Senin, 26 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 87



Kembalinya Pendekar Rajawali 87

Kim-lun Hoat-ong juga mendengar suara teriakan ramai itu, tapi ia pikir Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain-lain berada disana, tentu anak murid Coan-cin-kau takkan mampu melawan mereka, maka ia tidak menjadi kuatir, ia perintahkan para busu Mongol itu mempercepat penyumbatan gua itu dengan batu agar Khu Ju-ki berlima tidak sempat menerjang keluar secara mendadak.
Di ruangan pendopo memang terjadi lagi sesuatu sesudah Song Tek-hong pergi, Perwira Mo-ngol itu telah berkata kepada Ci-keng: “Tio-cinjin, anggota kalian yang memberontak tampaknya tidak sedikit, agaknya kedudukanmu tidak begitu enak bagimu.”
Sudah tentu Ci-keng juga menyadari hal ini, namun keadaan sudah telanjur, ibaratnya sudah berada di punggung macan, kalau melompat turun tentu akan dicaplok sang harimau malah, Segera Ci-keng berteriak: “Menurut undang2 kita, apa hukumannya bagi kaum pemberontak?”
Para Tosu diam-diam saja, malahan dalam hati mereka pikir: Kau sendiri pemberontak dan pengkhianat.”
Ci-keng bertanya lagi satu kali dan tetap tiada yang menggubrisnya, diam-diam Ci-keng sangat mendongkol, ia bertanya lagi sekali sambil memandangi muridnya sendiri, yaitu Ceng-kong, agar dia menjawab nya.
Ceng-kong ini adalah Tosu gemuk yang dahulu menganiaya Yo Ko itulah, ia lantas menjawab ” pemberontak harus membunuh diri di depan pemujaan Cousuya.”
“Betul” seru Ci-keng. “Nah, In Ci-peng, sudah tahu dosamu belum? Kau terima tidak?”
 “Tidak!” jawab Ci-peng tegas, “Baik, bawa dia ke sini!” kata Ci-keng.
Segera Ceng-kong mendorong Ci-peng ke depan dan berdiri dihadapan arca pemujaan. Lalu Ci-keng menanyai Cisiang, Ci-heng dan lain-lain, semuanya juga menyatakan tidak terima. Di antaranya hanya tiga orang saja yang ketakutan dan minta ampun, segera Ci-keng memerintahkan dibebaskan, sedang 20 - an orang tetap berdiri tegak tidak mau menyerap malahan Ci-heng dan beberapa Tosu yang berwatak keras segera mencaci-maki.
“Kalian teramat kepala batu dan sukar diampuni” kata Ci-keng kemudian “Baiklah, Ceng-kong, boleh kau melaksanakan hukuman bagi Coan-cin-kau kita.”
Ceng-kong mengiakan, ia melangkah maju dan mengangkat pedangnya, sekali tusuk ia binasakan In To-hian yang berdiri di ujung kiri.
Serentak para Tosu lantas berteriak murka dan mencaci-maki lebih keras, suara riuh ramai inilah yang tadi di dengar oleh Song Tek-hong dan Kim lun Hoat-ong di belakang gunung.
Ceng-kong adalah manusia yang berani pada yang lemah dan takut pada yang keras, ia menjadi jeri mendengar suara ramai orang banyak.
“Lekas kerjakan, kenapa ragu-ragu,” bentak Ci-keng. Terpaksa Ceng-kong mengiakan dan membunuh lagi dua orang, Yang berdiri nomor empat ialah In Ci-peng, baru saja Ceng-kong angkat pedangnya hendak menusuk dada Ci-peng, tiba-tiba suara seorang perempuan membentaknya: “Nanti dulu?”
Waktu ia menoleh, dilihatnya seorang perempuan muda berbaju putih sudah berdiri diambang pintu, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong-li.
“Kau minggir ke sana, orang ini akan kubunuh sendiri” demikian kata Siao-liong-li.
Ci-keng menjadi girang melihat Siao-liong-li mendadak muncul, ia pikir di tengah tokoh-tokoh sakti sebanyak ini, kedatanganmu ini berarti mengantarkan kematianmu, maka ia lantas membentak: “perempuan siluman ini bukan manusia baik-baik tangkap saja!”
Akan tetapi para Busu Mongol itu tidak tunduk pada perintahnya, semuanya tidak menggubris-nya. Hanya dua murid Ci-keng sendiri lantas melompat maju, tanpa dipikir mereka terus hendak memegang lengan Siao liong-Ii.
Siao-liong-li sama sekali tidak ambil pusing terhadap serbuan para Busu MongoI serta kekacauan yang terjadi diantara orang Coan-cin-pay sendiri. Hanya ketika melihat Ceng-kong hendak membunuh ln Ci-peng, betapapun ia tidak mau membiarkan orang lain membinasakan Tosu itu, maka ia lantas bersuara mencegah.
Belum lagi tangan kedua murid Ci-keng menyentuh bajunya, tahu-tahu tangan mereda sendiri kesakitan, sinar perakpun berkelebat, cepat mereka melompat mundur Waktu mereka mengawasi kiranya pedang mereka yang tergantung di pinggang tahu-tahu sudah dilolos oleh Siao-liong-li dan dalam sekejap itu pergelangan tangan merekapun telah dilukai.
Gerakan Siao liong-li ini sungguh cepat luar biasa, sebelum orang lain melihat jelas cara bagaimana dia merebut pedang dan menyerang, tahu-tahu kedua Tosu itu sudah terluka dan melompat mundur.
Keruan anak murid Ci-keng yang lain sama melengak kaget Ceng-kong lantas berseru : “Hayo maju beramai-ramai, kita berjumlah lebih banyak, kenapa kita gentar padanya?” Segera dia mendahului menerjang dan menusuk.
Tapi sebelum orang mendekat ujung pedang Siao liong-Ii sudah bergetar, tahu-tahu pergelangan tangan kanan kiri Ceng-kong kedua kakinya terkena tusukan pedang.
Sambil mengaung keras, Ceng kong terus menggeletak tak bisa bangun.
Keempat kali tusukan Siao-liong-ii sungguh cepat luar biasa, sampai tokoh kelas wahid seperti Siau-siaug-cu dan lain-lain juga tercengang. Mereka heran mengapa ilmu pedang si nona maju sepesat ini, padahal tempo hari waktu dia bertempur melawan Kongsun Ci belum tampak sesuatu yang luar biasa, apakah mungkin dia, sengaja menyimpan kepandaian?
Rupanya setelah mendapatkan ajaran Ciu Pek-thong, sekaligus Siao liong-li dapat memainkan sepasang pedang dengan cara yang berbeda, kini kepandaiannya memang sudah berlipat ganda.
Sudah sekian lama dia menguntit In Ci-peng dan Tio Ci-keng dan merasa bingung cara bagaimana harus menyelesaikan kedua orang itu. sekarang orang Coan cin-kau menyerangnya lebih dulu, kesempatan ini segera digunakannya untuk balas menyerang dan sekali pedangnya berbau darah, serentak dendam kesumatnya meledak. Ditengah berkelebatnya sinar pedang, dan bayangan baju putih, dalam sekejap saja pedang para Tosu sama jatuh dilantai, pergelangan tangan setiap orang sama tertusuk pedang tanpa diberi kesempatan untuk menangkis atau mengelak.
Sungguh kejut para Tosu itu tak terkatakan. Bayangkan saja, jika serangan Siao liong-li itu tidak mengarah tangan, tapi menusuk perut mereka, maka jiwa para Tosu itu pasti sudah melayang sejak tadi.
Karuan Tosu2 itu ketakutan dan berlari menyingkir sehingga di tengah-tengah ruangan pendopp itu tertinggal In Ci-peng dan kawan-kawannya yang teringkus itu. Melihat mereka tak bisa berkutik dan tidak memusuhi dirinya, untuk sementara Siao-liong-li juga tidak mencelakai mereka.
Diam-diam iapun terkejut sendiri atas kepandaian yang dipelajarinya dari Ciu Pek-thong itu, sungguh tak diduganya ilmu berkelahi yang aneh itu mempunyai daya tempur selihay itu.
Melihat gelagat jelek, sambil menghunus pedang untuk menjaga diri, diam-diam Ci-keng menggeser mundur dan bila ada kesempatan segera akan kabur. Namun Siao-liong-li sudah teramat benci padanya, sekali melompat ia telah mencegat jalan mundur dan maju Tio Ci-keng dengan kedua pedangnya.
Dalam keadaan kepepet, Ci-keng putar pedangnya terus hendak cari jalan lagi, Tiba-tiba terdengar suara “trang” nyaring, In Kik-si berkata padanya : “Kau takkan berhasil, mundur saja sana!”
Kiranya In Kik-si telah menangkiskan pedang Siao-liong-li dengan ruyung emasnya yaug lemas itu. Baru sekarang ada orang yang mampu menangkis pedang Siao hong-li sejak berpuluh Tosu itu dilukainya.
“Tujuanku sekarang hanya ingin menuntut batas pada Tosu Coan-cin-kau dan tiada sangkut pautnya dengan orang luar, lekas kau menyingkir,” seru Siao liong-Ii.
Meski rada jeri juga menyaksikan kelihayan ilmu pedang Siao-liong-li tadi, namun In Kik-si adalah tokoh kelas wahid, betapapun dia tak dapat mundur begitu saja hanya karena ucapan Siao-liong-li itu. Maka dengan tertawa ia menjawab: “Orang Coan-cin-kau sangat banyak dan dengan sendirinya ada yang baik dan ada yang busuk, ada sebagian memang pantas dibinasakan Entah Tosu bangsat yang manakah yang telah bersalah kepada nona?”
Akan tetapi Siao-liong-li hanya mendengus saja dan tidak menjawabnya, sorot matanya tidak pernah meninggalkan diri In Ci-peng dan Tio Ci-keng seakan-akan kuatir kaburnya kedua Tosu itu.
“Untuk apa nona marah kepada kawanan Tosu keparat ini, asalkan nona memberi tanda Tosu mana yang harus dibereskan, segera Cayhe wakili nona untuk membereskannya,” kata In Kik-si.
“Baik, lebih dulu kau binasakan dia ini!” kata Siao-liong-li sambil menuding Tio Ci-keng.
“Tapi Tio-cinjin ini cukup baik orangnya, mungkin ada salah paham nona padanya, biarlah kusuruh dia minta maaf saja kepadamu,” kata In Kik-si.
Siao-liong-li mengernyitkan dahinya, mendadak pedangnya menyamber ke depan secepat kilat, tampaknya menusuk In Kik-si. Dengan sendirian In Kik-si angkat ruyungnya untuk menangkis. Tapi mendadak terdengar jeritan, ternyata Tio Ci-keng yang berdiri tegak di belakang In Kik-si sudah terkena tusukan di pundaknya.
Keruan In Kik-si terkejut, meski tusukan itu tidak mengenai dirinya, tapi dirinya tidak mampu melindungi Ci-keng, rasanya sama memalukan bagi-nya.
Cuma serangan lawan teramat cepat datangnya dan tak jelas cara bagaimana Siao-Iiong-li memutar pedangnya untuk mengarah sasarannya, kalau saja pertarungan demikian dilanjutkan, jelas dirinya pasti kalah, diam-diam ia menjadi jeri ia coba berseru pula. “Nona Liong, harap kau bermurah hati!”
Namun Siao-liong-li tidak menjawabnya, sikapnya seperti tidak mau bermusuhan tapi juga tidak ingin berkawan, ia menggeser pelahan ke kiri, ln Kik-si juga ikut memutar dan tetap ingin membela Tio Ci-keng.
Tapi mendadak terdengar pula Ci-keng menjerit tertahan, waktu ia melirik, ternyata bahu kiri Ci-keng sudah terluka pula.
Cara bagaimana Siao-liong-li menusuk Ci-keng lagi, orang lain tetap tidak tahu dan sama melongo heran. Sungguh cepat luar biasa ilmu pedangnya itu, bukan saja gerakannya tidak kentara, bahkan pedangnya seperti bisa membelok sendiri.
Ber-turut-urut tertusuk dua kali, Ci-keng menjadi ketakutan setengah mati, ia mengira kepandaian ln Kik-si terlalu rendah dan tidak sanggup dimintai perlindungan, segera ia melompat ke sana untuk berlindung di belakang Siau-siang-cu.
Tapi Siao-ltong-Ii anggap seperti tidak tahu saja, ia memutar tubuh, pedang di tangan kiri menusuk ke arah In Kik-si dan pedang icanan menusuk Nimo Singh. Cepat Nimo Singh menggunakan tongkat kiri untuk menahan tubuh, tangan kanan menangkis dengan senjata ular besi.
Namun kembali terdengar jeritan Ci-keng disusul dengan suara nyaring jatuhnya pedang, rupanya pergelangan tangan Ci-keng kembali terkena pedang lagi.
Serangan ini terlebih aneh daripada yang duluan tadi, sudah jelas jarak Siao-liong-li dengan Ci-keng sangat jauh, ketika dia menyerang In Kik-si dan Nimo Singh, tahu-tahu dia sempat pula melukai Ci-keng.
“Hm, hebat benar ilmu pedang nona, biarlah akupun belajar kenal padamu,” jengek Siau-siang-cu sambil mendorong dengan tangan kirinya ke samping, kontan Ci-keng merasa ditolak oleh suatu tenaga raksasa dan jatuh terguling hingga beberapa meter jauhnya, untung Lwekangnya cukup kuat.
Meski sudah terluka tiga tempat, tapi masih sanggup bertahan dan merangkak bangun, Dalam pada itu pentung Siau-siang-cu juga lantas menghantam ke arah Siao-liong-li.
Si dogol Be Kong-co selalu bersimpatik kepada Yo Ko dan Siao-liong-li, kiai iapun merasa tidak adil melihat Siao-liong-li diserang In Kik-si dan Siau-siang-cu pula. Segera ia berteriak: “Huh, tidak tahu malu, beberapa tokoh Bu-lim mengerubut seorang nona cilik!”
 Sudah tentu Siau-siang-cu dan In Kik-si merasa jengah, biarpun mereka tidak ambil pusing urusan harga diri segala, tapi biasanya merekapun cukup angkuh, jangankan main keroyok, sekalipun satu lawan satu juga mereka kurang terhormat berkelahi dengan seorang nona muda.
Tapi sekarang menyadari pasti bukan tandingan ilmu pedang Siao-liong-li yang ajaib itu jika cuma mengandalkan kepandaian seorang saja, maka mereka pura-pura tidak tahu saja atas olok-olok Be Kong-co itu, diam-diam mereka mengomel dalam hati terhadap si dogol yang malah - membela orang luar daripada kawan sendiri
Mereka tidak berani lagi meremehkan Siao-liong-li, mereka pikir kalau berlangsung lama, mungkin ilmu pedang Siao-liong- li itu akan dapat ditemukan titik kelemahannya.
Karena itu mereka lantas memainkan segenap kepandaian untuk menjaga diri, senjata mereka berputar sedemikian kencang sehingga yang terlihat hanya selapis kabut belaka, yang mengelilingi tubuh mereka.
Siao-liong-li memandang tenang ketiga orang itu, pikirnya: “Aku tiada permusuhan apa-apa dengan kalian, siapa ingin bergebrak dengan kalian?”
Dilihatnya Ci-keng sedang mengkeret ke sana dan hendak mengeluyur pergi, segera ia melangkah maju. Tapi Nimo Singh dan Siau-siang-cu lantas mengalanginya dengan rapat.
“Kalian mau menyingkir tidak?” bentak Siao-liong-li dengan mendongkol.
“Tidak mau! Apa kemampuanmu keluarkan saja semua!”
tantang Nimo Singh yang berangasan itu. Karena kedua kakinya buntung atas jarum berbisa Li Bok-chiu dan Yo Ko, ia tahu Yo Ko adalah kekasih Siao-liong-li, maka rasa dendamnya itu sebisanya akan dilampiaskan atas diri Siao-Iiong-li, maka pikirannya sekarang berbeda dengan Siau-siang-cu dan In Kik-si, ia sudah nekad, kalau perlu hendak mengadu jiwa dengan Siao-liong-li.
Sama sekali Siao-liong-li tidak menjadi marah, dilihatnya Ci-keng sudah kabur ke ruangan belakang, ia mencoba memburu, tapi dirintangi lagi oleh Nimo Singh dan Siau-siang-cu.
Watak Siao-liong-li adalah pendiam dan sabar, urusan apapun tidak pernah membuatnya gelisah atau ter-buru-buru, seperti halnya pengejarannya kepada ln Ci-peng dan Tio Ci-keng yang berlangsung bulanan dan tetap hanya dikuntit belaka, sekarang iapun tetap sabar saja, ia biarkan ketiga lawannya memutar senjata sekencangnya, ia sendiri malah menonton belaka seperti tiada terjadi apa-apa.
Orang pertama yang tidak tahan lagi adalah Nimo Singh, sambil meraung ia terus menerjang maju dengan senjata ular besinya. Tapi sekali dia mulai menyerang, segera tempatnya menjadi luang, ketika Siao-liong-li putar pedangnya, cepatNimo Sing menangkis dengan tongkatnya sambil melompat mundur.
Namun begitu bahunya sudah terasa sakit, waktu ia mengamati kiranya baju di bagian bahu kiri ada lima lubang kecil, darah segar tampak me-rembes dari situ.
Sekali menyerang tidak berhasil dan berbalik ia sendiri malah terluka, tentu saja Nimo Singh sangat penasaran, tapi juga tambah jeri, ia tidak berani lagi sembarangan bertindak.
Mereka hanya berdiri di tempatnya sambil memutar senjatanya.
Siao-liong-li tetap berdiri di tengah dan tenang-tenang saja menghadapi ketiga lawan yang memutar senjatanya seperti kitiran itu, Lama2 Siau-siang-cu bertiga menjadi gemas karena si nona diam saja tidak melayani mereka.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba- In Kik-si mendapat akal, ia berseru: “Siau-heng dan saudara Singh, marilah kita mendesak maju dengan pelahan.”
Nimo Singh dan Siau-siang-cu tidak paham maksud sang kawan, tapi mereka kenal In Kik-si sebagai saudagar besar negeri Persi, pengalamannya luas dan pengetahuannya tinggi, cerdik dan pintar pula, maka mereka percaya tujuannya pasti bagus, segera mereka menurut dan melangkah maju satu tindak. Berbareng In Kik-si juga melangkah maju-sambil memutar senjatanya tanpa peluang sedikitpun.
Habis itu, setelah merasa pertahanan mereka tetap rapat dan kuat, lalu In Kik-si menyerukan kawan-kawannya melangkah maju lagi setindak. Baru sekarang Nimo Singh dan Siau-siangcu melihat jelas bahwa lingkaran kepungan mereka terhadap Siao liong-li sudah semakin ciut. walaupun begitu mereka tikak berani menyerang melainkan cuma bertahan saja, mereka putar senjata dengan kencang hingga mirip tembok baja yang tak tertembuskan dan sebentar2 lantas mendesak maju lagi selangkah.
Melihat musuh semakin mendesak maju, lama2 dirinya tentu akan tergencet mati di tengah, mau tak-mau Siao-liong-li harus bertindak, mendadak kedua pedangnya menusuk berulang-ulang, terdengar suara “trang-tring” yang ramai, setiap tusukannya selalu terbentur senjata lawan.
Beberapa puluh kali ia menyerang dan selalu tertangkis oleh lawan, sementara itu ketiga orang itu telah melangkah maju pula.
Siao-liong-li menjadi rada tak sabar waktu ia melangkah mundur, terasa kakinya tersandung sesuatu dan tergeliat, untung Siau-siang-cu bertiga cuma bertahan saja dan tidak menggunakan kesempatan itu untuk menyerang, kalau tidak tentu Siao liong-li bisa celaka.
Di lantai banyak berserakan senjata2 para Tosu yang terjatuh tadi, karena kesandungnya itu, tiba-tiba timbul pikiran Siao1iong-Ii untuk memanfaatkan senjata itu untuk membobolkan pertahanan ketiga musuh.
Karena pikiran itu, sedikit ia menggeser ke kanan, segera kaki kiri mencukil sebatang pedang yang jatuh di lantai itu, secepat kilat pedang itu menyamber ke arah Nimo Singh, menyusul kaki Siao-liong-li yang lain mencukit pula dan sebatang pedang menyamber. lagi ke muka Siau-siang-cu dan begitu seterusnya hingga belasan pedang dia hamburkan ke arah lawan.
Beberapa pedang yang menyamber tiba itu dapat ditangkis Nimo Singh dan kawannya hingga terbang balik ke arah Siao-liong-li, tapi sekali sampuk dengan pedangnya, pedang tak bertuan itu kembali menyamber ke arah In Kik-si.
Begitulah terjadi hujan pedang, keruan Siau-siang-cu bertiga menjadi kelabakan, semula mereka masih dapat menyampuk dan menangkis pedang yang menyamber tiba, tapi makin lama, makin cepat datangnya pedang2 itu hingga mereka dibikin kerepotan.
Suatu ketika In Kik-si sedang menangkis sebatang pedang yang menyelonong ke mukanya, tahu-tahu pedang yang lain menyamber tiba pula ke perutnya, supaya perutnya tidak tertembus, terpaksa In Kik-si melompat mundur ke samping, Dan karena inilah pertahanan mereka lantas bobol, peluang
itu segera digunakan oleh Siao-Iiong-li untuk menyelinap ke ruangan belakang.
Ginkang Siao-liong-li jauh lebih tinggi daripada Siau-siang-cu bertiga, begitu dia sudah lepas dari rintangan, secepat terbang ia terus mengejar ke arah larinya Tio Ci-keng tadi.
Seketika Siau siang-cu bertiga masih sibuk melayani berpuluh senjata yg dihamburkan Siao-Iiong-Ii tadi, sesudah senjata2 itu dipukul jatuh barulah mereka dapat berhenti.
Sejenak kemudian dan belakang sana terdengar kumandangnya suara benturan senjata, dari suara menderingnya senjata itu jelas Siao liong li telah ke-pergok Kim lun Hoat-ong dan sudah mulai bertempur.
Sebenarnya ketiga orang itu sudah jeri menghadapi Siao-Iiong-li, kini mereka lantas mendapat angin lagi karena Kim-lun Hoat-ong juga sudah tiba, Segera ln Kik-si berseru:
“Marilah kita susul kesana.”
Segera ia mendahului berlari ke belakang di susul oleh Siau-siang-cu dan Nimo Singh serta para Busu Mongol. Semua orang hanya pandang Siao-liong-li sebagai musuh satu-satunya sehingga tidak menaruh perhatian lagi kepada para Tosu Coan cin-kau, Maka setelah semua musuh sudah pergi, Ci-peng, Ci-siang dan lain-lain lantas saling tolong melepaskan tali ikatan serta menjemput pedang masing-masing, berbondong-bondong merekapun cepat menyusul kebelakang.
Begitu rombongan Siau-siang-cu sampai di depan Giok-hi-tong, tertampaklah bayangan roda berkelebatan dan cahaya pedang berseliweran, suara geraman Kim-lun Hoat-ong terdengar menggelegar sedangkan Siao-liong-li dengan baju putihnya tampak lemah gemulai, kedua orang sedang bertempur dalam jarak jauh.
Sementara itu rombongan In Ci-peng juga sudah menyusul tiba, melihat mulut gua Giokhi tong sudah tersumbat batu, nasib kelima guru mereka tak diketahui, tentu saja mereka kuatir. Beramai-ramai mereka mendekati mulut gua, tapi mereka lantas dicegat oleh Darba dan Hotu, hanya beberapa gebrakan saja para Tosu Coan-cin-kau itu sudah didesak mundur.
“Suhu, Suhu! Baikkah engkau!” seru Ci-heng kuatir seakan-akan orang hendak menangis.
Ci-peng pikir kepandaian kelima guru dan paman guru cukup lihay dan tidak mudah dikurung begitu saja oleh musuh, mungkin sekali semadi mereka sedang memuncak sehingga tidak sempat mengurus apa yang terjadi di luar gua ini, sekarang Ci-heng berteriak-teriak, jangan-jangan malah akan mengacaukan pikiran orang-orang tua itu.
Maka cepat ia memberikan tanda kepada Ong Ci-heng agar jangan bersuara lagi.
Ci-heng lantas menyadari hal itu, cepat ia membangunkan Song Tek-hong yang menggeletak di samping gua sana, melihat lukanya cukup parah, lekas ia memberi pertolongan seperlunya.
Pertarungan Kim-lun Hoat-ong dan Siao-liong-li sedang berlangsung dengan sengitnya, namun Hoat-ong tampak lebih banyak berjaga daripada menyerang, cuma setiap diserang beberapa kali iapun balas menyerang satu kali, kelima rodanya yang ber-beda2 daya tekanannya itu memaksa Siaoliongli tak berani terlalu mendekat.
Melihat pertempuran dahsyat itu, diam-diam Siau-siang-cu bertiga merasa kagum dan juga iri, mau-tak-mau merekapun mengakui kalau Kim-lun Hoat-ong memang pantas diangkat menjadi jago nomor satu di negeri Mongol. Semula mereka bermaksud membantu Hoat-ong, tapi demi teringat gelar “jago nomor satu”, karena rasa iri hati, seketika mereka tidak jadi membantu Hoat ong.
Padahal meski tampaknya Hoat-ong dapat balas menyerang dengan hebat, tapi sebenarnya dalam hati dia mengeluh. Cara Siao-liong-li seorang memainkan dua pedang ternyata lebih lihay daripada kalau dia main ganda bersama Yo Ko.
Kim-lun Hoat-ong adalah seorang tokoh berbakat ilmu silat yang sukar dicari bandingannya, sejak dia dikalahkan gabungan Yo Ko dan Siao-liong-li, senantiasa ia berusaha memecahkan cara mengatasi ilmu pedang kedua muda-mudi itu.
Kebetulan di sini ia pergoki Siao-liong-li dalang sendirian tanpa didampingi Yo Ko, tentu saja ia bergirang, ia pikir jika Siao-liong-li dibinasakan maka selanjutnya dia takkan ada tandingan lagi, siapa tahu setelah bergebrak barulah ia merasakan ilmu pedang Siao-liong-li sendirian justeru terlebih lihay daripada kalau dia main ganda bersama Yo Ko.
 Sebab itulah baru beberapa puluh jurus saja keadaan Hoat-ong sudah terdesak dan berulang-ulang hampir termakan oleh pedang lawan, terpaksa ia tak berani main timpuk dengan roda lagi, ia tarik kembali rodanya satu persatu sehingga akhirnya dia cuma berjaga diri saja dan tidak menyerang, serupa dengan Siau-siang-cu bertiga tadi.
Pertarungan mereka semakin sengit dan cepat luar biasa, sekalipun tokoh-tokoh macam Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain-lain juga sukar mengikutinya.
Di tengah bayangan putih dan kelebat cahaya beraneka warna kelima roda Kim-lun Hoat-ong itu, sekonyong-konyong Nimo Singh merasa mukanya sakit sedikit seperti digigit nyamuk, ia terkejut dan coba meraba muka sendiri, terasa tidak apa-apa, tapi pada jari tangan yang meraba itu ada setitik darah segar. ia melengak, segera dilihatnya pula badan ln Kik-si juga terciprat dua-tiga titik darah, baru sekarang ia tahu di antara kedua orang yang sedang bertempur itu ada yang terluka.
Selang tak lama pakaian Siao-liong-li yang putih itu tampak penuh oleh bintik2 merah darah sehingga seperti lukisan di atas kain sutera putih.
“Hah, perempuan siluman itu sudah terluka,” ojar Nimo Singh dengan gembira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar