Sabtu, 10 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 21



Kembalinya Pendekar Rajawali 21

Orang itu bersenjatakan ruyung besi, karena serangan Bu-siang itu, ia incar2 dengan baik ruyungnya terus disebetkan ke bawah.
Ruyungnya ini memang cukup berat, ditambah lagi tenaganya juga besar, sabetannya itupun diincar dengan tepat sekaii, maka terdengarlah suara “trang” yang keras, belati Bu-siang seketika terlepas dari tangan.
Waktu itu Yo Ko masih merebah miring di atas mejanya, ia lihat Bu-siang melompat ke samping, sedang tangan kirinya diangkat miring ke depan, segerapun Yo Ko menduga imam yang diarah itu pasti tak mampu pertahankan goloknya.
Memang betul, ketika Bu-siang membaliki tangannya lagi, dengan ilmu silat Ko-bong-pay yang sangat hebat itu, tahu2 golok salah satu imam itu sudah kena disebutnya dan bahkan dibarengi pula sekali membacok, tidak ampun lagi pundak imam itu telah merasakan tajam goloknya sendiri.
Dengan disertai caci maki, lekas2 imam itu melompat ke samping untuk merobek kain bajunya buat membalut lukanya itu.
Sesudah mendapatkan goIok, seketika semangat Bu-siang bertambah, tanpa ayal lagi ia tempur lelaki yang memakai ruyung besi itu dengan sengit, Sedang seorang lainnya adalah lelaki pendek kecil dan memakai senjata tumbak, iapun tidak berpeluk tangan ia ikut terjun ke dalam pertempuran, tumbaknya bekerja cepat menusuk ke sini sana untuk bantu kawannya, cuma dia tak berani terlalu mendekati Bu-siang.
Ilmu silat lelaki yang pakai ruyung itu ternyata sangat tinggi, setelah belasan jurus, lambat laun Liok Bu-siang merasa kewalahan Agaknya lelaki itu mempunyai tingkat yang tidak rendah di kalangan Bu-lim, hal ini terbukti gerak-geriknya ternyata sangat beraturan, meski beberapa kali Bu-siang berbuat kesalahan dalam serangannya, namun orang itu ternyata tidak mau terlalu mendesak dan gunakan kesempatan itu untuk melukai Liok Bu-siang.
Sementara itu imam tadi sudah selesai membalut lukanya, dengan tangan kosong ia menerjang maju lagi.
“Darimana datangnya perempuan keparat seperti kau ini, kenapa cara turun tanganmu begitu keji ?” demikian dengan tangan menuding Bu-siang mencaci-maki, Habis ini, begitu kepalanya menunduk, segera ia menyeruduk Liok Bu-siang dengan cepat.
“Celaka !” diam2 Yo Ko berteriak demi dilihat keadaan pertarungan keempat orang diluar itu.
Betul saja dibawah berkelebatnya sinar senjata, punggung imam itu kembali merasakan sekali bacokan lagi, bersamaan dengan itu tumbak si lelaki pendek itupun menusuk sampai di belakang Liok- Bu-siang, sedang telapak tangan si lelaki kuat tadipun sudah menghantam ke dada si gadis.
Karena keadaan berbahaya itu, dengan cepat dua batu kecil disamber Yo Ko terus ditumpukkan sekaligus, sambitannya ini ternyata sangat jitu, yang sebuat tepat mengenai tumbak musuh hingga senjata ini terguncang pergi, sedang batu yang lain kena pula pergelangan tangan lelaki kuat tadi.
Lelaki itu ternyata sangat tinggi ilmu silatnya, meski tangan kanan kena sambitan batu dan seketika lemas tak bertenaga, tapi telapak tangan yang lain masih bisa bergerak secepat kilat dan mendadak dipukulkan lagi, maka terdengarlah suara “plak”, dada Bu-siang kena digenjot dengan keras.
Keruan Yo Ko terkejut Ya, bagaimanapun usia Yo Ko masih muda dan pengalamannya cetek, sama sekali tak diduganya bahwa lelaki itu memiliki kepandaian lihay “Lian-goan-siang-ciang” atau pukulan berganda secara susul-menyusul.
Ketika pukulan kedua orang itu dilontarkan lekas2 Yo Ko melayang maju buat menolong Liok Bu-siang, dengan sekali tarik saja ia dapat jambret baju leher lelaki itu, lalu dengan tenaga raksasa nya terus dilempar pergi se-jauh2nya.
Tubuh lelaki itu beratnya sedikitnya lebih dua ratus kati, tetapi oleh lemparan Yo Ko ini, seketika ia ter-apung2 di udara untuk kemudian jatuh terbanting sejauh beberapa tombak
Melihat Yo Ko begini lihay, imam tadi dan si lelaki pendek menjadi jeri, Iekas2 mereka membangunkan kawannya terus pergi tanpa berpaling lagi.
Kemudian Yo Ko memeriksa keadaan Bu-siang, ia lihat muka si gadis pucat kuning, napasnya sangat lemah, nyata lukanya tidak ringan. ia ulur sebelah tangan ke bahu orang dengan maksud memayang Bu-siang supaya duduk kembali, siapa tahun tiba2 terdengar suara “gemerutuk” dua kali, suara saling gosoknya tl!ang, kiranya dua tulang iga Bu-siang telah patah oleh hantaman lelaki tangkas tadi.
Sebenarnya Bu-siang sudah jatuh pingsan, tapi karena terguncangnya tulang iga yang patah hingga menimbulkan sakit hebat, saking sakitnya berbalik ia sadar dari pingsannya itu, lalu ia merintih-rintih dengan kepala tunduk.
“Kenapa ? Apa sangat sakit ?” lekas2 Yo Ko bertanya.
Dalam sakitnya sampai jidatnya Bu-siang penuh berkeringat kini mendengar pertanyaan Yo Ko, keruan ia mendongkol.
“Masih tanya, sudah tentu sangat sakit! demikian dengan mengertak gigi menahan sakit dia mendamperat, “Hayo pondong aku ke dalam rumah !”
Yo Ko tak membantah Iagi, ia pondong tubuh si nona, tapi tidak urung terjadi juga guncangan hingga tulang iga yang patah itu kembali saling gosok hingga Bu-siang kesakitan Iagi.
“Bagus ya kau si Tolol setan alas, kau sengaja siksa aku, ya ?” demikian ia me-maki2. “Dan, dimanakah ketiga orang tadi ?”
Nyata pada waktu Yo Ko turun tangan menolongnya, waktu itu ia kebetulan jatuh semaput oleh hantaman musuh, sebab itu tak diketahuinya “si Tolol” inilah yang telah menolong jiwanya.
“Mereka mengira kau sudah mati, maka mereka lantas pergi,” dengan tertawa Yo Ko menjawab.
Mendengar keterangan ini hati Bu-siang merasa lega.
“Apa yang kau tertawa ?” damperatmya pula demi dilihatnya Yo Ko menyengir2. “Kau kesenangan ya melihat aku kesakitan ?”
Mendengar orang mendamperat dan memaki terus-menerus padanya, setiap kali orang memaki, Yo Ko lantas teringat pada kejadian dahulu ketika dirinya didamperat Siao-liong-li.
Selama beberapa tahun ia hidup berdampingan dengan Siao-liong-Ii di dalam kuburan Hoat-su-jin-bong, hari yang dilewatkannya itu dianggap masa yang paling menyenangkan selama hidupnya, sungguhpun Siao-liong-Ii selalu mendamperatnya dengan bengis, tapi karena, diketahuinya sang guru mengajarnya dengan sesungguh hati, meski mendapat damperatan, toh tetap dirasakannya sangat senang.
Kini karena tidak bisa ketemukan Siao-liong-li yang dia cari, tetapi kebetulan ada seorang gadis lagi yang mendamperatnya dengan kata2 yang bengis, tanpa terasa hati kecilnya lantas anggap orang sebagai duplikatnya Siao-liong-li sekedar pelipur hati yang kosong, dengan demikian rasa deritanya menjadi sedikit berkurang.
Begitulah, maka terhadap cacimaki Liok Bu-siang tadi, Yo Ko hanya tertawa saja tanpa di-gubrisnya.
Melihat wajah orang mengunjuk ketawa, Bu-siang teringat pada dirinya sendiri yang sudah cacat, kini menderita luka parah pula, sebaliknya bocah angon ini meski kotor namun seluruh anggota badannya dalam keadaan baik.
Memangnya tabiat Bu-siang sudah ada kelainan, kini dalam keadaan luka ia menjadi iri terhadap Yo Ko, ia gemas sekali bisa2 dengan sekali bacok hendak dibunuhnya Yo Ko.
Yo Ko pondong Bu-siang dan direbahkan di atas meja tadi, Karena gerakan merebahkan itu, kembali tulang iganya yang patah itu berbunyi lagi saling gosok, saking sakitnya Bu-siang men-jerit2 tak tahan. Dan justru waktu menjerit itu pernapasannya menjadi tambah keras hingga menarik urat2 iganya, maka rasa sakitnya menjadi lebih hebat lagi.
“Maukah kusambungkan tulangmu yang patah ini ?” tanya Yo Ko kemudian.
“Anak angon bau busuk, kau mampu sambung tulang apa ?” damperat Bu-siang.
“Pernah anjing piaraanku yang borokan berkelahi dengan anjing tetangga dan tulang kakinya patah tergigit, maka akulah yang sambungkan tuIangnya,” kata Yo Ko. “Dan ada lagi, babi betina kepunyaan tetanggaku terbanting patah tulang iganya, itupun aku yang menyambungkan tulangnya.”
Bu-siang menjadi gusar karena dirinya disamakan dengan khewan, tetapi ia tak berani berteriak sebab akan mengakibatkan rasa sakit, terpaksa dengan suara tertahan ia mendamperat lagi: “Kurangajar, kau memaki aku sebagai anjing borokan dan maki aku pula sebagai babi betina, Kau sendirilah yang anjing borokan dan babi betina.”
“Tidak, salah, seumpamanya babi, aku kan babi jantan,” sahut Yo Ko dengan tertawa, “Lagipula, anjing borokan itupun betina, anjing jantan tak bisa borokan kulitnya.”
Biasanya Bu-siang sangat pintar bicara dan pandai adu mulut, tetapi karena rasa sakitnya tidak kepalang setiap ia buka mulut, maka maksudnya balas makian orang itu ia urungkan, terpaksa ia pejamkan mata dan menahan rasa sakit, ia tak gubris lagi keceriwisan Yo Ko.
“Tahukah kau, tulang anjing totokan itu lantas sembuh dalam beberapa hari saja sesudah ku sambung, ketika berkelahi lagi dengan anjing tetangga, keadaannya seperti tulangnya tak pernah patah,” demikian Yo Ko sengaja menerocos terus. “Eh, nona Liok, bagaimana dengan kau, mau tidak akupun sambung tulangmu ?”
Dalam keadaan kepepet, dalam hati Bu-siang berpikir juga: “Boleh jadi bocah angon kotor ini betul2 bisa menyambung tulang, apa lagi disinipun tiada tabib, kalau tiada yang mengobati aku, tentu aku akan mati konyol kesakitan.”
Tetapi lantas terpikir lagi olehnya: “Tulang igaku yang putus, kalau dia menyambungkan tulangku ini tentu tubuhku akan kelihatan, bukankah ini sangat memalukan ? Hm, kalau dia tak bisa menyembuhkan Iuka2ku, biar kuhabiskan jiwaku bersama dia. Dan kalau bisa sembuh, akupun tidak membiarkan seorang yang pernah melihat tubuhku tetap hidup di jagat ini,”
Dasar sifat Bu-siang memang sudah menyendiri karena penderitaannya sejak kecil pula begitu lama ikut Li Bok-chiu hingga terpengaruh juga oleh sifat2 Jik-lian-sian-cu yang kejam dan enteng tangan, walaupun umurnya masih sedikit, tapi dalam pikirannya penuh dengan angan2 yang keji.
Begitulah, maka dengan suara rendah lalu ia berkata : “Baiklah, boleh coba kau menyambungkan tulangku, sebenarnya kau bisa atau tidak ? jangan kau coba membohongi aku, bocah angon busuk, awas kau !”
Yo Ko menjadi senang melihat orang akhirnya menyerah Katanya dalam hati: “Jika dalam keadaan begini aku tidak goda dia, mungkin selanjutnya tiada kesempatan baik lagi.”
Oleh karena itu, dengan lagak dingin saja dia berkata lagi: “Sewaktu babi betinanya wak Ong tetanggaku itu patah tulang iganya, beribu kali anak gadisnya memohon padaku dan beruntun memanggil aku seratus kali “engkoh yang baik” baru aku mau menyambungkan tulangnya.”
“Cis, cis, bocah angon busuk, cis… auuh…” damperat Bu-siang ber-ulang2, tetapi mendadak ia menjerit karena dadanya terasa sakit pula.
“Kau tak mau panggil aku, tak mengapalah,” kata Yo Ko dengan tertawa. “Nah, aku akan pulang sajalah, nona Liok, selamat tinggal, sampai ketemu lagi.”
Sambil bicara, betul saja Yo Ko lantas melangkah keluar pintu.
“Celaka, dengan kepergiannya ini, pasti aku akan mampus kesakitan di sini,” demikian pikir Bu-siang. Karena itu, terpaksa ia tanya dengan menahan amarahnya : “Lalu apa yang kau kehendaki ?”
“Sebenarnya kaupun harus panggil aku seratus kali “engkoh yang baik”, tetapi sepanjang jalan aku sudah kenyang dicaci maki olehmu, maka kau harus panggil aku seribu kali baru jadi,” sahut Yo Ko.
Betul2 Bu-siang mati kutu, “BIarlah kusanggupi semuanya, nanti kalau aku sudah sembuh, satu persatu baru kubikin perhitungan padanya,”
Demikian pikirnya diam2. Karena itu, segera ia menurut: “Baiklah, Engkoh yang baik, engkoh yang baik, engkoh yang baik… auuh…”
“Sudahlah, masih ada 997 kali, sementara ku catat saja sebagai utangmu, nanti kalau kau sudah baik barulah dilunaskan lagi,” kata Yo Ko.
Habis berkata, ia lantas mendekati Bu-siang terus hendak membuka bajunya.
Karena kelakuan Yo Ko ini, tanpa terasa Bu-siang sedikit mengkeret dan membentak: “Pergi, apa yang hendak kau lakukan ?”
Karena bentakan itu, Yo Ko menyurut mundur. “Untuk menyambung tulangmu, kenapa bajumu tak boleh dibuka ? Aku pernah dengar orang bilang ada ilmu “ke-san-pak-gu” (memukul kerbau dari balik gunung), tetapi tak pernah mendengar ada ilmu “ke-ih-ti-gu” (mengobati kerbau dari balik baju),” demikian katanya dengan tertawa.
Mendengar kata2 ini, Bu-siang merasa lucu juga akan kelakuannya tadi, tetapi kalau dibiarkan orang membuka bajunya, sesungguhnya rada malu juga. Karena itu ia menjadi ragu-ragu.
“Baiklah, tak bisa kutolak kau,” katanya kemudian dengan kepala menunduk dan berpikir lama.
“Kalau kau tak mau disembuhkan boleh tak usah saja, akupun tidak kepingin…”
Baru saja Yo Ko berkata sampai disini, mendadak didengarnya di luar sana ada suara orang sedang berbicara : “Budak hina ini pasti berada di sekitar sini, kita harus lekas menemukannya.”
Bu-siang menjadi pucat lesi mendengar suara orang itu, dalam keadaan demikian rasa sakit dadanya tak terpikir lagi olehnya, dengan cepat ia mendekap mulut Yo Ko yang sedang berkata tadi
Kiranya yang bicara di luar itu tidak lain dari pada Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu, gurunya yang sangat ditakutinya itu.
Yo Ko sendiripun sangat terkejut setelah dikenalnya suara siapa orang itu.
“Yang menancap di punggung pengemis itu terang adalah “Gin-ko-to” milik Sumoay, cuma sayang tak keburu kita mencabutnya buat mengenalinya lebih pasti,” demikian terdengar suara seorang wanita lain. Orang ini dengan sendirinya Ang Ling-po adanya.
Kiranya sejak mereka guru dan murid terlolos dari kematian di Hoat-su-jin-bong, kemudian mereka telah pulang ke Jik-keh-ceng yang menjadi kediamannya, di sana diketahui bahwa Liok Bu-siang meninggalkan perkampungan mereka itu tanpa pamit, bahkan sebuah kitab Li Bok-chiu, yaitu “Ngo-tok-pit-toan” (kitab rahasia “Panca-bisa”) telah ikut dicuri juga.
Sebabnya Li Bok-chiu disegani di seluruh jagat hingga tokoh2 Bu-lim pada jeri bila mendengar namanya, titik pokoknya bukan karena ilmu silat-nya, tetapi pada bisa jahat “Ngo-tok-sin-ciang” “pukulan sakti panca-bisa, yakni lima macam racun) dan senjata “Peng-pek-gin-ciam” (jarum perak batu es).
Justru kitab “Ngo-tok-pit-toan” itu memuat resep obat racun pembuatan jarum perak dan pukulan saktinya yang berbisa itu dengan obat pemunahnya pula, kalau kitab itu teruar di kalangan umum, lalu ditaruh kemana lagi nama baik dan wibawa Jik-Iian-sian-cu yang disegani itu?
Li Bok-chiu sendiri sudah apal di luar kepala semua isi kitab pusakanya itu, dengan sendirinya tak perlu kitab itu selalu dibawa, pula penyimpanannya di Jik-he-ceng sangat dirahasiakan siapa tahu Liok Bu-siang yang pintar dan cerdik, segala apa selalu diperhatikannya hingga tempat penyimpanan benda2 rahasia gurunya telah diketahui olehnya, dan karena sudah ada niatannya hendak melarikan diri, maka jarum perak berbisa dan obat pemunah sang guru, bahkan kitab “Panca-bisa” itupun dicuri dan dibawa lari sekalian
Keruan amarah Li Bok-chiu bukan buatan oleh perbuatan Liok Bu-siang itu, dengan membawa Ang Ling-po, siang malam segera diubemya, Terapi sudah lama Bu-siang kabur, pula yang ditempuh adalah jalanan kecil yang sepi, meski Li Bok-chiu berdua sudah menguber dari utara sampai selatan dan dari selatan kembali ke utara untuk mencegatnya, namun tetap tak kelihatan bayangan si gadis yang dicari itu.
Kebetulan juga malam hari itu, waktu mereka berdua sampai di sekitar kota Cingkoan, mereka mendengar berita dari anak murid Kay-pang yang mengatakan bahwa ada pertemuan golongan mereka di sesuatu tempat.
Li Bok-chiu pikir anggota persatuan kaum pengemis itu tersebar di mana2, kabar berita merekapun sangat cepat dan tajam, tentu diantara mereka ada yang pernah melihat Liok Bu-siang. Oleh karena itu mereka berdua lantas pergi ke tempat pertemuan itu dengan maksud mencari kabar.
Tetapi di tengah jalan mereka telah ketemukan satu anak murid Kay-pang dari angkatan ke-enam yang digendong lari oleh seorang kawannya dalam keadaan luka2, selain itu ada belasan pengemis yang mengawalnya.
Dengan kejelian mata Li Bok-chiu, sekilas dapat dilihatnya di punggung pengemis yang di gendong itu menancap sebilah golok yang melengkung dan dapat dikenalinya adalah “Gin-ko-to” atau golok perak melengkung milik Liok Bu-siang.
Oleh karena tak ingin bikin onar dengan kaum pengemis yang berpengaruh besar itu, maka diam2 Li Bok-chiu mengintil dari belakang untuk mengintai kebetulan lapat2 dapat didengar percakapan kawanan pengemis itu dalam keadaan marah2, katanya yang melukai kawan mereka itu adalah seorang gadis pincang yang menimpukkan golok melengkung itu.
Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, ia pikir kalau pengemis itu baru saja dilukai, tentu Liok Bu-siang masih berada juga di sekitar sini, Karena itu dengan langkah cepat segera ia menguber lagi hingga sampai di depan rumah batu bobrok itu.
Disini tertampak olehnya ada segundukan abu bekas api unggun, hidungnya pun mengendus bau darah yang anyir, lekas2 ia nyalakan api dan coba periksa sekitarnya, betul saja di atas tanah diketemukannya lagi bekas2 noda darah yang masih baru, terang sekali terjadinya pertarungan sengit itu belum lama berselang.
Dari itu segera Li Bok-chiu tarik2 ujung baju sang murid sambil menuding ke arah rumah bobrok itu.
Ang Ling-po mengerti maksud sang guru, ia mengangguk habis itu pintu ramah yang setengah tertutup itu ia dorong, dengan putar pedang untuk melindungi tubuhnya segera ia terjang ke dalam.
Di Iain pihak, demi mendengar, suara percakapan antara Suhu dan Sucinya, Bu-siang insaf sekali ini tak luput lagi dari kematian, karena itu, ia malah kuatkan hatinya dan berlaku tenang saja merebah untuk menantikan ajalnya.
Begitulah ketika terdengar suara pintu didorong, menyusul satu bayangan orang menyelinap masuk yang bukan lain adalah sang Suci - Ang Ling-po.
Sejak kecil Bu-siang pandai ambil hatinya, maka terhadap sang Sumoay tidak jelek juga kasih sayang Ang Ling-po. Sekali ini sang Sumoay telah melanggar peraturan besar perguruannya, pasti gurunya akan siksa habis2an dengan macam2 cara yang keji terhadap Bu-siang, habis itu sedikit demi sedikit baru dihukum mati, kini nampak si gadis masih rebah di atas meja, segera Ang Ling-po angkat pedangnya terus menusuk ke ulu hati sang sumoay, dengan demikian ia pikir anak dara ini boleh terbebas dari segala siksaan guru mereka.
Siapa duga, baru saja ujung pedangnya hampir menempel ulu hari Liok Bu-siang, tiba2 Li Bok-chiu telah tepuk pelahan pundaknya, karena ini, seketika Ling-Po merasakan tangannya menjadi lemas tak bertenaga, segera pula tangannya melambai ke bawah.
“Hm, apa aku sendiri tak bisa membinasakan dia ? Perlu apa kau kesusu ?” kata Li Bok-chiu dengan tertawa dingin. Habis ini ia berpaling dan ditujukan pada Liok Bu-siang. “Hm, apa di hadapan Suhu kau tak melakukan penghormatan lagi?”
Tetapi Bu-siang sudah teguhkan hatinya. “Hari ini aku sudah jatuh ke tangannya, baik minta ampun atau membangkang pasti juga akan merasakan siksaan yang kejam,” demikian pikirnya, Karena itu, dengan dingin saja ia jawab: “Keluarga kami dengan kau sudah menanam dendam sedalam lautan, tidak perlu lagi kau banyak bicara.”
Tetapi Li Bok-chiu hanya pandang anak dara itu dengan diam, entah rasa suka atau duka yang terkandung pada sorot matanya itu. sebaliknya Ang Ling-po memandangi sang Sumoay dengan wajah yang penuh rasa duka dan kasihan, namun Bu-siang ternyata tidak gentar sedikitpun oleh sikap sang guru itu, bibirnya sedikit terjibir, tampaknya malah mengunjuk sikap yang angkuh dan menantang Dengan begitulah mereka bertiga telah saling pandang.
“Mana kitab itu, serahkan !” kata Li Bok-chiu kemudian sesudah terdiam agak lama.
“Sudah direbut seorang Tosu (imam) dan seorang pengemis !” sahut Bu-siang.
Terkejut sekali Li Bok-chiu oleh jawaban itu.
Dengan kaum pengemis itu meski tak pernah Li Bok-chiu bermusuhan, tetapi dengan “Coan-cin-kau” tidak sedikit dendamnya, iapun tahu antara Kay-pang dan Coan-cin-kau mempunyai hubungan yang sangat rapat, kalau kitab “Ngo-tok-pit-toan” itu sampai jatuh di tangan mereka, itulah sungguh celaka !
Sayup2 Bu-siang dapat mendengar suara tertawa dingin sang guru, ia tahu pasti orang sedang memikirkan akal keji untuk siksa dirinya. jika waktu melarikan diri sepanjang jalan selalu ketakutan ditangkap oleh gurunya, kini setelah betul2 tertangkap, ia malah tidak begitu takut lagi seperti semuIa.
“Eh, kemanakah si tolol itu telah pergi ?” demikian tiba2 ia jadi teringat pada Yo Ko.
Dalam keadaan jiwanya terancam maut ini, tanpa terasa timbul semacam perasaan hangat terhadap bocah angon yang tolol dan kotor itu.
Pada saat itu juga, mendadak ada berkelebatnya sinar api, menyusul mana dengan membawa suara gedebukan tiba2 seekor banteng ngamuk menerjang masuk dari luar.
Waktu Li Bok-chiu dan Ang Ling-po menoleh, maka tertampaklah seekor sapi jantan yang tinggi besar telah menyerobot masuk, pada ujung tanduk kanan binatang itu terikat sebilah belati dan sebelah tanduk yang lain terikat pula seikat kayu dengan api yang me-nyala2.
Terjangan binatang itu ternyata hebat sekali, walaupun ilmu silat Li Bok-chiu sangat tinggi, tetapi tak berani juga ia menghadapi serudukan sapi jantan itu dari depan, segera ia berkelit ke samping, ia lihat binatang itu mengitar sekali di ruangan rumah itu, habis ini lantas berputar keluar lagi.
Tatkala menerjang masuk sapi itu main seruduk seenaknya, waktu keluarpun berlari secepat keranjingan setan, karenanya hanya sekejap saja sapi itu sudah lari pergi sejauh belasan tombak.
Dengan memandangi bayangan binatang itu mula2 Li Bok-chiu rada heran, tetapi segera terpikir olehnya: “He, siapakah yang mengikat pisau dan kayu berapi itu di tanduknya ?”
Waktu mereka berpaling kembali, tanpa berjanji mereka - guru dan murid - menjerit berbareng, ternyata Liok Bu-siang yang tadi masih rebah di atas meja itu, kini sudah lenyap tanpa bekas.
Lekas Ling-po menggeledah seluruh rumah bobrok itu, habis ini ia melompat lagi ke atas atap rumah. sebaliknya Li Bok-chiu menduga pasti sapi tadi yang bikin gara2, maka dengan sekali melayang, dengan enteng dan gesit segera diuber-nya binatang itu.
Dalam keadaan gelap itu, sinar api yang menyala pada tanduk sapi itu cukup jelas kelihatan nyata binatang itu sudah menerobos masuk ke sebuah hutan, Dari sorot api terlibat juga oleh Li Bok-chiu bahwa di atas punggung sapi itu tiada penunggangnya, tampaknya Liok Bu-siang toh bukan kabur dengan menunggang sapi Tetapi segera tergerak pikirannya: “Ah, tentu tadi ada orang yang sembunyi di luar, sapi aneh itu digunakan untuk mengalihkan perhatianku dan dalam keadaan kacau budak hina itu lantas ditolongnya pergi.”
Namun seketika ia menjadi bingung karena tak tahu ke jurusan mana harus mengejar, hanya langkahnya dia percepat hingga sebentar saja sapi jantan itu sudah dapat disusulnya, Waktu ia melompat ke atas punggung binatang itu dan diperiksanya teliti namun tiada menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan.
Kemudian ia lompat turun dan tendang sekali bokong binatang itu, lalu dengan tekap bibir ia bersuit memberi tanda pada Ang Ling-po, mereka lantas menguber lagi dari dua jurusan, yang satu dari utara ke selatan dan yang lain dari barat ke timur.
Munculnya sapi jantan itu dengan sendirinya adalah perbuatan si Yo Ko.
Tadi begitu mendengar suara Li Bok-chiu berdua, diam2 ia mengeluyur keluar melalui pintu belakang dan mengintip dari luar, mendengar satu kata saja segera ia tahu Li Bok-chiu mau membunuh Liok Bu-siang.
Meski Li Bok-chiu masih terhitung Supek atau “paman” guru Yo Ko sendiri namun bencinya terhadap perempuan kejam itu sudah terlalu mendalam. Semula ia bingung cara bagaimana harus menolong jiwa Liok Bu-siang, mendadak dilihatnya “dari jauh sapi jantan yang kemarin itu sedang menguak tak bertuan, keruan saja ia bergirang, ia ber-Iari2 memarani binatang itu, ia ikat belatinya Bu-siang dan seikat kayu yang dinyatakan dulu tanduk sapi, ia sendiri terlentang menggempit di bawah perut binatang itu, ia giring sapi itu menerjang ke dalam rumah.
Waktu sapi itu berlari mengitari ruangan, tubuh Bu-siang telah disambernya dengan masih tetap menggemblok sembunyi di bawah perut sapi. Dasar ilmu silat Yo Ko sudah terlalu hebat, gerak-geriknya pun dilakukan dengan cepat sekali, ditambah lagi rupa sapi jantan itupun aneh, maka sekalipun Li Bok-chiu luar biasa lihaynya, sesaat itu ia kena dikelabui juga oleh Yo Ko.
Dan ketika ia berhasil menyusul sapi jantan yang kabur itu, tatkala mana Yo Ko sudah menyembunyikan diri diantara semak2 rumput sambil pondong Liok Bu-siang.
Sudah tentu, karena guncangan hebat itu, rasa sakit Bu-siang menjadi melebihi di-sayat2, cara bagaimana Yo Ko menolong dan cara membawa dirinya menggemblok di bawah perut sapi dan cara bagaimana melompat turun dan sembunyi di semak alang2, semuanya itu tak diketahuinya oleh karena keadaannya yang setengah pingsan. Sesudah agak lama kemudian baru pikirannya sedikit pulih kembali, dalam sakitnya segera ia hendak berteriak.
“Jangan bersuara !” lekas2 Yo Ko dekap mulutnya sambil membisikinya.
Betul saja lantas terdengar suara tindakan orang yang tidak jauh dari tempat sembunyi mereka.
“He, kenapa sekejap saja sudah tak kelihatan ?” itulah suaranya Ang Ling-po.
“Marilah kita pergi saja, budak hina ini tentu sudah kabur jauh,” terdengar Li Bok-chiu menyahut dari jauh.
Habis itu lantas terdengar pula suara tindakan Ang Ling-po yang makin menjauh.
Saking sesak oleh karena mulutnya ditutup rapat orang, segera Bu-siang meronta dan hendak berteriak lagi, namun sedikitpun Yo Ko tak melepaskannya, tangannya masih dekap kencang2 pada mulutnya.
Ketika Bu-siang meronta lagi dan merasa dirinya berada dalam pelukan si pemuda, ia menjadi malu tercampur gugup, segera ia bermaksud memukul orang, Namun sebelumnya tiba2 terdengar Yo Ko membisikinya lagi: “Ssst, jangan kau tertipu, gurumu sengaja akali kau !”
Baru selesai ia bicara, betul saja lantas terdengar Li Bok-chiu lagi berkata: “Ah, rupanya memang tiada di sini lagi.” - Begitu dekat suara nya se-akan2 berada di samping mereka saja.
Keruan Bu-siang terkejut “Untung ada si tolol ini, kalau tidak, tentu aku sudah tertawan oIehnya.”
Kiranya Li Bok-chiu memang cerdik, ia sangsi Bu-siang masih sembunyi di sekitar sini, maka sengaja ia bilang pergi, padahal dengan ilmu entengi tubuh “Chau-siang-hui” (terbang di atas rumput) diam2 ia putar kembali lagi tanpa terbitkan sesuatu suarapun, dan karena ini hampir saja Bu-siang terjebak kalau Yo Ko kurang cerdik.
Sesudah Yo Ko pasang kuping mendengarkan, kemudian dapat diketahuinya Li Bok-chiu berdua sekali ini betuI2 sudah pergi, barulah ia lepaskan tangannya yang mendekap mulut si nona,
“Baiklah sekarang tak perlu kuatir lagi.” dengan tertawa ia berkata.
“Lepaskan aku,” bentak Bu-siang karena badannya masih dalam pelukan orang.
Maka dengan pelahan Yo Ko meletakkan Bu-siang ke tanah rumput itu.
“Segera juga kusambung tulangmu, kita harus lekas meninggalkan tempat ini, kalau sampai fajar mendatang mungkin tak bisa meloloskan diri lagi,” katanya.
Bu-siang manggut2 tanda setuju.
Karena kuatir orang kesakitan pada waktu menyambung tulangnya dan me-ronta2 hingga diketahui oleh Li Bok-chiu, segera Yo Ko tutuk dulu jalan darah Bu-siang hingga gadis ini tak mampu berkutik, habis ini baru baju orang dibukanya. “Se-kaIi2 jangan bersuara,” demikian ia pesan, Sesudah baju luar dibuka, tertampaklah baju dalam si gadis yang berwarna biru muda.
Tiba2 kedua tangan Yo Ko rada gemetar, tak berani ia membuka baju orang lebih jauh, Waktu ia pandang si gadis, ia lihat Bu-siang pejamkan kedua matanya lengan alis berkerut rapat
Dasar Yo Ko memang baru menginjak masa remaja, ketika mencium bau wangi badan gadis, tak tertahan jantungnya memukul keras.
“Sembuhkanlah aku !” kata Bu-siang tiba-tiba sambil buka matanya, Hanya sepatah kata saja, lalu ia pejamkan matanya pula dan berpaling ke jurusan lain.
Akan tetapi Yo Ko berhenti lagi tak berani meraba badan orang ketika badan si gadis yang putih halus tertampak olehnya, ia berdiri terpesona.
Karena sudah lama menunggu, pula terasa angin silir menghembusi badannya yang sudah terbuka hingga rada sejuk rasanya, tiba2 Bu-siang membuka matanya lagi hingga kelakuan Yo Ko yang ter-mangu2 seperti patung itu dapat dilihatnya.
“A…apa yang kau… kau lihat ?” bentaknya gusar.
Yo Ko terkejut, lekas2 ia ulur tangan buat meraba tulang iga orang yang patah, tetapi baru menyentuh kulit badan orang yang halus itu, Yo Ko merasa seperti kena aliran listrik, tangannya cepat ditarik kembali lagi.
“Lekas tutup matamu, jika kau pandang aku lagi segera ku… ku…” bentak Bu-siang puia dengan suara ter-putus2, sampai disini tak tahan lagi air matanya lantas menetes.
“Ba… baiklah, jangan kau menangis,” sahut Yo Ko gugup,
Habis itu betul saja ia pejamkan matanya, lalu tangannya meraba lagi tulang iga orang, di pasang dengan tepat kedua tulang iga yang patah itu, lalu baju si gadis lekas2 ia tarik buat menutupi bagian badannya itu.
Sesudah rada tenang perasaannya Yo Ko mendapatkan pula empat potong kayu, dua batang diapit di bagian depan dada dan yang dua batang di punggung, dengan kulit pohon yang dia beset ia pakai sebagai perban, lalu diikatnya dengan kencang supaya tulang yang patah itu tidak tergeser lagi. Habis ini baru dia betulkan baju si gadis dan lepaskan tutukannya tadi.
Waktu Bu-siang pentang matanya, remangl ia lihat muka Yo Ko yang tersorot sinar bulan bersemu merah dan dengan rasa kikuk2 sedang mengintip meliriknya, tetapi begitu sinar mata kedua belah pihak kebentrok, dengan cepat Yo Ko melengos ke samping.
Meski sekarang tulang iganya sudah tersambung betul, namun masih dirasakan sakit jarem, cuma sudah jauh berkurang daripada rasa sakit waktu tulangnya saling gosok hendak disambung tadi.
“Si tolol ini ternyata punya sedikit kepandaian juga,” demikian ia pikir.
Sebenarnya Bu-siang bukannya gadis bodoh, kini sudah dapat dilihat juga bahwa se-kali2 Yo Ko bukan anak udik biasa, lebih2 bukan anak tolol segala, tetapi karena sejak mula ia sudah perlakukan orang dengan caci maki dan pandang hina, kini meski sudah ditolong ia tetap belum mau merubah sikapnya.
“Lalu bagaimana baiknya sekarang, Tolol ?” demikian ia tanya, “Apa kita harus terpaku disini atau harus menyingkir pergi yang jauh ?”
“Bagaimana menurut kau ?” balas Yo Ko tanya.
“Sudah tentu pergi saja, apa tunggu kematian di sini ?” sahut Bu-siang tertawa.
Keruan girang sekali si gadis hingga ia tertawa riang.
“Tolol, daerah Kanglam begitu jauh letaknya, apa bisa kau pondong aku terus sampai di sana ?” ujar Bu-siang. walaupun berkata demikian, namun iapun tidak bantah lagi dan membiarkan tubuhnya meringkuk dalam pelukan Yo Ko.
Karena kuatir kepergok Li Bok-chiu berdua, maka jalan yang dipilih Yo Ko adalah jalanan kecil yang sepi, Dasar Ginkang Yo Ko memang sudah sangat tinggi, meski langkahnya cepat, namun bagian tubuh yang atas sedikitpun tidak ter-kocak sehingga sama sekali Bu-siang tidak merasakan sakit lagi.
Begitu cepat larinya Yo Ko hingga Bu-siang melihat pepohonan di tepi jalan berkelebat lewat ke belakang, sungguh cepatnya seperti kuda balap, kalau dibandingkan malahan Ginkang pemuda ini tidak dibawah gurunya, keruan diam2 Bu-siang sangat heran dan terkejut.
“Ha, kiranya si Tolol ini memiliki ilmu yang tinggi luar biasa, dengan umurnya semuda ini, mengapa sudah dapat melatih diri sampai begini lihay ?” demikian ia bertanya di dalam hati.
Sementara itu hari sudah mulai terang, waktu “Bu-siam” menengadah ia lihat muka Yo Ko meski kotor, namun tidak menutupi mata dan alisnya yang cukup jelas bukan anak tolol sebagaimana dia anggap, melainkan pemuda yang ganteng.
Betapapun juga hatinya tergerak, lambat laun iapun lupa rasa sakit di dadanya, selang tak lama.
“Pergi ke mana ?” tanya Yo Ko.
“Aku mau pulang ke Kanglam, mau tidak kau antar aku ke sana ?” kata Bu-siang lagi.
“Aku harus mencari Kokoh, tak dapat ku pergi begitu jauh”, sahut Yo Ko.
Mendengar jawaban ini, tiba2 Bu-siang tarik muka.
“Baiklah, kalau begitu lekas kau pergi ! Biarkan aku mati di sini saja,” demikian katanya kemudian.
Kalau si gadis ini memohon dengan kata2 halus dan membujuk umpamanya, dapat dipastikan Yo Ko tidak nanti mau terima, tetapi kini melihat wajah orang mengunjuk rasa gusar dan alisnya ter-kerut rapat, lapat2 memper sekali dengan sikap Siao-Iiong-li diwaktu marah, tak tertahan ia lantas menerima baik permintaan orang.
“Bisa jadi Kokoh kebetulan juga berada di daerah Kanglam, biar kuantar nona Liok ini ke sana, siapa tahu kalau Thian kasihan padaku dan berhasil ketemukan Kokoh di sana ?” demikian ia pikir, walaupun demikian, sebenarnya dalam hati ia cukup tahu juga bahwa harapan itu terlalu kecil sekali, cuma tiada jalan buat menolak permintaan Liok Bu-siang, maka pikirannya tadi boleh dibilang hanya untuk menghibur dirinya sendiri saja.
Karena itulah, sambil menghela napas, kemudian iapun pondong lagi tubuh Bu-siang.
“Untuk apa kau pondong aku ?” bentak Bu-siang dengan gusar.
“Pondong kau ke Kanglam,” sahut Yo Ko lagi, lapat2 iapun terpulas dalam pelukan Yo Ko.
Sampai hari sudah terang benderang, akhirnya Yo Ko merasa letih juga, ia lari sampai dibawah satu pohon besar, ia turunkan Bu-siang dengan pelahan dan ia sendiri duduk di samping si gadis untuk mengaso.
Setelah Bu-siang mendusin, dengan tersenyum manis tiba2 ia berkata pada Yo Ko : “Aku lapar, kau lapar tidak ?”
“Sudah tentu lapar,” sahut Yo Ko, “Baiklah, kita mencari kedai nasi untuk tangsal perut.”
Lalu ia pondong lagi si gadis, sudah sepanjang malam ia pondong orang, maka kedua lengannya terasa pegal, maka tubuh si gadis ia angkat dan didudukkan di atas pundaknya, dengan demikian ia melanjutkan perjalanan dengan pelahan.
“He, Tolol, siapa namamu ?” tanya Bu-siang dengan tertawa sambil kedua kakinya menggeduk-geduk dada Yo Ko. “Rasanya tidak baik di hadapan umum selalu kupanggil kau si Tolol saja!”
“Memangnya aku tiada nama lain, semua orang panggil aku si Tolol,” sahut Yo Ko.
“Hm, tak percaya aku, tak mau kau katakan juga masa bodoh,” kata Bu-siang dengan mendongkol “Kalau begitu, siapakah Suhumu ?”
,Mendengar orang menyebut “Suhu”, karena terhadap Siao-liong-Ii luar biasa menghormatnya, maka Yo Ko tak berani bergurau atas nama gurunya itu.
“Suhuku adalah Kokoh,” demikan ia jawab dengan sungguh2
Atas jawaban ini, Bu-siang mau percaya, “Kiranya ilmu silatnya ini adalah keturunan keluarga sendiri,” demikian ia pikir.
“Dari tempat mana dan aliran manakah Ko-kohmu itu ?” segera ia tanya pula.
“Tempatnya di rumah,” sahut Yo Ko pura2 tolol “Dan aliran apa itulah aku tak tahu.”
“Hm, pura2 bodoh kau,” omel si gadis. “Yang aku tanya yalah ilmu kepandaianmu itu dipelajari dari pintu perguruan mana ?”
“Pintu? Apa kau tanya pintu rumahku itu ?” sahut Yo Ko berlagak linglung, “Pintu itu bukankah terbikin dari kayu ?”
Mendengar jawaban yang tak keruan juntrung-nya ini, diam2 Bu-siang pikir: “Jangan2 orang ini memang betul2 tolol, hanya karena terlahir bisa lari cepat dan bukannya memiliki ilmu silat yang tinggi ? Tetapi salah juga, terang sekali ia mampu menutuk dan menyambung tulang, sudah tentu dia adalah jagoan Bu-lim, jangan2 ilmu silatnya meski hebat, namun orangnya memang dasarnya dungu”.
BegituIah Bu-siang berpikir dengan bingung, Kemudian dengan kata2 halus ia coba menanya lagi: “Coba katakanlah baik2 padaku, tolol, sebab apakah kau menolong jiwaku ?”
Pertanyaan ini seketika sulit dijawab Yo Ko, karena itu ia telah pikir sejenak, habis ini baru ia berkata : “Kokoh suruh aku menolong kau, maka aku lantas menolong kau !”
“Siapakah kau punya Kokoh itu ?” tanya Bu-siang.
“Kokoh ya Kokoh, dia suruh aku kerja apa lantas kukerjakan apa,” kata Yo Ko.
Si gadis menghela napas lagi oleh jawaban yang tak genah ini, ia pikir : “Ah, kiranya orang ini memang betul2 toloI.”
Dan karena pikiran ini, rasa marahnya terhadap Yo Ko yang mulai timbul tadi, kini mendadak berubah lagi menjadi jemu dan gemas.
Melihat orang terdiam, tiba2 Yo Ko malah tanya : “Hei, kenapa kan tak bicara lagi ?”
Bu-siang tak menjawab, ia hanya menjengek saja sekali, Karena itu Yo Ko mengulangi pula pertanyaannya,
Kalau aku tak suka bicara lantas tak bicara, tahu, Tolol ? Lekas kau tutup mulut !” bentak Bu siang tiba-tiba.
Yo Ko pikir wajah orang dalam keadaan muring2 demikian tentu enak sekali dipandang, tetapi si nona duduk di atas pundaknya, maka sukar dilihat, diam2 ia merasa sayang.
Begitulah sambil bicara itu, kemudian tibalah mereka di suatu kota kecil.
Melihat cara sepasang muda-mudi ini, yaitu Bu-siang didukung dengan duduk di atas pundak Yo Ko, semua orang di jalan sama ter-heran2. Akan tetapi Yo Ko tak peduli, ia mencari satu restoran dan minta disediakan daharan, mereka duduk berhadapan
Mendadak Bu-siang mengkerut kening ketika terendus olehnya bau tapi sapi yang menghembus keluar dari badan Yo Ko.
“He, Tolol, kau duduk ke meja sana saja, jangan duduk semeja dengan aku,” katanya pada si pemuda dengan sikap mual.
Yo Ko tidak membantah, dengan tertawa ia duduk ke meja yang lain.
Walaupun demikian, melihat duduk orang masih menghadap ke arahnya, makin dipandang tampang tolol orang semakin menjemukan, maka dengan tarik muka Bu-siang berkata lagi: “Jangan kau pandang aku,” habis ini ia menuding meja yang lebih jauh letaknya dan menyambung : “Sana, pindah ke meja itu !”
Yo Ko menurut, dengan tertawa sambil membawa mangkok nasinya ia malah pindah ke ambang pintu dan duduk di sana lalu makan nasinya.
“Nah, begitulah seharusnya,” kata Bu-siang.
Sungguhpun perut si gadis terasa lapar, tapi dadanya terasa sakit oleh tulang yang patah itu, ia menjadi uring2an dan maunya melampiaskan marah2nya pada Yo Ko saja, tetapi karena orang sudah duduk begitu jauh, ia tak ada alasan lagi untuk mem-bentak2 atau mengomel padanya.
Begitulah selagi ia kesel sekali, tiba2 didengarnya di luar pintu sana ada suara orang ber-dendang : “Nona cilik berlakulah murah hati.”
Habis ini ada seorang lagi terus menyambung: “Sedekahlah semangkok nasi pada si pengemis !”
Waktu Bu-siang angkat kepalanya, terlihatlah empat pengemis berdiri sejajar di luar pintu, ada yang tinggi, ada yang pendek, semuanya sedang memandang ke arahnya.
Karena dia pernah melukai seorang pengemis dengan senjatanya “Gin-ko-to” atau golok perak melengkung, kini nampak kedatangan empat orang ini tidak mengandung maksud baik, diam2 ia terkejut.
Sementara itu ia dengar orang ketiga dari pengemis2 itu sedang menyambung dendangan kawannya tadi: “Jalan ke sorga tidak kau tempuh !” Lalu orang keempat lantas menyambung juga : “Neraka tak berpintu hendak kau masuki!”
Begitulah lagu yang dinyanyikan keempat pengemis itu adalah lagu minta2 yang biasa disuara-kan kaum pengemis, Pada tangan kanan tiap2 pengemis itu membawa sebuah mangkok rusak dan tangan kiri mencekal sepotong kayu yang masih berkulit, pundak mereka masing2 menggendong 6 buah kantong goni.
Melihat dandanan pengemis2 ini, teringat oleh Bu-siang apa yang pernah dia dengar dari cerita sang Suci - Ang Ling-po, bahwa anggota Kay-pang mem-beda2kan tingkatan dengan menghitung kantong goni yang digendong mereka, melihat empat pengemis yang membawa 6 kantong ini, maka dapatlah diketahui mereka adalah anak murid 6 kantong yang tergolong tinggi tingkatannya dalam Kay-pang.
Pengaruh Kay-pang di daerah utara dan selatan sungai - Yangce - waktu itu sangat besar, maka demi nampak sekaligus didatangi empat jago2 Kay-pang berkantong 6, kuasa hotel lantas tahu bakal terjadi peristiwa besar, keruan ia menjadi gugup dan tegang, Iekas2 ia memberi tanda pada kawan2 pelayannya dan suruh mereka sekali2 jangan membikin marah tokoh2 Kay-pang itu.
Di samping Iain Liok Bu-siang tidak lagi memandang empat pengemis itu, ia hanya pandang daharan yang berada di mejanya, sedang dalam hati ia memikirkan tipu-daya untuk meloloskan diri, Tetapi musuh ada empat orang, dirinya sendiri terluka, sedang si Tolol itu apa betul2 pandai ilmu silat masih sukar dipastikan sekalipun betul bisa silat, namun kelakuannya gila-gilaan tak genah, tidak nanti tinggi ilmu silatnya dan susah juga melawan empat jagoan Kay-pang.
Begitulah meski Bu-siang biasanya sangat pintar dan cerdik, kini terasa tak berdaya juga seketika.
Sebaliknya Yo Ko lagi sibuk urusi isi mangkoknya dan sama sekali tidak ambil pusing terhadap empat pengemis itu, sehabis “langsir” isi se mangkok ke dalam perutnya, ia mendekati mejanya Bu-siang dan tambah nasi lagi semangkok penuh, berbareng itu ia samber sepotong ikan (laut), karena ikan itu masak kuah, maka airnya menetes-netes di atas meja.
“Hehe, makan ikan !” dengan ke-tawa2 tolol ia berkata.
Melihat rupa orang, alis Bu-siang terkerut terlebih rapat, tetapi kini tiada banyak tempo lagi buat mendamperat orang, sebab terdengar olehnya keempat pengemis tadi sesudah melagukan “si nona cilik” tadi secara sambung-menyambung hingga berulang tiga kali, empat pasang mata merekapun terus membelalak ke arahnya.
Oleh karena masih belum mendapatkan sesuatu akal untuk melayani orang, terpaksa Bu-siang pura2 tidak dengar saja dan dengan kepala menunduk menyumpit nasinya dengan pelahan.
“Nona cilik, jika semangkok nasi saja tak kau beri, maka harap memberi sedekah sebilah golok lengkung saja,” kata seorang diantara pengemis itu tiba2, rupanya mereka sudah tak sabar.
“Marilah kau ikut bersama kami, takkan kami persulit kau, kami hanya ingin tanya duduknya perkara dan tentu ada keputusan secara adil,” demikian kata yang lain pula.
Selang tak lama, pengemis yang ketiga pun mendesak lagi: “Hayo, lekaslah, apa perlu kami gunakan kekerasan ?”
Dalam keadaan demikian Bu-siang menjadi serba salah, ia tidak tahu apa harus menjawab atau tidak.
“Tidak nanti kami minta2 secara paksa dan empat laki2 menghina seorang nona cilik, kami hanya ingin kau ikut pergi untuk menimbang siapa kiranya di pihak yang benar,” akhirnya pengemis yang keempat pun ikut berkata.
Mendengar lagu suara orang, Bu-siang insaf sebentar lagi tentu pakai kekerasan, meski tahu tak ungkulan, namun tak bisa mandah menerima kematian, maka dengan tangan kiri memegang bangku ia, tunggu bila lawan berani maju, segera dengan bangku itu akan kuhantamkan dahulu kepada musuh.
“Sudah tiba waktunya kini,” demikian Yo Ko juga sedang pikir, Kemudian ia mendekati meja Bu-siang lagi, ia angkat piring ikan orang untuk mengambil lauk-pauk.
“Ah aku minta kuahnya,” demikian dengan samar2 ia bicara karena mulutnya sedang mengunyah sepotong ikan dengan lezatnya.
Sembari berkata, piring ikan yang dia angkat tadi sengaja ia miringkan hingga setengah mangkok kuah yang masih panas tertuang semua di atas lengan Bu-siang.
Karena kejadian ini, tiba2 Bu-siang berpaling dan menggeser sedikit tubuhnya untuk periksa kuah yang menuang badannya itu.
“Ai, celaka !” seru Yo Ko pura2 kaget, habis ini ia berlagak kelabakan hendak membersihkan noda kuah itu, Pada saat itu juga, dengan sedikit miringkan mukanya keluar, tiba2 ia menguap terus menyemprot hingga belasan duri tulang ikan yang tajam menyamber keluar dengan cepat ke arah keempat pengemis tadi.
Sama sekali keempat pengemis itu tidak menduga akan kejadian ini, sedikitpun mereka tidak nampak jelas atau tiba2 siku mereka tempat “kiok-ti-hiat” terasa kesemutan, lalu terdengar suara gedubrakan, empat mangkok mereka yang bobrok itu terbanting ke lantai hingga pecah berantakan be-himpun empat pentung kayu mereka.
Sementara itu dengan bajunya yang sudah rombeng Yo Ko tiada hentinya menyeka air kuah yang menuang lengan Bu-siang tadi sambil dengan ter-putus2 ia berkata: “Ja… jangan kau marah, aku… aku bersihkan kau.”
“Pergi!” mendadak Bu-siang membentak.
Ketika ia menoleh kembali untuk melihat keempat pengemis tadi menghilang di simpang jalan raya sana, sedang empat pentung dan mangkok yang sudah pecah berantakan terserak di lantai Bu-siang menjadi ragu2 dan heran oleh kelakuan pengemis2 itu, mengapa tanpa sebab lantas pergi begitu saja ?
Dalam pada itu ia lihat Yo Ko dengan kedua tangannya yang kotor dengan kuah ikan dan air sayur lainnya masih mengusap dan menyeka serabutan di atas meja, ia menjadi marah dan men-damperat lagi. “Pergi menyingkir apa kau kira tak kotor ?”
“Ya, ya !” sahut Yo Ko ber-ulang2 sambil kedua tangannya menggosok2 bajunya untuk menghilangkan kotorannya.
“Cara bagaimanakah keempat pengemis itu pergi ?” tanya Bu-siang kemudian sambil mengkerut kening.
“Tentunya karena nona tak mau memberi sedekah, toh tiada gunanya minta2 terus, maka mereka lantas pergi,” ujar Yo Ko.
Si gadis ber-pikir2 sejenak lagi dan tetap tak diketahui apa sebabnya, Lalu ia ambil serenceng uang perak dan suruh Yo Ko membeli seekor keledai sesudah bayar uang daharan, dia lantas menunggang keledai yang baru dibeli ini untuk berangkat.
Tetapi tulang iga dekat dadanya yang patah itu belum sembuh, maka baru saja ia naik, terasa lah sakit sekali sampai mukanya putih pucat.
“Sayang aku terlalu kotor lagi bau, kalau tidak, boleh juga kudukung kau di atas pundak”, demikian kata Yo Ko.
“Hm, omong yang tidak2,” Bu-siang menjengek berbareng ia tarik tali kendali menjalankan keledainya.
Siapa duga binatang itu ternyata sangat bandel, tabiatnya pun buruk, bukannya ia jalan ke depan, sebaliknya tubuhnya me-nyirik2 minggir hingga mepet tembok bahkan badan Bu-siang di-gosok2kan lagi pada tembok itu.
Memaognya Bu-siang masih lemas karena luka, keruan ia berteriak kaget dan terbanting jatuh. Untung ilmu silatnya cukup hebat, begitu sebelah kakinya menginjak tanah, dengan segera ia bisa berdiri tegak, cuma ia menjadi kesakitan lagi lukanya
“Sudah terang kau lihat aku jatuh terbanting kenapa kau tidak memayang diriku ?” dengan gusar ia melampiaskan rasa dongkolnya pada Yo Ko.
“Bu…. bukankah badanku kotor!” sahut Yo Ko,
“Apa kau tak bisa cuci dulu ?” kata Bu-siang lagi
Yo Ko tidak menjawab melainkan nyengir saja.
“Lekas kau dukung aku ke atas keledai,” bentak si gadis pula.
Yo Ko menurut, ia menaikkan ke punggung keledai Tetapi begitu merasa punggungnya ada penunggang, segera keledai itu hendak main gila.
“Lekas kau tuntun keledai ini,” kata Bu-siang.
“Ti… tidak, aku takut didepak olehnya.” sahut Yo Ko.
Bu-siang menjadi dongkol “Kurangajar si tolol ini, bilang dia tolol nyatanya dia tidak tolol, bilang tidak ia justru tolol, sudah terang maksudnya ingin memondong diriku,” demikian pikirnya.
Karena terpaksa, akhirnya ia berkata lagi: “Baiklah, kaupun menunggang ke atas sini.”
“Nah, kau sendiri yang suruh aku, tapi jangan kau bilang aku kotor, lalu mendamperat dan memukul aku lagi,” ujar Yo Ko.
“Ya, ya, cerewet saja !” sahut Bu-siang mengkal.
Maka dengan tertawa kecil barulah Yo Ko melompat ke atas keledai dengan pelahan, dengan kedua tangannya ia rangkul si gadis yang duduk di depannya, ketika kedua kakinya sedikit mengempit karena kesakitan, maka keledai itu tak berani binal lagi, dengan jinak berjalan menurut perintah.
“Pergi ke mana ?” tanya Yo Ko.
“Sana,” sahut Bu-siang sambil menunduk ke arah tenggara. ia sudah mencari tahu sebelumnya tentang perjalanan sebenarnya hendak ditempuhnya arah timur melalui Ciongkoan dan kemudian baru memutar ke daerah selatan, ini memang jalan raya yang biasa dilalui.
Tetapi sejak ketemu empat pengemis yang lain, adalah lebih baik menempuh jalan kecil saja, walaupun sedikit lebih jauh, paling perlu cari selamat.
Begitulah terdengar suara tapak kaki keledai yang ketuprak2 berjalan pelahan ke arah yang dipilihnya itu.
Baru saja mereka keluar dari kota, tiba2 dari tepi jalan ber-Iari2 mendatangi satu anak petani yang berumur belasan, “Nona Liok, ini sesuatu barang buat kau,” demikian seru bocah itu sambil mapaki keledai yang mereka tunggangi. Berbareng itu menimpukkan seikat bunga ke arah Bu-siang, habis ini ia angkat kaki dan berlari pergi lagi
Waktu karangan bunga itu diterima Bu-siang dan diperiksa, ia lihat hanya seikat bunga biasa saja dan disamping terikat sepucuk surat dengan benang, lekas si gadis membuka sampulnya dan keluarkan selembar kertas kuning dari dalamnya, ia lihat surat itu tertulis: “Sekejap lagi gurumu bakal datang, lekas sembunyikan diri, lekas !”
Kertas surat itu sangat kasar, sebaliknya tulisannya ternyata bergaya sangat bagus. Bu-siang ter-heran2 dan ragu2 mengapa orang kenal dia she Liok dan siapakah anak itu ? Mengapa mengetahui juga gurunya segera bakal datang ?”
“Apa kau kenal anak tadi ?” demikian ia lantas tanya Yo Ko. “Apa Kokohmu yang suruh dia ke sini ?”
Sementara itu dari belakang Bu-siang si Yo Ko juga dapat membaca isi surat itu, maka iapun sedang memikir : “Terang sekali anak tadi hanya anak petani biasa, tentu datangnya ini disuruh orang lain untuk mengirim surat. Cuma entah siapakah orang yang menulis surat itu ? Tampak-orang memang bermaksud baik, kalau betul sampai Li Bok-chiu mengejar datang, lalu bagaimana baiknya ?”
Harus diketahui meski Yo Ko sudah mempelajari Giok-li-sim-keng dan Kiu-im-cin-keng, seorang diri memiliki dua macam ilmu silat yang paling tinggi di dunia persilatan, sejak dulu hingga kini boleh dikatakan hanya dia sendiri saja, cuma sayang karena waktunya belum Iama, meski sudah dipahami intisari pelajaran ilmu silat yang hebat itu, namun latihannya masih kurang matang, maka belum banyak hasilnya untuk digunakan. Kalau sampai kena disusul Li Bok-chiu, terang ia masih bukan tandingan orang, karena inilah ia sedang pikir dan ragu-ragu.
Mendengar pertanyaan Bu-siang tadi, maka Yo Ko menjawab: “Entah, aku tak kenal dia, tampaknya juga bukan Kokoh yang menyuruh dia.”
Baru habis ia menjawab, tiba2 terdengar bunyi alat2 tetabuhan dan tiupan, menyusul mana dari depan muncul sebuah joli yang digotong dengan belasan orang pengiringnya, kiranya ada orang sedang melangsungkan perkawinan, ”
Meski alat2 musik yang dibunyikan itu berbau kampungan, tetapi suasana cukup riang gembira.
Nampak keadaan ini, tiba2 pikiran Yo Ko tergerak, ia pikir kalau betul2 Li Bok-chiu dan Ang Ling-po mengejar tiba, di siang hari bolong sesungguhnya tiada tempat untuk bersembunyi lagi, Karena itu segera ia tanya Bu-siang: “Nona Liok, kau ingin menjadi pengantin tidak ?”
Bu-siang sendiri memangnya lagi bingung karena kuatir tertangkap gurunya yang kejam itu, kini mendengar orang bertanya secara tolol, kemari ia gusar. “ToIol, kau mengaco-belo apa lagi ?”j damperatnya.
“Haha, maukah kita main sembayang dan jadi pengantin ?” demikian sahut Yo Ko dengan tertawa, “Mau tidak kau menyamar pengantin perempuan ? Sungguh cantik sekali tampaknya, muka ditutup kudung merah, pasti orang lain takkan mengenali kau.”
Karena kata2 Yo Ko terakhir ini, Bu-siang tergerak hatinya.
“ToIol, apa kau suruh aku menyamar untuk menghindari guruku ?” ia tanya.
“Aku tak tahu, hihi, kalau kau jadi pengantin perempuan, aku akan jadi pengantin Ielakinya,” sahut Yo Ko.
Dalam keadaan terpaksa, Bu-siang tak sempat lagi mendamperat orang, ia pikir: “Kelakuan si Tolol ini sungguh aneh sekali, tapi kecuali jalan ini memang tiada cara lain lagi.”
Karena itu segera ia tanya: “lalu cara bagaimana menyamarnya ?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar