Rabu, 21 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 68




Kembalinya Pendekar Rajawali 68

Kwe Ceng hanya bersuara lemah sekali dan tidak menjawabnya. Waktu Yo Ko memeriksa pernapasannya, terasa napasnya cukap keras, agaknya tidak menjadi soal sementara ini, hatinya terasa lega dan ia sendiri lantas pingsan malah.
Entah berapa lama ia mendekap di atas kuda dalam keadaan lelap, ketika mendadak dilihatnya di depan beribu-ribu perajurit musuh mengadang pula hendak menangkap Kwe Cing, segera ia memutar pedangnya sambil berteriak-teriak:
“Jangan mencelakai paman Kwe!” - ia memudar pedangnya serabutan dan mendadak pandangannya menjadi samar-samar di sana-sini banyak wajah orang yang sedang memperhatikannya, waktu ia mengawasi lebih jelas, tiba-tiba sebuah wajah yang sangat dikenalnya tampak tersenyum padanya. Siapa lagi dia kalau bukan Siaoliong li.
Yo Ko merasa sepeiti dalam mimpi saja, serunya: “He, Kokoh, engkau juga berada disini. Lekas - lari, jangan pikirkan diriku, Kwepepek, mana Kwe-pepek?”
“Tenanglah, Ko-ji, kau sudah pulang di sini, Kwe-pepekmu juga selamat, jangan kuatir,” kata Siao-liong-li dengan suara lembut
Sangat lega hati Yo Ko mendengar keterangan itu, baru sekarang ia merasakan tubuhnya lemas lunglai, ruas tulangnya seakan-akan terlepas semua, segera ia pejamkan mata pula.
Didengarnya suara Oey Yong sedang berkata: “Dia sudah siuman dan tak beralangan lagi, engkau masih mengawasi dia di sini.”
Terdengar Siao-liong-li mengiakan, lalu Oey Yong melangkah pergi. Tapi sebelum keluar kamar, tiba-tiba terdengar suara kresek di atap ramah, air muka Oey Yong berubah, sekali ayun tangannya tiup padam api lilin.
Yo Ko juga kaget dan cepat berduduk, dia cuma terluka luar lantaran banyak mengeluarkan tenaga pula terlalu seIama daIam pertempuran, sebab itulah dia jatuh pingsan. Tapi setelah istirahat sekian lama, pula Oey Yong telah memberi obat mujarab buatan Tho-hoa-to. tenaganya sudah pulih sebagian besar, maka begitu mendengar suara mencurigakan segera ia berbangkit hendak menghadapi musuh.
Namun dalam keadaan gelap Siao-liong-li sudah mengadang di depannya dengan pedang terhunus desisnya kepada Yo Ko: “jangan bergerak, Ko-ji, kujaga kau di sini!”
Dalam pada itu terdengar suara gelak tertawa seorang diatas rumah, katanya: “kedatangan ku adalah untuk menyampaikan surat, tak kuduga bahwa menurut adat menerima tamu kalian adalah dalam keadaan gelap gulita.” -
Dari suaranya dapat dikenali orang ini adalah murid Kim-lun Hoat-ong, yakni pangeran Hotu.
“Menurut adat istiadat bangsa kami, menerima tamu yang terhormat harus di tempat yang terang, untuk menghadapi tamu yang suka main sembunyi paling baik dilakukan pada malam gelap gulita,” jawab Oey Yong.
Seketika Hotu tak dapat berdebat lagi, pelahan ia melompat turun ke pelataran dan berscru: “Sepucuk surat ini diaturkan kepada: Kwe-Tayhiap.”
Oey Yong membuka pintu kamar dan menjawab: “Baiklah, silakan masuk!”
Namun Hotu ragu-ragu karena kamar itu gelap gulita, ia berdiri di luar kamar dan berkata pula: “lnilah suratnya, harap diterima saja?”
“Kau mengaku sebagai tamu, mengapa tidak mau masuk kemari?” tanya Oey Yong.
“Laki-laki sejati tidak sudi tersudut di tempat berbahaya, perlu waspada kemungkinan di jebak” ujar Hotu.
“Huh, masakah ada laki-laki sejati mengukur orang lain dengan jiwa rendah seorang pengecut?” jengek Oey Yong.
Muka Hotu menjadi merah, diam-diam ia mengakui ketajaman mulut Oey Yong, kalau berdebat pasti bakal kalah, daripada malu lebih baik mundur teratur saja. Maka ia tidak bicara pula, dengan pandangan tajam ke arah pintu ia menyodorkan surat yang dibawanya itu.
Oey Yong menjulurkan pentung bambunya dan mendadak menutuk kemuka orang, keruan Hotu terkejut dan cepat melompat mundur, tahu-tahu tangannya terasa kosong, surat yang dipegangnya entah kabur kemana?
Kiranya ketika pentingnya menutuk, berbareng Oey Yong terus memutar ujung pentung ke bawah untuk menyanggah surat yang disodorkan Hotu itu, ketika Hotu melompat mundur, surat itu seperti meiengket di ujung pentung dapat ditarik oleh Oey Yong. soalnya dia sedang hamil tua dan tidak ingin menemui tamu, sebab itulah dia tidak mau berhadapan dengan musuh.
Setelah terkejut segera pula dia berubah menjadi lesu, semangatnya yang menyala ketika memasuki Siangyang seketika lenyap sebagian besar menghadapi kelihayan Oey Yong itu, segera ia berseru: “Surat sudah kuserahkan sampai bertemu pula petang besok!”
Diam-diam Oey Yong mendongkol atas kekurang-ajaran orang yang berani datang dan pergi sesukanya di kota Siangyang mi, mendadak ia ambil poci teh yang terletak diatas meja itu, air teh yang masih panas didalam poci itu terus dipancur-kan ke sana.
Sebenarnya sejak tadi Hotu sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan kalau ada senjata rahasia menyambar keluar dari dalam kamar, akan tetapi pancuran air teh panas itu datangnya tanpa suara apa-apa, tiada suara mendenging seperti senjata rahasia tajam umum nya, maka ketika dia mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu leher, dada dan lengannya sudah basah kuyup oleh air teh yang panas itu, ia menjerit terkejut dan cepat mengegos puja ke samping.
Namun Oey Yong sudah berdiri ditepi pintu sebelum Hotu berdiri tegak, cepat pentung bambunya menjulur ke lengan gaya “menjegal” dari Pakkau-pang-hoat (ilmu permainan pentung penggebuk anjing), “plok”, ia sabet kaki Hotu hingga pangeran Mongol itu jatuh terjungkal.
Cepat Hctu melompat bangun, tapi gaya menjegal pentung Oey Yong masih terus bekerja dengan cepat, belum lagi dia berdiri sudah dirobohkan pula dan begitu seterusnya dia jatuh bangun hingga kepala pusing tujuh keliling.
Sebenarnya ilmu silat Hotu tidaklah rendah, kalau bertempur benar-benar dengan Oey Yong rasanya takkan dirobohkan secara begitu mengenaskan walaupun kepandaiannya memang masih kalah tinggi dan dibawah pangcu kaum jembel yang sedang hamil tua ini. Tapi lantaran mendadak dia disembur air teh panas, dia mengira kena serangan obat berbisa yang sangat lihay dan bisa jadi jiwanya akan melayang, kalau tertahan lebih lama dan air racun itu bekerja, bukan mustahil badannya akan membusuk dan entah bagaimana dia akan tersiksa.
Dalam keadaan kejut dan ragu-ragu itulah mendadak Ui Yong menyerangnya pula, bahkan pentungnya menyambet ber-turut-urut tanpa berhenti, sama sekali dia tidak sempat balas menyerang, keruan dalam kegelapan itu ia jatuh bangun hingga hidung bocor kepala benjut.
Sementara kedua saudara Bu juga mendengar keributan itu dan memburu tiba, segera Oey Yong menyuruh mereka meringkus Hotu.
Mendadak Hotu mendapat akal, ia tahu kalau bangun lagi pasti akan di jegal jatuh pula, maka ia pura-pura menjerit dan terbanting jatuh, padahal tubuhnya memang sudah kesakitan maka sekalian ia lantas berbaring di situ untuk mengaso, Ketika kedua saudara Bu menubruk maju hendak menawannya, sekonyong-konyong Hotu menjulurkan kipasnya dan sekaligus tutuk Hiat-to kaki kedua orang, menyusul ia dorong tubuh kedua saudara Bu untuk merintangi pentung Ui Yong, ia sendiri terus melompat ke sana dan naik ke atas pagar tembok.
“Ui pangcu, lihay benar permainan pentung-mu, tapi goblok amat anak didikmu!” serunya dengan tertawa.
“Huh, tubuhmu sudah terkena air beracun, mana orang lain mau menyentuh tubuhmu?” jengek Oey Yong.
Seketika Hotu melengak kaget, ia merasa air panas yang mengenai tubuhnya itu berbau teh, entah air racun macam apa?
Rupanya Oey Yong dapat menerka pikirannya, ia berkata pula: “Kau terkena racun, tapi sama sekali kau tak tahu nama racunnya, tentu matipun kau tidak rela, Baiklah, biar kuberitahukan, air racun itu bernama Cu-ngo-kian-kut teh (teh pembusuk tulang sampai lohor).”
“Cu-ngo-kian-kut-teh?” Hotu mengulang istilah itu..
“Benar,” ujar Oey Yong. “Setetes saja racun itu mengenai tubuh, maka sekujur badan akan membusuk hingga kelihatan tulangnya pada waktu Iohor. Nah, kau masih ada waktu beberapa jam, lekas pulang saja untuk mengurus tempat kuburanmu.”
Hotu tahu Ui-pangcu dari Kay-pang ini terkenal lihay dan
cerdik, bahwa dia mampu meracik obat racun seperti apa yang
dikatakan itu memang tidak perlu disangsikan lagi, seketika ia
menjadi termangu bingung, apa mesti pulang menanti ajal
atau merendah diri untuk mohon obat penawarnya?
Oey Yong juga tahu pangeran Mongol itu bukan orang bodoh, tentang air racun segala hanya dapat menipunya sementara, lama2 tentu juga akan diketahui kebohongannya.
Maka ia lantas berkata pula. “Sebenarnya kita tiada dendam apa-apa, kalau kata-katamu tidak kasar, tentu jiwamu takkan melayang.”
Dari naga ucapan orang Hotu merasa ada setitik sinar harapan untuk hidup, tanpa pikir harga diri lagi segera ia melompat turun dari pagar tembok, ia memberi hormat dan berkata: “Ya,Cayhe-tadi berlaku kasar padamu, mohon Oey- pangcu sudi memaafkan.”
Berdin di belakang pintu dapatlah Oey Yong meraba secomot kotoran debu, lebih dulu ia ludahi dan dipelintir menjadi butiran, Dengan pelahan ia selentikkan “obat pil” itu kepada Hotu sambil feerkata: “Baiklah, lekas minum!”
Cepat Hotu menangkap “pil” itu dan tanpa pikir terus ditelan mentah-mentah, walaupun rasanya agak pahit namun jiwa selamat paling perlu, ia memberi hormat pula dan mengucapkan terima kasih kepada Oey Yong, Kini ia sudah patah semangat ia mundur-mundur ke tepi pagar tembok baru melompat ke atas dan angkat kaki.
Oey Yong menghela napas gegetun setelah Ho tu pergi, dibukanya Hiat-to kedua saudara Bu yang terkutuk tadi. Teringat olehnya kata-kata ejekan Hotu tadi, “Iihay sangat permainan pentung Ui-pangcu, tapi goblok amat anak didikmu”, ia menjadi sedih melihat kedua saudara Bu. Meski caranya menjatuhkan Hotu tadi tidak menggunakan tenaga, tapi perutnya terasa rada sakit juga, ia duduk mengaso di kursi.
Sementara itu Siao-liong-li telah menyalakan api lilin, Oey Yong coba membuka surat antaran Hotu itu dan dibacanya, Kiranya surat itu dari Kim-lun Hoat ong yang menyatakan kagum atas ketangkasan Kwe Ceng, yang dapat datang dan pergi di tengah pasukan Mongol itu, untuk itulah Kim-lun Hoat-ong menyatakan hendak mengadakan kunjungan balasan ke Siangyang besok.
Tentu saja Oey Yong terkejut, ia perlihatkan surat itu kepada Yo Ko dan Siao-liang li- Katanya: “Meski tembok benteng Siangyang sangat kuat, tapi sukar menahan tokoh-tokoh persilatan. Paman Kwe terluka parah, akupun tidak mampu berbuat banyak, sedangkan musuh akan datang secara benar-benar bagaimana baiknya nanti?”
“Paman Kwe…” belum lanjut ucapan Yo-Ko, tiba-tiba dilihatnya Siao liong li melirik padanya dengan sinar mata yang mengandung arti menyalahkannya menyelamatkan jiwa Kwe Ceng, seketika ia tidak melanjutkan perkataannya.
Oey Yong menjadi curiga, ia tanya pula: “Nona-Liong, kesehatan Ko-ji juga belum pulih, nanti terpaksa harus mengandalkan engkau dan Cu Cu-liu, Cu-toako menghadapi kedatangan musuh.”
Siao-liong-li tidak biasa berdusta dan ber-pura-pura, apa yang dipikirkan. itu pula yang dikatakan, dengan tak acuh ia lantas menjawab: “Aku cuma melindungi Ko-ji seorang, mati-hidup orang lain tiada sangkut paut dengan kami..”
Tentu saja Oey Yong bertambah heran, seketika iapun tidak dapat bertanya lebih banyak, hanya dikatakan kepada Yo Ko: “Menurut paman Kwe, semuanya berkat perjuanganmu.”
Teringat kepada maksudnya hendak membunuh Kwe Ceng, Yo Ko merasa malu diri, jawabnya: “Ah siautit tidak becus hingga membikin Kwe pepek terluka.”
“Kau sendiri istirahat dulu, kalau musuh datangi jika tidak mampu melawan dengan tenaga dapatkah kita mengalahkan mereka dengan akal,” ujar Oey Yong, Lalu ia berpaling kepada Siao-liontg-Ii “Nona Liong, marilah ikut padaku, aku ingin bicara sebentar dengan kau.”
“Tapi dia…..” Siao-liong-li ragu-ragu memandangi Yo Ko.
Sejak pulangnya anak muda itu, Siao-liong-li terus menunggunya di situ, maka ia merasa berat meninggalkan anak muda itu.
“Musuh menyatakan akan datang besok, ku-yakin malam ini pasti takkan terjadi sesuatu,” ujar Oey Yong, “Marilah ikut, apa yang hendak kubicarakan ada hubungannya dengan Ko-ji.”
Siao-liong-li mengangguk. Lebih dulu ia membisik beberapa pesan kepada Yo Ko, habis itu baru ikut Oey Yong keluar kamar, Oey Yong membawanya ke kamarnya sendiri, letelab menutup pintu kamar barulah ia berkata: “Nona Liong, kau bermaksud membunuh kami suami istri, bukan?”
Walaupun watak siao-liong-li polos bersih, tapi dia bukanlah orang bodoh, dia bertekad akan membunuh Kwe Cing dan Oey Yong untuk menolong jiwa Yo Ko, kalau Oey Yong memancingnya dengan kata-kata mana dapat mengelabuinya, tapi sekarang Oey Yong dapat meraba wataknya yang lugu, tanpa tedeng aling-aling ia tanya secara langsung, Karuan Siao-liong-li menjadi melengak dan menjawab dengan tergagap “Ka… kalian baik kepada kami, mengapa kami…kami membunuh kalian?”
Melihat sikap orang, Oey Yong tambah yakin akan dugaannya segera ia berkata pula: “Kau tidak perlu merahasiakannya lagi, sudah kuketahui maksud kalian, Ko-ji menganggap kami yang membinasakan ayahnya, maka dia ingin membunuh kami untuk menuntut balas, Kau suka kepada Ko-ji dan hendak membantu terlaksana cita2nya itu.”
Karena isi hatinya dengan jitu kena dikatai, dasar Siao-liong-li memang tidak bisa berdustai, seketika ia terdiam, sejenak kemudian barulah ia menghela napas dan berkata:
“Sungguh aku tidak paham!”
“Tidak paham apa? tanya Oey Yong.
“Sebab apa tadi Ko ji menyelamatkan Kwe-tayhiap dengan mati-matian, padahal dia sudah berjanji dengan Kim-lun Hoat-ong akan membunuh Kwe- tayhiap,” kata Siao-liong-li.
Terkejut juga Oey Yong mendengar keterangan itu, bahwa dia sudah menduga ada maksud jahat pada Yo Ko, tapi sama sekali tak tersangka anak muda itu akan bersekongkol dengan pihak Mongol. Maka iapun tenang-tenang saja dan berlagak sudah mengetahui semuanya, katanya: “Mungkin dia melihat Kwe-tayhiap sangat baik hati padanya, akhirnya dia sendiri tidak tega turun tangan.”
Siao-liong-li mensangguk, katanya dengan sedih: “Urusan sudah telanjur begini, apa mau dikatakan lagi? Kalau dia tidak memikirkan jiwanya sendiri, ya terserah padanya, Aku sudah tahu dia adalah orang paling baik di dunia ini, dia lebih suka mati sendiri daripada mencelakai musuhnya.”
Sekilas timbul beberapa pertanyaan dalam benak Oey Yong, tapi sukar juga menarik kesimpulan dari arti ucapan Siao-liong-li itu. Dilihatnya air muka si nona sangat sedih dan cemas, sedapatnya iapun menghiburnya: “Tentang kematian ayah Ko-ji itu memang banyak lika-likunya, biarlah kelak kita membicarakannya secara lebih jelas, Lukanya tidak parah, setelah istirahat beberapa hari tentu akan sehat kembali, kau tidak perlu berduka.”
Siao-liong-li memandangi Oey Yong dengan termangu-mangu, sejenak kemudian mendadak air matanya bercucuran, katanya dengan ter-gagap2: “Tapi… tapi jiwanya hanya… hanya tinggal tujuh hari, mana mungkin istirahat lagi hehe… beberapa hari segala…”
“Jiwanya tinggal tujuh hari apa maksudmu?” Oey Yong menegas dengan terkejut “Lekas jelaskan. kita pasti dapat menolongnya.”
Siao-liong-li menggeleng pelahan, tapi akhirnya ia menceritakan juga kejadian di Cui-sian-kok itu tentang cara bagaimana Yo Ko terkena racun bunga cinta dan Kiu Jian-jio cuma memberinya setengah butir pil Coat-ceng-tan serta memberi waktu 18 hari untuk membunuh Kwe Ceng dan Oey Yong, habis itu baru setengah butir Coat-ceng-tan yang lain akan diberikan lagi.
Diceritakan juga betapa tersiksanya apabila racun bunga cinta itu mulai bekerja dan bahwa di dunia ini hanya tersisa separoh Coat-ceng-tan itu yang dapat menolong jiwa Yo Ko.
Semakin kejut dan heran Oey Yong oleh cerita itu, sama sekali tak terduga olehnya bahwa Kiu Jian-jiu itu tokoh Bu-Iim yang terkenal belasan tahun yang lalu itu masih mempunyai seorang adik perempuan serta membangkitkan malapetaka sehebat itu.
Setelah bercerita secara ringkas, akhirnya Siao liong-li berkata: “Jadi umurnya tinggal tujuh hari lagi, seumpama malam ini kalian suami-istri dapat dibunuh juga tak sempat lagi untuk kembali ke Coat-ceng-kok, lalu untuk apa lagi kubikin celaka kalian? Tujuanku hanya menolong Ko-ji, mengenai dendam kematian ayahnya segala aku tidak urus.”
SemuIa Oey Yong mengira maksud tujuan Yo-Ko hanya ingin menuntut balas kematian ayahnya jtu, siapa tahu didalam urusan ini masih banyak lika-liku soal lain, jika begitu berarti anak muda itu membunuh diri kalau dia batalkan niatnya membunuh Kwe Ceng, sungguh luhur pengorbanan Yo Ko yang tiada bandingannya ini.
Begitulah Oey Yong mondar mandir di dalam kamar dengan bingung, betapapun cerdik pandainya, tak berdaya juga menghadapi keadaan yang serba sulit ini ia pikir beberapa jam lagi musuh akan menyerbu tiba secara besar-besaran, meski tadi ia menghibur Yo Ko agar jangan kuatir dan bahwa dapat mengalahkan musuh dengan akal andaikan tidak mau melawannya dengan kekuatan. Tapi bagaimana akalnya itu sungguh sukar diperoleh.
Bahwasanya Siao-liong-li hanya memikir dan mencintai Yo Ko dengan setulus hatinya, sedangkan pikiran Oey Yong justeru bercabang dua, setengahnya ia berikan kepada sang suami dan separuh lain terbagi kepada anak perempuannya.
Yang dipikirkannya kini hanya “Bagaimana caranya menyelamatkan kakak Cing dan anak Hu?”
Tiba-tiba terpikir olehnya: Kalau Ko-ji dapat mengorbankan dirinya sendiri demi orang lain, mengapa aku tidak? Karena pikiran ini, segera ia berpaling kepada Siao-liong-Ii dan berkata, dengan ikhlas: “Nona Liong, aku mempunyai akal yang dapat menolong jiwa Ko-ji, apakah kau mau menurut padaku?”
Saking girangnya tubuh Siao-liong-li sampai gemetar, jawabnya “Biarpun aku harus…. harus matipun… Ai, sebenarnya matipun bukan apa-apa bagiku, sekalipun berpuluh kali lebih susah daripada mati juga aku… aku akan menurut.”
“Baik,” kata Oey Yong, “Urusan ini hanya kau dan aku saja yang tahu, jangan sekali-sekali kau bocorkan kepada orang lain, Ko-ji sekalipun tidak boleh kau beritahu. Kalau tidak semuanya akan gagal total.”
Ber-uIang2 Siao-liong-li mengiakan lalu Oey Yong berkata pula: “Jika musuh datang nanti, hendaklah kau dan Ko-ji melindungi Kwe-tayhiap sekuat tenaga, bila bahaya ini sudah lalu, segera kuserahkan kepalaku ini padamu dan Ko-ji dapat menggunakan kuda merah ke Coat-ceng-kok untuk menukarkan sisa obat yang diperlukannya itu.
Siao-liong-li melengak, “Apa katamu?” ia menegas karena belum paham apa maksudnya.
Dengan suara halus Oey Yong menjelaskan “Cintamu kepada Ko-ji melebihi jiwamu sendiri, bukan? Asalkan dia selamat, biarpun kau sendiri akan mati juga kau rela dan gembira, bukan?”
Ucapan Oey Yong dengan jitu mengenai lubuk hati Siao liong-li, nona itu mengangguk dan berkata.
“Sebab serupa kau, akupun cinta kepada suamiku,” ucap Oey Yong dengan tersenyum hambar. Kau tidak punya anak sehingga tidak tahu perasaan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya sesungguhnya tidak kurang daripada kasih sayang antara suami isteri. Aku cuma minta kau melindungi keselamatan suami dan putriku, selebihnya apa lagi yang kuharapkan?”
Siao-liong-li berpikir sejenak, belum lagi ia menjawab Oey Yong telah berkata pula: “Kalau kau mau bergabung dengan Ko-ji tentu tidak sukar mengalahkan si gundul Kin lun Hoat-ong, Sudah beberapa kali Ko-ji menolong jiwa kami suami istri, masakah sekali saja aku tak dapat menolong jiwanya?
Kuda merah itu sehari dapat berlari ratusan li, tidak sampai tiga hari tentu dapat mencapai Coatceng-kok, ingin kukatakan padamu, Kiu Jian-li dan Nyo Khong semuanya mati ditanganku dan tiada sangkut pautnya dengan Kwe-tayhiap. jika  kepalaku sudah diserahkan, walaupun masih belum puas tentu juga Kiu Jian-jio akan memberikan obatnya kepada Ko-ji.
selanjutnya kalian berdua semoga dapat berjuang bagi negara dan bangsat andaikan tidak dapat dan ingin mengasingkan diri dipegunungan sunyi juga aku merasa berterima kasih.”
Cukup tegas ucapan Oey Yong, kecuali itu memang tiada jalan lain lagi, Beberapa hari terakhir ini Siao-liong-li selalu memikirkan cara bagaimana akan membunuh Kwe Ceng dan Oey Yong untuk menyelamatkan jiwa Yo Ko, tapi sekarang hal itu terucap dari mulut Oey Yong sendiri, ia menjadi merasa tidak enak malah berulang-ulang ia menggeleng dan berkata:
“Tidak, tidak bisa!”
Selagi Oey Yong hendak membujuknya lebih lanjut, tiba-tiba terdengar Kwe Hu berseru di luar kamar “lbu, ibu! Engkau di mana?”suaranya kedengaran gelisah dan bingung.
Oey Yong terkejut cepat ia menjawab: “Ada urusan apa, Hu-ji?”
Kwe Hu mendorong pintu dan melangkah masuk, tanpa pedulikan hadirnya Siao-lieng-li di situ, ia terus menubruk ke dalam pelukan sang ibu dan berseru: “lbu, kedua kakak Bu
telah…” mendadak ia menangis dan tidak dapat melanjutkan.
“Ada api lagi?” tanya Oey Yong sambil mengerutkan dahi.
“Mereka . . . mereka kakak beradik telah keluar… keluar
benteng untuk ber… berkelahi,” tutur Kwe Hu dengan ter
sendat2.
“Berkelahi apa?” bentak Oey Yong dengan bengis saking gusarnya. “Maksudmu mereka kakak beradik saling berhantam?”
Jarang sekali Kwe Hu melihat ibunya marah, ia menjadi takut, jawabnya dengan suara gemetar:
“Ya… ya, kuminta mereka jangan berkelahi tapi mereka tidak mau menurut Katanya akan berkelahi mati-matian, mereka menyatakan diantara mereka hanya akan pulang seorang saja, yang kalah, andaikan tidak mati juga takkan pulang Idgi untuk menemuiku.”
Oey Yong tambah gusar, ia pikir musuh berada di depan mata, jiwa segenap penduduk kota berada di ujung tanduk, tapi kedua saudara Bu itu masih sempat saling bunuh untuk berebut seorang nona. Saking gusarnya hingga mengganggu kandungannya yang sudah besar itu, seketika keringat dingin memenuhi dahinya.
“Tentu kau lagi yang mengacau.” kata Oey Yong dengan suara berat “coba ceritakan yang jelas, apa yang telah kau lakukan, sedikitpun tidak boleh dusta.”
Kwe Hu melirik sekejap ke arah Siao-Iiong-!i, mukanya berubah merah dan ragu-ragu untuk bicara.
Siao-liong-li sendiri lagi memikirkan Yo Ko dan tiada minat buat mendengarkan cerita tentang saling hantamnya kedua saudara Bu itu, segera ia mohon diri dan menuju ke kamar Yo Ko, sepanjang jalan ia terus merenungkan apa yang diuraikan Oey Yong tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar