Kembalinya Pendekar Rajawali 56
Yo Ko dan Lik-oh berseru kaget bersama demi
mendengar Yu-ji juga terkena racun duri bunga cinta.
Kui Jian-jio melototi kedua orang sekejap,
lalu menyambung ceritanya: “Selang tak lama Kongsun Ci juga menyusul tiba,
ketika melihat kekasihnya menjerit dan berkelojotan di tengah semak-semak
bunga, tentu saja dia juga kelabakan. Segera aku meloncat keluar dari balik
pohon dan kucengkeram urat nadi pergelangan tangannya dan membanting dia ke
semak-semak bunga pula, sebenarnya
keluarga Kongsun mereka mempunyai obat
penawar racun bunga cinta, namanya Coa Keng-tan, maka tepat Kongsun Ci
merangkak bangun dan memayang budak hina itu sembari berlari ke kamar obat,
maksudnya ingin mengambil Coat-ceng-tan. Tapi, hahaha, coba terka, apa yang
dilihatnya di sana?”
“Aku tidak tahu,” sahut Lik-oh menggeleng.
“Apa yang dilihatnya?”
Yo Ko sendiri membatin tentu Coat-ceng-tan
itu sudah dimusnahkannya dan tidak bisa lain.
Benar saja segera terdengar Kiu Jian-jio
me-nutur lagi: “Hahaha, di sana dia melihat di atas meja ada sebuah mangkok
besar berisi air warangan, beberapa ratus pil Coat-ceng-tan terendam di dalam
air tuba itu. Kalau minum Coat-ceng-tan tentu juga akan kena racun Warangan, kalau
tidak minum pil itu juga mati akhirnya, sebenarnya tidak sulit bagi Kongsun Ci
untuk meracik lagi Coat-ceng-tan, sebab obat itu berasal dari resep warisan
leluhurnya namun bahan2 obatnya seketika sukar dikumpulkan untuk meraciknya
juga memerlukan waktu ber-bulan-bulan.
Karena putus asa, segera ia berlari
ke-kamarku dan berlutut dihadapanku, ia minta aku mengampuni jiwa mereka
berdua, Rupanya dia yakin aku pasti tidak tega memusnahkan semua Coat-ceng-tan
mengingat hubungan suami-isteri selama ini dan tentu akan disisakan beberapa
biji obat itu.
“Begitulah berulang-ulang dia menampar pipi
sendiri dan mengutuki perbuatannya, ia bersumpah pula, katanya bila aku
mangampuni jiwa keduanya, segera ia akan mengusir Yu-ji dan takkan bertemu
selamanya serta selanjutnya tak berani timbul pikiran tidak senonoh !agi, Waktu
minta ampun padaku masih di-sebut pula nama Yu-ji, tentu saja aku sangat gusar,
segera kukeluarkan satu biji Coat-ceng-tan kutaruh di atas meja dan berkata
padanya: “Coat-ceng-tan hanya bersisa satu biji ini dan cuma dapat
menyelamatkan jiwa seorang saja, Nah kau boleh pilih sendiri, tolong jiwamu
sendiri atau jiwanya, terserah padamu?”
Dia melenggong sejenak, lalu mengambil obat
itu dan berlari kembali ke kamar obat, segera aku menyusul ke sana, sementara
budak hina itu sedang kelojotan saking kesakitan.
Kudengar Kongsun Ci berkata: “Yu-ji,
mangkatlah kau dengan baik, biar kumati bersamamu!”
Habis itu lantas melolos pedang, Melihat
Kongsun Ci begitu setia padanya, Yu-ji tampak sangat berterima kasih dan
menjawab dengan setengah merintih: “Baiklah, mari kita menjadi suami isteri di
akhirat saja.”
Segera, Kongsun Ci menusukkan pedangnya ke
dada Yu-ji dan matilah dia.
“Diam-diam aku terkejut menyaksikan itu dari
luar jendela, kukuatir dia akan menggorok pula lehernya sendiri, sementara itu
kulihat dia sudah angkat pedangnya, baru hendak kucegah dia, tiba-tiba
pedangnya digosok-gosokkannya pada mayat Yu-ji untuk menghilangkan noda darah,
lalu pedang dimasukkan kembali ke sarungnya, kemudian ia berpaling ke arah
jendela dan berkata: “Niocu (isteriku), aku sudah insaf dengan setulus hati,
Budak hina ini telah kubunuh, sekarang hendaklah engkau mengampuni diriku.”
-Habis berkata ia terus minum sendiri Coat-ceng-tan yang diambilnya tadi.
“Tindakannya sungguh diluar dugaanku, meski
aku merasa perbuatannya itu rada kelewat kejam dan keji, tapi urusan dapat
diselesaikan cara begitu, betapapun aku merasa puas.
Malamnya dia mengadakan perjamuan di kamar
dan berulang-ulang dia me-nyuguh arak padaku sebagai tanda permintaan maaf
padaku, Aku telah mendamperat dia secara pedas, dia juga mengaku salah dan
bersumpah macam-macam, ia berjanji selanjutnya tak berani berbuat lagi.”
Sampai di sini, air mata Lik-oh tampak
berlinang-linang.
“Memangnya kenapa? Apa kau kasihan kepada budak
hina itu?” tanya Kiu Jian-jio dengan gusar.
Lik-oh menggeleng dan tidak menjawab, yang
dia sedihkan sesungguhnya adalah kekejian hati ayahnya itulah.
Lalu Kiu Jian-jio menyambung pula: “Setelah
kuminum dua cawan arak, dengan tersenyum kukeluarkan pula satu biji
Coat-ceng-tan, kutaruh di atas meja dan berkata padanya: “Caramu membunuh dia
tadi agaknya terlalu buru napsu sedikit, sebenarnya aku cuma ingin menguji
pikiranmu, asalkan kau memohon lagi dengan setulus hati, waktu itu tentu akan
kuberikan kedua biji obat sekaligus untuk menyelamatkan jiwa si cantik itu.”
“lbu,” cepat Lik-oh bertanya, “jika dia
benar-benar memohon begitu padamu apakah betul kau akan memberikan kedua biji
obat itu padanya?”
Kiu Jian-jio termenung sejenak, lalu menjawab
“Entah, aku sendiri pun tak tahu, Pernah juga timbul pikiran pada waktu itu
untuk menyelamatkan jiwa budak hina itu, dengan demikian kupikir Kongsun Ci
akan berterima kasih padaku, lalu tergugah perasaan padaku. Tapi dia untuk
jiwanya sendiri dia telah buru-buru menghabisi kekasihnya itu, tentunya aku tak
dapat disalahkan”
“BegituIah dia termenung memegangi
Coat-ceng-tan kedua itu, kemudian dia angkat cawan dan berkata padaku dengan
tertawa: “Jio-cici, urusan yang sudah selesai buat apa
dibicarakan lagi, Marilah kita menghabiskan
secawan ini.” Dia-terus membujuk aku minum, akupun tidak menolak karena merasa
suatu ganjelan hati telan kubereskan tanpa terasa aku telah mabok dan tak
sadarkan diri. Waktu aku siuman kembali, ternyata aku sudah berada di gua ini,
urat kaki tanganku sudah putus, tapi bangsat keparat Kongsun Ci itupun tidak
berani lagi bertemu dengan aku? Hm tentu dia mengira aku sudah menjadi tulang
belulang disini.”
Habis menuturkan kisahnya itu, sorot mata
Kiui Jian-jio menjadi beringas, sikapnya sangat menakutkan.
“lbu, selama belasan tahun engkau hidup di
gua ini, apakah berkat buah korma inilah engkau bisa bertahan sampai sekarang?”
tanya Lik-oh.
“Ya, memangnya kaukira Kongsun Ci mau
mengirim nasi padaku setiap hari?” kata Kiu Jian-jio.
Tidak kepalang pedih dan haru hati Lik-oh, ia
memeluk sang ibu dan berseru: “O, lbu!”
“Apakah Kongsun Ci itu dahulu pernah bicara
padamu tentang gua di dalam tanah ini serta jalan keluarnya?” tanya Yo Ko.
“Hm, sekian lamanya menjadi suami-isteri,
belum pernah dia mengatakan di bawah perkampungannya ini ada sebuah gua sebesar
ini, lebih-lebih tidak diketahui di kolam sana banyak buayanya,” jawab Kiu
Jian-jio, “Tentang jalan keluar gua ini kukira ada, cuma aku adalah orang
cacat, apa dayaku.”
Girang sekali Yo Ko, cepat ia berseru:
“Dengan tenaga kita bertiga tentu bisa.”
Segera Lik-oh menggendong sang ibu, dengan
petunjuk nenek itu mereka segera menyusur keujung gua sebelah sana, setiba
disamping sebatang pohon kurma raksasa, Kiu Jian-jio menuding lubang gua bagian
atas dan mengejek: “Nah, jika kau mampu boleh coba kau melompat keluar dari
situ!”
Waktu Yo Ko menengadah, terlihat lubang gua
itu sedikitnya ada ratusan meter tingginya, andaikan dapat memanjat sampai
pucuk pohon juga tak berguna.
Diam-diam Yo Ko mendongkol melihat sikap Kiu
Jian-jio yang sinis, sikap yang mencemoohkan itu, ia pikir kalau aku tidak
mampu keluar toh kau juga takkan bisa keluar, kenapa mesti menyindir?,
Ia coba berpikir sejenak, ia merasa memang
serba susah dan tak berdaya, akhirnya ia berkata: “Coba kupanjat ke atas pohon,
sekiranya dapat kulihat sesuatu di sana.”
Segera ia melompat keatas pohon kurma besar
itu dan memanjat ke pucuknya, dilihatnya dinding gua itu berlekak-lekuk tidak
merata dan tidak selicin di bagian bawah, ia coba menarik napas panjang2, lalu
melompat ke dinding goa terus merambat ke atas. makin merayap makin tinggi,
diam-diam ia girang. ia menoleh dan berseru kepada Lik - oh : “Nona Kongsun,
jika aku berhasil keluar goa ini, segera kuturunkan tali untuk mengerek kalian
ke atas.”
ia terus merayap hingga ratusan meter, berkat
Ginkangnya yang tinggi segala rintangan dapatkah diatasinya, Tapi ketika 20-an
meter hampir mencapai mulut gua itu, dinding gua itu ternyata licin luar biasa
dan tiada tempat lagi yang dapat dipegang atau dipijak, bahkan dindingnya
miring ke bagian dalam, dalam keadaan begitu hanya cecak, lalat atau
sebangsanya saja yang dapat merayap ke atas tanpa kuatir akan terpeleset ke
bawah.
Yo Ko mengamati sekitar situ, diam-diam ia
mendapatkan akal. Segera ia merosot turun ke dasar gua dan berkata kepada
Lik-oh berdua: “Mungkin dapat keluar. Cuma kita harus membuat seutas tambang
yang panjang dan kuat,”
Segera ia mengeluarkan belati dan
mengumpulkan kulit pohon kurma untuk dipintal menjadi tambang yang kuat Lik-oh
juga membantunya. Menjelang magrib barulah mereka berhasil memintal seutas
tambang kulit pohon kurma yang sangat panjang, Yo Ko menarik dan membetot
sekuatnya tambang buatannya itu, lalu berkata: “Cukup kuat, takkan putus.”
Lalu ia memotong sebatang dahan pohon sepanjang
tiga meteran, sebelah ujung tambang itu di-ikatnya di tengah dahan pohon itu,
lalu di bawanya serta memanjat lagi ke atas dinding gua. Setiba di tempat yang
dapat dicapainya tadi, ia pasang kuda-kuda dan berdiri dengan mantap pada
dinding, ia kumpulkan tenaga pada tangannya, lalu membentak: “Naik!”
Sekuatnya ia lemparkan dahan pohon bertali
tadi keluar mulut gua.
Tenaga yang dia gunakan ternyata sangat
tepat, waktu dahan pohon itu jatuh ke bawah lagi, dengan tepat melintang dan
menyangkut di mulut gua itu, Cepat Yo Ko menarik tambang panjang itu beberapa
kali dan terasa cantolan dahan pohon sangat kukuh dan cukup kuat menahan bobot
tubuhnya. Dengan girang ia menoleh ke bawah dan berseru: “Aku naik ke atas!”
Habis itu kedua tangannya bekerja cepat
bergantian, dengan gesit ia merambat ke atas. Waktu ia memandang lagi ke bawah,
samar-samar ia melihat bayangan kepala Lik-oh dan ibunya telah berubah menjadi
dua titik kecil.
Girang dan lega sekali hati Yo Ko mengingat
tidak lama lagi dapat menyampaikan Coat-ceng-taa kepada Siao-liong-Ii,
karena itu ia merambat terlebih giat, hanya
sebentar saja tangannya sudah dapat meraih dahan pohon yang melintang di mulut
gua itu, sekali tarik, cepat sekali tubuhnya melayang keluar gua dan
menancapkan kakinya di atas tanah.
Ia menarik napas dan membusungkan dada, di
lihatnya rembulan baru muncul dari balik gunung, Hampir sehari terkurung di gua
bawah tanah yang ampek dan gelap itu kini
mendapatkan kembali kebebasan terasalah segar
tak terkatakan. Segera ia mengulurkan tali panjang itu kebawah.
Melihat Yo Ko berhasil keluar gua, kontan Kiu
Jian-jio marah-marah dan mendamprat anak perempuannya: “Goblok, mengapa kau
membiarkan dia keluar sendirian? Sesudah keluar masakah dia ingat lagi pada
kita?”
“Jangan kuatir, ibu, Nyo-toako bukanlah
manusia begitu,” ujar Lik-oh.
“Huh, semua lelaki di dunia ini sama saja,
mana ada yang baik?” kata Kiu Jian-jio dengan gusar Mendadak ia berpaling dan
mengamat-amati Lik-oh dari ubun-ubun hingga ujung kaki, lalu menatap wajahnya
dan berkata pula: “Anak bodoh, kau telah kena digasak olehnya, bukan?”
Muka Lik-oh” menjadi merah, jawabnya: “Apa
yang kau maksudkan, ibu, aku tidak paham.”
Kiu Jian-jio tambah gusar, damperatnya: “Kau
tidak paham? Tapi mengapa mukamu merah? Ketahuilah bahwa terhadap lelaki sedikitpun
tidak boleh longgar, harus kau pegang ekornya kencang-kencang, tidak boleh
lena, cermin yang paling baik adalah nasib ibumu ini!”
Tengah mengomel, mendadak Lik-oh memburu
kesana dan menangkap ujung tali yang dijulurkan Yo Ko itu, cepat ia mengikat
kencang pinggang sang ibu, katanya dengan tertawa: “Lihatlah-ibu, bukankah
Yo-toako tetap ingat kepada kita?”
“Hm,” Kiu Jian-jio, “kau harus dengar pesan
ibumu ini, nanti setelah berada diluar sana, kau harus kuntit dia serapatnya,
selangkahpun tidak boleh berpisah tahu tidak?”
Lik-oh merasa dongkol, geli dan duka pula, ia
tahu maksud baik sang ibu, tapi iapun pikir masakah Yo Ko mau memperhatikan
dia? Tiba-tiba matanya menjadi merah dan basah, cepat ia berpaling ke sana, Kiu
Jian-jio hendak mengoceh pula, tapi mendadak pinggangnya terasa kencang,
tubuhnya lantas melayang ke atas.
Sambil mendongak Lik-oh mengikuti sang ibu
yang dikerek ke atas itu. meski yakin sebentar lagi Yo Ko pasti akan menurunkan
lagi talinya untuk menolong dirinya. Namun berada seorang diri di dalam gua
sekarang, mau - tak - mau ia menjadi gemetar dan takut.
Setelah mengerek Kiu Jian-jio keluar gua,
ce-pat Yo Ko
melepaskan tali dari pinggang orang tua itu,
lalu di ulur lagi ke
dalam gua. Girang sekali Lik-oh, ia ikat
pinggang sendiri
dengan tali kulit pohon itu, lalu ia sendal
tali itu beberapa kali
sebagai tanda siap, segera terasa tali itu
tertarik kencang,
tubuhnya terus mengapung keatas.
Lik-oh melihat pohon kurma dibawah itu makin
mengecil, sebaliknya titik-titik bintang di atas sana makin terang, rasanya
sebentar lagi dirinya pasti dapat keluar gua.
Pada saat itulah mendadak terdengar gertakan
seorang, menyusul tali kulit pohon itu lantas mengendus tubuh Lik-oh terus
anjlok ke bawah dengan cepat Terjatuh dari ketinggian ratusan meter itu,
mustahil tubuhnya takkan hancur lebur?
Keruan Lik-oh menjerit kaget, hampir saja ia
pingsan, dirasakan tubuhnya terjerumus terus ke bawah, sedikitpun tak berkuasa.
Sungguh kejutnya tidak kepalang, ia tidak
sempat memikirkan membalik tubuh untuk menghadapi musuh, tapi kedua tangannya
bergantian dengan cepat menarik talinya, Namun segera terdengar angin
menyamber, sebatang tongkat baja yang amat berat telah menghantam tubuhnya.
Dari suara samberan senjata itu Yo Ko lantas
tahu penyerang itu ialah Hoat It-ong, dalam keadaan kepepet terpaksa ia gunakan
tangan kiri untuk menangkis, ia berusaha mendorong tongkat lawan ke samping
agar hantaman itu dapat dipatahkan Hoat lt-ong merasa dendam karena jenggot
kesayangannya kena dikacip oleh Yo Ko, maka
serangannya tidak mengenal ampun. Sekali putar tongkatnya membalik terus
menyabet lagi ke pinggang Yo Ko dengan sepenuh tenaga, kalau kena, maka tubuh
Yo Ko pasti akan patah menjadi dua.
Dalam keadaan cuma tangan kanan saja
digunakan untuk menahan bobot tubuh Kongsun Lik-oh, ditambah lagi tali yang
panjangnya ratusan meter itupun cukup berat, lama2 terasa payah juga bagi Yo
Ko. Ketika melihat tongkat musuh menyamber tiba pula, terpaksa ia gunakan
tangan kiri pula untuk menahannya.
Di luar dugaan bahwa samberan tongkat Hoan
It-ong sekali ini sungguh luar biasa dahsyatnya, begitu tangan kiri Yo Ko
menyentuh tongkat, seketika tubuhnya tergetar, tangan kanan menjadi kendur,
tali yang dipegangnya terlepas, tanpa ampun tubuh Lik-oh terus anjlok ke bawah
dengan cepat.
Di dalam gua itu Lik-oh menjerit kaget, di
luar gua Yo Ko dan Kiu Jian-jio juga berteriak kuatir, Yo Ko tidak sempat
memikirkan lagi serangan tongkat musuh, cepat tangan kirinya meraih, dengan
setengah berjongkok ia berusaha memegang tali panjang itu, namun daya jatuh
Lik-oh itu sungguh hebat sekali, bobot tubuh yang ratusan kati itu ditambah
daya jatuhnya yang keras itu total jenderal bisa mencapai ribuan kati beratnya.
Ketika Yo Ko berhasil memegang tali dan
bertahan, segera iapun kena dibetot oleh daya anjloknya tubuh Lik-oh yang hebat
itu, tanpa kuasa ia sendiripun ikut terjerumus ke dalam gua dengan terjungkir,
kepala dibawah dan kaki di atas.
Meski sekarang ilmu silat Yo Ko sudah
mencapai tingkatan kelas satu, tapi lantaran tubuh terapung di udara, pula daya
turun tubuh Lik-oh itu seakan-akan membetotnya kebawah, maka ia menjadi mati
kutu, kecuali ikut jatuh kebawah, kepandaiannya sedikitpun tak dapat di
keluarkannya.
Menyaksikan kejadian itu, sungguh rasa kaget
dan kuatir Kiu Jian-jio tidak kurang dari pada Yo Ko dan Lik-oh. Karena dia
lumpuh, ilmu silatnya sudah punah, sama sekali ia tak
dapat berbuat apa-apa dan cuma kuatir belaka.
Dilihat tali yang panjangnya beratus meter itu masih terus melorot dan makin
pendek, asalkan tali itu ha-bis, maka riwayat Yo Ko dan Kangsun Lik-oh juga
tamat
Karena tali itu hampir habis terserot ke
dalam gua, saking kerasnya tertarik oleh bobot tubuh Yo Ko dan Lik-oh, mendadak
bagian tali yang masih tersisa belasan meter itu beterbangan menyebar kesamping
Kiu Jian-jio. Tergerak pikiran nenek itu, ia pikir keparat cebol itu telah
membikin celaka anak perempuannya, biarlah ku-bikin kau mampus juga.
Sungguh hebat daya jatuh Lik-oh dan berat
tali ratusan meter itu, sehingga Yo Ko ikut terjerumus jungkir balik ke dalam
sumur.
Begitulah ia lantas incar tali itu, sebelah
tangannya menyampuk pelahan, sampukan itu tak memerlukan banyak tenaga, tapi
arahnya sangat tepat, ketika bagian tali itu menyamber ke sana, dengan tepat
terus melilit beberapa putaran di pinggang Hoan It-ong.
Maksud tujuan Kiu Jian-jio sebenarnya ingin
membikin Hoan lt-ong ikut terseret ke dalam gua dan mati terbanting, sebab ia
merasa tidak dapat menyelamatkan jiwa putrinya, Siapa tahu si kakek cebol yang
berwajah jelek ini ternyata memiliki tenaga sakti yang luar biasa kuatnya,
ketika mendadak merasa pinggangnya terbelit tali dan mengencang, cepat ia
menggunakan kepandaian Jian-kin tui ( ilmu membikin berat tubuh laksana ribuan
kati ) untuk menahan geseran tubuhnya.
Namun gabungan bobot tubuh Yo Ko bersama
Lik-oh ditambah lagi daya anjlokan ke bawah yang maha dahsyat itu tetap
menyeretnya ke depan selangkah demi selangkah
menuju mulut gua, tampaknya kalau dia
melangkah lagi satu-
dua tindak tentu dia akan ikut terjungkel
masuk gua itu,
Saking kagetnya ia pegang tali itu
sekuat-kuatnya sambil
ditarik kebelakang, bahkan disertai dengan
bentakan menggelegar dan sungguh hebat, tali itu ternyata kena ditariknya
hingga berhenti seketika.
Padahal waktu itu jarak Lik-oh dengan
permukaan tanah hanya tinggal belasan meter saja, boleh dikatakan mendekati
detik terakhir ajalnya, Maklumlah, justru daya anjlokan itulah yang paling
berbahaya, biarpun sepotong batu kecil saja jika dijatuhkan dari tempat
setinggi itu juga akan membawa kekuatan yang amat besar, apalagi bobot tubuh
manusia.
Ketika Hoan It-ong berhasil menahan daya
anjlokan itu dengan tenaga saktinya, maka bobot dua tubuh manusia ditambah tali
panjang beratus meter yang seluruhnya paling-paling cuma dua-tiga ratus kati
saja boleh dikatakan tiada artinya lagi baginya.
Dengan sebelah tangannya segera ia hendak
melepaskan lilitan tali pada pinggangnya itu dan akan menjerumuskan lagi kedua
orang,
Tapi sebelum dia sempat berbuat lebih banyak,
sekonyong-konyong punggungnya terasa sakit sebuah benda runcing tepat mengancam
pada Leng-tay-hiat dibagian tulang punggung, Suara seorang wanita lantas
membentaknya pula: “lekas tarik ke atas!”
Sekali Leng-tay tertusuk, segenap urat nadi
putus semua !
Tidak kepalang kaget Hoan It-ong, “sekali
Leng-tay-hiap tertusuk, segenap urat nadi putus semua” adalah istilah yang
sering diucapkan gurunya di waktu mengajarkan ilmu Tiam-hiat padanya, artinya
kalau Hiat-to yang dimaksud itu terserang, maka binasalah orangnya.
Maka Hoat It-ong tidak berani membangkang
terpaksa kedua tangannya bekerja cepat untuk menarik Yo Ko dan Lik-oh ke atas.
Tapi ketika menahan daya anjlokan tadi ia sudah terlalu hebat mengeluarkan
tenaga, kini dada terasa sesak dan darah bergolak akan tersembur keluar, ia
tahu dirinya telah terluka dalam, celakanya bagian mematikan terancam musuh
pula, terpaksa ia berusaha mati-matian menarik tali.
Dengan susah payah akhirnya Yo Ko dapat
ditarik keatas, hatinya menjadi rada lega, seketika tangannya menjadi lemas,
kontan darah tertumpah dari mulutnya, dengan lemas iapun roboh terkulai.
Karena robohnya Hoat It-ong itu, tali yang
dipegangnya itu terlepas dan merosot lagi ke dalam gua. Keruan Kiu Jian-jio
terkejut, cepat ia berteriak “Lekas tolong Lik-ji!”
Tanpa disuruh juga Yo Ko lantas menubruk maju
dan syukur masih keburu memegang tali itu, akhirnya Lik-oh dapat dikerek ke
atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar