Kembalinya Pendekar Rajawali 26
Setelah kelabang2 itu digoreng sampai
berwarna kuning,
kemudian Ang Chit-kong tambah bumbunya,
selesai itu, tanpa
tunggu2 lagi ia comot seekor terus dimasukkan
ke mulutnya,
dengan pelahan ia mengunyah, matanya
meram-melek, begitu
nikmatnya sampai ia menghela napas, rasanya
tiada sesuatu
lagi di dunia ini yang lebih nikmat dari pada
saat ini.
Sekaligus bet-turut-urut ia pindahkan belasan
ke-labang ke
perutnya, habis itu baru ia katakan pada Yo
Ko: “Hayo,
makan! Sungkan-sungkan apa lagi?”
Akan tetapi Yo Ko menggeleng kepala, “Tidak,
aku tak
doyan,” sahutnya.
Ang Chit-kong tertegun sejenak, tapi segera
ia ketawa
terbahak-bahak.
“Ya, ya, betul, tidak sedikit orang gagah
perkasa yang
pernah kujumpai sekalipun mereka dipenggal
kepala dan
alirkan darah tidak nanti mereka mengkerut
kening, tetapi
kalau bicara soal makan kelabang, tiada
seorangpun yang
berani tiru aku Ang Chit-kong. Ha, kau bocah
ini hanya
bermulut besar saja, sesungguhnya kau juga
setan cilik
bernyali kecil,” demikian katanya.
Dikatai bernyali kecil, Yo Ko menjadi
dongkol, pikirnya :
“Biar aku pejamkan mata dan tanpa mengunyah
terus telan
saja beberapa ekor kelabang itu, supaya tidak
dipandang
rendah olehnya.”
Maka dengan menggunakan dua tangkai lidi
sebagai
sumpit, cepat ia jepit seekor kelabang goreng
itu.
Siapa tahu, sebelum kelabang itu masuk
mulutnya,
rupanya Ang Chit-kong sudah bisa menerka apa
yang dia
pikirkan tadi.
“Tanpa mengunyah sedikitpun sambil tutup mata
kau telan
sekaligus belasan kelabang, ini namanya akal
bulus dan bukan
cara gagah kesatria,” kata pengemis tua itu.
“Masakah makan kelabang saja ada soal gagah
kesatria
segala?” sahut Yo Ko tertawa dingin.
“Ya, di jagat ini tidak sedikit orang yang
tanpa malu-malu
mengaku dirinya gagah kesatria, tetapi yang
berani makan
kelabang rasanya tiada seberapa orang,” kata
Chit-kong.
Yo Ko menjadi nekat karena dipandang rendah
oleh
orang, ia pikir paling banyak hanya mati,
kenapa harus takut.
Maka kelabang yang dia sumpit tadi segera
dimasukkan ke
dalam mulut terus dikunyah.
Kalau tak dikunyah masih tak mengapa, tetapi
karena jadi
dikunyahnya ini, seketika terasa daging
kelabang itu
sedemikian gurih, begitu wangi dan begitu
enak, sungguh
selama hidupnya belum pernah mengenyam
makanan yang
begitu lezat rasanya. Karuan ia tidak mau
sudah, cepat ia
telan daging kelabang itu, lalu sumpitnya
menyamber lagi
kelabang yang kedua.
“Em, hebat, sungguh hebat rasanya!” demikian
berulang
kali ia memuji.
Nampak bocah ini telah kenal rasa dan menjadi
tuman,
Ang Chit-kong girang sekali, segerapun ia
berebut duluan
dengan Yo Ko, hanya sekejap saja ratusan
kelabang itu
sudah mereka sapu bersih.
Bagi Ang Chit-kong kelabang sebanyak itu
rasanya masih
belum Cukua, lidahnya menggigit bibir,
sungguh kalau bisa ia
pingin isi perutnya 100 ekor kelabang lagi.
“Biar aku pendam bangkai jago ini buat
pancing kelabang
yang Iain,” kata Yo Ko tiba-tiba. ia betul
sudah tuman oleh
rasa gurihnya kelabang goreng tadi.
“Tak bisa jadi lagi,” sahut Chit-kong,
“bangkai jago itu
sudah hilang daya penariknya, pula di sekitar
sini kelabang2
yang gemuk sudah tak tersisa lagi.
Habis berkata, mendadak ia menguap sambil
mengulet
ngantuk, tahu-tahu iapun merebahkan diri ke
tanah salju.
“Sudah ada 7 hari 7 malam aku tak tidur,”
demikian ia
kata, “setelah makan enak besarZan ini,
biarlah aku tidur
sepuas-puasnya selama tiga hari, seandainya
langit bakal
ambruk juga jangan kau bangunkan aku.”
Sembari berkata suara menggeros pun mulai
terdengar,
ternyata lantas pulas begitu saja.
“Cianpwe ini sungguh orang yang sangat aneh,”
batin Yo
Ko. “Baiklah akupun tiada tempat tujuan, ia
bilang mau tidur
tiga hari, biar akupun tunggu tiga hari
padanya.”
Sementara itu bunga salju terus turun tiada
hentinya,
seluruh tubuh Ang Chit-kong sudah penuh
tertutup salju yang
putih seperti kapas.
Tubuh manusia bersuhu panas, bunga salju
tentu akan
cair karena hawa panas itu, tetapi kenapa
bisa tertimbun di
atas muka dan tubuhnya, hal ini mula-mula
bikin Yo Ko tak
mengerti tetapi setelah ia pikir, segera
iapun tahulah.
“Ya, ya, tentu diwaktu tidur ia telah
keluarkan tenaga sakti
untuk menghimpun suhu panas ke dalam
badannya, Seorang
yang masih hidup segar waktu tidur ternyata
bisa kaku seperti
mayat, lwekang semacam ini sesungguhnya
sangat hebat,
mungkin mendiang Suhu Ong Tiong-yang hidup
kembali juga
tidak selihay dia ini,” demikianlah pikirnya.
Sementara itu hari sudah hampir pagi, tubuh
Ang Chit-
kong telah terkubur di dalam salju, di atas
tanah hanya
kelihatan sedikit tonjolan, bekas badannya
sudah tak kelihatan
lagi
Yo Ko sendiri tidak merasa letih, waktu ia
mendongak, ia
lihat keadaan gelap gulita dan-sunyi senyap.
Mendadak ia dikejutkan oleh suara gemerisik
seperti orang
berjalan di jurusan timur gunung itu, Waktu
ia tegasi, dari
jauh kelihatan mendatangi lima bayangan orang
dengan
kecepatan luar biasa, terang sekali semuanya
berilmu silat
amat tinggi
“Ah, tentu inilah Ngo-kui dari daerah Tibet
yang dikatakan
Locianpwe ini tadi,” pikiran Yo Ko tergerak
tiba-tiba. Karena
itu, lekas-lekas ia sembunyi di belakang batu
padas.
Tidak lama kelima orang itu sudah sampai di
depan batu
padas tempat sembunyi Yo Ko, seorang
diantaranya
terdengar bersuara heran.
“He, wajan pengemis tua itu ada di sini,
pasti dia berada di
sekitar sini saja,” kata orang itu.
Rupanya kelima orang itu merasa heran dan
jeri, lalu
mereka berkumpul untuk berunding dengan
bisik-bisik. Habis
ini, mendadak mereka terpencar pergi buat
memeriksa
keadaan sekitar tempat ini.
Karena tempat di atas puncak gunung itu memang
sempit,
maka tidak seberapa langkah mereka mencari,
seorang di
antaranya kena injak badan Ang Chit-ong yang
tertutup salju
itu. Karena kakinya tiba-tiba menginjak
tempat Iunak, dalam
kagetnya sampai ia menjerit.
Dengan serta merta keempat saudaranya lantas
merubung
dan menggali timbunan salju itu, maka
tertampaklah Ang Chit-
kong yang kaku dan seperti sudah mati. Tentu
saja kelima
orang itu sangat girang, mereka coba periksa
pernapasan Ang
Chit-kong, terasa sudah berhenti tubuhpun
dingin membeku.
“Pengemis tua ini terus menguntit aku
sepanjang jalan
hingga aku menjadi sebal digodanya, tak
tahunya kini sudah
mampus di sini,” kata seorang diantaranya.
“Orang ini sangat hebat ilmu silatnya, tanpa
sebab kenapa
mati?” ujar yang lain ragu-ragu.
“ilmu silat bagus apa tidak bisa mati?” debat
yang kin pula,
“Pikir saja, umurnya kini sudah berapa?”
Karena kata-kata terakhir ini, empat orang
yang lain
menyatakan benar, kata mereka: “Ya, beruntung
ia telah
dipanggil raja akherat, kalau tidak,
sesungguhnya sukar
dilawan.”
“Hayo, kita masing-masing bacok tua bangka
ini sekali
buat lampiaskan mendongkol kita! Biarkan dia
gagah perkasa,
sesudah mati mayatnya pun tak bisa utuh,”
ajak orang yang
pertama tadi.
Saat itu sebenarnya Yo Ko sudah siapkan
segenggam
Giok-hong-ciam, ia pikir untuk melawan lima
orang agak sulit,
tiada jalan lain kecuali cari kesempatan
menyerang dulu
dengan Am-gi, kalau dua-tiga orang sudah
dirobohkan,
sisanya tentu akan menjadi gampang
dibereskan.
Tetapi dasar usianya masih muda dan kurang
sabar, ketika
didengarnya orang bilang hendak bacok tubuh
Ang Chit-kong,
ia kuatir orang benar-benar mencelakai
pengemis tua itu,
maka Am-gi belum sempat dihamburkan satupun,
dengan
sekali gertak ia sudah melompat keluar dari
tempat
sembunyinya.
Karena tak bersenjata, terpaksa Yo Ko samber
sekenanya
dua tangkai kayu dan digunakan sebagai
Boan-koan-pit,
begitu kedua tangannya bergerak
beruntun-runtun ia
menyerang lima kali, tiap-tiap serangannya
mengincar Hiat-to
kelima orang itu.
Lirna serangannya ini boleh dikatakan
dilakukan secepat
kilat, cuma sayang ia telah membentak dahulu
hingga Ngo-kui
keburu berjaga-jaga, kalau tidak, sedikitnya
satu-dua orang
diantara mereka pasti ada yang dirobohkan.
Sekalipun begitu, tidak urung Ngo-kui kaget
hingga
berkeringat dingin, lekas-lekas mereka
melompat.
Ngo-kui semuanya memakai senjata golok tebal,
ilmu silat
mereka didapat dari satu guru, meski
kepandaian masing-
masing ada beda antara tinggi dan rendah,
tetapi cara-
caranya adalah sama.
Ketika mereka berpaling dan melihat Yo Ko
hanya satu
pemuda “ingusan” yang bajunya rombeng,
senjata yang
dipakai hanya dua kayu bakar, sikapnya
kikuk-kikuk, wajahnya
biasa, seketika rasa kaget mereka pun hilang.
“Hai, anak busuk, apa kau adalah pengemis
kecil dari Kay-
pang?” segera Tay-kui, si Kui (setan jelek)
tertua membentak:
“Cosuya-mu sudah melayang jiwanya, lekas kau
berlutut dan
minta ampun saja.”
“Ya, baik, biar aku menjura padamu”, sahut Yo
Ko tiba-
tiba.
Tadi waktu menyaksikan caranya Ngo-kui
berkelit Yo Ko
sudah dapat meraba sampai dimana ilmu silat
mereka. ia
menaksir kalau seorang lawan seorang, kelima
orang ini tiada
yang bisa menangkan dirinya, tetapi kalau
main keroyok, ia
sendiri pun tak ungkuIan.
Tetapi Yo Ko memang anak cerdik, ketika
mendengar
Tay-kui berteriak agar menjura padanya,
segera ia sambut
baik terus melangkah maju dan berlagak
menjura. Tak
terduga mendadak kedua tangannya terus
menyabet ke
samping secepat kilat dengan gerak tipu
“tui-jong-bong-goat”
(mendorong jendela memandang rembulan).
Waktu itu yang berdiri di sisi kirinya adalah
Go-kui dan sisi
kanan Sam-kui.
Tipu serangan “Tui-jong-bong-goat” ini
dilontarkan secara
tak kenal ampun, Sam-kui lebih tinggi
kepandaiannya ia
sempat angkat goloknya buat menangkis, tetapi
begitu
punggung goloknya kena disabet tangkai kayu
Yo Ko, ia
merasa lengannya kesakitan hingga goloknya
hampir tak kuat
digenggam Iagi.
Sebaliknya Go-kui telah kena disaber tulang
kakinya,
terdengar suara “keletak”, meski tulang kaki
tak sampai patah,
namun saking sakitnya Go-kui telah
berjingkrak memegangi
kakinya.
Empat saudaranya menjadi gusar, senjata
mereka
menyamber menghujam Yo Ko dengan kalap.
Tetapi dengan gesit Yo Ko dapat lompat kian
kemari
untuk berkelit hingga seketika empat “Kui”
itu tak mampu
berbuat apapun.
Tak lama dengan kaki pincang Go-kui ikut
masuk kalangan
pertempuran lagi. ia adalah jagoan Bu-lim,
tetapi kena dikibuli
seorang anak kemarin, tentu saja gusarnya
bukan buatan.
Yo Ko sudah mendapatkan pelajaran asli
Giok-li-sim-
keng, Ginkangnya jauh di atas Ngo-kui dari
Tibet ini, kalau ia
niat lari, sebenarnya tidak sukar baginya,
tetapi ia kuatir Ang
Chit-kong kalau ditinggal pergi tentu
dicelakai Ngo-kui, oleh
karena itu ia tak berani menyingkir jauh
hingga sebab itu pula
ia tak bisa bertempur secara Ieluasa,
akhirnya ia sendiri
berulang kali harus menghadapi serangan
bahaya.
Tetapi kemudian terpikir lagi olehnya, tiada
jalan lain
kecuali melarikan diri, maka pada suatu
kesempatan
sekonyong-konyong ia samber tubuh Ang
Chit-kong, ia putar
tangkai kayu terus menerjang pergi sekaligus
ia berlari sampai
beberapa tombak jauhnya.
Tentu saja Ngo-kui lantas mengudak, cuma
kepandaian
mereka ada yang tinggi dan ada yang rendah,
maka sekejap
saja yang tiga orang berada di depan dan yang
dua
ketinggalan di belakang.
Merasakan tubuh Ang Chit-kong yang dia kempit
itu
sedingin es, mau-tak-mau Yo Ko menjadi
kuatir, ia pikir
betapapun nyenyak tidurnya seharusnya akan
terbangun juga,
aku diudak musuh, kenapa ia diam saja tak mau
menolong?
Jangan-jangan pengemis tua ini memang
benar-benar telah
mati?
“Locianpwe, Locianpwe!” ia coba teriaki Ang
Chit-kong.
Tetapi pengemis tua ini tetap tak bergerak
sedikitpun
seperti mayat saja, cuma tidak kaku.
Dan karena sedikit merandeknya Yo Ko, di
belakang Tay-
kui sudah menyusul datang, karena takut pada
kepandaian
Yo Ko yang lihay, seorang diri Tay-kui tak
berani terlalu
dekat, ketika ia tunggu datangnya kedua
saudaranya yang
lain, sebaliknya Yo Ko sudah lari lagi sejauh
beberapa puluh
tombak.
Melihat jalan yang diambil Yo Ko yalah panjat
terus ke
puncak gunung, puncak itu melulu ada satu
jalan kecil, maka
Ngo-kui menjadi heran, apa bocah ini bisa
terbang ke langit?
Sebab itulah merekapun tak perlu buru-buru
mengejar
mereka menyusul dari belakang dengan pelahan
saja.
Jalan pegunungan itu makin jauh makin curam,
sampai
suatu tempat tikungan, tiba-tiba Yo Ko
melihat di kedua
samping adalah jurang yang beribu tombak
dalamnya, di
tengah hanya ada sebuah jembatan batu sempit
yang hanya
cukup dilalui seorang saja.
“Aha, bagus sekali tempat ini, biar disini
juga aku tahan
mereka selama tiga hari,” demikian pikir Yo
Ko. “Tetapi kalau
hari ke-4 Locianpwe ini masih belum bangun,
aku… aku…”
Sampai disini ia tak berani berpikir lagi,
sungguh ia tak
tahu apa yang harus diperbuatnya apa bila
sampai saatnya
Ang Chit-kong masih belum sadar.
Segera pula ia percepat larinya melintasi
jembatan batu
ciptaan alam itu, ia rebahkan Ang Chit-kong
di bawah satu
batu padas di ujung jembatan sana, lalu
dengan cepat ia putar
balik, sementara itu Tay-kui sudah menyusul
sampai di ujung
jembatan.
“Siluman jelek, berani kau maju?” bentak Yo
Ko tiba-tiba
sambil menerjang ke depan.
Karena takut ketumbuk dengan Yo Ko hingga
ke-dua2nya
tergelincir masuk jurang, lekas-lekas Tay-kui
mundur ke
belakang.
Waktu itu fajar sudah menyingsing, sang surya
sudah
menampakkan diri di ufuk timur dengan
cahayanya yang
kuning ke-emas2an, salju sudah berhenti
turun, lapisan salju
yang menutupi seluruh gunung di bawah sorotan
sinar
matahari, sungguh pemandangan indah yang
tiada
bandingannya.
Dengan berdiri di tengah jembatan langit itu,
tiba-tiba Nyo
Ko pasang kedok kulit manusia di mukanya.
“Hayo, siapa yang lebih jelek, kau atau aku?”
bentaknya.
Wajah Ngo-kui dari Tibet ini semuanya memang
sangat
jelek, tetapi lebih jelek lagi adalah sepak
terjang mereka yang
jahat, Kini mendadak melihat Yo Ko berubah
wajah yang
lain, pucat kuning, kaku tanpa perasaan,
mirip seperti mayat
hidup yang baru muncul dari kuburan, Seketika
Ngo-kui saling
pandang dengan kaget.
Pelahan Yo Ko mundur ke tengah jembatan batu
itu,
dengan gaya “Kim-ke-tok-lip” atau ayam emas
berdiri dengan
kaki tunggal, ia berdiri dengan kaki kiri dan
kaki kanan
sengaja menendang pelahan ke atas sambil
ber-gerak.2
diantara hembusan angin pegunungan yang
silir, tampaknya
alangkah gembiranya pemuda ini.
“Darimanakah Kay-pang mendadak bisa muncul
seorang
kesatria muda ini?” demikian diam-diam
Ngo-kui berpikir.
Dan karena tak berani menerjang ke jembatan
alam itu,
kemudian mereka lantas berunding. Keputusan
diambil:
mereka akan berjaga secara bergilir untuk
mencari bahan
makanan ke bawah gunung, dengan demikian
tidak sampai
dua hari “mereka yakin pemuda itu pasti akan
kewalahan
karena kelaparan.
Begitulah, lalu empat saudara mereka menjaga
rapat di
ujung jembatan alam itu dan Ji-kui yang
diutus pergi mencari
bahan makanan ke bawah gunung.
Dengan cara demikian kedua pihak saling
bertahan sampai
setengah harian, Yo Ko tak berani menyeberang
ke sana,
sebaliknya Su-kui juga tak berani menyeberang
kesini.”
Sampai lewat lohor, Yo Ko duduk bersemadi
untuk
kumpulkan tenaga. Sampai besok paginya,
Ji-kui datang
kembali dengan membawa makanan, kelima
saudara itu
sengaja makan dengan bernapsu untuk
meng-iming2 Yo Ko.
Memangnya Yo Ko sudah kelaparan, tentu saja
ia
mengiler, menyaksikan orang makan begitu
enak. Waktu ia
Berpaling memandang Ang Chit-kong, ia lihat
pengemis tua ini
masih tetap serupa saja seperti hari pertama,
pikirnya: “Jika
betul-betul tidur, adalah lazim kalau suatu
ketikapun akan
membalik tubuh, tetapi ia justru tidak
bergerak sedikitpun
jangan-jangan memang benar-benar telah mati?
Kalau aku
bertahan lagi satu hari, bila lebih lapar dan
tak bertenaga,
tentu lebih susah lagi untuk lawan kelima
musuh itu. Tidaklah
lebih baik terjang pergi sekarang saja
mungkin masih bisa
menyelamatkan diri.”
Perlahan-lahan Yo Ko berdiri, tetapi lantas
terpikir lagi
olehnya: “la bilang akan tidur selama tiga
hari, kini baru hari
kedua, lebih baik jangan kutinggalkan pergi
begitu saja.”
Maka dengan menahan perut yang keroncongan
tiada
hentinya, ia pejamkan mata melatih lwekang
sendiri, tak
dipandangnya lagi Ngo-kui yang sedang makan
itu.
Sampai hari ketiga, Ang Chit-kong masih
merebah saja
seperti hari pertama, makin melihat Yo Ko
menjadi semakin
sangsi.
“Sudah terang ia telah mati, kalau aku
berkeras tak mau
pergi, sesungguhnya terlalu bodoh, kalau sampai
kelaparan
setengah hari lagi, tanpa mereka turun
tangan, mungkin aku
sendiri akan mati kelaparan,” demikian Yo Ko
membatin.
Namun ia tidak putus asa, ia telan dua kepal
salju untuk
sekedar mengisi perut yang kosong itu, lalu
terpikir lagi
olehnya: “Terhadap negara aku belum bersetia,
terhadap
ayah-bunda akupun tak berbakti, pula aku tak
punya sanak
saudara sekedar menyampaikan rasa hatiku,
kini soal
“kepercayaan” ini betapapun juga jadinya aku
harus
menjaganya sampai saat terakhir, apalagi aku
Yo Ko selama
hidup ini selalu dipandang hina saja oleh
orang, kalau aku tak
bisa tepati janji ini, lebih-lebih aku akan
dibuat buah
tertawaan mereka, sekalipun aku harus mati,
janji tiga hari ini
harus kulaksanakan.”
Dan karena keputusannya ini, rasa
menderitanya lapar
menjadi rada ringan.
Sehari semalam ini dengan cepat dilalui lagi,
pagi hari
keempat, segera Yo Ko mendekati tubuh Ang
Chit-kong, ia
raba badan pengemis tua itu dan terasa tetap
dingin seperti
es. Tanpa tertahan pemuda ini menghela napas.
“Locianpwe,” demikian ia memberi hormat
kepada badan
Ang Chit-kong, “janji tiga hari ini sudah
kulakukan, cuma
sayang cianpwe sudah terlanjur meninggal
dunia, Tecu kuatir
tak sanggup menjaga keutuhan jenazahmu, maka
terpaksa
melemparkan kau ke dalam jurang supaya tidak
dibuat hinaan
orang-orang jahat itu.”
Habis ini, dengan cepat ia angkat tubuh Ang
Chit-kong dan
berjalan ke jembatan alam, tubuh pengemis tua
itu hendak
dilemparkannya ke jurang.
Pada saat itu juga, melihat Yo Ko tiba-tiba
hendak
tinggalkan jembatan alam itu, Ngo-kui
menyangka pemuda ini
tak tahan lapar, maka ingin melarikan diri.
Dengan cepat
mereka saling memberi tanda, segera mereka
merubung maju
memapaki Yo Ko.
Tatkala itu Yo Ko sudah menerjang ke tengah
jembatan,
sementara itu Tay-kui juga sudah menghadang
di tengah
jembatan
Dengan sekali gertak mendadak Yo Ko
melemparkan Ang
Ching-kong ke bawah jembatan, menyusul ini
Tay-kui pun
diterjangnya secara be-ringas.
Tak terduga mendadak angin santar berkesiur,
tahu-tahu
ada seorang telah melayang lewat melalui
kepalanya terus
tancapkan kaki di tengah-tengah antara Yo Ko
dan Ngo-kui.
“Haha, tidurnya Lokiauhoa sekali ini sungguh
nyenyak dan
puas sekali!” kata orang itu sambil bergelak
ketawa, Nyata ia
bukan lain dari pada Kiu-ci-sin-kay Ang
Chit-kong.
Kejadian ini sungguh membikin Yo Ko girang
tidak
kepalang, sebaliknya Ngo-kui terkejut dan
ketakutan
Kiranya pada waktu Ang Chit-kong dilemparkan
ke bawah
jembatan tadi, pada saat hampir terjerumus ke
bawah,
mendadak ia mendusin dan dengan tepat
lengannya yang
panjang keburu menahan di atas jembatan,
berbareng itu
orangnya pun melompat lewat di atas kepala Yo
Ko.
Maka tertampaklah Ang Ching-kong menggerak
tangan kiri
ke depan, menyusul tangan kanan didorong
maju, ini adalah
satu diantara tipu serangan “Hang-liong-sip-pat-ciang”
atau
delapan-belas tipu pukulan penakluk naga,
yang menjadi
kebanggaan hidupnya, yakni yang disebut
“kang-liong-yu-
hwe”.
Tay-kui yang berhadapan pertama dengan Ang
Chit-kong,
hendak menghindarkan diri juga tak ke buru
lagi meski insaf
serangan pengemis tua ini tak sanggup
disambutnya secara
keras, namun tiada jalan lain kecuali berbuat
sehisanya,
terpaksa ia gunakan kedua telapak tangan
untuk tangkis
pukulan Ang Chit-kong tadi.
Walaupun begitu toh Tay-kui merasakan kedua
lengannya
kaku kesemutan dan dada sakit.
Nampak gelagat jelek, kuatir kalau saudara
tuanya
dihantam terjungkal ke dalam jurang,
lekas-lekas Ji-kui ulur
tangannya mendorong punggung sang toako.
namun
demikian, ketika Ang Chit-kong tambahi tenaga
telapak
tangannya, tiba-tiba Ji-kui kena didorong
mendoyong ke
belakang dan hampiri terbanting jatuh.
Si-kui yang berdiri di belakang Ji-kui,
terpaksa pula maju
mendukung kedua saudaranya, Dan karena
menempel
tangannya ini, ia menjadi ikut kontak oleh
tenaga pukulan Ang
Chit-kong, menyusul mana Si-kui menular pada
Sam-kui dan
paling akhir Sam-kui menularkan juga pada
Go-kui
Kelima orang ini hendak lari tak bisa lari,
mau hindarkan
diri tak dapat menghindarkan diri, sekejap
itu saja, bila Ang
Chit-kong tambahi tenaganya sedikit,
sekaligus mereka pasti
akan kena dipukul mati oleh tenaga pukulan
raksasa si
pengemis tua itu.
Menyaksikan betapa hebat daya pukulan itu, Yo
Ko
menjadi tercengang sambit ternganga kagum.
“Kalian berlima setan jahat ini selamanya
melakukan
berbagai kejahatan dan kekejaman, kini
terpukul mati di
bawah tangan Lokiauhoa, agaknya mati pun
tidak penasaran,”
kata Ang Chit-kong dengan tertawa.
Namun Ngo-kui tak menyerah mentah-mentah,
mereka
pasang kuda-kuda dengan kuat, dengan mata
mendelik
mereka melawan telapak tangan Ang Chit-kong
yang tunggal
itu dengan gabungan tenaga mereka berlima.
Siapa tahu daya tekanan Ang Chit-kong makin
Iama makin
berat hingga dada Ngo-kui terasa sesak, buat
bernapas saja
rasanya sukar.
Pada saat yang sangat genting itu, tiba-tiba
dari jauh sana
berkumandang suara “tok-tok-tok” yang keras,
dari tikungan
jalan sana tahu-tahu muncul seorang aneh yang
berjalan
dengan kepala, Siapa gerangan dia kalau bukan
Auwyang
Hong.
“Ayah!” seru Yo Ko tanpa pikir.
Akan tetapi Auwyang Hong seperti tak dengar
saja,
mendadak ia melompat ke belakang Go-kui.
Ia ulur kaki kanan terus menahan
kepunggungnya, maka-
terasalah tiba-tiba satu kekuatan yang maha
besar telah
disalurkan melalui tubuh kelima orang itu.
Melihat Auwyang Hong mendadak muncul di sini,
Ang Chit-
kong menjadi kaget, apalagi Yo Ko memanggil
padanya
“ayah”, diam-diam pengemis tua ini pikir
kiranya bocah ini
adalah anak Auwyang Hong, pantas memiliki
ilmu silat tinggi.
Dalam pada itu tangannya sudah terasa berat,
tenaga
pukulan pihak lawan telah menembus datang
melalui tubuh
Ngo-kui, mau-tak-mau Ang Chit-kong tambahi
tenaga dan
balas menghantam.
Sejak “Hoa-san-lun-kiam” kedua rampung,
selama belasan
tahun ini Ang Chit-kong dan Auwyang Hong
belum pernah
bertemu lagi Meski otak Auwyang Hong rada
kurang waras,
tetapi karena ia melatih Kiu-im-cin-keng
secara terbalik hingga
ilmu silatnya makin dilatih makin aneh dan
kuat.
Sebaliknya Ang Chit-kong sendiri pernah
mendengar
sebagian isi kitab Kiu-im-cin-keng itu dari
Kwe Ceng serta Ui
Yong yang ternyata banyak persamaannya dengan
dasar ilmu
silatnya sendiri, maka iapun sudah jauh lebih
maju.
Kini satu sama lain bertemu lagi, apapun juga
yang baik
selalu mengalahkan yang jahat, meski isi
Kiu-im-cin-keng yang
asli tak banyak di-pahami Ang Chit-kong, tapi
sudah tak kalah
dengan Se-tok Auwyang Hong, Si racun tua dari
barat.
Beberapa puluh tahun yang lalu kedua orang
ini sudah
sukar dibedakan siapa yang lebih unggul,
sesudah itu masing-
masing pun bertambah lebih hebat lagi
kepandaiannya sendiri-
sendiri, kini untuk ketiga kalinya mereka
bersua di Hoa-san,
sesudah saling gebrak, keadaan masih tetap
sama kuatnya.
Sudah tentu yang paling celaka adalah Ngo-kui
yang
tergencet di tengah, mereka menjadi
terombang-ambing
diantara aduan kekuatan dua “raksasa” ini,
tubuh mereka
sebentar dingin, sebentar lagi panas, napas
merekapun
sebentar kencang sebentar kendur, sungguh
penderitaan yang
mereka rasakan waktu itu beribu kali lebih
hebat melebihi
siksaan badan.
Beberapa kali Ang Chit-kong mengerahkan
tenaganya,
secara keras dan secara pelahan, tetapi
setiap kali kena
dipatahkan oleh tenaga kaki Auw-yang Hong
yang memancal
di sebelah sana, Ketika kakinya bertambah
kuat memancalnya,
namun sukar juga bikin Ang Chit-kong mundur
sedikitpun
Sesudah saling adu kekuatan ini, kedua orang
pun sama
kagumnya, maka berbareng mereka melompat ke
belakang
sambil ketawa terbahak-bahak.
Dan karena “lepas tangan” kedua “raksasa”
ini, daya
tekanan pada Ngo-kui tadi seketikapun hilang
hingga tubuh
kelima orang itu terhuyung-huyung kehilangan
imbangan
bagai orang mabuk saja.
Sesudah badan kelima orang itu kena digencet
ke sana ke
mari oleh tenaga raksasa Ang Chit-kong dan
Auwyang Hong,
isi perut mereka sudah menderita luka parah
semua, otot
tulang mereka pun lemas dan menjadi orang
cacat, sekalipun
menghadapi seorang biasa merekapun tak
sanggup melawan
lagi.
“Bangsat, hitung-hitung ajalmu belum sampai,
baiknya
selanjutnya kalian tak bisa membikin celaka
orang lagi, lekas
enyah dari sini!” demikian Ang Chit-kong
membentak
Maka dengan Iesu dan tindakan sempoyongan,
Ngo-kui
bertindak pergi pelahan dengan saling
dukung-mendukung.
Dalam pada itu, setelah Auwyang Hong berdiri
tegak, ia
lirik Ang Chit-kong dan lapat-lapat seperti
pernah kenal, maka
segera ia menegurnya: “Hai, bagus amat ilmu
silatmu,
siapakah nama-mu?”
Mendengar pertanyaan ini dan melihat air muka
orang
yang linglung, Ang Chit-kong tahu selama
belasan tahun ini
Auwyang Hong masih belum waras dari otaknya
yang miring.
“Aku bernama Auwyang Hong, dan kau siapa?”
demikian
sengaja Ang Chit-kong menjawab.
Hati Auwyang Hong tergetar, ia merasa nama
“Auwyang
Hong” itu seperti sudah dikenalnya betul,
cuma dirinya sendiri
bernama apa, itulah ia tak bisa ingat lagi.
“Entah, aku lupa,” demikian sahutnya kemudian
“Eh, ya,
siapakah namaku ya?”
“Hahahaha!”, Ang Chit-kong tertawa geli.
“Namamu sendiri
kenapa tak tahu? lekas kau pulang saja buat
meng-ingat-
ingatnya”.
Auwyang Hong menjadi gusar ditertawai orang.
“Tentu kau tahu, hayo beritahukan padaku,”
bentaknya.
“Baiklah, aku kasih tahu, kau bernama Hamo
katak
busuk,” sahut Ang Chit-kong.
“Ha-mo, Ha-mo”, nama ini memang sangat
dikenal
Auwyang Hong, kedengarannya rada mirip
namanya sendiri,
tetapi bila dipikir lagi, rasanya pun bukan.
Seperti diketahui ilmu mujijatnya Auwyang
Hong yang
sangat diunggulkan yalah “Ha-mo-kang” atau
ilmu weduk
katak, bila digunakan harus berjongkok
seperti lakunya katak
Oleh sebab itu Ang Chit-kong sengaja goda dan
olok-olok
padanya.
Auwyang Hong dan Ang Chit-kong adalah musuh
kebuyutan selama berpuluh tahun, rasa benci
masing-masing
sudah tertahan dalam di hati mereka, meski
dalam keadaan
linglung, namun dengan sendirinya Auwyang
Hong menjadi
gusar demi melihat macamnya Ang Chit-kong.
Di lain pihak demi nampak orang berdiri
menjublek, habis
itu matanya tiba-tiba menyorotkan sinar
bengis, diam-diam
Ang Chit-kong telah berjaga-jaga.
Betul saja, sekejap kemudian, mendadak
terdengar
Auwyang Hong menggeram sekali dengan kalapnya
ia
menubruk maju. Ang Chit-kong tak berani ayal,
sekali
tangannya bergerak, segera
“Hang-liong-sip-pat-ciang”
dikeluarkannya.
Cara begitulah kedua jago tua ini memulai
dengan
pertarungan yang maha sengit di atas jembatan
alam di
puncak tertinggi dari Hoa-san itu, di kedua
sisi mereka adalah
jurang yang dalamnya ber-ribu2 tombak, asal
sedikit ada yang
berlaku meleng, tentu orangnya akan hancur
lebur tergelincir
ke dalam jurang.
Oleh karena resiko itulah, maka begitu saling
gebrak,
segera kedua orang mengeluarkan tipu serangan
yang paling
hebat untuk mengadu jiwa, kalau dibanding
dengan
pertandingan Hoa-san-lun-kiam yang dilakukan
secara
halusan, terang sekali ini sudah lain
keadaannya.
Kedua jago tua ini kini sudah lanjut umurnya,
meski ilmu
silat yang dilatih semakin sempurna, tetapi
soal tenaga justru
berkurang daripada tadinya. Oleh sebab itu,
pertarungan
sekali ini terutama tidak ditentukan oleh
besar-kecilnya tenaga
masing-masing, tetapi semuanya ingin menang
dengan tipu-
tipu pukulannya sendiri yang paling bagus.
Dan karena inilah rasanya yang paling untung
ialah si Nyo
Ko, ia bisa menyaksikan segala kebagusan dari
tiap-tiap ilmu
pukulan kedua jago tua itu hingga tidak
sedikit intisari yang
dia petik, apa lagi dasarnya Yo Ko memang
pintar, pula
sudah memahami inti2 Giok-li-sim-keng dan
Kiu-im-cin-keng,
sudah tentu ia menjadi lebih gampang menerima
dimana letak
inti ilmu silat kedua jago tua yang hebat
itu.
Sewaktu kedua jago tua itu mulai bergebrak Yo
Ko rada
kuatir Auwyang Hong akan terjerumus ke dalam
jurang
mengingat tempat pertempuran yang berbahaya
itu, tetapi
sesudah saling gebrak, kadang-kadang ia malah
melihat Ang
Chit-kong terdesak di pihak terserang, tanpa
terasa ia
mengharap agar pengemis tua itu diberkahi
selamat.
Harus diketahui bahwa Auwyang Hong adalah
ayah
angkatnya, perasaan kekeluargaan mereka sudah
begitu rapat
dan melekat, tetapi tindak tanduk Ang Chit-kong
juga
membawa semacam perbawa yang besar dan agung,
hal ini
mau-tak-mau membikin Yo Ko menjadi kagum dan
menghormat padanya.
Begitulah sesudah beratus jurus kedua jago
tua itu
bergebrak, meski kedua orang berulang kali
sama-sama
menghadapi serangan lihay, namun selalu
mereka sanggup
menyelamatkan diri dengan baik, maka Yo Ko
akhirnya tak
perlu berkuatir lagi atas keselamatan kedua
orang tua itu, ia
justru memusatkan pikirannya untuk mengingat
baik-baik tipu
silat yang diunjuk mereka.
Sudah lama Yo Ko apalkan isi Kiu-im-cin-keng
dengan
baik, kini menyaksikan setiap gerak-gerik
tipu yang
dikeluarkan kedua jago tua itu ternyata cocok
sekali dengan
intisari pelajaran kitab sakti itu, sungguh
bukan buatan rasa
girang Yo Ko, pikirnya: “Satu istilah saja
dalam kitab yang
disangka cuma biasa saja, siapa tahu
mempunyai perubahan2
yang begini luas dan banyak,”
Dan sesudah ribuan jurus pertandingan itu
berlangsung,
meski kepandaian kedua jago tua itu belum
habis dikeluarkan,
namun, karena usia yang sudah lanjut, mau-tak-mau
napas
mereka mulai memburu dan jantung memukul
cepat, gerak-
gerik merekapun mulai kendur.
“Kalian berdua sudah setengah hari berkelahi,
tentunya
perut sudah lapar, marilah kita makan yang
keyang dulu, nanti
bertanding lagi!” demikian Yo Ko coba teriaki
mereka.
Bagi Auwyang Hong segala makanan itu tidak
menarik,
lain halnya dengan Ang Chit-kong, begitu
mendengar kata-
kata “makan”, segera ia melompat mundur
sambil berseru:
“Bagus, bagus! Memang harus makan duIu!”
Tadi Yo Ko melihat bakul bambu berisi barang
makanan
yang dibawa Ngo-kui itu masih berada di situ,
maka dengan
cepat bakul itu disambernya ke hadapan Ang
Chit-kong, waktu
ia buka tutup bakul bambu itu, ternyata
isinya banyak sekali,
ajam-daging komplit dengan nasi dan arak
segala.
Soal makan, selamanya Ang Chit-kong tak
pernah
sungkan-sungkan, tanpa permisi lagi ia samber
seekor ayam
beku, baik daging berikut tulangnya terus
dilalap semua
hingga bersuara keletak-keletuk.
“Ayah, selama ini berada di manakah kau?”
dengan suara
lembut Yo Ko bertanya sambil menyodorkan
sepotong daging
beku pada Auwyang Hong.
“Aku mencari kau,” sahut Auwyang Hong dengan
mata
mendelong.
Yo Ko jadi terharu oleh jawaban orang, ia
pikir di dunia
ini ternyata masih ada juga seorang yang
begini cinta padaku
dengan sesungguh hati.
Maka sambil merangkul tangan orang, Yo Ko
berkata
lagi: “Ayah, Ang-locian-pwe ini adalah orang
baik, janganlah
kau berkelahi lagi dengan dia.”
“Dia, dia ialah Auwyang Hong, Auwyang Hong
adalah
manusia jahat,” kata Auwyang Hong sambil
tuding Ang Chit-
kong.
Melihat pikiran orang memang abnormal,
sungguh pedih
sekali hati Yo Ko.
“Ya, ya, betul Auwyang Hong adalah manusia
busuk dan
janat, Auwyang Hong pantas mampas!” Ang
Ching-kong
terbahak-bahak geli.
Tentu saja Auwyang Hong semakin bingung, ia
pandang
Ang Chit-kong, lalu pandang lagi pada Yo Ko,
matanya
menyorotkan sinar yang guram dan hampa,
pikirannya pun
menjadi kacau, sebisanya ia bermaksud
meng-ingat-ingat
sesuatu, tetapi selalu tak bisa mengingatnya.
“Ang-locianpwe,” kata Yo Ko sesudah melayani
Auwyang
Hong memakan sedikit, “dia adalah ayah
angkatku, harap
engkau kasihan dia sedang menderita sakit
ingatan, sukalah
jangan bikin susah lagi padanya.”
Ang Chit-kong adalah seorang berbudi demi
mendengar
permohonan Yo Ko, berulang kali ia mengangguk
“Anak baik,
anak baik,” demikian pujinya.
Siapa tahu Auwyang Hong yang abnormal itu
mendadak
melompat bangun lagi.
“Hayo, Auwyang Hong, sekarang maju lagi.”
demikian ia
berteriak-teriak atas nama sendiri kepada Ang
Chit-kong,
“Daiam hal pukulan kita sama kuat, kini kita
boleh coba-coba
senjata.”
“Tak usahlah sudah, anggaplah kau yang
menang”, sahut
Ang Chit-kong sambil geleng-geleng kepala.
“Menang apa segala? Aku justru ingin bunuh
kau,” teriak
Auwyang Hong tiba-tiba.
Habis itu, ia samber sepotong kayu digunakan
sebagai
pentung terus menghantam ke atas kepala Ang
Chit-kong.
Dahulu, dengan tongkat ular, senjata khasnya,
pernah
Auwyang Hong malang melintang di dunia
persilatan, ilmu
permainan tongkatnya itu lihay luar biasa,
kini meski
tongkatnya tak berular pada ujungnya, namun
hantamannya
sekali ini ternyata sangat keras, belum tiba
pentungnya atau
Yo Ko sudah merasakan samberan angin yang
menekan
dada.
Lekas-lekas Yo Ko melompat minggir, waktu ia
pandang
Ang Chit-kong, dilihatnya pengemis tua ini
sudah samber juga
sepotong kayu pendek dan dipakai sebagai
senjata, lalu kedua
jago tua itupun saling labrak lagi dengan
serunya.
“Pak-kau-pang-hoat”, ilmu permainan pentung
pemukul
anjing yang dimiliki Ang Chit-kong adalah
ilmu silat yang tiada
bandingannya di kolong langit ini, cuma tidak
sembarangan
mau dia keluarkan selain ini iapun punya ilmu
permainan
pentung lain yang bagus dan lihay, kini satu
persatu ia
keluarkan untuk labrak Auwyang Hong, maka
pertarungan
sekali ini menjadi berbeda lagi dengan
gebrakan dengan
tangan dan kaki tadi, begitu hebat
samber-menyambernya
tongkat dan pentung hingga Yo Ko yang
menonton di
samping ikut berdebat dan ternganga.
Pertarungan sengit ini terus berlangsung
sampai magrib,
tetapi masih tiada yang lebih unggul atau
asor.
Melihat keadaan tempat itu sangat berbahaya,
seluruh
gunung hanya tanah salju belaka yang halus
licin, kedua jago
tua itu sudah lanjut usianya, kalau terjadi
sedikit meleng,
mungkin akan menjadikan penyesalan selama
hidup, maka
dengan suara keras Yo Ko berteriak-teriak
minta mereka
berhenti.
Namun Ang Chit-kong dan Auwyang Hong sedang
bertempur dengan napsunya, mana bisa mereka
berhenti
begitu saja?
Kemudian Yo Ko dapat akal, ia ingat kegemaran
Ang
Chit-kong satu-satunya: “makan”, ia pikir
kalau pancing
pengemis tua ini dengan makanan enak tentu
orang akan
mengiler dan boleh jadi untuk sementara bisa
diadakan
“gencatan senjata”.
Maka dengan cepat ia pergi mencari di alas
belukar
pegunungan itu, ia dapatkan beberapa potong
ubi dan
singkong, segera ia nyalakan api dan dibakar
hingga
menguarkan bau sedap.
Betul saja, demi bau sedap itu, segera Ang
Chit-kong
berteriak: “Ha-mo, busuk, tak mau lagi
berkelahi dengan kau,
makan dulu paling perlu !”
Habis itu, iapun mendekati Yo Ko terus samber
saja dua
potong ubi bakar itu terus digeragoti meski
mulutnya sakit
kebakar oleh panasnya ubi itu, sambil tiada
hentinya ia puji
Yo Ko yang pintar cari barang santapan.
Di sebelah sana Auwyang Hong tidak mau
berhenti begitu
saja, ia susul Ang Chit-kong terus
mengemplang kepala orang
dengan tongkatnya.
Namun sama sekali Ang Chit-kong tak berkelit
sebaliknya
ia samber sepotong singkong bakar terus
dilemparkan ke arah
Auwyang Hong sambil berseru : “Nih, makanlah
!”
Auwyang Hong menjadi tertegun sebelum
tongkatnya
diayunkan, sebelah tangannya otomatis pun
tangkap singkong
yang dilemparkan padanya itu terus dimakan,
seketika iapun
lupa pada pertarungan sengit tadi.
Malam itu mereka bertiga pun tidur di dalam
suatu gua,
Yo Ko berusaha agar Auwyang Hong bisa ingat
kembali pada
kejadian-kejadian masa dahulu, maka beberapa
kali ia sengaja
memancingnya, tetapi Auwyang Hong selalu
hanya
termenung-menung saja tanpa menjawab
Kadang-kadang
orang tua ini ketok2 batok kepalanya sendiri
dengan kepalan,
tampaknya sebisanya hendak mengingat, namun
percuma
saja karena otaknya seakan-akan sudah pantul
ia menjadi
sangat masgul.
Karena kuatir orang makin pikir makin gila,
lekas-lekas Nyo
Ko menghibur Auwyang Hong buat tidur saja,
sebaliknya ia
sendiri hanya guIang-guling tak bisa pulas,
ia sedang pikirkan
ilmu pukulan kedua jago tua yang dilihatnya
siang tadi, makin
mengingatnya makin bersemangat, sampai
akhirnya diam-
diam ia bangun sendiri dan menjalankan
gerak-gerik pukulan
itu menurut apa yang dilihatnya, ia merasakan
kebagusan ilmu
silat yang tiada taranya itu, sampai tengah
malam, sesudah
sangat lebih, barulah Yo Ko pergi tidur.
Besoknya pagi-pagi sekali, waktu Yo Ko masih
layap-
layap dalam tidurnya, tiba-tiba didengarnya
diluat gua ada
suara samberan angin yang menderu-deru di
selingi dengan
suara bentakan dan lompatan, Lekas Yo Ko
meloncat
bangun, di depan gua terlihat Ang Chit-kong
dan Auwyang
Hong kembali sedang saling labrak dengan
ramainya.
Melihat kebandelan kedua orang tua itu, Yo Ko
menghela
napas tanpa berdaya, dengan kesal ia duduk
menunggu di
samping, diam-diam iapun ingat baik-baik
gerak tipu
permainan tongkat kedua orang itu, ia merasa
setiap gerakan
Ang Chit-kong semuanya dapat dibedakan dengan
jelas,
sebaliknya ge-rak-gerik Auwyang Hong sangat
sulit diduga,
seringkali kalau Ang Chit-kong berada di atas
angin, tahu-tahu
Auwyang Hong keluarkan tipu gerakan aneh
dengan cepat,
lalu kedudukan merekapun berubah sama kuat
Iagi.
Begitulah cara pertandingan mereka yang
berlarut-larut
ini, siang berkelahi dan malam tidur,
terus-menerus
berlangsung selama enam hari, begitu payah
keadaan dua
orang tua ini hingga semangat lesu dan tenaga
habis, namun
toh masih tiada satupun yang mau mengalah
barang sekali
serangan saja.
“Jika pertarungan secara demikian berlangsung
lagi, dua
harimau bertengkar, akhirnya tentu ada satu
yang celaka,”
demikian Yo Ko membatin.
Karena itu, malamnya ia tunggu sesudah
Auwyang Hong
tidur, diam-diam ia berkata pada Ang
Chit-kong : “Marilah
Locianpwe keluar, ingin aku bicara sedikit.”
Ang Chit-kong tak menolak permintaan itu, ia
ikut Yo Ko
keluar gua, mendadak pemuda ini berlutut di
hadapannya
sambil menjura tiada hen-tinya, tetapi
sepatah katapun tak
dikatakannya.
Ang Chit-kong adalah orang pintar, segera ia
pun tahu
maksud hati orang, ia tahu pemuda ini memohon
agar kasihan
pada Auwyang Hong yang menderita sakit
ingatan itu dan
suka mengaku kalah saja padanya.
“Baiklah, aku turut permintaanmu,” demikian
katanya
kemudian sambil ketawa terbahak-bahak.
Habis itu, dengan menyeret pentungnya iapun
bertindak
pergi turun ke bawah gunung.
Tak tahunya, baru beberapa langkah ia
ber-tindak,
sekonyong-konyong dari belakang ada angin
me-nyamber,
ternyata Auwyang Hong sudah melompat keluar
dari gua terus
menyabet dengan tongkatnya.
“Bangsat tua, kau mau lari ya?” bentak
Auwyang Hong
dengan gusar.
Ang Chit-kong hindarkan tiga serangan orang
berulang-
ulang, ia bermaksud cari jalan buat pergi,
siapa tahu selalu
dicegat dan kena dikurung oleh tongkat
Auwyang Hong hingga
tak sempat meloloskan diri.
Pertandingan silat diantara jago kelas tinggi
sebenarnya
sedikitpun tidak boleh saling mengalah, kini
karena Chit-kong
bermaksud mengalah, keruan saja ia menjadi
kececar,
beberapa kali ia malah hampir dicelakai oleh
tongkat
lawannya.
Pada suatu ketika, ia lihat Auwyang Hong
menyodok cepat
dengan tongkatnya ke perutnya, Chit-kong tahu
di belakang
serangan ini masih disusul serangan yang
lebih lihay dan
sekali-kali tak boleh dihindari begitu saja,
maka terpaksa ia
angkat tongkatnya sendiri buat menangkis.
Tak terduga, tiba-tiba terasa olehnya pada
tongkat
Auwyang Hong membawa semacam tenaga dalam
yang maha
kuat dan lihay, sungguh tidak kepalang kejut
Ang Chit-kong.
“He, kau hendak adu lwekang dengan aku?”
demikian sekilas
pikiran ini terlintas olehnya.
Betul saja, baru tergerak pikirannya,
tahu-tahu tenaga
dalam musuh sudah mendesak, dalam keadaan
demikian,
kecuali melawannya juga dengan tenaga dalam,
memang
tiada jalan lain Iagi. Segera iapun kumpulkan
Lwekangnya
buat lawan serangan tenaga dalam Auwyang Hong
itu.
Dengan ilmu silat setinggi Ang Chit-kong dan
Auwyang
Hong ini, kalau hanya terluka oleh sekali
pukulan atau
pentungan juga belum pasti membahayakan jiwa
mereka,
tetapi kini dengan adu tenaga dalam, keadaan
telah
meningkat sampai detik yang tidak bisa saling
mengalah Iagi,
hanya ada pilihan untuk mereka: “hidup atau
mati”, lain tidak.
Pemah juga dahulu mereka saling bertanding,
tetapi
karena sama-sama jeri terhadap kelihayan
pihak lain, kalau
tidak yakin bakal menang, tiada yang berani
sembarangan
melakukan tindakan berbahaya ini. Siapa tahu
dalam keadaan
sinting, karena sudah beberapa hari
bertanding masih belum
bisa menang, mendadak Auwyang Hong menyerang
dengan
Lwekang asli.
Belasan tahun yang lalu, benci Ang Chit-kong
terhadap Se-
tok Auwyang Hong boleh dikatakan meresap
sampai ke
tulang, tetapi kini usianya sudah lanjut,
tabiat kerasnya sudah
berkurang, pula melihat musuh kawakan itu tak
waras
otaknya, sedang Yo Ko berulang kali mohon
kasihan baginya,
sesungguhnya tiada maksud lagi pada Ang
Chit-kong untuk
membunuhnya.
Oleh sebab itu, ia hanya pusatkan tenaga
dalamnya di
perut, ia hanya bertahan dan tidak menyerang,
ia tunggu biar
Auwyang Hong sendiri yang kepayahan kehabisan
tenaga
dalam.
Tak terduga, bukan tenaga Auwyang Horg
berkurang,
sebaliknya seperti ombak samudera saja yang
menggelombang tiada henti-hentinya, satu
gelombang
didorong dengan gelombang yang lain, makin
lama pun makin
keras.
Mendadak Ang Chit-kong teringat pada sesuatu,
tak
tertahan lagi ia terkejut sekali. Kiranya
teringat olehnya
pertarungan siang tadi waktu adu tenaga
dengan Auwyang
Hong dengan Ngo-kui di tengah sebagai alat
mengukur,
tatkala itu berulang Auwyang Hong memancal
tiga kali dengan
kakinya dan tenaga yang dikeluarkan itupun
yang satu lebih
besar dari yang lain, kini tampaknya sama
seperti tadi itu,
belum reda tenaga serangan pertama, gelombang
serangan
kedua sudah menyusul tiba dan begitu
seterusnya, tenaga
serangan kedua masih kuat, segera tenaga
gelombang ketiga
datang lagi.
Teringat akan itu, Ang Chit-kong tak berani
ayal, segera
iapun pusatkan tenaga dalamnya melakukan
serangan
balasan, dan karena keras lawan keras ini,
tubuh kedua orang
sama-sama terguncang.
Melihat air muka kedua orang tua itu sangat
tegang,
terang mereka sedang adu tenaga dalam yang
maha hebat
secara mati-matian, diam-diam Yo Ko sangat
kuatir, Kalau
dia mau bela Auwyang Hong sebagai ayah
angkatnya, asal dia
serang Ang Chit-kong dari belakang dengan
jarinya saja, pasti
jago tua itu akan luka parah. Tetapi
dilihatnya Ang Chit-kong
berjiwa jantan sejati, ia menjadi ragu-ragu
dan tak tega turun
tangan.
Lewat tak lama, mendadak Auwyang Hong
menggertak
sekali, berbareng itu ia terus menjungkir
tegak dengan kepala
dibawah, malahan sepatu dan kaos kaki ia
buang juga,
dengan sepasang kaki yang telanjang inilah ia
meng-gejol2
dan meng-ayun-ayun cepat di udara hingga
menerbitkan
angin.
Sebaliknya Ang Chit-kong kelihatan tenang saja,
tanpa
bergerak sedikitpun bagai patung.
Sesudah saling ngotot lagi tak lama, akhirnya
telapak kaki
Auwyang Hong sampai menguap seperti digodok,
nyata ia
telah kerahkan segenap tenaga dalamnya
melakukan
serangan total. Begitu juga Ang Chit-kong,
iapun melawan
dengan sepenuh kekuatan yang ada padanya.
Dalam keadaan demikian ia tak bisa lagi
memikirkan bakal
mencelakai jiwa lawan atau tidak, yang dia
harap asal dirinya
sendiri tak terluka, sudah sangat beruntung
baginya.
Cara begitulah mereka bertanding dari fajar
menyingsing
sampai lewat lohor, lambat laun Ang Chit-kong
merasakan
tenaga dalamnya mulai “kering”, sebaliknya
daya tekanan
lawan masih terus menerus membanjir seperti
gelombang
ombak yang tiada habis-habisnya.
“Celaka, Si Racun tua ini semakin gila
ternyata semakin
lihay, hari ini jiwa Lokiauhoa (pengemis tua)
bisa melayang di
sini,” diam-diam Chit-kong mengeluh.
Nyata ia sudah menduga pertarungan ini bakal
kalah,
sayangnya tiada jalan buat melepaskan diri,
terpaksa ia
bertahan sekuatnya, Tak ia sangka, keadaan
Auwyang Hong
pun sudah bagai pelita yang kehabisan minyak,
tinggal
sirapnya saja. Kedua orang menjadi sama-sama
mengeluh dan
sukar dipisahkan lagi kecuali diakhiri dengan
“mati atau hidup”
Setelah dua jam lagi, hari sudah mulai sore,
seluruh
tenaga yang ada pada Ang Ching-kong sudah
dikeluarkan
semua tanpa ketinggalan “setetes” pun. Begitu
juga Auwyang
Hong sudah napas lemah dan tenaga habis.
Nampak wajah kedua jago tua itu berubah
hebat, Yo Ko
menaksir sebentar lagi kedua orang itu pasti
akan gugur
bersama, tetapi kalau maju buat memisahkan
mereka, rasanya
ilmu silat sendiri masih terlalu jauh
selisihnya, kalau sampai di-
bentur kembali oleh tenaga dalam mereka,
mungkin ia sendiri
bisa terluka parah kalau tidak mampus.
Karena itulah ia menjadi ragu-ragu. Tetapi
bila
menyaksikan air muka Auwyang Hong yang tampak
sangat
menderita, napas Ang Chit-kong juga memburu
senin-kemis,
betapapun Yo Ko tak tega, ia ambil keputusan:
“Sekalipun
harus mati, biarlah kutolong mereka”
Segera ia samber sebatang kayu, ia mendekati
tengah
kedua orang tua itu dan duduk bersila, ia
turuti inti pelajaran
Lwekang yang pernah diperolehnya dari
Siao-liong-li dan
kumpulkan tenaga buat melindungi seluruh
tubuhnya sendiri.
habis itu, sambil kuatkan hatinya mendadak ia
ulur kayu tadi
terus mencungkit ke tengah-tengah kedua
pentung orang.
Sungguh tak pernah diduga bahwa mencungkitnya
ini
sedikitpun ternyata tak makan tenaga, ketika
tenaga dalam
kedua jago tua itu kontak melalui batang
kayunya dan kena
ditangkis Lwekang yang sudah dia kumpulkan,
segera dapat
dipatahkan dengan gampang saja.
Kiranya itu disebabkan sisa tenaga kedua
orang tua itu
sudah lapuk dan tiada artinya lagi. Meski
ilmu silat Se-tok dan
Pak-kay (Si Racun dari Barat dan Si pengemis
dari Utara)
setinggi langit, namun setelah dikuras selama
beberapa hari
dalam pertandingan mati-matian ini, sisa
tenaga mereka
hanya buat serang seorang biasa saja sukar
melukainya,
apalagi melawan si Yo Ko?
Maka tertampaklah kedua orang tua itu
men-doprok ke
tanah dengan lemas, muka mereka pucat seperti
mayat dan
tak bisa berkutik lagi.
“Hai, Ang-locianpwe, Ayah, baik-baikkah
kalian?” teriak
Yo Ko kuatir.
Akan tetapi bernapas saja kedua orang tua itu
merasa
sulit, apalagi menjawabnya?
Yo Ko hendak angkat mereka ke dalam gua,
namun Ang
Chit-kong telah goyang kepalanya pelahan.
Yo Ko tahu luka kedua orang itu terlalu
berat, maka tak
berani lagi geser mereka, malam itu iapun
tidur di tengah-
tengah kedua orang, ia kuatir tengah malam
jangan-jangan
keduanya bangun saling labrak lagi. Padahal
hendak
sembuhkan luka dengan menjalankan lwekang
saja susah,
mana mungkin mereka sanggup bertempur pula?
Besok paginya, setelah Yo Ko mendusin, ia
lihat napas
kedua orang tua itu terempas-empis, keadaan
mereka lebih
buruk dari pada kemarinnya, keruan saja
pemuda ini sangat
kuatir, lekas-lekas ia panggang beberapa
singkong lagi dan
layani mereka makan.
Setelah dilolohi makanan sedikit, sampai hari
ketiga,
semangat kedua jago tua itu baru mulai rada
baik, ber-turut-
urut Yo Ko pindahkan mereka ke dalam gua, ia
taruh yang
satu di sebelah timur dan yang lain sebelah
barat, ia sendiri
tidur di tengah-tengah sebagai “garis
pemisah”.
Cara begitulah mereka beristirahat beberapa
hari Karena
Ang Chit-kpng memang doyan makan, maka
pulihnya pun
lebih cepat sebaliknya sehari-hari Auwyang
Hong hanya
bungkam saja dengan muka muram, Yo Ko ajak
bicara
padanya, iapun tak menjawab.
Hari itu, ketika kedua orang itu rebah
berhadapan tiba-tiba
Ang Ching-kong berteriak pada Auwyang Hong:
“Hai, Ha-mo
busuk, kau menyerah padaku belum?”
“Menyerah apa?” sahut Auwyang Hong. “Masih
banyak
ilmu kepandaianku yang belum kukeluarkan,
kalau sempat
kumainkan semua, pasti aku akan hajar kau
hingga kau minta
ampun.”
“Haha, sungguh kebetulan, akupun masih banyak
ilmu
silat yang belum dikeluarkan,” kata Ang
Chit-kong dengan
ketawa lebar. “Pernah tidak kau mendengar
Pak-kau-pang-
hoat?”
Auwyang Hong terkesiap oleh pertanyaan itu,
pikirnya:
“Ya, menurut Cerita, pangcu dari Kay-pang
memiliki sejurus
Pak-kau-pang-hoat, kalau dimainkan bukan maki
lihaynya.
Tetapi dalam pertarungan sengit dengan aku
tadi, selamanya
belum dikeluarkannya, agaknya dia cuma omong
kosong saja,
atau kalau tidak, hakekatnya ia tak bisa
memainkan ilmu
tongkat itu.”
Karena pikiran itu, segera ia menjengek: “Hm,
Pak-kau-
pang-hoat apa gunanya?”
Di lain pihak Ang Chit-kong menjadi menyesal
juga kenapa
tidak mengeluarkan ilmu permainan tongkatnya
yang sakti itu
pada waktu bertarung sengit kemarinnya, kalau
sampai Pak-
kau-pang-hoat dikeluarkan, pasti Se-tok sudah
dia robohkan,
cuma sayang karena terlalu percaya pada
kemampuan sendiri,
bahwa tidak usah dengan ilmu pusaka Kay-pang
itu juga bisa
menang atas lawannya, siapa tahu akibatnya
berakhir dengan
ke-ke-dua2-nja sama-sama luka parah, Kini
hendak
dikeluarkan namun tenaga sudah habis, sedang
orang telah
menjengek padanya, tentu saja ia penasaran.
Tiba-tiba tergerak kecerdasannya, ia
menggapai Yo Ko ke
dekatnya, lalu dengan bisik-bisik ia tanya
pemuda ini: “Aku
adalah penjabat ketua Kay-pang yang lalu, apa
kau tahu?”
Yo Ko memanggut tanda tahu. Memang dari
imam-imam
Coan-cin-kau di Tiong-yang-kiong dahulu ia
pernah
mendengar bahwa pejabat Pangcu dari Kay-pang
yang dulu
Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong, si pengemis
sakti berjari
sembilan, ilmu silatnya tiada taranya,
jiwanya jujur berani,
adalah seorang gagah kesatria pada jaman itu.
“Sekarang juga ada sejurus ilmu silat akan
kuajarkan
padamu,” demikian kata Ang Chit-kong pula,
“Cuma ilmu silat
ini selamanya hanya diturunkan pada Pangcu
perkumpulan
pengemis dan tidak diajarkan pada orang luar,
Tapi lantaran
ayah angkatmu itu berani pandang rendah
padaku, aku justru
ingin kau unjukkan ilmu silat ajarannya ini
padanya.”
“Jika ilmu silat Lociapwe ini tak boleh
diturunkan orang
luar, biar Tecu tak pelajari saja,” sahut Yo
Ko. “Pikiran ayah
angkatku belum jernih, haraplah Locianpwe
jangan
sepandangan dengan dia.”
“Tidak, meskipun kau sudah pelajari
gerak-gerik tipu silat
ini, tetapi kalau belum paham rahasia
menggunakan
tenaganya, di saat menghadapi musuh akan
tiada gunanya
juga,” kata Ang Chit-kong lagi sambil goyang
kepala, “Kini
akupun tidak suruh kau gunakan ilmu ini buat
pukul ayah
angkatmu, cukup asal kau goyangi tangan dan
geraki kaki
menurut gaya yang kukatakan, tentu ia akan
paham. Oleh
sebab itu tak bisa dikatakan kuajarkan
kepandaian ini
padamu.”
Namun Yo Ko masih ragu, pikirnya : “Kalau
ilmu silat ini
adalah pusaka Kay-pang, belum pasti ayah
angkatku sanggup
menangkisnya, lalu mengapa aku bantu kau buat
mengalahkan ayah angkat sendiri?”
Oleh sebab itu, ia tetap menolak dengan
alasan tak ingin
pelajari ilmu pusaka Kay-pang yang
dibanggakan itu.
Rupanya Ang Chit-kong dapat meraba apa yang
dipikirkan
Yo Ko, maka kepada Auwyang Hong ia berteriak:
“Hai, katak
busuk, anak angkatmu tahu kalau kau tak bisa
lawan aku
punya Pak-kau-pang-hoat, maka ia tak berani
pertunjukkan
cara-caranya padamu.”
Auwyang Hong menjadi gusar oleh pancingan
ini.
“Jangan kuatir, Nak, akupun masih banyak ilmu
sakti yang
belum dipergunakan lekas kau tunjukkan
menurut ajarannya
padaku, kenapa harus takut ?” demikian
teriaknya.
Karena didesak sini dan dipaksa sana, Yo Ko
menjadi
serba salah, terpaksa ia mendekati Ang
Chit-kong untuk
menantikan pelajaran apa yang hendak
diturunkan padanya.
Ang Chit-kong suruh Yo Ko jemput sebatang
kayu, lalu ia
jelaskan caranya sebuah tipu lihay dari
Pak-kau-pang-hoat
yang disebut “pang-tah-siang-kau” atau sekali
pentung dua
anjing.
Dasar Yo Ko memang cerdas, sekali belajar
lantas bisa,
segera pula ia pertunjukkan gerak tipu itu
menurut cara-cara
yang diajarkan Ang Chit-kong itu.
Melihat gerak tipu serangan pentung pemukuI
anjing ini
sangat aneh dan nyata memang lihay, seketika
Auwyang Hong
menjadi susah mendapatkan jalan untuk
mematahkannya,
setelah ia pikir sejenak, kemudian baru dia
katakan suatu
gerak tipu juga pada Yo Ko.
Yo Ko menurut, ia pertunjukkan menurut apa
yang
dikatakan Auwyang Hong itu.
“Bagus,” dengan tersenyum Ang Chit-kong
memuji, “dan
sekarang satu tipu lagi.”
Lalu iapun ajarkan sebuah tipu pula pada
Nyo-Ko dari Pak-
kau-pang-hoat.
Dan begitulah seterusnya, kedua jago tua itu
bertanding
secara tak langsung, hanya menggunakan mulut
saja dengan
Yo Ko sebagai “penyambung lidah”, Karena sama
lihaynya,
sampai hari sudah petang baru belasan jurus
saja
berlangsung, walaupun begitu, bagi Yo Ko
sudah terlalu
payah hingga keringat gemerobyos. Maka untuk
sementara
pertandingan ditunda.
Besok paginya pertandingan dilanjutkan lagi.
Tidak sampai
lohor, 36 jurus ilmu pentung pemukuI anjing
sudah selesai
dikeluarkan Ang Chit-kong, tetapi meski ilmu
pentung itu
hanya 36 jurus saja, namun perubahan2 ikutan
tiap-tiap tipu
gerakannya ternyata hebat dan tiada
habis-habisnya. Sampai
akhirnya, waktu yang dipakai berpikir Auwyang
Hong buat
menangkis gerak serangan itu semakin panjang,
jika
pertandingan dilangsungkan sungguh-sungguh
dan tipu
serangan datangnya susul-menyusul secara
cepat, mana ia
bisa menggunakan otaknya secara begitu bebas
?
Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa meski
lama
berpikir, namun setiap kali tipu-tipu
tangkisannya juga selalu
luar biasa bagusnya, baik untuk menjaga diri
maupun buat
balas menyerang, hal inipun bikin Ang
Chit-kong sangat
kagum.
Secara begitulah pertandingan lain dari yang
lain itu terus
berlangsung selama tiga hari, sampai petang
hari keempat,
Ang Chit-kong sudah katakan pada Yo Ko tipu
perubahan
terakhir dari 36 jurus ilmu pentung pemukul
anjing yang
disebut “boat-jau-keng-coa” atau menyontek
rumput kejutkan
ular, ini adalah tipu ikutan terakhir dari
Pat-kau-pang-hoat
yang paling lihay, menurut teori ilmu silat
sudah pasti tiada
jalan buat mematah-kannya, dengan sendirinya
Auwyang
Hong pun sukar hendak menangkisnya.
Malamnya ia guIang-guling tak bisa pulas,
semalam
suntuk ia peras otak memikirkan cara
menangkis tipu terakhir
Ang Chit-kong yang lihay itu.
Besok paginya, belum Yo Ko mendusin atau
tiba-tiba
terdengar Auwyang Hong telah
berteriak-teriak: “Ha, bisa,
bisa, begini caranya ! Nak, kau boleh gunakan
tipu ini untuk
patahkan serangannya!”
Suaranya terdengar begitu bersemangat, tetapi
juga
tersengal-sengal.
Mendengar suaranya rada aneh, waktu Yo Ko
pandang
muka orang, sungguh kejutnya bukan buatan.
Kiranya usianya Auwyang Hong sudah lanjut,
tetapi karena
Lwekangnya terlatih dalam sekali, maka rambut
dan kumisnya
hanya sedikit putih kelabu saja, siapa tahu
karena terlalu
memeras otak semalam saja, tahu-tahu seluruh alis,
kumis
dan rambutnya kini menjadi putih semua,
seketika orangnya
seperti bertambah tua berpuluh tahun.
Berduka sekali hati Yo Ko melihat keadaan
orang tua itu,
ia bermaksud memohon Ang Chit-kong agar
jangan
meneruskan pertandingan, sebaliknya terus-menerus
Auwyang
Hong telah mendesak lagi, mau-tak-mau
terpaksa ia
pertunjukkan pula tipu ciptaan baru dalam
semalam oleh
Auwyang Hong ini.
Demi nampak tipu baru ini, seketika muka Ang
Chit-kong
menjadi pucat bagai mayat, memangnya ia sudah
menggeletak di tanah dan sukar berkutik, kini
entah mengapa
dan darimana datangnya tenaga,
sekonyong-konyong ia
melompat bangun terus menubruk ke arah
Auwyang Hong
sambil berteriak: “Haha, Si Racun tua,
Auwyang Hong,
Lokiauhoa hari ini betul-betul takluk
padamu!”
Dan begitu saling bergumul, Ang Chit-kong
merangkul
erat-erat tubuh Auwyang Hong.
Terkejut sekali Yo Ko oleh kejadian itu, ia
sangka orang
bermaksud mencelakai ayah angkat-nya, lekas
ia tarik-tarik
punggung pengemis tua itu, siapa tahu
rangkulannya malah
semakin kencang hingga tak dapat ditarik
lepas sedikitpun.
“Hahaha, Auwyang Hong, si Racun tua, tak
nyana kau bisa
mendapatkan tipu serangan lihay yang baru
ini, hari ini
Lokiauhoa betul-betul menyerah. Bagus,
Auwyang Hong,
bagus!” demikianlah Ang Chit-kong masih terus
berteriak-
teriak sambil terbahak-bahak.
Memangnya umur Auwyang Hong sudah tua,
ditambah
lagi pertarungan sengit selama beberapa hari
dan semalam
suntuk memeras otak, hal ini sudah bikin
semangatnya lemah
dan tenaga habis, kini mendadak dengar Ang
Chit-kong
berseru namanya “Auwyang Hong” sampai
beberapa kali,
mendadak seperti sinar refleksi yang
membalik, otaknya yang
miring seketika waras kembali, kejadian
selama berpuluh
tahun tiba-tiba seperti sebuah cermin yang
menerangi alam
pikirannya dan seakan-akan terpentas di depan
matanya.
“Haha! Ya, ya! Aku adalah Auwyang Hong, aku
Auwyang
Hong! Hahahaaaa!” demikian kemudian iapun
ketawa
terbahak-bahak, suaranya lantang bagai bunyi
genta dan
sangat menusuk telinga.
Tertampaklah kedua kakek ubanan saling rangkul-
merangkul sambil ketawa terbahak-bahak tiada
hentinya.
Selang tak lama, suara tertawa mereka makin
lama makin
rendah dan makin lemah, sampai akhirnya
mendadak pun
berhenti, lalu tak bergerak lagi kedua orang
tua itu.
Luar biasa kejut Yo Ko melihat keadaan itu.
“Ayah, ayah! Locianpwe, Lociapwe!” demikian
ia berteriak-
teriak, tetapi tiada seorangpun yang
menyahut.
Waktu ia tarik lengan Ang Chit-kong, mendadak
tubuh
orang tua ini dengan gampang saja dapat
ditariknya terus
ambruk, nyata orangnya sudah tak bernyawa
lagi
Ketika ia periksa Auwyang Hong, serupa saja,
orang tua
inipun sudah berhenti bernapas.
Meski suara tertawa kedua orang tadi sudah
berhenti tapi
pada wajah mereka masih terlukiskan senyuman,
di antara
lembah gunung sayup-sayup masih terdengar juga
suara
tertawaan mereka yang berkumandang membalik.
Begitulah lelakon dua jago tua, Pak-kay dan
Se-tok atau Si
Pengemis dari Utara dan Si Racun dari Barat,
satu baik dan
yang lain jahat, selama puluhan tahun mereka
saling berkelahi
dan tidak pernah ada yang terkalahkan siapa
duga kini bisa
tewas bersama di puncak teratas Hoa-san.
Selama hidup kedua orang itu saling membenci
dan
bermusuhan, tetapi pada ajalnya sebaliknya
saling rengkul
sambil ketawa terbahak-bahak, rupanya benci
dan dendam
selama puluhan tahun itu telah tamat terbawa
oleh suara
tertawaan mereka yang terakhir itu !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar