Selasa, 13 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 34



Kembalinya Pandekar Rajawali 34


Tetapi mereka telah dibatasi sebagai guru dan murid, kalau terjadi hubungan laki-perempuan di luar garis, cara bagaimana mereka harus menghadapi ksatria2 di seluruh jagat?
Sebab pikiran itu, ia menghela napas dan berkata lagi: “Moaycu, ada banyak urusan-urusan di dunia ini yang kau tak paham, jika kau dan Ko-ji menjadi suami-isteri, selama hidupmu akan dipandang hina oleh orang lain.”
“Orang pandang hina padaku, peduli apa?” sahut Siao- liong-li tersenyum.
Kembali Oey Yong tercengang, sungguh jawaban ini rada mendekati watak ayahnya, yaitu Oey Yok-su yang paling benci pada segala ikatan adat.
“Tapi Ko-ji bagaimana, iapun akan dipandang hina orang selamanya,” katanya kemudian bila ingat betapa kasih sayang sang suami pada Yo Ko.
“la selama hidup akan tinggal dalam kuburan kuno bersama aku, kami hidup senang bahagia, peduli apa orang lain?” sahut Siao-liong-li lagi.
Oey Yong tertegun sejurus, lalu ia tanya lagi: “Kalian berdua tinggal dalam kuburan kuno selama hidup? selamanya takkan keluar lagi?”
Siao-liong-li tampaknya sangat gembira. “Ya, buat apa keluar?” katanya sambil jalan mondar-mandir dalam kamar.
“Orang di luar semuanya jahat,”
“Tapi sejak kecil Ko-ji sudah ter-lunta2 ke sana ke mari selama hidup terkurung dalam kuburan kuno, apakah ia tidak kesal?” kata Oey Yong lagi.
“Bukankah ada aku menemani dia, kenapa kesal ?” jawab Siao-liong-li tertawa.
“Setahun, dua tahun, mungkin tidak kesal,” demikian kata Oey Yong pula sambil menghela napas. “Tetapi lewat beberapa tahun, ia lantas pikirkan dunia fana di luar, kalau dia tidak bisa keluat, itulah akan lebih kesal rasanya.”
Sebenarnya hati Siao-liong-li sangat gembira, mendengar kata-kata Oey Yong ini seketika hatinya menjadi tertekan “Coba akan kutanyai Ko-ji, aku tak mau bicara lagi dengan kau,” demikian katanya terus keluar kamar.
Melihat wajah orang yang cantik tiba-tiba seperti berubah muram, Oey Yong rada menyesal terhadap apa yang dikatakannya tadi, tapi bila terpikir lagi apa yang dikatakannya meski tak enak didengar, namun sesungguhnya demi kebaikan mereka, ia pikir, biarlah aku intip apa yang dikatakan pada Ko-ji Lalu ia mendekati jendela kamarnya Yo Ko dan mendengarkan percakapan kedua muda-mudi itu.
“Ko-ji,” terdengar Siao-liong-li lagi berkata, “selama hidupmu berada bersama dengan aku. kau akan kesal tidak?
Dan akan bosan atau tidak?”
“Kenapa kau tanya begitu, Kokoh?” sahut Yo Ko.
“Bukankah kau sudah tahu betapa girang-ku yang tiada taranya, Kita berdua akan hidup terus sampai tua, sampai rambut ubanan, gigi ompong semua, tapi masih terus senang dan bahagia, tidak akan berpisah.”
Kata-kata Yo Ko itu diucapkan dengan rasa sungguh-sungguh dan timbul dari lubuk hatinya yang murni, Siao-liong-li terharu sekali hingga seketika ia termangu-mangu. “Ya, akupun begitu” katanya kemudian lewat sejenak. Lalu ia keluarkan seutas tali dan digantung di tengah ruangan kamar dan berkata lagi: “Sudahlah, kita tidur saja !”
“Kata Kwe-pekbo, malam ini kau tidur bersama dia dan puterinya, aku tidur sekamar dengan Bu-si Hengte,” kata Yo Ko tiba-tiba.
“Tidak.” sahut Siao-liong-li, “kenapa harus kedua lelaki itu yang menemani kau? Aku ingin tidur bersama dengan kau.
Sembari bicara, ketika tangannya mengebas pelita minyak telah disirapkannya.
Luar biasa terperanjatnya Oey Yong mendengar percakapan terakhir itu diluar jendela, “Ternyata mereka guru dan murid berdua sudah melakukan perbuatan yang melanggar tata susila, apa yang dikatakan imam tua Thio Ci-keng itu nyata tidak dusta, lantas bagaimana baiknya ini?” “demikian pikirnya bingung.
Ia pikir tidak enak mengintip kedua muda-mudi yang tidur seranjang dan tentu ada “main” itu, maka niatnya hendak pergi kalau tidak mendadak dilihatnya sekilas sinar putih berkelebat di dalam kamar, tahu-tahu seorang merebah melintang terapung di udara ruangan kamar, hanya bergoncang beberapa kali tubuh orang itu, lalu tak bergerak lagi.
Heran luar biasa Oey Yong oleh kejadian itu, waktu ia mengamati melalui sinar bulan yang menyorot masuk, kiranya yang tidur terapung itu ialah Siao-Iiong-Ii dengan menggunakan seutas tali sebaliknya Yo Ko malah tidur dipembaringan sendirian, meski kedua orang bersatu kamar, tapi mereka berlaku sopan menurut batas-batas susila.
Oey Yong tertegun di luar, ia merasa kedua orang ini sungguh luar biasa, benar atau salah sungguh sukar dikatakan. Selagi ia hendak kembali ke kamarnya sendiri, tiba- tiba didengarnya suara tindakan orang yang ramai, Kwe Hu dan Bu-si Heng-te sudah kembali dari luar.
“Tun-ji, Siu-ji, kalian berdua pergi tidur satu kamar dan tak perlu sekamar lagi dengan Yo-keh Koko,” kata Oey Yong.
Bu-si Hengte mengiakan, sebaliknya Kwe Hu lantas tanya: “Sebab apa, mak?”
“Jangan urus,” sahut Oey Yong singkat.
“Aku justru tahu sebabnya,” kata Siu-Bun tertawa tiba-tiba. “Mereka berdua itu guru bukan guru, murid tidak murid, seperti binatang saja tidur sekamar.”
“Siu-ji, kau bilang apa?” bentak Oey Yong sambil menarik muka.
“Kau juga terlalu lemah, Sunio, manusia rendah semacam itu buat apa mengurusnya?” sela Tun-si. “Aku sudah pasti tidak akan bicara dengan dia.”
“Tapi hari ini mereka telah menolong kita, inilah budi yang harus diingat,” kata Kwe Hu.
“Hm, aku lebih suka dibunuh Kim-lun Hoat-ong daripada menerima budi binatang semacam dia itu,” kata Siau-Bu pula.
Oey Yong kurang senang oleh kata-kata kedua saudara Bu itu. “Sudahlah, jangan banyak omong lagi, pergi tidur saja,” kata akhirnya.
Percakapan itu sudah tentu didengar semua oleh Yo Ko dan Siao-liong-li, sejak kecil Yo Ko tidak akur dengan Bu-si Hengte, maka kata-kata orang diganda tertawa saja tanpa pusing, sebaliknya Siao-liong-li yang me-mikir2 sendiri: “Aneh, kenapa karena Ko-ji membaiki aku, lantas dia dikatakan binatang, manusia rendah segala?”
Ia pikir terus pergi-datang dan tetap tak mengerti, tengah malam tiba-tiba ia bangunkan Yo Ko dan bertanya: “Ko-ji, ada suatu soal kau harus menjawab sungguh-sungguh. Bila kau tinggal dalam kuburan kuno bersama aku sampai beberapa tahun lamanya, apakah kau takkan rindu pada dunia ramai di luar?”
Yo Ko tercengang hingga tak bisa menjawab.
“Dan bila kau tak keluar, apa kau takkan kesal?” tanya Siao-liong-li pula, “Meski cintamu padaku tak akan berubah selamanya, tapi sesudah lama tinggal dalam kuburan, apa kau takkan masgul?”
pertanyaan ini membikin Yo Ko sulit juga menjawabnya, Saat ini sudah tentu ia merasa senang dan bahagia bisa hidup berdampingan dengan Siao-liong-Ii, tapi tinggal di kuburan kuno yang sunyi dan gelap itu sekalipun tak terasa bosan selama sepuluh tahan atau dua puluh tahun umpamanya, tapi bagaimana kalau sampai 30 tahun? Apalagi 40 tahun?
Sebenarnya untuk menjawab asal menjawab saja tidak sukar bagi Yo Ko, tapi begitu suci bersih cintanya terhadap Siao-liong-li, dengan sendirinya ia tidak mau jawab sembarangan.
“Kokoh,” katanya sesudah memikir, “kalau kita sampai masgul dan bosan, tidaklah kita bisa keluar bersama saja!”
Siao-liong-li menyahut pelahan sekali, lalu tak bicara lagi, hanya dalam hati ia pikir: “Apa yang dikatakan Kwe-hujin (nyonya Kwe) ternyata tidak dusta. Kelak kalau dia sudah bosan dan kesal hingga keluar dari kuburan, ia akan dipandang hina oleh setiap orang, lalu apa senangnya orang hidup begitu ? ia baik padaku, entah mengapa orang lain lantas pandang rendah dan hina padanya, apakah aku sendiri seorang tak membawa alamat baik? Aku suka dia dan mencintai dia, jiwaku boleh melayang, tapi kalau menjadikan dia tak bahagia, lebih baik dia tak menikahi aku saja. Kalau begitu, malam itu di Cong-lam-san dia tak mau berjanji akan peristerikan diriku, agaknya disebabkan inilah.”
Sementara didengarnya Yo Ko menggeros nyenyak maka pelahan ia melompat turun, ia dekati pembaringan dan pandang wajah orang yang cakap, hatinya cemas dan pedih, tak tertahan air matanya berlinang-linang.
Besok paginya ketika Yo Ko mendusin, terasa olehnya pundaknya rada basah, ia merasa aneh sekali, ia lihat Siao-liong-li sudah tiada di kamar, ia bangun duduk, tapi lantas tertampak di atas meja terukir delapan huruf yang halus dengan jarum yang bunyinya: “Selamat tinggal, janganlah pikirkan diriku.”
Kaget luar biasa Yo Ko, seketika ia termangu-mangu bingung, ia lihat di atas meja masih kelihatan ada bekas air mata yang belum kering, dapat diduga rasa basah di pundaknya tentu juga karena air mata Siao-liong li, Maka dapatlah di bayangkan berapa remuk redam perasaannya tatkala ia menulis ke delapan huruf ini.
Dalam keadaan cemas Yo Ko merasa seakan disamber petir mendadak ia dorong daun jendela terus meloncat keluar sambil berteriak-teriak: “Kokoh, Kokoh !”
Yo Ko insaf sedetik saja tak boleh di-sia-siakan, kalau hari ini Siao-liong-Ii tak bisa diketemukannya, kelak mungkin sukar bersua lagi, maka cepat ia lari ke kandang kuda, ia keluarkan kudanya yang kurus itu terus dicemplaknya pergi.
Kebetulan waktu itu Kwe Hu lagi keluar dari kamarnya. Ia menjadi heran melihat kelakuan pemuda ini, ia berteriak-teriak memanggil : “Nyo-koko, hendak ke mana kau?”
Tapi Yo Ko membudek, ia larikan kudanya cepat ke utara, sekejap saja belasan li sudah dilaluinya, sepanjang jalan ia terus berteriak-teriak.
“Kokoh, Kokoh!” Tapi mana ada bayangan Siao-liong-li.
Setelah berjalan tak lama, tiba-tiba dilihatnya rombongan Kim-lun Hoat-ong sedang menuju ke barat, ketika mendadak mereka nampak Yo Ko seorang diri dan satu tunggangan, merekapun terheran-heran, Segera Kim-lun Hoat-ong belokan kudanya memapak datangnya Yo Ko.
Sama sekali Yo Ko tak bersenjata, tiba-tiba menghadapi musuh besar, sudah tentu sangat berbahaya. Tapi ia sedang kuatirkan keadaan Siao liong-li, apa yang dipikirkan kini tiada lain kecuali jejak Siao-liong-Ii, keselamatan diri sendiri sudah tak terpikir olehnya, maka demi nampak Kim-lun Hoat-ong mendatangi, ia malah tarik tali kuda dan memapakinya dan bertanya: “Hai, apa kau melihat guruku?”
Melihat orang tidak melarikan diri. sudah tentu Kim-lun Hoat-ong heran, kini mendengar pertanyaan itu, keruan tambah tercengang. “Tidak.” sahutnya kemudian. “Apa dia tidak bersama kau!?”
Kedua orang ini sama-sama cerdik luar biasa, setelah terjadi tanya jawab ini, sesaat itu keduanya sudah timbul pikiran, Yo Ko berada sendirian tentu bukan tandingan Kim-lun Hoat-ong, maka setelah sinar mata kedua orang kebentrok, cepat Yo Ko keprak kuda dan di lain pihak Kim-lun Hoat-ong sudah ulur tangan hendak menjambret nya,
Namun kuda kurus itu tangkas luar biasa, bagai angin cepatnya sudah membedal lewat, lekas-lekas Kim-lun Hoat- ong keprak kuda mengejar, tapi Yo Ko sudah berada sejauh satu li lebih dan sukar disusul lagi.
Tiba-tiba pikiran Hoat-ong tergerak pula, ia tahan kuda tak mengejar lebih jauh, ia pikir: “Kalau mereka guru dan murid terpencar, apalagi yang aku takutkan sekarang? Kalau Oey-pangcu itu masih belum pergi jauh, ha-ha…” Begitulah, segera ia bawa rombongannya balik ke tempat darimana mereka datang tadi.
Sementara itu Yo Ko masih belum melihat bayangan Siao-liong-li, sekalipun sudah beberapa puluh li ia tempuh, ia merasa darahnya bergolak hingga rasanya gelap pandangan, hampir-hampir saja ia pingsan di atas kudanya, Sungguh luar biasa rasa sedih dan pilunya.
“Sebab apakah Kokoh mendadak tinggalkan aku? Di manakah aku pernah mencederai dia? Sewaktu ia hendak tinggalkan aku tidak sedikit air mata yang dia alirkan, tentunya itu bukan karena marah padaku,” demikianlah ia pikir.
Lalu terpikir pula tiba-tiba olehnya: “Ah, tahukah aku sekarang, tentunya karena aku bilang tinggal di dalam kuburan kuno akan merasa bosan, maka ia kira aku tak mau hidup berdampingan selamanya dengan dia.”
Berpikir sampai disini, tiba-tiba ia melihat setitik sinar harapan: “Ah, tentu dia telah kembali ke kuburan kuno, biarlah aku pergi ke sana mendampingi dia,” demikian pikirnya terakhir.
Tadi dalam bingungnya ia larikan kudanya secara ngawur tanpa bedakan arah, kini ia bisa pilih jalan, ia kembali ke utara menuju Cong-lam-san. sepanjang jalan ia berpikir terus, makin pikir makin terasa benar keputusannya itu, karena itu rasa duka dan rindunya menjadi hilang beberapa bagian, bahkan kemudian iapun ber-dendang2 sendiri di atas kudanya.
Waktu lohor ia mampir di suatu kedai nasi untuk tangsal perut, habis makan semangkok bakmi waktu mau bayar, tiba-tiba ia melongo, Kiranya waktu berangkat terlalu buru-buru hingga satu mata uang saja tak membawanya, Tapi Yo Ko tak kurang akal, ia incar ketika pengurus kedai meleng, cepat saja ia cemplak kudanya terus lari pergi, ia dengar pemilik kedai mencaci maki kalang kabut di belakang, diam-diam pemuda ini tertawa geli sendiri.
Petangnya, tibalah dia di sebuah hutan lebat. Sekonyong- konyong didengarnya sayup-sayup ada suara bentakan dan makian di dalam hutan diseling dengan suara nyaring beradunya senjata, terkejut Yo Ko, ia coba dengarkan lebih jelas, ia kenali kemudian itulah suaranya Kim-lun Hoat-ong dan Kwe Hu.
Yo Ko tahu pasti terjadi sesuatu, lekas-lekas ia melompat turun dari kudanya, ia lambat kudanya sedikit jauh, ia sendiri menyelinap masuk hutan dengan kepandaian “tah-poh-bu-seng” atau melangkah tanpa bersuara, semacam ilmu entengkan tubuh yang tinggi, ia mencari tempat dimana datangnya suara.
Setelah belasan tombak jauhnya, ia lihat di tengah hutan lebat itu Oey Yong dan puterinya beserta Bu-si Hengte lagi melawan rombongan Kim-lun Hoat-ong se-bisa-bisanya di suatu gundukan batu.
Ia lihat keadaan Bu-si Hengte sangat mengenaskan mukanya, bajunya, semua berlepotan darah. Oey Yong sendiri rambutnya serawutan, tampaknya kalau bukan Kim-lun Hoat-ong sengaja ingin menawan lawannya hidup-hidup, mungkin mereka berempat sudah sejak tadi binasa di bawah roda besinya.
Setelah menyaksikan beberapa jurus lagi, diam-diam Yo Ko memikir: “Kokoh tidak di sini, kalau aku maju membantu sendiri, tentu antar jiwa percuma, lantas bagaimana baiknya ini?”
Selagi ia hendak cari akal, tiba-tiba dilihatnya roda Kim-lunHoat-ong sedang menghantam, Oey Yong kelihatan tak kuat menangkis, mendadak ia mengkeret masuk ke belakang segundukan batu. Lalu Kim lun Hoat-ong terpancing masuk ke tengah gundukan batu ini dan berputar kian kemari, namun tak mampu mendekati Oey Yong lagi.
Heran sekali Yo Ko oleh kejadian itu, dilihatnya Kwe Hu dan Bu-si Hengte juga berkelit dan berputar mengandalkan gundukan batu, bila ada bahaya. asal sembunyi di belakang batu, seketika Darba ketinggalan dan terpaksa ber-putar-putar kesana kemari baru bisa menyusulnya, namun sementara itu Kwe Hu sudah sempat bernapas untuk melawan musuh lagi.
Makin melihat makin heran Yo Ko, sungguh tak bisa dimengertinya beberapa gundukan batu dalam hutan ini ternyata begitu mukjijat. Tapi meski keselamatan Oey Yong cs, tak menjadi soal lagi, tapi hendak lari keluar barisan gundukan batu, rasanya juga susah.
Setelah lama tak bisa bobolkan pertahanan musuh, meski Bu-si Hengte dapat dilukai, tapi tak parah, sebaliknya pihak Kim-lun Hoat-ong sendiri ada seorang tertusuk mati oleh Kwee Hu. Hoat-ong tahu gundukan batu itulah letak penyakitnya yang harus dipecahkan baru bisa menangkap musuh. Hoat-ong seorang yang cerdas dan tinggi hati, ia pikir beberapa orang ini sudah seperti kura2 dalam tempurung tak nanti bisa lolos dari cengkeramannya, ia pikir bila sebentar lagi perputaran barisan gundukan batu dapat dipahami segera ia menerjang masuk dengan cepat dan sekali pukul lantas berhasil, barulah hal ini bisa perbaikan kepintarannya.
Maka mendadak ia memberi tanda rombongannva mundur, ia sendiripun mundur lebih setombak jauhnya sambil memperhatikan susunan gundukan batu yang ruwet itu. Ia pikir berapa hebat siasat vang diatur maupun barisan yang dikerahkan pasti tidak terlepas dari perhitungan Thay-kek dan Liang-gi dan meluas menjadi Ngo-heng dan Pat-kwa. Kim-lun Hoat-ong sendiri mahir macam-macam ilmu aneh itu, ia pikir meski barisan gundukan batu itu rada aneh, ia yakin pasti tidak terlepas dari dasar perhitungan tersebut diatas.
Siapa tahu sudah lama ia pandang dan perhatikan, baru saja sedikit lubang dapat dilihatnya, ketika hendak dipecahkan lebih jauh, tiba-tiba salah lagi, sebelah kiri betul, sayap kanan sudah berubah, dapat dipecahkan bagian depan, lalu sebelah belakang sukar dipahami pula. ia termenung-menung di tempatnya, terkejut dan kagum luar biasa atas kepandaian Oey Yong.
Tapi Kim-lun Hoat-ong adalah seorang genius, baik silat maupun surat, meski menghadapi soal sulit, ia justru ingin gunakan kecerdasan sendiri untuk memecahkannya.
Yo Ko lihat paderi ini mencurahkan perhatian penuh atas gundukan2 batu, mendadak matanya terbeliak seperti paham di mana letak mujizat barisan batu itu dan orangnya terus melompat masuk cepat luar biasa, ketika ia ulur tangan, tahu-tahu Kwe Hu kena dijambret, habis ini iapun mundur lagi keluar barisan batu.
Perubahan diluar dugaan ini membikin Oey Yong terkejut hingga seketika tak berdaya, kalau keluar barisan buat menolong, terang mereka sendiri yang bakal menghadapi bahaya.
Kiranya tadi Kwe Hu melihat musuh berdiam diri, ia menjadi gegabah, tak diturut lagi pesan ibundanya agar berdiri tetap di tempatnya, tapi ia keluar garis pertahanan barisan batu dan betapa lihaynya Kim-lun Hoat-ong, begitu ada kesempatan segera ia turun tangan menawannya terus menutuk Hiat-to iganya dan diletakkan di tanah.
Sengaja Hoat-ong tak menutuk urat nadi gagu si gadis agar bisa bersuara minta tolong ibundanya untuk memancing Oey Yong keluar dari barisan batu itu.
Seketika Kwe Hu merasa seluruh badan kaku gatal luar biasa, tapi anggota badan tak bisa bergerak tiada jalan lain kecuali merintih pelahan.
Sudah tentu Oey Yong tahu akal licik musuh, tapi kasih ibu adalah pembawaan setiap manusia, ia menjadi kuatir luar biasa, tapi bibir digigitnya kencang-kencang, sedapat mungkin menahan perasaannya
Kesemua itu disaksikan Yo Ko dengan jelas di tempat sembunyinya, tiba-tiba dilihatnya Oey Yong gerakkan tongkat bambu lalu hendak terjang keluar barisan batu untuk menolong puteri kesayanganmya, tanpa pikir lagi sekonyong-konyong Yo Ko melompat keluar, Kwe Hu disambernya terus melompat masuk kembali ke barisan gundukan batu itu.
Cepat juga Kim-lun Hoat-ong timpuk roda besinya menghantam punggung si Yo Ko yang masih terapung diudara hingga sukar berkelit. Tapi mendadak Kwe Hu didorongnya ke arah Oey Yong, berbareng Yo Ko sendiri gunakan gerakan “jian-km-tui”, tubuhnya menurun cepat kebawah dan terdengarlah suara “bluk”, antap sekali tubuh Yo Ko terbanting di atas gundukan batu itu, sementara terdengar suara gemerenceng yang nyaring, roda besi musuh tepat menyamber lewat di atas kepalanya.
Di lain pihak Oey Yong sudah merangkul puteri kesayangannya dengan perasaan girang dan duka, ia lihat Yo Ko telah merangkak bangun dari gundukan batu, mukanya babak belur karena jatuhnya yang berat tadi, lekas-lekas ia tunjukkan jalan masuk ke barisan batu dengan tongkat bambunya yang panjang itu.
Melihat serangannya yang tak berhasil dan kembali gara-gara si Yo Ko, Kim-lun Hoat-ong tidak gusar, ia malah bergirang, katanya dengan tersenyum dingin: “Bagus, kau sendiri yang masuk jaring, aku dapat hemat tenaga dan tak perlu cari kau lagi kelak”
Dengan mati-matian Yo Ko menolong orang, timbulnya secara spontan, tapi sesudah masuk barisan batu itu dan teringat ikut campurnya ini berarti antarkan nyawa sendiri dan selanjutnya sukar bersua lagi dengan Siao-liong-li, diam-diam ia merasa menyesal.
“Ko-ji, buat apa kau lakukan ini?” kata Oey Yong kemudian menghela napas.
“Kwe-pekbo,” sahut Yo Ko tertawa getir, “secara ketolol-tolol an, asal darahku panas, lantas aku tak pikirkan diri sendiri lagi.”
“O, anak baik, hatimu yang baik ini dibanding ayahmu…”
belum habis Oey Yong berkata, mendadak ia berhenti.
“Kwe-pekbo, ayahku seorang jahat bukan?” tanya Yo Ko gemetar.
“Buat apa kau tanya ini?” kata Oey Yong menunduk. Habis ini mendadak ia berseru: “Awas, ke sini ikut aku!” Lalu ia tarik orang melintasi dua gunduk batu menghindari pembokongan Kim-lun Hoat-ong.
Kagum luar biasa setelah Yo Ko meneliti sekitar gundukan batu itu. “Kwe-pekbo, kepandaianmu yang hebat ini di jagat ini tiada keduanya lagi,” katanya kemudian.
Oey Yong tak menjawab, ia hanya tersenyum dan sibuk mengurut Kwe Hu yang habis ditutuk musuh tadi.
“Kau tahu apa?” sela Kwe Hu tiba-tiba. “Kepandaian ibu adalah ajaran Gwa-kong (engkong luar), Engkong-ku itulah baru benar-benar lihay.”
Yo Ko sendiri sudah saksikan kepintaran Oey Yok-su dengan tanaman2 yang teratur di Tho-hoa-to, cuma waktu itu umurnya masih kecil, maki tidak dapat dipahaminya kebagusannya, kini mendengar kata-kata Kwe Hu, berulang kali ia mengangguk dan merasa kagum tak terhingga. “Ya, entah kapan berjumpa dengan beliau barulah rasanya hidupku ini tak ter-sia-sia,” demikian katanya.
Dalam pada itu mendadak Kim-lun Hoat-ong menerjang masuk lagi, sudah dua gunduk batu dilintasinya, Yo Ko tak bersenjata sama sekali, lekas-lekas tongkat bambu Oey Yong yang masih menggeletak di tanah itu disambarnya terus mendahului maju menahan musuh, beruntun2 tongkat bambu menyabet dua kali, apa yang dimainkan adalah Pak-kau-pang-hoat.
Melihat Pang-hoat orang terlalu bagus, Kim-lun Hoat-ong tak berani ayal, ia layani Yo Ko penuh perhatian, setelah beberapa jurus, mendadak keduanya sama-sama kesandung batu dan sampai hampir jatuh.
Kuatir terjebak, lekas-lekas Hoat-ong melompat keluar dari gundukan batu, sedang Oey Yong menunjukkan jalan masuk bagi Nvo Ko. Bu-si Hengte dan puterinya disuruh pindahkan batu-batu itu untuk merubah barisan pertahanannya.
“Darimanakah kau dapat belajar Pa-kau-pang-hoat ini sebenarnya?” tanya Oey Yong kemudian pada Yo Ko.
Maka terus teranglah Yo Ko ceritakan pertemuannya yang aneh dengan Ang Chit-kong dulu di atas Hoa-san dan bagaimana Pak-kay dan Se-tok telah bertanding di sana hingga turunkan ilmu tongkat pemukul anjing itu padanya, cuma kuatir kalau Oey Yong terkejut, maka tentang tewasnya Ang Chit-kong tak diceritakannya sama sekali.
“Penemuanmu yang aneh itu sungguh jarang terjadi,” ujar Oey Yong kemudian, Tiba-tiba tergerak hatinya, ia berkata pula: “Ko-ji, kau sangat pintar, cobalah kau carikan suatu akal buat lepaskan diri dari kesukaran sekarang ini.”
Melihat sikap Oey Yong segera Yo Ko tahu orang telah mendapatkan akalnya, maka iapun pura-pura tak tahu dan menanya: “Jika engkau sehat kuat, kita keroyok Hoat-ong pasti akan menang, atau bila dapat mendatangkan guruku, tentu segalanya akan beres,”
“Kesehatanku ini seketika mana bisa baik?” sahut Oey Yong,
“Kokohmu juga tak diketahui ke mana perginya, Aku ada suatu akal dan harus menggunakan beberapa gundukan batu ini, barisan batu ini adalah ajaran ayahku, perubahan2 didalamnya tiada habis-habisnya, sebenarnya belum ada dua bagian yang kugunakan sekarang ini.”
Terkejut sekali Yo Ko oleh keterangan itu, ia pikir ilmu pengetahuan Oey Yok-su sungguh tinggi bagai dewata, tidak kepalang rasa kagumnya.
“Pak-kau-pang-hoat ajaran guruku padamu itu hanya melulu cara memainkan saja, sedang apa yang kau dengar di atas pohon, yaitu apa yang kuuraikan adalah garis besar dari kunci2nya,” kata Oey Yong lagi “Dan kini biar aku turunkan gerak perubahan yang bagus sampai sekecilnya padamu semuanya.”
Tentu saja girang Yo Ko, tapi ia pura-pura menolak, “Ah, agaknya tak boleh jadi,” demikian katanya, “Pak-kau-pang-hoat kecuali Pangcu dari Kay-pang tidak sembarangan diturunkan pada orang luar selamanya.”
“Di hadapanku jangan kau pakai akal tengik?” kata Oey Yong sambil melototinya, “Pang-hoat ini Suhuku sudah turunkan padamu tiga bagian, kau sendiripun sudah mencuri dengar dua bagian, kini aku turunkan lagi dua bagian padamu, sisanya 3 bagian tergantung kecerdasanmu untuk mempelajarinya sendiri dan orang lain sekali-kali tak bisa mengajarkan kau, Soalnya kini terpaksa, pertama bukan orang mengajarkan Pang-hoat ini padamu kedua disebabkan kepepet, tiada jalan lain.”
Segera saja Yo Ko berlutut dan menjura beberapa kali, “Kwe-pekbo,” katanya tertawa, “Dahulu waktu aku kecil pernah kau berjanji akan turunkan ilmu silat padaku, sampai hari ini barulah kau benar-benar Kwe-pekbo yang baik.”
“Ya, selama ini kau terus dendam padaku, bukan?” sahut Oey Yong tersenyum.
“Mana aku berani?” kata Yo Ko.
Habis itu, dengan bisik-bisik Oey Yong lantas uraikan intisari Pak-kau-pang-hoat, semuanya ia beritahukan pada Yo Ko.
Di luar gundukan batu-batu sana Kim-lun Hoat-ong melihat Yo Ko tiba-tiba menjura pada Oey Yong, kedua orang ini bicara sambil tertawa-tawa, lalu bisik-bisik entah apa yang sedang dikerjakan, tampaknya seperti tak gentar dan sama sekali tak pandang sebelah mata pada dirinya.
Meski mendongkol juga Kim-lun Hoat-ong, tapi biasanya ia sangat tenang dan hati-hati, ia yakin nanti setelah memecahkan letak penyakit barisan batu-batu itu baru akan ambil tindakan.
Karena penundaan serangannya ini, Oey Yong dan Yo Ko tak perlu melayani musuh, maka tiada setengah jam, semua kunci intisari sudah hampir selesai diuraikannya.
Kepintaran Yo Ko boleh dikata ratusan kali lebih tinggi dari pada Loh Yu-ka, ditambah Pak-kau-pang-Iioat ini memang sudah lama dipelajarinya, meski banyak yang belum dia pahami dan belum bisa dipecahkan, tapi setelah diberi petunjuk oleh Oey Yong, tentu saja segalanya lantas terang dengan sendirinya.
Dari jauh Kim-lun Hoat-ong melihat wajah Oey Yong tenang tapi sungguh-sungguh sambil bibirnya bergerak komat-kamit, sebaliknya Yo Ko kelihatan garuk-garuk kepala dan cakar-cakar kuping seperti girang tak terhingga, ia menjadi bingung apa yang dilakukan kedua orang itu, urusannya tentu tidak menguntungkan dirinya, hal ini dapat dipastikannya.
Dan sesudah Yo Ko selesai mendengarkan uraian istilah itu disusul beberapa pertanyaannya yang rada sulit, semuanya Oey Yong menjelaskannya dengan baik, lalu katanya: “Sudahlah cukup, kau bisa bertanya beberapa persoalan ini menandakan banyak yang telah kau pahami. Tindakan selanjutnya ialah kita akan pancing Hoat-ong masuk barisan dan menawannya.”
“Apa?” tanya Yo Ko terkejut “Menawan nya?”
“Ya, apa susahnya?” kata Oey Yong, “Kini kita berdua dapat bersatu padu, soal tipu sudah menantikan dia, kekuatan pun di atasnya, Kini biar ku terangkan di mana letak kebagusan Loan-ciok-tin (barisan gundukan batu) ini seketika tentunya kaupun tak bisa paham, tapi asal kau ingat secara baik-baik 36 perubahannya kukira sudah cukup.”
Lalu iapun menjelaskan cara bagaimana berubah dari suatu pintu ke pintu lainnya dan barisan batu-batu itu.
Kiranya Loan-ciok-tin ini adalah perubahan dari Pak-tin-toh ciptaan Khong Beng di jaman Sam-kok, dahulu Khong Beng menggunakan batu-batu menjadi barisan pertahanan di tepi sungai untuk menjebak pihak musuh binasa sukar meloloskan diri, kini apa yang diatur Oey Yong juga serupa tujuan Khong Beng pula, cuma karena terlalu buru-buru hingga barisan batu-batu itu belum rampung diaturnya. Namun begitu Kim-lun Hoat-ong sudah dibikin bingung dengan mata terbuka lebar ia pandang lima lawannya di depan sana tanpa berani turun tangan secara sembarangan.
Ke-36 perubahan dari Loan-ciok-tin itu sesungguhnya ruwet dan bagus sekali, sekalipun Nvo Ko pintar luar biasa, seketika iapun tak bisa paham semua, sudah dua kali Oey Yong ulangi uraiannya dan Yo Ko baru bisa paham lebih 20 macam perubahan itu, sementara itu cuaca sudah remang-remang sedang Kim-lun Hoat-ong kelihatan bergegas2 hendak bergerak pula.
“Cukup likuran kali perubahan ini saja sudah bisa kurung dia di dalam,” kata Oey Yong kemudian. “Sekarang juga aku keluar memancing dia masuk barisan, sekali aku ubah baris pertahanan, segera ia akan terkurung.”
Keruan girang sekali si Nyo-Ko, “Kwe-pekbo,”" katanya, “
kelak kalau aku datang ke Tho-hoa-to lagi, apakah engkau bersedia mengajarkan semua ilmu pengetahuan ini padaku?”
“Jika kau sudi datang, kenapa aku tak sudi mengajarkan kau?” sahut Oey Yong tertawa, “Mati-matian kau telah tolong aku dan Hu-ji dua kali, masakah aku masih melayani kau seperti dahulu?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar