Kamis, 08 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 10



Kembalinya Pendekar Rajawali 10

Sama sekali diluar dugaan Kwe Ceng bahwa anak semuda Yo Ko ini bisa mengucapkan kata2 yang begitu ketus dan tegas, maka dia tertegun seketika tiada kata2 lain yang bisa dia ucapkan.
“Apa kau marah pada Kwe-pekbo (bibi)?” tanyanya kemudian.
“Mana Titji (keponakan) berani ?” sahut Yo Ko. “Malahan Titji selalu membikin Kwe-pekbo marah.” jawaban yang tajam ini bikin Kwe Ceng bungkam, memangnya dia tidak pandai bicara, maka ia tidak menyambung lagi.
Perjalanan selanjutnya mulai menanjak, diwaktu lohor mereka sudah sampai di suatu kelenteng di atas bukit. Waktu Kwe Ceng mendongak, ia lihat papan nama yang tergantung di atas pintu kelenteng itu tertulis tiga huruf besar ‘Gu-tap-si” atau kelenteng kepala kerbau.
Mereka tambat keledai pada satu pohon di luar kelenteng, mereka masuk ke dalam untuk minta sedekah sekedar isi perut.
Didalam kelenteng itu ternyata ada tujuh-delapan paderi, nampak dandanan Kwe Ceng yang sederhana dan kotor, mereka mengunjuk sikap dingin, maka sedekah yang diberikan dua mangkok bubur dingin serta beberapa potong kue.
Namun Kwe Ceng menerima saja sedekah makanan seperti itu, bersama Yo Ko mereka lantas duduk di atas bangku batu di bawah pohon cemara untuk makan. Pada saat lain, ketika Kwe Ceng berpaling tiba2 ia lihat ada pilar batu di belakang pohon yang sebagian besar tertutup oleh rumput alang2 yang lebat, lapat2 hanya nampak dua huruf “Tiang-jun” pada pilar batu itu.
Kwe Ceng tergerak hatinya oleh tulisan itu, ia mendekati dan memeriksanya lebih jelas dengan menyingkap rumput alang2 yang menutupi batu itu, kemudian baru ia ketahui di atas batu itu terukir sebuah syair gubahan Tiang-jun-cu Khu Ju-ki, salah satu tokoh terkemuka angkatan kedua dari Coan-cin-kau yang hendak didatanginya sekarang ini.
Syair itu menyesalkan kehancuran negara yang terjatuh di tangan bangsa lain, Karenanya Kwe Ceng terbayang kembali pada kejadian di gurun Mongol belasan tahun yang lalu, ia terharu, sambil meraba pilar batu itu ia ter-mangu2 saja. Ketika teringat tidak lama lagi bisa bertemu dengan Khu Ju-ki maka hatinya rada terhibur dan bergirang.
“Kwe-pepek, apakah maksud syair diatas batu ini ?” demikian Yo Ko tanya.
“lni adalah syair buah karya kau punya Khu-cosu (kakek guru), Murid kesayangan Khu-cosu dahulu bukan lain adalah mendiang ayahmu,” sahut Kwe Ceng sambil menjelaskan sekadarnya arti yang terkandung pada syair itu. “Mengingat ayahmu, tentu Khu-cosu akan layani kau baik2, maka kau harus belajar dengan giat pula agar kelak besar gunanya untuk nusa dan bangsa.”
“Kwe-pepek, maukah kau beritahukan satu hal padaku,” tiba2 Yo Ko berkata pula.
“Hal apa ?” tanya Kwe Ceng.
“Cara bagaimana meningggalnya ayahku ?” kata Yo Ko.
Muka Kwe Ceng berubah seketika oleh pertanyaan ini, teringat olehnya peristiwa di dalam kelenteng Thi-cio-bio di Kahin di mana Nyo Khong - ayah Yo Ko - telah tewas, maka tubuhnya gemetar sedikit ia tidak menjawabnya.
“Siapakah sebenarnya yang menewaskan ayah ?” tanya Yo Ko pula.
Tetapi Kwe Ceng tetap tidak menjawab.
“Kau dan Kwe-pekbo yang menewaskan dia, ya bukan ?” seru Yo Ko tiba2 dengan bernapsu.
Kwe Ceng menjadi gusar, ia angkat tangannya dan menggablok sekerasnya sambil membentak: “Tutup mulut, siapa yang suruh kau sembarang omong ?”
Tenaga dalam Kwe Ceng sekarang entah sudah betapa lihaynya, maka gablokan dalam keadaan gusar itu seketika membikin pilar batu tadi yang kena digebuk itu berantakan, batu krikil pun berhamburan.
Kelihatan sang paman naik darah, Yo Ko jadi mengkeret.
“Ya, Titji mengaku salah, selanjutnya tidak berani sembarangan omong lagi, harap paman jangan marah,” lekas2 ia minta maaf dengan kepala menunduk.
Sesungguhnya Kwe Ceng sangat sayang pada anak ini, kini demi mendengar ia mau mengaku salah, segera amarahnya lenyap. Dan selagi ia hendak menghibur Yo Ko agar jangan takut, tiba2 terdengar di belakang ada suara tindakan kaki yang pelahan, waktu ia menoleh, dilihatnya ada dua To-su (imam penganut Tao-isme) setengah umur berdiri di ambang pintu sedang memperhatikan gablokannya dipilar batu tadi, tentu perbuatannya tadi telah dilihat oleh kedua imam ini.
Sesudah saling pandang sekejap, cepat kedua To-su itu keluar meninggalkan kelenteng itu.
“Tindakan kedua imam yang cepat dan gesit itu dapat dilihat Kwe Ceng dengan jelas, terang tidak lemah ilmu silat kedua orang itu. Kwe Ceng pikir letak Tiong-yang-kiong dari gunung Cong-lam-san itu tidak jauh dari kelenteng di mana dia berada ini, maka ia menduga kedua imam ini pasti orang dari Tiong-yang-kiong. Kalau melihat umur keduanya sudah kira2 empat puluhan, maka besar kemungkinan mereka adalah anak murid Coan-cin-chit-cu (tujuh tokoh dari Coan-cin-kau), itu aliran persilatan yang paling terkemuka dan disegani di kalangan Bu-lim.
Memang sudah lama Kwe Ceng tinggal di Tho-hoa-to dan tidak saling memberi kabar dengan Ma Giok bertujuh, (Ma Giok adalah orang pertama dari Coan-cin-chit-cu), oleh karenanya anak murid Coan-cin-kau itu hampir tidak dikenal seluruhnya, ia hanya tahu bahwa paling belakang ini penganut Coan-cin-kau semakin banyak dan maju dengan pesat, Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ju-it cu, banyak menerima anak murid yang berbakat maka nama Coan-cin-kau di kalangan Bu-lim makin lama semakin cemerlang, tiada satupun orang kalangan Kangouw yang tidak menaruh hormat bila menyebut nama Coan-cin-kau.
Begitulah, karena Kwe Ceng pikir dirinya toh akan naik ke atas gunung untuk menemui Khu Ju-ki, Khu-cin-jin (cinjin adalah sebutan pada imam Taoisme yang berilmu), maka ia merasa kebetulan bisa jalan bersama dengan kedua imam tadi.
Karena itu, segera ia percepat langkahnya berlari keluar kelenteng ia lihat kedua imam tadi dengan langkah secepat terbang sudah berlari sejauh beberapa puluh tombak, sama sekali mereka tidak menoleh lagi.
“Hai, kedua Toheng (saudara yang berilmu), yang di depan itu berhentilah dahulu, ada sesuatu aku ingin tanya,” demikian Kwe Ceng teriaki mereka.
Suara Kwe Ceng memangnya lantang, pula tenaga dalamnya hebat, maka sekali menggembor suaranya se-akan2 menggetar lembah gunung.
Kedua imam itu rada terkejut mendengar suara tapi bukannya berhenti, sebaliknya mereka berlari lebih cepat.
“Eh, apa kedua orang ini tuIi?” demikian pikir Kwe Ceng.
Sekali dia tutul kakinya, tiba2 ia melayang ke depan, hanya beberapa kali naik-turun saja tahu2 ia sudah mendahului di depan kedua imam itu.
“Baik2kah kedua To-heng,” Kwe Ceng menyapa sambil saja (memberi hormat dengan mengepal kedua tangan) dan membungkuk pula.
Nampak gerak tubuh yang begini cepat, kedua imam itu kaget, ketika melihat Kwe Ceng membungkuk memberi hormat, mereka menyangka orang akan serang dengan tenaga dalam, maka dengan cepat pula mereka berkelit ke kanan dan kiri.
“Apa kau lakukan ?” demikian mereka membentak berbareng.
“Apa kalian adalah Toheng dari Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san?” tanya Kwe Ceng.
“Kalau ya mau apa?” sahut salah satu imam itu dengan menarik muka.
“Cayhe (aku yang rendah) adalah kenalan lama Tiang-jun-cinjin Khu-totiang, maksud kedatanganku justru ingin ke atas gunung buat menemuinya, maka diharap Toheng suka menunjukkan jalannya,” kata Kwe Ceng pula.
“Kalau kau berani pergi sana sendiri! Hayo menyingkir!” sahut imam satunya lagi yang pendek gemuk.
Habis ini mendadak sebelah tangannya menyapu dari samping, serangan ini luar biasa cepatnya, terpaksa Kwe Ceng harus berkelit ke kanan. Diluar dugaan, imam satunya yang kurus itu segera menyerang pula berbareng ia memukul dari sebelah kanan, dengan demikian Kwe Ceng jadi tergencet di tengah.
Kedua serangan yang dilontarkan ini disebut “Tay-kwan-bun-sik” atau gerakan menutup pintu, adalah tipu serangan yang lihay dari Coan-cin-pay, dengan sendirinya Kwe Ceng dapat mengetahuinya, cuma yang dia tidak mengerti ialah kenapa kedua imam ini mendadak menyerangnya dengan tipu yang mematikan, inilah yang bikin dia bingung,
Oleh karena itu, dia tidak patahkan serangan orang2, juga tidak menghindar maka terdengarlah suara “plak-plok” yang keras, kedua telapak tangan imam itu kena menghantam di bawah bahunya, tetapi rasanya, seperti kena menghantam karung kosong saja.
Dengan menerima gebukan ini, segera Kwe Ceng dapat mengukur tinggi rendahnya ilmu silat lawan, ia pikir kalau bicara tentang kepandaian, kedua imam ini memang betul adalah anak murid Coan-cin-chit-cu dan masih terhitung seangkatan dengan dirinya pula, Tadi ia sudah kumpulkan tenaga untuk menahan pukulan kedua orang itu, ia bisa gunakan tenaga dalamnya dengan tepat sekali, ia bikin diri sendiri sedikitpun tindak terluka juga tidak sakit, sebaliknya ia pentalkan kembali tenaga pukulan lawan hingga tangan kedua imam itu terasa sakit dan bengkak.
Keruan tidak kepalang kejut kedua imam itu, sebab dengan keuletan silat mereka yang sudah dilatihnya lebih dua puluh tahun, ternyata pukulan mereka tadi hanya seperti kena di tempat kosong saja. Maka mereka tidak berani ayal lagi, sekali teriak, mereka menerjang bersama, dua pasang kaki mereka segera menyamber mengarah dada Kwe Ceng.
Pembawaan Kwe Ceng memang sabar dan peramah, tidak gampang dia naik darah atau menjadi gusar, nampak kedua imam ini seruduk sini dan terjang sana tanpa sebab, diam2 ia menjadi heran, “Coan-cin-chit-cu semuanya adalah imam berilmu, kenapa anak murid mereka bisa bersikap kasar?” demikian ia membatin.
Dalam pada itu tendangan orang secara berantai dengan lihay sudah dekat tubuhnya, namun Kwe Ceng masih tetap tidak bergerak seperti tidak gubris, Maka terdengarlah segera “plak-plok, plak-plok” berulang sampai belasan kali, dadanya bertambah debu kotoran bekas kaki.
Kalau Kwe Ceng tetap anggap sepi saja, sebaliknya kedua imam itu entah berlipat berapa kali ngerinya daripada tadi demi nampak tendangan mereka tidak bikin orang tergoyah sedikitpun, bahkan tendangan mereka sama saja seperti mengenai karung pasir.
“Orang ini sebenarnya manusia atau setan ? Meski tingkatan guru dan paman2 guru kamipun tidak mempunyai kepandaian setinggi ini?” demikian mereka berpikir dengan jeri
Waktu mereka meng-amat2i orang, terlihat Kwe Ceng bermata besar, alisnya tebal, mukanya kotor dengan debu, pakaiannya terbikin dari kain kasar, serupa saja seperti orang udik, sedikitpun tidiik nampak sifat2 istimewa, keruan mereka menjadi kesima tanpa bisa bersuara,
Di lain pihak Yo Ko yang menyaksikan pamannya digebuk dan ditendang kedua imam itu, sedangkan Kwe Ceng sama sekali tidak membalas, diam2 ia menjadi gusar.
“Hai, kalian imam busuk ini kenapa memukuli pamanku?” segera ia membentak.
“Ko-ji, tutup mulut,” cepat Kwe Ceng mencegah anak ini mencaci maki lebih ianjut, “Lekas kemari dan memberi hormat kepada Totiang ini.”
Mendengar kata2 Kwe Ceng ini, Yo Ko tercengang dan penasaran. “Kwe-pepek sungguh aneh, masa takut pada mereka ?” pikirnya.
Dalam padu itu, kedua imam tadi agaknya belum kapok, sesudah saling pandang sekejap, mendadak mereka lolos pedang, dengan cepat mereka menyerang, imam yang pendek menusuk ke bagian bawah Kwe Ceng dengan tipu “tam-hai-to-liong” atau menjelajahi laut membunuh naga, sedang imam yang kurus membacok kaki Yo Ko dengan gerakan “King-hong-sau-yap” atau angin lesus menyapu daun.
Sebenarnya Kwe Ceng masih pandang enteng serangan2 orang ini, tetapi demi melihat Yo Ko yang tak berdosa ikut diserang juga dengan tipu yang cukup keji, mau-tak-mau hatinya jadi dongkol juga, “Anak ini toh tiada permusuhan dengan kalian, kenapa harus diserang dengan tipu yang ganas ini? Dengan bacokanmu ini apa kakinya takkan menjadi buntung ?” demikian ia pikir dengan gemas.
Karena itu segera ia tolong dulu Yo Ko yang terancam itu, ia mengegos tubuh sedikit ke samping, berbareng ini dengan gerak tipu “sun-cui-tui-du” atau menurut arus air menyurung perahu, dengan tangan kiri ia tempel batang pedang imam pendek yang serang dia tadi, lalu dengan pelahan ia dorong ke kiri, dengan demikian imam pendek itu tidak mampu pegang kencang senjatanya higgga memutar balik, pedang yang membalik ini saling beradu dengan demikian terdengarlah suara “trang” yang nyaring, pedang kawannya sendiri, si-imam kurus, hingga dengan demikian tanpa ditangkis tipu serangan imam kurus itu kena digagalkan temannya sendiri.
Tentu saja kedua imam itu merasakan tangan mereka kaku kesemutan, kembali mereka pandang Kwe Ceng dengan mata melotot, dalam hati mereka lagi2 tidak kepalang terkejutnya, tapi juga kagum atas kepandaian orang yang tinggi itu, Meski demikian, toh mereka masih penasaran, dengan berteriak kembali mereka merangsak maju.
Nampak gerak serangan orang, diam2 Kwe Ceng pikir: “Kepandaian kalian ini sungguhpun terhitung Kiam-hoat yang hebat, tetapi kalian hanya berdua, pula belum matang latihanmu, apa gunanya kalian pamer dihadapanku?”
Tetapi karena kuatir Yo Ko akan keserempet senjata mereka, maka sambil hindarkan sabetan pedang lawan, segera pula ia samber tubuhnya Yo Ko.
“Cayhe adalah kenalan lama Khu-cinjIn, hendaklah kalian jangan bergurau lagi,” ia berteriak.
Akan tetapi kedua imam itu ternyata tidak kenal aturan.
“Kau bilang kenal Ma-cinjin juga percuma”, kata imam yang kurus.
“Ya, Ma-cinjin memang pernah juga mengajarkan kepandaian pada Cayhe,” sahut Kwe Ceng.
Imam yang kate tadi wataknya paling berangasan segera ia mendamperat lagi.
“Bangsat, jangan kau asal ngoceh, jangan2 nanti kau bilang Tiong-yang Cosu kami juga pernah ajarkan kepandaian padamu ?” teriaknya murka, Menyusul ini, dengan sekali tusuk, ujung pedangnya mengarah dada Kwe Ceng puIa.
Kwe Ceng yang berpikiran sederhana, jadi tidak habis mengerti, kedua imam ini sudah terang adalah anak murid Coan-cin-kau, tapi mengapa dia dianggap sebagai musuh besar saja?
Tetapi karena Kwe Ceng memang berbudi luhur, pula ia pikir Yo Ko bakal belajar silat di Tiong-yang-kiong, maka sedapat mungkin jangan menyakiti hati imam2 itu, oleh karenanya, terus menerus ia hanya berkelit saja atas serangan lawan dan tidak pernah balas menyerang.
Oleh sebab tipu serangan mereka tetap tidak mampu mengenai sasarannya, akhirnya kedua imam tadi menjadi kewalahan sendiri, mereka menjadi gelisah, mereka insaf ilmu silat Kwe Ceng jauh diatas mereka, kalau hendak melukainya jelas tidak gampang, maka mereka lantas ganti siasat, tiba2 mereka ubah Kiam-hoat yang dimainkan tadi, be-runtun2 beberapa kali tusukan mereka dialihkan sasaran pada diri Yo Ko.
Melihat kekurangajaran orang, sungguhpun Kwe Ceng orang sabar, akhirnya rada naik darah juga.
Sementara itu ia lihat imam yang kate sedang menusuk dengan gerakan yang cukup ganas, mendadak Kwe Ceng ulur tangan kanannya, dengan kedua jari- menjepit senjata orang, habis ini ia sodok batang hidung lawan dengan sikutnya.
Ketika senjata dijepit jari orang, imam pendek itu menarik2 sekuatnya, tetapi tidak berhasil, sebaliknya tahu2 sikut orang telah menyodok tiba, ia insaf kalau sampai mukanya dicium sikut orang, kalau tidak mampus sedikitnya akan luka parah juga, oleh karena itu terpaksa ia lepaskan senjatanya dan melompati mundur.
Kepandaian Kwe Ceng pada waktu ini boleh dikatakan sudah ditarap yang tiada taranya, ia bisa berbuat apa maunya, setiap kali tangannya bergerak atau kakinya melayang tentu kena sasaran dengan tepat dan hebat, maka ketika dengan pelahan ia menyentil dengan kedua jarinya, dengan mengeluarkan suara “creng” yang nyaring, tiba2 pedang yang dia rampas tadi menegak dan mental ke atas.
Dalam pada itu imam yang kurus sedang ayun pedangnya menusuk ke leher Yo Ko, karena itu, ujung pedangnya telah kena ditumbuk oleh pedang yang disentil oleh Kwe Ceng ini, begitu keras benturan itu hingga si-imam kurus merasakan tangannya panas pedas, tubuhnya pun ikut tergetar, maka terpaksa iapun-melepaskan senjatanya terus melompat mundur.
“Maling cabul ini memang lihay, lekas lari!” seru kedua imam itu berbareng, Baru kini, mereka merasa kapok, Segera mereka putar tubuh terus angkat langkah seribu.
Mendengar cacian orang, semula Kwe Ceng tertegun sejenak, tetapi segera ia menjadi gusar, Selama hidupnya memang sering dia dimaki orang seperti “bangsat”, “jahanam”, “tolol”, “goblok” dan macam2 lagi, tetapi kata2 “maling cabul” selamanya belum pernah orang memaki padanya.
Dalam marahnya, iapun tidak turunkan Yo Ko lagi, sambil menggendong anak ini segera ia mengudak dengan langkah cepat
Setelah menyusul sampai di belakang kedua imam itu, begitu kakinya menutul, segera tubuhnya melayang lewat di atas kepala kedua To-su atau imam itu dan dalam keadaan masih terapung di udara segera ia membentak: “He, tadi kalian memaki apa padaku ?” kedua imam itu luar biasa terperanjatnya imam pendek itu oleh kelihayan orang, walaupun jeri dalam hati, tapi mulutnya ternyata belum mau kalah, ia masih berani balas membentak.
“Bukankah kau ingin memiliki itu perempuan hina she Liong? Lalu untuk apa kau datang ke Ciong-lam-san?” demikian damperatnya.
Meski keras di mulut, tapi kuatir kalau Kwe Ceng menghajarnya, maka tanpa terasa ia malah mundur ke belakang.
Mendengar damperatan orang yang tak keruan juntrungnya ini, seketika Kwe Ceng hanya melongo, “Aku ingin memiliki perempuan hina she Liong? siapakah perempuan she Liong itu? Kenapa aku ingin memiliki dia?” demikian serentetan pertanyaan timbul dalam hatinya hingga ia bingung sendiri.
Melihat orang ter-mangu2 seperti orang linglung, kedua imam itu pikir kesempatan baik jangan disia-siakan, maka sesudah saling memberi tanda, segera mereka menyerobot lewat di samping Kwe Ceng dengan langkah cepat terus lari pula ke atas gunung.
Melihat Kwe Ceng masih ter-mangu2, Yo Ko lantas meronta turun dengan pelahan dari gendongannya.
“Kwe-pepek, kedua imam busuk itu sudah lari,” kata Yo Ko.
Karena itu, Kwe Ceng mengiakan sekali seperti orang baru sadar dari mimpi.
“Tadi mereka bilang aku ingin memiliki itu perempuan she Liong,” siapakah dia itu?” kata Kwe Ceng kemudian dengan masih bingung.
“Titji pun tidak tahu,” sahut Yo Ko. “Tetapi melihat kedua imam itu tanpa membedakan merah atau putih lantas menyerang kita, agaknya mereka telah salah wesel.”
“Ya, ya, tentu begitu,” ujar Kwe Ceng dengan ketawa geli sendiri, “Kenapa aku tidak pikir sampai disitu, Marilah kita naik ke atas gunung!”
Waktu Yo Ko mengambil kedua pedang yang ditinggalkan kedua imam tadi, Kwe Ceng melihat pada batang pedang masing2 terukir tiga huruf kecil “Tiong-jang-kiong”
Mereka lantas mendaki ke atas gunung. setelah lebih satu jam, akhirnya mereka sampai di puncak “Bo-cu-giam” atau puncak ibu gendong anak, sesuai dengan namanya, puncak ini menonjol seperti seorang wanita yang membopong seorang anak.
Di puncak ini mereka duduk mengaso.
“Apa kau letih, Ko-ji?” tanya Kwe Ceng.
Yo Ko tersenyum “Tidak,” sahutnya kemudian dengan geleng kepala.
“Baiklah kalau begitu, mari kita naik ke atas lagi,” kata Kwe Ceng.
Maka mereka lantas melanjutkan lagi perjalanan. Tidak antara lama, tertampak oleh mereka di depan ada sebuah batu cadas yang sangat besar dengan corak yang seram, batu cadas raksasa ini setengah menggelantung di udara bagai seorang nenek yang sedang membungkuk melongok ke bawah.
Saking seramnya hati Yo Ko terasa agak takut.
Dalam pada itu, tiba2 terdengar beberapa kali suitan kecil, lalu dari belakang batu besar itu melompat keluar empat Tosu atau imam, di tangan mereka masing2 menghunus pedang dan menghadang di tengah jalan, tetapi semuanya bungkam saja.
“Cayhe adalah Kwe Ceng dari Tho-hoa-to dan ingin naik ke atas gunung untuk menjumpai Khu-cin-jin,” demikian kata Kwe Ceng sambil maju memberi hormat.
Untuk sementara tiada satupun dari empat imam itu menjawab. Kemudian satu di antaranya yang berperawakan jangkung lantas melangkah maju.
“Hm, Kwe-tayhiap namanya dikenal di seluruh jagat, dia adalah menantu Ui-locianpwe dari Tho-hoa-to, mana bisa dia begini tak kenal malu seperti kau ini, lekas2 kau enyah turun gunung saja.” demikian kata imam itu dengan tertawa dingin.
“Aneh, dalam hal apakah aku tidak kenal malu?” demikian Kwe Ceng membatin, Akan tetapi ia coba sabarkan diri, lalu berkata lagi: “Cayhe betul2 Kwe Ceng ada-nya harap kalian memberi jalan, soalnya tentu akan menjadi jelas kalau sudah berhadapan dengan Khu-cin-jin.”
Namun imam jangkung ini masih tidak mau mengerti, bahkan ia membentak.
“Hm, kau berani main gila dan pamer kepandaian ke Cong-lam-san sini mungkin kau sudah bosan hidup,” damperatnya. “Hm, kalau kau tidak diberi sedikit rasa, mungkin kau mengira semua imam yang tinggal di Tiong-yang-kiong adalah manusia2 tak berguna semua”.
Ia mendamperat orang dengan kata2 yang menyinggung-juga kedua imam pendek dan kurus tadi, setelah berkata, segera ia melangkah maju, pedangnya bergerak dengan tipu hun-hoa hud liu> atau memetik bunga mengebut pohon Liu, tiba2 ia tusuk pinggang Kwe Ceng.
Nampak orang tanpa sebab dan tanpa alasan terus menyerang, diam2 Kwe Ceng merasa aneh.
“Sudah belasan tahun aku tidak berkecimpung di kalangan Kangouw, semua peraturan rupanya sudah berubah ?” demikian ia heran. Berbareng pula ia menghindar tusukan tadi, ia pikir berkelit saja dahulu untuk kemudian ajak orang bicara secara baik2.
Di luar dugaan, ketiga imam lainnya segera mengerubut maju juga, mereka kepung Kwe Ceng dan Yo Ko di-tengah2.
“Apa yang Si-wi (tuan berempat) inginkan, cara bagaimana baru mau percaya Cayhe betul2 adalah Kwe Ceng?” seru Kwe Ceng sebelum balas serangan orang.
“Kecuali kalau kau mampu merebut pedang di tanganku ini,” bentak imam jangkung tadi, Sambil berkata, kembali ia menusuk pula, sekali ini ia arah dada Kwe Ceng, cara menyerangnya seenaknya saja se-akan2 tidak pandang sebelah mata pada lawannya.
Tentu saja akhirnya Kwe Ceng marah juga, “Untuk merebut pedangmu, apa susahnya ?” demikian ia pikir.
Dalam pada itu, pedang orang sudah menusuk sampai di depan dadanya, cepat Kwe Ceng papaki senjata musuh dengan sekali jentikan jarinya, sungguh hebat sekali tenaga jarinya ini, dengan mengeluarkan suara “creng” yang nyaring, tiba2 imam jangkung itu merasakan genggamannya terguncang, tahu2 pedangnya mencelat ke udara. Dalam kaget dan gugupnya lekas2 ia melompat keluar kalangan pertempuran.
Di lain pihak, tidak sampai menunggu pedangnya jatuh ke bawah, terdengar suara nyaring tiga kail lagi, susul-menyusul Kwe Ceng taiah menjentik, maka pedang ketiga Imam yang lain senasib pula dengan imam jangkung tadi, semuanya kena disentil terbang ke angkasa.
“Bagus !” teriak Yo Ko kegirangan oleh kepandaian sang paman ini. “Nah, sekarang kalian mau bercaya tidak ?” demikian ia tegur para imam itu. . sebenarnya kalau Kwe Ceng bergebrak dengan brang selalu memberi kelonggaran dan berlaku murah hati pada pihak lawan, tetapi kini karena marah pada imam jangkung yang menyerang dengan kiam-hoat yang sifatnya rendah, maka ia telah unjuk tenaga sentilan jari yang lihay, ilmu kepandaian menjentik dengan jari ini sebenarnya adalah kepandaian tunggal yang sangat dirahasiakan oleh Oey Yok-su, ayah Oey Yong, tetapi Kwe Ceng sudah tinggal beberapa tahun di Tho-hoa-to bersama bapak mertua itu, maka ia sudah mewarisi seluruh kepandaiannya, ditambah pula tenaga Kwe Ceng sudah terlatih sedemikian tingginya, sudah tentu bukan main hebatnya temaga sentilannya tadi, sebaliknya ke-empat imam tadi meski pedang sudah terpental dari tangan mereka masih belum tahu pihak lawan menggunakan ilmu silat apa.
“Maling cabul ini bisa main ilmu sihir, hayo lari,” seru imam jangkung ketika melihat gelagat jelek, habis ini ia mendahului angkat kaki dan disusul oleh tiga kawannya, dalam sekejap saja mereka sudah menghilang di balik batu cadas tadi.
Tadi Kwe Ceng dimaki orang dengan kata2 “maling cabul”, kini ditambahi pula dituduh “bisa main ilmu sihir”, keruan ia merasa mendongkol dan terhina. Watak Kwe Ceng memang jujur dan polos, semakin tidak mengerti tapi juga semakin ingin jelas semua hal-ikhwalnya .
“Ko-ji, beberapa pedang ini letakkan di atas batu dengan baik,” katanya pada Yo Ko.
Yo Ko menurut, ia ambil keempat pedang yang ditinggal lari oleh imam2 itu, bersama dua pedang yang duluan tadi ia taruh di atas batu. Dalam hati mudanya sungguh tidak habis kagumnya terhadap ilmu kepandaian sang paman, mulutnya sebenarnya sudah berulang-ulang tercetus kata2: “Kwe-pepek, aku tidak ingin belajar silat pada imam busuk itu, tetapi ingin belajar padamu saja.”
Akan tetapi bila teringat pada kejadian di Tho-hoa-to yang dialaminya, akhirnya ia telan kembali kata2 yang sebenarnya ingin dia ucapkan itu.
Begitulah sesudah mereka melanjutkan lagi, setelah membelok dua kali, tiba2 tanah di depan kelihatan rada lapang, tetapi segera terdengar pula suara nyaring beradunya senjata sebagai isyarat, menyusul dari hutan disamping jalan lantas keluar tujuh orang imam dengan pedang terhunus.
Melihat munculnya ketujuh imam ini dengan mengambil kedudukan di kiri empat orang dan di kanan tiga orang, segera Kwe Ceng kenal ini adalah “Thian-keng-pak-tau-tin” atau barisan ilmu bintang2 yang sengaja dipasang, dalam hati ia terperanjat.
“Kalau harus menggempur barisan ini, agaknya rada sulit juga,” demikian ia batin.
Oleh karena itu ia tak berani gegabah, dengan suara pelahan ia pesan Yo Ko: “Kau sembunyi ke belakang batu besar sana, lebih jauh lebih baik, supaya perhatianku tidak terbagi dalam pertempuran nanti.”
Yo Ko mengangguk, tetapi anak ini memang cerdik, tidak sudi ia unjuk lemah di hadapan para imam itu, maka ia berlagak lepas kolor celana sambil berkata: “Kwe-pepek, aku pergi kencing dahulu !” sambil berkata ia putar tubuh dan lari ke belakang satu batu besar.
Diam2 dalam hati Kwe Ceng bersyukur melihat kepintaran dan kecerdasan anak ini, ia mengharap hendaklah anak ini bisa menuju jalan yang benar dan jangan tersesat lagi seperti ayahnya.
Ketika ia menoleh, dibawah sinar bulan yang remang-2 ia lihat ketujuh imam itu, enam yang berada di depan, seperti memelihara jenggot usia merekapun tidak muda lagi, sedang orang ketujuh berperawakan kecil, agaknya seperti seorang Tokoh atau imam wanita.
Nampak barisan ini segera Kwe Ceng paham bahwa mereka telah menirukan cara Coan-cin-chit cu dahulu, di antara Coan-cin-chit-cu itu terdapat seorang imam wanita, yakni Jing-ceng Sanjin Sun Put-ji, kini kedudukan juga dipegang oleh seorang imam wanita.
“Apa gunanya aku terlibat dalam pertempuran dengan mereka, lebih baik lekas naik ke atas buat menemui Khu-cinjin untuk menjelaskan kesalahan paham ini.” tiba2 pikiran Kwe Ceng tergerak.
Karenanya, begitu bergerak, segera ia mendahului menyerobot ke sebelah kiri, ia rebut kedudukan bintang “Pak-kek” (kutub utara).
Melihat orang mendadak berlari ke sebelah kiri, cepat imam yang menduduki tempat bintang “Thian-koan” (kekuasaan langit), berteriak dengan suara ter-tahan, ia kerahkan barisan bintang2nya terus memutar ke kiri dengan tujuan hendak kepung Kwe Ceng di tengah.
Siapa duga, begitu ketujuh imam ini bergerak, Kwe Ceng lantas ikut bergerak juga, selalu ia mendahului pihak lawan untuk menduduki tempatnya. Dan begitulah seterusnya sampai beberapa kali meski para imam itu ber-ganti2 dengan beberapa tipu gerakan, tetapi selalu didahului Kwe Ceng, hingga mereka kewalahan dan serba salah.
Hendaklah diketahui bahwa “Thian-keng-pak-tau-tin” ini adalah suatu ilmu kepandaian tertinggi dari kaum Coan-cin-kau, barisan yang teratur rapi dan dilakukan tujuh orang ini, sekalipun lawannya beratus piau beribu orang dapat pula ditahan.
Akan tetapi dihadapan Kwe Ceng, barisan bintang2 yang hebat ini ternyata tiada gunanya, sebab Kwe Ceng sudah paham akan ilmu barisan bintang2 ini, apalagi ketujuh imam ini hanya anak murid Coan-cin-kau angkatan muda,” kalau barisan ini dipasang dengan Coan-cin-chit-cu, mungkin Kwe Ceng tidak gampang merebut tempat kedudukan sesukanya. Oleh karenanya, meski sudah ber-ubah2 beberapa kali gerak tipu barisan para imam itu, sebenarnya sekali pukul Kwe Ceng sudah bisa bikin kocar-kacir barisan lawan, namun ia sengaja membodoh dan pura2 tidak mengerti, dengan ke-tolol2an sengaja ia berdiri menjublek di tempatnya, hanya kalau barisan orang bergerak, maka segera pula ia ikut menggeser.
Begitulah sampai lama sekali walaupun si-imam menjadi poros barisan bintang2 itu telah beberapa kali bergerak dengan cepat, namun tetap tidak berhasil mengepung Kwe Ceng, Dalam terkejutnya imam itu menjadi gusar pula, ia tidak mau menyerah mentah2, segera ia putar barisannya pula dengan cepat.
Nampak pertarungan yang ramai ini, yang paling senang adalah Yo Ko. ia lihat ketujuh imam itu seperti orang gila saja ber-Iari2 cepat mengitari Kwe Ceng, sebaliknya dengan tenang saja Kwe Ceng melangkah beberapa tindak ke kiri atau ke kanan, ke timur atau ke barat menurut keadaan musuh, dari mula sampai akhir ketujuh imam itu ternyata tak berani sembarang menyerang dengan senjata mereka, makin menonton semakin ketarik hingga saking senangnya Yo Ko bertepuk tangan.
Dalam pada itu tiba2 terdengar Kwe Ceng berseru: “Maaf!”
Habis ini mendadak ia menyerobot cepat dua langkah ke kiri, sekarang barisan bintang2 itu berbalik berada di bawah ke arah maka Kwe Ceng menyerobot kalau ketujuh imam itu tidak ikut menggeser ke arah yang sama, tentu mereka harus menghadapi bahaya yang mengancam jiwa mereka, Oleh karena itu terpaksa ketujuh imam ini harus mengikuti gerak arah Kwe Ceng.
Dengan demikian, maka ketujuh imam ini sudah terjeblos dalam keadaan tak dapat melepaskan diri lagi, kemana Kwe Ceng pergi, ketujuh orang ikut ke sana, Kwe Ceng cepat, para imam pun cepat dan kalau lambat mereka turut lambat.
Diantara ketujuh imam ini rupanya To-koh atau imam wanita itu yang paling cetek kepandaiannya, setelah dibawa putar belasan kali oleh Kwe Ceng, ia sudah merasa kepala pusing dan napas ter-sengal2, tampaknya segera akan terbanting jatuh, Tetapi ia insaf kalau barisan bintang2 mereka kehilangan seorang saja, maka seketika akan menjadi pincang dan daya pertahanan mereka akan runtuh. Dalam keadaan terpaksa ia hanya bisa mengertak gigi bertahan sekuatnya.
Walaupun usia Kwe Ceng boleh dibilang tidak muda lagi, tetapi semenjak ia tirakat di Tho-hoa-to. bersama isterinya Oey Yong, paling akhir ini sudah jarang bergaul dengan dunia luar, selama itu pula hati kanak2-nya ternyata belum menjadi hilang, Kini nampak ketujuh imam itu dapat dipancing hingga lari2, ia menjadi senang dan timbul kembali hati mudanya.
“Hari ini tanpa sebab tanpa alasan kalian telah mendamperat padaku, kalian mencaci aku sebagai maling cabul, menuduh aku bisa gunakan ilmu sihir pula, kini kalau aku tidak betul2 unjuk sedikit ilmu sihir padamu, mungkin kalian sangka aku boleh dihina begitu saja ?” demikian ia pikir.
Karena itu, ia lantas berteriak pada Yo Ko: “Lihat Ko-Ji, saksikan ilmu sihir yang aku keluarkan ini !” Habis ini mendadak dengan sekali loncat, ia melompat ke atas satu batu cadas.
Ketujuh imam itu kini sudah berada di bawah pengaruh Kwe Ceng, maka begitu dia loncat ke atas batu, jika ketujuh imam ini tidak ikut meloncat, segera titik kelemahan barisan mereka akan kelihatan. Oleh sebab itu diantaranya ada beberapa imam jadi ragu2, namun imam yang menduduki tempat Thian-toan atau pemimpinnya, dengan sekali bersuit, segera ia pimpin barisannya melompat ke-atas.
Di luar dugaan, belum sampai mereka menancap kaki di atas, sekoyong2 Kwe Ceng melompat turut lagi, habis ini ia lantas ganti tempat yang lain, keruan teraksa para imam itu memburu dan meniru pula dan begitu seterusnya terjadi uber2an. Sampai akhirnya tiba2 Kwe Ceng meloncat ke atas puncak satu pohon.
“Sungguh celaka, entah darimana munculnya iblis seperti dia ini, pamor Coan-cin-kau hari ini pasti akan runtuh seturuhnya”, demikian diam2 para imam itu mengeluh.
Sekalipun dalam hati mereka memikir, tetapi kaki mereka tidak berani berhenti, mereka masing2 mencari dahan pohon sendiri2 yang bisa dibuat singgah dan terus ikut meloncat ke atas.
“Lebih baik di bawah saja !” Kwe Ceng menggoda dengan ketawa dan betul saja ia lantas lompat turun pula, bahkan berbareng ia ulur tangan hendak menjambret kaki imam yang menduduki tempat Khay-yang.
Sebenarnya letak kelihayan Pak-tau-tin atau barisan bintang2 itu adalah karena bisa bahu-membahu dengan kerja sama yang rapat sekali, kini Kwe Ceng menyerang pada satu tempat, otomatis dua imam yang menduduki tempat serangkaian terpaksa melompat turun buat membantu dan karena turunnya yang dua ini, mau tidak mau imam2 yang lain ikut turun pula dan dengan demikian seluruh barisan menjadi terpengaruh.
Yang paling senang oleh karena pertarungan ramai ini adalah Yo Ko, ia terpesona dalam girang tercampur kejut, Katanya dalam hati: “Apabila pada suatu hari aku bisa belajar hingga sehebat kepandaian Kwe-pepek sekalipun seumur hidupku harus menderita juga aku rela”
Tetapi lantas terpikir pula: “Namun seumur hidupku ini mana bisa belajar kepandaian setinggi ini dari dia kecuali si budak Kwe Hu dan kedua saudara Bu yang beruntung itu, Hm, sudah jelas ia maksudnya Kwe Ceng) tahu kepandaian orang coan-cin-kau jauh dibawahnya, tapi ia justru sengaja kirim aku untuk belajar silat pada imam2 busuk ini.”
Begitulah makin dipikir Yo Ko semakin dongkol hingga ia berpaling ke jurusan lain, ia tidak mau lihat Kwe Ceng mempermainkan ketujuh imam tadi Akan tetapi sifat anak2 mana bisa tahan lama, tidak antara lama ia menjadi kepingin tahu apa jadinya dengan imam2 yang digoda itu, maka tidak tahan lagi ia berpaling kembali untuk menyaksikan pertempuran ramai dan lucu itu.
Sementara itu sesudah puas mempermainkan para imam, diam2 Kwe Ceng berpikir: “Sesudah begini, tentunya mereka harus percaya bahwa aku betul2 adalah Kwe Ceng, Jadi orang hendaklah jangan keterlaluan harus jaga kebaikan di hadapan Khu-cin-jin nanti.”
Dalam pada itu ia sedang goda ketujuh imam tadi hingga putar kayun dengan kencang, mendadak ia berdiri diam sambil Kiongciu serta berkata : “Tujuh To-heng, maaf saja, sekarang silahkan menunjuk jalannya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar