Kamis, 08 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 15



Kembalinya Pendekar Rajawali 15


Setelah genap menyabet sepuluh kali, lalu Siao-liong-li jambret tubuh Yo Ko dan dilemparkan lagi ke atas ranjang batu.
“Awas! Berani kau turun lagi, segera kau rasakan pula kemoceng ini!” bentaknya mengancam.
Tanpa bersuara Yo Ko merebah di atas ranjang batu itu, ia dengar Siao-liong-li telah kembalikan kemocengnya ke belakang pintu tadi, lalu melompat pula ke atas tali buat tidur.
Siao-liong-li menyangka Yo Ko tentu akan menangis dan bikin ribut lagi oleh hajarannya itu, tak terduga, sepatah katapun anak muda itu tak bersuara, ini betul2 tak pernah disangkanya
“Ko-ji, kenapa kau diam saja ?” tanyanya kemudian
“Tiada yang perlu kukatakan, sekali engkau bilang pukul, tentu aku akan dipukulnya, percuma saja meski aku minta ampun,” sahut Yo Ko.
“Hm, tetapi dalam hatimu kau tentu mencaci maki padaku,” kata Siao-liong-li.
“Tidak, aku takkan mencacimaki kau, betapapun engkau masih jauh lebih baik daripada guruku yang dahulu,” kata Yo Ko.
“Sebab apa ?” Siao-liong-li menjadi heran.
“Ya, sebab meski engkau memukul aku, tetapi dalam hatimu kau tetap sayang dan kasihan padaku, makin pukul makin pelahan, engkau kuatir kalau aku kesakitan,” kata Yo Ko.
Muka Siao-liong-li rada merah karena isi hatinya dengan jitu kena dikatai, syukur dalam kegelapan hingga tidak sampai dilihat Yo Ko.
“Cis, siapa sayangi padamu, kalau lain kali kau tak menurut kata lagi, tentu akan kupukul terlebih keras,” omelnya kemudian.
Mendengar lagu suara orang sudah berubah menjadi halus, Yo Ko jadi dapat hati.
“Lebih keras engkau memukul, tetap aku suka.” demikian katanya dengan cengar-cengir.
“Cis, agaknya tulangmu memang gatal, sehari tidak rasakan gebukan, tentu kau tak bisa tidur nyenyak,” omel Siao-liong-li pula.
“ltupun harus me-Iihat2 siapa yang memukul aku,” kata Yo Ko. “Jika orang yang suka padaku menghajar diriku, sedikitpun aku pasti tidak den-dam, mungkin malah merasa senang, sebab dia hajar aku karena ingin aku berbuat baik, Tetapi bila orang yang benci diriku, sekalipun dia hanya memaki sekata atau mendeliki mata padaku, kelak kalau aku sudah dewasa, satu persatu pasti akan kucari dia buat membikin perhitungan.”
“Coba katakan, siapa yang benci kau dan siapa2 lagi yang suka padamu ?” tanya Siao-liong-li
“ltu sudah kuingat baik2 dalam hati,” kata Yo Ko. “Tentang orang yang benci padaku boleh tak perlu disebut, tetapi orang yang sayang padaku ada aku punya Mak (ibu) yang sudah meninggal, ayah angkatku Auwyang Hong, paman Kwe Ceng dan ada lagi Sun~popoh dan engkau.”
“Hm, jangan harap aku akan sayang padamu,” sahut Siao-liong-li dengan tertawa dingin. “Aku hanya menurut pesan Sun-popoh, dia minta aku menjaga kau, maka aku lantas menjaga kau, selama hidupmu ini jangan kau harapkan aku akan berbaik hati padamu.”
Memangnya Yo Ko sedang kedinginan, demi mendengar kata2 orang ini, sama saja ia telah ditambahi dengan siram se-ember air dingin. “Kokoh, aku ini yang kurang baik apa ? Kenapa engkau begini benci padaku ?” tanya Yo Ko menahan rasa mendongkolnya.
“Kau baik atau tidak, peduli apa dengan aku ?” sahut Siao-Iing-li dingin, “Tetapi akupun tidak benci kau. Selama hidup ini aku tinggal di dalam kuburan ini, aku tak suka pada siapapun dan tak benci pada siapapun !”
“Selama hidup tinggal di sini ? itu kan tidak menarik,” kata Yo Ko. “Kokoh, pernah tidak kau keluar.”
“Tak pernah kuturun dari Cong-lam-san ini,” sahut Siao-liong-li. “Di luar sana paling banyak juga cuma ada gunung ada pohon, ada matahari ada rembulan, apanya yang menarik ?”
“Ai, kalau begitu hidupmu ini benar2 sia-sia belaka,” kata Yo Ko menepuk tangan, “Jika hidup dikota, di sana bermacam ragam benda yang aneh, itulah baru menyenangkan dan menarik,”
Habis ini ia lantas ceritakan semua pengalamannya dan apa saja yang pernah dilihatnya selama ia ter-Iunta2 sejak kecil Dasar si Yo Ko memang pandai bicara, apalagi sengaja ia bumbu-bumbui, ia tambahi kecap, tambahi merica, tambahi minyak, keruan ceritanya menjadi lebih aneh dan menarik dengan aneka macam ragamnya.
Meski Siao-liong-li sudah berumur 20 tahun, tetapi selamanya belum pernah turun dari Cong-lam-san barang selangkahpun, maka apa saja yang dibualkan Yo Ko, semuanya ia percaya penuh, malahan sampai akhirnya, tak tertahan ia telah menghela napas.
“Kokoh, kubawa kau pergi pesiar, mau tidak?” kata Yo Ko akhirnya.
Di luar dugaan, Siao-liong-li menjadi gusar oleh ajakan ini.
“Ngaco-belo,” damperatnya, “Cosu-popoh sudah meninggalkan pesan bahwa barang siapa yang pernah tinggal di dalam “Hoat-su-jin-bong” ini siapapun tidak boleh turun dari Cong-lam-san meski selangkahpun,”
“Ha, apakah akupun tak boleh turun gunung ?” tanya Yo Ko kaget oleh keterangan orang.
“Sudah tentu,” sahut Siao-liong-li.
Akan, tetapi Yo Ko tidak menjadi gugup, sebab dalam hati ia telah pikir: “Satu pulau terpencil seperti Tho-hoa-to saja bisa kutinggalkan, apalagi hanya sekian kuburan kuno ini mana bisa mengurung selama hidupku.”
Begitulah selama mereka bicara, sesaat itu Yo Ko melupakan rasa dingin yang menggigilkan tadi tetapi sejenak saja percakapan mereka berhenti seluruh tubuhnya segera terasa gemetar lagi
“Kokoh, ampuni diriku, aku tak mau tidur lagi di atas ranjang ini.” demikian ia memohon.
“Dalam perkelahianmu dengan guru Coan-cin-kau, sepatah kata saja kau tak sudi minta ampun, kenapa sekarang begini tak berguna ?” sahut Siao-liong-li
“ltuIah lain,” kata Yo Ko dengan tertawa, “Siapa yang tidak baik terhadap diriku, sekalipun aku mati dipukulpun tidak nanti aku sudi minta ampun padanya, Tetapi siapa yang baik padaku, meski aku harus mati untuknya juga aku rela, apalagi hanya minta ampun.”
“Cis, tak malu, siapa baik padamu ?” jengek Siao-liong-li
Sejak kecil Siao-liong-li dibesarkan oleh gurunya dan Sun-popoh, selama dua puluh tahun itu hanya kedua orang tua itu saja yang berdampingan dengan dia. Meskipun kedua orang tua itu sangat baik padanya, tetapi gurunya mengharuskan dia berlatih “Giok-li-sim-keng” (ilmu gadis suci) dan sejak kecil dia sudah diajarkan membuang segala cita-rasa, asal kelihatan Siao-liong-li mengunjuk sedikit perasaan saja, segera gurunya mendamperatnya.
Sedang Sun-popoh walaupun cukup simpatik, namun ia juga tak berani menghalang-halangi pelajaran Siao-liong-li sehingga oleh karena itu tabiatnya yang aneh dan menyendiri tanpa emosi itu terpelihara sejak kecil.
Kini dengan datangnya Yo Ko, anak ini justru berhati panas seperti api, usianya masih kecil pula, baik tutur katanya maupun tindak-tanduknya sudah tentu berbeda seluruhnya dari pada kedua nenek2.
Sebenarnya Siao-liong-li juga tahu apa yang dituturkan Yo Ko itu jelas menyalahi ajaran2 guru-nya, namun tidak urung ia ikut bercerita dengan asyik sekali hingga lupa daratan.
Siao-liong-li menerima Yo Ko sebenarnya hanya untuk memenuhi permintaan Sun-popoh saja, tetapi kemudian Yo Ko selalu bilang dia sangat baik padanya, dengan sendirinya lambat laun iapun merasa memang benar ia memperlakukan anak ini dengan sangat baik.
Demikianlah, karena lagu bicaranya Siao-liong-li telah berubah halus, maka Yo Ko makin mendapat hati
“Wah, dingin, Kokoh, dingin sekali aku tak tahan lagi!” akhirnya ia berani ber-teriak2.
Padahal sekalipun kedinginan sebenarnya belum perlu ber-teriak2 minta tolong dan bikin geger segala.
“Jangan ribut, biar kuceritakan padamu tentang asal-usul ranjang batu ini,” kata Siao-liong-li kemudian.
“Baiklah,” sahut Yo Ko girang. “Nah, Kokoh aku tidak berteriak lagi mulailah bercerita !”
“Tadi kukatakan tidak sedikit tokoh Bu-lim di jagat ini ingin tidur di atat ranjang batu ini, hal ini sekali2 bukan untuk mendustai kau,” demikian Siao-liong-li menutur, “Harus diketahui bahwa ranjang ini dibikin dari batu pualam dingin purbakala, inilah alat pembantu utama bagi orang yang ingin berlatih Lwekang yang tinggi.”
“lni bukan batu biasa ?” tanya Yo Ko heran.
“Katanya kau sudah banyak berpengalaman dan pernah melihat benda yang aneh2, tapi pernahkah kau melihat batu sedingin ini ?” sahut Siao-liong-li. “Hendaklah diketahui batu ini adalah hasil jeri-payah Cosu-popoh selama tujuh tahun berada di kutub utara yang paling dingin, disana batu pualam dingin ini dia gali dari bawah es yang tebalnya ratusan tombak, Siapa yang berlatih Lwekang dengan tidur di atas ranjang batu pualam ini, maka setahun saja sudah sama dengan berlatih sepuluh tahun secara biasa.”
“He, begini besar faedahnya ?” seru Yo Ko kegirangan.
“Ya,” kata Siao-liong-li, “Mula2 kau tidur di atasnya terasakan dingin tak tertahan, tetapi asal kau kumpulkan seluruh tenaga untuk melawannya, lama kelamaan akan menjadi biasa, sekalipun di waktu tidur, itu berarti tak pernah berhenti berlatih diri.
Sebab orang biasa kalau berlatih ilmu, sekalipun orang yang paling giat dan rajin, tiap2 hari ada beberapa jam perlu buat tidur, Dau kau harus tahu, melatih ilmu yang menjalankan napas dan darah ditubuh sama sekali berlawanan daripada ilmu biasa, jika sampai tertidur, maka jalan darah itu akan berputar seperti biasa dan ini sebaliknya membikin percuma dari apa yang dilatihnya waktu siang hari.
Tetapi kalau orangnya tidur di atas ranjang ini, bukan saja tidak sia-sia hasil yang dilatih siang harinya, bahkan Lwekangnya akan bertambah lebih kuat.”
Mendengar penjelasan ini, saking senangnya Yo Ko terus berseru:
“Kokoh, sungguh baik sekali engkau padaku, dengan tidur di ranjang ini, aku tak akan takut lagi pada kedua saudara Bu dan Kwe Hu, sekali pun Tio Ci-keng dari Cian-cin-kau yang sudah Iama berlatih itu, kelak aku pasti dapat melebihinya,” demikian katanya.
“Tetapi Cosu-popoh telah menetapkan peraturan bahwa orang yang sudah tinggal di dalam kuburan ini harus tekun berlatih diri dengan tenang dan sabar, harus hapuskan segala napsu berlomba dengan orang luar,” kata Siao-liong-li dengan dingin.
Yo Ko menjadi gugup oleh kata-kata ini.
“Mereka begitu menghina padaku, pula telah tewaskan Sun-popoh, apakah begitu saja kita anggap beres ?” katanya penasaran.
“Setiap manusia akhirnya toh mesti mati, sekalipun Sun-popoh tidak mati ditangan Hek Tay-thong, lewat beberapa tahun lagi ia sendiripun akan mati juga,” ujar Siao-liong-li “Apa bedanya hidup lebih lama beberapa tahun atau mati lebih cepat beberapa tahun ? Kata2 balas dendam segala, untuk selanjutnya tak boleh kau sebut2 lagi di hadapanku.”
Yo Ko merasa kata2 Siao-liong-li ini ada benarnya juga, tetapi iapun merasa ada tempat2 yang tidak tepat, hanya seketika ia tidak mendapatkan kata2 yang tepat untuk mendebatnya.
Pada saat itu juga hawa dingin terasa menyerang lebih hebat lagi, Tiba2 Yo Ko teringat pada apa yang dikatakan Siao-liong-li tadi, ia pikir: “Kenapa aku tidak mencobanya dengan Lwekang ajaran ayah angkat itu ?”
Segera tubuhnya menegak ke atas, ia menjungkir dengan kepala dibawah, ia keluarkan ilmu yang pernah dipelajarinya dari Auwyang Hong.
Tak lama kemudian terasalah semacam hawa hangat mengalir melalui seluruh tubuhnya, segera pula perasaan dingin tadi banyak berkurang waktu dia me-mutar2 tiga kali, tiba2 tubuhnya malah terasa sepanas dibakar, sedikitpun tidak kedinginan lagi, bahkan setelah dia rebah kembali di atas ranjang batu itu lantas terasa segar dan sangat enak, ketika matanya dipejamkan akhirnya ia tertidur dengan nyenyak.
Tetapi sesudah tertidur kira2 setengah jam, setelah hawa hangat tubuhnya buyar, kembali ia terjaga dari tidurnya oleh karena hawa dingin telah menyerang lagi, oleh karena itu, segera ia menjungkir pula mengeluarkan ilmu ajaran Auwyang Hong.
Dan begitulah seterusnya, tidur sebentar lalu mendusin dan tidur lagi, ia ribut sendiri semalam suntuk, tetapi paginya sesudah bangun, bukannyas ia merasa letih, sebaliknya ia malah penuh semangat, suatu tanda bahwa ilmu menjungkirnya itu khasiatnya memang hebat.
Waktu Siao-liong-li meraba jidat anak ini, merasa suhu badan orang biasa saja, keruan ia menjadi heran sekali, maka dengan sabar dia tanya Yo Ko ilmu apa yang pernah dipelajarinya dahuIu.
Sedikitpun Yo Ko tidak membohong, ia menerangkan seluruhnya, ia ceritakan Lwekang yang dipelajarinya dari ibu kandungnya sendiri dan Ha-mokang yang diterimanya dari Auwyang Hong.
Diam2 Siao-liong-li ber-pikir2, ia merasa kedua macam Lwekang yang diuraikan Yo Ko itu sama sekali tidak sejurus dan berlainan, terang pula berbeda sekali dengan Lwekang sendiri, la, pikir meski apa yang Yo Ko pahami itu hanya sedikit dasar penuntun saja, tapi dengan ini pula dapat dibayangkan yang lain bahwa kedua ilmu Lwekang yang dipelajarinya itu justru luar biasa bagusnya, sesungguhnya tidak dibawah Lwekang dari pada perguruannya sendiri.
BegituIah, sesudah Siao-liong-li ter-menung2 sejenak, lalu ia membatin lagi: “Kiranya anak ini sudah mempunyai dasar Lwekang yang kuat, soalnya tidak dipergunakan secara baik dan tepat, Maka sekarang tidak perlu kesusu mengajarkan dia Lwekang dari perguruannya sendiri ”
Paginya, sesudah mereka sarapan, berkatalah Siao-liong-li kepada Yo Ko:
“Ko-ji, ada suatu soal, ini boleh kau pikirkan sendiri dengan masak jika sungguh2 kau ingin mengangkat guru padaku, maka seumur hidup ini kau harus tunduk pada kata2ku, Tetapi jika kau tidak angkat guru padaku, akupun tidak <^Ww!>
nurunkan ilmu kepandaian padamu, kelak kalau kau mampu menangkan aku, maka dengan ilmu silatmu itu boleh kau terjang keluar Hoat-su-jin-bong ini.”
“Sudah tentu aku ingin angkat kau sebagai guru,” sahut Yo Ko tanpa pikir sedikitpun “Sekalipun kau tidak mengajarkan kepandaian padaku juga pasti aku akan turut segala perkataanmu.”
Keruan Siao-liong-li heran oleh jawaban ini.
“Sebab apa ?” tanyanya.
“Kokoh, dalam hati engkau sangat baik terhadapku memang kau kira aku tidak tahu ?” sahut Yo Ko.
“Baik tidak aku terhadapmu selanjutnya tidak boleh dipakai membacot,” kata Siao-liong-li dengan menarik muka, “Baiklah, jika kau angkat guru padaku, mari kita pergi ke ruangan belakang buat menjalankan upacara.”
Maka ikutlah Yo Ko ke ruangan belakang, di ruangan ini Yo Ko melihat keadaanpun kosong belaka tanpa sesuatu pajangan, hanya diantara kedua belah dinding timur dan barat tampak tergantung dua lukisan.
Lukisan yang tergantung di dinding sebelah barat menggambarkan dua gadis jelita, yang satu usianya 25-26 tahun dan sedang bersolek menghadapi cermin, sedang gadis yang lain berumur 14-15 tahun, dari dandanannya jelas adalah seorang dayang atau pelayan, tangannya terlihat memegang sebuah baskom sedang melayani junjungannya yang sedang bersolek itu.
Kedua gadis ini semuanya berwajah cantik molek, yang berumur lebih tua itu alisnya lentik panjang sampai mendekati pelipis, diantara sorot matanya lapat2 membawa perbawa yang agung dan keren, Tanpa terasa Yo Ko memandang beberapa kali lebih banyak kepada gadis ini, dalam hati se-akan2 dengan sendirinya timbul semacam perasaan hormat kepadanya.
“lni dia Cosu-popoh (nenek guru), hayo menjuralah kau,” demikian Siao-liong-li lantas berkata padanya sambil menunjuk gambar gadis yang tua-an itu.
“Dia ini Cosu-popoh ?” tanya Yo Ko dengan heran, “Kenapa usianya begini muda ?”
“Waktu membikin lukisan ini dia masih muda, kemudian tentunya tidak muda lagi,” sahut Siao-liong-li.
Kata2 jawaban ini diulangi Yo Ko di dalam hati, tiba2 ia merasakan semacam kesunyian yang memilukan, maka dengan tercengang ia pandang lukisan itu, tanpa tertahan air matanya meleleh.
Sudah tentu Siao-liong-li tidak tahu isi hati bocah ini, kembali dia tuding gambar gadis yang berdandan sebagai pelayan itu dan berkata pula : “lni adalah Suhuku, Nah, lekas kau menjura.”
Waktu Yo Ko mengamat-amati pula lukisan itu, ia lihat gadis jelita yang dimaksud ini masih bodoh pelonco, wajahnya bersifat anak2, siapa tahu telah menjadi gurunya Siao-liong-li. Akan tetapi tanpa ragu2 lalu ia berlutut terus menjura terhadap lukisan itu.
Menunggu sesudah Yo Ko berdiri kembali kemudian Siao-liong-li tuding lagi pada lukisan yang tergantung di dinding sebelah timur itu sambil berkata: “Sekarang ludahi sekali pada Tojin itu !”
Waktu Yo Ko menegasi, ia lihat lukisan itu memang menggambarkan seorang Tojin atau imam yang berperawakan jangkung, pada pinggangnya tergantung sebatang pedang dan jari telunjuk kanannya sedang menuding ke jurusan timur-laut, hanya gambar Tojin ini dalam keadaan mungkur, maka wajah imam ini tidak jelas tertampak. Tentu saja Yo Ko sangat heran.
“Siapa dia ? Kenapa harus meludahi dia ?” tanyanya kemudian,
“Dia adalah Kaucu (ketua agama) Coan-cin-kau, Ong Tiong-yang,” tutur Siao-liong-Ii. “Kita mempunyai satu peraturan, apabila sudah menyembah pada Cosu-popoh, kemudian harus meludahi dia,”
Dalam hati kecilnya Yo Ko memang sudah dendam dan benci terhadap orang2 Coan-cin-kau, setelah diberi penjelasan itu, tanpa pikir lagi segera ia meludahi lukisan itu dan tepat mengenal punggung gambarnya Ong Tiong-yang.
“Kokoh, apakah Cosu-popoh kita sangat benci kepada Ong Tiong-yang ?” tanya Yo Ko.
“Ya,” jawab Siao-liong-li
“Kalau begitu kenapa gambar ini tidak dibakar saja, sebaliknya malah digantung di sini?”^ ujar Yo Ko.
“ltulah aku tak tahu, Aku hanya dengar dari Suhu dan Sun-popoh bahwa kaum laki2 di jagat ini tiada satupun yang baik,” demikian sahut Siau liong-li. Habis ini suaranya seketika berubah menjadi bengis dan membentak: “Kelak kalau kau sudah besar dan berani melakukan perbuatan jahat, hm, lihat saja apa aku akan mengampuni kau ?”
“Sudah tentu kau mengampuni aku,” tiba2 Yo Ko menjawab.
Keruan Siao-Iiong-li tertegun seketika, Maksudnya dengan kata2 terakhirnya tadi sebenarnya hanya buat me-nakut2i dan sebagai peringatan saja, tak terduga Yo Ko ternyata berani menjawab Dalam tertegunnya, Siao-liong-Ii menjadi bingung malah dan kehabisan akal.
“Lekas menyembah guru !” akhirnya ia membentak lagi.
“Kepada guru sudah tentu aku, akan menyembah,” sahut Yo Ko lagi, “Cuma engkau harus berjanji dulu satu hal padaku, kalau tidak, aku tak mau menyembah.”
“Kurang ajar anak ini,” diami Siao-liong-li menggerutu dalam hati “Selamanya hanya guru yang minta murid harus berjanji, mana ada aturan bahwa murid malah meminta janji dari sang guru ?”
Akan tetapi dasar sifatnya memang sabar dan pendiam, maka iapun tidak menjadi gusar.
“Soal apa ? Boleh coba kau katakan,” sahutnya kemudian.
“Begini,” kata Yo Ko, “dalam hati sudah terang kuanggap engkau sebagai Suhu, aku menghormati kau dan menjunjung kau, apa yang kau katakan tentu kuturut, tetapi dalam sebutan aku tidak panggil engkau sebagai Suhu melainkan tetap panggil engkau Kokoh (bibi) saja”
Permintaan ini kembali membikin Siao-liong li tercengang.
“Sebab apa ?” tanyanya kemudian.
“Ya, sebab sudah dua kali aku mengangkat Suhu, tetapi mereka perlakukan aku tidak baik, diwaktu mimpi saja aku akan mengutuki Suhu,” demikian Yo Ko menutur, “Oleh sebab itu adalah lebih baik kupanggil kau Kokoh saja, agar bila aku mengutuki Suhu engkau tidak ikut tersangkut.”
Tanpa tertahan Siao-liong-Ii tertawa geli oleh keterangan Yo Ko ini, ia merasa walaupun kelakuan anak ini terlalu aneh dan nakal, tapi cara berpikirnya ternyata menarik juga.
“Baiklah, aku terima permintaanmu,” janjinya kemudian.
Yo Ko lantas berlutut, dengan sangat hormat ia menyembah delapan kali pada Siao-liong-li
Lalu Yo Ko mengucapkan janji pula: “Tecu (anak murid) Yo Ko hari ini mengangkat Siao-liong-li Kokoh sebagai guru, sejak kini, selamanya Yo Ko akan dengar kata Kokoh, jika Kokoh ada kesulitan dan menghadapi bahaya, Yo Ko akan mati-matian membela Kokoh tanpa hiraukan jiwa sendiri jika ada orang jahat berani menghina Kokoh, Yo Ko pasti akan membunuh orang jahat itu.”
Sungguh lucu sekali sumpah setia Yo Ko: ini Padahal waktu itu ilmu silat Siao-liong-Ii entah berapa puluh kali lebih tinggi daripada Yo Ko, tapi Yo Ko anggap orang adalah gadis jelita yang lemah lembut, maka tiba2 timbul sikap perkasa sebagai seorang jantan sejati yang wajib melindungi wanita lemah, sampai akhirnya, makin lama semakin bersemangat dan gagah ucapannya.
Meski lagu suara Yo Ko masih berbau kanak2, tetapi kata2 yang diucapkannya dengan sungguh2 dan penuh semangat itu, mau-tak-mau membikin hati Siao-liong-Ii rada terguncang juga.
BegituIah, sesudah Yo Ko menjura, kemudian ia berdiri kembali dihadapan orang dengan muka ber-seri2 tanda gembira.
“Apa yang membikin kau begini senang ?” tanya Siao-Iiong-li. “Kepandaianku toh belum tentu bisa menangkan imam2 tua dari Coan-cin-kau itu, lebih2 tak mungkin bisa diatas kau punya Kwe-pepek.”
“PeduIi apa meski kepandaian mereka lebih tinggi,” sahut Yo Ko spontan, “yang penting, engka mau mengajarkan ilmu kepandaian padaku dengan sungguh-sungguh.”
Siao-liong-li menghela napas mendengar jawaban orang.
“Padahal apa gunanya meski sudah belajar ilmu silat ?” ujarnya, “Cuma, daripada iseng menganggur di dalam kuburan sunyi ini, baiklah aku akan ajarkan padamu, sekarang kau tunggu dulu disini, biar aku keluar sebentar.”
Mendengar dirinya akan ditinggal pergi, Yo Ko menjadi takut karena harus tinggal sendirian dalam kuburan.
“Kokoh, aku ikut keluar saja,” demikian katanya cepat
Akan tetapi Siao-liong-Ii segera pelototi padanya.
“Baru saja kau berjanji akan turut perkataanku untuk selamanya, tapi hari pertama kau sudah membangkang,” damperatnya.
“Tetapi, aku aku takut,” sahut Yo Ko.
“Laki2 jantan sejati, takut apa ?” damperat Siao-liong-li pula, “Tadi kau masih bilang hendak membela diriku dan bunuh orang jahat segala !”
“Baiklah, kalau begitu lekasan engkau kembali ya !” kata Yo Ko sesudah berpikir.
“ltupun tak bisa ditentukan, bagaimana jika seketika sukar menangkapnya ?” ujar Siao-Iiong-li.
Yo Ko menjadi heran oleh jawaban ini.
“Menangkap apa, Kokoh ?” tanyanya.
Namun Siao-liong-Ii tak menjawab, ia terus bertindak pergi sendiri.
Dengan keluarnya Siao-liong-Ii, keadaan di dalam kuburan menjadi sepi nyenyap.
Dalam pada itu Yo Ko masih me-nerka2 dalam hati oleh kata2 Siao-liong-li tadi yang bilang hendak pergi menangkap sesuatu, ia tidak tahu siapakah yang hendak ditangkapnya. Tapi mengingat Siao-liong-li tidak pernah turun selangkah pun dari Cong-km-san, Yo Ko yakin tentu sasaran yang ditangkapnya adalah imam Coan-cin-kau, hanya tidak diketahui imam mana yang akan ditangkapnya dan guna apa menangkapnya ?”
BegituIah Yo Ko berpikir serabutan sendirian, tanpa terasa iapun sudah melangkah keluar ruangan besar kuburan itu dan menuju ke arak syrat melalui satu lorong, tetapi baru belasan tindak dilalui, tiba2 pandangannya menjadi gelap gulita.
Karena kuatir akan kesasar, lekas2 Yo Ko balik kembali pe-lahan2 dengan merembet dinding, siapa tahu meski sudah beberapa puluh tindak ia berjalan masih belum juga dilihatnya sinar pelita di ruangan besar tadi.
Dalam gelisah dan takutnya, Yo Ko tambah cepat melangkah ke depan, Akan tetapi ia jadi kesasar lebih jauh lagi. Memangnya ia sudah salah jalan, dalam keadaan gugup semakin salah pula. Makin jalan makin cepat, beberapa kali ia kebentur sini dan tertumbuk sana, dalam kegelapan ia merasa jalan lorong itu bersimpang-cabang belaka, hingga tak bisa lagi ia kembali ke ruangan besar di depan tadi.
“Kokoh, Kokoh ! Lekas tolong !” saking kuatirnya ia ber-teriak2.
Akan tetapi suara gemborannya segera berkumandang balik diantara lorong kuburan itu hingga membisingkan telinga.
Namun Yo Ko tidak putus asa, ia maju terus mencari jalan keluarnya, kemudian tiba2 terasa tanah di mana dia injak ternyata basah becek, kiranya dirinya sudah tidak berada di lorong kuburan lagi melainkan berada di jalan lembah pegunungan yang bertembusan dengan lorong kuburan dibawah tanah itu.
Keruan Yo Ko semakin ketakutan.
“Jika aku kesasar di dalam kuburan, bagaimanapun Kokoh pasti dapat mencari kembali di-riku,” demikian ia pikir. “Kini aku telah sampai disini, kalau tak bisa menemukan aku, tentu ia mengira aku melarikan diri, dan tentu pula dia akan berduka sekali.”
Oleh karena itu, sesudah me-raba2 mendapatkan sebuah batu, lalu ia bersedakap tangan dan berduduk di atas batu itu sambil ter-menung2.
Lama sekali ia duduk ter-mangu2, tiba2 ia dengar suara sajup2 orang sedang memanggilnya: “Ko-ji Ko-ji!”
Yo Ko dapat mengenali suara orang itu, tentu saja ia sangat girang, tanpa ayal lagi ia melompat bangun dan balas berteriak : “Aku ada di sini, Kokoh !”
Akan tetapi suara panggilan “Ko-ji, Ko-ji” itu bukannya makin mendekat, sebaliknya malah menjauh.
Keruan saja Yo Ko sangat cemas, lekas-lekas ia pantang mulut dan berteiak lebih keras: “Aku ada di siniiiiiii!”
Tetapi sejenak kemudian ia tidak mendengar suara panggilan lagi, tentu saja ia menjadi kesal dan putus asa.
Tak terduga, mendadak ia merasakan daun kupingnya menjadi “nyes” dingin, tahu2 kupingnya dijewer orang terus diangkat.
Dalam kagetnya hampir saja Nyo.Ko- menjerit akan tetapi segera ia menjadi girang sekali
“He, Kokoh, kau ! Kenapa sedikitpun aku tidak merasa,” demikian teriaknya kemudian.
“Apa yang kau lakukan di sini ?” omel Siao-liong-li.
“Aku kesasar,” sahut Yo Ko.
Siao-liong-li tidak menanya lebih jauh, ia tarik tangan Yo Ko dan diajak kembali walaupun dalam keadaan gelap gulita, namun Siao-liong-li ternyata bisa jalan dengan cepat dan belak-belok seperti jalan di siang hari saja.
“Kokoh, kenapa engkau dapat melihat dengan terang ?” tanya Yo Ko kagum.
“Seumur hidupku dibesarkan dalam kegelapan dengan sendirinya aku tidak memerlukan sinar terang,” sahut Siao-liong-li.
Tidak antara lama, kembali Siao-liong-li membawa Yo Ko sampai di ruang besar semula.
“Kokoh,” kata Yo Ko sambil tarik napas panjang, “sungguh, tadi aku merasa kuatir sekali”
“Kuatir apa ? Toh pasti aku akan menemukan kau,” sahut Siao-liong-li
“Bukan kuatirkan soal ini,” kata Yo Ko pula, “tetapi aku kuatir engkau akan menyangka aku melarikan diri hingga merasa berduka dalam hati”
“Jika kau lari, janjiku pada Sun-popoh lantas batal pula, apanya yang perlu dibuat duka ?” sahut Siao-liong-li
Nyata watak kedua orang ini sama sekali terbalik, jika Yo Ko berpikir dengan penuh perasaan hangat, sebaliknya Siao-liong-li berhati dingin sebagai es.
“Apa engkau telah berhasil menangkapnya, Kokoh ?” tanya Yo Ko lebih jauh.
“Sudah,” jawab Siao-liong-li
“Kenapa engkau menangkap dia ?” tanya Yo Ko lagi
“Bukankah buat membantu kau melatih silat, sahut Siao-liong-li, “Sini, ikut padaku,”
Mendengar jawaban ini, seketika Yo Ko menjadi girang. “Eh, kiranya dia pergi menangkap imarn Coan-cin-kau untuk dibuat untuI (mangsa latihan) bagiku,” demikian pikirnya, Keruan ia sangat ketarik, maka tanpa berkata lagi dia ikut di belakang Siao-liong-li
Setelah memutar beberapa kali kemudian Siao-liong-li membuka sebuah pintu dan masuk ke dalam sebuah kamar batu.
Yang aneh jalan kamar batu ini ternyata sangat kecil dan sempit, dua orang berada di dalamnya saja sukar memutar tubuh, pula langit2an kamar sangat rendah, hampir Siao-liong-li menyundul langit2 kamar itu apabila mengangkat tangannya…
Dalam pada itu Yo Ko juga heran, sebab tiada satu imam Coan-cin-kau yang terdapat di dalam kamar itu.
“Di manakah Tosu yang engkau tangkap itu ?” begitulah ia lantas tanya.
“Tosu apa ?” berbalik Siao-long-li balas tanya.
“Bukankah engkau bilang hendak pergi menangkap orang buat membantu aku latihan silat?” sahut Yo Ko.
“Siapa bilang orang ?” kata Siao-liong-li “Tetapi ini, di sini”
Habis ini ia berjongkok dan tarik sebuah kantong kain dari pojok kamar, setelah tali pengikat kantong dilepas, kantong itu dia kebas beberapa kali, maka terbang keluarlah tiga ekor burung gereja.
Luar biasa herannya Yo Ko setelah mengetahui isi kantong itu. “Eh, kiranya Kokoh keluar tadi untuk menangkap burung gereja,” demikian ia membatin.
“Nah, sekarang coba kau tangkap ketiga burung gereja itu, tetapi tak boleh kau membikin rontok bulunya atau melukai cakarnya,” demikian Siao-liong-li berpesan padanya.
Yo Ko menjadi senang oleh permainan ini.
“Bagus !” serunya gembira, Dan begitu menubruk maju segera ia hendak menangkap salah satu burung gereja itu.
Akan tetapi burung2 gereja itu ternyata sangat gesit, meski Yo Ko sudah tubruk sini dan samber sana, tetap tak bisa menyenggol sedikitpun, jangankan hendak menangkapnya, Akhir-nya napas Yo Ko sendiri yang ter-engah2 dan berkeringat.
“Cara kau menangkapnya itu salah, Harus begini, lihat ini kuajarkan kau caranya,” kata Siao-liong-Ii.
Habis itu, dia lantas memberi beberapa petunjuk caranya meloncat ke atas dan menubruk ke bawah, cara menangkap dan mencekal dengan cepat.
Yo Ko memang sangat pintar, ia tahu dengan melalui cara menangkap burung gereja itu sebenarnya Siao-liong-li lagi mengajarkan semacam ilmu silat yang tinggi padanya, maka ia memperhatikan sepenuhnya semua pelajaran itu dan di-ingatnya dengan baik.
Dengan main tubruk dan samber tanpa teratur nyata Yo Ko kewalahan sendiri untuk menangkap ketiga ekor burung gereja itu.
Cara2 yang diajarkan Siao-liong-li padanya itu sudah bisa dipahaminya, hanya seketika belum dapat dia pergunakan Namun Siao-liong-li tidak peduli lebih jauh, ia membiarkan Yo Ko sibuk sendiri didalam kamar itu dengan burung2-nya, sedang ia sendiri lantas keluar sesudah merapatkan pintunya.
Hari pertama itu nyata Yo Ko belum sanggup menangkap burung gereja itu meski hanya seekor saja, sesudah bersantap malam, dia latih Lwekangnya lagi di atas ranjang batu pualam dingin, Besok paginya, kembali ia mengudak burung gereja lagi, cara melompatnya ternyata sudah bertambah tinggi, gerak tangannya pun jauh lebih cepat daripada tadinya.
Begitulah seterusnya, sampai hari kelima, akhirnya berhasil juga dia menangkap seekor burung gereja itu, luar biasa girang Yo Ko, segera ia mencari Siao-liong-li dan melaporkan kemajuannya itu.
Siapa tahu, bukannya Siao-liong-li memuji atas hasilnya itu, sebaliknya ia dingin saja menerima laporan itu, bahkan ia menyindir: “Huh, apa gunanya hanya seekor ? Tetapi harus menangkap tiga ekor sekaligus !”
Yo Ko tak berani menjawab, dalam hati ia pikir: “Kalau sudah bisa menangkap seekor, menangkap lagi dua ekor apa susahnya ?”
Tak tersangka prakteknya ternyata tidak begitu gampang sebagaimana dia sangka, beruntun-runtun dua hari seekor saja tak mampu ditangkapnya lagi.
Setelah ketiga burung gereja itu sudah payah karena terus menerus di-uber2 oleh Yo Ko, kemudian Siao-liong-li melepaskannya setelah di-lolohi sedikit makanan, lalu ia menangkap lagi tiga ekor yang baru yang masih segar dan kuat untuk melatih Yo Ko. Dan pada hari kedelapan barulah sekaligus Yo Ko mampu menangkap ketiga burung gereja itu.
“Cukuplah sekarang, mari kita pergi ke Tiong-yang-kiong,” kata Siao-Iiong-li.
Tentu saja Yo Ko rada terperanjat oleh ajakan ini.
“Untuk apa ke sana ?” tanyanya heran.
Akan tetapi Siao-liong-li tidak menjawab pertanyaannya, ia tarik tangan bocah itu terus diajak menuju Tiong-yang-kiong.
Selama itu meski hanya selisih delapan hari saja, namun keadaan Yo Ko ternyata sudah berlainan, kini tindakannya kuat dan langkahnya enteng, jelas sekali lebih tangkas daripada sebelumnya.
“Thio Ci-keng ! Hayo lekas keluar!” seru Siao-liong-li sesudah sampai di depan Tiong-yang-kiong kaum Coan-cin-kau itu.
Tadi sebelum mereka berdua sampai di depan istana ini, lebih dulu sudah ada imam Coan-cin-kau yang telah melaporkan kedatangan mereka, maka baru saja Siao-liong-li berteriak, segera dari dalam istana itu membanjir keluar beberapa puluh orang Tosu atau imam, Di antaranya dua imam cilik memayang Thio Ci-keng. Wajah Ci-keng tertampak pucat lesu, kedua matanya cekung, kelihatannya tak sanggup berdiri sendiri.
sementara itu para imam dapat mengenali Siao-liong-li berdua, mereka semua memegang ferijata dan memandang dengan mata melotot gusar
Siao-liong-li lantas keluarkan sebuah botol putih dari bajunya,
“Ini adalah air madu untuk menyembuhkan racun antupan tawon, ambil dan berikan pada Thio Ci-keng,” katanya dengan suara keras sambil menyerahkan botol itu kepada Yo Ko.
Waktu melihat Thio Ci-keng, sebenarnya hati Yo Ko masih belum hilang rasa benci dan dendamnya pada imam ini. Hanya karena dihadapan orang banyak, rasanya tak enak membantah maksud Siao-liong-li itu, Maka dengan langkah lebar terpaksa ia membawa botol madu tawon itu, dan ditaruh di depan Thio Ci-keng.
Ketika para imam Coan-cin-kau mendengar bahwa Siao-liong-li datang lagi, mereka menyangka gadis ini tentu akan cari gara2 dan bikin onar, untuk membalas sakit hatinya Sun-popoh, maka disamping mereka siap berjaga, di lain pihak segera dilaporkan kepada Ma Giok dan Khu ju-ki yang tingkatannya lebih tua.
Tak terduga bahwa kedatangan Siao-liong-li ini ternyata sama sekali tidak bersifat permusuhan melainkan malah mengutarakan madu tawon penawar racun, keruan mereka menjadi heran, dalam bingungnya sampai mereka tak bisa menyambut perkataan Siao-liong-li” tadi, sementara itu setelah Yo Ko menaruh botol madu tawon didepan orang, ia pandang sekejap pula kepada Thio Ci-keng dengan sorot mata yang penuh menghina dan merasa jijik,habis ini ia putar tubuh terus jalan kembali.
Slkap Yo Ko ini agaknya dapat dilihat dengan jelas oleh Ceng kong yang berada juga di antara kawanan imam itu, ia tak bisa menahan amarahnya lagi.
“Anak celaka, sudah mengkhianati perguruan, sekarang kau mau pergi begitu saja ?” demikian segera ia membentak sambil memburu maju hendak menawan Yo Ko.
“Ko-ji, hari ini jangan membalas serangannya,” tiba2 Siao-liong-li berpesan pada Yo Ko.
Dalam pada itu Yo Ko mendengar dari belakangnya ada suara tindakan orang dengan cepat, menyusul mana terdengar pula menyambernya angin pukulan, nyata ada orang hendak menjamberet punggungnya, Karenanya, tanpa pikir segera ia mendaki tubuh ke bawah, lalu mendadak ia meloncat ke samping.
Meski baru delapan hari Yo Ko berlatih menangkap burung gereja di dalam Hoat-su-jin-bong atau kuburan orang hidup itu dan tidur di atas ranjang batu pualam dingin delapan malam pula, walaupun Siao-liong-li hanya mengajarkan sedikit caranya menangkap burung, akan tetapi semua itu justru adalah intisari dari kunci dasar latihan Ginkang atau ilmu entengkan tubuh yang tinggi dari Ko-bong-pay (aliran kuburan kuno) itu, maka kepandaiannya sekarang sudah jauh berbeda daripada waktu bertanding dengan imam Coan-cin-kau dahulu.
BegituIah, maka dengan tepat sekali, pada saat tangan Ceng-kong hampir menempel punggungnya, mendadak ia melompat pergi, bahkan berbareng itu sekalian ia tarik kain baju orang, Memangnya karena Ceng-kong luput menubruk orang dan tubuhnya mendoyong ke depan, kini ditambah oleh tarikan Yo Ko, keruan ia tak sanggup berdiri tegak lagi, tanpa ampun ia jatuh tersungkur dengan antap sekali.
Ketika Ceng-kong bisa merangkak bangun, sementara itu Yo Ko sudah berdiri di samping Siao-liong-li.
Dalam gusarnya Ceng-kong berteriak murka terus hendak menyeruduk maju lagi, syukur pada saat itu mendadak dari rombongan imam2 itu telah maju satu orang dan secepat kilat menghadang dihadapan Ceng-kong sambil menarik tangannya dan diseret kembali ke tempat berdiri mereka semula.
Seketika Ceng-kong merasakan setengah tubuhnya menjadi kaku kesemutan, waktu ia mendongak kiranya yang menariknya adalah Susiok atau paman gurunya, In Ci-peng. Karena itu, kata2 makian yang sebenarnya akan dia lontarkan, seketika juga ia telan kembali mentah2.
“Banyak terima kasih atas pemberian obat nona tadi,” demikian In Ci-peng membuka suara sambil membungkuk memberi hormat.
Sebaliknya Siao-liong-li ternyata tidak balas hormat orang, iapun tidak menjawab, Dia gandeng tangannya Yo Ko terus diajak kembali: “Mari Ko-ji, kita pulang saja !”
“Liong-kohnio,” tiba2 In Ci-peng Berseru lagi, “Yo Ko ini adalah anak murid Coan-cin-kau kami, tetapi secara paksa kau telah menerimanya sebenarnya cara bagaimana urusan ini harus diselesaikan ?”
Siao-liong-H tertegun oleh teguran ini dan tak bisa menjawab.
“Aku tak senang mendengarkan ocehan orang,” katanya akhirnya.
Habis ini, tanpa menghiraukan orang Iain ia tarik tangan Yo Ko dan masuk kembali ke dalam rimba dengan langkah cepat Di lain pihak In Ci-peng dengan para imam Coan-cin-kau jadi terkesima, mereka hanya saling pandang saja dengan bingung.
“Ko-ji, kepandaianmu memang nyata sudah ada kemajuannya,” demikian kata Siao-liong-li kepada Yo Ko sesudah berada di dalam kuburan kuno itu,cuma cara kau hajar imam gemuk tadi itu sebaliknya salah besar.”
“lmam gendut itu pernah hajar aku secara tidak se-mena2, sayang tadi aku belum sempat membalas dia dengan setimpal,” sahut Yo Ko.
“Dan mengapa Kokoh bilang aku salah menghajarnya ?”
“Maksudku bukan tak boleh menghajar dia, tetapi caramu menghajarnya itu yang salah,” ujar Siao-liong-li “Seharusnya jangan kau tarik dia hingga jatuh tersungkur ke depan, tetapi harus tidak pakai tarikan dan biar dia jatuh terjengkang sendirinya ke belakang,”
Yo Ko menjadi girang mendengar penuturan ini.
“Ha, menarik sekali hal ini, hayo, Kokoh, ajarkan caranya !” serunya cepat.
“Nah, anggap aku ini Ko-ji dan kau adalah imam gendut busuk itu, coba kau tangkap diriku,” demikian kata Siao-liong-li puIa, Habis berkata, segera dia mulai melangkah pelahan ke depan.
Yo Ko menurut, dengan tertawa2 ia ulur tangannya untuk memegang tubuh orang, Akan tetapi seperti bermata saja dipunggung Siao-liong-li, meski Yo Ko menubruk dan meraup bagaimanapun juga, tetap tak dapat menyenggol baju orang, kalau Yo Ko berlari cepat, Siao-liong-li segera lari lebih cepat, dan kalau Yo Ko lambat, Siao-liong-li pun ikut lambat, jarak mereka selalu berselisih kira2 satu kaki jauhnya.
“Haha, Kokoh, awas sekali ini !” dengan tertawa Yo Ko berseru, mendadak ia menubruk maju dengan gerak cepat, dan Siao-liong-li ternyata tidak menghindarinya.
Tentu saja Yo Ko bergirang, ia yakin kedua tangannya segera pasti akan dapat merangkul leher orang, Siapa duga, baru saja kedua tangannya dipentang dan hampir merangkul, se-konyong2 Siao-liong-li mencelat ke belakang hingga terlepas dari rangkulannya.
Karena menangkap angin, dengan cepat pula Yo Ko mendongak dan hendak menjambret akan tetapi dia baru saja menubruk ke depan lalu mendadak menekuk ke belakang sambil mendongak, karena terlalu besar menggunakan tenaga, maka Yo Ko tak bisa berdiri tegak lagi, ia jatuh terjengkang ke belakang hingga tulang punggung terasa sakit sekali.
“Caramu ini sangat bagus, Kokoh,” teriak Yo Ko girang sesudah merangkak bangun, “Dan kenapa engkau bisa begini cepat ?”
“Jika kau berlatih menangkap burung gereja setahun lagi, tentu kau akan jadi begini juga,” sahut Siao-liong-li.
“He, bukankah aku sudah bisa menangkapnya,” ujar Yo Ko.
“Hm, dapatkah itu dianggap ?” Siao-liong-H menjengek, “Apa kau kira ilmu silat Ko-bong-pay kita ini begitu gampang kau pelajari ?”
Karena dampratan ini, Yo Ko tak berani bicara lebih jauh.
“Sini ikut padaku,” kata Siao liong-li kemudian. Lalu ia bawa Yo Ko pergi ke satu kamar batu yang lain.
Kamar batu yang sekarang ini ternyata sekali lebih besar dan luas daripada yang dulu waktu mula2 Yo Ko belajar menangkap burung, di dalam kamar ini sudah tersedia lagi enam ekor burung gereja.
Kalau tempatnya bertambah luas, dengan sendirinya untuk menangkap burung gereja itu menjadi jauh lebih sulit, Tetapi Yo Ko tak perlu kuatir karena Siao-liong-li telah memberi petunjuk beberapa kepandaian lagi cara meloncat tinggi dan melompat jauh dari ilmu entengkan tubuh dan ilmu cara menangkap dan menawan. Dengan demikian lewat delapan atau sembilan hari lagi, sekaligus Yo Ko sudah bisa menangkap enam burung gereja itu.
Selanjutnya kamar latihannya lantas bertambah besar dan makin luas, jumlah burung gereja yang harus ditangkapnya bertambah banyak juga, dan akhirnya dia harus menangkap 9×9 - 81 burung gereja di ruangan tengah yang sangat besar, Untung ranjang batu pualam dingin yang dibuat tidur Yo Ko itu ternyata besar sekali khasiatnya untuk membantu latihan Lwekang, hanya dalam tempo tiga bulan saja, 81 ekor burung gereja itu sekaligus dapat Yo Ko tangkap semua.
Tentu saja Siao-liong-li sangat girang melihat kemajuan Yo Ko yang begitu pesat.
“Dan sekarang kita harus menangkapnya di luar kuburan,” demikian katanya kemudian.
Selama tiga bulan itu Yo Ko terkurung di dalam kuburan, memangnya ia sudah bosen dan kesal juga, kini mendengar akan latihan di luar kuburan, keruan ia menjadi senang dan muka ber-seri2.
“Apanya yang perlu digirangkan ?” ujar Siao-liong-li dingin, “justru ilmu kepandaian ini sukar sekali melatihnya. 81 burung gereja ini seekor saja tidak boleh terlolos.”
Begitulah dengan membawa kantong kain yang penuh berisi 81 ekor burung gereja ia ajak Yo Ko keluar kuburan kuno itu.
Tatkala itu adalah bulan tiga dan terhitung permulaan musim semi, karena itu alam semesta di luar kuburan itu boleh dikatakan menghijau permai dan hawa sejuk diselingi hembusan harum bunga yang semerbak.
Ketika mendadak Siao-liong-li mengebas kantong yang dibawanya, maka terbanglah ke-81 ekot burung gereja itu, tetapi justru pada saat burung itu hendak kabur, tiba2 kedua tangan Siao-liong-li putih halus itu bergerak, dari sana ia tarik sini dan dari sana ditepuk pula, tahu2 dua ekor burung gereja yang hampir kabur itu dapat ditoIaknya kembali.
Begitu mendapat kebebasan, dengan sendirinya ke-81 ekor burung gereja itu segera ingin terbang pergi Tetapi aneh juga, ketika Siao-liong-li keluarkan Ciang-hoat atau ilmu pukulan tangan kosong, di sana ia menolak dan di sini mengebas, ke-81 ekor burung gereja itu ternyata terhimpit semua di depan dadanya dalam jarak tiga kaki satupun tak sanggup kabur.
Terlihat Siao-liong-li geraki kedua tangannya se-akan2 sedang menari kedua tangan seperti berubah menjadi 81 tangan saja, bagaimanapun ke-81 ekor burung gereja menubruk sana dan menerobos sini namun tetap tak mampu kabur keluar dari lingkaran kedua tangan Siao-liong-li.
Nampak keajaiban ini Yo Ko hanya ternganga belaka, dalam kagumnya iapun bergirang pula, waktu ia tenangkan diri ia pikir: “Ah, ini adalah ciang-hoat hebat tiada bandingannya yang Kokoh sedang ajarkan padaku, aku harus mengingatnya dengan baik.”
Karena itu, segera ia pusatkan perhatiannya untuk mengikuti gerak-gerik Siao-liong-li, ia ingat dengan baik cara bagaimana orang ulur tangan buat menahan dan cara bagaimana membaliki tangan buat meraup, meski cara Siao-liong-li menggerakkan tangan sangat cepat dan aneh, tetapi tiap gerakan dan tiap jurus cukup jelas dan teratur.
Sesudah mengikuti agak lama, walaupun Yo Ko masih belum paham di mana letak keajaiban Ciang-hoat orang, namun sedikitnya ia tidak bingung lagi seperti tadi.
Sementara itu sudah lama Siao-liong-li menari ketika mendadak kedua tangannya mengebas lagi sekali, lalu ia luruskan tangannya ke belakang, Karena terlepas dari kekangan tenaga tangan Siao-liong-li, segera burung2 gereja itu bercuitan hendak terbang kabur pula, Diluar dugaan, mendadak Siao-liong-li mengebas lagi dengan kedua lengan bajunya yang membawa sambaran angin santer, Karena itu, ke-81 ekor burung itu seketika terjatuh kembali ke atas tanah dengan suara cuitan yang ramai. Lewat agak lama, kemudian burung2 gereja itu baru bisa pentang sayap dan terbang pergi satu demi satu.
Sungguh luar biasa girang Yo Ko oleh pertunjukan kepandaian yang hebat itu, ia tarik2 baju Siao-liong-li sambil berkata: “Kokoh, kukira sekalipun Kwe-pepek juga tak bisa seperti engkau tadi.”
“Chiang-hoat yang kutunjukkan tadi disebut “Thian-lo-te-bang-sik” (gaya jaring langit dan jala bumi), adalah ilmu kepandaian pengantar dari Ko-bong-pay kita,” sahut Siao-liong-li menerangkan. “Maka kau harus belajar dengan baik.”
Lalu Siao-liong-li mengajarkan belasan jurus Ciang-hoat itu dan semuanya dipelajari Yo Ko dengan baik.
Lewat belasan hari lagi, Yo Ko ternyata sudah bisa mempelajari “Thian-lo-te-bang-sik” yang meliputi 108 jurus itu dengan baik dan apal sekali. Oleh karena itu, Siao-Iiong-Ii lantas pergi menangkap seekor burung gereja dan suruh Yo Ko mencoba merintangi kaburnya burung ini dengan Ciang-hoat yang baru dipelajarinya itu.
Tentu saja dengan senang hati Yo Ko melakukan perintah itu, Mula2 ia hanya sanggup menahan dua-tiga kali dan burung gereja itu sudah menerobos lolos dibawah telapak tangannya. Tetapi Siao-liong-li selalu mendampingi dia, hanya sekali ulur tangannya, segera burung gereja itu dapat ditolak kembali.
Maka Yo Ko lantas melanjutkan permainan Ciang-hoatnya lagi, tapi lantaran gerak geriknya masih kurang cepat, pula kurang tepat mengepas waktunya, maka hanya beberapa kali gerakan kembali burung gereja itu lolos lagi.
Begitulah, tiap2 hari Yo Ko meneruskan latihannya itu tanpa kenal lelah. Sang tempo lewat dengan cepat, hari berganti bulan dan bulan berganti bulan puIa, tanpa terasa perawakan Yo Ko sudah tambah tinggi, suaranya yang kekanak-kanakan dulu sudah berubah besar pula seperti orang dewasa umumnya, pelahan ia sudah berubah menjadi pemuda yang tampan, berlainan daripada waktu dia masuk ke dalam kuburan kuno ini.
Berkat juga bakat pembawaan Yo Ko, pula Siao-liong-li telah mengajar dengan sepenuh tenaga, maka selewatnya, musim rontok, ilmu pukulan gaya “jaring langit dan jala bumi” itu telah berhasil dilatihnya.
Kini bila ia permainkan Ciang-hoat ini, sekaligus ia sudah sanggup menahan ke-81 burung gereja tanpa bisa lolos, kalau terkadang terlolos juga satu ekor, itu boleh dikatakan hanya penyakit kecil saja dari Ciang-hoat yang baru dia pelajari itu.
“Ko-ji,” kata Siao-liong-Ii pada suatu hari, “Ciang-hoat yang kau latih ini, dikalangan kangouw sudah jarang lagi ada tandingannya, maka kapan bertemu pula dengan imam gendut itu, boleh kau banting dia beberapa kali lagi yang keras.”
“Tetapi jika bergebrak dengan Thio Ci-keng, bagaimana ?” tanya Yo Ko.
Siao-liong-li tidak menjawab pertanyaan itu, sebab dalam hati ia lagi pikir: “Ya, Thio Ci-keng itu adalah jago terkemuka dari anak murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, kalau hanya dengan kepandaian Ko-ji sekarang, memang betul masih belum bisa mengalahkan dia.”
Melihat Siao-liong-li tidak menjawab pertanyaannya, segera Yo Ko tahu juga apa yang sedang dipikirkan orang.
“Tak bisa menangkan dia juga tidak mengapa, lewat beberapa tahun lagi tentu aku dapat menangkan dia,” demikian ia kata, “Kokoh, bukankah ilmu silat Ko-bong-pay kita memang jauh lebih lihay dari ilmu silat Coan-cin-kau ?”
“Apa yang kau katakan ini, dijagat ini mungkin hanya kita berdua saja yang percaya,” sahut Siao-liong-Ii sambil menengadah memandang langitl mangan. “Tempo hari waktu aku bergebrak dengan imam she Khu dari Coan-cin-kau itu, rasanya kalau soal ilmu silat memang aku belum bisa menangkan dia, tetapi ini tidak berarti Ko-bong-pay kita tidak bisa menandingi Coan-cin-kau, melainkan karena aku masih belum berhasil meyakinkan ilmu kepandaian yang paling hebat dari Ko-bong-pay kita.”
Sebenarnya Yo Ko kuatir kalau Siao-liong-li tak dapat menangkan Khu Ju-ki, kini mendengar kata2 itu, ia bergirang dan mantap.
“llmu kepandaian apakah itu, Kokoh ?” cepat ia tanya, “Apa susah melatihnya ? Kenapa engkau tidak mulai melatihnya ?”
“Biarlah kututurkan satu cerita pendek dahulu, supaya kau mengetahui asal usul golongan Ko-bong-pay kita ini,” sahut Siao-liong-li “Pada sebelum kau menyembah aku sebagai guru, bukankah kau ingat pernah menjura pada Cosu popoh, Dia itu she Lim, namanya Tiao-eng.
Pada, kira-kira 60-70 tahun yang talu, di kalangan Kangouw terkenal dengan kata2 “di selatan ada Lim dan di utara ada Ong, tetapi Im (negatip, perempuan) menangkan Yang (positip, 1aki2), apa yang dikatakan Lim di selatan itu ialah Cosu-popoh, dia berasal dari Kwisay, dan Ong di utara bukan kiri ialah Ong Tiong-yang dari Soa-tang.
“Di kalangan Bu-lim waktu itu, ilmu silat mereka berdua terhitung paling tinggi sebenarnya kepandaian mereka boleh dikatakan sembabat dan sukar dibedakan mana yang lebih tinggi, tapi belakangan karena Ong Tiong-yang sibuk dengan gerakan membela tanah air untuk melawan pasukan Kim, ia repot siang dan malam, sebaliknya Cosu-popoh bisa berlatih silat lebih tekun, maka akhirnya dia jadi lebih tinggi setingkat daripada Ong Tiong-yang, oleh karena itu orang sama bilang Im lebih unggul dari Yang”
“Kemudian pergerakan Ong Tiong-yang gagal, dengan perasaan menyesal ia lantas asingkan diri di dalam Hoat-su-jin-bong ini, saking iseng setiap hari, waktu senggang itu ia lewatkan buat berlatih silat dan mempelajari segala ilmu sakti, sebaliknya waktu itu Cosu-popoh malah menjelajahi Kangouw untuk melakukan berbagai perbuatan yang terpuji, oleh sebab itu, sampai Ong Tiong-yang untuk kedua kalinya turun gunung, kembali ilmu Cosu-popoh tak lebih unggul daripadanya.
Dan paling akhir kedua orang entah soal apa terjadi percekcokan hingga saling gebrak dan bertaruhan, ternyata akhirnya Ong Tiong-yang kalah dan kuburan kuno inipun diserahkan pada Cosu-popoh. Mari sini, biar kubawa kau pergi melihat bekas2 yang ditinggalkan kedua Locianpwe itu.”
Sebenarnya kuburan kuno itu seluruhnya dibangun dari batu dan entah dibangun sejak kapan, Tetapi kamar yang ditunjukkan Siao-liong-li pada Nyo-Ko sekarang ternyata sangat aneh bentuknya, depan sempit, bagian belakang lebar, sedang sebelah timur bundar, sebaliknya sebelah barat berbentuk lencip hingga berwujud segi tiga “Kenapa kamar ini dibikin sedemikian rupa Kokoh?” saking herannya Yo Ko bertanya.
“lni adalah tempat Ong Tiong-yang mempelajari ilmu silat,” sahut Siao-Iiong-li, “baglan depan yang sempit dibuat latihan pukulan telapakan, dan yang lebar di belakang buat latihan pukulan kepalan, yang bundar disebelah timur buat mempelajari ilmu pedang dan bagian barat yang lancip itu buat latihan senjata rahasia.”
Dengan jalan mondar-mandir di dalam kamar aneh ini, Yo Ko menjadi heran luar biasa, sama sekali ia tidak paham kegunaannya.
“ltu intisari ilmu silat Ong Tiong-yang semuanya berada di situ,” tibal Siao-liong-li berkata sambil menuding ke atas.
Waktu Yo Ko mendongak, ia lihat langit2 kamar yang terbuat dari papan batu itu ternyata penuh terukir goresan dan tanda2 rahasia yang beraneka macamnya.
Coretan itu semuanya digores dengan senjata tajam, ada yang dalam dan ada yang cetek secara tidak teratur. Yo Ko tidak tahu apa maksudnya.
Sementara itu Siao-liong-li telah mendekati dinding sebelah timur, ia mendorong tembok yang mendekuk setengah bundar itu, dengan pelahan sebuah batu menggeser, lalu tertampak sebuah pintu rnembentang, dengan membawa lilin Siao-liong-li ajak Yo Ko masuk ke situ.
Kiranya di dalam sana kembali terdapat sebuah kamar batu, kamar ini ternyata mirip sekali dengan kamar yang duluan, cuma tiap2 tempatnya berlawanan, kalau yang duluan sempit di depan dan bagian belakang luas, maka kamar yang kedua ini terbalik menjadi depan luas dan belakang sempit, begitu pula bagian ,barat bundar dan ujung timur lancip.
Waktu Yo Ko mendongak ia lihat di atas langit2an kamar itu juga penuh terukir tanda2 rahasia yang aneh.
“lni adalah rahasia ilmu kepandaian Cosu-popoh”, demikian Siao-liong-li berkata padanya, “Dahulu meski beliau menangkan kuburan ini, namun boleh dikatakan berkat tipu akal belaka, kalau soal ilmu silat sebenarnya belum bisa menandingi Ong Tiong-yang, Tetapi sesudah Cosu-popoh berdiam di dalam kuburan kuno ini, ia telah mempelajari dan menyelami ilmu silat yang ditinggalkan Ong Tiong-yang di atas langit2 kamar sebelah tadi, akhirnya beliau bahkan berhasil menciptakan tipu2 cara mematahkan ilmu silat Ong Tiong-yang, Dan tipu2 yang dia ciptakan itu semuanya telah ditulis di atas ini.”
“Bagus kalau begitu, Kokoh,” teriak Yo Ko girang, “Pikir saja, sekalipun kepandaian Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bisa lebih tinggi lagi juga tak akan melebihi Ong Tiong-yang yang menjadi guru mereka, kini kalau kau sudah mempelajari ilmu silat tinggalan Cosu-popoh ini, bukankah dengan sendirinya akan menangkan para imam Coan-cin-kau itu.”
“Kata2mu memangnya tidak salah, hanya sayang tiada orang Iain yang bisa membantu aku,” sahut Siao-Iiong-li.
“Aku bantu kau,” seru Yo Ko tiba2 dengan membusungkan dada.
Diluar dugaan, Siao-liong-li sambut kata2nya itu dengan mata melotot.
“Tetapi sayang kepandaianmu belum cukup,” sahutnya kemudian dengan dingin.
Muka Yo Ko menjadi merah karena malu.
“llmu silat ciptaan Cosu-popoh itu disebut Giok-li-sim-keng (ilmu suci si gadis ayu), untuk melatihnya harus dilakukan dua orang berbareng dengan saling bantu membantu,” demikian kata Siao-liong-li lebih lanjut. Dahulu, Cosu-popoh telah melatihnya bersama dengan guruku.”
Mendengar penjelasan ini, dari rasa malu tadi Yo Ko berubah menjadi girang.
“Ha, kalau begitu, aku adalah muridmu, tentu bisa juga berlatih bersama engkau,” serunya cepat.
Karena kata2 ini, Siao-liong-li ter-mangu2 sejenak.
“Baiklah, boleh juga kita mencobanya dahulu,” akhirnya ia berkata, “Langkah pertama, lebih dulu kau harus latih ilmu silat perguruan kita sendiri langkah kedua baru kau mempelajari ilmu kepandaian Coan-cin-kau dan langkah penghabisan baru kita latih Giok-li-sim-keng yang diciptakan untuk mengalahkan ilmu silat Coan-cin-kau itu.”
BegituIah, maka sejak hari itu Siao-liong-li lantas ajarkan semua ilmu kepandaian Ko-bong-pay kepada Yo Ko, baik mengenai Kun-hoat dan Ciang-hoat (ilmu pukulan telapak tangan) maupun pakai senjata tajam dan senjata rahasia.
Selang setahun, semua ilmu kepandaian itu sudah diperoleh Yo Ko, walaupun latihannya masih belum cukup masak, namun berkat bantuan ranjang batu pualam dingin, kemajuannya ternyata sangat pesat sekali.
ilmu silat Ko-bong-pay atau aliran kuburan kuno ini asalnya diciptakan seorang wanita, yakni kakek guru Siao-liong-Ii yang menjadi kekasih Ong Tiong-yang, sedang guru dan murid mereka tiga turunan juga wanita semua, dengan sendirinya ilmu silat yang diciptakan itu gerak-geriknya rada2 halus dan lincah sebagai kaum wanita.
Karena sifat Yo Ko memang suka bergerak, maka semua tipu silat Ko-bong-pay ini menjadi sangat cocok dengan tabiatnya malah.
Sementara usia Siao-liong-Ii makin bertambah, makin lama wajahnya ternyata semakin cantik, Tahun ini umur Yo Ko pun menginjak enam belas, anak ini ternyata mempunyai perawakan tinggi, kalau berdiri sudah setinggi gurunya, walaupun demikian, Siao-liong-Ii masih tetap anggap Yo Ko sebagai bocah saja, sama sekali mereka tidak pusingkan soal perbedaan laki-perempuan.
Di lain pihak, semakin lama Yo Ko tinggal bersama Suhunya semakin menaruh hormat juga kepadanya, selama dua tahun itu, ternyata belum pernah dia membantah sesuatu perintah sang guru, Bocah ini ternyata pandai menuruti kemauan orang, baru saja Siao-liong-li inginkan Yo Ko melakukan sesuatu, belum sampai diutarakan atau Yo Ko sudah mendahului mengerjakannya dengan baik.
Hanya saja sifat Siao-liong-li yang dingin laksana es masih tetap seperti sediakala, terhadap apa saja yang dikatakan Yo Ko masih selalu ia sambut dengan dingin dan kadang2 menyindir sedikitpun ia tidak mengunjuk rasa kasih sayang. Tetapi karena sudah biasa, lambat laun Yo Ko tidak memikirkan pula sikap sang guru ini.
Pada suatu hari, berkatalah Siao-liong-li kepada Yo Ko: “Ko-ji, kini ilmu lo-bong-pay kita sendiri sudah kau pelajari semua, maka mulai besok bolehlah kita mulai berlatih ilmu silat Coan-cin-kau.”
Karena itu, besoknya mereka lantas mendatangi kamar batu yang berbentuk aneh dengan ukiran2 aneka macam di atas langit2-an, dengan menurutkan tanda2 yang terukir ini mereka mulai berlatih.
Kiranya tanda2 ukiran itu dahulu digores oleh Ong Tiong-yang dengan meloncat ke atas dengan ujung pedang, Dan karena Lim Tiao-eng adalah bekas kekasih Ong Tiong-yang, maka ia cukup paham intisari ilmu silat orang, sesudah diselaminya mendalam, kemudian ia turunkan kepada dayang kepercayaannya dan dayang ini akhirnya mengajar kepada Siao-liong-li, dan kini Siao-Iiong-Ii mengajarkan pula rahasia silat itu kepada Yo Ko.
Sesudah Yo Ko berlatih beberapa hari, oleh karena dia memang sudah punya landasan yang tidak jelek, maka banyak bagian penting begitu diberi petunjuk segera dapat dia terima, maka kemajuannya mula2 sangat cepat.
Akan tetapi sesudah belasan hari, keadaan mendadak berubah lain, -be-runtun2 beberapa hari Yo Ko ternyata tidak memperoleh kemajuan kalau tidak mau dikatakan malah mundur, semakin ia latih, semakin keliru dan nyasar.
Waktu Siao-liong-li membantu muridnya ini memecahkan kesulitan itu, namun dia juga tak tahu di mana letak gangguan itu. Dasar Yo Ko ingin lekas pandai, keruan ia menjadi gopoh hingga sering uring2-an sendiri.
“Tidak perlu kau uring2-an,” demikian kata Siao-liong-li padanya, “soal ini sebenarnya tidak sulit, asal kita pergi tangkap seorang imam Coan-cin-kau dan paksa dia mengajarkan kunci rahasia penuntun ilmu silat mereka, bukankah lantas beres urusannya ? Nah, marilah kita pergi ke sana !”
Kata2 Siao-liong-ll telah menyadarkan Yo Ko, tiba2 teringat olehnya dahulu Thio Ci-keng pernah ajarkan istilah2 penuntun dasar ilmu silat Coan-cin-kau itu. Maka dengan segera ia apalkan-nya pada Siao-liong-li.
Siao-liong-li sangat memperhatikan istilah2 yang diucapkan Yo Ko jni, dengan cermat ia menyelami intisari istilah2 itu.
“Ya, memang tepat itulah yang kita inginkan,” katanya kemudian setelah berpikir “Dahulu waktu kubelajar ilmu silat Coan-cin-kau ini dengan mendiang guruku, sesampainya setengah jalan tiba2 sukar untuk maju setindak lagi, saat mana Cosu-popoh sudah meninggal maka tiada orang yang bisa kami mintai petunjuk2, walaupun kami tahu juga soalnya karena belum mengetahui rahasia penuntun dasarnya, tetapi kami tak berdaya pula, justru mendiang guruku orangnya sangat alim, pernah kukatakan hendak pergi mencuri dengar rahasia ilmu Coan-cin-kau itu, tetapi aku telah didamperat habis2-an olehnya, Syukurlah kini kau sendiri malah sudah mengetahuinya, sudah tentu hal ini sangat baik sekali”
Kemudian satu persatu Yo Ko memberitahukan pula yang lebih jelas dari apa yang pernah dia pelajari dari Thio Ci-keng.
Tempo hari apa yang diajarkan Thio Ci-keng kepada Yo Ko itu memang betul2 adalah istilah2 pelajaran dasar Lwekang Coan cin kau yang paling tinggi, soalnya karena sengaja Yo Ko tidak diberi pelajaran cara bagaimana mempraktekkannya, Kini setelah diselami mendalam oleh Siao-Iiong-li, tentu saja segera menjadi terang dan semua kesulitan dapat ditembus, ditambah lagi Lwekang yang dahulu Tjin Lam-khim ajarkan pada Yo Ko memang juga Lwekang asli ajaran Ma Giok dari Coan-cin-kau, dengan digabungnya dua dasar ini, keruan tidak antara beberapa bulan Siao-liong-li dan Yo Ko sudah dapat mempelajari seluruh intisari ilmu silat yang ditinggalkan Ong Tiong-yang di atas langit2 kamar batu itu.
Pada suatu hari, setelah kedua orang selesai berlatih ilmu pedang di dalam kamar batu itu, dengan menghela napas Siao-liong-li berkata: “SemuIa aku pandang rendah ilmu silat Coan-cin-kau, kuanggap apa yang disebut sebagai ilmu silat asli dunia persilatan toh tidak lebih hanya sekian saja, tapi hari ini barulah aku mengerti bahwa ilmu silat mereka sesungguhnya terlalu dalam untuk dimengerti dan tidak ada habis2nya untuk dipelajari Ko-ji, meski sekarang kau sudah paham semua rahasia ilmu ini, tetapi untuk bisa mencapai tingkatan yang sempurna hingga dapat dipergunakan sesuka hati, untuk ini entah harus sampai tahun kapan ?”
Akan tetapi Yo Ko se-akan2 anak banteng yang baru lahir dan tidak kenal apa artinya takut, segera dia menjawab: “Ya, sungguhpun ilmu silat Coan-cin-kau sangat bagus, tetapi ilmu yang ditinggalkan Cosu-popoh itu dengan sendirinya ada jalannya untuk menangkan dia.”
“Ya, maka mulai besok kita harus latih Giok-li-sim-keng,” ujar Siao-liong-li.
Hari berikutnya, lalu Siao-liong-li ajak Yo Ko ke dalam kamar batu yang kedua, mereka melatih diri pula dengan menuruti petunjuk2 ukiran yang terdapat di atas kamar itu, sekali ini mereka sudah lebih gampang melatihnya daripada yang pertama, sebab ilmu silat yang diciptakan Lim Tiao-eng untuk mematahkan ilmu silat Ong Tiong-yang ini berinti ilmu silatnya sendiri, hanya di mana dipandang perlu telah ditambah hingga lebih bagus dan lebih sempurna.
Maka dalam beberapa bulan saja, mereka berdua sudah berhasil melatih Gwa-kang (bagian luar) dari “Giok-li-sim-keng” dengan baik, waktu latihan, kalau Yo Ko menggunakan Kiam-hoat dari “Coan-cin-kau, maka Siao-liong-li lantas pakai Giok-li-kiam-hoat untuk mematahkannya, sebaliknya, kalau Siao-liong-li memainkan Coan-cin-kiam-hoat, maka Yo Ko yang mengeluarkan kepandaian Giok-li-kiam-hoat untuk mengatasinya.
Nyata, Giok-li-kiam-hoat (ilmu pedang gadis ayu) itu sengaja diciptakan untuk mengalahkan Coan-cin-kiam-hoat, setiap gerakan dan setiap tipu serangan Coan-cin-kiam-hoat selalu dapat dipatahkan dengan tepat sekali hingga tak mampu berkutik, walaupun bagaimana Coan-cin-kiam-hoat bisa berubah dan berganti gerakan, namun selalu tak dapat melepaskan diri dari kurungan lingkaran Giok-li-kiam-hoat.
Karena Gwakang yang dilatih mereka sudah jadi, langkah selanjutnya lantas berlatih Lwekang (ilmu bagian dalam).
Sebenarnya Lwekang Coan-cin-kau sangat luas dan bagus sekali kalau ingin menangkannya dengan menciptakan Lwekang baru sesungguhnya bukan suatu soal gampang. Akan tetapi Lim Tiao-eng ternyata pintar luar biasa, nyata ia bisa mencari jalan lain untuk menembus kesukaran itu, ia telah kumpulkan ilmu silat berbagai aliran lainnya untuk mengungkulinya, Meski ilmu silat yang dia ciptakan ini sulit sekali untuk dilatih, tapi bila sampai berhasil mempelajari, maka dengan mudah menangkan lwekang Coan-cin-kau.
Untuk mempelajarinya, Siao-Iiong-li mendongak memahami lukisan dan tulisan penjelasan yang terukir di atas langit2 kamar batu itu, lama sekali ia berdiam diri tanpa buka suara, dengan tekun ia membacanya sampai beberapa hari, tetapi akhirnya.
“Apa ilmu kepandaian ini sangat sukar dilatih, Kokoh ?” tanya Yo Ko demi nampak sikap sang guru.
“Ya,” sahut Siao-liong-li, “dahulu pernah kudengar dari Suhu bahwa Giok-li-sim-keng ini harus dilatih dua orang bersama, semula kukira bisa melatihnya bersama kau, siapa tahu ternyata tak dapat.”
Tentu saja Yo Ko menjadi cemas oleh keterangan ini.
“Sebab apa, Kokoh ?” tanyanya cepat.
“Jika kau wanita, itulah soal lain lagi,” sahut Siao-liong-li.
“Apa bedanya untuk itu ?” kata Yo Ko. “Laki2 atau perempuan yang melatihnya, bukankah sama saja ?”
“Tidak, Iain”, sahut Siao-liong-li sambil menggeleng kepala, “Tidakkah kau lihat, bagaimana corak gambar yang terukir di atas itu ?”
Waktu Yo Ko angkat kepalanya dan memandang dengan penuh perhatian menurut arah yang ditunjuk Siao-liong-li, maka tertampaklah olehnya dipojok langit2 kamar itu ada ukiran gambar bentuk manusia, rupanya seperti potongan kaum wanita, tetapi gambar itu semuanya telanjang bulat tanpa terukir memakai baju selembar-pun, Gambar2 wanita itu seluruhnya ada beberapa puluh, gerak-gerik dan gayanya berlainan semua, semuanya juga dalam keadaan telanjang.
Melihat gambar2 itu, segera pikiran Yo Ko tergerak, iapun segera mengerti akan maksudnya.
“O, jadi waktu berlatih Lwekang Giok-li-sim-keng ini orang tidak boleh berpakaian, begitukah, Kokoh ?” katanya kemudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar