Senin, 26 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 89



Kembalinya Pendekar Rajawali 89

Dengan tersenyum getir Yo Ko menjawab: “Lengan buntung, dengan sendirinya lantaran di-tabas orang.”
Siao-Iiong li memandanginya dengan perasaan pedih, tiada hasratnya buat bertanya lagi siapa yang mengutungi tangan sang kekasih, kalau bernasib jelek, siapapun yang melakukannya kan sama saja.
Dalam pada itu luka di dada dan punggungnya terasa sakit luar biasa, ia tahu jiwanya tak bisa tahan lama lagi, dengan suara pelahan ia berkata: “Ko-ji, aku ingin memohon sesuatu padamu.”
“Kokoh, masakah kau sudah lupa, ketika kita berdiam dikuburan kuno kan sudah pernah kusanggupi kau bahwa apa yang kau ingin kulakukan bagimu pasti akan kulaksanakan,” jawab Yo Ko.
“Ya, itu sudah lama berselang!” ujar Siao-liong-li sambil menghela napas panjang.
“Tapi bagiku selamanya tetap begitu,” jawab Yo Ko tegas.
Siao liong-li tersenyum pedih, katanya pula dengan lirih: “Hidupku takkan lama lagi, kuingin kau mendampingi aku, menunggui aku dan memandangi aku hingga kumati, jangan kau tinggal pergi mendampingi nonamu si Kwe Hu itu.”
Hati Yo Ko menjadi berduka dan mendadak merasa gemas pula, jawabnya: “Kokoh, sudah tentu aku akan mendampingi kau, Nona Kwe itu ada sangkut-paut apa denganku? Justeru dia yang menabas kutung lenganku ini!”
“Hah, dia. dia yang melakukan?” Siao liong li menegas dengan kaget “Mengapa dia begitu keji? Apakah…. apakah disebabkan kau tidak suka padanya?”
“Kita berdua begini baik, mengapa engkau meragukan diriku?” kata Yo Ko. “Selain kau, selamanya belum pernah kucintai gadis lain, Tentang nona Kwe ini, hm….” tapi sebelum Siao-Iiong li mendengar ucapannya ini, dia sudah pingsan dalam pangkuan Yo Ko.
Lengan kanan Yo Ko itu memang betul ditabas kutung oleh Kwe Hu. sebagaimana sudah diceritakan waktu kedua orang bertengkar selagi Yo Ko masih berbaring di tempat tidurnya karena belum sembuh dari lukanya, saking gusarnya Kwe Hu telah samber Ci-wi-kiam, pedang lemas yang terletak di meja terus ditabaskan tanpa pikir.
Dalam keadaan kepepet, sekenanya Yo Ko rampas Siok- li-kiam yang dibawa ke situ oleh Kwe Hu itu untuk menangkis.
Tapi pedang yang dipegang Kwe Hu itu adalah senjata maha tajam dan sangat berat, yaitu pedang yang pernah digunakan mendiang Tokko Kiu-pay untuk malang melintang di dunia Kangouw tanpa ketemu tandingan walaupun Siok ii-kiam juga tergolong pedang mestika, tapi tetap tertabas kutung oleh pedang Kwe Hu itu.
Malahan saking gemasnya si nona menabas sehingga sukar baginya untuk menahan lajunya pedang, tahu-tahu sebelah lengan Yo Ko juga ikut tertabas kutung.
Sama sekali tak terduga bahwa serangan itu akan mendatangkan akibat sehebat itu, kalau Yo Ko kaget dan gusar, tak terkatakan, Kwe Hu juga melongo kesima, ia menyadari telah berbuat sesuatu kesalahan yang sukar diperbaiki lagi. Dilihatnya darah segar terus merembes-dari lengan Yo Ko yang sudah buntung itu, ia menjadi bingung dan tidak tahu apalagi yang harus dilakukannya.
Selang sejenak mendadak ia menjerit dan menangis terus berlari keluar sambil menutupi mukanya,
Setelah bingung sejenak, segera pula Yo Ko dapat menenangkan diri, cepat ia menggunakan tangan kiri untuk menutuk Ko-cing-hiat di bahu kanan sendiri dan merobek kain seperei untuk membalut lengan buntung itu agar darah tidak keluar lebih banyak, kemudian ia bubuhi obat luka pula, ia pikir dirinya tidak dapat tinggal lebih lama lagi di situ dan harus lekas pergi. pelahan ia berjalan beberapa langkah sambil berpegangan dinding, tapi lantaran terlalu banyak kehilangan darah, mendadak pandangannya menjadi gelap dan hampir saja jatuh pingsan.
Pada saat itulah didengarnya suara Kwe Ceng sedang
berteriak: “Lekas, lekas! Bagaimana keadaannya? Darahnya sudah mampet belum?” Nada suaranya penuh rasa kuatir dan cemas, Yo Ko tahu sang paman yang belum sehat itu sengaja datang buat menjenguknya, tiba-tiba timbul pikirannya untuk tidak menemui Kwe Ceng lagi. Maka sekuatnya ia mengumpulkan tenaga terus menerjang keluar kamar.
Kwe Ceng sendiri waktu itu belum sehat, ketika tiba-tiba Kwe Hu datang memberi tahu dengan menangis bahwa nona itu telah menguntungkan lengan Yo Ko, Kwe Ceng menjadi kaget, cepat ia samber palang pintu untuk digunakan sebagai tongkat sambil menahan rasa sakit ia memburu ke kamar Yo Ko. Tapi sebelum masuk kamar, mendadak dilihatnya Yo Ko berlari keluar dengan berlumuran darah.
Tanpa menoleh Yo Ko terus berlari keluar rumah, ia cemplak ke atas kuda yang tertambat di depan rumah terus dilarikan ke pintu gerbang benteng, penjaga pintu benteng pernah menyaksikan Yo Ko dengan tangkasnya menyelamatkan Kwe Ceng dari serangan pasukan mongol, maka ia tidak berani merintanginya walaupun melihat sikap anak muda itu rada aneh segera ia membukakan pintu gerbang dan membiarkan Yo Ko pergi.
Sementara itu pasukan Mongol sudah mundur beberapa puluh li jauhnya dari benteng Siangyang, Yo Ko tidak mengambil jalan raya melainkan melarikan kudanya ke jalan kecil yang sepi. ia membatin. “Racun bunga cinta yang mengeram di dalam diriku ternyata tidak mematikan aku meski -sudah lewat batas waktunya, bisa jadi seperti apa yang dikatakan paderi sakti Than-tiok itu bahwa racun bunga cinta mungkin dikalahkan oleh racun jarum berbisa milik Li Bok-chiu yang kuisap itu sehingga jiwaku malah tertolong.
Dalam keadaan terluka parah seperti sekarang ini, kalau kucari Kokoh ke Cong-lam-san yang jauh itu pasti tidak tahan, apakah memang sudah ditakdirkan jiwaku harus melayang di tengah perjalanan begini?”
Teringat kepada nasib sendiri yang kenyang duka derita, kecuali hidup tenteram bersama Siao liong-li di kuburan kuno itu boleh dikatakan jarang hidup dalam keadaan gembira, sekarang jiwanya sudah dekat ajalnya, satu-satunya orang yang dikasihinya di dunia ini sekarang juga sudah pergi,
malahan anggota badannya dibikin cacat orang pula, terpikir semua ini, tanpa terasa air matanya lantai bercucuran.
Dia mendekap di atas kuda dalam keadaan sadar-tak-sadar ia terus melarikan kudanya kedepan, yang dia harap asalkan tidak ditemukan Kwe Ceng dan tidak kepergok pasukan Mongol, maka ke manapun tak menjadi soal baginya.
Karena itu tanpa-sengaja dia telah menuju ke lembah sunyi, di sana kemarin malam baru saja terjadi perkelahiannya dengan kedua saudara Bu.
Sementara itu hari sudah gelap, sekeliling sunyi senyap dan semak-semak rumput belaka, ia pikir di sekitar situ pasti tiada orang lain, segera ia turun dari kudanya terus merebahkan diri, ia sudah tidak memikirkan mati hidupnya lagi, kemungkinan di serang binatang buas atau digigit ular berbisa juga tak dihiraukannya, terus saja ia tertidur.
Akan tetapi sampai tengah malam ia sudah terjaga karena kesakitan pada lukanya dan tak dapat pulas lagi. Paginya waktu ia berbangkit terlihat di sisi tempat berbaringnya itu ada dua ekor kelabang besar menggeletak kaku di situ, badan kelabang2 itu loreng merah hitam dan sangat menyeramkan dengan kepala berlepotan darah.
Yo Ko terkejut, dilihatnya pula di samping kedua bangkai kelabang itu ada bekas lumuran darah. setelah dipikir sejenak, tahulah dia akan persoalannya. Rupanya darah itu merembes keluar dari lukanya waktu dia tidur tadi, sedangkan dalam darahnya itu mengandung kadar racun bunga cinta, kedua ekor kelabang itu mati oleh darah beracun itu.
Yo Ko menyeringai sendiri, tak terpikir olehnya bahwa darahnya ternyata jauh lebih berbisa daripada binatang sehingga kelabangpun tidak tahan. Hatinya terasa pedih, duka dan penasaran tak terlampiaskan, ia menengadah dan tertawa keras-keras…
Tiba terdengar suara burung berkotek di atas bukit sana, waktu ia memandang ke sana, terlihat si rajawali raksasa tempo hari itu berdiri di puncak bukit dengan bersitegang leher dan membusungkan dada, meski tampang burung itu jelek dan menakutkan, tapi juga membawa kegagahannya yang berwibawa.
Yo-Ko sangat girang, seperti bertemu dengan kenalan lama saja ia lantas berteriak: “He, kakak rajawali kita bertemu pula di sini”
“Rajawali itu berbunyi panjang satu kali terus menerjang turun dari bukit itu. Karena badannya besar dan kuat sayapnya pendek, bulunya jarang-jarang, maka rajawali itu tidak dapat terbang, tapi larinya sangat cepat melebihi kuda, dalam sekejap saja ia sudah berada disamping Yo Ko. Ketika melihat sebelah lengan anak muda itu buntung,
dengan mata tak berkedip burung itu memandanginya sa-akan2 heran.
“Tiau-heng (kakak rajawali), aku sedang tertimpa malang maka sengaja datang ke sini mencari kau,” kata Yo Ko dengan menyeringai.
Entah rajawali itu paham ucapannya tidak, yang jelas burung itu tampak manggut-manggut, lalu memutar tubuh dan melangkah ke sana, Segera Yo Ko menuntun kudanya dan mengintil dari belakang.
Tapi baru beberapa langkah saja, mendadak raja wali sakti itu membalik, sekonyong-konyong sebelah sayapnya menjulur dan “bluk”, dengan keras sayapnya menyabet punggung kuda.
Betapa hebat tenaga hantaman sayapnya itu, tanpa ampun kuda itu meringkik terus roboh terkulai tak bernyawa lagi.
 “Ya, benar, kalau aku sudah berada di tempat Tiau-heng tentu tidak perlu pergi lagi dan apa gunanya kuda ini?” ujar Yo Ko.
BegituIah Yo Ko lantas mengikuti lagi rajawali itu, Tidak lama sampailah mereka di gua tempat menyepi Tokko Kiu-pay dahulu, Melihat makam batu itu, menjadi sangat terharu, tokoh maha sakti yang tiada ketemukan tandingan semasa hidupnya itu akhirnya toh meninggal juga di lembah sunyi ini.
Melihat tingkah lakunya ini, tentu ilmu silatnya maha tinggi dan wataknya menjadi nyentrik dan sukar bergaul dengan orang lain, makanya lantas menyepi bersama rajawali sakti ini.
Cuma sayang rajawali ini meski cerdik, tapi tak dapat bicara sehingga sukar diketahui kisah hidup Tokko Kiu-pay yang pasti sangat menarik itu.
Selagi Yo Ko duduk termenung di dalam gua, sementara itu rajawali itu telah datang dari luar gua dengan membawa dua ekor kelinci. Cepat Yo Ko membuat api untuk memanggang dan dimakan nya dengan kenyang.
Cara begitulah beberapa hari telah berlalu, luka lengan Yo Ko yang buntung itu juga mulai merapat, kesehatannya semakin pulih, Setiap kali terkenang pada Siao-liong-li tentu dadanya terasa sesak dan sakit, tapi sudah jauh lebih ringan daripada dulu.
Dasar watak anak muda itu memang suka bergerak sepanjang hari dia hanya berkawan rajawali itu di pegunungan yang sunyi, betapapun ia menjadi iseng dan merasa kesepian.
Selang beberapa hari pula, kesehatan Yo Ko sudah pulih seluruhnya. Dilihatnya di belakang gua banyak pepohonan rindang dan pemandangan indah, dalam isengnya ia lantas melangkah ke sana. Kira-kira satu-dua li jauhnya, sampailah dia di depan sebuah tebing yang sangat curam.
Tebing itu menjulang tinggi sehingga mirip sebuah pintu angin raksasa, kira-kira tiga puluh meter dibagian tengah tebing itu mencuat keluar sepotong batu seluas beberapa meter persegi sehingga menyerupai panggung terbuka.
Pada batu besar itu santar2 seperti ada ukiran huruf.
Waktu ia mengamati lebih cermat, agaknya kedua huruf itu berbunyi: “Kiam-bong” (makam pedang) Yo Ko menjadi heran, masakah pedang juga dimakamkan apakah barangkali pedang kesayangan Tokko Kiu-pay itu patah, lalu ditanam di sini?
Ia coba mendekati tebing itu, dilihatnya dinding batunya halus licin, sungguh sukar untuk dibayangkan cara bagaimana orang dahulu itu dapat memanjat ke atas.
Sampai lama sekali ia memandangi panggung batu itu dan semakin tertarik, ia pikir orang itu juga manusia, mengapa dapat memanjat ke atas tebing setinggi itu, tentu ada sesuatu yang aneh dan rahasia.
Setelah diteliti lagi sejenak, tiba-tiba dilihatnya dinding tebing itu memang ada sesuatu yang menang yaitu tumbuhan lumut hijau yang berjumlah puluhan rumpun secara lurus dari bawah ke atas dalam jarak satu-dua meter, Tergerak hati Yo Ko. ia coba melompat ke atas, ia meraba rumput lumut hijau yang paling rendah itu, hasilnya tangannya menggenggam secomot tanah, jelas lumut itu tumbuh pada sebuah dekukan,
agaknya dicukil oleh senjata tajam oleh Tokko Kiu-pay dahulu, karena sudah ber-tahun-tahun kena air hujan, sinar matahari, dekukan itu tertimbun kotoran dan tumbuhan lumut itu.
Karena iseng, Yo Ko menjadi tertarik dan ingin tahu apa yang terdapat pada makam pedang itu, Cuma sebelah tangannya buntung, untuk memanjat kurang leluasa. Namun dia anak muda yang berkemauan keras, segera ia kencangkan ikat pinggang, ia kumpulkan tenaga dan melompat setinggi-nya ke atas, begitu sebelah kakinya menginjak dekukan dinding itu segera melompat lagi ke atas, sebelah kakinya mendepak tepat pada rumpun lumut tingkat kedua, ternyata tempatnya lunak, kakinya dapat menghinggap di situ.
Dan begitulah seterusnya ia melompat lebih 20 kali ke atas dengan menggunakan tangga dekukan dinding itu, namun akhirnya terasa tenaga mulai lemas, untuk memanjat lebih tinggi terasa tidak kuat, terpaksa ia merosot ke bawah pula.
Ia lihat sudah tiga perempat anak tangga dekukan dinding itu dipanjatinya, kalau diulangi lagi sekali pasti akan mencapai panggung batu itu. Segera ia duduk mengumpulkan tenaga dalam, sesudah cukup kuat, dengan cara seperti tadi ia memanjat pula ke atas dan sekaligus panggung batu itu dapat dicapainya.
Diam-diam Yo Ko bersyukur bahwa Ginkang sendiri tenyata tidak berkurang dari pada semula, meski kini tangannya buntung sebelah, ia lihat di samping kedua hurup besar “makam pedang” itu ada pula ukiran dua baris tulisan yang lebih kecil yang berbunyi: “Karena tidak menemukan tandingan lagi di dunia ini, maka pedangpun kutanam di sini, Oho, semua pahlawan tak berdaya, pedangpun tiada gunanya lagi, alangkah sedihnya bagiku”
Heran dan kagum pula Yo Ko terhadap tokoh sakti itu, ia merasa Locianpwe itu tentu sangat angkuh dan mengagulkan kemampuannya sendiri. Cuma untuk mencapai tingkatan tiada tandingan di seluruh dunia, jelas dirinya tidak mampu, apalagi sekarang sebelah lengan sudah buntung, hal ini jelas tiada harapan selama-lamanya.
Yo Ko duduk termenung di situ, sebenarnya pingin sekali mengetahui bagaimana macamnya senjata yang di makamkan itu, tapi ia tidak berani merusak petilasan tokoh angkatan tua itu.
Tiba-tiba terdengar di bawah sana ada suara barang berkotek, ia coba melongok ke bawah, tertampak rajawali sakti itu sedang melompat keatas dengan menggunakan cakarnya yang tajam mencengkeram setiap dekukan dinding tebing, Meski berat tubuhnya, tapi kakinya sangat kuat, sekali lompat dapat mencapai beberapa meter tingginya, hanya sekejap saja ia sudah berada di samping Yo Ko.
Sesudah celingukan kian kemari sejenak, rajawali itu manggut-manggut pada Yo Ko sambil berbunyi beberapa kali dengan suara yang aneh, Sudah tentu Yo Ko melongo bingung karena tidak paham maksud burung itu.
Setelah berbunyi lagi beberapa kali, lalu rajawali itu menggunakan cakarnya yang kuat itu untuk mencakar batu-batu di atas makam itu, tiba-tiba timbul pikiran Yo Ko, ia menduga di makam pedang itu mungkin tertanam sebangsa kitab ilmu pedang tinggalan Tokko Kiu-pay yang maha sakti itu.
Dilihatnya rajawali itu terus mencakar dengan kedua kakinya, sebentar saja batu itu sudah tersingkir semua dan tertumpuk lah tiga batang pedang berjajar, di antara pedang pertama dan kedua terselip pula sepotong lapisan batu tipis.
Ketiga pedang dan batu tipis itu terletak berjajar di atas batu hijau yang cukup besar.
Yo Ko coba mengangkat pedang pertama di sebelah kiri itu, dilihatnya di atas batu tempat pedang itu tertaruh ada terukir sebaris tulisan. Setelah di baca, kiranya cuma catatan belaka yang menerangkan pedang itu sangat tajam dan semasa mudanya pernah digunakan untuk menempur jago- jago silat.
Waktu ia mengamat-amati pedang itu panjangnya satu meteran itu, cahaya hijau tampak gemerdep dan memang senjata sangat tajam.
Ia coba berjongkok dan memegang batu tipis itu, di atas batu besar tepat di bawah batu tipis itupun ada ukiran tulisan yang menjelaskan: “Pedang lemas Ciwi-kiam, digunakan semasa usia 30-an, salah membunuh orang baik, senjata yang beralamat jelek, maka kubuang ke jurang sunyi”
Tergetar hati Yo Ko, ia pikir lengan sendiri justeru terkutung oleh pedang Ci-wi-kiam itu, rupanya pedang itu dibuang di jurang sunyi itu oleh Tokko Kiu-pay dan ditelan oleh ular raksasa, tapi secara kebetulan telah diketemukan olehnya.
Kalau saja di dunia ini tiada pedang tajam itu, meski dalam keadaan sakit juga lengannya takkan tertabas kutung oleh Kwe Hu.
Untuk sejenak ia termangu-mangu, ketika ia angkat juga pedang kedua, baru saja terangkat sedikit, sekonyong-konyong terjatuh pula di atas batu hingga menerbitkan suara keras dan mencipratkan lelatu api, keruan ia terkejut.
 Padahal pedang itu berwarna gelap kotor dan tiada sesuatu tanda aneh, namun bobotnya ternyata tidak kepalang beratnya, panjangnya tiada satu meter, tapi beratnya ada 60-70 kati, beberapa kali lebih berat daripada senjata panjang yang biasa digunakan orang di medan perang, ia pikir mungkin tadi dirinya sendiri belum siap sehingga kurang kencang memegangi pedang itu.
Segera ia taruh kembali pedang pertama dan batu tipis tadi, lalu ia angkat lagi pedang yang berat itu.
Karena sudah bersiap, pedang yang beratnya 6070 kati itu bukan soal lagi baginya, ia lihat ke dua mata pedang itu puntul semua, malahan ujung pedang berbentuk setengah bundar dan tidak runcing seperti pedang umumnya, ia menjadi heran, sudah begitu berat, ujung dan mata pedang juga puntul segala apa gunanya?
Di atas batu di bawah pedang itupun ada ukiran dua baris huruf yang artinya menjelaskan pedang puntul dan berat itu digunakan Tokko Kiu-pay untuk malang melintang di dunia persilatan pada waktu berusia sekitar 40-an, ia menjadi heran pula cara bagaimana orang menggunakan pedang seberat itu dan tidak tajam pula.
Selang sejenak, ia mengambil lagi pedang ke tiga, Sekali ini dia kecele lagi, Disangkanya pedang itu pasti lebih berat daripada pedang puntul itu maka sebelumnya ia telah kumpulkan tenaga untuk mengangkatnya.
Siapa tahu benda yang diangkatnya ternyata enteng sekali seperti tidak berbobot.
Waktu ia mengamati, kiranya pedang itu terbuat dari kayu, lantaran sudah terlalu tua, gagang dan batang pedangnya sudah lapuk, batu di bawah, pedang itu juga terukir keterangan “Setelah berusia 40 tahun, tidak mementingkan senjata lagi, segala benda dapat kugunakan sebagai pedang, sejak itu latihanku semakin sempurna, mulai mencapai tingkatan tanpa pedang melebihi memakai pedang”
Dengan khidmat Yo Ko meletakkan kembali pedang kayu itu ke tempat semula, ia sangat gegetun akan ilmu sakti tokoh Tokko Kiu-pay yang sukar dibayangkan, ia pikir di bawah batu hijau yang besar itu bisa jadi terpendam benda-benda lain lagi. Maka se-kuatnya ia eoba menggeser batu itu, namun dibawah batu bijau itupun cuma batu gunung saja tanpa sesuatu benda lain, tanpa terasa ia menjadi sangat kecewa.
Mendadak rajawali raksasa itu berbunyi sekali, pedang puntul yang berat itu tiba-tiba dipatuknya, lalu diangsurkan kepada Yo Ko, habis itu ia berkaok dua kali lagi.
“O, kakak rajawali apakah kau ingin menjajal kepandaianku?” kata Yo Ko dengan tertawa, “Baiklah, daripada iseng, bolehlah kita main-main beberapa jurus.”
Akan tetapi ia merasa sukar memainkan pedang puntul yang berat itu, ia lemparkan pedang itu dan menjemput pedang tajam yang pertama tadi.
Tak terduga, mendadak rajawali sakti menarik sayapnya, lalu membalik tubuh ke sana tanpa menggubris Yo Ko lagi, sikapnya seperti mencemoohkan.
Sebagai anak muda yang cerdik pandai, segera Yo Ko tahu maksud rajawali itu, katanya dengan tetawa: “Apakah kau ingin kugunakan pedang berat itu? Tapi kepandaianku sangat terbatas, apalagi bergebrak di tempat yang berbahaya ini, tentu aku bukan tandinganmu, untuk ini perlu kau mengalah sedikit.”
Habis berkata ia terus menukar pedang, ia coba mengerahkan segenap tenaga pada tangan kiri- lalu mulai menyerang, pedang menusuk pelahan ke depan.
Rajawali itu tidak memutar tubuh lagi, mendadak sayapnya membentang ke belakang dan tepat menyampuk pedang, untuk seketika Yo Ko merasakan arus tenaga yang maha dahsyat mendesaknya melalui batang pedang sehingga napasnya terasa sesak.
Keruan Yo Ko kaget, cepat ia kumpulkan tenaga untuk melawan “brak”, batang pedangnya bergetar seketika pandangannya terasa gelap dan tak sadarkan diri lagi.
Entah sudah berapa lama barulah ia siuman kembali, dirasakannya ada bekas cairan dalam mulutnya yang manis2 sedap, agaknya dalam keadaan tak sadar ia telah makan sesuatu. Waktu ia membuka matanya, kiranya rajawali sakti itu menggigit satu biji buah warna merah sedang dilolohkannya, ia coba mengunyahnya, rasanya persis sisa rasa dalam mulutnya tadi, agaknya sudah beberapa biji buah semacam itu telah dimakannya tanpa sadar.
Ketika ia coba mengumpulkan tenaga, rasanya pernapasan sangat lancar dan badan juga segar, cepat ia berbangkit dan coba mengulur tangan dan gerakkan kaki, rasanya malah lebih kuat daripada sebeIumnya.
Diam-diam ia heran, pantasnya setelah berkelahi dan dipukul lawan hingga pingsan, walaupun tidak terluka parah sedikitnya juga akan pegal linu sekian lama, apakah barangkali buah merah yang dimakannya ini berkhasiat sebagai obat penyembuh luka serta pemulih tenaga?
Waktu ia jemput lagi pedang puntul itu, rasanya sekarang terlebih ringan daripada tadi, Pada saat itu juga kembali sirajawali sakti berkaok lagi satu kali, sayapnya terus menyabet pula, ia tidak berani menyambutnya, cepat ia mengegos, tapi burung itu terus mendesak maju dan kedua sayapnya menampar sekaligus dengan tenaga dahsyat.
Yo Ko tahu rajawali itu tidak bermaksud jahat padanya, tapi betapapun baiknya juga tetap binatang, kalau dia takdapat menahan sabetan sayapnya, bukankah jiwanya bisa melayang secara konyol? Karena itu cepat ia mundur lagi dua tindak dan rasanya dia sudah berada di tepi panggung batu itu.
Namun rajawali itu sedikitpun tidak kenal ampun, kepalanya menjulur, paruhnya yang bengkok besar itu malah terus mematuk kepala Yo Ko.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar