Kembalinya Pendekar Rajawali 15
Setelah
genap menyabet sepuluh kali, lalu Siao-liong-li jambret tubuh Yo Ko dan
dilemparkan lagi ke atas ranjang batu.
“Awas!
Berani kau turun lagi, segera kau rasakan pula kemoceng ini!” bentaknya
mengancam.
Tanpa
bersuara Yo Ko merebah di atas ranjang batu itu, ia dengar Siao-liong-li telah
kembalikan kemocengnya ke belakang pintu tadi, lalu melompat pula ke atas tali
buat tidur.
Siao-liong-li
menyangka Yo Ko tentu akan menangis dan bikin ribut lagi oleh hajarannya itu,
tak terduga, sepatah katapun anak muda itu tak bersuara, ini betul2 tak pernah
disangkanya
“Ko-ji,
kenapa kau diam saja ?” tanyanya kemudian
“Tiada
yang perlu kukatakan, sekali engkau bilang pukul, tentu aku akan dipukulnya,
percuma saja meski aku minta ampun,” sahut Yo Ko.
“Hm,
tetapi dalam hatimu kau tentu mencaci maki padaku,” kata Siao-liong-li.
“Tidak,
aku takkan mencacimaki kau, betapapun engkau masih jauh lebih baik daripada guruku
yang dahulu,” kata Yo Ko.
“Sebab
apa ?” Siao-liong-li menjadi heran.
“Ya,
sebab meski engkau memukul aku, tetapi dalam hatimu kau tetap sayang dan
kasihan padaku, makin pukul makin pelahan, engkau kuatir kalau aku kesakitan,”
kata Yo Ko.
Muka
Siao-liong-li rada merah karena isi hatinya dengan jitu kena dikatai, syukur
dalam kegelapan hingga tidak sampai dilihat Yo Ko.
“Cis,
siapa sayangi padamu, kalau lain kali kau tak menurut kata lagi, tentu akan
kupukul terlebih keras,” omelnya kemudian.
Mendengar
lagu suara orang sudah berubah menjadi halus, Yo Ko jadi dapat hati.
“Lebih
keras engkau memukul, tetap aku suka.” demikian katanya dengan cengar-cengir.
“Cis,
agaknya tulangmu memang gatal, sehari tidak rasakan gebukan, tentu kau tak bisa
tidur nyenyak,” omel Siao-liong-li pula.
“ltupun
harus me-Iihat2 siapa yang memukul aku,” kata Yo Ko. “Jika orang yang suka
padaku menghajar diriku, sedikitpun aku pasti tidak den-dam, mungkin malah
merasa senang, sebab dia hajar aku karena ingin aku berbuat baik, Tetapi bila
orang yang benci diriku, sekalipun dia hanya memaki sekata atau mendeliki mata
padaku, kelak kalau aku sudah dewasa, satu persatu pasti akan kucari dia buat
membikin perhitungan.”
“Coba
katakan, siapa yang benci kau dan siapa2 lagi yang suka padamu ?” tanya
Siao-liong-li
“ltu
sudah kuingat baik2 dalam hati,” kata Yo Ko. “Tentang orang yang benci padaku
boleh tak perlu disebut, tetapi orang yang sayang padaku ada aku punya Mak
(ibu) yang sudah meninggal, ayah angkatku Auwyang Hong, paman Kwe Ceng dan ada
lagi Sun~popoh dan engkau.”
“Hm,
jangan harap aku akan sayang padamu,” sahut Siao-liong-li dengan tertawa
dingin. “Aku hanya menurut pesan Sun-popoh, dia minta aku menjaga kau, maka aku
lantas menjaga kau, selama hidupmu ini jangan kau harapkan aku akan berbaik
hati padamu.”
Memangnya
Yo Ko sedang kedinginan, demi mendengar kata2 orang ini, sama saja ia telah
ditambahi dengan siram se-ember air dingin. “Kokoh, aku ini yang kurang baik
apa ? Kenapa engkau begini benci padaku ?” tanya Yo Ko menahan rasa mendongkolnya.
“Kau
baik atau tidak, peduli apa dengan aku ?” sahut Siao-Iing-li dingin, “Tetapi
akupun tidak benci kau. Selama hidup ini aku tinggal di dalam kuburan ini, aku
tak suka pada siapapun dan tak benci pada siapapun !”
“Selama
hidup tinggal di sini ? itu kan tidak menarik,” kata Yo Ko. “Kokoh, pernah
tidak kau keluar.”
“Tak
pernah kuturun dari Cong-lam-san ini,” sahut Siao-liong-li. “Di luar sana
paling banyak juga cuma ada gunung ada pohon, ada matahari ada rembulan, apanya
yang menarik ?”
“Ai,
kalau begitu hidupmu ini benar2 sia-sia belaka,” kata Yo Ko menepuk tangan,
“Jika hidup dikota, di sana bermacam ragam benda yang aneh, itulah baru
menyenangkan dan menarik,”
Habis
ini ia lantas ceritakan semua pengalamannya dan apa saja yang pernah dilihatnya
selama ia ter-Iunta2 sejak kecil Dasar si Yo Ko memang pandai bicara, apalagi
sengaja ia bumbu-bumbui, ia tambahi kecap, tambahi merica, tambahi minyak,
keruan ceritanya menjadi lebih aneh dan menarik dengan aneka macam ragamnya.
Meski
Siao-liong-li sudah berumur 20 tahun, tetapi selamanya belum pernah turun dari
Cong-lam-san barang selangkahpun, maka apa saja yang dibualkan Yo Ko, semuanya
ia percaya penuh, malahan sampai akhirnya, tak tertahan ia telah menghela
napas.
“Kokoh,
kubawa kau pergi pesiar, mau tidak?” kata Yo Ko akhirnya.
Di
luar dugaan, Siao-liong-li menjadi gusar oleh ajakan ini.
“Ngaco-belo,”
damperatnya, “Cosu-popoh sudah meninggalkan pesan bahwa barang siapa yang
pernah tinggal di dalam “Hoat-su-jin-bong” ini siapapun tidak boleh turun dari
Cong-lam-san meski selangkahpun,”
“Ha,
apakah akupun tak boleh turun gunung ?” tanya Yo Ko kaget oleh keterangan
orang.
“Sudah
tentu,” sahut Siao-liong-li.
Akan,
tetapi Yo Ko tidak menjadi gugup, sebab dalam hati ia telah pikir: “Satu pulau
terpencil seperti Tho-hoa-to saja bisa kutinggalkan, apalagi hanya sekian
kuburan kuno ini mana bisa mengurung selama hidupku.”
Begitulah
selama mereka bicara, sesaat itu Yo Ko melupakan rasa dingin yang menggigilkan
tadi tetapi sejenak saja percakapan mereka berhenti seluruh tubuhnya segera
terasa gemetar lagi
“Kokoh,
ampuni diriku, aku tak mau tidur lagi di atas ranjang ini.” demikian ia
memohon.
“Dalam
perkelahianmu dengan guru Coan-cin-kau, sepatah kata saja kau tak sudi minta
ampun, kenapa sekarang begini tak berguna ?” sahut Siao-liong-li
“ltuIah
lain,” kata Yo Ko dengan tertawa, “Siapa yang tidak baik terhadap diriku,
sekalipun aku mati dipukulpun tidak nanti aku sudi minta ampun padanya, Tetapi
siapa yang baik padaku, meski aku harus mati untuknya juga aku rela, apalagi
hanya minta ampun.”
“Cis,
tak malu, siapa baik padamu ?” jengek Siao-liong-li
Sejak
kecil Siao-liong-li dibesarkan oleh gurunya dan Sun-popoh, selama dua puluh
tahun itu hanya kedua orang tua itu saja yang berdampingan dengan dia. Meskipun
kedua orang tua itu sangat baik padanya, tetapi gurunya mengharuskan dia
berlatih “Giok-li-sim-keng” (ilmu gadis suci) dan sejak kecil dia sudah
diajarkan membuang segala cita-rasa, asal kelihatan Siao-liong-li mengunjuk
sedikit perasaan saja, segera gurunya mendamperatnya.
Sedang
Sun-popoh walaupun cukup simpatik, namun ia juga tak berani menghalang-halangi
pelajaran Siao-liong-li sehingga oleh karena itu tabiatnya yang aneh dan
menyendiri tanpa emosi itu terpelihara sejak kecil.
Kini
dengan datangnya Yo Ko, anak ini justru berhati panas seperti api, usianya
masih kecil pula, baik tutur katanya maupun tindak-tanduknya sudah tentu
berbeda seluruhnya dari pada kedua nenek2.
Sebenarnya
Siao-liong-li juga tahu apa yang dituturkan Yo Ko itu jelas menyalahi ajaran2
guru-nya, namun tidak urung ia ikut bercerita dengan asyik sekali hingga lupa
daratan.
Siao-liong-li
menerima Yo Ko sebenarnya hanya untuk memenuhi permintaan Sun-popoh saja,
tetapi kemudian Yo Ko selalu bilang dia sangat baik padanya, dengan sendirinya
lambat laun iapun merasa memang benar ia memperlakukan anak ini dengan sangat
baik.
Demikianlah,
karena lagu bicaranya Siao-liong-li telah berubah halus, maka Yo Ko makin
mendapat hati
“Wah,
dingin, Kokoh, dingin sekali aku tak tahan lagi!” akhirnya ia berani ber-teriak2.
Padahal
sekalipun kedinginan sebenarnya belum perlu ber-teriak2 minta tolong dan bikin
geger segala.
“Jangan
ribut, biar kuceritakan padamu tentang asal-usul ranjang batu ini,” kata
Siao-liong-li kemudian.
“Baiklah,”
sahut Yo Ko girang. “Nah, Kokoh aku tidak berteriak lagi mulailah bercerita !”
“Tadi
kukatakan tidak sedikit tokoh Bu-lim di jagat ini ingin tidur di atat ranjang
batu ini, hal ini sekali2 bukan untuk mendustai kau,” demikian Siao-liong-li
menutur, “Harus diketahui bahwa ranjang ini dibikin dari batu pualam dingin
purbakala, inilah alat pembantu utama bagi orang yang ingin berlatih Lwekang
yang tinggi.”
“lni
bukan batu biasa ?” tanya Yo Ko heran.
“Katanya
kau sudah banyak berpengalaman dan pernah melihat benda yang aneh2, tapi pernahkah
kau melihat batu sedingin ini ?” sahut Siao-liong-li. “Hendaklah diketahui batu
ini adalah hasil jeri-payah Cosu-popoh selama tujuh tahun berada di kutub utara
yang paling dingin, disana batu pualam dingin ini dia gali dari bawah es yang
tebalnya ratusan tombak, Siapa yang berlatih Lwekang dengan tidur di atas
ranjang batu pualam ini, maka setahun saja sudah sama dengan berlatih sepuluh
tahun secara biasa.”
“He,
begini besar faedahnya ?” seru Yo Ko kegirangan.
“Ya,”
kata Siao-liong-li, “Mula2 kau tidur di atasnya terasakan dingin tak tertahan,
tetapi asal kau kumpulkan seluruh tenaga untuk melawannya, lama kelamaan akan
menjadi biasa, sekalipun di waktu tidur, itu berarti tak pernah berhenti
berlatih diri.
Sebab
orang biasa kalau berlatih ilmu, sekalipun orang yang paling giat dan rajin,
tiap2 hari ada beberapa jam perlu buat tidur, Dau kau harus tahu, melatih ilmu
yang menjalankan napas dan darah ditubuh sama sekali berlawanan daripada ilmu
biasa, jika sampai tertidur, maka jalan darah itu akan berputar seperti biasa
dan ini sebaliknya membikin percuma dari apa yang dilatihnya waktu siang hari.
Tetapi
kalau orangnya tidur di atas ranjang ini, bukan saja tidak sia-sia hasil yang
dilatih siang harinya, bahkan Lwekangnya akan bertambah lebih kuat.”
Mendengar
penjelasan ini, saking senangnya Yo Ko terus berseru:
“Kokoh,
sungguh baik sekali engkau padaku, dengan tidur di ranjang ini, aku tak akan
takut lagi pada kedua saudara Bu dan Kwe Hu, sekali pun Tio Ci-keng dari
Cian-cin-kau yang sudah Iama berlatih itu, kelak aku pasti dapat melebihinya,”
demikian katanya.
“Tetapi
Cosu-popoh telah menetapkan peraturan bahwa orang yang sudah tinggal di dalam
kuburan ini harus tekun berlatih diri dengan tenang dan sabar, harus hapuskan
segala napsu berlomba dengan orang luar,” kata Siao-liong-li dengan dingin.
Yo
Ko menjadi gugup oleh kata-kata ini.
“Mereka
begitu menghina padaku, pula telah tewaskan Sun-popoh, apakah begitu saja kita
anggap beres ?” katanya penasaran.
“Setiap
manusia akhirnya toh mesti mati, sekalipun Sun-popoh tidak mati ditangan Hek
Tay-thong, lewat beberapa tahun lagi ia sendiripun akan mati juga,” ujar
Siao-liong-li “Apa bedanya hidup lebih lama beberapa tahun atau mati lebih
cepat beberapa tahun ? Kata2 balas dendam segala, untuk selanjutnya tak boleh kau
sebut2 lagi di hadapanku.”
Yo
Ko merasa kata2 Siao-liong-li ini ada benarnya juga, tetapi iapun merasa ada
tempat2 yang tidak tepat, hanya seketika ia tidak mendapatkan kata2 yang tepat
untuk mendebatnya.
Pada
saat itu juga hawa dingin terasa menyerang lebih hebat lagi, Tiba2 Yo Ko
teringat pada apa yang dikatakan Siao-liong-li tadi, ia pikir: “Kenapa aku
tidak mencobanya dengan Lwekang ajaran ayah angkat itu ?”
Segera
tubuhnya menegak ke atas, ia menjungkir dengan kepala dibawah, ia keluarkan
ilmu yang pernah dipelajarinya dari Auwyang Hong.
Tak
lama kemudian terasalah semacam hawa hangat mengalir melalui seluruh tubuhnya,
segera pula perasaan dingin tadi banyak berkurang waktu dia me-mutar2 tiga
kali, tiba2 tubuhnya malah terasa sepanas dibakar, sedikitpun tidak kedinginan
lagi, bahkan setelah dia rebah kembali di atas ranjang batu itu lantas terasa
segar dan sangat enak, ketika matanya dipejamkan akhirnya ia tertidur dengan
nyenyak.
Tetapi
sesudah tertidur kira2 setengah jam, setelah hawa hangat tubuhnya buyar,
kembali ia terjaga dari tidurnya oleh karena hawa dingin telah menyerang lagi,
oleh karena itu, segera ia menjungkir pula mengeluarkan ilmu ajaran Auwyang
Hong.
Dan
begitulah seterusnya, tidur sebentar lalu mendusin dan tidur lagi, ia ribut
sendiri semalam suntuk, tetapi paginya sesudah bangun, bukannyas ia merasa
letih, sebaliknya ia malah penuh semangat, suatu tanda bahwa ilmu menjungkirnya
itu khasiatnya memang hebat.
Waktu
Siao-liong-li meraba jidat anak ini, merasa suhu badan orang biasa saja, keruan
ia menjadi heran sekali, maka dengan sabar dia tanya Yo Ko ilmu apa yang pernah
dipelajarinya dahuIu.
Sedikitpun
Yo Ko tidak membohong, ia menerangkan seluruhnya, ia ceritakan Lwekang yang
dipelajarinya dari ibu kandungnya sendiri dan Ha-mokang yang diterimanya dari
Auwyang Hong.
Diam2
Siao-liong-li ber-pikir2, ia merasa kedua macam Lwekang yang diuraikan Yo Ko
itu sama sekali tidak sejurus dan berlainan, terang pula berbeda sekali dengan
Lwekang sendiri, la, pikir meski apa yang Yo Ko pahami itu hanya sedikit dasar
penuntun saja, tapi dengan ini pula dapat dibayangkan yang lain bahwa kedua
ilmu Lwekang yang dipelajarinya itu justru luar biasa bagusnya, sesungguhnya
tidak dibawah Lwekang dari pada perguruannya sendiri.
BegituIah,
sesudah Siao-liong-li ter-menung2 sejenak, lalu ia membatin lagi: “Kiranya anak
ini sudah mempunyai dasar Lwekang yang kuat, soalnya tidak dipergunakan secara
baik dan tepat, Maka sekarang tidak perlu kesusu mengajarkan dia Lwekang dari
perguruannya sendiri ”
Paginya,
sesudah mereka sarapan, berkatalah Siao-liong-li kepada Yo Ko:
“Ko-ji,
ada suatu soal, ini boleh kau pikirkan sendiri dengan masak jika sungguh2 kau
ingin mengangkat guru padaku, maka seumur hidup ini kau harus tunduk pada
kata2ku, Tetapi jika kau tidak angkat guru padaku, akupun tidak <^Ww!>
nurunkan
ilmu kepandaian padamu, kelak kalau kau mampu menangkan aku, maka dengan ilmu
silatmu itu boleh kau terjang keluar Hoat-su-jin-bong ini.”
“Sudah
tentu aku ingin angkat kau sebagai guru,” sahut Yo Ko tanpa pikir sedikitpun
“Sekalipun kau tidak mengajarkan kepandaian padaku juga pasti aku akan turut
segala perkataanmu.”
Keruan
Siao-liong-li heran oleh jawaban ini.
“Sebab
apa ?” tanyanya.
“Kokoh,
dalam hati engkau sangat baik terhadapku memang kau kira aku tidak tahu ?” sahut
Yo Ko.
“Baik
tidak aku terhadapmu selanjutnya tidak boleh dipakai membacot,” kata
Siao-liong-li dengan menarik muka, “Baiklah, jika kau angkat guru padaku, mari
kita pergi ke ruangan belakang buat menjalankan upacara.”
Maka
ikutlah Yo Ko ke ruangan belakang, di ruangan ini Yo Ko melihat keadaanpun
kosong belaka tanpa sesuatu pajangan, hanya diantara kedua belah dinding timur
dan barat tampak tergantung dua lukisan.
Lukisan
yang tergantung di dinding sebelah barat menggambarkan dua gadis jelita, yang satu
usianya 25-26 tahun dan sedang bersolek menghadapi cermin, sedang gadis yang
lain berumur 14-15 tahun, dari dandanannya jelas adalah seorang dayang atau
pelayan, tangannya terlihat memegang sebuah baskom sedang melayani junjungannya
yang sedang bersolek itu.
Kedua
gadis ini semuanya berwajah cantik molek, yang berumur lebih tua itu alisnya
lentik panjang sampai mendekati pelipis, diantara sorot matanya lapat2 membawa
perbawa yang agung dan keren, Tanpa terasa Yo Ko memandang beberapa kali lebih
banyak kepada gadis ini, dalam hati se-akan2 dengan sendirinya timbul semacam
perasaan hormat kepadanya.
“lni
dia Cosu-popoh (nenek guru), hayo menjuralah kau,” demikian Siao-liong-li
lantas berkata padanya sambil menunjuk gambar gadis yang tua-an itu.
“Dia
ini Cosu-popoh ?” tanya Yo Ko dengan heran, “Kenapa usianya begini muda ?”
“Waktu
membikin lukisan ini dia masih muda, kemudian tentunya tidak muda lagi,” sahut
Siao-liong-li.
Kata2
jawaban ini diulangi Yo Ko di dalam hati, tiba2 ia merasakan semacam kesunyian
yang memilukan, maka dengan tercengang ia pandang lukisan itu, tanpa tertahan
air matanya meleleh.
Sudah
tentu Siao-liong-li tidak tahu isi hati bocah ini, kembali dia tuding gambar
gadis yang berdandan sebagai pelayan itu dan berkata pula : “lni adalah Suhuku,
Nah, lekas kau menjura.”
Waktu
Yo Ko mengamat-amati pula lukisan itu, ia lihat gadis jelita yang dimaksud ini
masih bodoh pelonco, wajahnya bersifat anak2, siapa tahu telah menjadi gurunya
Siao-liong-li. Akan tetapi tanpa ragu2 lalu ia berlutut terus menjura terhadap
lukisan itu.
Menunggu
sesudah Yo Ko berdiri kembali kemudian Siao-liong-li tuding lagi pada lukisan
yang tergantung di dinding sebelah timur itu sambil berkata: “Sekarang ludahi
sekali pada Tojin itu !”
Waktu
Yo Ko menegasi, ia lihat lukisan itu memang menggambarkan seorang Tojin atau
imam yang berperawakan jangkung, pada pinggangnya tergantung sebatang pedang
dan jari telunjuk kanannya sedang menuding ke jurusan timur-laut, hanya gambar
Tojin ini dalam keadaan mungkur, maka wajah imam ini tidak jelas tertampak.
Tentu saja Yo Ko sangat heran.
“Siapa
dia ? Kenapa harus meludahi dia ?” tanyanya kemudian,
“Dia
adalah Kaucu (ketua agama) Coan-cin-kau, Ong Tiong-yang,” tutur Siao-liong-Ii.
“Kita mempunyai satu peraturan, apabila sudah menyembah pada Cosu-popoh,
kemudian harus meludahi dia,”
Dalam
hati kecilnya Yo Ko memang sudah dendam dan benci terhadap orang2 Coan-cin-kau,
setelah diberi penjelasan itu, tanpa pikir lagi segera ia meludahi lukisan itu
dan tepat mengenal punggung gambarnya Ong Tiong-yang.
“Kokoh,
apakah Cosu-popoh kita sangat benci kepada Ong Tiong-yang ?” tanya Yo Ko.
“Ya,”
jawab Siao-liong-li
“Kalau
begitu kenapa gambar ini tidak dibakar saja, sebaliknya malah digantung di
sini?”^ ujar Yo Ko.
“ltulah
aku tak tahu, Aku hanya dengar dari Suhu dan Sun-popoh bahwa kaum laki2 di
jagat ini tiada satupun yang baik,” demikian sahut Siau liong-li. Habis ini
suaranya seketika berubah menjadi bengis dan membentak: “Kelak kalau kau sudah
besar dan berani melakukan perbuatan jahat, hm, lihat saja apa aku akan
mengampuni kau ?”
“Sudah
tentu kau mengampuni aku,” tiba2 Yo Ko menjawab.
Keruan
Siao-Iiong-li tertegun seketika, Maksudnya dengan kata2 terakhirnya tadi
sebenarnya hanya buat me-nakut2i dan sebagai peringatan saja, tak terduga Yo Ko
ternyata berani menjawab Dalam tertegunnya, Siao-liong-Ii menjadi bingung malah
dan kehabisan akal.
“Lekas
menyembah guru !” akhirnya ia membentak lagi.
“Kepada
guru sudah tentu aku, akan menyembah,” sahut Yo Ko lagi, “Cuma engkau harus
berjanji dulu satu hal padaku, kalau tidak, aku tak mau menyembah.”
“Kurang
ajar anak ini,” diami Siao-liong-li menggerutu dalam hati “Selamanya hanya guru
yang minta murid harus berjanji, mana ada aturan bahwa murid malah meminta
janji dari sang guru ?”
Akan
tetapi dasar sifatnya memang sabar dan pendiam, maka iapun tidak menjadi gusar.
“Soal
apa ? Boleh coba kau katakan,” sahutnya kemudian.
“Begini,”
kata Yo Ko, “dalam hati sudah terang kuanggap engkau sebagai Suhu, aku
menghormati kau dan menjunjung kau, apa yang kau katakan tentu kuturut, tetapi
dalam sebutan aku tidak panggil engkau sebagai Suhu melainkan tetap panggil
engkau Kokoh (bibi) saja”
Permintaan
ini kembali membikin Siao-liong li tercengang.
“Sebab
apa ?” tanyanya kemudian.
“Ya,
sebab sudah dua kali aku mengangkat Suhu, tetapi mereka perlakukan aku tidak
baik, diwaktu mimpi saja aku akan mengutuki Suhu,” demikian Yo Ko menutur,
“Oleh sebab itu adalah lebih baik kupanggil kau Kokoh saja, agar bila aku
mengutuki Suhu engkau tidak ikut tersangkut.”
Tanpa
tertahan Siao-liong-Ii tertawa geli oleh keterangan Yo Ko ini, ia merasa
walaupun kelakuan anak ini terlalu aneh dan nakal, tapi cara berpikirnya
ternyata menarik juga.
“Baiklah,
aku terima permintaanmu,” janjinya kemudian.
Yo
Ko lantas berlutut, dengan sangat hormat ia menyembah delapan kali pada
Siao-liong-li
Lalu
Yo Ko mengucapkan janji pula: “Tecu (anak murid) Yo Ko hari ini mengangkat
Siao-liong-li Kokoh sebagai guru, sejak kini, selamanya Yo Ko akan dengar kata
Kokoh, jika Kokoh ada kesulitan dan menghadapi bahaya, Yo Ko akan mati-matian
membela Kokoh tanpa hiraukan jiwa sendiri jika ada orang jahat berani menghina
Kokoh, Yo Ko pasti akan membunuh orang jahat itu.”
Sungguh
lucu sekali sumpah setia Yo Ko: ini Padahal waktu itu ilmu silat Siao-liong-Ii
entah berapa puluh kali lebih tinggi daripada Yo Ko, tapi Yo Ko anggap orang
adalah gadis jelita yang lemah lembut, maka tiba2 timbul sikap perkasa sebagai
seorang jantan sejati yang wajib melindungi wanita lemah, sampai akhirnya,
makin lama semakin bersemangat dan gagah ucapannya.
Meski
lagu suara Yo Ko masih berbau kanak2, tetapi kata2 yang diucapkannya dengan
sungguh2 dan penuh semangat itu, mau-tak-mau membikin hati Siao-liong-Ii rada
terguncang juga.
BegituIah,
sesudah Yo Ko menjura, kemudian ia berdiri kembali dihadapan orang dengan muka
ber-seri2 tanda gembira.
“Apa
yang membikin kau begini senang ?” tanya Siao-Iiong-li. “Kepandaianku toh belum
tentu bisa menangkan imam2 tua dari Coan-cin-kau itu, lebih2 tak mungkin bisa
diatas kau punya Kwe-pepek.”
“PeduIi
apa meski kepandaian mereka lebih tinggi,” sahut Yo Ko spontan, “yang penting,
engka mau mengajarkan ilmu kepandaian padaku dengan sungguh-sungguh.”
Siao-liong-li
menghela napas mendengar jawaban orang.
“Padahal
apa gunanya meski sudah belajar ilmu silat ?” ujarnya, “Cuma, daripada iseng
menganggur di dalam kuburan sunyi ini, baiklah aku akan ajarkan padamu,
sekarang kau tunggu dulu disini, biar aku keluar sebentar.”
Mendengar
dirinya akan ditinggal pergi, Yo Ko menjadi takut karena harus tinggal
sendirian dalam kuburan.
“Kokoh,
aku ikut keluar saja,” demikian katanya cepat
Akan
tetapi Siao-liong-Ii segera pelototi padanya.
“Baru
saja kau berjanji akan turut perkataanku untuk selamanya, tapi hari pertama kau
sudah membangkang,” damperatnya.
“Tetapi,
aku aku takut,” sahut Yo Ko.
“Laki2
jantan sejati, takut apa ?” damperat Siao-liong-li pula, “Tadi kau masih bilang
hendak membela diriku dan bunuh orang jahat segala !”
“Baiklah,
kalau begitu lekasan engkau kembali ya !” kata Yo Ko sesudah berpikir.
“ltupun
tak bisa ditentukan, bagaimana jika seketika sukar menangkapnya ?” ujar
Siao-Iiong-li.
Yo
Ko menjadi heran oleh jawaban ini.
“Menangkap
apa, Kokoh ?” tanyanya.
Namun
Siao-liong-Ii tak menjawab, ia terus bertindak pergi sendiri.
Dengan
keluarnya Siao-liong-Ii, keadaan di dalam kuburan menjadi sepi nyenyap.
Dalam
pada itu Yo Ko masih me-nerka2 dalam hati oleh kata2 Siao-liong-li tadi yang
bilang hendak pergi menangkap sesuatu, ia tidak tahu siapakah yang hendak
ditangkapnya. Tapi mengingat Siao-liong-li tidak pernah turun selangkah pun
dari Cong-km-san, Yo Ko yakin tentu sasaran yang ditangkapnya adalah imam
Coan-cin-kau, hanya tidak diketahui imam mana yang akan ditangkapnya dan guna
apa menangkapnya ?”
BegituIah
Yo Ko berpikir serabutan sendirian, tanpa terasa iapun sudah melangkah keluar
ruangan besar kuburan itu dan menuju ke arak syrat melalui satu lorong, tetapi
baru belasan tindak dilalui, tiba2 pandangannya menjadi gelap gulita.
Karena
kuatir akan kesasar, lekas2 Yo Ko balik kembali pe-lahan2 dengan merembet
dinding, siapa tahu meski sudah beberapa puluh tindak ia berjalan masih belum
juga dilihatnya sinar pelita di ruangan besar tadi.
Dalam
gelisah dan takutnya, Yo Ko tambah cepat melangkah ke depan, Akan tetapi ia
jadi kesasar lebih jauh lagi. Memangnya ia sudah salah jalan, dalam keadaan
gugup semakin salah pula. Makin jalan makin cepat, beberapa kali ia kebentur
sini dan tertumbuk sana, dalam kegelapan ia merasa jalan lorong itu
bersimpang-cabang belaka, hingga tak bisa lagi ia kembali ke ruangan besar di
depan tadi.
“Kokoh,
Kokoh ! Lekas tolong !” saking kuatirnya ia ber-teriak2.
Akan
tetapi suara gemborannya segera berkumandang balik diantara lorong kuburan itu
hingga membisingkan telinga.
Namun
Yo Ko tidak putus asa, ia maju terus mencari jalan keluarnya, kemudian tiba2
terasa tanah di mana dia injak ternyata basah becek, kiranya dirinya sudah
tidak berada di lorong kuburan lagi melainkan berada di jalan lembah pegunungan
yang bertembusan dengan lorong kuburan dibawah tanah itu.
Keruan
Yo Ko semakin ketakutan.
“Jika
aku kesasar di dalam kuburan, bagaimanapun Kokoh pasti dapat mencari kembali
di-riku,” demikian ia pikir. “Kini aku telah sampai disini, kalau tak bisa
menemukan aku, tentu ia mengira aku melarikan diri, dan tentu pula dia akan
berduka sekali.”
Oleh
karena itu, sesudah me-raba2 mendapatkan sebuah batu, lalu ia bersedakap tangan
dan berduduk di atas batu itu sambil ter-menung2.
Lama
sekali ia duduk ter-mangu2, tiba2 ia dengar suara sajup2 orang sedang
memanggilnya: “Ko-ji Ko-ji!”
Yo
Ko dapat mengenali suara orang itu, tentu saja ia sangat girang, tanpa ayal
lagi ia melompat bangun dan balas berteriak : “Aku ada di sini, Kokoh !”
Akan
tetapi suara panggilan “Ko-ji, Ko-ji” itu bukannya makin mendekat, sebaliknya
malah menjauh.
Keruan
saja Yo Ko sangat cemas, lekas-lekas ia pantang mulut dan berteiak lebih keras:
“Aku ada di siniiiiiii!”
Tetapi
sejenak kemudian ia tidak mendengar suara panggilan lagi, tentu saja ia menjadi
kesal dan putus asa.
Tak
terduga, mendadak ia merasakan daun kupingnya menjadi “nyes” dingin, tahu2
kupingnya dijewer orang terus diangkat.
Dalam
kagetnya hampir saja Nyo.Ko- menjerit akan tetapi segera ia menjadi girang
sekali
“He,
Kokoh, kau ! Kenapa sedikitpun aku tidak merasa,” demikian teriaknya kemudian.
“Apa
yang kau lakukan di sini ?” omel Siao-liong-li.
“Aku
kesasar,” sahut Yo Ko.
Siao-liong-li
tidak menanya lebih jauh, ia tarik tangan Yo Ko dan diajak kembali walaupun
dalam keadaan gelap gulita, namun Siao-liong-li ternyata bisa jalan dengan
cepat dan belak-belok seperti jalan di siang hari saja.
“Kokoh,
kenapa engkau dapat melihat dengan terang ?” tanya Yo Ko kagum.
“Seumur
hidupku dibesarkan dalam kegelapan dengan sendirinya aku tidak memerlukan sinar
terang,” sahut Siao-liong-li.
Tidak
antara lama, kembali Siao-liong-li membawa Yo Ko sampai di ruang besar semula.
“Kokoh,”
kata Yo Ko sambil tarik napas panjang, “sungguh, tadi aku merasa kuatir sekali”
“Kuatir
apa ? Toh pasti aku akan menemukan kau,” sahut Siao-liong-li
“Bukan
kuatirkan soal ini,” kata Yo Ko pula, “tetapi aku kuatir engkau akan menyangka
aku melarikan diri hingga merasa berduka dalam hati”
“Jika
kau lari, janjiku pada Sun-popoh lantas batal pula, apanya yang perlu dibuat
duka ?” sahut Siao-liong-li
Nyata
watak kedua orang ini sama sekali terbalik, jika Yo Ko berpikir dengan penuh
perasaan hangat, sebaliknya Siao-liong-li berhati dingin sebagai es.
“Apa
engkau telah berhasil menangkapnya, Kokoh ?” tanya Yo Ko lebih jauh.
“Sudah,”
jawab Siao-liong-li
“Kenapa
engkau menangkap dia ?” tanya Yo Ko lagi
“Bukankah
buat membantu kau melatih silat, sahut Siao-liong-li, “Sini, ikut padaku,”
Mendengar
jawaban ini, seketika Yo Ko menjadi girang. “Eh, kiranya dia pergi menangkap
imarn Coan-cin-kau untuk dibuat untuI (mangsa latihan) bagiku,” demikian
pikirnya, Keruan ia sangat ketarik, maka tanpa berkata lagi dia ikut di
belakang Siao-liong-li
Setelah
memutar beberapa kali kemudian Siao-liong-li membuka sebuah pintu dan masuk ke
dalam sebuah kamar batu.
Yang
aneh jalan kamar batu ini ternyata sangat kecil dan sempit, dua orang berada di
dalamnya saja sukar memutar tubuh, pula langit2an kamar sangat rendah, hampir
Siao-liong-li menyundul langit2 kamar itu apabila mengangkat tangannya…
Dalam
pada itu Yo Ko juga heran, sebab tiada satu imam Coan-cin-kau yang terdapat di
dalam kamar itu.
“Di
manakah Tosu yang engkau tangkap itu ?” begitulah ia lantas tanya.
“Tosu
apa ?” berbalik Siao-long-li balas tanya.
“Bukankah
engkau bilang hendak pergi menangkap orang buat membantu aku latihan silat?”
sahut Yo Ko.
“Siapa
bilang orang ?” kata Siao-liong-li “Tetapi ini, di sini”
Habis
ini ia berjongkok dan tarik sebuah kantong kain dari pojok kamar, setelah tali
pengikat kantong dilepas, kantong itu dia kebas beberapa kali, maka terbang
keluarlah tiga ekor burung gereja.
Luar
biasa herannya Yo Ko setelah mengetahui isi kantong itu. “Eh, kiranya Kokoh
keluar tadi untuk menangkap burung gereja,” demikian ia membatin.
“Nah,
sekarang coba kau tangkap ketiga burung gereja itu, tetapi tak boleh kau
membikin rontok bulunya atau melukai cakarnya,” demikian Siao-liong-li berpesan
padanya.
Yo
Ko menjadi senang oleh permainan ini.
“Bagus
!” serunya gembira, Dan begitu menubruk maju segera ia hendak menangkap salah
satu burung gereja itu.
Akan
tetapi burung2 gereja itu ternyata sangat gesit, meski Yo Ko sudah tubruk sini
dan samber sana, tetap tak bisa menyenggol sedikitpun, jangankan hendak
menangkapnya, Akhir-nya napas Yo Ko sendiri yang ter-engah2 dan berkeringat.
“Cara
kau menangkapnya itu salah, Harus begini, lihat ini kuajarkan kau caranya,”
kata Siao-liong-Ii.
Habis
itu, dia lantas memberi beberapa petunjuk caranya meloncat ke atas dan menubruk
ke bawah, cara menangkap dan mencekal dengan cepat.
Yo
Ko memang sangat pintar, ia tahu dengan melalui cara menangkap burung gereja
itu sebenarnya Siao-liong-li lagi mengajarkan semacam ilmu silat yang tinggi
padanya, maka ia memperhatikan sepenuhnya semua pelajaran itu dan di-ingatnya
dengan baik.
Dengan
main tubruk dan samber tanpa teratur nyata Yo Ko kewalahan sendiri untuk
menangkap ketiga ekor burung gereja itu.
Cara2
yang diajarkan Siao-liong-li padanya itu sudah bisa dipahaminya, hanya seketika
belum dapat dia pergunakan Namun Siao-liong-li tidak peduli lebih jauh, ia
membiarkan Yo Ko sibuk sendiri didalam kamar itu dengan burung2-nya, sedang ia
sendiri lantas keluar sesudah merapatkan pintunya.
Hari
pertama itu nyata Yo Ko belum sanggup menangkap burung gereja itu meski hanya
seekor saja, sesudah bersantap malam, dia latih Lwekangnya lagi di atas ranjang
batu pualam dingin, Besok paginya, kembali ia mengudak burung gereja lagi, cara
melompatnya ternyata sudah bertambah tinggi, gerak tangannya pun jauh lebih
cepat daripada tadinya.
Begitulah
seterusnya, sampai hari kelima, akhirnya berhasil juga dia menangkap seekor
burung gereja itu, luar biasa girang Yo Ko, segera ia mencari Siao-liong-li dan
melaporkan kemajuannya itu.
Siapa
tahu, bukannya Siao-liong-li memuji atas hasilnya itu, sebaliknya ia dingin
saja menerima laporan itu, bahkan ia menyindir: “Huh, apa gunanya hanya seekor
? Tetapi harus menangkap tiga ekor sekaligus !”
Yo
Ko tak berani menjawab, dalam hati ia pikir: “Kalau sudah bisa menangkap
seekor, menangkap lagi dua ekor apa susahnya ?”
Tak
tersangka prakteknya ternyata tidak begitu gampang sebagaimana dia sangka,
beruntun-runtun dua hari seekor saja tak mampu ditangkapnya lagi.
Setelah
ketiga burung gereja itu sudah payah karena terus menerus di-uber2 oleh Yo Ko,
kemudian Siao-liong-li melepaskannya setelah di-lolohi sedikit makanan, lalu ia
menangkap lagi tiga ekor yang baru yang masih segar dan kuat untuk melatih Yo
Ko. Dan pada hari kedelapan barulah sekaligus Yo Ko mampu menangkap ketiga
burung gereja itu.
“Cukuplah
sekarang, mari kita pergi ke Tiong-yang-kiong,” kata Siao-Iiong-li.
Tentu
saja Yo Ko rada terperanjat oleh ajakan ini.
“Untuk
apa ke sana ?” tanyanya heran.
Akan
tetapi Siao-liong-li tidak menjawab pertanyaannya, ia tarik tangan bocah itu
terus diajak menuju Tiong-yang-kiong.
Selama
itu meski hanya selisih delapan hari saja, namun keadaan Yo Ko ternyata sudah
berlainan, kini tindakannya kuat dan langkahnya enteng, jelas sekali lebih
tangkas daripada sebelumnya.
“Thio
Ci-keng ! Hayo lekas keluar!” seru Siao-liong-li sesudah sampai di depan
Tiong-yang-kiong kaum Coan-cin-kau itu.
Tadi
sebelum mereka berdua sampai di depan istana ini, lebih dulu sudah ada imam
Coan-cin-kau yang telah melaporkan kedatangan mereka, maka baru saja
Siao-liong-li berteriak, segera dari dalam istana itu membanjir keluar beberapa
puluh orang Tosu atau imam, Di antaranya dua imam cilik memayang Thio Ci-keng.
Wajah Ci-keng tertampak pucat lesu, kedua matanya cekung, kelihatannya tak
sanggup berdiri sendiri.
sementara
itu para imam dapat mengenali Siao-liong-li berdua, mereka semua memegang
ferijata dan memandang dengan mata melotot gusar
Siao-liong-li
lantas keluarkan sebuah botol putih dari bajunya,
“Ini
adalah air madu untuk menyembuhkan racun antupan tawon, ambil dan berikan pada
Thio Ci-keng,” katanya dengan suara keras sambil menyerahkan botol itu kepada
Yo Ko.
Waktu
melihat Thio Ci-keng, sebenarnya hati Yo Ko masih belum hilang rasa benci dan
dendamnya pada imam ini. Hanya karena dihadapan orang banyak, rasanya tak enak
membantah maksud Siao-liong-li itu, Maka dengan langkah lebar terpaksa ia
membawa botol madu tawon itu, dan ditaruh di depan Thio Ci-keng.
Ketika
para imam Coan-cin-kau mendengar bahwa Siao-liong-li datang lagi, mereka
menyangka gadis ini tentu akan cari gara2 dan bikin onar, untuk membalas sakit
hatinya Sun-popoh, maka disamping mereka siap berjaga, di lain pihak segera
dilaporkan kepada Ma Giok dan Khu ju-ki yang tingkatannya lebih tua.
Tak
terduga bahwa kedatangan Siao-liong-li ini ternyata sama sekali tidak bersifat
permusuhan melainkan malah mengutarakan madu tawon penawar racun, keruan mereka
menjadi heran, dalam bingungnya sampai mereka tak bisa menyambut perkataan
Siao-liong-li” tadi, sementara itu setelah Yo Ko menaruh botol madu tawon
didepan orang, ia pandang sekejap pula kepada Thio Ci-keng dengan sorot mata
yang penuh menghina dan merasa jijik,habis ini ia putar tubuh terus jalan
kembali.
Slkap
Yo Ko ini agaknya dapat dilihat dengan jelas oleh Ceng kong yang berada juga di
antara kawanan imam itu, ia tak bisa menahan amarahnya lagi.
“Anak
celaka, sudah mengkhianati perguruan, sekarang kau mau pergi begitu saja ?”
demikian segera ia membentak sambil memburu maju hendak menawan Yo Ko.
“Ko-ji,
hari ini jangan membalas serangannya,” tiba2 Siao-liong-li berpesan pada Yo Ko.
Dalam
pada itu Yo Ko mendengar dari belakangnya ada suara tindakan orang dengan
cepat, menyusul mana terdengar pula menyambernya angin pukulan, nyata ada orang
hendak menjamberet punggungnya, Karenanya, tanpa pikir segera ia mendaki tubuh
ke bawah, lalu mendadak ia meloncat ke samping.
Meski
baru delapan hari Yo Ko berlatih menangkap burung gereja di dalam
Hoat-su-jin-bong atau kuburan orang hidup itu dan tidur di atas ranjang batu
pualam dingin delapan malam pula, walaupun Siao-liong-li hanya mengajarkan
sedikit caranya menangkap burung, akan tetapi semua itu justru adalah intisari
dari kunci dasar latihan Ginkang atau ilmu entengkan tubuh yang tinggi dari
Ko-bong-pay (aliran kuburan kuno) itu, maka kepandaiannya sekarang sudah jauh
berbeda daripada waktu bertanding dengan imam Coan-cin-kau dahulu.
BegituIah,
maka dengan tepat sekali, pada saat tangan Ceng-kong hampir menempel
punggungnya, mendadak ia melompat pergi, bahkan berbareng itu sekalian ia tarik
kain baju orang, Memangnya karena Ceng-kong luput menubruk orang dan tubuhnya
mendoyong ke depan, kini ditambah oleh tarikan Yo Ko, keruan ia tak sanggup
berdiri tegak lagi, tanpa ampun ia jatuh tersungkur dengan antap sekali.
Ketika
Ceng-kong bisa merangkak bangun, sementara itu Yo Ko sudah berdiri di samping
Siao-liong-li.
Dalam
gusarnya Ceng-kong berteriak murka terus hendak menyeruduk maju lagi, syukur
pada saat itu mendadak dari rombongan imam2 itu telah maju satu orang dan
secepat kilat menghadang dihadapan Ceng-kong sambil menarik tangannya dan
diseret kembali ke tempat berdiri mereka semula.
Seketika
Ceng-kong merasakan setengah tubuhnya menjadi kaku kesemutan, waktu ia
mendongak kiranya yang menariknya adalah Susiok atau paman gurunya, In Ci-peng.
Karena itu, kata2 makian yang sebenarnya akan dia lontarkan, seketika juga ia
telan kembali mentah2.
“Banyak
terima kasih atas pemberian obat nona tadi,” demikian In Ci-peng membuka suara
sambil membungkuk memberi hormat.
Sebaliknya
Siao-liong-li ternyata tidak balas hormat orang, iapun tidak menjawab, Dia
gandeng tangannya Yo Ko terus diajak kembali: “Mari Ko-ji, kita pulang saja !”
“Liong-kohnio,”
tiba2 In Ci-peng Berseru lagi, “Yo Ko ini adalah anak murid Coan-cin-kau kami,
tetapi secara paksa kau telah menerimanya sebenarnya cara bagaimana urusan ini
harus diselesaikan ?”
Siao-liong-H
tertegun oleh teguran ini dan tak bisa menjawab.
“Aku
tak senang mendengarkan ocehan orang,” katanya akhirnya.
Habis
ini, tanpa menghiraukan orang Iain ia tarik tangan Yo Ko dan masuk kembali ke
dalam rimba dengan langkah cepat Di lain pihak In Ci-peng dengan para imam
Coan-cin-kau jadi terkesima, mereka hanya saling pandang saja dengan bingung.
“Ko-ji,
kepandaianmu memang nyata sudah ada kemajuannya,” demikian kata Siao-liong-li
kepada Yo Ko sesudah berada di dalam kuburan kuno itu,cuma cara kau hajar imam
gemuk tadi itu sebaliknya salah besar.”
“lmam
gendut itu pernah hajar aku secara tidak se-mena2, sayang tadi aku belum sempat
membalas dia dengan setimpal,” sahut Yo Ko.
“Dan
mengapa Kokoh bilang aku salah menghajarnya ?”
“Maksudku
bukan tak boleh menghajar dia, tetapi caramu menghajarnya itu yang salah,” ujar
Siao-liong-li “Seharusnya jangan kau tarik dia hingga jatuh tersungkur ke
depan, tetapi harus tidak pakai tarikan dan biar dia jatuh terjengkang
sendirinya ke belakang,”
Yo
Ko menjadi girang mendengar penuturan ini.
“Ha,
menarik sekali hal ini, hayo, Kokoh, ajarkan caranya !” serunya cepat.
“Nah,
anggap aku ini Ko-ji dan kau adalah imam gendut busuk itu, coba kau tangkap
diriku,” demikian kata Siao-liong-li puIa, Habis berkata, segera dia mulai
melangkah pelahan ke depan.
Yo
Ko menurut, dengan tertawa2 ia ulur tangannya untuk memegang tubuh orang, Akan
tetapi seperti bermata saja dipunggung Siao-liong-li, meski Yo Ko menubruk dan
meraup bagaimanapun juga, tetap tak dapat menyenggol baju orang, kalau Yo Ko
berlari cepat, Siao-liong-li segera lari lebih cepat, dan kalau Yo Ko lambat,
Siao-liong-li pun ikut lambat, jarak mereka selalu berselisih kira2 satu kaki
jauhnya.
“Haha,
Kokoh, awas sekali ini !” dengan tertawa Yo Ko berseru, mendadak ia menubruk
maju dengan gerak cepat, dan Siao-liong-li ternyata tidak menghindarinya.
Tentu
saja Yo Ko bergirang, ia yakin kedua tangannya segera pasti akan dapat
merangkul leher orang, Siapa duga, baru saja kedua tangannya dipentang dan
hampir merangkul, se-konyong2 Siao-liong-li mencelat ke belakang hingga
terlepas dari rangkulannya.
Karena
menangkap angin, dengan cepat pula Yo Ko mendongak dan hendak menjambret akan
tetapi dia baru saja menubruk ke depan lalu mendadak menekuk ke belakang sambil
mendongak, karena terlalu besar menggunakan tenaga, maka Yo Ko tak bisa berdiri
tegak lagi, ia jatuh terjengkang ke belakang hingga tulang punggung terasa
sakit sekali.
“Caramu
ini sangat bagus, Kokoh,” teriak Yo Ko girang sesudah merangkak bangun, “Dan
kenapa engkau bisa begini cepat ?”
“Jika
kau berlatih menangkap burung gereja setahun lagi, tentu kau akan jadi begini
juga,” sahut Siao-liong-li.
“He,
bukankah aku sudah bisa menangkapnya,” ujar Yo Ko.
“Hm,
dapatkah itu dianggap ?” Siao-liong-H menjengek, “Apa kau kira ilmu silat
Ko-bong-pay kita ini begitu gampang kau pelajari ?”
Karena
dampratan ini, Yo Ko tak berani bicara lebih jauh.
“Sini
ikut padaku,” kata Siao liong-li kemudian. Lalu ia bawa Yo Ko pergi ke satu
kamar batu yang lain.
Kamar
batu yang sekarang ini ternyata sekali lebih besar dan luas daripada yang dulu
waktu mula2 Yo Ko belajar menangkap burung, di dalam kamar ini sudah tersedia
lagi enam ekor burung gereja.
Kalau
tempatnya bertambah luas, dengan sendirinya untuk menangkap burung gereja itu
menjadi jauh lebih sulit, Tetapi Yo Ko tak perlu kuatir karena Siao-liong-li
telah memberi petunjuk beberapa kepandaian lagi cara meloncat tinggi dan
melompat jauh dari ilmu entengkan tubuh dan ilmu cara menangkap dan menawan.
Dengan demikian lewat delapan atau sembilan hari lagi, sekaligus Yo Ko sudah
bisa menangkap enam burung gereja itu.
Selanjutnya
kamar latihannya lantas bertambah besar dan makin luas, jumlah burung gereja
yang harus ditangkapnya bertambah banyak juga, dan akhirnya dia harus menangkap
9×9 - 81 burung gereja di ruangan tengah yang sangat besar, Untung ranjang batu
pualam dingin yang dibuat tidur Yo Ko itu ternyata besar sekali khasiatnya
untuk membantu latihan Lwekang, hanya dalam tempo tiga bulan saja, 81 ekor
burung gereja itu sekaligus dapat Yo Ko tangkap semua.
Tentu
saja Siao-liong-li sangat girang melihat kemajuan Yo Ko yang begitu pesat.
“Dan
sekarang kita harus menangkapnya di luar kuburan,” demikian katanya kemudian.
Selama
tiga bulan itu Yo Ko terkurung di dalam kuburan, memangnya ia sudah bosen dan
kesal juga, kini mendengar akan latihan di luar kuburan, keruan ia menjadi
senang dan muka ber-seri2.
“Apanya
yang perlu digirangkan ?” ujar Siao-liong-li dingin, “justru ilmu kepandaian
ini sukar sekali melatihnya. 81 burung gereja ini seekor saja tidak boleh
terlolos.”
Begitulah
dengan membawa kantong kain yang penuh berisi 81 ekor burung gereja ia ajak Yo Ko
keluar kuburan kuno itu.
Tatkala
itu adalah bulan tiga dan terhitung permulaan musim semi, karena itu alam
semesta di luar kuburan itu boleh dikatakan menghijau permai dan hawa sejuk
diselingi hembusan harum bunga yang semerbak.
Ketika
mendadak Siao-liong-li mengebas kantong yang dibawanya, maka terbanglah ke-81
ekot burung gereja itu, tetapi justru pada saat burung itu hendak kabur, tiba2
kedua tangan Siao-liong-li putih halus itu bergerak, dari sana ia tarik sini
dan dari sana ditepuk pula, tahu2 dua ekor burung gereja yang hampir kabur itu
dapat ditoIaknya kembali.
Begitu
mendapat kebebasan, dengan sendirinya ke-81 ekor burung gereja itu segera ingin
terbang pergi Tetapi aneh juga, ketika Siao-liong-li keluarkan Ciang-hoat atau
ilmu pukulan tangan kosong, di sana ia menolak dan di sini mengebas, ke-81 ekor
burung gereja itu ternyata terhimpit semua di depan dadanya dalam jarak tiga
kaki satupun tak sanggup kabur.
Terlihat
Siao-liong-li geraki kedua tangannya se-akan2 sedang menari kedua tangan
seperti berubah menjadi 81 tangan saja, bagaimanapun ke-81 ekor burung gereja
menubruk sana dan menerobos sini namun tetap tak mampu kabur keluar dari
lingkaran kedua tangan Siao-liong-li.
Nampak
keajaiban ini Yo Ko hanya ternganga belaka, dalam kagumnya iapun bergirang
pula, waktu ia tenangkan diri ia pikir: “Ah, ini adalah ciang-hoat hebat tiada
bandingannya yang Kokoh sedang ajarkan padaku, aku harus mengingatnya dengan
baik.”
Karena
itu, segera ia pusatkan perhatiannya untuk mengikuti gerak-gerik Siao-liong-li,
ia ingat dengan baik cara bagaimana orang ulur tangan buat menahan dan cara
bagaimana membaliki tangan buat meraup, meski cara Siao-liong-li menggerakkan
tangan sangat cepat dan aneh, tetapi tiap gerakan dan tiap jurus cukup jelas
dan teratur.
Sesudah
mengikuti agak lama, walaupun Yo Ko masih belum paham di mana letak keajaiban
Ciang-hoat orang, namun sedikitnya ia tidak bingung lagi seperti tadi.
Sementara
itu sudah lama Siao-liong-li menari ketika mendadak kedua tangannya mengebas
lagi sekali, lalu ia luruskan tangannya ke belakang, Karena terlepas dari
kekangan tenaga tangan Siao-liong-li, segera burung2 gereja itu bercuitan
hendak terbang kabur pula, Diluar dugaan, mendadak Siao-liong-li mengebas lagi
dengan kedua lengan bajunya yang membawa sambaran angin santer, Karena itu,
ke-81 ekor burung itu seketika terjatuh kembali ke atas tanah dengan suara
cuitan yang ramai. Lewat agak lama, kemudian burung2 gereja itu baru bisa
pentang sayap dan terbang pergi satu demi satu.
Sungguh
luar biasa girang Yo Ko oleh pertunjukan kepandaian yang hebat itu, ia tarik2
baju Siao-liong-li sambil berkata: “Kokoh, kukira sekalipun Kwe-pepek juga tak
bisa seperti engkau tadi.”
“Chiang-hoat
yang kutunjukkan tadi disebut “Thian-lo-te-bang-sik” (gaya jaring langit dan
jala bumi), adalah ilmu kepandaian pengantar dari Ko-bong-pay kita,” sahut
Siao-liong-li menerangkan. “Maka kau harus belajar dengan baik.”
Lalu
Siao-liong-li mengajarkan belasan jurus Ciang-hoat itu dan semuanya dipelajari
Yo Ko dengan baik.
Lewat
belasan hari lagi, Yo Ko ternyata sudah bisa mempelajari “Thian-lo-te-bang-sik”
yang meliputi 108 jurus itu dengan baik dan apal sekali. Oleh karena itu,
Siao-Iiong-Ii lantas pergi menangkap seekor burung gereja dan suruh Yo Ko
mencoba merintangi kaburnya burung ini dengan Ciang-hoat yang baru
dipelajarinya itu.
Tentu
saja dengan senang hati Yo Ko melakukan perintah itu, Mula2 ia hanya sanggup
menahan dua-tiga kali dan burung gereja itu sudah menerobos lolos dibawah
telapak tangannya. Tetapi Siao-liong-li selalu mendampingi dia, hanya sekali
ulur tangannya, segera burung gereja itu dapat ditolak kembali.
Maka
Yo Ko lantas melanjutkan permainan Ciang-hoatnya lagi, tapi lantaran gerak
geriknya masih kurang cepat, pula kurang tepat mengepas waktunya, maka hanya
beberapa kali gerakan kembali burung gereja itu lolos lagi.
Begitulah,
tiap2 hari Yo Ko meneruskan latihannya itu tanpa kenal lelah. Sang tempo lewat
dengan cepat, hari berganti bulan dan bulan berganti bulan puIa, tanpa terasa
perawakan Yo Ko sudah tambah tinggi, suaranya yang kekanak-kanakan dulu sudah
berubah besar pula seperti orang dewasa umumnya, pelahan ia sudah berubah
menjadi pemuda yang tampan, berlainan daripada waktu dia masuk ke dalam kuburan
kuno ini.
Berkat
juga bakat pembawaan Yo Ko, pula Siao-liong-li telah mengajar dengan sepenuh
tenaga, maka selewatnya, musim rontok, ilmu pukulan gaya “jaring langit dan
jala bumi” itu telah berhasil dilatihnya.
Kini
bila ia permainkan Ciang-hoat ini, sekaligus ia sudah sanggup menahan ke-81
burung gereja tanpa bisa lolos, kalau terkadang terlolos juga satu ekor, itu
boleh dikatakan hanya penyakit kecil saja dari Ciang-hoat yang baru dia
pelajari itu.
“Ko-ji,”
kata Siao-liong-Ii pada suatu hari, “Ciang-hoat yang kau latih ini, dikalangan
kangouw sudah jarang lagi ada tandingannya, maka kapan bertemu pula dengan imam
gendut itu, boleh kau banting dia beberapa kali lagi yang keras.”
“Tetapi
jika bergebrak dengan Thio Ci-keng, bagaimana ?” tanya Yo Ko.
Siao-liong-li
tidak menjawab pertanyaan itu, sebab dalam hati ia lagi pikir: “Ya, Thio
Ci-keng itu adalah jago terkemuka dari anak murid Coan-cin-kau angkatan ketiga,
kalau hanya dengan kepandaian Ko-ji sekarang, memang betul masih belum bisa
mengalahkan dia.”
Melihat
Siao-liong-li tidak menjawab pertanyaannya, segera Yo Ko tahu juga apa yang
sedang dipikirkan orang.
“Tak
bisa menangkan dia juga tidak mengapa, lewat beberapa tahun lagi tentu aku
dapat menangkan dia,” demikian ia kata, “Kokoh, bukankah ilmu silat Ko-bong-pay
kita memang jauh lebih lihay dari ilmu silat Coan-cin-kau ?”
“Apa
yang kau katakan ini, dijagat ini mungkin hanya kita berdua saja yang percaya,”
sahut Siao-liong-Ii sambil menengadah memandang langitl mangan. “Tempo hari
waktu aku bergebrak dengan imam she Khu dari Coan-cin-kau itu, rasanya kalau
soal ilmu silat memang aku belum bisa menangkan dia, tetapi ini tidak berarti
Ko-bong-pay kita tidak bisa menandingi Coan-cin-kau, melainkan karena aku masih
belum berhasil meyakinkan ilmu kepandaian yang paling hebat dari Ko-bong-pay
kita.”
Sebenarnya
Yo Ko kuatir kalau Siao-liong-li tak dapat menangkan Khu Ju-ki, kini mendengar
kata2 itu, ia bergirang dan mantap.
“llmu
kepandaian apakah itu, Kokoh ?” cepat ia tanya, “Apa susah melatihnya ? Kenapa
engkau tidak mulai melatihnya ?”
“Biarlah
kututurkan satu cerita pendek dahulu, supaya kau mengetahui asal usul golongan
Ko-bong-pay kita ini,” sahut Siao-liong-li “Pada sebelum kau menyembah aku
sebagai guru, bukankah kau ingat pernah menjura pada Cosu popoh, Dia itu she
Lim, namanya Tiao-eng.
Pada,
kira-kira 60-70 tahun yang talu, di kalangan Kangouw terkenal dengan kata2 “di
selatan ada Lim dan di utara ada Ong, tetapi Im (negatip, perempuan) menangkan
Yang (positip, 1aki2), apa yang dikatakan Lim di selatan itu ialah Cosu-popoh,
dia berasal dari Kwisay, dan Ong di utara bukan kiri ialah Ong Tiong-yang dari
Soa-tang.
“Di
kalangan Bu-lim waktu itu, ilmu silat mereka berdua terhitung paling tinggi
sebenarnya kepandaian mereka boleh dikatakan sembabat dan sukar dibedakan mana
yang lebih tinggi, tapi belakangan karena Ong Tiong-yang sibuk dengan gerakan
membela tanah air untuk melawan pasukan Kim, ia repot siang dan malam,
sebaliknya Cosu-popoh bisa berlatih silat lebih tekun, maka akhirnya dia jadi
lebih tinggi setingkat daripada Ong Tiong-yang, oleh karena itu orang sama
bilang Im lebih unggul dari Yang”
“Kemudian
pergerakan Ong Tiong-yang gagal, dengan perasaan menyesal ia lantas asingkan
diri di dalam Hoat-su-jin-bong ini, saking iseng setiap hari, waktu senggang
itu ia lewatkan buat berlatih silat dan mempelajari segala ilmu sakti,
sebaliknya waktu itu Cosu-popoh malah menjelajahi Kangouw untuk melakukan
berbagai perbuatan yang terpuji, oleh sebab itu, sampai Ong Tiong-yang untuk
kedua kalinya turun gunung, kembali ilmu Cosu-popoh tak lebih unggul
daripadanya.
Dan
paling akhir kedua orang entah soal apa terjadi percekcokan hingga saling
gebrak dan bertaruhan, ternyata akhirnya Ong Tiong-yang kalah dan kuburan kuno
inipun diserahkan pada Cosu-popoh. Mari sini, biar kubawa kau pergi melihat
bekas2 yang ditinggalkan kedua Locianpwe itu.”
Sebenarnya
kuburan kuno itu seluruhnya dibangun dari batu dan entah dibangun sejak kapan,
Tetapi kamar yang ditunjukkan Siao-liong-li pada Nyo-Ko sekarang ternyata
sangat aneh bentuknya, depan sempit, bagian belakang lebar, sedang sebelah
timur bundar, sebaliknya sebelah barat berbentuk lencip hingga berwujud segi
tiga “Kenapa kamar ini dibikin sedemikian rupa Kokoh?” saking herannya Yo Ko
bertanya.
“lni
adalah tempat Ong Tiong-yang mempelajari ilmu silat,” sahut Siao-Iiong-li,
“baglan depan yang sempit dibuat latihan pukulan telapakan, dan yang lebar di
belakang buat latihan pukulan kepalan, yang bundar disebelah timur buat
mempelajari ilmu pedang dan bagian barat yang lancip itu buat latihan senjata
rahasia.”
Dengan
jalan mondar-mandir di dalam kamar aneh ini, Yo Ko menjadi heran luar biasa,
sama sekali ia tidak paham kegunaannya.
“ltu
intisari ilmu silat Ong Tiong-yang semuanya berada di situ,” tibal
Siao-liong-li berkata sambil menuding ke atas.
Waktu
Yo Ko mendongak, ia lihat langit2 kamar yang terbuat dari papan batu itu
ternyata penuh terukir goresan dan tanda2 rahasia yang beraneka macamnya.
Coretan
itu semuanya digores dengan senjata tajam, ada yang dalam dan ada yang cetek
secara tidak teratur. Yo Ko tidak tahu apa maksudnya.
Sementara
itu Siao-liong-li telah mendekati dinding sebelah timur, ia mendorong tembok
yang mendekuk setengah bundar itu, dengan pelahan sebuah batu menggeser, lalu
tertampak sebuah pintu rnembentang, dengan membawa lilin Siao-liong-li ajak Yo
Ko masuk ke situ.
Kiranya
di dalam sana kembali terdapat sebuah kamar batu, kamar ini ternyata mirip
sekali dengan kamar yang duluan, cuma tiap2 tempatnya berlawanan, kalau yang
duluan sempit di depan dan bagian belakang luas, maka kamar yang kedua ini
terbalik menjadi depan luas dan belakang sempit, begitu pula bagian ,barat
bundar dan ujung timur lancip.
Waktu
Yo Ko mendongak ia lihat di atas langit2an kamar itu juga penuh terukir tanda2
rahasia yang aneh.
“lni
adalah rahasia ilmu kepandaian Cosu-popoh”, demikian Siao-liong-li berkata padanya,
“Dahulu meski beliau menangkan kuburan ini, namun boleh dikatakan berkat tipu
akal belaka, kalau soal ilmu silat sebenarnya belum bisa menandingi Ong
Tiong-yang, Tetapi sesudah Cosu-popoh berdiam di dalam kuburan kuno ini, ia
telah mempelajari dan menyelami ilmu silat yang ditinggalkan Ong Tiong-yang di
atas langit2 kamar sebelah tadi, akhirnya beliau bahkan berhasil menciptakan
tipu2 cara mematahkan ilmu silat Ong Tiong-yang, Dan tipu2 yang dia ciptakan
itu semuanya telah ditulis di atas ini.”
“Bagus
kalau begitu, Kokoh,” teriak Yo Ko girang, “Pikir saja, sekalipun kepandaian
Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bisa lebih tinggi lagi juga tak akan melebihi Ong
Tiong-yang yang menjadi guru mereka, kini kalau kau sudah mempelajari ilmu
silat tinggalan Cosu-popoh ini, bukankah dengan sendirinya akan menangkan para
imam Coan-cin-kau itu.”
“Kata2mu
memangnya tidak salah, hanya sayang tiada orang Iain yang bisa membantu aku,”
sahut Siao-Iiong-li.
“Aku
bantu kau,” seru Yo Ko tiba2 dengan membusungkan dada.
Diluar
dugaan, Siao-liong-li sambut kata2nya itu dengan mata melotot.
“Tetapi
sayang kepandaianmu belum cukup,” sahutnya kemudian dengan dingin.
Muka
Yo Ko menjadi merah karena malu.
“llmu
silat ciptaan Cosu-popoh itu disebut Giok-li-sim-keng (ilmu suci si gadis ayu),
untuk melatihnya harus dilakukan dua orang berbareng dengan saling bantu
membantu,” demikian kata Siao-liong-li lebih lanjut. Dahulu, Cosu-popoh telah
melatihnya bersama dengan guruku.”
Mendengar
penjelasan ini, dari rasa malu tadi Yo Ko berubah menjadi girang.
“Ha,
kalau begitu, aku adalah muridmu, tentu bisa juga berlatih bersama engkau,”
serunya cepat.
Karena
kata2 ini, Siao-liong-li ter-mangu2 sejenak.
“Baiklah,
boleh juga kita mencobanya dahulu,” akhirnya ia berkata, “Langkah pertama,
lebih dulu kau harus latih ilmu silat perguruan kita sendiri langkah kedua baru
kau mempelajari ilmu kepandaian Coan-cin-kau dan langkah penghabisan baru kita
latih Giok-li-sim-keng yang diciptakan untuk mengalahkan ilmu silat
Coan-cin-kau itu.”
BegituIah,
maka sejak hari itu Siao-liong-li lantas ajarkan semua ilmu kepandaian
Ko-bong-pay kepada Yo Ko, baik mengenai Kun-hoat dan Ciang-hoat (ilmu pukulan
telapak tangan) maupun pakai senjata tajam dan senjata rahasia.
Selang
setahun, semua ilmu kepandaian itu sudah diperoleh Yo Ko, walaupun latihannya
masih belum cukup masak, namun berkat bantuan ranjang batu pualam dingin,
kemajuannya ternyata sangat pesat sekali.
ilmu
silat Ko-bong-pay atau aliran kuburan kuno ini asalnya diciptakan seorang
wanita, yakni kakek guru Siao-liong-Ii yang menjadi kekasih Ong Tiong-yang,
sedang guru dan murid mereka tiga turunan juga wanita semua, dengan sendirinya
ilmu silat yang diciptakan itu gerak-geriknya rada2 halus dan lincah sebagai
kaum wanita.
Karena
sifat Yo Ko memang suka bergerak, maka semua tipu silat Ko-bong-pay ini menjadi
sangat cocok dengan tabiatnya malah.
Sementara
usia Siao-liong-Ii makin bertambah, makin lama wajahnya ternyata semakin
cantik, Tahun ini umur Yo Ko pun menginjak enam belas, anak ini ternyata
mempunyai perawakan tinggi, kalau berdiri sudah setinggi gurunya, walaupun
demikian, Siao-liong-Ii masih tetap anggap Yo Ko sebagai bocah saja, sama
sekali mereka tidak pusingkan soal perbedaan laki-perempuan.
Di
lain pihak, semakin lama Yo Ko tinggal bersama Suhunya semakin menaruh hormat
juga kepadanya, selama dua tahun itu, ternyata belum pernah dia membantah
sesuatu perintah sang guru, Bocah ini ternyata pandai menuruti kemauan orang,
baru saja Siao-liong-li inginkan Yo Ko melakukan sesuatu, belum sampai
diutarakan atau Yo Ko sudah mendahului mengerjakannya dengan baik.
Hanya
saja sifat Siao-liong-li yang dingin laksana es masih tetap seperti sediakala,
terhadap apa saja yang dikatakan Yo Ko masih selalu ia sambut dengan dingin dan
kadang2 menyindir sedikitpun ia tidak mengunjuk rasa kasih sayang. Tetapi
karena sudah biasa, lambat laun Yo Ko tidak memikirkan pula sikap sang guru
ini.
Pada
suatu hari, berkatalah Siao-liong-li kepada Yo Ko: “Ko-ji, kini ilmu
lo-bong-pay kita sendiri sudah kau pelajari semua, maka mulai besok bolehlah
kita mulai berlatih ilmu silat Coan-cin-kau.”
Karena
itu, besoknya mereka lantas mendatangi kamar batu yang berbentuk aneh dengan
ukiran2 aneka macam di atas langit2-an, dengan menurutkan tanda2 yang terukir
ini mereka mulai berlatih.
Kiranya
tanda2 ukiran itu dahulu digores oleh Ong Tiong-yang dengan meloncat ke atas
dengan ujung pedang, Dan karena Lim Tiao-eng adalah bekas kekasih Ong
Tiong-yang, maka ia cukup paham intisari ilmu silat orang, sesudah diselaminya
mendalam, kemudian ia turunkan kepada dayang kepercayaannya dan dayang ini
akhirnya mengajar kepada Siao-liong-li, dan kini Siao-Iiong-Ii mengajarkan pula
rahasia silat itu kepada Yo Ko.
Sesudah
Yo Ko berlatih beberapa hari, oleh karena dia memang sudah punya landasan yang
tidak jelek, maka banyak bagian penting begitu diberi petunjuk segera dapat dia
terima, maka kemajuannya mula2 sangat cepat.
Akan
tetapi sesudah belasan hari, keadaan mendadak berubah lain, -be-runtun2
beberapa hari Yo Ko ternyata tidak memperoleh kemajuan kalau tidak mau dikatakan
malah mundur, semakin ia latih, semakin keliru dan nyasar.
Waktu
Siao-liong-li membantu muridnya ini memecahkan kesulitan itu, namun dia juga
tak tahu di mana letak gangguan itu. Dasar Yo Ko ingin lekas pandai, keruan ia
menjadi gopoh hingga sering uring2-an sendiri.
“Tidak
perlu kau uring2-an,” demikian kata Siao-liong-li padanya, “soal ini sebenarnya
tidak sulit, asal kita pergi tangkap seorang imam Coan-cin-kau dan paksa dia
mengajarkan kunci rahasia penuntun ilmu silat mereka, bukankah lantas beres
urusannya ? Nah, marilah kita pergi ke sana !”
Kata2
Siao-liong-ll telah menyadarkan Yo Ko, tiba2 teringat olehnya dahulu Thio
Ci-keng pernah ajarkan istilah2 penuntun dasar ilmu silat Coan-cin-kau itu.
Maka dengan segera ia apalkan-nya pada Siao-liong-li.
Siao-liong-li
sangat memperhatikan istilah2 yang diucapkan Yo Ko jni, dengan cermat ia
menyelami intisari istilah2 itu.
“Ya,
memang tepat itulah yang kita inginkan,” katanya kemudian setelah berpikir
“Dahulu waktu kubelajar ilmu silat Coan-cin-kau ini dengan mendiang guruku,
sesampainya setengah jalan tiba2 sukar untuk maju setindak lagi, saat mana
Cosu-popoh sudah meninggal maka tiada orang yang bisa kami mintai petunjuk2,
walaupun kami tahu juga soalnya karena belum mengetahui rahasia penuntun dasarnya,
tetapi kami tak berdaya pula, justru mendiang guruku orangnya sangat alim,
pernah kukatakan hendak pergi mencuri dengar rahasia ilmu Coan-cin-kau itu,
tetapi aku telah didamperat habis2-an olehnya, Syukurlah kini kau sendiri malah
sudah mengetahuinya, sudah tentu hal ini sangat baik sekali”
Kemudian
satu persatu Yo Ko memberitahukan pula yang lebih jelas dari apa yang pernah
dia pelajari dari Thio Ci-keng.
Tempo
hari apa yang diajarkan Thio Ci-keng kepada Yo Ko itu memang betul2 adalah
istilah2 pelajaran dasar Lwekang Coan cin kau yang paling tinggi, soalnya
karena sengaja Yo Ko tidak diberi pelajaran cara bagaimana mempraktekkannya,
Kini setelah diselami mendalam oleh Siao-Iiong-li, tentu saja segera menjadi
terang dan semua kesulitan dapat ditembus, ditambah lagi Lwekang yang dahulu
Tjin Lam-khim ajarkan pada Yo Ko memang juga Lwekang asli ajaran Ma Giok dari
Coan-cin-kau, dengan digabungnya dua dasar ini, keruan tidak antara beberapa
bulan Siao-liong-li dan Yo Ko sudah dapat mempelajari seluruh intisari ilmu
silat yang ditinggalkan Ong Tiong-yang di atas langit2 kamar batu itu.
Pada
suatu hari, setelah kedua orang selesai berlatih ilmu pedang di dalam kamar
batu itu, dengan menghela napas Siao-liong-li berkata: “SemuIa aku pandang
rendah ilmu silat Coan-cin-kau, kuanggap apa yang disebut sebagai ilmu silat
asli dunia persilatan toh tidak lebih hanya sekian saja, tapi hari ini barulah
aku mengerti bahwa ilmu silat mereka sesungguhnya terlalu dalam untuk
dimengerti dan tidak ada habis2nya untuk dipelajari Ko-ji, meski sekarang kau
sudah paham semua rahasia ilmu ini, tetapi untuk bisa mencapai tingkatan yang
sempurna hingga dapat dipergunakan sesuka hati, untuk ini entah harus sampai
tahun kapan ?”
Akan
tetapi Yo Ko se-akan2 anak banteng yang baru lahir dan tidak kenal apa artinya
takut, segera dia menjawab: “Ya, sungguhpun ilmu silat Coan-cin-kau sangat
bagus, tetapi ilmu yang ditinggalkan Cosu-popoh itu dengan sendirinya ada
jalannya untuk menangkan dia.”
“Ya,
maka mulai besok kita harus latih Giok-li-sim-keng,” ujar Siao-liong-li.
Hari
berikutnya, lalu Siao-liong-li ajak Yo Ko ke dalam kamar batu yang kedua,
mereka melatih diri pula dengan menuruti petunjuk2 ukiran yang terdapat di atas
kamar itu, sekali ini mereka sudah lebih gampang melatihnya daripada yang
pertama, sebab ilmu silat yang diciptakan Lim Tiao-eng untuk mematahkan ilmu
silat Ong Tiong-yang ini berinti ilmu silatnya sendiri, hanya di mana dipandang
perlu telah ditambah hingga lebih bagus dan lebih sempurna.
Maka
dalam beberapa bulan saja, mereka berdua sudah berhasil melatih Gwa-kang
(bagian luar) dari “Giok-li-sim-keng” dengan baik, waktu latihan, kalau Yo Ko
menggunakan Kiam-hoat dari “Coan-cin-kau, maka Siao-liong-li lantas pakai
Giok-li-kiam-hoat untuk mematahkannya, sebaliknya, kalau Siao-liong-li
memainkan Coan-cin-kiam-hoat, maka Yo Ko yang mengeluarkan kepandaian
Giok-li-kiam-hoat untuk mengatasinya.
Nyata,
Giok-li-kiam-hoat (ilmu pedang gadis ayu) itu sengaja diciptakan untuk
mengalahkan Coan-cin-kiam-hoat, setiap gerakan dan setiap tipu serangan
Coan-cin-kiam-hoat selalu dapat dipatahkan dengan tepat sekali hingga tak mampu
berkutik, walaupun bagaimana Coan-cin-kiam-hoat bisa berubah dan berganti
gerakan, namun selalu tak dapat melepaskan diri dari kurungan lingkaran
Giok-li-kiam-hoat.
Karena
Gwakang yang dilatih mereka sudah jadi, langkah selanjutnya lantas berlatih
Lwekang (ilmu bagian dalam).
Sebenarnya
Lwekang Coan-cin-kau sangat luas dan bagus sekali kalau ingin menangkannya
dengan menciptakan Lwekang baru sesungguhnya bukan suatu soal gampang. Akan
tetapi Lim Tiao-eng ternyata pintar luar biasa, nyata ia bisa mencari jalan
lain untuk menembus kesukaran itu, ia telah kumpulkan ilmu silat berbagai
aliran lainnya untuk mengungkulinya, Meski ilmu silat yang dia ciptakan ini
sulit sekali untuk dilatih, tapi bila sampai berhasil mempelajari, maka dengan
mudah menangkan lwekang Coan-cin-kau.
Untuk
mempelajarinya, Siao-Iiong-li mendongak memahami lukisan dan tulisan penjelasan
yang terukir di atas langit2 kamar batu itu, lama sekali ia berdiam diri tanpa
buka suara, dengan tekun ia membacanya sampai beberapa hari, tetapi akhirnya.
“Apa
ilmu kepandaian ini sangat sukar dilatih, Kokoh ?” tanya Yo Ko demi nampak
sikap sang guru.
“Ya,”
sahut Siao-liong-li, “dahulu pernah kudengar dari Suhu bahwa Giok-li-sim-keng
ini harus dilatih dua orang bersama, semula kukira bisa melatihnya bersama kau,
siapa tahu ternyata tak dapat.”
Tentu
saja Yo Ko menjadi cemas oleh keterangan ini.
“Sebab
apa, Kokoh ?” tanyanya cepat.
“Jika
kau wanita, itulah soal lain lagi,” sahut Siao-liong-li.
“Apa
bedanya untuk itu ?” kata Yo Ko. “Laki2 atau perempuan yang melatihnya,
bukankah sama saja ?”
“Tidak,
Iain”, sahut Siao-liong-li sambil menggeleng kepala, “Tidakkah kau lihat,
bagaimana corak gambar yang terukir di atas itu ?”
Waktu
Yo Ko angkat kepalanya dan memandang dengan penuh perhatian menurut arah yang
ditunjuk Siao-liong-li, maka tertampaklah olehnya dipojok langit2 kamar itu ada
ukiran gambar bentuk manusia, rupanya seperti potongan kaum wanita, tetapi
gambar itu semuanya telanjang bulat tanpa terukir memakai baju selembar-pun,
Gambar2 wanita itu seluruhnya ada beberapa puluh, gerak-gerik dan gayanya
berlainan semua, semuanya juga dalam keadaan telanjang.
Melihat
gambar2 itu, segera pikiran Yo Ko tergerak, iapun segera mengerti akan
maksudnya.
“O,
jadi waktu berlatih Lwekang Giok-li-sim-keng ini orang tidak boleh berpakaian,
begitukah, Kokoh ?” katanya kemudian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar