Jumat, 09 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 16



Kembalinya Pendekar Rajawali 16

“Ya, betul,” sahut Siao-liong-li. “Di dalam kitab pelajaran ini telah dikatakan dengan jelas bahwa waktu berlatih Lwekang seluruh badan orang yang berlatih menjadi panas dan beruap, maka harus dipilih suatu tempat terbuka yang luas dan sepi tanpa orang lain, dengan begitu baru bisa berlatih dengan melepas baju supaya hawa panas badan bisa buyar keluar tanpa tertahan di dalam.
Kalau tidak, tentu hawa panas itu akan tertimbun di dalam badan dan sedikitnya akan bikin orang sakit berat atau mungkin jiwanya akan melayang pula.”
“Jika begitu, marilah kita melatihnya tanpa pakai baju,” sahut Yo Ko tanpa pikir.
Muka Siao-liong-li menjadi merah oleh kata2 ini.
“Tetapi akhirnya kedua orang yang latihan harus membantu satu sama lain dengan hawa murni badannya masing2, kau dan aku berlainan jenis, jika harus berhadapan tanpa pakaian, lalu apa jadinya ?” sahut Siao-liong-li.
Tatkala itu umur Yo Ko sudah menginjak enambelas, walaupun perawakannya tinggi besar, urusan 1aki2 dan perempuan dan soal cinta segala sama sekali ia tidak paham, sedikit belum tahu. Hanya lapat2 ia merasa sang guru ini cantik luar biasa, setiap kali melihat dia dengan sendirinya timbul semacam rasa suka dalam batinnya, ia pikir kalau berhadapan dengan melepas pakaian, agaknya memang tidak baik, tetapi sebab apa tidak baik, inilah dia sendiri tidak dapat menjawab.
Sebaliknya Siao-liong-li sejak kecil sudah hidup di dalam kuburan kuno ini, terhadap segala urusan keduniawian boleh dikatakan lebih tak mengerti daripada Yo Ko. Tahun ini ia sudah berusia 22 tahun, tetapi karena giat berlatih dan tekun belajar, maka segala cita rasa manusia umumnya ternyata sudah terlatih hingga lenyap sama sekali Meski guru dan murid berdua, mereka boleh dikatakan merupakan pasangan gadis cantik dan pemuda tampan, namun siang malam berhadapan, yang satu dingin dan yang lain jujur polos, sedikitpun mereka tak pernah berbuat sesuatu yang melanggar susila.
Kini meski berbicara tentang telanjang bulat untuk melatih silat, merekapun merasakan itu hanya suatu soal sulit saja dan sama sekali tiada pikiran lain yang menyimpang.
“Sudahlah, asal kita berlatih lebih masak lwekang ini, kiranya sudah cukup juga untuk mengalahkan para imam kolot Coan-cin-kau itu. Tentang Lwekang yang sulit ini tak perlu kita mempelajarinya,” ujar Siao-liong-li.
Karena pendapat gurunya ini, Yo Ko mengiakan juga, urusan inipun tidak dia pikirkan lagi.
Hari itu, setelah Yo Ko latihan, ia keluar untuk berburu sebangsa kijang dan kelinci buat rangsum, setelah dapat seekor menjangan kecil kemudian ia meng-uber2 lagi seekor kelinci, siapa tahu kelinci ini ternyata licin luar biasa, binatang ini lari ke sini dan loncat ke sana, meski Ginkang atau ilmu entengkan tubuh Yo Ko kini sudah hebat, namun seketika ternyata tak mampu menyandaknya.
Karena uber2an ini, hati kanak2 Yo Ko menjadi timbul, ia tak ingin melukai kelinci itu dengan Am-gi atau senjata rahasia, pula ia tak mau menangkapnya dengan paksa pakai Kim-na-jiu-hoat (ilmu menawan dan menangkap), tapi ia malah berlomba Ginkang dengan binatang kecil itu, ia ingin bikin kelinci itu kehabisan tenaga dan akhirnya berhenti tak sanggup lari lagi.
BegituIah, maka satu manusia dan satu kelinci terus udak2an dan makin lama semakin jauh hingga melintasi sebuah lereng bukit, kelinci itu tiba2 memutar beberapa kali lalu menyelusup masuk semak2 bunga merah yang tumbuh sangat lebat di sana.
Semak2 bunga merah itu terbentang seluas beberapa tombak jauhnya dan tumbuh lebat dan rapat sekali, baunya pun wangi semerbak, ketika Yo Ko kemudian memutar lewat semak2 bunga ini, nyata kelinci itu sudah menghilang tanpa bekas Iagi.
Sebaliknya Yo Ko melihat semak2 bunga ini bagaikan sebuah pintu angin raksasa saja yang membentang Iebar, bunga2nya tumbuh merah dengan tangkai segar menghijau, sungguh indah sekali, begitu lebat tumbuhnya bunga2 itu hingga mirip sebuah panggung alam.
Sesaat itu pikiran Yo Ko jadi tergerak, lekas2 ia kembali dan mengajak Siao-liong-li datang lagi buat melihat semak2 bunga itu.
“Aku tak suka bunga, jika kau suka, bolehlah kau memain sendiri di sini,” demikian dengan dingin Siao-liong-li berkata.
“Bukan itu maksudku, Kokoh,” sahut Yo Ko menjelaskan keinginannya,” tempat ini justru adalah suatu tempat bagus untuk kita gunakan, tapi siapapun tak bisa melihatnya, Di waktu kau berlatih aku menjaga engkau, kalau aku yang berlatih, engkau yang melindungi aku, bukankah itu sangat bagus ?”
Kiranya diwaktu berlatih Lwekang yang paling hebat, orang harus tekun dengan memusatkan segala pikirannya, terhadap segala kejadian di luar tidak boleh memandang dan tidak boleh melihat, jika ada serangan dari pihak luar, sekalipun tempat yang tidak berarti juga sukar menangkisnya dan pasti akan celaka dan gagal semua ilmu yang dilatihnya. Begitu lihay akibatnya, maka perlu ada orang lain yang menjaganya di samping.
Oleh karena itulah, Siao-Iiong-li merasa apa yang dikemukakan Yo Ko tadi masuk di akal juga, Segera ia panjat ke atas satu pohon dan memandang sekeliling, ia lihat semua penjuru sunyi senyap belaka, yang terdengar hanya suara mata air yang gemercik dan berkicaunya burung, tetapi bayangan manusia satupun tidak kelihatan, nyata tempat ini memang satu tempat yang sangat bagus untuk berlatih ilmu.
“Bagus sekali tempat ini, beruntung kau bisa mendapatkannya, baiklah malam nanti kita datang ke sini mulai berlatih,” demikian katanya kemudian.
Tentang penuntun dasar Giok-li-sim-keng itu memangnya Siao-liong-li sudah apal sekali, maka tanpa susah ia ajarkan kepada Yo Ko. Malamnya antara pukul sebelas mereka lantas mendatangi semak2 bunga yang sangat lebat itu.
Di tengah malam sunyi, bau harum bunga terlebih terasa, Mereka berdua mengambil tempat sendiri2 di dalam semak2 bunga itu, mereka lepas baju dan berlatih Giok-li-sim-keng. Yo Ko ulur tangan kanannya melalui semak2 dan saling menempel dengan telapak tangan Siao-liong-li, dengan demikian bila salah seorang mengalami kesulitan dalam latihan itu, segera pihak yang lain akan terasa dan segera kumpul tenaga buat membantunya.
Sejak itulah malam hari mereka anggap sebagai siang hari dan tekun berlatih, Malam hari latihan di semak2 bunga dan siangnya mengaso di dalam kuburan kuno.
Tatkala itu justru musim panas, tentu saja menjadi lebih segar dan nyaman menggunakan malam hari untuk berlatih, maka dengan cepat lebih dua bulan telah lewat tanpa terjadi sesuatu.
Giok-li-sim-keng itu seluruhnya terbagi dalam sembilan bagian, malam itu, Siao-liong-li sudah melatihnya sampai bagian ketujuh, Menurut kitab Giok-Ii-sim-keng itu, bagian hitungan yang ganjil waktu menjalankan tenaga adalah “lm-cin” atau perempuan yang aktip, sebaliknya bila jatuh angka genap, yang menjalankan tenaga adalah “Yang-dwe” atau laki2 yang pasip, Waktu itu Siao-liong-li sudah sampai bagian ketujuh, sedang Yo Ko sampai bagian keenam.
Dalam pada itu, dengan di-aling2i semak bunga, mereka berdua sedang tekun menjalankan tenaga dalam hingga seluruh badan mereka panas beruap, bunga2 yang mekar itu se-akan2 ter-garang, keruan harumnya semakin semerbak.
Sementara itu rembulan kelihatan sudah berada di tengah cakrawala, lewat setengah jam lagi latihan kedua orang bagian ketujuh dan keenam itu dengan segera akan selesai, pada saat itu juga se-konyong2 dari belakang sana terdengar suara kumandang orang berjalan, terdengar pula ada dua orang sedang bicara.
Apa yang dilatih Yo Ko waktu itu adalah “Yang-dwe” atau bagian yang pasip, maka se-waktu2 ia boleh berhenti latihannya, sebaliknya Siao-liong-li tidak bisa demikian karena yang dilatihnya waktu itu adalah aktip, bila terdapat gangguan, maka akan timbul bahaya besar.
Karena waktu itu Siao-liong-li sedang berlatih sampai titik yang penting, maka terhadap suara tindakan dan bicara orang sama sekali ia tidak mendengarkan, sebaliknya Yo Ko telah mendengar dengan jelas, dalam hati ia heran sekali, Iekas2 ia atur pernapasannya dan berhentikan Iatihannya.
Sementara itu ia dengar kedua orang yang bercakap itu semakin mendekat, suaranya kedengaran sudah dikenalnya, waktu Yo Ko pasang telinga lebih cermat, kiranya kedua orang itu adalah gurunya: Thio Ci-keng dan In Ci-peng adanya.
Suara pembicaraan kedua orang itu semakin menjadi keras, nyata sekali mereka sedang bertengkar.
“ln-sute”, demikian terdengar Thio Ci-keng berkata, “meski kau mungkir lagi juga percuma. Biarlah kulaporkan Khu-supek dan terserah dia untuk memeriksanya sendiri.”
“Dengan sengaja kau mendesak diriku, apakah tujuanmu sebenarnya ?” terdengar In Ci-peng menjawab dengan gusar, “Apa kau kira aku tak tahu, bukankah karena kau ingin menjadi murid pertama dari angkatan ketiga? Dengan begitu ke
Mk kau “bisa menjadi ciangbunjin kita ?”
“Kau sendiri tak patuh pada peraturan suci ini, telah melanggar larangan besar agama kita, mana bisa kau menjadi murid pertama lagi dari angkatan ketiga kita ?” sahut Thio Ci-keng dengan tertawa dingin.
“Larangan besar apa yang kulanggar ?” terdengar In Ci-peng mendebat.
“Larangan ke-4 Coan-cin-kau kita, yaitu: “berjinah !” bentak Ci-keng dengan suara keras.
Yo Ko coba mengintip dari tempat sembunyinya, ia lihat kedua iniam itu berdiri berhadapan muka In Ci-peng tertampak pucat.
“Berjinah apa ?” demikian terdengar Ci-peng menjawab dengan suara berat sambil mengucapkan kata2 ini tangannya meraba pedangnya.
“Sejak kau melihat itu Siao-liong-li dari Hoat-su-jin-bong, bukankah setiap hari kau selalu tak bersemangat siang-malam kau selalu mengenangkan wajahnya, dalam hatimu entah sudah beratus kali atau mungkin ribuan kali ingin sekali memeluk Siao-liong-li untuk dicumbu dan dirayu,” demikian sahut Ci-keng.
“Justru agama kita mengutamakan latihan batin, kini hatimu menyeleweng berpikirnya, apa itu bukan melanggar pantangan berjinah ?”
Terhadap Siao-liong-li yang menjadi gurunya boleh dikatakan Yo Ko menghormat tiada taranya, ia pandang orang se-akan2 dewi kayangan saja, kini mendengar percakapan kedua imam Coan-cin-kau ini, keruan luar biasa gusar dan dendam, walaupun tidak begitu dipahami apa artinya “dicumbu dan dirayu” seperti apa yang dikatakan Thio Ci-keng tadi, tapi ia yakin tentu perbuatan yang busuk,
Sementara ia dengar In Ci-peng telah mendebat lagi dengan suara rada2 gemetar.
“Ngaco-belo, sampai apa yang kupikirkan dalam hati kaupun mengetahuinya ?” demikian sahutnya.
“Hm, apa yang kau pikirkan sudah tentu aku tak tahu, tetapi waktu kau mengigau dalam tidur, apakah tidak mungkin didengar orang lain?” kata Ci-keng dengan mengejek “Dan bolak-balik kau menuliskan nama Siao-liong-li di atas kertas, kau robek kertasnya lalu tulis lagi, apakah perbuatan inipun tidak bisa diketahui orang lain ?”
Karena isi hatinya kena betul dikatai, seketika muka In Ci-peng menjadi lebih pucat lagi, ia bungkam dan tak bisa mendebat pula.
Dilain pihak rupanya Thio Ci-keng jadi mendapat angin, dengan ber-seri2 ia keluarkan selembar kertas putih dan dibeberkan kehadapan Ci-peng.
“lni, apa ini bukan tulisanmu ?” katanya, “Nah, biarlah kita serahkan pada Ma-supek dan gurumu sendiri Khu-supek untuk mengenalinya.”
Karena kata2 yang lebih mirip ancaman ini, Ci-peng tak tahan lagi, dengan cepat pedangnya dilolos terus menusuk ke ulu hati orang.
Namun dengan sedikit mengegos Ci-keng bisa hindarkan serangan itu, ia masukkan kembali kertas tadi ke dalam bajunya.
“Hm, kau ingin bunuh aku untuk menghilangkan saksi bukan ?” ejeknya lagi dengan tertawa dingin. “Tetapi rasanya tidak begitu gampang.”
Ci-peng tidak buka suara puIa, be-runtun2 ia menusuk tiga kali lagi secepat kilat, tapi tiap2 serangannya selalu dapat dihindarkan Ci-keng. Sampai jurus ke-empat, mendadak terdengar suara “trang” yang nyaring, Ci-keng telah lolos senjata juga, maka bertempurlah kedua saudara seperguruan itu dengan serunya disamping semak2 bunga dan di bawah sinar bulan yang terang.
Ci-keng dan Ci-peng sama2 tergolong murid pandai Coan-cin-kau angkatan ketiga, yang satu murid utama Ong Ju-it dan yang lain murid pertama Khu Ju-ki, ilmu silat mereka sebenarnya sama kuatnya.
Tapi In Ci-peng terus-menerus merangsak dengan mati-matian, sebaliknya Thio Ci-keng kadang2 menyelingi pula kata-kata ejekan ditengah pertarungan sengit itu dengan maksud membikin marah lawannya agar terjadi kesalahan2.
Waktu itu Yo Ko sendiri sudah mempelajari semua Kiam-hoat dari Coan-cin-kau, maka demi menyaksikan pertarungan sengit kedua imam ini, ia lihat setiap tipu yang dikeluarkan meski banyak sekali perubahannya, namun tiap2 gerakan selalu dalam dugaannya, Karenanya ia pikir apa yang Kokoh (Siao-liong-li) ajarkan itu ternyata tidak salah.
Sementara itu kedua orang itu sudah saling labrak beberapa puluh jurus lagi, tiap2 tipu yang dilontarkan In Ci-peng semuanya adalah tipu serangan, maka ber-ulang2 Thio Ci-keng terpaksa harus menggeser langkah.
“Hm, apa yang aku bisa, kaupun bisa semua, begitu pula apa yang kau bisa, akupun sudah seluruhnya bisa, kini kau hendak membunuh aku, itulah jangan kau harap selama hidup ini,” demikian Ci-keng mengejek pula.
Dan memang nyata penjagaannya terlalu rapat hingga meski In Ci-peng sudah berusaha menyerangnya dari segala jurusan yang dianggapnya lemah, tapi selalu dapat dipatahkan oleh Ci-keng.
Tak lama kedua orang itu menggeser ke dekat semak2 dimana Siao-liong-li berada, keruan Yo Ko terkejut.
“Kurangajar, jika kedua imam bangsat ini saling labrak sampai di samping Kokoh, tentu keadaan bisa runyam !” demikian pikirnya, Oleh karenanya ia lantas ber-siap2.
Dalam pada itu mendadak Thio Ci-keng melakukan serangan balasan, Ci-peng kena didesak mundur, ia merangsak maju tiga kali, beruntun2 Ci-peng pun mundur tiga langkah.
Diam2 Yo Ko bergirang karena jarak mereka makin menjauh dari tempat gurunya, Diluar dugaan, mendadak In Ci-peng menyerang lagi, ia pindahkan pedang ke tangan kiri dan tangan kanan se-konyong2 memukul ke depan mengarah dada orang.
“Sekalipun kau punya tiga tangan, paling banter kau hanya pandai curi perempuan, tidak nanti kau bisa bunuh diriku,” dengan tertawa Thio Ci-keng menyindir lagi, Habis ini ia angkat tangannya buat menangkis.
BegituIah kembali mereka saling labrak terlebih seru dan lebih sengit daripada tadi.
Sementara Siao-Iiong-Ii masih tekun berlatih, terhadap semua kejadian di luar tetap ia tidak mau tahu dan tidak mau Iihat.
Sebaliknya Yo Ko melihat kedua orang yang lagi saling labrak itu mendekat, dalam hati ia lantas kuatir, dan bila mereka menggeser pergi lagi, ia menjadi lega pula.
Sampai akhirnya, mendadak Ci-peng membentak dengan murka, habis ini ia merangsak maju dengan kalap, dia tidak hiraukan lagi serangan lawan, ia sendiri merangsak dengan hebat.
Nampak Ci-peng sudah nekat, diam2 Ci-keng mengeluh, ia tahu kedudukan Ci-peng memang sulit dan lebih suka ditusuk mati olehnya dari pada rahasianya yang secara diam2 mencintai gadis orang disiarkan walaupun biasanya Ci-keng tidak akur dengan Ci-peng, tetapi sebenarnya tiada maksud buat bunuh orang, karenanya, dengan perubahan Ci-peng yang menjadi nekat, seketika ia sendiri terdesak dibawah angin.
Setelah berapa jurus berlangsung pula, tiba2 Ci-peng membuka serangan lagi, pedangnya menusuk cepat berbareng tangan yang lain menghantam pula, bahkan dia tambah dengan menyapu dengan sebelah kakinya, inilah tipu serangan “sam-lian-hoan” (serangan mata-rantai tiga) yang lihay.
Untuk menghindari lekas2 Ci-keng meloncat ke atas berbareng pedangnya memotong ke bawah, Namun Ci-peng terlebih lihay lagi, se-konyong2 pedangnya ditimpukkan se-keras2nya, menyusul ini kedua tangannya dipukulkan berbareng sekaligus.
Menyaksikan beberapa kali serangan yang mendebarkan hati ini, mau-tak-mau Yo Ko ikut berkeringat dingin, ia lihat tubuh Ci-keng waktu itu masih terapung di udara, mungkin pukulan Ci-peng yang hebat itu akan bikin tulangnya patah dan ototnya putus.
Namun Thio Ci-keng betul2 tidak malu sebagai jago utama anak murid angkatan ketiga Coan-cin-pay, dalam saat yang sangat kepepet dan luar biasa bahayanya, tiba2 ia berjumpalitan di udara terus mencelat mundur sejauh beberapa tombak, lalu dengan enteng ia turun ke bawah.
Menurunnya ini bukan soal tetapi tempat di mana ia akan tancapkan kaki justru tempat sembunyian Siao-Iiong-li, walaupun tidak persis akan menjatuhi kepala orang, namun bila sampai terjatuh ke dalam semak2 bunga itu, sedikitnya tubuh Siao-liong-li yang telanjang bulat sedang berlatih ilmu Giok-Ii-sim-keng itu pasti akan kelihatan di bawah sinar cahaya bulan.
Karena ituIah, luar biasa kaget Yo Ko, tanpa pikir lagi segera ia meloncat ke atas, sebelah tangannya dia ulur untuk menyanggah punggung Thio Ci-keng, lalu dengan gerak tipu “Say-cu-bau-kiu” (singa melempar bola), dengan kuat dia kipatkan ke samping, maka tidak ampun lagi tubuh Thio Ci-peng yang besar terlempar sejauh lebih tiga tombak.
Tetapi waktu turunnya kembali, Yo Ko sendiri tanpa sengaja sebelah kakinya menginjak pada setangkai bunga, karena tergoyangnya tangkai bunga yang sedikit mentul itulah, maka separoh tubuh Siao-liong-li bagian atas sekilas berkelebat juga dibawah sinar bulan yang terang.
Meski tangkai bunga itu dengan cepat dapat merapat kembali, namun karena itu Siao-liong-li jadi terkaget, seketika keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, sesaat pernapasannya jadi terganggu hingga tak bisa dihempas keluar dari perut, maka jatuhlah dia semaput.
Ketika melihat Yo Ko mendadak unjuk diri dan sekilas pula melihat nona yang di-idam2kan siang dan malam itu tahu2 ternyata sembunyi di antara semak2 bunga itu, sesaat itu In Ci-peng jadi terkesima, ia ternganga ragu, apa yang dilihatnya itu entah sungguh2 atau khayal belaka.
Sementara itu Thio Ci-keng sudah sempat tancapkan kakinya ke bawah, sebagai seorang ahli silat, dengan sendirinya pandangan matanya sangat tajam sekali, meski dalam jarak sejauh beberapa tombak, namun sekilas ia sudah dapat melihat juga wajah Siao-liong-li.
“Bagus, bagus ! Kiranya dia sedang main gila dengan laki2 di sini,” demikian segera ia berteriak.
Keruan Yo Ko menjadi gusar.
“Kalian imam busuk ini jangan coba lari, se-kembaliku nanti kubikin perhitungan dengan kalian,” dengan suara geram segera ia membentak.
Berbareng itu cepat ia samber celananya sendiri dan dipakai, lalu ia jemput juga pakaian Siao-liong-li dengan maksud hendak menyerahkan ke-padanya.
“lni pakailah dulu, Kokoh !” serunya-sambil mengangsurkan pakaian Siao-liong-li itu.
Akan tetapi ditunggu-tunggu masih tidak terdengar suara jawaban, juga orang tidak angsur-kan tangan buat menerima baju itu, waktu ia berpaling, diantara semak2 yang remang2 itu ia lihat Siao-liong-li sudah menggeletak roboh.
Tiba2 teringat olehnya Siao-liong-li pernah pesan wanti2 bahwa diwaktu latihan harus menjaga diri sepenuh tenaganya, sekalipun hanya ditubruk atau diterjang seekor kelinci saja pasti akan mengakibatkan malapetaka.
Kini dia terkaget oleh peristiwa tadi, tentu tidak kecil bahaya yang menimpa gurunya ini. Keruan Yo Ko gugup dan kuatir, lekas2 ia jereng baju orang dan dike-muIkan pada badan Siao-liong-li.
Waktu Yo Ko meraba jidatnya, ia merasa dingin sekali seperti es, maka lekas2 ia samber pula bajunya sendiri dan bungkus rapat seluruh tubuh Siao-liong-li dan kemudian dipondongnya.
“Kau tak apa2 bukan, Kokoh ?” demikian ia bertanya dengan kuatir.
Terdengarlah suara sahutan Siao-liong-li yang sangat lemah, lalu nona ini tidak membuka suara lagi. Namun demikian, sedikit lega juga hati Yo Ko.
“Marilah kita pulang dulu, Kokoh,” kata Yo Ko pula, “Nanti kudatang lagi buat bunuh kedua imam bangsat ini.”
Namun seluruh badan Siao-liong-li ternyata lemas tak bertenaga sedikitpun, ia hanya meggelendot dalam pelukan Yo Ko, Maka berjalanlah Yo Ko dengan langkah lebar melalui samping kedua imam Coan-cin-kau itu.
Ternyata In Ci-peng masih terpesona dengan berdiri menjublek di tempatnya, sebaliknya Thio Ci-keng lantas tertawa ter-bahak2.
“Hahaha, In-sute, jantung hatimu itu telanjang bulat sedang melakukan perbuatan yang tidak tahu malu dengan orang lain di sini, daripada kau hendak bunuh aku, tidakkah lebih baik kau bunuh saja dia (maksudnya Yo Ko) !” demikian ia berolok-olok.
Namun In Ci-peng anggap tidak mendengar ia tidak gubris dan tetap bungkam.
Mendengar kata2 “perbuatan yang tidak tahu malu” yang diucapkan Thio Ci-keng tadi, meski Yo Ko masih hijau pelonco dan tidak paham apa maksud orang sebenarnya, namun ia yakin pasti kata2 caci-maki yang sangat keji. Maka ia naik darah juga, dalam gusarnya ia letakkan Siao-liong-li tanah, ia biarkan gurunya ini bersandar pada satu pohon dan betulkan bajunya yang membungkus tubuhnya, lalu dengan menjemput setangkai kayu segera ia dekati Ci-keng.
“Kau membacot apa tadi ?” damperatnya segera sambil menuding dengan kayunya.
Semula sebenarnya Ci-keng tidak tahu bahwa laki2 yang berada bersama dengan Siao-liong-li itu ialah Yo Ko, sebab sudah lewat dua tahun, tubuh Yo Ko sudah tumbuh menjadi jejaka cakap, kini sesudah Yo Ko bersuara untuk kedua kalinya, pula mukanya menghadap sinar bulan, maka tertampak jelas olehnya bahwa orang ini kiranya adalah muridnya sendiri.
Tadi waktu dirinya sedang terapung di udara malah kena dibanting pergi olehnya, keruan ia menjadi malu tercampur gusar,
“Ha, Yo Ko, kiranya kau si binatang cilik ini!” segera ia membentak memaki.
“Hm, kau mencaci maki aku tidak mengapa, tapi kenapa kau memaki juga aku punya Kokoh ?” jawab Yo Ko.
Namun kembali Ci-keng bergelak tertawa.
“Haha, orang bilang Ko-bong-pay turun-temurun hanya kepada wanita dan tidak menurun kepada pria, katanya tiap2 murid suci bersih tetap perawan, siapa tahu secara diam2 berbuat begini kotor dan rendah, mengeram anak 1aki2 dan melakukan perbuatan terkutuk secara blak2an di tempat terbuka seperti ini!” demikian ia ber-olok-olok dan memfitnah pula.
Belum lagi Yo Ko paham maksud kata-kata orang, saat itu juga Siao-Iiong-li baru siuman kem-bali, demi mendengar fitnahan kotor itu, dalam marahnya napasnya yang sudah teratur kembali itu tiba2 terasa sesak lagi di dada, ia tahu dirinya telah terluka parah dalam, Dan baru saja ia mendamperat: “Tutup bacotmu, kami tidak…”
Mendadak darah segar menyembur dari mulutnya seperti pancuran air.
Kaget sekali Yo Ko dan In Ci-peng, keduanya memburu maju serentak.
“Kenapakah kau ?” tanya Ci-peng. Lalu ia membungkuk dengan maksud hendak memeriksa keadaan Siao-liong-li.
Tapi Yo Ko menyangka Ci-peng bermaksud jahat, tanpa pikir ia ayun tangannya terus menghantam dada orang.
Sudah tentu In Ci-peng tidak tinggal diam, ia angkat tangannya buat menangkis, Tak terduga, setiap gerak tipu serangan Coan-cin-kau boleh dikata sudah dipahami semua oleh Yo Ko, maka begitu telapak tangannya membalik seketika tangan Ci-peng malah kena terpegang, segera Yo Ko mendorong dan dilepaskan, kontan Ci-peng kena disengkelit pergi.
Kalau soal ilmu silat sejati sebenarnya Yo Ko belum lebih unggul dari pada Ci-peng, cuma dahulu sewaktu Lim Tiao-eng menciptakan ilmu silatnya yang khusus buat mematahkan tipu serangan silat Coan-cin-kau, setiap gerakan dan setiap tipu melulu dipergunakan untuk melawan Coan-cin-pay.
Pula sejak ciptaannya ini berhasil selama itu belum pernah dipergunakan maka anak murid Coan-cin-kau selama itu juga belum tahu bahwa di jagat ini ternyata ada semacam kepandaian yang khusus dapat mengalahkan ilmu silat mereka.
Kini kepandaian luar biasa itu mendadak dikeluarkan Yo Ko, sudah tentu In Ci-peng tidak mampu bertahan, walaupun ia tidak sampai jatuh terjengkang, namun tubuhnya telah terlempar sejauh beberapa tombak dan berdiri sejajar dengan Thio Ci-keng.
“Sudahlah tak perlu kau gubris mereka, Kokoh, biar aku pondong kau pulang dahulu.” Yo Ko berkata.
“Tidak-tidak,” sahut Siao-liong-Ii dengan napas memburu, “kau bunuh saja mereka, supaya… supaya mereka tak bisa siarkan di luaran bahwa… bahwa kita…”
“Baiklah,” kata Yo Ko tanpa menunggu perintah lagi, Segera ia angkat tangkai kayunya tadi, sekali bergerak, segera ia tutulkan ke dada Thio Ci-keng.
Sudah tentu Ci-keng tidak pandang sebelah mata pada Yo Ko, pedangnya bergerak, segera ia bermaksud memotong tangkai kayu orang.
Tak terduga Kiam-hoat Ko-bong-pay yang dimainkan Yo Ko ini justru merupakan lawan keras yang tiada bandingannya dari Coan-cin-kiam-hoat, begitu Yo Ko sedikit sendal ujung kayunya, se-konyong2 tangkai kayu itu seperti bisa melengkung dan tahu2 menerobos lewat terus menutul Hiat-to pergelangan tangan Ci-keng.
Begitu cepat serangan ini hingga tiba2 Ci-keng merasakan tangannya kesemutan, diam2 ia mengeluh Dalam pada itu, serangan susulan Yo Ko sudah dilontarkan lagi, sekali ini telapak tangan kirinya hendak menempeleng pipinya.
Gerak tempelengan ini caranya ternyata sangat aneh, yakni tahu2 datang dari jurusan yang tak ter-sangka2. jika Ci-keng ingin pertahankan pedangnya, maka dia harus terima ditempeleng mentah2, sebaliknya kalau mau berkelit, maka pedangnya tidak boleh tidak harus terlepas dari tangan.
Namun ilmu silat Ci-keng sudah terlatih cukup sempurna, meski berada dalam kedudukan berbahaya, sedikitpun ia tidak jadi bingung, ia lepas tangan buang pedang, berbareng kepala menunduk menghindarkan pukulan, bahkan menyusul tangan kirinya terus diulur maju, dalam sekejap ia bermaksud merebut kembali pedangnya yang dia lepaskan itu.
Tetapi lagi2 tak terduga bahwa beberapa puluh tahun yang lalu Lim Tiao-eng yang menciptakan ilmu silat yang lihay itu sudah memperhitungkan lebih dulu akan adanya perubahan gerakan ini, terhadap segala kemungkinan perubahan tipu lihay dari Coan-cin-pay, semuanya sudah dia atur cara2 untuk melanyaninya.
Dengan tipu serangan balasan buat merebut kembali pedangnya, Thio Ci-keng mengira bisa merubah kalah menjadi menang. Tapi sama sekali tak diduganya bahwa Yo Ko dan Siao-liong-Ii justru sudah apal dengan cara2 untuk mematahkan tipunya ini, hanya melihat tangannya bergerak segera Yo Ko tahu ke mana Ci-keng hendak mengarah. Maka segera ia mendahului, dengan pedang yang dapat rebut dari Ci-keng itu ia menabas tangan lawan.
Karuan saja tidak kepalang kaget Ci-keng, lekas2 ia tarik kembali tangannya.
Walaupun demikian, namun sudah terlambat juga, tahu2 ujung pedang Yo Ko telah menempel di dadanya, “Rebah !” bentak Yo Ko sambil kaki menjegal.
Karena tempat berbahaya terancam, Thio Ci-keng jadi tak bisa berkutik, apalagi ditambahi pula dengan terjegal kakinya, tanpa ampun lagi ia jatuh terlentang.
Dengan segera pula Yo Ko angkat pedangnya terus menusuk ke perut orang.
Diluar dugaan, mendadak dari belakang terdengar suara samberan angin, nyata ada senjata telah menusuk punggungnya.
“Berani kau bunuh guru sendiri ?” terdengar suara bentakan keras In Ci-peng.
Serangannya ini mengarah tempat yang harus dihindari apabila Yo Ko tetap meneruskan tusukannya hingga Ci-keng dibinasakan maka ia sendiripun akan tertembus oleh pedang In Ci-peng. Karena itu, tanpa pikir Yo Ko putar kembali pedangnya buat menangkis, maka terdengarlah suara “trang” yang nyaring, kedua pedang telah saling bentur.
Nampak balikan senjata orang begitu cepat lagi jitu, mau-tak-mau In Ci-peng memuji juga di dalam hati sementara itu mendadak terasakan pula pedangnya sendiri telah kena ditarik pergi seperti melengket dengan senjata orang, dalam kagetnya lekas2 Ci-peng kumpulkan tenaga dalamnya untuk menarik kembali sekuatnya.
Tenaga Ci-peng dengan sendirinya lebih kuat daripada Yo Ko, maka dengan segera pedang Yo Ko kena ditarik ke jurusan Iain, Di luar dugaan, justru hal ini sengaja dilakukan Yo Ko untuk memancingnya, sebab begitu orang menarik mendadak ia malah lepaskan senjatanya sendiri menyusul kedua telapak tangannya dipukulkan berbareng ke dada orang, sedang batang pedangnya juga mental ke depan, dengan demikian serangannya sekaligus datang dari tiga jurusan, yakni kedua telapak tangan dan satu pedang. Dalam keadaan demikian, lebih tinggi lagi ilmu silat In Ci-peng juga sukar hendak menangkis tipu serangan yang aneh luar biasa ini.
Dibawah ancaman elmaut ini, terpaksalah In Ci-peng melepaskan senjatanya sendiri dan tekuk tangannya, dengan tangan melintang di dada lekas2 ia paksakan diri buat menangkis serangan orang yang hebat tadi, tapi karena tangannya ter-tekuk terlalu rapet hingga sukar mengeluarkan tenaga besar, syukur latihan Yo Ko juga belum mendalam, maka kedua tulang tangannya tidak sampai dipatahkan, walaupun demikian, dadanya juga terasa sakit sekali karena getaran pukulan itu dan kedua lengannya pegal linu, cepat ia lompat mundur beberapa tindak, dengan mengatur pernapasannya ia coba lindungi Hiat-to penting di dadanya itu.
Sementara itu, demi kedua pedang lawan terebut semua olehnya, segera Yo Ko melakukan rangsakan pula.
Hanya beberapa gebrakan saja, Ci-keng dan Ci-peng telah dibikin kalang kabut oleh seorang pemuda “anak kemarin”, mereka terperanjat lagi gusar, mereka tak berani ayal lagi. Segera mereka berdiri sejajar dan mengeluarkan ilmu menjaga diri saja dan tidak menyerang, tiap2 serangan lawan selalu dipatahkan, dengan demikian supaya mereka menyelami sampai dimana kelihayan musuh,
Dengan perubahan siasat ini, kini Yo Ko tak bisa se-mau2nya lagi seperti tadi, sekalipun ia bersenjata, namun kedua lawannya bertahan dengan rapat, bagaimanapun ia menyerang tetap tak sanggup menembus pertahanan mereka.
Sungguhpun Kiam-hoat Ko-bong-pay diciptakan sebagai penunduk ilmu pedang Coan-cin-kau, tetapi kesatu karena Ci-keng dan Ci-peng jauh lebih ulet dari pada Yo Ko, kedua, mereka bertahan bersama, ketiga, mereka hanya menjaga diri saja dan tidak balas menyerang, maka akhirnya Yo Ko berbalik tak berdaya.
Meski kedua pedangnya masih me-layang2 kian kemari, tapi lambat laun ia sendiri malah terdesak di bawah angin, apalagi tenaga pukulan Thio Ci-keng teriak berat dan kuat, pelahan senjata Yo Ko malah kena tertekan ke bawah.
Dalam pada itu Ci-peng sudah bisa menenangkan dirinya diam2 ia pikir apa orang akan berkata bila mengetahui dua orang tua mengerurbut seorang anak kecil ? Kini tampaknya pihak dirinya sudah dalam kedudukan tak terkalahkan pula hatinya sesungguhnya sangat menguatirkan keadaan Siao-liong-li, Maka tiba2 ia membentak “Yo Ko, lekas kau bawa pulang Kokoh-mu saja, untuk apa kau masih terus membabi-buta berkelahi dengan kami ?”
“Kokoh benci cara kalian mengoceh tak keruan dan suruh aku membunuh kalian,” jawab Yo Ko.
Mendadak In Ci-peng menghantam sehingga pedang kiri Yo Ko terguncang ke samping, berbareng Ci-peng melompat mundur tiga tindak lagi berseru : “Bethenti dulu l”
“Apa kau ingin kabur ?” kata Yo Ko.
“Yo Ko,” jengek In Ci-peng, “kau ingin membunuh kami, memangnya kau mampu ? Cuma untuk membuat lega hati Kokohmu, biarlah aku berjanji bahwa kejadian hari ini pasti takkan ku siarkan, jika sampai kusiarkan sepatah saja segera kubunuh diri, kalau mungkir janji biarlah serupa jari ini.” sampai di sini mendadak ia menyerobot maju dan merampas sebuah pedang Yo Ko terus menabas kutung dua jari tangan kiri sendiri.
Beberapa gerakan In Ci-peng itu dilakukan dengan cepat luar biasa, sedikitpun Yo Ko tidak menduga dan tidak berjaga, seketika ia menjadi kesima, tapi segera iapun tahu ucapan In Ci-peng itu memang timbul dari hati yang tulus, ia pikir untuk mengalahkan Ci-peng berdua memang sulit, ada lebih baik bunuh saja orang she Thio itu lebih dulu, habis itu baru kubunuh orang she In ini.
Walau usia Yo Ko masih muda, tapi pikirannya sangat cerdik, segera ia membentak: “Orang she In ini, apa gunanya kau mengutungi jari tanganmu, jika kau memenggal kepalamu sendiri barulah tuanmu mau percaya padamu.”
Ci-peng menjawab dengan menyeringai: “Menghendaki jiwaku, hehe, boleh juga asalkan, Kokohmu membuka suara sepatah kata saja.”
“Baik !” kata Yo Ko sambil melangkah maju, tapi mendadak pedangnya menusuk kebelakang mengarah dada Thio Ci-keng.
Tipu serangan ini lihay luar biasa, Saat itu Ci-keng lagi mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian, sama sekali tak menduga akan diserang secara mendadak ketika dia menyadari apa yang terjadi namun ujung pedang menempel ulu hatinya.
Di sini tertampak juga betapa hebat kepandaian Ci-keng, sebisanya dia menarik napas sehingga perutnya seakan-akan mendekuk dua-tiga senti ke dalam, berbareng sebelah kakinya terus menendang, dalam keadaan kepepet ternyata dia dapat mengubah keadaan menjadi kemenangan, pedang Yo Ko tertendang terbang ke udara.
Namun Yo Ko juga tidak kalah lihaynya, sebelum kaki orang tertarik mundur, cepat ia tutuk Hiat-to dengkul musuh dengan tepat Meski Ci-keng berhasil menyelamatkan jiwanya, tapi ia tidak sanggup berdiri lagi, dengan sebelah kaki ia bertekuk lutut di depan Yo Ko.
Pada saat lain Yo Ko sempat menangkap kembali pedang yang mencelat ke udara tadi, dengan ujung pedang itu ia tuding tenggorokan Ci-keng dan membentak: “Aku pernah mengangkat dan menyembah padamu, sekarang kau bukan lagi guruku, lekas kau menyembah kembali padaku!”
Sungguh tidak kepalang gusar Ci-keng sehingga mukanya merah padam, Ketika Yo Ko sedikit tekan pedangnya, ujung pedang menusuk masuk satu senti ke dalam daging lehernya dan menimbulkan sakit.”
Dengan bandel Ci-keng mendamperat: “Mau bunuh boleh bunuh, untuk apa banyak omong ?”
Baru saja Yo Ko hendak menusukkan pedangnya lebih keras, tiba-tiba terdengar Siao-liong-li berkata: “Ko-ji, membunuh guru sendiri tidak membawa berkah, Boleh kau suruh dia bersumpah takkan menyiarkan kejadian ini, lalu boleh boleh mengampuni dia.”
Yo Ko mematuhi ucapan Siao-Iiong-li seperti titah malaikat dewata, tanpa pikir segera ia membentak Ci-keng: “Nah, lekas kau bersumpah!.”
Dalam keadaan demikian, sungguhpun tidak kepalang rasa gusar Thio Ci-keng, namun apa da-ya, selamatkan jiwa paling perlu, Maka berkatalah dia : “Asal aku tidak biIang2, buat apa bersumpah segala ?”
“Tidak bisa, harus bersumpah berat,” sahut Yo Ko.
Mau-tak-mau Ci-keng harus menurut
“Baik, kejadian ini, hanya kita berempat saja yang tahu. jika aku sampai mengatakan pada orang kelima, biarlah badanku sial dan namaku rusak, diusir keluar perguruan dan tidak akan diampuni sesama orang Bu-lim, akhirnya mati tak teram-punkan !” demikian sumpahnya kemudian,
Yo Ko dan Siao-liong-li sama2 belum paham seluk-beluk orang hidup, mereka mengira orang betul2 telah bersumpah berat, sebaliknya In Ci-peng menarik kesimpulan bahwa diantara sumpah itu tersembunyi akal licik, sebenarnya ia hendak peringatkan Yo Ko, namun merasa salah juga, karena tidak baik terang2an membantu orang luar.
Sementara ia lihat Yo Ko telah pandong Siao-liong-Ii dan dengan langkah cepat melintasi lereng bukit sana, Saking terkesimanya, meski darah segar dari luka jarinya yang kutung tadi masih mengucur tak terasakan sakit olehnya.
Di lain pihak, setelah Yo Ko pondong Sao-liong-li kembali ke kuburan kuno mereka, ia letakkan gurunya ini di atas ranjang batu pualam dingin.
“Aku terluka parah, darimana ada kekuatan melawan hawa dingin itu ?” dengan menghela napas Siao-liong-Ii berkata.
Yo Ko bersuara kaget, ia menjadi kuatir, pikirnya diam2: “Kiranya Kokoh begini berat lukanya.”
Karena itu, dia lantas pondong Siao-Iiong-li ke bekas kamarnya Sun-popoh. Tetapi baru saja Siao-Iiong-li rebah, kembali ia menyemburkan darah segar pula, tatkala itu Yo Ko masih belum memakai bajunya, keruan seluruh dadanya penuh tersemprot darah.
Siao-liong-li coba pejamkan mata buat mengatur pernapasan dengan maksud menutup urat nadinya, siapa tahu otot darahnya yang sudah terluka itu semakin dia gunakan tenaga dalam, luka itu semakin hebat, darah segarpun menyembur terus menerus.
Sudah tentu Yo Ko kelabakan, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, hanya air mata saja yang bercucuran.
“Asal darahku sudah habis keluar, dengan sendirinya akan berhenti, untuk apa kau berduka,” dengan senyum tawar Siao-liong-li coba menghibur padanya.
“Kokoh, jangan kau mati,” kata Yo Ko.
“Ha, kau sendiri takut mati bukan ?” kata Siao-liong-li.
“Aku ?” tukas Yo Ko bingung.
“Ya, sebab sebelum aku mati, sudah tentu kubunuh kau dahulu,” kata Siao-liong-li pula.
Apa yang dikatakan ini dua tahun yang lalu sudah pernah diucapkannya juga, sebenarnya Yo Ko sudah lama melupakannya, tak dinyana sekarang Siao-liong-li mengulangi kata2 itu 1agi.
“Jika aku tidak bunuh kau, setelah mati cara bagaimana aku harus menemui Sun-popoh ?” kata Siao-liong-li demi nampak muka Yo Ko mengunjuk heran dan kaget “Dan kau seorang diri hidup di dunia ini, siapa lagi yang akan menjaga kau ?”
Pikiran Yo Ko sudah kusut, saking ruwetnya hingga ia tak tahu bagaimana menjawabnya.
Dalam pada itu Siao-liong-li masih terus muntahkan darah, tapi sikapnya ternyata sangat tenang, ia anggap saja bukan soal apa-apa.
Tiba2 tergerak kecerdasan Yo Ko, ia ber-lari2 pergi mengambil semangkok madu tawon dan di-cekokan pada Siao-liong-li.
Khasiat madu tawon itu untuk menyembuhkan luka dalam ternyata sangat mujarab, selang tak lama, Siao-liong-li tidak muntah darah lagi, ia rebah di ranjang dan akhirnya terpuIas.
Melihat gurunya bisa tidur, hati Yo Ko rada lega, ia sendiri sudah letih ditambah rasa kuatir pula, sesungguhnya diapun tak tahan lagi, maka sambil berduduk di lantai, ia bersandar pada dinding dan akhirnya ia pun tertidur.
Sampai suatu saat entah sudah lewat berapi lama, se-konyong2 Yo Ko terjaga dari kantuknya karena terasa lehernya sendiri rada dingin, dalam kagetnya segera ia meleki matanya, ia sudah beberapa tahun tinggal di dalam kuburan kuno itu, meski dia tak dapat melihat sesuatu benda dalam kegelapan seperti siang hari seperti kepandaian Siao-liong-Ii, tapi untuk mondar-mandir di dalam kuburan yang gelap itu sudah tidak memerlukan sinar lampu lagi
Demi matanya terpentang, tertampaklah olehnya Siao-liong-li duduk di pinggir ranjang, tangannya mencekal pedang dan ujung senjata ini tepat ditudingkan ketenggorokannya, maka terasa dingin.
“Kokoh !” teriak Yo Ko kaget.
“Ko-ji,” dengan sikap tawar Siao-liong-li berkata padanya, “lukaku ini terang tak akan bisa baik, maka kini juga kubunuh kau, marilah kita pergi bersama untuk menemui Sun-popoh!”
Sungguh bukan buatan kejut Yo Ko, ia berteriak lagi memanggil: “Kokoh!”
“Dalam hati kau sangat ketakutan, bukan ?” Siao-liong-li berkata lagi “jangan takut, hanya sekali saja sudah cukup, cepat sekali.”
Tiba2 Yo Ko lihat mata Siao-liong-li memancarkan sinar yang aneh, ia tahu dengan segera orang pasti akan turun tangan, dalam saat demikian ini, keinginan buat pertahankan hidup menjadi berkobar, iapun tidak hiraukan Iain2 lagi, dengan sekali jatuhkan diri kesamping, kakinya berbareng melayang hendak menendang senjata yang dipegang Siao-liong-Ii.
Siapa tahu meski luka Siao-liong-li susah disembuhkan namun gerak tangannya masih gesit dan cepat luar biasa, begitu tubuhnya miring sedikit dapatlah ia hindarkan tendangan orang dan kembali ujung pedangnya menuding di tenggorokan Yo Ko. Beberapa kali lagi Yo Ko ganti ti-punya buat meloloskan diri, tapi setiap gerak tipunya semuanya diperoleh dari petunjuk2 Siao-liong-li sendiri sudah tentu ke mana ia hendak pergi selalu dalam dugaannya, pedang Siao-liong-li selalu membayanginya dan tidak pernah berjarak lebih jauh dari tiga inci di depan lehernya.
Saking takutnya hingga Hyo Ko mandi keringat dingin, Diam2 ia mengeluh: “Celaka, jika hari ini tak bisa menyelamatkan diri, akhirnya aku pasti akan dibunuh Kokoh.”
Karena kepepet, se-konyong2 ia angkat kedua tangannya memukul ke depan sekaligus, ia pikir dalam keadaan luka tentu Siao-liong-li tak bertenaga dan tentunya kurang kuat untuk mengadu tangan dengan dirinya.
Rupanya Siao-liong-li mengetahui juga maksud tujuannya, ia hanya sedikit miringkan tubuh saja dan membiarkan tenaga pukulan itu susul menyusul menyambar lewat di atas pundaknya, Habis ini mendadak ia berseru : “Ko-ji tak perlu kau melawan lagi!”
Berbareng itu, mendadak pedang diluruskan ujung senjata ini tergetar beberapa kali, lalu dengan tipu “hun-hoa-hut-liu” (memisahkan bunga mengebut pohon liu), seperti mengarah ke kiri, tapi tahu2 menjurus ke kanan, leher Yo Ko se-konyong2 sudah ditempel oleh ujung pedang.
Dan selagi Siao-liong-li hendak menyurung senjatanya ke depan, dengan demikian tenggorokan Yo Ko pasti akan tertusuk tembus, Diluat dugaan, mendadak seluruh tubuhnya menjadi lemas dan lumpuh, “trang”, terdengar suara nyaring, pedang jatuh ke lantai, menyusul tubuhnya ikut roboh dan pingsan.
Ketika Siao-liong-li menusukkan pedangnya tadi Yo Ko sudah pejamkan mata menantikan kematian, siapa tahu pada saat yang menentukan itu mendadak Siao-liong-li jatuh pingsan, Keruan Yo Ko tertegun, sungguh dia boleh dikatakan lolos dari lubang jarum, lekas2 ia merangkak bangun, tanpa hiraukan apa yang bakal terjadi lagi, dengan langkah cepat segera ia lari keluar kuburan kuno itu.
Begitu ia injak keluar pintu kuburan, tertam-paklah olehnya sinar sang surya yang menyilaukan mata, angin meniup sepoi2, burung berkicauan di atas pohon, nyata bukan lagi suasana yang gelap seram seperti di dalam kuburan kuno tadi.
Dalam keadaan masih ber-debar2, Yo Ko kuatir kalau2 Siao-liong-li mengejarnya dari belakang, maka ia angkat langkah seribu lebih jauh, dengan menggunakan Ginkang ia lari cepat ke bawah gunung.
Kini tenaga dalamnya sudah terlatih kuat dan penuh, meski ilmu silatnya belum terlatih sampai puncaknya kesempurnaan, tapi sudah terhitung jago kelas atasan di kalangan Bu-lim. Dengan cara larinya yang cepat itu, pula jalan pegunungan yang menurun dengan sendirinya lebih cepat daripada menanjak, maka pada lohor itu juga ia sudah sampai di kaki gunung.
Melihat Siao-liong-li tidak mengubernya, barulah Yo Ko merasa lega, kini dia baru berani lambatkan langkahnya untuk melanjutkan perjalanan.
Ia jalan dan jalan terus, akhirnya ia merasa lapar, perutnya sudah keroncongan, sudah berkeruyukan, ia pikir harus mencari rumah penduduk untuk membeli sedikit penganan buat tangsal perut, tetapi ketika dia rogoh sakunya, nyata duit tak ada, satu mata uang saja tidak gableg.
Namun Yo Ko tidak kurang akal, sudah sejak kecil ia terlunta-Iantung di kalangan Kangouw, kepandaiannya mencari pangan sudah sangat besar, ketika ia melongok sekitarnya, tertampaklah olehnya di lereng bukit sebelah barat sana banyak tanaman jagung, segera ia menuju ke sana dan memetiknya beberapa buah jagung itu.
Jagung itu belum cukup tua, tetapi sudah bisa dimakan, Yo Ko kumpulkan sedikit kayu kering, sedang akan menyalakan api buat bakar jagung, tiba2 terdengar di belakangnya ada suara keresekan pelahan, nyata ada orang sedang jalan mendekatinya.
Lekas2 Yo Ko miringkan tubuh dengan maksud meng-aling2i jagung colongan itu agar tidak dilihat orang apabila yang datang ini adalah penduduk setempat, tetapi ketika ia melirik, ternyata yang datang ini adalah seorang To-koh yang masih muda jelita, To-koh atau imam wanita ini memakai jubah kuning langsat, langkahnya enteng dan bergaya manis seperti bidadari yang baru turun dari kayangan.
Yo Ko melirik lebih jauh, ia lihat di punggung To-koh itu terselip dua batang pedang, gagang senjata yang bertali sutera berwarna merah darah itu menambah kecantikan si To-koh, jelas sekali To-koh ini pandai ilmu silat.
Yo Ko pikir tentu orang ini adalah imam yang hendak naik ke Tiong-yang-kiong, besar kemungkinan adalah murid jing-ceng Sanjin Bun Put-ji, itu imam wanita satu2nya dari Coan-cin-ciat-cu.
Karena Yo Ko tak ingin mencari onar, maka ia sengaja menunduk kepala dan menyalakan api lagi.
Sesudah dekat di samping Yo Ko, mendadak To-koh itu berhenti
“Eh, adik cilik, mana jalannya kalau hendak naik ke atas gunung ?” tiba2 ia bertanya.
“Aneh”, diam2 Yo Ko heran, “Jika perempuan ini adalah anak murid Coan-cin-kau, mengapa dia tak kenal jalan ke atas gunung? Hah, tentu dia tidak mengandung maksud baik !”
Karena itu tanpa menoleh ia menunjuk ke atas gunung dan menjawab : “lkut saja jalan besar ini terus ke atas.”
Melihat baju Yo Ko compang-camping dan jongkok di pinggir jalan sedang membakar jagung, To-koh itu mengira Yo Ko adalah anak petani.
Biasanya To-koh ini sangat bangga dengan kecantikannya sendiri, lelaki mana saja bila meIihat dia pasti akan terpesona hingga mata tak berkesip, tetapi pemuda desa ini ternyata hanya melirik sekali saja padanya lalu tidak memandang buat kedua kalinya, nyata kecantikannya dianggap seperti rupa wanita pegunungan saja, diam2 To-koh itu rada mendongkol.
Akan tetapi segera ia berpikir pula: “Ah, orang desa semacam ini tahu apa ?”
Karena itu, ia lantas membuka suara lagi : “He, berdirilah, aku ingin tanya padamu.”
Tetapi Yo Ko sudah terlanjur berpikir jelek terhadap semua orang Coan-cin-kau, dia tidak mau menggubrisnya lagi, ia pura2 tuli dan berlagak bisu.
“Hei, anak tolol, apa yang kukatakan kau dengar tidak ?” To-koh itu menanya lagi.
“Dengar, cuma aku malas berdiri,” sahut Yo Ko.
Karena jawaban ini To-koh itu tertawa geli.
“He, lihatlah kau, ini, lihat dulu padaku, aku lah yang suruh kau berdiri!” dengan tertawa merdu ia berkata pula.
Suara ucapannya ini begitu halus dan genit pula, rasanya menis lagi berminyak.
Keruan mau-tak-mau hati Yo Ko terkesiap, “He, kenapa suara wanita ini begitu aneh,” demikian ia membatin.
Lalu ia mendongak dan tertampak olehnya wanita ini berkulit putih bersih, kedua pipinya bersemu merah, sinar matanya bening dan sedang memandang mesra padanya, Yo Ko menunduk lagi untuk menyalakan api pembakaran jagungnya.
Demi nampak muka Yo Ko yang masih bersifat hijau, sudah melihat dirinya untuk kedua kalinya, namun sedikitpun tetap tidak terguncang hatinya, maka bukannya marah, sebaliknya si To-koh tertawa geli.
“Eh kiranya anak yang masih pelonco, kebetulan dapat kuperalat dia sebagai pembantu,” demikian pikirnya.
Karena pikiran ini, dari bajunya segera ia mengeluarkan dua renceng uang perak dan sengaja dikocok-2 hingga menerbitkan suara gemerincing yang nyaring, dengan uang perak ini ia coba mengiming-imingi Yo Ko.
“Adik cilik, asal kau turut perkataanku, dua renceng perak ini segera kuberikan padamu,” katanya kemudian.
Yo Ko sangat cerdik, sebenarnya dia tidak ingin cari penyakit, tetapi demi mendengar kata2 orang semakin aneh, akhirnya ia tertarik juga dan ingin tahu cara bagaimana orang akan perlakukan dkinya, maka sekilas ia sengaja pura2 tolol dan berlagak bodoh, dengan rasa tercengang ia pandang kedua renceng perak itu.
“Eh, barang mengkilap ini apa namanya ?” dengan sikap dungu ia sengaja tanya.
Kembali To-koh itu tertawa geli oleh kebodohan “anak udik” ini.
“lni uang perak.” sahutnya kemudian. “Kau ingin pakaian baru, ingin ayam goreng, nasi liwet, semuanya dapat dibeli dengan ini!”
“Ah, kembali kau justai aku lagi, aku tak percaya,” kata Yo Ko dengan air muka seperti orang linglung.
“Kapankah pernah aku mendustai kau ?” sahut imam wanita itu dengan tertawa pula, “He, siapa namamu ?”
“Aku bernama Sah Thio (Thio si tolol), apa kau belum kenal ?” jawab Yo Ko dengan nama palsunya, “Dan kau sendiri bernama siapa ?”
“Ah, tak usah tanya, panggil saja Sian-koh (bibi dewi),” sahut si To-koh. “Dimana makmu ?”
“Buat apa kau tanya mak-ku ?” berbalik Yo Ko tanya. “Dia sedang mencari kayu di atas gunung.”
“Ha, kebetulan, akupun ingin naik ke atas gunung,” kata To-koh itu. “Pakaianku ini tidak baik di pakai ke sana, pergilah kau mengambilkan baju mak-mu dan pinjamkan padaku !”
Luar biasa heran Yo Ko oleh kelakuan orang. Tetapi lahirnya ia unjuk muka tololnya semakin mirip, ber-ulang2 ia geleng kepala oleh bujukan orang tadi.
“Tidak, tak berani aku, mencuri baju mak, nanti aku pasti akan dihajar, kalau menghajar, mak-ku menggunakan palang pintu,” sahutnya dengan lagak lucu.
“Begitu melihat uang perak ini, mak-mu pasti akan kegirangan, tentu kau tak takkan dipentung lagi,” ujar si To-koh dengan tertawa.
Berbareng itu, sekali tangannya bergerak, se-renceng uang perak itu segera dia lemparkan pada Yo Ko.
Yo Ko ulur tangannya buat menangkap, tetapi dia sengaja membiarkan rencengan perak itu tertimpuk pada pundaknya dan jatuh ke bawah membentur sebelah kakinya.
“Aduh kau pukul aku,” ia berteriak-teriak sambil memegang sebelah kaki yang tertimpuk uang perak itu dan dengan sebelah kaki yang lain ia ber-jingkrak2, pura2 kesakitan “Akan ku adukan pada mak !”
Habis ini, sambil masih menjerit, uang perak itu ia tinggalkan terus lari pergi dengan cepat.
Nampak kelakuan orang yang tolol2 lucu itu, si To-koh tersenyum geli. Tiba2 ia lepaskan ikat pinggang yang terbikin dari kain sutera, dengan sekali mengebas, ikat pinggang disabetkan dan menggubet sebelah kaki Yo Ko terus diseret kembali.
Mendengar suara menyambarnya ikat pinggang dan merasakan tenaga tarikan yang menggulung kakinya itu, seketika Yo Ko menjadi kaget. “He, gaya ini terang sekali adalah ilmu golongan Ko-bong-pay kami, apa dia ini bukan imam dari Coan-cin-pay ?” diam2 ia bertanya dalam hati.
Oleh karena itu, ia sengaja lemaskan badannya, ia membiarkan dirinya diseret kembali si To-koh, hanya dalam hati ia bertambah waspada dan ber-siap2 untuk menjaga segala kemungkinan “la hendak naik ke atas gunung, apa tujuannya hendak memusuhi Kokoh ?” demikian ia membatin pula.
Apabila teringat olehnya keadaan Siao-liong-li yang waktu itu tidak diketahui mati atau hidup, mau-tak-mau ia menjadi kuatir dan sedih sekali, segera ia ambil suatu keputusan: sekalipun nanti harus mati di tangan Siao-liong-li, dia bertekad akan naik lagi ke atas buat menyambanginya.
Pikiran itu sekilas bekerja dalam otaknya, sementara tubuhnya sudah kena diseret ke hadapan si To-koh tadi.
Ketika si To-koh melihat muka Yo Ko penuh berlepotan debu, tetapi toh tidak menutupi wajahnya yang cakap, diam2 ia berpikir: “Anak gunung ini mukanya ternyata tampan juga, cuma sayang, bantal sulam, isinya jerami belaka.”
Dalam pada itu ia dengar Yo Ko masih ber-teriak2 dan mengoceh sendiri tak keruan.
“He, Sah Thio kau cari mampus atau ingin hidup ?” dengan tersenyum segera ia menegur, “Sret”, tahu2 pedangnya sudah dilolos dan ditudingkan ke dada Yo Ko.
Melihat gerak tangan orang barusan ini jelas adalah tipu “kim-pit-tiam-cu” (potlot emas menutul titik) yang merupakan ajaran asli - Ko-bong-pay, maka Yo Ko tidak ragu2 lagi.
“Orang ini pasti anak murid Li Bok-chiu Su-pek, ia hendak naik ke atas gunung mencari Ko-koh, tentu tidak bermaksud baik, Kalau melihat caranya mengayun ikat pinggang dan caranya melolos senjata ini, terang keuletannya masih jauh di atas diriku, Orang ini hanya bisa dimenangkan dengan akal, tapi tak boleh dilawan dengan kekerasan aku harus pura2 bodoh sampai saat terakhir agar supaya dia sama sekali tidak ber-jaga2,” demikian Yo Ko berpikir
Oleh karenanya atas ancaman orang tadi, dengan mengunjuk rasa takut segera ia memohon:
“Jangan… jangan kau bunuh aku, Sian-koh, aku… aku akan menurut perkataanmu !”
“Baiklah, tetapi bila kau membangkang lagi, “ngek”, sekali gorok saja aku sembelih kau,” kata si To-koh dengan ketawa sambil memberi contoh dengan pedang menggorok leher.
“Menurut, pasti menurut,” sahut Yo Ko cepat,
Habis itu, sekali geraki tangannya lagi, tahu2 To-koh itu telah ajun ikat pinggangnya hingga melilit kembali pada pinggangnya sendiri gayanya manis dan caranya menarik.
“Bagus !” dalam hati Yo Ko memuji juga atas kepandaian orang, Tetapi wajahnya tidak mengunjuk sesuatu perasaannya melainkan masih ber-pura2 seperti orang linglung.
Sudah tentu hal ini tidak diketahui si To-koh, dalam hati ia membatin: “Hm, si tolol ini mana mengerti kebagusan kepandaianku tadi ? Aku ini seperti main mata dengan orang buta saja.”
“Nah, Sah Thio, lekas kau pulang dan mengambilkan sebuah kampak, aku mau pakai,” demikian katanya kemudian.
Yo Ko menurut, ia ber-lari2 menuju ke rumah petani yang tertampak di depan sana, ia sengaja berjalan lambat, tubuhnya ber-goyang2 dengan gaya “lenggang sampan”, langkahnya berat, kelakuannya lucu, tampaknya tepat sekali sebagai seorang yang goblok, mana bisa orang berilmu silat berlaku seperti dia ini ?
Menyaksikan macam orang ini, agaknya si To-koh rada2 muak, “He, Sah Thio, jangan kau bilang2 pada orang lain, lekas pergi dan lekas kembali!” serunya pula memesan.
“Ya,” sahut Yo Ko sambil berjalan terus.
Akhirnya tibalah dia sampai di depan pintu rumah petani, ia longak-longok ke dalam rumah nyata tiada seorangpun penghuninya, mungkin orangnya sedang sibuk bercocok tanam di sawah ladang, maka dengan bebas Yo Ko menyamber sebilah kampak pendek yang biasa dipakai membelah kayu, lalu dengan lagak ke-tolol2an ia berlari kembali Iagi.
Sungguhpun dengan senangnya Yo Ko mempermainkan si To-koh, namun dalam hati ia menguatirkan keselamatan Siao-liong-li, oleh sebab ini, mau-tak-mau air mukanya kelihatan mengunjuk rasa sedih.
“He, Sah Thio, kenapa kau muram durja ?” omel si To-koh. “Hayo, lekas ketawa !”
Eh, betul juga Yo Ko lantas menyengir beberapa kali.
Tentu saja si To-koh mengkerut alis melihat macamnya itu, “Mari, ikut aku !” katanya kemudian.
“Tidak, tidak, mak-ku sedang tunggu aku untuk makan siang !” seru Yo Ko cepat.
“Kurangajar,” bentak si To-koh, “berani kau membangkang, segera kusembelih kau !”
Habis berkata, sekali ulur tangannya, segera daun kuping Yo Ko kena dijewer terus ditarik sambil mengancam dengan pedang.
Yo Ko berteriak-teriak kesakitan seperti babi hendak disembelih
“Auuuuh, sakit! baiklah, aku ikut, aku ikut!” teriaknya.
“Orang ini sebodoh kerbau, kebetulan dapat kuperas,” demikian To-koh itu membatin.
Lalu ia tarik lengan baju Yo Ko terus diseret ke atas gunung.
Orang yang memiliki ilmu silat, cara jalannya dengan sendirinya sangat cepat, Tetapi Yo Ko justeru sengaja berlaku ayal2an, ia tumbuk sini dan kesandung sana, langkahnya sekali cepat sekali lambat, ia sengaja bikin dirinya ketinggalan di belakang.
Tak lama lagi ia pura2 tak tahan, ia duduk di atas satu batu di tepi jalan sambil mengusap keringatnya, napasnya ter-engah2 senin-kemis.
Karena kelakuannya ini, dalam gelinya si To-koh ber-ulang2 mendesaknya agat melanjutkan perjalanan lagi.
“Begitu cepat kau berjalan, mana bisa aku menyusulmu ?” sahut Yo Ko.
Akan tetapi karena sang surya sudah mendoyong ke barat, hari sudah sore, To-koh itu menjadi tak sabar Iagi, segera ia dekati Yo Ko, dipegang lengannya dan ditarik terus berlari cepat lagi ke atas.
Tetapi Yo Ko tetap tak bisa mengikuti tindakan orang yang terlalu cepat, kedua kakinya harus mancal2 tak keruan dan tiba2 menginjak sebelah kaki dengan keras si To-koh.
“Auuh ! Kau cari mampus l” jerit To-koh itu sambil mendamperat.
Dia melihat napas Yo Ko memang meraba m dan terlalu payah, segera ia ulur tangan kirinya, tiba2 ia angkat pinggang Yo Ko sambil membentak : “Naik !” Maka tubuh Yo Ko lantas di-rangkulnya terus dibawa lari ke atas gunung, dengan menggunakan Ginkang yang hebat, hanya sekejap saja beberapa li sudah dilalui.
Karena tubuhnya dirangkul sebelah tangan orang, maka terasalah oleh Yo Ko punggung sendiri menempel dada orang yang hangat dan empuk, hidungnya tercium pula bau wangi kaum gadis umumnya, keruan saja Yo Ko kesenangan, sekalian ia menggelendot tanpa mengeluarkan tenaga sedikitpun, ia biarkan dirinya dicangking orang ke atas.
Sesudah beberapa li pula, ketika To-koh itu tiba2 memandang kebawah, ia lihat wajah Yo Ko mengunjuk senyuman, tampaknya enak sekali rasanya, keruan ia mendongkol begitu tangannya dikendorkan segera Yo Ko terbanting ke tanah.
“Senang ya, kau ?” bentak si To-koh.
Karena bantingan ini, Yo Ko me-raba2 bo-kongnya sambil ber-teriak2 kesakitan
Mau-tak-mau To-koh itu tertawa lagi oleh kelakuan Yo Ko yang tolol2 lucu itu, ia mendongkol juga geli.
“Kenapa kau begini tolol ?” ia mengomel.
“Ya, memangnya namaku Thio si tolol,” sahut Yo Ko. “Sian-koh, aku she Thio, dan kau apa she Sian ?”
“Asal kau panggil aku Sian-koh, peduli kau urus aku she apa,” damperat si To-koh.
Kiranya To-koh atau imam wanita ini memang betul adalah murid pertama Jik-lian-siancu Li Bok-chiu, ia she Ang dan bernama Ling-po,
To-koh yang dahulu disuruh pergi membunuh seluruh keluarganya Liok Lip-ting dan akhirnya kena diusir Bu-samnio, bukan lain ialah Ang Ling-po ini, Tetapi meski Yo Ko ingin menyelidiki nama-nya, namun sama sekali ia tak mau menerangkan.
Begitulah, lalu Ang Ling-po duduk juga di atas satu batu sambil membetulkan rambutnya yang tersebar tertiup angin.
Ketika Yo Ko berpaling dan memandangi orang, mau-tak-mau ia berkata dalam hati: “To-koh ini terhitung cantik juga, cuma masih belum bisa mengungkuli Kwe-pekbo (bibi Kwe, maksudnya Oey Yong), lebih2 tak bisa menandingi aku punya Kokoh (maksudnya Siao-liong-li).”
Walaupun demikian pendapat Yo Ko, kalau soal kecantikan sebenarnya Oey Yong dan Siao-liong-li boleh dikatakan sukar dibedakan mana yang lebih elok, tapi lantaran Yo Ko sudah pakai pikiran yang berat sebelah, dengan sendirinya ia merasa Siao-liong-li terlebih cantik.
Dalam pada itu demi tahu orang sedang menikmati kecantikannya, Ang Lin-po melerok sekali pada Yo Ko.
“Kenapa kau pandang aku terus, Sah Thio ?” dengan tertawa ia tanya.
“Pandang ya pandang, kenapa, itulah aku tak tahu, jika kau tak boleh kupandang, baiklah aku tak memandang lagi, siapa yang kepingin lihat ?” sahut Yo Ko ke-tolol2an.
Ang Ling-po tertawa genit. “Kau mau pandang, nah, pandanglah terus, Eh, aku ini bagaimana, cantik tidak kelihatannya ?” ia tanya sembari mengeluarkan sebuah sisir emas kecil dan dengan pelahan ia sisir rambutnya yang gombyok indah itu.
“Bagus sih bagus,” sahut Yo Ko, hanya… hanya…”
“Hanya apa ?” sela Ang Ling-po.
“Hanya kurang putih,” kata Yo Ko.
“Sah Thio, kau cari mampus ya ? Berani kau bilang aku kurang putih ?” mendadak Ang Ling-po membentak sambil berdiri
Kiranya selama ini Ang Ling-po paling bangga akan kulit badannya sendiri yang putih mulus seperti susu, ia kira di jagat ini pasti tiada bandingannya lagi, siapa tahu Yo Ko berani bilang kulitnya masih kurang putih, keruan ia sangat gusar.
Di luar dugaan, meski sudah dibentak, toh Yo Ko tetap geleng kepala.
“Ya, kurang putih,” sahut tegas.
“Lalu siapa yang lebih putih dari padaku ?” tanya Ang Ling-po dengan marah.
“Yang tidur bersama aku setiap malam jauh lebih putih dari padamu,” kata Yo Ko.
“Siapa dia, binimu atau mak-mu ?” tanya Ang Ling-po.
“Bukan, semua bukan, tetapi adalah domba-ku,” sahut Yo Ko akhirnya.
Mendengar toh bukan manusia lain yang lebih putih dari pada dia, maka dari marah Ang Ling-po berubah tertawa geli.
“Sungguh tolol, manusia mana bisa dibandingkan dengan hewan ?” omelnya kemudian, “Ayo, kita berangkat lagi.”
Habis ini ia tarik lagi tangan Yo Ko dan diseret ke atas gunung pula, Pada waktu hampir mendekati jalan yang lurus menuju Tiong-yang-kiong, tiba2 Ang Ling-po membelok ke barat dari menuju ke arah Hoat-su-jin-bong.
“He, betul dia hendak mencari Kokoh,” pikir Yo Ko diam-diam.
Selang tak lama lagi Ang Ling-po mengeluarkan sebuah peta dari bajunya dan berdasarkan peta ini ia mencari jalannya.
“Sian-koh,” kata Yo Ko tiba2, “lebih ke depan lagi jalan ini buntu, di dalam rimba sana ada macannya.”
“Dari mana kau tahu ?” tanya Ling-po.
“Ya, di dalam rimba sana ada suatu kuburan raksasa, di dalam kuburan terdapat mayat hidup dan setan gentayangan siapapun tak berani men-dekatinya,” sahut Yo Ko.
“Ha, ternyata Hoat-su-jin-bong memang betul ada di sini,” ujar Ang Ling-po girang.
“Kiranya Ang Ling-po ini belakangan ini telah memperoleh ajaran tingkat terakhir dari gurunya, Li Bok-chiu, maka ilmu silatnya maju pesat sekali, setelah membantu gurunya mengalahkan keroyokan kalangan Bu-lim di Soasay, lebih2 ia sangat bangga diri.
Belakangan ia dengar cerita tentang asal-usul perguruan sendiri dari Li Bok-chiu, dari itu ia tahu di Hoat-su-jin-bong masih ada kitab rahasia pelajaran ilmu silat kelas wahid, terutama “Giok-li-sim-keng”.
Li Bok-chiu memang seorang yang suka jaga gengsi sendiri, terhadap kejadian2 cara bagaimana ia diusir terbirit keluar dari Hoat-su-jin-bong ketika dirinya mengeluruk lagi ke sana, hal ini sama sekali tak diceritakan pada sang murid.
Karena itu, ketika Ang Ling-po tanya dia kenapa tidak mendatangi kuburan kuno itu untuk pelajari ilmu silat yang hebat itu, namun selalu Li Bok-chiu menjawabnya dengan samar2, ia bilang tempat kuburan itu sudah diberikan pada Sumoaynya yang masih muda dan karena kedua saudara seperguruan tidak akur, maka sudah lama tiada hubungan satu sama lain.
Walaupun begitu, Ang Ling-po selalu menghasut sang guru agar pergi mengangkangi Hoat-su-jin-bong itu, padahal Li Bok-chiu sendiri siang dan malam tidak pernah melupakan hal itu, hanya perangkap di dalam kuburan itu belum bisa dia menembusnya, oleh karena itu juga sampai kini ia masih belum berani sembarang turun tangan. Kini mendengar bujukan sang murid yang begitu bernapsu ia hanya tersenyum dan tak menjawab.
Sesudah Ang Ling-po beberapa kali mengemukakan maksudnya dan sang guru tetap tinggal diam, maka diam2 ia sendiripun mulai mengincar ia telah tanyai keadaan dan jalan2 yang menuju ke kuburan itu, lalu ia sendiri menyiapkan sebuah petanya.
Kali ini, pada kesempatan dia diperintah gurunya ke Tiang-an untuk membunuh seorang musuh, selesai tugasnya, diam2 ia menuju ke Cong-lam-san dan diluar dugaan telah bertemu dengan Yo Ko.
Kalau menurut cerita gurunya, katanya sekitar kuburan kuno dilingkari tumbuh2an lebat dan terputus hubungan dengan dunia luar, Tetapi dia tak tahu bahwa Li Bok-chiu sebenarnya belum cerita seluruhnya yang betul, padahal kuburan kuno itu masih ada jalan rahasia lain yang bertembusan dengan dunia luar.
Begitulah, lalu ia perintahkan Yo Ko membabat belukar yang merintangi jalan dengan menggunakan kampak curian, dengan cara ini ia mencari jalan yang menuju Hoat-su-jin-bong.
Sebenarnya Yo Ko cukup apal jalan yang menembus ke kuburan kuno itu, dengan membabat hutan belukar seperti apa yang dilakukan ini bukan saja membuang tenaga dan waktu, bahkan berbahaya pula, Tetapi ia pura2 linglung dan tak mengerti apa2, Ang Ling-po suruh kerjakan apa, dia lantas lakukan apa. Sampai akhirnya, cuaca sudah gelap juga, tetapi baru lebih satu li mereka tempuh, jaraknya dengan kuburan kuno itu masih sangat jauh.
Oleh karena masih menguatirkan keselamatan Siao-liong-li, maka Yo Ko menjadi tak sabar, ia pikir tidaklah lebih baik bawa To-koh ini ke sana dan melihat apa yang hendak dia lakukan, Maka-sengaja ia mem-babat2 beberapa kali lagi, ia mengincar sebuah batu terus mengampak dengan keras, keruan lelatu api bercipratan, mata kampak itu segera gumpil pula.
“Ai, celaka, di sini ada sebuah batu besar, kampaknya telah rusak, tentu nanti aku bakal dihajar mak-ku !” teriak Yo Ko pura2 takut.
Ang Ling-po sendiri sebenarnya juga sudah tak sabar melihat cara mereka menempuh perjalanan ini, agaknya malam ini tidak bisa sampai di kuburan kuno itu, Oleh karenanya terus-menerus ia rnendamperat: “ToIol, sungguh tolol !”
“Sian-koh, kau takut setan atau tidak ?” tiba2 Yo Ko bertanya.
“Takut setan ?” sahut Ling-po, “Hm, setan yang takut padaku, tahu ? - Dengan sekali tabas nanti kubikin setannya terkurung menjadi dua.”
Yo Ko pura2 girang oleh jawaban orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar