Rabu, 21 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 66


Kubilai Khan

Kembalinya Pendekar Rajawali 66

Terjang dulu ke selatan, lalu membalik terjang ke utara secara tak terduga”, dengan demikian kepungan musuh pasti akan dapat dibobolkan. “Wah, cara bagaimana harus kugagalkan rencananya ini?” demikian pikir Yo Ko
Baru saja timbul pikiran Yo Ko ini, tiba-tiba dari kemah Kubilai sudah melayang keluar beberapa orang dalam sekejap saja orang-orang itu sudah mengadang di depan Kwe Ceng,
menyusul terdengar suara meraung di udara, sebuah roda tembaga dan sebuah roda besi menyamber berbareng ke arah kuda Kwe Ceng dan Yo Ko.
Nyata Kim-lun Hoat-ong sudah ikut turun tangan untuk merintangi lolosnya mereka.
Melihat samberan kedua roda itu sangat keras, Kwe Ceng tak berani menangkapnya dengan tangan, ia menunduk ke bawah, kedua tangannya menekan sekuatnya pada leher kedua kuda mereka. seketika kaki depan kuda-kuda itu bertekuk lutut dan sepasang roda musuh pun menyamber lewat di atas kepala kuda.
Roda2 itu berputar satu kail di udara, lalu terbang kembali ke tangan Hoat-ong, Karena rintangan itu pula, tahu-tahu Nimo Singh dan In Kik-si sudah menyusul tiba, habis itu Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu juga memburu datang.
Mereka berempat terus mengelilingi Kwe Ceng dan Yo Ko.
Sebagai tokoh kelas satu di dunia Kangow, Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain-lain sama sekali tidak sudi merosotkan derajat mereka dengan cara main kerubut. Akan tetapi lantaran Kanghu Kwe Ceng terlalu lihay, pula setiap orang mereka ingin sekali mendapatkan gelar “jago nomor satu Mongol”, dengan sendirinya mereka saling berlomba mendahului.
Segera kelihatan sinar senjata gemerlapan menyilaukan mata, kecmpat orang sudah menyiapkan senjata masing-masing.
Kini yang dipegang Kim-lun Hoat-ong adalah senjata roda emas, In Kik-si bersenjata Kim-pian (ruyung emas) bertaburkan mutiara dan batu permata. Siau-siang-cu memegang sebatang pentung, pendekar pentung yang biasa dibawa anggota keluarga yang kematian orang tua. Adapun senjata Nimo Singh paling aneh, senjatanya melilit pada lengannya dan dapat mulur mengkeret, tampaknya seperti ular hidup, Kwe Ceng menyadari kalau keempat lawan ini tidak dibereskan tentu sukar dirinya untuk lolos. Kedudukan kedua pihak adalah 2 lawan 4, untuk menang jelas sulit, tapi asalkan dapat merobohkan salah seorang musuh, untuk lolos rasanya tidak susah, ia coba mengamat-amati gerakan keempat lawan dan cara memegang senjata, tampaknya diantara empat
lawan itu In Kik-si adalah paling lemah. Secara mendadak Kwe Ceng terus menghantam sekaligus dengan kedua tangan menuju muka Siausiang-cu..
Tanpa mengelak Siau-siang-cu malah menegakkan pentungnya dan menutuk telapak tangan Kwe Ceng, Sudah tentu Kwe Ceng tak berani meremehkan musuh ini, ia tahu semakin sepele senjata yang digunakan, semakin tinggi pula ilmu silat orang itu.
Maka ia tidak berani menyambut pentung orang, cepat ia membaitki tangannya ke sana, dengan gerakan “Sinliong-pah-bwe”,(naga sakti menggoyang ekor), dengan tepat senjata ruyung In Kik-si kena dicengkeramnya. caranya membaliki tangan untuk rebut senjata musuh sungguh cepat dan gesit luar biasa.
Segera ln Kik-si bermaksud menyendal ruyungnya untuk menggempur musuh, namun sudah terlambat, ujung ruyung sudah terpegang Kwe Ceng.
Tapi pengalaman In Kik-si sangat luar, hampir ilmu silat dari aliran manapun diketahuinya, meski tidak semuanya dilatihnya dengan baik, namun kepandaiannya memang banyak ragamnya, begitu terasa senjatanya terpegang musuh, segera ia ikuti gaya tarikan Kwe Ceng terus menubruk maju malah, berbareng itu tangan lain telah bertambah dengan sebatang belati.
“Bagus!” seru Kwe Ceng, kedua tangannya digunakan sekaligus, tangan kanan tetap memegangi ujung ruyung lawan, tangan kiri berusaha merebut belati. Dalam keadaan tangan kanan merebut senjata kanan dan tangan kiri merebut senjata kiri lawan jadi kedua tangan Kwe Ceng telah berada dalam keadaan bersilang.
Tadinya In Kik-si mengira dengan tikaman belatinya pasti dapat memaksa musuh melepaskan ruyungnya, siapa tahu bukannya Kwe Ceng menghindar, sebaliknya belati itupun hendak dirampasnya, jadi bukan saja ruyung takdapat dipertahankan bahkan belati juga akan terlepas.
Pada saat bahaya itulah tiba-tiba roda emas Hoatong dan pentung Siau-siang-cu juga menyerang tiba berbareng. Diam-diam Kwe Ceng kagum terhadap kelihayan lawan karena tak berhasil membetot lepas ruyung musuh.
Mendadak ia menggertak dan mengerahkan tenaga dalam sekuatnya melalui ruyung itu, seketika In Kik-si merasa dadanya seperti dipalu, mata berkunang2 dan darah segar lantas tersembur dari mulutnya.
Pada saat itu pula Kwe Ceng lantas melepaskan pegangannya pada ruyung dan membaliki tangannya untuk melayani serangan roda emas serta pentung.
In Kik-si tahu lukanya tidak ringan, pelahan ia meninggalkan kalangan pertempuran dan duduk bersila ditepi sana untuk menahan muntah lebih lanjut.
Melihat In Kik-si dilukai oleh Kwe Ceng, Hoat-ong dan Siau-siang-cu disamping senang ju-Ift merasa keder. Mereka senang karena berkurang dengan seorang saingan yang ikut berebut “jago nomor satu Mongol”, tapi melihat betapa lihaynya Kwe Ceng, mereka juga keder dan kuatir kalau merekapun terjungkal di tangan lawan itu.
Begitulah ketiga orang sama-sama tidak berani sembarangan bertindak, mereka sama berjaga dengan rapat.
Disamping melayani kedua lawan, diam-diam Kwe Ceng menyelami kedua macam senjata aneh yang dipegang Siau-siang-cu dan Nimo Singh itu, pantang pendek yang dibawa Siau-siang-cu itu terbuat dari baja, kecuali keras dan berat seketika sukar diketahui keanehan yang Iain, sedangkan senjata bentuk ular milik Nimo Singh itu menyerang dengan jurus yang aneh sekali.
Senjata itu berbentuk ular berbisa yang berkepala segitiga, badan ular dapat melingkar dengan lemas, kepala dan ekor ular tampak runcing dan sangat tajam, yang lihay adalah sukar diduga bilamana badan ular itu akan melingkar dan kearah mana kepala atau ekor ular itu akan menyerang.
Tapi di tangan Nimo Singn senjata ular itu berterbangan naik turun dan berputar-putar dengan aneka macam perubahan yang hebat
Dahulu Kwe Ceng pernah bertempur melawan tongkat ular milik Auyang Hong ular aneh yang melilit pada tongkatnya itu adalah ular tulen dan berbisa luar biasa. Tapi senjata ular-ularan Nimo Singh sekarang meski juga aneh, namun Cuma bentuknya saja seperti ular, tapi sebenarnya benda mati, betapapun pasti ada titik kelemahannya. Sebab itulah Kwe Cing lebih jeri terhadap serangan roda Kim-lun Hoatong daripada Nimo Singh.
Setelah berlangsung belasan gebrakan, sekonyong-konyong terdengar suara raungan seorang, kelihatan seorang tinggi besar menerjang tiba, siapa lagi dia kalau bukan Be Kong-co. senjata Be Kong-co adalah sebatang toya yang panjang lagi besar, tanpa bicara ia terus mengemplang kepala Kwe Ceng dari belakang Nimo Singh.
Padahal waktu itu empat tokoh itu sedang bertempur dengan sengitnya dan sama-sama berjaga dengan sangat rapat, hakikatnya tiada peluang sedikitpun bagi orang lain.
Tenaga pukulan dan samberan senjata mereka sudah berbentuk menjadi satu jaringan kekuatan yang maha dahsyat.
Maka kemplangan toya Be Kong-co itu kontan terbentur oleh jaringan tenaga yang dibentuk empat orang yang sedang saling gempur lagi.
meski tanpa mengeluarkan suara, namun toya itu mendadak terpental balik, kalau saja Be Kong-6a tidak memiliki tenaga sakti, tentu toya itu sudah mencelat terlepas dari tangannya atau bisa jadi toya itu akan mengemplang kepalanya sendiri hingga pecah berantakan.
Tapi begitu merasa gelagat jelek. Be Kong-co terus berteriak keras dan mengerahkan kekuatannya untuk menahan toyanya sehingga tidak sampai merugikan diri sendiri, walaupun begitu juga tangannya terasa kesemutan dan lecet berdarah.
“Aneh, aneh.!” ia berseru, dan mengerahkan tenaga pula, sekuatnya ia mengemplang lagi.
Ia, mengemplang Kwe Ceng dengan berdiri di belakang Nimo Singh, yang berdiri di depannya sana adalah Kim-lun Hoat-ong, diduganya kemplangan Be Kong-co ini pasti akan menimbulkan kekuatan lebih besar, tapi ia cuma menyeringai saja dan tidak mencegahnya.
Yo Ko juga menyaksikan keadaan itu, ia tahu kepandaian Be Kong-co terlalu jauh dibandingkan keempat tokoh itu, kalau ikut bertempur akan bikin susah dirinya sendiri ia suka kepada orang dogol yang barhati polos itu, pula beberapa kali Be Kong-co membelanya, maka ia tidak tega menyaksikan sidogoI dicelakai Segera ia membentak: “Be Kong-co awas seranganku!”
Berbareng pedangnya terus menusuk ke punggung orang dogol itu.
Be Kong-co melengak bingung, katanya: “Adik Yo, mengapa kau menyerang padaku?”
“Orang goblok, lekas kau enyah dari sini!” damperat Yo Ko sambil melancarkan pula beberapa kali tusukan sehingga Be Kong-co kelabakan berusaha mengelak dan terpaksa melompat mundur sehingga cukup jauh dari kalangan pertempuran Kwe Ceng berempat.
Setelah mendesak lagi beberapa langkah, kemudian Yo Ko membisiki Be Kong-co dengan suara tertahan: “Be-toako, jiwamu sudah kuselamatkan, kau tahu tidak?”
“Apa katamu?” tanya Be Kong-co dengan bingung.
“Ssst, jangan keras-keras, nanti didengar mereka,” desis Yo Ko.
“Ada apa?” kembali Be Kong-co menegas dengan mata terbelaIak. “Apa yang mesti kutakuti terhadap Hwesio gede piaraan biang anjing itu?” - suaranyatetap keras, bahaya adalah bicara biasa,namun bagi orang lain sudah serupa orang berteriak.
“Baiklah, kalau begitu kau jangan bicara lagi, turut saja perkataanku,” kata Yo Ko.
Penurut juga Be Kong-co, ia mengangguk dan tidak bersuara pula.
Yo Ko lantas berkata padanya: “Kwe Ceng bisa ilmu sihir, begitu dia membaca mantera segera kepala lawan dapat dipenggalnya. Maka lebih baik kau berdiri sejauhnya dari dia.
Mata Be Kong-co terbelalak lebar, setengah percaya dan setengah tidak.
Karena ingin menolong jiwa si dogol, Nyo-Ko tahu jalan paling baik adalah mengibulinya, kalau dikatakan ilmu silat Kwe Ceng sangat hebat tentu dia tidak mau menyerah kalah, tapi kalau bilang Kwe Ceng mahir ilmu sihir, besar kemungkinan si dogol mau percaya.
Karena itu, untuk lebih meyakinkan kepercayaan Be Kong-co, Nyo-Ko berkata pula: “Tadi kau mengemplangnya dengan toyamu, toyamu tidak membentur apa-apa terus terpental balik malah, kan aneh bukan? saudagar Persi itu sangat tinggi ilmu silatnya, mengapa sekali gebrak juga dilukainya?”
Be Kong-co mau percaya ucapan Yo Ko ini, ia manggut-manggut, lalu memandang Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan Lain-lain deogan agak ragu.
Yo Ko tahu apa yang sedang dipikirkan Be-Kong-co, segera ia menambahi pula. “Hwesio gede itu punya jimat dan telah diberikan kepada mayat hidup serta setan cebol itu, mereka membawa jimat, dengan sendirinya tidak gentar terhadap ilmu sihir lawannya. Apa Hwesio gede itu tidak memberi jimatnya padamu?”
Dengan gemas Be Kong-co menjawab “Tidak!”
“Ya, bangsat gundul itu memang tidak dapat diajak bersahabat, ia juga tidak memberi jimatnya padaku, biarlah nanti kita bikin perhitungan dengan dia,” kata Yo Ko.
“Benar!” seru Be Kong-co, “Lantas bagaimana sekarang?”
“Kita menonton saja, makin jauh makin baik,” ujar Yo Ko.
“Kau memang orang baik, adik Nyo,” kata Be Kong-co.
“Syukur kau mau memberitahukan padaku.”
Segera ia seret toyanya dan mundur lebih jauh untuk mengikuti pertarungan Kwe Ceng berempat itu.
Sementara itu Kwe Ceng sedang mengeluarkan ilmu silat yang terkenal: “Hang-liong-cap-pek-ciang” (delapan belas jurus penakluk naga), meski tinggi juga ilmu silat Hoat-ong bertiga, tapi biasanya mereka tinggal terpencil di daerah yang jarang bergaul dengan orang luar, pengalaman dan pengetahuan mereka terbatas, dibandingkan In Kik-si jelas pengetahuan mereka boleh dikatakan teramat dangkal.
Melihat ilmu pukulan yang dahsyat itu, mereka bertiga sama sekali tidak kenal asal-usulnya, mereka hanya mengepung Kwe Ceng di tengah, mereka pikir asalkan mereka mengepung sekuatnya, tentu lawan takkan tahan lama mengerahkan tenaga pukulan sehebat itu.
Pendapat mereka memang masuk diakal, umumnya angin badai tak pernah berlangsung sepanjang hari, hujan keras juga jarang semalam suntuk, semakin keras tenaga yang dikeluarkan semakin sukar pula berlangsung lama.
Tak tahunya selama 20-an tahun Kwe Ong giat berlatih “Kiu-im-cin-keng?” itu kitab pusaka kunci saripati ilmu silat yang tak terkatakan hebatnya, semula tenaga yang dikeluarkannya tidak begitu menonjol, tapi setelah belasan jurus, tahu- tenaga pukulan Hang-liong-cap-pek-ciang bisa ber-ubah kadang-kadang kuat, tiba-tiba menjadi enteng lagi, mendadak membadai, tahu-tahu mereda lagi, dari maha kuat bisa berubah menjadi maha lunak, inilah ilmu sakti yang belum sempat dipahami oleh mendiang Ang Chit-kong dahulu.
Nyata sedikitpun dia tidak terdesak oleh ketiga lawannya yang amat tangguh itu, sebaliknya Kwe Ceng malah terus menyerang, makin bertempur makin leluasa.
Sungguh kejut dan kagum Yo Ko tak terhingga, Ketika dikuburan kuno dahulu pernah juga dia mempelajari “Kiu-im-cin-keng”, cuma tiada petunjuk dari orang lain sehingga tidak diketahui kehebatan kitab pusaka yang begini luar biasa, ia coba mengikuti ilmu pukulan Kwe Ceng itu dan dicocokkan dengan kunci ilmu yang dipelajarinya dari Kiu-im-cin-keng itu, seketika ia banyak mendapatkan teori baru yang sangat bermanfaat dan diingatnya dengan baik-baik, seketika iapun lupa akan membunuh Kwe Ceng untuk menuntut balas sakit hatinya.
Ilmu silat antara Kim - lun Hoat-ong dan Kwe Ceng sebenarnya setingkat, meski Kwe Ceng lebih banyak mendapatkan penemuan aneh, tapi usia Hoat-ong lebih tua 20-an tahun, itu berarti keuletannya lebih tua 20 tahun pula, kalau satu lawan satu sedikitnya ribuan jurus baru dapat menentukan menang kalah.
Hoat-ong dibantu Siau-siang-cu dan Nimo Singh, sebenarnya tidak ada baginya mengalahkan lawannya, Cuma Hang liong-cap-pek-ciang yang dimainkan Kwe Ceng itu teramat lihay, ditambah lagi langkah Paktau-tin ajaran Coan-cin-kau yang digunakan Kwe Ceng itu sukar diraba arahnya, seorang seakan-akan berubah menjadi tujuh orang, selain itu pertama kali In Kik-si sudah dilukainya lebih dulu, hal ini telah membikin jeri lawan pula, maka Hoat-ong bertiga menjadi tidak berani sembarangan menyerang, dengan begitu Kwe Ceng dapat bertahan dengan satu lawan ketiga orang itu.
Setelah beberapa puluh jurus lagi, lambat-laun roda emas Kim-lun Hoat-ong mulai memperlihatkan daya tekanannya, ular besi Nimo Singh juga makin kencang menyerang, diam-diam Kwe Ceng mengeluh kalau pertarungan berlangsung lebih lama dan tiba-tiba pihak lawan datang lagi seorang pembantu, maka pasti dirinya tak sanggup bertahan lagi, sedangkan Yo Ko yang menempur si gede itu entah bagaimana keadaannya.
Maklumlah, terpaksa ia harus memusatkan perhatian untuk melayani lawannya sehingga tidak sempat mengikuti pertarungan Nyo, Ko melawan Be Kong co di sebelah sana itu.
Tiba-tiba terdengar suara suitan aneh, kedua kaki Siau-siang-cu kaku menegak dan meloncat ke atas, dari udara pentungnya terus menutuk. Cepat Kwe Ceng mengegos kesamping, mendadak pandangannya terasa gelap, dari ujung pentung orang tersembur keluar asap hidup, seketika hidungnya mencium bau busuk amis, kepala menjadi rada pening Kwe Ceng mengeluh, ia tahu pentung lawan itu tersimpan barang racun, cepat ia melangkah mundur.
Siau-siang-cu menjadi heran sekali, sudah jelas Kwe Ceng telah mengendus racun yang disemburkan dari pentungnya, tapi tidak jatuh kelengar dan bahkan seperti tidak berhalangan apa-apa, padahal biarpun singa harimau atau binatang buas apapun juga akan jatuh pingsan jika tersembur oleh racun yang disemburkannya itu.
Segera ia meloncat lagi ke atas, untuk kedua kalinya ia menutuknya pula dengan pentungnya yang berbisa itu.
Dahulu waktu dia berlatih ilmu “mayat hidup” di daerah pegunungan yang sunyi, kebetulan dilihatnya seekor katak kecil sedang bertempur melawan seekor ular besar, katak pura itu menyemburkan hawa berbisa dan merobohkan lawannya yang jauh lebih besar itu.
Dari situlah Siau-siang-cu mendapatkan ilham, ia menangkap katak puru dan diambil lendir berbisanya untuk disembunyikan di dalam pentungnya.
Pangkal pentung ini ada pesawat rahasianya, sekali ditekan dengan jari akan segera menyemburkan asap berbisa, waktu menyemburkan asap berbisa itu Siau-siang-cu sengaja meloncat ke atas supaya daya guna racun itu tambah keras.
Biasanya asap berbisa itu tidak pernah meleset
merobohkan musuh, siapa tahu tenaga dalam Kwe Ceng sedemikian kuatnya dan sanggup bertahan.
Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh meski bukan sasaran racun Siau-siang-cu itu, tapi merekapun ikut mengendus racun dan terasa muak, cepat mereka melompat mundur, Siau-siang-cu sendiri sudah memakai obat penawar sehingga tidak kuatir keracunan, ia angkat pentungnya dan menubruk maju lagi.
Sebelum lawan menggunakan racun pula, mendadak Kwe Ceng menyambutnya dengan pukulan dahsyat ke dengkul musuh. Terpaksa Siau-siang-cu tarik kembali pentungnya untuk menangkis, walaupun begitu tidak urung tubuhnya tergentak mundur beberapa langkah oleh tenaga pukulan Kwe
Cing yang lihay itu.
Waktu Kwe Ceng berpaling ke sana, dilihatnya senjata ular Nimo Singh sedang menyambar tiba.
di siang hati bolong jelas kelihatan ular besi lawan itu dapat mulur mengkeret, tampaknya juga ada sesuatu yang aneh, jika mendadak membidikkan senjata rahasia, seketika
sukar ditahan. Cepat Kwe Ceng mendahului menghantam ke
dada musuh sebelum senjata ular lawan itu mendekat.
Nimo Sing menyadari betapa hebat tenaga pukulan Kwe
Cing, lekas-lekas ia tarik kembali senjata ularnya, kedua
tangan memegangi kedua ujung senjata dan berusaha menangkis pukulan lawan. Akan tetapi cara Kwe Ceng menggunakan tenaga pukulannya ternyata lain daripada yang lain, bagian tengah tidak membawa tenaga, sebaliknya tenaga pakaiannya memencar ke sekeliling titik sasaran jadi tangkisan Nimo Singh lantas terasa hampa, sebaliknya perut dan muka segera merasakan samberan tenaga pukulan yang dahsyat.
Untung gerak-gerik Nimo Singh juga cepat dan gesit, pula tubuhnya pendek kecil, lekas ia menjatuhkan diri, disertai dengan beberapa kali jumpalitan laksana boIa saja ia menggelinding ke sana sehingga luput dari hantaman Kwe Cing itu.
Melihat ada kesempatan baik, cepat Kwe Ceng melompat pergi saja - Tanpa ayal ia melangkah ketempat peluang yang di tinggalkan Nimo Sing tadi.
Kim-lun Hoat-ong terkejut melihat musuhnya loIos dari kepungan, cepat ia menubruk maju.
Sementara itu Kwe Ceng telah dicegat oleh barisan pasukan Mongol, belasan tumbak telah di tusukkan kearahnya, Mendadak Kwe Ceng angkat kedua tangannya, beberapa tombak disampuk pergi, sekali tangannya membalik, dua prajurit kena dicengkeramnya terus dilemparkan ke arah Hoat ong sambil berseru: “Awas, tangkap ini.”
Kalau Kim-lun Hoat-ong tidak pegang kedua perajurit Mongol itu, tentu keduanya akan terbanting mampus, sebaliknya kalau kedua orang itu di tangkapnya, itu berarti dia teralang dan kesempatan itu akan digunakan Kwe Ceng untuk kabur lebih jauh.
Dasarnya memang keji, tanpa pikir Hoat-ong terus memiringkan tubuh ke samping dan ditunjuknya kedua perajurit itu dengan bahunya, kontan kedua orang itu terpental beberapa meter jauhnya dan terguling binasa.
Segera pula roda emas mengepruk ke punggung Kwe Ceng.
Asalkan Kwe Ceng menangkis atau balas menyerang maka sukar lagi untuk kabur.
Cepat Kwe Ceng merampas dua tumbak dan menusuk kebelakang, Caranya merampas dan menyerang dilakukannya dalam sekejap saja, sedang kakinya tidak pernah berhenti, tusukannya ke belakang seperti punggungnya bermata saja, tumbak yang satu menusuk bahu kanan Hoat-ong sedang tombak lain menusuk kaki kirinya, jitu lagi keras.
Diam-diam Hoat-ong memuji ketangkasan lawan, segera menggunakan roda emas untuk menghantam, “krak-krak”, kedua tumbak itu patah semua, karena sedikit merandek itulah Kwe Ceng sempat menyusup ke tengah pasukan MongoI.
Pasukan Mongol itu mendapat perintah Kubilai agar menawan hidup-hidup Kwe Ceng, sekarang sasarannya itu malah menerobos ke tengah barisan, dengan sendirinya
mereka menjadi serba salah, menawannya sukar, melukainya tidak boleh.
Yang terdengar hanya suara benturan senjata dan bentakan di sana-sini yang riuh, keadaan menjadi kacau dan Hoat-ong bertiga malah teralang.
Dengan sembunyi di tengah pasukan musuh. Kwe Ceng malah dapat lolos dengan leluasa seperti menyusup ke tengah rimba lebat saja. Beberapa kali lompat dapatlah dia mendekati seorang Pek-hu-tiang, sekali betot ia seret orang itu dari kudanya segera ia cemplak ke atas kuda rampasan itu terus menerjang ke sana-sini, sebentar saja ia sudah menerobos keluar barisan musuh dan membedakan kudanya secepat terbang.
Waktu ia bersuit, kuda merah kesayangan yang menunggu jauh disana itu lalu berlari mendatangi. Asalkan Kwe Ceng sudah berada di atas kuda mestikanya, biarpun Kubilai mengerahkan segenap pasukannya yang paling tangkas juga sukar menyusulnya lagi.
Dari jauh Yo Ko dapat melihat kuda merah itu sedang menghampiri Kwe Ceng, diam-diam ia me-ngeluh, tiba-tiba ia mendapat akal, oepat ia berteriak: “Aduh, mati aku!”- Habis ini ia sengaja sempoyongan seperti akan roboh, berbareng ia membisiki Be Kong-oo: “Lekas menyingkir, jangan bicara padaku, lekas pergi sejauhnya!”
Jeritannya mengaduh itu dilakukan dengan tenaga dalam yang kuat, meski di medan perang yang gaduh itu juga pasti didengar oleh Kwe Ceng, ia yakin sang paman pasti akan putar balik untuk menolongnya, tapi kalau Be Kong-co masih berada jadi sekali dipukul oleh Kwe Ceng jiwanya dogol itu akan melayang, sebab itulah dia suruh Be Kong-co lekas pergi.
SemuIa Be Kong-co melengak heran, tapi segera ia pikir
Yo Ko pasti mempunyai maksud tertentu, tanpa membantah
lagi terus angkat langkah seribu dan berlari ke kemah Kubilai.
Benar juga setelah mendengar jeritan Yo Ko tadi Kwe
Cing menjadi kuatir, tanpa menunggu mendekatnya kuda merah segera ia putar kuda rampasannya tadi dan menerjang lagi ke tengah pasukan, ke arah beradanya Yo Ko.
Sedikit pikir saja Kim-lun Hoat-ong lantas paham maksud tujuan Yo Ko itu, maka ia tidak merintanginya melainkan membiarkan Kwe Ceng menerjang lewat di sampingnya, tapi kemudian baru ia mencegat jalan mundur lawan itu.
Setiba di dekat Yo Ko, dengan kuatir Kwe Ceng lantas berseru: “Ko-ji, bagaimana kau?”
Yo Ko pura-pura sempoyongan dan menjawab: “sebenarnya orang gede itu bukan tandinganku tapi entah mengapa, mendadak dadaku sesak dan perutku sakit”
Alasannya ini cukup masuk diakal, sebab ilmu silat Be Kong-co tidak tinggi, kalau dia bilang dikalahkan orang dogol itu tentu Kwe Ceng takkan percaya, tapi kalau menyatakan tenaganya mau-tak-mau Kwe Ceng akan percaya terutama dihubungkan dengan kejadian semalam, di mana Kwe Ceng menyangka lwekang anak muda jta mengalami kemacetan, kalau sekarang penyakitnya komat lagi adalah lazim.
Segera Kwe Ceng melompat turun dari kudanya dan berseru: “lekas naik di punggungku, biar kugendong kau!”
“Tidak, Kwe-pepek,” jawab Yo Ko pucat “jiwaku tidak soal, tapi engkau adalah tulang punggung pertahanan kota Siangyang, segenap perajurjt dan rakyat jelata di sana sedang menantikan kepulanganmu, engkaulah tumpuan harapan mereka.”
“Kau datang bersamaku, mana boleh kutinggalkan kau disini?” ujar Kwe Ceng,” hayo lekas menggemblok di punggungku.”
Ketika nampak Yo Ko masih ragu-ragu, segera Kwe Ceng berjongkok dan menarik anak muda-itu ke atas punggungnya.
Pada saat itu juga kuda rampasannya tadi telah roboh binasa oleh beberapa panah musuh. Sudah biasa Kwe Ceng menyerempet bahaya, semakin gawat keadaannya semakin gagah berani pula dia dan menghadapinya dengan tenang. “Jangan takut, Ko ji, kita pasti
dapat menerjang keluar.” demikian katanya kepada Yo Ko,
segera ia berdiri dan menerjang ke sebelah utara.
Sementara itu Hoat-ong, Nimo Singh dan Siau siangcu juga sudah menyusul tiba, Kwe Ceng melihat kepungan musuh di sekelilingnya terlebih rapat daripada tadi. Di bawah panji kebesaran di depan kemah sana tampak Kubilai sedang
menyaksikan pertarungan sengit itu sambil bicara dengan seorang Hwesio, melihat sikapnya yang “adem ayem” itu jelas Kubilai yakin kemenangan sudah pasti berada ditangannya.
Kwe Ceng menjadi gusar, ia menggertak keras dan mendadak menerjang ke arah Kubilai dengan menggendong Yo Ko, hanya beberapa kali lompatan saja ia sudah sampai di
depan Kubilai. Keruan para pengawal Kubilai terkejut, beramai-ramai mereka mengacungkan tumbak untuk menerjang Kwe Ceng
Akan tetapi pukulan Kwe Ceng luar biasa dahsyatnya, siapa yang berani merintanginya pasti celaka, Ketika seorang pengawal pribadi Kubilai kena dihatiam terpental asal dia menyerobot maju lagi beberapa langkah, tentu pukulannya dapat mengena.
Beberapa pengawal itu berusaha mengadang dengan mati-matian, namun sukar juga menandingi Kwe Ceng yang perkasa itu. Melihat keadaan berbahaya, cepat Kim-lun Hoat-ong menyambitkan toda emasnya dari kejauhan. Namun sedikit menunduk kepala dapatlah roda itu dihindari oleh Kwe Ceng sambil masih terus menerjang maju.
Yo Ko pikir sampai Kubilai kena ditawan Kwe Ceng sebagai sandera, dalam keadaan terpaksa tentu pihak Mongol akan melepaskannya. Kalau sekarang aku tidak turun tangan, mau tunggu kapan lagi? Dalam keadaan agak ragu-ragu ia toh bertanya lagi: “Paman Kwe, apakah ayahku berniat amat jahat dan berdosa sehingga engkau harus membinasakan dia?”
Melengak juga Kwe Ceng atas pertanyaan itu, tapi keadaan tidak mengidzinkannya untuk berpikir ia menjawab: “Dia mengaku musuh sebagai ayah, berkhianat dan melakukan kejahatan setiap orang dapat membunuhnya,”
“O, begituI” kata Yo Ko, tanpa ragu ia terus angkat pedangnya dan hendak menikam ke kuduk sang paman.
Pada saat itulah mendadak bayangan berkelebat, sebuah pentung menghantam pedangnya sehingga pedangnya tertangkis ke samping. Waktu Yo Ko melirik, kiranya yang bertindak itu adalah Siausiang-cu. ia menjadi heran mengapa orang berbuat begitu, tapi segera iapun sadar: “Ya, kau sengaja menggagalkan usahaku membunuh Kwe Ceng agar gelar jago nomor satu itu tidak jatuh kepadaku, Huh, kau mayat hidup ini mana tahu tujuanku hanya ingin menuntut balas saja, tentang nama kosong itu masakah pernah kupikirkan?”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar