Yo Ko memanggut tanda tahu. Memang dari imam-imam
Coan-cin-kau di Tiong-yang-kiong dahulu ia pernah
mendengar bahwa pejabat Pangcu dari Kay-pang yang dulu
Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong, si pengemis sakti berjari
sembilan, ilmu silatnya tiada taranya, jiwanya jujur berani,
adalah seorang gagah kesatria pada jaman itu.
“Sekarang juga ada sejurus ilmu silat akan kuajarkan
padamu,” demikian kata Ang Chit-kong pula, “Cuma ilmu silat
ini selamanya hanya diturunkan pada Pangcu perkumpulan
pengemis dan tidak diajarkan pada orang luar, Tapi lantaran
ayah angkatmu itu berani pandang rendah padaku, aku justru
ingin kau unjukkan ilmu silat ajarannya ini padanya.”
“Jika ilmu silat Lociapwe ini tak boleh diturunkan orang
luar, biar Tecu tak pelajari saja,” sahut Yo Ko. “Pikiran ayah
angkatku belum jernih, haraplah Locianpwe jangan
sepandangan dengan dia.”
“Tidak, meskipun kau sudah pelajari gerak-gerik tipu silat
ini, tetapi kalau belum paham rahasia menggunakan
tenaganya, di saat menghadapi musuh akan tiada gunanya
juga,” kata Ang Chit-kong lagi sambil goyang kepala, “Kini
akupun tidak suruh kau gunakan ilmu ini buat pukul ayah
angkatmu, cukup asal kau goyangi tangan dan geraki kaki
menurut gaya yang kukatakan, tentu ia akan paham. Oleh
sebab itu tak bisa dikatakan kuajarkan kepandaian ini
padamu.”
Namun Yo Ko masih ragu, pikirnya : “Kalau ilmu silat ini
adalah pusaka Kay-pang, belum pasti ayah angkatku sanggup
menangkisnya, lalu mengapa aku bantu kau buat
mengalahkan ayah angkat sendiri?”
Oleh sebab itu, ia tetap menolak dengan alasan tak ingin
pelajari ilmu pusaka Kay-pang yang dibanggakan itu.
Rupanya Ang Chit-kong dapat meraba apa yang dipikirkan
Yo Ko, maka kepada Auwyang Hong ia berteriak: “Hai, katak
busuk, anak angkatmu tahu kalau kau tak bisa lawan aku
punya Pak-kau-pang-hoat, maka ia tak berani pertunjukkan
cara-caranya padamu.”
Auwyang Hong menjadi gusar oleh pancingan ini.
“Jangan kuatir, Nak, akupun masih banyak ilmu sakti yang
belum dipergunakan lekas kau tunjukkan menurut ajarannya
padaku, kenapa harus takut ?” demikian teriaknya.
Karena didesak sini dan dipaksa sana, Yo Ko menjadi
serba salah, terpaksa ia mendekati Ang Chit-kong untuk
menantikan pelajaran apa yang hendak diturunkan padanya.
Ang Chit-kong suruh Yo Ko jemput sebatang kayu, lalu ia
jelaskan caranya sebuah tipu lihay dari Pak-kau-pang-hoat
yang disebut “pang-tah-siang-kau” atau sekali pentung dua
anjing.
Dasar Yo Ko memang cerdas, sekali belajar lantas bisa,
segera pula ia pertunjukkan gerak tipu itu menurut cara-cara
yang diajarkan Ang Chit-kong itu.
Melihat gerak tipu serangan pentung pemukuI anjing ini
sangat aneh dan nyata memang lihay, seketika Auwyang Hong
menjadi susah mendapatkan jalan untuk mematahkannya,
setelah ia pikir sejenak, kemudian baru dia katakan suatu
gerak tipu juga pada Yo Ko.
Yo Ko menurut, ia pertunjukkan menurut apa yang
dikatakan Auwyang Hong itu.
“Bagus,” dengan tersenyum Ang Chit-kong memuji, “dan
sekarang satu tipu lagi.”
Lalu iapun ajarkan sebuah tipu pula pada Nyo-Ko dari Pak-
kau-pang-hoat.
Dan begitulah seterusnya, kedua jago tua itu bertanding
secara tak langsung, hanya menggunakan mulut saja dengan
Yo Ko sebagai “penyambung lidah”, Karena sama lihaynya,
sampai hari sudah petang baru belasan jurus saja
berlangsung, walaupun begitu, bagi Yo Ko sudah terlalu
payah hingga keringat gemerobyos. Maka untuk sementara
pertandingan ditunda.
Besok paginya pertandingan dilanjutkan lagi. Tidak sampai
lohor, 36 jurus ilmu pentung pemukuI anjing sudah selesai
dikeluarkan Ang Chit-kong, tetapi meski ilmu pentung itu
hanya 36 jurus saja, namun perubahan2 ikutan tiap-tiap tipu
gerakannya ternyata hebat dan tiada habis-habisnya. Sampai
akhirnya, waktu yang dipakai berpikir Auwyang Hong buat
menangkis gerak serangan itu semakin panjang, jika
pertandingan dilangsungkan sungguh-sungguh dan tipu
serangan datangnya susul-menyusul secara cepat, mana ia
bisa menggunakan otaknya secara begitu bebas ?
Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa meski lama
berpikir, namun setiap kali tipu-tipu tangkisannya juga selalu
luar biasa bagusnya, baik untuk menjaga diri maupun buat
balas menyerang, hal inipun bikin Ang Chit-kong sangat
kagum.
Secara begitulah pertandingan lain dari yang lain itu terus
berlangsung selama tiga hari, sampai petang hari keempat,
Ang Chit-kong sudah katakan pada Yo Ko tipu perubahan
terakhir dari 36 jurus ilmu pentung pemukul anjing yang
disebut “boat-jau-keng-coa” atau menyontek rumput kejutkan
ular, ini adalah tipu ikutan terakhir dari Pat-kau-pang-hoat
yang paling lihay, menurut teori ilmu silat sudah pasti tiada
jalan buat mematah-kannya, dengan sendirinya Auwyang
Hong pun sukar hendak menangkisnya.
Malamnya ia guIang-guling tak bisa pulas, semalam
suntuk ia peras otak memikirkan cara menangkis tipu terakhir
Ang Chit-kong yang lihay itu.
Besok paginya, belum Yo Ko mendusin atau tiba-tiba
terdengar Auwyang Hong telah berteriak-teriak: “Ha, bisa,
bisa, begini caranya ! Nak, kau boleh gunakan tipu ini untuk
patahkan serangannya!”
Suaranya terdengar begitu bersemangat, tetapi juga
tersengal-sengal.
Mendengar suaranya rada aneh, waktu Yo Ko pandang
muka orang, sungguh kejutnya bukan buatan.
Kiranya usianya Auwyang Hong sudah lanjut, tetapi karena
Lwekangnya terlatih dalam sekali, maka rambut dan kumisnya
hanya sedikit putih kelabu saja, siapa tahu karena terlalu
memeras otak semalam saja, tahu-tahu seluruh alis, kumis
dan rambutnya kini menjadi putih semua, seketika orangnya
seperti bertambah tua berpuluh tahun.
Berduka sekali hati Yo Ko melihat keadaan orang tua itu,
ia bermaksud memohon Ang Chit-kong agar jangan
meneruskan pertandingan, sebaliknya terus-menerus Auwyang
Hong telah mendesak lagi, mau-tak-mau terpaksa ia
pertunjukkan pula tipu ciptaan baru dalam semalam oleh
Auwyang Hong ini.
Demi nampak tipu baru ini, seketika muka Ang Chit-kong
menjadi pucat bagai mayat, memangnya ia sudah
menggeletak di tanah dan sukar berkutik, kini entah mengapa
dan darimana datangnya tenaga, sekonyong-konyong ia
melompat bangun terus menubruk ke arah Auwyang Hong
sambil berteriak: “Haha, Si Racun tua, Auwyang Hong,
Lokiauhoa hari ini betul-betul takluk padamu!”
Dan begitu saling bergumul, Ang Chit-kong merangkul
erat-erat tubuh Auwyang Hong.
Terkejut sekali Yo Ko oleh kejadian itu, ia sangka orang
bermaksud mencelakai ayah angkat-nya, lekas ia tarik-tarik
punggung pengemis tua itu, siapa tahu rangkulannya malah
semakin kencang hingga tak dapat ditarik lepas sedikitpun.
“Hahaha, Auwyang Hong, si Racun tua, tak nyana kau bisa
mendapatkan tipu serangan lihay yang baru ini, hari ini
Lokiauhoa betul-betul menyerah. Bagus, Auwyang Hong,
bagus!” demikianlah Ang Chit-kong masih terus berteriak-
teriak sambil terbahak-bahak.
Memangnya umur Auwyang Hong sudah tua, ditambah
lagi pertarungan sengit selama beberapa hari dan semalam
suntuk memeras otak, hal ini sudah bikin semangatnya lemah
dan tenaga habis, kini mendadak dengar Ang Chit-kong
berseru namanya “Auwyang Hong” sampai beberapa kali,
mendadak seperti sinar refleksi yang membalik, otaknya yang
miring seketika waras kembali, kejadian selama berpuluh
tahun tiba-tiba seperti sebuah cermin yang menerangi alam
pikirannya dan seakan-akan terpentas di depan matanya.
“Haha! Ya, ya! Aku adalah Auwyang Hong, aku Auwyang
Hong! Hahahaaaa!” demikian kemudian iapun ketawa
terbahak-bahak, suaranya lantang bagai bunyi genta dan
sangat menusuk telinga.
Tertampaklah kedua kakek ubanan saling rangkul-
merangkul sambil ketawa terbahak-bahak tiada hentinya.
Selang tak lama, suara tertawa mereka makin lama makin
rendah dan makin lemah, sampai akhirnya mendadak pun
berhenti, lalu tak bergerak lagi kedua orang tua itu.
Luar biasa kejut Yo Ko melihat keadaan itu.
“Ayah, ayah! Locianpwe, Lociapwe!” demikian ia berteriak-
teriak, tetapi tiada seorangpun yang menyahut.
Waktu ia tarik lengan Ang Chit-kong, mendadak tubuh
orang tua ini dengan gampang saja dapat ditariknya terus
ambruk, nyata orangnya sudah tak bernyawa lagi
Ketika ia periksa Auwyang Hong, serupa saja, orang tua
inipun sudah berhenti bernapas.
Meski suara tertawa kedua orang tadi sudah berhenti tapi
pada wajah mereka masih terlukiskan senyuman, di antara
lembah gunung sayup-sayup masih terdengar juga suara
tertawaan mereka yang berkumandang membalik.
Begitulah lelakon dua jago tua, Pak-kay dan Se-tok atau Si
Pengemis dari Utara dan Si Racun dari Barat, satu baik dan
yang lain jahat, selama puluhan tahun mereka saling berkelahi
dan tidak pernah ada yang terkalahkan siapa duga kini bisa
tewas bersama di puncak teratas Hoa-san.
Selama hidup kedua orang itu saling membenci dan
bermusuhan, tetapi pada ajalnya sebaliknya saling rengkul
sambil ketawa terbahak-bahak, rupanya benci dan dendam
selama puluhan tahun itu telah tamat terbawa oleh suara
tertawaan mereka yang terakhir itu !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar