Minggu, 18 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 56

Kembalinya Pendekar Rajawali 56

Yo Ko dan Lik-oh berseru kaget bersama demi mendengar Yu-ji juga terkena racun duri bunga cinta.
Kui Jian-jio melototi kedua orang sekejap, lalu menyambung ceritanya: “Selang tak lama Kongsun Ci juga menyusul tiba, ketika melihat kekasihnya menjerit dan berkelojotan di tengah semak-semak bunga, tentu saja dia juga kelabakan. Segera aku meloncat keluar dari balik pohon dan kucengkeram urat nadi pergelangan tangannya dan membanting dia ke semak-semak bunga pula, sebenarnya
keluarga Kongsun mereka mempunyai obat penawar racun bunga cinta, namanya Coa Keng-tan, maka tepat Kongsun Ci merangkak bangun dan memayang budak hina itu sembari berlari ke kamar obat, maksudnya ingin mengambil Coat-ceng-tan. Tapi, hahaha, coba terka, apa yang dilihatnya di sana?”
“Aku tidak tahu,” sahut Lik-oh menggeleng. “Apa yang dilihatnya?”
Yo Ko sendiri membatin tentu Coat-ceng-tan itu sudah dimusnahkannya dan tidak bisa lain.
Benar saja segera terdengar Kiu Jian-jio me-nutur lagi: “Hahaha, di sana dia melihat di atas meja ada sebuah mangkok besar berisi air warangan, beberapa ratus pil Coat-ceng-tan terendam di dalam air tuba itu. Kalau minum Coat-ceng-tan tentu juga akan kena racun Warangan, kalau tidak minum pil itu juga mati akhirnya, sebenarnya tidak sulit bagi Kongsun Ci untuk meracik lagi Coat-ceng-tan, sebab obat itu berasal dari resep warisan leluhurnya namun bahan2 obatnya seketika sukar dikumpulkan untuk meraciknya juga memerlukan waktu ber-bulan-bulan.
Karena putus asa, segera ia berlari ke-kamarku dan berlutut dihadapanku, ia minta aku mengampuni jiwa mereka berdua, Rupanya dia yakin aku pasti tidak tega memusnahkan semua Coat-ceng-tan mengingat hubungan suami-isteri selama ini dan tentu akan disisakan beberapa biji obat itu.
“Begitulah berulang-ulang dia menampar pipi sendiri dan mengutuki perbuatannya, ia bersumpah pula, katanya bila aku mangampuni jiwa keduanya, segera ia akan mengusir Yu-ji dan takkan bertemu selamanya serta selanjutnya tak berani timbul pikiran tidak senonoh !agi, Waktu minta ampun padaku masih di-sebut pula nama Yu-ji, tentu saja aku sangat gusar, segera kukeluarkan satu biji Coat-ceng-tan kutaruh di atas meja dan berkata padanya: “Coat-ceng-tan hanya bersisa satu biji ini dan cuma dapat menyelamatkan jiwa seorang saja, Nah kau boleh pilih sendiri, tolong jiwamu sendiri atau jiwanya, terserah padamu?”
Dia melenggong sejenak, lalu mengambil obat itu dan berlari kembali ke kamar obat, segera aku menyusul ke sana, sementara budak hina itu sedang kelojotan saking kesakitan.
Kudengar Kongsun Ci berkata: “Yu-ji, mangkatlah kau dengan baik, biar kumati bersamamu!”
Habis itu lantas melolos pedang, Melihat Kongsun Ci begitu setia padanya, Yu-ji tampak sangat berterima kasih dan menjawab dengan setengah merintih: “Baiklah, mari kita menjadi suami isteri di akhirat saja.”
Segera, Kongsun Ci menusukkan pedangnya ke dada Yu-ji dan matilah dia.
“Diam-diam aku terkejut menyaksikan itu dari luar jendela, kukuatir dia akan menggorok pula lehernya sendiri, sementara itu kulihat dia sudah angkat pedangnya, baru hendak kucegah dia, tiba-tiba pedangnya digosok-gosokkannya pada mayat Yu-ji untuk menghilangkan noda darah, lalu pedang dimasukkan kembali ke sarungnya, kemudian ia berpaling ke arah jendela dan berkata: “Niocu (isteriku), aku sudah insaf dengan setulus hati, Budak hina ini telah kubunuh, sekarang hendaklah engkau mengampuni diriku.” -Habis berkata ia terus minum sendiri Coat-ceng-tan yang diambilnya tadi.
“Tindakannya sungguh diluar dugaanku, meski aku merasa perbuatannya itu rada kelewat kejam dan keji, tapi urusan dapat diselesaikan cara begitu, betapapun aku merasa puas.
Malamnya dia mengadakan perjamuan di kamar dan berulang-ulang dia me-nyuguh arak padaku sebagai tanda permintaan maaf padaku, Aku telah mendamperat dia secara pedas, dia juga mengaku salah dan bersumpah macam-macam, ia berjanji selanjutnya tak berani berbuat lagi.”
Sampai di sini, air mata Lik-oh tampak berlinang-linang.
“Memangnya kenapa? Apa kau kasihan kepada budak hina itu?” tanya Kiu Jian-jio dengan gusar.
Lik-oh menggeleng dan tidak menjawab, yang dia sedihkan sesungguhnya adalah kekejian hati ayahnya itulah.
Lalu Kiu Jian-jio menyambung pula: “Setelah kuminum dua cawan arak, dengan tersenyum kukeluarkan pula satu biji Coat-ceng-tan, kutaruh di atas meja dan berkata padanya: “Caramu membunuh dia tadi agaknya terlalu buru napsu sedikit, sebenarnya aku cuma ingin menguji pikiranmu, asalkan kau memohon lagi dengan setulus hati, waktu itu tentu akan kuberikan kedua biji obat sekaligus untuk menyelamatkan jiwa si cantik itu.”
“lbu,” cepat Lik-oh bertanya, “jika dia benar-benar memohon begitu padamu apakah betul kau akan memberikan kedua biji obat itu padanya?”
Kiu Jian-jio termenung sejenak, lalu menjawab “Entah, aku sendiri pun tak tahu, Pernah juga timbul pikiran pada waktu itu untuk menyelamatkan jiwa budak hina itu, dengan demikian kupikir Kongsun Ci akan berterima kasih padaku, lalu tergugah perasaan padaku. Tapi dia untuk jiwanya sendiri dia telah buru-buru menghabisi kekasihnya itu, tentunya aku tak dapat disalahkan”
“BegituIah dia termenung memegangi Coat-ceng-tan kedua itu, kemudian dia angkat cawan dan berkata padaku dengan tertawa: “Jio-cici, urusan yang sudah selesai buat apa
dibicarakan lagi, Marilah kita menghabiskan secawan ini.” Dia-terus membujuk aku minum, akupun tidak menolak karena merasa suatu ganjelan hati telan kubereskan tanpa terasa aku telah mabok dan tak sadarkan diri. Waktu aku siuman kembali, ternyata aku sudah berada di gua ini, urat kaki tanganku sudah putus, tapi bangsat keparat Kongsun Ci itupun tidak berani lagi bertemu dengan aku? Hm tentu dia mengira aku sudah menjadi tulang belulang disini.”
Habis menuturkan kisahnya itu, sorot mata Kiui Jian-jio menjadi beringas, sikapnya sangat menakutkan.
“lbu, selama belasan tahun engkau hidup di gua ini, apakah berkat buah korma inilah engkau bisa bertahan sampai sekarang?” tanya Lik-oh.
“Ya, memangnya kaukira Kongsun Ci mau mengirim nasi padaku setiap hari?” kata Kiu Jian-jio.
Tidak kepalang pedih dan haru hati Lik-oh, ia memeluk sang ibu dan berseru: “O, lbu!”
“Apakah Kongsun Ci itu dahulu pernah bicara padamu tentang gua di dalam tanah ini serta jalan keluarnya?” tanya Yo Ko.
“Hm, sekian lamanya menjadi suami-isteri, belum pernah dia mengatakan di bawah perkampungannya ini ada sebuah gua sebesar ini, lebih-lebih tidak diketahui di kolam sana banyak buayanya,” jawab Kiu Jian-jio, “Tentang jalan keluar gua ini kukira ada, cuma aku adalah orang cacat, apa dayaku.”
Girang sekali Yo Ko, cepat ia berseru: “Dengan tenaga kita bertiga tentu bisa.”
Segera Lik-oh menggendong sang ibu, dengan petunjuk nenek itu mereka segera menyusur keujung gua sebelah sana, setiba disamping sebatang pohon kurma raksasa, Kiu Jian-jio menuding lubang gua bagian atas dan mengejek: “Nah, jika kau mampu boleh coba kau melompat keluar dari situ!”
Waktu Yo Ko menengadah, terlihat lubang gua itu sedikitnya ada ratusan meter tingginya, andaikan dapat memanjat sampai pucuk pohon juga tak berguna.
Diam-diam Yo Ko mendongkol melihat sikap Kiu Jian-jio yang sinis, sikap yang mencemoohkan itu, ia pikir kalau aku tidak mampu keluar toh kau juga takkan bisa keluar, kenapa mesti menyindir?,
Ia coba berpikir sejenak, ia merasa memang serba susah dan tak berdaya, akhirnya ia berkata: “Coba kupanjat ke atas pohon, sekiranya dapat kulihat sesuatu di sana.”
Segera ia melompat keatas pohon kurma besar itu dan memanjat ke pucuknya, dilihatnya dinding gua itu berlekak-lekuk tidak merata dan tidak selicin di bagian bawah, ia coba menarik napas panjang2, lalu melompat ke dinding goa terus merambat ke atas. makin merayap makin tinggi, diam-diam ia girang. ia menoleh dan berseru kepada Lik - oh : “Nona Kongsun, jika aku berhasil keluar goa ini, segera kuturunkan tali untuk mengerek kalian ke atas.”
ia terus merayap hingga ratusan meter, berkat Ginkangnya yang tinggi segala rintangan dapatkah diatasinya, Tapi ketika 20-an meter hampir mencapai mulut gua itu, dinding gua itu ternyata licin luar biasa dan tiada tempat lagi yang dapat dipegang atau dipijak, bahkan dindingnya miring ke bagian dalam, dalam keadaan begitu hanya cecak, lalat atau sebangsanya saja yang dapat merayap ke atas tanpa kuatir akan terpeleset ke bawah.
Yo Ko mengamati sekitar situ, diam-diam ia mendapatkan akal. Segera ia merosot turun ke dasar gua dan berkata kepada Lik-oh berdua: “Mungkin dapat keluar. Cuma kita harus membuat seutas tambang yang panjang dan kuat,”
Segera ia mengeluarkan belati dan mengumpulkan kulit pohon kurma untuk dipintal menjadi tambang yang kuat Lik-oh juga membantunya. Menjelang magrib barulah mereka berhasil memintal seutas tambang kulit pohon kurma yang sangat panjang, Yo Ko menarik dan membetot sekuatnya tambang buatannya itu, lalu berkata: “Cukup kuat, takkan putus.”
Lalu ia memotong sebatang dahan pohon sepanjang tiga meteran, sebelah ujung tambang itu di-ikatnya di tengah dahan pohon itu, lalu di bawanya serta memanjat lagi ke atas dinding gua. Setiba di tempat yang dapat dicapainya tadi, ia pasang kuda-kuda dan berdiri dengan mantap pada dinding, ia kumpulkan tenaga pada tangannya, lalu membentak: “Naik!”
Sekuatnya ia lemparkan dahan pohon bertali tadi keluar mulut gua.
Tenaga yang dia gunakan ternyata sangat tepat, waktu dahan pohon itu jatuh ke bawah lagi, dengan tepat melintang dan menyangkut di mulut gua itu, Cepat Yo Ko menarik tambang panjang itu beberapa kali dan terasa cantolan dahan pohon sangat kukuh dan cukup kuat menahan bobot tubuhnya. Dengan girang ia menoleh ke bawah dan berseru: “Aku naik ke atas!”
Habis itu kedua tangannya bekerja cepat bergantian, dengan gesit ia merambat ke atas. Waktu ia memandang lagi ke bawah, samar-samar ia melihat bayangan kepala Lik-oh dan ibunya telah berubah menjadi dua titik kecil.
Girang dan lega sekali hati Yo Ko mengingat tidak lama lagi dapat menyampaikan Coat-ceng-taa kepada Siao-liong-Ii,
karena itu ia merambat terlebih giat, hanya sebentar saja tangannya sudah dapat meraih dahan pohon yang melintang di mulut gua itu, sekali tarik, cepat sekali tubuhnya melayang keluar gua dan menancapkan kakinya di atas tanah.
Ia menarik napas dan membusungkan dada, di lihatnya rembulan baru muncul dari balik gunung, Hampir sehari terkurung di gua bawah tanah yang ampek dan gelap itu kini
mendapatkan kembali kebebasan terasalah segar tak terkatakan. Segera ia mengulurkan tali panjang itu kebawah.
Melihat Yo Ko berhasil keluar gua, kontan Kiu Jian-jio marah-marah dan mendamprat anak perempuannya: “Goblok, mengapa kau membiarkan dia keluar sendirian? Sesudah keluar masakah dia ingat lagi pada kita?”
“Jangan kuatir, ibu, Nyo-toako bukanlah manusia begitu,” ujar Lik-oh.
“Huh, semua lelaki di dunia ini sama saja, mana ada yang baik?” kata Kiu Jian-jio dengan gusar Mendadak ia berpaling dan mengamat-amati Lik-oh dari ubun-ubun hingga ujung kaki, lalu menatap wajahnya dan berkata pula: “Anak bodoh, kau telah kena digasak olehnya, bukan?”
Muka Lik-oh” menjadi merah, jawabnya: “Apa yang kau maksudkan, ibu, aku tidak paham.”
Kiu Jian-jio tambah gusar, damperatnya: “Kau tidak paham? Tapi mengapa mukamu merah? Ketahuilah bahwa terhadap lelaki sedikitpun tidak boleh longgar, harus kau pegang ekornya kencang-kencang, tidak boleh lena, cermin yang paling baik adalah nasib ibumu ini!”
Tengah mengomel, mendadak Lik-oh memburu kesana dan menangkap ujung tali yang dijulurkan Yo Ko itu, cepat ia mengikat kencang pinggang sang ibu, katanya dengan tertawa: “Lihatlah-ibu, bukankah Yo-toako tetap ingat kepada kita?”
“Hm,” Kiu Jian-jio, “kau harus dengar pesan ibumu ini, nanti setelah berada diluar sana, kau harus kuntit dia serapatnya, selangkahpun tidak boleh berpisah tahu tidak?”
Lik-oh merasa dongkol, geli dan duka pula, ia tahu maksud baik sang ibu, tapi iapun pikir masakah Yo Ko mau memperhatikan dia? Tiba-tiba matanya menjadi merah dan basah, cepat ia berpaling ke sana, Kiu Jian-jio hendak mengoceh pula, tapi mendadak pinggangnya terasa kencang, tubuhnya lantas melayang ke atas.
Sambil mendongak Lik-oh mengikuti sang ibu yang dikerek ke atas itu. meski yakin sebentar lagi Yo Ko pasti akan menurunkan lagi talinya untuk menolong dirinya. Namun berada seorang diri di dalam gua sekarang, mau - tak - mau ia menjadi gemetar dan takut.
Setelah mengerek Kiu Jian-jio keluar gua, ce-pat Yo Ko
melepaskan tali dari pinggang orang tua itu, lalu di ulur lagi ke
dalam gua. Girang sekali Lik-oh, ia ikat pinggang sendiri
dengan tali kulit pohon itu, lalu ia sendal tali itu beberapa kali
sebagai tanda siap, segera terasa tali itu tertarik kencang,
tubuhnya terus mengapung keatas.
Lik-oh melihat pohon kurma dibawah itu makin mengecil, sebaliknya titik-titik bintang di atas sana makin terang, rasanya sebentar lagi dirinya pasti dapat keluar gua.
Pada saat itulah mendadak terdengar gertakan seorang, menyusul tali kulit pohon itu lantas mengendus tubuh Lik-oh terus anjlok ke bawah dengan cepat Terjatuh dari ketinggian ratusan meter itu, mustahil tubuhnya takkan hancur lebur?
Keruan Lik-oh menjerit kaget, hampir saja ia pingsan, dirasakan tubuhnya terjerumus terus ke bawah, sedikitpun tak berkuasa.
Sungguh kejutnya tidak kepalang, ia tidak sempat memikirkan membalik tubuh untuk menghadapi musuh, tapi kedua tangannya bergantian dengan cepat menarik talinya, Namun segera terdengar angin menyamber, sebatang tongkat baja yang amat berat telah menghantam tubuhnya.
Dari suara samberan senjata itu Yo Ko lantas tahu penyerang itu ialah Hoat It-ong, dalam keadaan kepepet terpaksa ia gunakan tangan kiri untuk menangkis, ia berusaha mendorong tongkat lawan ke samping agar hantaman itu dapat dipatahkan Hoat lt-ong merasa dendam karena jenggot
kesayangannya kena dikacip oleh Yo Ko, maka serangannya tidak mengenal ampun. Sekali putar tongkatnya membalik terus menyabet lagi ke pinggang Yo Ko dengan sepenuh tenaga, kalau kena, maka tubuh Yo Ko pasti akan patah menjadi dua.
Dalam keadaan cuma tangan kanan saja digunakan untuk menahan bobot tubuh Kongsun Lik-oh, ditambah lagi tali yang panjangnya ratusan meter itupun cukup berat, lama2 terasa payah juga bagi Yo Ko. Ketika melihat tongkat musuh menyamber tiba pula, terpaksa ia gunakan tangan kiri pula untuk menahannya.
Di luar dugaan bahwa samberan tongkat Hoan It-ong sekali ini sungguh luar biasa dahsyatnya, begitu tangan kiri Yo Ko menyentuh tongkat, seketika tubuhnya tergetar, tangan kanan menjadi kendur, tali yang dipegangnya terlepas, tanpa ampun tubuh Lik-oh terus anjlok ke bawah dengan cepat.
Di dalam gua itu Lik-oh menjerit kaget, di luar gua Yo Ko dan Kiu Jian-jio juga berteriak kuatir, Yo Ko tidak sempat memikirkan lagi serangan tongkat musuh, cepat tangan kirinya meraih, dengan setengah berjongkok ia berusaha memegang tali panjang itu, namun daya jatuh Lik-oh itu sungguh hebat sekali, bobot tubuh yang ratusan kati itu ditambah daya jatuhnya yang keras itu total jenderal bisa mencapai ribuan kati beratnya.
Ketika Yo Ko berhasil memegang tali dan bertahan, segera iapun kena dibetot oleh daya anjloknya tubuh Lik-oh yang hebat itu, tanpa kuasa ia sendiripun ikut terjerumus ke dalam gua dengan terjungkir, kepala dibawah dan kaki di atas.
Meski sekarang ilmu silat Yo Ko sudah mencapai tingkatan kelas satu, tapi lantaran tubuh terapung di udara, pula daya turun tubuh Lik-oh itu seakan-akan membetotnya kebawah, maka ia menjadi mati kutu, kecuali ikut jatuh kebawah, kepandaiannya sedikitpun tak dapat di keluarkannya.
Menyaksikan kejadian itu, sungguh rasa kaget dan kuatir Kiu Jian-jio tidak kurang dari pada Yo Ko dan Lik-oh. Karena dia lumpuh, ilmu silatnya sudah punah, sama sekali ia tak
dapat berbuat apa-apa dan cuma kuatir belaka. Dilihat tali yang panjangnya beratus meter itu masih terus melorot dan makin pendek, asalkan tali itu ha-bis, maka riwayat Yo Ko dan Kangsun Lik-oh juga tamat
Karena tali itu hampir habis terserot ke dalam gua, saking kerasnya tertarik oleh bobot tubuh Yo Ko dan Lik-oh, mendadak bagian tali yang masih tersisa belasan meter itu beterbangan menyebar kesamping Kiu Jian-jio. Tergerak pikiran nenek itu, ia pikir keparat cebol itu telah membikin celaka anak perempuannya, biarlah ku-bikin kau mampus juga.
Sungguh hebat daya jatuh Lik-oh dan berat tali ratusan meter itu, sehingga Yo Ko ikut terjerumus jungkir balik ke dalam sumur.
Begitulah ia lantas incar tali itu, sebelah tangannya menyampuk pelahan, sampukan itu tak memerlukan banyak tenaga, tapi arahnya sangat tepat, ketika bagian tali itu menyamber ke sana, dengan tepat terus melilit beberapa putaran di pinggang Hoan It-ong.
Maksud tujuan Kiu Jian-jio sebenarnya ingin membikin Hoan lt-ong ikut terseret ke dalam gua dan mati terbanting, sebab ia merasa tidak dapat menyelamatkan jiwa putrinya, Siapa tahu si kakek cebol yang berwajah jelek ini ternyata memiliki tenaga sakti yang luar biasa kuatnya, ketika mendadak merasa pinggangnya terbelit tali dan mengencang, cepat ia menggunakan kepandaian Jian-kin tui ( ilmu membikin berat tubuh laksana ribuan kati ) untuk menahan geseran tubuhnya.
Namun gabungan bobot tubuh Yo Ko bersama Lik-oh ditambah lagi daya anjlokan ke bawah yang maha dahsyat itu tetap menyeretnya ke depan selangkah demi selangkah
menuju mulut gua, tampaknya kalau dia melangkah lagi satu-
dua tindak tentu dia akan ikut terjungkel masuk gua itu,
Saking kagetnya ia pegang tali itu sekuat-kuatnya sambil
ditarik kebelakang, bahkan disertai dengan bentakan menggelegar dan sungguh hebat, tali itu ternyata kena ditariknya hingga berhenti seketika.
Padahal waktu itu jarak Lik-oh dengan permukaan tanah hanya tinggal belasan meter saja, boleh dikatakan mendekati detik terakhir ajalnya, Maklumlah, justru daya anjlokan itulah yang paling berbahaya, biarpun sepotong batu kecil saja jika dijatuhkan dari tempat setinggi itu juga akan membawa kekuatan yang amat besar, apalagi bobot tubuh manusia.
Ketika Hoan It-ong berhasil menahan daya anjlokan itu dengan tenaga saktinya, maka bobot dua tubuh manusia ditambah tali panjang beratus meter yang seluruhnya paling-paling cuma dua-tiga ratus kati saja boleh dikatakan tiada artinya lagi baginya.
Dengan sebelah tangannya segera ia hendak melepaskan lilitan tali pada pinggangnya itu dan akan menjerumuskan lagi kedua orang,
Tapi sebelum dia sempat berbuat lebih banyak, sekonyong-konyong punggungnya terasa sakit sebuah benda runcing tepat mengancam pada Leng-tay-hiat dibagian tulang punggung, Suara seorang wanita lantas membentaknya pula: “lekas tarik ke atas!”
Sekali Leng-tay tertusuk, segenap urat nadi putus semua !
Tidak kepalang kaget Hoan It-ong, “sekali Leng-tay-hiap tertusuk, segenap urat nadi putus semua” adalah istilah yang sering diucapkan gurunya di waktu mengajarkan ilmu Tiam-hiat padanya, artinya kalau Hiat-to yang dimaksud itu terserang, maka binasalah orangnya.
Maka Hoat It-ong tidak berani membangkang terpaksa kedua tangannya bekerja cepat untuk menarik Yo Ko dan Lik-oh ke atas. Tapi ketika menahan daya anjlokan tadi ia sudah terlalu hebat mengeluarkan tenaga, kini dada terasa sesak dan darah bergolak akan tersembur keluar, ia tahu dirinya telah terluka dalam, celakanya bagian mematikan terancam musuh pula, terpaksa ia berusaha mati-matian menarik tali.
Dengan susah payah akhirnya Yo Ko dapat ditarik keatas, hatinya menjadi rada lega, seketika tangannya menjadi lemas, kontan darah tertumpah dari mulutnya, dengan lemas iapun roboh terkulai.
Karena robohnya Hoat It-ong itu, tali yang dipegangnya itu terlepas dan merosot lagi ke dalam gua. Keruan Kiu Jian-jio terkejut, cepat ia berteriak “Lekas tolong Lik-ji!”
Tanpa disuruh juga Yo Ko lantas menubruk maju dan syukur masih keburu memegang tali itu, akhirnya Lik-oh dapat dikerek ke atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar