Kubilai Khan |
Kembalinya Pendekar Rajawali 66
Terjang dulu ke selatan, lalu membalik
terjang ke utara secara tak terduga”, dengan demikian kepungan musuh pasti akan
dapat dibobolkan. “Wah, cara bagaimana harus kugagalkan rencananya ini?”
demikian pikir Yo Ko
Baru saja timbul pikiran Yo Ko ini, tiba-tiba
dari kemah Kubilai sudah melayang keluar beberapa orang dalam sekejap saja
orang-orang itu sudah mengadang di depan Kwe Ceng,
menyusul terdengar suara meraung di udara, sebuah
roda tembaga dan sebuah roda besi menyamber berbareng ke arah kuda Kwe Ceng dan
Yo Ko.
Nyata Kim-lun Hoat-ong sudah ikut turun
tangan untuk merintangi lolosnya mereka.
Melihat samberan kedua roda itu sangat keras,
Kwe Ceng tak berani menangkapnya dengan tangan, ia menunduk ke bawah, kedua
tangannya menekan sekuatnya pada leher kedua kuda mereka. seketika kaki depan
kuda-kuda itu bertekuk lutut dan sepasang roda musuh pun menyamber lewat di
atas kepala kuda.
Roda2 itu berputar satu kail di udara, lalu
terbang kembali ke tangan Hoat-ong, Karena rintangan itu pula, tahu-tahu Nimo
Singh dan In Kik-si sudah menyusul tiba, habis itu Kim-lun Hoat-ong dan
Siau-siang-cu juga memburu datang.
Mereka berempat terus mengelilingi Kwe Ceng
dan Yo Ko.
Sebagai tokoh kelas satu di dunia Kangow,
Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain-lain sama sekali tidak sudi merosotkan
derajat mereka dengan cara main kerubut. Akan tetapi lantaran Kanghu Kwe Ceng
terlalu lihay, pula setiap orang mereka ingin sekali mendapatkan gelar “jago
nomor satu Mongol”, dengan sendirinya mereka saling berlomba mendahului.
Segera kelihatan sinar senjata gemerlapan
menyilaukan mata, kecmpat orang sudah menyiapkan senjata masing-masing.
Kini yang dipegang Kim-lun Hoat-ong adalah
senjata roda emas, In Kik-si bersenjata Kim-pian (ruyung emas) bertaburkan
mutiara dan batu permata. Siau-siang-cu memegang sebatang pentung, pendekar
pentung yang biasa dibawa anggota keluarga yang kematian orang tua. Adapun
senjata Nimo Singh paling aneh, senjatanya melilit pada lengannya dan dapat
mulur mengkeret, tampaknya seperti ular hidup, Kwe Ceng menyadari kalau keempat
lawan ini tidak dibereskan tentu sukar dirinya untuk lolos. Kedudukan kedua
pihak adalah 2 lawan 4, untuk menang jelas sulit, tapi asalkan dapat merobohkan
salah seorang musuh, untuk lolos rasanya tidak susah, ia coba mengamat-amati
gerakan keempat lawan dan cara memegang senjata, tampaknya diantara empat
lawan itu In Kik-si adalah paling lemah.
Secara mendadak Kwe Ceng terus menghantam sekaligus dengan kedua tangan menuju
muka Siausiang-cu..
Tanpa mengelak Siau-siang-cu malah menegakkan
pentungnya dan menutuk telapak tangan Kwe Ceng, Sudah tentu Kwe Ceng tak berani
meremehkan musuh ini, ia tahu semakin sepele senjata yang digunakan, semakin
tinggi pula ilmu silat orang itu.
Maka ia tidak berani menyambut pentung orang,
cepat ia membaitki tangannya ke sana, dengan gerakan “Sinliong-pah-bwe”,(naga
sakti menggoyang ekor), dengan tepat senjata ruyung In Kik-si kena
dicengkeramnya. caranya membaliki tangan untuk rebut senjata musuh sungguh
cepat dan gesit luar biasa.
Segera ln Kik-si bermaksud menyendal
ruyungnya untuk menggempur musuh, namun sudah terlambat, ujung ruyung sudah
terpegang Kwe Ceng.
Tapi pengalaman In Kik-si sangat luar, hampir
ilmu silat dari aliran manapun diketahuinya, meski tidak semuanya dilatihnya
dengan baik, namun kepandaiannya memang banyak ragamnya, begitu terasa
senjatanya terpegang musuh, segera ia ikuti gaya tarikan Kwe Ceng terus
menubruk maju malah, berbareng itu tangan lain telah bertambah dengan sebatang
belati.
“Bagus!” seru Kwe Ceng, kedua tangannya
digunakan sekaligus, tangan kanan tetap memegangi ujung ruyung lawan, tangan
kiri berusaha merebut belati. Dalam keadaan tangan kanan merebut senjata kanan
dan tangan kiri merebut senjata kiri lawan jadi kedua tangan Kwe Ceng telah
berada dalam keadaan bersilang.
Tadinya In Kik-si mengira dengan tikaman
belatinya pasti dapat memaksa musuh melepaskan ruyungnya, siapa tahu bukannya
Kwe Ceng menghindar, sebaliknya belati itupun hendak dirampasnya, jadi bukan
saja ruyung takdapat dipertahankan bahkan belati juga akan terlepas.
Pada saat bahaya itulah tiba-tiba roda emas
Hoatong dan pentung Siau-siang-cu juga menyerang tiba berbareng. Diam-diam Kwe
Ceng kagum terhadap kelihayan lawan karena tak berhasil membetot lepas ruyung
musuh.
Mendadak ia menggertak dan mengerahkan tenaga
dalam sekuatnya melalui ruyung itu, seketika In Kik-si merasa dadanya seperti
dipalu, mata berkunang2 dan darah segar lantas tersembur dari mulutnya.
Pada saat itu pula Kwe Ceng lantas melepaskan
pegangannya pada ruyung dan membaliki tangannya untuk melayani serangan roda
emas serta pentung.
In Kik-si tahu lukanya tidak ringan, pelahan
ia meninggalkan kalangan pertempuran dan duduk bersila ditepi sana untuk
menahan muntah lebih lanjut.
Melihat In Kik-si dilukai oleh Kwe Ceng,
Hoat-ong dan Siau-siang-cu disamping senang ju-Ift merasa keder. Mereka senang
karena berkurang dengan seorang saingan yang ikut berebut “jago nomor satu
Mongol”, tapi melihat betapa lihaynya Kwe Ceng, mereka juga keder dan kuatir
kalau merekapun terjungkal di tangan lawan itu.
Begitulah ketiga orang sama-sama tidak berani
sembarangan bertindak, mereka sama berjaga dengan rapat.
Disamping melayani kedua lawan, diam-diam Kwe
Ceng menyelami kedua macam senjata aneh yang dipegang Siau-siang-cu dan Nimo
Singh itu, pantang pendek yang dibawa Siau-siang-cu itu terbuat dari baja,
kecuali keras dan berat seketika sukar diketahui keanehan yang Iain, sedangkan
senjata bentuk ular milik Nimo Singh itu menyerang dengan jurus yang aneh
sekali.
Senjata itu berbentuk ular berbisa yang
berkepala segitiga, badan ular dapat melingkar dengan lemas, kepala dan ekor
ular tampak runcing dan sangat tajam, yang lihay adalah sukar diduga bilamana
badan ular itu akan melingkar dan kearah mana kepala atau ekor ular itu akan
menyerang.
Tapi di tangan Nimo Singn senjata ular itu
berterbangan naik turun dan berputar-putar dengan aneka macam perubahan yang
hebat
Dahulu Kwe Ceng pernah bertempur melawan
tongkat ular milik Auyang Hong ular aneh yang melilit pada tongkatnya itu
adalah ular tulen dan berbisa luar biasa. Tapi senjata ular-ularan Nimo Singh
sekarang meski juga aneh, namun Cuma bentuknya saja seperti ular, tapi
sebenarnya benda mati, betapapun pasti ada titik kelemahannya. Sebab itulah Kwe
Cing lebih jeri terhadap serangan roda Kim-lun Hoatong daripada Nimo Singh.
Setelah berlangsung belasan gebrakan,
sekonyong-konyong terdengar suara raungan seorang, kelihatan seorang tinggi
besar menerjang tiba, siapa lagi dia kalau bukan Be Kong-co. senjata Be Kong-co
adalah sebatang toya yang panjang lagi besar, tanpa bicara ia terus mengemplang
kepala Kwe Ceng dari belakang Nimo Singh.
Padahal waktu itu empat tokoh itu sedang
bertempur dengan sengitnya dan sama-sama berjaga dengan sangat rapat,
hakikatnya tiada peluang sedikitpun bagi orang lain.
Tenaga pukulan dan samberan senjata mereka
sudah berbentuk menjadi satu jaringan kekuatan yang maha dahsyat.
Maka kemplangan toya Be Kong-co itu kontan
terbentur oleh jaringan tenaga yang dibentuk empat orang yang sedang saling
gempur lagi.
meski tanpa mengeluarkan suara, namun toya
itu mendadak terpental balik, kalau saja Be Kong-6a tidak memiliki tenaga
sakti, tentu toya itu sudah mencelat terlepas dari tangannya atau bisa jadi
toya itu akan mengemplang kepalanya sendiri hingga pecah berantakan.
Tapi begitu merasa gelagat jelek. Be Kong-co
terus berteriak keras dan mengerahkan kekuatannya untuk menahan toyanya
sehingga tidak sampai merugikan diri sendiri, walaupun begitu juga tangannya
terasa kesemutan dan lecet berdarah.
“Aneh, aneh.!” ia berseru, dan mengerahkan
tenaga pula, sekuatnya ia mengemplang lagi.
Ia, mengemplang Kwe Ceng dengan berdiri di
belakang Nimo Singh, yang berdiri di depannya sana adalah Kim-lun Hoat-ong,
diduganya kemplangan Be Kong-co ini pasti akan menimbulkan kekuatan lebih
besar, tapi ia cuma menyeringai saja dan tidak mencegahnya.
Yo Ko juga menyaksikan keadaan itu, ia tahu
kepandaian Be Kong-co terlalu jauh dibandingkan keempat tokoh itu, kalau ikut
bertempur akan bikin susah dirinya sendiri ia suka kepada orang dogol yang
barhati polos itu, pula beberapa kali Be Kong-co membelanya, maka ia tidak tega
menyaksikan sidogoI dicelakai Segera ia membentak: “Be Kong-co awas
seranganku!”
Berbareng pedangnya terus menusuk ke punggung
orang dogol itu.
Be Kong-co melengak bingung, katanya: “Adik
Yo, mengapa kau menyerang padaku?”
“Orang goblok, lekas kau enyah dari sini!”
damperat Yo Ko sambil melancarkan pula beberapa kali tusukan sehingga Be
Kong-co kelabakan berusaha mengelak dan terpaksa melompat mundur sehingga cukup
jauh dari kalangan pertempuran Kwe Ceng berempat.
Setelah mendesak lagi beberapa langkah,
kemudian Yo Ko membisiki Be Kong-co dengan suara tertahan: “Be-toako, jiwamu
sudah kuselamatkan, kau tahu tidak?”
“Apa katamu?” tanya Be Kong-co dengan
bingung.
“Ssst, jangan keras-keras, nanti didengar
mereka,” desis Yo Ko.
“Ada apa?” kembali Be Kong-co menegas dengan
mata terbelaIak. “Apa yang mesti kutakuti terhadap Hwesio gede piaraan biang
anjing itu?” - suaranyatetap keras, bahaya adalah bicara biasa,namun bagi orang
lain sudah serupa orang berteriak.
“Baiklah, kalau begitu kau jangan bicara
lagi, turut saja perkataanku,” kata Yo Ko.
Penurut juga Be Kong-co, ia mengangguk dan
tidak bersuara pula.
Yo Ko lantas berkata padanya: “Kwe Ceng bisa
ilmu sihir, begitu dia membaca mantera segera kepala lawan dapat dipenggalnya.
Maka lebih baik kau berdiri sejauhnya dari dia.
Mata Be Kong-co terbelalak lebar, setengah
percaya dan setengah tidak.
Karena ingin menolong jiwa si dogol, Nyo-Ko
tahu jalan paling baik adalah mengibulinya, kalau dikatakan ilmu silat Kwe Ceng
sangat hebat tentu dia tidak mau menyerah kalah, tapi kalau bilang Kwe Ceng
mahir ilmu sihir, besar kemungkinan si dogol mau percaya.
Karena itu, untuk lebih meyakinkan kepercayaan
Be Kong-co, Nyo-Ko berkata pula: “Tadi kau mengemplangnya dengan toyamu, toyamu
tidak membentur apa-apa terus terpental balik malah, kan aneh bukan? saudagar
Persi itu sangat tinggi ilmu silatnya, mengapa sekali gebrak juga dilukainya?”
Be Kong-co mau percaya ucapan Yo Ko ini, ia
manggut-manggut, lalu memandang Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan Lain-lain
deogan agak ragu.
Yo Ko tahu apa yang sedang dipikirkan
Be-Kong-co, segera ia menambahi pula. “Hwesio gede itu punya jimat dan telah
diberikan kepada mayat hidup serta setan cebol itu, mereka membawa jimat,
dengan sendirinya tidak gentar terhadap ilmu sihir lawannya. Apa Hwesio gede
itu tidak memberi jimatnya padamu?”
Dengan gemas Be Kong-co menjawab “Tidak!”
“Ya, bangsat gundul itu memang tidak dapat
diajak bersahabat, ia juga tidak memberi jimatnya padaku, biarlah nanti kita
bikin perhitungan dengan dia,” kata Yo Ko.
“Benar!” seru Be Kong-co, “Lantas bagaimana
sekarang?”
“Kita menonton saja, makin jauh makin baik,”
ujar Yo Ko.
“Kau memang orang baik, adik Nyo,” kata Be
Kong-co.
“Syukur kau mau memberitahukan padaku.”
Segera ia seret toyanya dan mundur lebih jauh
untuk mengikuti pertarungan Kwe Ceng berempat itu.
Sementara itu Kwe Ceng sedang mengeluarkan
ilmu silat yang terkenal: “Hang-liong-cap-pek-ciang” (delapan belas jurus
penakluk naga), meski tinggi juga ilmu silat Hoat-ong bertiga, tapi biasanya
mereka tinggal terpencil di daerah yang jarang bergaul dengan orang luar,
pengalaman dan pengetahuan mereka terbatas, dibandingkan In Kik-si jelas pengetahuan
mereka boleh dikatakan teramat dangkal.
Melihat ilmu pukulan yang dahsyat itu, mereka
bertiga sama sekali tidak kenal asal-usulnya, mereka hanya mengepung Kwe Ceng
di tengah, mereka pikir asalkan mereka mengepung sekuatnya, tentu lawan takkan
tahan lama mengerahkan tenaga pukulan sehebat itu.
Pendapat mereka memang masuk diakal, umumnya
angin badai tak pernah berlangsung sepanjang hari, hujan keras juga jarang
semalam suntuk, semakin keras tenaga yang dikeluarkan semakin sukar pula
berlangsung lama.
Tak tahunya selama 20-an tahun Kwe Ong giat
berlatih “Kiu-im-cin-keng?” itu kitab pusaka kunci saripati ilmu silat yang tak
terkatakan hebatnya, semula tenaga yang dikeluarkannya tidak begitu menonjol,
tapi setelah belasan jurus, tahu- tenaga pukulan Hang-liong-cap-pek-ciang bisa
ber-ubah kadang-kadang kuat, tiba-tiba menjadi enteng lagi, mendadak membadai,
tahu-tahu mereda lagi, dari maha kuat bisa berubah menjadi maha lunak, inilah
ilmu sakti yang belum sempat dipahami oleh mendiang Ang Chit-kong dahulu.
Nyata sedikitpun dia tidak terdesak oleh
ketiga lawannya yang amat tangguh itu, sebaliknya Kwe Ceng malah terus
menyerang, makin bertempur makin leluasa.
Sungguh kejut dan kagum Yo Ko tak terhingga,
Ketika dikuburan kuno dahulu pernah juga dia mempelajari “Kiu-im-cin-keng”,
cuma tiada petunjuk dari orang lain sehingga tidak diketahui kehebatan kitab
pusaka yang begini luar biasa, ia coba mengikuti ilmu pukulan Kwe Ceng itu dan
dicocokkan dengan kunci ilmu yang dipelajarinya dari Kiu-im-cin-keng itu, seketika
ia banyak mendapatkan teori baru yang sangat bermanfaat dan diingatnya dengan
baik-baik, seketika iapun lupa akan membunuh Kwe Ceng untuk menuntut balas
sakit hatinya.
Ilmu silat antara Kim - lun Hoat-ong dan Kwe
Ceng sebenarnya setingkat, meski Kwe Ceng lebih banyak mendapatkan penemuan
aneh, tapi usia Hoat-ong lebih tua 20-an tahun, itu berarti keuletannya lebih
tua 20 tahun pula, kalau satu lawan satu sedikitnya ribuan jurus baru dapat
menentukan menang kalah.
Hoat-ong dibantu Siau-siang-cu dan Nimo Singh,
sebenarnya tidak ada baginya mengalahkan lawannya, Cuma Hang
liong-cap-pek-ciang yang dimainkan Kwe Ceng itu teramat lihay, ditambah lagi
langkah Paktau-tin ajaran Coan-cin-kau yang digunakan Kwe Ceng itu sukar diraba
arahnya, seorang seakan-akan berubah menjadi tujuh orang, selain itu pertama
kali In Kik-si sudah dilukainya lebih dulu, hal ini telah membikin jeri lawan
pula, maka Hoat-ong bertiga menjadi tidak berani sembarangan menyerang, dengan
begitu Kwe Ceng dapat bertahan dengan satu lawan ketiga orang itu.
Setelah beberapa puluh jurus lagi,
lambat-laun roda emas Kim-lun Hoat-ong mulai memperlihatkan daya tekanannya,
ular besi Nimo Singh juga makin kencang menyerang, diam-diam Kwe Ceng mengeluh
kalau pertarungan berlangsung lebih lama dan tiba-tiba pihak lawan datang lagi
seorang pembantu, maka pasti dirinya tak sanggup bertahan lagi, sedangkan Yo Ko
yang menempur si gede itu entah bagaimana keadaannya.
Maklumlah, terpaksa ia harus memusatkan
perhatian untuk melayani lawannya sehingga tidak sempat mengikuti pertarungan
Nyo, Ko melawan Be Kong co di sebelah sana itu.
Tiba-tiba terdengar suara suitan aneh, kedua
kaki Siau-siang-cu kaku menegak dan meloncat ke atas, dari udara pentungnya
terus menutuk. Cepat Kwe Ceng mengegos kesamping, mendadak pandangannya terasa
gelap, dari ujung pentung orang tersembur keluar asap hidup, seketika hidungnya
mencium bau busuk amis, kepala menjadi rada pening Kwe Ceng mengeluh, ia tahu
pentung lawan itu tersimpan barang racun, cepat ia melangkah mundur.
Siau-siang-cu menjadi heran sekali, sudah
jelas Kwe Ceng telah mengendus racun yang disemburkan dari pentungnya, tapi
tidak jatuh kelengar dan bahkan seperti tidak berhalangan apa-apa, padahal
biarpun singa harimau atau binatang buas apapun juga akan jatuh pingsan jika tersembur
oleh racun yang disemburkannya itu.
Segera ia meloncat lagi ke atas, untuk kedua
kalinya ia menutuknya pula dengan pentungnya yang berbisa itu.
Dahulu waktu dia berlatih ilmu “mayat hidup”
di daerah pegunungan yang sunyi, kebetulan dilihatnya seekor katak kecil sedang
bertempur melawan seekor ular besar, katak pura itu menyemburkan hawa berbisa
dan merobohkan lawannya yang jauh lebih besar itu.
Dari situlah Siau-siang-cu mendapatkan ilham,
ia menangkap katak puru dan diambil lendir berbisanya untuk disembunyikan di
dalam pentungnya.
Pangkal pentung ini ada pesawat rahasianya,
sekali ditekan dengan jari akan segera menyemburkan asap berbisa, waktu
menyemburkan asap berbisa itu Siau-siang-cu sengaja meloncat ke atas supaya
daya guna racun itu tambah keras.
Biasanya asap berbisa itu tidak pernah
meleset
merobohkan musuh, siapa tahu tenaga dalam Kwe
Ceng sedemikian kuatnya dan sanggup bertahan.
Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh meski bukan
sasaran racun Siau-siang-cu itu, tapi merekapun ikut mengendus racun dan terasa
muak, cepat mereka melompat mundur, Siau-siang-cu sendiri sudah memakai obat
penawar sehingga tidak kuatir keracunan, ia angkat pentungnya dan menubruk maju
lagi.
Sebelum lawan menggunakan racun pula,
mendadak Kwe Ceng menyambutnya dengan pukulan dahsyat ke dengkul musuh.
Terpaksa Siau-siang-cu tarik kembali pentungnya untuk menangkis, walaupun
begitu tidak urung tubuhnya tergentak mundur beberapa langkah oleh tenaga
pukulan Kwe
Cing yang lihay itu.
Waktu Kwe Ceng berpaling ke sana, dilihatnya
senjata ular Nimo Singh sedang menyambar tiba.
di siang hati bolong jelas kelihatan ular
besi lawan itu dapat mulur mengkeret, tampaknya juga ada sesuatu yang aneh,
jika mendadak membidikkan senjata rahasia, seketika
sukar ditahan. Cepat Kwe Ceng mendahului
menghantam ke
dada musuh sebelum senjata ular lawan itu
mendekat.
Nimo Sing menyadari betapa hebat tenaga
pukulan Kwe
Cing, lekas-lekas ia tarik kembali senjata
ularnya, kedua
tangan memegangi kedua ujung senjata dan
berusaha menangkis pukulan lawan. Akan tetapi cara Kwe Ceng menggunakan tenaga
pukulannya ternyata lain daripada yang lain, bagian tengah tidak membawa
tenaga, sebaliknya tenaga pakaiannya memencar ke sekeliling titik sasaran jadi
tangkisan Nimo Singh lantas terasa hampa, sebaliknya perut dan muka segera
merasakan samberan tenaga pukulan yang dahsyat.
Untung gerak-gerik Nimo Singh juga cepat dan
gesit, pula tubuhnya pendek kecil, lekas ia menjatuhkan diri, disertai dengan
beberapa kali jumpalitan laksana boIa saja ia menggelinding ke sana sehingga
luput dari hantaman Kwe Cing itu.
Melihat ada kesempatan baik, cepat Kwe Ceng
melompat pergi saja - Tanpa ayal ia melangkah ketempat peluang yang di
tinggalkan Nimo Sing tadi.
Kim-lun Hoat-ong terkejut melihat musuhnya
loIos dari kepungan, cepat ia menubruk maju.
Sementara itu Kwe Ceng telah dicegat oleh
barisan pasukan Mongol, belasan tumbak telah di tusukkan kearahnya, Mendadak
Kwe Ceng angkat kedua tangannya, beberapa tombak disampuk pergi, sekali
tangannya membalik, dua prajurit kena dicengkeramnya terus dilemparkan ke arah
Hoat ong sambil berseru: “Awas, tangkap ini.”
Kalau Kim-lun Hoat-ong tidak pegang kedua
perajurit Mongol itu, tentu keduanya akan terbanting mampus, sebaliknya kalau
kedua orang itu di tangkapnya, itu berarti dia teralang dan kesempatan itu akan
digunakan Kwe Ceng untuk kabur lebih jauh.
Dasarnya memang keji, tanpa pikir Hoat-ong
terus memiringkan tubuh ke samping dan ditunjuknya kedua perajurit itu dengan
bahunya, kontan kedua orang itu terpental beberapa meter jauhnya dan terguling
binasa.
Segera pula roda emas mengepruk ke punggung
Kwe Ceng.
Asalkan Kwe Ceng menangkis atau balas
menyerang maka sukar lagi untuk kabur.
Cepat Kwe Ceng merampas dua tumbak dan
menusuk kebelakang, Caranya merampas dan menyerang dilakukannya dalam sekejap
saja, sedang kakinya tidak pernah berhenti, tusukannya ke belakang seperti
punggungnya bermata saja, tumbak yang satu menusuk bahu kanan Hoat-ong sedang
tombak lain menusuk kaki kirinya, jitu lagi keras.
Diam-diam Hoat-ong memuji ketangkasan lawan,
segera menggunakan roda emas untuk menghantam, “krak-krak”, kedua tumbak itu
patah semua, karena sedikit merandek itulah Kwe Ceng sempat menyusup ke tengah
pasukan MongoI.
Pasukan Mongol itu mendapat perintah Kubilai
agar menawan hidup-hidup Kwe Ceng, sekarang sasarannya itu malah menerobos ke
tengah barisan, dengan sendirinya
mereka menjadi serba salah, menawannya sukar,
melukainya tidak boleh.
Yang terdengar hanya suara benturan senjata
dan bentakan di sana-sini yang riuh, keadaan menjadi kacau dan Hoat-ong bertiga
malah teralang.
Dengan sembunyi di tengah pasukan musuh. Kwe
Ceng malah dapat lolos dengan leluasa seperti menyusup ke tengah rimba lebat
saja. Beberapa kali lompat dapatlah dia mendekati seorang Pek-hu-tiang, sekali
betot ia seret orang itu dari kudanya segera ia cemplak ke atas kuda rampasan
itu terus menerjang ke sana-sini, sebentar saja ia sudah menerobos keluar
barisan musuh dan membedakan kudanya secepat terbang.
Waktu ia bersuit, kuda merah kesayangan yang
menunggu jauh disana itu lalu berlari mendatangi. Asalkan Kwe Ceng sudah berada
di atas kuda mestikanya, biarpun Kubilai mengerahkan segenap pasukannya yang
paling tangkas juga sukar menyusulnya lagi.
Dari jauh Yo Ko dapat melihat kuda merah itu
sedang menghampiri Kwe Ceng, diam-diam ia me-ngeluh, tiba-tiba ia mendapat
akal, oepat ia berteriak: “Aduh, mati aku!”- Habis ini ia sengaja sempoyongan
seperti akan roboh, berbareng ia membisiki Be Kong-oo: “Lekas menyingkir,
jangan bicara padaku, lekas pergi sejauhnya!”
Jeritannya mengaduh itu dilakukan dengan
tenaga dalam yang kuat, meski di medan perang yang gaduh itu juga pasti
didengar oleh Kwe Ceng, ia yakin sang paman pasti akan putar balik untuk
menolongnya, tapi kalau Be Kong-co masih berada jadi sekali dipukul oleh Kwe
Ceng jiwanya dogol itu akan melayang, sebab itulah dia suruh Be Kong-co lekas
pergi.
SemuIa Be Kong-co melengak heran, tapi segera
ia pikir
Yo Ko pasti mempunyai maksud tertentu, tanpa
membantah
lagi terus angkat langkah seribu dan berlari
ke kemah Kubilai.
Benar juga setelah mendengar jeritan Yo Ko
tadi Kwe
Cing menjadi kuatir, tanpa menunggu
mendekatnya kuda merah segera ia putar kuda rampasannya tadi dan menerjang lagi
ke tengah pasukan, ke arah beradanya Yo Ko.
Sedikit pikir saja Kim-lun Hoat-ong lantas
paham maksud tujuan Yo Ko itu, maka ia tidak merintanginya melainkan membiarkan
Kwe Ceng menerjang lewat di sampingnya, tapi kemudian baru ia mencegat jalan
mundur lawan itu.
Setiba di dekat Yo Ko, dengan kuatir Kwe Ceng
lantas berseru: “Ko-ji, bagaimana kau?”
Yo Ko pura-pura sempoyongan dan menjawab:
“sebenarnya orang gede itu bukan tandinganku tapi entah mengapa, mendadak
dadaku sesak dan perutku sakit”
Alasannya ini cukup masuk diakal, sebab ilmu
silat Be Kong-co tidak tinggi, kalau dia bilang dikalahkan orang dogol itu tentu
Kwe Ceng takkan percaya, tapi kalau menyatakan tenaganya mau-tak-mau Kwe Ceng
akan percaya terutama dihubungkan dengan kejadian semalam, di mana Kwe Ceng
menyangka lwekang anak muda jta mengalami kemacetan, kalau sekarang penyakitnya
komat lagi adalah lazim.
Segera Kwe Ceng melompat turun dari kudanya
dan berseru: “lekas naik di punggungku, biar kugendong kau!”
“Tidak, Kwe-pepek,” jawab Yo Ko pucat “jiwaku
tidak soal, tapi engkau adalah tulang punggung pertahanan kota Siangyang,
segenap perajurjt dan rakyat jelata di sana sedang menantikan kepulanganmu,
engkaulah tumpuan harapan mereka.”
“Kau datang bersamaku, mana boleh
kutinggalkan kau disini?” ujar Kwe Ceng,” hayo lekas menggemblok di
punggungku.”
Ketika nampak Yo Ko masih ragu-ragu, segera
Kwe Ceng berjongkok dan menarik anak muda-itu ke atas punggungnya.
Pada saat itu juga kuda rampasannya tadi
telah roboh binasa oleh beberapa panah musuh. Sudah biasa Kwe Ceng menyerempet
bahaya, semakin gawat keadaannya semakin gagah berani pula dia dan
menghadapinya dengan tenang. “Jangan takut, Ko ji, kita pasti
dapat menerjang keluar.” demikian katanya
kepada Yo Ko,
segera ia berdiri dan menerjang ke sebelah
utara.
Sementara itu Hoat-ong, Nimo Singh dan Siau
siangcu juga sudah menyusul tiba, Kwe Ceng melihat kepungan musuh di
sekelilingnya terlebih rapat daripada tadi. Di bawah panji kebesaran di depan
kemah sana tampak Kubilai sedang
menyaksikan pertarungan sengit itu sambil
bicara dengan seorang Hwesio, melihat sikapnya yang “adem ayem” itu jelas
Kubilai yakin kemenangan sudah pasti berada ditangannya.
Kwe Ceng menjadi gusar, ia menggertak keras
dan mendadak menerjang ke arah Kubilai dengan menggendong Yo Ko, hanya beberapa
kali lompatan saja ia sudah sampai di
depan Kubilai. Keruan para pengawal Kubilai
terkejut, beramai-ramai mereka mengacungkan tumbak untuk menerjang Kwe Ceng
Akan tetapi pukulan Kwe Ceng luar biasa
dahsyatnya, siapa yang berani merintanginya pasti celaka, Ketika seorang
pengawal pribadi Kubilai kena dihatiam terpental asal dia menyerobot maju lagi
beberapa langkah, tentu pukulannya dapat mengena.
Beberapa pengawal itu berusaha mengadang
dengan mati-matian, namun sukar juga menandingi Kwe Ceng yang perkasa itu.
Melihat keadaan berbahaya, cepat Kim-lun Hoat-ong menyambitkan toda emasnya
dari kejauhan. Namun sedikit menunduk kepala dapatlah roda itu dihindari oleh
Kwe Ceng sambil masih terus menerjang maju.
Yo Ko pikir sampai Kubilai kena ditawan Kwe
Ceng sebagai sandera, dalam keadaan terpaksa tentu pihak Mongol akan
melepaskannya. Kalau sekarang aku tidak turun tangan, mau tunggu kapan lagi?
Dalam keadaan agak ragu-ragu ia toh bertanya lagi: “Paman Kwe, apakah ayahku
berniat amat jahat dan berdosa sehingga engkau harus membinasakan dia?”
Melengak juga Kwe Ceng atas pertanyaan itu,
tapi keadaan tidak mengidzinkannya untuk berpikir ia menjawab: “Dia mengaku
musuh sebagai ayah, berkhianat dan melakukan kejahatan setiap orang dapat
membunuhnya,”
“O, begituI” kata Yo Ko, tanpa ragu ia terus
angkat pedangnya dan hendak menikam ke kuduk sang paman.
Pada saat itulah mendadak bayangan
berkelebat, sebuah pentung menghantam pedangnya sehingga pedangnya tertangkis
ke samping. Waktu Yo Ko melirik, kiranya yang bertindak itu adalah
Siausiang-cu. ia menjadi heran mengapa orang berbuat begitu, tapi segera iapun
sadar: “Ya, kau sengaja menggagalkan usahaku membunuh Kwe Ceng agar gelar jago
nomor satu itu tidak jatuh kepadaku, Huh, kau mayat hidup ini mana tahu
tujuanku hanya ingin menuntut balas saja, tentang nama kosong itu masakah
pernah kupikirkan?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar