Kembalinya Pendekar Rajawali 77
Cepat kedua Bu cilik menarik pedang
sekuat-nya, baru terasa sedikit kendur, tahu-tahu Yo Ko melangkah maju, pentung
kayu diangkat, tapi sebelah kakinya telah menggantikan pentung untuk menginjak
ujung kedua pedang.Tahu-tahu tenggorokan kedua saudara Bu telah terancam oleh
ujung pentung, kalau saja bertempur sungguh-sungguh, pasti leher mereka sudah
ditembus oleh senjata musuh.
“Bagaimana, menyerah tidak?” tanya Yo Ko
dengan tertawa.
Seketika wajah kedua Bu cilik pucat pasi
seperti mayat, mereka bungkam tak dapat menjawab. Segera Yo Ko angkat kakinya
dan mundur dua tiga tindak, melihat kedua saudara yang serba konyol itu, ia
menjadi teringat kepada masa kecilnya dahulu, ketika dia kenyang dihina dan
dikerubut oleh kedua Bu cilik itu dan baru sekarang dia dapat melampiaskan rasa
dongkol itu, tanpa terasa mukanya memperlihatkan perasaan senang dan puas.
Kedua saudara Bu itu sama sekali tidak
menduga bahwa Yo Ko benar-benar telah mendapatkan ajaran kepandaian Oey Yong.
Namun mereka tetap penasaran mereka merasa waktu bertempur tadi telah didahului
oleh lawan sehingga mereka tidak sempat mengeluarkan segenap kepandaian yang
diperoleh dan Kwe Ceng, malahan lt-yang-ci yang baru mereka pelajari juga sama
sekali tidak sempat dimainkan.
Bu Tun-si menjadi putus asa, ia menghela
napas panjang, pedang bermaksud dibuangnya dan akan pergi, tapi mendadak Bu
Siu-bun berseru padanya: “Toako, jika kita sudahi sampai di sini saja, lalu apa
artinya hidup kita di dunia ini? Tidakkah lebih baik kita adu jiwa saja dengan
dia!”
Hati Tun-si terkesiap, segera iapun menjawab:
“Benar!”
Serentak kedua bersaudara memutar pedang dan
mengerubut maju lagi, sekarang mereka sudah nekat sehingga tidak perlu menjaga
diri, yang mereka utamakan adalah menyerang saja dan selalu mengincar tempat
yang mematikan perubahan ini ternyata hebat juga.
Keduanya, tidak berjaga diri lagi melainkan
menyerang, mereka rela mati di bawah pentung Yo Ko asalkan dapat gugur bersama
musuh, Malahan disamping menyerang dengan pcdang, tangan kiri kedua Bu cilik
juga memainkan It-yang-ci yang lihay itu.
“Bagus, pertarungan begini barulah nikmat!”
kata Yo Ko dengan tertawa.Malahan ia terus membuang pentungnya, dengan
bertangan kosong ia berlari kian kemari di antara samberan pedang musuh, Meski
kedua saudara Bu menyerangnya dengan tidak kenal ampun, namun tetap sukar
mengenai sasarannya.
Bu Sam-thong merasa serba susah menyaksikan
pertarungan itu, sebentar ia berharap Yo Ko yang menang agar kedua puteranya
takkan memikirkan dan memperebutkan Kwe Hu lagi. Tapi bila melihat Bu cilik
mengalami bahaya, tanpa terasa timbul juga keinginannya agar mereka dapat
mengalahkan Yo Ko.
Tiba-tiba terdengar Yo Ko bersuit nyaring,
“cring-cring”, jarinya menyelentik batang pedang kedua lawannya, seketika
lengan kedua saudara Bu merasa pegal linu, genggamannya juga kesakitan,
setengah badan juga tergetar kaku, pedang mereka serentak mencelat mundur.
Dengan gesitnya Yo Ko lantas melompat ke atas
dan berhasil menangkap kedua pedang itu, lalu katanya dengan tertawa: “Nah,
inilah ilmu sakti Sian ci-sin-thong dari Tho-hoa-to, kalian pernah melihat nya
belum?”
Sampai di sini, mau tak-mau kedua saudara Bu
jugamenyadari bila pertarungan diteruskan, tentu mereka akan tambah konyol.
“Maaf!” kata Yo Ko kemudian sambil
menyodorkan kedua pedang rampasannya itu.
Siu-bun menerima kembali pedangnya dan
berkata dengan pedih: “Ya, selamanya aku takkan menemui adik Hu lagi.” -
Habis berkata ia terus melintangkan pedang
dan menggorok ke lehernya sendiri
Pikiran Bu Tun-si ternyata sama dengan
adiknya, pada saat yang sama pula iapun angkat pedangnya hendakmembunuh diri.
Tentu saja Yo Ko terkejut, secepat terbang ia
menubruk maju, “cring-cring” dua kali, kembali kedua pedang itu kena
diselentiknya dan mencelat ke atas, “trang”, kedua pedang saling bentur dan
patah.
Pada saat itu Bu Sam-thong juga melompat
maju, satu tangan satu orang, ia cengkeram gitok kedua anaknya sambil membentak
dengan suara bengis: “Demi memperebutkan seorang perempuan kalian berdua lantas
berpikiran pendek, sungguk percumalah kalian menjadi laki-laki”
Siu-bun mengangkat kepalanya dan menjawab:
“Ayah, engkau sendiri bukankah juga merana selama hidup demi seorang perempuan?
Aku……”
Belum habis ucapannya ia melihat muka sang
ayah penuh dengan air mata, rasa dukanya tidak kepalang, seketika teringat
olehnya perbuatan mereka bersaudara sesungguhnya teramat melukai perasaan sang
ayah, tanpa terasa ia lantas menangis keras-keras.
Pegangan Bu Samthong menjadi kendur, segera
ia merangkul kedua puteranya itu dan menangislah ketiganya berpelukan menjadi
satu.
Merasa usahanya telah berhasil, hati Yo Ko
sangat senang, ia pikir meski jiwanya takkan tahan lama lagi, paling tidak ia
telah berbuat sesuatu kebajikan.
Dalam pada itu terdengar Bu Sam-thong lagi
berkata: “Anak bodoh, laki-laki sejati masakah takut tidak mendapatkan bini?
Bocah perempuan she Kwe itu tidak menyukai kalian, lalu
untuk apa kalian memikirkan dia? Tugas utama
kita sekarang ini apa, coba katakan?”
“Menuntut balas kematian ibu,” seru Siu-bun
“Benar,” kata Bu Sam thong sambil beringas.
“Meskipun menjelajahi ujung langit juga akan
kita temukan Jik-lian-siancu Li Bok-chiu yang jahat itu.”
Yo Ko menjadi kuatir kalau ucapan merekah itu
didengar oleh Li Bok chiu, kalau mereka tidak lekas dipancing pergi, tentu
urusan bisa runyam.
Benar juga, sebelum ia berbuat sesuatu,
tiba-tiba terdengar suara Li Bok-chiu mengekek tawa dan berkata: “Tidak perlu
kalian menjelajahi ujung langit segala, sekarang juga Li Bok chiu menunggu di
sini.” - Sembari bicara ia terus melangkah ke-luar gua dengan tangan kiri
membopong seorang bayi dan tangan kanan memegang kebut.
Sama sekali Bu Sam-thong dan kedua putera-nya
tidak menduga iblis yang mereka sebut tadi akan muncul di situ secara mendadak,
Dengan menggerang murka Bu Sam-thong terus menerjang dulu ke depan.
Pedang kedua saudara Bu sudah patah, cepat
merekamenjembut pedang patah mereka dan ikut mengerubut dari kanan-kiri.
“Hei, jangan bergerak dulu, dengarkan
penuturanku!” seru Yo Ko.
Namun mata Bu Sam-thong sudah kadang merah
membara, teriaknya: “Adik Yo, bicara nanti saja, setelah kubunuh iblis ini.”
Sembari bicara ia lantas menyerang tiga, kali berturut-urut. Meski dia dengan
pedang kutung, namun daya serangan kedua saudara Bu juga tidak dapat dipandang
ringan, mereka, terus menyerang dengan nekat. Yo Ko tahu dendam kesumat mereka
terlalu mendalam, betapapun pasti sukar dilerai, tapi kalau tidak berusaha
menengahi, bisa jadi mereka akan mencelakai si bayi. Maka cepat ia berseru
pula: “Li-supek, biarlah kupendong anak itu!” Bu Sam-thong melengak. “Mengapa
kau panggil dia Supek?” tanyanya bingung.
“Sutit yang baik, boleh kau serang bagian
belakang orang gila ini, bayi ini akan kupondong sendiri dan tanggung tak apa,”
jawab Li Bok-chiu dengan tertawa.
Kiranya Li Bok-chiu juga merasakan kelihayan
Bu Sam-thong, setelah bergebrak beberapa kali terasa jauh lebih kuat daripada
dahulu, sedangkan kedua saudara Bu cilik juga tidak lemah, kerubutan ketiga
orang agak sukar dilayani, sebab itulah ia sengaja memanggil Yo Ko sebagai
“Sutit yang baik” untuk mengacaukan pikiran ketiga lawan.
Ternyata Bu Sam-thbng terjebak oleh akal Li
Bok-chiu itu, cepat ia berseru: “Anak Si dan Bun, kalian awasi bocah she Yo
itu, biar aku sendiri melabrak iblis ini.”
Yo Ko lantas melangkah mundur dan ber-kata:
“Aku takkan membantu pihak manapun, tapi kalian jangan sekali- sekali membikin
celaka anak bayi itu.”
Hati Bu Sam-thong merasa lega melihat Yo Ko
sudah mundur, segera ia melancarkan serangan lebih gencar.
Sambil putar kebutnya menahan serangan lawan.
Li Bok-chiu berseru: “Kedua Bu cilik, melihat pri-laku kalian tadi, kalian ini
tergolong laki-laki yang punya perasaan, berbeda dengan laki-laki yang tak
ber-budi dan ingkar janji yang kejam itu, Mengingat hal ini, biarlah kuampuni
jiwa kalian, nah, lekas kalian pergi saja.”
Tapi Bu Siu-bun lantas memaki: “Bangsat
keparat, kau perempuan keji yang maha jahat, berdasarkan apa kau juga bicara
tentang budi dan kebaikan” - Berbareng itu ia terus menyerang mati-matian.
Ketika pedang kutung kedua Bu cilik terbentur
kebut, dada mereka terasa sesak dan pedang kutung hampir terlepas, dari tangan,
Cepat Bu Sam-thong menghantam, terpaksa Li Bok-chiu menangkisnya, dengan begitu
kedua Bu cilik dapat diselamatkan.
Pelahan Yo Ko mendekati belakang Li Bok-chiu,
ia tunggu bila ada peluang segera akan menubruk maju untuk merebut bayi dalam
pelukan iblis itu. Akan tetapi ayah beranak she Bu itu sedang menyerang dengan
sengit sehingga Li Bok-chiu terpaksa memutar kencang kebutnya untuk menjaga
diri, sedikitpun tidak ada lubang yang dapat dimasuki Yo Ko.
Nampak serangan Bu Sam-thong bertiga tanpa
menghiraukan keselamatan anak bayi Yo Ko menjadi kuatir, cepat ia berseru pula:
“Berikan anak itu padaku, Li-supek!” Sambil menunduk segera ia bermaksud
menerobos maju untuk merebut bayi itu.
Akan tetapi Li Bok-chiu keburu membentak:nya:
“Kau berani maju, sedikit kupiting anak ini, masakah jiwanya takkan melayang?”
Yo Ko melengak dan tidak jadi menubruk maju.
Pada saat Li Bok-chiu sedikit meleng itulah secepat kilat It-yangci Bu
Sam-thong telah bekerja dengan baik, pinggang Li Bok- chiu tertutuk satu kali
oleh jarinya.
Seketika Li Bok-chiu merasakan tempat yang
tertutuk itu sakit luar biasa dan hampir jatuh terguling, sebisanya ia angkat
sebelah kakinya menendang terlepas pedang kutung ditangan Bu Tun-si, menyusul
kebutnya menyabet pula ke kepala Bu-Siu-bun.
Melihat anaknya terancam bahaya, cepat
Bu-Sam-thong tarik Siu-bun ke belakang sehingga terhindar dari sabetan maut
tadi.
Sesudah terluka oleh tutukan tadi, Li
Bok-chiu merasa sukar bertahan lebih lama lagi, sekuatnya ia putar kebutnya,
berbareng ia melompat kesana dan berlari masuk ke dalam gua.
Dengan girang Bu Sam-thong berseru:
“Perempuan bangsat itu sudah kena tutukanku, sekali ini jiwanya pasti
melayang.”
Segera kedua Bu cilik hendak mengejar ke
dalam gua dengan pedang terhunus, Tapi Sam-thong telah mencegahnya: “Awas,
jarumnya berbahaya, dijaga saja di sini dan mencari akal…”
Baru saja kedua Bu cilik hendak
melangkah mundur, sekonyong-konyong terdengar suara mengaum, dari dalam gua
menerjang keluar seekor binatang buas.
Keruan Bu Sam-thong terkejut, sungguh di-luar
dugaannya bahwa di dalam gua tempat sembunyi Li Bok chiu itu terdapat pula
binatang buas begitu, Baru saja dia melengak, tahu-tahu cahaya perak gemerdep,
dari bawah perut binatang buas itu menyambar beberapa buah jarum perak.
Hal ini lebih tak terduga oleh Bu Sam-thong,
untung kepandaiannya cukup tinggi, sebisanya dia melompat ke atas sehingga
jarum-jarum berbisa itu me-nyamber lewat di bawah kakinya, Tapt lantas
terdengar jeritan kedua Bu cilik.
Sungguh kaget Bu Sam-thong tak terkatakan,
sementara itu terlihat Li Bok-chiu telah memutar dari bawah perut macan tutul
itu ke atas pung-gungnya, kebut terselip di kuduk baju, tangan kiri memeluk
bayi dan tangan kanan memegangi gitok harimau, Binatang itu melompat beberapa
kali dan menghilang di balik semak-semak sana.
Lolosnya Li Bok-chiu dengan menunggang macan
tutul juga sama sekali tak terduga oleh Yo Ko: “Lisupek….”…” segera ia berseru
dan hendak mengejar.
Tapi Bu Sam-thong tidak membiarkan Yo Ko
pergi begitu saja, ia sangat berduka melihat kedua putera-kesayangannya
menggeletak tak bisaba ngun lagi, tanpa pikir ia rangkul Yo Ko sambi berteriak:
“Biarlah aku mengadu jiwa dengan kau.”
Sama” sekali Yo Ko tak mengira” Bu Sam thong
akan bertindak padanya, maka sedikitpun ia tak berjaga sehingga dia terangkuI
dengan kencang. Cepat ia berseru: “He, lepaskan! Aku harus merebut kembali bayi
itu!”
“Bagus! Biar kita be ramai-ramai mati bersama
saja!” teriak Bu Sam-thong pula.
Yo Ko menjadi kelabakan, ia coba menggunakan
Kim-na-jiu-hoat untuk mementang tangan orang yang merangkulnya itu, tak terduga
bahwa meski Bu Sam-thong dalam keadaan bingung dan sinting tapi ilmu silatnya tidak
menjadi kurang, dengan kencang ia mengunci rangkulannya itu sehingga usaha Yo
Ko melepaskan diri sama sekali tidak berhasil.
Melihat Li Bolc-chiu sudah menghilang dengan
menunggang macan tutul, untuk mengejarnya jelas tidak keburu Iagi, Yo Ko
menghela napas dan berkata: “Paman Bu, buat apa kau merangkul aku? Kau lebih
penting menolong mereka itu?
“Ya, ya, benar,” seru Bu Sam-thong girang.
Sambil melepas rangkulannya “Apakah kau dapat menyembuhkan luka jarum berbisa
itu?”
Yo Ko berjongkok memeriksa kedua Bu cilik,
kelihatan dua jarum perak menancap di bahu kiri dan kaki kanan masing-masing,
sementara itu racun sudah mulai menjalar, napas kedua anak muda itu tampak
sesak dan dalam keadaan tak sadar.
Cepat Yo Ko menyobek sebagian baju Bu Tun-si
sebagai pembungkus tangan, lebih dulu ia cabut kedua jarum berbisa itu.
“Apakah kau punya obat penawar racuuoya?”
tanya Bu Sam-thong kuatir.
Dahulu waktu Yo Ko berkumpul dengan Thia Eng
dan Liok Bu-siang, ia pernah membaca dan mengapalkan isi kitab pusaka “Panca
Bisa” milik Li Bok-chiu yang dicuri Bu-siang itu, maka ia paham cara bagaimana
menawarkan racun jarum berbisa itu cuma untuk membuat obatnya tentu makan
waktu,
sedangkan sekarang mereka berada dilembah
pegunungan sunyi, ke mana mendapatkan bahan obat sebanyak itu?
Karena itu Yo Ko cuma menggeleng saja
menyaksikan keadaan kedua Bu cilik yang sudah payah itu.
Perasaan Bu Sam-thong seperti di-iris2
menyaksikan keadaan kedua puteranya itu, ia jadi teringat kepada isterinya yang
mati demi mengisap darah beracun dari lukanya dahulu itu, mendadak ia menubruk
ke atas badan Bu Siu-bun dan menempel mulutnya pada luka di kaki anaknya itu.
Tentu saja Yo Ko terkejut, cepat ia bersemi
“Hei, jangan!” Segera ia menutuk Taycui-hiaf di pinggang orang tua itu.
Karena tidak terduga-duga, seketika Bu
Sam-thong roboh terguling dan takdapat berkutik melainkan memandangi kedua
putera kesayangan dengan air mata bercucuran.
Tergerak perasaan Yo Ko, ia pikir jiwanya
sendiri juga akan melayang apabila racun bunga cinta itu mulai bekerja, baginya
terasa tiada bedanya hidup lima hari lagi atau mati lebih cepat lima hari,
JP-ril kedua Bu cilik ini memang tiada menonjol, tapi pasti Bu ini adalah orang
yang berperasaan dan berbudi luhur, nasibnya juga kurang beruntung selama
seperti diriku, Biarlah kukorban kehidupanku yang cuma tinggal beberapa hari
ini untuk membahagiakan kehidupan mereka ayah beranak.
Karena pikiran itu, mendadak ia
mencucup luka di kaki Bu Siu-bun, setelah mengusap darah berbisanya dan
diludahkan beberapa kali, kemudian ia mencucup pula darah berbisa dari luka Bu
Tun-si.
Begitulah secara bergiliran Yo Ko menyedot
darah berbisa dari luka kedua saudara Bu itu, tentu saja Bu Sam-thong sangat
berterima kasih dan merasa bingung menyaksikan perbuatan Yo Ko itu, susahnya
dia tak bisa berkutik karena Hiat-to tertutup.
Setelah mengisap sebentar pula, rasa pahit
dalam mulut Yo Ko mulai berubah menjadi rasa asin.
Sedangkan kepalanya semakin pusing dan terasa
berat, ia menyadari dirinya telah keracunan hebat, sekuatnya ia berusaha
mengisap lagi beberapa kali dan meludahkan air berbisa itu, tiba-tiba
pandangannya menjadi gelap dan jatuh pingsanlah dia…
Entah berapa lamanya Yo Ko tak sadarkan diri,
ketika perlahan-lahan ia merasa ada bayangan orang yang samar-samar bergoyang
kian kemari di depannya, ia bermaksud mementangkan matanya untuk memandang
lebih jelas, akan tetapi semakin berusaha semakin kabur rasanya. Entah lewat
berapa lama lagi barulah Yo Ko membuka matanya, segera dilihatnya Bu Sam-thong
sedang memandangi dirinya dengan rasa girang.
“Sudah baik dia, sudah baik!” terdengar orang
tua itu berseru, mendadak berlutut dan menyembah beberapa kali padanya sambil
berkata: “Adik Nyo, kau…. kau telah menyelamatkan… menyelamatkan kedua puteraku
dan juga telah menyelamatkan jiwaku yang tua bangka ini.”
Lalu dia merangkak bangun dan segera
pula menyembah kepada seorang lagi sambil berseru : “Terima kasih, Susiok,
terima kasih!”
Waktu Yo Ko memandang orang itu, terlihat lah
mukanya hitam, hidung besar dan mata cekung, tertampak rada-rada mirip dengan
Nimo Singh, rambutnya juga keriting, Cuma sebagian sudah ubanan, usianya sudah
tua.
Yo Ko hanya tahu Bu Sam-thong adalah murid
It-teng Taysu, tapi tidak tahu bahwa dia masih mempunyai seorang paman guru
dari negeri Thian tok. Ia bermaksud bangun berduduk, tapi pinggang terasa lemas
pegal, sedikitpun tak bertenaga, ia coba memandang sekitarnya ternyata berada
di tempat tidur, di dalam kamarnya sendiri di kota Siangyang.
Baru sekarang dia benar yakin bahwa dirinya
belum mati dan masih dapat berjumpa dengan Siao liong-li, tanpa terasa ia terus
berseru: “Kokoh! Mana Kokoh?”
Seorang lantas mendekatinya dan meraba
dahinya sambil berkata: “Tenanglah, Ko-ji, Kokohmu sedang keluar kota untuk
sesuatu urusan.”
Yo Ko melihat orang ini adalah Kwe Ceng. Ia
merasa terhibur melihat sang paman sudah sehat kembali. Segera teringat olehnya
bahwa untuk memulihkan kesehatan sang paman diperlukan waktu tujuh hari tujuh
malam masakah ketidak sadaranku ini sudah berselang sekian hari pula? jika
begitu mengapa racun bunga cinta dalam tubuhku tidak kumat? Ia. menjadi
bingung, pikiran menjadi kacau dan kembali ia tak sadarkan diri.
Waktu ia sadar kembali untuk kedua
kalinya-sementara itu sudah jauh malam, di depan tempat tidur tersulut sebatang
lilin merah, Bu Sam-thong kelihatan masih menungguinya dengan berduduk di depan
situ dan memandangnya dengan penuh perhatian.
“Aku tidak apa-apa, paman Bu, jangan kuatir
kau” kata Yo Ko dengan tersenyum hambar, “-Dan kedua saudara Bu tentunya
baik-baik saja,”
Air mata Bu Sam-thong bercucuran, ia tak
dapat berbicara saking terharunya, maka ia cuma menjawab dengan manggut-manggut
saja.. Selama hidup Yo Ko tak pernah merasakan terima kasih sedemikian dari
orang lain, maka ia menjadi rikuh, cepat ia belokan pembicaraannya dan
bertanya: “Cara bagaimana kita dapat pulang ke Siangyang sini?”
Bu Sam-thong mengusap air matanya, lalu
menutur: “Atas permintaan nona Liong gurumu itu, Cu-sute telah mengantar kuda
merah itu ke lembah sunyi untukmu, ketika melihat kita berempat sama-sama
tergeletak di situ, cepat-cepat dia menolong kita pulang ke sini”
“Darimana suhuku mengetahui aku berada di
mana?” ujar Yo Ko dengan heran, “Dan urusan apa yang membuatnya tidak dapat
mencari aku dan perlu minta pertolongan paman Cu untuk mengantarkan kuda merah
padaku?”
“Setibaku lagi di sini, akupun tidak sempat
bertemu dengan nona Liong gurumu itu,” tutur Bu Sam-thong.
“Menurut Cu-sute, katanya usia nona Liong
masih muda, cantik rupawan pula dan ilmu silatnya juga maha tinggi, sayang aku
belum bisa berkenalan dengan beliau, Ai memang kaum ksatria selalu timbul dari
kalangan angkatan muda, kukatakan kepada Cu-sute bahwa seumur kita ini seperti
hidup pada tubuh babi belaka.”
Yo Ko sangat senang karena Bu Sam-thong
memuji dan mengagumi Siao-liong-li dengan setulus hati, bicara tentang umur,
menjadi ayah Siao-liong-li juga pantas bagi Bu Sam-thong, tapi dia ternyata
begitu menghormati nona itu, jelas disebabkan dia menghormati si murid dan
dengan sendirinya menghormat pulakepada sang guru.
Dengan tersenyum Yo Ko lantas berkata. “luka
siautit ini…”
“Adik Yo,” tiba-tiba Bu Sam-thong memotong
“menolong sesamanya di dunia persilatan adalah kejadian yang biasa, tapi
menyelamatkan orang lain tanpa memikirkan jiwa sendiri seperti engkau ia pula
yang kau tolong adalah kedua puteraku yang sebelumnya bersikap kasar padamu,
Tindakanmu ini selain guruku rasanya tiada orang ketiga lagi yang sanggup
melakukannya.
Berulang-ulang Yo Ko menggeleng kepala,
maksudnya minta Bu Sam-thong tidak meneruskan lagi ucapannya itu.
Namun Bu Sam-thong tidak menggubrisnya, dia
tetap berucap: “Jika kupanggil engkau dengan sebutan “ln-kong” (tuan penolong)
tentunya engkau juga tidak mau terima. Tapi kalau engkau tetap menyebut aku
sebagai paman, itupun jelas kau teramat menghina kepadaku Bu Sam-thong ini.”
Watak Yo Ko memang suka terus terang dan
tidak merecoki soal tetek bengek, seperti halnya Siao-liong-li, sekali dia
anggap nona itu sebagai isteri maka soal pelanggaran tata adat umum dan
panggilan yang tidak menurut aturan, semuanya suka dilakukan jika ada orang yang
minta.
Karena itu tanpa pikir ia lantas menjawab:
“Baiklah, aku akan panggil kau Bu-toako-saja, cuma kalau ketemu kedua saudara
Tun-si dan Siu-bun. kurasa agak kurang enak dan entah cara bagaimana harus
ku-sebut mereka.”
“Sebut apa segala?” ujar Bu Sam-thong. “Jiwa
mereka diselamatkan olehmu, jika mereka menjadi kerbau atau kudamu juga
pantas.”
“Engkau tidak perlu berterima kasih padaku,
Bu-toako,”
kata Yo Ko, “Memangnya aku sudah kena racun
bunga cinta yang jahat dan jiwaku sukar diselamatkan, maka caraku cucup racun
dari luka kedua saudara Bu itu sebenarnya tiada artinya sedikitpun bagiku.”
“Soalnya bukan begitu, adik Nyo,” kata Ba
Sam-thong sambil menggeleng. “jangankan racun yang mengeram dalam tubuh itu
belum pasti sukar diobati seumpama betul tak dapat disembuhkan namun tiap
manusia tentu berharap akan tetap hidup biarpun cuma tahan sehari atau dua hari
saja, sekalipun cuma sejam dua jam juga tetap ingin hidup. Di dunia ini memang
tiada manusia dapat hidup abadi, baik nabi maupun orang biasa, akhirnya juga
akan kembali kepada asalnya, namun begitu mengapa setiap orang tetap suka hidup
dan enggan mati.”
Yo Ko tertawa dan tidak menanggapi jalan
pikiran orang tua itu, tanyanya kemudian: “Sudah berapa hari kita pulang ke
Siangyang sini?”.
“Sampai sekarang sudah hari ketujuh,” jawab
Bu Sam thong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar