Pada saat itulah tiba-tiba dari balik
gunungku muncul seorang dan menegurnya: “Apa yang sedang kaupikirkan, adik Hu?”
Kiranya ialah Bu Tun-si.
Yo Ko dan Siacliong-li terkesiap, kiranya dibalik
gunung-gunungan sana masih ada lagi seorang, dapat diperkirakan sudah sejak
tadi Bu Tun si berada di situ lebih dulu daripada Yo Ko berdua, kalau tidak,
mustahil Yo Ko berdua tidak mengetahui kedatangannya..
Dengan mengomel Kwe Hu menjawab: “Kau selalu
main sembunyi. Tentunya sudah kau dengar semua percakapanku dengan Bu-jiko
bukan?”
Bu Tun-si mengangguk ia berdiri agak jauh di
depan Kwe Hu, tapi sorot matanya penuh rasa cinta yang tak terhingga.
Kedua orang terdiam sampai sekian lama,
kemudian Kwe Hu bertanya: “Apa yang hendak kau katakan padaku?”
“O, tidak apa-apa. tanpa kukatakan juga kau
sudah tahu,” ujar Bu Tun-si sambil melangkah pergi.
Nyata watak kedua saudara Bu itu sama sekali
berbeda, yang satu pendiam dan yang lain banyak omong, Kwe Hu termangu-mangu
mengikuti kepergian Bu Tun-si itu hingga lenyap di balik gunung-gunung an sana,
ia pikir alangkah baiknya jika di dunia ini tidak ada Bu tua dan Bu muda itu
melainkan cuma ada seorang saja, ia menghela napas gegutun. Dilihatnya rembulan
sudah semakin men-doyong ke barat, ia lantas kembali kekamarnya.
Sesudah Kwe Hu pergi Yo Ko tanya
Siao-liong-li dengan tertawa: “Jika kau menjadi dia, kau pilih yang mana?”
Siao-Iiong-li berpikir sejenak, kemudian
menjawab: “Pilih kau.”
“Aku di luar hitungan,” ujar Yo Ko dengan
tertawa “Nona Kwe sedikitpun tidak suka pada-ku, tidak mungkin aku terpilih
Yang ku maksud-kan jika kau menjadi nona Kwe lalu kau pilih mana antara kedua
saudara Bu itu?”
Siao-liong-li terdiam dan membandingkan kedua
saudara Bu itu, tapi akhirnya ia menjawab: “Aku tetap memilih kau.”
Yo Ko menjadi geli dan terharu pula,
Di-rangkulnya Siao-liong-li dan berkata dengan suara lembut: “Ya, orang lain
selalu berbimbang hati, namun Kokohku hanya menyukai diriku saja.”
Begitulah kedua orang itu terus terduduk
mengobrol di situ dengan perasaan bahagia, sementara itu fajar sudah
menyingsing tetap merasa berat untuk berpisah.
Tiba-tiba datang seorang centing memberitahu
bahwa Kwe Cing mengundang Yo Ko untuk merundingkan sesuatu urusan.
Melihat centing itu rada gugup dan
tergesa-gesa, Yo Ko pikir pasti ada urusan penting, ia coba tanya: “Apakah
paman Kwe sudah lama mencari aku?”
“Ya, kedua Bu-siauya mendadak menghilang,”
tutur centing itu, “Tentu saja Kwe-toaya dan Kwe-hujin sangat kuatir, nona Kwe
juga menangis saja tadi.”
Yo Ko terkejut, segera iapun paham duduknya
perkara, tentu kedua saudara Bu itu bersaing merebut hati Kwe Hu dan sama-sama
ingin berjasa besar, maka mereka telah menuju ke kemah pasukan musuh dengan
tujuan membunuh Kubilai..
Cepat Yo Ko menuju ke ruangan dalam dan
melihat Oey Yong duduk di sebelah sana dengan cemas, Kwe Ceng tampak berjalan
mondar mandir, sedangkan Kwe Hu tampak mengucek matanya yang merah bendol,
Diatas meja tertaruh dua batang pedang.
Melihat kedatangan Yo Ko, segera Kwe Ceng
berkata:
“Ko-ji, apakah kau tahu untuk apa kedua
saudara Bu itu pergi ke kemah pasukan musuh? Antara kalian mungkin ada
pembicaraan apa-apa, bisa jadi sebelumnya kau telah mengetahui sesuatu kehendak
mereka?”
“Tapi siautit tidak melihat sesuatu tanda
mencurigakan atas diri kedua adik Bu itu,” tutur NyoKo. “Mungkin mereka ikut
sedih-karena kepungan musuh yang sudah sekian lamanya, maka mereka sengaja
menyusup ke markas pasukan musuh, jika mereka berhasil membunuh seseorang
panglima musuh, kan suatu jasa juga.”
Kwe Ceng menghela napas, katanya sambil
menuding kedua pedang di atas meja: “seumpama maksud tujuan mereka memang baik,
tapi sesungguhnya mereka terlalu tidak tahu diri, senjata mereka saja dirampas
orang dan sengaja dikirim ke sini”
Hal ini rada di luar dugaan Yo Ko, dia memang
sudah menduga maksud tujuan kedua saudara Bu itu pasti gagal, sebab kepandaian
mereka jelas bukan tandingan Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain-lain.
Tapi tidak menyangka dalam waktu sesingkat itu senjata mereka sudah dikirim
pulang oleh musuh.
Kwe Ceng mengambil sepucuk surat yang
tertindih dibawah pedang itu dan disodorkaa kepada Yo Ko agar membacanya,
Kiranya surat itu dari Kim-lum Hoat ong yang ditujukan kepada Kwe Ceng, isinya
menyatakan bahwa kedua saudara Bu kepergok olehnya dan sementara menjadi tamu
kehormatan pihak Mongol, untuk itu Kwe Ceng diundang agar suka berkunjung ke
sana sekedar omong2, habis itu dapatlah kedua muridnya itu dibebaskan.
Walaupun nada surat itu sangat ramah, namun
jelas maksudnya kedua saudara Bu itu dijadikan sebagai sandera, hanya kalau Kwe
Ceng datang sendiri barulah kedua anak muda itu dapat dilepaskan.
“Bagai mana pendapatmu?” tanya Kwe Ceng
setelah Yo Ko membaca surat itu.
Yo Ko cukup cerdik, ia tahu Oey Yong jauh
lebih pintar daripada dia, tindakan apa yang harus dilakukan masakah nyonya itu
tidak tahu? Bahwa sekarang dirinya diundang ke sini, maksudnya pasti tidak lain
agar dia mau mengiringi Kwe Cing ke markas musuh, Setiba di sana, sekalipun
Kim-lun Hoat-ong dan kawannya dapat mengalahkan Kwe-Cing, tapi untuk membunuh
atau menangkapnya rasanya sulit.
Dah jika dirinya dan Kokoh ikut pergi
membantu, pasti sang paman akan dapat meloloskan diri.
Akan tetapi segera berpikir pula olehnya?
tapi kalau aku dan Kokoh mendadak berbalik memiha sana, maka untuk membunuhnya
boleh dikatakan teramat mudah, seumpama aku tidak tega membinasakan dia dengan
tanganku sendiri, kan tidak jelek jika kupinjam tangan Hoat-ong dan lain-lain
untuk mencelakai dia?”
Berpikir deraikian, ia tersenyum dan berkata:
“Kwe-pepek, baiklah aku dan Suhu mengiringi engkau ke sana, Kwe-pekbo sudah
pernah menyaksikan paduan pedang kami dapat mengalahkan Kim-lun Hoat-ong, kalau
kita bertiga pergi bersama, rasanya musuh tidak mampu menahan kita.”
Dengan girang Kwe Ceng berkata: “Sungguh
kecerdikanmu sukar dibandingi kecuali bibimu, Memang begitulah maksud bibimu
mengundang kau ke sini.”
Diam-diam Yo Ko menjengek biarpun bibimu
secerdik setan juga sekali tempo akan terjungkal di tanganku, Namun dia
tenang-tenang saja dan menjawab: “Urusan tidak boleh terlambat, marilah kita
berangkat saja sekarang, Aku dan Suhu menyamar sebagai kacungmu agar musuh
tidak menaruh curiga apa-apa.”
Kwe Ceng menyatakan setuju, ia berpaling dan
berkata kepada sang isteri: “Yong-ji, kau jangan kuatir, ada Ko-ji dan nona
Liong mendampingiku ke sana, apapun yang terjadi kami akan pulang aku ke sini
dengan selamat,” -Habis ini segera ia suruh mengundang Siau-Iiong-li.
Tiba-tiba Oey Yong berkata: “Tidak, maksudku
cuma Ko-ji saja yang mengiringi kau ke sana. Nona cantik molek seperti nona
Liong jangan kita membiarkan dia ikut menyerempet bahaya, Aku ingin dia tinggal
disini bersamaku.”
Yo Ko melengak, akan tetapi ia lantas paham
maksudnya, nyata sang bibi juga waswas padanya, maka Siao-liong-li sengaja
ditahan sebagai sandera agar dia tidak berani berbuat sembarangan.
Agar tidak menimbulkan curiga, Yo Ko juga tak
mendesak agar Siao-liong-lj harus ikut, ia hanya diam saja. Tapi Kwe Cing
lantas berkata: “Ilmu pedang nona Liong hebat luar biasa kalau dia ikut pergi
tentu akan banyak menambah kekuatan kita,”
“Badanku terasa kurang enak, mungkin akan
melahirkan dalam sehari dua ini, kalau nona Liong tinggal disini, tentu aku
takkan kuatir apa-apa” . ujar Oey Yong.
“Benar, benar,” ujar Kwe Ceng, “Ko-ji,
marilah kita berangkat.”
Yo Ko merasa kewalahan mengadu kepintaran
dengan Oey Yong, tapi Kwe Ceng yang jujur dan polos itu pasti bukan tandingan
dirinya, setelah dibereskan di tempat musuh sana, nanti kembali lagi ke sini
untuk menolong Siao-Iiong-Ii kiranya tidak sukar. Maka ia lantas meringkasi
pakaiannya dan ikut berangkat bersama Kwe Ceng.
Yo Ko menunggang kudanya yang kurus itu,
sedangkan Kwe Ceng menunggang kuda merah kesayangannya, Kedua ekor kuda itu
dapat berlari cepar, tidak sampai setengah jam mereka sudah sampai di markas
besar pasukan Mongol
Mendengar kedatangan Kwe Ceng, Kubilai
terkejut dan bergirang, cepat ia mengundangnya masuk ke dalam kemah.
Kwe Ceng tercengang ketika melihat seorang
pangeran muda berduduk di tengah kemah, mukanya lebar dan daun kupingnya besar,
kedua matanya cekung, ternyata mirip sekali wajah ayahnya,yaitu Tulai. Kwe Ceng
jadi teringat pada persaudaraannya dengan Tulai di masa muda dahulu. Tanpa
terasa matanya menjadi merah dan hampir
meneteskan air mata.
Cepat Kubilai meninggalkan tempat duduknya
dan memberi hormat kepada Kwe Ceng, katanya, “Mendiang ayahku sering
berceritera tentang keperkasaan paman Kwe dan sangat kagum luar biasa, kini
dapat berjumpa dengan paman, sungguh bahagia bagiku.”
Kwe Ceng membalas hormat dan berkata “hubunganku
dengan Tulai Anda (anda - saudara angkat dalam bahasa MongoI), laksana saudara
sekandung, waktu kecil kami ibu
dan anak-bernaung dibawah lindungan haycou
(Jengis Khan) dan telah banyak menerima bantuan beliau. Siapa duga ayahmu yang
gagah perwira itu mendadak wafat dalam usia muda, sungguh aku sangat menyesal
dan ikut berduka cita.”
Ucapan Kwe Ceng yang sunguh2 dan tulus itu
membikin hati Kubilai terharu juga, segera ia-pun memperkenalkan Siau-
siang-cu, In Kik-si dan lain-lain, Kwe Ceng disilakan duduk pada tempat yang
paling terhormat, sedangkan Yo Ko berdiri di belakang Kwe Ceng dan pura-pura
tidak kenal dengan semua orang.
Kim-lun Hoat-ong dan lain-lain tidak tahu
maksud tujuan ikut sertanya Yo Ko ini, tapi merekapun tidak menegurnya ketika
melihat anak muda itu tidak menggubris mereka, hanya Be Kong-co saja, dasarnya
memang orang dogol, segera ia berseru: “Eh, Yo-heng…”
Belurn lanjut ucapannya, mendadak In Kik-si
mencubit sekerasnya pada pantat Be Kong-co, saking kesakitan Be Kong-co
menjerit, akan tetapi In Kik-si lantas berpaling kesana dan tidak
menggubrisnya, karena tidak tahu siapa yang menyakitinya, Be Kong-co, ngomel
dan marah-marah sehingga lupa menyapa Yo Ko.
Setelah minum secawan arak susu kuda khas
Mongok segera Kwe Ceng bermaksud tanya tentang kedua saudara Bu, namun Kubilai
sudah lantas berseru kepada anak buahnya.
“Lekas mengundang kedua tuan Bu ke sini.”
Para pengawal mengiakan, tidak lama Bu-Tun-Si
dan Bu-Siu-bun tampak digusur masuk, Kaki dan tangan diikat dengan tali kulit,
tali kulit yang bagian kaki panjangnya tidak lebih dari setengah meter sehingga
terpaksa kedua anak muda itu harus melangkah dengan pelahan.
Melihat sang guru berada disitu, kedua
saudara Bu itu terkejut dan malu, mereka memanggil “Suhu”, lalu menunduk dan
tidak berani membuka suara.
Sebenarnya Kwe Ceng sangat marah pada
kecerobohan tindakan kedua anak muda itu, tapi demi melihat pakaian mereka
lusuh, badan berlepotan darah, suatu tanda mereka mengalami pertarungan sengit
dan akhirnya baru tertawan, pula melihat kedua orang itu diringkus secara
mengenaskan, dari rasa gusar Kwe Ceng menjadi merasa kasihan kepada mereka, ia
pikir meski tindakan mereka terlalu sembrono, tapi tujuannya luhur demi bangsa
dan negara, betapapun jiwa patriotik mereka harus dipuji. Maka dengan suara
halus ia lantas berkatai “Orang persilatan adalah jamak mengalami berbagai
gemblengan jiwa dan raga serta mengalami berbagai kegagalan, semua ini bukan
soal apa-apa”
Kubilai pura-pura mengomeli anak buahnya:
“Sudah kuperintahkan melayani kedua tuan Bu ini dengan baik, mengapa kalian
berlaku sekasar ini, lekas membuka ikatan mereka.”
Anak buahnya mengiakan dan segera hendak
membuka tali kulit yang meringkus kedua saudara Bu itu. Namun tali kulit itu
sangat kencang, apalagi sebelumnya telah dibasahi dengan air sehingga sukar
dibuka begitu saja. Segera Kwe Cing mendekatinya, ia pegang tali kulit yang
mengisi di dada Bu Tun-si dan dibetotnya ke kanan-kiri, “plok”, seketika tali
kulit itu putus, menyusul ia-pun putuskan tali ikatan di tubuh Bu Tun-si dengan
cara yang sama.
Cara Kwe Ceng memutuskan tali kulit itu
tampaknya sangat mudah, tapi sebenarnya sukar dilaksanakan jika tak memiliki
tenaga dalam yang kuat. Siau-siang-cu, Nimo Singh dan lain-lain saling pandang
sekejap, dalam hati masing-masing sama bertambah waswas.
“Lekas bawakan arak dan meminta maaf kedua
tuan Bu,” seru Kubilat kepada anak buahnya.
Dalam hati Kwe Ceng mulai menimang bahwa
pertempuran ini pasti takkan berakhir dengan damai, sebentar pasti terjadi
pertempuran sengit, kalau kedua saubara Bu itu tidak lekas pergi tentu akan
menjadi beban malah baginya.
Segera Kwe Ceng berbangkit dan memberi hormat
kepada Kubilai dan para hadirin katanya “Terima kasihku kepada Ongya dan
saudara2 sekalian yang telah memberi pengajaran atas kelancangan murid-muridku
ini.”
Lalu ia berpaling kepada kedua saudara Bu:
“Nah, lekas kalian pulang dan lekas beritahukan kepada Subo bahwa disini aku
berjumpa dengan putera saudara angkatku, sebentar lagi aku pulang setelah
berbincang dengan sahabat lama ini.”
“Tapi Suhu…” karena sudah kapok menghadapi
musuh-musuh tangguh, Bu Siu-bun menjadi kuatir juga atas keselamatan Kwe Ceng.
Tapi Kwe Ceng lantas melambaikan tangannya
dan membentak : “Lekas pergi kalian! Lapor kepada Lu-ciang-kun bahwa pertahanan
perlu diperkuat apapun yang bakal terjadi jangan sekali-kali pintu gerbang
dibuka untuk menjaga sergapan musuh secara mendadak.”
Ucapan Kwe Ceng itu lantang lagi berwibawa
dan sengaja diperdengarkan kepada Kubilai dan anak buahnya, artinya kalau
sampai terjadi apa-apa atas diri Kwe Ceng, betapapun kota Siangyang tetap harus
dipertahankan.
Kedua saudara Bu tahu arti pesan sang guru,
mereka tak berani bicara lagi dan segera memohon diri untuk pulang ke
Siangyang.
Dengan tertawa kemudian Kubilai berkata:
“Mungkin paman Kwe belum tahu bahwa kedua saudara itu datang ke sini hendak
membunuh diriku?”
Kwe Ceng mengangguk, jawabnya: “Ya,
sebelumnya aku memang tidak tahu, dasar anak kecil, terlalu sembrono.”
“Memangnya sudah kuduga pasti paman Kwe tidak
mengetahui perbuatan mereka, kuyakin paman Kwe pasti takkan menyuruh mereka
berbuat demikian mengingat hubungan baik paman dengan mendiang ayahku,” kata
Kubilai.
“Belum tentu begitu,” ujar Kwe Ceng tegas.
“Urusan dinas harus diutamakan daripada urusan pribadi. Dahulu Tulai Anda juga
pernah memimpin pasukannya menyerbu Siangyang, waktu itu akupun punya pikiran
hendak melakukan pembunuhan gelap terhadap kakak angkat sendiri agar pasukan
musuh dapat digempur mundur.
Tapi kebetulan Thaycou jatuh sakit, terpaksa
pasukan Mongol mundur kembali ke wilayah sendiri, karena itu persaudaraanku
dengan Tulai Anda tetap terpelihara dengan baik. Di jaman dahulu, seorang
pahlawan tega membunuh anggota keluarga sendiri demi kesetiaannya kepada
negara, kalau anggota keluarga saja boleh dibunuh, apalagi Cuma sahabat atau
saudara angkat”
Hati Yo Ko tergetar mendengar ucapan tegas
dan sungguh-sungguh itu, pikirnya: “Pantas saja, memangnya membunuh saudara
angkat adalah kebiasaannya, Entah mendiang ayahku itu berbuat kekalahan apa
sehingga tewas di tangannya, Wahai Kwe Ceng, apakah dalam hidupmu sendiri
selamanya tak pernah berbuat sesuatu kesalahan?” BegituIah rasa dendam dan
bencinya seketika timbul lagi dalam benaknya.
Ternyata Kubilai sama sekali tidak marah atas
ucapan Kwe Cing tadi, ia menanggapi dengan tersenyum: “Jika begitu, mengapa
paman Kwe bilang kedua muridmu tadi terlalu sembrono?”
“Mengapa tidak,” jawab Kwe Ceng. “Kepandaian
mereka masih cetek, mereka tidak tahu diri dan melakukan pembunuhan gelap,
tentu saja gagal, Bahwa mereka pasti akan gagal bukan soal, yang pasti kau
menjadi tambah waspada dan untuk selanjutnya tentu sukar jika hendak membunuh
kau.”
Kubilai bergelak tertawa, ia pikir Kwe Ceng
ini terkenal polos dan kurang mahir bercakap, tapi nyatanya kata-katanya ini
teramat tajam.
” Padahal Kwe Ceng hanya bicara sesuai dengan
kenyataannya, apa yang dia pikirkan saat itu segera dikatakannya.” Kim-lun
Hoat-ong merasa kagum juga melihat sikap Kwe Ceng yang tanpa gentar itu meski
berada di tengah pasukan musuh.
Begitu juga Kubilai sangat senang dan menyukai
tokoh macam Kwe Ceng ini, ia pikir kalau orang ini dapat dirangkul menjadi
pembantuku, maka nilainya jauh melebihi sepuluh buah kota Siangyang.
Segera ia berkata pula: “Paman Kwe, saat ini
kerajaan Song sedang kemelut, rajanya dan rakyatnya sengsara, banyak pembesar
dorna berkuasa secara se-wenang2. Paman Kwe sendiri adalah ksatria yang gagah
perkasa, mengapa
engkau sudi diperbudak oleh raja lalim dan
pembesar dorna itu?”
Mendadak Kwe Ceng berdiri dan berseru:
“Se-jeIek2nya orang she Kwe mana kusudi diperalat oleh kaum dorna dan raja
lalim. Soalnya aku benci kepada orang Mongol yang menjajah wilayah negeri kami
dan melakakan keganasan tanpa batas. Darah mendidih dalam rongga dadaku ini
bergolak siap berkorban bagi bangsa dan negaraku.”
“Bagus?” seru Kubilai sembil menggebrak meja.
“Marilah kita minum satu cawan bagi keperwiraan paman Kwe.” – Habis ini lantas
mendahului menenggak habis semangkuk arak susu kuda.
Walaupun tidak semuanya setuju atas sikap
Kubilai itu, tapi terpaksa semua orang mengiringi minum satu mangkuk.
Segera para pengawal menuangkan lagi mangkuk
yang sudah kosong itu.
Segera Kwe Ceng berkata pula: “Negara kami
luas dan rakyat banyak dengan peradaban yang tinggi, sejak jaman baheula hingga
sekarang belum pernah bertekuk lutut kepada bangsa lain, Meski orang Mongol
mendapatkan kemenangan untuk sementara, kelak pasti juga akan dienyahkan dari
sini dengan kehancuran yang sukar dibayangkan. Untuk itulah hendaklah Ongya
suka merenungkannya lebih masak agar tidak menyesal di kemudian hari.”
“Terima kasih atas petua paman,” jawab
Kubilai dengan tertawa.
Melihat sikap orang yang meremehkan ucapannya
jtu, segera Kwe Ceng berkata pula: “Baiklah-kumobon diri sekarang juga, sampai
bertemu pula.”
“Antar tamu!” seru Kubilai kepada anak
buahnya.
Hoat ong dan lain-lain saling pandang dengan
bingung dan semuanya menatap ke arah Kubilai, mereka pikir dengan susah payah
Kwe Ceng sudah dipancing masuk perangkap, masakah sekarang akan dilepaskan
begitu saja?
Tapi jelas kelihatan Kubilai telah mengantar
Kwe Ceng keluar kemah dengan penuh hormat, betapapun mereka juga tak berani
sembarangan bertindak.
Sambil melangkah keluar kemah, diam-diam Kwe
Ceng mengakui kehebatan Kubilai yang tidak boleh diremehkan itu, ia mcngedipi
Yo Ko sambil mempercepat langkahnya ke tempat kuda.
Mendadak dari samping muncul delapan orang
Mongol yang kekar, seorang diantaranya menegur “He, kau ini Kwe Ceng bukan? Kau
telah banyak menewaskan saudara2 kami di Siangyang, sekarang kau berani
berlagak ke sini Ongya membiarkan kau pergi, tapi kami tidak dapat tinggal
diam.”
Sekali menggertak, serentak kedelapan orang
terus menubruk maju, dengan Judo gaya Mongol mereka terus hendak menjambret
baju Kwe Ceng.
Berkelahi secara Mongol ini adalah kebanggaan
orang MongoI, kedelapan orang ini bahkan adalah jago Judo Mongol yang paling
lihay dan sengaja disiapkan oleh Kubilai di situ untuk menangkap Kwe Ceng.
Namun Kwe Ceng yang sejak kecil tinggal di
Mongol juga mahir kepandaian orang Mongol seperti menunggang kuda, memanah dan
bantingan: (Judo) ala Mongol. Begitu melihat orang-orang itu hendak
memegangnya, cepat kedua tangannya meraih ke kanan dan kiri, kaki kanan
berbareng menyapu, hanya sekejap saja empat orang telah dipegangnya
terus dibanting, empat orang lagi kena
diserampang oleh kakinya hingga terjungkal.
Yang digunakan Kwe Ceng adalah kepandaian
bantingan gaya Mongol asli, cuma dia mempunyai dasar ilmu silat yang tinggi,
tenaganya kuat luar biasa, tentu saja kedelapan orang itu bukan tandingannya.
“Di luar kemah berjaga seribu perajurit
pribadi Kubilai, seribu orang ini semuanya mahir bantingan, maka bersorak
sorailah mereka demi menyaksikan sekaligus Kwe Ceng dapat merobohkan delapan
jagoan mereka itu.
Kwe Ceng mengepalkan kedua tangannya dan
menanggalkan kopiahnya sambil berputar satu keliling, ini adalah adat orang
MongoI sebagai balas menghormat kepada sorak pujian para penonton setelah
berhasil membanting jatuh lawannya.
Karena sikap Kwe Ceng itu, sorak sorai
pasukan Mongol itu bertambah gemuruh.
Setelah merangkak bangun, kedelapan orang
Mongol itu memandangi Kwe Ceng dengan terkesima bingung, entah mesti menubruk
maju lagi atau disudahi sampai di sini saja?
Segera Kwe Ceng memberi tanda kepada Yo Ko
agar berangkat Tapi pada saat itu juga terdengarlah suara tiupan tanduk sahut
menyahut di sana sini, beberapa pasukan Mongol tampak berseliweran di kejauhan
sana, rupanya Kubilai telah mengerahkan pasukannya, Kwe Ceng dan Yo Ko sudah
terkepung rapat di tengah.
Melihat kekuatan musuh yang hebat itu,
diam-diam Kwe Cing terkejut ia pikir biarpun berkepandaian setinggi langit juga
sukar menembus kepungan musuh seketat itu, Sungguh tak tersangka bahwa Kubilai
akan mengerahkan pasukannya
sebanyak itu hanya untuk melayani Kwe Ceng
seorang saja, ia kuatir Yo Ko merasa gentar maka ia sendiri sedapatnya bersikap
tenang, katanya kepada anak muda itu: “Kuda kita cukup cepat, marilah kita
terjang saja dan rampas dua buah perisai musuh untuk menjaga kalau musuh
memanah kuda kita,” - Lalu ia membisiki pula “Lekas menerjang dulu ke selatan,
habis itu kita putar balik ke utara,”
Semula Yo Ko melengak heran, Siangyang
terletak diselatan, mengapa sang paman mengajaknya menerjang ke utara malah?
Tapi ia lantas paham maksud Kwe Ceng itu, tentu sebelumnya Kubilai telah
pusatkan pasukannya di sebelah selatan untuk mengadang dia yang jelas akan
kabur pulang ke Siangyang, sebab itulah penjagaan di sebelah utara tentu
kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar