Kembalinya Pendekar Rajawali 89
Dengan tersenyum getir Yo Ko menjawab:
“Lengan buntung, dengan sendirinya lantaran di-tabas orang.”
Siao-Iiong li memandanginya dengan perasaan
pedih, tiada hasratnya buat bertanya lagi siapa yang mengutungi tangan sang
kekasih, kalau bernasib jelek, siapapun yang melakukannya kan sama saja.
Dalam pada itu luka di dada dan punggungnya
terasa sakit luar biasa, ia tahu jiwanya tak bisa tahan lama lagi, dengan suara
pelahan ia berkata: “Ko-ji, aku ingin memohon sesuatu padamu.”
“Kokoh, masakah kau sudah lupa, ketika kita
berdiam dikuburan kuno kan
sudah pernah kusanggupi kau bahwa apa yang kau ingin kulakukan bagimu pasti
akan kulaksanakan,” jawab Yo Ko.
“Ya, itu sudah lama berselang!” ujar
Siao-liong-li sambil menghela napas panjang.
“Tapi bagiku selamanya tetap begitu,” jawab
Yo Ko tegas.
Siao liong-li tersenyum pedih, katanya pula
dengan lirih: “Hidupku takkan lama lagi, kuingin kau mendampingi aku, menunggui
aku dan memandangi aku hingga kumati, jangan kau tinggal pergi mendampingi
nonamu si Kwe
Hu itu.”
Hati Yo Ko menjadi berduka dan mendadak
merasa gemas pula, jawabnya: “Kokoh, sudah tentu aku akan mendampingi kau, Nona Kwe
itu ada sangkut-paut apa denganku? Justeru dia yang menabas kutung lenganku
ini!”
“Hah, dia. dia yang melakukan?” Siao liong li
menegas dengan kaget “Mengapa dia begitu keji? Apakah…. apakah disebabkan kau
tidak suka padanya?”
“Kita berdua begini baik, mengapa engkau
meragukan diriku?” kata Yo Ko. “Selain kau, selamanya belum pernah kucintai
gadis lain, Tentang nona Kwe ini, hm….” tapi sebelum Siao-Iiong li mendengar
ucapannya ini, dia sudah pingsan dalam pangkuan Yo Ko.
Lengan kanan Yo Ko itu memang betul ditabas
kutung oleh Kwe
Hu. sebagaimana sudah diceritakan
waktu kedua orang bertengkar selagi Yo Ko masih berbaring di tempat tidurnya
karena belum sembuh dari lukanya, saking gusarnya Kwe Hu telah samber
Ci-wi-kiam, pedang lemas yang terletak di meja terus ditabaskan tanpa pikir.
Dalam keadaan kepepet, sekenanya Yo Ko rampas
Siok- li-kiam yang dibawa ke situ oleh Kwe Hu
itu untuk menangkis.
Tapi pedang yang dipegang Kwe Hu itu adalah
senjata maha tajam dan sangat berat, yaitu pedang yang pernah digunakan
mendiang Tokko Kiu-pay untuk malang melintang di dunia Kangouw tanpa ketemu
tandingan walaupun Siok ii-kiam juga tergolong pedang mestika, tapi tetap
tertabas kutung oleh pedang Kwe Hu itu.
Malahan saking gemasnya si nona menabas
sehingga sukar baginya untuk menahan lajunya pedang, tahu-tahu sebelah lengan
Yo Ko juga ikut tertabas kutung.
Sama sekali tak terduga bahwa serangan itu
akan mendatangkan akibat sehebat itu, kalau Yo Ko kaget dan gusar, tak
terkatakan, Kwe Hu juga melongo kesima, ia menyadari telah berbuat sesuatu kesalahan
yang sukar diperbaiki lagi. Dilihatnya darah segar terus merembes-dari lengan
Yo Ko yang sudah buntung itu, ia menjadi bingung dan tidak tahu apalagi yang
harus dilakukannya.
Selang sejenak mendadak ia menjerit dan
menangis terus berlari keluar sambil menutupi mukanya,
Setelah bingung sejenak, segera pula Yo Ko
dapat menenangkan diri, cepat ia menggunakan tangan kiri untuk menutuk
Ko-cing-hiat di bahu kanan sendiri dan merobek kain seperei untuk membalut
lengan buntung itu agar darah tidak keluar lebih banyak, kemudian ia bubuhi
obat luka pula, ia pikir dirinya tidak dapat tinggal lebih lama lagi di situ
dan harus lekas pergi. pelahan ia berjalan beberapa langkah sambil berpegangan
dinding, tapi lantaran terlalu banyak kehilangan darah, mendadak pandangannya
menjadi gelap dan hampir saja jatuh pingsan.
Pada saat itulah didengarnya suara Kwe Ceng
sedang
berteriak: “Lekas, lekas! Bagaimana
keadaannya? Darahnya sudah mampet belum?” Nada suaranya penuh rasa kuatir dan
cemas, Yo Ko tahu sang paman yang belum sehat itu sengaja datang buat
menjenguknya, tiba-tiba timbul pikirannya untuk tidak menemui Kwe Ceng lagi.
Maka sekuatnya ia mengumpulkan tenaga terus menerjang keluar kamar.
Kwe Ceng sendiri waktu itu belum sehat,
ketika tiba-tiba Kwe Hu datang memberi tahu dengan menangis bahwa nona itu
telah menguntungkan lengan Yo Ko, Kwe Ceng menjadi kaget, cepat ia samber
palang pintu untuk digunakan sebagai tongkat sambil menahan rasa sakit ia
memburu ke kamar Yo Ko. Tapi sebelum masuk kamar, mendadak dilihatnya Yo Ko
berlari keluar dengan berlumuran darah.
Tanpa menoleh Yo Ko terus berlari keluar
rumah, ia cemplak ke atas kuda yang tertambat di depan rumah terus dilarikan ke
pintu gerbang benteng, penjaga pintu benteng pernah menyaksikan Yo Ko dengan
tangkasnya menyelamatkan Kwe Ceng dari serangan pasukan mongol, maka ia tidak
berani merintanginya walaupun melihat sikap anak muda itu rada aneh segera ia
membukakan pintu gerbang dan membiarkan Yo Ko pergi.
Sementara itu pasukan Mongol sudah mundur
beberapa puluh li jauhnya dari benteng Siangyang, Yo Ko tidak mengambil jalan
raya melainkan melarikan kudanya ke jalan kecil yang sepi. ia membatin. “Racun
bunga cinta yang mengeram di dalam diriku ternyata tidak mematikan aku meski
-sudah lewat batas waktunya, bisa jadi seperti apa yang dikatakan paderi sakti
Than-tiok itu bahwa racun bunga cinta mungkin dikalahkan oleh racun jarum
berbisa milik Li Bok-chiu yang kuisap itu sehingga jiwaku malah tertolong.
Dalam keadaan terluka parah seperti sekarang
ini, kalau kucari Kokoh ke Cong-lam-san yang jauh itu pasti tidak tahan, apakah
memang sudah ditakdirkan jiwaku harus melayang di tengah perjalanan begini?”
Teringat kepada nasib sendiri yang kenyang
duka derita, kecuali hidup tenteram bersama Siao liong-li di kuburan kuno itu
boleh dikatakan jarang hidup dalam keadaan gembira, sekarang jiwanya sudah
dekat ajalnya, satu-satunya orang yang dikasihinya di dunia ini sekarang juga
sudah pergi,
malahan anggota badannya dibikin cacat orang
pula, terpikir semua ini, tanpa terasa air matanya lantai bercucuran.
Dia mendekap di atas kuda dalam keadaan
sadar-tak-sadar ia terus melarikan kudanya kedepan, yang dia harap asalkan
tidak ditemukan Kwe Ceng dan tidak kepergok pasukan Mongol, maka ke manapun tak
menjadi soal baginya.
Karena itu tanpa-sengaja dia telah menuju ke
lembah sunyi, di sana kemarin malam baru saja terjadi perkelahiannya dengan
kedua saudara Bu.
Sementara itu hari sudah gelap, sekeliling
sunyi senyap dan semak-semak rumput belaka, ia pikir di sekitar situ pasti
tiada orang lain, segera ia turun dari kudanya terus merebahkan diri, ia sudah
tidak memikirkan mati hidupnya lagi, kemungkinan di serang binatang buas atau
digigit ular berbisa juga tak dihiraukannya, terus saja ia tertidur.
Akan tetapi sampai tengah malam ia sudah terjaga
karena kesakitan pada lukanya dan tak dapat pulas lagi. Paginya waktu ia
berbangkit terlihat di sisi tempat berbaringnya itu ada dua ekor kelabang besar
menggeletak kaku di situ, badan kelabang2 itu loreng merah hitam dan sangat
menyeramkan dengan kepala berlepotan darah.
Yo Ko terkejut, dilihatnya pula di samping
kedua bangkai kelabang itu ada bekas lumuran darah. setelah dipikir sejenak,
tahulah dia akan persoalannya. Rupanya darah itu merembes keluar dari lukanya
waktu dia tidur tadi, sedangkan dalam darahnya itu mengandung kadar racun bunga
cinta, kedua ekor kelabang itu mati oleh darah beracun itu.
Yo Ko menyeringai sendiri, tak terpikir
olehnya bahwa darahnya ternyata jauh lebih berbisa daripada binatang sehingga
kelabangpun tidak tahan. Hatinya terasa pedih, duka dan penasaran tak
terlampiaskan, ia menengadah dan tertawa keras-keras…
Tiba terdengar suara burung berkotek di atas
bukit sana, waktu ia memandang ke sana, terlihat si rajawali raksasa tempo hari
itu berdiri di puncak bukit dengan bersitegang leher dan membusungkan dada,
meski tampang burung itu jelek dan menakutkan, tapi juga membawa kegagahannya
yang berwibawa.
Yo-Ko sangat girang, seperti bertemu dengan
kenalan lama saja ia lantas berteriak: “He, kakak rajawali kita bertemu pula di
sini”
“Rajawali itu berbunyi panjang satu kali
terus menerjang turun dari bukit itu. Karena badannya besar dan kuat sayapnya
pendek, bulunya jarang-jarang, maka rajawali itu tidak dapat terbang, tapi
larinya sangat cepat melebihi kuda, dalam sekejap saja ia sudah berada
disamping Yo Ko. Ketika melihat sebelah lengan anak muda itu buntung,
dengan mata tak berkedip burung itu
memandanginya sa-akan2 heran.
“Tiau-heng (kakak rajawali), aku sedang
tertimpa malang maka sengaja datang ke sini mencari kau,” kata Yo Ko dengan
menyeringai.
Entah rajawali itu paham ucapannya tidak,
yang jelas burung itu tampak manggut-manggut, lalu memutar tubuh dan melangkah
ke sana, Segera Yo Ko menuntun kudanya dan mengintil dari belakang.
Tapi baru beberapa langkah saja, mendadak raja
wali sakti itu membalik, sekonyong-konyong sebelah sayapnya menjulur dan
“bluk”, dengan keras sayapnya menyabet punggung kuda.
Betapa hebat tenaga hantaman sayapnya itu,
tanpa ampun kuda itu meringkik terus roboh terkulai tak bernyawa lagi.
“Ya, benar, kalau aku sudah berada di
tempat Tiau-heng tentu tidak perlu pergi lagi dan apa gunanya kuda ini?” ujar
Yo Ko.
BegituIah Yo Ko lantas mengikuti lagi
rajawali itu, Tidak lama sampailah mereka di gua tempat menyepi Tokko Kiu-pay
dahulu, Melihat makam batu itu, menjadi sangat terharu, tokoh maha sakti yang
tiada ketemukan tandingan semasa hidupnya itu akhirnya toh meninggal juga di
lembah sunyi ini.
Melihat tingkah lakunya ini, tentu ilmu
silatnya maha tinggi dan wataknya menjadi nyentrik dan sukar bergaul dengan
orang lain, makanya lantas menyepi bersama rajawali sakti ini.
Cuma sayang rajawali ini meski cerdik, tapi
tak dapat bicara sehingga sukar diketahui kisah hidup Tokko Kiu-pay yang pasti
sangat menarik itu.
Selagi Yo Ko duduk termenung di dalam gua, sementara
itu rajawali itu telah datang dari luar gua dengan membawa dua ekor kelinci.
Cepat Yo Ko membuat api untuk memanggang dan dimakan nya dengan kenyang.
Cara begitulah beberapa hari telah berlalu,
luka lengan Yo Ko yang buntung itu juga mulai merapat, kesehatannya semakin
pulih, Setiap kali terkenang pada Siao-liong-li tentu dadanya terasa sesak dan
sakit, tapi sudah jauh lebih ringan daripada dulu.
Dasar watak anak muda itu memang suka
bergerak sepanjang hari dia hanya berkawan rajawali itu di pegunungan yang
sunyi, betapapun ia menjadi iseng dan merasa kesepian.
Selang beberapa hari pula, kesehatan Yo Ko
sudah pulih seluruhnya. Dilihatnya di belakang gua banyak pepohonan rindang dan
pemandangan indah, dalam isengnya ia lantas melangkah ke sana. Kira-kira
satu-dua li jauhnya, sampailah dia di depan sebuah tebing yang sangat curam.
Tebing itu menjulang tinggi sehingga mirip
sebuah pintu angin raksasa, kira-kira tiga puluh meter dibagian tengah tebing
itu mencuat keluar sepotong batu seluas beberapa meter persegi sehingga
menyerupai panggung terbuka.
Pada batu besar itu santar2 seperti ada
ukiran huruf.
Waktu ia mengamati lebih cermat, agaknya
kedua huruf itu berbunyi: “Kiam-bong” (makam pedang) Yo Ko menjadi heran,
masakah pedang juga dimakamkan apakah barangkali pedang kesayangan Tokko
Kiu-pay itu patah, lalu ditanam di sini?
Ia coba mendekati tebing itu, dilihatnya
dinding batunya halus licin, sungguh sukar untuk dibayangkan cara bagaimana
orang dahulu itu dapat memanjat ke atas.
Sampai lama sekali ia memandangi panggung
batu itu dan semakin tertarik, ia pikir orang itu juga manusia, mengapa dapat
memanjat ke atas tebing setinggi itu, tentu ada sesuatu yang aneh dan rahasia.
Setelah diteliti lagi sejenak, tiba-tiba
dilihatnya dinding tebing itu memang ada sesuatu yang menang yaitu tumbuhan
lumut hijau yang berjumlah puluhan rumpun secara lurus dari bawah ke atas dalam
jarak satu-dua meter, Tergerak hati Yo Ko. ia coba melompat ke atas, ia meraba
rumput lumut hijau yang paling rendah itu, hasilnya tangannya menggenggam
secomot tanah, jelas lumut itu tumbuh pada sebuah dekukan,
agaknya dicukil oleh senjata tajam oleh Tokko
Kiu-pay dahulu, karena sudah ber-tahun-tahun kena air hujan, sinar matahari,
dekukan itu tertimbun kotoran dan tumbuhan lumut itu.
Karena iseng, Yo Ko menjadi tertarik dan
ingin tahu apa yang terdapat pada makam pedang itu, Cuma sebelah tangannya
buntung, untuk memanjat kurang leluasa. Namun dia anak muda yang berkemauan
keras, segera ia kencangkan ikat pinggang, ia kumpulkan tenaga dan melompat
setinggi-nya ke atas, begitu sebelah kakinya menginjak dekukan dinding itu
segera melompat lagi ke atas, sebelah kakinya mendepak tepat pada rumpun lumut
tingkat kedua, ternyata tempatnya lunak, kakinya dapat menghinggap di situ.
Dan begitulah seterusnya ia melompat lebih 20
kali ke atas dengan menggunakan tangga dekukan dinding itu, namun akhirnya
terasa tenaga mulai lemas, untuk memanjat lebih tinggi terasa tidak kuat,
terpaksa ia merosot ke bawah pula.
Ia lihat sudah tiga perempat anak tangga
dekukan dinding itu dipanjatinya, kalau diulangi lagi sekali pasti akan
mencapai panggung batu itu. Segera ia duduk mengumpulkan tenaga dalam, sesudah
cukup kuat, dengan cara seperti tadi ia memanjat pula ke atas dan sekaligus
panggung batu itu dapat dicapainya.
Diam-diam Yo Ko bersyukur bahwa Ginkang
sendiri tenyata tidak berkurang dari pada semula, meski kini tangannya buntung
sebelah, ia lihat di samping kedua hurup besar “makam pedang” itu ada pula
ukiran dua baris tulisan yang lebih kecil yang berbunyi: “Karena tidak
menemukan tandingan lagi di dunia ini, maka pedangpun kutanam di sini, Oho,
semua pahlawan tak berdaya, pedangpun tiada gunanya lagi, alangkah sedihnya
bagiku”
Heran dan kagum pula Yo Ko terhadap tokoh
sakti itu, ia merasa Locianpwe itu tentu sangat angkuh dan mengagulkan
kemampuannya sendiri. Cuma untuk mencapai tingkatan tiada tandingan di seluruh
dunia, jelas dirinya tidak mampu, apalagi sekarang sebelah lengan sudah
buntung, hal ini jelas tiada harapan selama-lamanya.
Yo Ko duduk termenung di situ, sebenarnya
pingin sekali mengetahui bagaimana macamnya senjata yang di makamkan itu, tapi
ia tidak berani merusak petilasan tokoh angkatan tua itu.
Tiba-tiba terdengar di bawah sana ada suara
barang berkotek, ia coba melongok ke bawah, tertampak rajawali sakti itu sedang
melompat keatas dengan menggunakan cakarnya yang tajam mencengkeram setiap
dekukan dinding tebing, Meski berat tubuhnya, tapi kakinya sangat kuat, sekali
lompat dapat mencapai beberapa meter tingginya, hanya sekejap saja ia sudah berada
di samping Yo Ko.
Sesudah celingukan kian kemari sejenak,
rajawali itu manggut-manggut pada Yo Ko sambil berbunyi beberapa kali dengan
suara yang aneh, Sudah tentu Yo Ko melongo bingung karena tidak paham maksud
burung itu.
Setelah berbunyi lagi beberapa kali, lalu
rajawali itu menggunakan cakarnya yang kuat itu untuk mencakar batu-batu di
atas makam itu, tiba-tiba timbul pikiran Yo Ko, ia menduga di makam pedang itu
mungkin tertanam sebangsa kitab ilmu pedang tinggalan Tokko Kiu-pay yang maha
sakti itu.
Dilihatnya rajawali itu terus mencakar dengan
kedua kakinya, sebentar saja batu itu sudah tersingkir semua dan tertumpuk lah
tiga batang pedang berjajar, di antara pedang pertama dan kedua terselip pula
sepotong lapisan batu tipis.
Ketiga pedang dan batu tipis itu terletak
berjajar di atas batu hijau yang cukup besar.
Yo Ko coba mengangkat pedang pertama di
sebelah kiri itu, dilihatnya di atas batu tempat pedang itu tertaruh ada
terukir sebaris tulisan. Setelah di baca, kiranya cuma catatan belaka yang menerangkan
pedang itu sangat tajam dan semasa mudanya pernah digunakan untuk menempur
jago- jago silat.
Waktu ia mengamat-amati pedang itu panjangnya
satu meteran itu, cahaya hijau tampak gemerdep dan memang senjata sangat tajam.
Ia coba berjongkok dan memegang batu tipis
itu, di atas batu besar tepat di bawah batu tipis itupun ada ukiran tulisan
yang menjelaskan: “Pedang lemas Ciwi-kiam, digunakan semasa usia 30-an, salah
membunuh orang baik, senjata yang beralamat jelek, maka kubuang ke jurang
sunyi”
Tergetar hati Yo Ko, ia pikir lengan sendiri
justeru terkutung oleh pedang Ci-wi-kiam itu, rupanya pedang itu dibuang di
jurang sunyi itu oleh Tokko Kiu-pay dan ditelan oleh ular raksasa, tapi secara
kebetulan telah diketemukan olehnya.
Kalau saja di dunia ini tiada pedang tajam
itu, meski dalam keadaan sakit juga lengannya takkan tertabas kutung oleh Kwe
Hu.
Untuk sejenak ia termangu-mangu, ketika ia
angkat juga pedang kedua, baru saja terangkat sedikit, sekonyong-konyong
terjatuh pula di atas batu hingga menerbitkan suara keras dan mencipratkan
lelatu api, keruan ia terkejut.
Padahal pedang itu berwarna gelap kotor
dan tiada sesuatu tanda aneh, namun bobotnya ternyata tidak kepalang beratnya,
panjangnya tiada satu meter, tapi beratnya ada 60-70 kati, beberapa kali lebih
berat daripada senjata panjang yang biasa digunakan orang di medan perang, ia
pikir mungkin tadi dirinya sendiri belum siap sehingga kurang kencang memegangi
pedang itu.
Segera ia taruh kembali pedang pertama dan
batu tipis tadi, lalu ia angkat lagi pedang yang berat itu.
Karena sudah bersiap, pedang yang beratnya
6070 kati itu bukan soal lagi baginya, ia lihat ke dua mata pedang itu puntul
semua, malahan ujung pedang berbentuk setengah bundar dan tidak runcing seperti
pedang umumnya, ia menjadi heran, sudah begitu berat, ujung dan mata pedang
juga puntul segala apa gunanya?
Di atas batu di bawah pedang itupun ada
ukiran dua baris huruf yang artinya menjelaskan pedang puntul dan berat itu
digunakan Tokko Kiu-pay untuk malang melintang di dunia persilatan pada waktu
berusia sekitar 40-an, ia menjadi heran pula cara bagaimana orang menggunakan
pedang seberat itu dan tidak tajam pula.
Selang sejenak, ia mengambil lagi pedang ke
tiga, Sekali ini dia kecele lagi, Disangkanya pedang itu pasti lebih berat daripada
pedang puntul itu maka sebelumnya ia telah kumpulkan tenaga untuk
mengangkatnya.
Siapa tahu benda yang diangkatnya ternyata
enteng sekali seperti tidak berbobot.
Waktu ia mengamati, kiranya pedang itu
terbuat dari kayu, lantaran sudah terlalu tua, gagang dan batang pedangnya
sudah lapuk, batu di bawah, pedang itu juga terukir keterangan “Setelah berusia
40 tahun, tidak mementingkan senjata lagi, segala benda dapat kugunakan sebagai
pedang, sejak itu latihanku semakin sempurna, mulai mencapai tingkatan tanpa
pedang melebihi memakai pedang”
Dengan khidmat Yo Ko meletakkan kembali
pedang kayu itu ke tempat semula, ia sangat gegetun akan ilmu sakti tokoh Tokko
Kiu-pay yang sukar dibayangkan, ia pikir di bawah batu hijau yang besar itu
bisa jadi terpendam benda-benda lain lagi. Maka se-kuatnya ia eoba menggeser
batu itu, namun dibawah batu bijau itupun cuma batu gunung saja tanpa sesuatu
benda lain, tanpa terasa ia menjadi sangat kecewa.
Mendadak rajawali raksasa itu berbunyi
sekali, pedang puntul yang berat itu tiba-tiba dipatuknya, lalu diangsurkan
kepada Yo Ko, habis itu ia berkaok dua kali lagi.
“O, kakak rajawali apakah kau ingin menjajal
kepandaianku?” kata Yo Ko dengan tertawa, “Baiklah, daripada iseng, bolehlah
kita main-main beberapa jurus.”
Akan tetapi ia merasa sukar memainkan pedang
puntul yang berat itu, ia lemparkan pedang itu dan menjemput pedang tajam yang
pertama tadi.
Tak terduga, mendadak rajawali sakti menarik
sayapnya, lalu membalik tubuh ke sana tanpa menggubris Yo Ko lagi, sikapnya seperti
mencemoohkan.
Sebagai anak muda yang cerdik pandai, segera
Yo Ko tahu maksud rajawali itu, katanya dengan tetawa: “Apakah kau ingin
kugunakan pedang berat itu? Tapi kepandaianku sangat terbatas, apalagi
bergebrak di tempat yang berbahaya ini, tentu aku bukan tandinganmu, untuk ini
perlu kau mengalah sedikit.”
Habis berkata ia terus menukar pedang, ia
coba mengerahkan segenap tenaga pada tangan kiri- lalu mulai menyerang, pedang
menusuk pelahan ke depan.
Rajawali itu tidak memutar tubuh lagi,
mendadak sayapnya membentang ke belakang dan tepat menyampuk pedang, untuk
seketika Yo Ko merasakan arus tenaga yang maha dahsyat mendesaknya melalui
batang pedang sehingga napasnya terasa sesak.
Keruan Yo Ko kaget, cepat ia kumpulkan tenaga
untuk melawan “brak”, batang pedangnya bergetar seketika pandangannya terasa
gelap dan tak sadarkan diri lagi.
Entah sudah berapa lama barulah ia siuman
kembali, dirasakannya ada bekas cairan dalam mulutnya yang manis2 sedap,
agaknya dalam keadaan tak sadar ia telah makan sesuatu. Waktu ia membuka
matanya, kiranya rajawali sakti itu menggigit satu biji buah warna merah sedang
dilolohkannya, ia coba mengunyahnya, rasanya persis sisa rasa dalam mulutnya
tadi, agaknya sudah beberapa biji buah semacam itu telah dimakannya tanpa sadar.
Ketika ia coba mengumpulkan tenaga, rasanya
pernapasan sangat lancar dan badan juga segar, cepat ia berbangkit dan coba
mengulur tangan dan gerakkan kaki, rasanya malah lebih kuat daripada
sebeIumnya.
Diam-diam ia heran, pantasnya setelah
berkelahi dan dipukul lawan hingga pingsan, walaupun tidak terluka parah
sedikitnya juga akan pegal linu sekian lama, apakah barangkali buah merah yang
dimakannya ini berkhasiat sebagai obat penyembuh luka serta pemulih tenaga?
Waktu ia jemput lagi pedang puntul itu, rasanya
sekarang terlebih ringan daripada tadi, Pada saat itu juga kembali sirajawali
sakti berkaok lagi satu kali, sayapnya terus menyabet pula, ia tidak berani
menyambutnya, cepat ia mengegos, tapi burung itu terus mendesak maju dan kedua
sayapnya menampar sekaligus dengan tenaga dahsyat.
Yo Ko tahu rajawali itu tidak bermaksud jahat
padanya, tapi betapapun baiknya juga tetap binatang, kalau dia takdapat menahan
sabetan sayapnya, bukankah jiwanya bisa melayang secara konyol? Karena itu
cepat ia mundur lagi dua tindak dan rasanya dia sudah berada di tepi panggung
batu itu.
Namun rajawali itu sedikitpun tidak kenal
ampun, kepalanya menjulur, paruhnya yang bengkok besar itu malah terus mematuk
kepala Yo Ko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar