Minggu, 18 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 65



Pada saat itulah tiba-tiba dari balik gunungku muncul seorang dan menegurnya: “Apa yang sedang kaupikirkan, adik Hu?” Kiranya ialah Bu Tun-si.
Yo Ko dan Siacliong-li terkesiap, kiranya dibalik gunung-gunungan sana masih ada lagi seorang, dapat diperkirakan sudah sejak tadi Bu Tun si berada di situ lebih dulu daripada Yo Ko berdua, kalau tidak, mustahil Yo Ko berdua tidak mengetahui kedatangannya..
Dengan mengomel Kwe Hu menjawab: “Kau selalu main sembunyi. Tentunya sudah kau dengar semua percakapanku dengan Bu-jiko bukan?”
Bu Tun-si mengangguk ia berdiri agak jauh di depan Kwe Hu, tapi sorot matanya penuh rasa cinta yang tak terhingga.
Kedua orang terdiam sampai sekian lama, kemudian Kwe Hu bertanya: “Apa yang hendak kau katakan padaku?”
“O, tidak apa-apa. tanpa kukatakan juga kau sudah tahu,” ujar Bu Tun-si sambil melangkah pergi.
Nyata watak kedua saudara Bu itu sama sekali berbeda, yang satu pendiam dan yang lain banyak omong, Kwe Hu termangu-mangu mengikuti kepergian Bu Tun-si itu hingga lenyap di balik gunung-gunung an sana, ia pikir alangkah baiknya jika di dunia ini tidak ada Bu tua dan Bu muda itu melainkan cuma ada seorang saja, ia menghela napas gegutun. Dilihatnya rembulan sudah semakin men-doyong ke barat, ia lantas kembali kekamarnya.
Sesudah Kwe Hu pergi Yo Ko tanya Siao-liong-li dengan tertawa: “Jika kau menjadi dia, kau pilih yang mana?”
Siao-Iiong-li berpikir sejenak, kemudian menjawab: “Pilih kau.”
“Aku di luar hitungan,” ujar Yo Ko dengan tertawa “Nona Kwe sedikitpun tidak suka pada-ku, tidak mungkin aku terpilih Yang ku maksud-kan jika kau menjadi nona Kwe lalu kau pilih mana antara kedua saudara Bu itu?”
Siao-liong-li terdiam dan membandingkan kedua saudara Bu itu, tapi akhirnya ia menjawab: “Aku tetap memilih kau.”
Yo Ko menjadi geli dan terharu pula, Di-rangkulnya Siao-liong-li dan berkata dengan suara lembut: “Ya, orang lain selalu berbimbang hati, namun Kokohku hanya menyukai diriku saja.”
Begitulah kedua orang itu terus terduduk mengobrol di situ dengan perasaan bahagia, sementara itu fajar sudah menyingsing tetap merasa berat untuk berpisah.
Tiba-tiba datang seorang centing memberitahu bahwa Kwe Cing mengundang Yo Ko untuk merundingkan sesuatu urusan.
Melihat centing itu rada gugup dan tergesa-gesa, Yo Ko pikir pasti ada urusan penting, ia coba tanya: “Apakah paman Kwe sudah lama mencari aku?”
“Ya, kedua Bu-siauya mendadak menghilang,” tutur centing itu, “Tentu saja Kwe-toaya dan Kwe-hujin sangat kuatir, nona Kwe juga menangis saja tadi.”
Yo Ko terkejut, segera iapun paham duduknya perkara, tentu kedua saudara Bu itu bersaing merebut hati Kwe Hu dan sama-sama ingin berjasa besar, maka mereka telah menuju ke kemah pasukan musuh dengan tujuan membunuh Kubilai..
Cepat Yo Ko menuju ke ruangan dalam dan melihat Oey Yong duduk di sebelah sana dengan cemas, Kwe Ceng tampak berjalan mondar mandir, sedangkan Kwe Hu tampak mengucek matanya yang merah bendol, Diatas meja tertaruh dua batang pedang.
Melihat kedatangan Yo Ko, segera Kwe Ceng berkata:
“Ko-ji, apakah kau tahu untuk apa kedua saudara Bu itu pergi ke kemah pasukan musuh? Antara kalian mungkin ada pembicaraan apa-apa, bisa jadi sebelumnya kau telah mengetahui sesuatu kehendak mereka?”
“Tapi siautit tidak melihat sesuatu tanda mencurigakan atas diri kedua adik Bu itu,” tutur NyoKo. “Mungkin mereka ikut sedih-karena kepungan musuh yang sudah sekian lamanya, maka mereka sengaja menyusup ke markas pasukan musuh, jika mereka berhasil membunuh seseorang panglima musuh, kan suatu jasa juga.”
Kwe Ceng menghela napas, katanya sambil menuding kedua pedang di atas meja: “seumpama maksud tujuan mereka memang baik, tapi sesungguhnya mereka terlalu tidak tahu diri, senjata mereka saja dirampas orang dan sengaja dikirim ke sini”
Hal ini rada di luar dugaan Yo Ko, dia memang sudah menduga maksud tujuan kedua saudara Bu itu pasti gagal, sebab kepandaian mereka jelas bukan tandingan Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain-lain. Tapi tidak menyangka dalam waktu sesingkat itu senjata mereka sudah dikirim pulang oleh musuh.
Kwe Ceng mengambil sepucuk surat yang tertindih dibawah pedang itu dan disodorkaa kepada Yo Ko agar membacanya, Kiranya surat itu dari Kim-lum Hoat ong yang ditujukan kepada Kwe Ceng, isinya menyatakan bahwa kedua saudara Bu kepergok olehnya dan sementara menjadi tamu kehormatan pihak Mongol, untuk itu Kwe Ceng diundang agar suka berkunjung ke sana sekedar omong2, habis itu dapatlah kedua muridnya itu dibebaskan.
Walaupun nada surat itu sangat ramah, namun jelas maksudnya kedua saudara Bu itu dijadikan sebagai sandera, hanya kalau Kwe Ceng datang sendiri barulah kedua anak muda itu dapat dilepaskan.
“Bagai mana pendapatmu?” tanya Kwe Ceng setelah Yo Ko membaca surat itu.
Yo Ko cukup cerdik, ia tahu Oey Yong jauh lebih pintar daripada dia, tindakan apa yang harus dilakukan masakah nyonya itu tidak tahu? Bahwa sekarang dirinya diundang ke sini, maksudnya pasti tidak lain agar dia mau mengiringi Kwe Cing ke markas musuh, Setiba di sana, sekalipun Kim-lun Hoat-ong dan kawannya dapat mengalahkan Kwe-Cing, tapi untuk membunuh atau menangkapnya rasanya sulit.
Dah jika dirinya dan Kokoh ikut pergi membantu, pasti sang paman akan dapat meloloskan diri.
Akan tetapi segera berpikir pula olehnya? tapi kalau aku dan Kokoh mendadak berbalik memiha sana, maka untuk membunuhnya boleh dikatakan teramat mudah, seumpama aku tidak tega membinasakan dia dengan tanganku sendiri, kan tidak jelek jika kupinjam tangan Hoat-ong dan lain-lain untuk mencelakai dia?”
Berpikir deraikian, ia tersenyum dan berkata: “Kwe-pepek, baiklah aku dan Suhu mengiringi engkau ke sana, Kwe-pekbo sudah pernah menyaksikan paduan pedang kami dapat mengalahkan Kim-lun Hoat-ong, kalau kita bertiga pergi bersama, rasanya musuh tidak mampu menahan kita.”
Dengan girang Kwe Ceng berkata: “Sungguh kecerdikanmu sukar dibandingi kecuali bibimu, Memang begitulah maksud bibimu mengundang kau ke sini.”
Diam-diam Yo Ko menjengek biarpun bibimu secerdik setan juga sekali tempo akan terjungkal di tanganku, Namun dia tenang-tenang saja dan menjawab: “Urusan tidak boleh terlambat, marilah kita berangkat saja sekarang, Aku dan Suhu menyamar sebagai kacungmu agar musuh tidak menaruh curiga apa-apa.”
Kwe Ceng menyatakan setuju, ia berpaling dan berkata kepada sang isteri: “Yong-ji, kau jangan kuatir, ada Ko-ji dan nona Liong mendampingiku ke sana, apapun yang terjadi kami akan pulang aku ke sini dengan selamat,” -Habis ini segera ia suruh mengundang Siau-Iiong-li.
Tiba-tiba Oey Yong berkata: “Tidak, maksudku cuma Ko-ji saja yang mengiringi kau ke sana. Nona cantik molek seperti nona Liong jangan kita membiarkan dia ikut menyerempet bahaya, Aku ingin dia tinggal disini bersamaku.”
Yo Ko melengak, akan tetapi ia lantas paham maksudnya, nyata sang bibi juga waswas padanya, maka Siao-liong-li sengaja ditahan sebagai sandera agar dia tidak berani berbuat sembarangan.
Agar tidak menimbulkan curiga, Yo Ko juga tak mendesak agar Siao-liong-lj harus ikut, ia hanya diam saja. Tapi Kwe Cing lantas berkata: “Ilmu pedang nona Liong hebat luar biasa kalau dia ikut pergi tentu akan banyak menambah kekuatan kita,”
“Badanku terasa kurang enak, mungkin akan melahirkan dalam sehari dua ini, kalau nona Liong tinggal disini, tentu aku takkan kuatir apa-apa” . ujar Oey Yong.
“Benar, benar,” ujar Kwe Ceng, “Ko-ji, marilah kita berangkat.”
Yo Ko merasa kewalahan mengadu kepintaran dengan Oey Yong, tapi Kwe Ceng yang jujur dan polos itu pasti bukan tandingan dirinya, setelah dibereskan di tempat musuh sana, nanti kembali lagi ke sini untuk menolong Siao-Iiong-Ii kiranya tidak sukar. Maka ia lantas meringkasi pakaiannya dan ikut berangkat bersama Kwe Ceng.
Yo Ko menunggang kudanya yang kurus itu, sedangkan Kwe Ceng menunggang kuda merah kesayangannya, Kedua ekor kuda itu dapat berlari cepar, tidak sampai setengah jam mereka sudah sampai di markas besar pasukan Mongol
Mendengar kedatangan Kwe Ceng, Kubilai terkejut dan bergirang, cepat ia mengundangnya masuk ke dalam kemah.
Kwe Ceng tercengang ketika melihat seorang pangeran muda berduduk di tengah kemah, mukanya lebar dan daun kupingnya besar, kedua matanya cekung, ternyata mirip sekali wajah ayahnya,yaitu Tulai. Kwe Ceng jadi teringat pada persaudaraannya dengan Tulai di masa muda dahulu. Tanpa
terasa matanya menjadi merah dan hampir meneteskan air mata.
Cepat Kubilai meninggalkan tempat duduknya dan memberi hormat kepada Kwe Ceng, katanya, “Mendiang ayahku sering berceritera tentang keperkasaan paman Kwe dan sangat kagum luar biasa, kini dapat berjumpa dengan paman, sungguh bahagia bagiku.”
Kwe Ceng membalas hormat dan berkata “hubunganku dengan Tulai Anda (anda - saudara angkat dalam bahasa MongoI), laksana saudara sekandung, waktu kecil kami ibu
dan anak-bernaung dibawah lindungan haycou (Jengis Khan) dan telah banyak menerima bantuan beliau. Siapa duga ayahmu yang gagah perwira itu mendadak wafat dalam usia muda, sungguh aku sangat menyesal dan ikut berduka cita.”
Ucapan Kwe Ceng yang sunguh2 dan tulus itu membikin hati Kubilai terharu juga, segera ia-pun memperkenalkan Siau- siang-cu, In Kik-si dan lain-lain, Kwe Ceng disilakan duduk pada tempat yang paling terhormat, sedangkan Yo Ko berdiri di belakang Kwe Ceng dan pura-pura tidak kenal dengan semua orang.
Kim-lun Hoat-ong dan lain-lain tidak tahu maksud tujuan ikut sertanya Yo Ko ini, tapi merekapun tidak menegurnya ketika melihat anak muda itu tidak menggubris mereka, hanya Be Kong-co saja, dasarnya memang orang dogol, segera ia berseru: “Eh, Yo-heng…”
Belurn lanjut ucapannya, mendadak In Kik-si mencubit sekerasnya pada pantat Be Kong-co, saking kesakitan Be Kong-co menjerit, akan tetapi In Kik-si lantas berpaling kesana dan tidak menggubrisnya, karena tidak tahu siapa yang menyakitinya, Be Kong-co, ngomel dan marah-marah sehingga lupa menyapa Yo Ko.
Setelah minum secawan arak susu kuda khas Mongok segera Kwe Ceng bermaksud tanya tentang kedua saudara Bu, namun Kubilai sudah lantas berseru kepada anak buahnya.
“Lekas mengundang kedua tuan Bu ke sini.”
Para pengawal mengiakan, tidak lama Bu-Tun-Si dan Bu-Siu-bun tampak digusur masuk, Kaki dan tangan diikat dengan tali kulit, tali kulit yang bagian kaki panjangnya tidak lebih dari setengah meter sehingga terpaksa kedua anak muda itu harus melangkah dengan pelahan.
Melihat sang guru berada disitu, kedua saudara Bu itu terkejut dan malu, mereka memanggil “Suhu”, lalu menunduk dan tidak berani membuka suara.
Sebenarnya Kwe Ceng sangat marah pada kecerobohan tindakan kedua anak muda itu, tapi demi melihat pakaian mereka lusuh, badan berlepotan darah, suatu tanda mereka mengalami pertarungan sengit dan akhirnya baru tertawan, pula melihat kedua orang itu diringkus secara mengenaskan, dari rasa gusar Kwe Ceng menjadi merasa kasihan kepada mereka, ia pikir meski tindakan mereka terlalu sembrono, tapi tujuannya luhur demi bangsa dan negara, betapapun jiwa patriotik mereka harus dipuji. Maka dengan suara halus ia lantas berkatai “Orang persilatan adalah jamak mengalami berbagai gemblengan jiwa dan raga serta mengalami berbagai kegagalan, semua ini bukan soal apa-apa”
Kubilai pura-pura mengomeli anak buahnya: “Sudah kuperintahkan melayani kedua tuan Bu ini dengan baik, mengapa kalian berlaku sekasar ini, lekas membuka ikatan mereka.”
Anak buahnya mengiakan dan segera hendak membuka tali kulit yang meringkus kedua saudara Bu itu. Namun tali kulit itu sangat kencang, apalagi sebelumnya telah dibasahi dengan air sehingga sukar dibuka begitu saja. Segera Kwe Cing mendekatinya, ia pegang tali kulit yang mengisi di dada Bu Tun-si dan dibetotnya ke kanan-kiri, “plok”, seketika tali kulit itu putus, menyusul ia-pun putuskan tali ikatan di tubuh Bu Tun-si dengan cara yang sama.
Cara Kwe Ceng memutuskan tali kulit itu tampaknya sangat mudah, tapi sebenarnya sukar dilaksanakan jika tak memiliki tenaga dalam yang kuat. Siau-siang-cu, Nimo Singh dan lain-lain saling pandang sekejap, dalam hati masing-masing sama bertambah waswas.
“Lekas bawakan arak dan meminta maaf kedua tuan Bu,” seru Kubilat kepada anak buahnya.
Dalam hati Kwe Ceng mulai menimang bahwa pertempuran ini pasti takkan berakhir dengan damai, sebentar pasti terjadi pertempuran sengit, kalau kedua saubara Bu itu tidak lekas pergi tentu akan menjadi beban malah baginya.
Segera Kwe Ceng berbangkit dan memberi hormat kepada Kubilai dan para hadirin katanya “Terima kasihku kepada Ongya dan saudara2 sekalian yang telah memberi pengajaran atas kelancangan murid-muridku ini.”
Lalu ia berpaling kepada kedua saudara Bu: “Nah, lekas kalian pulang dan lekas beritahukan kepada Subo bahwa disini aku berjumpa dengan putera saudara angkatku, sebentar lagi aku pulang setelah berbincang dengan sahabat lama ini.”
“Tapi Suhu…” karena sudah kapok menghadapi musuh-musuh tangguh, Bu Siu-bun menjadi kuatir juga atas keselamatan Kwe Ceng.
Tapi Kwe Ceng lantas melambaikan tangannya dan membentak : “Lekas pergi kalian! Lapor kepada Lu-ciang-kun bahwa pertahanan perlu diperkuat apapun yang bakal terjadi jangan sekali-kali pintu gerbang dibuka untuk menjaga sergapan musuh secara mendadak.”
Ucapan Kwe Ceng itu lantang lagi berwibawa dan sengaja diperdengarkan kepada Kubilai dan anak buahnya, artinya kalau sampai terjadi apa-apa atas diri Kwe Ceng, betapapun kota Siangyang tetap harus dipertahankan.
Kedua saudara Bu tahu arti pesan sang guru, mereka tak berani bicara lagi dan segera memohon diri untuk pulang ke Siangyang.
Dengan tertawa kemudian Kubilai berkata: “Mungkin paman Kwe belum tahu bahwa kedua saudara itu datang ke sini hendak membunuh diriku?”
Kwe Ceng mengangguk, jawabnya: “Ya, sebelumnya aku memang tidak tahu, dasar anak kecil, terlalu sembrono.”
“Memangnya sudah kuduga pasti paman Kwe tidak mengetahui perbuatan mereka, kuyakin paman Kwe pasti takkan menyuruh mereka berbuat demikian mengingat hubungan baik paman dengan mendiang ayahku,” kata Kubilai.
“Belum tentu begitu,” ujar Kwe Ceng tegas. “Urusan dinas harus diutamakan daripada urusan pribadi. Dahulu Tulai Anda juga pernah memimpin pasukannya menyerbu Siangyang, waktu itu akupun punya pikiran hendak melakukan pembunuhan gelap terhadap kakak angkat sendiri agar pasukan musuh dapat digempur mundur.
Tapi kebetulan Thaycou jatuh sakit, terpaksa pasukan Mongol mundur kembali ke wilayah sendiri, karena itu persaudaraanku dengan Tulai Anda tetap terpelihara dengan baik. Di jaman dahulu, seorang pahlawan tega membunuh anggota keluarga sendiri demi kesetiaannya kepada negara, kalau anggota keluarga saja boleh dibunuh, apalagi Cuma sahabat atau saudara angkat”
Hati Yo Ko tergetar mendengar ucapan tegas dan sungguh-sungguh itu, pikirnya: “Pantas saja, memangnya membunuh saudara angkat adalah kebiasaannya, Entah mendiang ayahku itu berbuat kekalahan apa sehingga tewas di tangannya, Wahai Kwe Ceng, apakah dalam hidupmu sendiri selamanya tak pernah berbuat sesuatu kesalahan?” BegituIah rasa dendam dan bencinya seketika timbul lagi dalam benaknya.
Ternyata Kubilai sama sekali tidak marah atas ucapan Kwe Cing tadi, ia menanggapi dengan tersenyum: “Jika begitu, mengapa paman Kwe bilang kedua muridmu tadi terlalu sembrono?”
“Mengapa tidak,” jawab Kwe Ceng. “Kepandaian mereka masih cetek, mereka tidak tahu diri dan melakukan pembunuhan gelap, tentu saja gagal, Bahwa mereka pasti akan gagal bukan soal, yang pasti kau menjadi tambah waspada dan untuk selanjutnya tentu sukar jika hendak membunuh kau.”
Kubilai bergelak tertawa, ia pikir Kwe Ceng ini terkenal polos dan kurang mahir bercakap, tapi nyatanya kata-katanya ini teramat tajam.
” Padahal Kwe Ceng hanya bicara sesuai dengan kenyataannya, apa yang dia pikirkan saat itu segera dikatakannya.” Kim-lun Hoat-ong merasa kagum juga melihat sikap Kwe Ceng yang tanpa gentar itu meski berada di tengah pasukan musuh.
Begitu juga Kubilai sangat senang dan menyukai tokoh macam Kwe Ceng ini, ia pikir kalau orang ini dapat dirangkul menjadi pembantuku, maka nilainya jauh melebihi sepuluh buah kota Siangyang.
Segera ia berkata pula: “Paman Kwe, saat ini kerajaan Song sedang kemelut, rajanya dan rakyatnya sengsara, banyak pembesar dorna berkuasa secara se-wenang2. Paman Kwe sendiri adalah ksatria yang gagah perkasa, mengapa
engkau sudi diperbudak oleh raja lalim dan pembesar dorna itu?”
Mendadak Kwe Ceng berdiri dan berseru: “Se-jeIek2nya orang she Kwe mana kusudi diperalat oleh kaum dorna dan raja lalim. Soalnya aku benci kepada orang Mongol yang menjajah wilayah negeri kami dan melakakan keganasan tanpa batas. Darah mendidih dalam rongga dadaku ini bergolak siap berkorban bagi bangsa dan negaraku.”
“Bagus?” seru Kubilai sembil menggebrak meja. “Marilah kita minum satu cawan bagi keperwiraan paman Kwe.” – Habis ini lantas mendahului menenggak habis semangkuk arak susu kuda.
Walaupun tidak semuanya setuju atas sikap Kubilai itu, tapi terpaksa semua orang mengiringi minum satu mangkuk.
Segera para pengawal menuangkan lagi mangkuk yang sudah kosong itu.
Segera Kwe Ceng berkata pula: “Negara kami luas dan rakyat banyak dengan peradaban yang tinggi, sejak jaman baheula hingga sekarang belum pernah bertekuk lutut kepada bangsa lain, Meski orang Mongol mendapatkan kemenangan untuk sementara, kelak pasti juga akan dienyahkan dari sini dengan kehancuran yang sukar dibayangkan. Untuk itulah hendaklah Ongya suka merenungkannya lebih masak agar tidak menyesal di kemudian hari.”
“Terima kasih atas petua paman,” jawab Kubilai dengan tertawa.
Melihat sikap orang yang meremehkan ucapannya jtu, segera Kwe Ceng berkata pula: “Baiklah-kumobon diri sekarang juga, sampai bertemu pula.”
“Antar tamu!” seru Kubilai kepada anak buahnya.
Hoat ong dan lain-lain saling pandang dengan bingung dan semuanya menatap ke arah Kubilai, mereka pikir dengan susah payah Kwe Ceng sudah dipancing masuk perangkap, masakah sekarang akan dilepaskan begitu saja?
Tapi jelas kelihatan Kubilai telah mengantar Kwe Ceng keluar kemah dengan penuh hormat, betapapun mereka juga tak berani sembarangan bertindak.
Sambil melangkah keluar kemah, diam-diam Kwe Ceng mengakui kehebatan Kubilai yang tidak boleh diremehkan itu, ia mcngedipi Yo Ko sambil mempercepat langkahnya ke tempat kuda.
Mendadak dari samping muncul delapan orang Mongol yang kekar, seorang diantaranya menegur “He, kau ini Kwe Ceng bukan? Kau telah banyak menewaskan saudara2 kami di Siangyang, sekarang kau berani berlagak ke sini Ongya membiarkan kau pergi, tapi kami tidak dapat tinggal diam.”
Sekali menggertak, serentak kedelapan orang terus menubruk maju, dengan Judo gaya Mongol mereka terus hendak menjambret baju Kwe Ceng.
Berkelahi secara Mongol ini adalah kebanggaan orang MongoI, kedelapan orang ini bahkan adalah jago Judo Mongol yang paling lihay dan sengaja disiapkan oleh Kubilai di situ untuk menangkap Kwe Ceng.
Namun Kwe Ceng yang sejak kecil tinggal di Mongol juga mahir kepandaian orang Mongol seperti menunggang kuda, memanah dan bantingan: (Judo) ala Mongol. Begitu melihat orang-orang itu hendak memegangnya, cepat kedua tangannya meraih ke kanan dan kiri, kaki kanan berbareng menyapu, hanya sekejap saja empat orang telah dipegangnya
terus dibanting, empat orang lagi kena diserampang oleh kakinya hingga terjungkal.
Yang digunakan Kwe Ceng adalah kepandaian bantingan gaya Mongol asli, cuma dia mempunyai dasar ilmu silat yang tinggi, tenaganya kuat luar biasa, tentu saja kedelapan orang itu bukan tandingannya.
“Di luar kemah berjaga seribu perajurit pribadi Kubilai, seribu orang ini semuanya mahir bantingan, maka bersorak sorailah mereka demi menyaksikan sekaligus Kwe Ceng dapat merobohkan delapan jagoan mereka itu.
Kwe Ceng mengepalkan kedua tangannya dan menanggalkan kopiahnya sambil berputar satu keliling, ini adalah adat orang MongoI sebagai balas menghormat kepada sorak pujian para penonton setelah berhasil membanting jatuh lawannya.
Karena sikap Kwe Ceng itu, sorak sorai pasukan Mongol itu bertambah gemuruh.
Setelah merangkak bangun, kedelapan orang Mongol itu memandangi Kwe Ceng dengan terkesima bingung, entah mesti menubruk maju lagi atau disudahi sampai di sini saja?
Segera Kwe Ceng memberi tanda kepada Yo Ko agar berangkat Tapi pada saat itu juga terdengarlah suara tiupan tanduk sahut menyahut di sana sini, beberapa pasukan Mongol tampak berseliweran di kejauhan sana, rupanya Kubilai telah mengerahkan pasukannya, Kwe Ceng dan Yo Ko sudah terkepung rapat di tengah.
Melihat kekuatan musuh yang hebat itu, diam-diam Kwe Cing terkejut ia pikir biarpun berkepandaian setinggi langit juga sukar menembus kepungan musuh seketat itu, Sungguh tak tersangka bahwa Kubilai akan mengerahkan pasukannya
sebanyak itu hanya untuk melayani Kwe Ceng seorang saja, ia kuatir Yo Ko merasa gentar maka ia sendiri sedapatnya bersikap tenang, katanya kepada anak muda itu: “Kuda kita cukup cepat, marilah kita terjang saja dan rampas dua buah perisai musuh untuk menjaga kalau musuh memanah kuda kita,” - Lalu ia membisiki pula “Lekas menerjang dulu ke selatan, habis itu kita putar balik ke utara,”
Semula Yo Ko melengak heran, Siangyang terletak diselatan, mengapa sang paman mengajaknya menerjang ke utara malah? Tapi ia lantas paham maksud Kwe Ceng itu, tentu sebelumnya Kubilai telah pusatkan pasukannya di sebelah selatan untuk mengadang dia yang jelas akan kabur pulang ke Siangyang, sebab itulah penjagaan di sebelah utara tentu kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar