Jilid
1
Zaman
pemerintahan Song-li-cong pada dinasti Song, di daerah Oh-ciu, daerah Kanglam,
ada sebuah kota
kecil, namanya Leng-oh-tin.
Waktu
itu dekat pertengahan musim rontok, daun teratai mulai kering, teratai padat. Di sungai kecil pinggir kota kecil itu lima gadis cilik berada di sebuah perahu
kecil sedang bernyanyi dan bersenda gurau dengan asyiknya sambil mendayung
perahu untuk memetik biji teratai
Di antara kelima gadis
cilik itu usia tiga orang kurang lebih lima
belasan, dua orang lagi hanya berusia delapan atau sembilan tahun saja. Kedua
dara cilik itu adalah saudara misan, Piauci (kakak misan) bernama Thia Eng,
sedangkan Piaumoay (adik misan) she Liok bernama Bu-siang, timur keduanya hanya
selisih setengah tahun saja, tapi Thia Eng lebih pendiam dan lemah lembut,
sebaliknya Liok Bu-siang sangat lincah, perangai keduanya sama sekali berbeda.
Ketiga
gadis yang lebih tua-an masih terus bernyanyi sambil mendayung perahu menyusun
semak daun teratai itu.
“Eh
Piaumoay, lihatlah, paman aneh itu berada di situ!” seru Thia Eng
sambil menuding seorang yang berduduk di bawah pohon tepi sungai sana.
Orang
yang dimaksud itu berambut kusut masai tapi kaku, kumis dan jenggotnya juga
semrawut dan kaku seperti duri landak, namun baik rambut maupun jenggot dan
kumisnya masih hitam mengkilap, mestinya usianya belum begitu lanjut, namun
mukanya penuh keriput dan cekung sehingga tampaknya seperti kakek berusia 70-80
tahun.
Yang
paling aneh dan lucu adalah pakaian-nya, bajunya yang menyerupai kaos oblong
adalah sebuah karung goni yang sudah compang-camping, sedangkan celananya
terbuat dari satin dan masih baru, malahan bagian bawah bersulamkan kupu-kupu
yang berwarna warni, Tangan kakek itu memegang sebuah kelentungan (kelontong)
mainan kanak-kanak, kelentungan itu tiada hentinya di putar sehingga
menimbulkan bunyi kelentang-keluntung, tapi kedua mata kakek itu menatap kaku
ke depan seperti orang kehilangan ingatan,
“Orang
gila ini sudah berduduk selama tiga hari di sini, mengapa dia tidak lapar?”
kata Liok Bu-siang.
“He,
jangan panggil dia orang gila, kalau dengar nanti dia marah,” ujar Thia Eng.
“Kalau
dia marah akan tambah menarik,” kata Liok Bu-siang
sambil menjemput sebuah ubi teratai terus dilemparkan ke arah kakek aneh itu.
Jarak
antara perahu kecil itu dengan si kakek aneh ada belasan meter jauhnya, tapi
tenaga Bu-siang ternyata tidak lemah meski usianya masih kecil. Lemparannya
itupun sangat jitu, ubi teratai itu langsung menyamber ke muka si kakek aneh
“Jangan,
Piaumoay !” Thia
Eng berseru men cegah, namun sudah
terlambat, ubi teratai itu sudah terlanjur menyambar ke sana.
Akan
tetapi keajaiban segera terjadi, tiba-tiba kakek aneh itu menengadah, dengan tepat
ubi teratai itu tergigit olehnya. iapun tidak menggunakan tangan, hanya
lidahnya yang bekerja, ubi teratai itu digeragotinya dengan lahap.
Padahal
biji teratai mentah itu rasanya pahit, apalagi kulitnya juga tidak dikupas,
tapi kakek aneh itu sama sekali tidak ambil pusing, Melihat cara makan orang
aneh itu, ketiga gadis yang agak besaran tadi menjadi geli dan mengikik tawa.
Liok Bu-siang juga merasa senang,
serunya: “Ini makan satu lagi!” - Segera ia lemparkan pula sebuah ubi teratai
kepada si kakek
Waktu
itu separuh daripada umbi teratai pertama masih belum habis termakan dan
tergigit di mulutnya, mendadak kakek itu memapak ubi teratai kedua yang
dilemparkan Bu-siang dengan ubi teratai yang tergigit di mulutnya itu, sedikit
mencungkit, ubi teratai kedua lantas mencelat ke atas, jatuhnya ke bawah tepat
hinggap di atas kepalanya, Rambut si kakek semrawut kaku sehingga ubi teratai
itu dapat tertahan di atas kepalanya tanpa bergoyang sedikitpun.
Serentak
kelima gadis cilik itu bersorak gembira.
“Ini
masih ada ! “” seru Bu siang pula, kembali melemparkan sebuah ubi teratai
Lagi-lagi
kakek aneh itu mencungkit dengan ubi teratai di mulutnya seperti tadi dan
kembali ubi teratai itu mencelat ke atas dan jatuh persis menumpuk di atas ubi
teratai yang duluan.
Melihat
permainan akrobat itu, kelima gadis bertambah senang, tangan Liok Bu-siang
juga bekerja berulang-ulang, dalam sekejap saja di atas kepala kakek aneh itu
sudah bersusun belasan ubi teratai sehingga tingginya hampir satu meter.
Setelah
ubi teratai pertama tadi termakan, si kakek sedikit miringkan kepalanya dan ubi
teratai yang paling atas mendadak menggelinding ke bawah, tapi tepat jatuh di
mulut si kakek, sebentar saja ubi teratai inipun dimakan habis, lalu ubi
teratai yang lain menggelinding jatuh ke bawah pula dan dimakan lagi. Dalam
waktu singkat ubi teratai yang tersunggi di atas kepala-nya itu hanya tersisa
dua saja.
Senang
dan heran Liok
Bu-siang serta Thia Eng melihat
permainan kakek aneh itu, segera mereka mendayung perahunya ke tepian dan
mendarat.
Thia Eng berhati welas asih
dan berbudi halus, dia mendekati si kakek dan menarik-narik bajunya serta
berkata: “Empek (paman) tua, caramu makan begitu tidak enak!” - Lalu ia
mengambil sebuah ubi teratai kulitnya dikupasnya, bijinya dibuang, sumbu ubi yang
pahit juga diambilnya, kemudian diberikannya kepada kakek aneh itu.
Kakek
itupun tidak menolak, ubi teratai itu lantas dimakannya dan terasa lebih gurih
dan enak daripada yang dimakannya tadi, tiba-tiba ia menyeringai kepada Thia Eng
dan manggut-manggut. Aneh juga, kedua ubi teratai yang masih bersusun di atas
kepalanya itu cuma bergoyang sedikit saja dan tidak terperosot jatuh.
Pada
saat itulah tiba-tiba terdengar suara mengkuiknya anjing kecil di seberang
sungai sana
terseling suara teriakan dan bentakan anak-anak kecil yang riuh ramai.
Waktu
Thia Eng menoleh ke sana, tertampak seekor anjing kecil budukan sambil mencawat
ekor sedang berlari-lari ketakutan melalui jembatan kecil sana, di belakang
anjing budukan itu mengejar tujuh atau delapan anak nakal, ada yang memegang
bambu, ada yang menyambit dengan batu disertai suara bentakan segala.
Anjing
kecil itu memang sudah jelek karena kulitnya budukan, kini dihajar pula hingga
babak belur oleh kawanan anak. nakal itu, tentu saja keadaannya bertambah
konyol.
Biasanya
Thia Eng suka kasihan kepada anjing kecil ini dan sering memberi sisa makanan
padanya, Rupanya anjing kecil itu melihat Thia Eng dari kejauhan, maka dengan
mati-matian ia lari ke sini, lalu sembunyi di belakang Thia Eng.
Ketika
kawanan anak nakal itu mengejar tiba dan hendak menghajar pula anjing kecil
itu, cepat Thia
Eng mencegahnya sambil berseru:
“He, jangan memukulnya, jangan memukulnya !”
“Anak
perempuan minggir, bukan urusanmu !” damperat seorang anak yang paling nakal,
berbareng tangannya mendorong tubuh Thia Eng.
Tapi
sedikit mengegos saja Thia
Eng dapat menghindarinya. Bu-siang
berdiri di sebelah sang Piauci, melihat anak nakal itu kurang ajar, segera ia
menjegal dengan sebelah kakinya sambil menahan pelahan di bahu anak itu. Tanpa
ampun anak nakal itu jatuh tersungkur mencium tanah, bahkan dua gigi depan
copot semuanya, saking kesakitan anak itupun menjerit menangis.
Bu-siang
bertepuk senang, sedangkan Thia
Eng merasa kasihan, ia
membangunkan anak itu dan menghiburnya: “Jangan menangis! Apakah sakit ?” -
Melihat mulut anak itu penuh darah, ia menjadi gugup dan mengeluarkan sapu
tangan untuk mengusap darahnya.
Tapi
anak nakal itu terus mendorongnya sambil memaki: “Tidak perlu kau mengusap, kau
budak busuk yang tidak punya ayah ibu !”
Kuatir
dihajar pula oleh Bu-siang, anak nakal itu lantas berlari menyingkir sambil
mencaci maki, setelah agak jauh, ia terus menjemput batu kecil dan menyambiti
kawanan gadis ku.
Dengan
gesit Thia Eng dan Bu-siang dapat menghindarinya,
akan tetapi ketiga gadis yang agak besaran itu tidak mahir ilmu silat, mereka
menjadi kesakitan tertimpuk oleh batu-batu kecil itu. Beberapa potong batu
itupun mengenai badan si kakek aneh, tapi orang tua itu tidak menjadi gusar
juga tidak menghindar seperti tidak berasa apa-apa tersambit oleh batu-batu
itu.
Melihat
itu, kawanan anak nakal itu menjadi heran dan merasa tertarik, segera mereka
mengam-
************************************
Hal
9 dan 10 Hilang
************************************
tanah,
Muka Thia Eng sudah berubah, menjadi pucat pasi, sebaliknya wajah Bu-siang
tampak merah padam, Waktu mereka memandang sekelilingnya, kiranya tempat itu
adalah tanah pekuburan kedua anak dara itu belum pernah mendatangi tempat
sesunyi itu, mau-tak-mau hati mereka menjadi berdebar.
“Kongkong
(kakek)”, kata Thia
Eng dengan lemah lembut, “kami
ingin pulang saja, tak mau lagi bermain dengan kau.”
Tapi
kakek aneh itu menatapnya dengan tajam tanpa menjawab.
Melihat
sinar mata si kakek memancarkan semacam perasaan sedih dan memilukan, meski
masih kecil dan tidak paham seluk-beluk kehidupan insaniah, namun secara naluri
timbul rasa simpatiknya terhadap orang tua itu, katanya kemudian dengan halus:
“Apabila engkau tidak punya teman memain, besok saja engkau datang ke tepi
sungai sana,
nanti akan ku kupaskan ubi teratai pula untukmu.”
Tiba-tiba
kakek aneh itu menghela napas dan berkata: “Ya, sudah 40 tahun, selama 40 tahun
ini tiada orang menemani aku bermain.” - Sampai di sini mendadak sorot matanya
berubah menjadi beringas, tanyanya dengan suara bengis: “Di
mana Ho Wan-kun ? Kau pernah apa dengan Ho Wan-kun
?”
Thia Eng menjadi takut
melihat perubahan sikap si kakek, jawabnya dengan suara gemetar: “Aku… aku”
Mendadak
si kakek mencengkeram lengannya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya beberapa kali
lalu bertanya pula dengan suara parau: “Mana Ho Wan-kun?”
Hampir
saja Thia Eng menangis, air matanya berlinang-linang
dalam kelopak matanya, tapi tidak sampai menetes.
“Hayo
menangis! Menangis!” mendadak kakek aneh itu menghardik dengan mengertak gigi
“Kenapa tidak menangis ? Hm, beginilah kau pada 40 tahun yang lalu, Kau
mengatakan menikah dengan dia secara terpaksa, tapi mengapa kau tidak mau
minggat bersamaku? Ya, kau anggap aku miskin, anggap aku berwajah jelek jika
benar kau berduka mengapa kau tidak menangis?”
Dengan
gemas si kakek pandang Thia
Eng, tapi aneh juga, meski
ketakutan, namun air mata Thia
Eng tetap tidak menetes, Ketika
kakek itu menyuruhnya menangis sambil menggentak-gentak tubuhnya, Thia Eng
bahkan menggigit bibir dan berkata di dalam hati: “Tidak, aku pasti tidak
menangis !”
“Hm,
jadi kau tidak mau meneteskan setetes air mata bagiku ? setetes air mata saja
kau tidak sudi ? Lantas untuk apa aku hidup lagi ?” mendadak kakek itu
melepaskan Thia
Eng, lalu dengan setengah
berjongkok ia membenturkan kepalanya ke batu nisan yang berada di sampingnya,
Batu
nisan itu terbuat dari batu hijau dan tertanam kuat di dalam tanah. Karena
benturan keras itu, batu nisan itu terus mencelat keluar dari tanah dan jatuh
agak jauh dengan mengeluarkan suara keras, Sedang si kakek juga lantas
menggeletak pingsan,
“Lekas,
lari, Piauci !” seru Bu-siang, segera ia tarik tangan Thia Eng
dan mengajaknya kabur.
Thia Eng ikut berlari
beberapa langkah, ketika menoleh, ia lihat kepala si kakek mengucurkan darah ia
menjadi tidak tega, katanya: “Jangan-jangan paman tua itu terbentur mati,
marilah kita memeriksanya.”
“Kalau
mati kan jadi
setan ?” ujar Bu-siang.
Thia Eng terkejut, ia takut
si kakek akan menjadi setan, iapun takut kalau si kakek mendadak siuman, lalu
mencengkeramnya pula sambil mengucapkan perkataan yang sama sekali tidak
dipahami apa maksudnya. Akan tetapi iapun tidak tega dan merasa kasihan melihat
muka si kakek penuh darah, ia coba menghibur dirinya sendiri: “Tidak, kakek
aneh itu bukan setan, aku tidak takut, iapun takkan mencengkeram aku lagi.”
Segera
ia lepaskan pegangan tangan Bu-siang dan mendekati si kakek sambil berseru: “Kong-kong, apakah kau kesakitan ?”
Terdengar
orang aneh itu merintih satu kali, tapi tidak menjawab.
Thia
Eng menjadi tabah sedikit, ia keluarkan sapu tangan untuk menutupi luka si
kakek Tapi luka itu agaknya cukup hebat, hanya sekejap saja sapu tangan Thia
Eng itu sudah basah kuyup oleh darah yang terus mengucur keluar, ia pikir
sejenak tiba-tiba ia merobek ujung baju sendiri untuk menggantikan sapu tangan
yang penuh darah itu.
“He,
kalau pulang nanti tentu kau akan dimarahi ayah,” ujar Bu-siang.
Selang
tak lama, pelahan kakek itu membuka matanya, melihat Thia Eng
duduk di sampingnya, katanya sambil menghela napas: “Buat apa kau menolong aku?
Lebih baik aku mati saja.”
Thia Eng gembira melihat si
kakek telah siuman, dengan suara lembut ia bertanya: “Kepalamu sakit tidak ?”
“Kepala
tidak sakit, hati yang sakit,” jawab si kakek dengan suara pedih.
Thia Eng menjadi heran,
sungguh aneh, luka pada kepala separah itu katanya tidak sakit, tapi hatinya
yang dikatakan sakit malah, iapun tidak tanya
lagi, kembali ia merobek sepotong kain bajunya untuk membalut lukanya.
Si
kakek menghela napas pula dan berbangkit katanya: “Kau tak mau bertemu lagi
dengan aku, apakah kita akan berpisah dengan begini saja ? Satu titik air mata
saja kau tak mau meneteskan bagiku ?”
Mendengar
suara ucapannya sedemikian memilukan sedemikian berduka, dilihatnya pula wajah
si kakek yang jelek itu penuh darah, tapi sorot matanya memancarkan perasaan
memohon dengan sangat, tanpa terasa hati Thia Eng men-jadi terharu dan ikut
berduka, air matapun bercucuran tak tertahankan Bahkan tanpa kuasa ia terus
merangkul si kakek, tiba-tiba ia merasa orang tua aneh ini seperti orang yang
paling dekat dan paling rapat dengan dirinya.
Menyaksikan
mereka tanpa sebab saling rangkul dan menangis dengan lucu itu, Liok Bu-siang
menjadi geli, tak tertahan ia tertawa terbahak-bahak
Mendengar
suara tertawanya, mendadak orang aneh itu melepaskan Thia Eng, ia
berlari ke depan Bu-siang dan menatapnya tajam, tiba-tiba ia menengadah dan
berkata dengan gegetun: “Ya, kau sering kasihan padaku, tapi juga selalu
mengejek aku, kau telah menyiksa diriku sedemikian.”
Habis
menggumam, tiba-tiba ia ingat sesuatu, ia memandang Bu-siang pula dengan
teliti, lalu memandang Thia
Eng, kemudian berkata: “Tidak,
tidak kau bukan dia, kau masih kecil Pernah apa Ho Wan-kun dengan kalian ?
Mengapa kalian sedemikian mirip dia ?”
Usia
Thia Eng dan Bu-siang memang sebaya, tapi gerak-gerik mereka dan sifat
masing-masing boleh dikatakan berlawanan sama sekali, wajah merekapun tidak
sama. Kalau raut muka Thia Eng berbentuk bulat telur, kulit badannya putih
mulus, sedangkan muka Bu-siang berbentuk daun sirih, kulitnya hitam manis, meski usianya lebih muda setengah tahun, tapi
perawakannya ramping semampai sehingga lebih tinggi daripada sang Piauci malah.
Karena
merasa bingung atas ucapan si kakek tadi, Bu-siang lantas menanggapi: “Aku
tidak tahu siapa yang kau tanyakan, cuma aku dan Piauci sama sekali tidak
mirip, mana bisa menyerupai seseorang ?”
Kakek
itu mengamat-amati pula kedua anak dara itu, mendadak ia mengetok kepalanya sendiri
dan berkata: “Ya, aku benar-benar goblok Kau she Liok bukan ?”
“Ya,
darimana kau mendapat tahu ?” jawab Bu-siang.
Orang
tua itu tidak menjawab, ia bertanya pula: “Kakekmu bernama Liok Tian-goan
bukan?” “Benar,” jawab Bu-siang sambil mengangguk
Untuk
sejenak kakek itu termenung, sekonyong-konyong ia pegang bahu Thia Eng
terus diangkat tinggi-tinggi ke atas, katanya dengan suara halus: “Anak dara
yang baik, kau she apa ? Cara
bagaimana kau memanggil Liok Tian-goan ?”
Kini Thia Eng tidak punya rasa
takut lagi, jawabnya: “Aku she Thia, Gwakong (kakek luar) she Liok, ibuku juga
she Liok.”
“Ya,
ya, tahulah aku, Liok Tian-goan dan Ho Wan-kun melahirkan seorang putera dan
seorang puteri,” kata orang aneh itu. Lalu ia tuding Bu-siang dan melanjutkan:
“Puteranya ialah ayah-mu.” - Kemudian ia menurunkan Thia Eng
dan berkata sambil menudingnya: “Dan
puterinya ialah ibumu, Pantas kalian berdua menyerupai Ho Wan-kun
separo-separo, yang satu pendiam, yang lain nakal, yang satu welas asih, yang
lain kejam.” Thia
Eng tidak tahu bahwa nenek-luarnya
bernama Ho Wan-kun, juga Bu-siang tidak kenal nama neneknya, hanya dalam hati
samar-samar ia merasakan si kakek aneh ini pasti mempunyai
Untuk
sejenak kakek itu termenung, se-konyong2 “Thia Eng
diangkatnya tinggi di atas kepala, katanya dengan suara halus: “Anak dara baik,
kau she apa ? Pernah apa kau dengan Liok Tian-goan ?”
hubungan
yang erat dengan leluhurnya sendiri, dengan melenggong mereka memandangi kakek
aneh itu.
“Mana
Gwakongmu ? Maukah kau membawa aku menemuinya ?” kata si kakek pula.
“Gwakong
sudah tidak ada lagi,” jawab Thia Eng.
“Tidak
ada lagi ? Mengapa tidak ada, kami sudah berjanji akan bertemu besok lusa,”
tukas kakek itu dengan melengak.
“Sudah
beberapa bulan Gwakong telah meninggal dunia,” jawab Thia Eng. “Lihatlah,
bukankah kami berkabung semua ?”
Benar
juga si kakek melihat pada kuncir rambut kedua anak dara itu sama terikat oleh
pita putih sebagai tanda berkabung, seketika hati si kakek menjadi limbung, ia
menggumam sendiri: “Dia telah paksa aku memakai celana wanita selama 40 tahun
dan kini dia tinggal pergi begitu saja ? Hm, hm, ketekunan belajarku selama 40
tahun ini jadi cuma sia-sia belaka.” - Habis berkata mendadak ia menengadah dan
tertawa terbahak-bahak, suara tertawanya berkumandang jauh dan penuh mengandung
perasaan sesal dan penasaran yang tak terhingga,
Sementara
itu hari sudah dekat magrib, suasana sudah remang-remang. Liok Bu-siang
menjadi rada takut, ia tarik lengan baju sang Piauci dan berkata: “Piauci,
marilah kita pulang saja !”
Mendadak
si kakek berkata pula: “Jika begitu tentu Wan-kun juga sangat berduka dan
kesepian, “Eh, anak dara yang baik, bawalah aku menemui nenek-luarmu.”
“Tidak
ada, nenek-luar juga sudah tidak ada,” jawab Thia Eng.
“Apa
katamu ?” mendadak kakek itu melonjak tinggi sekali sambil berteriak
menggeledek: “Di mana nenek-luarmu ?”
Muka Thia Eng menjadi pucat,
jawabnya dengan gemetar: “Nenek juga tidak … tidak ada, nenek dan kakek
meninggal ber… bersama, Kongkong, janganlah kau menakuti aku, ak…aku takut !”
“Dia
sudah mati ? jadi dia sudah mati!” mendadak kakek aneh itu memukul-mukul dada
sendiri “Tidak, tidak ! Dia belum bertemu dengan aku dan mohon diri padaku, dia
pasti tak boleh mati Dia telah berjanji padaku pasti akan bertemu: sekali lagi
dengan aku.”
Kakek
itu berteriak-teriak dan berjingkrak seperti orang gila, mendadak sebelah
kakinya menyapu, “krak”, sebatang pohon kecil tersapu patah menjadi dua.
Memangnya kakek itu sudah angin-anginan, kini dia mengamuk, tampaknya menjadi
tambah gila dan menakutkan.
Thia Eng menggandeng tangan
Bu-siang dan menyingkir jauh ke sana,
mereka ketakutan dan tak berani mendekat.
Si
kakek mendadak merangkul sebatang pohon Liu dan digoyang-goyangkan sekuatnya,
Tapi pohon Liu itu cukup besar sehingga si kakek tidak mampu membetotnya
keluar, ia menjadi murka dan berteriak: “Kau sendiri sudah berjanji, apakah kau
telah lupa ? Kau mengatakan akan bertemu lagi dengan aku !” Semakin berteriak,
akhirnya suaranya menjadi parau dan masih terus berusaha membetot keluar pohon
Liu tadi.
Mendadak
ia berjongkok dan mengerahkan segenap tenaganya sambil membentak: “Keluar !” -
Namun pohon Liu itu tetap sukar terbetot keluar, sebaliknya tertarik oleh
tenaga si kakek yang maha kuat, pohon itu menjadi patah bagian tengah.
Sambil
merangkul potongan pohon Liu, kakek itu termangu sejenak, tiba-tiba ia
menggumam pula: “Dia sudah meninggal, sudah meninggal !” - Ketika ia ayun
potongan pohon itu terus dilemparkan bagaikan payung raksasa saja pohon Liu itu
terlempar jauh dan jatuh ke tanah,
Sejenak
kemudian air muka si kakek tampak berubah menjadi tenang, dengan ramah ia
mendekati Thia
Eng berdua dan berkata dengan
tersenyum: “Kongkong telah menakuti kalian ya? Di
manakah kuburan kakek dan nenekmu ? Coba bawalah aku ke sana.”
Bu-siang
meremas tangan sang Piauci, maksudnya supaya Thia Eng
jangan memberitahukan padanya, Namun dalam hati Thia Eng
merasa sangat kasihan kepada kakek aneh itu, tanpa pikir ia terus menuding pada
dua pohon besar di kejauhan dan berkata: “Itu, berada di bawah kedua pohon itu
!”
Mendadak
kakek itu mengempit pula kedua anak dara itu dan dibawa lari ke arah pohon yang
ditunjuk tadi. Dia lari lurus ke depan tanpa perduli rintangan apapun, kalau
terhalang oleh sungai kecil, sekali lompat saja sungai itu lantas dilintasinya.
Biasanya Liok Bu-siang sangat kagum terhadap Ginkang ayah-ibunya jika mengikuti
latihan mereka, tapi kini kecepatan berlari si kakek dengan mengempit dua anak
dara ternyata jauh terlebih hebat daripada ayah-ibu Bu-siang.
Hanya
sekejap saja mereka sudah sampai di bawah kedua pohon besar tadi. Kakek aneh
itu melepaskan Thia
Eng berdua, lalu berlari ke depan
kuburan tertampak dua kuburan berjajar, setiap kuburan terdapat sebuah batu
nisan dengan pahatan huruf-huruf yang diberi cat kuning yang kelihatan masih
baru. Rumput di atas kuburan juga masih jarang-jarang, suatu tanda kedua
kuburan itu memang belum lama didirikan.
Air
mata si kakek berlinang-linang sambil memandangi kedua batu nisan kuburan,
jelas terbaca tulisan di atas batu-batu nisan itu menyebut kuburan Liok
Tian-goan dan isterinya: Ho Wan-kun.
Kakek
itu berdiri terpaku di depan kuburan itu sampai sekian lamanya, mendadak
pandangannya serasa kabur, kedua batu nisan seperti berubah menjadi dua sosok
bayangan manusia, yang satu adalah gadis jelita yang sedang tersenyum manis dan yang lain adalah pemuda tampan romantis.
Dengan
mata mendelik si kakek mendadak membentak: “Bagus, celana wanita ini
kukembalikan padamu !” - Berbareng ia melangkah “maju, sebelah tangannya
menghantam dada pemuda itu.
“Plak”,
bubuk batu bertaburan pukulannya itu mengenai batu nisan, sedangkan bayangan
pemuda telah lenyap,
“Mau
lari ke mana ?” bentak pula si kakek, tangan Iain lantas menghantam sekalian,
“plak-plak”, batu nisan itu sampai rompal sebagian, betapa hebat tenaga pukulan
si kakek sungguh luar biasa.
Semakin
memukul semakin mengamuk, tenaga pukulannya juga semakin hebat, sampai pukulan
ke sembilan, kedua tangannya menghamtam sekaligus, “blang”, batu nisan itu
patah menjadi dua.
Sambil
terbahak-bahak ia berteriak: “Nah, kau sudah mampus sekarang, untuk apa lagi
aku memakai celana perempuan?” - Habis itu ia lantas merobek-robek celana
wanita bersulam kupu-kupu yang dipakainya sendiri itu hingga hancur, lalu
dilemparkan ke atas kuburan, maka tertampaklah celana pendek dari kain belacu
yang dipakainya di bagian dalam.
Selagi
tertawa terbahak-bahak, mendadak suara tertawanya berhenti, setelah tertegun
sejenak, segera ia berteriak pula: “Aku harus melihat mukamu, aku harus melihat
mukamu !” - Ketika kedua tangannya menjojoh, serentak kesepuluh jarinya menancap
ke dalam kuburan Ho
Wan-kun, waktu ia tarik kembali
tangannya, dua gumpal tanah ikut tergali keluar.
Begitulah
kedua tangan si kakek terus bekerja dengan cepat laksana cangkul saja, tanah
bergumpal-gumpal tergali olehnya sehingga sebentar lagi peti mati, pasti akan
kelihatan.
Thia Eng dan Bu-siang menjadi
ketakutan, tanpa terasa mereka terus putar tubuh dan lari bersama, Karena asyik
menggali kuburan, kakek aneh itu tidak memperhatikan kaburnya kedua anak dara
itu.
Setelah
berlari-lari dan membelok ke sana
ke sini beberapa kali dan tidak nampak dikejar si kakek barulah kedua anak dara
itu merasa lega. Mereka tidak kenal jalanan di situ, terpaksa bertanya kepada
orang kampung, karena itulah sampai hari sudah gelap baru mereka tiba kembali
di rumah.
“Wah,
celaka, celaka !” Ayah, ibu, lekas kemari ada orang menggali kuburan nenek !”
begitulah Bu-siang berteriak sambil berlari menerobos ke dalam rumah, setiba di
ruangan tamu, dilihatnya sang ayah sedang bicara dengan tiga orang tamu yang
tidak dikenalnya.
Ayah
Bu-siang bernama Liok Lip-ting, baik Lwekang maupun Gwakang sudah mencapai
tingkatan yang cukup sempurna, hanya sejak kecil kedua orang tua mengawasinya
dengan sangat ketat dan melarangnya berkecimpung di dunia Kangouw, maka namanya
sama sekali tidak terkenal di dunia persilatan walaupun ilmu silatnya tergolong
kelas: tinggi
Pada
hari itu dia sedang duduk iseng di ruang tamu dan mengenangkan ayah-bunda yang
sudah wafat, tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda di luar, tiga penunggang
kuda berhenti di halaman luar dan seorang diantaranya lantas berseru: “Wanpwe
mohon bertemu dengan Liok-locianpwe!”
Di
daerah Kanglam pada umumnya orang jarang naik kuda karena jalanan sempit dan
banyak sungai dan kali yang bersimpang siur, maka hati Liok Lip-ting tergerak
ketika mendengar suara ringkik kuda tadi, demi mendengar suara seruan, cepat ia
memapak keluar, Dilihatnya tiga lelaki baju hijau dengan penuh debu sudah
berdiri di luar pintu.
Melihat
Liok Lip-ting, ketiga orang itu lantas memberi hormat dan berkata: “Kami datang
dari jauh dan mohon bertemu dengan Liok-locianpwe.”
Mata
Liok Lip-ting menjadi merah, jawabnya: “Sungguh menyesal, ayah sudah wafat tiga
bulan yang lalu, Mohon
tanya nama tuan-tuan yang
terhormat.”
Sejak
berhadapan tadi sikap ketiga orang sudah kelihatan gelisah dan kuatir, demi
mendengar jawaban Liok Lip-ting, air muka mereka menjadi pucat seperti mayat
dan saling pandang. dengan melenggong,
Lalu
Liok Lip-ting bertanya pula: “Tuan-tuan ingin bertemu dengan ayah, entah ada
keperluan apakah ?”
Ketiga
orang itu tetap tidak menjawab, seorang diantaranya menghela napas dan
menggumam: “Sudahlah, biarlah kita terima nasib saja !”
Mereka
lantas memberi hormat pula kepada Liok Lip-ting, lalu hendak mencemplak kuda
ma-sing-masing. Tapi seorang diantaranya tiba-tiba berkata: “Liok-locianpwe
ternyata sudah wafat, biarlah kita memberi hormat ke depan layonnya.”
Liok
Lip-ting menyatakan terima kasih dan anggap tidak perlu maksud orang itu, tapi
ketiga orang itu memohon pula dengan sangat dan terpaksa Liok Lip-ting menyilakan
mereka masuk
Lebih
dulu ketiga orang itu mengebut debu di atas tubuh agar bersih, lalu ikut Liok
Lip-ting ke ruangan belakang untuk memberi hormat di depan abu layon Liok
Tian-goan dan isterinya, Ho Wan-kun. Seperti lazimnya, Liok Lip-ting berlutut di
samping meja sembahyang itu untuk membalas hormat.
Selesai
menjalankan penghormatan, waktu ketiga orang itu berbangkit, tak tertahankan
lagi mereka menangis dengan sedih, Karena tangisan mereka ini, Liok Lip-ting
menjadi berduka juga, iapun menangis keras-keras,
Yang
bertubuh gemuk pendek di antara ketiga orang itu berkata kepada kawannya yang
mengucurkan air mata itu: “Cu-hiante, marilah kita mohon diri kepada tuan rumah
!”
Orang
she Cu itu mengusap air matanya, ia memberi hormat kepada Liok Lip-ting dan
lantas mohon diri.
Melihat
gerak-gerik ketiga orang itu tangkas dan gesit, jelas memiliki ilmu silat yang
lumayan, entah mengapa datang terburu-buru dan berangkat pula tergesa-gesa,
tapi Liok Lip-ting tidak enak untuk bertanya, terpaksa ia mengantar keberangkatan
mereka.
Setiba
di luar, ketiga orang itu memberi salam perpisahan
pula, lalu mencemplak ke atas kuda masing-masing. Ketika orang she Cu itu naik
ke atas kudanya lengan baju agak tergulung sedikit sehingga tertampak sebagian
lengannya berwarna merah hangus.
Liok
Lip-ting terkejut, dilihatnya kedua orang dibagian depan sudah melarikan
kudanya, tanpa pikir ia terus melayang ke sana
dan menghadang di depan kuda.
Tentu
saja kedua ekor kuda itu berjingkrak kaget dan meringkik Syukur kedua orang itu
mahir menguasai kudanya sehingga tidak sampai terperosot jatuh,
“Apakah Cu-heng
ini terkena Jik-lian-sin-ciang ?” tanya
Liok Lip-ting.
Mendengar
disebutnya “Jik-lian-sin-ciang” (pukulan sakti ular belang berbisa), pula
terlihat gerakan Liok Lip-ting yang hebat. serentak ketiga orang itu melompat
turun dari kudanya dan menyembah, kata mereka: “Mata kami benar-benar lamur
sehingga tidak kenal kesaktian Liok-tayhiap, mohon Liok-tayhiap sudi menolong
jiwa kami.”
“Ah,
jangan sungkan,” jawab Liok Lip-ting sambil membangunkan ketiga orang itu.
“Silahkan masuk ke dalam untuk bicara pula.”
Begitulah
maka Liok Lip-ting lantas menyilakan ketiga tamunya masuk ke rumah pula dan
baru saja berduduk, belum sempat bertanya lebih lanjut, pada saat itulah Liok Bu-siang
berlari-lari masuk sambil berteriak-teriak
ia
tidak jelas apa yang diledakkan anak perempuannya, tapi ia lantas membentaknya:
“Anak perempuan tidak tahu aturan, hayo ribut apa ? Lekas masuk sana !”
Tapi Bu-siang lantas berteriak
pula: “Ayah, orang itu sedang menggali kuburan nenek !”
Baru
sekarang Liok Lip-ting terkejut, serentak ia melonjak bangun dan membentak:
“Apa katamu ? Ngaco-belo !”
“Memang
betul, paman,” pada saat itu pula Thia Eng juga sudah masuk
Liok
Lip-ting tahu anak perempuan sendiri sangat nakal dan jahil, tapi Thia Eng
tidak pernah berdusta, maka ia lantas tanya
lebih jelas apa yang telah terjadi
Dengan
terputus-putus dan tak teratur Liok
Bu-siang menceritakan apa yang
dilihat dan dialaminya tadi
Tidak
kepalang terkejut dan gusar Liok Lip-ting, segera ia samber golok yang
tergantung di dinding, ia minta maaf kepada ketiga tamunya, lalu berlari menuju
makam ayah-bundanya. Ketiga tetamunya juga lantas menyusulnya ke sana,
Setiba
di depan makam, tak terperikan pedih hati Liok Lip-ting, hampir saja ia jatuh
kelengar, Ternyata makam ayah-ibunya sudah dibongkar orang, bahkan kedua rangka
peti mati juga sudah terbuka. jenazah di “dalam peti mati sudah lenyap,
benda-benda yang biasanya disertakan di dalam peti juga berserakan tak keruan.
sedapatnya
Liok Lip-ting menenangkan diri, dilihatnya tutup peti mati sama meninggalkan
bekas lima kuku jari yang dalam, jelas bangsat pencuri mayat itu telah
mencongkel tutup peti mati secara paksa dengan tenaga jarinya yang hebat
Padahal kedua peti mati itu terbuat dari kayu yang keras, diberi pantek dan
dipaku pula sehingga sangat kuat, tapi orang itu mampu membongkarnya dengan
bertangan kosong, maka betapa hebat ilmu silat orang itu sungguh sukar
diperkirakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar