Kembalinya Pendekar Rajawali 91
Biasanya Yo Ko melihat suami-isteri itu hidup
rukun dan saling mencintai, sekarang keduanya bertengkar dan tidak mau saling
mengalah, jelas keduanya sudah bertengkar beberapa kali mengenai urusan ini.
Kalau Oey Yong bicara
sambil menangis, maka Kwe Ceng terus mondar
mandir di dalam kamar dengan muka bersungut.
Selang tak lama Kwe Ceng membuka suara pula:
“sekalipun anak itu dapat ditemukan kembali, kalau kau tetap memanjakan dia
seperti anak Hu sehingga bertingkah semaunya, anak perempuan begitu lebih baik
tidak ada.”
“Memangnya anak Hu kurang baik apa?” seru Oey
Yong.
“Dia sayang pada adiknya sehingga wajar kalau
dia menyerang secara gemas, jika aku, mungkin lengan kiri Yo Ko juga sudah
kutabas bila dia tidak mengembalikan anakku.”
“Kau bilang apa Yong-ji?” bentak Kwe Ceng
dengan gusar sambil menggebrak meja, seketika ujung meja sempal sebagian, Bayi
yang tadinya sedang menangis itu lantas berhenti oleh karena bentakan dan suara
gebrakan itu.
Saat itu juga Yo Ko melihat di jendela
sebelah sana ada berkelebatnya bayangan orang, sambil munduk2 orang itu terus
menyingkir pergi. Yo Ko menjadi ingin tahu siapakah orang Kwe Hu.
Dengan Ginkangnya yang tinggi ia coha
menguntit dilihatnya perawakan orang itu tinggi ramping, jelas Kwe Hu adanya,
seketika hati Yo Ko terbakar, ia pikir kebetulan sekali, memang kau yang ingin
kucari.
Tapi pada saat itu juga cahaya lampu di
kamar Oey Yong telah dipadamkan dan terdengar suaranya: “Kau keluar saja,
membikin kaget anak ini saja.”
Yo Ko tahu Kwe Ceng akan segera keluar dan
sukar mengelabuhi mata sang paman, maka cepat ia melompat kesana dan sembunyi
di balik gunung-gunungan, lalu berputar menuju ke luar kamar Kwe Hu. ia
melompat ke atas pohon besar yang terletak di luar kamar dan sembunyi di balik
daun pohon yang lebat.
Sejenak kemudian terlihat Kwe Hu kembali di
kamarnya pelayan pribadinya telah membenahi bantal dan selimutnya, tapi tak
berani banyak bicara melihat si nona cemberut saja, ia hanya menyilakan si nona
tidur, lalu keluar kamar sambil merapatkan pintu.
Dari atas pohon Yo Ko dapat melihat keadaan
kamar dengan jelas melalui jendela yang masih terbuka itu.
Dilihatnya Kwe Hu sedang menghela napas
panjang dan berduduk dengan bertopang dagu.
Yo Ko pikir “Apa yang kau sedihkan? Kau
membikin buntung lenganku, akupun balas membuntungi sebelah lenganmu. Cuma
seorang lelaki tidak pantas berkelahi dengan seorang perempuan, kalau sekarang
kuhendak membereskan kau adalah terlalu mudah bagiku, namun cara ini bukanlah
perbuatan seorang jantan sejati. Rasanya aku harus berteriak-teriak lebih dulu
agar paman Kwe memburu ke sini, dia adalah tokoh silat pujaan masa kini, biar
kukalahkan dia dahulu baru nanti kubereskan anak perempuannya, dengan
perbuatanku yang terangan ini tentu takkan ditertawakan orang.
Akan tetapi ilmu silat paman Kwe
teramat tinggi, apakah aku dapat mengalahkan dia? Ah, mungkin tidak dapat. Lalu
bagaimana, aku harus menuntut balas atau tidak?”
BegituIah ia menjadi ragu-ragu, tapi demi
teringat pada lengannya yang sudah buntung itu, seketika darahnya bergolak lagi
dan segera ia nekat hendak melompat ke dalam kamar Kwe Hu. Pada saat itulah
tiba-tiba terdengar suara tindakan orang sedang mendatang, ternyata bukan lain
daripada Kwe Ceng.
Setiba di luar kamar anak perempuannya, Kwe
Ceng mengetok pelahan pintu kamar dan me-manggih “Anak Hu, apa kau sudah
tidur?”
Kwe Hu berbangkit dan menjawab: “Kau kah,
ayah?” suaranya terdengar rada gemetar.
Yo Ko terkesiap juga, ia pikir jangan-jangan
paman Kwe sengaja datang ke kamar si nona untuk melindunginya karena mengetahui
kedatanganku ini? Baik, biar kulabrak kau lebih duIu! Demikian tekad anak muda
itu.
Daiam pada itu Kwe Hu telah membuka pintu
kamarnya, ia memandang sekejap pada sang ayah, lalu menunduk. Kwe Cing
melangkah ke dalam kamar dan menutup pintu, lalu duduk di kursi di depan tempat
tidur dan terdiam untuk sekian lamanya.
Setelah ayah-anak itu sama-sama bungkam agak
lama, akhirnya Kwe Ceng membuka suara: “Selama beberapa hari ini kemana saja
kau?”
Kwe Hu melirik sang ayah sekejap, lalu
menjawab dengan tergagap: “Setelah ….. setelah melukai Nyo-toako, anak takut…
takut didamprat ayah, maka… maka…”
“Maka kau bersembunyi begitu?” sambung Kwe
Ceng, Sambil menggigit bibirnya, terpaksa Kwe-Hu mengangguk “Jadi maksudmu
menunggu setelah kegusaranku mereda barulah kau pulang?”
Kembali Kwe Hu manggut-manggut, mendadak ia
menubruk ke pangkuan sang ayah dan berseru dengan ter- guguk: “Apakah engkau
masih marah pada anak, ayah?”
Dengan penuh rasa kasih sayang Kwe Ceng
membelai rambut anak gadisnya, katanya dengan pelahan: “Tidak, aku tidak marah,
selamanya aku tak pernah marah, aku Cuma sedih bagimu.”
“O, ayah!” teriak Kwe Hu sambil mendekap sang
ayah dan menangis tersendat sendat.
Kwe Ceng menengadah memandangi langit-langit
kamar tanpa bicara lagi. Agak lama setelah tangis Kwe Hu mereda barulah dia
berkata pula: “Kakek Yo Ko, namanya Nyo Thi-sim, dengan kakekmu Kwe Siau-thian,
keduanya adalah saudara angkat. Ayahnya dan ayahmu ini juga mengikat sebagai
saudara, semuanya ini kan sudah kau ketahui.”
Kwe Hu mengiakan. Maka Kwe Ceng lantas
melanjutkan: “Meski tingkah laku Yo Ko itu ter-kadang suka dugal tapi
pembawaannya berbudi luhur, beberapa kali dia pernah menyelamatkan jiwa
ayah-bundamu, usianya masih muda, tapi jasanya cukup besar bagi negara dan
bangsa, hal inipun kau mengetahui,”
Karena nada ucapan sang ayah semakin bengis
Kwe Hu tidak berani menanggapi.
Tiba-tiba Kwe Ceng berbangkit dan berkata
pula: “Selain itu ada lagi suatu hal yang tidak diketahui olehmu, biarlah
sekarang kuceritakan padamu. Bahwa ayah Ko-ji, yaitu Yo Khong, dahulu
perbuatannya memang sangat tercela, sebagai kakak angkatnya aku tak dapat
menasehati dia dan menuntunnya ke jalan yang benar, akhirnya dia tewas secara
mengerikan di biara Thi-jio-bio di kota Kahin, Walaupun kematian paman Yo itu
bukan dilakukan oleh ibumu, tapi matinya disebabkan oleh ibumu, jadi sebenarnya
keluarga Kwe kita utang cukup banyak kepada keluarga Yo.”
Untuk pertama kalinya sekarang Yo Ko
mendengar tentang sebab musabab serta tempat kematian ayahnya itu, seketika
dendam kesumat yang terpendam dalam lubuk hatinya itu berkobar kembali.
Dalam pada itu terdengar Kwe Ceng sedang
berkata: “Sebenarnya ada maksudku hendak menjodohkan kau pada Ko-ji sekadar
mengurangi penyesalanku dalam hidupku ini, siapa tahu… siapa tahu… Ai!”
Mendadak Kwe Hu mendongak dan berkata: “Ayah,
dia telah menggondol lari adik dan telah banyak mengucapkan kata-kata kotor
yang merendahkan anakmu ini, Coba ayah, biarpun keluarga Nyo mereka mempunyai
hubungan erat dengan keluarga Kwe kita, apakah anak boleh dihina dan dicerca
begitu saja olehnya dan tidak boleh membantah dan melawannya?”
Sekonyong-konyong Kwe Ceng membentak: “Sudah
jelas kau telah mengutungi lengannya, cara bagaimana dia dapat menghina dan
mencerca kau? Dan di mana pedang itu?”
Kwe Hu tidak berani berbantah lagi, ia
mengeluarkan Ci-wi-kiam itu dari bawah kasur. Setelah memegang pedang itu, Kwe
Ceng menggetarnya pe-lahan, seketika terdengar suara mendengung Lalu katanya
dengan pedih: “Anak Hu, manusia hidup harus bisa mawas diri, setiap
tindak-tandak harus dilakukan dengan jujur tanpa merugikan siapapun juga.
Biasanya meski ayah sangat bengis padamu, tapi sayangku padamu tidak kurang
daripada ibumu.”
Sampai dengan kalimat2 terakhir ini suaranya
berubah menjadi halus dan lunak.
Maka dengan suara pelahan Kwe Hu menanggapi
“Ya, anak juga tahu.”
“Baiklah, sekarang ulurkan lengan kananmu,”
kata Kwe Cing tiba-tiba. “Kau telah memotong sebelah lengan orang, akupun
memotong sebelah lenganmu. Selama hidup ayahmu jujur dan adil, biarpun puteriku
sendiri kalau berbuat salah juga takkan kubela.”
Sebelumnya Kwe Hu juga menyadari dirinya
pasti akan dihukum oleh sang ayah, tapi sama sekali tak menduga bahwa ayahnya
tega menabas lengan-nya. Keruan ia ketakutan hingga muka pucat seperti mayat
dan berteriak: “Ayah!” Yo Ko juga tidak menduga bahwa Kwe Ceng sedemikian
tinggi luhur budinya, iapun berdebar menyaksikan adegan luar biasa itu, Terlihat
wajah Kwe Ceng yang kereng itu menatap puterinya dengan tajam, mendadak
pedangnya bergerak terus menabas.
Akan tetapi dengan cepat luar biasa mendadak
seorang melompat masuk kamar melalui jendela, belum tiba segera pentungnya
menangkis pedang Kwe Ceng, siapa lagi dia kalau bukan Oey Yong.
Tanpa bicara Oey Yong menyerang tiga kali,
semuanya tipu serangan lihay dari Pak-kau-pang-hoat, karena ilmu permainan
pentung itu memang sangat hebat, pula Kwe Ceng tidak berjaga-jaga, mau-tak-mau
ia terdesak mundur dua-tiga tindak oleh sang isteri.
“Lekas lari, anak Hu!” satu Oey Yong.
Namun Kwe Hu tidak secerdik sang ibu,
menghadapi peristiwa luar biasa ini, ia menjadi melenggong dan berdiri
mematung.
Dengan tangan kiri membopong bayi dan tangan
kanan memutar pentungnya, segera Oey Yong gunakan pentungnya untuk menolak
tubuh Kwe Hu sehingga terjungkal keluar jendela, “Lekas kembali ke Tho-hoa-to
dan mohon Kwakongkong (maksudnya Kwa Tin-ok) ke sini untuk mintakan ampun pada
ayahmu!” seru Oey Yong sambil memutar kembali pentungnya untuk mengalangi Kwe
Ceng, lalu ia berseru pula: “Lekas pergi, kuda merah tertambat di depan!”
Rupanya Oey Yong cukup kenal watak sang suami
yang polos dan jujur itu, bahkan terkadang juga kepala batu, tapi juga sangat
mementingkan setia kawan dan menghormati orang tua.
Sekali ini anak perempuannya telah
berbuat salah besar, tentu tak terhindar dari hukuman berat, maka sebelumnya ia
telah suruh orang menyiapkan kuda merah itu di luar pintu lengkap dengan pelana
terpasang serta perbekalan seperlunya, ia pikir kalau berhasil meredakan amarah
suaminya, kalau perlu biar Kwe Hu diomeli dan dipukul sekadarnya dan bereskan
persoalannya, kalau tidak terpaksa Kwe Hu disuruh lekas lari ke tempat yang
jauh, kelak kalau amarah sang suami sudah mulai kendur barulah puterinya itu
akan disuruh pulang.
Tadi sehabis ribut mulut di kamar dan Kwe
Ceng terus menuju kamar anak perempuannya, segera Oey Yong merasakan gelagat
kurang enak, cepat ia menyusul ke sana dan dapatlah menyelamatkan lengan
puterinya ttu.
sebenarnya kepandaian Oey Yong sekali-sekali
bukan tandingan Kwe Ceng, tapi biasanya Kwe Ceng rada segan pada isterinya,
pula melihat Oey Yong memondong bayi, betapapun tidak tega menggunakan pukulan
berat untuk menghalau sang isteri, karena sedikit ragu dan teralang itulah Kwe
Hu sempat kabur keluar rumah.
Sudah tentu semua kejadian itu dapat
disaksikan oleh Yo Ko di tempat sernbunyinya, ketika Kwe Hu terlempar keluar
jendela, kalau dia terus melompat turun dan menyerangnya, terang Kwe Hu sudah
binasa sejak tadi. Tapi mengingat sekeluarga itu sedang kalang kabut dan pokok
pangkalnya adalah disebabkan diriku, kalau kubinasakan dia selagi orang dalam
kesusahan, betapapun rasanya tidak enak dan tidak tega.
Dalam pada itu Oey Yong masih terus memutar
pentungnya dan mendesak mundur Kwe Ceng pula, kini Kwe Ceng sudah kepepet di
tepi ranjang dan takdapat mundur lagu Mendadak Oey Yong berteriak “Terima ini!”
Berbareng bayi dalam pondongannya terus dilemparkan kepada sang suami.
Dengan melengak Kwe Ceng menangkap bayi itu,
Oey Yong lantas mendekatinya dan membujuk dengan suara halus: “Kakak Cing,
harap kau mengampuni anak Hu.”
Namun Kwe Ceng menggeleng, jawabnya: “Yong
ji, masakah aku sendiri tidak sayang pada puterinya sendiri? Tapi dia telah
berbuat kesalahan sebesar itu, kalau tidak diberi hukuman setimpal, betapapun
hati kita takkan tenteram, pula cara bagaimana kita akan menghadapi Ko-ji? Ai,
lengannya buntung sebelah, tiada orang yang merawatnya pula, entah bagaimana
keadaannya sekarang?”
Mendengar ucapan yang penuh perasaan itu, Yo
Ko tahu sang paman senantiasa memikirkan dirinya, tanpa terasa ia menjadi
terharu dan hampir meneteskan air mata.
“Sudah sekian hari kita mencarinya dan tak
menemukan jejaknya, kalau terjadi sesuatu tentu kita sudah menemukan
bekas-bekasnya.” kata Oey Yong.
“Apalagi kepandaian Ko-ji sudah tidak dibawah
kita, meski terluka parah juga takkan beralangan.”
“Baiklah, akan kupanggil kembali anak Hu.”
kata Kwe Ceng.
“Saat ini dia sudan keluar kota dengan kuda
merah, mana dapat menyusulnya lagi?” kata Oey Yong dengan tertawa.
“Saat ini baru lewat tengah malam, tanpa
Lengpay (tanda perintah) dariku atau Lu-tayjin, tidak mungkin dia dapat keluar
kota,” kata Kwe Ceng pula.
“Baiklah, terserah kau,” jawab Oey Yong
sambil menghela napas, lalu ia mendekati sang suami untuk menerima bayinya.
Tanpa sangsi Kwe Ceng mengangsurkan bayi itu, di luar dugaannya, baru saja
kedua tangan Oey Yong menyentuh gurita si bayi, sekonyong-konyong tangannya
terus menyelonong ke iga Kwe Ceng, dengan ilmu Tiam-hiat yang khas ajaran Oey
Yok-su yang terkenal dengan nama “Lau-hoa-hut-hiat-jiu” mendadak ia tutuk kedua
Hiat-to penting di bagian iga sang suami.
Dengan kepandaian Kwe Ceng yang maha sakti
sekarang ini, kalau Oey Yong tidak main licik, betapapun sukar hendak menutuk
suaminya itu. Rupanya ketika dia melemparkan Kwe Boloh kepada suaminya memang
sudah diatur rencananya ini, Menghadapi isterinya yang cerdik pandai ini Kwe
Ceng benar-benar mati kutu, seketika dia kaku pegal dan menggeletak di atas
ranjang tanpa bisa berkutik.
Sambil membopong bayinya Oey Yong terus
membukakan sepatu dan baju luar sang suami dan dibaringkan di tempat tidur
serta diberi bantal pula agar dapat tidur dengan baik, lalu dari baju Kwe Ceng
diambilnya Lengpay.
Sudah tentu Kwe Ceng menyaksikan ini tapi tak
berdaya, Kemudian Oey Yong merebahkan bayinya pula di samping sang suami agar
ayah dan anak itu tidur bersama, lalu mereka diselimuti pula dan berkata:
“Kakak Cing, maaf, nanti kalau anak Hu sudah kuantar keluar kota, pulangnya
akan kubuatkan beberapa macam daharan lezat untuk minta maaf padamu.”
Kwe Ceng hanya menyeringai saja tanpa bisa
menjawab, isterinya yang sudah setengah umur ini ternyata masih nakal seperti
dahulu. Terlihat Oey Yong melangkah pergi dengan tersenyum. Dalam keadaan
tertutuk begitu, andaikan menggunakan tenaga dalam sendiri untuk membobol
Hiat-to yang tertutuk itu paling cepat diperlukan satu jam baru jadi, jelas
betapapun sukar lagi menyusul puterinya, persoalan ini benar-benar membuatnya
serba runyam.
Oey Yong sayang pada anak, ia kuatir Kwe Hu
seorang diri pergi ke Tho-toa-to mungkin akan mengalami kesulitan ditengah
jalan, maka cepat ia kembali ke kamarnya untuk mengambil kaos kutang pusaka
yang biasa dipakainya segera ia memburu ke pintu gerbang selatan, setiba di
sana,
tertampak Kwe Hu sedang ribut dengan perwira
penjaga yang tidak mau membukakan pintu.
Perwira itu bicara dengan hormat dan berusaha
menjelaskan bahwa tanpa idzin khusus dari Lu-ciangkun dan Kwe-tayhiap,
malam-malam membuka pintu gerbang pasti akan dihukum penggal kepala, sebab
itulah perwira itu menyatakan keberatan untuk mengeluarkan si nona.
Oey Yong kenal kecerobohan puterinya itu yang
juga kurang pengalaman itu, menghadapi kesukaran bukannya mencari akal, tapi
malahan mengumbar kemarahan dan berteriak-teriak yang tiada gunanya. Cepat ia
mendekati mereka dan memperlihatkan Lengpay yang diambilnya dari baju sang
suami tadi.
Melihat Lengpay itu memang aslinya, pula
dibawa sendiri oleh Kwe-hujin, terpaksa perwira penjaga itu minta maaf dan
membukakan pintu, bahkan ia meminjamkan kudanya kepada nyonya Kwe itu.
Oey Yong merasa kebetulan dengan kuda
pinjaman itu, Kwe Hu juga sangat girang melihat kedatangan sang ibu, segera
keduanya melarikan kuda mereka keluar kota.
Karena merasa berat untuk berpisah dengan
puterinya, Oey Yong terus mengantar hingga cukup jauh dari kota, karena habis
perang, beberapa ratus li di utara kota Siangyang boleh dikatakan tandas tanpa
penduduk, sebaliknya di bagian selatan Siang-yang belum mengalami keganasan
pasukan Mongol, walaupun suasana juga kurang aman, tapi penghidupan rakyat
tetap berlangsung seperti biasa.
Kira-kira sudah lebih 20 li, pagipun tiba,
ibu dan anak itu sampai di suatu kota kecil, beberapa toko sudah membuka dasar
menanti tamu, Oey Yong lantas mengajak puterinya masuk sebuah rumah makan untuk
sarapan dan habis itupun mereka terus berpisah.
Dengan mengembeng air mata Kwe Hu menuruti
ajakan sang ibu. Dalam hati ia sangat menyesalkan perbuatan sendiri yang telah
mengutungi lengan Yo Ko sehingga mengakibatkan kemarahan ayahnya dan terpaksa
harus berpisah dengan ibunda pula kembali ke Tho-hoa-to, di sana hanya akan
ditemani seorang kakek buta saja, yaitu Kwe kongkong, ia membayangkan dirinya
pasti tidak betah hidup di pulau terpencil itu.
Begitulah kedua orang lantas pesan sarapan di
rumah makan itu, Oey Yong lantas menyerahkan kaos pusaka yang
kebal senjata itu kepada Kwe Hu dengan pesan
supaya dipakai untuk menjaga segala kemungkinan, banyak pula dia memberi
nasihat agar ini dan itu bila di tengah jalan mengalami kesulitan.
Kasih sayang seorang ibu sedemikian besarnya,
ketika sekilas melihat tidak jauh dari rumah makan itu ada sebuah toko makanan
dan menjual buah2an, timbul hasrat Oey Yong untuk memberi bekal beberapa buah
apel pada puterinya untuk dimakan dalam perjalanan. Maka iapun berkata: “Anak
Hu, hendak-lah kau makan sekenyangnya agar nanti tidak kelaparan, suasana kacau
begini, bisa jadi di depan sukar ditemukan rumah makan lagi. Aku pergi sebentar
ke sana untuk membeli sedikit buah.” - Habis ini ia lantas menuju ke toko buah2an.
Sesudah memilih belasan buah apel yang merah
besar, baru saja mau membayar, tiba-tiba di belakang ada suara seorang
perempuan sedang berkata: “Berikan 20 kati beras, satu kati garam, masukkan
pada karung ini.”
Oey Yong merasa tertarik oleh suara yang
nyaring itu, ia coba meliriknya, kiranya seorang Tokoh berbaju kuning sedang
membeli rangsum di toko beras sebelah, Pada tangan kiri Tokoh itu memondong
seorang bayi perempuan, tangan kanan sedang mengeluarkan uang. Popok yang
dikenakan bayi itu terbuat dari sutera merah dan tersulam seekor kuda, jelas
itulah buah tangan Oey Yong sendiri.
Seketika hati Oey Yong tergetar hebat
sehingga buah apel yang di pegangnya jatuh kembali ke keranjang penjualnya.
Siapa lagi bayi itu kalau bukan Kwe Yang,
puteri kandung yang baru beberapa hari dilahirkannya itu.
Dari samping dapat dilihatnya pula Tokoh itu
ternyata adalah Jik-lian-siancu Li Bok-chiu.
Oey Yong sendiri belum pernah bertemu dan
bertempur dengan iblis perempuan ini, tapi melihat pinggangnya terselip sebuah
kebut, matanya buta sebelah serta dandanannya, segera ia yakin pasti Li
Bok-chiu adanya.
Sejak melahirkan Kwe Yang, dalam keadaan
kacau dan gugup ia cuma pernah memandang beberapa kejap kepada bayi itu.
sekarang ia coba mengamat-amati puterinya itu, ternyata mata alisnya sangat
indah, dan mukanya molek, meski orok yang baru berumur beberapa hari, namun
jelas adalah calon perempuan cantik kelak.
Dilihatnya pula air muka bayi itu ke-merah2an
dan tampaknya sangat sehat, padahal adiknya, si Kwe Bo-loh, yang disusuinya
sendiri juga tidak sesehat dan semontok ini.
Begitulah karena kejut dan girangnya, hampir
saja Oey Yong meneteskan air mata, Si penjual buah sampai melongo heran melihat
Oey Yong berdiri kesima dan tidak jadi membawa apel yang dibelinya itu.
Sementara itu Li Bok-chiu sudah selesai
membayar dan mengangkat karungnya terus bertindak pergi, Tanpa pikir Oey Yong
lantas menguntit ke sana. Karena keadaan, sudah mendesak, ia tidak sempat
kembali ke rumah makan untuk memberitahukan Kwe Hu, Yang dia kuatirkan hanya
Kwe Yang saja, ia pikir orok itu berada di tangan iblis keji itu, kalau
merebutnya kembali dengan kekerasan, bisa jadi akan membikin celaka bayi itu.
Karena itu ia tidak segera bertindak
melainkan terus mengintil di belakang Li Bokchiu.
Rada cemas juga Oey Yong melihat Li Bok-chiu
terus keluar kota dan menuju ke arah barat, pikirnya: “lblis ini adalah Supek
Yo Ko, walaupun kabarnya mereka tidak akur satu sama lain, tapi anak Hu telah
mengutungi lengan Yo Ko, Kobong-pay mereka telah mengikat permusuhan dengan
keluarga Kwe, jika Ko-ji dan nona Liong sedang menunggu iblis ini di depan
sana, itu berarti aku harus melawan mereka bertiga dan rasanya sukar untuk
mengalahkan mereka, jalan paling baik adalah selekasnya aku harus bertindak.”
Dalam pada itu Li Bok-chiu telah membelok ke
selatan dan masuk ke sebuah hutan, cepat Oey Yong mengeluarkan Ginkangnya dan
secepat terbang mengitar ke samping hutan sana agar mendahului di depan Li
Bok-chiu, di situ mendadak ia melompat keluar dan menghadangnya.
Ketika mendadak di depannya muncul seorang
nyonya muda cantik, rada terkejut juga Li Bok chiu, akan tetapi segera ia dapat
menenangkan diri.
“Aha, yang kuhadapi sekarang tentulah Jik
lian-siancu Li-totiang, selamat bertemu!” sapa Oey Yong dengan tertawa.
Dari gaya lompatan Oey Yong tadi, Li Bok-chiu
yakin orang pasti bukan tokoh sembarangan pula melihat orang bertangan kosong
sebuah pentung bambu hijau terselip di tali pinggangnya, seketika
tergerak-pikirannya, dengan tersenyum ia lantas menaruh karungnya dan memberi hormat
sambil berkata. “Sudah lama siaumoay (adik) mengagumi nama kebesaran Kwe-hujin
dan baru sekarang dapat berjumpa, sungguh beruntung dan menggembirakan.”
Di dunia persilatan kini, tokoh wanita
terkemuka hanya Oey Yong dan Li Bok-chiu berdua saja yang paling termashur.
Meski ilmu silat Siao-liong-li juga lihay,
tapi usianya masih muda, namanya belum begitu terkenal, sedangkan Oey Yong
adalah puteri kesayangan Tang-sia (si latah dari timur) Oey Yok-su serta isteri
tercinta Kwe Ceng, jabatannya juga tinggi, yaitu ketua Kay-pang, organisasi
kaum jembel yang paling berpengaruh.
Sedangkan Li Bok-chiu terkenal dengan kebut
mautnya, jarum berbisa serta pukulan “panca-bisa” yang tidak kenal ampun.
Kini keduanya kepergok bersama, hati
kedua-nya sama-sama terkejut dan heran bahwa pihak lawan ternyata sedemikian
cantik. Karena itu dalam hati masing-masing sama was-was dan tidak berani
meremehkan pihak lawan.
Maka dengan tertawa Oey Yong lantas berkata
pula: “Ah, Li-totiang terhitung kaum Cian-pwe, mengapa bicara secara begitu
sungkan?”
“Kwe-hujin sendiri adalah ketua Kay-pang,
tokoh dunia persilatan terkemuka, selama ini siaumoay sangat kagum dan hormat”
jawab Li Bok chiu.
Begitulah setelah kedua orang sama-sama bicara dengan
rendah hati, kemudian Oey Yong menuju sasarannya:.”Wah, bayi dalam pondongan
Li-totiang ini sungguh sangat menyenangkan. Putera siapakah ini?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar