Kembalinya Pendekar Rajawali 68
Kwe Ceng hanya bersuara lemah sekali dan
tidak menjawabnya. Waktu Yo Ko memeriksa pernapasannya, terasa napasnya cukap
keras, agaknya tidak menjadi soal sementara ini, hatinya terasa lega dan ia
sendiri lantas pingsan malah.
Entah berapa lama ia mendekap di atas kuda
dalam keadaan lelap, ketika mendadak dilihatnya di depan beribu-ribu perajurit
musuh mengadang pula hendak menangkap Kwe Cing, segera ia memutar pedangnya
sambil berteriak-teriak:
“Jangan mencelakai paman Kwe!” - ia memudar
pedangnya serabutan dan mendadak pandangannya menjadi samar-samar di sana-sini
banyak wajah orang yang sedang memperhatikannya, waktu ia mengawasi lebih
jelas, tiba-tiba sebuah wajah yang sangat dikenalnya tampak tersenyum padanya.
Siapa lagi dia kalau bukan Siaoliong li.
Yo Ko merasa sepeiti dalam mimpi saja,
serunya: “He, Kokoh, engkau juga berada disini. Lekas - lari, jangan pikirkan
diriku, Kwepepek, mana Kwe-pepek?”
“Tenanglah, Ko-ji, kau sudah pulang di sini,
Kwe-pepekmu juga selamat, jangan kuatir,” kata Siao-liong-li dengan suara
lembut
Sangat lega hati Yo Ko mendengar keterangan
itu, baru sekarang ia merasakan tubuhnya lemas lunglai, ruas tulangnya
seakan-akan terlepas semua, segera ia pejamkan mata pula.
Didengarnya suara Oey Yong sedang berkata:
“Dia sudah siuman dan tak beralangan lagi, engkau masih mengawasi dia di sini.”
Terdengar Siao-liong-li mengiakan, lalu Oey
Yong melangkah pergi. Tapi sebelum keluar kamar, tiba-tiba terdengar suara
kresek di atap ramah, air muka Oey Yong berubah, sekali ayun tangannya tiup
padam api lilin.
Yo Ko juga kaget dan cepat berduduk, dia cuma
terluka luar lantaran banyak mengeluarkan tenaga pula terlalu seIama daIam
pertempuran, sebab itulah dia jatuh pingsan. Tapi setelah istirahat sekian
lama, pula Oey Yong telah memberi obat mujarab buatan Tho-hoa-to. tenaganya
sudah pulih sebagian besar, maka begitu mendengar suara mencurigakan segera ia
berbangkit hendak menghadapi musuh.
Namun dalam keadaan gelap Siao-liong-li sudah
mengadang di depannya dengan pedang terhunus desisnya kepada Yo Ko: “jangan
bergerak, Ko-ji, kujaga kau di sini!”
Dalam pada itu terdengar suara gelak tertawa
seorang diatas rumah, katanya: “kedatangan ku adalah untuk menyampaikan surat,
tak kuduga bahwa menurut adat menerima tamu kalian adalah dalam keadaan gelap
gulita.” -
Dari suaranya dapat dikenali orang ini adalah
murid Kim-lun Hoat-ong, yakni pangeran Hotu.
“Menurut adat istiadat bangsa kami, menerima
tamu yang terhormat harus di tempat yang terang, untuk menghadapi tamu yang
suka main sembunyi paling baik dilakukan pada malam gelap gulita,” jawab Oey
Yong.
Seketika Hotu tak dapat berdebat lagi,
pelahan ia melompat turun ke pelataran dan berscru: “Sepucuk surat ini
diaturkan kepada: Kwe-Tayhiap.”
Oey Yong membuka pintu kamar dan menjawab:
“Baiklah, silakan masuk!”
Namun Hotu ragu-ragu karena kamar itu gelap
gulita, ia berdiri di luar kamar dan berkata pula: “lnilah suratnya, harap
diterima saja?”
“Kau mengaku sebagai tamu, mengapa tidak mau
masuk kemari?” tanya Oey Yong.
“Laki-laki sejati tidak sudi tersudut di
tempat berbahaya, perlu waspada kemungkinan di jebak” ujar Hotu.
“Huh, masakah ada laki-laki sejati mengukur
orang lain dengan jiwa rendah seorang pengecut?” jengek Oey Yong.
Muka Hotu menjadi merah, diam-diam ia
mengakui ketajaman mulut Oey Yong, kalau berdebat pasti bakal kalah, daripada
malu lebih baik mundur teratur saja. Maka ia tidak bicara pula, dengan
pandangan tajam ke arah pintu ia menyodorkan surat yang dibawanya itu.
Oey Yong menjulurkan pentung bambunya dan
mendadak menutuk kemuka orang, keruan Hotu terkejut dan cepat melompat mundur,
tahu-tahu tangannya terasa kosong, surat yang dipegangnya entah kabur kemana?
Kiranya ketika pentingnya menutuk, berbareng
Oey Yong terus memutar ujung pentung ke bawah untuk menyanggah surat yang
disodorkan Hotu itu, ketika Hotu melompat mundur, surat itu seperti meiengket
di ujung pentung dapat ditarik oleh Oey Yong. soalnya dia sedang hamil tua dan
tidak ingin menemui tamu, sebab itulah dia tidak mau berhadapan dengan musuh.
Setelah terkejut segera pula dia berubah
menjadi lesu, semangatnya yang menyala ketika memasuki Siangyang seketika
lenyap sebagian besar menghadapi kelihayan Oey Yong itu, segera ia berseru:
“Surat sudah kuserahkan sampai bertemu pula petang besok!”
Diam-diam Oey Yong mendongkol atas
kekurang-ajaran orang yang berani datang dan pergi sesukanya di kota Siangyang
mi, mendadak ia ambil poci teh yang terletak diatas meja itu, air teh yang
masih panas didalam poci itu terus dipancur-kan ke sana.
Sebenarnya sejak tadi Hotu sudah siap siaga
menghadapi segala kemungkinan kalau ada senjata rahasia menyambar keluar dari
dalam kamar, akan tetapi pancuran air teh panas itu datangnya tanpa suara
apa-apa, tiada suara mendenging seperti senjata rahasia tajam umum nya, maka
ketika dia mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu leher, dada dan lengannya
sudah basah kuyup oleh air teh yang panas itu, ia menjerit terkejut dan cepat
mengegos puja ke samping.
Namun Oey Yong sudah berdiri ditepi pintu
sebelum Hotu berdiri tegak, cepat pentung bambunya menjulur ke lengan gaya
“menjegal” dari Pakkau-pang-hoat (ilmu permainan pentung penggebuk anjing),
“plok”, ia sabet kaki Hotu hingga pangeran Mongol itu jatuh terjungkal.
Cepat Hctu melompat bangun, tapi gaya
menjegal pentung Oey Yong masih terus bekerja dengan cepat, belum lagi dia
berdiri sudah dirobohkan pula dan begitu seterusnya dia jatuh bangun hingga
kepala pusing tujuh keliling.
Sebenarnya ilmu silat Hotu tidaklah rendah,
kalau bertempur benar-benar dengan Oey Yong rasanya takkan dirobohkan secara
begitu mengenaskan walaupun kepandaiannya memang masih kalah tinggi dan dibawah
pangcu kaum jembel yang sedang hamil tua ini. Tapi lantaran mendadak dia
disembur air teh panas, dia mengira kena serangan obat berbisa yang sangat
lihay dan bisa jadi jiwanya akan melayang, kalau tertahan lebih lama dan air racun
itu bekerja, bukan mustahil badannya akan membusuk dan entah bagaimana dia akan
tersiksa.
Dalam keadaan kejut dan ragu-ragu itulah
mendadak Ui Yong menyerangnya pula, bahkan pentungnya menyambet ber-turut-urut
tanpa berhenti, sama sekali dia tidak sempat balas menyerang, keruan dalam
kegelapan itu ia jatuh bangun hingga hidung bocor kepala benjut.
Sementara kedua saudara Bu juga mendengar
keributan itu dan memburu tiba, segera Oey Yong menyuruh mereka meringkus Hotu.
Mendadak Hotu mendapat akal, ia tahu kalau
bangun lagi pasti akan di jegal jatuh pula, maka ia pura-pura menjerit dan
terbanting jatuh, padahal tubuhnya memang sudah kesakitan maka sekalian ia
lantas berbaring di situ untuk mengaso, Ketika kedua saudara Bu menubruk maju
hendak menawannya, sekonyong-konyong Hotu menjulurkan kipasnya dan sekaligus
tutuk Hiat-to kaki kedua orang, menyusul ia dorong tubuh kedua saudara Bu untuk
merintangi pentung Ui Yong, ia sendiri terus melompat ke sana dan naik ke atas
pagar tembok.
“Ui pangcu, lihay benar permainan pentung-mu,
tapi goblok amat anak didikmu!” serunya dengan tertawa.
“Huh, tubuhmu sudah terkena air beracun, mana
orang lain mau menyentuh tubuhmu?” jengek Oey Yong.
Seketika Hotu melengak kaget, ia merasa air
panas yang mengenai tubuhnya itu berbau teh, entah air racun macam apa?
Rupanya Oey Yong dapat menerka pikirannya, ia
berkata pula: “Kau terkena racun, tapi sama sekali kau tak tahu nama racunnya,
tentu matipun kau tidak rela, Baiklah, biar kuberitahukan, air racun itu
bernama Cu-ngo-kian-kut teh (teh pembusuk tulang sampai lohor).”
“Cu-ngo-kian-kut-teh?” Hotu mengulang istilah
itu..
“Benar,” ujar Oey Yong. “Setetes saja racun
itu mengenai tubuh, maka sekujur badan akan membusuk hingga kelihatan tulangnya
pada waktu Iohor. Nah, kau masih ada waktu beberapa jam, lekas pulang saja
untuk mengurus tempat kuburanmu.”
Hotu tahu Ui-pangcu dari Kay-pang ini
terkenal lihay dan
cerdik, bahwa dia mampu meracik obat racun
seperti apa yang
dikatakan itu memang tidak perlu disangsikan
lagi, seketika ia
menjadi termangu bingung, apa mesti pulang
menanti ajal
atau merendah diri untuk mohon obat
penawarnya?
Oey Yong juga tahu pangeran Mongol itu bukan
orang bodoh, tentang air racun segala hanya dapat menipunya sementara, lama2
tentu juga akan diketahui kebohongannya.
Maka ia lantas berkata pula. “Sebenarnya kita
tiada dendam apa-apa, kalau kata-katamu tidak kasar, tentu jiwamu takkan
melayang.”
Dari naga ucapan orang Hotu merasa ada
setitik sinar harapan untuk hidup, tanpa pikir harga diri lagi segera ia
melompat turun dari pagar tembok, ia memberi hormat dan berkata: “Ya,Cayhe-tadi
berlaku kasar padamu, mohon Oey- pangcu sudi memaafkan.”
Berdin di belakang pintu dapatlah Oey Yong
meraba secomot kotoran debu, lebih dulu ia ludahi dan dipelintir menjadi
butiran, Dengan pelahan ia selentikkan “obat pil” itu kepada Hotu sambil
feerkata: “Baiklah, lekas minum!”
Cepat Hotu menangkap “pil” itu dan tanpa
pikir terus ditelan mentah-mentah, walaupun rasanya agak pahit namun jiwa
selamat paling perlu, ia memberi hormat pula dan mengucapkan terima kasih
kepada Oey Yong, Kini ia sudah patah semangat ia mundur-mundur ke tepi pagar
tembok baru melompat ke atas dan angkat kaki.
Oey Yong menghela napas gegetun setelah Ho tu
pergi, dibukanya Hiat-to kedua saudara Bu yang terkutuk tadi. Teringat olehnya
kata-kata ejekan Hotu tadi, “Iihay sangat permainan pentung Ui-pangcu, tapi
goblok amat anak didikmu”, ia menjadi sedih melihat kedua saudara Bu. Meski
caranya menjatuhkan Hotu tadi tidak menggunakan tenaga, tapi perutnya terasa
rada sakit juga, ia duduk mengaso di kursi.
Sementara itu Siao-liong-li telah menyalakan
api lilin, Oey Yong coba membuka surat antaran Hotu itu dan dibacanya, Kiranya
surat itu dari Kim-lun Hoat ong yang menyatakan kagum atas ketangkasan Kwe
Ceng, yang dapat datang dan pergi di tengah pasukan Mongol itu, untuk itulah
Kim-lun Hoat-ong menyatakan hendak mengadakan kunjungan balasan ke Siangyang
besok.
Tentu saja Oey Yong terkejut, ia perlihatkan
surat itu kepada Yo Ko dan Siao-liang li- Katanya: “Meski tembok benteng Siangyang
sangat kuat, tapi sukar menahan tokoh-tokoh persilatan. Paman Kwe terluka
parah, akupun tidak mampu berbuat banyak, sedangkan musuh akan datang secara
benar-benar bagaimana baiknya nanti?”
“Paman Kwe…” belum lanjut ucapan Yo-Ko,
tiba-tiba dilihatnya Siao liong li melirik padanya dengan sinar mata yang
mengandung arti menyalahkannya menyelamatkan jiwa Kwe Ceng, seketika ia tidak
melanjutkan perkataannya.
Oey Yong menjadi curiga, ia tanya pula:
“Nona-Liong, kesehatan Ko-ji juga belum pulih, nanti terpaksa harus
mengandalkan engkau dan Cu Cu-liu, Cu-toako menghadapi kedatangan musuh.”
Siao-liong-li tidak biasa berdusta dan
ber-pura-pura, apa yang dipikirkan. itu pula yang dikatakan, dengan tak acuh ia
lantas menjawab: “Aku cuma melindungi Ko-ji seorang, mati-hidup orang lain
tiada sangkut paut dengan kami..”
Tentu saja Oey Yong bertambah heran, seketika
iapun tidak dapat bertanya lebih banyak, hanya dikatakan kepada Yo Ko: “Menurut
paman Kwe, semuanya berkat perjuanganmu.”
Teringat kepada maksudnya hendak membunuh Kwe
Ceng, Yo Ko merasa malu diri, jawabnya: “Ah siautit tidak becus hingga membikin
Kwe pepek terluka.”
“Kau sendiri istirahat dulu, kalau musuh
datangi jika tidak mampu melawan dengan tenaga dapatkah kita mengalahkan mereka
dengan akal,” ujar Oey Yong, Lalu ia berpaling kepada Siao-liontg-Ii “Nona
Liong, marilah ikut padaku, aku ingin bicara sebentar dengan kau.”
“Tapi dia…..” Siao-liong-li ragu-ragu
memandangi Yo Ko.
Sejak pulangnya anak muda itu, Siao-liong-li
terus menunggunya di situ, maka ia merasa berat meninggalkan anak muda itu.
“Musuh menyatakan akan datang besok, ku-yakin
malam ini pasti takkan terjadi sesuatu,” ujar Oey Yong, “Marilah ikut, apa yang
hendak kubicarakan ada hubungannya dengan Ko-ji.”
Siao-liong-li mengangguk. Lebih dulu ia
membisik beberapa pesan kepada Yo Ko, habis itu baru ikut Oey Yong keluar
kamar, Oey Yong membawanya ke kamarnya sendiri, letelab menutup pintu kamar
barulah ia berkata: “Nona Liong, kau bermaksud membunuh kami suami istri,
bukan?”
Walaupun watak siao-liong-li polos bersih,
tapi dia bukanlah orang bodoh, dia bertekad akan membunuh Kwe Cing dan Oey Yong
untuk menolong jiwa Yo Ko, kalau Oey Yong memancingnya dengan kata-kata mana
dapat mengelabuinya, tapi sekarang Oey Yong dapat meraba wataknya yang lugu,
tanpa tedeng aling-aling ia tanya secara langsung, Karuan Siao-liong-li menjadi
melengak dan menjawab dengan tergagap “Ka… kalian baik kepada kami, mengapa
kami…kami membunuh kalian?”
Melihat sikap orang, Oey Yong tambah yakin
akan dugaannya segera ia berkata pula: “Kau tidak perlu merahasiakannya lagi,
sudah kuketahui maksud kalian, Ko-ji menganggap kami yang membinasakan ayahnya,
maka dia ingin membunuh kami untuk menuntut balas, Kau suka kepada Ko-ji dan
hendak membantu terlaksana cita2nya itu.”
Karena isi hatinya dengan jitu kena dikatai,
dasar Siao-liong-li memang tidak bisa berdustai, seketika ia terdiam, sejenak
kemudian barulah ia menghela napas dan berkata:
“Sungguh aku tidak paham!”
“Tidak paham apa? tanya Oey Yong.
“Sebab apa tadi Ko ji menyelamatkan
Kwe-tayhiap dengan mati-matian, padahal dia sudah berjanji dengan Kim-lun
Hoat-ong akan membunuh Kwe- tayhiap,” kata Siao-liong-li.
Terkejut juga Oey Yong mendengar keterangan
itu, bahwa dia sudah menduga ada maksud jahat pada Yo Ko, tapi sama sekali tak
tersangka anak muda itu akan bersekongkol dengan pihak Mongol. Maka iapun
tenang-tenang saja dan berlagak sudah mengetahui semuanya, katanya: “Mungkin
dia melihat Kwe-tayhiap sangat baik hati padanya, akhirnya dia sendiri tidak
tega turun tangan.”
Siao-liong-li mensangguk, katanya dengan
sedih: “Urusan sudah telanjur begini, apa mau dikatakan lagi? Kalau dia tidak
memikirkan jiwanya sendiri, ya terserah padanya, Aku sudah tahu dia adalah
orang paling baik di dunia ini, dia lebih suka mati sendiri daripada mencelakai
musuhnya.”
Sekilas timbul beberapa pertanyaan dalam
benak Oey Yong, tapi sukar juga menarik kesimpulan dari arti ucapan
Siao-liong-li itu. Dilihatnya air muka si nona sangat sedih dan cemas,
sedapatnya iapun menghiburnya: “Tentang kematian ayah Ko-ji itu memang banyak
lika-likunya, biarlah kelak kita membicarakannya secara lebih jelas, Lukanya
tidak parah, setelah istirahat beberapa hari tentu akan sehat kembali, kau
tidak perlu berduka.”
Siao-liong-li memandangi Oey Yong dengan
termangu-mangu, sejenak kemudian mendadak air matanya bercucuran, katanya
dengan ter-gagap2: “Tapi… tapi jiwanya hanya… hanya tinggal tujuh hari, mana
mungkin istirahat lagi hehe… beberapa hari segala…”
“Jiwanya tinggal tujuh hari apa maksudmu?”
Oey Yong menegas dengan terkejut “Lekas jelaskan. kita pasti dapat
menolongnya.”
Siao-liong-li menggeleng pelahan, tapi
akhirnya ia menceritakan juga kejadian di Cui-sian-kok itu tentang cara
bagaimana Yo Ko terkena racun bunga cinta dan Kiu Jian-jio cuma memberinya
setengah butir pil Coat-ceng-tan serta memberi waktu 18 hari untuk membunuh Kwe
Ceng dan Oey Yong, habis itu baru setengah butir Coat-ceng-tan yang lain akan
diberikan lagi.
Diceritakan juga betapa tersiksanya apabila
racun bunga cinta itu mulai bekerja dan bahwa di dunia ini hanya tersisa
separoh Coat-ceng-tan itu yang dapat menolong jiwa Yo Ko.
Semakin kejut dan heran Oey Yong oleh cerita
itu, sama sekali tak terduga olehnya bahwa Kiu Jian-jiu itu tokoh Bu-Iim yang
terkenal belasan tahun yang lalu itu masih mempunyai seorang adik perempuan
serta membangkitkan malapetaka sehebat itu.
Setelah bercerita secara ringkas, akhirnya
Siao liong-li berkata: “Jadi umurnya tinggal tujuh hari lagi, seumpama malam
ini kalian suami-istri dapat dibunuh juga tak sempat lagi untuk kembali ke
Coat-ceng-kok, lalu untuk apa lagi kubikin celaka kalian? Tujuanku hanya
menolong Ko-ji, mengenai dendam kematian ayahnya segala aku tidak urus.”
SemuIa Oey Yong mengira maksud tujuan Yo-Ko
hanya ingin menuntut balas kematian ayahnya jtu, siapa tahu didalam urusan ini
masih banyak lika-liku soal lain, jika begitu berarti anak muda itu membunuh
diri kalau dia batalkan niatnya membunuh Kwe Ceng, sungguh luhur pengorbanan Yo
Ko yang tiada bandingannya ini.
Begitulah Oey Yong mondar mandir di dalam
kamar dengan bingung, betapapun cerdik pandainya, tak berdaya juga menghadapi
keadaan yang serba sulit ini ia pikir beberapa jam lagi musuh akan menyerbu
tiba secara besar-besaran, meski tadi ia menghibur Yo Ko agar jangan kuatir dan
bahwa dapat mengalahkan musuh dengan akal andaikan tidak mau melawannya dengan
kekuatan. Tapi bagaimana akalnya itu sungguh sukar diperoleh.
Bahwasanya Siao-liong-li hanya memikir dan
mencintai Yo Ko dengan setulus hatinya, sedangkan pikiran Oey Yong justeru
bercabang dua, setengahnya ia berikan kepada sang suami dan separuh lain
terbagi kepada anak perempuannya.
Yang dipikirkannya kini hanya “Bagaimana
caranya menyelamatkan kakak Cing dan anak Hu?”
Tiba-tiba terpikir olehnya: Kalau Ko-ji dapat
mengorbankan dirinya sendiri demi orang lain, mengapa aku tidak? Karena pikiran
ini, segera ia berpaling kepada Siao-liong-Ii dan berkata, dengan ikhlas: “Nona
Liong, aku mempunyai akal yang dapat menolong jiwa Ko-ji, apakah kau mau
menurut padaku?”
Saking girangnya tubuh Siao-liong-li sampai gemetar,
jawabnya “Biarpun aku harus…. harus matipun… Ai, sebenarnya matipun bukan
apa-apa bagiku, sekalipun berpuluh kali lebih susah daripada mati juga aku… aku
akan menurut.”
“Baik,” kata Oey Yong, “Urusan ini hanya kau
dan aku saja yang tahu, jangan sekali-sekali kau bocorkan kepada orang lain,
Ko-ji sekalipun tidak boleh kau beritahu. Kalau tidak semuanya akan gagal
total.”
Ber-uIang2 Siao-liong-li mengiakan lalu Oey
Yong berkata pula: “Jika musuh datang nanti, hendaklah kau dan Ko-ji melindungi
Kwe-tayhiap sekuat tenaga, bila bahaya ini sudah lalu, segera kuserahkan
kepalaku ini padamu dan Ko-ji dapat menggunakan kuda merah ke Coat-ceng-kok
untuk menukarkan sisa obat yang diperlukannya itu.
Siao-liong-li melengak, “Apa katamu?” ia
menegas karena belum paham apa maksudnya.
Dengan suara halus Oey Yong menjelaskan
“Cintamu kepada Ko-ji melebihi jiwamu sendiri, bukan? Asalkan dia selamat,
biarpun kau sendiri akan mati juga kau rela dan gembira, bukan?”
Ucapan Oey Yong dengan jitu mengenai lubuk
hati Siao liong-li, nona itu mengangguk dan berkata.
“Sebab serupa kau, akupun cinta kepada
suamiku,” ucap Oey Yong dengan tersenyum hambar. Kau tidak punya anak sehingga
tidak tahu perasaan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya sesungguhnya tidak
kurang daripada kasih sayang antara suami isteri. Aku cuma minta kau melindungi
keselamatan suami dan putriku, selebihnya apa lagi yang kuharapkan?”
Siao-liong-li berpikir sejenak, belum lagi ia
menjawab Oey Yong telah berkata pula: “Kalau kau mau bergabung dengan Ko-ji
tentu tidak sukar mengalahkan si gundul Kin lun Hoat-ong, Sudah beberapa kali
Ko-ji menolong jiwa kami suami istri, masakah sekali saja aku tak dapat
menolong jiwanya?
Kuda merah itu sehari dapat berlari ratusan
li, tidak sampai tiga hari tentu dapat mencapai Coatceng-kok, ingin kukatakan
padamu, Kiu Jian-li dan Nyo Khong semuanya mati ditanganku dan tiada sangkut
pautnya dengan Kwe-tayhiap. jika kepalaku sudah diserahkan, walaupun
masih belum puas tentu juga Kiu Jian-jio akan memberikan obatnya kepada Ko-ji.
selanjutnya kalian berdua semoga dapat
berjuang bagi negara dan bangsat andaikan tidak dapat dan ingin mengasingkan
diri dipegunungan sunyi juga aku merasa berterima kasih.”
Cukup tegas ucapan Oey Yong, kecuali itu
memang tiada jalan lain lagi, Beberapa hari terakhir ini Siao-liong-li selalu
memikirkan cara bagaimana akan membunuh Kwe Ceng dan Oey Yong untuk
menyelamatkan jiwa Yo Ko, tapi sekarang hal itu terucap dari mulut Oey Yong
sendiri, ia menjadi merasa tidak enak malah berulang-ulang ia menggeleng dan
berkata:
“Tidak, tidak bisa!”
Selagi Oey Yong hendak membujuknya lebih
lanjut, tiba-tiba terdengar Kwe Hu berseru di luar kamar “lbu, ibu! Engkau di
mana?”suaranya kedengaran gelisah dan bingung.
Oey Yong terkejut cepat ia menjawab: “Ada
urusan apa, Hu-ji?”
Kwe Hu mendorong pintu dan melangkah masuk,
tanpa pedulikan hadirnya Siao-lieng-li di situ, ia terus menubruk ke dalam
pelukan sang ibu dan berseru: “lbu, kedua kakak Bu
telah…” mendadak ia menangis dan tidak dapat
melanjutkan.
“Ada api lagi?” tanya Oey Yong sambil
mengerutkan dahi.
“Mereka . . . mereka kakak beradik telah
keluar… keluar
benteng untuk ber… berkelahi,” tutur Kwe Hu
dengan ter
sendat2.
“Berkelahi apa?” bentak Oey Yong dengan
bengis saking gusarnya. “Maksudmu mereka kakak beradik saling berhantam?”
Jarang sekali Kwe Hu melihat ibunya marah, ia
menjadi takut, jawabnya dengan suara gemetar:
“Ya… ya, kuminta mereka jangan berkelahi tapi
mereka tidak mau menurut Katanya akan berkelahi mati-matian, mereka menyatakan
diantara mereka hanya akan pulang seorang saja, yang kalah, andaikan tidak mati
juga takkan pulang Idgi untuk menemuiku.”
Oey Yong tambah gusar, ia pikir musuh berada
di depan mata, jiwa segenap penduduk kota berada di ujung tanduk, tapi kedua
saudara Bu itu masih sempat saling bunuh untuk berebut seorang nona. Saking
gusarnya hingga mengganggu kandungannya yang sudah besar itu, seketika keringat
dingin memenuhi dahinya.
“Tentu kau lagi yang mengacau.” kata Oey Yong
dengan suara berat “coba ceritakan yang jelas, apa yang telah kau lakukan,
sedikitpun tidak boleh dusta.”
Kwe Hu melirik sekejap ke arah Siao-Iiong-!i,
mukanya berubah merah dan ragu-ragu untuk bicara.
Siao-liong-li sendiri lagi memikirkan Yo Ko
dan tiada minat buat mendengarkan cerita tentang saling hantamnya kedua saudara
Bu itu, segera ia mohon diri dan menuju ke kamar Yo Ko, sepanjang jalan ia
terus merenungkan apa yang diuraikan Oey Yong tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar