Kembalinya Pendekar Rajawali 63
Waktu Kwe Ceng dan Oey Yong menuju ke ruangan
dalam.
Yo Ko masih berdiri kesima di balik pintu
sambil merenungkan ucapan Oey Yong: “Aku justeru menyesal tidak membunuhnya
lebih dini, ayahnya mati keracunan akibat memukul bahuku, kita sama ada maksud
membunuhnya, tapi akhirnya dia juga mati akibat diriku.”
Dari kata-kata itu jadi sudah jelas bahwa
ayahku memang tewas di tangan mereka berdua, hal ini tidak perlu diragukan
lagi, demikian pikir Yo Ko, Diam-diam iapun
merasa Oey Yong benar-benar maha lihay karena mencurigai dirinya, kalau malam
ini tidak turun tangan, mungkin kelak tiada kesempatan baik lagi. Begitulah ia
lantas berbaring lagi di tempat tidurnya dan menunggu sampai kembalinya Kwe
Ceng.
Setelah Kwe Ceng merebahkan diri dan memakai
selimut, didengarnya Yo Ko mengeluarkan suara mengorok pelahan.
Diam-diam ia pikir anak muda ini nyenyak
benar tidurnya.
Karena itu ia mapan tidur dengan pelahan,
kuatir kalau mengganggu Yo Ko. Selang tak lama, selagi layap-layap akan
terpulas, tiba-tiba terasa Yo Ko membalik tubuh dengan pelahan, tapi waktu
membalik tubuh tetap mengeluarkan suara mendengkur
Kwe Ceng melengak heran, umumnya orang tidur
kalau membalik tubuh tentu suara mendengkurnya akan berhenti mengapa pernapasan
bocah ini lain daripada yang lain, apakah mungkin latihan Lwekangnya mengalami
kesalahan? jika betul demikian bisa celaka.
Hati Kwe Ceng memang polos, sama sekali ia
tidak pernah menyangka Yo Ko sengaja pura-pura mendengkur Begitulah ketika Yo
Ko membalik tubuh pula pelahan dan melihat Kwe Ceng tetap diam saja, segera ia
mengeluarkan suara dengkuran lagi sambil turun dari tempat tidur. Semula ia
berniat menikam Kwe Ceng dalam selimut, tapi diurungkan karena merasa berbahaya
menyerangnya dari jarak dekat, kalau saja sebelum ajalnya Kwe Ceng membalas
sekali hantam, tentu jiwa sendiri juga akan melayang. Karena itu ia mengambil
keputusan turun tempat tidur dulu, begitu tikamannya mengenai tempat yang
mematikan segera ia akan melompat keluar jendela dan melarikan diri, Tapi iapun
kuatir kalau suara mendengkurnya berhenti mungkin akan menimbulkan curiga Kwe
Ceng jika dalam tidurnya itu merasakan sesuatu yang tidak beres maka sambil
turun dari tempat tidur ia tetap pura-pura ngorok.
Karena kelakuannya inilah membikin Kwe Ceng
semakin bingung, ia pikir jangan-jangan bocah ini mengidap penyakit “mimpi
berjalan” Kalau sekarang kubiarkan dia. Karena kagetnya bukan mustahil tenaga
dalamnya akan bergolak dan tersesat ke jalan yang keliru, itu berarti maut bagi
anak muda itu.
Karena itulah ia tidak berani bergerak dan
tetap pasang kuping untuk mengikuti gerak gerik Yo Ko.
Pelahan Yo Ko mengeluarkan belatinya
danbdigenggamnya kencang di depan dada, dengan hati-hati
ia mendekati tempat tidur, mendadak ia angkat
belatinya terus hendak ditikamkan ke ulu hati Kwe Ceng.
“Ko ji, kau mimpi buruk apa?” pada saat itu
juga mendadak Kwe Ceng berseru padanya dengan suara halus.
Sungguh kaget Yo Kotak terkatakan, begitu ke
dua kakinya menutul, secara membalik tubuhnya terus menerobos keluar jendela.
Akan tetapi kecepatannya tetap kalah cepat daripada Kwe Ceng sebelum dia
tancapkan kakinya di luar, tahu-tahu kedua bahunya sudah dipegang oleh kedua
tangan Kwe Ceng.
Seketika Yo Ko putus asa, ia tahu ilmu silat
sendiri sekali- kali bukan tandingan sang paman, melawan juga tiada gunanya,
maka ia cuma pejam mata dan menunggu ajal saja.
Tak terduga Kwe Cine terus mengangkat
tubuhnya dan melompat masuk pula ke dalam kamar, didudukkannya Yo Ko di tempat
tidur dalam posisi seperti orang lagi semadi.
Diam-diam Yo Ko heran, ia tidak tahu dengan
cara bagaimana dirinya akan disiksa oleh Kwe Ceng, Tiba-tiba teringat pada
Siao-liong-li, ia menarik napas panjang dan segera bermaksud berteriak
memperingatkan nona itu agar lekas melarikan diri.
Melihat si Yo Ko menghimpun tenaga, Kwe Ceng
semakin salah paham bahwa anak muda itu sedang menahan sakit.
Cepat ia gunakan tangannya untuk menahan
perut Yo Ko.
Mestinya Yo Ko hendak berteriak: tapi
perutnya ditekan sehingga sukar bersuara, sedangkan dalam hati menguatirkan
keadaan Siao-liong-li, ia menjadi kelabakan tapi perutnya ditahan oleh Kwe
Ceng, ingin merontapun tidak dapat.
Dengan pelahan kemudian Kwe Ceng berkata:
“Ko-ji, kau ter-buru-buru berlatih, akibatnya malah macet sebaiknya jangan
banyak bergerak, tenangkan pikiranmu, akan kubantu kau meredakan pergolakan
tenaga dalammu.”
Yo Ko tercengang heran karena tidak tahu apa
maksud ucapannya, ia hanya merasakan hawa hangat tersalur dari tangan sang
paman ke dalam perutnya dan terasa sangat menyegarkan.
Segera tahulah Yo Ko bahwa Kwe Ceng sedang
membantunya dengan Lwekang yang tinggi untuk melancarkan tenaga dalamnya.
Diam-diam ia merasa geli dan malu diri pula, Nyata sang paman salah sangka
latihan Lwekangnya tersesat sehingga kelakuannya seperti orang sinting.
Agar tidak menimbulkan curiga orang segera ia
mengerahkan tenaga dalam sendiri dan sengaja disalurkan kesana ke sini tanpa
teratur dan seperti sukar diatasi.
Tehtu saja Kwe Cmg bertambah kuatir, ia
kerahkan tenaganya lebih kuat untuk menghimpun tenaga dalam Yo Ko yang
terpencar itu. Karena Yo Ko sudah telanjur berlagak begitu mau-tak mau ia harus
berbuat supaya lebih sungguh-sungguh tampaknya. Dasar Lwekang si Yo Ko sekarang
sudah sangat tinggi, seketika Kwe Ceng kena dikelabui sampai agak lama barulah
ia berhasil melancarkan tenaga dalam si Yo Ko yang disangkanya nyasar itu.
Setelah kerja keras begitu, akhirnya Yo Ko
merasa kehabisan tenaga, Kwe Ceng juga merasa letih, kedua orang sama-sama,
bersemadi sehingga fajar barulah segar kembali.
“Sudah baik belum, Ko-ji?” tanya Kwe Ceng
dengan tersenyum. “Sungguh tak terduga bahwa tenaga dalammu sudah begini hebat,
hampir saja aku tidak sanggup menolong kau.”
Tahu bahwa sang paman tidak sayang
mengorbankan tenaga murninya demi untuk menolongnya mau - tak – mau hati Yo Ko
sangat terharu, katanya: “Terima kasih atas pertolongan Kwe-pepek, semalam aku
hampir saja celaka.”
Diam-diam Kwe Ceng bersyukur bahwa anak muda
ini tidak menyadari bahwa semalam dia telah angkat belati hendak menikamnya,
kalau tahu, tentu anak muda itu akan menyesal tak terhingga.
Nyata Kwe Ceng yang berhati jujur dan baik
budi itu tetap tidak mencurigai perbuatan Yo Ko itu, ia malahan kuatir kalau Yo
Ko mengetahui kejadian itu, maka sengaja membelokkan pembicaraan, katanya
segera: “Marilah kau ikut padaku keluar untuk mengontrol pertahanan pasukan
kita.”
Yo Ko mengiakan dan ikut keluar. Kedua orang
masing-masing menunggang kuda perang dan dilarikan keluar benteng kota.
“Ko-ji,” kata Kwe Ceng ditengah jalan,
“Lwe-kang kaum Coan-cin-pay adalah ilmu yang baik, meski kemajuannya lambat,
tapi jarang terjadi kemacetan. Kukira kuncinya sudah cukup kau pahami, nanti
kalau musuh sudah mundur akan kujelaskan lebih lanjut.”
“Baiklah, kumohon Kwe-pepek jangan
menceritakan kejadian semalam kepada bibi, kalau beliau tahu tentu akan
mentertawakan diriku yang mempelajari ilmu sesat dari Kokoh segala,” kata Yo
Ko.
“Teatu takkan kuceritakan,” kata Kwe Ceng.
“Padahal Kanghu nona Liong itupun bukan
kepandaian jelek, soalnya kau sendiri yang banyak memikirkan hal-hal lain dan
tidak dapat memusatkan pelajaranmu pada itu saja.”
Nyata ocehan Yo Ko telah berhasil membohongi
Kwe Cing sehingga tidak bercuriga sedikitpun, ia tahu bila urusan ini diketahui
Oey Yong, maka sukar akan mengelabuhi nyonya maha cerdik itu, ia merasa lega
setelah Kwe Ceng berjanji takkan memberitahukan kejadian semalam kepada Oey
Yong.
Begitulah kedua orang terus melarikan kuda
mereka ke barat kota, terlihat sebuah sungai kecil terbentang di kaki bukit
sana.
“Sungai ini bernama Tan-keh,” tutur Kwe Ceng,
“Konon dahulu Lau Pi pada jaman Sam-kok itu dikejar pasukan musuh sampai di
tepi sungai ini, Kuda yang ditunggangi Lau Pi bernama Tek-loh, menurut peramal
kuda, katanya kuda itu kurang baik bagi sang majikan. Tak terduga pada saat
gawat itulah sang kuda mampu melompat melintasi sungai kecil itu sehingga Lau
Pi lolos dari kejaran musuh dan selamatlah
jiwanya.” - Bicara sampai disini, tiba-tiba
ia turingat kepadar ayah Yo Ko, katanya pula dengan gegetun: “Sebenarnya
manusia juga sama dengan kuda yang bernama Tek-loh itu, baik atau buruk sukar
diramal, segala sepatu hanya bergatung pada ketentuan pikiran sekejap saja.”
Hati Yo Ko terkesiap, ia melirik Kwe Ceng
sekejap, tampaknya wajah sang paman mengunjuk rasa duka dan
menyesal, agaknya ucapan itu tidak sengaja
ditujukan kepadanya, Diam-diam ia membatin: “Meski tidak salah ucapannya, tapi
baik itu apakah, buruk itu apa pula? Kalian suami isteri telah mencelakai ayahku
apakah juga perbuatan baik?” - sesungguhnya ia sangat kagum terhadap tindak
tanduk Kwe Ceng, tapi bila ingat sang ayah
yang mati ditangan suami isteri itu, mau-tak-mau timbul rasa dendamnya.
Begitulah mereka terus melarikan kuda ke atas
sebuah bukit dan memandang jauh ke sana kelihatan air sungai Hansui mengalir
memanjang ke selatan, tertampak pula rakyat ber-kelompok-kelompok mengungsi
membanjiri Siangyang.
Sambil menuding kaum pengungsi itu, Kwe Ceng
berkata: “Pasukan Mongol pasti mengganas di perkampungan sana sehingga rakyat
jelata kita terpaksa mengungsi menyelamatkan diri, betapa kejamnya orang Mongol
sungguh menggemaskan.”
Pada saat itulah, tiba-tiba dilihatnya
rombongan pengungsi yang menuju pintu benteng itu ber-lari balik, tapi arus
pengungsi dari belakang masih terus membanjir tiba sehingga di luar kota
Siangyan seketika kacau balau dan hiruk pikuk.
Kwe Ceng terkejut, ia heran mengapa penjaga
pintu gerbang kota itu tidak membukakan pintu dan membiarkan kaum pengungsi itu
masuk.
Cepat ia melarikan kudanya ke sana, terlihat
lah satu regu pemanah berdiri di atas benteng dengan mementang busur menghadap
kaum pengungsi itu.
“Hai, ada apa kalian? Lekas membuka pintu!”
teriak Kwe Cing.
Melihat Kwe Ceng, perwira penjaga cepat
memerintahkan membuka pintu gerbang, dan membiarkan Kwe Ceng dan Yo Ko masuk.
“Rakyat dijagal secara kejam oleh musuh,
mengapa tidak membiarkan mereka masuk?” tegur Kwe Ceng.
Perwira piket itu menjawab: “Lu-tayswe
menguatirkan diantara kawanan ptngungsi ada mata2 musuh, maka betapapun mereka
dilarang masuk kota agar tidak menimbulkan bencana.”
“Andaikata betul ada satu-dua mata2 musuh.
Yang terselundup masuk juga tidak boleh mengakibatkan jiwa beribu-ribu rakyat
jelata menjadi korban?” ujar Kwe Ceng,
“Hayo lekas membuka pintu.”
“Sudah lama Kwe Ceng ikut berjasa
mempertahankan kota Siangyang, namanya sangat tersohor dan disegani kawan
maupun lawan, perwira itu tidak berani membantah perintahnya, terpaksa ia
membukakan pintu benteng disamping mengirim berita kepada Lu Bun-hoan.
Seketika terjadilah lautan manusia membanjir
ke dalam kota, ketika kawanan pengungsi itu hampir masuk kota semua, mendadak
dari jauh debu mengepul tinggi, pasukan
Mongol menyerbu tiba dari arah utara,
Perajurit Song segera siap siaga di belakang tembok benteng, terlihat di depan
pasukan Mongol itu didahului oleh suatu rombongan orang yang berpakaian compang
camping dan tangan membawa pentung dan sebagainya, tapi tiada sesuatu senjata
tajam betul-betul, cara berjalannya juga tidak teratur, rombongan kaum jembel
itu berteriak-teriak: “Jangan memanah, kami adalah rakyat Song!” - Dan pasukan
Mongol yang tangkas itu ternyata berlindung di belakang barisan rakyat itu.
Sejak Jengis Khan memang pasukan Mongol
selalu menggunakan siasat begitu, yakni memakai rakyat negara musuh sebagai
perisai untuk menyerbu kedudukan musuh, asalkan penjaga tidak tega hati dan
berhenti memanah, maka pasukan Mongol lantas menyerbu maju, Cara itu sangat
keji dan ganas, tapi lebih sering berhasil dengan baik, Begitulah maka
kelihatan barisan rakyat itu telah digiring pasukan Mongol dan dipaksa
mendekati benteng, makin lama makin dekat malahan sebagian sudah mulai memanjat
tangga.
Saat itu Lu Bun-hoan, panglima pertahanan
kota Siangyang, sedang berkeliling mengawasi penjagaan pasukannya, melihat keadaan
berbahaya, segera ia memberi perintah agar melepaskan panah, seketika
terjadilah hujan panah di tengah jerit tangis rakyat jelata yang jatuh
bergelimpangan, rakyat lainnya lantas membalik dan lari serawutan.
Namun merekapun menjadi mangsa perajurit Mongol
yang menabasnya dgn golok atau menusuknya dgn tumbak, barisan rakyat itu tetap
didesak agar menyerbu ke atas benteng.
Yo Ko berdiri di samping Kwe Ceng. gusar
sekali ia menyaksikan adegan menyedihkan itu.
“Panah! Pahahl” terdengar Lu Bun-hoan
berteriak-teriak pula memberi perintah. Segera suatu baris anak panah menyamber
lagi ke bawah.
“Hai berhenti! jangan salah membunuh orang
baik,” seru Kwe Ceng.
“Keadaan segawat ini, andaikan orang baik
juga terpaksa salah membunuhnya,” ujar Lu Bun-Hoan.
“Jangan, orang baik mana boleh salah
membunuhnya.” kata Kwe Ceng pula.
Tergetar hati Yo Ko, diam-diam ia menggumam:
“jangan salah membunuh orang baik, jangan salah membunuh orang baik.”
Mendadak Kwe Ceng berseru: “Hayo saudara2
anggota Kay-pang, ikut padaku!”
Segera ia berlari turun dari atas benteng, Yo
Ko juga akan ikut, tapi Kwe King berkata padanya: “Semalam kau kelihatan kurang
sehat, sebaiknya kau berjaga di sini saja untuk mengawasi keadaanku.”
Sebenarnya Yo Ko ingin ikut Kwe Ceng
menghajar prajurit Mongol yang kejam itu, ia tercengang mendengar ucapan Kwe
Ceng itu, tapi iapun tidak dapat berterus terang kejadian semalam, terpaksa ia
tetap tinggal di tempatnya dan menyaksikan Kwe Ceng memimpin suatu pasukan
tanpa seragam menerjang keluar benteng terus menyergap sayap kanan pasukan
Mongol.
Siasat pasukan Mongol yang “meminjam golok
untuk membunuh orang” adalah cara sekali bertindak mendapat dua hasil,
disamping menjagal bangsa Han juga dapat menggoyahkan hati pasukan Song, Tapi
mendadak terlihat Kwe Ceng memimpin pasukan menyerbu tiba, setiap orang
berkepandaian tinggi dan gagah berani.
Pasukan Mongol yang digiring barisan di
belakang itu lantas membagi pasukannya untuk menahan serbuan Kwe Cing itu.
Namun pasukan Kwe Ceng itu sebagian besar adalah jago-jago pilihan dari
Kay-pang, sebagian kecil lainnya adalah para ksatria yang sengaja datang ke
Siangyang untuk ikut berjuang, serentak mereka menyerbu maju sambil
berteriak-teriak, semangat tempur mereka yang menyala-nyala itu sudah membikin
pasukan Mongol merasa keder. Maka begitu kedua pihak bergebrak segera ratusan
perajurit Mongol dibinasakan.
Tampaknya pasukan Mongol itu sukar menahan
pasukan Kwe Ceng, tiba-tiba dari samping sana menerjang tiba pula pasukan
Mongol lain, Pasukan Mongol itu memang tangkas dan sudah terlatih, meski
barisan pejuang yang dipimpin Kwe Cing itu berilmu silat tinggi, seketika
merekapun sukar mengalahkan musuh, sementara itu barisan rakyat yang dipaksa
menyerbu ke benteng kota itu lantas berlari serabutan karena pasukan Mongol
yang menggiring mereka itu sebagian terpencar untuk menempur pasukan Kwe Ceng.
Pada saat itulah terdengar suara tiupan
tanduk disebelah timur sana, suara derapan kuda pasukan bergemuruh, dan pasukan
Jian-jin-tui (barisan ribuan orang, batalion) Mongol menerjang tiba, menyusul
dari sebelah barat kembali dua pasukan Jian-jin-tui menyerbu datang sehingga
rombongan Kwe Ceng itu terkurung di tengah.
Melihat betapa hebatnya pasukan Mongol itu,
saking jerinya Lu Bun-hoan menjadi bingung dan tidak berani mengirim pasukan
penolong.
Sambil berdiri di atas benteng, Yo Ko terus
merenungkan ucapan Kwe Ceng tadi: “jangan salah membunuh orang baik! jangan
salah membunuh orang baik?” sementara itu ia melihat sang paman terkepung rapat
oleh pasukan Mongol ia pikir: “Sebabnya Kwe-pepek terkepung musuh sekarang
adalah karena dia tidak mau salah membunuh orang baik-baik.
Padahal rakyat ini bukan sanak kadangnya,
tapi dia toh menyelamatkan mereka tanpa menghiraukan jiwa sendiri, Lantas apa
sebabnya dia mencelakai ayahku?”
Ia memandangi pertempuran sengit di luar
benteng itu, tapi dalam hati terus memikirkan teka-teki yang sukar
dipecahkan ini : “Dia dan ayah adalah saudara
angkat, dengan sendirinya hubungan mereka lain daripada yang lain, tapi
akhirnya toh Kwe-pepek mencelakai jiwa ayah, apakah ayahku memang orang busuk
yang sama sekali tak dapat diampuni?”
Selama hidup Yo Ko tidak pernah melihat
ayah-bundanya sendiri, sejak kecil ia membayangkan sang ayah adalah seorang
pendekar budiman, gagah berani, seorang lelaki sejati di dunia ini, kalau
mendadak dia disuruh mengakui ayahnya adalah orang busuk, betapapun dia tak
dapat terima.
Padahal samar-samar dalam lubuk hatinya sudah
lama terasa bahwa ayahnya jauh untuk dibandingkan Kwe-pepek, cuma setiap kali
kalau timbul pikiran demikian selalu ia menekannya sekuatnya dan sekarang
perasaan ini mau tak-mau timbul pula dalam benaknya.
Dalam pada itu medan perang di bawah sana
masih berlangsung dengan sengit, suara hiruk pikuk menggelegar menggetar bumi,
rombongan Kwe Ceng tampak menerjang kian kemari, tapi tetap sukar menembus
kepungan musuh.
Cu Cu-liu dan kedua saudara Bu masing-masing
siap memimpin suatu pasukan hendak keluar benteng untuk membantu, tiba-tiba
terdengar suara tiupan tanduk yang keras dan sahut menyahut, kembali empat
pasukan Jian jin-tui Mongol menerjang tiba pula.
Cara Kubilai mengatur pasukannya memang lain
daripada yang lain, asalkan pintu gerbang benteng dibuka untuk mengeluarkan
bala bantuan, maka pasukan Mongol yang sudah siap itu segera akan menyerbu
masuk kota.
Keruan Lu Bun-hoan kebat-kebit ketakutan,
cepat ia memberi perintah agar pintu gerbang jangan dibuka.
Diperintahkan pula dua regu perajurit khusus
berjaga di pintu gerbang, siapa yang berani membuka pintu segera akan
dibinasakannya.
Suasana diluar dan didalam benteng menjadi
kacau balau, macam-macam pikiran juga bertarung seru dalam benak Yo Ko,
sebentar ia berharap Kwe Ceng dilalap saja oleh pertempuran gaduh itu, lain
saat ia berharap pula agar sang paman berhasil mendobrak kepungan musuh.
Tiba-tiba kelihatan pasukan Mongol rada
kacau, beribu-ribu perajurit berkudanya tersiak mundur laksana gelombang surut,
dengan sebatang tumbak panjang Kwe Ceng memacu kudanya keluar dari kepungan
disertai barisan orang-orang gagah yang dipimpinnya itu, mereka terus menerjang
sampai di bawah tembok benteng, Ketika dekat pintu benteng, Kwe Cing terus
memutar balik berjaga di belakang pasukan, dimana tumbaknya menyamber, beberapa
perajurit dan perwira Mongol lantas terjungkal dari kudanya. Melihat betapa
lihaynya Kwe Ceng, seketika pasukan Mongol itu menahan kuda mereka dan tak
berani terlalu mendekat.
Pertahanan kota Siangyang boleh dikatakan
tiada artinya tanpa Kwe Ceng, maka Lu Bun-hoan menganggap Kwe Ceng sebagai
tulang punggungnya, ia sangat girang melihat Kwe Cing lolos dari kepungan musuh,
cepat ia berseru membuka pintu gerbang.
Tapi pintu gerbang itu hanya dibuka selebar
Satu-dua meter saja dan cuma cukup dimasuki suatu penunggang kuda saja, para
ksatria itu ber turut-urut lari ke arah pintu dan menyelinap masuk satu
persatu.
Melihat siasat mereka gagal total, pasukan
Mongol tidak tinggal diam, panji komando Kubilai tampak bergerak, dua
pasukannya lantas menyerbu tiba dari kanan-kiri pintu gerbang.
“Lekas masuk, Kwe-tayhiap, kita tidak
menunggu orang lain lagi!” seru Lu Bun-hoan kuatir.
Tapi sebelum seluruh anak buahnya selamat,
mana Kwe Cing mau masuk benteng lebih dulu, ia berbalik menerjang kembali ke
sana dan membinasakan dua jago Mongol yang mengudak paling dekat.
Namun pasukan besar sungguh seperti gelombang
samudera saja di medan perang itu, betapapun tinggi ilmu silat Kwe Ceng juga
sukar menahan terjangan pasukan besar itu.
Melihat keadaan sangat berbahaya, Cu Cu-liu
yang berdiri diatas benteng cepat menurunkan seutas tali panjang dan berseru:
“Naik ke sini, adik Kwe!”
Waktu menoleh, Kwe Ceng melihat anggota
Kay-pang yang terakhir sudah berhasil menyelinap masuk pintu gerbang, tapi ada
balasan perajurit Mongol sempat ikut menerjang kedalam, Segera regu penjaga
pintu sibuk menghalau musuh disamping berusaha menutup pintu gerbang sekuatnya!
perlahan-lahan daun pintu benteng yang tebalnya lebih, setengah meter itu
dapatlah dirapatkan.
Mendadak Kwe Ceng membentak keras-keras,
tumbaknya membinasakan seorang musuh, berbareng itu ia terus meloncat ke atas
dan berhasil berpegang pada tali yang dijulurkan Cu Cu-liu tadi
Dengan cepat Cu Cu-liu menarik talinya ke
atas, seketika tubuh Kwe Ceng terapung beberapa meter tingginya ke atas.
“Gunakan panah!” segera Ban-hu tiang pasukan
Mongol yang memimpin pertempuran itu memberi komando, dalam sekejap saja
be-n”bu2 anak panah terus menyamber ke arah Kwe Ceng.
Namun sebelumnya Kwe Ceng juga sudah
memperhitungkan kemungkinan ini,- ia sudah menanggalkan jubahnya, dengan tangan
kanan berpegangngan tali, tangan kiri memegang jubahnya terus diputar dan dikebutkan
sekuatnya laksana sebuah perisai raksasa. Hanya kuda tunggangannya tadi yang
menjadi korban, berpuluh anak panah bersarang di badan binatang itu hingga
mirip landak.
Cu Cu-liu terus menarik talinya dengan cepat
dari semakin tingginya Kwe Ceng terkerek ke atas, tampaknya tinggal beberapa
meter lagi dia akaa mencapai benteng, pada saat itulah tiba-tiba di tengah
pasukan MongoI itu muncul seorang Hwesio besar dengan berjubah kuning emas,
siapa lagi dia kalau bukan Kim-lum Hoat-ong.
Dari seorang perwira Mongol di sebelahnya
Hoat Ong mengambil busur dan panahnya, ia tahu kepandaian Cu Cu-liu dan Kwe
Ceng sangat tinggi kalau memanah mereka tentu tidak berhasil maka anak panah
yang dibidikkan itu justeru mengincar tali yang mengerek Kwe Ceng ke atas itu.
Tindakan Kim-lun Hoat-ong ini sungguh keji,
anak panah itu menyambar bagian tali yang sukar dicapai oleh Cu Cu-liu dan Kwe
Ceng sehingga kedua orang sukar menangkisnya.
Malahan Kim-lun Hoat-ong kuatir kalau kedua
orang itu mendadak menggunakan cara aneh untuk mematahkan serangannya, maka
cepat ia susulkan pula panah kedua dan ketiga, panah kedua mengincar Cu Cu-liu
dan panah ketiga mengarah Kwe Ceng.
“Plok”, dengan tepat panah pertama telah
mengenai tali sehingga putus, sedangkan panah kedua dan ketiga juga menyambar
secepat kilat ke arah sasarannya. Dan karena talinya putus, dengan sendirinya
tubuh Kwe Ceng anjlok ke bawah sehingga dia terluput dari panah ketiga,
sedangkan Cu Cu-liu merasa tangannya yang memegang tali itu mendadak menjadi
ringan, ia berseru kaget dan tahu-tahu panah kedua juga sudah menyambar tiba.
Panah ini kuat luar biasa, jelas pemanahnya
memiliki tenaga dalam yang lihay, Cu Cu-liu tahu di atas benteng penuh berjubel
orang, baginya tidak sulit untuk menghindar tapi akibatnya panah itu pasti akan
mengenai orang di belakangnya, Cepat ia gunakan dua jarinya untuk menyampuk
pelahan pada batang panah itu sehingga anak panah itu terjatuh ke bawah.
Sementara itu Kwe Ceng terkejut ketika merasa
tali yang mengereknya ke atas itu putus, ia tidak cidera sekalipun terjatuh ke
bawah benteng tapi terjeblos di tengah kepungan musuh sebesar itu, betapapun
sukar baginya untuk menerjang keluar.
Sementara itu pasukan musuh sudah berada di
depan pintu gerbang kota, kalau dari dalam benteng dikirim keluar bala bantuan,
kesempatan itu pasti akan digunakan pasukan Mongol untuk menyerbu ke dalam
kota.
Dalam keadaan demikian Kwe Ceng tidak dapat
berpikir banyak lagi, mendadak sebelah kakinya menutul dinding benteng sehingga
tubuhnya terapung ke atas, menyusul kaki yang lain memancal pula dan begitu
sejenisnya kedua kaki bergantian memanjat.
Ilmu “naik tangga langit” yang hebat ini
jarang yang bisa, andaikan bisa juga setiap panjatan itu hanya sanggup naik
satu-dua meter saja ke atas, tapi Kwe Ceng memanjat dinding benteng yang halus
licin itu, bahkan sekali naik dapat tiga-meter tingginya, sungguh kepandaian
yang luar biasa dan mengejutkan seketika suasana di atas dan di bawah benteng
menjadi sunyi senyap ber-ribu2 pasang mata sama memandang Kwe Ceng seorang..
Kim-lun Hoat-ong terperanjat akan kelihayan
Kwe Ceng itu, ia tahu ilmu naik tangga langit kekuatannya terletak pada
loncatan ke atas secara sekaligus, asal sedikit merandek dan kendur, langkah
selanjutnya menjadi sulit dan gagal. Maka cepat ia membidikkan panah pula ke
punggung Kwe Ceng, secepat kilat anak panah itu terus menyambar ke sasarannya.
“Jangan memanah!” serentak pasukan kedua
pihak sama berteriak. Rupanya mereka menjadi sangat kagum menyaksikan kehebatan
Kwe Ceng itu dan semua berharap dia akan dapat mencapai benteng dengan selamat
Meski pasukan Mongol itu adalah musuh, tapi merekapun menghormati ksatria dan
pahlawan gagah, serangan secara tidak jujur itu menimbulkan rasa ketidak adilan
mereka.
Ketika merasakan panah menyamber dari
belakang dengan kuat, diam-diam Kwe Ceng mengeluh, terpaksa ia membaliki tangan
untuk menyampuk panah. Sampukan ke belakang dengan tepat membuat panah itu
mencelat pergi, serentak bergemuruhlah sorak sorai pujian atas ketangkasan Kwe
Ceng itu. Akan tetapi di tengah suara riuh ramai itu pula tubuh Kwe Ceng telah
rada merandek, puncak benteng yang tertinggal beberapa meter lagi ternyata tak
dapat dicapainya lagi.
Ketika pasukan kedua pihak bertempur dengan
sengit, hati Yo Ko juga bertentangan seperti pertempuran di medan perang,
dilihatnya Kwe Ceng terancam bahaya, sekilas timbul beberapa kali pikiran Yo
Ko: “Dia adalah musuhku, harus kubunuh dia atau tidak?”
Waktu Kwe Ceng sudah hampir mencapai benteng,
asalkan Yo Ko menghantamnya sekali dari atas, dalam keadaan terapung di udara
Kwe Ceng pasti akan terluka dan jatuh binasa, Tapi sedikit ragu saja, Kwe Ceng
sudah terperosot lagi ke bawah oleh panah Kim-lun Hoat-ong, dalam keadaan
pikiran kacau, Yo Ko mendadak memegang kutungan tali ditangan Cu Cu-liu itu
terus menubruk ke bawah benteng dan syukur sebelah tangannya masih keburu
mencengkeram tangan Kwe Ceng.
Perubahan kejadian ini cepat luar biasa, tapi
Cu Cu-liu adalah murid It-teng Taysu, betapa cepat dan tangkas tindakannya,
tanpa ayal ia terus menarik sekuatnya kutungan tali yang masih ditangannya itu.
sekali sendal, segera Yo Ko dan Kwe Ceng terangkat ke atas, laksana dua ekor
burung raksasa kedua orang lantas melayang di udara?
Menyaksikan kejadian luar biasa itu, pasukan
kedua pihak seketika melongo kesima.
Dalam keadaan “terbang” di udara, Kwe Ceng
merasa penasaran kalau tidak dapat membalas kelicikan Hoat-ong tadi.
Dilihatnya” Hoat-ong sudah penteng busur dan hendak memanah lagi, maka begitu
dia tancapkan kaki di atas benteng, segera ia rebut busur dan panah dari
seorang perajurit, secepat kilat iapun lepaskan panah ke arah panah yang sudah
di bidikkan Hoat-ong itu, “Prak”, panah Kim-lun Hoat-ong tertembak patah
menjadi dua. Ketika Hoat-ong melengak kaget “creng”, tahu-tahu busur yang
dipegangnya juga patah, oleh panah berikutnya yang dilepaskan Kwe Ceng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar