Senin, 26 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 91



Kembalinya Pendekar Rajawali 91

Biasanya Yo Ko melihat suami-isteri itu hidup rukun dan saling mencintai, sekarang keduanya bertengkar dan tidak mau saling mengalah, jelas keduanya sudah bertengkar beberapa kali mengenai urusan ini. Kalau Oey Yong bicara
sambil menangis, maka Kwe Ceng terus mondar mandir di dalam kamar dengan muka bersungut.
Selang tak lama Kwe Ceng membuka suara pula: “sekalipun anak itu dapat ditemukan kembali, kalau kau tetap memanjakan dia seperti anak Hu sehingga bertingkah semaunya, anak perempuan begitu lebih baik tidak ada.”
“Memangnya anak Hu kurang baik apa?” seru Oey Yong.
“Dia sayang pada adiknya sehingga wajar kalau dia menyerang secara gemas, jika aku, mungkin lengan kiri Yo Ko juga sudah kutabas bila dia tidak mengembalikan anakku.”
“Kau bilang apa Yong-ji?” bentak Kwe Ceng dengan gusar sambil menggebrak meja, seketika ujung meja sempal sebagian, Bayi yang tadinya sedang menangis itu lantas berhenti oleh karena bentakan dan suara gebrakan itu.
Saat itu juga Yo Ko melihat di jendela sebelah sana ada berkelebatnya bayangan orang, sambil munduk2 orang itu terus menyingkir pergi. Yo Ko menjadi ingin tahu siapakah orang Kwe Hu.
Dengan Ginkangnya yang tinggi ia coha menguntit dilihatnya perawakan orang itu tinggi ramping, jelas Kwe Hu adanya, seketika hati Yo Ko terbakar, ia pikir kebetulan sekali, memang kau yang ingin kucari.
 Tapi pada saat itu juga cahaya lampu di kamar Oey Yong telah dipadamkan dan terdengar suaranya: “Kau keluar saja, membikin kaget anak ini saja.”
Yo Ko tahu Kwe Ceng akan segera keluar dan sukar mengelabuhi mata sang paman, maka cepat ia melompat kesana dan sembunyi di balik gunung-gunungan, lalu berputar menuju ke luar kamar Kwe Hu. ia melompat ke atas pohon besar yang terletak di luar kamar dan sembunyi di balik daun pohon yang lebat.
Sejenak kemudian terlihat Kwe Hu kembali di kamarnya pelayan pribadinya telah membenahi bantal dan selimutnya, tapi tak berani banyak bicara melihat si nona cemberut saja, ia hanya menyilakan si nona tidur, lalu keluar kamar sambil merapatkan pintu.
Dari atas pohon Yo Ko dapat melihat keadaan kamar dengan jelas melalui jendela yang masih terbuka itu.
Dilihatnya Kwe Hu sedang menghela napas panjang dan berduduk dengan bertopang dagu.
Yo Ko pikir “Apa yang kau sedihkan? Kau membikin buntung lenganku, akupun balas membuntungi sebelah lenganmu. Cuma seorang lelaki tidak pantas berkelahi dengan seorang perempuan, kalau sekarang kuhendak membereskan kau adalah terlalu mudah bagiku, namun cara ini bukanlah perbuatan seorang jantan sejati. Rasanya aku harus berteriak-teriak lebih dulu agar paman Kwe memburu ke sini, dia adalah tokoh silat pujaan masa kini, biar kukalahkan dia dahulu baru nanti kubereskan anak perempuannya, dengan perbuatanku yang terangan ini tentu takkan ditertawakan orang.
 Akan tetapi ilmu silat paman Kwe teramat tinggi, apakah aku dapat mengalahkan dia? Ah, mungkin tidak dapat. Lalu bagaimana, aku harus menuntut balas atau tidak?”
BegituIah ia menjadi ragu-ragu, tapi demi teringat pada lengannya yang sudah buntung itu, seketika darahnya bergolak lagi dan segera ia nekat hendak melompat ke dalam kamar Kwe Hu. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara tindakan orang sedang mendatang, ternyata bukan lain daripada Kwe Ceng.
Setiba di luar kamar anak perempuannya, Kwe Ceng mengetok pelahan pintu kamar dan me-manggih “Anak Hu, apa kau sudah tidur?”
Kwe Hu berbangkit dan menjawab: “Kau kah, ayah?” suaranya terdengar rada gemetar.
Yo Ko terkesiap juga, ia pikir jangan-jangan paman Kwe sengaja datang ke kamar si nona untuk melindunginya karena mengetahui kedatanganku ini? Baik, biar kulabrak kau lebih duIu! Demikian tekad anak muda itu.
Daiam pada itu Kwe Hu telah membuka pintu kamarnya, ia memandang sekejap pada sang ayah, lalu menunduk. Kwe Cing melangkah ke dalam kamar dan menutup pintu, lalu duduk di kursi di depan tempat tidur dan terdiam untuk sekian lamanya.
Setelah ayah-anak itu sama-sama bungkam agak lama, akhirnya Kwe Ceng membuka suara: “Selama beberapa hari ini kemana saja kau?”
Kwe Hu melirik sang ayah sekejap, lalu menjawab dengan tergagap: “Setelah ….. setelah melukai Nyo-toako, anak takut… takut didamprat ayah, maka… maka…”
“Maka kau bersembunyi begitu?” sambung Kwe Ceng, Sambil menggigit bibirnya, terpaksa Kwe-Hu mengangguk “Jadi maksudmu menunggu setelah kegusaranku mereda barulah kau pulang?”
Kembali Kwe Hu manggut-manggut, mendadak ia menubruk ke pangkuan sang ayah dan berseru dengan ter- guguk: “Apakah engkau masih marah pada anak, ayah?”
Dengan penuh rasa kasih sayang Kwe Ceng membelai rambut anak gadisnya, katanya dengan pelahan: “Tidak, aku tidak marah, selamanya aku tak pernah marah, aku Cuma sedih bagimu.”
“O, ayah!” teriak Kwe Hu sambil mendekap sang ayah dan menangis tersendat sendat.
Kwe Ceng menengadah memandangi langit-langit kamar tanpa bicara lagi. Agak lama setelah tangis Kwe Hu mereda barulah dia berkata pula: “Kakek Yo Ko, namanya Nyo Thi-sim, dengan kakekmu Kwe Siau-thian, keduanya adalah saudara angkat. Ayahnya dan ayahmu ini juga mengikat sebagai saudara, semuanya ini kan sudah kau ketahui.”
Kwe Hu mengiakan. Maka Kwe Ceng lantas melanjutkan: “Meski tingkah laku Yo Ko itu ter-kadang suka dugal tapi pembawaannya berbudi luhur, beberapa kali dia pernah menyelamatkan jiwa ayah-bundamu, usianya masih muda, tapi jasanya cukup besar bagi negara dan bangsa, hal inipun kau mengetahui,”
Karena nada ucapan sang ayah semakin bengis Kwe Hu tidak berani menanggapi.
Tiba-tiba Kwe Ceng berbangkit dan berkata pula: “Selain itu ada lagi suatu hal yang tidak diketahui olehmu, biarlah sekarang kuceritakan padamu. Bahwa ayah Ko-ji, yaitu Yo Khong, dahulu perbuatannya memang sangat tercela, sebagai kakak angkatnya aku tak dapat menasehati dia dan menuntunnya ke jalan yang benar, akhirnya dia tewas secara mengerikan di biara Thi-jio-bio di kota Kahin, Walaupun kematian paman Yo itu bukan dilakukan oleh ibumu, tapi matinya disebabkan oleh ibumu, jadi sebenarnya keluarga Kwe kita utang cukup banyak kepada keluarga Yo.”
Untuk pertama kalinya sekarang Yo Ko mendengar tentang sebab musabab serta tempat kematian ayahnya itu, seketika dendam kesumat yang terpendam dalam lubuk hatinya itu berkobar kembali.
Dalam pada itu terdengar Kwe Ceng sedang berkata: “Sebenarnya ada maksudku hendak menjodohkan kau pada Ko-ji sekadar mengurangi penyesalanku dalam hidupku ini, siapa tahu… siapa tahu… Ai!”
Mendadak Kwe Hu mendongak dan berkata: “Ayah, dia telah menggondol lari adik dan telah banyak mengucapkan kata-kata kotor yang merendahkan anakmu ini, Coba ayah, biarpun keluarga Nyo mereka mempunyai hubungan erat dengan keluarga Kwe kita, apakah anak boleh dihina dan dicerca begitu saja olehnya dan tidak boleh membantah dan melawannya?”
Sekonyong-konyong Kwe Ceng membentak: “Sudah jelas kau telah mengutungi lengannya, cara bagaimana dia dapat menghina dan mencerca kau? Dan di mana pedang itu?”
Kwe Hu tidak berani berbantah lagi, ia mengeluarkan Ci-wi-kiam itu dari bawah kasur. Setelah memegang pedang itu, Kwe Ceng menggetarnya pe-lahan, seketika terdengar suara mendengung Lalu katanya dengan pedih: “Anak Hu, manusia hidup harus bisa mawas diri, setiap tindak-tandak harus dilakukan dengan jujur tanpa merugikan siapapun juga. Biasanya meski ayah sangat bengis padamu, tapi sayangku padamu tidak kurang daripada ibumu.”
Sampai dengan kalimat2 terakhir ini suaranya berubah menjadi halus dan lunak.
Maka dengan suara pelahan Kwe Hu menanggapi “Ya, anak juga tahu.”
“Baiklah, sekarang ulurkan lengan kananmu,” kata Kwe Cing tiba-tiba. “Kau telah memotong sebelah lengan orang, akupun memotong sebelah lenganmu. Selama hidup ayahmu jujur dan adil, biarpun puteriku sendiri kalau berbuat salah juga takkan kubela.”
Sebelumnya Kwe Hu juga menyadari dirinya pasti akan dihukum oleh sang ayah, tapi sama sekali tak menduga bahwa ayahnya tega menabas lengan-nya. Keruan ia ketakutan hingga muka pucat seperti mayat dan berteriak: “Ayah!” Yo Ko juga tidak menduga bahwa Kwe Ceng sedemikian tinggi luhur budinya, iapun berdebar menyaksikan adegan luar biasa itu, Terlihat wajah Kwe Ceng yang kereng itu menatap puterinya dengan tajam, mendadak pedangnya bergerak terus menabas.
Akan tetapi dengan cepat luar biasa mendadak seorang melompat masuk kamar melalui jendela, belum tiba segera pentungnya menangkis pedang Kwe Ceng, siapa lagi dia kalau bukan Oey Yong.
Tanpa bicara Oey Yong menyerang tiga kali, semuanya tipu serangan lihay dari Pak-kau-pang-hoat, karena ilmu permainan pentung itu memang sangat hebat, pula Kwe Ceng tidak berjaga-jaga, mau-tak-mau ia terdesak mundur dua-tiga tindak oleh sang isteri.
“Lekas lari, anak Hu!” satu Oey Yong.
Namun Kwe Hu tidak secerdik sang ibu, menghadapi peristiwa luar biasa ini, ia menjadi melenggong dan berdiri mematung.
Dengan tangan kiri membopong bayi dan tangan kanan memutar pentungnya, segera Oey Yong gunakan pentungnya untuk menolak tubuh Kwe Hu sehingga terjungkal keluar jendela, “Lekas kembali ke Tho-hoa-to dan mohon Kwakongkong (maksudnya Kwa Tin-ok) ke sini untuk mintakan ampun pada ayahmu!” seru Oey Yong sambil memutar kembali pentungnya untuk mengalangi Kwe Ceng, lalu ia berseru pula: “Lekas pergi, kuda merah tertambat di depan!”
Rupanya Oey Yong cukup kenal watak sang suami yang polos dan jujur itu, bahkan terkadang juga kepala batu, tapi juga sangat mementingkan setia kawan dan menghormati orang tua.
 Sekali ini anak perempuannya telah berbuat salah besar, tentu tak terhindar dari hukuman berat, maka sebelumnya ia telah suruh orang menyiapkan kuda merah itu di luar pintu lengkap dengan pelana terpasang serta perbekalan seperlunya, ia pikir kalau berhasil meredakan amarah suaminya, kalau perlu biar Kwe Hu diomeli dan dipukul sekadarnya dan bereskan persoalannya, kalau tidak terpaksa Kwe Hu disuruh lekas lari ke tempat yang jauh, kelak kalau amarah sang suami sudah mulai kendur barulah puterinya itu akan disuruh pulang.
Tadi sehabis ribut mulut di kamar dan Kwe Ceng terus menuju kamar anak perempuannya, segera Oey Yong merasakan gelagat kurang enak, cepat ia menyusul ke sana dan dapatlah menyelamatkan lengan puterinya ttu.
sebenarnya kepandaian Oey Yong sekali-sekali bukan tandingan Kwe Ceng, tapi biasanya Kwe Ceng rada segan pada isterinya, pula melihat Oey Yong memondong bayi, betapapun tidak tega menggunakan pukulan berat untuk menghalau sang isteri, karena sedikit ragu dan teralang itulah Kwe Hu sempat kabur keluar rumah.
Sudah tentu semua kejadian itu dapat disaksikan oleh Yo Ko di tempat sernbunyinya, ketika Kwe Hu terlempar keluar jendela, kalau dia terus melompat turun dan menyerangnya, terang Kwe Hu sudah binasa sejak tadi. Tapi mengingat sekeluarga itu sedang kalang kabut dan pokok pangkalnya adalah disebabkan diriku, kalau kubinasakan dia selagi orang dalam kesusahan, betapapun rasanya tidak enak dan tidak tega.
Dalam pada itu Oey Yong masih terus memutar pentungnya dan mendesak mundur Kwe Ceng pula, kini Kwe Ceng sudah kepepet di tepi ranjang dan takdapat mundur lagu Mendadak Oey Yong berteriak “Terima ini!” Berbareng bayi dalam pondongannya terus dilemparkan kepada sang suami.
Dengan melengak Kwe Ceng menangkap bayi itu, Oey Yong lantas mendekatinya dan membujuk dengan suara halus: “Kakak Cing, harap kau mengampuni anak Hu.”
Namun Kwe Ceng menggeleng, jawabnya: “Yong ji, masakah aku sendiri tidak sayang pada puterinya sendiri? Tapi dia telah berbuat kesalahan sebesar itu, kalau tidak diberi hukuman setimpal, betapapun hati kita takkan tenteram, pula cara bagaimana kita akan menghadapi Ko-ji? Ai, lengannya buntung sebelah, tiada orang yang merawatnya pula, entah bagaimana keadaannya sekarang?”
Mendengar ucapan yang penuh perasaan itu, Yo Ko tahu sang paman senantiasa memikirkan dirinya, tanpa terasa ia menjadi terharu dan hampir meneteskan air mata.
“Sudah sekian hari kita mencarinya dan tak menemukan jejaknya, kalau terjadi sesuatu tentu kita sudah menemukan bekas-bekasnya.” kata Oey Yong.
“Apalagi kepandaian Ko-ji sudah tidak dibawah kita, meski terluka parah juga takkan beralangan.”
“Baiklah, akan kupanggil kembali anak Hu.” kata Kwe Ceng.
“Saat ini dia sudan keluar kota dengan kuda merah, mana dapat menyusulnya lagi?” kata Oey Yong dengan tertawa.
“Saat ini baru lewat tengah malam, tanpa Lengpay (tanda perintah) dariku atau Lu-tayjin, tidak mungkin dia dapat keluar kota,” kata Kwe Ceng pula.
“Baiklah, terserah kau,” jawab Oey Yong sambil menghela napas, lalu ia mendekati sang suami untuk menerima bayinya. Tanpa sangsi Kwe Ceng mengangsurkan bayi itu, di luar dugaannya, baru saja kedua tangan Oey Yong menyentuh gurita si bayi, sekonyong-konyong tangannya terus menyelonong ke iga Kwe Ceng, dengan ilmu Tiam-hiat yang khas ajaran Oey Yok-su yang terkenal dengan nama “Lau-hoa-hut-hiat-jiu” mendadak ia tutuk kedua Hiat-to penting di bagian iga sang suami.
Dengan kepandaian Kwe Ceng yang maha sakti sekarang ini, kalau Oey Yong tidak main licik, betapapun sukar hendak menutuk suaminya itu. Rupanya ketika dia melemparkan Kwe Boloh kepada suaminya memang sudah diatur rencananya ini, Menghadapi isterinya yang cerdik pandai ini Kwe Ceng benar-benar mati kutu, seketika dia kaku pegal dan menggeletak di atas ranjang tanpa bisa berkutik.
Sambil membopong bayinya Oey Yong terus membukakan sepatu dan baju luar sang suami dan dibaringkan di tempat tidur serta diberi bantal pula agar dapat tidur dengan baik, lalu dari baju Kwe Ceng diambilnya Lengpay.
Sudah tentu Kwe Ceng menyaksikan ini tapi tak berdaya, Kemudian Oey Yong merebahkan bayinya pula di samping sang suami agar ayah dan anak itu tidur bersama, lalu mereka diselimuti pula dan berkata: “Kakak Cing, maaf, nanti kalau anak Hu sudah kuantar keluar kota, pulangnya akan kubuatkan beberapa macam daharan lezat untuk minta maaf padamu.”
Kwe Ceng hanya menyeringai saja tanpa bisa menjawab, isterinya yang sudah setengah umur ini ternyata masih nakal seperti dahulu. Terlihat Oey Yong melangkah pergi dengan tersenyum. Dalam keadaan tertutuk begitu, andaikan menggunakan tenaga dalam sendiri untuk membobol Hiat-to yang tertutuk itu paling cepat diperlukan satu jam baru jadi, jelas betapapun sukar lagi menyusul puterinya, persoalan ini benar-benar membuatnya serba runyam.
Oey Yong sayang pada anak, ia kuatir Kwe Hu seorang diri pergi ke Tho-toa-to mungkin akan mengalami kesulitan ditengah jalan, maka cepat ia kembali ke kamarnya untuk mengambil kaos kutang pusaka yang biasa dipakainya segera ia memburu ke pintu gerbang selatan, setiba di sana,
tertampak Kwe Hu sedang ribut dengan perwira penjaga yang tidak mau membukakan pintu.
Perwira itu bicara dengan hormat dan berusaha menjelaskan bahwa tanpa idzin khusus dari Lu-ciangkun dan Kwe-tayhiap, malam-malam membuka pintu gerbang pasti akan dihukum penggal kepala, sebab itulah perwira itu menyatakan keberatan untuk mengeluarkan si nona.
Oey Yong kenal kecerobohan puterinya itu yang juga kurang pengalaman itu, menghadapi kesukaran bukannya mencari akal, tapi malahan mengumbar kemarahan dan berteriak-teriak yang tiada gunanya. Cepat ia mendekati mereka dan memperlihatkan Lengpay yang diambilnya dari baju sang suami tadi.
Melihat Lengpay itu memang aslinya, pula dibawa sendiri oleh Kwe-hujin, terpaksa perwira penjaga itu minta maaf dan membukakan pintu, bahkan ia meminjamkan kudanya kepada nyonya Kwe itu.
 Oey Yong merasa kebetulan dengan kuda pinjaman itu, Kwe Hu juga sangat girang melihat kedatangan sang ibu, segera keduanya melarikan kuda mereka keluar kota.
Karena merasa berat untuk berpisah dengan puterinya, Oey Yong terus mengantar hingga cukup jauh dari kota, karena habis perang, beberapa ratus li di utara kota Siangyang boleh dikatakan tandas tanpa penduduk, sebaliknya di bagian selatan Siang-yang belum mengalami keganasan pasukan Mongol, walaupun suasana juga kurang aman, tapi penghidupan rakyat tetap berlangsung seperti biasa.
Kira-kira sudah lebih 20 li, pagipun tiba, ibu dan anak itu sampai di suatu kota kecil, beberapa toko sudah membuka dasar menanti tamu, Oey Yong lantas mengajak puterinya masuk sebuah rumah makan untuk sarapan dan habis itupun mereka terus berpisah.
Dengan mengembeng air mata Kwe Hu menuruti ajakan sang ibu. Dalam hati ia sangat menyesalkan perbuatan sendiri yang telah mengutungi lengan Yo Ko sehingga mengakibatkan kemarahan ayahnya dan terpaksa harus berpisah dengan ibunda pula kembali ke Tho-hoa-to, di sana hanya akan ditemani seorang kakek buta saja, yaitu Kwe kongkong, ia membayangkan dirinya pasti tidak betah hidup di pulau terpencil itu.
Begitulah kedua orang lantas pesan sarapan di rumah makan itu, Oey Yong lantas menyerahkan kaos pusaka yang
kebal senjata itu kepada Kwe Hu dengan pesan supaya dipakai untuk menjaga segala kemungkinan, banyak pula dia memberi nasihat agar ini dan itu bila di tengah jalan mengalami kesulitan.
Kasih sayang seorang ibu sedemikian besarnya, ketika sekilas melihat tidak jauh dari rumah makan itu ada sebuah toko makanan dan menjual buah2an, timbul hasrat Oey Yong untuk memberi bekal beberapa buah apel pada puterinya untuk dimakan dalam perjalanan. Maka iapun berkata: “Anak Hu, hendak-lah kau makan sekenyangnya agar nanti tidak kelaparan, suasana kacau begini, bisa jadi di depan sukar ditemukan rumah makan lagi. Aku pergi sebentar ke sana untuk membeli sedikit buah.” - Habis ini ia lantas menuju ke toko buah2an.
Sesudah memilih belasan buah apel yang merah besar, baru saja mau membayar, tiba-tiba di belakang ada suara seorang perempuan sedang berkata: “Berikan 20 kati beras, satu kati garam, masukkan pada karung ini.”
Oey Yong merasa tertarik oleh suara yang nyaring itu, ia coba meliriknya, kiranya seorang Tokoh berbaju kuning sedang membeli rangsum di toko beras sebelah, Pada tangan kiri Tokoh itu memondong seorang bayi perempuan, tangan kanan sedang mengeluarkan uang. Popok yang dikenakan bayi itu terbuat dari sutera merah dan tersulam seekor kuda, jelas itulah buah tangan Oey Yong sendiri.
Seketika hati Oey Yong tergetar hebat sehingga buah apel yang di pegangnya jatuh kembali ke keranjang penjualnya.
Siapa lagi bayi itu kalau bukan Kwe Yang, puteri kandung yang baru beberapa hari dilahirkannya itu.
Dari samping dapat dilihatnya pula Tokoh itu ternyata adalah Jik-lian-siancu Li Bok-chiu.
Oey Yong sendiri belum pernah bertemu dan bertempur dengan iblis perempuan ini, tapi melihat pinggangnya terselip sebuah kebut, matanya buta sebelah serta dandanannya, segera ia yakin pasti Li Bok-chiu adanya.
Sejak melahirkan Kwe Yang, dalam keadaan kacau dan gugup ia cuma pernah memandang beberapa kejap kepada bayi itu. sekarang ia coba mengamat-amati puterinya itu, ternyata mata alisnya sangat indah, dan mukanya molek, meski orok yang baru berumur beberapa hari, namun jelas adalah calon perempuan cantik kelak.
Dilihatnya pula air muka bayi itu ke-merah2an dan tampaknya sangat sehat, padahal adiknya, si Kwe Bo-loh, yang disusuinya sendiri juga tidak sesehat dan semontok ini.
Begitulah karena kejut dan girangnya, hampir saja Oey Yong meneteskan air mata, Si penjual buah sampai melongo heran melihat Oey Yong berdiri kesima dan tidak jadi membawa apel yang dibelinya itu.
Sementara itu Li Bok-chiu sudah selesai membayar dan mengangkat karungnya terus bertindak pergi, Tanpa pikir Oey Yong lantas menguntit ke sana. Karena keadaan, sudah mendesak, ia tidak sempat kembali ke rumah makan untuk memberitahukan Kwe Hu, Yang dia kuatirkan hanya Kwe Yang saja, ia pikir orok itu berada di tangan iblis keji itu, kalau merebutnya kembali dengan kekerasan, bisa jadi akan membikin celaka bayi itu.
Karena itu ia tidak segera bertindak melainkan terus mengintil di belakang Li Bokchiu.
Rada cemas juga Oey Yong melihat Li Bok-chiu terus keluar kota dan menuju ke arah barat, pikirnya: “lblis ini adalah Supek Yo Ko, walaupun kabarnya mereka tidak akur satu sama lain, tapi anak Hu telah mengutungi lengan Yo Ko, Kobong-pay mereka telah mengikat permusuhan dengan keluarga Kwe, jika Ko-ji dan nona Liong sedang menunggu iblis ini di depan sana, itu berarti aku harus melawan mereka bertiga dan rasanya sukar untuk mengalahkan mereka, jalan paling baik adalah selekasnya aku harus bertindak.”
Dalam pada itu Li Bok-chiu telah membelok ke selatan dan masuk ke sebuah hutan, cepat Oey Yong mengeluarkan Ginkangnya dan secepat terbang mengitar ke samping hutan sana agar mendahului di depan Li Bok-chiu, di situ mendadak ia melompat keluar dan menghadangnya.
Ketika mendadak di depannya muncul seorang nyonya muda cantik, rada terkejut juga Li Bok chiu, akan tetapi segera ia dapat menenangkan diri.
“Aha, yang kuhadapi sekarang tentulah Jik lian-siancu Li-totiang, selamat bertemu!” sapa Oey Yong dengan tertawa.
Dari gaya lompatan Oey Yong tadi, Li Bok-chiu yakin orang pasti bukan tokoh sembarangan pula melihat orang bertangan kosong sebuah pentung bambu hijau terselip di tali pinggangnya, seketika tergerak-pikirannya, dengan tersenyum ia lantas menaruh karungnya dan memberi hormat sambil berkata. “Sudah lama siaumoay (adik) mengagumi nama kebesaran Kwe-hujin dan baru sekarang dapat berjumpa, sungguh beruntung dan menggembirakan.”
Di dunia persilatan kini, tokoh wanita terkemuka hanya Oey Yong dan Li Bok-chiu berdua saja yang paling termashur.
Meski ilmu silat Siao-liong-li juga lihay, tapi usianya masih muda, namanya belum begitu terkenal, sedangkan Oey Yong adalah puteri kesayangan Tang-sia (si latah dari timur) Oey Yok-su serta isteri tercinta Kwe Ceng, jabatannya juga tinggi, yaitu ketua Kay-pang, organisasi kaum jembel yang paling berpengaruh.
Sedangkan Li Bok-chiu terkenal dengan kebut mautnya, jarum berbisa serta pukulan “panca-bisa” yang tidak kenal ampun.
Kini keduanya kepergok bersama, hati kedua-nya sama-sama terkejut dan heran bahwa pihak lawan ternyata sedemikian cantik. Karena itu dalam hati masing-masing sama was-was dan tidak berani meremehkan pihak lawan.
Maka dengan tertawa Oey Yong lantas berkata pula: “Ah, Li-totiang terhitung kaum Cian-pwe, mengapa bicara secara begitu sungkan?”
“Kwe-hujin sendiri adalah ketua Kay-pang, tokoh dunia persilatan terkemuka, selama ini siaumoay sangat kagum dan hormat” jawab Li Bok chiu.
Begitulah setelah kedua orang sama-sama bicara dengan rendah hati, kemudian Oey Yong menuju sasarannya:.”Wah, bayi dalam pondongan Li-totiang ini sungguh sangat menyenangkan. Putera siapakah ini?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar