Kembalinya Pendekar Rajawali 88
Di antara berkelebatnya sinar pedang segera
terdengar pula suara geraman Hoat-ong yang tertahan.
Siau-siang-cu lantas menanggapi ucapan Nimo
Singh tadi: “Tidak, Hwesio gede itu yang terluka!”
Setelah berpikir, Nimo Singh percaya ucapan
Siau-siang-cu itu memang tidak salah, darah segar itu memang terciprat dari
tubuh Hoat-ong ke baju Siao-liong-li. ia menjadi kuatir kalau Hoat-ong sampai
terbunuh, tentu sukar lagi untuk mengatasi Siao-liong-li, cepat ia berseru:
“ln-heng dan Siau-heng, dari kita maju sekalian.” - Sambil memutar senjata ular
besi perlahan-lahan ia lantas raerunduk ke belakang Siao-liong-li. Melihat
gelagat jelek, mau tak-mau Siau-siang-cu dan In Kik-si harus bertindak juga,
segera merekapun menerjang maju dari kanan dan kiri.
Keadaan lantas berubah seketika, betapapun
tinggi kepandaian Siao-liong-li juga tidak dapat menahan serentak keempat tokoh
kelas wahid itu, sekalipun yang menghadapi mereka adalah Ciu Pek-thong, Oey
Yok-su atau Kwe Ceng juga sukar seorang melawan empat tokoh sehebat itu.
Hoat-ong sudah terluka dua kali, tapi tidak
mengenai tempat yang mematikan apalagi sekarang kedatangan bala bantuan,
hatinya menjadi lega dan serangannya segera bertambah gencar, kalau tadi dia
cuma bertahan saja, sekarang ia berebut menyerang bersama ketiga kawannya.
Pertarungan dahsyat ini membuat para Tosu
Coan-cin-kau dan kawanan Busu Mongol ikut berdebar, be-ratus pasang mata sama
tertuju ke tengah kalangan tempur, pada saat itulah mendadak terdengar suara
gemuruh yang dahsyat disertai berhamburnya batu pasir dan debu, berpuluh potong
batu besar yang tadinya menyumbat mulut gua Giok-hi tong itu telah runtuh, lima
Tosu berjubah kuning tampak melangkah keluar dari gua, mereka adalah Khu Ju-ki
berlima.
Dengan girang In Ci-peng, Li Ci-siang dan
lain lantas memapak maju dan berseru: “Suhu!”
Darba dan Hotu terkejut, mulut gua itu
tersumbat batu besar sebanyak itu, mengapa bisa dibobolkan seketika. Cepat
mereka menerjang maju dengan senjata masing-masing.
Mendadak Khu Ju-ki berlima mengelak ke
samping, serentak sepuluh tangan mereka bergerak dan menahan di punggung Darba
dan Hotu, begitu terpegang terus di dorong, kontan kedua orang itu dilemparkan
ke dalam Giok-hi-tong.
Padahal kepandaian Darba dan Hotu seimbang
dengan Hek Tay-thong dan Lau Ju-hian, walaupun lebih rendah daripada Khu Ju-ki
dan Ong Ju - it, tapi juga tidak kecundang hanya dalam satu kali gebrak saja.
Rupanya selama kelima tokoh Coan cin-kau itu
bertapa didalam Giok-hi-tong untuk mencari ilmu cara mengalahkan
Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, selama itu mereka harus memeras otak dan
merenungkan titik-titik kelemahan ilmu silat Ko-bong-pay itu, namun apa yang
pernah mereka lihat dari permainan Yo Ko dan Siao - liong - li itu ternyata
teramat hebat, setiap jurusnya seakan-akan merupakan maut bagi ilmu silat
Coan-cin-pay, jadi tidak mungkin di temukan lubang kelemahannya.
Tapi akhirnya Khu Ju-ki menemukan satu jalan,
kalau kalah dalam hal kebagusan jurus serangan, kelemahan ini harus ditambal
dengan tenaga gabungan lima orang. Maka langkah pertama yang mereka latih
adalah cara menyerang musuh secara serentak dengan tenaga gabungan mereka.
Karena menyadari di antara anak murid
Coan-cin-kau sekarang tiada tokoh yang menonjol, hanya dengan tenaga orang
banyaklah mungkin bisa bertahan, maka selama lebih sebulan ini mereka berhasil
menciptakan satu jurus yang disebut “Pek-joan-hui-hay” (beratus sungai mengalir
ke laut)
Waktu Kim-lun Hoat-ong bersama kawanan Busu
Mongol menyumbat gua, jurus Pek-joan-hui-hay itu sedang terlatih sampai titik
yang menentukan dalam keadaan begitu sedikitpun pikiran mereka tidak boleh
terpencar, karena itulah meski tahu jelas musuh sedang menyerang, terpaksa
mereka tidak menggubris.
Baru sesudah latihan mereka telah sampai pada
puncaknya, segala sesuatu sudah lancar, mendadak barulah mereka membobol mulut
gua dan keluar, Cuma sayang, karena ter-buru-buru menghadapi musuh, kekuatan
ilmu mereka itu baru mencapai delapan bagian saja, walaupun begitu juga Darba
dan Hotu tidak dapat menahannya, mereka kena dilemparkan ke dalam gua dan
terbanting semaput Waktu Khu Ju-ki memandang ke sana, ter-tampak Kim-lun
Hoat-ong berempat sedang mengerubuti Siao-liong-li. Hanya sebentar saja mereka
mengikuti pertarungan itu, segera mereka saling pandang dengan wajah pucat dan
semangat lesu, pikir mereka: “Sungguh celaka, kiranya ilmu silat Ko-bong-pay
sedemikian bagusnya, untuk mengalahkannya jelas tiada harapan selama hidup
ini.”
Kepandaian Kim-lun Hoat-ong berempat jauh
lebih tinggi daripada kelima tokoh utama Coan-cin kau ini, menurut penilaian
Khu Ju-ki, kalau mendiang gurunya masih hidup tentu dapat mengungguli mereka,
Ciu-susiok (maksudnya Ciu Pek-thong) mungkin juga lebih tinggi setingkat
daripada mereka tapi kalau sekaligus dikeroyok empat orang ini, besal
kemungkinan juga sukar menandingi mereka.
Dalam pada itu pertarungan di tengah
kalangan telah berubah lagi keadaan nya, Siao-liong-li terus menyerang, tapi
Kim-Iun Hoat-ong berempat bertahan dengan rapat dan jarang balas menyerang,
namun setindak demi setindak mereka terus mendesak maju sehingga semakin tidak
menguntungkan Siao-liong-Ii.
Beberapakali Siao-liong-Ii bermaksud menjebol
kepungan musuh, namun penjagaan Hoat-ong berempat sangat rapat, setiap kali
selalu dipaksa mundur lagi, ia menyadari gelagat jelek, apalagi tenaga sendiri
juga semakin berkurang setelah bertempur sekian lama, sedangkan Khu-Ju-ki
berlima dilihatnya juga sudah berada di samping, kini di sekelilingnya adalah
musuh semua, sedangkan ia cuma sendirian, jiwanya mungkin akan melayang di
tempat orang Coan-cin-kau ini.
Dalam keadaan demikian tiba-tiba terpikir
olehnya: “Begini sudah nasibku, biarpun mati juga tidak perlu disayangkan lagi,
Cuma… cuma dekat ajalku ini betapapun aku ingin dapat melihat muka Ko-ji untuk
penghabisan kalinya. Dimanakah dia saat ini? Ah, besar kemungkinan dia sedang
ber-mesra2an dengan nona Kwe, mereka tentu sedang dimabuk cinta, bisa jadi
mereka sudah menikah, sebagai pengantin baru mana dia ingat kepada perempuan
bernasib malang yang sedang dikerubut orang ini? Akan tetapi…”
“Ah, tidak, tidak! Ko-ji pasti takkan begitu,
sekalipun dia sudah menikah dengan nona Kwe juga pasti takkan melupakan daku,
Asalkan aku dapat bertemu sekali lagi dengan dia, ya, asal dapat bertemu sekali
lagi dengan dia…”
Ketika dia meninggalkan Siang-yang dahulu,
dia sudah bertekad takkan menemui Yo Ko lagi, tapi pada detik yang menentukan
mati-hidupnya sekarang ini hatinya semakin rindu kepada Yo Ko, dan begitu
hatinya memikirkan Yo Ko, seketika daya tempurnya menjadi lemah malah, Mestinya
dia dapat memainkan dua pedang dengan cara yang berlainan dengan kedua tangan,
sekarang pikirannya terganggu, permainan ilmu pedangnya menjadi rada kacau.
Melihat perubahan serangan Siao-liong-li itu,
semula Kim lun Hoat ong mengira si nona sengaja hendak menjebaknya.
Tapi setelah beberapa jurus lagi dan
tampaknya Siao-liong-li tidak menyadari kelemahannya sendiri itu, segera
Hoat-ong melangkah maju, roda perak digunakan menjaga diri dan roda emas di
tangan kanan terus menghantam ke batang pedang Siao-liong-li, Terdengarlah
suara “trang” yang keras, tahu-tahu pedang kiri si nona mencelat ke udara dan
patah menjadi dua.
Sungguh di luar dugaan Hoat-ong bahwa
serangan percobaannya ini membawa hasil, menyusul roda perak ditangan lain
terus mengepruk lagi ke depan, Dalam kagetnya lekas-lekas Siao-liong-li
menenangkan diri “sret-sret-sret”, kontan ia balas menusuk tiga kali, Tapi
sekarang ia hanya menggunakan pedang tunggal, ilmu pedangnya sudah bukan lagi
tandingan Kimlun Hoatong. Tentu saja keadaan ini dapat dilihat oleh Siau-siang
cu bertiga, serentak tiga macam senjata merekapun menyerang sekaligus.
Siao-liong-Ii hanya tersenyum hambar saja,
kini dia tidak berusaha melawan lagi, sekilas dilihatnya di sebelah sana ada
tetumbuhan bunga mawar yang sedang mekar dengan indahnya, Tiba-tiba terkekang
olehnya dia bersama Yo Ko berlatih Giok-Iisim-keng di semak-semak bunga dahulu,
Katanya di dalam hati: “Kalau aku tidak dapat bertemu lagi dengan Ko-ji,
biarlah sebelum mati kukenangkan dia di dalam hati saja.”
Karena itu air mukanya berubah menjadi
lembut, seketika ia tenggelam dalam lamunannya dengan tersenyum simpul.
Dengan kepungan mereka yang semakin ciut,
sekali serang mestinya Hoat-ong berempat dapat membinasakan Siao-liong-li, tapi
mendadak mereka melihat sikap si nona sangat aneh, seperti lupa menghadapi
musuh, Keruan Hoat-ong berempat terkesiap heran dan mengira lawan memasang
sesuatu perangkap, ketika itu senjata mereka sudah terangkat dan seketika
terhenti di tengah jalan, Tapi sesudah merandek sejenak, segera ular besi Nimo
Singh menghantam pula ke depan.
Sekonyong-konyong Nimo Singh merasa angin
menyambar dari samping, ada orang menusukkan pedangnya, Cepat ia membaliki ular
besinya untuk menangkis, tapi mengenai tempat kosong, tahu-tahu sesosok
bayangan menyelinap lewat, kiranya In Ci-peng telah melompat ke depan
Siao-liong-li serta menyodorkan pedangnya yang dipegang terbalik, jadi garan
pedang dia sodorkan ke tangan si nona.
Saat itu Siao-liong-li seperti orang linglung
yang memandang tapi tidak melihat, mendengar tapi tidak kerungu, pertarungan
sengit tadi sudah tak dipedulikan lagi, ketika mendadak terasa tangannya
berpegang pedang lagi, sekenanya ia lantas menggenggam-nya, Melihat In Ci-peng
mendadak menerobos ke tengah pertempuran antara kelima tokoh kelas wanid itu,
tindakan ini sama saja seperti mencari kematian.
Keruan para Tosu Coan-cin-kau sama menjerit
kuatir.
Dari gerakan tubuh Ci-peng segera Hoat-ong
tahu ilmu silatnya tidak tinggi dia tidak ingin mencelakainya, segera ia
menyodok bahu orang dengan sikunya hingga Ci-peng terdorong ke pinggir.
Menyusul rodanya terus meagepruk pula ke muka Siao liong-li. Ci-peng tergetar
ke samping, tapi ia menjadi kuatir melihat Siao-liong-li yang Iinglung itu
terancam oleh hantaman roda Kim-lun Hoat-ong, kalau saja kena pasti nona itu
hancur binasa. Tanpa pikir lagi ia lantas menubruk maju dan berseru:
“Awas, nona Liong!” - ia mengadang di
depannya dan menggunakan punggung sendiri untuk menyambut hantaman roda Hoatong
itu.
Betapa dahsyatnya hantaman roda Hoat-ong itu
tidak perlu dijelaskan lagi, mana Ci-peng sanggup menahannya?
“Blang”, seketika tubuhnya terhuyung ke
depan. sementara itu Siao-liong-li masih termangu-mangu sambit memegangi pedang
yang disodorkan Ci-peng tadi, maka Ci peng yang menyelonong, ke depan itu tepat
menubruk ke ujung pedang itu sehingga menancap di dadanya.
Siao - liong - li kaget, baru sekarang dia
sadar bahwa jiwanya telah diselamatkan oleh Ci-peng, dilikatnya punggung
Ci-peng terkena hantaman roda, dada tertusuk pedang pula, semuanya tempat yang
mematikan, sesaat itu rasa dendam kesumatnya yang memenuhi dada serentak
berubah menjadi rasa kasihan, katanya dengan suara tersebut: “Perlu apa kau
bertindak begini?”
Jiwa In Ci-peng sudah hampir tamat, ia
menjadi kegirangan luar biasa ketika mendengar kata. “Perlu apa kau bertindak
demikian? yang diucapkan Siao-liong-li itu, dengan suara lemah ia menjawab:
“Nona Liong, aku bersalah kepadamu, dosaku
tak terampunkan, apakah kau dapat memaafkan diriku?”
Siao-liong-li melenggong sejenak,
teringat apa yang dibicarakan antara Ci-peng dan Ci-keng di tempat Kwe Ceng
itu, sekilas timbul pikirannya : “Sebabnya Ko-ji hendak meninggalkan aku dan
bertekad menikah dengan nona Kwe, tentu disebabkan dia mengetahui aku pernah
dinodai oleh Tosu ini.”
Teringat akan hal ini, dari rasa kasihannya
tadi seketika berubah menjadi dendam dan benci, rasa gusarnya lantas memuncak
lagi, tanpa bicara pedangnya terus menikam ke dada Ci-peng.
Khu Ju-ki menyaksikan Ci-peng tertusuk pedang
Siao-liong-li, tapi ia tak sempat menolongnya, Sekarang dilihatnya
Siao-liong-li menusuk muridnya itu untuk kedua kalinya, tanpa pikir ia terus
melompat maju tangan kiri menyampuk pergelangan tangan si nona yang sedang
menusuk itu, tangan lain terus mencengkeram ke mukanya pula.
Karena tidak terduga tangan Siao-liong-Ii
ter-sampuk sehingga pedangnya mencelat ke samping, tapi betapa cepatnya, belum
pedang jatuh ke tanah sudah dapat disambernya kembali, berbareng itu iapun
dapat mengelakkan serangan Khu Ju-ki, pada saat lain pedangnya juga lantas
mengancam dada Khu Juki.
Pada saat itu juga terdengar In Ci-peng
menjerit keras, lalu roboh dengan dada berlumuran darah. sementara itu pedang
Siao-liong-li yang lain juga lantas menusuk ke perut Khu Ju-ki.
Sekaligus diserang dengan dua pedang,
betapapun hebat kepandaian Khu Ju-ki juga kerepotan dan sukar menangkisnya.
Syukur Ong Juit dan lain-lain lantai menubruk maju untuk membantu, dengan
demikian Kim-lun Hoat-ong berempat berbalik terdesak keluar kalangan.
Semula Hoat-ong rada heran melihat
tokoh-tokoh Coan-cin-kau itu melabrak Siao-liong-li, tapi mengingat-hal ini
sangat menguntungkan pihaknya, segera ia memberi tanda kepada kawan-kawannya,
mereka sama mundur untuk menyaksikan pertarungan sengit itu.
Betapapun hebat kepandaian kelima tokon
Coan-cin- pay itu ternyata tidak lebih lihay daripada ilmu pedang Siao liong
li, jurus “Pek joan-hui-hay” hasil pemikiran mereka selama sebulan ini ternyata
tidak sempat dikeluarkan mereka.
sebaliknya dalam sekejap saja Hek Tay-thong
dan Lau Ju-hian malah kena dilukai, namun mereka masih terus bertempur
mati-matian. Scjenak kemudian, “cret” bahu Sun Put-ji juga terluka oleh pedang
Siao-liong-Ii, habis itu malahan mata kiri Ong Ju-it juga kena dilukai.
Lima tokoh Coan-cin-pay kini sudah terluka
empat, kalah-menang sudah jelas kelihatan. Dengan tertawa Kim lun Hoat-ong
lantas berseru: “Para To-heng silakan mundur saja, biar kubereskan Suu-yati-li
(perempuan siluman cilik) ini,”
Segera Hoat-ong memberi tanda kepada
kawannya, serentak mereka mengerubut maju dengan senjata masing-masing. Maka
jadilah kini sembilan tokoh terkemuka mengeroyok seorang nona jelita.
Begitu Hoat-ong berempat maju, segera Khu
Ju-ki berlima terlepas dan tekanan pedang Siao liong-li, sambil berteriak
mereka lantas berdiri sejajar sambil tangan berpegangan tangan, tenaga lima
orang lantas dipersatukan untuk menggunakan jurus “Pek-joan-hui-hay” itu.
Jurus serangan ini memang lain daripada
lain kekuatannya, cepat Siao-liong-li mengegos ke samping, “Blang”, debu pasir
bertebaran kiranya serangan Coan-cin-ngo-cu (lima tokoh Coan-cin) itu telah
mengenai Nimo Singh sehingga terjungkal
Sebagaimana diketahui, kedua kaki Nimo Singh
buntung dan berdiri dengan tongkat menyerupai kaki palsu, dengan sendirinya
bagian kaki itu tidak kuat dan tidak tahan oleh hantaman keras itu, Untung dia
sempat mengelakkan tenaga pukulan dahsyat itu, meski terbanting jatuh, tapi
tidak sampai terluka, segera ia dapat melompat bangun dian berkaok-kaok murka,
segera ular besinya mengepruk ke kepala Lau Ju-hian, seketika terjadi pula
pertempuran sengit
Melihat Nimo Singh bertempur dengan
Coan-cin-ngo-cu, segera kesempatan itu hendak digunakan Siao-liong-li untuk
angkat kaki. Tapi sebelum ia melangkah pergi, tiba-tiba Kim-Iun Hoat-ong telah
mengadangnya sambil berseru: “Saudara Singh, hadapi Siau-yau-li ini lebih
penting!”
Namun Nimo Singh sudah murka, teriakan Hoat
ong itu tak digubrisnya, ular besinya berputar lebih kencang serangannya seiafu
ditujukan kepada Coan cin-ogo-cu. Karena perubahan keadaan ini, kedua pedang
Siao-liong-li sempat melancarkan serangan, beberapa kali terhadap Kim-lun
Hoat-ong, sendirian Hoat-ong bukan tandingan nona, terpaksa ia mundur dua-tiga
tindak.
Pada saat itulah mendadak Siao-liong-li
menjerit tajam dengan wajah pucat, kedua pedangnya lantas terlepas jatuh pula
ke tanah sambil memandang terkesima ke arah semak-semak bunga mawar di sebelah
sana, mulutnya berkomat-kamit: “Ko-ji! Apakah betul kau, Ko-ji?”
Hampir bersamaan saatnya roda emas Kim-un
Hoat-ong juga menghantam dari depan, sedangkan jurus “Pek-joan-hui-hay” yang
dikerahkan Coan-cin ngo-cu juga menghantam dari belakang. serangan tokoh-tokoh
Coan-cin-pay ini sebenarnya ditujukan kepada Nimo Singh, tapi si Hindu cebol
ini rupanya sudah kapok dan tak berani menangkisnya, cepat ia mengelak sehingga
tenaga pukulan dahsyat itu hampir seluruhnya mengenai punggung Siao-liong-li.
Ternyata Siao-liong-li seperti orang linglung
saja sama sekali ia tidak berusaha menghindar jadinya punggung terkena pukulan
dahsyat, dada juga terhantam roda, tubuh lemah lunglai seorang nona jelita
sekaligus menerima gencetan dua tenaga dahsyat namun begitu pandangannya masih
saja tetap terarah ke semak-semak bunga mawar sana, dalam sekejap itu
pikirannya melayang dan jiwanya ter-guncang, gencetan dua tenaga raksasa itu
seakan-akan tak dirasakan olehnya.
Karena terpengaruh oleh sorot mata si nona
tanpa terasa semua orang juga berpaling ke arah semak-semak bunga mawar dan
ingin tahu keanehan apa yang menarik perhatian Siao-liong-li sehingga tidak
menghiraukan jiwanya sendiri. Dan baru saja semua orang berpaling,
sekonyong-konyong sesosok bayangan orang berkelebat dari semak-semak sana
menerobos ke tengah-tengah Kim-lun Hoat-ong dan Coan-cin-ngo-cu.
“trang” pedang dibuang ke tanah, tangan orang
itu melayang ke semak-semak sana dan duduk dibawah pohon, ditepi semak-semak
bunga mawar sambil memeluk Siao-liong-li.
Orang ini ternyata betul Yo Ko adanya!
Siao-liong-Ii tertawa manis tapi air mata lantas berlinang, katanya: “Oh,
Ko-ji, betulkah kau ini? Bukan sedang mimpi?”
Yo Ko menunduk kepalanya dan mencium pipi si
nona, lalu menjawab dengan suara halus : “Bukan, bukan mimpi! Bukankah kau
berada dalam pelukanku?” Ketika melihat baju si nona berlepotan darah, ia
menjadi terkejut dan berseru kuatir: “He, lukamu parah tidak?”
Setelah terkena hantaman dahsyat dari muka
belakang, ketika mendadak melihat Yo Ko muncul di situ, Siao-liong-li lupa rasa
sakitnya, tapi sekarang lantas terasa isi perutnya seakan-akan berjungkir
balik, ia merangkul kencang leher Yo Ko dan berkata: “Aku… aku….” saking
sakitnya ia tidak sanggup melanjutkan lagi.
Melihat keadaan begitu, Yo Ko merasa ikut
menderita, dengan suara pelahan ia berkata: “Kokoh, kedatanganku ini ternyata
terlambat sedikit!”
“Tidak, tidak, kau datang tepat pada
waktu-nya!” ujar Siao-liong-li lemah. “Tadinya kukira selama hidup ini takdapat
bertemu lagi dengan engkau.”
Sekonyong-konyong ia merasa menggigil,
lapat-lapat terasa sukma seakan-akan meninggalkan raganya, tangannya yang
merangkul Yo Ko perlahan-lahan juga melemah, Kata-nya pula dengan lirih “Ko-ji,
peluklah aku!”
Yo Ko mengencangkan tangan kirinya dan
mendekap Siao-liong-li di depan dadanya, macam-macam pikiran berkecamuk air
matapun bercucuran dan menetes di atas pipi si nona.
“Kuingin kau mendekap aku, memeluk
dengan kedua tanganmu!” pinta Siao-liong-Ii. Tapi segera dilihatnya lengan baju
kanan anak muda itu kempis tak berisi, keadaannya luar biasa, seketika ia
menjerit kaget: “He, Koji kenapa lengan kananmu?”
Yo Ko menggeleng dengan tersenyum getir,
jawabnya dengan lirih: “Jangan pikirkan diriku, lekas pejamkan matamu dan
jangan menggunakan tenaga, biar kubantu menyembuhkan lukamu.”
“Tidak!” jawab Siao liong-li. “Kenapa lengan
kananmu itu?
Mengapa tidak ada lagi? Mengapa?”
Meski jiwanya sendiri sedang bergulat dengan
maut, tapi sedikitpun ia tidak memikirkannya dan justeru ingin tahu sebab apa
Yo Ko kehilangan sebelah lengannya, soalnya dalam hatinya anak muda yang cakap
ini betapapun jauh lebih penting daripada dirinya sendiri, segenap pikiran dan
perhatiannya dicurahkan untuk menjaga kepentingannya.
Hal ini sudah terjadi sejak mereka tinggal
bersama dikuburan kuno itu, cuma waktu itu Siao-Iiong-li tidak menyadari bahwa
inilah cinta kasih, Yo Ko sendiri juga tidak tahu. Mereka merasa kasih sayang
antara mereka itu adalah kewajiban yang layak antara guru dan murid. Jadi
sebenarnya keduanya sudah lama cinta mencintai di luar tahu mereka sendiri.
Maka sekarang setelah mereka menyadari betapa
cinta kasih antara mereka, betapapun mereka tidak ingin hidup sendirian tanpa
didampingi kekasihnya, jiwa kekasih menjadi beribu kali lebih penting daripada
jiwa sendiri.
Bagi Siao-liong-li, sebelah lengan Yo
Ko itu jauh lebih penting daripada soal jiwanya masih dapat hidup atau tidak,
sebab itulah ia berkeras ingin tahu. Dengan pelahan ia meraba lengan baju anak
muda itu, dengan pelahan, dan benar saja di dalam lengan baju memang kosong tak
berisi.
Seketika ia melupakan keadaan sendiri yang
parah itu, hatinya penuh rasa kasih sayang dan haru, dengan suara lembut ia
berkata: “O, Ko-ji yang malang! Apakah sudah lama kehilangan lenganmu ini?
Apakah sekarang masih sakit?”
Yo Ko menggeleng dan menjawab: “Sudah tidak
sakit lagi. Asalkan kudapat bertemu lagi dengan engkau dan takkan berpisah
selamanya dengan kau, apa artinya kehilangan sebelah lengan bagiku? Bukankah
dengan lengan kiri saja akupun dapat memeluk kau?”
Siao-liong-li tersenyum kecil, ia merasa
ucapan Yo Ko sangat tepat, berbaring dalam pangkuan anak muda itu, meski hanya
lengan kiri saja yang merangkulnya juga terasa puas dan bahagia, Tadinya dia
cuma berharap sebelum ajalnya dapat bertemu sekali lagi dengan Yo Ko, sekarang
keinginannya itu sudah terkabul, bahkan saling mendekap, sungguh bahagia
melebihi harapannya.
Di sebelah lain Kim-lun Hpat-ong, Siau-siang
cu, In Kik-si, Nimo Singh, Coan-cin-ngo-cu, para Tosu dan kawanan Busu Mongol,
semuanya terdiam dan melongo memandangi sepasang kekasih ini. sesaat itu tiada
seorangpun yang ingin menyerang mereka atau boleh dikatakan juga tiada
seorangpun yang berani menyerang mereka.
Meski dirubung oleh orang sebanyak itu, tapi
bagi Yo Ko dan Siao-Iiong-Hi seakan-akan dunia ini mereka punya dan tiada orang
lain di sekitar mereka.
Cinta sejati, cinta yang murni, cinta yang
mencapai puncaknya, bukan saja kaya miskin, pangkat atau hidup mewah sama
sekali tak terpikir oleh mereka, bahkan mati atau hidup juga bukan soal bagi
bagi mereka.
Kalau Yo Ko dan Siao-liong-li tidak
memikirkan soal mati atau hidup lagi, maka biarpun semua tokoh disekelilingnya
itu menyerang serentak, bagi mereka juga tidak lebih hanya mati belaka dan
seorang hanya mati sekali.
Sudah tentu Kim-Iun Hoat-ong dan lain-lain
tidak takut kepada Yo Ko berdua, mereka cuma merasa heran dan luar biasa, jelas
Siao-liong-Ii terluka parah sebelah lengan Yo Ko
sudah buntung, mereka pasti takkan sanggup
melawan lagi, tapi kedua muda-mudi itu sedang asyik-masyuk dibuai cinta dengan
sendirinya timbul semacam hawa keangkeran yang membuat orang lain, tak berani
menindaknya secara sembarangan.
Akhirnya Siao-liong-li bertanya pula: “Sebab
apakah lenganmu buntung? Lekas katakan padaku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar