Kembalinya Pendekar Rajawali 87
Kim-lun Hoat-ong juga mendengar suara
teriakan ramai itu, tapi ia pikir Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain-lain berada
disana, tentu anak murid Coan-cin-kau takkan mampu melawan mereka, maka ia
tidak menjadi kuatir, ia perintahkan para busu Mongol itu mempercepat
penyumbatan gua itu dengan batu agar Khu Ju-ki berlima tidak sempat menerjang
keluar secara mendadak.
Di ruangan pendopo memang terjadi lagi
sesuatu sesudah Song Tek-hong pergi, Perwira Mo-ngol itu telah berkata kepada
Ci-keng: “Tio-cinjin, anggota kalian yang memberontak tampaknya tidak sedikit,
agaknya kedudukanmu tidak begitu enak bagimu.”
Sudah tentu Ci-keng juga menyadari hal ini,
namun keadaan sudah telanjur, ibaratnya sudah berada di punggung macan, kalau
melompat turun tentu akan dicaplok sang harimau malah, Segera Ci-keng
berteriak: “Menurut undang2 kita, apa hukumannya bagi kaum pemberontak?”
Para Tosu diam-diam saja, malahan dalam hati
mereka pikir: Kau sendiri pemberontak dan pengkhianat.”
Ci-keng bertanya lagi satu kali dan tetap
tiada yang menggubrisnya, diam-diam Ci-keng sangat mendongkol, ia bertanya lagi
sekali sambil memandangi muridnya sendiri, yaitu Ceng-kong, agar dia menjawab
nya.
Ceng-kong ini adalah Tosu gemuk yang dahulu
menganiaya Yo Ko itulah, ia lantas menjawab ” pemberontak harus membunuh diri
di depan pemujaan Cousuya.”
“Betul” seru Ci-keng. “Nah, In Ci-peng, sudah
tahu dosamu belum? Kau terima tidak?”
“Tidak!” jawab Ci-peng tegas, “Baik,
bawa dia ke sini!” kata Ci-keng.
Segera Ceng-kong mendorong Ci-peng ke depan
dan berdiri dihadapan arca pemujaan. Lalu Ci-keng menanyai Cisiang, Ci-heng dan
lain-lain, semuanya juga menyatakan tidak terima. Di antaranya hanya tiga orang
saja yang ketakutan dan minta ampun, segera Ci-keng memerintahkan dibebaskan,
sedang 20 - an orang tetap berdiri tegak tidak mau menyerap malahan Ci-heng dan
beberapa Tosu yang berwatak keras segera mencaci-maki.
“Kalian teramat kepala batu dan sukar
diampuni” kata Ci-keng kemudian “Baiklah, Ceng-kong, boleh kau melaksanakan
hukuman bagi Coan-cin-kau kita.”
Ceng-kong mengiakan, ia melangkah maju dan
mengangkat pedangnya, sekali tusuk ia binasakan In To-hian yang berdiri di
ujung kiri.
Serentak para Tosu lantas berteriak murka dan
mencaci-maki lebih keras, suara riuh ramai inilah yang tadi di dengar oleh Song
Tek-hong dan Kim lun Hoat-ong di belakang gunung.
Ceng-kong adalah manusia yang berani pada
yang lemah dan takut pada yang keras, ia menjadi jeri mendengar suara ramai
orang banyak.
“Lekas kerjakan, kenapa ragu-ragu,” bentak
Ci-keng. Terpaksa Ceng-kong mengiakan dan membunuh lagi dua orang, Yang berdiri
nomor empat ialah In Ci-peng, baru saja Ceng-kong angkat pedangnya hendak
menusuk dada Ci-peng, tiba-tiba suara seorang perempuan membentaknya: “Nanti
dulu?”
Waktu ia menoleh, dilihatnya seorang
perempuan muda berbaju putih sudah berdiri diambang pintu, siapa lagi dia kalau
bukan Siao-liong-li.
“Kau minggir ke sana, orang ini akan kubunuh
sendiri” demikian kata Siao-liong-li.
Ci-keng menjadi girang melihat Siao-liong-li
mendadak muncul, ia pikir di tengah tokoh-tokoh sakti sebanyak ini,
kedatanganmu ini berarti mengantarkan kematianmu, maka ia lantas membentak:
“perempuan siluman ini bukan manusia baik-baik tangkap saja!”
Akan tetapi para Busu Mongol itu tidak tunduk
pada perintahnya, semuanya tidak menggubris-nya. Hanya dua murid Ci-keng
sendiri lantas melompat maju, tanpa dipikir mereka terus hendak memegang lengan
Siao liong-Ii.
Siao-liong-li sama sekali tidak ambil pusing
terhadap serbuan para Busu MongoI serta kekacauan yang terjadi diantara orang
Coan-cin-pay sendiri. Hanya ketika melihat Ceng-kong hendak membunuh ln
Ci-peng, betapapun ia tidak mau membiarkan orang lain membinasakan Tosu itu,
maka ia lantas bersuara mencegah.
Belum lagi tangan kedua murid Ci-keng
menyentuh bajunya, tahu-tahu tangan mereda sendiri kesakitan, sinar perakpun
berkelebat, cepat mereka melompat mundur Waktu mereka mengawasi kiranya pedang
mereka yang tergantung di pinggang tahu-tahu sudah dilolos oleh Siao-liong-li
dan dalam sekejap itu pergelangan tangan merekapun telah dilukai.
Gerakan Siao liong-li ini sungguh cepat luar
biasa, sebelum orang lain melihat jelas cara bagaimana dia merebut pedang dan
menyerang, tahu-tahu kedua Tosu itu sudah terluka dan melompat mundur.
Keruan anak murid Ci-keng yang lain sama
melengak kaget Ceng-kong lantas berseru : “Hayo maju beramai-ramai, kita berjumlah
lebih banyak, kenapa kita gentar padanya?” Segera dia mendahului menerjang dan
menusuk.
Tapi sebelum orang mendekat ujung pedang Siao
liong-Ii sudah bergetar, tahu-tahu pergelangan tangan kanan kiri Ceng-kong
kedua kakinya terkena tusukan pedang.
Sambil mengaung keras, Ceng kong terus
menggeletak tak bisa bangun.
Keempat kali tusukan Siao-liong-ii sungguh
cepat luar biasa, sampai tokoh kelas wahid seperti Siau-siaug-cu dan lain-lain
juga tercengang. Mereka heran mengapa ilmu pedang si nona maju sepesat ini,
padahal tempo hari waktu dia bertempur melawan Kongsun Ci belum tampak sesuatu
yang luar biasa, apakah mungkin dia, sengaja menyimpan kepandaian?
Rupanya setelah mendapatkan ajaran Ciu
Pek-thong, sekaligus Siao liong-li dapat memainkan sepasang pedang dengan cara
yang berbeda, kini kepandaiannya memang sudah berlipat ganda.
Sudah sekian lama dia menguntit In Ci-peng
dan Tio Ci-keng dan merasa bingung cara bagaimana harus menyelesaikan kedua
orang itu. sekarang orang Coan cin-kau menyerangnya lebih dulu, kesempatan ini
segera digunakannya untuk balas menyerang dan sekali pedangnya berbau darah,
serentak dendam kesumatnya meledak. Ditengah berkelebatnya sinar pedang, dan
bayangan baju putih, dalam sekejap saja pedang para Tosu sama jatuh dilantai, pergelangan
tangan setiap orang sama tertusuk pedang tanpa diberi kesempatan untuk
menangkis atau mengelak.
Sungguh kejut para Tosu itu tak terkatakan.
Bayangkan saja, jika serangan Siao liong-li itu tidak mengarah tangan, tapi
menusuk perut mereka, maka jiwa para Tosu itu pasti sudah melayang sejak tadi.
Karuan Tosu2 itu ketakutan dan berlari
menyingkir sehingga di tengah-tengah ruangan pendopp itu tertinggal In Ci-peng
dan kawan-kawannya yang teringkus itu. Melihat mereka tak bisa berkutik dan
tidak memusuhi dirinya, untuk sementara Siao-liong-li juga tidak mencelakai
mereka.
Diam-diam iapun terkejut sendiri atas
kepandaian yang dipelajarinya dari Ciu Pek-thong itu, sungguh tak diduganya
ilmu berkelahi yang aneh itu mempunyai daya tempur selihay itu.
Melihat gelagat jelek, sambil menghunus
pedang untuk menjaga diri, diam-diam Ci-keng menggeser mundur dan bila ada
kesempatan segera akan kabur. Namun Siao-liong-li sudah teramat benci padanya,
sekali melompat ia telah mencegat jalan mundur dan maju Tio Ci-keng dengan
kedua pedangnya.
Dalam keadaan kepepet, Ci-keng putar
pedangnya terus hendak cari jalan lagi, Tiba-tiba terdengar suara “trang”
nyaring, In Kik-si berkata padanya : “Kau takkan berhasil, mundur saja sana!”
Kiranya In Kik-si telah menangkiskan pedang Siao-liong-li
dengan ruyung emasnya yaug lemas itu. Baru sekarang ada orang yang mampu
menangkis pedang Siao hong-li sejak berpuluh Tosu itu dilukainya.
“Tujuanku sekarang hanya ingin menuntut batas
pada Tosu Coan-cin-kau dan tiada sangkut pautnya dengan orang luar, lekas kau
menyingkir,” seru Siao liong-Ii.
Meski rada jeri juga menyaksikan kelihayan
ilmu pedang Siao-liong-li tadi, namun In Kik-si adalah tokoh kelas wahid,
betapapun dia tak dapat mundur begitu saja hanya karena ucapan Siao-liong-li
itu. Maka dengan tertawa ia menjawab: “Orang Coan-cin-kau sangat banyak dan
dengan sendirinya ada yang baik dan ada yang busuk, ada sebagian memang pantas
dibinasakan Entah Tosu bangsat yang manakah yang telah bersalah kepada nona?”
Akan tetapi Siao-liong-li hanya mendengus
saja dan tidak menjawabnya, sorot matanya tidak pernah meninggalkan diri In
Ci-peng dan Tio Ci-keng seakan-akan kuatir kaburnya kedua Tosu itu.
“Untuk apa nona marah kepada kawanan Tosu
keparat ini, asalkan nona memberi tanda Tosu mana yang harus dibereskan, segera
Cayhe wakili nona untuk membereskannya,” kata In Kik-si.
“Baik, lebih dulu kau binasakan dia ini!”
kata Siao-liong-li sambil menuding Tio Ci-keng.
“Tapi Tio-cinjin ini cukup baik orangnya,
mungkin ada salah paham nona padanya, biarlah kusuruh dia minta maaf saja
kepadamu,” kata In Kik-si.
Siao-liong-li mengernyitkan dahinya, mendadak
pedangnya menyamber ke depan secepat kilat, tampaknya menusuk In Kik-si. Dengan
sendirian In Kik-si angkat ruyungnya untuk menangkis. Tapi mendadak terdengar
jeritan, ternyata Tio Ci-keng yang berdiri tegak di belakang In Kik-si sudah
terkena tusukan di pundaknya.
Keruan In Kik-si terkejut, meski tusukan itu
tidak mengenai dirinya, tapi dirinya tidak mampu melindungi Ci-keng, rasanya
sama memalukan bagi-nya.
Cuma serangan lawan teramat cepat datangnya
dan tak jelas cara bagaimana Siao-Iiong-li memutar pedangnya untuk mengarah
sasarannya, kalau saja pertarungan demikian dilanjutkan, jelas dirinya pasti
kalah, diam-diam ia menjadi jeri ia coba berseru pula. “Nona Liong, harap kau
bermurah hati!”
Namun Siao-liong-li tidak menjawabnya,
sikapnya seperti tidak mau bermusuhan tapi juga tidak ingin berkawan, ia
menggeser pelahan ke kiri, ln Kik-si juga ikut memutar dan tetap ingin membela
Tio Ci-keng.
Tapi mendadak terdengar pula Ci-keng menjerit
tertahan, waktu ia melirik, ternyata bahu kiri Ci-keng sudah terluka pula.
Cara bagaimana Siao-liong-li menusuk Ci-keng
lagi, orang lain tetap tidak tahu dan sama melongo heran. Sungguh cepat luar
biasa ilmu pedangnya itu, bukan saja gerakannya tidak kentara, bahkan pedangnya
seperti bisa membelok sendiri.
Ber-turut-urut tertusuk dua kali, Ci-keng
menjadi ketakutan setengah mati, ia mengira kepandaian ln Kik-si terlalu rendah
dan tidak sanggup dimintai perlindungan, segera ia melompat ke sana untuk
berlindung di belakang Siau-siang-cu.
Tapi Siao-ltong-Ii anggap seperti tidak tahu
saja, ia memutar tubuh, pedang di tangan kiri menusuk ke arah In Kik-si dan
pedang icanan menusuk Nimo Singh. Cepat Nimo Singh menggunakan tongkat kiri
untuk menahan tubuh, tangan kanan menangkis dengan senjata ular besi.
Namun kembali terdengar jeritan Ci-keng
disusul dengan suara nyaring jatuhnya pedang, rupanya pergelangan tangan
Ci-keng kembali terkena pedang lagi.
Serangan ini terlebih aneh daripada yang
duluan tadi, sudah jelas jarak Siao-liong-li dengan Ci-keng sangat jauh, ketika
dia menyerang In Kik-si dan Nimo Singh, tahu-tahu dia sempat pula melukai
Ci-keng.
“Hm, hebat benar ilmu pedang nona, biarlah
akupun belajar kenal padamu,” jengek Siau-siang-cu sambil mendorong dengan
tangan kirinya ke samping, kontan Ci-keng merasa ditolak oleh suatu tenaga
raksasa dan jatuh terguling hingga beberapa meter jauhnya, untung Lwekangnya
cukup kuat.
Meski sudah terluka tiga tempat, tapi masih
sanggup bertahan dan merangkak bangun, Dalam pada itu pentung Siau-siang-cu
juga lantas menghantam ke arah Siao-liong-li.
Si dogol Be Kong-co selalu bersimpatik kepada
Yo Ko dan Siao-liong-li, kiai iapun merasa tidak adil melihat Siao-liong-li
diserang In Kik-si dan Siau-siang-cu pula. Segera ia berteriak: “Huh, tidak
tahu malu, beberapa tokoh Bu-lim mengerubut seorang nona cilik!”
Sudah tentu Siau-siang-cu dan In Kik-si
merasa jengah, biarpun mereka tidak ambil pusing urusan harga diri segala, tapi
biasanya merekapun cukup angkuh, jangankan main keroyok, sekalipun satu lawan
satu juga mereka kurang terhormat berkelahi dengan seorang nona muda.
Tapi sekarang menyadari pasti bukan tandingan
ilmu pedang Siao-liong-li yang ajaib itu jika cuma mengandalkan kepandaian
seorang saja, maka mereka pura-pura tidak tahu saja atas olok-olok Be Kong-co
itu, diam-diam mereka mengomel dalam hati terhadap si dogol yang malah -
membela orang luar daripada kawan sendiri
Mereka tidak berani lagi meremehkan
Siao-liong-li, mereka pikir kalau berlangsung lama, mungkin ilmu pedang
Siao-liong- li itu akan dapat ditemukan titik kelemahannya.
Karena itu mereka lantas memainkan segenap
kepandaian untuk menjaga diri, senjata mereka berputar sedemikian kencang
sehingga yang terlihat hanya selapis kabut belaka, yang mengelilingi tubuh
mereka.
Siao-liong-li memandang tenang ketiga orang
itu, pikirnya: “Aku tiada permusuhan apa-apa dengan kalian, siapa ingin
bergebrak dengan kalian?”
Dilihatnya Ci-keng sedang mengkeret ke sana
dan hendak mengeluyur pergi, segera ia melangkah maju. Tapi Nimo Singh dan
Siau-siang-cu lantas mengalanginya dengan rapat.
“Kalian mau menyingkir tidak?” bentak
Siao-liong-li dengan mendongkol.
“Tidak mau! Apa kemampuanmu keluarkan saja
semua!”
tantang Nimo Singh yang berangasan itu. Karena
kedua kakinya buntung atas jarum berbisa Li Bok-chiu dan Yo Ko, ia tahu Yo Ko
adalah kekasih Siao-liong-li, maka rasa dendamnya itu sebisanya akan
dilampiaskan atas diri Siao-Iiong-li, maka pikirannya sekarang berbeda dengan
Siau-siang-cu dan In Kik-si, ia sudah nekad, kalau perlu hendak mengadu jiwa
dengan Siao-liong-li.
Sama sekali Siao-liong-li tidak menjadi
marah, dilihatnya Ci-keng sudah kabur ke ruangan belakang, ia mencoba memburu,
tapi dirintangi lagi oleh Nimo Singh dan Siau-siang-cu.
Watak Siao-liong-li adalah pendiam dan sabar,
urusan apapun tidak pernah membuatnya gelisah atau ter-buru-buru, seperti
halnya pengejarannya kepada ln Ci-peng dan Tio Ci-keng yang berlangsung bulanan
dan tetap hanya dikuntit belaka, sekarang iapun tetap sabar saja, ia biarkan
ketiga lawannya memutar senjata sekencangnya, ia sendiri malah menonton belaka
seperti tiada terjadi apa-apa.
Orang pertama yang tidak tahan lagi adalah
Nimo Singh, sambil meraung ia terus menerjang maju dengan senjata ular besinya.
Tapi sekali dia mulai menyerang, segera tempatnya menjadi luang, ketika
Siao-liong-li putar pedangnya, cepatNimo Sing menangkis dengan tongkatnya
sambil melompat mundur.
Namun begitu bahunya sudah terasa sakit,
waktu ia mengamati kiranya baju di bagian bahu kiri ada lima lubang kecil,
darah segar tampak me-rembes dari situ.
Sekali menyerang tidak berhasil dan berbalik
ia sendiri malah terluka, tentu saja Nimo Singh sangat penasaran, tapi juga
tambah jeri, ia tidak berani lagi sembarangan bertindak.
Mereka hanya berdiri di tempatnya sambil
memutar senjatanya.
Siao-liong-li tetap berdiri di tengah dan
tenang-tenang saja menghadapi ketiga lawan yang memutar senjatanya seperti
kitiran itu, Lama2 Siau-siang-cu bertiga menjadi gemas karena si nona diam saja
tidak melayani mereka.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba- In Kik-si
mendapat akal, ia berseru: “Siau-heng dan saudara Singh, marilah kita mendesak
maju dengan pelahan.”
Nimo Singh dan Siau-siang-cu tidak paham
maksud sang kawan, tapi mereka kenal In Kik-si sebagai saudagar besar negeri
Persi, pengalamannya luas dan pengetahuannya tinggi, cerdik dan pintar pula,
maka mereka percaya tujuannya pasti bagus, segera mereka menurut dan melangkah
maju satu tindak. Berbareng In Kik-si juga melangkah maju-sambil memutar
senjatanya tanpa peluang sedikitpun.
Habis itu, setelah merasa pertahanan mereka
tetap rapat dan kuat, lalu In Kik-si menyerukan kawan-kawannya melangkah maju
lagi setindak. Baru sekarang Nimo Singh dan Siau-siangcu melihat jelas bahwa
lingkaran kepungan mereka terhadap Siao liong-li sudah semakin ciut. walaupun
begitu mereka tikak berani menyerang melainkan cuma bertahan saja, mereka putar
senjata dengan kencang hingga mirip tembok baja yang tak tertembuskan dan
sebentar2 lantas mendesak maju lagi selangkah.
Melihat musuh semakin mendesak maju, lama2
dirinya tentu akan tergencet mati di tengah, mau tak-mau Siao-liong-li harus
bertindak, mendadak kedua pedangnya menusuk berulang-ulang, terdengar suara
“trang-tring” yang ramai, setiap tusukannya selalu terbentur senjata lawan.
Beberapa puluh kali ia menyerang dan selalu
tertangkis oleh lawan, sementara itu ketiga orang itu telah melangkah maju
pula.
Siao-liong-li menjadi rada tak sabar waktu ia
melangkah mundur, terasa kakinya tersandung sesuatu dan tergeliat, untung Siau-siang-cu
bertiga cuma bertahan saja dan tidak menggunakan kesempatan itu untuk
menyerang, kalau tidak tentu Siao liong-li bisa celaka.
Di lantai banyak berserakan senjata2 para
Tosu yang terjatuh tadi, karena kesandungnya itu, tiba-tiba timbul pikiran Siao1iong-Ii
untuk memanfaatkan senjata itu untuk membobolkan pertahanan ketiga musuh.
Karena pikiran itu, sedikit ia menggeser ke
kanan, segera kaki kiri mencukil sebatang pedang yang jatuh di lantai itu,
secepat kilat pedang itu menyamber ke arah Nimo Singh, menyusul kaki
Siao-liong-li yang lain mencukit pula dan sebatang pedang menyamber. lagi ke
muka Siau-siang-cu dan begitu seterusnya hingga belasan pedang dia hamburkan ke
arah lawan.
Beberapa pedang yang menyamber tiba itu dapat
ditangkis Nimo Singh dan kawannya hingga terbang balik ke arah Siao-liong-li,
tapi sekali sampuk dengan pedangnya, pedang tak bertuan itu kembali menyamber
ke arah In Kik-si.
Begitulah terjadi hujan pedang, keruan
Siau-siang-cu bertiga menjadi kelabakan, semula mereka masih dapat menyampuk
dan menangkis pedang yang menyamber tiba, tapi makin lama, makin cepat
datangnya pedang2 itu hingga mereka dibikin kerepotan.
Suatu ketika In Kik-si sedang menangkis
sebatang pedang yang menyelonong ke mukanya, tahu-tahu pedang yang lain
menyamber tiba pula ke perutnya, supaya perutnya tidak tertembus, terpaksa In
Kik-si melompat mundur ke samping, Dan karena inilah pertahanan mereka lantas
bobol, peluang
itu segera digunakan oleh Siao-Iiong-li untuk
menyelinap ke ruangan belakang.
Ginkang Siao-liong-li jauh lebih tinggi
daripada Siau-siang-cu bertiga, begitu dia sudah lepas dari rintangan, secepat
terbang ia terus mengejar ke arah larinya Tio Ci-keng tadi.
Seketika Siau siang-cu bertiga masih sibuk
melayani berpuluh senjata yg dihamburkan Siao-Iiong-Ii tadi, sesudah senjata2
itu dipukul jatuh barulah mereka dapat berhenti.
Sejenak kemudian dan belakang sana terdengar
kumandangnya suara benturan senjata, dari suara menderingnya senjata itu jelas
Siao liong li telah ke-pergok Kim lun Hoat-ong dan sudah mulai bertempur.
Sebenarnya ketiga orang itu sudah jeri
menghadapi Siao-Iiong-li, kini mereka lantas mendapat angin lagi karena Kim-lun
Hoat-ong juga sudah tiba, Segera ln Kik-si berseru:
“Marilah kita susul kesana.”
Segera ia mendahului berlari ke belakang di
susul oleh Siau-siang-cu dan Nimo Singh serta para Busu Mongol. Semua orang
hanya pandang Siao-liong-li sebagai musuh satu-satunya sehingga tidak menaruh
perhatian lagi kepada para Tosu Coan cin-kau, Maka setelah semua musuh sudah
pergi, Ci-peng, Ci-siang dan lain-lain lantas saling tolong melepaskan tali
ikatan serta menjemput pedang masing-masing, berbondong-bondong merekapun cepat
menyusul kebelakang.
Begitu rombongan Siau-siang-cu sampai di
depan Giok-hi-tong, tertampaklah bayangan roda berkelebatan dan cahaya pedang
berseliweran, suara geraman Kim-lun Hoat-ong terdengar menggelegar sedangkan
Siao-liong-li dengan baju putihnya tampak lemah gemulai, kedua orang sedang
bertempur dalam jarak jauh.
Sementara itu rombongan In Ci-peng juga sudah
menyusul tiba, melihat mulut gua Giokhi tong sudah tersumbat batu, nasib kelima
guru mereka tak diketahui, tentu saja mereka kuatir. Beramai-ramai mereka
mendekati mulut gua, tapi mereka lantas dicegat oleh Darba dan Hotu, hanya
beberapa gebrakan saja para Tosu Coan-cin-kau itu sudah didesak mundur.
“Suhu, Suhu! Baikkah engkau!” seru Ci-heng
kuatir seakan-akan orang hendak menangis.
Ci-peng pikir kepandaian kelima guru dan
paman guru cukup lihay dan tidak mudah dikurung begitu saja oleh musuh, mungkin
sekali semadi mereka sedang memuncak sehingga tidak sempat mengurus apa yang
terjadi di luar gua ini, sekarang Ci-heng berteriak-teriak, jangan-jangan malah
akan mengacaukan pikiran orang-orang tua itu.
Maka cepat ia memberikan tanda kepada Ong
Ci-heng agar jangan bersuara lagi.
Ci-heng lantas menyadari hal itu, cepat ia
membangunkan Song Tek-hong yang menggeletak di samping gua sana, melihat
lukanya cukup parah, lekas ia memberi pertolongan seperlunya.
Pertarungan Kim-lun Hoat-ong dan
Siao-liong-li sedang berlangsung dengan sengitnya, namun Hoat-ong tampak lebih
banyak berjaga daripada menyerang, cuma setiap diserang beberapa kali iapun
balas menyerang satu kali, kelima rodanya yang ber-beda2 daya tekanannya itu
memaksa Siaoliongli tak berani terlalu mendekat.
Melihat pertempuran dahsyat itu, diam-diam
Siau-siang-cu bertiga merasa kagum dan juga iri, mau-tak-mau merekapun mengakui
kalau Kim-lun Hoat-ong memang pantas diangkat menjadi jago nomor satu di negeri
Mongol. Semula mereka bermaksud membantu Hoat-ong, tapi demi teringat gelar
“jago nomor satu”, karena rasa iri hati, seketika mereka tidak jadi membantu
Hoat ong.
Padahal meski tampaknya Hoat-ong dapat balas
menyerang dengan hebat, tapi sebenarnya dalam hati dia mengeluh. Cara
Siao-liong-li seorang memainkan dua pedang ternyata lebih lihay daripada kalau
dia main ganda bersama Yo Ko.
Kim-lun Hoat-ong adalah seorang tokoh
berbakat ilmu silat yang sukar dicari bandingannya, sejak dia dikalahkan
gabungan Yo Ko dan Siao-liong-li, senantiasa ia berusaha memecahkan cara mengatasi
ilmu pedang kedua muda-mudi itu.
Kebetulan di sini ia pergoki Siao-liong-li
dalang sendirian tanpa didampingi Yo Ko, tentu saja ia bergirang, ia pikir jika
Siao-liong-li dibinasakan maka selanjutnya dia takkan ada tandingan lagi, siapa
tahu setelah bergebrak barulah ia merasakan ilmu pedang Siao-liong-li sendirian
justeru terlebih lihay daripada kalau dia main ganda bersama Yo Ko.
Sebab itulah baru beberapa puluh jurus
saja keadaan Hoat-ong sudah terdesak dan berulang-ulang hampir termakan oleh pedang
lawan, terpaksa ia tak berani main timpuk dengan roda lagi, ia tarik kembali
rodanya satu persatu sehingga akhirnya dia cuma berjaga diri saja dan tidak
menyerang, serupa dengan Siau-siang-cu bertiga tadi.
Pertarungan mereka semakin sengit dan cepat luar
biasa, sekalipun tokoh-tokoh macam Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain-lain juga
sukar mengikutinya.
Di tengah bayangan putih dan kelebat cahaya
beraneka warna kelima roda Kim-lun Hoat-ong itu, sekonyong-konyong Nimo Singh
merasa mukanya sakit sedikit seperti digigit nyamuk, ia terkejut dan coba
meraba muka sendiri, terasa tidak apa-apa, tapi pada jari tangan yang meraba
itu ada setitik darah segar. ia melengak, segera dilihatnya pula badan ln
Kik-si juga terciprat dua-tiga titik darah, baru sekarang ia tahu di antara
kedua orang yang sedang bertempur itu ada yang terluka.
Selang tak lama pakaian Siao-liong-li yang
putih itu tampak penuh oleh bintik2 merah darah sehingga seperti lukisan di
atas kain sutera putih.
“Hah, perempuan siluman itu sudah terluka,”
ojar Nimo Singh dengan gembira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar