Sabtu, 24 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 77



Kembalinya Pendekar Rajawali 77

Cepat kedua Bu cilik menarik pedang sekuat-nya, baru terasa sedikit kendur, tahu-tahu Yo Ko melangkah maju, pentung kayu diangkat, tapi sebelah kakinya telah menggantikan pentung untuk menginjak ujung kedua pedang.Tahu-tahu tenggorokan kedua saudara Bu telah terancam oleh ujung pentung, kalau saja bertempur sungguh-sungguh, pasti leher mereka sudah ditembus oleh senjata musuh.
“Bagaimana, menyerah tidak?” tanya Yo Ko dengan tertawa.
Seketika wajah kedua Bu cilik pucat pasi seperti mayat, mereka bungkam tak dapat menjawab. Segera Yo Ko angkat kakinya dan mundur dua tiga tindak, melihat kedua saudara yang serba konyol itu, ia menjadi teringat kepada masa kecilnya dahulu, ketika dia kenyang dihina dan dikerubut oleh kedua Bu cilik itu dan baru sekarang dia dapat melampiaskan rasa dongkol itu, tanpa terasa mukanya memperlihatkan perasaan senang dan puas.
Kedua saudara Bu itu sama sekali tidak menduga bahwa Yo Ko benar-benar telah mendapatkan ajaran kepandaian Oey Yong. Namun mereka tetap penasaran mereka merasa waktu bertempur tadi telah didahului oleh lawan sehingga mereka tidak sempat mengeluarkan segenap kepandaian yang diperoleh dan Kwe Ceng, malahan lt-yang-ci yang baru mereka pelajari juga sama sekali tidak sempat dimainkan.
Bu Tun-si menjadi putus asa, ia menghela napas panjang, pedang bermaksud dibuangnya dan akan pergi, tapi mendadak Bu Siu-bun berseru padanya: “Toako, jika kita sudahi sampai di sini saja, lalu apa artinya hidup kita di dunia ini? Tidakkah lebih baik kita adu jiwa saja dengan dia!”
Hati Tun-si terkesiap, segera iapun menjawab: “Benar!”
Serentak kedua bersaudara memutar pedang dan mengerubut maju lagi, sekarang mereka sudah nekat sehingga tidak perlu menjaga diri, yang mereka utamakan adalah menyerang saja dan selalu mengincar tempat yang mematikan perubahan ini ternyata hebat juga.
Keduanya, tidak berjaga diri lagi melainkan menyerang, mereka rela mati di bawah pentung Yo Ko asalkan dapat gugur bersama musuh, Malahan disamping menyerang dengan pcdang, tangan kiri kedua Bu cilik juga memainkan It-yang-ci yang lihay itu.
“Bagus, pertarungan begini barulah nikmat!” kata Yo Ko dengan tertawa.Malahan ia terus membuang pentungnya, dengan bertangan kosong ia berlari kian kemari di antara samberan pedang musuh, Meski kedua saudara Bu menyerangnya dengan tidak kenal ampun, namun tetap sukar mengenai sasarannya.
Bu Sam-thong merasa serba susah menyaksikan pertarungan itu, sebentar ia berharap Yo Ko yang menang agar kedua puteranya takkan memikirkan dan memperebutkan Kwe Hu lagi. Tapi bila melihat Bu cilik mengalami bahaya, tanpa terasa timbul juga keinginannya agar mereka dapat mengalahkan Yo Ko.
Tiba-tiba terdengar Yo Ko bersuit nyaring, “cring-cring”, jarinya menyelentik batang pedang kedua lawannya, seketika lengan kedua saudara Bu merasa pegal linu, genggamannya juga kesakitan, setengah badan juga tergetar kaku, pedang mereka serentak mencelat mundur.
Dengan gesitnya Yo Ko lantas melompat ke atas dan berhasil menangkap kedua pedang itu, lalu katanya dengan tertawa: “Nah, inilah ilmu sakti Sian ci-sin-thong dari Tho-hoa-to, kalian pernah melihat nya belum?”
Sampai di sini, mau tak-mau kedua saudara Bu jugamenyadari bila pertarungan diteruskan, tentu mereka akan tambah konyol.
“Maaf!” kata Yo Ko kemudian sambil menyodorkan kedua pedang rampasannya itu.
Siu-bun menerima kembali pedangnya dan berkata dengan pedih: “Ya, selamanya aku takkan menemui adik Hu lagi.” -
Habis berkata ia terus melintangkan pedang dan menggorok ke lehernya sendiri
Pikiran Bu Tun-si ternyata sama dengan adiknya, pada saat yang sama pula iapun angkat pedangnya hendakmembunuh diri.
Tentu saja Yo Ko terkejut, secepat terbang ia menubruk maju, “cring-cring” dua kali, kembali kedua pedang itu kena diselentiknya dan mencelat ke atas, “trang”, kedua pedang saling bentur dan patah.
Pada saat itu Bu Sam-thong juga melompat maju, satu tangan satu orang, ia cengkeram gitok kedua anaknya sambil membentak dengan suara bengis: “Demi memperebutkan seorang perempuan kalian berdua lantas berpikiran pendek, sungguk percumalah kalian menjadi laki-laki”
Siu-bun mengangkat kepalanya dan menjawab: “Ayah, engkau sendiri bukankah juga merana selama hidup demi seorang perempuan? Aku……”
Belum habis ucapannya ia melihat muka sang ayah penuh dengan air mata, rasa dukanya tidak kepalang, seketika teringat olehnya perbuatan mereka bersaudara sesungguhnya teramat melukai perasaan sang ayah, tanpa terasa ia lantas menangis keras-keras.
Pegangan Bu Samthong menjadi kendur, segera ia merangkul kedua puteranya itu dan menangislah ketiganya berpelukan menjadi satu.
Merasa usahanya telah berhasil, hati Yo Ko sangat senang, ia pikir meski jiwanya takkan tahan lama lagi, paling tidak ia telah berbuat sesuatu kebajikan.
Dalam pada itu terdengar Bu Sam-thong lagi berkata: “Anak bodoh, laki-laki sejati masakah takut tidak mendapatkan bini? Bocah perempuan she Kwe itu tidak menyukai kalian, lalu
untuk apa kalian memikirkan dia? Tugas utama kita sekarang ini apa, coba katakan?”
“Menuntut balas kematian ibu,” seru Siu-bun
“Benar,” kata Bu Sam thong sambil beringas.
“Meskipun menjelajahi ujung langit juga akan kita temukan Jik-lian-siancu Li Bok-chiu yang jahat itu.”
Yo Ko menjadi kuatir kalau ucapan merekah itu didengar oleh Li Bok chiu, kalau mereka tidak lekas dipancing pergi, tentu urusan bisa runyam.
Benar juga, sebelum ia berbuat sesuatu, tiba-tiba terdengar suara Li Bok-chiu mengekek tawa dan berkata: “Tidak perlu kalian menjelajahi ujung langit segala, sekarang juga Li Bok chiu menunggu di sini.” - Sembari bicara ia terus melangkah ke-luar gua dengan tangan kiri membopong seorang bayi dan tangan kanan memegang kebut.
Sama sekali Bu Sam-thong dan kedua putera-nya tidak menduga iblis yang mereka sebut tadi akan muncul di situ secara mendadak, Dengan menggerang murka Bu Sam-thong terus menerjang dulu ke depan.
Pedang kedua saudara Bu sudah patah, cepat merekamenjembut pedang patah mereka dan ikut mengerubut dari kanan-kiri.
“Hei, jangan bergerak dulu, dengarkan penuturanku!” seru Yo Ko.
Namun mata Bu Sam-thong sudah kadang merah membara, teriaknya: “Adik Yo, bicara nanti saja, setelah kubunuh iblis ini.” Sembari bicara ia lantas menyerang tiga, kali berturut-urut. Meski dia dengan pedang kutung, namun daya serangan kedua saudara Bu juga tidak dapat dipandang ringan, mereka, terus menyerang dengan nekat. Yo Ko tahu dendam kesumat mereka terlalu mendalam, betapapun pasti sukar dilerai, tapi kalau tidak berusaha menengahi, bisa jadi mereka akan mencelakai si bayi. Maka cepat ia berseru pula: “Li-supek, biarlah kupendong anak itu!” Bu Sam-thong melengak. “Mengapa kau panggil dia Supek?” tanyanya bingung.
“Sutit yang baik, boleh kau serang bagian belakang orang gila ini, bayi ini akan kupondong sendiri dan tanggung tak apa,” jawab Li Bok-chiu dengan tertawa.
Kiranya Li Bok-chiu juga merasakan kelihayan Bu Sam-thong, setelah bergebrak beberapa kali terasa jauh lebih kuat daripada dahulu, sedangkan kedua saudara Bu cilik juga tidak lemah, kerubutan ketiga orang agak sukar dilayani, sebab itulah ia sengaja memanggil Yo Ko sebagai “Sutit yang baik” untuk mengacaukan pikiran ketiga lawan.
Ternyata Bu Sam-thbng terjebak oleh akal Li Bok-chiu itu, cepat ia berseru: “Anak Si dan Bun, kalian awasi bocah she Yo itu, biar aku sendiri melabrak iblis ini.”
Yo Ko lantas melangkah mundur dan ber-kata: “Aku takkan membantu pihak manapun, tapi kalian jangan sekali- sekali membikin celaka anak bayi itu.”
Hati Bu Sam-thong merasa lega melihat Yo Ko sudah mundur, segera ia melancarkan serangan lebih gencar.
Sambil putar kebutnya menahan serangan lawan. Li Bok-chiu berseru: “Kedua Bu cilik, melihat pri-laku kalian tadi, kalian ini tergolong laki-laki yang punya perasaan, berbeda dengan laki-laki yang tak ber-budi dan ingkar janji yang kejam itu, Mengingat hal ini, biarlah kuampuni jiwa kalian, nah, lekas kalian pergi saja.”
Tapi Bu Siu-bun lantas memaki: “Bangsat keparat, kau perempuan keji yang maha jahat, berdasarkan apa kau juga bicara tentang budi dan kebaikan” - Berbareng itu ia terus menyerang mati-matian.
Ketika pedang kutung kedua Bu cilik terbentur kebut, dada mereka terasa sesak dan pedang kutung hampir terlepas, dari tangan, Cepat Bu Sam-thong menghantam, terpaksa Li Bok-chiu menangkisnya, dengan begitu kedua Bu cilik dapat diselamatkan.
Pelahan Yo Ko mendekati belakang Li Bok-chiu, ia tunggu bila ada peluang segera akan menubruk maju untuk merebut bayi dalam pelukan iblis itu. Akan tetapi ayah beranak she Bu itu sedang menyerang dengan sengit sehingga Li Bok-chiu terpaksa memutar kencang kebutnya untuk menjaga diri, sedikitpun tidak ada lubang yang dapat dimasuki Yo Ko.
Nampak serangan Bu Sam-thong bertiga tanpa menghiraukan keselamatan anak bayi Yo Ko menjadi kuatir, cepat ia berseru pula: “Berikan anak itu padaku, Li-supek!” Sambil menunduk segera ia bermaksud menerobos maju untuk merebut bayi itu.
Akan tetapi Li Bok-chiu keburu membentak:nya: “Kau berani maju, sedikit kupiting anak ini, masakah jiwanya takkan melayang?”
Yo Ko melengak dan tidak jadi menubruk maju. Pada saat Li Bok-chiu sedikit meleng itulah secepat kilat It-yangci Bu Sam-thong telah bekerja dengan baik, pinggang Li Bok- chiu tertutuk satu kali oleh jarinya.
Seketika Li Bok-chiu merasakan tempat yang tertutuk itu sakit luar biasa dan hampir jatuh terguling, sebisanya ia angkat sebelah kakinya menendang terlepas pedang kutung ditangan Bu Tun-si, menyusul kebutnya menyabet pula ke kepala Bu-Siu-bun.
Melihat anaknya terancam bahaya, cepat Bu-Sam-thong tarik Siu-bun ke belakang sehingga terhindar dari sabetan maut tadi.
Sesudah terluka oleh tutukan tadi, Li Bok-chiu merasa sukar bertahan lebih lama lagi, sekuatnya ia putar kebutnya, berbareng ia melompat kesana dan berlari masuk ke dalam gua.
Dengan girang Bu Sam-thong berseru: “Perempuan bangsat itu sudah kena tutukanku, sekali ini jiwanya pasti melayang.”
Segera kedua Bu cilik hendak mengejar ke dalam gua dengan pedang terhunus, Tapi Sam-thong telah mencegahnya: “Awas, jarumnya berbahaya, dijaga saja di sini dan mencari akal…”
 Baru saja kedua Bu cilik hendak melangkah mundur, sekonyong-konyong terdengar suara mengaum, dari dalam gua menerjang keluar seekor binatang buas.
Keruan Bu Sam-thong terkejut, sungguh di-luar dugaannya bahwa di dalam gua tempat sembunyi Li Bok chiu itu terdapat pula binatang buas begitu, Baru saja dia melengak, tahu-tahu cahaya perak gemerdep, dari bawah perut binatang buas itu menyambar beberapa buah jarum perak.
Hal ini lebih tak terduga oleh Bu Sam-thong, untung kepandaiannya cukup tinggi, sebisanya dia melompat ke atas sehingga jarum-jarum berbisa itu me-nyamber lewat di bawah kakinya, Tapt lantas terdengar jeritan kedua Bu cilik.
Sungguh kaget Bu Sam-thong tak terkatakan, sementara itu terlihat Li Bok-chiu telah memutar dari bawah perut macan tutul itu ke atas pung-gungnya, kebut terselip di kuduk baju, tangan kiri memeluk bayi dan tangan kanan memegangi gitok harimau, Binatang itu melompat beberapa kali dan menghilang di balik semak-semak sana.
Lolosnya Li Bok-chiu dengan menunggang macan tutul juga sama sekali tak terduga oleh Yo Ko: “Lisupek….”…” segera ia berseru dan hendak mengejar.
Tapi Bu Sam-thong tidak membiarkan Yo Ko pergi begitu saja, ia sangat berduka melihat kedua putera-kesayangannya menggeletak tak bisaba ngun lagi, tanpa pikir ia rangkul Yo Ko sambi berteriak: “Biarlah aku mengadu jiwa dengan kau.”
Sama” sekali Yo Ko tak mengira” Bu Sam thong akan bertindak padanya, maka sedikitpun ia tak berjaga sehingga dia terangkuI dengan kencang. Cepat ia berseru: “He, lepaskan! Aku harus merebut kembali bayi itu!”
“Bagus! Biar kita be ramai-ramai mati bersama saja!” teriak Bu Sam-thong pula.
Yo Ko menjadi kelabakan, ia coba menggunakan Kim-na-jiu-hoat untuk mementang tangan orang yang merangkulnya itu, tak terduga bahwa meski Bu Sam-thong dalam keadaan bingung dan sinting tapi ilmu silatnya tidak menjadi kurang, dengan kencang ia mengunci rangkulannya itu sehingga usaha Yo Ko melepaskan diri sama sekali tidak berhasil.
Melihat Li Bolc-chiu sudah menghilang dengan menunggang macan tutul, untuk mengejarnya jelas tidak keburu Iagi, Yo Ko menghela napas dan berkata: “Paman Bu, buat apa kau merangkul aku? Kau lebih penting menolong mereka itu?
“Ya, ya, benar,” seru Bu Sam-thong girang. Sambil melepas rangkulannya “Apakah kau dapat menyembuhkan luka jarum berbisa itu?”
Yo Ko berjongkok memeriksa kedua Bu cilik, kelihatan dua jarum perak menancap di bahu kiri dan kaki kanan masing-masing, sementara itu racun sudah mulai menjalar, napas kedua anak muda itu tampak sesak dan dalam keadaan tak sadar.
Cepat Yo Ko menyobek sebagian baju Bu Tun-si sebagai pembungkus tangan, lebih dulu ia cabut kedua jarum berbisa itu.
“Apakah kau punya obat penawar racuuoya?” tanya Bu Sam-thong kuatir.
Dahulu waktu Yo Ko berkumpul dengan Thia Eng dan Liok Bu-siang, ia pernah membaca dan mengapalkan isi kitab pusaka “Panca Bisa” milik Li Bok-chiu yang dicuri Bu-siang itu, maka ia paham cara bagaimana menawarkan racun jarum berbisa itu cuma untuk membuat obatnya tentu makan waktu,
sedangkan sekarang mereka berada dilembah pegunungan sunyi, ke mana mendapatkan bahan obat sebanyak itu?
Karena itu Yo Ko cuma menggeleng saja menyaksikan keadaan kedua Bu cilik yang sudah payah itu.
Perasaan Bu Sam-thong seperti di-iris2 menyaksikan keadaan kedua puteranya itu, ia jadi teringat kepada isterinya yang mati demi mengisap darah beracun dari lukanya dahulu itu, mendadak ia menubruk ke atas badan Bu Siu-bun dan menempel mulutnya pada luka di kaki anaknya itu.
Tentu saja Yo Ko terkejut, cepat ia bersemi “Hei, jangan!” Segera ia menutuk Taycui-hiaf di pinggang orang tua itu.
Karena tidak terduga-duga, seketika Bu Sam-thong roboh terguling dan takdapat berkutik melainkan memandangi kedua putera kesayangan dengan air mata bercucuran.
Tergerak perasaan Yo Ko, ia pikir jiwanya sendiri juga akan melayang apabila racun bunga cinta itu mulai bekerja, baginya terasa tiada bedanya hidup lima hari lagi atau mati lebih cepat lima hari, JP-ril kedua Bu cilik ini memang tiada menonjol, tapi pasti Bu ini adalah orang yang berperasaan dan berbudi luhur, nasibnya juga kurang beruntung selama seperti diriku, Biarlah kukorban kehidupanku yang cuma tinggal beberapa hari ini untuk membahagiakan kehidupan mereka ayah beranak.
 Karena pikiran itu, mendadak ia mencucup luka di kaki Bu Siu-bun, setelah mengusap darah berbisanya dan diludahkan beberapa kali, kemudian ia mencucup pula darah berbisa dari luka Bu Tun-si.
Begitulah secara bergiliran Yo Ko menyedot darah berbisa dari luka kedua saudara Bu itu, tentu saja Bu Sam-thong sangat berterima kasih dan merasa bingung menyaksikan perbuatan Yo Ko itu, susahnya dia tak bisa berkutik karena Hiat-to tertutup.
Setelah mengisap sebentar pula, rasa pahit dalam mulut Yo Ko mulai berubah menjadi rasa asin.
Sedangkan kepalanya semakin pusing dan terasa berat, ia menyadari dirinya telah keracunan hebat, sekuatnya ia berusaha mengisap lagi beberapa kali dan meludahkan air berbisa itu, tiba-tiba pandangannya menjadi gelap dan jatuh pingsanlah dia…
Entah berapa lamanya Yo Ko tak sadarkan diri, ketika perlahan-lahan ia merasa ada bayangan orang yang samar-samar bergoyang kian kemari di depannya, ia bermaksud mementangkan matanya untuk memandang lebih jelas, akan tetapi semakin berusaha semakin kabur rasanya. Entah lewat berapa lama lagi barulah Yo Ko membuka matanya, segera dilihatnya Bu Sam-thong sedang memandangi dirinya dengan rasa girang.
“Sudah baik dia, sudah baik!” terdengar orang tua itu berseru, mendadak berlutut dan menyembah beberapa kali padanya sambil berkata: “Adik Nyo, kau…. kau telah menyelamatkan… menyelamatkan kedua puteraku dan juga telah menyelamatkan jiwaku yang tua bangka ini.”
 Lalu dia merangkak bangun dan segera pula menyembah kepada seorang lagi sambil berseru : “Terima kasih, Susiok, terima kasih!”
Waktu Yo Ko memandang orang itu, terlihat lah mukanya hitam, hidung besar dan mata cekung, tertampak rada-rada mirip dengan Nimo Singh, rambutnya juga keriting, Cuma sebagian sudah ubanan, usianya sudah tua.
Yo Ko hanya tahu Bu Sam-thong adalah murid It-teng Taysu, tapi tidak tahu bahwa dia masih mempunyai seorang paman guru dari negeri Thian tok. Ia bermaksud bangun berduduk, tapi pinggang terasa lemas pegal, sedikitpun tak bertenaga, ia coba memandang sekitarnya ternyata berada di tempat tidur, di dalam kamarnya sendiri di kota Siangyang.
Baru sekarang dia benar yakin bahwa dirinya belum mati dan masih dapat berjumpa dengan Siao liong-li, tanpa terasa ia terus berseru: “Kokoh! Mana Kokoh?”
Seorang lantas mendekatinya dan meraba dahinya sambil berkata: “Tenanglah, Ko-ji, Kokohmu sedang keluar kota untuk sesuatu urusan.”
Yo Ko melihat orang ini adalah Kwe Ceng. Ia merasa terhibur melihat sang paman sudah sehat kembali. Segera teringat olehnya bahwa untuk memulihkan kesehatan sang paman diperlukan waktu tujuh hari tujuh malam masakah ketidak sadaranku ini sudah berselang sekian hari pula? jika begitu mengapa racun bunga cinta dalam tubuhku tidak kumat? Ia. menjadi bingung, pikiran menjadi kacau dan kembali ia tak sadarkan diri.
Waktu ia sadar kembali untuk kedua kalinya-sementara itu sudah jauh malam, di depan tempat tidur tersulut sebatang lilin merah, Bu Sam-thong kelihatan masih menungguinya dengan berduduk di depan situ dan memandangnya dengan penuh perhatian.
“Aku tidak apa-apa, paman Bu, jangan kuatir kau” kata Yo Ko dengan tersenyum hambar, “-Dan kedua saudara Bu tentunya baik-baik saja,”
Air mata Bu Sam-thong bercucuran, ia tak dapat berbicara saking terharunya, maka ia cuma menjawab dengan manggut-manggut saja.. Selama hidup Yo Ko tak pernah merasakan terima kasih sedemikian dari orang lain, maka ia menjadi rikuh, cepat ia belokan pembicaraannya dan bertanya: “Cara bagaimana kita dapat pulang ke Siangyang sini?”
Bu Sam-thong mengusap air matanya, lalu menutur: “Atas permintaan nona Liong gurumu itu, Cu-sute telah mengantar kuda merah itu ke lembah sunyi untukmu, ketika melihat kita berempat sama-sama tergeletak di situ, cepat-cepat dia menolong kita pulang ke sini”
“Darimana suhuku mengetahui aku berada di mana?” ujar Yo Ko dengan heran, “Dan urusan apa yang membuatnya tidak dapat mencari aku dan perlu minta pertolongan paman Cu untuk mengantarkan kuda merah padaku?”
“Setibaku lagi di sini, akupun tidak sempat bertemu dengan nona Liong gurumu itu,” tutur Bu Sam-thong.
“Menurut Cu-sute, katanya usia nona Liong masih muda, cantik rupawan pula dan ilmu silatnya juga maha tinggi, sayang aku belum bisa berkenalan dengan beliau, Ai memang kaum ksatria selalu timbul dari kalangan angkatan muda, kukatakan kepada Cu-sute bahwa seumur kita ini seperti hidup pada tubuh babi belaka.”
Yo Ko sangat senang karena Bu Sam-thong memuji dan mengagumi Siao-liong-li dengan setulus hati, bicara tentang umur, menjadi ayah Siao-liong-li juga pantas bagi Bu Sam-thong, tapi dia ternyata begitu menghormati nona itu, jelas disebabkan dia menghormati si murid dan dengan sendirinya menghormat pulakepada sang guru.
Dengan tersenyum Yo Ko lantas berkata. “luka siautit ini…”
“Adik Yo,” tiba-tiba Bu Sam-thong memotong “menolong sesamanya di dunia persilatan adalah kejadian yang biasa, tapi menyelamatkan orang lain tanpa memikirkan jiwa sendiri seperti engkau ia pula yang kau tolong adalah kedua puteraku yang sebelumnya bersikap kasar padamu, Tindakanmu ini selain guruku rasanya tiada orang ketiga lagi yang sanggup melakukannya.
Berulang-ulang Yo Ko menggeleng kepala, maksudnya minta Bu Sam-thong tidak meneruskan lagi ucapannya itu.
Namun Bu Sam-thong tidak menggubrisnya, dia tetap berucap: “Jika kupanggil engkau dengan sebutan “ln-kong” (tuan penolong) tentunya engkau juga tidak mau terima. Tapi kalau engkau tetap menyebut aku sebagai paman, itupun jelas kau teramat menghina kepadaku Bu Sam-thong ini.”
Watak Yo Ko memang suka terus terang dan tidak merecoki soal tetek bengek, seperti halnya Siao-liong-li, sekali dia anggap nona itu sebagai isteri maka soal pelanggaran tata adat umum dan panggilan yang tidak menurut aturan, semuanya suka dilakukan jika ada orang yang minta.
Karena itu tanpa pikir ia lantas menjawab: “Baiklah, aku akan panggil kau Bu-toako-saja, cuma kalau ketemu kedua saudara Tun-si dan Siu-bun. kurasa agak kurang enak dan entah cara bagaimana harus ku-sebut mereka.”
“Sebut apa segala?” ujar Bu Sam-thong. “Jiwa mereka diselamatkan olehmu, jika mereka menjadi kerbau atau kudamu juga pantas.”
“Engkau tidak perlu berterima kasih padaku, Bu-toako,”
kata Yo Ko, “Memangnya aku sudah kena racun bunga cinta yang jahat dan jiwaku sukar diselamatkan, maka caraku cucup racun dari luka kedua saudara Bu itu sebenarnya tiada artinya sedikitpun bagiku.”
“Soalnya bukan begitu, adik Nyo,” kata Ba Sam-thong sambil menggeleng. “jangankan racun yang mengeram dalam tubuh itu belum pasti sukar diobati seumpama betul tak dapat disembuhkan namun tiap manusia tentu berharap akan tetap hidup biarpun cuma tahan sehari atau dua hari saja, sekalipun cuma sejam dua jam juga tetap ingin hidup. Di dunia ini memang tiada manusia dapat hidup abadi, baik nabi maupun orang biasa, akhirnya juga akan kembali kepada asalnya, namun begitu mengapa setiap orang tetap suka hidup dan enggan mati.”
Yo Ko tertawa dan tidak menanggapi jalan pikiran orang tua itu, tanyanya kemudian: “Sudah berapa hari kita pulang ke Siangyang sini?”.
“Sampai sekarang sudah hari ketujuh,” jawab Bu Sam thong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar