Senin, 26 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 86



Kembalinya Pendekar Rajawali 86

 “Baik, asalkan kau tunduk kepada syaratkan persoalan mengenai nona Liong akan kututup rapat, nama baikmu dan Coan-Cin-kau kita juga dapat di pertahankan,” kata Cikeng.
“Kau ingin kuterima anugerah raja Mongol itu?” tanya Ci-peng.
“Tidak, tidak! Aku tidak ingin kau menerima anugerahnya,” jawab Ci-keng.
Hati Ci-peng terasa lega, tanyanya pula: “Habis apa keinginanmu? Lekas katakan pasti akan kuturuti.”
Tidak lama kemudian, terdengar riuh ramai suara genta dan tambur di pendopo Tiong-yang kiong sebagai tanda segenap anggauta harus berkumpul.
Li Ci siang memerintahkan anak buahnya membawa senjata di dalam jubah untuk menjaga segala kemungkinan.
Ruangan besar itu penuh ber-jubel Tosu tua dan muda, semuanya tegang ingin tahu apa yang bakal terjadi. Kemudian tampak Ci-peng melangkah keluar dari belakang, wajahnya pucat dan tak bersemangat, begitu berdiri di tengah ruangan segera ia berseru: “Para Toheng, atas perintah Khuciangkau tadi Siauto telah ditunjuk sebagai pejabat ketua, siapa tahu Siauto mendadak menderita penyakit maut dan takdapat disembuhkan…” karena keterangan yang tak terduga-duga ini, seketika gemparlah para Tosu.
Kemudian Ci-peng menyambung: “Oleh karena itu, tugas sebagai pejabat ketua yang maha penting ini sukar dipikul, sekarang juga aku menunjuk murid tertua dari Ong-susiok, yakni Tio Ci-keng, sebagai pejabat ketua.”
Seketika suasana menjadi hening, namun keadaan sunyi ini cuma berlangsung sekejap saja, segera terdengarlah suara protes beberapa orang, seperti Li Ci-siang, Ong Ci-heng, Song Tek-hong dan lain-lain. Beramai-ramai mereka berteriak “Tidak! tidak! bisa! Khu-cinjin menunjuk In-suheng sebagai pejabat ketua, tugas penting ini mana boleh diserahkan lagi kepada orang lain? - Ya, tanpa sebab, mana bisa In-suheng terserang penyakit maut seoara mendadak? Betul, di balik urusan ini tentu ada sesuatu intrik keji, kita harap Ciangkau-suheng jangan terjebak oleh tipu muslihat kaum
pengkhianat.?
Begitulah seketika seluruh ruangan menjadi panik, Li Ci-siang dan kawan-kawannya sama melotot pada Tio Ci-keng, tapi Ci-keng tampaknya tenang-tenang saja dari anggap sepi sikap pihak lawan.
In Ci-peng lantas memberi tanda agar semua diam, lalu berkata: “Datangnya urusan ini terlalu mendadak, pantas kalau saudara2 tidak paham persoalannya. Coan cin-kau kita sedang menghadapi malapetaka, Siauto telah berbuat pula sesuatu kesalahan besar, sekalipun mati juga sukar bagiku, untuk menebus dosaku dan sukar menghindari bahaya yang mengancam.”
Sampai di sini, air mukanya tampak sedih sekali, sejenak kemudian ia menyambung pula: “Sudah kupikirkan dengan masak-masak, kurasa hanya Tio-suheng yang berpengetahuan luas yang dapat membawa Coan-cin-kau terhindar dari bahaya ini. Untuk itu di antara para Suheng dan Sute harus kesampingkan pendirian pribadi dan ber-sama-sama membantu Tio-suheng melaksanakan tugas bagi keselamatan dan kejayaan Coancinkau kita ini.”
Li Ci-siang menjadi sangat curiga, dari sikap In Ci-peng itu jelas sang Suheng menahan sesuatu rahasia yang sukar diuraikan, kalau sang Suheng yang menjabat ketua sudah memohon kerelaan para Sute, iapun tidak enak untuk ngotot, terpaksa ia menunduk dan tak bersuara lagi selain diam-diam memikirkan langkah selanjutnya yang perlu diambil.
Watak Ong Ci-heng sangat jujur, tanpa pikir ia berteriak: “Kalau Ciangkau-suheng betul-betul mau mengundurkan diri juga perlu menunggu selesainya guru2 kita habis menyepi, setelah dilaporkan barulah diambil keputusan yang lebih bijaksana.”
“Tapi urusannya sudah terlalu mendesak, tidak dapat menunggu lagi,” ujar Ci-peng dengan muram.
“Baiklah, seumpama memang begitu, di antara sesama saudara seperguruan kita, baik mengenai budi pekerti maupun mengenai Kanghu, rasanya yang melebihi Tio-suheng masih cukup banyak,” kata Ci-seng pula. “Misalnya Li-suheng atau Song-sute, mereka terlebih pintar dan tangkas, kenapa mesti serahkan tugas maha penting kepada Tio-suheng yang tidak dapat diterima oleh semua orang.”
Tio Ci-keng adalah pemberang, sudah sejak tadi ia menahan perasaannya, sekarang ia tidak tahan lagi, segera ia menanggapi “Dan ada lagi Ong Ci-heng, Ong-sute yang berani bicara dan berani,berbuat! Kenapa tidak kau calonkan sekalian?”
Ci-heng menjadi gusar, jawabnya: “Aku memang bodoh dan selisih jauh kalau dibandingkan Suheng2 yang lain, tapi kalau dibandingkan Tio-suheng, betapapun kuyakin masih unggul setingkat Ya, ilmu silatku mungkin bukan tandingan Tio-suheng, tapi paling tidak aku pasti takkan menjadi pengkhianat.”
“Apa katamu? Kalau berani katakanlah lebih jelas, siapa yang menjadi pengkhianat?” teriak Ci-keng dengan merah padam, Begitulah kedua orang bertengkar semakin sengit dan siap berperang tanding.
“Kedua Suheng tidak perlu berdebat, dengankanlah perkataanku,” sela Ci-peng.
Meski kedua orang lantas diam, namun masih saling melotot.
Lalu Ci-peng berkata pula: “Menurut peraturan kita, pejabat ketua baru ditunjuk oleh ketua lama dan bukan diangkat secara beramai-ramai betul tidak?”
Setelah semua orang mengiakan, lalu Ci peng melanjutkan “Karena itu, sekarang juga aku menunjuk Tio Ci-keng sebagai pejabat ketua penggantiku. Nah, para hadirin tidak perlu bertengkar lagi. Tio-suheng, silakan maju menerima pesan.”
Dengan berseri-seri Ci-keng lantas maju ke tengah dan memberi hormat. Segera Ci heng dan Song Tek hong hendak bicara lagi, tapi Li Ci-siang keburu menarik baju mereka dan mengedipi. Ci-heng berdua tahu Ci-siang pasti mempunyai pandangan yang lebih baik, merekapun lantas diam.
“ln suheng pasti ditekan oleh Tio Ci-keng sehingga tidak berani melawannya,” kata Ci-siang dengan suara tertahan
“Maka kita harus membongkar muslihat Tio Ci-keng itu secara diam-diam, sekarang In-suheng sudah memutuskan demikian, kalau kita bicara lagi akan kelihatan pihak kita yang salah.”
Ong dan Song mengiakan, mereka lantas ikut dalam upacara penyerahan kedudukan pejabat ketua itu. Bahwa dalam sehari terjadi penyerahan pejabat ketua dua kali, sungguh kejadian yang luar biasa.
Selesai upacara, dengan pongahnya Ci-keng lantas berdiri di tengah didampingi oleh anak muidnya, lalu berseru: “Silakan utusan Sri Baginda Raja MongoI hadir!”
Segera Ong Ci-heng hendak mendamperat lagi, tapi keburu dicegah Li Ci-siang. Selang tak lama beberapa Tosu menyambut tamu telah datang dengan membawa perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu.
Cepat Ci-keng memburu maju untuk menyambut dengan munduk2. Perwira Mongol itu sudah mendongkol karena telah menunggu sekian lama, kini In Ci-peng ternyata tidak menyambut kedatangannya, keruan mukanya tambah bersungut.
Tapi segera seorang Tosu bagian protokol lantas memberitahu bahwa mulai sekarang kedudukan pejabat ketua telah dilimpahkan kepada Tio Ci-keng.
Perwira itu melengak kaget, tapi segera ia bergirang dan mengucapkan selamat kepada Ci-keng. Siau-siang-cu berdiri di belakang perwira Mongol itu dengan diam saja, mukanya kaku dingin, entah suka atau duka.
Dengan munduk2 pula Ci-keng membawa perwira Mongol itu ke tengah pendopo, lalu berkata: “Silakan Tayjin membacakan titah raja.”
Diam-diam perwira itu bersyukur bahwa Coan cin kau sekarang diketuai orang macam Tio Ci-keng.
ia lantas mengeluarkan Sengci (titah raja), Ci-keng. Juga lantas bertekuk lutut, lalu perwira itu mulai membaca titah raja: “Dengan ini ketua Coar-cin-kau di…”
Melihat secara terangan Ci-keng menerima anugerah raja Mongol, Ci-siang, Ci-heng dan lain-lain tidak tahan lagi, serentak mereka melolos pedang, Ci-heng dan Tek-hong terus melangkah maju dan mengancam punggung Ci-keng dengan ujung pedang mereka, Ci-siang lantas berseru dengan lantang: “Coan-cin-kau ini berdiri berdasarkan cita2 setia kepada negara dan bakti kepada rakyat, sekali-kali kita tidak sudi menyerah kepada Mongol, Tio Ci-keng telah mengkhianat dan setiap orang wajib mengutuknya, dia tidak boleh menjabat ketua Coan-cin kau dan kitapun tidak mengakuinya lagi.”
Sementara itu beberapa Tosu lain juga sudah mengelilingi perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu dengan pedang terhunus.
Peristiwa ini terjadi dengan sangat mendadak, Meski sebelumnya Ci-keng juga menduga Ci-siang dan
kawannya pasti tidak mau menyerah, tapi sama sekali tidak diduganya pihak lawan berani menggunakan kekerasan terhadap pejabat ketua yang biasanya sangat dihormati dan dijunjung tinggi.
Sekarang senjata lawan telah mengancam, ia menjadi kaget dan gusar, tapi ia tidak gentar, segera ia membentak: “Kurangajar, kalian, berani membangkang terhadap pimpinan?”
Tapi Ci-heng lantas balas membentak “Bangsat! Pengkhianat! Berani kau bergerak, segera punggungmu akan tembus!”
Sebenarnya kepandaian Ci-keng terlebih tinggi daripada kedua lawannya, tapi secara mendadak dia dikuasai selagi tengkurap, dengan sendirinya dia mati kutu, sebelumnya dia juga menyiapkan belasan anak muridnya yang bersenjata lengkap, namun pihak lawan bertindak lebih dulu, betapapun anak buah Ci-keng itu tak sempat berkutik lagi.
Segera Li Ci-siang berkata kepada perwira MongoI itu:
“Mongol sudah menjadi musuh Song Raya kami, rakyat Song mana boleh menerima anugerah dari pihak Mongol.” Maka sekarang kalian silakan pulang saja, kelak kalau bertemu di medan perang bolehlah kita selesaikan di sana.”
Walaupun terancam bahaya, perwira Mongol itu ternyata tidak gentar sedikitpun, ia malah menjengek: “Hm kalian berani bertindak secara semberono, tampaknya Coan-cin-kau yang sudah terpupuk kuat ini akan musnah dalam sekejap saja, Sungguh harus disayangkan.”
“Negara kami seluas ini saja sudah terancam musnah, Coan-cin-kau yang cuma secuil ini apa pula artinya?” ujar Ci-siang. “Jika kalian tidak lekas pergi, kalau sebentar kalian diperlakukan secara kasar mungkin Siauto tidak dapat berbuat apa-apa lagi.”
Tiba-tiba Siau-sing-cu menimbrung: “Bagaimana perlakuan kasarnya? Coba, aku ingin tahu!” - Mendadak kedua tangannya meraih, tahu-tahu pedang Ong Ci-heng dan Song Tek-hong yang mengancam punggung Ci-keng itu telah dirampasnya.
Cepat Cikeng melompat bangun terus berdiri di samping perwira Mongol itu, Siau-siang-cu lantas mengangsurkan sebuah pedang rampasan di tangan kirinya itu kepada Ci- keng, sedang pedang lain terus menusuk ke arah Li Ci-siang. Trang”, Ci-siang menangkis serangan itu, mendadak tangan terasa kesemutan, tenaga lawan ternyata kuat luar biasa. Diam-diam ia mengeluh cepat iapun mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan, tapi cepat terdengar suara gemerantang nyaring, kedua pedang patah semua dan jatuh ke lantai.
Tindakan Siau-siang-cu itu dilakukan dengan cepat luar biasa, merampas pedang dan menyerang serta menggetar pedang hingga patah, semua itu terjadi dalam sekejap saja, Menyusul lengan bajunya lantas mengebut dan kedua tangan menyodok sekaligus ke depan sehingga empat murid tertua Coan-cin-kau yang mengitarinya itu didesak mundur.
Keruan semua orang kaget, sungguh mereka tidak menyangka bahwa orang yang mirip “mayat hidup” ini ternyata memiliki kepandaian setinggi ini.
Biasanya Ci-keng suka meremehkan ilmu silat Ong Ci-heng, Song Tek- hong dan lain-lain, sekarang di hadapan orang banyak dia telah diancam hingga tak bisa berkutik selagi mendekam diatas tanah, tentu saja dia sangat murka. Maka begitu dia menerima pedang dari Siau-siang-cu, segera pula dia menusuk ke perut Ong Ci-heng.
Cepat Ci-heng mendoyong ke belakang, namun Ci-keng tidak kenal ampun lagi, ia mendorongkan ujung pedang
sehingga nasib Ci-heng tampaknya sukar dihindarkan, semua orang ikut kuatir sehingga suasana menjadi hening.
Pada detik gawat itulah mendadak dari samping seorang mengebaskan lengan bajunya, pedang Ci-keng tergulung dan tertarik ke samping, “bret”. lengan baju robek terpotong dan kesempatan itupun digunakan Ci-heng untuk melompat mundur menyusul dua pedang terjulur pula dari samping untuk menahan pedang Ci-keng. Ketika diawasi orang yang mengebutkan lengan baju itu kiranya adalah In Ci-peng.
Ci-keng menjadi gusar, bentaknya sambil menuding Ci-peng: “Kau….kau berani….”
“Tio-suheng,” kata Ci-peng, “kau sendiri menyatakan takkan menerima anugerah raja Mongol, karena itulah aku menyerahkan pejabat ketua padamu, mengapa dalam waktu sekejap saja kau sudah ingkar janji?”
“Bilakah pernah ku berjanji begitu?” jawab Ci keng, “Tadi kau bertanya soal anugerah raja MongoI rni, aku menjawab: “Aku tidak ingin kau menerima, anugerah raja Mongol! Nah, masakah aku ingkar janji? Yang menerima anugerah sekarang kan aku dan bukan kau?”
“Oh, kiranya begitu, kiranya begitu?” Ci-peng menggumam penuh rasa pedih, “Licik benar kau, Tio-suheng!”
Dalam pada itu Li Ci-siang sudah menerima pedang dari seorang muridnya segera ia berseru: “Saudara2 di dalam agama, kita tetap mengakui In-suheng sebagai pejabat ketua, marilah kita tangkap pengkhianat she Tio ini.” - Menyusul ia lantas menubruk maju dan menempur Ci-keng.
Ci-heng dan enam orang lainnya lantas memasang Pak-tau Kiam-hoat mengepung Siau-siang-cu di tengah, Meski tinggi ilmu silat Siau-siang-cu, tapi barisan pedang Coan-cin-kau yang terkenal itupun sangat hebat, sekali bergebrak, daya tempurnya juga Iihay. Cepat Siau-siang-cu mengeluarkan pentungnya untuk menangkis kerubutan lawan.
Perwira Mongol tadi sudah mundur ke pojok ruangan, melihat gelagat jelek, segeia ia mengeluarkan tanduk kerbau dan ditiup keras-keras.
Ci-peng terkejut, ia tahu orang sedang mengundang bala bantuan, menghadapi ancaman bahaya, semangatnya terbangkit, kemampuannya memimpin biasanya Iantas timbul Iagi. Segera ia memberi perintah: “Ki Ci-seng, kau tangkap perwira itu, Ih To-hoan Suheng, Ong Ci-kin Suheng, kalian membawa tiga kawan dan lekas ke Giok-bi-tong di belakang gunung untuk membantu Sun-suheng berjaga di sana agar kelima guru kita tidak terganggu serbuan musuh.
Tan Ci-ek Sute lekas kau membawa enam orang pergi berjaga di depan gunung. Pang Ci ki Sute dengan enam orang berjaga di kiri gunung dan Lau To-leng Sute bersama enam orang berjaga di kanan gunung.”
Orang-orang yang ditugaskan berjaga di kanan kiri dan muka belakang itu adalah murid Ong Ju-ki semua, sedangkan Ih To-hian dan Ong Ci-kin adalah murid paman gurunya yang dapat dipercaya dengan cara pengaturan pertahanan ln Ci-peng ini, sekalipun musuh menyerbu secara besarkan juga sukar menembusnya.
Akan tetapi sebelum semua orang yang diberi perintah itupergi, tiba-tiba terdengar suara teriakan ramai, belasan orang telah melompat masuk, dari kanan nampak dipimpin ln Kik-si dan sebelah kiri dipimpin Nimo Singh, dari depan dikepalai Be Kong-co, belasan orang yang dipimpin adalah jago-jago pilihan dari berbagai suku bangsa.
Kiranya Kubilai tidak berhasil memboboI pertahanan Siangyang selama ber-bulan-bulan, mendadak terjangkit wabah di tengah pasukannya, maka setelah serangan terakhir pada Siangyang juga gagal, segera ia mengundurkan pasukannya, Pasukan Mongol yang dilihat Siao-liongli tempo hari ketika bergerak ke selatan itu adalah serangan terakhir yang dilakukan Kubilai.
 Berhubung sukarnya Siangyang direbut, dengan sendirinya kerajaan Song juga sukar diruntuhkan, maka sebelum mengundurkan pasukannya Kubilai sudah mengirim antek2nya untuk mendekati dan membeli orang-orang gagah di Tionggoan.
Raja Mongol sengaja merangkul pihak Coan-cin-kau juga termasuk tipu muslihat Kubilai. Tapi dia tahu Coan-cin-kau belum tentu mau menerima anugerah, maka Kim-lun Hoat-ong diperintahkan memimpin jago-jago lainnya bersembunyi di sekitar Cong-lam-san, bila Coan-cin-kau menolak titah raja, segera digunakan kekerasan untuk menindasnya.
Biasanya penjagaan di Cong-Iam-san cukup ketat, tapi lantaran sehari terjadi dua kali penggantian pejabat ketua, suasana di Tiong-yang-kiong sedang kacau, anak murid yang bertugas berjaga di luar sama di tarik ke dalam untuk ikut hadir dalam upacara, sebab itulah kedatangan rombongan Nimo Singh, In Kik-si dan lain-lain tidak diketahui Kini musuh mendadak muncul, seketika orang-orang Coancin-kau menjadi panik, Perwira Mongol yang tadinya sudah ditawan Ki Ci-seng itu sekarang lantas berteriak: “Para Totiang dari Coan-cin kau, kalau ingin selamat, lekas kalian membuang senjata dan tunduk kepada perintah pejabat ketua Tio-totiang.”
Tapi Ci-peng lantas membentak: “Tio-Ci-keng telah berkhianat dosanya tak terampunkan, dia bukan lagi pejabat ketua kita.”
Meski menyadari keadaan sangat gawat, tapi Ci-peng bertekad melawan musuh dengan mati-matian, maka dia lantas memberi aba2 untuk bertempur, Namun para Tosu sebagian tak membawa senjata dan terkepung pula, maka hanya sebentar saja sudah belasan orang terkapar tak bernyawa lagi.
Menyusul Ci-peng sendiri, Li Ci-siang, 0ng-Ci-heng, Song Tek-hong dan lain-lain juga kecundang ada yang senjatanya terampas musuh dan ada yang terluka dan menggeletak atau tak bisa bergerak karena Hiat-to tertutuk. Sisa Tosu yang lain menjadi kelabakan seperti ular tanpa kepala, mereka terdesak ke pojok ruangan dan tak dapat melawan lagi.
Perwira Mongol tadi tidak tinggi ilmu silatnya, tapi pangkatnya sangat tinggi, maka In Kik-si, Siau-siang-cu dan lain-lain harus tunduk kepada perintahnya, Melihat pihaknya sudah menang total, perwira itu lantas berseru kepada Ci-keng: “Tio cinjin, mengingat kesetiaanmu, tentang pemberontakan Coan-cin-kau ini takkan kulaporkan kepada “Sri Baginda.” Ci-keng memberi hormat dan mengucapkan terima kasih, Tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, cepat ia membisiki Siau-siang-cu: “Masih sesuatu urusan penting perlu bantuan cianpwe. Guruku dan para paman guruku sedang menyepi dibelakang gunung, kalau mereka menerima berita dan memburu kesini…”
“Kebetulan kalau mereka ke sini, akan kubereskan mereka bagimu,” ujar Siau-siang-cu dengan tak acuh.
Ci-keng tak berani bicara pula, dalam hati ia mendongkol karena orang berani meremehkan gurunya, namun iapun serba susah, kalau guru dan para paman gurunya dapat mengusir orang-orang Mongol berarti pula jiwanya sendiri terancam.
 Dalam pada itu perwira Mongol tadi telah berkata pula: “Tio-cinjin, silakan kau terima dulu anugerah Sri Baginda, habis itu baru kau selesaikan kawanmu yang membrontak itu.”
Ci-keng mengiakan dan segera berlutut mendengarkan titah raja Mongol. Ci-peng, Ci-siang dan lain-lain dapat mengikuti kejadian itu dengan dada seakan-akan meledak saking gusarnya.
Song Tek-hong berduduk di sebelah Li Ci-siang, ia coba membisiki sang Suheng: “Li-suheng, harap lepaskan pengikat tanganku, biar kuterjang keluar untuk melapor pada guru kita.”
Ci-siang mengangguk punggungnya lantas dirapatkan dipunggung Tek-hong, ia mengerahkan tenaga dalam pada jarinya untuk membuka tali pengikat tangan Song Tek-hong yang ditelikung itu. Setelah berhasil dengan suara tertahan ia memberi pesan: “Kau harus hati-hati, jangan sampai kelima guru kita terkejut.”
Tek-hong mengangguk dan siap-siap untuk meloloskan diri. sementara itu pembacaan titah raja sudah selesai, Ci-keng telah berdiri, perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu sedang mengucapkan selamat padanya.
Melihat semua orang sedang mengitari Tio Ci-keng, cepat Song Tek-hong melompat ke sana, segera ia berlari ke balik altar pemujaan.
“Berhenti!” Nimo Singh membentak Akan tetapi Tek-hong tidak ambil pusing, ia berlari terlebih cepat.
 Karena kedua kakinya sudah buntung, sukar bagi Nimo Singh untuk mengejar, sebelah tangannya lantas mengambil sebuah Piau kecil berbentuk ular terus disambitkan “PIok”, dengan tepat kaki kiri Tek-hong tertimpuk Piau itu.
Akan tetapi Tek-hong hanya sempoyongan sedikit saja dan tetap kabur ke depan dengan menahan sakit. Beberapa jago Mongol segera mengejar, namun bangunan rumah di kompIek Tiong-yang-kiong sangat banyak, hanya memutar beberapa rumah saja Tek-hong sudah menghilang dari kejaran musuh.
Sampai di tempat sepi, dengan menahan sakit Tek hong mencabut Piau yang masih menancap di kakinya itu, lalu membalut lukanya, ia kembali dulu ke kamarnya untuk mengambil pedang, lalu berlari ke Giok-bi-tong di belakang gunung, di mana guru dan para paman gurunya sedang menyepi.
Sesudah dekat, dari balik pepohonan ia memandang kesana, ia jadi mengeluh ketika dilihatnya lebih 20 orang Mongol sedang sibuk memindahkan batu-batu besar untuk menyumbat mulut gua Giok-hi-tong. Seorang , paderi Tibet tinggi kurus mengawasi dan memberi petunjuk cara menyumbat gua itu. Di samping itu terdapat pula dua orang lagi sedang sibuk mengatur ini dan itu.
Tek-hong kenal kedua orang di samping itu itu adalah Darba dan Hotu yang dahulu pernah cari setori ke Tiong-yang- kiong, dengan sendirinya iapun kenal ilmu silat kedua orang itu. Sedang paderi yang tinggi itu jelas kepandaiannya lebih tinggi dari pada Darba dan Hotu, mulut gua Giok-hitong sudah tinggal sedikit saja yang belum tersumbat batu, entah bagaimana keadaan kelima guru dan paman gurunya?
Song Tek-hong menyadari tenaga sendiri tak berguna andaikan menerjang maju untuk mengalangi perbuatan musuh itu, paling-paling jiwa sendiri juga akan ikut melayang, tapi mengingat keselamatan guru dan nasib Coan cin-kau yang menghadapi kehancuran, mana boleh ia cuma memikirkan keselamatannya sendiri.
Segera ia melompat keluar dari tempat sembunyinya, secepat kilat ia menusuk paderi Tibet yang berdiri membelakanginya itu, ia pikir kalau menyerang harus serang pimpinannya, kalau berhasil tentu pihak musuh kacau lebih dulu.
Paderi Tibet itu adalah Kim lun Hoat-ong, tempo hari ia sudah menanyai Tio Ci-keng mengenai seluk-beluk Coan cin-kau, maka begitu sampai di Tiong-yang-kiong segera ia menuju belakang gunung untuk menyumbat Giok-hi-tong serta mengurung kelima tokoh utama Coan-cin-kau itu didalam gua, dengan begitu sisa anak murid Coan-cin-kau yang lain tentu mudah diatasi.
Ketika ujung pedang Song Tek-hong hampir mengenai punggungnya ternyata Hoat-ong tidak merasakan apa-apa, Tek-hong bergirang, Tak terduga mendadak cahaya kuning berkelebat menyusul terdengar suara “trang” sekali, sejenis senjata aneh paderi itu telah menyamber ke belakang dan membentur pedangnya.
Tek-hong merasakan tangannya kesakitan, pedang terlepas dari cekalan, hanya benturan itu saja telah membuat dia muntah darah dan pandangan menjadi gelap. Dalam keadaan sadar-tak-sadar sayup-sayup ia dengar suara teriakan orang ramai di ruangan pendopo, entah peristiwa apa lagi yang terjadi, tapi segera ia tak ingat apa-apa, ia jatuh pingsan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar