Jilid
2. JIK - LIAN - SIN - CIANG
Tidak
keruan rasa hati Liok Lip-ting, ya sedih ya gusar, ya kejut ya sangsi, tapi ia
tidak mendengarkan cerita Bu-siang secara jelas sehingga tidak diketahui
bangsat pencuri mayat ini ada permusuhan kesumat apa dengan ayah-bundanya
sehingga sesudah kedua orang tua itu sudah meninggal masih dirasakan perlu
merusak kuburannya serta memusnahkan mayatnya.
Sejenak
dia terlongong di depan kuburan, segera pula ia mengejar, tapi hanya beberapa
langkah, ia ragu2, ia memeriksa tapak kaki disekitar kuburan, namun jejak yang
dicarinya tak diketemukan, ia bertambah heran, pikirnya: “Seorang diri dia
membawa jenazah ayah bunda-ku, betapapun tinggi Ginkangnya pasti juga
meninggalkan tapak kaki ?”
Biasanya
dia cukup cermat, namun mengalami kejadian yang tak terduga ini, pikirannya
menjadi kacau, tidak sempat lagi ia memeriksa dengan teliti, segera ia lari
mengejar mengikuti jalan raya. Ketiga tamu tadi kuatir akan keselamatannya,
merekapun mengintil dengan kencang.
Begitu
Liok Lip-ting kembangkan Ginkang, larinya secepat kuda membedal, mana bisa
ketiga orang itu menyusulnya ? sekejap saja sudah kehilangan bayangannya, Liok
Lip-ting berlari memutar beberapa kali, cuaca pun sudah gelap, terpaksa dia
kembali ke kuburan pula, dilihatnya ketiga tamu itu berdiri menunggu di pinggir
kuburan, Liok Lip-ting berlutut di depan kuburan, ia memeluk peti mati ibunya
dan menangis tergerung-gerung.
setelah
orang puas menangis, barulah ketiga laki2 itu maju membujuk: “Liok-ya, harap
tenangkan hati dan berpikirlah dengan jernih. Mungkin kami bisa memberi sedikit
keterangan latar belakang kejadian ini.”
Melotot
kedua mata Liok Lip-ting, teriaknya: “Siapa bangsat keparat itu ? Dimana dia ?
Lekas katakan !”
Kata
salah seorang itu: “Cukup panjang cerita ini, tidak perlu Liok-ya gugup,
marilah pulang dulu nanti kita rundingkan persoalan ini.”
Liok
Lip-ting anggap omongan orang memang benar, katanya: “Aku terlalu gugup sampai
berlaku kurang hormat.”
“Ah,
kenapa Liok-ya berkata demikian,” sahut ketiga tamu itu.
Maka
mereka kembali ke rumah Liok Lip-ting. Setelah menghaturkan teh kepada
tamu-tamunya, tak sempat tanya nama
para tamunya, Liok Lip-ting: lantas masuk ke dalam hendak memberitahukan
isterinya, tak tahunya sang isteri sudah mendapat laporan Bu-siang dan keluar
mengejar bangsat itu dan belum kembali. Bertambah pula kekuatiran Liok
Lip-ting, terpaksa ia kembali ke ruang tamu dan bicara dengan ketiga tamunya,
Ketiga
tamunya lantas memperkenalkan diri, kiranya mereka adalah para Piausu An-wan
Piaukiok dari Ki-lam di Soatang, seorang she Liong,
she So dan she Cu.
Mendengar
mereka hanya kawanan Piausu, seketika berubah dingin sikap Liok Lip-ting,
hatinya kurang senang, katanya: “Selamanya aku tidak pernah berhubungan dengan
Piausu, hari ini kalian kemari, entah ada keperluan apa ?”
Ketiga
orang itu saling pandang lalu serentak berlutut, serunya: “Harap Liok-ya
suka tolong jiwa kami!”
Liok
Lip-ting sudah dapat meraba beberapa bagian, katanya tawar: “Berdirilah kalian,
Entah cara bagaimana Cu-ya sampai terkena
Jit-lian-sin-ciang ?”
Liong-piausu
dan So-piausu berkata berbareng: “Kami berduapun terkena juga.” Sembari berdiri
mereka menyingkap lengan baju, tampak ke-empat lengan mereka sama berwarna
merah darah dan mengerikan.
Liok
Lip-ting terkejut katanya ragu2: “Tiga irang semua kena ? Siapa yang menyerang
kalian ? )ari mana pula kalian mendapat tahu ayahku asa menolong ?” -
“Tujuh
hari yang lalu, kami bertiga membara se-partai barang kawalan menuju ke
Hokkianwat Yangciu, di jalan hawa sangat panas, kami berteduh di sebuah gardu
minum di pinggir jalan, kami bersyukur sepanjang jalan ini tidak terjadi
pa-apa, agaknya barang kawalan akan tiba di tempat tujuan dengan selamat,”
demikian tutur Liong-piausu.
“Pada
saat itulah dari jalan raya sana
berlari mendatangi seekor keledai berbulu loreng dengan langkah cepat,
penunggangnya adalah seorang Tokoh setengah umur berjubah kuning. ia turun dari
keledai dan masuk ke dalam gardu pula, Cu-hiante memang masih muda dan suka
iseng lagi, melihat orang berparas elok, ia cengar-cengir dan main mata
kepadanya.
Tokoh
itupun balas tersenyum manis padanya, Cu-hiante kira
orang ada maksud, segera ia menghampiri dan meraba pakaian orang, katanya
tertawa: “Seorang diri menempuh perjalanan, apa tidak takut diculik perampok
dan dijadikan isteri muda ?” - Tokoh itu tertawa, ujarnya: “Aku tidak takut
perampok, hanya takut pada Piausu.” - sembari bicara iapun menepuk ringan
dipundaknya, Mendadak Cu-hiante seperti kesetrom, seluruh badan bergetar hebat,
gigi berkerutukan.
“Sudah
tentu aku dan So-hiante sangat kaget. Lekas aku memburu maju memayang
Cu-hiante, sementara So-hiante segera menjambret si Tokoh dan bentaknya: “Kau
gunakan ilmu sihir apa ? Tokoh itu hanya tersenyum saja, ia menepuk pula sekali
di pundak kami berdua, seketika seluruh badan terasa panas seperti di-panggang,
panasnya sukar tertahan, namun sekejap lain terasa seperti jatuh ke dalam sumur
es, tak tertahan seluruh badan menggigil kedinginan.
“Para kerabat Piaukiok yang lain mana berani maju ? si
Tokoh tertawa, ujarnya: “Kepandaian begini saja berani mengibarkan bendera
Piaukiok, huh, bikin malu saja, sungguh besar nyali kalian, Kalau tidak
kupandang muka kalian yang tebal, pastilah ku persen beberapa kali tamparan
lagi”, Kupikir sekali tepuk saja tidak tertahan, apalagi ditambah beberapa kali
pukulan lagi, tentulah jiwa kami melayang.
Tokoh
itu tertawa pula: “Kalian mau tunduk tidak kepadaku ? Masih berani main gila
dijalan raya ?” -Lekas aku menyahut: “Kami menyerah ! Tidak berani lagi!” - si
Tokoh mengetuk sekali belakang leherku dengan gagang kebutnya, seketika rasa
dingin dalam badanku hilang, namun badan masih terasa kaku dan gatal, sudah
tentu jauh lebih mending dari pada semula, Lekas aku menjura:
“Kami
punya mata tapi lamur sehingga berbuat salah kepada Sian-koh. Harap Sian-koh
tidak pikirkan kesalahan kami ini dan sukalah memberi ampun kepada kedua
saudaraku.”
“Tokoh
itu tersenyum: “Dulu guruku hanya mengajarkan cara
memukul orang, tidak pernah mendidik aku cara
menolong orang, Tadi kalian sudah merasakan sekali tepukan ku, kalau badan
kalian kuat, rasanya dapat bertahan sepuluh malam, Kalau hawa merah sudah
merembes sampai ke dada, tibalah saatnya kalian pulang ke neraka.” - lalu ia
tertawa cekikikan, dengan kebutnya ia bersihkan kotoran di jubahnya terus
keluar dan cemplak keledainya tinggal pergi.
Sudah
tentu kejutku bukan kepalang, tanpa hiraukan pamor segala, lekas aku memburu
maju dan berlutut di depannya serta berteriak memohon: “Harap Sian-koh bermurah
hati, sudilah memberi ampun dan menolong jiwa kami!”
Mendengar
sampai di sini Liok Lip-ting mengerut kening, Liong-piausu tahu perbuatannya
terlalu rendah dan hina, segera ia menambahkan: “Xiok-ya, kami datang untuk
mohon pertolonganmu, maka apa yang terjadi waktu itu harus kami ceritakan,
sedikitpun kami tidak merahasiakannya kepadamu.”
“O,
ya, teruskan ceritamu.” ujar Liok Lip-ting.
Tutur
Liong-piausu lebih lanjut: “Tokoh itu hanya tersenyum saja, sesaat kemudian
baru berkata: “Baiklah, akan kuberi petunjuk kepadamu. Dia sudi menolong tidak
terserah pada keberuntunganmu sendiri, Nah, lekas kalian pergi ke Ling: ok-tin
di Oh-ciu, mintalah pertolongan kepada Liok Tian-goan, Liok-lo-enghiong. Dalam
dunia ini hanya dia saja seorang yang dapat mengobati luka-luka ini. Katakan
pula kepadanya, dalam waktu dekat akupun akan menemui dia.”
Tersentak
hati Liok Lip-ting, teriaknya kaget:
“Memangnya
orang yang mencuri jenazah ayah bundaku itu ada sangkut paut dengan persoalan
ini ? ini wah sulit!”
“Begitulah
Cayhe berpikir,” kata Liong-piausu “Setelah mendengar kata2nya aku masih ingin
memohon padanya, tapi dia lantas menukas: “Perjalanan ke Oh-ciu cukup jauh,
memangnya kalian hendak membuang-buang waktu,” - Tanpa kelihatan dia angkat
kakinya, entah bagaimana tahu2 badannya sudah melayang ke punggung keledainya.
Cepat sekali keledai itu mencongklang pergi, dikejar pun tidak keburu lagi Aku
melongo sekian lamanya, kulihat So dan Cu-hiante masih gemetar, terpaksa ku
payang mereka naik ke atas kereta,
“Begitu
tiba di kota
segera ku panggil tabib terpandai, namun para tabib itu mana dapat mengobati ?
Waktu kami buka baju, di atas pundak kami masing2 ada tapak tangan merah darah
yang menyolok sekali Sampai besok paginya, rasa, dingin kedua saudaraku baru
hilang dan tidak gemetar lagi, namun warna merah tapak tangan itu semakin
membesar, kuingat pesan si Tokoh, kalau hawa merah ini sampai merembes sampai
ke dada dan ujung jari, jiwa kami bertiga akan tak tertolong lagi, maka kami
tidak perdulikan lagi barang kawalan itu, selama beberapa hari ini siang-malam
kami memburu kemari, siapa tahu Liok-loenghiong ternyata sudah wafat Memang
Cayhe terlalu gegabah, kami hanya ingat kata-kata si Tokoh, tak tahunya Liok-ya
telah mendapat ajaran warisan leluhur, engkaulah yang menjadi harapan sebagai
tuan penolong jiwa kami.”
Dasar
banyak pengalaman dan pandai bicara lagi, belum Liok Lip-ting memberi jawaban,
dia sudah sebut orang sebagai tuan penolong jiwa mereka, maksudnya supaya orang
tidak enak menolak”
Liok
Lip-ting tersenyum ewa, katanya: “Sejak kecil aku mendapat didikan keluarga,
tapi tidak berani berkelana di Kangouw, jika kalian tidak kenal namaku yang
rendah, inipun tidak perlu dibuat heran.” Lahirnya dia bersikap merendah,
sebetulnya amat tinggi hati, pelahan ia angkat kepala mendadak ia melonjak dan
berteriak kaget:
“Apa
itu ?” - di bawah sinar pelita jelas sekali kelihatan di atas dinding tembok
putih itu berderet sembilan tapak tangan darah.
Mereka
berempat terlongong mengawasi ke sembilan tapak tangan merah itu, seperti orang
tersihir dan linglung, sesaat lamanya tak mampu bicara, Para Piausu dari An-wan
Piaukiok tidak tahu asal-usul tapak tangan darah itu, namun melihat Liok
Lip-ting begitu terkejut, serta merta mereka merasa ke sembilan tapak tangan
itu pasti berlatar belakang, Ke sembilan tapak tangan itu berjajar tinggi di
atas tembok dekat atap rumah, dua yang paling atas berjajar, demikian terus
menurun ke bawah masing2 berjajar dua, paling bawah berjarak rada jauh dan
berjumlah tiga, Ketiga tapak terbawah inipun tingginya kira-kira tiga meter
lebih, kalau tidak naik tangga, tidak mungkin bisa menjajarkan cap2 tangan itu
sedemikian rapi.
“lblis
itu, untuk apa iblis itu mencari aku ?” demikian gumam Liok Lip-ting.
Dasar
orang kasar, Cu-piauthau itu segera bertanya: “Liok-ya, apa maksud ke sembilan
tapak tangan darah ini ?”
Hati
sedang gundah, menguatirkan keselamatan istrinya lagi, maka Liok Lip-ting tidak
hiraukan pertanyaannya, ia keluar rumah dan melihat isterinya, Liok-toanio,
sedang mendatangi sambil menggandeng Thia Eng dan Liok-Bu-siang, begitu
berhadapan dengan sang suami, nyonya itu hanya menggeleng kepala saja.
Supaya
sang istri tidak kuatir, Liok Lip-ting tidak menyinggung tapak tangan darah di
atas dinding itu, segera ia iringi orang masuk ke dalam kamar di belakang, lalu
ia tuturkan ketiga Piau-thau yang terkena pukulan Ji-lian-sin-ciang dan minta
diobati
“Lip-ting,”
ujar Liok-toanio, “malam ini jangan kita tidur di rumah, bagaimana pendapatmu
?”
“Kenapa
?” Liok Lip-ting menegas,
Liok-toanio
suruh Thia Ing dan Liok
Bu-siang keluar, setelah tutup
pintu ia berkata lirih: “Kejadian hari ini amat ganjil, ayam dan anjing dalam
rumah kita ini sudah tiada satupun yang hidup.”
“Apa
?” teriak Liok Lip-ting kaget.
“Tiga
ekor anjing penjaga pintu, empat ekor kucing, tujuh ekor babi puluhan itik dan
dua puluhan ayam, semuanya sudah mati”
Belum
lagi habis istrinya menutur, Liok Lip-ting sudah berlari keluar langsung ke
belakang, Kim-seng, jongos tuanya menyapa: “Siauya !” -saking sedih hampir saja
ia mengucurkan air mata.
Tampak
oleh Liok Lip-ting anjing, kucing, ayam dan itik terkapar di atas tanah, semua
sudah mati kaku tak bergerak lagi
Pelahan
Liok Lip-ting berjongkok di depan anjing kesayangannya, didapatinya batok
kepala binatang sudah hancur, terang bukan terkena pukulan atau hantaman benda
keras, se-olah2 seperti dipukul dengan suatu benda keeiJ yang lemas, namun
tidak mungkin hal itu terjadi ? Sedikit me-renung, tiba-tiba Liok Lip-ting
teringat penuturan Liong-piauthau, si Tokok itu memegang sebuah kebutan, terang
binatang itu mati dibawah pukulan kebutnya, Tapi kebutan itu terbuat dari
barang lemas, cuma sekali kebut orang dapat membunuh anjing” dan babi, malah
batok kepalanya hancur luluh, kekuatan lwekang orang itu sangat tinggi dan
mengejutkan.
“Ayam
anjing tidak ketinggalan ayam anjing tidak ketinggalan !” tanpa terasa mulutnya
menggumam pikirnya: “Sejak kecil aku tidak pernah berkecimpung di
Kangouw, mana mungkin aku ikat permusuhan ? Orang ini menyerang
secara keji, tentu tujuannya hendak mencari perhitungan dengan ayah bunda.”
“Segera
ia masuk ke kamar tamu, katanya kepada ketiga Piauthau: “Bukan aku tidak suka
menahan kalian, soalnya keluarga kami bakal tertimpa bencana, harap kalian suka
segera pergi, saja supaya tidak terembet.”
Ketiga Piausu ini tadinya mengira
orang sudah, sudi memberi pertolongan kini mendengar tuan rumah mengusir mereka
secara halus, mereka menjadi gugup dan bingung pula, kata mereka serempak
sambil berdiri: “Liok-ya… Liok-ya… engkau….” gelisah dan cemas membuat mereka
tidak kuasa meneruskan kata-katanya.
Liok
Lip-ting mengerut kening, tiba2 ia masuk ke kamar dan mengeluarkan dua puluh
tujuh batang jarum emas, setiap batangnya panjang sembilan incij tanpa suruh
orang membuka pakaian, langsung ia tusukkan kedua puluh tujuh jarum itu ke
badan ketiga Piausu, setiap orang sembilan batang, Gerak-geriknya amat cekatan,
setiap tusukan jarum langsung menancap di Hiat-to penting dalam badan, Belum
lagi ketiga Piausu tahu apa yang terjadi tahu2 kedua puluh tujuh batang jarum
itu sudah menancap di atas badan mereka Kejadiannya memang aneh, meski jarum2
itu menusuk masuk tujuh-delapan inci ke dalam badan mereka, tapi karena semua
Hiat-to itu sudah mati rasa, maka sedikitpun tidak terasakan sakit
“Lekaslah
kalian cari tempat yang sepi dan sembunyi atau menetaplah di rumah petani, tiga
hari lagi boleh kemari Kalau jiwaku masih hidup, nanti aku memberi pengobatan
lebih lanjut.”
Ketiga Piauthau itu amat kaget
tanyanya: “Liok-ya bakal menghadapi bencana apa ?”
Liok
Lip-ting tidak sabar untuk bicara lagi sahutnya: “Kalian terkena Jik-sin-ciang,
sebetulnya racun bakal menyerang dalam sepuluh hari dan kalian akan meninggal
kini aku sudah menusuk dengan jarum emas, kadar racun akan tertahan sementara,
hawa merah itu tidak akan menjalar Tiga hari lagi biar kuberi pertolongan lebih
lanjut dan pasti tidak akan terlambat.”
“Kalau
tiga hari lagi Liok-ya mengalami se suatu, lalu bagaimana ?” tanya Cu-piau-thau.
Mata
Liok Lip-ting mendelik jengeknya: “Kecuali aku tiada orang Iain yang mampu
mengobati luka-luka Jik-lian-sin-ciang. Kalau aku mati biarlah kalian
mengiringi aku.”
Liong
dan So masih berkukuh hendak mohon pengobatan selekasnya, tapi Liok Lip-ting
sudah berkata pula: “Kalian masih tunggu apa lagi Orang yang mencari perkara
kepadaku bukan lain adalah Tokoh itu, sebentar dia akan tiba di sini.
Seketika
ciut nyali ketiga piausu itu dan mereka berani tanya
lagi, cepat mereka pamit dan mohon diri.
Liok
Lip-ting tidak antar tamu2nya, ia duduk di kursi sambil mengawasi ke sembilan
tapak tangan di atas dinding itu.
Entah
berapa lama ia terlongong mengawasi tapak2 tangan itu, tiba2 dilihatnya A Kin
jongos berlari masuk ter-gesa2 dan melapor “Siauya, di luar ada datang seorang
tamu.”
“Katakan
aku tidak dirumah,” ujar Liok Lip-ting.
“Siauya,
Toanio nyonya itu mengatakan tidak mencari kau, dia sedang menempuh perjalanan
dan mohon menginap semalam saja di sini,” kata si A Kin.
“Apa
? jadi dia perempuan ?” teriak Lip-ting kaget.
“Benar,
Toanio itu malah membawa dua anak, mungil dan elok sekali ”
Mendengar
tamu perempuan membawa anak, barulah Liok Lip-ting merasa lega, tanyanya
menegas: “Dia bukan Tokoh ?”
“Bukan,”
sahut A Kin menggeleng, “Pakaian-nya bersih, kelihatannya nyonya dari keluarga
baik-baik.”
“Baik,
bawalah masuk ke kamar tamu, siapkan makanan dan sediakan ala kadarnya,” A Kin
mengiakan sambil mengundurkan diri.
Liok
Lip-ting berdiri, baru saja ia hendak ke dalam, ternyata Liok-toanio sudah
berada di luar ruangan katanya segera sambil mengerut alis:
Lip-ting, kedua bocah itu harus kita sembunyi-kan
Kedua
bocah itupun masuk hitungan,” kata Liok Lip-ting sambil menuding tapak tangan
di atas dinding, “Iblis itu sudah memberikan tanda darah ini, sampai ke ujung
langitpun kau tidak akan lolos dari kekejamannya.”
Dengan
termangu Liok-toanio mengamati ke sembilan tapak tangan darah di dinding itu,
tapak-tapak tangan itu se-olah2 semakin besar, semakin merah dan seakan-akan
menubruk ke arahnya, tan-pa terasa ia menjerit kaget dan memegangi sandaran
kursi, katanya: “Kenapa ada sembilan tapak tangan, keluarga kita kan hanya tujuh orang.”
Sehabis berkata kaki tangan sudah terasa lemas tak bertenaga, dengan terlongong
ia awasi suaminya, hampir saja ia mengucurkan air mata,
Lekas
Liok Lip-ting memegang lengannya, dan berkata: “Isteriku, bencana sudah di
depan mata, takut pun tiada gunanya. Dua tapak teratas ditujukan kepada
ayah-ibu, dua di bawahnya terang untuk kita berdua. Dua lagi di baris ketiga
ditujukan kepada Bu-siang dan Thia Eng, tiga yang lain adalah A Kin dan dua
pelayan lain, Hehehe, inilah yang dinamakan banjir darah dalam keluarga, ayam,
anjing tidak ketinggalan.”
Bergidik Liok-toanio dibuatnya mendengar
kata2 suaminya, “Ayah dan ibu ?” ia menegas tak mengerti
“Akupun
tidak tahu ada permusuhan apa antara gembong iblis ini dengan ayah dan ibu. Ayah bunda lama wafat,
dia suruh orang membongkar kuburan dan mengeluarkan jenazah mereka, mungkin
setiap orang harus menerima sekali pukulan baru dianggap selesai membalas sakit
hati.”
“Kau
kira orang gila itu adalah utusannya ?
“Sudah
tentu.”
Baru
mereka bicara dilihatnya A Kin berlari masuk dengan ber-sungut2, katanya:
“Siauya, pintu besar kita entah kenapa tidak bisa dibuka, seperti terpantek
dari luar”.
Berubah
air muka Liok Lip-ting berdua, lekas mereka memburu keluar, tertampak daun
pintu yang bercat hitam itu masih tertutup rapat Ke-dua tangan Liok Lip-ting
terukir menangkap gelang tembaga pintu dan ditariknya ke belakang, terdengarlah
suara berkereyot, daun pintu hanya bergoyang sedikit, namun tidak dapat
dibukanya, Liok-hujin memberi isyarat, segera ia melompat ke atas tembok, di
luar sunyi senyap tidak kelihatan bayangan manusia. Sambil melintangkan pedang
ia lompat turun keluar pintu, seketika alisnya berdiri, makinya: “Terlalu
menghina orang !”
Ternyata
daun pintu itu sudah terpantek oleh dua batang besi panjang yang di paku di
atas daun pintu, Di atas batang besi
itu tergantung secarik kain yang berlepotan darah, kelihatannya amat
mengerikan.
Waktu
itu Liok Lip-ting pun sudah menyusul keluar, melihat palang besi dan kain
belacu (tanda duka cita), ia tahu musuh semakin mendesak dalam dua jam
mendatang, pasti gembong iblis itu akan menurunkan tangan jahatnya. ia tertegun
sebentar, rasa gusarnya mulai menipis, katanya: “Niocu (isteriku), kalau
seluruh keluarga Liok kita hari ini harus mati bersama, biarlah kita mati tanpa
merendahkan pamor ayah bunda.”
Liok-toanio
manggut2, saking haru suaranya tertelan dalam tenggorokannya,
Mereka
melompati tembok kembali ke dalam rumah langsung menuju ke belakang, tiba2
terdengar sesuatu suara di atas tembok sebelah timur, kiranya di atas sana ada
orang, Liok-Lip-ting memburu ke depan menghadang di depan isterinya, waktu ia
angkat kepala, dilihatnya di atas tembok sedang duduk seorang anak laki2,
rambut kepalanya dikuncir dua menegang, bocah itu sedang memetik kembang di
atas pohon, Lalu terdengar orang berteriak di sebelah bawah: “Awas lho, jangan
sampai terjatuh !” kiranya Thia Eng, Liok Bu-siang dan seorang anak laki2 lain
sedang menunggu di kaki tembok sana, Liok Lip-ting berpikir: “Kedua bocah ini
minta menginap di rumah-ku, kenapa begini nakal ?”
Anak
laki2 di atas tembok itu sedang memetik sekuntum bunga, Liok Bu-siang
segera berteriak: “Nah, berikan padaku, berikan kepadaku !”
Anak
laki2 itu tertawa, ia melempar bunga itu ke arah Thia Eng, lekas Thia Eng ulur
tangan menangkapnya, lalu diangsurkan kepada sang Piau-moay, Tapi Liok Bu-siang
naik pitam, ia meraih kembang itu terus dibanting dan di-injak2.
Melihat
ke empat bocah ini bermain dengan riang gembira, sedikitpun tidak tahu bencana
besar yang bakal menimpa mereka sekeluarga, Liok Lip-ting suami istri menghela
napas, mereka masuk ke dalam kamar.
“Piaumoay,
kenapa kau marah ?” bujuk Thia Eng.
Liok Bu-siang merengut, katanya:
“Aku tidak sudi, aku sendiri bisa memetik !” - sekali kaki kanannya menutul
tanah, badannya melejit ke atas serta meraih akar rotan yang merambat di atas
tembok, sekali meminjam tenaga, seketika badannya melambung ke atas pula
beberapa kaki lalu melayang ke arah sebatang dahan pohon,
Anak
laki-laki di atas tembok itu bersorak gembira, teriaknya: “Lekas kemari!”
Kedua
tangan Liok Bu-siang menarik dahan pohon, di tengah
udara ia jumpalitan dua kali, badannya mendadak melambung ke tengah udara,
terus menubruk ke atas tembok.”
Dinilai
dari Ginkangnya, apa yang Bu-siang lakukan sekarang boleh dikata sangat
berbahaya namun hatinya sedang panas dan dongkol kepada si anak laki2 yang
melempar bunga kepada Piau-cinya tadi, memang sifat pembawaan anak perempuan
ini suka menangnya sendiri, maka tanpa hiraukan keselamatan dirinya ia telah
main lompat di tengah udara.
Anak
laki2 itu menjadi kaget, teriaknya memperingatkan: “Awas ! Hati2! - segera ia
ulur tangan hendak menangkap tangan Bu-siang.
Kalau
dia tidak mengulurkan tangan, Liok Bu-siang sebetulnya bisa mencapai pagar
tembok tapi ketika melihat anak laki-laki itu hendak menarik dirinya, segera ia
menghardik: “Minggir” - badanpun menyingkir ke samping hendak menghindari
tarikan tangan orang, Kepandaian jumpalitan ditengah udara adalah ilmu Ginkang
tingkat tinggi, walau dia pernah melihat ayah bundanya memainkannya, dia
sendiri belum pernah mempelajarinya, dengan sedikit berkisar itu, jari2-nya
sudah tidak dapat meraih tembok, ditengah teriakan kagetnya, badannya langsung
jatuh ke bawah,
Melihat Bu-siang jatuh, anak
laki-laki yang berada di kaki tembok segera memburu maju dan ulur tangan
memeluk badannya. Tapi tembok itu setinggi beberapa tombak, meski badan
Bu-siang kecil, tenaga luncuran setinggi ,itu jelas amat berat, meski anak
laki2 itu berhasil memeluk pinggangnya, tak tertahan keduanya terbanting jatuh
dengan keras. Terdengarlah suara “krak”, tulang kaki kiri Liok Bu-siang “patah,
demikian pula jidat anak laki-laki itu kebentur batu runcing, darah mengucur
keluar,
Thia Eng dan anak laki2 di
atas tembok itu memburu maju untuk menolong. Anak laki2 itu merangkak bangun
sambil mendekap jidatnya yang bocor, sementara Liok Bu-siang
jatuh semaput. Sambil memeluk Piaumoaynya
Thia Eng
segera berteriak: “lh-tio, Ah-i (paman, bibi), lekas datang !”
Mendengar
teriakannya, Liok-toanio segera memburu keluar, tiba2 terasa di atas kepalanya
angin kencang menyamber, sesuatu benda berat menindih kepalanya Sebat sekali Liok-toanio
berkelit ke samping, dilihatnya yang dilempar ke arahnya itu ternyata mayat
seseorang. Tak sempat membawa goloknya segera ia melompat ke wuwungan rumah,
belum lagi ia berdiri tegak, dua sosok mayat tahu2 dilempar pula memapak
mukanya, ketika Liok-toanio membungkukkan tubuh, tahu2 kedua lututnya menjadi
lemas dan tidak kuasa berdiri tegak, kontan ia terjungkal jatuh ke pelataran.
Kebetulan
Liok Lip-ting sedang memburu keluar, melihat Liok-toanio terjungkal jatuh dari
atas, segera ia melompat ke depan dengan ilmu Ginkang yang dia yakinkan selama
berpuluh tahun, meski jaraknya masih tiga tombak jauhnya, namun sekali lompat
badannya melesat seperti anak panah, telapak tangannya sempat menyanggah
punggung istrinya, Karena tenaga sanggahan ini badan Liok-toanio terlempar
naik, diwaktu meluncur turun pula, Liok Lip-ting dengan ringan dapat menurunkan
badan istrinya di atas tanah.
Tak
sempat menanyai keadaan istrinya, sekilas dilihatnya tidak apa-apa, segera ia
melompat ke atas rumah, matanya menjelajah sekelilingnya, tertampak bulan sabit
tergantung tinggi di cakrawala, angin menghembus sepoi2, namun tidak kelihatan
bayangan seorangpun Liok Lip-ting segera kembangkan Ginkang, dalam sekejap saja
ia sudah meronda keadaan rumahnya satu keliling, namun tidak menemukan apa-apa,
segera ia melompat turun ke bawah pelataran dan masuk ke dalam rumah.
Di situ terlihat
seorang nyonya pertengahan umur sedang membopong Liok Bu-siang
dan anak laki-laki tadi masuk ke ruang tengah, tanpa menghiraukan kucuran darah
anak laki-laki itu, si nyonya berusaha menyambung dulu tulang kaki Liok Bu-siang
yang patah.
Liok
Lip-ting semula mengira puterinya sudah dicelakai orang, kini melihat hanya
tulang kaki yang patah, hatinya rada lega, tanyanya kepada istrinya: “Kau tidak
apa-apa bukan ?”
Liok-toanio
menggeleng kepala, ia sobek lengan baju untuk membalut jidat anak laki2 itu
yang terluka, ingin dia memeriksa luka kaki puterinya, tak terduga baru saja
melangkah, kaki sendiri terasa linu lemas, tanpa kuasa ia jatuh terduduk.
Nyonya
pertengahan umur itu menutuk Hiat-to Pek-hay-hiat dan Hwi-tiong-hiat dikedua
paha Liok Bu-siang untuk menghilangkan rasa sakit,
lalu kedua tangan menekan pada kedua sisi tulang yang patah untuk
menyambungnya.
Melihat
gerak-gerik orang yang cekatan, ilmu tutuknya terang tingkat tinggi, makin
curigalah Liok Lip-ting, serunya: “Siapakah Toanio
ini ? Ada
petunjuk apa berkunjung ke sini ?”
Nyonya
itu tumplek seluruh perhatian untuk menyambung tulang kaki Liok Bu-siang yang
patah, sedikitpun tidak menghiraukan pertanyaannya, Diam-diam Liok Lip-ting
perhatikan tangan kiri orang yang memegangi kaki puterinya, sementara tangan
kanan diangkat dan berputar setengah lingkaran terus menutuk turun pelan-pelan,
itulah gerakan It-yang-ci yang menurut cerita ayahnya merupakan kepandaian khas
musuh besarnya, maka tanpa ragu2 lagi, kedua telapak tangan Liok Lip-ting terus
menghantam ke punggung orang.
Mendengar
deru angin dari belakang, tangan kanan nyonya itu tetap menutuk Pek-hay-hiat
Liok Bu-siang, telapak tangan lain menepuk balik ke belakang menangkis pukulan
Liok Lip-ting. Kontan Liok Lip-ting merasakan tenaga dahsyat mendorong ke arah
dirinya, seketika dada terasa sesak, tanpa kuasa ia tergentak mundur dua
langkah.
Karena
menggunakan telapak tangan kiri sehingga si nyonya tidak dapat memegangi
sebelah kaki Liok
Bu-siang, maka telunjuk jarinya
yang menutuk turun itu ikut tergetar miring, tulang kaki Liok Bu-siang
yang patah itu kembali lepas, sekali menjerit seketika anak dara itu jatuh
pingsan lagi.
Pada
saat itulah dari atas genteng terdengar suara tertawa seorang, serunya: “Aku
hanya membunuh sembilan jiwa keluarga Liok, orang luar harap segera keluar!”
Waktu
Liok Lip-ting angkat kepala, dilihatnya di atap genteng berdiri seorang Tokoh,
di bawah cahaya bulan yang remang2, jelas kelihatan parasnya yang elok, berusia
delapan atau sembilan belas, kulitnya putih halus, sikapnya garang, di
punggungnya terselip sepasang pedang.
Liok
tip-ting segera berseru lantang: “Aku inilah Liqk Ljp-ting, apa Toyu datang
dari Jik-lian-to ?”
Si Tokoh mendengus: “Baik
sekali kalau sudah tahu, lekas kau bunuh isteri dan puteri serta semua
pembantumu, lalu kau bunuh diri pula supaya aku tidak perlu turun tangan !” -
sikapnya congkak, kata2-nya pedas, sedikitpun tidak pandang sebelah mata pada
tuan rumah,
Meski
Liok Lip-ting tidak pernah angkat nama di kalangan Kangouw, betapapun dia
keturunan seorang pendekar besar, mana mandah dihina di hadapan orang luar,
segera ia memburu keluar dan melompat ke atas seraya membentak: “Biar kau kenal
dulu kelihayanku !”
Sikap
si Tokoh acuh tak acuh, disaat kedua kaki Liok Lip-ting hampir menginjak
genteng, badan masih terapung di udara, mendadak kedua pedangnya bergerak
laksana bianglala, tahu-tahu sinar pedang lawan itu sudah mengurung seluruh
badannya, serangan kedua pedang ini amat lihay dan hebat sekali, meski ilmu
silat Liok Lip-ting amat tinggi, betapapun dia kurang pengalaman menghadapi
musuh tangguh, tahu2 hawa pedang musuh yang dingin itu sudah menyamber
lehernya, dalam keadaan begitu jelas dia tidak akan mampu menangkis atau
menyelamatkan diri, terpaksa ia pejamkan mata menunggu ajak
“Trang,”
tiba2 seseorang telah menangkiskan pedang yang menyerang lehernya itu, waktu
Lip-ting membuka mata, dilihatnya nyonya setengah umur tadi sedang menempur si
Tokoh dengan bergaman sebatang pedang panjang,
Nyonya
itu berpakaian warna abu2, sementara Tokoh muda itu mengenakan jubah kuning,
tertampak bayangan abu2 dan kuning saling berputar menari di bawah cahaya bulan
diselingi samberan sinar kemilau yang berhawa ,dingin, sedemikian sengit
pertempuran itu, namun tidak terdengar suara benturan kedua senjata masing2.
Betapapun
Liok Lip-ting keturunan keluarga persilatan, meski gerak-gerik kedua orang yang
bertempur itu amat cepat, setiap jurus dan tipu serangan kedua pihak dapat diikutinya
dengan jelas, Tertampak Tokoh itu menyerang dan menjaga diri dengan rapat,
ganti-berganti ia mainkan ilmu pedangnya yang hebat, sebaliknya si Nyonya
melayaninya dengan tenang dan mantap, setiap kesempatan pasti tidak
disia-siakan untuk melancarkan serangan yang mematikan.
Se-konyong2
terdengar “tring”, dua pedang beradu, pedang di tangan kiri si Tokoh mencelat
terbang ke udara, Sebat sekali ia melompat mundur keluar dari arena
pertempuran, mukanya yang putih halus bersemu merah, matanya mendelik gusar,
bentaknya: “Aku mendapat perintah guru untuk membunuh habis keluarga Liok, apa
sangkut pautnya dengan kau ?”
Nyonya
itu menjengek dingin: “Kalau gurumu berani dan punya kepandaian, seharusnya dia
mencari Liok Tian-goan sendiri, kini dia sudah mati, tapi gurumu tidak tahu
malu mencari perkara kepada keturunannya ?”
Si
Tokoh kebutkan lengan bajunya, tiga batang jarum menyamber, dua batang
menyamber si nyonya, jarum ketiga ternyata menyerang Liok Lip-ting yang berdiri
di pekarangan serangan mendadak dan cepat lagi, lekas si nyonya ayunkan
pedangnya menangkis, terdengar Liok Lip-ting menggerung gusar, dua jarinya
dapat menjepit batang jarum yang menyerang tenggorokannya itu.
Si Tokoh tersenyum dingin,
dengan tangkas ia jumpalitan terus keluar, tiba2 terdengar suitan panjang di
kejauhan sana,
dalam sekejap saja dia sudah berlari puluhan tombak jauhnya.
Melihat Ginkang orang begitu hebat,
nyonya itupun rada tercengang, lekas ia melompat turun kembali ke dalam
ruangan, melihat Liok Lip-ting sedang pegangi sebatang jarum, segera ia
berseru: “Lekas buang !”
sekarang
Liok Lip-ting tidak curiga lagi kepada orang, lekas ia lemparkan jarum itu ke
tanah, Cepat nyonya itu mengeluarkan seutas tali kain dari dalam bajunya terus
mengikat pergelangan tangan Lip-ting dengan kencang,
Baru
sekarang Liok Lip-ting dibuat kaget, serunya: “Jarum itu berbisa ?”
“Ya,
racun yang tiada bandingannya.” sahut nyonya itu, lalu ia keluarkan sebutir pil
dan suruh Lip-ting menelannya.
Liok
Lip-ting rasakan kedua jarinya sudah mati rasa, tak lama kemudian melepuh
sebesar tebak Lekas si nyonya bekerja pula mengirisnya dengan ujung pedang,
darah hitam segera mengalir keluar dan berbau busuk,
Sungguh
kejut Liok Lip-ting bukan kepalang, batinnya: “Jariku tidak lecet atau terluka,
hanya tersentuh sedikit saja, racun sudah bekerja sedemikian lihay, kalau
jariku kena tertusuk sedikit saja, jiwaku tentu sudah melayang ?”
Baru
sekarang nyonya itu sempat memayang Liok-toanio, lalu ia memeriksa
luka-lukanya. Ternyata Hui-tiong-hiat di bagian lututnya masing2 terkena
sambitan sebatang jarum, Tapi jarum2 ini adalah jarum emas milik Liok Lip-ting
yang biasanya untuk menolong orang,
Meski
bencana belum berlalu, namun sementara keluarganya masih dalam keadaan selamat,
hati Liok Lip-ting rada bersyukur, waktu ia berpaling melihat ketiga mayat
tadi, berkobar pula amarahnya disamping bergetar hatinya. Ternyata ketiga mayat
itu bukan lain adalah Liong, So dan Cu-piauthau dari An-wan Piaukiok, Waktu ia
periksa luka mereka bertiga, dilihatnya jarum2 yang dia gunakan kini sudah
berpindah tempat, semula tusukan jarumnya untuk menghilangkan rasa sakit, kini
jarum2 itu menusuk pada Hiat-to yang mematikan.
Cukup
sebatang saja sudah amat men-derita, apa lagi tertusuk sembilan batang ? Cuma
tusukan jarum pada badan Liong-piauthau rada meleset, maka jiwanya belum
melayang, sorot matanya memancarkan rasa belas kasihan, se-olah2 mohon
pertolongan pada Liok Lip-ting.
Liok
Lip-ting tidak tega, namun melihat luka2-nya, meski ada obat dewapun tidak akan
bisa menolong jiwanya, katanya sambil menghela napas: “Liong-piauthau,
berangkatlah dengan tenang.”
Liong-piauthau
menarik napas panjang, ia angkat badan bagian atas, katanya tersendat:
“Liok…
Liok-ya, aku tiada harapan lagi, kau lekas kau lari. iblis itu berkata,
dikolong langit ini hanya Liok Tian-goan yang boleh mengobati aku, putera
tunggalnya pun tidak boleh… kau lekas lari, sebentar dia akan tiba !” -
beberapa patah kata terakhir diucapkan dengan suara lirih hampir tidak
terdengar, kejap lain iapun sudah menutup mata dan berhenti bernapas.
Nyonya
itu mendengus gusar: “Hm, iblis keparat! iblis keparat!”
Liok
Lip-ting menjura serta bertanya: “Aku punya mata tapi tak bisa melihat, mohon tanya siapa she dan nama Toanio ?-”
“Suamiku
she Bu,” sahut nyonya itu. “Kiranya tepat dugaanku, Melihat kepandaian
It-yang-ci Toanio, sudah lantas kuduga pastilah anak murid It-teng Taysu dari
Tayli di Hun-lam, Silahkan masuk ke dalam menikmati secangkir teh.”
Maka
mereka lantas masuk ke dalam rumah. Liok Lip-ting membopong Bu-siang tertampak
mukanya pucat, namun sedapatnya menahan sakit, tidak menangis dan tidak
mengeluh, timbul rasa kasih sayang Lip-ting tak terhingga kepada puteri
tunggalnya ini.
Bu
Sam-nio, nyonya tadi berkata: “Begitu murid iblis itu pergi, gembong iblis itu
segera akan datang sendiri Liok-ya, bukan aku pandang rendah dirimu, kalau cuma
tenaga kalian berdua suami isteri, meski ditambah aku seorang juga bukan
tandingan iblis ganas itu. Kukira laripun tak berguna, terpaksa kita pasrah
nasib, biarlah kita tunggu kedatangannya di sini saja.”
Liok-toanio
bertanya: “Sebetulnya orang macam apa gembong iblis itu ? Ada dendam permusuhan apa pula dengan
keluarga kita ?”
Bu Sam-nio melirik kepada Liok
Lip-ting, katanya kemudian: “Memangnya
Liok-ya tidak menjelaskan kepadamu
?”
“Katanya
persoalan menyangkut mertuaku yang sudah meninggal itu, sebagai putera yang
berbakti, tidak enak membicarakan persoalan ayah bundanya, dia sendiripun tidak
begitu jelas akan seluk-beluk persoalan ini,” tutur Liok-toanio.
“Disitulah
soalnya”, ujar Bu Sam-nio menghela napas, “Aku orang luar, tiada halangan
kuterangkan Mertuamu Liok Tian-goan, Liok-loenghiong diwaktu mudanya adalah
pemuda ganteng, dia disebut pemuda romantis nomor satu di kalangan Bu-lim.
Gembong iblis Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu itu…”
Mendengar
nama Li Bok-chiu disebut, Liok Lip-ting seketika merinding seperti dipagut ular
berbisa, Bu Sam-nio melihat perubahan air muka orang, katanya lebih lanjut:
“Sekarang kaum persilatan bila menyinggung nama Jik-lian-sian-ci, pasti gemetar
ketakutan, tapi puluhan tahun yang lalu dia adalah gadis rupawan yang halus
budi dan lemah lembut.
Mungkin
memang sudah takdir, begitu bertemu dengan mertuamu, hatinya lantas jatuh
cinta, Belakangan setelah mengalami berbagai rintangan, perubahan dan
pertikaian mertuamu akhirnya menikah dengan Ho Wan-kun, mertua perempuan
sekarang, Bicara soal mertua perempuanmu, mau tidak mau aku harus menyinggung
suamiku juga. Soal ini cukup memalukan bila dituturkan, tapi keadaan hari ini
sudah amat mendesak, terpaksa aku tidak perlu! simpan rahasia lagi.”
Sejak
kecil Liok Lip-ting sudah mendengar penuturan ayah bundanya bahwa selama hidup
mereka mempunyai dua musuh besar yang paling tangguh, seorang adalah
Jik-lian-sian-cu, seorang lain adalah Bu Sam-thong, salah seorang murid
kesayangan It-teng Taysu dari negeri Tayli di Hunlam, Semula It-teng Taysu
adalah raja negeri Tayli, tapi ia meninggalkan ” takhta dan cukur rambut
menjadi Hwesio, lalu menerima empat murid, satu diantaranya ialah Bu Sam-thong
!
Sewaktu
mudanya Bu Sam Thong menjabat pangkat yang tinggi di negeri Tayli, Cuma
bagaimana Liok Tian-goan suami isteri sampai mengikat permusuhan dengan dia
tidak pernah dituturkan kepada puteranya. Maka waktu melihat Bu Sam-nio
menggunakan It-yang-ci menyambung tulang kaki puterinya yang patah tadi, sudah
tentu Liok Lip-ting kaget dan curiga, tak nyana Bu Sam-nio malah bantu
menghalau murid Jik Lian~ sian-cu dan menolong jiwanya, hal ini sungguh di luar
dugaannya.
Bu Sam-nio mengelus pundak anak
laki2 yang terluka jidatnya itu, matanya mendelong mengawasi api lilin:
“Suamiku dan mertuamu sejak kecil bertentangan, hubungan mereka sangat intim,
meski sifat2 mereka tidak cocok, namun suamiku amat mencintainya. Siapa tahu
akhirnya dia menikah dng mertuamu, saking gusar suamiku lantas minggat jauh ke
Tayli, menjabat panglima pemimpin tentara, menjadi anak buah Toan-hongya,
Pernah suamiku bertemu dengan mertuamu terjadilah perang tanding yang seru,
suamiku memang berangasan dan terlalu mengumbar nafsu karena patah hati,
akhirnya dia bukan tandingan mertuamu, sejak itu tindak tanduknya agak
sin-ting, baik sahabat karibnya atau aku sendiri tak dapat menyadarkan dia,
Dulu dia pernah berjanji dengan mertuamu bahwa lima belas tahun kemudian
bertanding lagi, siapa tahu kedatangannya kali ini, kedua mertuamu ternyata
sudah meninggal.”
Liok
Lip-ting amat gusar, serunya sambil menggablok meja: “Kalau dia punya
kepandaian, kenapa tidak datang sejak dulu, kini setelah tahu ayahku sudah
almarhum baru meluruk datang dan menculik jenazahnya, terhitung perbuatan orang
gagah macam apa ?”
“Omelan Liok-ya
memang benar,” ujar Bu
Sam-nio. “Suamiku sudah kehilangan
kesadaran-nya, tingkah laku dan tutur katanya sudah tidak genah lagi, Hari ini
aku membawa kedua anakku ini kemari, bukan lain adalah hendak mencegah
perbuatannya yang tidak keruan, dalam dunia sekarang ini, mungkin hanya aku
seorang saja yang rada ditakutinya.” Sampai di sini segera ia berkata kepada
kedua puteranya: ” Lekas menyembah kepada Liok-ya dan Liok-toanio.” Kedua anak
laki2 itu segera berlutut dan menyembah, Liok-toanio . lekas membimbingnya
bangun serta menanyakan nama mereka. Yang jidatnya terluka bernama Bu Tun-ji,
usianya dua belas tahun, adiknya bernama Bu Siu-bun, satu tahun lebih muda.
“Sungguh
tak nyana suamiku tidak kunjung tiba, malah Jik-lian-sian-pu keburu membuat
perkara di rumahmu… ai,” demikian kata Bu Sam-nio
lebih lanjut, “Dua pihak sama2 tidak dapat melupakan cinta masa lalu, cuma yang
satu lelaki dan yang lain perempuan.”
Baru
dia bicara sampai di sini, mendadak di-atas rumah ada orang berteriak: “Anak
Ji, anak Bun, ayo keluar !” suara ini datangnya tiba2, sedikitpun tidak
terdengar suara langkah di atas genteng, mendadak suaranya kumandang ditengah
malam buta, keruan Liok Lip-ting suami istri sangat kaget, mereka tahu Bu
Sam-thong telah tiba, Thia Eng dan Liok Bu-siang pun kenal suara si orang gila
yang mereka temui siang tadi.
Tertampak
sesosok bayangan berkelebat, Bu Sam-thong melompat turun, seorang satu tangan,
ia angkat kedua puteranya terus lari secepat angin, sebentar saja ia sudah tiba
di hutan pohon Liu, tiba2 ia turunkan Bu Siu-bun, dengan hanya membawa Bu
Tun-ji bayangannya lantas lenyap dalam sekejap mata, putera kecilnya dia
tinggal demikian saja didalam hutan itu.
Bu
Siu-bun berteriak2: “Ayah ! Ayah !”.
Tapi
Bu Sam-thong sudah menghilang, terdengar suaranya berkumandang dari kejauhan:
“Kau tunggu di situ, sebentar aku kembali menjemput kau.”
Bu
Siu-bun tahu tindak tanduk ayahnya rada sinting, maka ia tidak heran, Tapi
seorang diri berada dalam hutan yang gelap, hatinya rada takut, namun teringat
sebentar sang ayah akan kembali, maka dengan termenung ia duduk saja dibawah
pohon.
Duduk
punya duduk, teringat olehnya akan kata2 ibunya bahwa ada musuh lihay entah
yang mana hendak menuntut balas, belum tentu sang ibu bisa menandingi lawan,
Meski usianya masih kecil, namun Siu-bun sudah tahu berkuatir akan keselamatan
ibunya, Setelah menunggu sekian lamanya dan sang ayah tidak kunjung datang,
akhirnya dia menggumam sendiri: “Biar aku pulang mencari ibu saja !” - lalu ia
menggeremet dan meraba2 menuju ke arah datangnya tadi,
Bocah
kecil berada dalam hutan seorang diri, apalagi malam pekat, mana bisa
menentukan arah dan tujuan ? Semakin jalan ia menuju ke arah hutan belukar yang
makin dalam, Akhirnya ia tiba di sebuah lekukan gunung, di bawah adalah selokan
setinggi tujuh delapan tombak, selayang pandang sekelilingnya hitam melulu.
Saking gugup dan ketakutan Bu Siu-bun lantas berteriak: “Ayah, ayah ! Ibu, ibu !”
- Terdengar gema suaranya berkumandang dilembah pegunungan
Disaat
hatinya cemas dan gundah itulah tiba-tiba hidungnya mengendus bau amis yang memualkan disusul hembusan angin keras, ditengah
kegelapan tampak dua titik sinar seperti pelita minyak sedang bergerak ke
arahnya.
Bu
Siu-bun heran, mendadak didengarnya suara gerangan yang keras, kedua titik
terang seperti sinar pelita itu memburu cepat ke arahnya, Sungguh kagetnya
bukan main, teriaknya: “Harimau !” - tanpa banyak pikir segera ia melompat ke
atas menangkap dahan pohon terus merayap naik dengan mengerahkan segenap
tenaganya, terasa pantatnya se-o!ah2 kena terpukul oleh sesuatu, segera kaki
tangan bekerja sekuat tenaga merambat ke puncak pohon.
Didengarnya
binatang buas itu menggerung2 serta berputar2 mengitari pohon, Melihat binatang
itu tidak bisa naik ke atas pohon barulah hati Siu-bun sedikit lega, tiba2
terasa pantatnya pedas dan perih, waktu ia merabanya, ternyata celananya sudah
robek tercakar kaki harimau tadi, Dasar bocah nakal, segera teringat olehnya
akan , cerita ibunya bahwa harimau tidak bisa naik pohon, maka sambil menuding
ke bawah ia lantas memaki kalang kabut: “Harimau keparat, harimau brengsek,
harimau busuk !”
Mendengar
suara manusia, harimau itu menggerung semakin keras.
Begitulah
satu sama lain bertahan di atas dan berputar di bawah pohon, meski Bu Siu-bun
sangat kantuk dan letih, mana dia berani tidur ? sebentar lagi hari akan terang
tanah, maka pandangan mulai jelas keadaan sekelilingnya, Semula dia tidak
berani langsung mengawasi harimau di bawahnya, akhirnya ia membesarkan nyali
menunduk ke bawah, saking kejutnya hampir saja ia terjungkal jatuh dari atas
pohon, Ternyata harimau loreng di bawah itu kira-kira sebesar anak sapi,: duduk
menengadah sambil menyeringai buas, matanya menatap dengan penuh nafsu, mulut
melelehkan liur kental.
Memang
harimau itu sedang kelaparan, menunggu semalam suntuk tanpa - dapat mencaplok
mangsa di depan mata, rasa laparnya makin mengobarkan kebuasannya, mendadak ia
menggerung sekeras-kerasnya terus menerjang ke atas. Lompatan ini setombak
lebih tingginya, cakar depannya berhasil mencapai batang pohon sehingga sesaat
lamanya badannya tergantung ditengah udara.
Harimau
ini cukup besar dan rada gemuk, berat badannya tidak kurang dua ratus kati,
sudah tentu batang pohon itu tidak kuat menahan berat badannya, “peletak”,
sekali membal dahan pohon itu patah dan jatuh ke bawah, Bu. Siu-bun ikut
terpental dan terjungkal ke bawah, Sejak kecil ia dididik ilmu silat oleh ayah
bundanya, waktu meluncur ke bawah dia bisa kendalikan badan dan menggelinding
ke samping, sedikitpun tidak terluka, begitu merangkak bangun segera ia lari
sipat kuping. Tanpa hiraukan rasa sakitnya, harimau itu segera mengejar dengan
kencang.
Walau
Bu Siu-bun sudah punya dasar latihan Ginkang, namun usianya masih kecil, kaki
pendek lagi, maka langkahnya tidak bisa cepat dan jauh, mana bisa menandingi
kecepatan lari seekor harimau, terpaksa ia lari berputar-putar mengitari pohon,
ia
bermain petak dengan pengejarnya, Kalau lari lurus harimau itu memang cepat dan
gesit, tapi untuk putar2 dan main menyelinap kian kemari gerak geriknya menjadi
lamban, maka gerungan-nya semakin keras, ia menubruk membabi buta, debu pasir
dan dedaunan sama beterbangan
Melihat
harimau itu tidak bisa berbuat apa-apa terhadap dirinya, Bu Siu-bun menjadi
senang, sambil memaki kalang kabut ia berlari pula berputar mengelilingi pohon
dan batu. Saking senang sehingga kurang ber-hati2 dan menginjak sebutir batu
bundar, kontan ia tergelincir dan jatuh, Tanpa ayal harimau itu lantas menubruk
ke arahnya.
Bu
Siu-bun berteriak: “Ibu, ibu l” Se-konyong2 dilihatnya dua gulung bayangan
hitam meluncur dari tengah angkasa menubruk ke arah dirinya, tahu2 harimau itu
terangkat naik ke tengah udara, menyusul badan sendiripun ikut terapung ke angkasa,
Kaget
dan takut pula Bu Siu-bun, waktu ia membuka mata, pohon di bawah tertampak
menjadi kecil, dirinya sedang terbang di-awang2 waktu ia menengadah ternyata
se-ekor burung besar mencengkeram baju punggungnya sedang terbang dengan
pentang sayap yang lebar.
Semula
hatinya amat takut, tak lama kemudian, ia merasa burung raksasa itu tidak
bermaksud jahat. Tiba2 didengarnya gerungan keras di sebelah belakang, ia
berpaling, tertampak harimau besar itu dicengkeram oleh seekor burung raksasa
lainnya dan dibawa terbang juga, kakinya mencak2 sambil menggerung keras, cakar
burung raksasa itu mencengkeram kuduk dan pangkal ekornya hingga tergantung
ditengah udara.
Sekali
kembangkan kedua sayap, burung raksasa di belakang itu terbang lebih tinggi
memasuki awan, tiba2 cengkeraman kedua cakarnya dilepaskan, kontan harimau itu
meluncur jatuh ke bawah dari ketinggian ratusan tombak dan akhirnya terbanting
hancur lebur.
Melihat
adegan yang mengerikan ini, seketika Bu Siu-bun berteriak kaget, teringat
olehnya: “Kalau burung besar inipun melepaskan diriku, mustahil aku tidak akan
hancur lebur ?” - karena takut cepat ia memeluk ujung kaki burung besar itu.
Se-konyong2
terdengar lengking suitan panjang di bawah, suaranya nyaring dan merdu, terang
suitan dari mulut perempuan, Kedua ekor burung besar itu pelahan terbang turun,
lalu meletakkan Bu Siu-bun di atas tanah, Gesit sekali Siu-bun melompat bangun,
tertampak sekelilingnya pohon Liu melulu, bumi seperti ditabur bunga yang mekar
beraneka warnanya, suatu tempat yang indah dan permai, Dari balik pohon sana
berlenggang keluar seorang anak perempuan, sekilas ia melirik kepada Bu
Siu-bun, lalu ia tepuk2 kedua paha burung besar tadi, katanya: “Tiau-ji elok,
Tiau-ji bagus !”
Bu
Siu-bun membatin: “Kiranya kedua burung ini bernama “Tiau-ji” (rajawali),
dilihatnya kedua burung itu berdiri gagah dan angker, jauh lebih besar dan
tinggi daripada anak perempuan itu.
Bu
Siu-bun tidak paham berterima kasih segala, katanya sambil mendekat anak
perempuan itu: “Apakah kedua ekor Tiau-ji ini peliharaanmu ?”
Anak
perempuan itu mencibirkan bibir, sikapnya memandang hina, jengeknya: “Aku tidak
kenal kau, tidak sudi bermain dengan kau !”
Bu
Siu-bun tidak perduli akan sikap kasar orang, ia ulur tangan mengelus kaki
burung besar itu. Anak perempuan itu mendadak bersiul ringan, sayap burung
besar itu segera terpentang dan menyapu dengan ringan, kontan Bu Siu-bun
tersabet jumpalitan dan terguling di tanah, lalu kedua ekor burung itu segera
terbang rendah menubruk ke arah mayat harimau tadi dan mulai berpesta pora.
Cepat
Bu Siu-bun melompat bangun dan mengawasi kedua rajawali itu, hatinya amat
ketarik, katanya: “Sepasang burung ini amat bagus, mau dengar perintahmu, kalau
pulang biar akupun minta ayah menangkapnya sepasang untukku !”
Anak
perempuan itu mendengus: “Hm, memangnya ayahmu mampu menangkapnya ?”
Berulang-ulang
menghadapi sikap yang kurang simpatik, barulah Bu Siu-bun sekarang sempat
mengamati anak perempuan di hadapannya ini, tertampak orang mengenakan pakaian
yang amat mewah, lehernya mengenakan kalung mutiara sebesar kelengkeng, kulit
mukanya halus putih seperti air susu, biji matanya jeli, mulutnya kecil mungil
sepasang
biji mata anak perempuan itupun sedang mengawasi seluruh badan Bu Siu-bun,
tanyanya: “Siapa namamu ? Kenapa keluar bermain seorang diri, tidak takut
digigit harimau ?”
“Aku
bernama Bu Siu-bun, sedang menunggu ayahku, Dan
siapa namamu ?”
Anak
perempuan itu mencibirkan bibir, katanya: “Aku tidak bermain dengan anak liar
!” -. lalu ia putar badan tinggal pergi.
Bu
Siu-bun tertegun, “Aku bukan anak liar !” teriaknya sambil mengintil,
Melihat
anak perempuan itu berusia dua-tiga tahun lebih muda, badan rendah kaki pendek,
ia pikir untuk mengejar tentu tidak sukar, siapa tahu baru saja ia kembangkan
Ginkang, bagai anak panah terlepas dari busurnya anak perempuan itu sudah lari
tujuh-delapan tombak jauhnya, sehingga dirinya ketinggalan jauh di belakang,
Lari
beberapa langkah pula mendadak anak perempuan itu berhenti katanya sambil
berpaling: “”Hm, kau mampu mengejarku ?”
Sambil
berlari Bu Siu-bun menyahut: “Tentu bisa !”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar