Kamis, 08 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 13



Kembalinya Pendekar Rajawali 13

Oleh karena Yo Ko paling lambat masuk perguruan, maka dia menduduki tempat yang paling belakang, bila dia menyaksikan para imam kecil yang umurnya sebaya dengan dirinya itu semua pandai pukulan dan paham silat, masing2 mempunyai kemahirannya sendiri, dalam hati kecilnya bukannya merasa kagum dan iri, sebaliknya dia justru merasa dendam dan sakit hati.
Di lain pihak Ci-keng dapat melihat wajah-Yo Ko yang mengunjuk rasa penasaran, maka dia sengaja hendak bikin malu anak ini dihadapan orang banyak, ia menanti sesudah selesai pertandingan dua imam kecil, lalu dengan suara keras ia memanggil namanya Yo Ko.
Mendengar dirinya disebut, Yo Ko menjadi tertegun “Sedikitpun kau tidak ajarkan ilmu silat padaku, untuk apa kau panggil aku maju kedepan ?” demikian ia pikir.
Akan tetapi Thio Ci-keng sudah mengulangi teriakannya lagi: “Ko-ji, kau dengar tidak ? Hayo lekas maju !”
Terpaksa Yo Ko tampil ke muka, ia membungkuk badan memberi hormat sambil berkata : “Tecu Yo Ko menghadap Suhu disini!”
“Umurnya tidak seberapa tua dari pada kau, bolehlah kau bertanding dengan dia,” demikian Ci-keng menunjuk salah satu imam kecil yang menang dalam pertandingan tadi.
“Tecu sama sekali tidak bisa silat, mana sanggup bertanding dengan Suheng ?” sahut Yo Ko.
Thio Ci-keng menjadi marah. “Telah setengah tahun aku mengajar padamu, kenapa kau bilang tak bisa silat ? Lalu apa yang kau lakukan selama setengah tahun ini ?” demikian ia mendamperat.
Yo Ko tak bisa menjawab dan menunduk.
“Kau sendiri yang malas, tak mau giat belajar, dengan sendirinya kau ketinggalan jauh,” demikian kata Ci-keng pula, “Sekarang aku ingin tanya kau apa yang sudah kuajarkan dan kau harus menjawab.”
Habis ini berulang kali ia menyebut empat istilah yang pernah dia ajarkan pada Yo Ko, dengan sendirinya semuanya dijawab Yo Ko dengan tepat.
“Nah, bagus, sedikitpun tidak salah, maka bolehlah kau pergunakan intisari keempat istilah itu untuk turun kalangan dan bergebrak dengan Suheng,” dengan tersenyum Ci-keng berkata.
Kembali Yo Ko tercengang, “Tecu tidak bisa,” jawabnya lagi.
Dalam hati Thio Ci-keng menjadi senang melihat kelakuan Yo Ko yang serba susah itu, tetapi wajahnya sebaliknya dia sengaja unjuk rasa gusar..
“Kau sudah apalkan istilah2 penting tadi tapi kau tidak berlatih, sekarang kau pakai alasan segala, hayo, lekas saja turun kalangan,” bentaknya pula.
Para imam mendengar sendiri Yo Ko mengapalkan istilah2 pelajaran di luar kepala tanpa sedikitpun yang salah, tapi kini tak berani maju ke tengah kalangan, maka diantaranya sama menyangka anak ini merasa jeri, diantaranya ada yang berhati baik lantas menganjurkan maju saja, sebaliknya banyak pula yang tak suka padanya lantas pada bergirang, bahkan diam2 mentertawai.
Mendengar banyak suara yang mendesak dan menganjurkannya, sebaliknya banyak pula yang bersuara menyindir, akhirnya api amarahnya membakar segera Yo Ko tekadkan hati, ia pikir biarlah aku adu jiwa saja hari ini.
Karenanya segera dia melompat ke tengah kalangan, begitu berhadapan, tanpa bicara lagi dia ajun kedua tangannya, ke atas dan ke bawah, terus menghantam kalang-kabut mengarah kepala imam kecil tadi.
Melihat datangnya Yo Ko ketengah kalangan, pertama tidak menjalankan penghormatan seperti lazimnya, pula tidak menurut peraturan perguruan yang harus merendah diri minta petunjuk pada pihak lawan, diam2 imam kecil itu sudah merasa heran, apalagi kini melihat Yo Ko menghantam dan menyerangnya dengan membabi-buta seperti orang gila, keruan ia terkejut, terpaksa dia main mundur terus-menerus.
Di lain pihak Yo Ko sudah tidak menghiraukan mati-hidup sendiri lagi, ia sudah nekat, mendadak ia menerjang maju.
Kembali imam kecil itu dipaksa harus mundur beberapa tindak, tetapi segera ia lihat bagian bawah Yo Ko tak terjaga, tanpa ayal lagi segera ia miring kesamping terus ajun sebelah kakinya, dengan gerak tipu “hong-sau-lok-yap” atau angin santar menyapu daun rontok dengan cepat ia menyerampang kaki Yo Ko.
Karena tidak me-nyangka2, keruan Yo Ko tak mampu berdiri tegak lagi, ia terpelanting jatuh hingga hidungnya bocor mengeluarkan kecap, mukanya pun babak-belur.
Melihat jatuhnya Yo Ko sangat mengenaskan dan lucu, tidak sedikit imam yang menonton itu mentertawainya.
Akan tetapi Yo Ko betul2 bandel, begitu ia merangkak bangun, tanpa mengusap dulu darah hidungnya yang mengucur, dengan kepala menunduk segera ia seruduk lagi si imam kecil tadi.
Nampak datangnya orang cukup hebat, lekas2 imam kecil itu mengegos. Diluar dugaannya, tipu serangan Yo Ko ini sama sekali tidak menurut aturan, tahu2 ia pentang kedua tangan terus merangkul karenanya kaki kiri lawannya kena dipegangnya.
Namun imatn cilik itupun tidak lemah, segera ia angkat telapak tangan kanan terus meng-genjot pundak Yo Ko, tipu ini disebut “Thian-sin-he-hoan” atau malaikat langit turun ke bumi, ini adalah tipu serangan yang tepat untuk menghalau musuh bila bagian bawah sendiri terserang.
Tetapi Yo Ko sama sekali tak pernah belajar silat dalam pratek, baik di, Tho-hoa-to maupun di Cong-lam-san ini, maka tipu serangan apa yang dilontarkan pihak lawan sama sekali ia tidak kenal, keruan tidak ampun lantas terdengar suara “plak” yang keras, pundaknya kena dihantam mentah2 hingga terasa sakit.
Namun meski sudah berulang kali ia digebuk orang, bukannya Yo Ko mundur teratur, sebaliknya makin kalah menjadi makin kalap, kembali ia gunakan kepalanya buat menyeruduk lagi, sekali imam cilik itu kena ditumbuk perutnya, hingga jatuh terjengkang, bahkan segera ditunggangi Yo Ko di atas tubuhnya.
Kesempatan ini telah digunakan Yo Ko untuk ayun bogemnya dan menjotos kepala orang dengan gemas.
Namun imam kecil itu tidak mandah dijotos, dalam kalahnya dia coba berusaha memperoleh kemenangan, mendadak ia pakai sikutnya untuk menyodok dada Yo Ko, dan selagi Yo Ko meringis kesakitan, segera ia meronta melepaskan diri terus melompat bangun, berbareng pula ia baliki tangannya untuk mendorong, karena Yo Kotidak ber-jaga2, maka kembali ia kena dibanting jatuh dengan berat,
“Syukur Nyo-sute suka mengalah,” demikian imam cilik itu berkata sambil membungkuk,
Ini adalah adat-istiadat Coan-cin-kau apabila mengakhiri suatu pertandingan Menurut biasa, jika salah satu diantara saudara seperguruan itu sudah menang atau kalah, segera kedua pihak harus berhenti semua.
Siapa tahu Yo Ko ternyata tidak kenal aturan segala, seperti kerbau gila saja kembali ia menyeruduk dengan nekat, tetapi hanya dua-tiga kali gebrakan kembali dia mencium tanah pula, namun semangat tempur Yo Ko yang tidak kenal menyerah ini harus dipuji makin dihajar, semakin berani pula, bahkan iapun geraki kaki tangannya semakin cepat buat melawan.
“Yo Ko, sudah terang kau kalah, masih hendak bertanding apa lagi ?” demikian Ci-keng berteriak padanya.
Tetapi mana Yo Ko mau gubris, ia masih terus menendang, menyepak, tangannya juga memukul dan menggebuk serabutan, sedikitpun dia pantang mundur.
Semula para imam sama merasa geli juga oleh kelakuan bocah ini, dalam hati mereka berpikir : “Dalam ilmu silat Coan-cin-kau mana ada cara main seruduk seperti ini ?”
Tetapi kemudian sesudah menyaksikan Yo Ko makin kalap, mereka menjadi kuatir akan terjadi bencana, maka be-ramai2 mereka lantas berseru: “Sudahlah, sudahlah, sesama saudara seperguruan jangan jadi sungguhan !”
Namun Yo Ko masih tidak mau berhenti
Setelah berlangsung lagi beberapa saat, akhirnya imam cilik itu menjadi keder sendiri, sekarang dia hanya main berkelit dan menghindar saja dan tak berani berdekatan dengan Yo Ko lagi
Kata pribahasa: “seorang adu jiwa, seribu orang tak bisa melawan. Begitu juga dengan keadaan Yo Ko yang sedang mengamuk Apalagi selama setengah tahun ini ia telah kenyang segala hinaan di atas Cong-lam-san, kini ia justru hendak melampiaskan semua sakit hatinya itu, sedang soal mati-hidup dirinya sendiri sudah tak terpikir olehnya.
Karena itulah, sungguhpun ilmu silat imam cilik itu jauh menang, namun dia tak memiliki semangat bertempur seperti Yo Ko, sehingga akhirnya ia menjadi pecah nyali ia tak berani layani Yo Ko lagi melainkan terus berlari mengitari kalangan dan diuber oleh Yo Ko dari belakang.
“lmam busuk, imam maling, enak saja kau pukul orang, sesudah gebuki aku sekarang kau hendak lari ?” demikian dari belakang Yo Ko terus mencaci-maki.
Tentu saja caci-makinya, yang tidak pandang bulu ini menyinggung pula orang Iain, sebab sembilan dari sepuluh orang yang menonton disamping itu justru adalah Tosu atau imam, kini Yo Ko mencaci-maki semaunya, mereka menjadi dongkol dan geli “Bocah ini betul2 harus dihajar !” demikian mereka membatin.
Dalam pada itu Yo Ko masih terus mengudak imam kecil tadi Mungkin saking gugupnya karena diuber terus, akhirnya imam cilik itu berteriak minta toIong, “Suhu, Suhu !” demikian ia menggembor dengan takut.
Thio Ci-keng lantas bersuara, ia mem-bentak2 agar Yo Ko berhenti, Tak tahunya, sedikitpun Yo Ko tidak menggubrisnya, ia masih kejar imam cilik itu dengan nekat.
Selagi keadaan tambah runyam, tiba2 terdengar suara geraman dari kalangan penonton, mendadak satu imam besar gemuk melompat keluar, meski badan imam ini gendut tetapi gerak-geriknya ternyata sangat gesit begitu dia melompat maju, dengan sekali jamberet segera belakang baju Yo Ko kena dia pegang terus diangkat, bahkan segera terdengar suara “plak-plak-pIak” tiga kali, kontan ia persen Yo Ko tiga kali tempelengan.
Pukulan itu ternyata sangat keras hingga seketika pipi Yo Ko merah bengkak, hampir2 saja Yo Ko jatuh semaput.
Waktu ia awasi, kiranya orang ini adalah Ceng-kong yang memang dendam hati padanya.
Seperti diketahui pada hari pertama Yo Ko naik gunung, pernah Ceng-kong hampir terbakar hidup2 karena diselomoti bocah ini, sebab itulah Ceng-kong sering dicemooh dan dibuat buah tertawaan para saudara seperguruannya, katanya orang tua kalah dengan bocah cilik Oleh sebab itu juga, selalu Ceng-kong dendam atas kejadian itu. Kini ia menyaksikan Yo Ko bikin gara2 lagi, tentu saja ia gunakan kesempatan itu untuk melampiaskan sakit hatinya.
Buat Yo Ko sendiri memangnya ia sudah tidak pikirkan jiwa dirinya sendiri lagi, kini demi mengenali Ceng-kong, ia lebih2 yakin dirinya pasti tidak bakal diampuni pula, cuma ia kena dicekal kuduknya, ingin meronta buat melepaskan diripun tidak mampu lagi.
Dalam pada itu, dengan tertawa ejek kembali Ceng-kong menambahi Yo Ko tiga kali tamparan lagi.
“Kau tidak tunduk pada kata2 Suhu, itu berarti kau adalah murid murtad perguruan kita, maka siapa saja boleh menghajar kau !” demikian Ceng-kong membentak habis ini ia angkat tangannya dan akan hajar Yo Ko lagi.
Diantara penonton di samping itu terdapat adik seperguruan Thio Ci-keng yang bernama Cui Ci-kong. Pribadi Ci-kong lebih jujur dan suka bela keadilan, Tadi ia lihat cara bertanding Yo Ko, semua gerak serangannya sedikitpun tidak mirip dengan ilmu silat ajaran perguruan sendiri, pula ia cukup kenal jiwa sang Suheng Thio Ci-keng yang sempit, ia kuatir jangan2 didalam terdapat soal lain, maka kini demi nampak Ceng-kong hajar Yo Ko dengan pukulan2 yang kejam tanpa kenal ampun, ia menjadi kuatir kalau2 bocah ini terluka parah.
“Berhenti, Ceng-kong !” cepat dia membentak menghentikan tindakan murid keponakannya itu.
sebenarnya Ceng-kong belum puas dengan tempelengannya tadi, namun sang Susiok sudah membentak, mau-tak-mau ia harus melepaskan Yo Ko.
“Susiok tidak tahu bahwa bocah ini luar biasa lincahnya, kalau tidak diberi hajaran yang setimpal mana bisa tata-tertib perkumpulan kita dipertahankan lagi ?” demikian Ceng-kong masih kurang terima.
Tetapi Cui Ci-hong tidak gubris padanya, ia mendekati Yo Ko, ia lihat kedua belah pipi anak ini bengkak semua dan matang-biru, hidung dan mulutnya berlepotan darah pula, wajahnya sangat harus dikasihani. Karena itu, dengan suara halus ia menghibur dan menanya: Yo Ko, Suhu mengajarkan kepandaian padamu, kenapa kau tidak melatihnya dengan giat, sebaliknya kau berkelahi dengan para Suheng secara ngawur ?”
“Hm, Suhu apa ? Hakikatnya sedikitpun dia tidak mengajarkan kepandaian padaku,” sahut Yo Ko dengan gemas.
“Dengan jelas ku dengar kau mengapalkan istilah2 pelajaran di luar kepala tadi, sedikitpun kau tidak salah mengapalkan,” ujar Cui Ci-hong.
“Aku toh tidak hendak menempuh ujian, untuk apa mengapalkan segala bacaan itu ?” sahut Yo Ko.
Mendongkol tercampur geli Cui Ci-hong mendengar jawaban ini. ia pura2 marah, tetapi maksud sesungguhnya hendak menjajal apa betul2 Yo Ko sama sekali tidak mengerti ilmu silat perguruannya sendiri Oleh karenanya segera ia tarik muka dan membentak: “Bicara dengan orang tua, kenapa kurangajar ?” Habis berkata, se-konyong2 ia angkat sebelah tangannya mendorong ke pundak Yo Ko.
Cui Ci-hong terhitung pula salah satu jago angkatan ketiga dari Coan-cin-kau yang setingkatan dengan In Ci-peng dan Thio Ci-keng, meski kepandaiannya masih dibawah kedua orang tersebut namun sudah cukup pula untuk malang melintang dikalangan Kangouw. Maka dapat dimengerti tenaga dorongannya pada Yo Ko ini telah dia keluarkan dengan tepat sekali, tiba cukup untuk jatuhkan lawannya, jika orang yang didorong tidak paham ilmu silat, karena dorongan ini pasti terjengkang, tetapi kalau mengerti silat dari cabang lain, besar kemungkinan akan kumpul tenaga buat bertahan supaya tubuh tidak terdoyong ke belakang, hanya orang yang belajar silat Coan-cin-kau saja yang bisa hindarkan dorongan ini dengan gaya doyong ke belakang.
Diluar dugaan, Ci-hong merasakan dorongannya percuma saja, sebab Yo Ko telah sedikit miringkan pundaknya, sehingga tenaga mendorongnya sebagian besar mengenai tempat kosong, Yo Ko hanya ter-huyung2 mundur beberapa langkah saja, tetapi tidak sampai jatuh.
Keruan Ci-hong kaget dan curiga pula. Batin-nya dalam hati: “Dengan tenaga mengelak tadi seharusnya dia memiliki latihan sekitar sepuluh tahun dari ilmu silat aliran perguruan sendiri sungguh aneh, umurnya masih begini muda, pula baru setengah tahun masuk perguruan, mana bisa dia memiliki keuletan yang begini dalam ? Dengan kemampuannya ini, tadi waktu bertanding seharusnya dia tidak perlu ngawur main seruduk sini dan terjang sana, apa mungkin didalamnya terdapat sesuatu tipu muslihat ?”
Nyata dia tidak tahu bahwa didalamnya memang banyak sebab2 yang dia sendiri tidak mengetahui. Dahulu Ma Giok pernah mengajarkan Lwekang Coan-cin-kau kepada Kwe Ceng, dan Kwe Ceng telah mengajarkan sedikit dasar kepandaian itu kepada Cin Lam-khim ibu Yo Ko.
Sewaktu Yo Ko berumur beberapa tahun, ibunya lantas mengajarkan cara2 semadi melatih Lwekang yang dia peroleh dari Kwe Ceng itu. Oleh sebab itulah, dalam perkelahian Yo Ko tadi sama sekali ia tidak mengerti tipu serangan silat, sebaliknya soal Lwekang ia malah mempunyai dasar kekuatan sepuluh tahun lamanya, Cui Ci-hong tidak tahu hal ini, sudah tentu ia terheran-heran.
Dilain pihak Yo Ko yang kena didorong tadi merasakan dadanya menjadi sesak, hampir2 tak bisa bernapas, ia sangka Ci-hong juga bermaksud menghajarnya.
Dalam keadaan memang sudah mata gelap, sekalipun waktu itu Khu ju-ki datang sendiri juga dia pantang mundur, apalagi hanya seorang Cui Ci-hong. Karena itu, segera ia menyeruduk lagi ke arah perut orang.
Akan tetapi Cui Ci-hong tidak mau ladeni anak kecil ini, ia tersenyum oleh kenekatan orang sambil mengegos buat hindarkan serudukan itu.
Ia sengaja mau tahu kepandaian apa yang dimiliki Yo Ko, maka ia berkata pula: “Ceng-kong, coba kau adu beberapa jurus dengan Nyo-sute, tetapi enteng saja kalau turun tangan, jangan pukul terlalu keras !”
Tentu saja Ceng-kong sangat senang, memangnya dia meng-harap2 ada perintah demikian ini, maka tanpa berkata lagi segera ia melompat ke depan Yo Ko, tiba2 ia ulur tangan kiri pura2 memukul ketika Yo Ko berkelit ke kanan, mendadak tangan kanannya menggablok cepat dan keras, keruan tidak ampun lagi lantas terdengar suara “bluk”, tepat dada Yo Ko kena dihantam.
Pukulan itu cukup berat, kalau bukannya Yo Ko mempunyai kekuatan Lwekang belasan tahun lamanya, pasti dia akan muntah darah oleh genjotan itu. walaupun demikian, tidak urung Yo Ko merasakan dadanya sakit tidak kepalang dan mukanya pucat seperti kertas.
Nampak sekali pukul tidak bikin lawan cilik-nya terguling, diam2 Ceng-kong merasa heran juga, maka menyusul kepalan kanan diayunkan pula, sekali ini ia menjotos kemuka Yo Ko.
Dengan sendirinya Yo Ko angkat tangannya hendak menangkis. Cuma sayang, maksudnya memang hendak menangkis, tetapi sama sekali ia tidak paham gerak tipu silat buat menangkis, maka kembali dia dimakan mentah2 oleh Ceng-kong. Dengan sengaja ia kesampingkan jotosannya ini, tapi cepat ia menjojoh dengan kepalan kiri, maka terdengar suara “plak” dibarengi dengan suara jeritan tertahan Yo Ko, nyata hantaman dengan tepat kena diperutnya.
Saking sakitnya sampai Yo Ko menungging sambil pegang perutnya dengan meringis2. Di luar dugaan, sekali bocah ini menjengking ke bawah, tanpa sungkan2 lagi Ceng-kong tambahi serangan lain pula, ia angkat telapak tangannya terus memotong ke kuduk orang.
Serangan yang mengarah tempat berbahaya ini, Ceng-kong menaksir Yo Ko pasti akan kelenger seketika, dengan demikian ia telah berhasil balas sakit hati tempo hari.
Siapa tahu, Yo Ko betul2 anak perkasa, jiwa gagah berani Engkongnya Nyo Thi-sim sudah diwariskan semua kepadanya, sama sekali bocah ini tidak menyerah, hantaman tadi hanya membikin dia terhuyung sedikit saja dan tetap belum jatuh, hanya kepalanya dirasakan pusing dan berat, tenaga pun habis tanpa bisa membalas lagi.
Nampak keadaan bocah ini sudah payah, kini Ci-hong baru mau percaya bahwa Yo Ko memang betul2 tidak paham ilmu silat Karenanya dengan cepat ia berteriak mencegah: “Berhenti, Ceng-kong !”
“Nah, sekarang kau takluk padaku tidak ?” demikian bentak Ceng-kong pada Yo Ko.
Diluar dugaannya, Yo Ko masih tetap berkepala batu.
“lmam busuk, imam bangsat, siapa yang sudi takluk padamu ? Ada kalanya kau pasti akan kubunuh !” teriak Yo Ko dengan penuh dendam.
Keruan tidak kepalang gucar Ceng-kong karena caci-maki ini, susul menyusul ia kirim kedua kepalan pula dan tepat mengenai batang hidung Yo Ko.
Memangnya kepala Yo Ko sudah puyeng dan berat oleh pukulan2 tadi, kini pandangannya menjadi gelap hingga mata ber-kunang2, ia terhuyung2 hendak jatuh. Tetapi entah darimana, mendadak seluruh badannya se-akan2 mengalir hawa panas yang timbul dari pusarnya, sementara ia lihat jotosan ketiga kali Ceng-kong sudah datang mengarah mukanya pula, dalam keadaan kepepet, secara otomatis ia terus berjongkok dari mulutnya mengeluarkan suara “kok” sekali, berbareng kedua telapak tangannya disodok ke depan hingga dengan tepat mengenai perut Ceng-kong.
Sungguh hebat sekali pukulan ini, tahu2 sesosok tubuh segede kerbau telah mencelat pergi sejauh beberapa tombak, dengan mengeluarkan suara gedebuk disusul dengan debu pasir yang berhamburan dengan kaku Ceng-kong menggeletak telentang di atas tanah tanpa bisa berkutik lagi.
Tapi waktu para imam penyaksikan Ceng-kong menghajar Yo Ko yang jauh lebih kecil itu mereka pada mengunjuk rasa tidak-adil, bagi orang2 yang lebih tinggi tingkatannya, kecuali Thio Ci-keng saja yang memang masih dendam pada Yo Ko, yang lain be-ramai2 sudah bersuara mencegah.
Siapa tahu dalam keadaan mendadak itu tiba2 Ceng-kong bisa dipukul Yo Ko hingga mencelat begitu jauh untuk kemudian menggeletak dengan kaku tanpa bisa berkutik lagi.
Semua orang ternganga heran, be-ramai2 kemudian mereka maju memeriksa keadaan Ceng-kong.
Namun bagi Yo Ko, sama sekali iapun tidak mengira hantamannya itu bisa membawa hasil yang begitu hebat, Ha-mo-kang yang dia lontarkan ini, pertama kalinya pernah dia binasakan seorang anak murid Kay-pang di Tho-hoa-to tempo hari, kini sekali pukul Ceng-kong kena dijatuhkan lagi hingga mencelat.
“Haya, celaka, mati, sudah mati orangnya !”
“Wah, napasnya sudah putus, tentu jerohan-nya telah remuk !” - “Celaka, lekas lapor Ciang-kau Cosu !” - Demikian Yo Ko dengar suara teriakan kalang kabut para imam yang terkejut itu.
Ia pikir sekali ini dirinya benar2 telah ter-bitkan onar lagi, karena itu, dalam bingungnya tanpa pikir panjang lagi segera ia angkat langkah seribu, ia lari pergi tanpa arah tujuan.
Di lain pihak para imam itu sedang ribut oleh keadaan Ceng-kong yang belum diketahui mati atau hidup, maka kaburnya Yo Ko ternyata tiada seorangpun yang memperhatikan.
Setelah Thio Ci-keng periksa keadaan luka Ceng-kong yang parah, sembilan dari sepuluh bagian terang tiada harapan buat hidup lagi, ia menjadi kaget tercampur gusar.
“Yo Ko, Yo Ko ! Di mana kau ? ilmu siluman apakah yang kau pelajari itu ?” demikian segera ia ber-teriak2.
Meski ilmu silat Ci-keng tidak tergolong lemah, tetapi selamanya dia tinggal di Tiong-yang-kiong, maka pengalamannya kurang luas, Ha-mo-kang yang digunakan Yo Ko itu ternyata tidak dikenalnya.
Begitulah dia telah ber-teriak2 memanggil beberapa kali, namun sama sekali tidak terdengar Yo Ko menjawab, waktu para imam itu mencarinya namun tak melihat bayangan Yo Ko lagi.
Alangkah murka Thio Ci-keng, segera ia memberi perintah mengejar ke segenap jurusan, ia pikir Cong-lam-san yang luasnya beberapa puluh li itu seluruhnya di bawah pengaruh Tiong-yang-kiong, masakah bocah sekecil itu mampu lari ke mana ?
Bercerita tentang Yo Ko, ketika dengan gugup ia melarikan diri, sama sekali ia tidak pilih arah, secara ngawur ia lari secepat mungkin dan yang dipilih ialah hutan belukar yang lebat.
Tidak lama ia berlari terdengar olehnya dari belakang orang berteriak riuh ramai, semua penjuru ada orang sedang berteriak namanya: “Yo Ko, Yo Ko ! Hayo lekas keluar, ke mana kau hendak lari ?”
Karena teriakan itu, hati Yo Ko semakin gugup hingga larinya pun semakin tak genah, Tiba2 ia lihat ada bayangan orang berkelebat di-depannya, nyata ada satu To-su telah pergoki dia dan menyergap tiba, Lekas Yo Ko putar tubuh berlari kearah lain, akan tetapi celaka baginya, di sana sudah mengadang pula imam yang lain.
“Nah, ini dia I Disini orangnya, di sini!” demikian imam itu ber-teriak2.
Dengan kalap Yo Ko menerjang dengan kepala menunduk, akan tetapi Tosu tadi siap papaki dia, dengan tangan terpentang, segera imam itupun menubruk maju.
Namun sekali ini Yo Ko sudah siap siaga, se-konyong2 ia berjongkok, kembali ia keluarkan ilmu weduk katak buat serang orang, dengan sekali sengkelit, tubuh imam itu dia lemparkan ke-belakang.
Meski imam itu tidak sampai terluka parah, tapi terbanting jatuh hampir kelengar dan seluruh badan. babak-belur.
Imam-imam yang lain menjadi jeri demi nampak gerak serangan Yo Ko yang lihay dan ganas, mereka tidak berani sembarangan maju lagi, hanya berdiri di tempat jauh mereka ber-teriak2 pula memanggil kawan.
Ber-runtun2 Yo Ko berhasil menangkan dua imam dengan Ha-mo-kang atau ilmu weduk katak, rasa takutnya tadi menjadi banyak berkurang, tetapi kakinya toh tidak pernah berhenti, ia masih terus lari ke depan dengan cepat.
Sesudah ber-Iari2, achirnya para imam tadi menjadi jauh ditinggalkan olehnya, diam2 ia merasa girang. Di luar dugaannya, se-konyong2 dari belakang satu pohon besar melompat keluar seorang imam setengah umur yang bermuka putih tampan dan mengadang di depannya.
Waktu Yo Ko awasi, ia kenal imam ini adalah murid Khu Ju-hi yang tertua In Ci-peng, kedudukannya terhitung paling tinggi di antara anak murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, Oleh karenanya lekas2 ia belok ke kiri hendak kabur lagi.
Tak tahunya gerak tubuh ln Ci-peng luar biasa cepatnya, sekali ia ulur tangannya, sekatika baju dada Yo Ko kena di jamberetnya.
“Marilah, ikut padaku!” dengan tersenyum In Ci-peng berkata.
Namun Yo Ko tidak menyerah begitu saja, kembali ia gunakan ilmu Ha-mo-kang, kedua telapak tangannya dengan cepat dipukulkan ke depan.
In Ci-peng tahu akan lihaynya pukulan ini, ia menjadi terkejut, lekas2 ia mendahului orang, sebelum tenaga pukulan Yo Ko dilontarkan, kedua tangannya dengan kencang mencengkeram dulu pergelangan Yo Ko, dengan paksa Ha-mo-kang yang hendak dilontarkan itu dia tolak kembali
Harus diketahui bahwa Ha-mo-kang sebenarnya adalah ilmu kelas wahid dari dunia persilatan cuma sayang Yo Ko belum banyak mempelajarinya dan waktunya pun tidak lama, dengan sendirinya ia bukan tandingan murid Coan-cin-kau angkatan ketiga yang tangguh ini
Oleh karena tangannya dipegang orang, dalam gugupnya Yo Ko berjingkrak2, dan selagi ia hendak mencaci maki, tiba2 terdengar Ci-peng menghela napas, lalu Yo Ko pun dilepaskan.
“Sudahlah, lekas kau lari saja, biar aku melindungi kau disini,” demikian ia berkata pula. “Jika kau kena ditangkap kembali oleh gurumu, maka jiwamu yang kecil ini pasti tidak terampun-kan lagi.”
Kiranya tadi waktu Yo Ko bertanding dengan imam cilik, tatkala itu In Ci-peng tidak ikut menyaksikan, tapi kemudian anak muridnya telah lapor kepadanya apa yang terjadi sesudah Ceng-kong kena dihantam oleh ilmu weduk katak Yo Ko. Maka lekas2 iapun menyusul datang hendak cari tahu bagaimana kelanjutannya.
Kini sesudah berhadapan dengan Yo Ko dan melihat mulut anak ini pecah, hidung bengkak mukanya penuh berlepotan darah, ia menduga bocah ini tentu telah mengalami hajaran yang kejam pula, Ci-peng memang cukup kenal watak Ci -keng yang keras, orangnya tak berbudi, ia sendiri tidak akur dengan Ci-keng, lebih2 bila ter ingat olehnya ayah Yo Ko yang masih terhitung saudara seguru dengan dirinya, tiba2 hatinya menjadi lemah, ia tidak tega kalau sampai Yo Ko ditawan kembali oleh Ci-keng, maka ia sengaja melepaskan anak ini.
Sebaliknya Yo Ko menjadi heran ketika mendengar orang mau lepaskan dirinya begitu saja, sesaat itu ia jadi bingung, ini dapat dimengerti karena beberapa tahun ini ia sudah kenyang merasakan segala hinaan, terhadap siapa saja tiada seorang pun yang dia percayai.
Karena itu, ia kuatir Ci-peng sengaja lepaskan dirinya untuk kemudian ditangkap lagi, maka tanpa menoleh segera Yo Ko lari ke depan, sementara sayup2 ia dengar di belakang sana In Ci-peng sedang cekcok mulut dengan orang.
Ber-lari2 dalam jarak panjang ini sebenarnya sangat payah bagi Yo Ko, syukur ia mempunyai kekuatan dasar Lwekang belasan tahun Iamanya.
Maka dia masih sanggup bertahan dengan seluruh tenaganya.
Kemudian ia pilih jalan lain, kini ia lari menyusun semak2 dan berbelak-belok di antara batu2 pegunungan yang tak teratur, sementara cuaca sudah mulai gelap, seluruh badannya terasa lemas, hampir2 ia jatuh terkulai saking letihnya napasnya yang sudah kempas-kempis.
Setelah duduk sejenak, selagi Yo Ko hendak berdiri buat melanjutkan buronnya, tiba2 ia dengar di belakangnya ada suara orang mendengus.
Keruan saja Yo Ko kaget, dengan cepat ia menoleh, tetapi ia menjadi tambah kaget hingga jantungnya se-akan2 melocat keluar dari mulutnya. Kiranya dibelakangnya sudah berdiri satu imam dengan mata mendelik dan alis mengerut tegak dan berjenggot panjang, siapa dia kalau bukan Thio Ci-keng yang pernah dia angkat menjadi guru.
Sesaat itu kedua orang menjadi saling pandang dengan mata mendelik gusar, untuk beberapa detik itu mereka sama2 tidak bergerak sedikitpun.
Akan tetapi se-konyong2 Yo Ko berteriak sekali berbareng ia putar tubuh terus lari.
Sudah tentu Thio Ci-keng tidak membiarkan anak ini lari begitu saja, ia menyerobot maju terus mencengkeram tengkuk orang.
Tahu akan ancaman bahaya ini, tiba2 Yo Ko mendak dan menubruk kedepan, dengan cepat ia meraup sepotong batu terus ditimpukkan ke belakang,.
Karena serangan mendadak yang tidak termasuk teori ilmu silat ini, terpaksa Ci-keng mengegos menghindarkan diri, habis ini ia mengudak lagi terlebih cepat hingga jarak mereka semakin dekat.
Dalam keadaan demikian Yo Ko sudah tidak hiraukan akibatnya lagi, sesudah berlari kesetanan beberapa langkah pula, tiba2 di depannya adalah tebing yang curam, ia tidak pusingkan di bawah sana apakah jurang yang dalam atau sungai yang berbahaya, tanpa pikir ia ceburkan diri ke bawah, seketika iapun tidak tahu apa2 lagi.
Sesudah dekat, Ci-keng coba melongok ke bawah tebing yang curam itu, ia lihat tubuh Yo Ko sedang menggelinding ke bawah mengikuti tanah miring yang menghijau dengan rumputnya yang lebat, kemudian lantas menghilang ke dalam semak2 di bawah pohon yang rindang.
Ci-keng sendiri tidak berani ikut melompat ke bawah begitu saja, maka ia telah cari jalan lain, ia memutar ke tanah miring itu dan kemudian mengikuti bekas2 yang tergilas oleh tubuh Yo Ko yang menggelinding itu dan mencari ke dalam hutan dibawah sana.
Tetapi hutan itu semakin dimasuki ternyata semakin lebat hingga akhirnya sedikitpun sinar matahari tidak tertampak, Saat itu ia sudah menempuh sejauh beberapa tombak ke dalam hutan, ketika mendadak ia teringat bahwa daerah itu adalah “kuburan kuno” dimana kakek gurunya, Tiong-yang Cosu pernah menetap, ia ingat bahwa Coan-cin-kau mereka selamanya ada peraturan keras yang melarang siapapun untuk mendatangi daerah kuburan ini. Akan tetapi bila Yo Ko harus dilepaskan saja, inilah Ci-keng tidak rela.
“Yo Ko, Yo Ko, lekas keluar !” segera ia ber-teriak2.
Tetapi meski ia ulangi beberapa kali teriakan-nya, sama sekali tiada jawab yang terdengar, ia menjadi murka, dengan tabahkan hati ia melangkah maju lagi beberapa tindak, dalam keadaan remang2 tiba2 terlihat olehnya di atas tanah sana berdiri satu pilar batu, waktu ia tegasi sambil berjongkok, maka terbacalah olehnya apa yang tertulis diatas batu itu, yakni yang berarti: “Orang luar berhenti disini.”
Tulisan yang melarang orang maju lebih jauh ini, membikin Ci-keng menjadi ragu2, ia bingung apa maju terus atau tidak ? Karena itu segera ia berteriak lagi: “Hayo keluar, Yo Ko ! Kau bangsat cilik ini, kalau nanti tertangkap pasti kuhajar mampus kau !”
Baru habis ia menggembor se-konyong2 terdengar suara riuh aneh mendengung dari dalam hutan, menyusul itu segerombolan bayangan kelabu tiba2 berkelebat, serombongan tawon putih telah menyambar keluar di antara daun pepohonan.
Tentu saja Ci-keng sangat terkejut, lekas2 ia kebutkan lengan bajunya dengan maksud mengusir kawanan tawon itu, ia memiliki tenaga dalam yang kuat, dengan sendirinya tenaga kebutan lengan bajunya itupun tidak kecil, diluar dugaan, baru saja ia mengebas beberapa kali, mendadak kawanan tawon itu terpencar menjadi dua barisan, yang satu menyamber dari depan dan yang lain menyergap dari belakang.
Keruan Ci-keng semakin kaget sedikitpun ia tak berani ayal lagi, segera ia putar lengan bajunya buat melindungi seluruh tubuhnya.
Siapa tahu, kawanan tawon putih ini ternyata sangat pintar, beberapa kali mereka gagal menyerang, segera dari dua barisan mereka terpencar menjadi empat barisan, dari empat jurusan mereka lantas mengepung.
Dalam keadaan demikian, Ci-keng tak berani bertahan lebih lama lagi, sambil ayun lengan bajunya untuk melindungi kepala dan mukanya, segera ia putar tubuh dan angkat langkah seribu.
Namun kawanan tawon itu tidak membiarkan sasarannya kabur begitu saja, dengan mengeluarkan suara “ngung-ngung” yang riuh, segera mereka menguber.
Walaupun terbangnya tidak terlalu cepat namun tawon putih ini menguber terus tiada hentinya, kemana Ci-keng lari, ke sana mereka mengudak, Ci-keng lari ke timur, mereka ikut ke timur, lari ke barat, mereka ngintil ke barat hingga akhirnya Ci-keng kewalahan sendiri Ketika lengan bajunya sedikit terlambat mengebut, secepat kilat dua ekor tawon putih sudah menerobos masuk melalui lowongan itu dan masing2 mengantup sekali di pipi kanannya.
Luar biasa sakitnya sengatan itu hingga Ci-keng meringis, karena itu, cara mengebas lengan bajunya menjadi kacau dan asal kena saja, “Hari ini jiwaku pasti melayang !” demikian ia pikir, sebab ia sangka rombongan tawon itu segera pasti akan merubung kepala dan mukanya lagi.
Tak tahunya, dugaannya ternyata meleset, sekali sengat kawanan tawon itu rupanya merasa sudah cukup, agaknya mereka tidak mau banyak buang tenaga, sesudah bisa tawon mulai bekerja hingga Ci-keng berkelejotan kesakitan di tanah rumput, segera kawanan tawon itu mundur teratur kedalam hutan.
Kembali pada Yo Ko tadi, sesudah dia tergelinding masuk ke dalam hutan dengan pingsan, entah berapa lama sudah lewat, ketika tiba2 terasa olehnya tubuhnya kesakitan seperti ditusuk sesuatu, saking sakitnya ia membuka matanya, maka tertampaklah tawon putih yang tidak terhitung banyaknya sedang beterbangan mengitari tubuh nya, kupingnya se-akan2 pekak oleh suara “ngung-ngung yang berisik dari kawanan tawon itu.
Bagaimanapun Yo Ko memang masih kecil, sesudah menderita sehari penuh dengan segala siksaan, akhirnya ia tidak sanggup bertahan lagi, kembali ia jatuh pingsan pula.
Lewat lama sekali, tiba2 mulutnya terasa dicekoki oleh semacam cairan yang dingin segar dan harum pula yang pe-lahan2 mengalir masuk tenggorokannya. Dalam keadaan masih setengah sadar ia merasa enak sekali cairan itu, maka pe-lahan2 ia coba buka matanya, akan tetapi ia menjadi begitu kaget ketika terlihat olehnya di depannya berdiri seorang nenek berwajah jelek keriput seperti kulit ayam yang penuh borok. Saking kagetnya, hampiri Yo Ko jatuh semaput lagi.
Sementara itu manusia bermuka jelek itu telah pentang mulut Yo Ko pula mencekokinya dengan cairan manis tadi.
Hendaklah diketahui bahwa cairan manis ini adalah madu tawon yang diperoleh dari rombongan tawon putih itu yang khasiatnya sangat mujarab untuk menyembuhkan segala racun, kalau buat sembuhkan antupan tawon itu sendiri, sudah tentu lebih2 mujarab lagi.
Karena itulah dengan segera Yo Ko merasakan tubuhnya menjadi segar bugar, iapun tahu manusia jelek itu tidak bermaksud jahat padanya, maka ia telah tersenyum sebagai tanda berterima kasih.
Manusia jelek itupun balas bersenyum, lapi karena senyumannya ini, mulutnya bergerak, otot daging di mukanya ikut terkerut, mukanya yang sudah jelek seketika bertambah lebih jelek hingga sukar dilukiskan.
Kembali Yo Ko terkejut, tetapi aneh, ia merasa dibalik muka orang yang jelek tersembunyi perasaan yang welas-asih, kalau dibandingkan sikap dingin para imam di Cong-lam-san itu, ia merasa sikap nenek jelek ini bikin dirinya lebih hangat.
“Popoh, jangan kau biarkan Suhu datang menangkap aku,” demikian kemudian ia berkata.
Mendengar anak ini menyebut dirinya sebagai Popoh atau nenek, wanita tua bermuka jelek itu sangat senang.
“Siapakah Suhu-mu, nak ?” tanyanya kemudian.
Mendengar suara pertanyaan yang penuh simpatik ini, Yo Ko menjadi terharu, memangnya perasaan halusnya gampang terguncang, kini mendengar kata2 yang lemah lembut, seketika ia tak sanggup menjawab, malahan ia terus menangis tersedu-sedu.
Dengan pelahan wanita tua itu pegang tangan Yo Ko, ia tidak menghiburnya, melainkan membiarkan Yo Ko menangis se-puas2nya, wajahnya tetap tersenyum sambil memandang bocah ini dengan kepala miring, diantara sinar matanya penuh mengandung rasa kasih sayang.
“Sudah baikkah kau ?” tanya nenek ini kemudian dengan suara halus sesudah Yo Ko puas menangis.
Watak Yo Ko memang suka pada kehalusan dan tidak doyan kekerasan, kalau orang lain menghantam dia, menghina dia, se-kali2 tidak nanti dia mencucurkan air mata barang setetespun di hadapan orang.
Kini didengarnya suara si wanita tua yang lemah lembut dan penuh simpatik, hatinya semakin terharu hingga kembali ia menangis lagi.
“Sudahlah, anak baik, jangan menangis, jangan menangis ! sebentar tubuhmu tentu tidak akan sakit lagi,” sambil menghibur, wanita tua jelek itu lantas keluarkan saputangannya untuk mengusap air mata Yo Ko.
Tetapi semakin ia menghibur, tangis Yo Ko semakin keras dan bertambah sedih, karenanya berbalik, si nenek merasa kelabakan, bingung tidak tahu apa yang harus diperbuatnya lebih lanjut.
“Sun-popoh, kenapa kau bikin anak orang menangis begitu rupa ?” tiba2 terdengar suara orang bertanya, suara halus merdu di luar kerai
Ketika Yo Ko angkat kepalanya memandang, ia lihat sebuah tangan halus putih bersih sedang menyingkap kerai, menyusul masuklah seorang gadis jelita.
Gadis ini mengenakan baju putih mulus terbuat dari sutera halus dengan gaya yang sangat menarik, usianya belum ada dua puluhan tahun, kecuali rambutnya yang kelihatan hitam, selebihnya serba putih di seluruh badannya, wajahnya pun ayu luar biasa, namun kulit dagingnya tidak kentara warna darah sedikitpun, lapat2 membawa semacam perbawa yang aneh seperti dewi kayangan saja yang tidak mengenyam daharan keduniawian.
Mendengar orang mengatakan dia menangis, dengan muka merah segera Yo Ko berhenti menangis, ia menunduk malu, tetapi segera ia melirik lagi pada gadis jelita itu, ia lihat orang sedang memandang juga padanya, maka cepat ia menunduk kembali.
“Aku sudah kewalahan, kau saja yang menghiburnya,” demikian terdengar Sun-popoh berkata dengan ketawa.
Gadis jelita itu lantas mendekati pembaringan Yo Ko, ia lihat luka dijidatnya bekas diantup tawon putih, ia ulur tangannya buat meraba dengan maksud ingin mengetahui apakah Yo Ko demam atau tidak.
Begitu tangannya menempel jidat Yo Ko, tanpa terasa anak ini jadi menggigil, ternyata tangan gadis itu dingin bagai es.
“Tidak apa-apa, kau sudah minum madu tawon, sebentar lagi tentu kau akan sembuh kembali.” demikian kata gadis itu. “Kau bernama siapa, nak ?”
Yo Ko tidak lantas menjawab, ia pandang orang lagi dengan mendongak ketika sinar matanya kebentrok dengan sinar mata si gadis, dalam hatinya tiba2 timbul semacam perasaan aneh yang sukar diucapkan, ia merasa gadis ini luar biasa cantiknya, luar biasa ayunya, tetapi dibalik kecantikan itu si gadis tanpa mengunjuk perasaan sedikitpun.
Yo Ko menjadi bingung, ia tidak tahu orang sedang gusar atau lagi senang, sedang sedih atau lagi girang, tanpa terasa ia merasa heran, ia membatin gadis ini sebenarnya manusiakah ? Setankah atau sebangsa malaikat dewata ? Ketika ia dengar suara orang yang nyaring halus itu seperti tidak berperasaan sedikitpun, seketika Yo Ko tak bisa menjawab pertanyaan orang tadi.
“lni adalah Liong-cici, ia adalah tuan rumah di sini, apa yang dia tanya hendaklah kau jawab saja!” demikian terdengar Sun-popoh berkata padanya dengan tertawa.
Kiranya gadis jelita berbaju putih mulus ini memang bukan lain daripada Siao-liong-li yang menjadi tuan rumah “kuburan orang hidup” (artinya orang hidup tinggal dalam kuburan se-akan2 sudah mati). Sun-popoh ini adalah pelayan yang dahulu mendampingi gurunya Siao-liong-Ii, tapi sejak sang guru wafat, dalam kuburan hanya tinggal mereka berdua saja yang hidup berdampingan.
Hari itu mereka dengar suara mengaungnya tawon putih, mereka tahu tentu ada orang melanggar tapal batas tanah kuburan di hutan itu, maka Sun-popoh telah keluar buat memeriksanya, di sana ia dapatkan Yo Ko sudah jatuh pingsan, maka dialah yang telah menolong jiwa anak itu.
Sebenarnya menurut peraturan kuburan kuno itu, orang luar siapapun tidak diperbolehkan masuk barang setengah langkahpun apalagi orang laki2, hal ini lebih2 melupakan pantangan besar, Akan tetapi karena usia Yo Ko masih kecil, pula seluruh badannya kelihatan babak-belur bekas luka, meski wajah Sun-popoh sangat jelek dan kelihatan bengis, namun hatinya sebenarnya sangat welas-asih, maka ia telah turun tangan menolong Yo Ko dengan melanggar kebiasaannya.
Begitulah sesudah mendapat penjelasan dari Sun-popoh, dengan cepat Yo Ko lantas melompat bangun, ia turun dari pembaringannya dan berlutut menjura pada Sun-popoh dan Siao-liong-Ii.
“Tecu Yo Ko dengan ini memberi hormat pada Sun-popoh dan Liong-kokoh,” demikian ia perkenalkan diri sambil panggil orang sebagai nenek dan bibi.
Keruan Sun-popoh kegirangan dan tertawa lebar, lekas2 ia membangunkan bocah itu, “Ah, kiranya kau bernama Yo Ko. Sudahlah, jangan pakai adat - istiadat segala,” demikian ia berkata.
Hal ini memang pantas, sebab sudah beberapa puluh tahun Sun-popoh tinggal di dalam kuburan, selama itu pula tidak pernah ia bergaul dengan orang luar, kini demi nampak wajah Yo Ko cakap, cekatan dan pintar pula, dalam hati ia menjadi luar biasa menyukainya.
Sebaliknya Siao-liong-li ternyata tetap bersikap dingin saja, ia hanya mengangguk sekali, habis ini ia ambil tempat duduk pada suatu kursi ditepi ranjang sana.
“Cara bagaimanakah kau bisa sampai disini? Dan mengapa terluka ? Orang jahat siapakah yang telah hajar kau sedemikian rupa ?” demikian Sun-popoh bertanya lagi, Di mulut ia bertanya, tapi sebelum orang menjawab ia sudah sibuk mengambilkan barang makanan dan suruh Yo Ko makan.
Setelah makan sedikit kue yang diberikan itu, kemudian Yo Ko menceritakan nasib dan asal usul dirinya, ia ceritakan seluruhnya dari awal sampai akhir, Memangnya Yo Ko pandai bicara, maka ceritanya menjadi sangat menarik, ditambah lagi ia baru saja dihajar orang, dengan sendirinya lagu kata2-nya menjadi makin bernapsu.
Sun-popoh ber-ulang2 menghela napas karena terharu oleh nasib bocah ini, malahan kadang2 ia menimbrung dengan beberapa kata pendapatnya, tapi semua kata2 yang dia lontarkan ternyata selalu bernada membela Yo Ko saja, sebentar ia cela Oey Yong yang suka pilih kasih mengeloni puterinya sendiri, sebentar lagi ia maki Thio Ci-keng yang berpikiran sempit dan tak berbudi dan tega menghajar satu anak kecil.
Hanya Siao-liong-li masih tetap tidak unjuk sesuatu pendapatnya, ia masih duduk dengan tenang saja, cuma di waktu Yo Ko bercerita pernah bertemu dengan Li Bok-chiu, ia telah saling pandang beberapa kali dengan Sun-popoh.
“O, anakku yang harus dikasihani!” demikian ber-ulang2 Sun-popoh menyebut sambil merangkul Yo Ko sesudah bocah ini selesai menutur.
Sebaliknya Siao-liong-li pe-lahan2 berdiri dan tidak pedulikan keadaan kedua orang yang saling rangkul itu. “Sudahlah, lukanya sudah tidak berbahaya lagi, Sun-popoh, kini kau boleh antar dia pergi!” tiba2 ia berkata.
Tentu saja Sun-popoh kaget, begitu pula Yo Ko tercengang.
“Tidak, aku tidak mau kembali ke sana, matipun aku tidak mau kembali kesana !” teriak Yo Ko.
“Kohnio (nona), anak ini kalau kembali lagi ke Tiong-yang-kiong pasti akan dihajar lagi oleh gurunya,” kata Sun-popoh coba membujuk Siao-liong-li.
“Tidak, kau antar dia kembali ke sana, katakan pada gurunya agar jangan bikin susah anak ini,” sahut Siao-liong-li.
“Ai, ini adalah urusan dalam orang lain, mana bisa kita ikut campur,” ujar Sun-popoh.
“Kau boleh antarkan sebotol Giok-hong-cio (madu tawon putih) dan bicara padanya, tidak nanti imam tua itu tidak menurut,” kata Siao-liong-li lagi.
Kata2 Siao-liong-li ini diucapkan dengan suara halus, tetapi sebagai majikannya, dengan sendirinya mengandung semacam perbawa yang sukar dibantah. Karena itu, Sun-popoh telah menghela napas, ia cukup kenal tabiat Siao-liong-li yang kukuh, percuma saja meski banyak bicara, ia tatap Yo Ko pula dengan penuh rasa kasih sayang.
Di luar dugaan, se-konyong2 Yo Ko melompat maju terus memberi hormat pada mereka berdua. Tierima kasih pada Popoh dan Kokoh yang telah menyembuhkan lukaku, sekarang aku mohon diri saja,” demikian ia berkata.
“Ke mana kau hendak pergi ?” dengan cepat Sun-popoh tanya.
Yo Ko menjadi tertegun oleh pertanyaan ini, memang sebelumnya ia tidak tahu akan menuju kemana, “Dunia masih cukup luas, kemana saja aku bisa pergi,” jawabnya kemudian.
Ia berkata dengan ketus, akan tetapi di antara matanya jelas kelihatan mengunjuk perasaan sedih.
“Adik cilik, bukannya aku tidak mau terima kau menginap di sini, tetapi sesungguhnya ada peraturan keras di sini yang melarang orang luar datang kemari, hendaklah kau jangan menyesal,” demikian Siao-liong-li berkata padanya.
“Kokoh jangan bilang begitu, kelak saja kita berjumpa pula,” sahut Yo Ko dengan lantang.
Walaupun ia berkata dengan menirukan lagak orang tua, tetapi karena suaranya masih ke-kanak-kanakan, maka kedengarannya sangat lucu, Sun-popoh merasa geli juga dan kasihan pula, ia lihat mata anak itu basah tetapi sedapat mungkin bertahan jangan sampai butiran air mata itu menetes.
“Sudahlah, Kohnio, kini sudah jauh malam, kenapa tidak biarkan dia berangkat besok pagi saja,” segera ia membujuk Siao-liong-li pula.
Namun percuma saja, apa yang sudah diputuskan Siao-liong-li, siapapun tidak mungkin bisa membatalkan maksudnya, maka ia telah geleng2 kepala.
“Popoh, apa kau lupa pada peraturan yang ditetapkan Suhu dahulu ?” demikian ia peringatkan Sun-popoh.
Karena itu, Sun-popoh menjadi tak berdaya, lalu ia berdiri, dengan suara rendah ia berkata pada Yo Ko: “Mari, nak, akan kuberi sesuatu mainan padamu”.
Diluar dugaan, mendadak Yo Ko kesut air matanya, habis ini dengan kepala menunduk supaya tangisnya tidak terlihat orang, ia lantas berlari keluar.
“Tidak, aku tak mau, akupun tidak perlu diantar kau,” serunya.
Akan tetapi baru saja ia berlari sampai am-bang pintu, tiba2 terdengar suara teriakan orang yang berkumandang dari luar, suara itu sangat keras dan sedang berkata : “Anak murid Coan-cin-kau, In Ci-peng, atas perintah Suhu mohon bertemu Liong-kohnio”
“Di luar ada orang mencari kau, jangan kau keluar dulu,” lekas Sun-popoh menahan Yo Ko.
Seketika muka Yo Ko menjadi pucat, ia terkejut tercampur gusar, saking terguncang perasaannya hingga tubuh juga gemetar.
“Sun-popoh, pergilah kau bicara pada me-reka,” kata Siao-liong-li.
“Baiklah,” sahut Sun-popoh sesudah memikir sejenak, habis ini ia berpaling dan berkata pada Yo Ko : “Kau tinggal dulu disini, biar aku bicara dengan mereka.”
Siapa tahu adat Yo Ko justru tidak kenal apa artinya takut, lebih2 ia tidak mau tunduk pada kekerasan, maka dengan suara lantang ia menjawab: “Popoh, tak usah urus diriku lagi. Berani berbuat berani bertanggung javvab, biar aku sendiri yang menghadapi mereka, aku sudah terlanjur membunuh orang, biar aku ganti dengan jiwaku agar dibunuh mereka.”
Habis berkata dengan langkah lebar ia lantas berjalan keluar.
Akan tetapi kuburan kuno yang sebenarnya lebih tepat dikatakan istana dibawah tanah itu luar biasa besar dan luasnya, Dahulu Ong Tiong-yang berlatih silat dan bertapa juga dilakukan di sini, kemudian ditempati bekas kekasihnya bahkan keadaan dalam kuburan telah banyak ditambah dan diperindah hingga keadaan jalanan di dalamnya luar biasa ruwet perubahannya, kalau bukan orang yang sudah kenal betul jalan2 di dalamnya, pasti orang akan kesasar untuk selamanya tidak dapat keluar Iagi.
Karena itulah dengan cepat Sun-popoh lantas menyusul ia pegang tangan Yo Ko dan digandeng hanya sekejap saja sesudah menyusur hutan rindang itu mereka sudah sampai di tanah lapang didepan hutan sana.
Di bawah sinar bulan yang terang, tertampaklah di sana sudah berdiri enam atau tujuh orang imam dengan berjajar, kecuali itu ada pula empat imam pekerja yang menggotong Thio Ci-keng serta Ceng-kong yang terluka parah itu.
Dengan munculnya Yo Ko, seketika para imam itu menjadi berbisik, mereka saling bicara dengan suara pelahan sambil melangkah maju beberapa tindak secara serentak.
Dalam pada itu, tanpa menunggu orang buka suara lagi segera Yo Ko melepaskan gandengan Sun-popoh terus lari maju ke depan.
“lni, aku ada disini, hendak disembelih atau mau dikorek boleh terserah sesukamu!” dengan suara keras ia memapaki para imam itu,
Tentu saja sikap Yo Ko ini sama sekali di luar dugaan imam2 Coan-cin-kau itu, sama sekali tidak disangka bahwa bocah sekecil ini mempunyai watak yang begitu keras dan berani mati.
Tetapi diantara imam2 itu segera ada satu yang maju, dengan sekali tarik, tahu2 Yo Ko kena diseretnya ke sebelah sana.
“Hm, aku toh tidak bakal lari, apa yang kau kuatirkan ?” dengan kepala batu Yo Ko masih menjengek.
Tentu saja imam itu tidak mau menerima ejekan itu, ia adalah muridnya Thio Ci-keng, ia telah menyaksikan keadaan gurunya yang diantup tawon dan belum diketahui bakal mati atau hidup, dan semua itu adalah gara2 Yo Ko, dengan sendirinya ia sangat benci pada bocah ini, kini mendengar orang malah mengejek padanya, dengan gemas ia angkat kepalan terus memukul ia hantam batok kepala Yo Ko.
Sebenarnya Sun-popoh bermaksud bicara secara baik2 dengan para imam itu, tetapi mendadak secara paksa Yo Ko diseret kesana, melihat ini saja ia tak tega, apalagi mendadak ia menyaksikan Yo Ko dihajar pula, tentu saja api amarahnya lantas membakar. Tanpa ayal lagi ia lantas menyerobot maju, begitu lengan bajunya mengebut, sekali saja tangan imam yang memegang Yo Ko itu kena disabet.
Karena serangan ini, seketika imam itu merasakan tangannya sakit pedas seperti kena dipukul oleh ruyung baja saja, mau-tidak-mau ia harus melepaskan Yo Ko, dan selagi ia hendak bentak bertanya, tahu2 Sun-popoh menyamber tubuh Yo Ko terus diangkat, tanpa bicara wanita tua ini putar tubuh lantas berjalan pergi.
Sudah tentu imam2 yang lain tidak biarkan orang pergi begitu saja, segera ada tiga imam yang lain mengudak maju, “Lepaskan orangnya !” teriak mereka.
“Kalian mau apa ?” sahut Sun-popoh menoleh dengan tertawa dingin.
Di antara para imam itu In Ci-peng terhitung paling tahu adat, ia mengerti manusia2 yang tinggal di dalam kuburan kuno itu rapat sekali hubungannya dengan perguruannya sendiri, maka tak berani ia berlaku gegabah, lekas2 ia membentak mencegah kawan-kawannya,
“Lekas mundur, jangan kurangajar kepada orang tua,” demikian katanya, Habis ini dia sendiri maju memberi hormat pada Sun-popoh, ia perkenalkan diri pula: “Tecu In Ci-peng memberi hormat pada Cianpwe”
“Lalu kalian mau apa ?” tanya Sun-popoh pula.
“Anak ini adalah murid Coan-cin-kau kami, mohon cianpwe suka menyerahkan dia,” sahut Ci-peng.
“Hm, serahkan dia ? Enak saja kau buka mulut,” damperat Sun-popoh dengan suara bengis, “Dihadapanku saja kalian berani hajar dia secara begini kejam, apalagi nanti kalau sudah berada di rumah, entah cara bagaimana kalian akan siksa dia. Kini kau ingin aku melepaskan dia, maka aku bilang tidak bisa! Sekali tidak, seribu kali tetap tidak !”
“Tetapi anak ini terlalu nakal dan berani pada guru. cianpwe tentu tahu dalam Bu-lim orang paling menghormat pada orang tua, maka kalau kami menghukum padanya, agaknya pantas juga,” kata Ci-peng dengan menahan marah.
“Hm, berani pada guru apa segala, hanya ocehan sepihak belaka,” kata Sun-popoh lagi dengan gusar, Lalu ia tuding Ceng-kong yang rebah ditempat usungan itu dan menyambung pula: “Bocah ini bertanding dengan imam sebesar itu, memangnya itu peraturan Coan-cin-kau kalian ? sebenarnya bocah ini tidak mau maju, tetapi kalian paksa dia turun kalangan, Dan kalau sudah saling gebrak, dengan sendirinya ada yang menang dan ada yang kalah, kalau imam gemuk itu sendiri yang tak becus dan/kena dihantam, kenapa harus salahkan orang lain ?”
Wajah Sun-popoh memangnya sudah jelek karena marah, kulit mukanya menjadi merah padam, keruan rupanya semakin menakutkan.
Dalam pada itu ber-turut2 sudah datang lagi belasan imam yang lain, mereka pada berdiri di belakang In Ci-peng dan sedang bisik2 membicarakan wanita tua bermuka jelek yang tak mereka kenal ini.
“Tentang siapa yang benar dan salah dalam pertandingan itu, kami tentu akan melaporkannya pada Ciangkau Cosu kami untuk diambil keputusannya,” demikian sahut Ci-peng lagi. “Maka harapIah Locianpwe kembalikan anak itu.”
Waktu itu Yo Ko masih merangkul dalam pondongan Sun-popoh, ia bisik2 pada orang tua itu buat menghasut: “Popoh jangan mau percaya, imam ini banyak sekali tipu musIihatnya, jangan kau kena diakali.”
Mendengar Yo Ko berlaku begitu aleman dan ber-ulang2 memanggil Popoh atau nenek padanya, Sun-popoh menjadi girang sekali, dalam hati ia telah ambil suatu keputusan yang pasti, yalah tidak akan menyerahkan Yo Ko pada In Ci-peng.
Oleh karenanya dengan suara keras ia lantas berteriak pula: “Kau inginkan anak ini, lalu apa yang hendak kalian perbuat atas dirinya ?”
“Tecu mempunyai hubungan saudara seperguruan dengan ayah anak ini, pasti tidak bakal membikin susah anak kawan yang sudah meninggal harap Locianpwe jangan kuatir,” sahut Ci-peng.
“Hm, dengan apa aku harus percaya padamu ?” jengek Sun-popoh. “Aku tidak biasa banyak bicara dengan orang luar, maaf saja aku tak bisa tinggal lebih lama di sini.”
Habis berkata, lalu ia angkat kaki hendak kembali ke dalam hutan lagi,
Tatkala itu Thio Ci-keng sedang digotong orang, lukanya yang diantup tawon terasa jarem dan gatal luar biasa, tetapi pikirannya cukup terang dalam segala hal ia dengar Ci-peng adu mulut dengan Sun-popoh sekian lamanya, ia menjadi gusar, Sewaktu Sun-popoh hendak melangkah pergi, mendadak ia melompat bangun dari usungan terus mengadang di depan Sun-popoh.
“Dia adalah muridku,. apa aku hendak hajar dia atau hendak memaki dia, semuanya terserah padaku, Kau tidak perbolehkan guru mengajar, murid, apa di dunia persilatan terdapat peraturan semacam ini ?” demikian ia membentak.
Melihat kepala orang bengkak sekali lipat daripada biasanya, pula dari lagu suaranya, tahulah Sun-popoh pasti imam ini adalah guru Yo Ko. Atas teguran itu, seketika ia menjadi tak bisa menjawab.
Oleh karena sudah tiada alasan, terpaksa ia menjawab secara membandel: “Ya, justru aku tak perkenankan kau mengajar dia, kau mau apa ?”
“Anak ini pernah apa dengan kau ? Berdasarkan apa kau ikut campur tangan ?” bentak Ci-keng pula dengan murka.
Kembali Sun-popoh tertegun oleh pertanyaan ini. Tetapi ia semakin bandel pula, maka tanpa pikir ia menjawab dengan suara keras:
“Dia sudah bukan anak murid Coan-cin-kau kalian lagi, tahu? Anak ini sudah mengangkat nona Siao-liong-li kami sebagai guru, maka baik atau jelek akan dirinya, dibumi ini hanya Siao-liong-li seorang saja yang boleh mengurusnya, Nah, kalau kalian tahu gelagat, lekas enyah dan jangan coba ikut campur urusan ini.”
Kata2 ini ternyata sangat mengejutkan para imam itu hingga seketika mereka menjadi gempar.
Kiranya menurut peraturan Bu-lim atau dunia persilatan siapa saja sebelum mendapat perkenan dari guru asalnya sekali2 dilarang mengangkat guru lagi pada orang laim jika hal itu dilakukan maka itu berarti “suatu penghianatan yang maha besar dan pasti tidak bisa diampuni oleh orang sesama punia persilatan.
Oleh karena itu, meski ketemu guru yg. kepandaiannya berlipat ganda lebih tinggi dari guru yang pertama juga tak boleh sesukanya memanjat ke atas lebih tinggi.
Kini Sun-popoh didebat oleh Thio Ci-keng hingga tak bisa menjawab, pula ia memang tidak pernah berhubungan dengan tokoh2 kalangan persilatan dengan sendirinya ia tidak kenal semua aturan2 itu, ia hanya buka mulut sekenanya, tak tahunya katanya tadi justru melanggar pantangan besar persilatan.
Keruan saja para imam Coan-cin-kau menjadi gusar semua. Ci-keng sendiri waktu itu lagi kesakitan hebat dan luar biasa rasa gatalnya, ia sudah tak tahan lagi oleh siksaan2 itu, ia merasa adu jiwa saja malah lebih enak.
Oleh karena itu dengan kertak gigi menahan sakit segera ia tanya : “Yo Ko, apa hal itu memang betul ?”
Yo Ko masih kecil usianya, dengan sendirinya ia tidak kenal segala peraturan Kangouw segala, ia lihat Sun-popoh terus membela dirinya dan ribut mulut dengan gurunya, tentu saja apa yang dikatakan orang tua ini ia perkuat.
“Ya, memang betul, kau mau apa ? Kau imam busuk ini sudah pukul aku sedemikian rupa, untuk apa aku mengaku kau sebagai Suhu lagi ? Memang aku sudah angkat Sun-popoh sebagai guru, pula sudah menyembah Liong-kokoh sebagai Suhu,” demikian dengan suara keras ia menjawab.
Bukan buatan gusar Ci-keng hingga dadanya hampir2 meledak, tanpa pikir lagi se-konyong2 ia melompat maju, berbareng kedua tangannya lantai mencengkeram ke tubuh Yo Ko.
Sudah tentu Sun-popoh tidak tinggal diam, “lmam liar, apa kau cari mampus ?” damperatnya segera, sebelah tangannya berbareng menangkis.
Thio Ci-keng adalah jago kelas satu di antara anak murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, kalau soal ilmu silat ia masih di atas In Ci-peng, meski tubuhnya luka parah, namun pukulannya tadi ternyata sangat hebat.
Begitulah, maka tangan kedua belah pihak saling bentur, seketika mereka merasa kesemutan hingga masing2 tergetar mundur beberapa tindak.
“Hm, imam liar, boleh juga kau,” jengek Sun-popoh sesudah kenal kepandaian orang.
Dilain pihak, sekali menyerang tidak kena, segera serangan keduanya menyusul, kembali Ci-keng hendak menjamberet lagi.
Sekali ini Sun-popoh tak berani pandang enteng pula lawannya, ia mengegos kesamping, habis ini, se-konyong2 sebelah kakinya tanpa kelihatan bergerak atau tahu2 sudah melayang menendang dikatakan tidak kelihatan oleh karena itu adalah “kun-lay-tui” atau kaki tersembunyi di dalam Kun” (gaun panjang), yakni kain yang dia pakai hingga menutupi seluruh kakinya.
Sebagai jago Coan-cin-kau angkatan ketiga, tentu saja Ci-keng tidak gampang diserang, ketika mendadak mendengar menyambernya angin, segera ia bermaksud menghindarkan diri Tak tersangka, tiba2 lukanya yang diantup tawon itu luar biasa gatelnya, tanpa tahan ia menjerit sambil pegang kepalanya terus berjongkok, keruan tidak ampun lagi, justru pada waktu ia menjerit dan berjongkok, kaki Sun-popoh yang melayang itu dengan tepat kena tendang iganya.
Karena tendangan keras ini, Ci-keng sampai mencelat ke udara, walaupun demikian, selagi terapung di udara ia masih men-jerit2 saking gatelnya.
In Ci-peng menjadi kaget oleh kejadian itu, lekas2 ia melayang ke atas menangkap tubuh Ci-keng supaya tidak terbanting, kemudian ia turunkan tubuh sang Suheng dengan pelahan, sementara itu ia lantas memberi tanda pada imam2 lain buat mengepung maju, maka terpasanglah seketika barisan bintang “Pak-tau-tin” yang maha lihay dari Coan-cin-kau.
Sun-popoh tidak kenal akan jaringan barisan lawannya, maka sesudah menangkis beberapa kali rangsakan musuh, segera ia mengerti akan lihaynya, ditambah lagi sebelah tangannya harus membopong Yo Ko, ia hanya bisa melayani musuh dengan sebelah tangan saja, maka hanya belasan gebrak saja ia sudah kewalahan hingga ber-ulang2 terancam bahaya.
Oleh karena tiada jalan lain, terpaksa Sun-jpopoh letakkan Yo Ko ke bawah, lalu dengan kedua tangannya ia papaki lawan,
Tapi tiba2 terdengar suitan dari barisan Pak-tau-tin lawan, menyusul mana ada dua imam telah menyerobot maju hendak menangkap Yo Ko.
Sun-popoh menjadi kaget, diam-diam iapun mengeluh, ia mengerti barisan bintang lawan itu sukar dipatahkan, dirinya terang tak ungkulan buat melawannya, Karena itu, disamping kakinya digunakan menendang kedua imam yang hendak menawan Yo Ko, berbareng pula dari mulutnya mendadak mengeluarkan suara mendengung.
Suara “ngung-ngung” itu mula2 hanya pelahan saja, karena itu para imam tidak menaruh perhatian, tetapi lama kelamaan suara mendengungnya menjadi keras, lambat laun para imam itu merasakan tidak enak sekali oleh suara itu, makin lama semakin susah menahan, sampa akhirnya banyak yang mendekap kuping dengar tangan, sebab itu juga, daya serangan mereka tadi ikut terpengaruh dan menjadi kendur.
Di antara imam2 itu hanya In Ci-peng seorang yang selalu berlaku waspada dalam menghadapi Sun-popoh ini, ia cukup kenal kepandaian cianpwe yangl tinggal di dalam kuburan kuno itu adalah setingkat dengan kakek gurunya, Tiong-yang Cosu, dengan sendirinya orang keturunannya pasti bukan kaum lemah.
Maka sejak mendengar suara “ngung-ngung” yang tercetus dari mulut Sun popoh, Ci-keng mengira orang sedang menggunakan ilmu gaib sebangsa hipnotis, maka ia telak pusatkan seluruh semangatnya dan menantikan segala kemungkinan.
Tak terduga, meski sudah lama suara “ngung-ngung” itu terdengar, walaupun semakin keras juga, namun perasaan maupun semangatnya sama sekali tidak menjadi goyah. Tentu saja ia heran.
Sedang ia . terasa aneh, mendadak ia ingat pula akan sesuatu, tanpa tertahan luar biasa terkejutnya.
Karena itu, segera ia hendak perintahkan kawannya agar lekas mundur, tetapi sudah terlambat dari jauh sudah terdengar berkumandangnya suara “ngung-ngung” yang riuh dan keras dan pada suara mendengung dari mulut Sun-popoh.
“Celaka, lekas kita lari!” seru Ci-peng cepat.
Tentu saja imam2 yang lain menjadi heran, mereka tertegun oleh teriakan Ci-peng, dalam hati mereka tidak habis mengerti, sebab sudah terang mereka telah berada di atas angin, mengapa tiba2 Ci-peng ber-teriak2 dan takut pada wanita tua yang jelek ini ?
Dalam pada itu, se-konyong2 segumpal bayangan kelabu berkelebat serombongan tawon putih tiba2 menyamber keluar dari hutan terus menubruk ke atas kepala para imam itu.
Karena sudah menyaksikan penderitaan Ci-keng yang disengat tawon, para imam itu bukan buatan takutnya demi nampak kawanan tawon putih yang menyamber tiba itu, serentak mereka putar tubuh terus lari terbirit-birit. Dengan cepat kawanan tawon putih itupun segera mengejar.
Melihat larinya musuh dan tahu para imam itu tidak bakal sanggup melepaskan diri dari antupan tawonnya, Sun-popoh bergelak ketawa senang.
Tak terduga, mendadak satu imam tua tampil ke depan dari para imam yang lari kesetanan itu, tangan imam tua itu membawa dua obor yang coraknya sangat aneh, tiba2 obor itu diayun ke depan, seketika obor itu menyala terlebih hebat dan dari ujung api obor yang membakar itu mengepulkan asap yang sangat tebal.
Oleh karena asap tebal inilah seketika barisan tawon putih itu menjadi kacau, dengan cepat pula mereka lantas terbang kembali.
Terkejut sekali Sun-popoh oleh perubahan hebat dan cepat ini, waktu ia mengamat-amati imam tua itu, ia lihat rambut orang sudah putih, begitu pula alisnya, raut mukanya lonjong, melihat rupanya tentulah jago tinggi dari Coan-cin-kau.
“Hai, kau imam tua ini siapa ? Mengapa kau berani menghalau tawonku ?” segera Sun-popoh membentak.
“Aku bernama Hek Tay-thong, terimalah hormatku, Popoh!” sahut imam tua itu dengan tertawa.
Walaupun Sun-popoh selamanya tidak pernah bergaul dengan orang dari, kalangan Bu-lim, tapi karena letak Tiong-yang-kiong hanya berdampingan saja deiigan tempat kediamannya, maka iapun kenal nama Hek Tay-thong yang termasuk satu di antara tujuh murid utama Ong Tiong-yang, itu cakal bakal Coan-cin-kau.
Karenanya ia menjadi kaget demi mendengar nama orang, ia pikir imam semacam In Ci-peng saja ilmu silatnya tidak lemah, sudah tentu imam tua ini terlebih susah dilawan, sementara hidungnya mencium pula bau sumpek dari asap tebal yang terhembus dari obor orang hingga terasa ingin muntah, pula kawanan tawon sudah tak bisa diandelkan lagi sebagai bantuan, melihat gelagat jelek, diam2 ia coba mencari jalan buat mundur teratur.
“Eeeh, Khu Ju-ki, Ong Ju-it, kalian ikut datang juga ? Hayolah maju sekalian, tidak nanti aku Sun-popoh gentar!” demikian tiba2 ia berkata dengan tertawa sambil menuding ke belakang Hek -Tay-thong.
Tentu saja Hek Tay-thong tertegun, “He, kenapa Khu dan Ong berdua Suheng telah datang juga ?” demikian ia membatin Diluar dugaan, ketika ia menoleh, mana ada bayangan Khu Ju-ki dan Ong Ju-it? Waktu ia berpaling kembali, tahu2 orang yang berhadapan dengan dia tadi sudah menghilang, yang terdengar hanya suara bergelak ketawa panjang yang berkumandang dari tengah hutan, nyata Sun-popoh dan Yo Ko sudah pergi jauh dengan jalan mengakali dirinya.
“Kita harus kejar atau tidak ? Hek-susiok,” tanya In Ci-peng.
Hek Tay-thong menggeleng kepala, “Tidak”,, sahutnya kemudian, “Cosuya telah menentukan peraturan keras yang melarang kita masuk ke dalam hutan itu, marilah kita kembali dahulu untuk berunding.”
Sementara itu Sun-popoh dengan menggandeng Yo Ko sudah berada kembali di dalam kuburan kuno itu, sesudah mengalami peristiwa tadi, hubungan kedua orang telah bertambah eratnya.
Yo Ko masih kuatir kalau Siao-liong-li tetap tidak mau menerima dia untuk tinggal bersama.
“Jangan kuatir, pasti akan kumintakan agar dia suka terima kau,” ujar Sun-popoh untuk membesarkan hati anak itu.
Yo Ko lantas disuruh menunggu dan me-ngaso dahulu di kamar depan, ia sendiri lalu pergi bicara dengan Siao-liong-li.
Akan tetapi lama sekali ditunggu2 masih belum nampak Sun-popoh kembali, keruan Yo Ko menjadi tambah kuatir dan tak sabar pula.
“Terang bibi Siao-liong-li tidak mau terima aku disini, sekalipun Sun-popoh bisa memaksa padanya agar suka menerima, tapi hidupku di sini selanjutnya jadi tidak menarik lagi,” demikian Yo Ko pikir, Dan sesudah ia pikir lagi pergi-datang, akhirnya ia ambil keputusan dan diam2 berjalan keluar sendiri.
Tetapi baru saja ia melangkah keluar kamar, tiba2 Sun-popoh telah kembali dengan ter-gesa2.
“Kau hendak ke mana ?” tanya orang tua itu.
“Popoh,” jawab Yo Ko dengan suara lesu, “biarlah aku pergi saja, kelak kalau aku sudah besar, nanti aku datang menyambangi engkau lagi.”
“Tidak, jangan kau pergi sendiri,” kata Sun-popoh cepat, “biar aku antar kau ke suatu tempat lain, agar orang-tak bisa menghina kau lagi.”
Mendengar kata2 ini, maka tahulah Yo Ko bahwa Siao-liong-li ternyata betul2 tidak mau terima dirinya tinggal di situ. Karenanya hatinya menjadi sedih.
“Sudahlah, tak perlu lagi,” sahutnya kemudian dengan kepala menunduk “Memangnya aku adalah anak nakal, kemana saja pasti tiada orang yang mau terima diriku, Sudahlah, jangan Popoh repotkan diri lagi.”
Sun-popoh ini berwatak keras lurus, tadi ia telah berdebat setengah harian dengan Siao-liong-li urusan penerimaan Yo Ko, karena Siao-liong-li tetap berkeras tidak mau terima, hati orang tua ini menjadi sangat mendongkol kini melihat lagi Yo Ko yang harus dikasihani seketika darah panasnya menjadi bergolak.
“Tidak, nak, orang lain tak suka padamu, Popoh justru menyukai kau,” demikian katanya penuh rasa sayang, “Marilah kau ikut padaku, tidak perduli ke mana saja, selalu Popoh akan berada disampingmu.”
Tentu saja Yo Ko sangat girang, segera ia gandeng tangan orang tua itu, lalu mereka berdua keluar lagi dari pintu kuburan.
Dalam marahnya Sun-popoh ternyata tidak membekal barang2 lain maupun pakaian lagi, dan ketika ia coba merogoh sakunya, tiba2 tangannya menyentuh sebuah botol kecil, ia menjadi teringat botol ini berisi madu tawon yang tadinya bermaksud diberikan pada Tio Ci-keng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar