Kembalinya Pendekar Rajawali 13
Oleh
karena Yo Ko paling lambat masuk perguruan, maka dia menduduki tempat yang
paling belakang, bila dia menyaksikan para imam kecil yang umurnya sebaya
dengan dirinya itu semua pandai pukulan dan paham silat, masing2 mempunyai
kemahirannya sendiri, dalam hati kecilnya bukannya merasa kagum dan iri,
sebaliknya dia justru merasa dendam dan sakit hati.
Di
lain pihak Ci-keng dapat melihat wajah-Yo Ko yang mengunjuk rasa penasaran,
maka dia sengaja hendak bikin malu anak ini dihadapan orang banyak, ia menanti
sesudah selesai pertandingan dua imam kecil, lalu dengan suara keras ia
memanggil namanya Yo Ko.
Mendengar
dirinya disebut, Yo Ko menjadi tertegun “Sedikitpun kau tidak ajarkan ilmu
silat padaku, untuk apa kau panggil aku maju kedepan ?” demikian ia pikir.
Akan
tetapi Thio Ci-keng sudah mengulangi teriakannya lagi: “Ko-ji, kau dengar tidak
? Hayo lekas maju !”
Terpaksa
Yo Ko tampil ke muka, ia membungkuk badan memberi hormat sambil berkata : “Tecu
Yo Ko menghadap Suhu disini!”
“Umurnya
tidak seberapa tua dari pada kau, bolehlah kau bertanding dengan dia,” demikian
Ci-keng menunjuk salah satu imam kecil yang menang dalam pertandingan tadi.
“Tecu
sama sekali tidak bisa silat, mana sanggup bertanding dengan Suheng ?” sahut Yo
Ko.
Thio
Ci-keng menjadi marah. “Telah setengah tahun aku mengajar padamu, kenapa kau
bilang tak bisa silat ? Lalu apa yang kau lakukan selama setengah tahun ini ?”
demikian ia mendamperat.
Yo
Ko tak bisa menjawab dan menunduk.
“Kau
sendiri yang malas, tak mau giat belajar, dengan sendirinya kau ketinggalan
jauh,” demikian kata Ci-keng pula, “Sekarang aku ingin tanya kau apa yang sudah
kuajarkan dan kau harus menjawab.”
Habis
ini berulang kali ia menyebut empat istilah yang pernah dia ajarkan pada Yo Ko,
dengan sendirinya semuanya dijawab Yo Ko dengan tepat.
“Nah,
bagus, sedikitpun tidak salah, maka bolehlah kau pergunakan intisari keempat
istilah itu untuk turun kalangan dan bergebrak dengan Suheng,” dengan tersenyum
Ci-keng berkata.
Kembali
Yo Ko tercengang, “Tecu tidak bisa,” jawabnya lagi.
Dalam
hati Thio Ci-keng menjadi senang melihat kelakuan Yo Ko yang serba susah itu,
tetapi wajahnya sebaliknya dia sengaja unjuk rasa gusar..
“Kau
sudah apalkan istilah2 penting tadi tapi kau tidak berlatih, sekarang kau pakai
alasan segala, hayo, lekas saja turun kalangan,” bentaknya pula.
Para
imam mendengar sendiri Yo Ko mengapalkan istilah2 pelajaran di luar kepala
tanpa sedikitpun yang salah, tapi kini tak berani maju ke tengah kalangan, maka
diantaranya sama menyangka anak ini merasa jeri, diantaranya ada yang berhati
baik lantas menganjurkan maju saja, sebaliknya banyak pula yang tak suka
padanya lantas pada bergirang, bahkan diam2 mentertawai.
Mendengar
banyak suara yang mendesak dan menganjurkannya, sebaliknya banyak pula yang
bersuara menyindir, akhirnya api amarahnya membakar segera Yo Ko tekadkan hati,
ia pikir biarlah aku adu jiwa saja hari ini.
Karenanya
segera dia melompat ke tengah kalangan, begitu berhadapan, tanpa bicara lagi
dia ajun kedua tangannya, ke atas dan ke bawah, terus menghantam kalang-kabut
mengarah kepala imam kecil tadi.
Melihat
datangnya Yo Ko ketengah kalangan, pertama tidak menjalankan penghormatan
seperti lazimnya, pula tidak menurut peraturan perguruan yang harus merendah
diri minta petunjuk pada pihak lawan, diam2 imam kecil itu sudah merasa heran,
apalagi kini melihat Yo Ko menghantam dan menyerangnya dengan membabi-buta
seperti orang gila, keruan ia terkejut, terpaksa dia main mundur terus-menerus.
Di
lain pihak Yo Ko sudah tidak menghiraukan mati-hidup sendiri lagi, ia sudah
nekat, mendadak ia menerjang maju.
Kembali
imam kecil itu dipaksa harus mundur beberapa tindak, tetapi segera ia lihat
bagian bawah Yo Ko tak terjaga, tanpa ayal lagi segera ia miring kesamping
terus ajun sebelah kakinya, dengan gerak tipu “hong-sau-lok-yap” atau angin
santar menyapu daun rontok dengan cepat ia menyerampang kaki Yo Ko.
Karena
tidak me-nyangka2, keruan Yo Ko tak mampu berdiri tegak lagi, ia terpelanting
jatuh hingga hidungnya bocor mengeluarkan kecap, mukanya pun babak-belur.
Melihat
jatuhnya Yo Ko sangat mengenaskan dan lucu, tidak sedikit imam yang menonton
itu mentertawainya.
Akan
tetapi Yo Ko betul2 bandel, begitu ia merangkak bangun, tanpa mengusap dulu
darah hidungnya yang mengucur, dengan kepala menunduk segera ia seruduk lagi si
imam kecil tadi.
Nampak
datangnya orang cukup hebat, lekas2 imam kecil itu mengegos. Diluar dugaannya,
tipu serangan Yo Ko ini sama sekali tidak menurut aturan, tahu2 ia pentang
kedua tangan terus merangkul karenanya kaki kiri lawannya kena dipegangnya.
Namun
imatn cilik itupun tidak lemah, segera ia angkat telapak tangan kanan terus
meng-genjot pundak Yo Ko, tipu ini disebut “Thian-sin-he-hoan” atau malaikat
langit turun ke bumi, ini adalah tipu serangan yang tepat untuk menghalau musuh
bila bagian bawah sendiri terserang.
Tetapi
Yo Ko sama sekali tak pernah belajar silat dalam pratek, baik di, Tho-hoa-to
maupun di Cong-lam-san ini, maka tipu serangan apa yang dilontarkan pihak lawan
sama sekali ia tidak kenal, keruan tidak ampun lantas terdengar suara “plak”
yang keras, pundaknya kena dihantam mentah2 hingga terasa sakit.
Namun
meski sudah berulang kali ia digebuk orang, bukannya Yo Ko mundur teratur,
sebaliknya makin kalah menjadi makin kalap, kembali ia gunakan kepalanya buat
menyeruduk lagi, sekali imam cilik itu kena ditumbuk perutnya, hingga jatuh
terjengkang, bahkan segera ditunggangi Yo Ko di atas tubuhnya.
Kesempatan
ini telah digunakan Yo Ko untuk ayun bogemnya dan menjotos kepala orang dengan
gemas.
Namun
imam kecil itu tidak mandah dijotos, dalam kalahnya dia coba berusaha
memperoleh kemenangan, mendadak ia pakai sikutnya untuk menyodok dada Yo Ko,
dan selagi Yo Ko meringis kesakitan, segera ia meronta melepaskan diri terus
melompat bangun, berbareng pula ia baliki tangannya untuk mendorong, karena Yo
Kotidak ber-jaga2, maka kembali ia kena dibanting jatuh dengan berat,
“Syukur
Nyo-sute suka mengalah,” demikian imam cilik itu berkata sambil membungkuk,
Ini
adalah adat-istiadat Coan-cin-kau apabila mengakhiri suatu pertandingan Menurut
biasa, jika salah satu diantara saudara seperguruan itu sudah menang atau
kalah, segera kedua pihak harus berhenti semua.
Siapa
tahu Yo Ko ternyata tidak kenal aturan segala, seperti kerbau gila saja kembali
ia menyeruduk dengan nekat, tetapi hanya dua-tiga kali gebrakan kembali dia
mencium tanah pula, namun semangat tempur Yo Ko yang tidak kenal menyerah ini
harus dipuji makin dihajar, semakin berani pula, bahkan iapun geraki kaki
tangannya semakin cepat buat melawan.
“Yo
Ko, sudah terang kau kalah, masih hendak bertanding apa lagi ?” demikian
Ci-keng berteriak padanya.
Tetapi
mana Yo Ko mau gubris, ia masih terus menendang, menyepak, tangannya juga
memukul dan menggebuk serabutan, sedikitpun dia pantang mundur.
Semula
para imam sama merasa geli juga oleh kelakuan bocah ini, dalam hati mereka
berpikir : “Dalam ilmu silat Coan-cin-kau mana ada cara main seruduk seperti
ini ?”
Tetapi
kemudian sesudah menyaksikan Yo Ko makin kalap, mereka menjadi kuatir akan
terjadi bencana, maka be-ramai2 mereka lantas berseru: “Sudahlah, sudahlah,
sesama saudara seperguruan jangan jadi sungguhan !”
Namun
Yo Ko masih tidak mau berhenti
Setelah
berlangsung lagi beberapa saat, akhirnya imam cilik itu menjadi keder sendiri,
sekarang dia hanya main berkelit dan menghindar saja dan tak berani berdekatan
dengan Yo Ko lagi
Kata
pribahasa: “seorang adu jiwa, seribu orang tak bisa melawan. Begitu juga dengan
keadaan Yo Ko yang sedang mengamuk Apalagi selama setengah tahun ini ia telah
kenyang segala hinaan di atas Cong-lam-san, kini ia justru hendak melampiaskan
semua sakit hatinya itu, sedang soal mati-hidup dirinya sendiri sudah tak
terpikir olehnya.
Karena
itulah, sungguhpun ilmu silat imam cilik itu jauh menang, namun dia tak
memiliki semangat bertempur seperti Yo Ko, sehingga akhirnya ia menjadi pecah
nyali ia tak berani layani Yo Ko lagi melainkan terus berlari mengitari
kalangan dan diuber oleh Yo Ko dari belakang.
“lmam
busuk, imam maling, enak saja kau pukul orang, sesudah gebuki aku sekarang kau
hendak lari ?” demikian dari belakang Yo Ko terus mencaci-maki.
Tentu
saja caci-makinya, yang tidak pandang bulu ini menyinggung pula orang Iain,
sebab sembilan dari sepuluh orang yang menonton disamping itu justru adalah
Tosu atau imam, kini Yo Ko mencaci-maki semaunya, mereka menjadi dongkol dan
geli “Bocah ini betul2 harus dihajar !” demikian mereka membatin.
Dalam
pada itu Yo Ko masih terus mengudak imam kecil tadi Mungkin saking gugupnya
karena diuber terus, akhirnya imam cilik itu berteriak minta toIong, “Suhu,
Suhu !” demikian ia menggembor dengan takut.
Thio
Ci-keng lantas bersuara, ia mem-bentak2 agar Yo Ko berhenti, Tak tahunya,
sedikitpun Yo Ko tidak menggubrisnya, ia masih kejar imam cilik itu dengan
nekat.
Selagi
keadaan tambah runyam, tiba2 terdengar suara geraman dari kalangan penonton,
mendadak satu imam besar gemuk melompat keluar, meski badan imam ini gendut
tetapi gerak-geriknya ternyata sangat gesit begitu dia melompat maju, dengan
sekali jamberet segera belakang baju Yo Ko kena dia pegang terus diangkat,
bahkan segera terdengar suara “plak-plak-pIak” tiga kali, kontan ia persen Yo
Ko tiga kali tempelengan.
Pukulan
itu ternyata sangat keras hingga seketika pipi Yo Ko merah bengkak, hampir2
saja Yo Ko jatuh semaput.
Waktu
ia awasi, kiranya orang ini adalah Ceng-kong yang memang dendam hati padanya.
Seperti
diketahui pada hari pertama Yo Ko naik gunung, pernah Ceng-kong hampir terbakar
hidup2 karena diselomoti bocah ini, sebab itulah Ceng-kong sering dicemooh dan
dibuat buah tertawaan para saudara seperguruannya, katanya orang tua kalah
dengan bocah cilik Oleh sebab itu juga, selalu Ceng-kong dendam atas kejadian
itu. Kini ia menyaksikan Yo Ko bikin gara2 lagi, tentu saja ia gunakan
kesempatan itu untuk melampiaskan sakit hatinya.
Buat
Yo Ko sendiri memangnya ia sudah tidak pikirkan jiwa dirinya sendiri lagi, kini
demi mengenali Ceng-kong, ia lebih2 yakin dirinya pasti tidak bakal diampuni
pula, cuma ia kena dicekal kuduknya, ingin meronta buat melepaskan diripun
tidak mampu lagi.
Dalam
pada itu, dengan tertawa ejek kembali Ceng-kong menambahi Yo Ko tiga kali
tamparan lagi.
“Kau
tidak tunduk pada kata2 Suhu, itu berarti kau adalah murid murtad perguruan
kita, maka siapa saja boleh menghajar kau !” demikian Ceng-kong membentak habis
ini ia angkat tangannya dan akan hajar Yo Ko lagi.
Diantara
penonton di samping itu terdapat adik seperguruan Thio Ci-keng yang bernama Cui
Ci-kong. Pribadi Ci-kong lebih jujur dan suka bela keadilan, Tadi ia lihat cara
bertanding Yo Ko, semua gerak serangannya sedikitpun tidak mirip dengan ilmu
silat ajaran perguruan sendiri, pula ia cukup kenal jiwa sang Suheng Thio
Ci-keng yang sempit, ia kuatir jangan2 didalam terdapat soal lain, maka kini
demi nampak Ceng-kong hajar Yo Ko dengan pukulan2 yang kejam tanpa kenal ampun,
ia menjadi kuatir kalau2 bocah ini terluka parah.
“Berhenti,
Ceng-kong !” cepat dia membentak menghentikan tindakan murid keponakannya itu.
sebenarnya
Ceng-kong belum puas dengan tempelengannya tadi, namun sang Susiok sudah
membentak, mau-tak-mau ia harus melepaskan Yo Ko.
“Susiok
tidak tahu bahwa bocah ini luar biasa lincahnya, kalau tidak diberi hajaran
yang setimpal mana bisa tata-tertib perkumpulan kita dipertahankan lagi ?”
demikian Ceng-kong masih kurang terima.
Tetapi
Cui Ci-hong tidak gubris padanya, ia mendekati Yo Ko, ia lihat kedua belah pipi
anak ini bengkak semua dan matang-biru, hidung dan mulutnya berlepotan darah
pula, wajahnya sangat harus dikasihani. Karena itu, dengan suara halus ia
menghibur dan menanya: Yo Ko, Suhu mengajarkan kepandaian padamu, kenapa kau
tidak melatihnya dengan giat, sebaliknya kau berkelahi dengan para Suheng
secara ngawur ?”
“Hm,
Suhu apa ? Hakikatnya sedikitpun dia tidak mengajarkan kepandaian padaku,”
sahut Yo Ko dengan gemas.
“Dengan
jelas ku dengar kau mengapalkan istilah2 pelajaran di luar kepala tadi,
sedikitpun kau tidak salah mengapalkan,” ujar Cui Ci-hong.
“Aku
toh tidak hendak menempuh ujian, untuk apa mengapalkan segala bacaan itu ?”
sahut Yo Ko.
Mendongkol
tercampur geli Cui Ci-hong mendengar jawaban ini. ia pura2 marah, tetapi maksud
sesungguhnya hendak menjajal apa betul2 Yo Ko sama sekali tidak mengerti ilmu
silat perguruannya sendiri Oleh karenanya segera ia tarik muka dan membentak:
“Bicara dengan orang tua, kenapa kurangajar ?” Habis berkata, se-konyong2 ia
angkat sebelah tangannya mendorong ke pundak Yo Ko.
Cui
Ci-hong terhitung pula salah satu jago angkatan ketiga dari Coan-cin-kau yang
setingkatan dengan In Ci-peng dan Thio Ci-keng, meski kepandaiannya masih
dibawah kedua orang tersebut namun sudah cukup pula untuk malang melintang
dikalangan Kangouw. Maka dapat dimengerti tenaga dorongannya pada Yo Ko ini
telah dia keluarkan dengan tepat sekali, tiba cukup untuk jatuhkan lawannya,
jika orang yang didorong tidak paham ilmu silat, karena dorongan ini pasti
terjengkang, tetapi kalau mengerti silat dari cabang lain, besar kemungkinan
akan kumpul tenaga buat bertahan supaya tubuh tidak terdoyong ke belakang,
hanya orang yang belajar silat Coan-cin-kau saja yang bisa hindarkan dorongan
ini dengan gaya doyong ke belakang.
Diluar
dugaan, Ci-hong merasakan dorongannya percuma saja, sebab Yo Ko telah sedikit
miringkan pundaknya, sehingga tenaga mendorongnya sebagian besar mengenai
tempat kosong, Yo Ko hanya ter-huyung2 mundur beberapa langkah saja, tetapi
tidak sampai jatuh.
Keruan
Ci-hong kaget dan curiga pula. Batin-nya dalam hati: “Dengan tenaga mengelak
tadi seharusnya dia memiliki latihan sekitar sepuluh tahun dari ilmu silat
aliran perguruan sendiri sungguh aneh, umurnya masih begini muda, pula baru
setengah tahun masuk perguruan, mana bisa dia memiliki keuletan yang begini
dalam ? Dengan kemampuannya ini, tadi waktu bertanding seharusnya dia tidak
perlu ngawur main seruduk sini dan terjang sana, apa mungkin didalamnya
terdapat sesuatu tipu muslihat ?”
Nyata
dia tidak tahu bahwa didalamnya memang banyak sebab2 yang dia sendiri tidak
mengetahui. Dahulu Ma Giok pernah mengajarkan Lwekang Coan-cin-kau kepada Kwe
Ceng, dan Kwe Ceng telah mengajarkan sedikit dasar kepandaian itu kepada Cin
Lam-khim ibu Yo Ko.
Sewaktu
Yo Ko berumur beberapa tahun, ibunya lantas mengajarkan cara2 semadi melatih
Lwekang yang dia peroleh dari Kwe Ceng itu. Oleh sebab itulah, dalam
perkelahian Yo Ko tadi sama sekali ia tidak mengerti tipu serangan silat,
sebaliknya soal Lwekang ia malah mempunyai dasar kekuatan sepuluh tahun
lamanya, Cui Ci-hong tidak tahu hal ini, sudah tentu ia terheran-heran.
Dilain
pihak Yo Ko yang kena didorong tadi merasakan dadanya menjadi sesak, hampir2
tak bisa bernapas, ia sangka Ci-hong juga bermaksud menghajarnya.
Dalam
keadaan memang sudah mata gelap, sekalipun waktu itu Khu ju-ki datang sendiri
juga dia pantang mundur, apalagi hanya seorang Cui Ci-hong. Karena itu, segera
ia menyeruduk lagi ke arah perut orang.
Akan
tetapi Cui Ci-hong tidak mau ladeni anak kecil ini, ia tersenyum oleh kenekatan
orang sambil mengegos buat hindarkan serudukan itu.
Ia
sengaja mau tahu kepandaian apa yang dimiliki Yo Ko, maka ia berkata pula:
“Ceng-kong, coba kau adu beberapa jurus dengan Nyo-sute, tetapi enteng saja
kalau turun tangan, jangan pukul terlalu keras !”
Tentu
saja Ceng-kong sangat senang, memangnya dia meng-harap2 ada perintah demikian
ini, maka tanpa berkata lagi segera ia melompat ke depan Yo Ko, tiba2 ia ulur
tangan kiri pura2 memukul ketika Yo Ko berkelit ke kanan, mendadak tangan
kanannya menggablok cepat dan keras, keruan tidak ampun lagi lantas terdengar
suara “bluk”, tepat dada Yo Ko kena dihantam.
Pukulan
itu cukup berat, kalau bukannya Yo Ko mempunyai kekuatan Lwekang belasan tahun
lamanya, pasti dia akan muntah darah oleh genjotan itu. walaupun demikian,
tidak urung Yo Ko merasakan dadanya sakit tidak kepalang dan mukanya pucat
seperti kertas.
Nampak
sekali pukul tidak bikin lawan cilik-nya terguling, diam2 Ceng-kong merasa
heran juga, maka menyusul kepalan kanan diayunkan pula, sekali ini ia menjotos
kemuka Yo Ko.
Dengan
sendirinya Yo Ko angkat tangannya hendak menangkis. Cuma sayang, maksudnya
memang hendak menangkis, tetapi sama sekali ia tidak paham gerak tipu silat
buat menangkis, maka kembali dia dimakan mentah2 oleh Ceng-kong. Dengan sengaja
ia kesampingkan jotosannya ini, tapi cepat ia menjojoh dengan kepalan kiri,
maka terdengar suara “plak” dibarengi dengan suara jeritan tertahan Yo Ko,
nyata hantaman dengan tepat kena diperutnya.
Saking
sakitnya sampai Yo Ko menungging sambil pegang perutnya dengan meringis2. Di
luar dugaan, sekali bocah ini menjengking ke bawah, tanpa sungkan2 lagi
Ceng-kong tambahi serangan lain pula, ia angkat telapak tangannya terus
memotong ke kuduk orang.
Serangan
yang mengarah tempat berbahaya ini, Ceng-kong menaksir Yo Ko pasti akan
kelenger seketika, dengan demikian ia telah berhasil balas sakit hati tempo
hari.
Siapa
tahu, Yo Ko betul2 anak perkasa, jiwa gagah berani Engkongnya Nyo Thi-sim sudah
diwariskan semua kepadanya, sama sekali bocah ini tidak menyerah, hantaman tadi
hanya membikin dia terhuyung sedikit saja dan tetap belum jatuh, hanya
kepalanya dirasakan pusing dan berat, tenaga pun habis tanpa bisa membalas
lagi.
Nampak
keadaan bocah ini sudah payah, kini Ci-hong baru mau percaya bahwa Yo Ko memang
betul2 tidak paham ilmu silat Karenanya dengan cepat ia berteriak mencegah:
“Berhenti, Ceng-kong !”
“Nah,
sekarang kau takluk padaku tidak ?” demikian bentak Ceng-kong pada Yo Ko.
Diluar
dugaannya, Yo Ko masih tetap berkepala batu.
“lmam
busuk, imam bangsat, siapa yang sudi takluk padamu ? Ada kalanya kau pasti akan
kubunuh !” teriak Yo Ko dengan penuh dendam.
Keruan
tidak kepalang gucar Ceng-kong karena caci-maki ini, susul menyusul ia kirim
kedua kepalan pula dan tepat mengenai batang hidung Yo Ko.
Memangnya
kepala Yo Ko sudah puyeng dan berat oleh pukulan2 tadi, kini pandangannya
menjadi gelap hingga mata ber-kunang2, ia terhuyung2 hendak jatuh. Tetapi entah
darimana, mendadak seluruh badannya se-akan2 mengalir hawa panas yang timbul
dari pusarnya, sementara ia lihat jotosan ketiga kali Ceng-kong sudah datang
mengarah mukanya pula, dalam keadaan kepepet, secara otomatis ia terus
berjongkok dari mulutnya mengeluarkan suara “kok” sekali, berbareng kedua
telapak tangannya disodok ke depan hingga dengan tepat mengenai perut
Ceng-kong.
Sungguh
hebat sekali pukulan ini, tahu2 sesosok tubuh segede kerbau telah mencelat
pergi sejauh beberapa tombak, dengan mengeluarkan suara gedebuk disusul dengan
debu pasir yang berhamburan dengan kaku Ceng-kong menggeletak telentang di atas
tanah tanpa bisa berkutik lagi.
Tapi
waktu para imam penyaksikan Ceng-kong menghajar Yo Ko yang jauh lebih kecil itu
mereka pada mengunjuk rasa tidak-adil, bagi orang2 yang lebih tinggi
tingkatannya, kecuali Thio Ci-keng saja yang memang masih dendam pada Yo Ko,
yang lain be-ramai2 sudah bersuara mencegah.
Siapa
tahu dalam keadaan mendadak itu tiba2 Ceng-kong bisa dipukul Yo Ko hingga
mencelat begitu jauh untuk kemudian menggeletak dengan kaku tanpa bisa berkutik
lagi.
Semua
orang ternganga heran, be-ramai2 kemudian mereka maju memeriksa keadaan Ceng-kong.
Namun
bagi Yo Ko, sama sekali iapun tidak mengira hantamannya itu bisa membawa hasil
yang begitu hebat, Ha-mo-kang yang dia lontarkan ini, pertama kalinya pernah
dia binasakan seorang anak murid Kay-pang di Tho-hoa-to tempo hari, kini sekali
pukul Ceng-kong kena dijatuhkan lagi hingga mencelat.
“Haya,
celaka, mati, sudah mati orangnya !”
“Wah,
napasnya sudah putus, tentu jerohan-nya telah remuk !” - “Celaka, lekas lapor
Ciang-kau Cosu !” - Demikian Yo Ko dengar suara teriakan kalang kabut para imam
yang terkejut itu.
Ia
pikir sekali ini dirinya benar2 telah ter-bitkan onar lagi, karena itu, dalam
bingungnya tanpa pikir panjang lagi segera ia angkat langkah seribu, ia lari
pergi tanpa arah tujuan.
Di
lain pihak para imam itu sedang ribut oleh keadaan Ceng-kong yang belum
diketahui mati atau hidup, maka kaburnya Yo Ko ternyata tiada seorangpun yang
memperhatikan.
Setelah
Thio Ci-keng periksa keadaan luka Ceng-kong yang parah, sembilan dari sepuluh
bagian terang tiada harapan buat hidup lagi, ia menjadi kaget tercampur gusar.
“Yo
Ko, Yo Ko ! Di mana kau ? ilmu siluman apakah yang kau pelajari itu ?” demikian
segera ia ber-teriak2.
Meski
ilmu silat Ci-keng tidak tergolong lemah, tetapi selamanya dia tinggal di
Tiong-yang-kiong, maka pengalamannya kurang luas, Ha-mo-kang yang digunakan Yo
Ko itu ternyata tidak dikenalnya.
Begitulah
dia telah ber-teriak2 memanggil beberapa kali, namun sama sekali tidak
terdengar Yo Ko menjawab, waktu para imam itu mencarinya namun tak melihat
bayangan Yo Ko lagi.
Alangkah
murka Thio Ci-keng, segera ia memberi perintah mengejar ke segenap jurusan, ia
pikir Cong-lam-san yang luasnya beberapa puluh li itu seluruhnya di bawah
pengaruh Tiong-yang-kiong, masakah bocah sekecil itu mampu lari ke mana ?
Bercerita
tentang Yo Ko, ketika dengan gugup ia melarikan diri, sama sekali ia tidak
pilih arah, secara ngawur ia lari secepat mungkin dan yang dipilih ialah hutan
belukar yang lebat.
Tidak
lama ia berlari terdengar olehnya dari belakang orang berteriak riuh ramai,
semua penjuru ada orang sedang berteriak namanya: “Yo Ko, Yo Ko ! Hayo lekas
keluar, ke mana kau hendak lari ?”
Karena
teriakan itu, hati Yo Ko semakin gugup hingga larinya pun semakin tak genah,
Tiba2 ia lihat ada bayangan orang berkelebat di-depannya, nyata ada satu To-su
telah pergoki dia dan menyergap tiba, Lekas Yo Ko putar tubuh berlari kearah
lain, akan tetapi celaka baginya, di sana sudah mengadang pula imam yang lain.
“Nah,
ini dia I Disini orangnya, di sini!” demikian imam itu ber-teriak2.
Dengan
kalap Yo Ko menerjang dengan kepala menunduk, akan tetapi Tosu tadi siap papaki
dia, dengan tangan terpentang, segera imam itupun menubruk maju.
Namun
sekali ini Yo Ko sudah siap siaga, se-konyong2 ia berjongkok, kembali ia
keluarkan ilmu weduk katak buat serang orang, dengan sekali sengkelit, tubuh
imam itu dia lemparkan ke-belakang.
Meski
imam itu tidak sampai terluka parah, tapi terbanting jatuh hampir kelengar dan
seluruh badan. babak-belur.
Imam-imam
yang lain menjadi jeri demi nampak gerak serangan Yo Ko yang lihay dan ganas,
mereka tidak berani sembarangan maju lagi, hanya berdiri di tempat jauh mereka
ber-teriak2 pula memanggil kawan.
Ber-runtun2
Yo Ko berhasil menangkan dua imam dengan Ha-mo-kang atau ilmu weduk katak, rasa
takutnya tadi menjadi banyak berkurang, tetapi kakinya toh tidak pernah
berhenti, ia masih terus lari ke depan dengan cepat.
Sesudah
ber-Iari2, achirnya para imam tadi menjadi jauh ditinggalkan olehnya, diam2 ia
merasa girang. Di luar dugaannya, se-konyong2 dari belakang satu pohon besar
melompat keluar seorang imam setengah umur yang bermuka putih tampan dan
mengadang di depannya.
Waktu
Yo Ko awasi, ia kenal imam ini adalah murid Khu Ju-hi yang tertua In Ci-peng,
kedudukannya terhitung paling tinggi di antara anak murid Coan-cin-kau angkatan
ketiga, Oleh karenanya lekas2 ia belok ke kiri hendak kabur lagi.
Tak
tahunya gerak tubuh ln Ci-peng luar biasa cepatnya, sekali ia ulur tangannya,
sekatika baju dada Yo Ko kena di jamberetnya.
“Marilah,
ikut padaku!” dengan tersenyum In Ci-peng berkata.
Namun
Yo Ko tidak menyerah begitu saja, kembali ia gunakan ilmu Ha-mo-kang, kedua
telapak tangannya dengan cepat dipukulkan ke depan.
In
Ci-peng tahu akan lihaynya pukulan ini, ia menjadi terkejut, lekas2 ia
mendahului orang, sebelum tenaga pukulan Yo Ko dilontarkan, kedua tangannya
dengan kencang mencengkeram dulu pergelangan Yo Ko, dengan paksa Ha-mo-kang
yang hendak dilontarkan itu dia tolak kembali
Harus
diketahui bahwa Ha-mo-kang sebenarnya adalah ilmu kelas wahid dari dunia
persilatan cuma sayang Yo Ko belum banyak mempelajarinya dan waktunya pun tidak
lama, dengan sendirinya ia bukan tandingan murid Coan-cin-kau angkatan ketiga
yang tangguh ini
Oleh
karena tangannya dipegang orang, dalam gugupnya Yo Ko berjingkrak2, dan selagi
ia hendak mencaci maki, tiba2 terdengar Ci-peng menghela napas, lalu Yo Ko pun
dilepaskan.
“Sudahlah,
lekas kau lari saja, biar aku melindungi kau disini,” demikian ia berkata pula.
“Jika kau kena ditangkap kembali oleh gurumu, maka jiwamu yang kecil ini pasti
tidak terampun-kan lagi.”
Kiranya
tadi waktu Yo Ko bertanding dengan imam cilik, tatkala itu In Ci-peng tidak
ikut menyaksikan, tapi kemudian anak muridnya telah lapor kepadanya apa yang
terjadi sesudah Ceng-kong kena dihantam oleh ilmu weduk katak Yo Ko. Maka
lekas2 iapun menyusul datang hendak cari tahu bagaimana kelanjutannya.
Kini
sesudah berhadapan dengan Yo Ko dan melihat mulut anak ini pecah, hidung
bengkak mukanya penuh berlepotan darah, ia menduga bocah ini tentu telah
mengalami hajaran yang kejam pula, Ci-peng memang cukup kenal watak Ci -keng
yang keras, orangnya tak berbudi, ia sendiri tidak akur dengan Ci-keng, lebih2
bila ter ingat olehnya ayah Yo Ko yang masih terhitung saudara seguru dengan
dirinya, tiba2 hatinya menjadi lemah, ia tidak tega kalau sampai Yo Ko ditawan kembali
oleh Ci-keng, maka ia sengaja melepaskan anak ini.
Sebaliknya
Yo Ko menjadi heran ketika mendengar orang mau lepaskan dirinya begitu saja,
sesaat itu ia jadi bingung, ini dapat dimengerti karena beberapa tahun ini ia
sudah kenyang merasakan segala hinaan, terhadap siapa saja tiada seorang pun
yang dia percayai.
Karena
itu, ia kuatir Ci-peng sengaja lepaskan dirinya untuk kemudian ditangkap lagi,
maka tanpa menoleh segera Yo Ko lari ke depan, sementara sayup2 ia dengar di
belakang sana In Ci-peng sedang cekcok mulut dengan orang.
Ber-lari2
dalam jarak panjang ini sebenarnya sangat payah bagi Yo Ko, syukur ia mempunyai
kekuatan dasar Lwekang belasan tahun Iamanya.
Maka
dia masih sanggup bertahan dengan seluruh tenaganya.
Kemudian
ia pilih jalan lain, kini ia lari menyusun semak2 dan berbelak-belok di antara
batu2 pegunungan yang tak teratur, sementara cuaca sudah mulai gelap, seluruh
badannya terasa lemas, hampir2 ia jatuh terkulai saking letihnya napasnya yang
sudah kempas-kempis.
Setelah
duduk sejenak, selagi Yo Ko hendak berdiri buat melanjutkan buronnya, tiba2 ia
dengar di belakangnya ada suara orang mendengus.
Keruan
saja Yo Ko kaget, dengan cepat ia menoleh, tetapi ia menjadi tambah kaget
hingga jantungnya se-akan2 melocat keluar dari mulutnya. Kiranya dibelakangnya
sudah berdiri satu imam dengan mata mendelik dan alis mengerut tegak dan
berjenggot panjang, siapa dia kalau bukan Thio Ci-keng yang pernah dia angkat
menjadi guru.
Sesaat
itu kedua orang menjadi saling pandang dengan mata mendelik gusar, untuk
beberapa detik itu mereka sama2 tidak bergerak sedikitpun.
Akan
tetapi se-konyong2 Yo Ko berteriak sekali berbareng ia putar tubuh terus lari.
Sudah
tentu Thio Ci-keng tidak membiarkan anak ini lari begitu saja, ia menyerobot
maju terus mencengkeram tengkuk orang.
Tahu
akan ancaman bahaya ini, tiba2 Yo Ko mendak dan menubruk kedepan, dengan cepat
ia meraup sepotong batu terus ditimpukkan ke belakang,.
Karena
serangan mendadak yang tidak termasuk teori ilmu silat ini, terpaksa Ci-keng
mengegos menghindarkan diri, habis ini ia mengudak lagi terlebih cepat hingga
jarak mereka semakin dekat.
Dalam
keadaan demikian Yo Ko sudah tidak hiraukan akibatnya lagi, sesudah berlari
kesetanan beberapa langkah pula, tiba2 di depannya adalah tebing yang curam, ia
tidak pusingkan di bawah sana apakah jurang yang dalam atau sungai yang
berbahaya, tanpa pikir ia ceburkan diri ke bawah, seketika iapun tidak tahu
apa2 lagi.
Sesudah
dekat, Ci-keng coba melongok ke bawah tebing yang curam itu, ia lihat tubuh Yo
Ko sedang menggelinding ke bawah mengikuti tanah miring yang menghijau dengan
rumputnya yang lebat, kemudian lantas menghilang ke dalam semak2 di bawah pohon
yang rindang.
Ci-keng
sendiri tidak berani ikut melompat ke bawah begitu saja, maka ia telah cari
jalan lain, ia memutar ke tanah miring itu dan kemudian mengikuti bekas2 yang
tergilas oleh tubuh Yo Ko yang menggelinding itu dan mencari ke dalam hutan
dibawah sana.
Tetapi
hutan itu semakin dimasuki ternyata semakin lebat hingga akhirnya sedikitpun
sinar matahari tidak tertampak, Saat itu ia sudah menempuh sejauh beberapa
tombak ke dalam hutan, ketika mendadak ia teringat bahwa daerah itu adalah
“kuburan kuno” dimana kakek gurunya, Tiong-yang Cosu pernah menetap, ia ingat
bahwa Coan-cin-kau mereka selamanya ada peraturan keras yang melarang siapapun
untuk mendatangi daerah kuburan ini. Akan tetapi bila Yo Ko harus dilepaskan
saja, inilah Ci-keng tidak rela.
“Yo
Ko, Yo Ko, lekas keluar !” segera ia ber-teriak2.
Tetapi
meski ia ulangi beberapa kali teriakan-nya, sama sekali tiada jawab yang
terdengar, ia menjadi murka, dengan tabahkan hati ia melangkah maju lagi
beberapa tindak, dalam keadaan remang2 tiba2 terlihat olehnya di atas tanah
sana berdiri satu pilar batu, waktu ia tegasi sambil berjongkok, maka
terbacalah olehnya apa yang tertulis diatas batu itu, yakni yang berarti:
“Orang luar berhenti disini.”
Tulisan
yang melarang orang maju lebih jauh ini, membikin Ci-keng menjadi ragu2, ia
bingung apa maju terus atau tidak ? Karena itu segera ia berteriak lagi: “Hayo
keluar, Yo Ko ! Kau bangsat cilik ini, kalau nanti tertangkap pasti kuhajar
mampus kau !”
Baru
habis ia menggembor se-konyong2 terdengar suara riuh aneh mendengung dari dalam
hutan, menyusul itu segerombolan bayangan kelabu tiba2 berkelebat, serombongan
tawon putih telah menyambar keluar di antara daun pepohonan.
Tentu
saja Ci-keng sangat terkejut, lekas2 ia kebutkan lengan bajunya dengan maksud
mengusir kawanan tawon itu, ia memiliki tenaga dalam yang kuat, dengan
sendirinya tenaga kebutan lengan bajunya itupun tidak kecil, diluar dugaan,
baru saja ia mengebas beberapa kali, mendadak kawanan tawon itu terpencar
menjadi dua barisan, yang satu menyamber dari depan dan yang lain menyergap
dari belakang.
Keruan
Ci-keng semakin kaget sedikitpun ia tak berani ayal lagi, segera ia putar
lengan bajunya buat melindungi seluruh tubuhnya.
Siapa
tahu, kawanan tawon putih ini ternyata sangat pintar, beberapa kali mereka
gagal menyerang, segera dari dua barisan mereka terpencar menjadi empat
barisan, dari empat jurusan mereka lantas mengepung.
Dalam
keadaan demikian, Ci-keng tak berani bertahan lebih lama lagi, sambil ayun
lengan bajunya untuk melindungi kepala dan mukanya, segera ia putar tubuh dan
angkat langkah seribu.
Namun
kawanan tawon itu tidak membiarkan sasarannya kabur begitu saja, dengan
mengeluarkan suara “ngung-ngung” yang riuh, segera mereka menguber.
Walaupun
terbangnya tidak terlalu cepat namun tawon putih ini menguber terus tiada
hentinya, kemana Ci-keng lari, ke sana mereka mengudak, Ci-keng lari ke timur,
mereka ikut ke timur, lari ke barat, mereka ngintil ke barat hingga akhirnya
Ci-keng kewalahan sendiri Ketika lengan bajunya sedikit terlambat mengebut,
secepat kilat dua ekor tawon putih sudah menerobos masuk melalui lowongan itu
dan masing2 mengantup sekali di pipi kanannya.
Luar
biasa sakitnya sengatan itu hingga Ci-keng meringis, karena itu, cara mengebas
lengan bajunya menjadi kacau dan asal kena saja, “Hari ini jiwaku pasti
melayang !” demikian ia pikir, sebab ia sangka rombongan tawon itu segera pasti
akan merubung kepala dan mukanya lagi.
Tak
tahunya, dugaannya ternyata meleset, sekali sengat kawanan tawon itu rupanya
merasa sudah cukup, agaknya mereka tidak mau banyak buang tenaga, sesudah bisa
tawon mulai bekerja hingga Ci-keng berkelejotan kesakitan di tanah rumput,
segera kawanan tawon itu mundur teratur kedalam hutan.
Kembali
pada Yo Ko tadi, sesudah dia tergelinding masuk ke dalam hutan dengan pingsan,
entah berapa lama sudah lewat, ketika tiba2 terasa olehnya tubuhnya kesakitan
seperti ditusuk sesuatu, saking sakitnya ia membuka matanya, maka tertampaklah
tawon putih yang tidak terhitung banyaknya sedang beterbangan mengitari tubuh
nya, kupingnya se-akan2 pekak oleh suara “ngung-ngung yang berisik dari kawanan
tawon itu.
Bagaimanapun
Yo Ko memang masih kecil, sesudah menderita sehari penuh dengan segala siksaan,
akhirnya ia tidak sanggup bertahan lagi, kembali ia jatuh pingsan pula.
Lewat
lama sekali, tiba2 mulutnya terasa dicekoki oleh semacam cairan yang dingin
segar dan harum pula yang pe-lahan2 mengalir masuk tenggorokannya. Dalam
keadaan masih setengah sadar ia merasa enak sekali cairan itu, maka pe-lahan2
ia coba buka matanya, akan tetapi ia menjadi begitu kaget ketika terlihat
olehnya di depannya berdiri seorang nenek berwajah jelek keriput seperti kulit
ayam yang penuh borok. Saking kagetnya, hampiri Yo Ko jatuh semaput lagi.
Sementara
itu manusia bermuka jelek itu telah pentang mulut Yo Ko pula mencekokinya
dengan cairan manis tadi.
Hendaklah
diketahui bahwa cairan manis ini adalah madu tawon yang diperoleh dari
rombongan tawon putih itu yang khasiatnya sangat mujarab untuk menyembuhkan
segala racun, kalau buat sembuhkan antupan tawon itu sendiri, sudah tentu
lebih2 mujarab lagi.
Karena
itulah dengan segera Yo Ko merasakan tubuhnya menjadi segar bugar, iapun tahu
manusia jelek itu tidak bermaksud jahat padanya, maka ia telah tersenyum
sebagai tanda berterima kasih.
Manusia
jelek itupun balas bersenyum, lapi karena senyumannya ini, mulutnya bergerak,
otot daging di mukanya ikut terkerut, mukanya yang sudah jelek seketika
bertambah lebih jelek hingga sukar dilukiskan.
Kembali
Yo Ko terkejut, tetapi aneh, ia merasa dibalik muka orang yang jelek
tersembunyi perasaan yang welas-asih, kalau dibandingkan sikap dingin para imam
di Cong-lam-san itu, ia merasa sikap nenek jelek ini bikin dirinya lebih
hangat.
“Popoh,
jangan kau biarkan Suhu datang menangkap aku,” demikian kemudian ia berkata.
Mendengar
anak ini menyebut dirinya sebagai Popoh atau nenek, wanita tua bermuka jelek
itu sangat senang.
“Siapakah
Suhu-mu, nak ?” tanyanya kemudian.
Mendengar
suara pertanyaan yang penuh simpatik ini, Yo Ko menjadi terharu, memangnya
perasaan halusnya gampang terguncang, kini mendengar kata2 yang lemah lembut,
seketika ia tak sanggup menjawab, malahan ia terus menangis tersedu-sedu.
Dengan
pelahan wanita tua itu pegang tangan Yo Ko, ia tidak menghiburnya, melainkan
membiarkan Yo Ko menangis se-puas2nya, wajahnya tetap tersenyum sambil
memandang bocah ini dengan kepala miring, diantara sinar matanya penuh
mengandung rasa kasih sayang.
“Sudah
baikkah kau ?” tanya nenek ini kemudian dengan suara halus sesudah Yo Ko puas
menangis.
Watak
Yo Ko memang suka pada kehalusan dan tidak doyan kekerasan, kalau orang lain
menghantam dia, menghina dia, se-kali2 tidak nanti dia mencucurkan air mata
barang setetespun di hadapan orang.
Kini
didengarnya suara si wanita tua yang lemah lembut dan penuh simpatik, hatinya
semakin terharu hingga kembali ia menangis lagi.
“Sudahlah,
anak baik, jangan menangis, jangan menangis ! sebentar tubuhmu tentu tidak akan
sakit lagi,” sambil menghibur, wanita tua jelek itu lantas keluarkan
saputangannya untuk mengusap air mata Yo Ko.
Tetapi
semakin ia menghibur, tangis Yo Ko semakin keras dan bertambah sedih, karenanya
berbalik, si nenek merasa kelabakan, bingung tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya lebih lanjut.
“Sun-popoh,
kenapa kau bikin anak orang menangis begitu rupa ?” tiba2 terdengar suara orang
bertanya, suara halus merdu di luar kerai
Ketika
Yo Ko angkat kepalanya memandang, ia lihat sebuah tangan halus putih bersih
sedang menyingkap kerai, menyusul masuklah seorang gadis jelita.
Gadis
ini mengenakan baju putih mulus terbuat dari sutera halus dengan gaya yang
sangat menarik, usianya belum ada dua puluhan tahun, kecuali rambutnya yang
kelihatan hitam, selebihnya serba putih di seluruh badannya, wajahnya pun ayu
luar biasa, namun kulit dagingnya tidak kentara warna darah sedikitpun, lapat2
membawa semacam perbawa yang aneh seperti dewi kayangan saja yang tidak
mengenyam daharan keduniawian.
Mendengar
orang mengatakan dia menangis, dengan muka merah segera Yo Ko berhenti
menangis, ia menunduk malu, tetapi segera ia melirik lagi pada gadis jelita
itu, ia lihat orang sedang memandang juga padanya, maka cepat ia menunduk
kembali.
“Aku
sudah kewalahan, kau saja yang menghiburnya,” demikian terdengar Sun-popoh
berkata dengan ketawa.
Gadis
jelita itu lantas mendekati pembaringan Yo Ko, ia lihat luka dijidatnya bekas
diantup tawon putih, ia ulur tangannya buat meraba dengan maksud ingin
mengetahui apakah Yo Ko demam atau tidak.
Begitu
tangannya menempel jidat Yo Ko, tanpa terasa anak ini jadi menggigil, ternyata
tangan gadis itu dingin bagai es.
“Tidak
apa-apa, kau sudah minum madu tawon, sebentar lagi tentu kau akan sembuh
kembali.” demikian kata gadis itu. “Kau bernama siapa, nak ?”
Yo
Ko tidak lantas menjawab, ia pandang orang lagi dengan mendongak ketika sinar
matanya kebentrok dengan sinar mata si gadis, dalam hatinya tiba2 timbul
semacam perasaan aneh yang sukar diucapkan, ia merasa gadis ini luar biasa cantiknya,
luar biasa ayunya, tetapi dibalik kecantikan itu si gadis tanpa mengunjuk
perasaan sedikitpun.
Yo
Ko menjadi bingung, ia tidak tahu orang sedang gusar atau lagi senang, sedang
sedih atau lagi girang, tanpa terasa ia merasa heran, ia membatin gadis ini
sebenarnya manusiakah ? Setankah atau sebangsa malaikat dewata ? Ketika ia
dengar suara orang yang nyaring halus itu seperti tidak berperasaan sedikitpun,
seketika Yo Ko tak bisa menjawab pertanyaan orang tadi.
“lni
adalah Liong-cici, ia adalah tuan rumah di sini, apa yang dia tanya hendaklah
kau jawab saja!” demikian terdengar Sun-popoh berkata padanya dengan tertawa.
Kiranya
gadis jelita berbaju putih mulus ini memang bukan lain daripada Siao-liong-li
yang menjadi tuan rumah “kuburan orang hidup” (artinya orang hidup tinggal
dalam kuburan se-akan2 sudah mati). Sun-popoh ini adalah pelayan yang dahulu
mendampingi gurunya Siao-liong-Ii, tapi sejak sang guru wafat, dalam kuburan
hanya tinggal mereka berdua saja yang hidup berdampingan.
Hari
itu mereka dengar suara mengaungnya tawon putih, mereka tahu tentu ada orang
melanggar tapal batas tanah kuburan di hutan itu, maka Sun-popoh telah keluar
buat memeriksanya, di sana ia dapatkan Yo Ko sudah jatuh pingsan, maka dialah
yang telah menolong jiwa anak itu.
Sebenarnya
menurut peraturan kuburan kuno itu, orang luar siapapun tidak diperbolehkan
masuk barang setengah langkahpun apalagi orang laki2, hal ini lebih2 melupakan
pantangan besar, Akan tetapi karena usia Yo Ko masih kecil, pula seluruh
badannya kelihatan babak-belur bekas luka, meski wajah Sun-popoh sangat jelek
dan kelihatan bengis, namun hatinya sebenarnya sangat welas-asih, maka ia telah
turun tangan menolong Yo Ko dengan melanggar kebiasaannya.
Begitulah
sesudah mendapat penjelasan dari Sun-popoh, dengan cepat Yo Ko lantas melompat
bangun, ia turun dari pembaringannya dan berlutut menjura pada Sun-popoh dan
Siao-liong-Ii.
“Tecu
Yo Ko dengan ini memberi hormat pada Sun-popoh dan Liong-kokoh,” demikian ia
perkenalkan diri sambil panggil orang sebagai nenek dan bibi.
Keruan
Sun-popoh kegirangan dan tertawa lebar, lekas2 ia membangunkan bocah itu, “Ah,
kiranya kau bernama Yo Ko. Sudahlah, jangan pakai adat - istiadat segala,”
demikian ia berkata.
Hal
ini memang pantas, sebab sudah beberapa puluh tahun Sun-popoh tinggal di dalam
kuburan, selama itu pula tidak pernah ia bergaul dengan orang luar, kini demi
nampak wajah Yo Ko cakap, cekatan dan pintar pula, dalam hati ia menjadi luar
biasa menyukainya.
Sebaliknya
Siao-liong-li ternyata tetap bersikap dingin saja, ia hanya mengangguk sekali,
habis ini ia ambil tempat duduk pada suatu kursi ditepi ranjang sana.
“Cara
bagaimanakah kau bisa sampai disini? Dan mengapa terluka ? Orang jahat siapakah
yang telah hajar kau sedemikian rupa ?” demikian Sun-popoh bertanya lagi, Di
mulut ia bertanya, tapi sebelum orang menjawab ia sudah sibuk mengambilkan
barang makanan dan suruh Yo Ko makan.
Setelah
makan sedikit kue yang diberikan itu, kemudian Yo Ko menceritakan nasib dan
asal usul dirinya, ia ceritakan seluruhnya dari awal sampai akhir, Memangnya Yo
Ko pandai bicara, maka ceritanya menjadi sangat menarik, ditambah lagi ia baru
saja dihajar orang, dengan sendirinya lagu kata2-nya menjadi makin bernapsu.
Sun-popoh
ber-ulang2 menghela napas karena terharu oleh nasib bocah ini, malahan kadang2
ia menimbrung dengan beberapa kata pendapatnya, tapi semua kata2 yang dia
lontarkan ternyata selalu bernada membela Yo Ko saja, sebentar ia cela Oey Yong
yang suka pilih kasih mengeloni puterinya sendiri, sebentar lagi ia maki Thio
Ci-keng yang berpikiran sempit dan tak berbudi dan tega menghajar satu anak
kecil.
Hanya
Siao-liong-li masih tetap tidak unjuk sesuatu pendapatnya, ia masih duduk
dengan tenang saja, cuma di waktu Yo Ko bercerita pernah bertemu dengan Li
Bok-chiu, ia telah saling pandang beberapa kali dengan Sun-popoh.
“O,
anakku yang harus dikasihani!” demikian ber-ulang2 Sun-popoh menyebut sambil
merangkul Yo Ko sesudah bocah ini selesai menutur.
Sebaliknya
Siao-liong-li pe-lahan2 berdiri dan tidak pedulikan keadaan kedua orang yang
saling rangkul itu. “Sudahlah, lukanya sudah tidak berbahaya lagi, Sun-popoh,
kini kau boleh antar dia pergi!” tiba2 ia berkata.
Tentu
saja Sun-popoh kaget, begitu pula Yo Ko tercengang.
“Tidak,
aku tidak mau kembali ke sana, matipun aku tidak mau kembali kesana !” teriak
Yo Ko.
“Kohnio
(nona), anak ini kalau kembali lagi ke Tiong-yang-kiong pasti akan dihajar lagi
oleh gurunya,” kata Sun-popoh coba membujuk Siao-liong-li.
“Tidak,
kau antar dia kembali ke sana, katakan pada gurunya agar jangan bikin susah
anak ini,” sahut Siao-liong-li.
“Ai,
ini adalah urusan dalam orang lain, mana bisa kita ikut campur,” ujar
Sun-popoh.
“Kau
boleh antarkan sebotol Giok-hong-cio (madu tawon putih) dan bicara padanya,
tidak nanti imam tua itu tidak menurut,” kata Siao-liong-li lagi.
Kata2
Siao-liong-li ini diucapkan dengan suara halus, tetapi sebagai majikannya,
dengan sendirinya mengandung semacam perbawa yang sukar dibantah. Karena itu,
Sun-popoh telah menghela napas, ia cukup kenal tabiat Siao-liong-li yang kukuh,
percuma saja meski banyak bicara, ia tatap Yo Ko pula dengan penuh rasa kasih
sayang.
Di
luar dugaan, se-konyong2 Yo Ko melompat maju terus memberi hormat pada mereka
berdua. Tierima kasih pada Popoh dan Kokoh yang telah menyembuhkan lukaku,
sekarang aku mohon diri saja,” demikian ia berkata.
“Ke
mana kau hendak pergi ?” dengan cepat Sun-popoh tanya.
Yo
Ko menjadi tertegun oleh pertanyaan ini, memang sebelumnya ia tidak tahu akan
menuju kemana, “Dunia masih cukup luas, kemana saja aku bisa pergi,” jawabnya
kemudian.
Ia
berkata dengan ketus, akan tetapi di antara matanya jelas kelihatan mengunjuk
perasaan sedih.
“Adik
cilik, bukannya aku tidak mau terima kau menginap di sini, tetapi sesungguhnya
ada peraturan keras di sini yang melarang orang luar datang kemari, hendaklah
kau jangan menyesal,” demikian Siao-liong-li berkata padanya.
“Kokoh
jangan bilang begitu, kelak saja kita berjumpa pula,” sahut Yo Ko dengan
lantang.
Walaupun
ia berkata dengan menirukan lagak orang tua, tetapi karena suaranya masih
ke-kanak-kanakan, maka kedengarannya sangat lucu, Sun-popoh merasa geli juga
dan kasihan pula, ia lihat mata anak itu basah tetapi sedapat mungkin bertahan
jangan sampai butiran air mata itu menetes.
“Sudahlah,
Kohnio, kini sudah jauh malam, kenapa tidak biarkan dia berangkat besok pagi
saja,” segera ia membujuk Siao-liong-li pula.
Namun
percuma saja, apa yang sudah diputuskan Siao-liong-li, siapapun tidak mungkin
bisa membatalkan maksudnya, maka ia telah geleng2 kepala.
“Popoh,
apa kau lupa pada peraturan yang ditetapkan Suhu dahulu ?” demikian ia
peringatkan Sun-popoh.
Karena
itu, Sun-popoh menjadi tak berdaya, lalu ia berdiri, dengan suara rendah ia
berkata pada Yo Ko: “Mari, nak, akan kuberi sesuatu mainan padamu”.
Diluar
dugaan, mendadak Yo Ko kesut air matanya, habis ini dengan kepala menunduk
supaya tangisnya tidak terlihat orang, ia lantas berlari keluar.
“Tidak,
aku tak mau, akupun tidak perlu diantar kau,” serunya.
Akan
tetapi baru saja ia berlari sampai am-bang pintu, tiba2 terdengar suara
teriakan orang yang berkumandang dari luar, suara itu sangat keras dan sedang
berkata : “Anak murid Coan-cin-kau, In Ci-peng, atas perintah Suhu mohon
bertemu Liong-kohnio”
“Di
luar ada orang mencari kau, jangan kau keluar dulu,” lekas Sun-popoh menahan Yo
Ko.
Seketika
muka Yo Ko menjadi pucat, ia terkejut tercampur gusar, saking terguncang
perasaannya hingga tubuh juga gemetar.
“Sun-popoh,
pergilah kau bicara pada me-reka,” kata Siao-liong-li.
“Baiklah,”
sahut Sun-popoh sesudah memikir sejenak, habis ini ia berpaling dan berkata
pada Yo Ko : “Kau tinggal dulu disini, biar aku bicara dengan mereka.”
Siapa
tahu adat Yo Ko justru tidak kenal apa artinya takut, lebih2 ia tidak mau
tunduk pada kekerasan, maka dengan suara lantang ia menjawab: “Popoh, tak usah
urus diriku lagi. Berani berbuat berani bertanggung javvab, biar aku sendiri
yang menghadapi mereka, aku sudah terlanjur membunuh orang, biar aku ganti
dengan jiwaku agar dibunuh mereka.”
Habis
berkata dengan langkah lebar ia lantas berjalan keluar.
Akan
tetapi kuburan kuno yang sebenarnya lebih tepat dikatakan istana dibawah tanah
itu luar biasa besar dan luasnya, Dahulu Ong Tiong-yang berlatih silat dan
bertapa juga dilakukan di sini, kemudian ditempati bekas kekasihnya bahkan
keadaan dalam kuburan telah banyak ditambah dan diperindah hingga keadaan
jalanan di dalamnya luar biasa ruwet perubahannya, kalau bukan orang yang sudah
kenal betul jalan2 di dalamnya, pasti orang akan kesasar untuk selamanya tidak
dapat keluar Iagi.
Karena
itulah dengan cepat Sun-popoh lantas menyusul ia pegang tangan Yo Ko dan
digandeng hanya sekejap saja sesudah menyusur hutan rindang itu mereka sudah
sampai di tanah lapang didepan hutan sana.
Di
bawah sinar bulan yang terang, tertampaklah di sana sudah berdiri enam atau
tujuh orang imam dengan berjajar, kecuali itu ada pula empat imam pekerja yang
menggotong Thio Ci-keng serta Ceng-kong yang terluka parah itu.
Dengan
munculnya Yo Ko, seketika para imam itu menjadi berbisik, mereka saling bicara
dengan suara pelahan sambil melangkah maju beberapa tindak secara serentak.
Dalam
pada itu, tanpa menunggu orang buka suara lagi segera Yo Ko melepaskan
gandengan Sun-popoh terus lari maju ke depan.
“lni,
aku ada disini, hendak disembelih atau mau dikorek boleh terserah sesukamu!”
dengan suara keras ia memapaki para imam itu,
Tentu
saja sikap Yo Ko ini sama sekali di luar dugaan imam2 Coan-cin-kau itu, sama
sekali tidak disangka bahwa bocah sekecil ini mempunyai watak yang begitu keras
dan berani mati.
Tetapi
diantara imam2 itu segera ada satu yang maju, dengan sekali tarik, tahu2 Yo Ko
kena diseretnya ke sebelah sana.
“Hm,
aku toh tidak bakal lari, apa yang kau kuatirkan ?” dengan kepala batu Yo Ko
masih menjengek.
Tentu
saja imam itu tidak mau menerima ejekan itu, ia adalah muridnya Thio Ci-keng,
ia telah menyaksikan keadaan gurunya yang diantup tawon dan belum diketahui
bakal mati atau hidup, dan semua itu adalah gara2 Yo Ko, dengan sendirinya ia
sangat benci pada bocah ini, kini mendengar orang malah mengejek padanya,
dengan gemas ia angkat kepalan terus memukul ia hantam batok kepala Yo Ko.
Sebenarnya
Sun-popoh bermaksud bicara secara baik2 dengan para imam itu, tetapi mendadak
secara paksa Yo Ko diseret kesana, melihat ini saja ia tak tega, apalagi
mendadak ia menyaksikan Yo Ko dihajar pula, tentu saja api amarahnya lantas
membakar. Tanpa ayal lagi ia lantas menyerobot maju, begitu lengan bajunya
mengebut, sekali saja tangan imam yang memegang Yo Ko itu kena disabet.
Karena
serangan ini, seketika imam itu merasakan tangannya sakit pedas seperti kena
dipukul oleh ruyung baja saja, mau-tidak-mau ia harus melepaskan Yo Ko, dan
selagi ia hendak bentak bertanya, tahu2 Sun-popoh menyamber tubuh Yo Ko terus
diangkat, tanpa bicara wanita tua ini putar tubuh lantas berjalan pergi.
Sudah
tentu imam2 yang lain tidak biarkan orang pergi begitu saja, segera ada tiga
imam yang lain mengudak maju, “Lepaskan orangnya !” teriak mereka.
“Kalian
mau apa ?” sahut Sun-popoh menoleh dengan tertawa dingin.
Di
antara para imam itu In Ci-peng terhitung paling tahu adat, ia mengerti manusia2
yang tinggal di dalam kuburan kuno itu rapat sekali hubungannya dengan
perguruannya sendiri, maka tak berani ia berlaku gegabah, lekas2 ia membentak
mencegah kawan-kawannya,
“Lekas
mundur, jangan kurangajar kepada orang tua,” demikian katanya, Habis ini dia
sendiri maju memberi hormat pada Sun-popoh, ia perkenalkan diri pula: “Tecu In
Ci-peng memberi hormat pada Cianpwe”
“Lalu
kalian mau apa ?” tanya Sun-popoh pula.
“Anak
ini adalah murid Coan-cin-kau kami, mohon cianpwe suka menyerahkan dia,” sahut
Ci-peng.
“Hm,
serahkan dia ? Enak saja kau buka mulut,” damperat Sun-popoh dengan suara
bengis, “Dihadapanku saja kalian berani hajar dia secara begini kejam, apalagi
nanti kalau sudah berada di rumah, entah cara bagaimana kalian akan siksa dia.
Kini kau ingin aku melepaskan dia, maka aku bilang tidak bisa! Sekali tidak,
seribu kali tetap tidak !”
“Tetapi
anak ini terlalu nakal dan berani pada guru. cianpwe tentu tahu dalam Bu-lim
orang paling menghormat pada orang tua, maka kalau kami menghukum padanya,
agaknya pantas juga,” kata Ci-peng dengan menahan marah.
“Hm,
berani pada guru apa segala, hanya ocehan sepihak belaka,” kata Sun-popoh lagi
dengan gusar, Lalu ia tuding Ceng-kong yang rebah ditempat usungan itu dan
menyambung pula: “Bocah ini bertanding dengan imam sebesar itu, memangnya itu
peraturan Coan-cin-kau kalian ? sebenarnya bocah ini tidak mau maju, tetapi
kalian paksa dia turun kalangan, Dan kalau sudah saling gebrak, dengan
sendirinya ada yang menang dan ada yang kalah, kalau imam gemuk itu sendiri yang
tak becus dan/kena dihantam, kenapa harus salahkan orang lain ?”
Wajah
Sun-popoh memangnya sudah jelek karena marah, kulit mukanya menjadi merah
padam, keruan rupanya semakin menakutkan.
Dalam
pada itu ber-turut2 sudah datang lagi belasan imam yang lain, mereka pada
berdiri di belakang In Ci-peng dan sedang bisik2 membicarakan wanita tua
bermuka jelek yang tak mereka kenal ini.
“Tentang
siapa yang benar dan salah dalam pertandingan itu, kami tentu akan
melaporkannya pada Ciangkau Cosu kami untuk diambil keputusannya,” demikian
sahut Ci-peng lagi. “Maka harapIah Locianpwe kembalikan anak itu.”
Waktu
itu Yo Ko masih merangkul dalam pondongan Sun-popoh, ia bisik2 pada orang tua
itu buat menghasut: “Popoh jangan mau percaya, imam ini banyak sekali tipu
musIihatnya, jangan kau kena diakali.”
Mendengar
Yo Ko berlaku begitu aleman dan ber-ulang2 memanggil Popoh atau nenek padanya,
Sun-popoh menjadi girang sekali, dalam hati ia telah ambil suatu keputusan yang
pasti, yalah tidak akan menyerahkan Yo Ko pada In Ci-peng.
Oleh
karenanya dengan suara keras ia lantas berteriak pula: “Kau inginkan anak ini,
lalu apa yang hendak kalian perbuat atas dirinya ?”
“Tecu
mempunyai hubungan saudara seperguruan dengan ayah anak ini, pasti tidak bakal
membikin susah anak kawan yang sudah meninggal harap Locianpwe jangan kuatir,”
sahut Ci-peng.
“Hm,
dengan apa aku harus percaya padamu ?” jengek Sun-popoh. “Aku tidak biasa
banyak bicara dengan orang luar, maaf saja aku tak bisa tinggal lebih lama di
sini.”
Habis
berkata, lalu ia angkat kaki hendak kembali ke dalam hutan lagi,
Tatkala
itu Thio Ci-keng sedang digotong orang, lukanya yang diantup tawon terasa jarem
dan gatal luar biasa, tetapi pikirannya cukup terang dalam segala hal ia dengar
Ci-peng adu mulut dengan Sun-popoh sekian lamanya, ia menjadi gusar, Sewaktu
Sun-popoh hendak melangkah pergi, mendadak ia melompat bangun dari usungan
terus mengadang di depan Sun-popoh.
“Dia
adalah muridku,. apa aku hendak hajar dia atau hendak memaki dia, semuanya
terserah padaku, Kau tidak perbolehkan guru mengajar, murid, apa di dunia
persilatan terdapat peraturan semacam ini ?” demikian ia membentak.
Melihat
kepala orang bengkak sekali lipat daripada biasanya, pula dari lagu suaranya,
tahulah Sun-popoh pasti imam ini adalah guru Yo Ko. Atas teguran itu, seketika
ia menjadi tak bisa menjawab.
Oleh
karena sudah tiada alasan, terpaksa ia menjawab secara membandel: “Ya, justru
aku tak perkenankan kau mengajar dia, kau mau apa ?”
“Anak
ini pernah apa dengan kau ? Berdasarkan apa kau ikut campur tangan ?” bentak
Ci-keng pula dengan murka.
Kembali
Sun-popoh tertegun oleh pertanyaan ini. Tetapi ia semakin bandel pula, maka
tanpa pikir ia menjawab dengan suara keras:
“Dia
sudah bukan anak murid Coan-cin-kau kalian lagi, tahu? Anak ini sudah
mengangkat nona Siao-liong-li kami sebagai guru, maka baik atau jelek akan
dirinya, dibumi ini hanya Siao-liong-li seorang saja yang boleh mengurusnya,
Nah, kalau kalian tahu gelagat, lekas enyah dan jangan coba ikut campur urusan
ini.”
Kata2
ini ternyata sangat mengejutkan para imam itu hingga seketika mereka menjadi
gempar.
Kiranya
menurut peraturan Bu-lim atau dunia persilatan siapa saja sebelum mendapat
perkenan dari guru asalnya sekali2 dilarang mengangkat guru lagi pada orang
laim jika hal itu dilakukan maka itu berarti “suatu penghianatan yang maha
besar dan pasti tidak bisa diampuni oleh orang sesama punia persilatan.
Oleh
karena itu, meski ketemu guru yg. kepandaiannya berlipat ganda lebih tinggi
dari guru yang pertama juga tak boleh sesukanya memanjat ke atas lebih tinggi.
Kini
Sun-popoh didebat oleh Thio Ci-keng hingga tak bisa menjawab, pula ia memang
tidak pernah berhubungan dengan tokoh2 kalangan persilatan dengan sendirinya ia
tidak kenal semua aturan2 itu, ia hanya buka mulut sekenanya, tak tahunya
katanya tadi justru melanggar pantangan besar persilatan.
Keruan
saja para imam Coan-cin-kau menjadi gusar semua. Ci-keng sendiri waktu itu lagi
kesakitan hebat dan luar biasa rasa gatalnya, ia sudah tak tahan lagi oleh
siksaan2 itu, ia merasa adu jiwa saja malah lebih enak.
Oleh
karena itu dengan kertak gigi menahan sakit segera ia tanya : “Yo Ko, apa hal
itu memang betul ?”
Yo
Ko masih kecil usianya, dengan sendirinya ia tidak kenal segala peraturan
Kangouw segala, ia lihat Sun-popoh terus membela dirinya dan ribut mulut dengan
gurunya, tentu saja apa yang dikatakan orang tua ini ia perkuat.
“Ya,
memang betul, kau mau apa ? Kau imam busuk ini sudah pukul aku sedemikian rupa,
untuk apa aku mengaku kau sebagai Suhu lagi ? Memang aku sudah angkat Sun-popoh
sebagai guru, pula sudah menyembah Liong-kokoh sebagai Suhu,” demikian dengan
suara keras ia menjawab.
Bukan
buatan gusar Ci-keng hingga dadanya hampir2 meledak, tanpa pikir lagi
se-konyong2 ia melompat maju, berbareng kedua tangannya lantai mencengkeram ke
tubuh Yo Ko.
Sudah
tentu Sun-popoh tidak tinggal diam, “lmam liar, apa kau cari mampus ?”
damperatnya segera, sebelah tangannya berbareng menangkis.
Thio
Ci-keng adalah jago kelas satu di antara anak murid Coan-cin-kau angkatan
ketiga, kalau soal ilmu silat ia masih di atas In Ci-peng, meski tubuhnya luka
parah, namun pukulannya tadi ternyata sangat hebat.
Begitulah,
maka tangan kedua belah pihak saling bentur, seketika mereka merasa kesemutan
hingga masing2 tergetar mundur beberapa tindak.
“Hm,
imam liar, boleh juga kau,” jengek Sun-popoh sesudah kenal kepandaian orang.
Dilain
pihak, sekali menyerang tidak kena, segera serangan keduanya menyusul, kembali
Ci-keng hendak menjamberet lagi.
Sekali
ini Sun-popoh tak berani pandang enteng pula lawannya, ia mengegos kesamping,
habis ini, se-konyong2 sebelah kakinya tanpa kelihatan bergerak atau tahu2
sudah melayang menendang dikatakan tidak kelihatan oleh karena itu adalah
“kun-lay-tui” atau kaki tersembunyi di dalam Kun” (gaun panjang), yakni kain
yang dia pakai hingga menutupi seluruh kakinya.
Sebagai
jago Coan-cin-kau angkatan ketiga, tentu saja Ci-keng tidak gampang diserang,
ketika mendadak mendengar menyambernya angin, segera ia bermaksud menghindarkan
diri Tak tersangka, tiba2 lukanya yang diantup tawon itu luar biasa gatelnya,
tanpa tahan ia menjerit sambil pegang kepalanya terus berjongkok, keruan tidak
ampun lagi, justru pada waktu ia menjerit dan berjongkok, kaki Sun-popoh yang
melayang itu dengan tepat kena tendang iganya.
Karena
tendangan keras ini, Ci-keng sampai mencelat ke udara, walaupun demikian,
selagi terapung di udara ia masih men-jerit2 saking gatelnya.
In
Ci-peng menjadi kaget oleh kejadian itu, lekas2 ia melayang ke atas menangkap
tubuh Ci-keng supaya tidak terbanting, kemudian ia turunkan tubuh sang Suheng
dengan pelahan, sementara itu ia lantas memberi tanda pada imam2 lain buat
mengepung maju, maka terpasanglah seketika barisan bintang “Pak-tau-tin” yang
maha lihay dari Coan-cin-kau.
Sun-popoh
tidak kenal akan jaringan barisan lawannya, maka sesudah menangkis beberapa
kali rangsakan musuh, segera ia mengerti akan lihaynya, ditambah lagi sebelah
tangannya harus membopong Yo Ko, ia hanya bisa melayani musuh dengan sebelah
tangan saja, maka hanya belasan gebrak saja ia sudah kewalahan hingga
ber-ulang2 terancam bahaya.
Oleh
karena tiada jalan lain, terpaksa Sun-jpopoh letakkan Yo Ko ke bawah, lalu
dengan kedua tangannya ia papaki lawan,
Tapi
tiba2 terdengar suitan dari barisan Pak-tau-tin lawan, menyusul mana ada dua
imam telah menyerobot maju hendak menangkap Yo Ko.
Sun-popoh
menjadi kaget, diam-diam iapun mengeluh, ia mengerti barisan bintang lawan itu
sukar dipatahkan, dirinya terang tak ungkulan buat melawannya, Karena itu,
disamping kakinya digunakan menendang kedua imam yang hendak menawan Yo Ko, berbareng
pula dari mulutnya mendadak mengeluarkan suara mendengung.
Suara
“ngung-ngung” itu mula2 hanya pelahan saja, karena itu para imam tidak menaruh
perhatian, tetapi lama kelamaan suara mendengungnya menjadi keras, lambat laun
para imam itu merasakan tidak enak sekali oleh suara itu, makin lama semakin
susah menahan, sampa akhirnya banyak yang mendekap kuping dengar tangan, sebab
itu juga, daya serangan mereka tadi ikut terpengaruh dan menjadi kendur.
Di
antara imam2 itu hanya In Ci-peng seorang yang selalu berlaku waspada dalam
menghadapi Sun-popoh ini, ia cukup kenal kepandaian cianpwe yangl tinggal di
dalam kuburan kuno itu adalah setingkat dengan kakek gurunya, Tiong-yang Cosu,
dengan sendirinya orang keturunannya pasti bukan kaum lemah.
Maka
sejak mendengar suara “ngung-ngung” yang tercetus dari mulut Sun popoh, Ci-keng
mengira orang sedang menggunakan ilmu gaib sebangsa hipnotis, maka ia telak
pusatkan seluruh semangatnya dan menantikan segala kemungkinan.
Tak
terduga, meski sudah lama suara “ngung-ngung” itu terdengar, walaupun semakin
keras juga, namun perasaan maupun semangatnya sama sekali tidak menjadi goyah.
Tentu saja ia heran.
Sedang
ia . terasa aneh, mendadak ia ingat pula akan sesuatu, tanpa tertahan luar
biasa terkejutnya.
Karena
itu, segera ia hendak perintahkan kawannya agar lekas mundur, tetapi sudah
terlambat dari jauh sudah terdengar berkumandangnya suara “ngung-ngung” yang
riuh dan keras dan pada suara mendengung dari mulut Sun-popoh.
“Celaka,
lekas kita lari!” seru Ci-peng cepat.
Tentu
saja imam2 yang lain menjadi heran, mereka tertegun oleh teriakan Ci-peng,
dalam hati mereka tidak habis mengerti, sebab sudah terang mereka telah berada
di atas angin, mengapa tiba2 Ci-peng ber-teriak2 dan takut pada wanita tua yang
jelek ini ?
Dalam
pada itu, se-konyong2 segumpal bayangan kelabu berkelebat serombongan tawon
putih tiba2 menyamber keluar dari hutan terus menubruk ke atas kepala para imam
itu.
Karena
sudah menyaksikan penderitaan Ci-keng yang disengat tawon, para imam itu bukan
buatan takutnya demi nampak kawanan tawon putih yang menyamber tiba itu,
serentak mereka putar tubuh terus lari terbirit-birit. Dengan cepat kawanan
tawon putih itupun segera mengejar.
Melihat
larinya musuh dan tahu para imam itu tidak bakal sanggup melepaskan diri dari
antupan tawonnya, Sun-popoh bergelak ketawa senang.
Tak
terduga, mendadak satu imam tua tampil ke depan dari para imam yang lari
kesetanan itu, tangan imam tua itu membawa dua obor yang coraknya sangat aneh,
tiba2 obor itu diayun ke depan, seketika obor itu menyala terlebih hebat dan
dari ujung api obor yang membakar itu mengepulkan asap yang sangat tebal.
Oleh
karena asap tebal inilah seketika barisan tawon putih itu menjadi kacau, dengan
cepat pula mereka lantas terbang kembali.
Terkejut
sekali Sun-popoh oleh perubahan hebat dan cepat ini, waktu ia mengamat-amati
imam tua itu, ia lihat rambut orang sudah putih, begitu pula alisnya, raut
mukanya lonjong, melihat rupanya tentulah jago tinggi dari Coan-cin-kau.
“Hai,
kau imam tua ini siapa ? Mengapa kau berani menghalau tawonku ?” segera
Sun-popoh membentak.
“Aku
bernama Hek Tay-thong, terimalah hormatku, Popoh!” sahut imam tua itu dengan
tertawa.
Walaupun
Sun-popoh selamanya tidak pernah bergaul dengan orang dari, kalangan Bu-lim,
tapi karena letak Tiong-yang-kiong hanya berdampingan saja deiigan tempat
kediamannya, maka iapun kenal nama Hek Tay-thong yang termasuk satu di antara
tujuh murid utama Ong Tiong-yang, itu cakal bakal Coan-cin-kau.
Karenanya
ia menjadi kaget demi mendengar nama orang, ia pikir imam semacam In Ci-peng
saja ilmu silatnya tidak lemah, sudah tentu imam tua ini terlebih susah
dilawan, sementara hidungnya mencium pula bau sumpek dari asap tebal yang
terhembus dari obor orang hingga terasa ingin muntah, pula kawanan tawon sudah
tak bisa diandelkan lagi sebagai bantuan, melihat gelagat jelek, diam2 ia coba
mencari jalan buat mundur teratur.
“Eeeh,
Khu Ju-ki, Ong Ju-it, kalian ikut datang juga ? Hayolah maju sekalian, tidak
nanti aku Sun-popoh gentar!” demikian tiba2 ia berkata dengan tertawa sambil
menuding ke belakang Hek -Tay-thong.
Tentu
saja Hek Tay-thong tertegun, “He, kenapa Khu dan Ong berdua Suheng telah datang
juga ?” demikian ia membatin Diluar dugaan, ketika ia menoleh, mana ada
bayangan Khu Ju-ki dan Ong Ju-it? Waktu ia berpaling kembali, tahu2 orang yang
berhadapan dengan dia tadi sudah menghilang, yang terdengar hanya suara
bergelak ketawa panjang yang berkumandang dari tengah hutan, nyata Sun-popoh
dan Yo Ko sudah pergi jauh dengan jalan mengakali dirinya.
“Kita
harus kejar atau tidak ? Hek-susiok,” tanya In Ci-peng.
Hek
Tay-thong menggeleng kepala, “Tidak”,, sahutnya kemudian, “Cosuya telah
menentukan peraturan keras yang melarang kita masuk ke dalam hutan itu, marilah
kita kembali dahulu untuk berunding.”
Sementara
itu Sun-popoh dengan menggandeng Yo Ko sudah berada kembali di dalam kuburan
kuno itu, sesudah mengalami peristiwa tadi, hubungan kedua orang telah
bertambah eratnya.
Yo
Ko masih kuatir kalau Siao-liong-li tetap tidak mau menerima dia untuk tinggal
bersama.
“Jangan
kuatir, pasti akan kumintakan agar dia suka terima kau,” ujar Sun-popoh untuk
membesarkan hati anak itu.
Yo
Ko lantas disuruh menunggu dan me-ngaso dahulu di kamar depan, ia sendiri lalu
pergi bicara dengan Siao-liong-li.
Akan
tetapi lama sekali ditunggu2 masih belum nampak Sun-popoh kembali, keruan Yo Ko
menjadi tambah kuatir dan tak sabar pula.
“Terang
bibi Siao-liong-li tidak mau terima aku disini, sekalipun Sun-popoh bisa
memaksa padanya agar suka menerima, tapi hidupku di sini selanjutnya jadi tidak
menarik lagi,” demikian Yo Ko pikir, Dan sesudah ia pikir lagi pergi-datang,
akhirnya ia ambil keputusan dan diam2 berjalan keluar sendiri.
Tetapi
baru saja ia melangkah keluar kamar, tiba2 Sun-popoh telah kembali dengan
ter-gesa2.
“Kau
hendak ke mana ?” tanya orang tua itu.
“Popoh,”
jawab Yo Ko dengan suara lesu, “biarlah aku pergi saja, kelak kalau aku sudah
besar, nanti aku datang menyambangi engkau lagi.”
“Tidak,
jangan kau pergi sendiri,” kata Sun-popoh cepat, “biar aku antar kau ke suatu
tempat lain, agar orang-tak bisa menghina kau lagi.”
Mendengar
kata2 ini, maka tahulah Yo Ko bahwa Siao-liong-li ternyata betul2 tidak mau
terima dirinya tinggal di situ. Karenanya hatinya menjadi sedih.
“Sudahlah,
tak perlu lagi,” sahutnya kemudian dengan kepala menunduk “Memangnya aku adalah
anak nakal, kemana saja pasti tiada orang yang mau terima diriku, Sudahlah,
jangan Popoh repotkan diri lagi.”
Sun-popoh
ini berwatak keras lurus, tadi ia telah berdebat setengah harian dengan
Siao-liong-li urusan penerimaan Yo Ko, karena Siao-liong-li tetap berkeras
tidak mau terima, hati orang tua ini menjadi sangat mendongkol kini melihat
lagi Yo Ko yang harus dikasihani seketika darah panasnya menjadi bergolak.
“Tidak,
nak, orang lain tak suka padamu, Popoh justru menyukai kau,” demikian katanya
penuh rasa sayang, “Marilah kau ikut padaku, tidak perduli ke mana saja, selalu
Popoh akan berada disampingmu.”
Tentu
saja Yo Ko sangat girang, segera ia gandeng tangan orang tua itu, lalu mereka
berdua keluar lagi dari pintu kuburan.
Dalam
marahnya Sun-popoh ternyata tidak membekal barang2 lain maupun pakaian lagi,
dan ketika ia coba merogoh sakunya, tiba2 tangannya menyentuh sebuah botol
kecil, ia menjadi teringat botol ini berisi madu tawon yang tadinya bermaksud
diberikan pada Tio Ci-keng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar