Kembalinya Pendekar Rajawali 21
Orang
itu bersenjatakan ruyung besi, karena serangan Bu-siang itu, ia incar2 dengan
baik ruyungnya terus disebetkan ke bawah.
Ruyungnya
ini memang cukup berat, ditambah lagi tenaganya juga besar, sabetannya itupun
diincar dengan tepat sekaii, maka terdengarlah suara “trang” yang keras, belati
Bu-siang seketika terlepas dari tangan.
Waktu
itu Yo Ko masih merebah miring di atas mejanya, ia lihat Bu-siang melompat ke
samping, sedang tangan kirinya diangkat miring ke depan, segerapun Yo Ko
menduga imam yang diarah itu pasti tak mampu pertahankan goloknya.
Memang
betul, ketika Bu-siang membaliki tangannya lagi, dengan ilmu silat Ko-bong-pay
yang sangat hebat itu, tahu2 golok salah satu imam itu sudah kena disebutnya
dan bahkan dibarengi pula sekali membacok, tidak ampun lagi pundak imam itu
telah merasakan tajam goloknya sendiri.
Dengan
disertai caci maki, lekas2 imam itu melompat ke samping untuk merobek kain
bajunya buat membalut lukanya itu.
Sesudah
mendapatkan goIok, seketika semangat Bu-siang bertambah, tanpa ayal lagi ia
tempur lelaki yang memakai ruyung besi itu dengan sengit, Sedang seorang
lainnya adalah lelaki pendek kecil dan memakai senjata tumbak, iapun tidak
berpeluk tangan ia ikut terjun ke dalam pertempuran, tumbaknya bekerja cepat
menusuk ke sini sana untuk bantu kawannya, cuma dia tak berani terlalu
mendekati Bu-siang.
Ilmu
silat lelaki yang pakai ruyung itu ternyata sangat tinggi, setelah belasan jurus,
lambat laun Liok Bu-siang merasa kewalahan Agaknya lelaki itu mempunyai tingkat
yang tidak rendah di kalangan Bu-lim, hal ini terbukti gerak-geriknya ternyata
sangat beraturan, meski beberapa kali Bu-siang berbuat kesalahan dalam
serangannya, namun orang itu ternyata tidak mau terlalu mendesak dan gunakan
kesempatan itu untuk melukai Liok Bu-siang.
Sementara
itu imam tadi sudah selesai membalut lukanya, dengan tangan kosong ia menerjang
maju lagi.
“Darimana
datangnya perempuan keparat seperti kau ini, kenapa cara turun tanganmu begitu
keji ?” demikian dengan tangan menuding Bu-siang mencaci-maki, Habis ini,
begitu kepalanya menunduk, segera ia menyeruduk Liok Bu-siang dengan cepat.
“Celaka
!” diam2 Yo Ko berteriak demi dilihat keadaan pertarungan keempat orang diluar
itu.
Betul
saja dibawah berkelebatnya sinar senjata, punggung imam itu kembali merasakan
sekali bacokan lagi, bersamaan dengan itu tumbak si lelaki pendek itupun
menusuk sampai di belakang Liok- Bu-siang, sedang telapak tangan si lelaki kuat
tadipun sudah menghantam ke dada si gadis.
Karena
keadaan berbahaya itu, dengan cepat dua batu kecil disamber Yo Ko terus
ditumpukkan sekaligus, sambitannya ini ternyata sangat jitu, yang sebuat tepat
mengenai tumbak musuh hingga senjata ini terguncang pergi, sedang batu yang
lain kena pula pergelangan tangan lelaki kuat tadi.
Lelaki
itu ternyata sangat tinggi ilmu silatnya, meski tangan kanan kena sambitan batu
dan seketika lemas tak bertenaga, tapi telapak tangan yang lain masih bisa
bergerak secepat kilat dan mendadak dipukulkan lagi, maka terdengarlah suara
“plak”, dada Bu-siang kena digenjot dengan keras.
Keruan
Yo Ko terkejut Ya, bagaimanapun usia Yo Ko masih muda dan pengalamannya cetek,
sama sekali tak diduganya bahwa lelaki itu memiliki kepandaian lihay
“Lian-goan-siang-ciang” atau pukulan berganda secara susul-menyusul.
Ketika
pukulan kedua orang itu dilontarkan lekas2 Yo Ko melayang maju buat menolong
Liok Bu-siang, dengan sekali tarik saja ia dapat jambret baju leher lelaki itu,
lalu dengan tenaga raksasa nya terus dilempar pergi se-jauh2nya.
Tubuh
lelaki itu beratnya sedikitnya lebih dua ratus kati, tetapi oleh lemparan Yo Ko
ini, seketika ia ter-apung2 di udara untuk kemudian jatuh terbanting sejauh
beberapa tombak
Melihat
Yo Ko begini lihay, imam tadi dan si lelaki pendek menjadi jeri, Iekas2 mereka
membangunkan kawannya terus pergi tanpa berpaling lagi.
Kemudian
Yo Ko memeriksa keadaan Bu-siang, ia lihat muka si gadis pucat kuning, napasnya
sangat lemah, nyata lukanya tidak ringan. ia ulur sebelah tangan ke bahu orang
dengan maksud memayang Bu-siang supaya duduk kembali, siapa tahun tiba2
terdengar suara “gemerutuk” dua kali, suara saling gosoknya tl!ang, kiranya dua
tulang iga Bu-siang telah patah oleh hantaman lelaki tangkas tadi.
Sebenarnya
Bu-siang sudah jatuh pingsan, tapi karena terguncangnya tulang iga yang patah
hingga menimbulkan sakit hebat, saking sakitnya berbalik ia sadar dari
pingsannya itu, lalu ia merintih-rintih dengan kepala tunduk.
“Kenapa
? Apa sangat sakit ?” lekas2 Yo Ko bertanya.
Dalam
sakitnya sampai jidatnya Bu-siang penuh berkeringat kini mendengar pertanyaan
Yo Ko, keruan ia mendongkol.
“Masih
tanya, sudah tentu sangat sakit! demikian dengan mengertak gigi menahan sakit
dia mendamperat, “Hayo pondong aku ke dalam rumah !”
Yo
Ko tak membantah Iagi, ia pondong tubuh si nona, tapi tidak urung terjadi juga
guncangan hingga tulang iga yang patah itu kembali saling gosok hingga Bu-siang
kesakitan Iagi.
“Bagus
ya kau si Tolol setan alas, kau sengaja siksa aku, ya ?” demikian ia me-maki2.
“Dan, dimanakah ketiga orang tadi ?”
Nyata
pada waktu Yo Ko turun tangan menolongnya, waktu itu ia kebetulan jatuh semaput
oleh hantaman musuh, sebab itu tak diketahuinya “si Tolol” inilah yang telah
menolong jiwanya.
“Mereka
mengira kau sudah mati, maka mereka lantas pergi,” dengan tertawa Yo Ko
menjawab.
Mendengar
keterangan ini hati Bu-siang merasa lega.
“Apa
yang kau tertawa ?” damperatmya pula demi dilihatnya Yo Ko menyengir2. “Kau
kesenangan ya melihat aku kesakitan ?”
Mendengar
orang mendamperat dan memaki terus-menerus padanya, setiap kali orang memaki,
Yo Ko lantas teringat pada kejadian dahulu ketika dirinya didamperat
Siao-liong-li.
Selama
beberapa tahun ia hidup berdampingan dengan Siao-liong-Ii di dalam kuburan
Hoat-su-jin-bong, hari yang dilewatkannya itu dianggap masa yang paling
menyenangkan selama hidupnya, sungguhpun Siao-liong-Ii selalu mendamperatnya
dengan bengis, tapi karena, diketahuinya sang guru mengajarnya dengan sesungguh
hati, meski mendapat damperatan, toh tetap dirasakannya sangat senang.
Kini
karena tidak bisa ketemukan Siao-liong-li yang dia cari, tetapi kebetulan ada
seorang gadis lagi yang mendamperatnya dengan kata2 yang bengis, tanpa terasa
hati kecilnya lantas anggap orang sebagai duplikatnya Siao-liong-li sekedar pelipur
hati yang kosong, dengan demikian rasa deritanya menjadi sedikit berkurang.
Begitulah,
maka terhadap cacimaki Liok Bu-siang tadi, Yo Ko hanya tertawa saja tanpa
di-gubrisnya.
Melihat
wajah orang mengunjuk ketawa, Bu-siang teringat pada dirinya sendiri yang sudah
cacat, kini menderita luka parah pula, sebaliknya bocah angon ini meski kotor
namun seluruh anggota badannya dalam keadaan baik.
Memangnya
tabiat Bu-siang sudah ada kelainan, kini dalam keadaan luka ia menjadi iri
terhadap Yo Ko, ia gemas sekali bisa2 dengan sekali bacok hendak dibunuhnya Yo
Ko.
Yo
Ko pondong Bu-siang dan direbahkan di atas meja tadi, Karena gerakan merebahkan
itu, kembali tulang iganya yang patah itu berbunyi lagi saling gosok, saking
sakitnya Bu-siang men-jerit2 tak tahan. Dan justru waktu menjerit itu
pernapasannya menjadi tambah keras hingga menarik urat2 iganya, maka rasa
sakitnya menjadi lebih hebat lagi.
“Maukah
kusambungkan tulangmu yang patah ini ?” tanya Yo Ko kemudian.
“Anak
angon bau busuk, kau mampu sambung tulang apa ?” damperat Bu-siang.
“Pernah
anjing piaraanku yang borokan berkelahi dengan anjing tetangga dan tulang
kakinya patah tergigit, maka akulah yang sambungkan tuIangnya,” kata Yo Ko.
“Dan ada lagi, babi betina kepunyaan tetanggaku terbanting patah tulang iganya,
itupun aku yang menyambungkan tulangnya.”
Bu-siang
menjadi gusar karena dirinya disamakan dengan khewan, tetapi ia tak berani
berteriak sebab akan mengakibatkan rasa sakit, terpaksa dengan suara tertahan
ia mendamperat lagi: “Kurangajar, kau memaki aku sebagai anjing borokan dan
maki aku pula sebagai babi betina, Kau sendirilah yang anjing borokan dan babi
betina.”
“Tidak,
salah, seumpamanya babi, aku kan babi jantan,” sahut Yo Ko dengan tertawa,
“Lagipula, anjing borokan itupun betina, anjing jantan tak bisa borokan
kulitnya.”
Biasanya
Bu-siang sangat pintar bicara dan pandai adu mulut, tetapi karena rasa sakitnya
tidak kepalang setiap ia buka mulut, maka maksudnya balas makian orang itu ia
urungkan, terpaksa ia pejamkan mata dan menahan rasa sakit, ia tak gubris lagi
keceriwisan Yo Ko.
“Tahukah
kau, tulang anjing totokan itu lantas sembuh dalam beberapa hari saja sesudah
ku sambung, ketika berkelahi lagi dengan anjing tetangga, keadaannya seperti
tulangnya tak pernah patah,” demikian Yo Ko sengaja menerocos terus. “Eh, nona
Liok, bagaimana dengan kau, mau tidak akupun sambung tulangmu ?”
Dalam
keadaan kepepet, dalam hati Bu-siang berpikir juga: “Boleh jadi bocah angon
kotor ini betul2 bisa menyambung tulang, apa lagi disinipun tiada tabib, kalau
tiada yang mengobati aku, tentu aku akan mati konyol kesakitan.”
Tetapi
lantas terpikir lagi olehnya: “Tulang igaku yang putus, kalau dia menyambungkan
tulangku ini tentu tubuhku akan kelihatan, bukankah ini sangat memalukan ? Hm,
kalau dia tak bisa menyembuhkan Iuka2ku, biar kuhabiskan jiwaku bersama dia.
Dan kalau bisa sembuh, akupun tidak membiarkan seorang yang pernah melihat
tubuhku tetap hidup di jagat ini,”
Dasar
sifat Bu-siang memang sudah menyendiri karena penderitaannya sejak kecil pula
begitu lama ikut Li Bok-chiu hingga terpengaruh juga oleh sifat2
Jik-lian-sian-cu yang kejam dan enteng tangan, walaupun umurnya masih sedikit,
tapi dalam pikirannya penuh dengan angan2 yang keji.
Begitulah,
maka dengan suara rendah lalu ia berkata : “Baiklah, boleh coba kau
menyambungkan tulangku, sebenarnya kau bisa atau tidak ? jangan kau coba
membohongi aku, bocah angon busuk, awas kau !”
Yo
Ko menjadi senang melihat orang akhirnya menyerah Katanya dalam hati: “Jika
dalam keadaan begini aku tidak goda dia, mungkin selanjutnya tiada kesempatan
baik lagi.”
Oleh
karena itu, dengan lagak dingin saja dia berkata lagi: “Sewaktu babi betinanya
wak Ong tetanggaku itu patah tulang iganya, beribu kali anak gadisnya memohon
padaku dan beruntun memanggil aku seratus kali “engkoh yang baik” baru aku mau
menyambungkan tulangnya.”
“Cis,
cis, bocah angon busuk, cis… auuh…” damperat Bu-siang ber-ulang2, tetapi
mendadak ia menjerit karena dadanya terasa sakit pula.
“Kau
tak mau panggil aku, tak mengapalah,” kata Yo Ko dengan tertawa. “Nah, aku akan
pulang sajalah, nona Liok, selamat tinggal, sampai ketemu lagi.”
Sambil
bicara, betul saja Yo Ko lantas melangkah keluar pintu.
“Celaka,
dengan kepergiannya ini, pasti aku akan mampus kesakitan di sini,” demikian
pikir Bu-siang. Karena itu, terpaksa ia tanya dengan menahan amarahnya : “Lalu
apa yang kau kehendaki ?”
“Sebenarnya
kaupun harus panggil aku seratus kali “engkoh yang baik”, tetapi sepanjang
jalan aku sudah kenyang dicaci maki olehmu, maka kau harus panggil aku seribu
kali baru jadi,” sahut Yo Ko.
Betul2
Bu-siang mati kutu, “BIarlah kusanggupi semuanya, nanti kalau aku sudah sembuh,
satu persatu baru kubikin perhitungan padanya,”
Demikian
pikirnya diam2. Karena itu, segera ia menurut: “Baiklah, Engkoh yang baik,
engkoh yang baik, engkoh yang baik… auuh…”
“Sudahlah,
masih ada 997 kali, sementara ku catat saja sebagai utangmu, nanti kalau kau
sudah baik barulah dilunaskan lagi,” kata Yo Ko.
Habis
berkata, ia lantas mendekati Bu-siang terus hendak membuka bajunya.
Karena
kelakuan Yo Ko ini, tanpa terasa Bu-siang sedikit mengkeret dan membentak:
“Pergi, apa yang hendak kau lakukan ?”
Karena
bentakan itu, Yo Ko menyurut mundur. “Untuk menyambung tulangmu, kenapa bajumu
tak boleh dibuka ? Aku pernah dengar orang bilang ada ilmu “ke-san-pak-gu”
(memukul kerbau dari balik gunung), tetapi tak pernah mendengar ada ilmu
“ke-ih-ti-gu” (mengobati kerbau dari balik baju),” demikian katanya dengan
tertawa.
Mendengar
kata2 ini, Bu-siang merasa lucu juga akan kelakuannya tadi, tetapi kalau
dibiarkan orang membuka bajunya, sesungguhnya rada malu juga. Karena itu ia
menjadi ragu-ragu.
“Baiklah,
tak bisa kutolak kau,” katanya kemudian dengan kepala menunduk dan berpikir
lama.
“Kalau
kau tak mau disembuhkan boleh tak usah saja, akupun tidak kepingin…”
Baru
saja Yo Ko berkata sampai disini, mendadak didengarnya di luar sana ada suara
orang sedang berbicara : “Budak hina ini pasti berada di sekitar sini, kita
harus lekas menemukannya.”
Bu-siang
menjadi pucat lesi mendengar suara orang itu, dalam keadaan demikian rasa sakit
dadanya tak terpikir lagi olehnya, dengan cepat ia mendekap mulut Yo Ko yang
sedang berkata tadi
Kiranya
yang bicara di luar itu tidak lain dari pada Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu,
gurunya yang sangat ditakutinya itu.
Yo
Ko sendiripun sangat terkejut setelah dikenalnya suara siapa orang itu.
“Yang
menancap di punggung pengemis itu terang adalah “Gin-ko-to” milik Sumoay, cuma
sayang tak keburu kita mencabutnya buat mengenalinya lebih pasti,” demikian
terdengar suara seorang wanita lain. Orang ini dengan sendirinya Ang Ling-po
adanya.
Kiranya
sejak mereka guru dan murid terlolos dari kematian di Hoat-su-jin-bong,
kemudian mereka telah pulang ke Jik-keh-ceng yang menjadi kediamannya, di sana
diketahui bahwa Liok Bu-siang meninggalkan perkampungan mereka itu tanpa pamit,
bahkan sebuah kitab Li Bok-chiu, yaitu “Ngo-tok-pit-toan” (kitab rahasia
“Panca-bisa”) telah ikut dicuri juga.
Sebabnya
Li Bok-chiu disegani di seluruh jagat hingga tokoh2 Bu-lim pada jeri bila
mendengar namanya, titik pokoknya bukan karena ilmu silat-nya, tetapi pada bisa
jahat “Ngo-tok-sin-ciang” “pukulan sakti panca-bisa, yakni lima macam racun)
dan senjata “Peng-pek-gin-ciam” (jarum perak batu es).
Justru
kitab “Ngo-tok-pit-toan” itu memuat resep obat racun pembuatan jarum perak dan pukulan
saktinya yang berbisa itu dengan obat pemunahnya pula, kalau kitab itu teruar
di kalangan umum, lalu ditaruh kemana lagi nama baik dan wibawa
Jik-Iian-sian-cu yang disegani itu?
Li
Bok-chiu sendiri sudah apal di luar kepala semua isi kitab pusakanya itu,
dengan sendirinya tak perlu kitab itu selalu dibawa, pula penyimpanannya di
Jik-he-ceng sangat dirahasiakan siapa tahu Liok Bu-siang yang pintar dan
cerdik, segala apa selalu diperhatikannya hingga tempat penyimpanan benda2
rahasia gurunya telah diketahui olehnya, dan karena sudah ada niatannya hendak
melarikan diri, maka jarum perak berbisa dan obat pemunah sang guru, bahkan
kitab “Panca-bisa” itupun dicuri dan dibawa lari sekalian
Keruan
amarah Li Bok-chiu bukan buatan oleh perbuatan Liok Bu-siang itu, dengan
membawa Ang Ling-po, siang malam segera diubemya, Terapi sudah lama Bu-siang
kabur, pula yang ditempuh adalah jalanan kecil yang sepi, meski Li Bok-chiu
berdua sudah menguber dari utara sampai selatan dan dari selatan kembali ke
utara untuk mencegatnya, namun tetap tak kelihatan bayangan si gadis yang
dicari itu.
Kebetulan
juga malam hari itu, waktu mereka berdua sampai di sekitar kota Cingkoan,
mereka mendengar berita dari anak murid Kay-pang yang mengatakan bahwa ada
pertemuan golongan mereka di sesuatu tempat.
Li
Bok-chiu pikir anggota persatuan kaum pengemis itu tersebar di mana2, kabar
berita merekapun sangat cepat dan tajam, tentu diantara mereka ada yang pernah
melihat Liok Bu-siang. Oleh karena itu mereka berdua lantas pergi ke tempat pertemuan
itu dengan maksud mencari kabar.
Tetapi
di tengah jalan mereka telah ketemukan satu anak murid Kay-pang dari angkatan
ke-enam yang digendong lari oleh seorang kawannya dalam keadaan luka2, selain
itu ada belasan pengemis yang mengawalnya.
Dengan
kejelian mata Li Bok-chiu, sekilas dapat dilihatnya di punggung pengemis yang
di gendong itu menancap sebilah golok yang melengkung dan dapat dikenalinya
adalah “Gin-ko-to” atau golok perak melengkung milik Liok Bu-siang.
Oleh
karena tak ingin bikin onar dengan kaum pengemis yang berpengaruh besar itu,
maka diam2 Li Bok-chiu mengintil dari belakang untuk mengintai kebetulan lapat2
dapat didengar percakapan kawanan pengemis itu dalam keadaan marah2, katanya
yang melukai kawan mereka itu adalah seorang gadis pincang yang menimpukkan
golok melengkung itu.
Tentu
saja Li Bok-chiu sangat girang, ia pikir kalau pengemis itu baru saja dilukai,
tentu Liok Bu-siang masih berada juga di sekitar sini, Karena itu dengan
langkah cepat segera ia menguber lagi hingga sampai di depan rumah batu bobrok
itu.
Disini
tertampak olehnya ada segundukan abu bekas api unggun, hidungnya pun mengendus
bau darah yang anyir, lekas2 ia nyalakan api dan coba periksa sekitarnya, betul
saja di atas tanah diketemukannya lagi bekas2 noda darah yang masih baru,
terang sekali terjadinya pertarungan sengit itu belum lama berselang.
Dari
itu segera Li Bok-chiu tarik2 ujung baju sang murid sambil menuding ke arah
rumah bobrok itu.
Ang
Ling-po mengerti maksud sang guru, ia mengangguk habis itu pintu ramah yang
setengah tertutup itu ia dorong, dengan putar pedang untuk melindungi tubuhnya
segera ia terjang ke dalam.
Di
Iain pihak, demi mendengar, suara percakapan antara Suhu dan Sucinya, Bu-siang
insaf sekali ini tak luput lagi dari kematian, karena itu, ia malah kuatkan
hatinya dan berlaku tenang saja merebah untuk menantikan ajalnya.
Begitulah
ketika terdengar suara pintu didorong, menyusul satu bayangan orang menyelinap
masuk yang bukan lain adalah sang Suci - Ang Ling-po.
Sejak
kecil Bu-siang pandai ambil hatinya, maka terhadap sang Sumoay tidak jelek juga
kasih sayang Ang Ling-po. Sekali ini sang Sumoay telah melanggar peraturan
besar perguruannya, pasti gurunya akan siksa habis2an dengan macam2 cara yang
keji terhadap Bu-siang, habis itu sedikit demi sedikit baru dihukum mati, kini
nampak si gadis masih rebah di atas meja, segera Ang Ling-po angkat pedangnya
terus menusuk ke ulu hati sang sumoay, dengan demikian ia pikir anak dara ini
boleh terbebas dari segala siksaan guru mereka.
Siapa
duga, baru saja ujung pedangnya hampir menempel ulu hari Liok Bu-siang, tiba2
Li Bok-chiu telah tepuk pelahan pundaknya, karena ini, seketika Ling-Po
merasakan tangannya menjadi lemas tak bertenaga, segera pula tangannya melambai
ke bawah.
“Hm,
apa aku sendiri tak bisa membinasakan dia ? Perlu apa kau kesusu ?” kata Li
Bok-chiu dengan tertawa dingin. Habis ini ia berpaling dan ditujukan pada Liok
Bu-siang. “Hm, apa di hadapan Suhu kau tak melakukan penghormatan lagi?”
Tetapi
Bu-siang sudah teguhkan hatinya. “Hari ini aku sudah jatuh ke tangannya, baik
minta ampun atau membangkang pasti juga akan merasakan siksaan yang kejam,”
demikian pikirnya, Karena itu, dengan dingin saja ia jawab: “Keluarga kami
dengan kau sudah menanam dendam sedalam lautan, tidak perlu lagi kau banyak
bicara.”
Tetapi
Li Bok-chiu hanya pandang anak dara itu dengan diam, entah rasa suka atau duka
yang terkandung pada sorot matanya itu. sebaliknya Ang Ling-po memandangi sang
Sumoay dengan wajah yang penuh rasa duka dan kasihan, namun Bu-siang ternyata
tidak gentar sedikitpun oleh sikap sang guru itu, bibirnya sedikit terjibir,
tampaknya malah mengunjuk sikap yang angkuh dan menantang Dengan begitulah
mereka bertiga telah saling pandang.
“Mana
kitab itu, serahkan !” kata Li Bok-chiu kemudian sesudah terdiam agak lama.
“Sudah
direbut seorang Tosu (imam) dan seorang pengemis !” sahut Bu-siang.
Terkejut
sekali Li Bok-chiu oleh jawaban itu.
Dengan
kaum pengemis itu meski tak pernah Li Bok-chiu bermusuhan, tetapi dengan
“Coan-cin-kau” tidak sedikit dendamnya, iapun tahu antara Kay-pang dan
Coan-cin-kau mempunyai hubungan yang sangat rapat, kalau kitab
“Ngo-tok-pit-toan” itu sampai jatuh di tangan mereka, itulah sungguh celaka !
Sayup2
Bu-siang dapat mendengar suara tertawa dingin sang guru, ia tahu pasti orang sedang
memikirkan akal keji untuk siksa dirinya. jika waktu melarikan diri sepanjang
jalan selalu ketakutan ditangkap oleh gurunya, kini setelah betul2 tertangkap,
ia malah tidak begitu takut lagi seperti semuIa.
“Eh,
kemanakah si tolol itu telah pergi ?” demikian tiba2 ia jadi teringat pada Yo
Ko.
Dalam
keadaan jiwanya terancam maut ini, tanpa terasa timbul semacam perasaan hangat
terhadap bocah angon yang tolol dan kotor itu.
Pada
saat itu juga, mendadak ada berkelebatnya sinar api, menyusul mana dengan membawa
suara gedebukan tiba2 seekor banteng ngamuk menerjang masuk dari luar.
Waktu
Li Bok-chiu dan Ang Ling-po menoleh, maka tertampaklah seekor sapi jantan yang
tinggi besar telah menyerobot masuk, pada ujung tanduk kanan binatang itu
terikat sebilah belati dan sebelah tanduk yang lain terikat pula seikat kayu
dengan api yang me-nyala2.
Terjangan
binatang itu ternyata hebat sekali, walaupun ilmu silat Li Bok-chiu sangat
tinggi, tetapi tak berani juga ia menghadapi serudukan sapi jantan itu dari
depan, segera ia berkelit ke samping, ia lihat binatang itu mengitar sekali di
ruangan rumah itu, habis ini lantas berputar keluar lagi.
Tatkala
menerjang masuk sapi itu main seruduk seenaknya, waktu keluarpun berlari
secepat keranjingan setan, karenanya hanya sekejap saja sapi itu sudah lari
pergi sejauh belasan tombak.
Dengan
memandangi bayangan binatang itu mula2 Li Bok-chiu rada heran, tetapi segera
terpikir olehnya: “He, siapakah yang mengikat pisau dan kayu berapi itu di
tanduknya ?”
Waktu
mereka berpaling kembali, tanpa berjanji mereka - guru dan murid - menjerit
berbareng, ternyata Liok Bu-siang yang tadi masih rebah di atas meja itu, kini
sudah lenyap tanpa bekas.
Lekas
Ling-po menggeledah seluruh rumah bobrok itu, habis ini ia melompat lagi ke
atas atap rumah. sebaliknya Li Bok-chiu menduga pasti sapi tadi yang bikin
gara2, maka dengan sekali melayang, dengan enteng dan gesit segera diuber-nya
binatang itu.
Dalam
keadaan gelap itu, sinar api yang menyala pada tanduk sapi itu cukup jelas
kelihatan nyata binatang itu sudah menerobos masuk ke sebuah hutan, Dari sorot
api terlibat juga oleh Li Bok-chiu bahwa di atas punggung sapi itu tiada
penunggangnya, tampaknya Liok Bu-siang toh bukan kabur dengan menunggang sapi
Tetapi segera tergerak pikirannya: “Ah, tentu tadi ada orang yang sembunyi di
luar, sapi aneh itu digunakan untuk mengalihkan perhatianku dan dalam keadaan
kacau budak hina itu lantas ditolongnya pergi.”
Namun
seketika ia menjadi bingung karena tak tahu ke jurusan mana harus mengejar,
hanya langkahnya dia percepat hingga sebentar saja sapi jantan itu sudah dapat
disusulnya, Waktu ia melompat ke atas punggung binatang itu dan diperiksanya
teliti namun tiada menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan.
Kemudian
ia lompat turun dan tendang sekali bokong binatang itu, lalu dengan tekap bibir
ia bersuit memberi tanda pada Ang Ling-po, mereka lantas menguber lagi dari dua
jurusan, yang satu dari utara ke selatan dan yang lain dari barat ke timur.
Munculnya
sapi jantan itu dengan sendirinya adalah perbuatan si Yo Ko.
Tadi
begitu mendengar suara Li Bok-chiu berdua, diam2 ia mengeluyur keluar melalui
pintu belakang dan mengintip dari luar, mendengar satu kata saja segera ia tahu
Li Bok-chiu mau membunuh Liok Bu-siang.
Meski
Li Bok-chiu masih terhitung Supek atau “paman” guru Yo Ko sendiri namun
bencinya terhadap perempuan kejam itu sudah terlalu mendalam. Semula ia bingung
cara bagaimana harus menolong jiwa Liok Bu-siang, mendadak dilihatnya “dari
jauh sapi jantan yang kemarin itu sedang menguak tak bertuan, keruan saja ia
bergirang, ia ber-Iari2 memarani binatang itu, ia ikat belatinya Bu-siang dan
seikat kayu yang dinyatakan dulu tanduk sapi, ia sendiri terlentang menggempit
di bawah perut binatang itu, ia giring sapi itu menerjang ke dalam rumah.
Waktu
sapi itu berlari mengitari ruangan, tubuh Bu-siang telah disambernya dengan
masih tetap menggemblok sembunyi di bawah perut sapi. Dasar ilmu silat Yo Ko
sudah terlalu hebat, gerak-geriknya pun dilakukan dengan cepat sekali, ditambah
lagi rupa sapi jantan itupun aneh, maka sekalipun Li Bok-chiu luar biasa
lihaynya, sesaat itu ia kena dikelabui juga oleh Yo Ko.
Dan
ketika ia berhasil menyusul sapi jantan yang kabur itu, tatkala mana Yo Ko
sudah menyembunyikan diri diantara semak2 rumput sambil pondong Liok Bu-siang.
Sudah
tentu, karena guncangan hebat itu, rasa sakit Bu-siang menjadi melebihi
di-sayat2, cara bagaimana Yo Ko menolong dan cara membawa dirinya menggemblok
di bawah perut sapi dan cara bagaimana melompat turun dan sembunyi di semak
alang2, semuanya itu tak diketahuinya oleh karena keadaannya yang setengah
pingsan. Sesudah agak lama kemudian baru pikirannya sedikit pulih kembali,
dalam sakitnya segera ia hendak berteriak.
“Jangan
bersuara !” lekas2 Yo Ko dekap mulutnya sambil membisikinya.
Betul
saja lantas terdengar suara tindakan orang yang tidak jauh dari tempat sembunyi
mereka.
“He,
kenapa sekejap saja sudah tak kelihatan ?” itulah suaranya Ang Ling-po.
“Marilah
kita pergi saja, budak hina ini tentu sudah kabur jauh,” terdengar Li Bok-chiu
menyahut dari jauh.
Habis
itu lantas terdengar pula suara tindakan Ang Ling-po yang makin menjauh.
Saking
sesak oleh karena mulutnya ditutup rapat orang, segera Bu-siang meronta dan
hendak berteriak lagi, namun sedikitpun Yo Ko tak melepaskannya, tangannya
masih dekap kencang2 pada mulutnya.
Ketika
Bu-siang meronta lagi dan merasa dirinya berada dalam pelukan si pemuda, ia
menjadi malu tercampur gugup, segera ia bermaksud memukul orang, Namun
sebelumnya tiba2 terdengar Yo Ko membisikinya lagi: “Ssst, jangan kau tertipu,
gurumu sengaja akali kau !”
Baru
selesai ia bicara, betul saja lantas terdengar Li Bok-chiu lagi berkata: “Ah,
rupanya memang tiada di sini lagi.” - Begitu dekat suara nya se-akan2 berada di
samping mereka saja.
Keruan
Bu-siang terkejut “Untung ada si tolol ini, kalau tidak, tentu aku sudah
tertawan oIehnya.”
Kiranya
Li Bok-chiu memang cerdik, ia sangsi Bu-siang masih sembunyi di sekitar sini,
maka sengaja ia bilang pergi, padahal dengan ilmu entengi tubuh
“Chau-siang-hui” (terbang di atas rumput) diam2 ia putar kembali lagi tanpa
terbitkan sesuatu suarapun, dan karena ini hampir saja Bu-siang terjebak kalau
Yo Ko kurang cerdik.
Sesudah
Yo Ko pasang kuping mendengarkan, kemudian dapat diketahuinya Li Bok-chiu
berdua sekali ini betuI2 sudah pergi, barulah ia lepaskan tangannya yang
mendekap mulut si nona,
“Baiklah
sekarang tak perlu kuatir lagi.” dengan tertawa ia berkata.
“Lepaskan
aku,” bentak Bu-siang karena badannya masih dalam pelukan orang.
Maka
dengan pelahan Yo Ko meletakkan Bu-siang ke tanah rumput itu.
“Segera
juga kusambung tulangmu, kita harus lekas meninggalkan tempat ini, kalau sampai
fajar mendatang mungkin tak bisa meloloskan diri lagi,” katanya.
Bu-siang
manggut2 tanda setuju.
Karena
kuatir orang kesakitan pada waktu menyambung tulangnya dan me-ronta2 hingga
diketahui oleh Li Bok-chiu, segera Yo Ko tutuk dulu jalan darah Bu-siang hingga
gadis ini tak mampu berkutik, habis ini baru baju orang dibukanya. “Se-kaIi2
jangan bersuara,” demikian ia pesan, Sesudah baju luar dibuka, tertampaklah
baju dalam si gadis yang berwarna biru muda.
Tiba2
kedua tangan Yo Ko rada gemetar, tak berani ia membuka baju orang lebih jauh,
Waktu ia pandang si gadis, ia lihat Bu-siang pejamkan kedua matanya lengan alis
berkerut rapat
Dasar
Yo Ko memang baru menginjak masa remaja, ketika mencium bau wangi badan gadis,
tak tertahan jantungnya memukul keras.
“Sembuhkanlah
aku !” kata Bu-siang tiba-tiba sambil buka matanya, Hanya sepatah kata saja,
lalu ia pejamkan matanya pula dan berpaling ke jurusan lain.
Akan
tetapi Yo Ko berhenti lagi tak berani meraba badan orang ketika badan si gadis
yang putih halus tertampak olehnya, ia berdiri terpesona.
Karena
sudah lama menunggu, pula terasa angin silir menghembusi badannya yang sudah
terbuka hingga rada sejuk rasanya, tiba2 Bu-siang membuka matanya lagi hingga
kelakuan Yo Ko yang ter-mangu2 seperti patung itu dapat dilihatnya.
“A…apa
yang kau… kau lihat ?” bentaknya gusar.
Yo
Ko terkejut, lekas2 ia ulur tangan buat meraba tulang iga orang yang patah,
tetapi baru menyentuh kulit badan orang yang halus itu, Yo Ko merasa seperti
kena aliran listrik, tangannya cepat ditarik kembali lagi.
“Lekas
tutup matamu, jika kau pandang aku lagi segera ku… ku…” bentak Bu-siang puia
dengan suara ter-putus2, sampai disini tak tahan lagi air matanya lantas menetes.
“Ba…
baiklah, jangan kau menangis,” sahut Yo Ko gugup,
Habis
itu betul saja ia pejamkan matanya, lalu tangannya meraba lagi tulang iga
orang, di pasang dengan tepat kedua tulang iga yang patah itu, lalu baju si
gadis lekas2 ia tarik buat menutupi bagian badannya itu.
Sesudah
rada tenang perasaannya Yo Ko mendapatkan pula empat potong kayu, dua batang
diapit di bagian depan dada dan yang dua batang di punggung, dengan kulit pohon
yang dia beset ia pakai sebagai perban, lalu diikatnya dengan kencang supaya
tulang yang patah itu tidak tergeser lagi. Habis ini baru dia betulkan baju si
gadis dan lepaskan tutukannya tadi.
Waktu
Bu-siang pentang matanya, remangl ia lihat muka Yo Ko yang tersorot sinar bulan
bersemu merah dan dengan rasa kikuk2 sedang mengintip meliriknya, tetapi begitu
sinar mata kedua belah pihak kebentrok, dengan cepat Yo Ko melengos ke samping.
Meski
sekarang tulang iganya sudah tersambung betul, namun masih dirasakan sakit
jarem, cuma sudah jauh berkurang daripada rasa sakit waktu tulangnya saling
gosok hendak disambung tadi.
“Si
tolol ini ternyata punya sedikit kepandaian juga,” demikian ia pikir.
Sebenarnya
Bu-siang bukannya gadis bodoh, kini sudah dapat dilihat juga bahwa se-kali2 Yo
Ko bukan anak udik biasa, lebih2 bukan anak tolol segala, tetapi karena sejak
mula ia sudah perlakukan orang dengan caci maki dan pandang hina, kini meski
sudah ditolong ia tetap belum mau merubah sikapnya.
“Lalu
bagaimana baiknya sekarang, Tolol ?” demikian ia tanya, “Apa kita harus terpaku
disini atau harus menyingkir pergi yang jauh ?”
“Bagaimana
menurut kau ?” balas Yo Ko tanya.
“Sudah
tentu pergi saja, apa tunggu kematian di sini ?” sahut Bu-siang tertawa.
Keruan
girang sekali si gadis hingga ia tertawa riang.
“Tolol,
daerah Kanglam begitu jauh letaknya, apa bisa kau pondong aku terus sampai di
sana ?” ujar Bu-siang. walaupun berkata demikian, namun iapun tidak bantah lagi
dan membiarkan tubuhnya meringkuk dalam pelukan Yo Ko.
Karena
kuatir kepergok Li Bok-chiu berdua, maka jalan yang dipilih Yo Ko adalah jalanan
kecil yang sepi, Dasar Ginkang Yo Ko memang sudah sangat tinggi, meski
langkahnya cepat, namun bagian tubuh yang atas sedikitpun tidak ter-kocak
sehingga sama sekali Bu-siang tidak merasakan sakit lagi.
Begitu
cepat larinya Yo Ko hingga Bu-siang melihat pepohonan di tepi jalan berkelebat
lewat ke belakang, sungguh cepatnya seperti kuda balap, kalau dibandingkan
malahan Ginkang pemuda ini tidak dibawah gurunya, keruan diam2 Bu-siang sangat
heran dan terkejut.
“Ha,
kiranya si Tolol ini memiliki ilmu yang tinggi luar biasa, dengan umurnya
semuda ini, mengapa sudah dapat melatih diri sampai begini lihay ?” demikian ia
bertanya di dalam hati.
Sementara
itu hari sudah mulai terang, waktu “Bu-siam” menengadah ia lihat muka Yo Ko
meski kotor, namun tidak menutupi mata dan alisnya yang cukup jelas bukan anak
tolol sebagaimana dia anggap, melainkan pemuda yang ganteng.
Betapapun
juga hatinya tergerak, lambat laun iapun lupa rasa sakit di dadanya, selang tak
lama.
“Pergi
ke mana ?” tanya Yo Ko.
“Aku
mau pulang ke Kanglam, mau tidak kau antar aku ke sana ?” kata Bu-siang lagi.
“Aku
harus mencari Kokoh, tak dapat ku pergi begitu jauh”, sahut Yo Ko.
Mendengar
jawaban ini, tiba2 Bu-siang tarik muka.
“Baiklah,
kalau begitu lekas kau pergi ! Biarkan aku mati di sini saja,” demikian katanya
kemudian.
Kalau
si gadis ini memohon dengan kata2 halus dan membujuk umpamanya, dapat
dipastikan Yo Ko tidak nanti mau terima, tetapi kini melihat wajah orang
mengunjuk rasa gusar dan alisnya ter-kerut rapat, lapat2 memper sekali dengan
sikap Siao-Iiong-li diwaktu marah, tak tertahan ia lantas menerima baik
permintaan orang.
“Bisa
jadi Kokoh kebetulan juga berada di daerah Kanglam, biar kuantar nona Liok ini
ke sana, siapa tahu kalau Thian kasihan padaku dan berhasil ketemukan Kokoh di sana
?” demikian ia pikir, walaupun demikian, sebenarnya dalam hati ia cukup tahu
juga bahwa harapan itu terlalu kecil sekali, cuma tiada jalan buat menolak
permintaan Liok Bu-siang, maka pikirannya tadi boleh dibilang hanya untuk
menghibur dirinya sendiri saja.
Karena
itulah, sambil menghela napas, kemudian iapun pondong lagi tubuh Bu-siang.
“Untuk
apa kau pondong aku ?” bentak Bu-siang dengan gusar.
“Pondong
kau ke Kanglam,” sahut Yo Ko lagi, lapat2 iapun terpulas dalam pelukan Yo Ko.
Sampai
hari sudah terang benderang, akhirnya Yo Ko merasa letih juga, ia lari sampai
dibawah satu pohon besar, ia turunkan Bu-siang dengan pelahan dan ia sendiri
duduk di samping si gadis untuk mengaso.
Setelah
Bu-siang mendusin, dengan tersenyum manis tiba2 ia berkata pada Yo Ko : “Aku
lapar, kau lapar tidak ?”
“Sudah
tentu lapar,” sahut Yo Ko, “Baiklah, kita mencari kedai nasi untuk tangsal
perut.”
Lalu
ia pondong lagi si gadis, sudah sepanjang malam ia pondong orang, maka kedua
lengannya terasa pegal, maka tubuh si gadis ia angkat dan didudukkan di atas
pundaknya, dengan demikian ia melanjutkan perjalanan dengan pelahan.
“He,
Tolol, siapa namamu ?” tanya Bu-siang dengan tertawa sambil kedua kakinya
menggeduk-geduk dada Yo Ko. “Rasanya tidak baik di hadapan umum selalu kupanggil
kau si Tolol saja!”
“Memangnya
aku tiada nama lain, semua orang panggil aku si Tolol,” sahut Yo Ko.
“Hm,
tak percaya aku, tak mau kau katakan juga masa bodoh,” kata Bu-siang dengan
mendongkol “Kalau begitu, siapakah Suhumu ?”
,Mendengar
orang menyebut “Suhu”, karena terhadap Siao-liong-Ii luar biasa menghormatnya,
maka Yo Ko tak berani bergurau atas nama gurunya itu.
“Suhuku
adalah Kokoh,” demikan ia jawab dengan sungguh2
Atas
jawaban ini, Bu-siang mau percaya, “Kiranya ilmu silatnya ini adalah keturunan
keluarga sendiri,” demikian ia pikir.
“Dari
tempat mana dan aliran manakah Ko-kohmu itu ?” segera ia tanya pula.
“Tempatnya
di rumah,” sahut Yo Ko pura2 tolol “Dan aliran apa itulah aku tak tahu.”
“Hm,
pura2 bodoh kau,” omel si gadis. “Yang aku tanya yalah ilmu kepandaianmu itu
dipelajari dari pintu perguruan mana ?”
“Pintu?
Apa kau tanya pintu rumahku itu ?” sahut Yo Ko berlagak linglung, “Pintu itu
bukankah terbikin dari kayu ?”
Mendengar
jawaban yang tak keruan juntrung-nya ini, diam2 Bu-siang pikir: “Jangan2 orang
ini memang betul2 tolol, hanya karena terlahir bisa lari cepat dan bukannya
memiliki ilmu silat yang tinggi ? Tetapi salah juga, terang sekali ia mampu
menutuk dan menyambung tulang, sudah tentu dia adalah jagoan Bu-lim, jangan2
ilmu silatnya meski hebat, namun orangnya memang dasarnya dungu”.
BegituIah
Bu-siang berpikir dengan bingung, Kemudian dengan kata2 halus ia coba menanya
lagi: “Coba katakanlah baik2 padaku, tolol, sebab apakah kau menolong jiwaku ?”
Pertanyaan
ini seketika sulit dijawab Yo Ko, karena itu ia telah pikir sejenak, habis ini
baru ia berkata : “Kokoh suruh aku menolong kau, maka aku lantas menolong kau
!”
“Siapakah
kau punya Kokoh itu ?” tanya Bu-siang.
“Kokoh
ya Kokoh, dia suruh aku kerja apa lantas kukerjakan apa,” kata Yo Ko.
Si
gadis menghela napas lagi oleh jawaban yang tak genah ini, ia pikir : “Ah,
kiranya orang ini memang betul2 toloI.”
Dan
karena pikiran ini, rasa marahnya terhadap Yo Ko yang mulai timbul tadi, kini
mendadak berubah lagi menjadi jemu dan gemas.
Melihat
orang terdiam, tiba2 Yo Ko malah tanya : “Hei, kenapa kan tak bicara lagi ?”
Bu-siang
tak menjawab, ia hanya menjengek saja sekali, Karena itu Yo Ko mengulangi pula
pertanyaannya,
Kalau
aku tak suka bicara lantas tak bicara, tahu, Tolol ? Lekas kau tutup mulut !”
bentak Bu siang tiba-tiba.
Yo
Ko pikir wajah orang dalam keadaan muring2 demikian tentu enak sekali
dipandang, tetapi si nona duduk di atas pundaknya, maka sukar dilihat, diam2 ia
merasa sayang.
Begitulah
sambil bicara itu, kemudian tibalah mereka di suatu kota kecil.
Melihat
cara sepasang muda-mudi ini, yaitu Bu-siang didukung dengan duduk di atas
pundak Yo Ko, semua orang di jalan sama ter-heran2. Akan tetapi Yo Ko tak
peduli, ia mencari satu restoran dan minta disediakan daharan, mereka duduk
berhadapan
Mendadak
Bu-siang mengkerut kening ketika terendus olehnya bau tapi sapi yang menghembus
keluar dari badan Yo Ko.
“He,
Tolol, kau duduk ke meja sana saja, jangan duduk semeja dengan aku,” katanya
pada si pemuda dengan sikap mual.
Yo
Ko tidak membantah, dengan tertawa ia duduk ke meja yang lain.
Walaupun
demikian, melihat duduk orang masih menghadap ke arahnya, makin dipandang
tampang tolol orang semakin menjemukan, maka dengan tarik muka Bu-siang berkata
lagi: “Jangan kau pandang aku,” habis ini ia menuding meja yang lebih jauh
letaknya dan menyambung : “Sana, pindah ke meja itu !”
Yo
Ko menurut, dengan tertawa sambil membawa mangkok nasinya ia malah pindah ke
ambang pintu dan duduk di sana lalu makan nasinya.
“Nah,
begitulah seharusnya,” kata Bu-siang.
Sungguhpun
perut si gadis terasa lapar, tapi dadanya terasa sakit oleh tulang yang patah
itu, ia menjadi uring2an dan maunya melampiaskan marah2nya pada Yo Ko saja,
tetapi karena orang sudah duduk begitu jauh, ia tak ada alasan lagi untuk
mem-bentak2 atau mengomel padanya.
Begitulah
selagi ia kesel sekali, tiba2 didengarnya di luar pintu sana ada suara orang
ber-dendang : “Nona cilik berlakulah murah hati.”
Habis
ini ada seorang lagi terus menyambung: “Sedekahlah semangkok nasi pada si
pengemis !”
Waktu
Bu-siang angkat kepalanya, terlihatlah empat pengemis berdiri sejajar di luar
pintu, ada yang tinggi, ada yang pendek, semuanya sedang memandang ke arahnya.
Karena
dia pernah melukai seorang pengemis dengan senjatanya “Gin-ko-to” atau golok
perak melengkung, kini nampak kedatangan empat orang ini tidak mengandung
maksud baik, diam2 ia terkejut.
Sementara
itu ia dengar orang ketiga dari pengemis2 itu sedang menyambung dendangan
kawannya tadi: “Jalan ke sorga tidak kau tempuh !” Lalu orang keempat lantas
menyambung juga : “Neraka tak berpintu hendak kau masuki!”
Begitulah
lagu yang dinyanyikan keempat pengemis itu adalah lagu minta2 yang biasa
disuara-kan kaum pengemis, Pada tangan kanan tiap2 pengemis itu membawa sebuah
mangkok rusak dan tangan kiri mencekal sepotong kayu yang masih berkulit,
pundak mereka masing2 menggendong 6 buah kantong goni.
Melihat
dandanan pengemis2 ini, teringat oleh Bu-siang apa yang pernah dia dengar dari
cerita sang Suci - Ang Ling-po, bahwa anggota Kay-pang mem-beda2kan tingkatan
dengan menghitung kantong goni yang digendong mereka, melihat empat pengemis
yang membawa 6 kantong ini, maka dapatlah diketahui mereka adalah anak murid 6
kantong yang tergolong tinggi tingkatannya dalam Kay-pang.
Pengaruh
Kay-pang di daerah utara dan selatan sungai - Yangce - waktu itu sangat besar,
maka demi nampak sekaligus didatangi empat jago2 Kay-pang berkantong 6, kuasa
hotel lantas tahu bakal terjadi peristiwa besar, keruan ia menjadi gugup dan
tegang, Iekas2 ia memberi tanda pada kawan2 pelayannya dan suruh mereka sekali2
jangan membikin marah tokoh2 Kay-pang itu.
Di
samping Iain Liok Bu-siang tidak lagi memandang empat pengemis itu, ia hanya
pandang daharan yang berada di mejanya, sedang dalam hati ia memikirkan
tipu-daya untuk meloloskan diri, Tetapi musuh ada empat orang, dirinya sendiri
terluka, sedang si Tolol itu apa betul2 pandai ilmu silat masih sukar
dipastikan sekalipun betul bisa silat, namun kelakuannya gila-gilaan tak genah,
tidak nanti tinggi ilmu silatnya dan susah juga melawan empat jagoan Kay-pang.
Begitulah
meski Bu-siang biasanya sangat pintar dan cerdik, kini terasa tak berdaya juga
seketika.
Sebaliknya
Yo Ko lagi sibuk urusi isi mangkoknya dan sama sekali tidak ambil pusing
terhadap empat pengemis itu, sehabis “langsir” isi se mangkok ke dalam
perutnya, ia mendekati mejanya Bu-siang dan tambah nasi lagi semangkok penuh,
berbareng itu ia samber sepotong ikan (laut), karena ikan itu masak kuah, maka
airnya menetes-netes di atas meja.
“Hehe,
makan ikan !” dengan ke-tawa2 tolol ia berkata.
Melihat
rupa orang, alis Bu-siang terkerut terlebih rapat, tetapi kini tiada banyak
tempo lagi buat mendamperat orang, sebab terdengar olehnya keempat pengemis
tadi sesudah melagukan “si nona cilik” tadi secara sambung-menyambung hingga
berulang tiga kali, empat pasang mata merekapun terus membelalak ke arahnya.
Oleh
karena masih belum mendapatkan sesuatu akal untuk melayani orang, terpaksa
Bu-siang pura2 tidak dengar saja dan dengan kepala menunduk menyumpit nasinya
dengan pelahan.
“Nona
cilik, jika semangkok nasi saja tak kau beri, maka harap memberi sedekah
sebilah golok lengkung saja,” kata seorang diantara pengemis itu tiba2, rupanya
mereka sudah tak sabar.
“Marilah
kau ikut bersama kami, takkan kami persulit kau, kami hanya ingin tanya duduknya
perkara dan tentu ada keputusan secara adil,” demikian kata yang lain pula.
Selang
tak lama, pengemis yang ketiga pun mendesak lagi: “Hayo, lekaslah, apa perlu
kami gunakan kekerasan ?”
Dalam
keadaan demikian Bu-siang menjadi serba salah, ia tidak tahu apa harus menjawab
atau tidak.
“Tidak
nanti kami minta2 secara paksa dan empat laki2 menghina seorang nona cilik,
kami hanya ingin kau ikut pergi untuk menimbang siapa kiranya di pihak yang
benar,” akhirnya pengemis yang keempat pun ikut berkata.
Mendengar
lagu suara orang, Bu-siang insaf sebentar lagi tentu pakai kekerasan, meski
tahu tak ungkulan, namun tak bisa mandah menerima kematian, maka dengan tangan
kiri memegang bangku ia, tunggu bila lawan berani maju, segera dengan bangku
itu akan kuhantamkan dahulu kepada musuh.
“Sudah
tiba waktunya kini,” demikian Yo Ko juga sedang pikir, Kemudian ia mendekati
meja Bu-siang lagi, ia angkat piring ikan orang untuk mengambil lauk-pauk.
“Ah
aku minta kuahnya,” demikian dengan samar2 ia bicara karena mulutnya sedang
mengunyah sepotong ikan dengan lezatnya.
Sembari
berkata, piring ikan yang dia angkat tadi sengaja ia miringkan hingga setengah
mangkok kuah yang masih panas tertuang semua di atas lengan Bu-siang.
Karena
kejadian ini, tiba2 Bu-siang berpaling dan menggeser sedikit tubuhnya untuk
periksa kuah yang menuang badannya itu.
“Ai,
celaka !” seru Yo Ko pura2 kaget, habis ini ia berlagak kelabakan hendak
membersihkan noda kuah itu, Pada saat itu juga, dengan sedikit miringkan
mukanya keluar, tiba2 ia menguap terus menyemprot hingga belasan duri tulang
ikan yang tajam menyamber keluar dengan cepat ke arah keempat pengemis tadi.
Sama
sekali keempat pengemis itu tidak menduga akan kejadian ini, sedikitpun mereka
tidak nampak jelas atau tiba2 siku mereka tempat “kiok-ti-hiat” terasa
kesemutan, lalu terdengar suara gedubrakan, empat mangkok mereka yang bobrok
itu terbanting ke lantai hingga pecah berantakan be-himpun empat pentung kayu
mereka.
Sementara
itu dengan bajunya yang sudah rombeng Yo Ko tiada hentinya menyeka air kuah
yang menuang lengan Bu-siang tadi sambil dengan ter-putus2 ia berkata: “Ja…
jangan kau marah, aku… aku bersihkan kau.”
“Pergi!”
mendadak Bu-siang membentak.
Ketika
ia menoleh kembali untuk melihat keempat pengemis tadi menghilang di simpang
jalan raya sana, sedang empat pentung dan mangkok yang sudah pecah berantakan
terserak di lantai Bu-siang menjadi ragu2 dan heran oleh kelakuan pengemis2
itu, mengapa tanpa sebab lantas pergi begitu saja ?
Dalam
pada itu ia lihat Yo Ko dengan kedua tangannya yang kotor dengan kuah ikan dan
air sayur lainnya masih mengusap dan menyeka serabutan di atas meja, ia menjadi
marah dan men-damperat lagi. “Pergi menyingkir apa kau kira tak kotor ?”
“Ya,
ya !” sahut Yo Ko ber-ulang2 sambil kedua tangannya menggosok2 bajunya untuk
menghilangkan kotorannya.
“Cara
bagaimanakah keempat pengemis itu pergi ?” tanya Bu-siang kemudian sambil
mengkerut kening.
“Tentunya
karena nona tak mau memberi sedekah, toh tiada gunanya minta2 terus, maka
mereka lantas pergi,” ujar Yo Ko.
Si
gadis ber-pikir2 sejenak lagi dan tetap tak diketahui apa sebabnya, Lalu ia
ambil serenceng uang perak dan suruh Yo Ko membeli seekor keledai sesudah bayar
uang daharan, dia lantas menunggang keledai yang baru dibeli ini untuk
berangkat.
Tetapi
tulang iga dekat dadanya yang patah itu belum sembuh, maka baru saja ia naik,
terasa lah sakit sekali sampai mukanya putih pucat.
“Sayang
aku terlalu kotor lagi bau, kalau tidak, boleh juga kudukung kau di atas
pundak”, demikian kata Yo Ko.
“Hm,
omong yang tidak2,” Bu-siang menjengek berbareng ia tarik tali kendali
menjalankan keledainya.
Siapa
duga binatang itu ternyata sangat bandel, tabiatnya pun buruk, bukannya ia
jalan ke depan, sebaliknya tubuhnya me-nyirik2 minggir hingga mepet tembok
bahkan badan Bu-siang di-gosok2kan lagi pada tembok itu.
Memaognya
Bu-siang masih lemas karena luka, keruan ia berteriak kaget dan terbanting
jatuh. Untung ilmu silatnya cukup hebat, begitu sebelah kakinya menginjak
tanah, dengan segera ia bisa berdiri tegak, cuma ia menjadi kesakitan lagi
lukanya
“Sudah
terang kau lihat aku jatuh terbanting kenapa kau tidak memayang diriku ?”
dengan gusar ia melampiaskan rasa dongkolnya pada Yo Ko.
“Bu….
bukankah badanku kotor!” sahut Yo Ko,
“Apa
kau tak bisa cuci dulu ?” kata Bu-siang lagi
Yo
Ko tidak menjawab melainkan nyengir saja.
“Lekas
kau dukung aku ke atas keledai,” bentak si gadis pula.
Yo
Ko menurut, ia menaikkan ke punggung keledai Tetapi begitu merasa punggungnya
ada penunggang, segera keledai itu hendak main gila.
“Lekas
kau tuntun keledai ini,” kata Bu-siang.
“Ti…
tidak, aku takut didepak olehnya.” sahut Yo Ko.
Bu-siang
menjadi dongkol “Kurangajar si tolol ini, bilang dia tolol nyatanya dia tidak
tolol, bilang tidak ia justru tolol, sudah terang maksudnya ingin memondong
diriku,” demikian pikirnya.
Karena
terpaksa, akhirnya ia berkata lagi: “Baiklah, kaupun menunggang ke atas sini.”
“Nah,
kau sendiri yang suruh aku, tapi jangan kau bilang aku kotor, lalu mendamperat
dan memukul aku lagi,” ujar Yo Ko.
“Ya,
ya, cerewet saja !” sahut Bu-siang mengkal.
Maka
dengan tertawa kecil barulah Yo Ko melompat ke atas keledai dengan pelahan,
dengan kedua tangannya ia rangkul si gadis yang duduk di depannya, ketika kedua
kakinya sedikit mengempit karena kesakitan, maka keledai itu tak berani binal
lagi, dengan jinak berjalan menurut perintah.
“Pergi
ke mana ?” tanya Yo Ko.
“Sana,”
sahut Bu-siang sambil menunduk ke arah tenggara. ia sudah mencari tahu
sebelumnya tentang perjalanan sebenarnya hendak ditempuhnya arah timur melalui
Ciongkoan dan kemudian baru memutar ke daerah selatan, ini memang jalan raya
yang biasa dilalui.
Tetapi
sejak ketemu empat pengemis yang lain, adalah lebih baik menempuh jalan kecil
saja, walaupun sedikit lebih jauh, paling perlu cari selamat.
Begitulah
terdengar suara tapak kaki keledai yang ketuprak2 berjalan pelahan ke arah yang
dipilihnya itu.
Baru
saja mereka keluar dari kota, tiba2 dari tepi jalan ber-Iari2 mendatangi satu
anak petani yang berumur belasan, “Nona Liok, ini sesuatu barang buat kau,”
demikian seru bocah itu sambil mapaki keledai yang mereka tunggangi. Berbareng
itu menimpukkan seikat bunga ke arah Bu-siang, habis ini ia angkat kaki dan
berlari pergi lagi
Waktu
karangan bunga itu diterima Bu-siang dan diperiksa, ia lihat hanya seikat bunga
biasa saja dan disamping terikat sepucuk surat dengan benang, lekas si gadis
membuka sampulnya dan keluarkan selembar kertas kuning dari dalamnya, ia lihat
surat itu tertulis: “Sekejap lagi gurumu bakal datang, lekas sembunyikan diri,
lekas !”
Kertas
surat itu sangat kasar, sebaliknya tulisannya ternyata bergaya sangat bagus.
Bu-siang ter-heran2 dan ragu2 mengapa orang kenal dia she Liok dan siapakah
anak itu ? Mengapa mengetahui juga gurunya segera bakal datang ?”
“Apa
kau kenal anak tadi ?” demikian ia lantas tanya Yo Ko. “Apa Kokohmu yang suruh
dia ke sini ?”
Sementara
itu dari belakang Bu-siang si Yo Ko juga dapat membaca isi surat itu, maka
iapun sedang memikir : “Terang sekali anak tadi hanya anak petani biasa, tentu
datangnya ini disuruh orang lain untuk mengirim surat. Cuma entah siapakah
orang yang menulis surat itu ? Tampak-orang memang bermaksud baik, kalau betul
sampai Li Bok-chiu mengejar datang, lalu bagaimana baiknya ?”
Harus
diketahui meski Yo Ko sudah mempelajari Giok-li-sim-keng dan Kiu-im-cin-keng,
seorang diri memiliki dua macam ilmu silat yang paling tinggi di dunia
persilatan, sejak dulu hingga kini boleh dikatakan hanya dia sendiri saja, cuma
sayang karena waktunya belum Iama, meski sudah dipahami intisari pelajaran ilmu
silat yang hebat itu, namun latihannya masih kurang matang, maka belum banyak
hasilnya untuk digunakan. Kalau sampai kena disusul Li Bok-chiu, terang ia
masih bukan tandingan orang, karena inilah ia sedang pikir dan ragu-ragu.
Mendengar
pertanyaan Bu-siang tadi, maka Yo Ko menjawab: “Entah, aku tak kenal dia,
tampaknya juga bukan Kokoh yang menyuruh dia.”
Baru
habis ia menjawab, tiba2 terdengar bunyi alat2 tetabuhan dan tiupan, menyusul
mana dari depan muncul sebuah joli yang digotong dengan belasan orang
pengiringnya, kiranya ada orang sedang melangsungkan perkawinan, ”
Meski
alat2 musik yang dibunyikan itu berbau kampungan, tetapi suasana cukup riang
gembira.
Nampak
keadaan ini, tiba2 pikiran Yo Ko tergerak, ia pikir kalau betul2 Li Bok-chiu
dan Ang Ling-po mengejar tiba, di siang hari bolong sesungguhnya tiada tempat
untuk bersembunyi lagi, Karena itu segera ia tanya Bu-siang: “Nona Liok, kau
ingin menjadi pengantin tidak ?”
Bu-siang
sendiri memangnya lagi bingung karena kuatir tertangkap gurunya yang kejam itu,
kini mendengar orang bertanya secara tolol, kemari ia gusar. “ToIol, kau
mengaco-belo apa lagi ?”j damperatnya.
“Haha,
maukah kita main sembayang dan jadi pengantin ?” demikian sahut Yo Ko dengan
tertawa, “Mau tidak kau menyamar pengantin perempuan ? Sungguh cantik sekali
tampaknya, muka ditutup kudung merah, pasti orang lain takkan mengenali kau.”
Karena
kata2 Yo Ko terakhir ini, Bu-siang tergerak hatinya.
“ToIol,
apa kau suruh aku menyamar untuk menghindari guruku ?” ia tanya.
“Aku
tak tahu, hihi, kalau kau jadi pengantin perempuan, aku akan jadi pengantin
Ielakinya,” sahut Yo Ko.
Dalam keadaan terpaksa, Bu-siang tak sempat lagi mendamperat orang, ia pikir: “Kelakuan si Tolol ini sungguh aneh sekali, tapi kecuali jalan ini memang tiada cara lain lagi.”
Dalam keadaan terpaksa, Bu-siang tak sempat lagi mendamperat orang, ia pikir: “Kelakuan si Tolol ini sungguh aneh sekali, tapi kecuali jalan ini memang tiada cara lain lagi.”
Karena
itu segera ia tanya: “lalu cara bagaimana menyamarnya ?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar