Jumat, 02 November 2012

Sia Tiauw Enghiong 80



Bab 80. PIBU DI GUNUNG HOA SAN



AUWYANG HONG bertubuh tinggi dan besar, meskipun telah sedikit menekuk kedua kakinya untuk menjalankan ilmu Kodok-nya, ia masih lebih tinggi daripada Ang Cit Kong. Ia sekarang menggunakan tongkat yang ketiga, yang baru dibikinnya, sebab dua tongkat ularnya yang pertama telah lenyap.
Tongkatnya ini, di bagian ujungnya berukiran kepala manusia, tetapi aneh dan mengerikan. Di situ dililit-kan dua ekor ular berbisa, tapi kedua ular ini baru, kurang lincah dibandingkan dua ularnya yang dulu.
Di samping itu, ia sekarang bertempur melawan Pengemis Utara untuk keempat kalinya, maka caranya berbeda. Pertama kali ia melawan Cit Kong di Gunung Hoa San ini, dan itu juga untuk memperebutkan kehormatan dan Kiu Im Cin Keng. Yang kedua terjadi di Pulau Persik, yaitu untuk membela Auwyang Kongcu yang berebut jodoh dengan Kwee Ceng. Yang ketiga ialah pertempuran di laut.
Usia kedua pihak semakin lanjut, tetapi berbareng dengan itu, ilmu silat mereka juga semakin maju, maka pertarungan menjadi hebat. Inilah pibu untuk nama baik, menyangkut hidup atau mati.
Siapa yang alpa atau kurang gesit, ia harus menerima nasibnya. Dalam sekejap seratus jurus lebih telah dilewatkan.
Mendadak sang putri malam menghilang. Langsung suasana menjadi gelap. Perubahan seketika itu terjadi karena pergantian waktu, sang malam telah lewat dan akan digantikan oleh sang fajar.
Suasana akan menjadi terang. Namun sekarang kedua pihak sukar melihat satu sama lain dengan jelas. Mereka saling menyerang dengan lebih banyak menutup diri.
Kwee Ceng dan Oey Yong menonton dengan perhatian tertumpah- sepenuhnya. Bagaimanapun, mereka mengkhawatirkan guru mereka. Mereka maju beberapa langkah, supaya kalau perlu mereka bisa menolong guru mereka.
Mata Kwee Ceng mengawasi tajam tapi hatinya berpikir, “Mereka inilah jago-jago nomor satu di zaman ini, hanya bedanya yang satu orang gagah dengan hati mulia; yang lain berhati buruk, mengganas karena mengandalkan kekosenannya. Jadi, ilmu silat tidak mengenal baik dan jahat, hanya terbawa oleh orang yang bersangkutan. Siapa baik, ilmu silatnya menambah kebaikan; siapa jahat, ilmu silatnya menambah kejahatan.” la cemas ketika mendengar Racun Barat dan gurunya bergantian berseru, tanda hebatnya pertarungan mereka.
“Suhu telah terluka parah, itu artinya dia telah menyia-nyiakan waktu hampir dua tahun,” anak muda ini berpikir lagi, hatinya berdebar-debar.
“Memang ilmu silat mereka seimbang, tapi kalau Suhu terhalang begitu, mungkin Racun Barat mem-punyai kepandaian lebih. Pertarungan ini berartihanya dengan satu langkah maju dan satu langkah mundur. Kalau Suhu kalah? Ah, sayang aku telah memberi ampun hingga tiga kali pada jago dari Barai ini….”
Kwee Ceng kembali ingat ajaran Khu Ci Kee bahwa kepercayaan dan kebajikan besar haruslah dibedakan dari kepercayaan dan kebajikan kecil;
kalau karena kepercayaan dan kebajikan kecil orang roboh, itu bukan lagi kepercayaan dan kebajikan.
Singkatnya, itu bukanlah kehormatan.
“Racun Barat mengatakan untuk berkelahi satu lawan satu, dengan cara terhormat,” anak muda ini  berpikir lebih jauh. “Habis bagaimana kalau dia tetap bertindak curang? Bagaimana kalau dia lantas mengganas dengan lebih hebat lagi? Berapa banyak korban jatuh karenanya? Dulu-dulu aku tak dapat membedakan arti kepercayaan dan kebajikan ini, jadi aku telah melakukan banyak ketololan….”
Karena berpikir begini, Kwee Ceng lantas ber-ketetapan membantu gurunya. Tapi belum lagi ia maju, didengarnya suara Oey Yong.
“Auwyang Hong, dengar!” demikian si nona.
“Kakak Ceng telah berjanji padamu, hendak mem-beri ampun jiwamu tiga kali. Siapa tahu ternyata kau mengandalkan kekosenanmu, tetap menghinaku.
Untuk menjadi orang kecil tak ternama dari Rimba Persilatan, kau tak surup, bagaimana mungkin kau hendak memperebutkan gelar jago nomor satu di kolong langit ini?”
Racun Barat telah melakukan kejahatan yang tidak terhitung banyaknya, namun ia orang yang selalu menepati janji, belum pernah menyangkal kata-kata atau janjinya. Ia juga sangat jumawa. Ia memaksa Oey Yong karena sangat terpaksa, sebab ia ingin sekali si nona menjelaskan isi kitab itu padanya. Sekarang selagi hebatnya ia bertarung melawan Ang Cit Kong, nona itu mengungkit-ungkit kesalahannya. Kupingnya panas, karena itu gerakan tangannya terlambat, ia hampir kena sodok tongkat si pengemis.
“Kau dinamakan Racun Barat,” kata Oey Yong lagi, “maka tak bisa dikatakan apa-apa mengenai segala perbuatan busukmu, tapi kau diberi ampun sampai tiga kali oleh orang muda. sungguh kau telah kehilangan muka! Bagaimana dapat kau me-nelan kata-katamu sendiri terhadap orang muda?
Sungguh kau menyebabkan orang-orang gagah kaum kangouw tertawa hingga mulut mereka men-cong! Auwyang Hong, Auwyang Hong! Ada satu hal pada dirimu yang tak dapat dikalahkan siapa  pun di kolong langit ini, kau orang nomor satu yang tak tahu malu!”
 Racun Barat gusar bukan kepalang, tetapi ia tahu maksud si nona yang hendak membangkitkan amarahnya, supaya perhatiannya terpecah, supaya ia tidak dapat mengutamakan pertempurannya dengan Ang Cit Kong—tegasnya, supaya ia kalah.
Karena itu, sebagai orang licik, ia tidak mau dirinya kena bakar. Ia tidak menghiraukan ocehan itu. Tapi Oey Yong sangat cerdik, ia tidak mau berhenti mengoceh, bahkan menyebutkan kebusukan yang sebenarnya belum pernah dilakukan Auwyang Hong. Ia sengaja supaya Racun Barat dipandang sebagai manusia terjahat di dunia ini. Mulanya Racun Barat dapat bersabar, namun akhirnya ter-bakar juga, ia lantas membela diri, menyangkal tuduhan si nona. Inilah yang diharapkan Oey Yong, ia lantas mengoceh lebih jauh. Maka Racun Barat berkelahi di dua kalangan. Melawan Pengemis Utara, ia bersilat dengan kaki dan tangannya; me-layani Oey Yong, ia bersilat dengan lidahnya.
Sedangkan dalam hal bersilat lidah. Oey Yong lebih pandai daripada Cit Kong.
 Lewat sekian lama, Auwyang Hong merasa ter-desak. Saat itu ia teringat, “Pengemis tua ini tentunya tak mengerti Kiu Im Ciu Keng, maka, untuk merebut kemenangan, aku mesti menggunakan ilmu itu.” Ia lantas menggunakan ilmunya itu. Tidak peduli yang didapatnya ajaran sesat, ia lihai dan ber-bakat baik sekali, hingga ia memperoleh kemajuan juga. Dengan begitu berubahlah gerakan tongkatnya.
 Ang Cit Kong terkejut. Ia mesti melayani dengan memasang mata tajam luar biasa, dengan kegesitan yang bertambah.
Oey Yong dapat melihat perubahan di kedua pihak, ia kini as berkata nyaring, “‘ Goansu-engji, pasi-palok-pou, soaliok-bunpeng!”
Auwyang Hong mendengar itu dan terperanjat.
“Apa arti kata-kata Sanskerta itu?” pikirnya. Ia tidak tahu si nona cuma asal mengoceh, kata-kata itu tidak ada artinya. Oey Yong tidak berhenti bicara, ia menambahkan kata-kata yang lain lagi.
la juga berseru-seru dan menghela napas bergantian, beberapa kali nadanya seperti bertanya.
“Apa yang kaukatakan?” akhirnya Racun Barat bertanya.
Oey Yong menyahut dengan kata-kata Sanskerta ngawur, hingga jago dari See Hek itu makin bingung. Mendadak Ang Cit Kong berseru, “Kena!”
Pengemis Utara tahu perhatian Racun Barat telah dikacaukan, ia menggunakan kesempatan itu untuk menyerang, tongkatnya menghajar ke batok kepala lawannya yang tangguh itu.
Auwyang Hong kaget melihat datangnya serang-an itu, ia menjerit sambil berkelit, terus menyeret tongkatnya dan berlari pergi.
“Ke mana kau hendak pergi?” bentak Kwee Ceng sambil meloncat untuk mengejar, tetapi ia tidak dapat mencandak. Auwyang Hong lari dan melompat berjumpalitan tiga kali, lalu bergulingan dan lenyap di balik jurang.
Ang Cit Kong bengong, demikian juga Oey Yong. Hanya sebentar, lantas keduanya saling memandang dan tertawa. Kwee Ceng ikut tertawa.
“Yongji,” kata si pengemis sesaat kemudian, “kali ini aku berhasil mengalahkan si Bisa Bangkotan, semua ini karena jasamu….” Ia menghera napas.
Oey Yong tersenyum.
“Tapi, Suhu,” kata si nona. “Bukankah itu kepandaian ajaranmu sendiri?”
“Sebenarnya itu bakatmu sendiri!” Cit Kong ter-tawa. “Dengan adanya tua bangka yang licin se-bagai ayahmu, muncullah anak perempuan yang licin seperti kau!”
“Bagus ya!” tiba-tiba terdengar seruan di belakang mereka. “Di belakang kau omong jelek tentang orang lain! Pengemis Bangkotan, kau malu atau tidak?”
“Ayah!” Oey Yong berteriak seraya melompat maju, lalu berlari-lari ke arah dari mana suara itu datang.
Sekarang sang matahari sudah menyingsing.
maka terlihat kemunculan seorang dengan jubah hijau yang melangkah dengan tenang. Orang itu tidak lain adalah pemilik Pulau Persik. Oey Yok Su.
Oey Yong menubruk ayahnya, merangkulnya.
Sang ayah balas merangkulnya.
Ayah itu mengawasi putrinya. Ia melihat anaknya telah berubah, sifat kekanak-kanakannya berkurang, sekarang romannya mirip dengan mendiang istrinya.
Oey Yok Su bahagia sekaligus sedih.
“Sesat Tua.” kata Ang Cit Kong, “kau ingat tidak apa yang kubilang padamu di Pulau Persik, bahwa anakmu sangat cerdik dan banyak akalnya, orang lain dapat dikelabuinya tapi ia sendiri tak bakal dapat teperdaya, bahwa kau tak usah meng-khawatirkannya? Nah, sekarang katakan, benar atau tidak perkataan si Pengemis Tual”
Oey Yok Su tersenyum, sembari menarik tangan anaknya ia mendekati Pengemis Utara.
“Aku memberi selamat padamu yang telah mem-bikin si Tua Bangka Berbisa kabur!” katanya.
“Dengan kekalahannya itu, legalah hatimu dan hatiku.
Ang Cit Kong tersenyum.
“Jago di kolong langit ini adalah kau dan aku si Pengemis Tua,” katanya. “Tapi melihat anakmu ini, cacing dalam perutku langsung mengamuk tak keruan, liurku pun meleleh. Mari kita lekas-lekas bertempur! Bagiku sama bagusnya baik kau mau-pun aku yang jadi jago, aku hanya menunggu menyikat habis hidangan yang lezat-lezat!”
.”Ingat!” seru Oey Yong. “Kalau kau kalah, baru aku akan masak untukmu!”
“Fui. tak tahu malu!” Cit Kong membentak.
“Jadi kau hendak menggencetku, ya?”
Oey Yok Su beradat tinggi, katanya, “Pengemis Tua,’setelah lerluka kau menyia-nyiakan waktumu selama dua tahun, maka sekarang aku khawatir kau bukan tandinganku! Yongji, aku tak peduli siapa menang siapa kalah, kau mesti memasak dan mengundang gurumu bersantap!”
“Benar begitu!” puji Cit Kong. “Itu baru kata-kata guru besar! Pemilik Pulau Persik mana boleh berpandangan cupet seperti anak gadisnya! Se-karang mari kita mulai, tak usah menanti sampai tepat tengah hari!”
Sehabis, berkata. Cit Kong mengangkat tongkat-nya lalu maju menyerang.
Oey Yok Su menggelengkan kepalanya.
“Baru saja kau bertempur lama melawan Racun Barat,” katanya. “Meski benar kau tak letih, tapi kau toh telah mengeluarkan banyak tenaga. Mana dapat aku Oey Yok Su mau menang tempo! Baik-lah kita tunggu sampai tengah hari tepat, supaya kau sekalian bisa menghimpun tenagamu kembali!”
Cit Kong tahu itu benar dan pantas sekali,
tetapi ia tidak dapat menahan sabar,- maka ia mendesak untuk mulai bertempur saja.
Oey Yok Su sebaliknya, ia duduk di batu tidak memedulikan si Pengemis Tua.
Melihat kedua orang tua itu berkutat, Oey Yong menengahi.
“Ayah, Suhu, aku punya cara.” katanya. “Dengan caraku ini kalian bisa langsung bertempur tanpa ada yang menang tempo.”
“Bagus!” kata Cit Kong dan Yok Su berbarengan.
“Bagaimana caranya?”
“Ayah dan Suhu adalah sahabat kekal, siapa menang siapa kalah akhirnya toh persahabatan di antara kedua belah pihak akan terganggu juga,”
jawab Oey Yong. “Pibu hari ini adalah pibu yang  menghendaki menang atau kalah, bukan?”
Cit Kong dan Yok Su telah berpikir serupa, maka mereka mengiyakan. Lantas keduanya ber-tanya bagaimana cara si anak atau si murid.
“Caraku begini,” kata Oey Yong. “Mula-mula Ayah bertempur melawan Kakak Ceng. Coba lihat, dalam berapa jurus Ayah dapat mengalahkannya.
Setelah itu Suhu bertempur melawan Kakak Ceng.
Umpama dalam 99 jurus Ayah dapat mengalahkan Kakak Ceng sedangkan Suhu mesti menggunakan seratus jurus, maka Ayahlah yang menang. Sebalik-nya kalau Suhu menang dalam 98 jurus, Ayahlah yang kalah.”
“Bagus, bagus!” Cit Kong memuji.
“Kakak Ceng bertempur lebih dulu melawan Ayah.” Oey Yong berkala lagi. “Kedua pihak masih segar dan bertenaga cukup. Kalau nanti Kakak Ceng melawan Suhu, mereka sama-sama bekas bertempur, jadi seimbang. Tidakkah itu adil?” Oey Yok Su mengangguk.
“Cara ini bajk.” katanya. “Anak Ceng, mari maju. Kau pakai senjata atau tidak?”
“Terserah!” jawab Kwee Ceng. Ia setuju dengan cara sama jengah itu. Ia lantas akan melangkah maju.
“Perlahan dulu!” Oey Yong mencegah. “Masih ada yang harus dijelaskan. Bagaimana umpama dalam tiga ratus jurus Ayah dan Suhu masih belum sanggup mengalahkan Kakak Ceng?”
Ang Cit Kong tertawa tergelak.
“Sesat Tua,” katanya, “mulanya aku sangat me-ngagumi putrimu yang pandai sekali membela ayah-nya, ha, siapa tahu dia toh tetap wanita, dia akhirnya membela pihak luar juga! Tapi ini wajar!
Sebenarnya dia ingin sekali supaya si tolol ini yang memperoleh gelar orang gagah nomor satu di kolong langit.”
Sesat Timur bertabiat sangat aneh. Setelah men-dengar ucapan putrinya dan si Pengemis Utara, ia memutuskan, “Biarlah kubikin tercapai keinginan anakku ini.” Ia lantas berkata. “Apa yang dikatakan Yongji benar adanya. Kita dua tua bangka, kalau kita tak dapat mengalahkan Anak Ceng dalam tiga ratus jurus, mana kita punya muka untuk terhitung sebagai orang-orang nomor satu?” Namun, setelah berkata begitu, -ia berbalik pikir lagi, “Aku bisa saja mengalah, membiarkan dia sanggup melayani-ku sampai tiga ratus jurus; tapi jika si Pengemis Tua tak sudi mengalah, tentu dia bakal dapat mengalahkan Anak Ceng dalam tiga ratus jurus itu! Dengan demikian, aku jadi bukan mengalah pada Anak Ceng, melainkan pada si Pengemis Tua…,” Ia jadi ragu-ragu.
Ang Cit Kong langsung menolak tubuh muridnya.
“Lekas mulai!” katanya. “Mau tunggu apa lagi?”
Kwee Ceng terhuyung ke depan Oey Yok Su, yang terpaksa mengambil keputusan segera. Ia berkata dalam hati, “Baiklah, sekarang aku men-coba dulu tenaga dalamnya, sebentar akan kupikir-kan lagi.” Tangan kirinya bergerak ke arah pundak si anak muda. “Jurus pertama!” serunya.
Kalau Oey Yok Su berpendirian tidak tetap, demikian juga Kwee Ceng. Pemuda ini berpikir.
“Sudah pasti aku tak dapat menjadi orang kosen nomor satu di dunia ini, tapi manakah yang akan kubiarkan menang, ayah Yongji atau Suhu?” Te-ngah ia ragu-ragu, tangan Oey Yok Su menyambar padanya. Tangan kanannya terangkat untuk me-nangkis. Karena ia belum sempat memperbaiki diri, dengan bentroknya (angan mereka, ia terpental hingga hampir jatuh. Lantas ia mendapat pikiran baru, “Aku gila! Kenapa mesti kupikirkan soal mengalah atau tidak? Biarpun kukeluarkan semua kepandaianku, mana bisa aku melawan sampai tiga ratus jurus?” Maka ketika serangan kedua Oey Yok Su tiba. ia berniat melawan. Ia akan  membiarkan mereka berdua menggunakan kepandai-an mereka untuk mengalahkannya, terserah siapa lebih dulu dan siapa ketinggalan, ia sendiri tidak mau berat sebelah.
Selelah jurusnya yang kedua dapat dihindari, Oey Yok Su melanjutkan serangannya lebih jauh.
Baru beberapa jurus ia sudah heran sekali hingga bertanya dalam hati, “Baru setahun lebih berlalu, kenapa anak tolol ini sudah maju begini rupa?
Kalau aku mengalah, kecuali tiga ratus jurus yang disebutkan itu, mungkin aku terkalahkan olehnya….”
Dalam beberapa jurus itu, lantaran ia mengalah dan cuma memakai tujuh bagian tenaganya, Oey
Yok Su berada di bawah angin, itulah sebabnya ia heran. Maka selanjutnya ia bersilat dengan ilmu Lok Eng Ciang.
Kwee Ceng sekarang benar-benar bukan Kwee Ceng yang dulu. Yok Su telah mencoba belasan jurus, namun pemuda itu belum bisa diunggulinya.
Ia menukar dengan belasan macam jurus lagi, tetapi masih belum berhasil juga. Demikianlah puluhan jurus telah dilewatkan .
Setelah seratus jurus lebih, Kwee Ceng yang jujur bertindak alpa, ia nyaris kena tendang- kaki kiri lawan. Syukurlah ia keburu melompat mundur, tapi karena itu kedudukan kedua pihak jadi se-imbang.
Oey Yok Su menarik napas lega. “Hebat,” pikir-nya. Baru setelah menggunakan tipu ia bisa meng-ubah keadaan, tapi untuk menang di atas angin ia mesti bekerja lebih keras lagi. Setelah pengalaman pertamanya itu Kwee Ceng memasang kedudukan kokoh teguh, biar diserang bagaimana juga, ia tetap membela diri. la telah mengambil sikap, walaupun tidak menang asal jangan sampai kalah.
“Dua ratus tiga!” Oey Yong menghitung. “Dua ratus empat!”
Oey Yok Su menjadi bingung juga.
“Tangan sf Pengemis Tua lihai, bagaimana kalau dia dapat merobohkan muridnya dalam tempo se-ratus jurus?” pikirnya. “Di mana aku mesti me-naruh mukaku?’
Maka kembali ia bekerja keras untuk menyerang hebat.
Baru sekarang Kwee Ceng terdesak, malahan ia hampir sukar bernapas. Ia merasa seperti tertindih gunung, matanya mulai kabur.
Oey Yok Su menyerang hebat sekali, cepat serangannya itu, tetapi sang wasit, putrinya sendiri, juga cepat sekali hitungannya. Saat Kwee Ceng merasa bibir dan lidahnya kering, kaki dan tangan-nya lemas, hingga ia akan berseru menyerah kalah.
mendadak terdengar suara nyaring si nona, “Tiga ratus!”
Segera muka Oey Yok Su memucat, ia melompat mundur.
Kwee Ceng menderita hebat sekali. Matanya kabur, kepalanya pusing, kaki dan tangannya ke-hilangan tenaga. Pertempuran telah berhenti, tapi ia belum berhenti bergerak, ia berputar-putar dan terhuyung-huyung, hampir ia roboh ketika sadar bahaya yang mengancam dirinya. Mendadak ia menancapkan kaki kirinya dengan tipu Cian Kin Twi, Berat Seribu Kati. Baru sekarang ia dapat berdiri tegak. Untuk memulihkan kesegarannya, tangan kanannya bergerak; dengan ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang ia menyerang sepuluh kali.
Otaknya lantas menjadi jernih. Ia diam sejenak, terus berkata, “Tuan Oey, beberapa jurus lagi pastilah aku roboh…!”
Sesat Timur malu dan sedih, ia sedikit men-dongkol, tetapi menyaksikan ketangguhan anak muda itu ia berbalik menjadi girang. Luar biasa pemuda itu dapat bertahan dari serangannya dengan tipu silat Ki-bun Ngo-coan, yang telah dipahaminya selama belasan tahun. Dengan ilmu itu ia biasa  membikin letih lawannya.
“Pengemis Tua,” katanya pada Ang Cit Kong, “aku tak berguna, kaulah yang mendapatkan gelar orang gagah nomor satu di kolong langit ini!” Ia memberi hormat, terus memutar tubuh untuk berlalu.
“Tunggu dulu, tunggu dulu!” kata Cit Kong.
“Segala di dunia bagaikan catur, perubahannya tak dapat diterka….” Ia lantas mengliampiri Kwee Ceng, melemparkan tongkatnya, lalu dari pinggangnya ia menghunus sebilah pedang yang diserahkannya pada Kwee Ceng. Ia berkata, “Kau menggunakan senjata, aku akan melawanmu dengan tang’an ko-song!”
 Kwee Ceng melengak.
 “Suhu….” katanya, “mana…”
 “Ilmu silat tangan kosongmu aku yang meng-ajarkannya. Kalau kau menggunakan kepalanmu, apa itu namanya pihuT kata si orang tua. “Majulah!”
 Kata-kata ini disusul dengan sambaran tangan kiri untuk merampas pedang Kwee Ceng.
 Kwee Ceng tidak dapat menerka maksud gurunya itu, ia melepaskan pedangnya, tidak melawan.
“Anak tolol!” damprat Cit Kong. “Kita sedang pibu, tahu!”
Ia menyerahkan kembali pedang itu dengan tangan kirinya, tapi tangan kanannya merampas lagi.
Kali ini Kwee Ceng menghindarkan pedang itu hingga tidak terampas.
“Satu!” Oey Yong lantas menghitung.
Ang Cit Kong langsung menggunakan Hang Liong Sip-pat Ciang. Tentu saja ia hebat luar biasa.
Sambaran-sambaran anginnya sedemikian rupa, hingga meskipun bersenjatakan pedang Kwee Ceng tidak dapat mendekati lawannya ini. Sebenarnya si anak muda tidak biasa menggunakan senjata, tapi setelah didesak Auwyang Hong di rumah batu, ia jadi pandai menggunakannya. Tapi berbeda dari orang-orang lain, ia menggunakan kepandaian  senjatanya delapan bagian untuk pembelaan diri, dua bagian untuk penyerangan. Dari Kanglam Cit Koay ia memperoleh apa yang dinamakan “kepandai-an kasar”. Setelah mendapatkan Kiu Im Cin Keng baru ia memperoleh kemajuan yang berarti, sekarang ditambah dengan kepandaiannya dalam menggunakan senjata. Menghadapi Auwyang Hong, ia membela diri dari serangan tombak kayu, sekarang ia membela diri dari serangan tangan kosong.
Ang Cit Kong girang mendapati muridnya dapat bertahan demikian bagus.
“Anak ini dapat maju, tak kecewa aku mendidiknya.” pikirnya. “Tapi kalau aku merobohkan-
nya dalam dua ratus jurus, itu jelek untuk si Sesat’
Tua. Lebih baik aku menanti sampai dua ratus jurus lebih, baru aku menggunakan tangan berat….”
Lalu Pengemis Utara menggunakan ilmu silat tiang Liong Sip-pat Ciang, Delapan Belas Jurus Menaklukkan Naga. Ia mengurung muridnya, angin serangannya mendesir-desir.
Dalam sikapnya ini Ang Cit Kong telah membuat kekeliruan. Kalau ia terus mendesak, mungkin Kwee Ceng kewalahan dan perlawanannya patah. Tapi ia mengulur tempo, mau menanti hingga dua ratus jurus. Ia lupa Kwee Ceng orang muda, tenaganya sedang penuh. Apalagi setelah mempelajari Kiu Im Toan Kut Pian, pemuda itu telah maju jauh sekali.
Sebaliknya Cit Kong sendiri orang tua, jadi tidak dapat beradu ulet. Demikianlah, ketika ia sudah menyerang hingga sembilan putaran, atau artinya 162 jurus, serangannya tidak dahsyat lagi seperti semula. Bahkan sesudah sampai jurus kedua ratus, di samping tangan kanannya memegang pedang, tangan kiri Kwee Ceng jadi semakin hebat.
“Ini hebat,” pikir si Pengemis Utara yang merasa tidak tenang. Tapi ia orang yang berpengalaman, ia tahu ia tidak bisa beradu tenaga, maka terpaksa ia menggunakan akalnya dan mementang terbuka kedua lengannya.
Kwee Ceng dapat melihat perubahan itu, ia heran.
“Ini jurus yang belum pernah Suhu ajarkan padaku…,” pikirnya. Kalau menghadapi orang lain, tentu ia lelah merangsek ke nong-kiong^ tengah, .untuk menyerang dada. Namun menghadapi guru-nya, ia tidak bisa bertindak telengas. Karena itu ia mesti berpikir dulu untuk menyerang.
“Tolol!” tegur si guru. “Kau teperdaya!”
Mendadak kaki kiri sang guru melayang naik, menendang pedang muridnya hingga terlepas, sedangkan tangan kanannya menyambar ke pundak.
la lianya menggunakan delapan bagian tenaganya, karena tidak berniat melukai si murid. Ia yakin muridnya akan roboh dan ia sendiri akan menang.
Tapi ia keliru.
Walaupun muda, Kwee Ceng telah banyak pengalaman, tubuhnya sering menderita, hal itu bagaikan semacam latihan untuknya. Hajaran itu hanya membikin ia terhuyung beberapa langkah dan membuat pundaknya terasa sakit, tidak sampai membikin ia roboh. Maka kagetlah si guru yang lantas berseru, “Lekas kibaskan tanganmu tiga kali, lalu sedot napas, nanti kau terluka dalam!”
Kwee Ceng menurut. Benar saja, ia langsung merasa lega.
“Saya menyerah,” katanya.
“Tidak!” kata guru itu. “Kalau kau menyerah,si Sesat Tua mana puas! Sambutlah!” Tangannya lantas menyambar.
Sekarang Kwee Ceng tidak mempunyai senjata, ia mesti melawan dengan tangan kosong. Ia menghindar dengan jurus Kong-beng-kun ajaran Ciu Pek Thong, semacam ilmu silat lunak yang paling lunak yang diciptakan Bocah Tua Nakal setelah ia membaca kitab Too Tek Keng bagian “Serdadu kuat bisa musnah, kayu kuat bisa patah, yang  keras kuat jatuh di bawah, yang lunak lemas jatuh di atas.” Air adalah benda terlunak di kolong langit ini, tidak ada yang melebihinya, tetapi kuat serangannya tidak ada yang dapat menahan. Hang Liong Sip-pat Ciang adalah ilmu silat yang terkeras, maka mesti dilawan dengan ilmu yang terlunak. Tapi Kwee Ceng tidak melawan hanya dengan yang lunak, melainkan juga dengan yang keras, sebab di samping pandai Kong-beng-kun, Pukulan Memisah Diri, ia pun paham Hang Liong Sip-pat Ciang dari gurunya ini. Jadi kedua tangannya bergerak masing-masing, keras dan lunak.
Dengan begitu, gurunya kewalahan.
 Oey Yong menonton sambil menghitung. Melihat tidak ada tanda-tanda Kwee Ceng bakal kalah, ia girang. Ia menghitung terus sampai 299.
 Ang Cit Kong mendengar hitungan itu. Mendadak muncul tabiatnya yang suka menang sendiri, ia menyerang dengan jurus Kang Liong Yu Hui yang hebat sekali, bagaikan gunung roboh dan laut terbalik. Setelah itu ia menyesal, karena khawatir Kwee Ceng tidak dapat mempertahankan diri dan akan terluka parah, la berteriak, “Hati-hati!”
Kwee Ceng mendengar peringatan itu saat tangan gurunya sudah di depan mukanya, la kenal baik serangan itu, sebab waktu mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang, itulah jurus pertamanya. Ia mengerti bahwa tidak ada jurus Kong-beng-kun yang dapat menghindari serangan itu, maka ia menggunakan jalan keras lawan keras, ia menyambut dengan Kang Liong Yu Hui juga.
Tidak ampun lagi kedua tangan beradu keras, hingga terdengar bunyi nyaring. Sebagai akibatnya, tubuh kedua orang itu sama-sama bergetar.
Oey Yok Su dan putrinya terkejut, hingga mereka berseru, keduanya melangkah menghampiri.
Guru dan murid itu seperti berpegangan, tangan mereka bagaikan menempel satu sama lain. Kwee  Ceng mempertahankan diri. ia lantas tahu, kalau mengalah ia akan terluka parah. Ia tahu baik bahwa gurunya lihai. Maka ia hendak menanti sampai tangan gurunya sudah tidak begitu membahayakan, baru ia mau menyerah kalah.
Ang Cit Kong kaget berbareng girang mendapati muridnya bisa bertahan, segera timbul rasa sayangnya, hingga berkuranglah tabiat suka menang sen-dirinya. Ia lantas memikirkan cara untuk mengalah supaya muridnya mendapat nama. Maka pelan-pelan ia memperlunak tenaganya.
Tepat selagi guru dan murid itu tidak menang dan tidak kalah, dari balik jurang terdengar tiga kali seruan nyaring, dibarengi munculnya seorang yang berjungkir balik hingga tiga kali. la adalah Racun Barat Auwyang Hong, yang muncul lagi tiba-tiba.
Kwee Ceng dan Ang Cit Kong mengendurkan tenaga mereka berbareng serta melompat mundur.
dengan begitu mereka bisa mengawasi si Racun Barat yang bajunya robek rubat-rabit dan mukanya berlepotan darah. Kembali orang itu berteriak, “Raja Langit telah tiba! Giok Hong Taytee turun ke bumi!” Lantas dengan tongkat ularnya ia merabu keempat orang yang berada di situ.
Ang Cit Kong menjumput tongkatnya, lalu me-nangkis, hingga mereka jadi bertempur. Setelah beberapa jurus, ia heran. Oey Yok Su, Kwee Ceng, dan Oey Yong juga tidak kurang herannya.
Aneh sekali kelakuan Racun Barat ini. la berkelahi tetapi adakalanya mencakar muka sendiri, me-nyentil, mendepak kempolannya sendiri, atau tengah menyerang, mendadak ia menarik pulang serangan-nya untuk diubah dengan jurus yang lain.
Menyaksikan demikian, Ang Cit Kong mengambil sikap membela diri.
Lewat beberapa jurus kembali Auwyang Hong memperlihatkan keanehannya. Beruntun tiga kali  ia menggaplok mukanya sendiri, hingga terdengar suara nyaring diikuti jeritannya yang keras. Setelah itu mendadak ia melonjorkan kedua tangannya untuk merayap di depan Cit Kong.
Pengemis Utara girang. Ia berpikir, “Menyerang anjing adalah keistimewaan tongkatku ini. Sekarang kau bersikap seperti anjing, bukankah kau meng-antarkan dirimu sendiri masuk ke jaring?” Ia me-nusuk pinggang lawannya itu.
Sekonyong-konyong Auwyang Hong membalik-kan tubuh, dengan begitu ia menindih ujung tong-kat, terus menggelindingkan tubuhnya mendaki tongkat. Cit Kong terkejut hingga tongkatnya ter-lepas. Menyusul itu, tubuh Racun Barat mencelat tinggi, kedua kakinya berbareng menendang ke arah kedua mata lawannya,
Cit Kong terkejut, ia melompat mundur.
Oey Yok Su maju seraya mencabut pedangnya, lalu menusukkannya pada si Racun Barat.
“Toan Hongya, aku tak takut It Yang O’-mu!”
kata Auwyang Hong yang menangkis, tapi terus merangsek untuk menubruk.
Oey Yok Su mengerti jago dari See Hek ini sedang kacau pikirannya, namun heran, serangannya justru lebih hebat daripada waktu ia sadar, la tentu tidak tahu, karena Auwyang Hong belajar Kiu im Cin Keng palsu yang sangat menyita pikiran dan tenaganya, ia menjadi tersesat, tetapi karena bakatnya baik dan ilmu silatnya sudah tinggi, sesat atau tidak, ia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa, hingga dua orang kosen ini menjadi kewalahan.
Selang beberapa puluh jurus, Oey Yok Su keteter hingga mesti mundur. Tempatnya segera diambil alih Kwee Ceng yang maju dengan pedangnya.
 Tiba-tiba Racun Barat menangis dan berkata,  “Oh, anakku, kau mati sangat mengenaskan….”
Tiba-tiba ia melemparkan tongkat ularnya untuk melompat dan merangkul anak muda di depannya.
 Kwee Ceng tahu tentunya ia disangka Auwyang Kongcu. Karena mendengar jeritan dan keluhan orang itu, ia menjadi tidak tega menurunkan tangan jahat. Di lain pihak, ia juga takut. Maka ia meng-ulurkan tangannya untuk menolak.
 Auwyang Hong lihai sekali. Walaupun ia ber-kelakuan aneh, gerakannya sangat gesit, tangan kirinya lantas memegang lengan Kwee Ceng dan tangan kanannya memeluk. Si anak muda meronta, tapi kalah tenaga, ia tidak berhasil meloloskan diri.
 Ang Cit Kong dan Oey Yok Su terkejut, keduanya melompat maju untuk menolong. Dengan It Yang Ci Cit Kong menotok jalan darah hongbwee-hiat di punggung Racun Barat agar Kwee Ceng dilepaskan.
 Arah aliran darah Auwyang Hong telah bertentangan, sehingga ia tidak dapat ditotok. Totokan itu tidak terasa olehnya, ia tidak menghiraukannya.
 Oey Yong memungut batu untuk menyerang kepala Auwyang Hong, tetapi tangan kanan si Racun Barat meninju batu itu sampai terpental masuk ke jurang. Karena itu, Kwee Ceng dapat memberontak sambil terus melompat mundur.
 Oey Yok Su juga sudah menyerang si edan itu.
Auwyang Hong tidak lagi memakai ilmu silat biasa, tetapi hebat bukan main, sering ia memiringkan tubuh, atau berdiri tegak, atau menjatuhkan diri tengkurap dengan sebelah tangannya menekan tanah, hingga tangannya yang lain dapat digunakan untuk berkelahi terus. Tentu saja cara berkelahi itu sulit dilayani Sesat Timur.
Oey Yong khawatir ayahnya akan salah tangan maka ia berteriak, “Suhu, menghadapi orang edan ini jangan kita pakai aturan lagi, mari kita keroyok dia!”
“Di waktu biasa, kita bisa berbuat begitu untuk membekuknya,” kata Ang Cit Kong. “Tapi sekarang  adalah hari pibu di Hoa San ini. Dunia tahu kita mesti bertempur satu lawan satu, kalau sekarang kita mengepungnya, kita bakal ditertawakan orang kangouw”
Selagi Pengemis Utara bicara, serangan aneh Auwyang Hong bertambah dahsyat, bahkan orang itu meludahi Oey Yok Su hingga majikan Pulau Persik itu gelagapan dan melangkah mundur.
Sehabis itu Auwyang Hong menyerang sambil membungkuk, berarti ia tidak melihat ke atas. Oey Yok Su girang melihatnya, dalam hati ia berkata, “Dasar dia edan, dia kacau!” Langsung ia menotok jalan darah genghiang-hiat.
Totokan itu baru mengenai kulit muka, tapi mendadak Auwyang Hong menyambar dengan mulut-nya, menggigil jari telunjuk penyerangnya. Dalam kagetnya Oey Yok Su segera menyerang dengan tangan kirinya ke jalarr darah tayyong-hiat. Tapi Auwyang Hong juga sebat sekali, ia menangkis dengan tangan kanannya dan memperkeras gigitannya.
Kwee Ceng maju berbareng bersama Oey Yong, masing-masing dengan pedang kayu dan tongkat bambu. Baru sekarang Auwyang Hong melepaskan gigitannya, tapi sebagai gantinya, ia mencakar ke muka si nona, untuk itu ia memakai kedua tangannya atau kesepuluh jarinya. Selagi berbuat begitu ia memperlihatkan roman bengis sekali, sedangkan mukanya berlepotan darah.
 Oey Yong kaget hingga menjerit, ia melompat ke samping. Tapi ia disusul.
 Kwee Ceng menggempur punggung jago dari See Hek itu, ia menangkis. Dengan begitu barulah Oey Yong lolos dari ancaman bahaya.
 Baru belasan jurus si anak muda melayani orang edan itu, pundak dan pahanya beberapa kali kena hajar, syukur tidak berbahaya.
 “Anak Ceng, mundur!” kata Cit Kong. “Biar aku yang mencoba melayaninya!”

Pengemis Utara melompat maju, hingga ia bertempur lagi melawan Racun Barat. Kali ini mereka bertempur lebih hebat daripada tadi. Setelah menyaksikan serangan orang itu terhadap Oey Yok Su dan Kwee Ceng, Cit Kong melihat masih ada jalan untuk menghadapi ilmu silat kacau Auwyang Hong itu, maka sekarang ia melawan dengan perhatian. Kap-mo-kang digunakan si Racun Barat secara bertentangan, yang mestinya ke kanan menjadi ke kiri, yang mestinya ke atas menjadi ke bawah, demikian seterusnya. Umumnya, tujuh dalam sepuluh, gerakan itu tidak meleset. Maka, meski keteter Cit Kong bisa juga balas menyerang, satu kali melawan tiga kali.
Oey Yok Su juga memperhatikan ilmu silat Racun Barat itu. Selagi anaknya mengurus lukanya, ia meneliti lebih jauh. Dalam hal ini, ia lebih cerdas daripada Ang Cit Kong, maka ia pun lantas menemukan cara menghadapi ilmu itu. Segera ia mengajari Cit Kong berulang-ulang, “Cit Kong, tendang dia! Hajar dia pada jalan darah ki-koat.
Serang jalan darah thian-cui” Semua petunjuk ini diberikan selagi semua jalan darah itu terbuka.
Sebagai penonton, Oey Yok Su dapat melihat jelas sekali.
Ang Cit Kong menuruti petunjuk itu, maka tidak lama kemudian kedudukannya seimbang de-ngan lawannya. Meski begitu Cit Kong dan Yok Su jengah sendiri, sebab mereka berdua mesti mengepung Racun Barat.
Suatu ketika Cit Kong mendapat kesempatan untuk bisa menghajar Racun Barat dengan tepat, namun tiba-tiba Auwyang Hong kembali meludah, hingga Cit Kong batal menyerang dan mesti ber-kelit. Lalu ia dirabu dan diludahi lagi hingga gelagapan. Biarpun cuma ludah, tapi bisa merusak mata bila mengenainya. Si pengemis tidak sudi mandah begitu saja. Tidak ada jalan lain, ia me-nangkap ludah itu dengan tangannya, lantas terus  menyerang.
Baru beberapa jurus kembali Auwyang Hon meludah.
Rupanya inilah siasatnya untuk mengacaukan lawan.
Cit Kong mendongkol sekali. Ia merasa dirinya seperti dihina. Ia juga jijik dengan ludah Racun Barat yang masih melekat di tangan kanannya, karena sangat repot, ia tidak sempal mengusapkan tangannya ke bajunya.
“Kena!” serunya mendadak setelah lewat beberapa jurus. Tangan kanannya menepuk muka Auwyang Hong. Tampaknya ia hendak memulas muka orang itu dengan ludahnya sendiri, tidak tahunya diam-diam ia hendak menotok dengan It Yang Ci, totokan istimewa untuk menaklukkan Kap-mo-kang.
Meski seperti gila, Auwyang Hong sebenarnya sangat gesit dan dapat berpikir, la menanti tibanya tepukan tangan lawan. Ketika jari-jari tangan Cit Kong dikeluarkan untuk menotoknya, ia hendak menyambut dengan gigitannya seperti sebelumnya ia menggigit tangan Oey Yok Su.
Oey Yok Su, Kwee Ceng, dan Oey Yong yang pasang mata jadi terkejut. Mereka melihat berke-lebatnya gigi putih Racun Barat. Ketiganya lang-sung berteriak, “Awas!”
Mereka lupa bahwa Ang Cit Kong, yang ber-julukan Kiu Ci Sin Kay si Pengemis Aneh Berjari Sembilan, sudah tidak mempunyai telunjuk kanan, yang telah dikutungtnya sendiri untuk mengurangi keserakahannya gegares. Ketika Auwyang Hong menggigit sasaran kosong, seluruh gigi atas dan gigi bawahnya bercatrukan keras sekali.
Inilah kesempatan yang paling baik, Ang Cit Kong tidak mau menyia-nyiakannya. Selagi mulut Racun Barat terkatup rapat, Cit Kong mengeluarkan jari tengahnya untuk http:kangzusi.com menotok jalan darah tee- chong-hiat di pinggir mulut lawannya.
Ong Tiong Yang dan Toan Hongya biasa meng-gunakan telunjuk, tetapi Cit Kong tidak mem- punyainya, maka ia menggunakan jari tengah sebagai pengganti. Auwyang Hong tidak menyangka, maka ia menggigit seperti biasa untuk menyambut totokan, tidak tahunya ia kehilangan sasaran.
Melihat Cit Kong berhasil, Oey Yok Su bertiga akan berseru girang, namun sebelum itu tiba-tiba mereka tersentak. Mendadak Pengemis Utara ber-jumpalitan roboh ke tanah, sedangkan Racun Barat terhuyung mundur beberapa langkah, gerakannya mirip orang mabuk. Setelah dapat berdiri tegak, ia tertawa terbahak sambil melengak.
Sudah diketahui bahwa jalan darah Auwyang Hong telah bertentangan semuanya, maka totokan Ang Cit Kong bukan mengenai tee-chong-hiatt tapi justru jalan darah besar ciok-yang-beng wi-keng. Tapi waktu ditotok tubuh Racun Barat Cuma mati sedetik, sehabis itu ia pulih seperti biasa.
Maka ia sebat luar biasa balas menghajar pundak lawannya.
Cit Kong melihat serangan itu. ia tidak sempat menangkis, ia lantas berkelit. Benar ia kena hajar, tapi karena sembari berkelit, ia bisa membuang diri dengan berjumpalitan. Tentu saja ia tidak menyerah begitu saja. sambil berkelit tadi ia ber-bareng menyerang dengan jurus Kian Liong Cay Tians tapi karena kenanya tidak telak, Racun Barat cuma terhuyung.
Cit Kong tidak terluka parah. Sejenak tubuhnya terasa kaku, ia tidak dapat lantas bergerak leluasa, tidak dapat segera maju lagi. Karena orang ternama, ia malu dengan kekalahannya, maka setelah bangun lagi ia memberi hormat pada Racun Barat seraya berkata, “Saudara Auwyang, aku si pengemis tua takluk padamu, kaulah orang kosen nomor satu di kolong langit ini!”
Auwyang Hong mendongak, ia tertawa lama.
Kemudian ia mengulap-ulapkan kedua tangannya ke udara.
“Toan Hongya.” katanya pada Oey Yok Su, “kau takluk atau tidak padaku?”
Sesat Timur mendongkol sekali, dalam hati ia berkata. “Bagaimana bisa gelar orang gagah nomor satu di kolong langit ini dirampas orang edan?
Bagaimana kami bisa menemui orang banyak?”
Meski begitu ia menginsafi kenyataan, la tidak bisa melawan jago dari Barat ini. Maka akhirnya ia mengangguk. Ia pun tidak peduli dipanggil Toan Hongya oleh si edan itu.
Auwyang Hong lantas berpaling pada Kwee Ceng.
“Nak,” katanya, “ilmu silat ayahmu sangat lihai, di kolong langit ini tak ada tandingannya lagi, kau girang atau tidak?”
Orang-orang merasa aneh mendengar RacunBarat memanggil anak pada keponakannya. Itu tidak mengherankan, karena tidak seorang pun mengetahui rahasianya. Sebenarnya Auwyang Kongcu dilahirkan oleh kakak ipar Auwyang Hong setelah berbuat serong dengannya, maka walaupun bagi orang luar mereka itu anak dan keponakan, sebenarnya mereka adalah ayah dan anak. Ia belum sadar, ia masih menganggap Kwee Ceng sebagai anaknya, seperti ia mengira Oey Yok Su adalah Toan Hongya. Setelah puluhan tahun, ia seolah membuka rahasianya sendiri dengan menyebut-nyebut anaknya itu.
Kwee Ceng jujur, tanpa menghiraukan panggilan orang itu ia berkata, “Kami semua tak sanggup mengalahkanmu.”
Auwyang Hong tertawa geli sekali.
“Nona mantuku yang baik, kau girang atau tidak?” ia bertanya pada Oey Yong sambil me-mandangnya.
Oey Yong tengah masygul, karena terpaksa me-nyaksikan ayahnya, Ang Cit Kong, dan Kwee Ceng dipecundangi Racun Barat, hingga ia me- mikirkan upaya untuk menghadapi orang kosen yang edan ini. Begitu sekarang ditegur si edan. Ia langsung menyahut, “Siapa bilang kau orang kosen nomor satu di kolong langit ini? Ada satu orang yang mesti kauhadapi, kau pasti tak sanggup me-ngalahkannya!”
Mendengar perkataan itu Auwyang Hong gusar hingga-menepuk dadanya.
“Siapa? Siapa dia?” tanyanya keras. “Suruh dia datang melawanku!”
Oey Yong menatap mata orang itu. Ia memusat-kan tenaganya untuk Uap Sim Tay-hoat ilmu mempengaruhi hati dari Kiu im Cin Keng yang semacam ilmu sihir. Selama rapat di Gunung Kun San, Telaga Tong Teng, ia telah mempergunakan ilmu itu terhadap Pheng Tianglo hingga pengemis itu tertawa tidak mau berhenti. Kalau diterapkan terhadap orang yang tenaga dalamnya cetek, ilmu itu gampang mempan; namun tidak demikian hal-nya terhadap orang lihai. Dalam kitab itu tercantum pesan bahwa ilmu itu tidak dapat sembarang digunakan, sebab bisa mencelakai diri sendiri. Tapi Oey Yong menggunakannya juga karena tidak menemukan cara lain, sedangkan Auwyang Hong tampaknya kacau pikirannya.
Dalam keadaan biasa, memang Auwyang Hong tidak dapat dipengaruhi Oey Yong, yang tenaga dalamnya kalah jauh, kalau dibalik ia bisa celaka.
Tapi sekarang ia sedang kacau, ia tidak dapat melawan. Sambil mengawasi ia masih bertanya, “Siapa? Siapa dia? Suruh dia datang melawanku!”
“Dia lihai luar biasa, kau pasti tak dapat melawannya!” kata Oey Yong, matanya tetap mengawasi tajam.
“Siapa? Siapa dia? Suruh dia datang melawanku!”
“Dia bernama Auwyang Hong!”
“Auwyang Hong?”
Racun Barat menggaruk-garuk kepalanya.
“Benar, Auwyang Hong! Kau boleh lihai, tapi kau tak bakal dapat melawan Auwyang Hong!”
Kacau pikiran Racun Barat. Ia merasa mengenal baik nama Auwyang Hong itu, tetapi tidak dapat mengingatnya. Ia cuma merasa Auwyang Hong itu sangat berdekatan dengannya, hanya entah siapa….
“Sebenarnya siapa aku ini?” tanyanya kemudian.
“Kau adalah kau!” jawab Oey Yong tertawa dingin, matanya terus menatap. “Kau sendiri tak tahu, mengapa kau menanyaiku?”
Auwyang Hong bingung. Ia seperti berpikir keras untuk mengetahui siapa dirinya sendiri. “Aku ini siapa? Sebelum dilahirkan, aku ini apa? Setelah mati, aku ini apa?’ Lalu ia bertanya lagi, “Sebenar-nya aku siapa? Aku berada di mana? Aku kenapa?”
“Auwyang Hong mau mencarimu untuk mengadu kepandaian!” kata si nona. “Dia hendak merampas kitabmu, kitab Kiu Itn Cin Keng”
“Mana dia sekarang? Dia ada di mana?”
“Itu dia, di belakangmu!” jawab Oey Yong sambil menurfjuk ke belakang Racun Barat.
Auwyang Hong memutar tubuhnya cepat luar biasa, lantas melihat bayangannya sendiri yang berdiri di belakangnya. Ia melengak.
“Lihat, dia hendak menghajarmu!” kata Oey Yong cepat.
Auwyang Hong mendak, segera menyerang- Karena ia bergerak, bayangannya turut bergerak. Ia terkejut. Segera ia menyerang lagi, tangan kiri dan kanannya bergantian. Ia bergerak sangat cepat, bayangannya bergerak- sama cepatnya. Satu kali ia melompat berkelit, tubuhnya diputar hingga ia menghadap matahari. Sudah tentu ia kehilangan bayangannya.
“Hai. kau lari ke mana?” teriaknya. Ia melesat ke kiri.
Di sebelah kirinya ada lereng, di situ terlihat bayangannya. Tidak ayal lagi Auwyang Hong meninju. Tentu saja ia menghajar batu gunung. Ia merasa sakit bukan main dan berteriak, “Kau sangat lihai!” la lantas menendang. Tentu saja ia berjengit sendiri, sebab ia menendang gunung dan kakinya terasa sakit sekali seperti kepalannya barusan. Sekarang ia jadi jeri sendiri. Mendadak ia memutar tubuhnya dan lari.
Karena berlari ke arah matahari, ia tidak melihat bayangannya lagi. Setelah lari beberapa tombak, ia menoleh. Ia kaget melihat bayangannya berada di belakangnya dan berteriak, “Biar kau saja yang menjadi orang kosen nomor satu di kolong langit ini! Aku menyerah kalah!”
Karena ia berhenti lari dan tidak bergerak, bayangannya pun diam. Ia tidak berkata apa-apa lagi, ia memutar tubuh lagi untuk berlalu. Namun ia masih menoleh, hingga melihat bayangannya itu mengikutinya. Ia menjadi kaget dan takut, lantas berlari sekeras-kerasnya sembari menjerit-jerit. Ia menuruni gunung, sampai sekian lama masih terdengar jeritannya, “Jangan kejar aku! Jangan kejar aku!”
Oey Yong dan Ang Cit Kong saling mengawasi,
sama-sama menghela napas. Mereka tidak menyangka, demikian rupa nasib jago yang lihai sekali.
Oey Yong duduk bersila. Sehabis mengerahkan tenaga dan pikirannya demikian keras, ia letih.
Setelah sekian lama bersemadi, ia baru bangkit.
Suara Auwyang Hong kadang-kadang masih terdengar, tetapi ia sudah terpisah dari mereka beberapa ‘. Yang terdengar adalah kumandangnya.
“Dia tak bakal hidup lebih lama lagi,” kata Cit Kong.
“Aku… aku siapa ya?” mendadak Kwee Ceng bertanya seorang diri.
Oey Yong terkejut. Ia mengira pemuda tolol ini tentunya telah dibikin bingung oleh Racun Barat.
“Kau Kwee Ceng! Kau Kakak Ceng!” kata Oey Yong lekas-lekas. “Jangan pikirkan dirimu, pikirkan diri orang lain!”
Anak muda itu melengak. lalu sadar.
“Benar!” katanya. “Suhu, Tuan, mari kita turun gunung!”
“Anak tolol!” bentak Cit Kong. “Kau masih memanggilnya Tuan! Nanti kau kugaplok!”
Kwee Ceng melengak, ia menatap Oey Yong yang tersenyum.
“Ayah Mertua!” panggilnya kemudian dengan jengah.
Oey Yok Su tertawa, rupanya ia senang dipanggil Ayah Mertua. Ia menarik tangan anak gadisnya, lalu menarik tangan menantunya itu. dan berkata pada Pengemis Utara, “Saudara Cit, hari ini barulah kita berdua mengerti, ilmu silat itu tak ada batas habisnya, jadi di kolong langit ini juga tak ada orang kosen nomor satu!”
“Tapi aku berani bilang ilmu masak Anak Yong paling hebat!” kata Pengemis Utara tanpa ditanya.
Oey Yong tersenyum.
“Jangan puji-puji aku!” katanya. “Mari kita lekas-lekas turun gunung! Kalian akan kumasakkan beberapa macam hidangan!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar