Bab 80. PIBU
DI GUNUNG HOA SAN
AUWYANG HONG bertubuh tinggi dan
besar, meskipun telah sedikit menekuk kedua kakinya untuk menjalankan ilmu
Kodok-nya, ia masih lebih tinggi daripada Ang Cit Kong. Ia sekarang menggunakan tongkat yang
ketiga, yang baru dibikinnya, sebab dua tongkat ularnya yang pertama telah
lenyap.
Tongkatnya ini, di bagian ujungnya berukiran
kepala manusia, tetapi aneh dan mengerikan. Di
situ dililit-kan dua ekor ular berbisa, tapi kedua ular ini baru, kurang lincah
dibandingkan dua ularnya yang dulu.
Di samping itu, ia
sekarang bertempur melawan Pengemis
Utara untuk keempat kalinya, maka
caranya berbeda. Pertama kali ia melawan Cit Kong
di Gunung Hoa San ini, dan itu juga untuk memperebutkan kehormatan dan Kiu Im
Cin Keng.
Yang kedua terjadi di Pulau
Persik, yaitu untuk membela Auwyang
Kongcu yang berebut jodoh dengan Kwee Ceng.
Yang ketiga ialah pertempuran di laut.
Usia kedua pihak semakin lanjut, tetapi
berbareng dengan itu, ilmu silat mereka juga semakin maju, maka pertarungan
menjadi hebat. Inilah pibu untuk nama baik, menyangkut hidup atau mati.
Siapa yang alpa atau
kurang gesit, ia harus menerima nasibnya. Dalam sekejap seratus jurus lebih telah
dilewatkan.
Mendadak sang putri malam menghilang.
Langsung suasana menjadi gelap. Perubahan seketika itu terjadi karena
pergantian waktu, sang malam telah lewat dan akan digantikan oleh sang fajar.
Suasana akan menjadi terang. Namun sekarang kedua
pihak sukar melihat satu sama lain dengan jelas. Mereka saling menyerang dengan
lebih banyak menutup diri.
Kwee Ceng dan Oey Yong
menonton dengan perhatian tertumpah- sepenuhnya. Bagaimanapun, mereka
mengkhawatirkan guru mereka. Mereka maju beberapa langkah, supaya kalau perlu
mereka bisa menolong guru mereka.
Mata Kwee Ceng mengawasi tajam tapi
hatinya berpikir, “Mereka inilah jago-jago nomor satu di zaman ini, hanya
bedanya yang satu orang gagah dengan hati mulia; yang lain berhati buruk,
mengganas karena mengandalkan kekosenannya. Jadi, ilmu silat tidak mengenal
baik dan jahat, hanya terbawa oleh orang yang bersangkutan. Siapa baik, ilmu
silatnya menambah kebaikan; siapa jahat, ilmu silatnya menambah kejahatan.” la
cemas ketika mendengar Racun
Barat dan gurunya bergantian
berseru, tanda hebatnya pertarungan mereka.
“Suhu telah terluka
parah, itu artinya dia telah menyia-nyiakan waktu hampir dua tahun,” anak muda
ini berpikir lagi, hatinya berdebar-debar.
“Memang ilmu silat mereka seimbang, tapi
kalau Suhu terhalang begitu, mungkin Racun Barat
mem-punyai kepandaian lebih. Pertarungan ini berartihanya dengan satu langkah
maju dan satu langkah mundur. Kalau
Suhu kalah? Ah, sayang aku telah
memberi ampun hingga tiga kali pada jago dari Barai ini….”
Kwee Ceng kembali ingat ajaran
Khu Ci Kee bahwa
kepercayaan dan kebajikan besar haruslah dibedakan dari kepercayaan dan
kebajikan kecil;
kalau karena kepercayaan dan kebajikan kecil
orang roboh, itu bukan lagi kepercayaan dan kebajikan.
Singkatnya, itu bukanlah kehormatan.
“Racun Barat
mengatakan untuk berkelahi satu lawan satu, dengan cara
terhormat,” anak muda ini berpikir lebih
jauh. “Habis bagaimana kalau dia tetap bertindak curang?
Bagaimana kalau dia lantas mengganas dengan lebih hebat lagi? Berapa banyak korban
jatuh karenanya? Dulu-dulu aku tak dapat membedakan arti kepercayaan dan
kebajikan ini, jadi aku telah melakukan banyak ketololan….”
Karena berpikir begini, Kwee Ceng
lantas ber-ketetapan membantu gurunya. Tapi belum lagi
ia maju, didengarnya suara Oey Yong.
“Auwyang Hong,
dengar!” demikian si nona.
“Kakak Ceng
telah berjanji padamu, hendak mem-beri ampun jiwamu tiga kali. Siapa tahu
ternyata kau mengandalkan kekosenanmu, tetap menghinaku.
Untuk menjadi orang kecil tak ternama dari Rimba Persilatan,
kau tak surup, bagaimana mungkin kau hendak memperebutkan gelar jago nomor satu
di kolong langit ini?”
Racun Barat telah melakukan
kejahatan yang tidak terhitung banyaknya, namun ia orang yang selalu menepati
janji, belum pernah menyangkal kata-kata atau janjinya. Ia juga sangat jumawa.
Ia memaksa Oey
Yong karena sangat terpaksa, sebab
ia ingin sekali si nona menjelaskan isi kitab itu padanya. Sekarang selagi
hebatnya ia bertarung melawan Ang
Cit Kong,
nona itu mengungkit-ungkit kesalahannya. Kupingnya panas, karena itu gerakan
tangannya terlambat, ia hampir kena sodok tongkat si pengemis.
“Kau dinamakan Racun Barat,”
kata Oey Yong lagi, “maka tak bisa dikatakan
apa-apa mengenai segala perbuatan busukmu, tapi kau diberi ampun sampai tiga
kali oleh orang muda. sungguh kau telah kehilangan muka! Bagaimana dapat kau
me-nelan kata-katamu sendiri terhadap orang muda?
Sungguh kau menyebabkan orang-orang gagah kaum
kangouw tertawa hingga mulut mereka men-cong! Auwyang Hong,
Auwyang Hong! Ada satu hal pada dirimu yang tak dapat
dikalahkan siapa pun di kolong langit
ini, kau orang nomor satu yang tak tahu malu!”
Racun Barat
gusar bukan kepalang, tetapi ia tahu maksud si nona yang hendak membangkitkan amarahnya,
supaya perhatiannya terpecah, supaya ia tidak dapat mengutamakan pertempurannya
dengan Ang Cit Kong—tegasnya,
supaya ia kalah.
Karena itu, sebagai orang licik, ia tidak mau
dirinya kena bakar. Ia tidak menghiraukan ocehan itu. Tapi Oey Yong sangat cerdik, ia tidak mau berhenti
mengoceh, bahkan menyebutkan kebusukan yang sebenarnya belum pernah dilakukan Auwyang Hong.
Ia sengaja supaya Racun
Barat dipandang sebagai manusia
terjahat di dunia ini. Mulanya
Racun Barat
dapat bersabar, namun akhirnya ter-bakar juga, ia lantas membela diri,
menyangkal tuduhan si nona. Inilah yang diharapkan Oey Yong, ia
lantas mengoceh lebih jauh. Maka Racun Barat
berkelahi di dua kalangan. Melawan Pengemis Utara, ia bersilat dengan
kaki dan tangannya; me-layani Oey Yong,
ia bersilat dengan lidahnya.
Sedangkan dalam hal bersilat lidah. Oey Yong
lebih pandai daripada Cit
Kong.
Lewat
sekian lama, Auwyang
Hong merasa ter-desak. Saat itu ia
teringat, “Pengemis tua ini tentunya tak mengerti Kiu Im Ciu Keng,
maka, untuk merebut kemenangan, aku mesti menggunakan ilmu itu.” Ia lantas
menggunakan ilmunya itu. Tidak peduli yang didapatnya ajaran sesat, ia lihai
dan ber-bakat baik sekali, hingga ia memperoleh kemajuan juga. Dengan begitu
berubahlah gerakan tongkatnya.
Ang Cit
Kong terkejut. Ia mesti melayani dengan memasang mata tajam luar biasa, dengan kegesitan
yang bertambah.
Oey Yong dapat melihat
perubahan di kedua pihak, ia kini as berkata nyaring, “‘ Goansu-engji, pasi-palok-pou,
soaliok-bunpeng!”
Auwyang Hong mendengar itu dan
terperanjat.
“Apa arti kata-kata Sanskerta itu?” pikirnya.
Ia tidak tahu si nona cuma asal mengoceh, kata-kata itu
tidak ada artinya. Oey Yong tidak berhenti bicara,
ia menambahkan kata-kata yang lain lagi.
la juga berseru-seru dan
menghela napas bergantian, beberapa kali nadanya seperti bertanya.
“Apa yang kaukatakan?” akhirnya Racun Barat
bertanya.
Oey Yong menyahut dengan
kata-kata Sanskerta ngawur, hingga jago dari See Hek itu makin bingung. Mendadak Ang Cit Kong berseru, “Kena!”
Pengemis Utara tahu perhatian Racun Barat
telah dikacaukan, ia menggunakan kesempatan itu untuk menyerang, tongkatnya
menghajar ke batok kepala lawannya yang tangguh itu.
Auwyang Hong kaget melihat
datangnya serang-an itu, ia menjerit sambil berkelit, terus menyeret tongkatnya
dan berlari pergi.
“Ke mana kau hendak pergi?” bentak Kwee Ceng sambil meloncat untuk mengejar, tetapi ia
tidak dapat mencandak. Auwyang
Hong lari dan melompat
berjumpalitan tiga kali, lalu bergulingan dan lenyap di balik jurang.
Ang Cit Kong bengong, demikian
juga Oey Yong. Hanya sebentar, lantas keduanya
saling memandang dan tertawa. Kwee
Ceng ikut tertawa.
“Yongji,” kata si pengemis sesaat kemudian,
“kali ini aku berhasil mengalahkan si Bisa Bangkotan,
semua ini karena jasamu….” Ia menghera napas.
Oey Yong tersenyum.
“Tapi, Suhu,” kata si nona. “Bukankah itu
kepandaian ajaranmu sendiri?”
“Sebenarnya itu bakatmu sendiri!” Cit Kong
ter-tawa. “Dengan adanya tua bangka yang licin se-bagai ayahmu, muncullah anak
perempuan yang licin seperti kau!”
“Bagus ya!” tiba-tiba terdengar seruan di
belakang mereka. “Di belakang kau
omong jelek tentang orang lain! Pengemis
Bangkotan, kau malu atau tidak?”
“Ayah!” Oey Yong
berteriak seraya melompat maju, lalu berlari-lari ke arah dari mana suara itu datang.
Sekarang sang matahari sudah menyingsing.
maka terlihat kemunculan seorang dengan jubah
hijau yang melangkah dengan tenang. Orang itu tidak lain adalah pemilik Pulau Persik.
Oey Yok Su.
Oey Yong menubruk ayahnya,
merangkulnya.
Sang ayah balas merangkulnya.
Ayah itu mengawasi putrinya.
Ia melihat anaknya telah berubah, sifat kekanak-kanakannya berkurang, sekarang
romannya mirip dengan mendiang istrinya.
Oey Yok Su bahagia sekaligus
sedih.
“Sesat Tua.”
kata Ang Cit Kong,
“kau ingat tidak apa yang kubilang padamu di Pulau Persik,
bahwa anakmu sangat cerdik dan banyak akalnya, orang lain dapat dikelabuinya
tapi ia sendiri tak bakal dapat teperdaya, bahwa kau tak usah
meng-khawatirkannya? Nah, sekarang katakan, benar atau tidak perkataan si Pengemis Tual”
Oey Yok Su tersenyum, sembari
menarik tangan anaknya ia mendekati Pengemis Utara.
“Aku memberi selamat padamu yang telah mem-bikin
si Tua Bangka Berbisa kabur!” katanya.
“Dengan kekalahannya itu, legalah hatimu dan hatiku.
Ang Cit Kong tersenyum.
“Jago di kolong langit
ini adalah kau dan aku si Pengemis Tua,” katanya. “Tapi melihat anakmu ini,
cacing dalam perutku langsung mengamuk tak keruan, liurku pun meleleh. Mari kita lekas-lekas bertempur! Bagiku sama bagusnya
baik kau mau-pun aku yang jadi jago, aku hanya menunggu menyikat habis hidangan
yang lezat-lezat!”
.”Ingat!” seru Oey Yong.
“Kalau kau kalah, baru aku akan masak untukmu!”
“Fui. tak tahu malu!” Cit Kong
membentak.
“Jadi kau hendak menggencetku, ya?”
Oey Yok Su beradat tinggi,
katanya, “Pengemis
Tua,’setelah lerluka kau
menyia-nyiakan waktumu selama dua tahun, maka sekarang aku khawatir kau bukan
tandinganku! Yongji, aku tak peduli siapa menang siapa kalah, kau mesti memasak
dan mengundang gurumu bersantap!”
“Benar begitu!” puji Cit Kong.
“Itu baru kata-kata guru besar! Pemilik
Pulau Persik
mana boleh berpandangan cupet seperti anak gadisnya! Se-karang mari kita mulai, tak usah menanti sampai tepat tengah
hari!”
Sehabis, berkata. Cit Kong
mengangkat tongkat-nya lalu maju menyerang.
Oey Yok Su menggelengkan
kepalanya.
“Baru saja kau bertempur
lama melawan Racun Barat,” katanya. “Meski benar kau tak letih, tapi kau toh
telah mengeluarkan banyak tenaga. Mana dapat aku Oey Yok Su mau menang tempo! Baik-lah kita tunggu
sampai tengah hari tepat, supaya kau sekalian bisa menghimpun tenagamu
kembali!”
Cit Kong tahu itu benar dan
pantas sekali,
tetapi ia tidak dapat
menahan sabar,- maka ia mendesak untuk mulai bertempur saja.
Oey Yok Su sebaliknya, ia duduk
di batu tidak memedulikan si Pengemis
Tua.
Melihat kedua orang tua itu berkutat, Oey Yong
menengahi.
“Ayah, Suhu, aku punya cara.” katanya.
“Dengan caraku ini kalian bisa langsung bertempur tanpa ada yang menang tempo.”
“Bagus!” kata Cit Kong
dan Yok Su berbarengan.
“Bagaimana caranya?”
“Ayah dan Suhu adalah sahabat kekal, siapa menang
siapa kalah akhirnya toh persahabatan di antara kedua belah pihak akan
terganggu juga,”
jawab Oey Yong.
“Pibu hari ini adalah pibu yang menghendaki
menang atau kalah, bukan?”
Cit Kong dan Yok Su
telah berpikir serupa, maka mereka mengiyakan. Lantas keduanya ber-tanya bagaimana cara si anak atau si murid.
“Caraku begini,” kata Oey Yong.
“Mula-mula Ayah bertempur
melawan Kakak
Ceng. Coba lihat, dalam berapa
jurus Ayah dapat mengalahkannya.
Setelah itu Suhu bertempur melawan Kakak Ceng.
Umpama dalam 99 jurus Ayah dapat mengalahkan Kakak Ceng
sedangkan Suhu mesti menggunakan seratus jurus, maka Ayahlah yang menang.
Sebalik-nya kalau Suhu menang dalam 98 jurus, Ayahlah yang kalah.”
“Bagus, bagus!” Cit Kong
memuji.
“Kakak Ceng
bertempur lebih dulu melawan Ayah.” Oey Yong
berkala lagi. “Kedua pihak masih segar dan bertenaga cukup. Kalau nanti Kakak Ceng
melawan Suhu, mereka sama-sama bekas bertempur, jadi seimbang. Tidakkah itu
adil?” Oey Yok Su
mengangguk.
“Cara
ini bajk.” katanya. “Anak
Ceng, mari
maju. Kau pakai senjata atau tidak?”
“Terserah!” jawab Kwee Ceng.
Ia setuju dengan cara sama jengah itu. Ia lantas akan
melangkah maju.
“Perlahan dulu!” Oey Yong
mencegah. “Masih ada yang harus dijelaskan. Bagaimana umpama dalam tiga ratus
jurus Ayah dan Suhu masih belum sanggup mengalahkan Kakak Ceng?”
Ang Cit Kong tertawa tergelak.
“Sesat Tua,”
katanya, “mulanya aku sangat me-ngagumi putrimu yang pandai sekali membela
ayah-nya, ha, siapa tahu dia toh tetap wanita, dia akhirnya membela pihak luar
juga! Tapi ini wajar!
Sebenarnya dia ingin sekali supaya si tolol
ini yang memperoleh gelar orang gagah nomor satu di kolong langit.”
Sesat Timur bertabiat sangat
aneh. Setelah men-dengar ucapan putrinya dan si Pengemis Utara, ia
memutuskan, “Biarlah kubikin tercapai keinginan anakku ini.” Ia lantas berkata.
“Apa yang dikatakan Yongji benar adanya. Kita dua tua bangka, kalau kita tak
dapat mengalahkan Anak
Ceng dalam tiga ratus jurus, mana
kita punya muka untuk terhitung sebagai orang-orang nomor satu?” Namun, setelah
berkata begitu, -ia berbalik pikir lagi, “Aku bisa saja mengalah, membiarkan
dia sanggup melayani-ku sampai tiga ratus jurus; tapi jika si Pengemis Tua tak
sudi mengalah, tentu dia bakal dapat mengalahkan Anak Ceng
dalam tiga ratus jurus itu! Dengan demikian, aku jadi bukan mengalah pada Anak
Ceng, melainkan pada si Pengemis Tua…,” Ia jadi ragu-ragu.
Ang Cit Kong langsung menolak
tubuh muridnya.
“Lekas mulai!” katanya. “Mau tunggu apa
lagi?”
Kwee Ceng terhuyung ke depan Oey Yok
Su, yang terpaksa mengambil
keputusan segera. Ia berkata dalam hati, “Baiklah, sekarang aku men-coba dulu
tenaga dalamnya, sebentar akan kupikir-kan
lagi.” Tangan kirinya bergerak ke arah pundak si anak muda. “Jurus pertama!”
serunya.
Kalau Oey Yok Su berpendirian tidak tetap, demikian juga Kwee Ceng.
Pemuda ini berpikir.
“Sudah pasti aku tak dapat menjadi orang
kosen nomor satu di dunia ini, tapi manakah yang akan kubiarkan menang, ayah
Yongji atau Suhu?” Te-ngah ia ragu-ragu, tangan Oey Yok
Su menyambar padanya. Tangan
kanannya terangkat untuk me-nangkis. Karena ia belum
sempat memperbaiki diri, dengan bentroknya (angan mereka, ia terpental hingga
hampir jatuh. Lantas ia mendapat pikiran baru, “Aku gila! Kenapa mesti
kupikirkan soal mengalah atau tidak? Biarpun kukeluarkan semua kepandaianku,
mana bisa aku melawan sampai tiga ratus jurus?” Maka ketika serangan kedua Oey Yok
Su tiba. ia berniat melawan. Ia
akan membiarkan mereka berdua
menggunakan kepandai-an mereka untuk mengalahkannya, terserah siapa lebih dulu
dan siapa ketinggalan, ia sendiri tidak mau berat sebelah.
Selelah jurusnya yang kedua dapat dihindari, Oey Yok
Su melanjutkan serangannya lebih
jauh.
Baru beberapa jurus ia sudah heran sekali
hingga bertanya dalam hati, “Baru setahun lebih berlalu, kenapa anak tolol ini
sudah maju begini rupa?
Kalau aku mengalah, kecuali tiga ratus jurus
yang disebutkan itu, mungkin aku terkalahkan olehnya….”
Dalam beberapa jurus itu, lantaran ia
mengalah dan cuma memakai tujuh bagian tenaganya, Oey
Yok Su berada di bawah
angin, itulah sebabnya ia heran. Maka selanjutnya ia bersilat dengan ilmu Lok Eng
Ciang.
Kwee Ceng sekarang benar-benar
bukan Kwee Ceng yang dulu. Yok Su
telah mencoba belasan jurus, namun pemuda itu belum bisa diunggulinya.
Ia menukar dengan
belasan macam jurus lagi, tetapi masih belum berhasil juga. Demikianlah puluhan
jurus telah dilewatkan .
Setelah seratus jurus lebih, Kwee Ceng
yang jujur bertindak alpa, ia nyaris kena tendang- kaki kiri lawan. Syukurlah
ia keburu melompat mundur, tapi karena itu kedudukan kedua pihak jadi
se-imbang.
Oey Yok Su menarik napas lega.
“Hebat,” pikir-nya. Baru setelah menggunakan tipu ia bisa meng-ubah keadaan,
tapi untuk menang di atas angin ia mesti bekerja lebih keras lagi. Setelah
pengalaman pertamanya itu Kwee
Ceng memasang kedudukan kokoh
teguh, biar diserang bagaimana juga, ia tetap membela diri. la telah mengambil
sikap, walaupun tidak menang asal jangan sampai kalah.
“Dua ratus tiga!” Oey Yong
menghitung. “Dua ratus empat!”
Oey Yok Su menjadi bingung
juga.
“Tangan sf Pengemis Tua
lihai, bagaimana kalau dia dapat merobohkan muridnya dalam tempo se-ratus
jurus?” pikirnya. “Di mana aku mesti
me-naruh mukaku?’
Maka kembali ia bekerja keras untuk menyerang
hebat.
Baru sekarang Kwee Ceng
terdesak, malahan ia hampir sukar bernapas. Ia merasa seperti tertindih gunung, matanya mulai kabur.
Oey Yok Su menyerang hebat
sekali, cepat serangannya itu, tetapi sang wasit, putrinya sendiri, juga cepat
sekali hitungannya. Saat
Kwee Ceng
merasa bibir dan lidahnya kering, kaki dan tangan-nya lemas, hingga ia akan
berseru menyerah kalah.
mendadak terdengar suara
nyaring si nona, “Tiga ratus!”
Segera muka Oey Yok Su memucat,
ia melompat mundur.
Kwee Ceng menderita hebat
sekali. Matanya kabur, kepalanya pusing, kaki dan tangannya ke-hilangan tenaga.
Pertempuran telah berhenti, tapi ia belum berhenti bergerak, ia berputar-putar
dan terhuyung-huyung, hampir ia roboh ketika sadar bahaya yang mengancam
dirinya. Mendadak ia menancapkan kaki kirinya dengan tipu Cian Kin Twi, Berat Seribu
Kati. Baru sekarang ia dapat berdiri tegak. Untuk memulihkan kesegarannya, tangan
kanannya bergerak; dengan ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang ia menyerang
sepuluh kali.
Otaknya lantas menjadi jernih. Ia diam sejenak, terus berkata, “Tuan Oey, beberapa jurus lagi pastilah aku
roboh…!”
Sesat Timur malu dan sedih, ia
sedikit men-dongkol, tetapi menyaksikan ketangguhan anak muda itu ia berbalik menjadi
girang. Luar biasa pemuda itu dapat bertahan dari serangannya dengan tipu silat
Ki-bun Ngo-coan, yang telah dipahaminya selama belasan tahun. Dengan ilmu itu
ia biasa membikin letih lawannya.
“Pengemis Tua,”
katanya pada Ang
Cit Kong,
“aku tak berguna, kaulah yang mendapatkan gelar orang gagah nomor satu di
kolong langit ini!” Ia memberi hormat, terus memutar tubuh untuk berlalu.
“Tunggu dulu, tunggu dulu!” kata Cit Kong.
“Segala di dunia bagaikan catur, perubahannya
tak dapat diterka….” Ia lantas mengliampiri Kwee Ceng,
melemparkan tongkatnya, lalu dari pinggangnya ia menghunus sebilah pedang yang
diserahkannya pada Kwee
Ceng. Ia berkata, “Kau menggunakan
senjata, aku akan melawanmu dengan tang’an ko-song!”
Kwee Ceng
melengak.
“Suhu….” katanya, “mana…”
“Ilmu
silat tangan kosongmu aku yang meng-ajarkannya. Kalau kau menggunakan
kepalanmu, apa itu namanya pihuT kata si orang tua. “Majulah!”
Kata-kata ini disusul dengan sambaran tangan kiri
untuk merampas pedang Kwee
Ceng.
Kwee Ceng
tidak dapat menerka maksud gurunya itu, ia melepaskan pedangnya, tidak melawan.
“Anak tolol!” damprat Cit Kong.
“Kita sedang pibu, tahu!”
Ia menyerahkan kembali
pedang itu dengan tangan kirinya, tapi tangan kanannya merampas lagi.
Kali ini Kwee Ceng
menghindarkan pedang itu hingga tidak terampas.
“Satu!” Oey Yong
lantas menghitung.
Ang Cit Kong langsung menggunakan
Hang Liong Sip-pat Ciang. Tentu saja ia hebat luar biasa.
Sambaran-sambaran anginnya sedemikian rupa, hingga
meskipun bersenjatakan pedang Kwee
Ceng tidak dapat mendekati
lawannya ini. Sebenarnya si anak muda tidak biasa menggunakan senjata, tapi setelah
didesak Auwyang
Hong di rumah batu, ia jadi pandai
menggunakannya. Tapi berbeda dari orang-orang lain, ia menggunakan kepandaian senjatanya delapan bagian untuk pembelaan
diri, dua bagian untuk penyerangan. Dari Kanglam
Cit Koay
ia memperoleh apa yang dinamakan “kepandai-an kasar”. Setelah mendapatkan Kiu Im
Cin Keng
baru ia memperoleh kemajuan yang berarti, sekarang ditambah dengan
kepandaiannya dalam menggunakan senjata. Menghadapi Auwyang
Hong, ia membela diri dari
serangan tombak kayu, sekarang ia membela diri dari serangan tangan kosong.
Ang Cit Kong girang mendapati
muridnya dapat bertahan demikian bagus.
“Anak ini dapat maju, tak kecewa aku
mendidiknya.” pikirnya. “Tapi kalau aku merobohkan-
nya dalam dua ratus jurus, itu jelek untuk si
Sesat’
Tua. Lebih baik aku menanti sampai dua ratus jurus
lebih, baru aku menggunakan tangan berat….”
Lalu Pengemis Utara menggunakan ilmu
silat tiang Liong Sip-pat Ciang, Delapan Belas
Jurus Menaklukkan
Naga. Ia mengurung muridnya, angin
serangannya mendesir-desir.
Dalam sikapnya ini Ang Cit Kong telah membuat kekeliruan. Kalau ia
terus mendesak, mungkin Kwee
Ceng kewalahan dan perlawanannya
patah. Tapi ia mengulur tempo, mau menanti hingga dua ratus
jurus. Ia lupa Kwee Ceng orang muda, tenaganya sedang penuh. Apalagi setelah
mempelajari Kiu
Im Toan Kut Pian, pemuda itu telah
maju jauh sekali.
Sebaliknya Cit Kong sendiri orang tua,
jadi tidak dapat beradu ulet. Demikianlah, ketika ia sudah menyerang hingga
sembilan putaran, atau artinya 162 jurus, serangannya tidak dahsyat lagi
seperti semula. Bahkan sesudah sampai jurus kedua ratus, di samping tangan
kanannya memegang pedang, tangan kiri Kwee Ceng
jadi semakin hebat.
“Ini hebat,” pikir si Pengemis Utara
yang merasa tidak tenang. Tapi ia orang yang berpengalaman, ia tahu ia tidak
bisa beradu tenaga, maka terpaksa ia menggunakan akalnya dan mementang terbuka kedua
lengannya.
Kwee Ceng dapat melihat
perubahan itu, ia heran.
“Ini jurus yang belum pernah Suhu ajarkan padaku…,”
pikirnya. Kalau menghadapi orang lain, tentu ia lelah merangsek ke nong-kiong^
tengah, .untuk menyerang dada. Namun menghadapi
guru-nya, ia tidak bisa bertindak telengas. Karena itu ia mesti berpikir dulu
untuk menyerang.
“Tolol!” tegur si guru. “Kau teperdaya!”
Mendadak kaki kiri sang guru melayang naik, menendang
pedang muridnya hingga terlepas, sedangkan tangan kanannya menyambar ke pundak.
la lianya menggunakan delapan bagian
tenaganya, karena tidak berniat melukai si murid. Ia yakin muridnya akan roboh
dan ia sendiri akan menang.
Tapi ia keliru.
Walaupun muda, Kwee Ceng
telah banyak pengalaman, tubuhnya sering menderita, hal itu bagaikan semacam
latihan untuknya. Hajaran itu hanya membikin ia terhuyung beberapa langkah dan
membuat pundaknya terasa sakit, tidak sampai membikin ia roboh. Maka kagetlah
si guru yang lantas berseru, “Lekas kibaskan tanganmu tiga kali, lalu sedot
napas, nanti kau terluka dalam!”
Kwee Ceng menurut. Benar saja, ia langsung merasa lega.
“Saya menyerah,” katanya.
“Tidak!” kata guru itu. “Kalau kau
menyerah,si Sesat
Tua mana puas! Sambutlah!”
Tangannya lantas menyambar.
Sekarang Kwee Ceng tidak mempunyai
senjata, ia mesti melawan dengan tangan kosong. Ia menghindar dengan jurus
Kong-beng-kun ajaran Ciu Pek Thong, semacam ilmu silat lunak yang paling lunak
yang diciptakan Bocah
Tua Nakal
setelah ia membaca kitab Too Tek Keng bagian “Serdadu kuat bisa musnah, kayu
kuat bisa patah, yang keras kuat jatuh
di bawah, yang lunak lemas jatuh di atas.” Air adalah benda terlunak di kolong langit
ini, tidak ada yang melebihinya, tetapi kuat serangannya tidak ada yang dapat
menahan. Hang Liong Sip-pat Ciang adalah ilmu silat yang terkeras, maka mesti
dilawan dengan ilmu yang terlunak. Tapi Kwee
Ceng tidak melawan hanya dengan
yang lunak, melainkan juga dengan yang keras, sebab di samping pandai
Kong-beng-kun, Pukulan
Memisah Diri,
ia pun paham Hang Liong Sip-pat Ciang dari gurunya ini. Jadi kedua tangannya
bergerak masing-masing, keras dan lunak.
Dengan begitu, gurunya kewalahan.
Oey Yong
menonton sambil menghitung. Melihat tidak ada
tanda-tanda Kwee
Ceng bakal kalah, ia girang. Ia menghitung terus
sampai 299.
Ang Cit
Kong mendengar hitungan itu.
Mendadak muncul tabiatnya yang suka menang sendiri, ia menyerang dengan jurus
Kang Liong Yu Hui yang hebat sekali, bagaikan gunung roboh dan laut terbalik.
Setelah itu ia menyesal, karena khawatir Kwee Ceng
tidak dapat mempertahankan diri dan akan terluka parah, la berteriak,
“Hati-hati!”
Kwee Ceng mendengar peringatan
itu saat tangan gurunya sudah di depan mukanya, la kenal baik serangan itu,
sebab waktu mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang, itulah jurus pertamanya. Ia
mengerti bahwa tidak ada jurus Kong-beng-kun yang dapat menghindari serangan
itu, maka ia menggunakan jalan keras lawan keras, ia menyambut dengan Kang
Liong Yu Hui juga.
Tidak ampun lagi kedua tangan beradu keras, hingga
terdengar bunyi nyaring. Sebagai akibatnya, tubuh kedua orang itu sama-sama
bergetar.
Oey Yok Su dan putrinya
terkejut, hingga mereka berseru, keduanya melangkah menghampiri.
Guru dan murid itu seperti berpegangan,
tangan mereka bagaikan menempel satu sama lain. Kwee
Ceng mempertahankan diri. ia lantas
tahu, kalau mengalah ia akan terluka parah. Ia tahu baik bahwa gurunya lihai.
Maka ia hendak menanti sampai tangan gurunya sudah tidak begitu membahayakan,
baru ia mau menyerah kalah.
Ang Cit Kong kaget berbareng
girang mendapati muridnya bisa bertahan, segera timbul rasa sayangnya, hingga
berkuranglah tabiat suka menang sen-dirinya. Ia lantas memikirkan cara untuk mengalah supaya muridnya mendapat nama. Maka pelan-pelan ia
memperlunak tenaganya.
Tepat selagi guru dan murid itu tidak menang dan
tidak kalah, dari balik jurang terdengar tiga kali seruan nyaring, dibarengi
munculnya seorang yang berjungkir balik hingga tiga kali. la adalah Racun Barat
Auwyang Hong,
yang muncul lagi tiba-tiba.
Kwee Ceng dan Ang Cit
Kong mengendurkan tenaga mereka
berbareng serta melompat mundur.
dengan begitu mereka bisa mengawasi si Racun Barat
yang bajunya robek rubat-rabit dan mukanya berlepotan darah. Kembali orang itu berteriak, “Raja Langit telah tiba! Giok Hong
Taytee turun ke bumi!” Lantas dengan tongkat ularnya ia merabu keempat orang yang berada di situ.
Ang Cit Kong menjumput
tongkatnya, lalu me-nangkis, hingga mereka jadi bertempur. Setelah beberapa jurus, ia heran. Oey Yok Su, Kwee Ceng,
dan Oey Yong juga tidak kurang herannya.
Aneh sekali kelakuan Racun Barat
ini. la berkelahi tetapi adakalanya mencakar muka sendiri, me-nyentil, mendepak
kempolannya sendiri, atau tengah menyerang, mendadak ia menarik pulang
serangan-nya untuk diubah dengan jurus yang lain.
Menyaksikan demikian, Ang Cit Kong mengambil sikap membela diri.
Lewat beberapa jurus kembali Auwyang Hong
memperlihatkan keanehannya. Beruntun tiga kali ia menggaplok mukanya sendiri, hingga
terdengar suara nyaring diikuti jeritannya yang keras. Setelah itu mendadak ia
melonjorkan kedua tangannya untuk merayap di depan Cit Kong.
Pengemis Utara girang. Ia berpikir,
“Menyerang anjing adalah keistimewaan tongkatku ini. Sekarang kau bersikap
seperti anjing, bukankah kau meng-antarkan dirimu sendiri masuk ke jaring?” Ia
me-nusuk pinggang lawannya itu.
Sekonyong-konyong Auwyang Hong
membalik-kan tubuh, dengan begitu ia menindih ujung tong-kat, terus
menggelindingkan tubuhnya mendaki tongkat. Cit Kong
terkejut hingga tongkatnya ter-lepas. Menyusul itu, tubuh Racun Barat
mencelat tinggi, kedua kakinya berbareng menendang ke arah kedua mata lawannya,
Cit Kong terkejut, ia
melompat mundur.
Oey Yok Su maju seraya mencabut
pedangnya, lalu menusukkannya pada si Racun Barat.
“Toan Hongya,
aku tak takut It Yang O’-mu!”
kata Auwyang Hong
yang menangkis, tapi terus merangsek untuk menubruk.
Oey Yok Su mengerti jago dari
See Hek ini sedang kacau pikirannya, namun heran, serangannya justru lebih
hebat daripada waktu ia sadar, la tentu tidak tahu, karena Auwyang Hong
belajar Kiu im Cin
Keng palsu yang sangat menyita pikiran
dan tenaganya, ia menjadi tersesat, tetapi karena bakatnya baik dan ilmu
silatnya sudah tinggi, sesat atau tidak, ia telah memperoleh kemajuan yang luar
biasa, hingga dua orang kosen ini menjadi kewalahan.
Selang beberapa puluh jurus, Oey Yok
Su keteter hingga mesti mundur.
Tempatnya segera diambil alih Kwee
Ceng yang maju dengan pedangnya.
Tiba-tiba
Racun Barat menangis dan berkata, “Oh, anakku, kau mati sangat mengenaskan….”
Tiba-tiba ia melemparkan tongkat ularnya
untuk melompat dan merangkul anak muda di depannya.
Kwee Ceng
tahu tentunya ia disangka Auwyang
Kongcu. Karena mendengar jeritan
dan keluhan orang itu, ia menjadi tidak tega menurunkan tangan jahat. Di lain pihak, ia juga takut. Maka ia meng-ulurkan
tangannya untuk menolak.
Auwyang Hong
lihai sekali. Walaupun ia ber-kelakuan aneh, gerakannya sangat gesit, tangan kirinya
lantas memegang lengan Kwee
Ceng dan tangan kanannya memeluk.
Si anak muda meronta, tapi kalah tenaga, ia tidak berhasil meloloskan diri.
Ang Cit
Kong dan Oey Yok Su terkejut, keduanya melompat maju untuk
menolong. Dengan It Yang Ci Cit Kong menotok jalan darah hongbwee-hiat di punggung
Racun Barat agar Kwee Ceng dilepaskan.
Arah
aliran darah Auwyang
Hong telah bertentangan, sehingga
ia tidak dapat ditotok. Totokan itu tidak terasa olehnya, ia tidak
menghiraukannya.
Oey Yong
memungut batu untuk menyerang kepala Auwyang Hong,
tetapi tangan kanan si Racun
Barat meninju batu itu sampai
terpental masuk ke jurang. Karena itu, Kwee Ceng
dapat memberontak sambil terus melompat mundur.
Oey Yok
Su juga sudah menyerang si edan
itu.
Auwyang Hong tidak lagi memakai
ilmu silat biasa, tetapi hebat bukan main, sering ia memiringkan tubuh, atau
berdiri tegak, atau menjatuhkan diri tengkurap dengan sebelah tangannya menekan
tanah, hingga tangannya yang lain dapat digunakan untuk berkelahi terus. Tentu
saja cara berkelahi itu sulit dilayani
Sesat Timur.
Oey Yong khawatir ayahnya
akan salah tangan maka ia berteriak, “Suhu, menghadapi orang edan ini jangan
kita pakai aturan lagi, mari kita
keroyok dia!”
“Di
waktu biasa, kita bisa berbuat begitu untuk membekuknya,” kata Ang Cit
Kong. “Tapi sekarang adalah hari pibu di Hoa San ini. Dunia tahu
kita mesti bertempur satu lawan satu, kalau sekarang kita mengepungnya, kita
bakal ditertawakan orang kangouw”
Selagi Pengemis Utara bicara, serangan
aneh Auwyang
Hong bertambah dahsyat, bahkan orang
itu meludahi Oey
Yok Su
hingga majikan Pulau Persik itu gelagapan dan melangkah mundur.
Sehabis itu Auwyang Hong
menyerang sambil membungkuk, berarti ia tidak melihat ke atas. Oey Yok Su
girang melihatnya, dalam hati ia berkata, “Dasar dia edan, dia kacau!” Langsung ia menotok jalan
darah genghiang-hiat.
Totokan itu baru mengenai kulit muka, tapi mendadak
Auwyang Hong menyambar dengan mulut-nya, menggigil
jari telunjuk penyerangnya. Dalam kagetnya Oey Yok Su segera menyerang dengan tangan kirinya
ke jalarr darah tayyong-hiat. Tapi
Auwyang Hong
juga sebat sekali, ia menangkis dengan tangan kanannya dan memperkeras
gigitannya.
Kwee Ceng maju berbareng
bersama Oey Yong, masing-masing dengan pedang kayu dan
tongkat bambu. Baru sekarang Auwyang
Hong melepaskan gigitannya, tapi
sebagai gantinya, ia mencakar ke muka si nona, untuk itu ia memakai kedua
tangannya atau kesepuluh jarinya. Selagi berbuat begitu ia memperlihatkan roman
bengis sekali, sedangkan mukanya berlepotan darah.
Oey Yong
kaget hingga menjerit, ia melompat ke samping. Tapi ia disusul.
Kwee Ceng
menggempur punggung jago dari See Hek itu, ia menangkis. Dengan begitu barulah Oey Yong
lolos dari ancaman bahaya.
Baru
belasan jurus si anak muda melayani orang edan itu, pundak dan pahanya beberapa
kali kena hajar, syukur tidak berbahaya.
“Anak Ceng,
mundur!” kata Cit
Kong. “Biar aku yang mencoba
melayaninya!”
Pengemis Utara melompat maju,
hingga ia bertempur lagi melawan Racun Barat.
Kali ini mereka bertempur lebih hebat daripada tadi. Setelah menyaksikan serangan
orang itu terhadap Oey
Yok Su
dan Kwee Ceng, Cit Kong
melihat masih ada jalan untuk menghadapi ilmu silat kacau Auwyang Hong
itu, maka sekarang ia melawan dengan perhatian. Kap-mo-kang digunakan si Racun Barat
secara bertentangan, yang mestinya ke kanan menjadi ke kiri, yang mestinya ke
atas menjadi ke bawah, demikian seterusnya. Umumnya, tujuh dalam sepuluh,
gerakan itu tidak meleset. Maka, meski keteter Cit Kong
bisa juga balas menyerang, satu kali melawan tiga kali.
Oey Yok Su juga memperhatikan
ilmu silat Racun
Barat itu. Selagi anaknya mengurus
lukanya, ia meneliti lebih jauh. Dalam hal ini, ia lebih
cerdas daripada Ang Cit Kong, maka ia pun lantas menemukan cara menghadapi ilmu
itu. Segera
ia mengajari Cit Kong berulang-ulang, “Cit Kong, tendang dia! Hajar dia pada
jalan darah ki-koat.
Serang jalan darah thian-cui” Semua petunjuk
ini diberikan selagi semua jalan darah itu terbuka.
Sebagai penonton, Oey Yok Su dapat melihat jelas sekali.
Ang Cit Kong menuruti petunjuk
itu, maka tidak lama kemudian kedudukannya seimbang de-ngan lawannya. Meski
begitu Cit Kong dan Yok Su
jengah sendiri, sebab mereka berdua mesti mengepung Racun Barat.
Suatu ketika Cit Kong
mendapat kesempatan untuk bisa menghajar Racun Barat
dengan tepat, namun tiba-tiba Auwyang
Hong kembali meludah, hingga Cit Kong
batal menyerang dan mesti ber-kelit. Lalu ia dirabu dan diludahi lagi hingga gelagapan.
Biarpun cuma ludah, tapi bisa merusak mata bila
mengenainya. Si
pengemis tidak sudi mandah begitu saja. Tidak ada jalan lain, ia me-nangkap
ludah itu dengan tangannya, lantas terus menyerang.
Baru beberapa jurus kembali Auwyang Hon
meludah.
Rupanya inilah siasatnya untuk mengacaukan
lawan.
Cit Kong mendongkol sekali. Ia merasa dirinya seperti dihina. Ia juga jijik dengan ludah Racun Barat
yang masih melekat di tangan kanannya, karena sangat repot, ia tidak sempal
mengusapkan tangannya ke bajunya.
“Kena!” serunya mendadak
setelah lewat beberapa jurus. Tangan kanannya menepuk muka Auwyang Hong.
Tampaknya ia hendak memulas muka orang itu dengan ludahnya sendiri, tidak
tahunya diam-diam ia hendak menotok dengan It Yang Ci, totokan istimewa untuk
menaklukkan Kap-mo-kang.
Meski seperti gila, Auwyang Hong
sebenarnya sangat gesit dan dapat berpikir, la menanti tibanya tepukan tangan
lawan. Ketika jari-jari tangan Cit
Kong dikeluarkan untuk menotoknya,
ia hendak menyambut dengan gigitannya seperti sebelumnya ia menggigit tangan Oey Yok
Su.
Oey Yok Su, Kwee Ceng,
dan Oey Yong yang pasang mata jadi terkejut. Mereka melihat berke-lebatnya gigi
putih Racun Barat. Ketiganya
lang-sung berteriak, “Awas!”
Mereka lupa bahwa Ang Cit Kong, yang ber-julukan Kiu Ci Sin Kay
si Pengemis Aneh Berjari
Sembilan, sudah tidak mempunyai telunjuk kanan, yang telah dikutungtnya sendiri
untuk mengurangi keserakahannya gegares. Ketika Auwyang
Hong menggigit sasaran kosong,
seluruh gigi atas dan gigi bawahnya bercatrukan keras sekali.
Inilah kesempatan yang paling baik, Ang Cit
Kong tidak mau menyia-nyiakannya.
Selagi mulut Racun
Barat terkatup rapat, Cit Kong
mengeluarkan jari tengahnya untuk http:kangzusi.com menotok jalan darah tee-
chong-hiat di pinggir mulut lawannya.
Ong Tiong Yang dan Toan Hongya
biasa meng-gunakan telunjuk, tetapi Cit Kong
tidak mem- punyainya, maka ia menggunakan jari tengah sebagai pengganti. Auwyang Hong
tidak menyangka, maka ia menggigit seperti biasa untuk menyambut totokan, tidak
tahunya ia kehilangan sasaran.
Melihat Cit Kong berhasil, Oey Yok
Su bertiga akan berseru girang,
namun sebelum itu tiba-tiba mereka tersentak. Mendadak Pengemis
Utara ber-jumpalitan roboh ke
tanah, sedangkan Racun
Barat terhuyung mundur beberapa
langkah, gerakannya mirip orang mabuk. Setelah dapat berdiri tegak, ia tertawa
terbahak sambil melengak.
Sudah diketahui bahwa jalan darah Auwyang Hong
telah bertentangan semuanya, maka totokan Ang Cit Kong bukan mengenai tee-chong-hiatt tapi
justru jalan darah besar ciok-yang-beng wi-keng. Tapi waktu ditotok tubuh Racun Barat
Cuma mati sedetik, sehabis itu ia
pulih seperti biasa.
Maka ia sebat luar biasa
balas menghajar pundak lawannya.
Cit Kong melihat
serangan itu. ia tidak sempat menangkis, ia lantas berkelit. Benar ia kena
hajar, tapi karena sembari berkelit, ia bisa membuang diri dengan
berjumpalitan. Tentu
saja ia tidak menyerah begitu saja. sambil berkelit tadi ia ber-bareng
menyerang dengan jurus Kian Liong Cay Tians tapi karena kenanya tidak telak, Racun Barat
cuma terhuyung.
Cit Kong tidak terluka parah.
Sejenak tubuhnya terasa kaku, ia tidak dapat lantas bergerak leluasa, tidak
dapat segera maju lagi. Karena orang ternama, ia malu dengan kekalahannya, maka
setelah bangun lagi ia memberi hormat pada Racun Barat
seraya berkata, “Saudara
Auwyang, aku si pengemis tua takluk
padamu, kaulah orang kosen nomor satu di kolong langit ini!”
Auwyang Hong mendongak, ia
tertawa lama.
Kemudian ia
mengulap-ulapkan kedua tangannya ke udara.
“Toan Hongya.”
katanya pada Oey
Yok Su,
“kau takluk atau tidak padaku?”
Sesat Timur mendongkol
sekali, dalam hati ia berkata. “Bagaimana bisa gelar orang gagah nomor satu di kolong
langit ini dirampas orang edan?
Bagaimana kami bisa menemui orang banyak?”
Meski begitu ia menginsafi kenyataan, la
tidak bisa melawan jago dari Barat ini. Maka akhirnya ia mengangguk. Ia pun
tidak peduli dipanggil Toan
Hongya oleh si edan itu.
Auwyang Hong lantas berpaling
pada Kwee Ceng.
“Nak,” katanya, “ilmu silat ayahmu sangat
lihai, di kolong langit ini tak ada tandingannya lagi, kau girang atau tidak?”
Orang-orang merasa aneh mendengar RacunBarat
memanggil anak pada keponakannya. Itu tidak mengherankan, karena tidak seorang
pun mengetahui rahasianya. Sebenarnya
Auwyang Kongcu
dilahirkan oleh kakak ipar Auwyang
Hong setelah berbuat serong
dengannya, maka walaupun bagi orang luar mereka itu anak dan keponakan, sebenarnya
mereka adalah ayah dan anak. Ia belum sadar, ia masih menganggap Kwee Ceng
sebagai anaknya, seperti ia mengira Oey Yok Su adalah Toan Hongya.
Setelah puluhan tahun, ia seolah membuka rahasianya sendiri dengan
menyebut-nyebut anaknya itu.
Kwee Ceng jujur, tanpa
menghiraukan panggilan orang itu ia berkata, “Kami semua tak sanggup mengalahkanmu.”
Auwyang Hong tertawa geli sekali.
“Nona mantuku yang baik, kau girang atau
tidak?” ia bertanya pada Oey Yong sambil me-mandangnya.
Oey Yong tengah masygul,
karena terpaksa me-nyaksikan ayahnya, Ang Cit Kong, dan Kwee Ceng dipecundangi Racun Barat,
hingga ia me- mikirkan upaya untuk menghadapi orang kosen yang edan ini. Begitu
sekarang ditegur si edan. Ia langsung menyahut,
“Siapa bilang kau orang kosen nomor satu di kolong langit ini? Ada satu orang yang
mesti kauhadapi, kau pasti tak sanggup me-ngalahkannya!”
Mendengar perkataan itu Auwyang Hong
gusar hingga-menepuk dadanya.
“Siapa? Siapa dia?” tanyanya keras. “Suruh
dia datang melawanku!”
Oey Yong menatap mata orang
itu. Ia memusat-kan tenaganya untuk Uap Sim Tay-hoat ilmu mempengaruhi hati
dari Kiu im Cin
Keng yang semacam ilmu sihir.
Selama rapat di Gunung Kun San, Telaga Tong Teng, ia telah mempergunakan ilmu
itu terhadap Pheng
Tianglo hingga pengemis itu
tertawa tidak mau berhenti. Kalau diterapkan terhadap orang yang tenaga
dalamnya cetek, ilmu itu gampang mempan; namun tidak demikian hal-nya terhadap
orang lihai. Dalam kitab itu tercantum pesan bahwa ilmu itu tidak dapat
sembarang digunakan, sebab bisa mencelakai diri sendiri. Tapi Oey Yong menggunakannya juga karena tidak
menemukan cara lain, sedangkan Auwyang Hong
tampaknya kacau pikirannya.
Dalam keadaan biasa, memang Auwyang Hong tidak
dapat dipengaruhi Oey
Yong, yang tenaga dalamnya kalah
jauh, kalau dibalik ia bisa celaka.
Tapi sekarang ia sedang
kacau, ia tidak dapat melawan. Sambil mengawasi ia masih bertanya, “Siapa? Siapa dia? Suruh dia
datang melawanku!”
“Dia lihai luar biasa, kau pasti tak dapat
melawannya!” kata Oey
Yong, matanya tetap mengawasi
tajam.
“Siapa? Siapa dia? Suruh dia datang melawanku!”
“Dia bernama Auwyang Hong!”
“Auwyang Hong?”
Racun Barat menggaruk-garuk
kepalanya.
“Benar, Auwyang Hong!
Kau boleh lihai, tapi kau tak bakal dapat melawan Auwyang Hong!”
Kacau pikiran Racun Barat.
Ia merasa mengenal baik nama Auwyang
Hong itu, tetapi tidak dapat mengingatnya.
Ia cuma merasa Auwyang
Hong itu sangat berdekatan
dengannya, hanya entah siapa….
“Sebenarnya siapa aku ini?” tanyanya
kemudian.
“Kau adalah kau!” jawab Oey Yong
tertawa dingin, matanya terus menatap. “Kau sendiri tak tahu, mengapa kau
menanyaiku?”
Auwyang Hong bingung. Ia seperti berpikir keras untuk mengetahui siapa dirinya sendiri. “Aku ini
siapa? Sebelum
dilahirkan, aku ini apa? Setelah mati, aku ini apa?’ Lalu ia bertanya lagi,
“Sebenar-nya aku siapa? Aku berada di mana? Aku kenapa?”
“Auwyang Hong
mau mencarimu untuk mengadu kepandaian!” kata si nona. “Dia hendak merampas kitabmu,
kitab Kiu Itn Cin Keng”
“Mana dia sekarang? Dia ada di mana?”
“Itu dia, di belakangmu!” jawab Oey Yong sambil
menurfjuk ke belakang Racun
Barat.
Auwyang Hong memutar tubuhnya
cepat luar biasa, lantas melihat bayangannya sendiri yang berdiri di
belakangnya. Ia melengak.
“Lihat, dia hendak menghajarmu!” kata Oey Yong
cepat.
Auwyang Hong mendak, segera
menyerang- Karena ia bergerak, bayangannya turut bergerak. Ia terkejut. Segera
ia menyerang lagi, tangan kiri dan kanannya bergantian. Ia bergerak sangat
cepat, bayangannya bergerak- sama cepatnya. Satu kali ia melompat berkelit,
tubuhnya diputar hingga ia menghadap matahari. Sudah tentu ia kehilangan bayangannya.
“Hai. kau lari ke mana?” teriaknya. Ia
melesat ke kiri.
Di sebelah kirinya ada
lereng, di situ terlihat bayangannya. Tidak ayal lagi Auwyang Hong
meninju. Tentu saja ia menghajar batu gunung. Ia merasa sakit bukan main dan berteriak, “Kau sangat lihai!” la lantas
menendang. Tentu
saja ia berjengit sendiri, sebab ia menendang gunung dan kakinya terasa sakit
sekali seperti kepalannya barusan. Sekarang ia jadi jeri
sendiri. Mendadak ia memutar tubuhnya dan lari.
Karena berlari ke arah matahari, ia tidak melihat
bayangannya lagi. Setelah lari beberapa tombak, ia
menoleh. Ia
kaget melihat bayangannya berada di belakangnya dan berteriak, “Biar kau saja
yang menjadi orang kosen nomor satu di kolong langit ini! Aku menyerah kalah!”
Karena ia berhenti lari
dan tidak bergerak, bayangannya pun diam. Ia tidak berkata apa-apa lagi, ia memutar tubuh lagi untuk berlalu. Namun ia masih menoleh,
hingga melihat bayangannya itu mengikutinya. Ia menjadi kaget dan takut, lantas
berlari sekeras-kerasnya sembari menjerit-jerit. Ia menuruni gunung, sampai sekian lama masih terdengar jeritannya, “Jangan
kejar aku! Jangan
kejar aku!”
Oey Yong dan Ang Cit
Kong saling mengawasi,
sama-sama menghela napas. Mereka tidak
menyangka, demikian rupa nasib jago yang lihai sekali.
Oey Yong duduk bersila.
Sehabis mengerahkan tenaga dan pikirannya demikian keras, ia letih.
Setelah sekian lama bersemadi, ia baru
bangkit.
Suara Auwyang Hong kadang-kadang masih
terdengar, tetapi ia sudah terpisah dari mereka beberapa ‘. Yang terdengar
adalah kumandangnya.
“Dia tak bakal hidup lebih lama lagi,” kata Cit Kong.
“Aku… aku siapa ya?” mendadak Kwee Ceng
bertanya seorang diri.
Oey Yong terkejut. Ia mengira pemuda tolol ini tentunya telah dibikin bingung oleh Racun
Barat.
“Kau Kwee Ceng! Kau Kakak
Ceng!” kata Oey Yong
lekas-lekas. “Jangan pikirkan dirimu, pikirkan diri orang lain!”
Anak muda itu melengak. lalu sadar.
“Benar!” katanya. “Suhu, Tuan, mari kita turun gunung!”
“Anak tolol!” bentak Cit Kong.
“Kau masih memanggilnya Tuan! Nanti kau kugaplok!”
Kwee Ceng melengak, ia menatap
Oey Yong yang tersenyum.
“Ayah Mertua!” panggilnya kemudian dengan jengah.
Oey Yok Su tertawa,
rupanya ia senang dipanggil Ayah Mertua. Ia menarik tangan anak gadisnya, lalu menarik
tangan menantunya itu. dan berkata pada Pengemis Utara,
“Saudara Cit, hari ini barulah kita berdua mengerti, ilmu silat itu tak ada
batas habisnya, jadi di kolong langit ini juga tak ada orang kosen nomor satu!”
“Tapi aku berani bilang ilmu masak Anak Yong
paling hebat!” kata Pengemis
Utara tanpa ditanya.
Oey Yong tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar