Kembalinya Pendekar Rajawali 16
“Ya,
betul,” sahut Siao-liong-li. “Di dalam kitab pelajaran ini telah dikatakan
dengan jelas bahwa waktu berlatih Lwekang seluruh badan orang yang berlatih
menjadi panas dan beruap, maka harus dipilih suatu tempat terbuka yang luas dan
sepi tanpa orang lain, dengan begitu baru bisa berlatih dengan melepas baju
supaya hawa panas badan bisa buyar keluar tanpa tertahan di dalam.
Kalau
tidak, tentu hawa panas itu akan tertimbun di dalam badan dan sedikitnya akan
bikin orang sakit berat atau mungkin jiwanya akan melayang pula.”
“Jika
begitu, marilah kita melatihnya tanpa pakai baju,” sahut Yo Ko tanpa pikir.
Muka
Siao-liong-li menjadi merah oleh kata2 ini.
“Tetapi
akhirnya kedua orang yang latihan harus membantu satu sama lain dengan hawa
murni badannya masing2, kau dan aku berlainan jenis, jika harus berhadapan
tanpa pakaian, lalu apa jadinya ?” sahut Siao-liong-li.
Tatkala
itu umur Yo Ko sudah menginjak enambelas, walaupun perawakannya tinggi besar,
urusan 1aki2 dan perempuan dan soal cinta segala sama sekali ia tidak paham,
sedikit belum tahu. Hanya lapat2 ia merasa sang guru ini cantik luar biasa,
setiap kali melihat dia dengan sendirinya timbul semacam rasa suka dalam batinnya,
ia pikir kalau berhadapan dengan melepas pakaian, agaknya memang tidak baik,
tetapi sebab apa tidak baik, inilah dia sendiri tidak dapat menjawab.
Sebaliknya
Siao-liong-li sejak kecil sudah hidup di dalam kuburan kuno ini, terhadap
segala urusan keduniawian boleh dikatakan lebih tak mengerti daripada Yo Ko.
Tahun ini ia sudah berusia 22 tahun, tetapi karena giat berlatih dan tekun
belajar, maka segala cita rasa manusia umumnya ternyata sudah terlatih hingga
lenyap sama sekali Meski guru dan murid berdua, mereka boleh dikatakan
merupakan pasangan gadis cantik dan pemuda tampan, namun siang malam
berhadapan, yang satu dingin dan yang lain jujur polos, sedikitpun mereka tak
pernah berbuat sesuatu yang melanggar susila.
Kini
meski berbicara tentang telanjang bulat untuk melatih silat, merekapun
merasakan itu hanya suatu soal sulit saja dan sama sekali tiada pikiran lain
yang menyimpang.
“Sudahlah,
asal kita berlatih lebih masak lwekang ini, kiranya sudah cukup juga untuk
mengalahkan para imam kolot Coan-cin-kau itu. Tentang Lwekang yang sulit ini
tak perlu kita mempelajarinya,” ujar Siao-liong-li.
Karena
pendapat gurunya ini, Yo Ko mengiakan juga, urusan inipun tidak dia pikirkan
lagi.
Hari
itu, setelah Yo Ko latihan, ia keluar untuk berburu sebangsa kijang dan kelinci
buat rangsum, setelah dapat seekor menjangan kecil kemudian ia meng-uber2 lagi
seekor kelinci, siapa tahu kelinci ini ternyata licin luar biasa, binatang ini
lari ke sini dan loncat ke sana, meski Ginkang atau ilmu entengkan tubuh Yo Ko
kini sudah hebat, namun seketika ternyata tak mampu menyandaknya.
Karena
uber2an ini, hati kanak2 Yo Ko menjadi timbul, ia tak ingin melukai kelinci itu
dengan Am-gi atau senjata rahasia, pula ia tak mau menangkapnya dengan paksa
pakai Kim-na-jiu-hoat (ilmu menawan dan menangkap), tapi ia malah berlomba
Ginkang dengan binatang kecil itu, ia ingin bikin kelinci itu kehabisan tenaga
dan akhirnya berhenti tak sanggup lari lagi.
BegituIah,
maka satu manusia dan satu kelinci terus udak2an dan makin lama semakin jauh
hingga melintasi sebuah lereng bukit, kelinci itu tiba2 memutar beberapa kali
lalu menyelusup masuk semak2 bunga merah yang tumbuh sangat lebat di sana.
Semak2
bunga merah itu terbentang seluas beberapa tombak jauhnya dan tumbuh lebat dan
rapat sekali, baunya pun wangi semerbak, ketika Yo Ko kemudian memutar lewat
semak2 bunga ini, nyata kelinci itu sudah menghilang tanpa bekas Iagi.
Sebaliknya
Yo Ko melihat semak2 bunga ini bagaikan sebuah pintu angin raksasa saja yang
membentang Iebar, bunga2nya tumbuh merah dengan tangkai segar menghijau,
sungguh indah sekali, begitu lebat tumbuhnya bunga2 itu hingga mirip sebuah
panggung alam.
Sesaat
itu pikiran Yo Ko jadi tergerak, lekas2 ia kembali dan mengajak Siao-liong-li
datang lagi buat melihat semak2 bunga itu.
“Aku
tak suka bunga, jika kau suka, bolehlah kau memain sendiri di sini,” demikian
dengan dingin Siao-liong-li berkata.
“Bukan
itu maksudku, Kokoh,” sahut Yo Ko menjelaskan keinginannya,” tempat ini justru
adalah suatu tempat bagus untuk kita gunakan, tapi siapapun tak bisa
melihatnya, Di waktu kau berlatih aku menjaga engkau, kalau aku yang berlatih,
engkau yang melindungi aku, bukankah itu sangat bagus ?”
Kiranya
diwaktu berlatih Lwekang yang paling hebat, orang harus tekun dengan memusatkan
segala pikirannya, terhadap segala kejadian di luar tidak boleh memandang dan
tidak boleh melihat, jika ada serangan dari pihak luar, sekalipun tempat yang
tidak berarti juga sukar menangkisnya dan pasti akan celaka dan gagal semua
ilmu yang dilatihnya. Begitu lihay akibatnya, maka perlu ada orang lain yang
menjaganya di samping.
Oleh
karena itulah, Siao-Iiong-li merasa apa yang dikemukakan Yo Ko tadi masuk di
akal juga, Segera ia panjat ke atas satu pohon dan memandang sekeliling, ia
lihat semua penjuru sunyi senyap belaka, yang terdengar hanya suara mata air
yang gemercik dan berkicaunya burung, tetapi bayangan manusia satupun tidak
kelihatan, nyata tempat ini memang satu tempat yang sangat bagus untuk berlatih
ilmu.
“Bagus
sekali tempat ini, beruntung kau bisa mendapatkannya, baiklah malam nanti kita
datang ke sini mulai berlatih,” demikian katanya kemudian.
Tentang
penuntun dasar Giok-li-sim-keng itu memangnya Siao-liong-li sudah apal sekali,
maka tanpa susah ia ajarkan kepada Yo Ko. Malamnya antara pukul sebelas mereka
lantas mendatangi semak2 bunga yang sangat lebat itu.
Di
tengah malam sunyi, bau harum bunga terlebih terasa, Mereka berdua mengambil
tempat sendiri2 di dalam semak2 bunga itu, mereka lepas baju dan berlatih
Giok-li-sim-keng. Yo Ko ulur tangan kanannya melalui semak2 dan saling menempel
dengan telapak tangan Siao-liong-li, dengan demikian bila salah seorang
mengalami kesulitan dalam latihan itu, segera pihak yang lain akan terasa dan
segera kumpul tenaga buat membantunya.
Sejak
itulah malam hari mereka anggap sebagai siang hari dan tekun berlatih, Malam
hari latihan di semak2 bunga dan siangnya mengaso di dalam kuburan kuno.
Tatkala
itu justru musim panas, tentu saja menjadi lebih segar dan nyaman menggunakan
malam hari untuk berlatih, maka dengan cepat lebih dua bulan telah lewat tanpa
terjadi sesuatu.
Giok-li-sim-keng
itu seluruhnya terbagi dalam sembilan bagian, malam itu, Siao-liong-li sudah
melatihnya sampai bagian ketujuh, Menurut kitab Giok-Ii-sim-keng itu, bagian
hitungan yang ganjil waktu menjalankan tenaga adalah “lm-cin” atau perempuan
yang aktip, sebaliknya bila jatuh angka genap, yang menjalankan tenaga adalah
“Yang-dwe” atau laki2 yang pasip, Waktu itu Siao-liong-li sudah sampai bagian
ketujuh, sedang Yo Ko sampai bagian keenam.
Dalam
pada itu, dengan di-aling2i semak bunga, mereka berdua sedang tekun menjalankan
tenaga dalam hingga seluruh badan mereka panas beruap, bunga2 yang mekar itu
se-akan2 ter-garang, keruan harumnya semakin semerbak.
Sementara
itu rembulan kelihatan sudah berada di tengah cakrawala, lewat setengah jam
lagi latihan kedua orang bagian ketujuh dan keenam itu dengan segera akan
selesai, pada saat itu juga se-konyong2 dari belakang sana terdengar suara
kumandang orang berjalan, terdengar pula ada dua orang sedang bicara.
Apa
yang dilatih Yo Ko waktu itu adalah “Yang-dwe” atau bagian yang pasip, maka
se-waktu2 ia boleh berhenti latihannya, sebaliknya Siao-liong-li tidak bisa
demikian karena yang dilatihnya waktu itu adalah aktip, bila terdapat gangguan,
maka akan timbul bahaya besar.
Karena
waktu itu Siao-liong-li sedang berlatih sampai titik yang penting, maka
terhadap suara tindakan dan bicara orang sama sekali ia tidak mendengarkan,
sebaliknya Yo Ko telah mendengar dengan jelas, dalam hati ia heran sekali,
Iekas2 ia atur pernapasannya dan berhentikan Iatihannya.
Sementara
itu ia dengar kedua orang yang bercakap itu semakin mendekat, suaranya
kedengaran sudah dikenalnya, waktu Yo Ko pasang telinga lebih cermat, kiranya
kedua orang itu adalah gurunya: Thio Ci-keng dan In Ci-peng adanya.
Suara
pembicaraan kedua orang itu semakin menjadi keras, nyata sekali mereka sedang
bertengkar.
“ln-sute”,
demikian terdengar Thio Ci-keng berkata, “meski kau mungkir lagi juga percuma.
Biarlah kulaporkan Khu-supek dan terserah dia untuk memeriksanya sendiri.”
“Dengan
sengaja kau mendesak diriku, apakah tujuanmu sebenarnya ?” terdengar In Ci-peng
menjawab dengan gusar, “Apa kau kira aku tak tahu, bukankah karena kau ingin
menjadi murid pertama dari angkatan ketiga? Dengan begitu ke
Mk
kau “bisa menjadi ciangbunjin kita ?”
“Kau
sendiri tak patuh pada peraturan suci ini, telah melanggar larangan besar agama
kita, mana bisa kau menjadi murid pertama lagi dari angkatan ketiga kita ?”
sahut Thio Ci-keng dengan tertawa dingin.
“Larangan
besar apa yang kulanggar ?” terdengar In Ci-peng mendebat.
“Larangan
ke-4 Coan-cin-kau kita, yaitu: “berjinah !” bentak Ci-keng dengan suara keras.
Yo
Ko coba mengintip dari tempat sembunyinya, ia lihat kedua iniam itu berdiri
berhadapan muka In Ci-peng tertampak pucat.
“Berjinah
apa ?” demikian terdengar Ci-peng menjawab dengan suara berat sambil
mengucapkan kata2 ini tangannya meraba pedangnya.
“Sejak
kau melihat itu Siao-liong-li dari Hoat-su-jin-bong, bukankah setiap hari kau
selalu tak bersemangat siang-malam kau selalu mengenangkan wajahnya, dalam
hatimu entah sudah beratus kali atau mungkin ribuan kali ingin sekali memeluk
Siao-liong-li untuk dicumbu dan dirayu,” demikian sahut Ci-keng.
“Justru
agama kita mengutamakan latihan batin, kini hatimu menyeleweng berpikirnya, apa
itu bukan melanggar pantangan berjinah ?”
Terhadap
Siao-liong-li yang menjadi gurunya boleh dikatakan Yo Ko menghormat tiada
taranya, ia pandang orang se-akan2 dewi kayangan saja, kini mendengar
percakapan kedua imam Coan-cin-kau ini, keruan luar biasa gusar dan dendam,
walaupun tidak begitu dipahami apa artinya “dicumbu dan dirayu” seperti apa
yang dikatakan Thio Ci-keng tadi, tapi ia yakin tentu perbuatan yang busuk,
Sementara
ia dengar In Ci-peng telah mendebat lagi dengan suara rada2 gemetar.
“Ngaco-belo,
sampai apa yang kupikirkan dalam hati kaupun mengetahuinya ?” demikian
sahutnya.
“Hm,
apa yang kau pikirkan sudah tentu aku tak tahu, tetapi waktu kau mengigau dalam
tidur, apakah tidak mungkin didengar orang lain?” kata Ci-keng dengan mengejek
“Dan bolak-balik kau menuliskan nama Siao-liong-li di atas kertas, kau robek
kertasnya lalu tulis lagi, apakah perbuatan inipun tidak bisa diketahui orang
lain ?”
Karena
isi hatinya kena betul dikatai, seketika muka In Ci-peng menjadi lebih pucat
lagi, ia bungkam dan tak bisa mendebat pula.
Dilain
pihak rupanya Thio Ci-keng jadi mendapat angin, dengan ber-seri2 ia keluarkan
selembar kertas putih dan dibeberkan kehadapan Ci-peng.
“lni,
apa ini bukan tulisanmu ?” katanya, “Nah, biarlah kita serahkan pada Ma-supek
dan gurumu sendiri Khu-supek untuk mengenalinya.”
Karena
kata2 yang lebih mirip ancaman ini, Ci-peng tak tahan lagi, dengan cepat
pedangnya dilolos terus menusuk ke ulu hati orang.
Namun
dengan sedikit mengegos Ci-keng bisa hindarkan serangan itu, ia masukkan
kembali kertas tadi ke dalam bajunya.
“Hm,
kau ingin bunuh aku untuk menghilangkan saksi bukan ?” ejeknya lagi dengan
tertawa dingin. “Tetapi rasanya tidak begitu gampang.”
Ci-peng
tidak buka suara puIa, be-runtun2 ia menusuk tiga kali lagi secepat kilat, tapi
tiap2 serangannya selalu dapat dihindarkan Ci-keng. Sampai jurus ke-empat,
mendadak terdengar suara “trang” yang nyaring, Ci-keng telah lolos senjata
juga, maka bertempurlah kedua saudara seperguruan itu dengan serunya disamping
semak2 bunga dan di bawah sinar bulan yang terang.
Ci-keng
dan Ci-peng sama2 tergolong murid pandai Coan-cin-kau angkatan ketiga, yang
satu murid utama Ong Ju-it dan yang lain murid pertama Khu Ju-ki, ilmu silat
mereka sebenarnya sama kuatnya.
Tapi
In Ci-peng terus-menerus merangsak dengan mati-matian, sebaliknya Thio Ci-keng
kadang2 menyelingi pula kata-kata ejekan ditengah pertarungan sengit itu dengan
maksud membikin marah lawannya agar terjadi kesalahan2.
Waktu
itu Yo Ko sendiri sudah mempelajari semua Kiam-hoat dari Coan-cin-kau, maka
demi menyaksikan pertarungan sengit kedua imam ini, ia lihat setiap tipu yang
dikeluarkan meski banyak sekali perubahannya, namun tiap2 gerakan selalu dalam
dugaannya, Karenanya ia pikir apa yang Kokoh (Siao-liong-li) ajarkan itu ternyata
tidak salah.
Sementara
itu kedua orang itu sudah saling labrak beberapa puluh jurus lagi, tiap2 tipu
yang dilontarkan In Ci-peng semuanya adalah tipu serangan, maka ber-ulang2 Thio
Ci-keng terpaksa harus menggeser langkah.
“Hm,
apa yang aku bisa, kaupun bisa semua, begitu pula apa yang kau bisa, akupun
sudah seluruhnya bisa, kini kau hendak membunuh aku, itulah jangan kau harap
selama hidup ini,” demikian Ci-keng mengejek pula.
Dan
memang nyata penjagaannya terlalu rapat hingga meski In Ci-peng sudah berusaha
menyerangnya dari segala jurusan yang dianggapnya lemah, tapi selalu dapat
dipatahkan oleh Ci-keng.
Tak
lama kedua orang itu menggeser ke dekat semak2 dimana Siao-liong-li berada,
keruan Yo Ko terkejut.
“Kurangajar,
jika kedua imam bangsat ini saling labrak sampai di samping Kokoh, tentu
keadaan bisa runyam !” demikian pikirnya, Oleh karenanya ia lantas ber-siap2.
Dalam
pada itu mendadak Thio Ci-keng melakukan serangan balasan, Ci-peng kena didesak
mundur, ia merangsak maju tiga kali, beruntun2 Ci-peng pun mundur tiga langkah.
Diam2
Yo Ko bergirang karena jarak mereka makin menjauh dari tempat gurunya, Diluar
dugaan, mendadak In Ci-peng menyerang lagi, ia pindahkan pedang ke tangan kiri
dan tangan kanan se-konyong2 memukul ke depan mengarah dada orang.
“Sekalipun
kau punya tiga tangan, paling banter kau hanya pandai curi perempuan, tidak
nanti kau bisa bunuh diriku,” dengan tertawa Thio Ci-keng menyindir lagi, Habis
ini ia angkat tangannya buat menangkis.
BegituIah
kembali mereka saling labrak terlebih seru dan lebih sengit daripada tadi.
Sementara
Siao-Iiong-Ii masih tekun berlatih, terhadap semua kejadian di luar tetap ia
tidak mau tahu dan tidak mau Iihat.
Sebaliknya
Yo Ko melihat kedua orang yang lagi saling labrak itu mendekat, dalam hati ia
lantas kuatir, dan bila mereka menggeser pergi lagi, ia menjadi lega pula.
Sampai
akhirnya, mendadak Ci-peng membentak dengan murka, habis ini ia merangsak maju
dengan kalap, dia tidak hiraukan lagi serangan lawan, ia sendiri merangsak
dengan hebat.
Nampak
Ci-peng sudah nekat, diam2 Ci-keng mengeluh, ia tahu kedudukan Ci-peng memang
sulit dan lebih suka ditusuk mati olehnya dari pada rahasianya yang secara
diam2 mencintai gadis orang disiarkan walaupun biasanya Ci-keng tidak akur
dengan Ci-peng, tetapi sebenarnya tiada maksud buat bunuh orang, karenanya,
dengan perubahan Ci-peng yang menjadi nekat, seketika ia sendiri terdesak
dibawah angin.
Setelah
berapa jurus berlangsung pula, tiba2 Ci-peng membuka serangan lagi, pedangnya
menusuk cepat berbareng tangan yang lain menghantam pula, bahkan dia tambah
dengan menyapu dengan sebelah kakinya, inilah tipu serangan “sam-lian-hoan”
(serangan mata-rantai tiga) yang lihay.
Untuk
menghindari lekas2 Ci-keng meloncat ke atas berbareng pedangnya memotong ke
bawah, Namun Ci-peng terlebih lihay lagi, se-konyong2 pedangnya ditimpukkan
se-keras2nya, menyusul ini kedua tangannya dipukulkan berbareng sekaligus.
Menyaksikan
beberapa kali serangan yang mendebarkan hati ini, mau-tak-mau Yo Ko ikut
berkeringat dingin, ia lihat tubuh Ci-keng waktu itu masih terapung di udara,
mungkin pukulan Ci-peng yang hebat itu akan bikin tulangnya patah dan ototnya
putus.
Namun
Thio Ci-keng betul2 tidak malu sebagai jago utama anak murid angkatan ketiga
Coan-cin-pay, dalam saat yang sangat kepepet dan luar biasa bahayanya, tiba2 ia
berjumpalitan di udara terus mencelat mundur sejauh beberapa tombak, lalu
dengan enteng ia turun ke bawah.
Menurunnya
ini bukan soal tetapi tempat di mana ia akan tancapkan kaki justru tempat
sembunyian Siao-Iiong-li, walaupun tidak persis akan menjatuhi kepala orang,
namun bila sampai terjatuh ke dalam semak2 bunga itu, sedikitnya tubuh
Siao-liong-li yang telanjang bulat sedang berlatih ilmu Giok-Ii-sim-keng itu
pasti akan kelihatan di bawah sinar cahaya bulan.
Karena
ituIah, luar biasa kaget Yo Ko, tanpa pikir lagi segera ia meloncat ke atas,
sebelah tangannya dia ulur untuk menyanggah punggung Thio Ci-keng, lalu dengan
gerak tipu “Say-cu-bau-kiu” (singa melempar bola), dengan kuat dia kipatkan ke
samping, maka tidak ampun lagi tubuh Thio Ci-peng yang besar terlempar sejauh
lebih tiga tombak.
Tetapi
waktu turunnya kembali, Yo Ko sendiri tanpa sengaja sebelah kakinya menginjak
pada setangkai bunga, karena tergoyangnya tangkai bunga yang sedikit mentul
itulah, maka separoh tubuh Siao-liong-li bagian atas sekilas berkelebat juga
dibawah sinar bulan yang terang.
Meski
tangkai bunga itu dengan cepat dapat merapat kembali, namun karena itu
Siao-liong-li jadi terkaget, seketika keringat dingin membasahi seluruh
tubuhnya, sesaat pernapasannya jadi terganggu hingga tak bisa dihempas keluar
dari perut, maka jatuhlah dia semaput.
Ketika
melihat Yo Ko mendadak unjuk diri dan sekilas pula melihat nona yang
di-idam2kan siang dan malam itu tahu2 ternyata sembunyi di antara semak2 bunga
itu, sesaat itu In Ci-peng jadi terkesima, ia ternganga ragu, apa yang
dilihatnya itu entah sungguh2 atau khayal belaka.
Sementara
itu Thio Ci-keng sudah sempat tancapkan kakinya ke bawah, sebagai seorang ahli
silat, dengan sendirinya pandangan matanya sangat tajam sekali, meski dalam
jarak sejauh beberapa tombak, namun sekilas ia sudah dapat melihat juga wajah
Siao-liong-li.
“Bagus,
bagus ! Kiranya dia sedang main gila dengan laki2 di sini,” demikian segera ia
berteriak.
Keruan
Yo Ko menjadi gusar.
“Kalian
imam busuk ini jangan coba lari, se-kembaliku nanti kubikin perhitungan dengan
kalian,” dengan suara geram segera ia membentak.
Berbareng
itu cepat ia samber celananya sendiri dan dipakai, lalu ia jemput juga pakaian
Siao-liong-li dengan maksud hendak menyerahkan ke-padanya.
“lni
pakailah dulu, Kokoh !” serunya-sambil mengangsurkan pakaian Siao-liong-li itu.
Akan
tetapi ditunggu-tunggu masih tidak terdengar suara jawaban, juga orang tidak
angsur-kan tangan buat menerima baju itu, waktu ia berpaling, diantara semak2
yang remang2 itu ia lihat Siao-liong-li sudah menggeletak roboh.
Tiba2
teringat olehnya Siao-liong-li pernah pesan wanti2 bahwa diwaktu latihan harus
menjaga diri sepenuh tenaganya, sekalipun hanya ditubruk atau diterjang seekor
kelinci saja pasti akan mengakibatkan malapetaka.
Kini
dia terkaget oleh peristiwa tadi, tentu tidak kecil bahaya yang menimpa gurunya
ini. Keruan Yo Ko gugup dan kuatir, lekas2 ia jereng baju orang dan dike-muIkan
pada badan Siao-liong-li.
Waktu
Yo Ko meraba jidatnya, ia merasa dingin sekali seperti es, maka lekas2 ia
samber pula bajunya sendiri dan bungkus rapat seluruh tubuh Siao-liong-li dan
kemudian dipondongnya.
“Kau
tak apa2 bukan, Kokoh ?” demikian ia bertanya dengan kuatir.
Terdengarlah
suara sahutan Siao-liong-li yang sangat lemah, lalu nona ini tidak membuka
suara lagi. Namun demikian, sedikit lega juga hati Yo Ko.
“Marilah
kita pulang dulu, Kokoh,” kata Yo Ko pula, “Nanti kudatang lagi buat bunuh
kedua imam bangsat ini.”
Namun
seluruh badan Siao-liong-li ternyata lemas tak bertenaga sedikitpun, ia hanya
meggelendot dalam pelukan Yo Ko, Maka berjalanlah Yo Ko dengan langkah lebar
melalui samping kedua imam Coan-cin-kau itu.
Ternyata
In Ci-peng masih terpesona dengan berdiri menjublek di tempatnya, sebaliknya
Thio Ci-keng lantas tertawa ter-bahak2.
“Hahaha,
In-sute, jantung hatimu itu telanjang bulat sedang melakukan perbuatan yang
tidak tahu malu dengan orang lain di sini, daripada kau hendak bunuh aku,
tidakkah lebih baik kau bunuh saja dia (maksudnya Yo Ko) !” demikian ia berolok-olok.
Namun
In Ci-peng anggap tidak mendengar ia tidak gubris dan tetap bungkam.
Mendengar
kata2 “perbuatan yang tidak tahu malu” yang diucapkan Thio Ci-keng tadi, meski
Yo Ko masih hijau pelonco dan tidak paham apa maksud orang sebenarnya, namun ia
yakin pasti kata2 caci-maki yang sangat keji. Maka ia naik darah juga, dalam
gusarnya ia letakkan Siao-liong-li tanah, ia biarkan gurunya ini bersandar pada
satu pohon dan betulkan bajunya yang membungkus tubuhnya, lalu dengan menjemput
setangkai kayu segera ia dekati Ci-keng.
“Kau
membacot apa tadi ?” damperatnya segera sambil menuding dengan kayunya.
Semula
sebenarnya Ci-keng tidak tahu bahwa laki2 yang berada bersama dengan
Siao-liong-li itu ialah Yo Ko, sebab sudah lewat dua tahun, tubuh Yo Ko sudah tumbuh
menjadi jejaka cakap, kini sesudah Yo Ko bersuara untuk kedua kalinya, pula
mukanya menghadap sinar bulan, maka tertampak jelas olehnya bahwa orang ini
kiranya adalah muridnya sendiri.
Tadi
waktu dirinya sedang terapung di udara malah kena dibanting pergi olehnya,
keruan ia menjadi malu tercampur gusar,
“Ha,
Yo Ko, kiranya kau si binatang cilik ini!” segera ia membentak memaki.
“Hm,
kau mencaci maki aku tidak mengapa, tapi kenapa kau memaki juga aku punya Kokoh
?” jawab Yo Ko.
Namun
kembali Ci-keng bergelak tertawa.
“Haha,
orang bilang Ko-bong-pay turun-temurun hanya kepada wanita dan tidak menurun
kepada pria, katanya tiap2 murid suci bersih tetap perawan, siapa tahu secara
diam2 berbuat begini kotor dan rendah, mengeram anak 1aki2 dan melakukan perbuatan
terkutuk secara blak2an di tempat terbuka seperti ini!” demikian ia
ber-olok-olok dan memfitnah pula.
Belum
lagi Yo Ko paham maksud kata-kata orang, saat itu juga Siao-Iiong-li baru
siuman kem-bali, demi mendengar fitnahan kotor itu, dalam marahnya napasnya
yang sudah teratur kembali itu tiba2 terasa sesak lagi di dada, ia tahu dirinya
telah terluka parah dalam, Dan baru saja ia mendamperat: “Tutup bacotmu, kami
tidak…”
Mendadak
darah segar menyembur dari mulutnya seperti pancuran air.
Kaget
sekali Yo Ko dan In Ci-peng, keduanya memburu maju serentak.
“Kenapakah
kau ?” tanya Ci-peng. Lalu ia membungkuk dengan maksud hendak memeriksa keadaan
Siao-liong-li.
Tapi
Yo Ko menyangka Ci-peng bermaksud jahat, tanpa pikir ia ayun tangannya terus
menghantam dada orang.
Sudah
tentu In Ci-peng tidak tinggal diam, ia angkat tangannya buat menangkis, Tak
terduga, setiap gerak tipu serangan Coan-cin-kau boleh dikata sudah dipahami
semua oleh Yo Ko, maka begitu telapak tangannya membalik seketika tangan
Ci-peng malah kena terpegang, segera Yo Ko mendorong dan dilepaskan, kontan
Ci-peng kena disengkelit pergi.
Kalau
soal ilmu silat sejati sebenarnya Yo Ko belum lebih unggul dari pada Ci-peng,
cuma dahulu sewaktu Lim Tiao-eng menciptakan ilmu silatnya yang khusus buat
mematahkan tipu serangan silat Coan-cin-kau, setiap gerakan dan setiap tipu
melulu dipergunakan untuk melawan Coan-cin-pay.
Pula
sejak ciptaannya ini berhasil selama itu belum pernah dipergunakan maka anak
murid Coan-cin-kau selama itu juga belum tahu bahwa di jagat ini ternyata ada
semacam kepandaian yang khusus dapat mengalahkan ilmu silat mereka.
Kini
kepandaian luar biasa itu mendadak dikeluarkan Yo Ko, sudah tentu In Ci-peng
tidak mampu bertahan, walaupun ia tidak sampai jatuh terjengkang, namun
tubuhnya telah terlempar sejauh beberapa tombak dan berdiri sejajar dengan Thio
Ci-keng.
“Sudahlah
tak perlu kau gubris mereka, Kokoh, biar aku pondong kau pulang dahulu.” Yo Ko
berkata.
“Tidak-tidak,”
sahut Siao-liong-Ii dengan napas memburu, “kau bunuh saja mereka, supaya…
supaya mereka tak bisa siarkan di luaran bahwa… bahwa kita…”
“Baiklah,”
kata Yo Ko tanpa menunggu perintah lagi, Segera ia angkat tangkai kayunya tadi,
sekali bergerak, segera ia tutulkan ke dada Thio Ci-keng.
Sudah
tentu Ci-keng tidak pandang sebelah mata pada Yo Ko, pedangnya bergerak, segera
ia bermaksud memotong tangkai kayu orang.
Tak
terduga Kiam-hoat Ko-bong-pay yang dimainkan Yo Ko ini justru merupakan lawan
keras yang tiada bandingannya dari Coan-cin-kiam-hoat, begitu Yo Ko sedikit
sendal ujung kayunya, se-konyong2 tangkai kayu itu seperti bisa melengkung dan
tahu2 menerobos lewat terus menutul Hiat-to pergelangan tangan Ci-keng.
Begitu
cepat serangan ini hingga tiba2 Ci-keng merasakan tangannya kesemutan, diam2 ia
mengeluh Dalam pada itu, serangan susulan Yo Ko sudah dilontarkan lagi, sekali
ini telapak tangan kirinya hendak menempeleng pipinya.
Gerak
tempelengan ini caranya ternyata sangat aneh, yakni tahu2 datang dari jurusan
yang tak ter-sangka2. jika Ci-keng ingin pertahankan pedangnya, maka dia harus
terima ditempeleng mentah2, sebaliknya kalau mau berkelit, maka pedangnya tidak
boleh tidak harus terlepas dari tangan.
Namun
ilmu silat Ci-keng sudah terlatih cukup sempurna, meski berada dalam kedudukan
berbahaya, sedikitpun ia tidak jadi bingung, ia lepas tangan buang pedang,
berbareng kepala menunduk menghindarkan pukulan, bahkan menyusul tangan kirinya
terus diulur maju, dalam sekejap ia bermaksud merebut kembali pedangnya yang
dia lepaskan itu.
Tetapi
lagi2 tak terduga bahwa beberapa puluh tahun yang lalu Lim Tiao-eng yang
menciptakan ilmu silat yang lihay itu sudah memperhitungkan lebih dulu akan
adanya perubahan gerakan ini, terhadap segala kemungkinan perubahan tipu lihay
dari Coan-cin-pay, semuanya sudah dia atur cara2 untuk melanyaninya.
Dengan
tipu serangan balasan buat merebut kembali pedangnya, Thio Ci-keng mengira bisa
merubah kalah menjadi menang. Tapi sama sekali tak diduganya bahwa Yo Ko dan
Siao-liong-Ii justru sudah apal dengan cara2 untuk mematahkan tipunya ini,
hanya melihat tangannya bergerak segera Yo Ko tahu ke mana Ci-keng hendak
mengarah. Maka segera ia mendahului, dengan pedang yang dapat rebut dari
Ci-keng itu ia menabas tangan lawan.
Karuan
saja tidak kepalang kaget Ci-keng, lekas2 ia tarik kembali tangannya.
Walaupun
demikian, namun sudah terlambat juga, tahu2 ujung pedang Yo Ko telah menempel
di dadanya, “Rebah !” bentak Yo Ko sambil kaki menjegal.
Karena
tempat berbahaya terancam, Thio Ci-keng jadi tak bisa berkutik, apalagi
ditambahi pula dengan terjegal kakinya, tanpa ampun lagi ia jatuh terlentang.
Dengan
segera pula Yo Ko angkat pedangnya terus menusuk ke perut orang.
Diluar
dugaan, mendadak dari belakang terdengar suara samberan angin, nyata ada
senjata telah menusuk punggungnya.
“Berani
kau bunuh guru sendiri ?” terdengar suara bentakan keras In Ci-peng.
Serangannya
ini mengarah tempat yang harus dihindari apabila Yo Ko tetap meneruskan
tusukannya hingga Ci-keng dibinasakan maka ia sendiripun akan tertembus oleh
pedang In Ci-peng. Karena itu, tanpa pikir Yo Ko putar kembali pedangnya buat
menangkis, maka terdengarlah suara “trang” yang nyaring, kedua pedang telah
saling bentur.
Nampak
balikan senjata orang begitu cepat lagi jitu, mau-tak-mau In Ci-peng memuji
juga di dalam hati sementara itu mendadak terasakan pula pedangnya sendiri
telah kena ditarik pergi seperti melengket dengan senjata orang, dalam kagetnya
lekas2 Ci-peng kumpulkan tenaga dalamnya untuk menarik kembali sekuatnya.
Tenaga
Ci-peng dengan sendirinya lebih kuat daripada Yo Ko, maka dengan segera pedang
Yo Ko kena ditarik ke jurusan Iain, Di luar dugaan, justru hal ini sengaja
dilakukan Yo Ko untuk memancingnya, sebab begitu orang menarik mendadak ia
malah lepaskan senjatanya sendiri menyusul kedua telapak tangannya dipukulkan
berbareng ke dada orang, sedang batang pedangnya juga mental ke depan, dengan
demikian serangannya sekaligus datang dari tiga jurusan, yakni kedua telapak
tangan dan satu pedang. Dalam keadaan demikian, lebih tinggi lagi ilmu silat In
Ci-peng juga sukar hendak menangkis tipu serangan yang aneh luar biasa ini.
Dibawah
ancaman elmaut ini, terpaksalah In Ci-peng melepaskan senjatanya sendiri dan
tekuk tangannya, dengan tangan melintang di dada lekas2 ia paksakan diri buat
menangkis serangan orang yang hebat tadi, tapi karena tangannya ter-tekuk
terlalu rapet hingga sukar mengeluarkan tenaga besar, syukur latihan Yo Ko juga
belum mendalam, maka kedua tulang tangannya tidak sampai dipatahkan, walaupun
demikian, dadanya juga terasa sakit sekali karena getaran pukulan itu dan kedua
lengannya pegal linu, cepat ia lompat mundur beberapa tindak, dengan mengatur
pernapasannya ia coba lindungi Hiat-to penting di dadanya itu.
Sementara
itu, demi kedua pedang lawan terebut semua olehnya, segera Yo Ko melakukan
rangsakan pula.
Hanya
beberapa gebrakan saja, Ci-keng dan Ci-peng telah dibikin kalang kabut oleh
seorang pemuda “anak kemarin”, mereka terperanjat lagi gusar, mereka tak berani
ayal lagi. Segera mereka berdiri sejajar dan mengeluarkan ilmu menjaga diri
saja dan tidak menyerang, tiap2 serangan lawan selalu dipatahkan, dengan
demikian supaya mereka menyelami sampai dimana kelihayan musuh,
Dengan
perubahan siasat ini, kini Yo Ko tak bisa se-mau2nya lagi seperti tadi,
sekalipun ia bersenjata, namun kedua lawannya bertahan dengan rapat, bagaimanapun
ia menyerang tetap tak sanggup menembus pertahanan mereka.
Sungguhpun
Kiam-hoat Ko-bong-pay diciptakan sebagai penunduk ilmu pedang Coan-cin-kau,
tetapi kesatu karena Ci-keng dan Ci-peng jauh lebih ulet dari pada Yo Ko,
kedua, mereka bertahan bersama, ketiga, mereka hanya menjaga diri saja dan
tidak balas menyerang, maka akhirnya Yo Ko berbalik tak berdaya.
Meski
kedua pedangnya masih me-layang2 kian kemari, tapi lambat laun ia sendiri malah
terdesak di bawah angin, apalagi tenaga pukulan Thio Ci-keng teriak berat dan
kuat, pelahan senjata Yo Ko malah kena tertekan ke bawah.
Dalam
pada itu Ci-peng sudah bisa menenangkan dirinya diam2 ia pikir apa orang akan
berkata bila mengetahui dua orang tua mengerurbut seorang anak kecil ? Kini
tampaknya pihak dirinya sudah dalam kedudukan tak terkalahkan pula hatinya
sesungguhnya sangat menguatirkan keadaan Siao-liong-li, Maka tiba2 ia membentak
“Yo Ko, lekas kau bawa pulang Kokoh-mu saja, untuk apa kau masih terus
membabi-buta berkelahi dengan kami ?”
“Kokoh
benci cara kalian mengoceh tak keruan dan suruh aku membunuh kalian,” jawab Yo
Ko.
Mendadak
In Ci-peng menghantam sehingga pedang kiri Yo Ko terguncang ke samping,
berbareng Ci-peng melompat mundur tiga tindak lagi berseru : “Bethenti dulu l”
“Apa
kau ingin kabur ?” kata Yo Ko.
“Yo
Ko,” jengek In Ci-peng, “kau ingin membunuh kami, memangnya kau mampu ? Cuma
untuk membuat lega hati Kokohmu, biarlah aku berjanji bahwa kejadian hari ini
pasti takkan ku siarkan, jika sampai kusiarkan sepatah saja segera kubunuh diri,
kalau mungkir janji biarlah serupa jari ini.” sampai di sini mendadak ia
menyerobot maju dan merampas sebuah pedang Yo Ko terus menabas kutung dua jari
tangan kiri sendiri.
Beberapa
gerakan In Ci-peng itu dilakukan dengan cepat luar biasa, sedikitpun Yo Ko
tidak menduga dan tidak berjaga, seketika ia menjadi kesima, tapi segera iapun
tahu ucapan In Ci-peng itu memang timbul dari hati yang tulus, ia pikir untuk
mengalahkan Ci-peng berdua memang sulit, ada lebih baik bunuh saja orang she
Thio itu lebih dulu, habis itu baru kubunuh orang she In ini.
Walau
usia Yo Ko masih muda, tapi pikirannya sangat cerdik, segera ia membentak:
“Orang she In ini, apa gunanya kau mengutungi jari tanganmu, jika kau memenggal
kepalamu sendiri barulah tuanmu mau percaya padamu.”
Ci-peng
menjawab dengan menyeringai: “Menghendaki jiwaku, hehe, boleh juga asalkan,
Kokohmu membuka suara sepatah kata saja.”
“Baik
!” kata Yo Ko sambil melangkah maju, tapi mendadak pedangnya menusuk kebelakang
mengarah dada Thio Ci-keng.
Tipu
serangan ini lihay luar biasa, Saat itu Ci-keng lagi mendengarkan percakapan
mereka dengan penuh perhatian, sama sekali tak menduga akan diserang secara
mendadak ketika dia menyadari apa yang terjadi namun ujung pedang menempel ulu
hatinya.
Di
sini tertampak juga betapa hebat kepandaian Ci-keng, sebisanya dia menarik
napas sehingga perutnya seakan-akan mendekuk dua-tiga senti ke dalam, berbareng
sebelah kakinya terus menendang, dalam keadaan kepepet ternyata dia dapat
mengubah keadaan menjadi kemenangan, pedang Yo Ko tertendang terbang ke udara.
Namun
Yo Ko juga tidak kalah lihaynya, sebelum kaki orang tertarik mundur, cepat ia
tutuk Hiat-to dengkul musuh dengan tepat Meski Ci-keng berhasil menyelamatkan
jiwanya, tapi ia tidak sanggup berdiri lagi, dengan sebelah kaki ia bertekuk
lutut di depan Yo Ko.
Pada
saat lain Yo Ko sempat menangkap kembali pedang yang mencelat ke udara tadi,
dengan ujung pedang itu ia tuding tenggorokan Ci-keng dan membentak: “Aku
pernah mengangkat dan menyembah padamu, sekarang kau bukan lagi guruku, lekas
kau menyembah kembali padaku!”
Sungguh
tidak kepalang gusar Ci-keng sehingga mukanya merah padam, Ketika Yo Ko sedikit
tekan pedangnya, ujung pedang menusuk masuk satu senti ke dalam daging lehernya
dan menimbulkan sakit.”
Dengan
bandel Ci-keng mendamperat: “Mau bunuh boleh bunuh, untuk apa banyak omong ?”
Baru
saja Yo Ko hendak menusukkan pedangnya lebih keras, tiba-tiba terdengar
Siao-liong-li berkata: “Ko-ji, membunuh guru sendiri tidak membawa berkah,
Boleh kau suruh dia bersumpah takkan menyiarkan kejadian ini, lalu boleh boleh
mengampuni dia.”
Yo
Ko mematuhi ucapan Siao-Iiong-li seperti titah malaikat dewata, tanpa pikir
segera ia membentak Ci-keng: “Nah, lekas kau bersumpah!.”
Dalam
keadaan demikian, sungguhpun tidak kepalang rasa gusar Thio Ci-keng, namun apa
da-ya, selamatkan jiwa paling perlu, Maka berkatalah dia : “Asal aku tidak
biIang2, buat apa bersumpah segala ?”
“Tidak
bisa, harus bersumpah berat,” sahut Yo Ko.
Mau-tak-mau
Ci-keng harus menurut
“Baik,
kejadian ini, hanya kita berempat saja yang tahu. jika aku sampai mengatakan
pada orang kelima, biarlah badanku sial dan namaku rusak, diusir keluar
perguruan dan tidak akan diampuni sesama orang Bu-lim, akhirnya mati tak
teram-punkan !” demikian sumpahnya kemudian,
Yo
Ko dan Siao-liong-li sama2 belum paham seluk-beluk orang hidup, mereka mengira
orang betul2 telah bersumpah berat, sebaliknya In Ci-peng menarik kesimpulan
bahwa diantara sumpah itu tersembunyi akal licik, sebenarnya ia hendak
peringatkan Yo Ko, namun merasa salah juga, karena tidak baik terang2an
membantu orang luar.
Sementara
ia lihat Yo Ko telah pandong Siao-liong-Ii dan dengan langkah cepat melintasi
lereng bukit sana, Saking terkesimanya, meski darah segar dari luka jarinya
yang kutung tadi masih mengucur tak terasakan sakit olehnya.
Di
lain pihak, setelah Yo Ko pondong Sao-liong-li kembali ke kuburan kuno mereka,
ia letakkan gurunya ini di atas ranjang batu pualam dingin.
“Aku
terluka parah, darimana ada kekuatan melawan hawa dingin itu ?” dengan menghela
napas Siao-liong-Ii berkata.
Yo
Ko bersuara kaget, ia menjadi kuatir, pikirnya diam2: “Kiranya Kokoh begini
berat lukanya.”
Karena
itu, dia lantas pondong Siao-Iiong-li ke bekas kamarnya Sun-popoh. Tetapi baru
saja Siao-Iiong-li rebah, kembali ia menyemburkan darah segar pula, tatkala itu
Yo Ko masih belum memakai bajunya, keruan seluruh dadanya penuh tersemprot
darah.
Siao-liong-li
coba pejamkan mata buat mengatur pernapasan dengan maksud menutup urat nadinya,
siapa tahu otot darahnya yang sudah terluka itu semakin dia gunakan tenaga
dalam, luka itu semakin hebat, darah segarpun menyembur terus menerus.
Sudah
tentu Yo Ko kelabakan, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, hanya air
mata saja yang bercucuran.
“Asal
darahku sudah habis keluar, dengan sendirinya akan berhenti, untuk apa kau
berduka,” dengan senyum tawar Siao-liong-li coba menghibur padanya.
“Kokoh,
jangan kau mati,” kata Yo Ko.
“Ha,
kau sendiri takut mati bukan ?” kata Siao-liong-li.
“Aku
?” tukas Yo Ko bingung.
“Ya,
sebab sebelum aku mati, sudah tentu kubunuh kau dahulu,” kata Siao-liong-li
pula.
Apa
yang dikatakan ini dua tahun yang lalu sudah pernah diucapkannya juga,
sebenarnya Yo Ko sudah lama melupakannya, tak dinyana sekarang Siao-liong-li
mengulangi kata2 itu 1agi.
“Jika
aku tidak bunuh kau, setelah mati cara bagaimana aku harus menemui Sun-popoh ?”
kata Siao-liong-li demi nampak muka Yo Ko mengunjuk heran dan kaget “Dan kau
seorang diri hidup di dunia ini, siapa lagi yang akan menjaga kau ?”
Pikiran
Yo Ko sudah kusut, saking ruwetnya hingga ia tak tahu bagaimana menjawabnya.
Dalam
pada itu Siao-liong-li masih terus muntahkan darah, tapi sikapnya ternyata
sangat tenang, ia anggap saja bukan soal apa-apa.
Tiba2
tergerak kecerdasan Yo Ko, ia ber-lari2 pergi mengambil semangkok madu tawon
dan di-cekokan pada Siao-liong-li.
Khasiat
madu tawon itu untuk menyembuhkan luka dalam ternyata sangat mujarab, selang
tak lama, Siao-liong-li tidak muntah darah lagi, ia rebah di ranjang dan
akhirnya terpuIas.
Melihat
gurunya bisa tidur, hati Yo Ko rada lega, ia sendiri sudah letih ditambah rasa
kuatir pula, sesungguhnya diapun tak tahan lagi, maka sambil berduduk di
lantai, ia bersandar pada dinding dan akhirnya ia pun tertidur.
Sampai
suatu saat entah sudah lewat berapi lama, se-konyong2 Yo Ko terjaga dari kantuknya
karena terasa lehernya sendiri rada dingin, dalam kagetnya segera ia meleki
matanya, ia sudah beberapa tahun tinggal di dalam kuburan kuno itu, meski dia
tak dapat melihat sesuatu benda dalam kegelapan seperti siang hari seperti
kepandaian Siao-liong-Ii, tapi untuk mondar-mandir di dalam kuburan yang gelap
itu sudah tidak memerlukan sinar lampu lagi
Demi
matanya terpentang, tertampaklah olehnya Siao-liong-li duduk di pinggir
ranjang, tangannya mencekal pedang dan ujung senjata ini tepat ditudingkan ketenggorokannya,
maka terasa dingin.
“Kokoh
!” teriak Yo Ko kaget.
“Ko-ji,”
dengan sikap tawar Siao-liong-li berkata padanya, “lukaku ini terang tak akan
bisa baik, maka kini juga kubunuh kau, marilah kita pergi bersama untuk menemui
Sun-popoh!”
Sungguh
bukan buatan kejut Yo Ko, ia berteriak lagi memanggil: “Kokoh!”
“Dalam
hati kau sangat ketakutan, bukan ?” Siao-liong-li berkata lagi “jangan takut,
hanya sekali saja sudah cukup, cepat sekali.”
Tiba2
Yo Ko lihat mata Siao-liong-li memancarkan sinar yang aneh, ia tahu dengan
segera orang pasti akan turun tangan, dalam saat demikian ini, keinginan buat
pertahankan hidup menjadi berkobar, iapun tidak hiraukan Iain2 lagi, dengan
sekali jatuhkan diri kesamping, kakinya berbareng melayang hendak menendang
senjata yang dipegang Siao-liong-Ii.
Siapa
tahu meski luka Siao-liong-li susah disembuhkan namun gerak tangannya masih
gesit dan cepat luar biasa, begitu tubuhnya miring sedikit dapatlah ia
hindarkan tendangan orang dan kembali ujung pedangnya menuding di tenggorokan
Yo Ko. Beberapa kali lagi Yo Ko ganti ti-punya buat meloloskan diri, tapi
setiap gerak tipunya semuanya diperoleh dari petunjuk2 Siao-liong-li sendiri
sudah tentu ke mana ia hendak pergi selalu dalam dugaannya, pedang
Siao-liong-li selalu membayanginya dan tidak pernah berjarak lebih jauh dari
tiga inci di depan lehernya.
Saking
takutnya hingga Hyo Ko mandi keringat dingin, Diam2 ia mengeluh: “Celaka, jika
hari ini tak bisa menyelamatkan diri, akhirnya aku pasti akan dibunuh Kokoh.”
Karena
kepepet, se-konyong2 ia angkat kedua tangannya memukul ke depan sekaligus, ia
pikir dalam keadaan luka tentu Siao-liong-li tak bertenaga dan tentunya kurang
kuat untuk mengadu tangan dengan dirinya.
Rupanya
Siao-liong-li mengetahui juga maksud tujuannya, ia hanya sedikit miringkan
tubuh saja dan membiarkan tenaga pukulan itu susul menyusul menyambar lewat di
atas pundaknya, Habis ini mendadak ia berseru : “Ko-ji tak perlu kau melawan
lagi!”
Berbareng
itu, mendadak pedang diluruskan ujung senjata ini tergetar beberapa kali, lalu
dengan tipu “hun-hoa-hut-liu” (memisahkan bunga mengebut pohon liu), seperti
mengarah ke kiri, tapi tahu2 menjurus ke kanan, leher Yo Ko se-konyong2 sudah
ditempel oleh ujung pedang.
Dan
selagi Siao-liong-li hendak menyurung senjatanya ke depan, dengan demikian
tenggorokan Yo Ko pasti akan tertusuk tembus, Diluat dugaan, mendadak seluruh
tubuhnya menjadi lemas dan lumpuh, “trang”, terdengar suara nyaring, pedang
jatuh ke lantai, menyusul tubuhnya ikut roboh dan pingsan.
Ketika
Siao-liong-li menusukkan pedangnya tadi Yo Ko sudah pejamkan mata menantikan
kematian, siapa tahu pada saat yang menentukan itu mendadak Siao-liong-li jatuh
pingsan, Keruan Yo Ko tertegun, sungguh dia boleh dikatakan lolos dari lubang
jarum, lekas2 ia merangkak bangun, tanpa hiraukan apa yang bakal terjadi lagi,
dengan langkah cepat segera ia lari keluar kuburan kuno itu.
Begitu
ia injak keluar pintu kuburan, tertam-paklah olehnya sinar sang surya yang
menyilaukan mata, angin meniup sepoi2, burung berkicauan di atas pohon, nyata bukan
lagi suasana yang gelap seram seperti di dalam kuburan kuno tadi.
Dalam
keadaan masih ber-debar2, Yo Ko kuatir kalau2 Siao-liong-li mengejarnya dari
belakang, maka ia angkat langkah seribu lebih jauh, dengan menggunakan Ginkang
ia lari cepat ke bawah gunung.
Kini
tenaga dalamnya sudah terlatih kuat dan penuh, meski ilmu silatnya belum
terlatih sampai puncaknya kesempurnaan, tapi sudah terhitung jago kelas atasan
di kalangan Bu-lim. Dengan cara larinya yang cepat itu, pula jalan pegunungan
yang menurun dengan sendirinya lebih cepat daripada menanjak, maka pada lohor
itu juga ia sudah sampai di kaki gunung.
Melihat
Siao-liong-li tidak mengubernya, barulah Yo Ko merasa lega, kini dia baru
berani lambatkan langkahnya untuk melanjutkan perjalanan.
Ia
jalan dan jalan terus, akhirnya ia merasa lapar, perutnya sudah keroncongan,
sudah berkeruyukan, ia pikir harus mencari rumah penduduk untuk membeli sedikit
penganan buat tangsal perut, tetapi ketika dia rogoh sakunya, nyata duit tak
ada, satu mata uang saja tidak gableg.
Namun
Yo Ko tidak kurang akal, sudah sejak kecil ia terlunta-Iantung di kalangan
Kangouw, kepandaiannya mencari pangan sudah sangat besar, ketika ia melongok
sekitarnya, tertampaklah olehnya di lereng bukit sebelah barat sana banyak
tanaman jagung, segera ia menuju ke sana dan memetiknya beberapa buah jagung
itu.
Jagung
itu belum cukup tua, tetapi sudah bisa dimakan, Yo Ko kumpulkan sedikit kayu
kering, sedang akan menyalakan api buat bakar jagung, tiba2 terdengar di
belakangnya ada suara keresekan pelahan, nyata ada orang sedang jalan
mendekatinya.
Lekas2
Yo Ko miringkan tubuh dengan maksud meng-aling2i jagung colongan itu agar tidak
dilihat orang apabila yang datang ini adalah penduduk setempat, tetapi ketika
ia melirik, ternyata yang datang ini adalah seorang To-koh yang masih muda
jelita, To-koh atau imam wanita ini memakai jubah kuning langsat, langkahnya
enteng dan bergaya manis seperti bidadari yang baru turun dari kayangan.
Yo
Ko melirik lebih jauh, ia lihat di punggung To-koh itu terselip dua batang
pedang, gagang senjata yang bertali sutera berwarna merah darah itu menambah
kecantikan si To-koh, jelas sekali To-koh ini pandai ilmu silat.
Yo
Ko pikir tentu orang ini adalah imam yang hendak naik ke Tiong-yang-kiong,
besar kemungkinan adalah murid jing-ceng Sanjin Bun Put-ji, itu imam wanita
satu2nya dari Coan-cin-ciat-cu.
Karena
Yo Ko tak ingin mencari onar, maka ia sengaja menunduk kepala dan menyalakan
api lagi.
Sesudah
dekat di samping Yo Ko, mendadak To-koh itu berhenti
“Eh,
adik cilik, mana jalannya kalau hendak naik ke atas gunung ?” tiba2 ia
bertanya.
“Aneh”,
diam2 Yo Ko heran, “Jika perempuan ini adalah anak murid Coan-cin-kau, mengapa
dia tak kenal jalan ke atas gunung? Hah, tentu dia tidak mengandung maksud baik
!”
Karena
itu tanpa menoleh ia menunjuk ke atas gunung dan menjawab : “lkut saja jalan
besar ini terus ke atas.”
Melihat
baju Yo Ko compang-camping dan jongkok di pinggir jalan sedang membakar jagung,
To-koh itu mengira Yo Ko adalah anak petani.
Biasanya
To-koh ini sangat bangga dengan kecantikannya sendiri, lelaki mana saja bila
meIihat dia pasti akan terpesona hingga mata tak berkesip, tetapi pemuda desa
ini ternyata hanya melirik sekali saja padanya lalu tidak memandang buat kedua
kalinya, nyata kecantikannya dianggap seperti rupa wanita pegunungan saja,
diam2 To-koh itu rada mendongkol.
Akan
tetapi segera ia berpikir pula: “Ah, orang desa semacam ini tahu apa ?”
Karena
itu, ia lantas membuka suara lagi : “He, berdirilah, aku ingin tanya padamu.”
Tetapi
Yo Ko sudah terlanjur berpikir jelek terhadap semua orang Coan-cin-kau, dia
tidak mau menggubrisnya lagi, ia pura2 tuli dan berlagak bisu.
“Hei,
anak tolol, apa yang kukatakan kau dengar tidak ?” To-koh itu menanya lagi.
“Dengar,
cuma aku malas berdiri,” sahut Yo Ko.
Karena
jawaban ini To-koh itu tertawa geli.
“He,
lihatlah kau, ini, lihat dulu padaku, aku lah yang suruh kau berdiri!” dengan
tertawa merdu ia berkata pula.
Suara
ucapannya ini begitu halus dan genit pula, rasanya menis lagi berminyak.
Keruan
mau-tak-mau hati Yo Ko terkesiap, “He, kenapa suara wanita ini begitu aneh,”
demikian ia membatin.
Lalu
ia mendongak dan tertampak olehnya wanita ini berkulit putih bersih, kedua
pipinya bersemu merah, sinar matanya bening dan sedang memandang mesra padanya,
Yo Ko menunduk lagi untuk menyalakan api pembakaran jagungnya.
Demi
nampak muka Yo Ko yang masih bersifat hijau, sudah melihat dirinya untuk kedua
kalinya, namun sedikitpun tetap tidak terguncang hatinya, maka bukannya marah,
sebaliknya si To-koh tertawa geli.
“Eh
kiranya anak yang masih pelonco, kebetulan dapat kuperalat dia sebagai
pembantu,” demikian pikirnya.
Karena
pikiran ini, dari bajunya segera ia mengeluarkan dua renceng uang perak dan
sengaja dikocok-2 hingga menerbitkan suara gemerincing yang nyaring, dengan
uang perak ini ia coba mengiming-imingi Yo Ko.
“Adik
cilik, asal kau turut perkataanku, dua renceng perak ini segera kuberikan
padamu,” katanya kemudian.
Yo
Ko sangat cerdik, sebenarnya dia tidak ingin cari penyakit, tetapi demi
mendengar kata2 orang semakin aneh, akhirnya ia tertarik juga dan ingin tahu
cara bagaimana orang akan perlakukan dkinya, maka sekilas ia sengaja pura2
tolol dan berlagak bodoh, dengan rasa tercengang ia pandang kedua renceng perak
itu.
“Eh,
barang mengkilap ini apa namanya ?” dengan sikap dungu ia sengaja tanya.
Kembali
To-koh itu tertawa geli oleh kebodohan “anak udik” ini.
“lni
uang perak.” sahutnya kemudian. “Kau ingin pakaian baru, ingin ayam goreng,
nasi liwet, semuanya dapat dibeli dengan ini!”
“Ah,
kembali kau justai aku lagi, aku tak percaya,” kata Yo Ko dengan air muka
seperti orang linglung.
“Kapankah
pernah aku mendustai kau ?” sahut imam wanita itu dengan tertawa pula, “He,
siapa namamu ?”
“Aku
bernama Sah Thio (Thio si tolol), apa kau belum kenal ?” jawab Yo Ko dengan
nama palsunya, “Dan kau sendiri bernama siapa ?”
“Ah,
tak usah tanya, panggil saja Sian-koh (bibi dewi),” sahut si To-koh. “Dimana
makmu ?”
“Buat
apa kau tanya mak-ku ?” berbalik Yo Ko tanya. “Dia sedang mencari kayu di atas
gunung.”
“Ha,
kebetulan, akupun ingin naik ke atas gunung,” kata To-koh itu. “Pakaianku ini
tidak baik di pakai ke sana, pergilah kau mengambilkan baju mak-mu dan
pinjamkan padaku !”
Luar
biasa heran Yo Ko oleh kelakuan orang. Tetapi lahirnya ia unjuk muka tololnya
semakin mirip, ber-ulang2 ia geleng kepala oleh bujukan orang tadi.
“Tidak,
tak berani aku, mencuri baju mak, nanti aku pasti akan dihajar, kalau
menghajar, mak-ku menggunakan palang pintu,” sahutnya dengan lagak lucu.
“Begitu
melihat uang perak ini, mak-mu pasti akan kegirangan, tentu kau tak takkan
dipentung lagi,” ujar si To-koh dengan tertawa.
Berbareng
itu, sekali tangannya bergerak, se-renceng uang perak itu segera dia lemparkan
pada Yo Ko.
Yo
Ko ulur tangannya buat menangkap, tetapi dia sengaja membiarkan rencengan perak
itu tertimpuk pada pundaknya dan jatuh ke bawah membentur sebelah kakinya.
“Aduh
kau pukul aku,” ia berteriak-teriak sambil memegang sebelah kaki yang tertimpuk
uang perak itu dan dengan sebelah kaki yang lain ia ber-jingkrak2, pura2
kesakitan “Akan ku adukan pada mak !”
Habis
ini, sambil masih menjerit, uang perak itu ia tinggalkan terus lari pergi
dengan cepat.
Nampak
kelakuan orang yang tolol2 lucu itu, si To-koh tersenyum geli. Tiba2 ia
lepaskan ikat pinggang yang terbikin dari kain sutera, dengan sekali mengebas,
ikat pinggang disabetkan dan menggubet sebelah kaki Yo Ko terus diseret
kembali.
Mendengar
suara menyambarnya ikat pinggang dan merasakan tenaga tarikan yang menggulung
kakinya itu, seketika Yo Ko menjadi kaget. “He, gaya ini terang sekali adalah
ilmu golongan Ko-bong-pay kami, apa dia ini bukan imam dari Coan-cin-pay ?”
diam2 ia bertanya dalam hati.
Oleh
karena itu, ia sengaja lemaskan badannya, ia membiarkan dirinya diseret kembali
si To-koh, hanya dalam hati ia bertambah waspada dan ber-siap2 untuk menjaga
segala kemungkinan “la hendak naik ke atas gunung, apa tujuannya hendak
memusuhi Kokoh ?” demikian ia membatin pula.
Apabila
teringat olehnya keadaan Siao-liong-li yang waktu itu tidak diketahui mati atau
hidup, mau-tak-mau ia menjadi kuatir dan sedih sekali, segera ia ambil suatu
keputusan: sekalipun nanti harus mati di tangan Siao-liong-li, dia bertekad
akan naik lagi ke atas buat menyambanginya.
Pikiran
itu sekilas bekerja dalam otaknya, sementara tubuhnya sudah kena diseret ke
hadapan si To-koh tadi.
Ketika
si To-koh melihat muka Yo Ko penuh berlepotan debu, tetapi toh tidak menutupi
wajahnya yang cakap, diam2 ia berpikir: “Anak gunung ini mukanya ternyata
tampan juga, cuma sayang, bantal sulam, isinya jerami belaka.”
Dalam
pada itu ia dengar Yo Ko masih ber-teriak2 dan mengoceh sendiri tak keruan.
“He,
Sah Thio kau cari mampus atau ingin hidup ?” dengan tersenyum segera ia
menegur, “Sret”, tahu2 pedangnya sudah dilolos dan ditudingkan ke dada Yo Ko.
Melihat
gerak tangan orang barusan ini jelas adalah tipu “kim-pit-tiam-cu” (potlot emas
menutul titik) yang merupakan ajaran asli - Ko-bong-pay, maka Yo Ko tidak ragu2
lagi.
“Orang
ini pasti anak murid Li Bok-chiu Su-pek, ia hendak naik ke atas gunung mencari
Ko-koh, tentu tidak bermaksud baik, Kalau melihat caranya mengayun ikat
pinggang dan caranya melolos senjata ini, terang keuletannya masih jauh di atas
diriku, Orang ini hanya bisa dimenangkan dengan akal, tapi tak boleh dilawan
dengan kekerasan aku harus pura2 bodoh sampai saat terakhir agar supaya dia
sama sekali tidak ber-jaga2,” demikian Yo Ko berpikir
Oleh
karenanya atas ancaman orang tadi, dengan mengunjuk rasa takut segera ia
memohon:
“Jangan…
jangan kau bunuh aku, Sian-koh, aku… aku akan menurut perkataanmu !”
“Baiklah,
tetapi bila kau membangkang lagi, “ngek”, sekali gorok saja aku sembelih kau,”
kata si To-koh dengan ketawa sambil memberi contoh dengan pedang menggorok
leher.
“Menurut,
pasti menurut,” sahut Yo Ko cepat,
Habis
itu, sekali geraki tangannya lagi, tahu2 To-koh itu telah ajun ikat pinggangnya
hingga melilit kembali pada pinggangnya sendiri gayanya manis dan caranya
menarik.
“Bagus
!” dalam hati Yo Ko memuji juga atas kepandaian orang, Tetapi wajahnya tidak
mengunjuk sesuatu perasaannya melainkan masih ber-pura2 seperti orang linglung.
Sudah
tentu hal ini tidak diketahui si To-koh, dalam hati ia membatin: “Hm, si tolol
ini mana mengerti kebagusan kepandaianku tadi ? Aku ini seperti main mata
dengan orang buta saja.”
“Nah,
Sah Thio, lekas kau pulang dan mengambilkan sebuah kampak, aku mau pakai,”
demikian katanya kemudian.
Yo
Ko menurut, ia ber-lari2 menuju ke rumah petani yang tertampak di depan sana,
ia sengaja berjalan lambat, tubuhnya ber-goyang2 dengan gaya “lenggang sampan”,
langkahnya berat, kelakuannya lucu, tampaknya tepat sekali sebagai seorang yang
goblok, mana bisa orang berilmu silat berlaku seperti dia ini ?
Menyaksikan
macam orang ini, agaknya si To-koh rada2 muak, “He, Sah Thio, jangan kau
bilang2 pada orang lain, lekas pergi dan lekas kembali!” serunya pula memesan.
“Ya,”
sahut Yo Ko sambil berjalan terus.
Akhirnya
tibalah dia sampai di depan pintu rumah petani, ia longak-longok ke dalam rumah
nyata tiada seorangpun penghuninya, mungkin orangnya sedang sibuk bercocok
tanam di sawah ladang, maka dengan bebas Yo Ko menyamber sebilah kampak pendek
yang biasa dipakai membelah kayu, lalu dengan lagak ke-tolol2an ia berlari
kembali Iagi.
Sungguhpun
dengan senangnya Yo Ko mempermainkan si To-koh, namun dalam hati ia
menguatirkan keselamatan Siao-liong-li, oleh sebab ini, mau-tak-mau air mukanya
kelihatan mengunjuk rasa sedih.
“He,
Sah Thio, kenapa kau muram durja ?” omel si To-koh. “Hayo, lekas ketawa !”
Eh,
betul juga Yo Ko lantas menyengir beberapa kali.
Tentu
saja si To-koh mengkerut alis melihat macamnya itu, “Mari, ikut aku !” katanya
kemudian.
“Tidak,
tidak, mak-ku sedang tunggu aku untuk makan siang !” seru Yo Ko cepat.
“Kurangajar,”
bentak si To-koh, “berani kau membangkang, segera kusembelih kau !”
Habis
berkata, sekali ulur tangannya, segera daun kuping Yo Ko kena dijewer terus
ditarik sambil mengancam dengan pedang.
Yo
Ko berteriak-teriak kesakitan seperti babi hendak disembelih
“Auuuuh,
sakit! baiklah, aku ikut, aku ikut!” teriaknya.
“Orang
ini sebodoh kerbau, kebetulan dapat kuperas,” demikian To-koh itu membatin.
Lalu
ia tarik lengan baju Yo Ko terus diseret ke atas gunung.
Orang
yang memiliki ilmu silat, cara jalannya dengan sendirinya sangat cepat, Tetapi
Yo Ko justeru sengaja berlaku ayal2an, ia tumbuk sini dan kesandung sana,
langkahnya sekali cepat sekali lambat, ia sengaja bikin dirinya ketinggalan di
belakang.
Tak
lama lagi ia pura2 tak tahan, ia duduk di atas satu batu di tepi jalan sambil
mengusap keringatnya, napasnya ter-engah2 senin-kemis.
Karena
kelakuannya ini, dalam gelinya si To-koh ber-ulang2 mendesaknya agat
melanjutkan perjalanan lagi.
“Begitu
cepat kau berjalan, mana bisa aku menyusulmu ?” sahut Yo Ko.
Akan
tetapi karena sang surya sudah mendoyong ke barat, hari sudah sore, To-koh itu
menjadi tak sabar Iagi, segera ia dekati Yo Ko, dipegang lengannya dan ditarik
terus berlari cepat lagi ke atas.
Tetapi
Yo Ko tetap tak bisa mengikuti tindakan orang yang terlalu cepat, kedua kakinya
harus mancal2 tak keruan dan tiba2 menginjak sebelah kaki dengan keras si
To-koh.
“Auuh
! Kau cari mampus l” jerit To-koh itu sambil mendamperat.
Dia
melihat napas Yo Ko memang meraba m dan terlalu payah, segera ia ulur tangan
kirinya, tiba2 ia angkat pinggang Yo Ko sambil membentak : “Naik !” Maka tubuh
Yo Ko lantas di-rangkulnya terus dibawa lari ke atas gunung, dengan menggunakan
Ginkang yang hebat, hanya sekejap saja beberapa li sudah dilalui.
Karena
tubuhnya dirangkul sebelah tangan orang, maka terasalah oleh Yo Ko punggung
sendiri menempel dada orang yang hangat dan empuk, hidungnya tercium pula bau
wangi kaum gadis umumnya, keruan saja Yo Ko kesenangan, sekalian ia
menggelendot tanpa mengeluarkan tenaga sedikitpun, ia biarkan dirinya
dicangking orang ke atas.
Sesudah
beberapa li pula, ketika To-koh itu tiba2 memandang kebawah, ia lihat wajah Yo
Ko mengunjuk senyuman, tampaknya enak sekali rasanya, keruan ia mendongkol
begitu tangannya dikendorkan segera Yo Ko terbanting ke tanah.
“Senang
ya, kau ?” bentak si To-koh.
Karena
bantingan ini, Yo Ko me-raba2 bo-kongnya sambil ber-teriak2 kesakitan
Mau-tak-mau
To-koh itu tertawa lagi oleh kelakuan Yo Ko yang tolol2 lucu itu, ia mendongkol
juga geli.
“Kenapa
kau begini tolol ?” ia mengomel.
“Ya,
memangnya namaku Thio si tolol,” sahut Yo Ko. “Sian-koh, aku she Thio, dan kau
apa she Sian ?”
“Asal
kau panggil aku Sian-koh, peduli kau urus aku she apa,” damperat si To-koh.
Kiranya
To-koh atau imam wanita ini memang betul adalah murid pertama Jik-lian-siancu
Li Bok-chiu, ia she Ang dan bernama Ling-po,
To-koh
yang dahulu disuruh pergi membunuh seluruh keluarganya Liok Lip-ting dan akhirnya
kena diusir Bu-samnio, bukan lain ialah Ang Ling-po ini, Tetapi meski Yo Ko
ingin menyelidiki nama-nya, namun sama sekali ia tak mau menerangkan.
Begitulah,
lalu Ang Ling-po duduk juga di atas satu batu sambil membetulkan rambutnya yang
tersebar tertiup angin.
Ketika
Yo Ko berpaling dan memandangi orang, mau-tak-mau ia berkata dalam hati:
“To-koh ini terhitung cantik juga, cuma masih belum bisa mengungkuli Kwe-pekbo
(bibi Kwe, maksudnya Oey Yong), lebih2 tak bisa menandingi aku punya Kokoh
(maksudnya Siao-liong-li).”
Walaupun
demikian pendapat Yo Ko, kalau soal kecantikan sebenarnya Oey Yong dan
Siao-liong-li boleh dikatakan sukar dibedakan mana yang lebih elok, tapi
lantaran Yo Ko sudah pakai pikiran yang berat sebelah, dengan sendirinya ia
merasa Siao-liong-li terlebih cantik.
Dalam
pada itu demi tahu orang sedang menikmati kecantikannya, Ang Lin-po melerok
sekali pada Yo Ko.
“Kenapa
kau pandang aku terus, Sah Thio ?” dengan tertawa ia tanya.
“Pandang
ya pandang, kenapa, itulah aku tak tahu, jika kau tak boleh kupandang, baiklah
aku tak memandang lagi, siapa yang kepingin lihat ?” sahut Yo Ko ke-tolol2an.
Ang
Ling-po tertawa genit. “Kau mau pandang, nah, pandanglah terus, Eh, aku ini
bagaimana, cantik tidak kelihatannya ?” ia tanya sembari mengeluarkan sebuah
sisir emas kecil dan dengan pelahan ia sisir rambutnya yang gombyok indah itu.
“Bagus
sih bagus,” sahut Yo Ko, hanya… hanya…”
“Hanya
apa ?” sela Ang Ling-po.
“Hanya
kurang putih,” kata Yo Ko.
“Sah
Thio, kau cari mampus ya ? Berani kau bilang aku kurang putih ?” mendadak Ang
Ling-po membentak sambil berdiri
Kiranya
selama ini Ang Ling-po paling bangga akan kulit badannya sendiri yang putih
mulus seperti susu, ia kira di jagat ini pasti tiada bandingannya lagi, siapa
tahu Yo Ko berani bilang kulitnya masih kurang putih, keruan ia sangat gusar.
Di
luar dugaan, meski sudah dibentak, toh Yo Ko tetap geleng kepala.
“Ya,
kurang putih,” sahut tegas.
“Lalu
siapa yang lebih putih dari padaku ?” tanya Ang Ling-po dengan marah.
“Yang
tidur bersama aku setiap malam jauh lebih putih dari padamu,” kata Yo Ko.
“Siapa
dia, binimu atau mak-mu ?” tanya Ang Ling-po.
“Bukan,
semua bukan, tetapi adalah domba-ku,” sahut Yo Ko akhirnya.
Mendengar
toh bukan manusia lain yang lebih putih dari pada dia, maka dari marah Ang
Ling-po berubah tertawa geli.
“Sungguh
tolol, manusia mana bisa dibandingkan dengan hewan ?” omelnya kemudian, “Ayo,
kita berangkat lagi.”
Habis
ini ia tarik lagi tangan Yo Ko dan diseret ke atas gunung pula, Pada waktu
hampir mendekati jalan yang lurus menuju Tiong-yang-kiong, tiba2 Ang Ling-po
membelok ke barat dari menuju ke arah Hoat-su-jin-bong.
“He,
betul dia hendak mencari Kokoh,” pikir Yo Ko diam-diam.
Selang
tak lama lagi Ang Ling-po mengeluarkan sebuah peta dari bajunya dan berdasarkan
peta ini ia mencari jalannya.
“Sian-koh,”
kata Yo Ko tiba2, “lebih ke depan lagi jalan ini buntu, di dalam rimba sana ada
macannya.”
“Dari
mana kau tahu ?” tanya Ling-po.
“Ya,
di dalam rimba sana ada suatu kuburan raksasa, di dalam kuburan terdapat mayat
hidup dan setan gentayangan siapapun tak berani men-dekatinya,” sahut Yo Ko.
“Ha,
ternyata Hoat-su-jin-bong memang betul ada di sini,” ujar Ang Ling-po girang.
“Kiranya
Ang Ling-po ini belakangan ini telah memperoleh ajaran tingkat terakhir dari
gurunya, Li Bok-chiu, maka ilmu silatnya maju pesat sekali, setelah membantu
gurunya mengalahkan keroyokan kalangan Bu-lim di Soasay, lebih2 ia sangat
bangga diri.
Belakangan
ia dengar cerita tentang asal-usul perguruan sendiri dari Li Bok-chiu, dari itu
ia tahu di Hoat-su-jin-bong masih ada kitab rahasia pelajaran ilmu silat kelas
wahid, terutama “Giok-li-sim-keng”.
Li
Bok-chiu memang seorang yang suka jaga gengsi sendiri, terhadap kejadian2 cara
bagaimana ia diusir terbirit keluar dari Hoat-su-jin-bong ketika dirinya
mengeluruk lagi ke sana, hal ini sama sekali tak diceritakan pada sang murid.
Karena
itu, ketika Ang Ling-po tanya dia kenapa tidak mendatangi kuburan kuno itu
untuk pelajari ilmu silat yang hebat itu, namun selalu Li Bok-chiu menjawabnya
dengan samar2, ia bilang tempat kuburan itu sudah diberikan pada Sumoaynya yang
masih muda dan karena kedua saudara seperguruan tidak akur, maka sudah lama
tiada hubungan satu sama lain.
Walaupun
begitu, Ang Ling-po selalu menghasut sang guru agar pergi mengangkangi
Hoat-su-jin-bong itu, padahal Li Bok-chiu sendiri siang dan malam tidak pernah
melupakan hal itu, hanya perangkap di dalam kuburan itu belum bisa dia
menembusnya, oleh karena itu juga sampai kini ia masih belum berani sembarang
turun tangan. Kini mendengar bujukan sang murid yang begitu bernapsu ia hanya
tersenyum dan tak menjawab.
Sesudah
Ang Ling-po beberapa kali mengemukakan maksudnya dan sang guru tetap tinggal
diam, maka diam2 ia sendiripun mulai mengincar ia telah tanyai keadaan dan
jalan2 yang menuju ke kuburan itu, lalu ia sendiri menyiapkan sebuah petanya.
Kali
ini, pada kesempatan dia diperintah gurunya ke Tiang-an untuk membunuh seorang
musuh, selesai tugasnya, diam2 ia menuju ke Cong-lam-san dan diluar dugaan
telah bertemu dengan Yo Ko.
Kalau
menurut cerita gurunya, katanya sekitar kuburan kuno dilingkari tumbuh2an lebat
dan terputus hubungan dengan dunia luar, Tetapi dia tak tahu bahwa Li Bok-chiu
sebenarnya belum cerita seluruhnya yang betul, padahal kuburan kuno itu masih
ada jalan rahasia lain yang bertembusan dengan dunia luar.
Begitulah,
lalu ia perintahkan Yo Ko membabat belukar yang merintangi jalan dengan
menggunakan kampak curian, dengan cara ini ia mencari jalan yang menuju
Hoat-su-jin-bong.
Sebenarnya
Yo Ko cukup apal jalan yang menembus ke kuburan kuno itu, dengan membabat hutan
belukar seperti apa yang dilakukan ini bukan saja membuang tenaga dan waktu,
bahkan berbahaya pula, Tetapi ia pura2 linglung dan tak mengerti apa2, Ang
Ling-po suruh kerjakan apa, dia lantas lakukan apa. Sampai akhirnya, cuaca sudah
gelap juga, tetapi baru lebih satu li mereka tempuh, jaraknya dengan kuburan
kuno itu masih sangat jauh.
Oleh
karena masih menguatirkan keselamatan Siao-liong-li, maka Yo Ko menjadi tak
sabar, ia pikir tidaklah lebih baik bawa To-koh ini ke sana dan melihat apa
yang hendak dia lakukan, Maka-sengaja ia mem-babat2 beberapa kali lagi, ia
mengincar sebuah batu terus mengampak dengan keras, keruan lelatu api
bercipratan, mata kampak itu segera gumpil pula.
“Ai,
celaka, di sini ada sebuah batu besar, kampaknya telah rusak, tentu nanti aku
bakal dihajar mak-ku !” teriak Yo Ko pura2 takut.
Ang
Ling-po sendiri sebenarnya juga sudah tak sabar melihat cara mereka menempuh
perjalanan ini, agaknya malam ini tidak bisa sampai di kuburan kuno itu, Oleh
karenanya terus-menerus ia rnendamperat: “ToIol, sungguh tolol !”
“Sian-koh,
kau takut setan atau tidak ?” tiba2 Yo Ko bertanya.
“Takut
setan ?” sahut Ling-po, “Hm, setan yang takut padaku, tahu ? - Dengan sekali
tabas nanti kubikin setannya terkurung menjadi dua.”
Yo
Ko pura2 girang oleh jawaban orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar