Akan tetapi maju mundurnya Hoat-ong sungguh
cepat luar biasa, tak kelihatan bergerak, tahu-tahu tubuhnya mencelat beberapa
meter ke samping.
Yo Ko juga bergerak dengan cepat, segera pula
ia menarik pedangnya ke belakang, “trang”, roda tembaga yang menyamber lagi
dari belakang ditebasnya menjadi dua, bahkan sebelum kedua potong roda itu
jatuh, pedangnya menyabet pula dari samping sehingga kedua potong roda tembaga
tertabas lagi menjadi empat, walaupun pedang itu tumpul, tapi digunakan dengan
tenaga dalam yang kuat, ternyata tajamnya tidak alang kepalang.
Hanya sekejap saja tiga antara lima roda Kim-lun
Hoat-ong telah dihancurkan namun paderi Tibet ini. benar-benar tangkas luar
biasa, makin kalah semakin bersemangat ia putar roda emas dan besi dan
menyerang pula lebih kencang.
Namun Yo Ko bertahan dengan tenang-tenang
saja, betapa Hoat-ong mengitarinya dan menyerang dari arah manapun tetap tak
dapat mendekatinya.
Setelah berpuluh jurus lagi, mendadak kedua
roda Hoat-ong itu saling bentur, menyusul terus di tolak ke depan, dihantamkan
ke tubuh Siao-liong-li.
Cepat pedang Yo Ko juga menusuk ke depan,
“creng”,
dengan tepat pedang itu menahan di tepi roda
emas, tenaga dalam kedua orang sama-sama di kerahkan pada senjata masing-masing
hingga keduanya sama tergetar, seketika kedua orang hanya berdiri saja, dan
saling bertahan.
Yo Ko merasa tenaga lawan terus menerjang
tiba secara bergelombang dan tak putus2, makin lama makin kuat, diam-diam ia
terkejut, tak disangkanya tenaga dalam lawan ternyata sehebat ini, meski
sebelum ini mereka pernah bertarung beberapa kali, tapi baru sekali ini mereka
mengadu Lwekang.
Karena sekarang mereka mengadu tenaga dalam,
dengan sendirinya kehebatan pedang tumpul Yo Ko itu sukar digunakan sebaliknya
sudah berpuluh tahun Kim-Iun Hoatrong menggembleng diri, tentu saja dia lebih
ulet daripada Yo Ko, jika berlangsung lama, akhirnya Yo Ko yang kewalahan.
Ia pikir tiada gunanya main ngotot begini, akan
kupancing dia mendekat, lalu kukebut mukanya dengan lengan baju kanan secara
mendadak.
Karena pikiran ini, pelahan Yo Ko menarik
pedangnya ke belakang, jarak kedua orang tadinya hampir dua meter, lambat laun
mengkeret menjadi, satu setengah meter, lalu satu meter dan semakin dekat pula.
Kedua murid Hoat-ong, yaitu Darba dan Hotu,
sejak tadi juga mengawal di samping sang guru, mereka menjadi girang melihat
gurunya berada di atas angin, tapi merekapun prihatin melihat sang guru mengadu
Lwekang dengan Yo Ko, maklumlah mengadu tenaga dalam secara begitu tidak
mungkin main licik atau bermaksud menghindar kalau meleng bahkan jiwa bisa
melayang.
Darba berhati jujur dan berpikir sederhana,
yangdiperhatikan hanya keselamatan sang guru, maka tanpa terasa ia ikut melangkah
maju melihat gurunya semakin mepet lawannya, sedangkan Hotu juga ikut melangkah
maju dua-tiga tindak, tapi yang menjadi tujuannya adalah mencari kesempatan
untuk menyerang Yo Ko, dia main kipas-kipas seperti orang mencari angin, tapi
kalau lawan meleng sedikit saja segera senjata rahasia pada kipasnya itu akan
segera dihamburkan.
Namun disebelah sana Khu Ju-ki dan Ong Ju-it
juga tidak tinggal diam, mereka sudah berpengalaman melihat gelagatnya segera
mereka menduga Hotu dan Darba bermaksud ikut menyerang membantu sang guru,
mereka saling pandang sekejap dan berpikir “Meski Yo Ko memusuhi Coan-cin-kau,
tapi seorang lelaki sejati harus bertindak secara terang-terangan, baik kalah
atau menang harus ditentukan menurut kepandaian sejati, mana boleh kaum durjana
berbuat sesukanya di atas Cong-lam san sini.”
Begitulah mereka lantas melangkah maju juga
dengan pedang terhunus dan menatap tajam mengawasi gerak-gerik Hotu. Biarpun,
sudah ubanan semua, namun wajah kedua Tosu tokoh Coan-cin-kau ini masih merah segar,
sorot mata mereka yang tajam membuat Hotu keder dan tidak berani sembarangan
bergerak.
Dalam pada itu tangan Yo Ko sudah semakin
mengkeret, jarak Hoat-ong dengan dia sekarang kurang dari satu meter, ia pikir
kalau Hwesio tua mendesak maju lagi sedikit segera akan kusabet dia dengan
lengan baju kanan, andaikan tak dapat membinasakan dia, sedikitnya juga akan
membikin dia kepala pusing dan mata berkunang-kunang.
Hoat-ong terkesiap juga ketika melihat bahu
kanan Yo Ko bergerak sedikit, sebagai orang yang maha cerdik segera ia tahu
maksud si anak muda, pikirnya: “Kebasan lengan bajumu memang hebat tapi biarlah
kutahan disabet oleh lengan bajurmu ketika itu tenaga tangan kirimu tentu akan
berkurang, kalau aku menyerang sepenuh tenaga secara mendadak tentu kaupun akan
terluka parah.”
Selama menggelendot di tubuh Yo Ko, keadaan
Siao-liong-li semakin lemah hingga hampir tak sadarkan diri, ketika anak muda
itu mengerahkan tenaga dalam, jalan darahnya bertambah cepat, suhu badannya
semakin panas, karena rasa panas badan anak muda itu semakin bertambah,
Siao-liong-li lantas membuka mata, dilihatnya dahi Yo Ko ada butiran keringat,
ia coba mengusapnya dengan lengan baju.
Ketika melihat anak muda itu menatap tajam ke
depan dengan sikap prihatin iapun mengikuti arah yang dipandang itu, tapi ia
menjadi kaget, dilihatnya sepasang mata Kim-lun Hoat-ong-melotot seperti gundu
dengan sorot mata yang buas, jaraknya sangat dekat di depannya.
Dengan rada takut Siao-liong-li memejamkan
lagi matanya, waktu membuka mata pula dilihatnya wajah Hoat-ong dengan4 mata
melotot itu bertambah dekat lagi, Akhirnya ia mendongkol dia menggelendot dalam
pelukan kekasih, justeru orang melototnya secara menjemukan!
Tak terpikir olehnya bahwa saat itu Hoat-ong
sedang menempur Yo Ko, ia hanya anggap Hwesio itu adalah musuh dan juga tidak
ingin Hwesio itu mengganggu kebahagiaannya disamping Sang kekasih, maka ia
lantas mengeluarkan sebuah jarum tawon putih, perlahan-lahan ia mencolokkan
jarum itu ke mata kiri Hoat-ong.
Jangankan jarum itu berbisa, biarpun jarum
biasa, kalau bola mata tertusuk juga pasti buta seketika. Hanya saja tujuan
Siao-liong-li cuma ingin menghalau pandangan mata musuh yang menjemukan itu,
pula dia terluka parah, maka waktu menjulurkan jarumnya itu menjadi tak
bertenaga dan maju dengan sangat pelahan.
Namun saat itu Hoat-ong sedang mengadu tenaga
dalam dengan Yo Ko, sedikit bergeser saja pasti akan celaka, Maka ketika jarum
Siao-liong-li itu menusuk tiba dengan pelahan, sama sekali ia tidak dapat
mengelak atau melawannya.
Tertampaklah jarum sudah semakin mendekat dan
makin mendekat, dari belasan senti menjadi beberapa senti di depan matanya dan
kini tinggal satu dua senti saja, Mendadalc Hoat-ong berteriak keras-keras,
kedua rodanya didorong ke depan, ia sendiri lantas berjumpalitan ke belakang,
namun begitu tenaga Yo Ko yang terkumpul pada pedangnya itu sukar dielakan
semua, baru saja Hoat-ong dapat berdiri, tubuhnya lantas tergeliat dan akhirnya
jatuh terduduk.
“Suhu!” teriak Darba dan Hotu berbareng,
mereka terus menubruk maju hendak memayang bangun sang guru.
Sementara itu Yo Ko telah ayun pedangnya
hingga roda emas dan besi lawan terbelah menjadi dua, menyusul ia terus memburu
maju, pedangnya memotong ke tubuh Kim-Iun Hoat-ong yang terduduk itu.
Hoat-ong belum mampu menghimpun kembali
tenaganya, dia terduduk dengan lunglai dan tidak sanggup melawan sedikitpun
Cepat Darba angkat gadanya dan Hotu juga angkat kipas bajanya ke atas untuk
menahan bacokan pedang Yo Ko.
Namun tenaga bacokan Yo Ko itu sangat hebat,
apalagi bobot pedangnya memang juga berat, seketika Darba dan Hotu merasa kaki
lemas dan tidak tahan, serentak mereka bertekuk lutut, walau pun begitu mereka
tetap bertahan mati-matian demi untuk menyelamatkan sang guru.
Daya tekanan Yo Ko semakin kuat, Darba dan
Hotu angkat senjata mereka dan bertahan sepenuh tenaga, tulang punggung mereka
serasa mau patah, rasa tulang sekujur badan berbunyi berkeriukan: Tiba-tiba
Hotu berkata: “Suheng, tahanlah sejenak, biar ku tolong Suhu, habis itu segera
kubantu kau lagi.”
Dengan gabungan tenaga kedua orang saja tidak
mampu menahan, apalagi cuma Darba sendirian, mana dia mampu menahan daya
tekanan pedang Yo Ko itu. Tapi dia m,emang orang yang polos dan berbudi, demi
keselamatan sang guru ia rela mengorbankan segalanya, segera ia mengiakan ucapan
Hotu itu dan sekuamya mengangkat gadanya ke atas.
Hotu dan Darba bicara dalam bahasa Tibet,
sehingga Nyo Ko tidak paham apa artinya, hanya tiba-tiba dirasakan tenaga gada
lawan bertambah, ketika dia hendak menekan ke bawah lebih kuat, saat itulah Hotu
melompat mundur.
Nyata Hotu adalah manusia licik dan licin
mana dia bermaksud menyelamatkan sang guru, yang benar adalah ingin
menyelamatkan diri sendiri. Begitu lolos segera ia berseru: “Suheng, siaute
akan pulang untuk berlatih lagi,
sepuluh tahun kemudian akan kucari bocah she
Yo ini untuk membalas sakit hati Suhu dan kau!”
Habis berkata ia terus berlari pergi secepat
terbang dan menghilang dalam sekejap saja.
Merasa diakali Sutenya Darba menjadi murka,
diingatnya Yo Ko adalah retnkarnasi (penjelmaan) Toasuhengnya, ia heran mengapa
orang berbuat begini terhadap guru sendiri?
Segera ia berseru: “Toasuheng, harap engkau
ampuni jiwaku, nanti setelah kuantar pulang Suhu dengan selamat, akan kucari
Sute yang durhaka itu untuk kucincang hingga hancur lebur, habis itu akan
kuserahkan diriku dan terserah cara bagaimana Toasuheng akan berbuat padaku,
baik mau dibunuh atau dibakar, sedikitpun siaute pasti takkan melawan.”
Dengan sendirinya Yo Ko tidak paham apa arti
ocehan Darba itu, tapi dilihatnya Hotu lari meninggalkan Suhu dan Subeng yang
sedang terancam bahaya maut, betapapun ia juga bersimpatik pada Darba yang
setia dan jujur itu. Waktu ia menoleh sedikit, dilihatnya Siao-liong-li sedang
memandang padanya dengan penuh rasa kasih mesra.
Alangkah bahagia perasaan Yo Ko, seketika
rasa ingin membunuh untuk menuntut batas sakit hati segala terlempar ke awang2,
terasa segala dendam dan benci di dunia ini bukan apa-apa lagi, segera ia
angkat pedangnya dan berkata kepada Darba: “Baiklah, kau pergi saja!”
Segera Darba berbangkit tapi
lantaran terlalu banyak keluar tenaga, seluruh tubuh menjadi lemas ia tidak
kuat memegangi gadanya lagi dan jatuh ke tanah. Cepat ia menyembah beberapa
kali pada Yo Ko sebagai tanda terima kasihnya, sementara itu Kim-lun Hoat-ong
masih duduk di tanah tak bisa berkutik, tanpa bicara lagi Darba lantas
memanggul sang guru dan dibawa pergi tanpa menjemput kembali gadanya.
Menyaksikan Yo Ko hanya dengan satu tangan
saja dapat mengalahkan semua tokoh terkemuka pihak MongoI, para Busu Mongol
menjadi ketakutan, serentak mereka berteriak dan beramai-ramai membawa
Siau-siang-cu, In Kik-si dan Ntano Singh yang terluka parah, hanya sekejap saja
merekapun kabur.
Hanya Be Kongco saja yang tetap berdiri di
situ, ia mendekati Yo Ko dan mengangkat ibu jarinya, katanya: “Adik cilik,
sungguh hebat.”
“Be-toako” jawab Yo Ko, “kawan-kawanmu adalah
manusia-sia busuk semua, kau pasti rugi jika berkumpul dengan mereka, kukira
lebih baik kau mohon diri pada Kubilai dan pulang saja ke kampung halamanmu.”
“Ucapanmu memang betul,” ujar Be Kong-eo, ia
memandang sekejap pada Siao-liong-li yang tetap cantik motek itu meski dalam
keadan terluka parah, lalu berkata pula: “Kapan kau akan menikah dengan nona
ini, bagaimana kalau kutinggal di sini untuk meramaikan pestamu?”
Yo Ko tersenyum getir sambil memggeleng
kepala, lalu ia memandang sekeliling, beberapa ratus Tosu yang masih merubung
disekitarnya itu.
“Aha, betul, masih ada kawanan Tosu busuk
ini, bagaimana kalau kubantu kau membereskan mereka?” kata Be Kong-co.
Sudah tentu Yo Ko tidak ingin orang lain ikut
menyerempet bahaya baginya, segera ia berseru: “Kau lekas pergi saja, aku
sendiri dapat melayani mereka.”
Be Kong-co melengak, tapi cepat ia mengerti,
serunya sambil bertepuk tangan: “Benar, benar! Bahkan Hwesho gede dan mayat
hidup yang lain itupun bukan tandinganmu kawanan Tosu busuk ini masakah mampu
melawan kau? Eh, adik cilik dan nona cantik, aku Be Kong-co mohon diri!”
Habis itu ia terus melangkah pergi sambil
menyeret toyanya hingga menimbulkan bunyi gemerantang ketika toya tembaganya
menggesek batu di sepanjang jalan.
Be Kong-co tidak tahu bahwa ada “perang
dingin” antara Kim-lun Hoat-ong dan kawannya sendiri, waktu Yo Ko menempur
mereka satu per-satu, mereka masing-masing sengaja menonton belaka dengan
harapan akan menarik keuntungan dari hasil pertarungan itu.
Coba kalau mereka mengerubut maju sekaligus,
biarpun kepandaian Yo Ko setinggi langit juga sukar melayani keroyokan lawan
sebanyak itu. Apalagi sekarang kalau harus menghadapi pihak Coan-cin-kau,
kawanan Tosu itu sudah terlatih dan penuh disiplin, kalau Khu Ju-ki sudah
memberi perintah, daya tempur mereka bahkan jauh lebih hebat daripada Kim-lun
Hoat-ong dan begundalnya itu.
Begitulah dengan pedang menahan tanah, Yo Ko
pandang kawanan Tosu itu dengan dingin.
Dengan suara lantang Khu Ju-ki lantas berkata
: “Yo Ko, kepandaianmu sudah terlatih sedemikian tinggi dan sudah melebihi kaum
kita, Namun ibegitu, menghadapi Coan-cin-kau kami yang berjumlah beberapa ratus
orang ini, apakah kau kira mampu meloloskan diri?”
Sejauh Yo Ko memandangi yang tertampak memang
gemerdepnya pedang belaka, setiap tujuh orang Tosu terbentuk menjadi satu regu
berderet-deret susun menyusun sehingga dirinya dan Siao-liong-li terkepung di
tengah, walaupun setiap barisan pedang itu terbentuk dari tujuh Tosu yang
berkepandaian biasa saja, namun daya tempurnya cukup menandingi seorang tokoh
kelas satu, kini di sekitar Yo Ko sedikitnya ada beberapa puluh barisan pedang.
Sudah tentu anak muda itu pantang menyerah,
ia coba melangkah maju, serentak tujuh Tosu itu mengadangnya dengan ujung
pedang siap menusuk. Waktu Yo Ko menusukkan pedangnya, seketika ke tujuh Tosu
itu menangisnya dengan tujuh pedang pula, terdengarlah suara gemerantang ramai,
tujuh pedang patah semua, yang terpegang di tangan para Tosu itu tertinggal
garan pedang saja, keruan para Tosu itu kaget dan cepat meloncat ke samping.
Cepat Ong Ju-it memberi komando dan segera
barisan pedang lain mengadang pula kedepan Yo Ko. Namun sekali pedang anak muda
itu menyabet, biarpun kawanan Tosu itu juga bergerak cepat menggeser tempat,
tidak urung dua Tosu telah menjerit, seorang terluka pinggang dan yang lain
tertabas pahanya keduanya lantas roboh terguling.
Pada saat kun Khu Ju-ki juga telah memberi
perintah, empat belas pedang sekaligus mengancam bagian belakang Yo Ko dan
Siao-liong-li. Kalau Yo Ko putar pedangnya ke belakang, andaikan sekaligus
dapat mengguncang pergi senjata2 itu, tapi kalau salah satu pedang itu
tertinggal tentu Siao-liong-li akan terluka pula. Karena sedikit ragu itulah, segera tujuh pedang lain kembali mengancam pula
dari samping.
Dalam keadaan begini
sekalipun Yo Ko berjuang mati-matian juga sukar untuk menyelamatkan Siao-liong-li, untunglah
Khu Ju-ki lantas berseru memberi perintah sehingga ke-21 pedang yang geroerdep
itu cuma mengancam di depan tubuh Yo Ko berdua.
“Nona Liong dan Yo Ko, guru2 kita dahulu
mempunyai hubungan yang erat, Coan-cin-kau kami sekarang
mengalahkan kalian karena jumlah orang
banyak, menangpun tidak gemilang rasanya, apalagi t nona Liong dalam keadaan terluka
parah,” demikian kata Khu Ju-ki. “Sejak dulu orang bilang: permusuhan lebih
baik di bereskan daripada diributkan. Bagaimana kalau perselisihan kita
sekarang juga kita anggap selesai mulai sekarang tanpa mempersoalkan siapa
benar dan salah?”
Sebenarnya antara Yo Ko dan Coan-cin-kau juga
tiada sesuatu dendam yang mendalam, dahulu Hek Tay-thong salah mencelakai
Sun-popoh, untuk itu Hek Tay-thong sangat menyesal dan rela menebus kesalahan
itu dengan jiwanya, jadi persolan itu sudah beres. sekarang kedatangannya juga untuk
mencari Siao-liong-li saja dan tiada maksud memusuhi Coan-cin-kau, karena itu
apa yang dikatakan Khu Ju-ki itu dapat diterimanya, iapun berpikir tiada
artinya bertempur dengan orang-orang Coan-cin-kau, yang paling penting harus menyelamatkan
jiwa sang Kokoh lebih dulu.
Belum ia menjawab, tiba-tiba sorot mata
Siao-liong-li pelahan memandang sekeliling kawanan Tosu itu, lalu bertanya
dengan suara pelahan: “Mana In Ci-peng?”
Setelah terhantam roda punggungnya serta dada
tertusuk pedang, luka In Ci-peng cukup parah, cuma seketika belum mati, ia
menggeletak di samping sana dalam keadaan kempaskempis. Ketika samar-samar ia
mendengar namanya disebut oleh suara yang lembut seketika hatinya tergetar hebat,
entah darimana datangnya tenaga, serentak ia berbangkit dan menerobos ke tengah
barisan pedang sambil
berseru: “Aku berada di sini, nona Liong!”
Sejenak Siao-liong-li menatapnya, tertampak
jubah Ci-peng penuh berlumuran darah dan bermuka pucat, putus asa dan remuk
redam hati Siao-liong-li katanya dengan gemetar kepada Yo Ko: “Ko ji,
kesucianku telah dinodai orang ini, biarpun sembuh juga takdapat kuhidup
bersamamu. Namun dia dia menyelamatkan aku dengan mati-matian, maka kau tidak
perlu… tidak perlu lagi membuat susah dia. pendek kata, nasibku sendiri yang
buruk.”
Dasar hatinya memang suci bersih, ia tidak
pantang omong apapun dihadapan orang, meski di depan be-ratus2 orang tetap
diucapkannya pengalamannya yang pahit itu. setelah merandek sejenak, ia
tersenyum manis dan berkata pula pada Yo Ko dengan lirih: “Kini, mati di
sisimu, hatiku… hatiku terasa sangat bahagia.”
Sampai di sini tiba-tiba teringat sesuatu
olehnya, disambung pula: “Puteri Kwe-tayhiap itu telah mengutungi lenganmu, dia
pasti tak dapat meladeni kau dengan baik, lalu siapa yang akan menjaga kau
kelak?”
Teringat pada persoalan ini, ia menjadi
sedih, dengan suara lemah ia berkata pu!a: “Ko-ji, selanjutnya kau akan hidup
sendirian, tiada… tiada seorangpun menemani kau…”
“Jangan kuatir, kau takkan meninggal,” kata
Yo Ko dengan suara halus, “Kita pasti akan berada bersama untuk selamanya.”
Tadi ketika mendengar pesan Siao-liong-li
pada Yo Ko agar jangan membikin susah padanya, semuanya dianggap nasibnya
sendiri yang buruk, ucapan Siao-liong-li itu membikin perasaan In Ci-peng
sangat terharu, hatinya seperti disayat-sayat, tidak kepalang menyesalnya atas
perbuatannya yang salah itu sehingga mengakibatkan si nona menderita batin selama
hidup, sungguh matipun sukar menebus dosanya itu.
Segera ia berseru kepada Coan-cin-ngo-cu:
“Suhu dan para Susiok, semua ini adalah karena perbuatanku dosaku teramat
besar, hendaklah kalian jangan sekali membikin susah nona Liong dan
Nyo-siauhiap.” - Habis berkata, ia melompat maju dan menubruk ke ujung barisan
pedang para Tosu itu, seketika tubuhnya tertembus oleh beberapa pedang dan binasa.
Kejadian ini sama sekali di luar dugaan semua
orang, keruan para Tosu itu berteriak kaget, Tapi mereka menjadi paham setelah
mendengar ucapan Siao-Hong-li serta pengakuan In Ci-peng tadi, jelas In Ci-peng
telah melanggar kesucian Siao-liong-li dengan cara-cara yang rendah.
Karena kesalahan ternyata terletak pada pihak
sendiri, Coan-cin-ngo-cu menjadi malu, namun serba susah juga, untuk menyatakan
penyesalan mereka dan minta maaf.
Setelah memandang sekejap kepada para Sute-nya,
segera Khu Ju-ki memberi perintah agar barisan pedang itu membubarkan diri.
seketika terdengarlah suara gemerincing nyaring pedang dimasukkan ke-sarungnya
serta terluang sebuah jalan bagi kepergian Siao-liong-li dengan Yo Ko.
Yo Ko masih merangkul pinggang Siao-Iiong-li
dengan lengan bajunya yang tak berlengan itu, tiba-tiba teringat olehnya bahwa
jiwa sang Kokoh tinggal beberapa saat saja, apakah dapat tertolong sungguh
sukar dibayangkan. Dahulu dia pernah tanya padaku apakah aku mau mengambil dia sebagai
isteri waktu itu aku bingung dan tidak menjawabnya sehingga kemudian timbul
macam-macam kejadian yang merisaukan. Kini keadaan sudah mendesak, waktu tidak banyak
lagi, harus kubikin Kokoh merasa senang dan puas.
Maka dengan suara keras ia lantas bersuara: “Kokoh,
persetan tentang guru dan murid atau soal kebersihan nama segala, asalkan kita
berdua saling mencintai, masakah di dunia ini ada soal nasib buruk segala?
Bagaimana orang lain akan berpikir dan bicara mengenai diri kita, peduli amat,
biarkan mereka pusing kepala sendiri.”
Senang sekali hati Siao-liong-li, ia pandang
anak muda itu dan bertanya: “Ucapanmu ini apakah timbul dari lubuk hatimu sungguh-sungguh
atau demi untuk menyenangkan aku sengaja kau ucapkan kata-kata enak didengar
ini?”
“Sudah tentu sungguh-sungguh,” jawab Yo Ko.
“Tanganku buntung dan kau tambah kasih sayang
padaku.
Kau mengalami bencana, akupun semakin kasih saying
padamu.”
“Benar, di dunia ini kecuali kita berdua
sendiri memang tiada orang lain yang mau perhatikan kita,” ujar Siao-Iiong-li dengan
pelahan.
Beberapa ratus Tosu yang sudah lama tirakat
dan jauh dari urusan kehidupan manusia itu menjadi serba runyam ketika mendadak
mendengar u-capan kedua muda mudi yang penuh kasih mesra itu, semuanya saling
pandang dengan wajah merah jengah.
Segera Sun Put-ji membentak: “Lekas kalian
pergi saja dari sini, Tiong-yang-kiong adalah tempat suci, tidak pantas
kalian mengucapkan kata-kata tidak sopan di
sini.”
Akan tetapi Yo Ko malah berseru pula: “Dahulu
Tiong-yang Cosu dan Lim-cosu sebenarnya adalah suatu pasangan yang setimpal,
tapi entah sebab tata adat apa yang menyebabkan gagalnya perjodohan mereka dan
meninggalkan penyesalan selama hidup, Kokoh justeru kita menikah di hadapan
pemujaan Tiong-yang Cosu untuk melampiaskan rasa dongkol Lim-cosu kita.”
Siao-liong-li tertawa manis, ia menghela
napas dan menjawab: “Koji, kau sungguh baik padaku,”
Tentang hubungan cinta antara mendiang Ong
Tiong-yang dan Lim Tiau-eng, hal ini cukup diketahui oleh Coan-cin-ngo-cu. Maka
hati mereka tergetar demi mendengar Yo Ko mengungkat urusan itu. Sun Put-ji
lantas membentak pula: “Mendiang guru kami mendirikan Coan-cia-kau ini dengan kepintaran
dan keyakinan yang penuh, jika kau berani sembarangan omong dan bertindak di
sini, jangan menyesal
jika pedangku tidak kenal ampun padamu,”
Sret, segera ia melolos pedangnya. padahal melulu kepandaian Sun Put-ji sendiri
sejak dulu juga bukan tandingnan Yo Ko, tapi sekali bergerak, tentu be-
ratus2 Tosu itu takkan tinggal diam. Maka Yo
Ko hanya melirik sekejap saja padanya dan tidak menggubris, ia membatin :
“Betapapun aku harus segera menikah dengan Kokoh, Kalau tidak dilaksanakan di
sini, jangan-jangan setelah meninggalkan Tiong-yang-kiong ini Kokoh lantas tak
tertolong
lagi, tentu Kokoh akan meninggal dengan
menyesali Biasanya Yo Ko memang suka bertindak menuruti
kehendaknya, sekali dia menyatakan ingin
menikah di hadapan pemujaan Tiong-yang Cosu, maka apapun yang akan terjadi
pasti akan dilaksanakannya.
Dilihatnya sebagian besar kawanan Tosu itu
sudah menghunus pedangnya dan siap tempur ia lantas berkata : “Sun- totiang,
jadi kau sengaja mengusir kami?”
Dengan suara ketus Sun Put-ji membentak pula:
“Pergi, lekas pergi! selanjutnya Coan-cin-kau putus hubungan dengan Ko-bong-pay,
paling baik kalau kita tidak bertemu lagi!”
Tadinya Yo Ko berdiri menghadapi
Tiong-yang-kiong, ia menghela napas panjang mendengar ucapan Sun Put-ji yang tegas
itu, ia membalik tubuh dan melangkah ke kuburan kuno, dua langkah ia berjalan,
berbareng ia mengembalikan pedang pada pinggangnya, lengan baju kanan mengebas
dan memayang Siao-liong-Ii. Tiba-tiba ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
Begitu keras suara tertawanya hingga mengejutkan semua orang.
Baru selesai tertawa, mendadak ia melepaskan
Siao-Iiong-Ii-dan melompat mundur, tahu-tahu Hjat-to bagian pergelangan tangan
kanan Sun Put-ji kena dipegangnya, Ketika Siao Iiong-ir kehilangan sang-gahan
dan mulai sempoyongan pada saat itu juga Yo Ko sudah melompat tiba pula dengan
membawa Sun Put-ji.
Gerakan melompat mundur dan maju sungguh cepat
dan gesit luar biasa, belum lagi para Tosu menyadari apa yang terjadi,
tahu-tahu Sun Put-ji sudah berada dalam cengkeraman Yo Ko dan tak bisa
berkutik.
Sebenarnya tokoh berpengalaman sebagai Khu
Ju-ki, Ong Ju-it, Sun Put-ji dan lain-lain juga sudah waswas sebelumnya kalau
mendadak Yo Ko melancarkan serangan dan menawan salah seorang kawannya untuk
dijadikan sandera. Mereka menyaksikan Yo Ko menyimpan kembali senjatanya dan melangkah
pergi, tangan satunya digunakan pula untuk memayang Siao-liong-li, siapa tahu
anak muda itu sengaja mengacaukan perhatian lawan dengan tawanya, lalu mendadak
melakukan sergapan dan berhasil menawan Sun Put-ji.
Serentak para Tosu itu berteriak-teriak dan
merubung maju dengan pedang terhunus, tapi mereka menjadi mati kutu dan tidak
berani sembarangan bertindak karena Sun Put-ji berada dalam genggaman musuh.
Dengan suara pelahan Yo Ko berkata: “Maaf,
Sun-totiang, terpaksa kulakukan begini dan membikin susah kau.”
ia terus gandeng tangan Sun Put-ji itu,
bersama Siao-liong-Ii mereka lantas melangkah pelahan ke pendopo Tiong-yang-kiong,
Para Tosu mengikut dari belakang, semuanya merasa gusar dan kuatir pula, tapi
tidak berani bertindak.
Setelah memasuki pintu halaman dan menyusun
serambi samping, akhirnya Yo Ko dan Siao-liong-li sampai di ruangan induk
Tiong-yang-kiong dengan Sun Put-ji sebagai sanderanya, Yo Ko menoleh dan
berseru kepada para Tosu:
“Hendaknya kalian menunggu di luar ruangan,
siapapun dilarang masuk, Kami berdua sudah tidak memikirkan jiwa lagi, kalau
sampai bergebrak, biarlah kami gugur bersama Sun-totiang sekaligus.”
“Bagaimana, Khu suheng?” tanya Ong Ju-it
pelahan.
“Tenang saja dan bertindaklah menurut
keadaan” jawab
Khu Ju-ki. “Tampaknya dia tidak bermaksud
jahat pada Sun-sumoay.”
Coan-cin-ngo-cu selamanya malang melintang di
dunia Kangouw, namanya dihormati kawan dan disegani lawan, tak tersangka
sekarang mereka malah mati kutu menghadapi seorang anak muda yang masih hijau
begitu, sungguh mereka mendongkol tapi juga geli sendiri.
Yo Ko lantas mengambil sebuah kasuran bundar
untuk tempat duduk Sun Put-ji sambil menutuk pula Hiat-to bagian punggungnya,agar
tidak dapat bergerak, Para Tosu ternyata tidak berani masuk sebagaimana telah
diperingatkannya tadi, lalu ia memayang Siao-liong-li ke depan lukisan Ong
Tiong
yang, mereka berdiri berjajar.
Karena waktu kecilnya pernah belajar di
Tiong-yang-kiong, bagi Yo Ko lukisan Ong Tiong-yang itu sudah tidak asing lagi,
sekarang ia coba memandang beberapa kali lukisan itu, terlihat Tojin yang
terlukis itu menghunus pedang dengan gagahnya, usianya antara 30 tahun, di tepi
lukisan ada tiga huruf: “Hoat-su-jin” (orang hidup mati, artinya orang yang hidup
ini tiada ubahnya seperti orang sudah mati), Lukisan itu
cuma terdiri dari beberapa goresan saja, tapi
orang yang terlukis itu tampak gagah perkasa, jelas goresan itu berasal dari
tangan pelukis yang mahir.
Tiba-tiba Yo Ko teringat bahwa di dalam
kuburan kuno itu juga ada sebuah lukisan diri Ong Tiong-yang, meski lukisan di
Tiong-yang-kiong, ini tokoh yang dilukiskan ini berdiri menghadap ke depan dan
lukisan di kuburan itu bagian samping, namun gaya goresan pelukisnya jelas
sama, Segera ia berkata: “Kokoh, lukisan inipun buah tangan Lim cosu.”
Siao-liong-li mengangguk dan tersenyum manis
padanya, katanya dengan suara lirih: “Kita menikah di hadapan lukisan Tiong-yang
Cosu, sedangkan lukisan ini adalah buah tangan Lim-cosu, sungguh sangat
kebetulan dan baik sekali.”
Yo Ko lantas menggeser dua buah kasuran
bundar dan dijajarkan di depan lukisan, lalu berseru: “Tecu Yo Ko dan perempuan
she Liong sekarang mengikat menjadi suami- isteri di depan Tiongyang-Cosu,
beberapa ratus Totiang dari Coan-cin-kau yaing hadir di sini adalah saksi
semua.” – Sembari berkata ia terus berlutut di atas sebuah kasuran, ketika melihat
Siao-liong-li masih berdiri tegak, segera ia berkata
puIa: “Kokoh, sekarang juga kita
melangsungkan upacara nikah, hendaklah kaupun berlutut di sini!” .
Siao-liong-li termenung diam, kedua matanya
tampak merah dengan air mata berIinang2. sejenak barulah ia berkata: “Ko-ji,
tubuhku sudah tidak bersih lagi, pula ajalku sudah dekat, buat apa…. buat apa
kau begini baik padaku?”
Sampai di sini tak tertahankan lagi air
matanya bercucuran laksana butiran mutiara. Yo Ko lantas berdiri lagi dan
mengusapkan air mata si nona, katanya dengan tertawa: “Kokoh, masakah kau masih
belum memahami hatiku?”
Siao-liong-li mengangkat kepalanya memandangi
Yo Ko, terdengar anak muda itu berkata pula: “Sungguh kuharap kita berdua dapat
hidup seratus tahun lagi agar kusempat membalas budi kebaikanmu dahulu padaku,
andaikan tidak dapat, kalau Thian (Tuhan) cuma berkenan memberi hidup satu hari
saja kepada kita, maka bolehlah kita menjadi suami-isteri satu hari, jika cuma
diberi hidup lagi satu jam, biarlah kitapun menjadi suami-isteri satu jam.”
Tidak kepalang rasa haru Siao-Siong-li
melihat kesungguhan hati anak muda itu dengan sorot matanya yang penuh kasih
mesra, wajahnya yang pedih perlahan-lahan menampilkan senyuman manis, air mata
masih meleleh di pipinya, namun jelas tak terkatakan rasa bahagianya, pelahan iapun
berlutut di atas kasuran itu.
Yo Ko lantas berlutut pula, keduanya lantas
menyembah kepada lukisan itu, hati mereka merasa bahagia, segala duka derita di
masa lalu serta ajal yang sudah dekat sama sekali tidak berarti apa-apa bagi
mereka. BegituIah mereka saling pandang dengan tersenyum, dengan suara pelahan
Yo Ko ber-doa: “Tecu Yo Ko dan Siao-liong-li saling mencintai dengan setulus
hati, semoga selalu dilahirkan menjadi suami isteri, kekal dan abadi.”
Dengan suara pelahan Siao-liong-li juga mengikuti
doa Yo Ko itu dengan khidmat.
Sun Put-ji duduk di sebelah mereka, meski
tubuh tak bisa bergerak, tapi dia dapat melihat dan mendengar, sikap dan ucapan,kedua
anak muda itu dapat diikutinya dengan jelas.
Semakin melihat semakin dirasakannya tindak
tanduk kedua orang muda itu sungguh suci murni, biarpun perbuatan mereka itu
melanggar adat, namun semua itu timbul dari pikiran yang bersih, dari jiwa yang
luhur.
“Kini kami sudah terikat menjadi
suami-isteri, sekalipun harus mati dengan segera juga tidak menyesal lagi,”
demikian pikir Yo Ko. Semula ia kuatir kawanan Tosu itu akan menyerbu ke dalam
ruangan untuk merintangi perbuatan mereka itu, kini rasa kuatir itu telah
lenyap semuanya. Dengan tertawa ia berkata: “Kokoh, diriku adalah murid yang
murtad Coan-cin-pay, hal ini sudah terkenal di dunia persilatan Engkau sendiri
ternyata juga seorang murid maha murtad.”
“Benar,” jawab Siao-liong-li. “Suhu,melarang
aku memikirkan cinta, melarang aku menerima murid lelaki, lebih-lebih dilarang
menikah, tapi sebuahpun aku tidak mematuhinya, jadi penderitaan kita ini memang
juga setimpal.”
“Biarlah, sekali murtad tetaplah murtad,”
seru Yo Ko.
“Ong-cosu dan Lim-cosu jauh lebih perkasa,
lebih ksatria daripada kita, namun mereka justeru tidak berani menikah.
Kalau kedua Cosu itu mengetahui di alam baka
belum tentu beliau2 itu akan menyalahkan kita.”
Selagi Yo Ko menyatakan tekadnya itu dengan
penuh bersemangat dan bangga, pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar
suara gemuruh di atap rumah disertai dengan berhamburnya genting pecah dan
kasxti pecah, menyusul sebuah genta seberat beberapa ratus kati anjlok dari
atas tepat di atas kepala Sun Put-ji.
Tergerak hati Yo Ko dan seketika iapun paham
duduknya perkara, secepatnya ia melompat maju, tangan kiripun sudah melolos
Hian-tiat-pokiam, pedang tumpul yang berat itu.
Kiranya perbuatan Yo Ko dan Siao-liong-li
yang melangsungkan upacara nikah di ruangan besar Tiong-yang-kiong itu telah
menimbulkan rasa gusar para Tosu Coan-cinkau. Diantara Coan-cin ngo-cu itu Lau
Ju-hian paling banyak tipu akalnya, ia tahu kalau menyerbu ke dalam mungkin Sun
Put-ji akan menjadi korban lebih dulu.
Tiba-tiba ia mendapatkan akal, ia bisik-bisik
berunding dengan Ong Ju-it, Khu Ju ki dan Hek Tay-thong bertiga, habis itu ia
memberi pesan kepada anak muridnya agar mengambil genta raksasa yang beratnya
ribuan kati di belakang istana, Khu Ju-ki berempat lantas menggotong genta
raksasa itu dan meloncat ke atas wuwungan, lalu mendadak genta itu dijatuhkannya
ke bawah sehingga atap rumah berlubang, genta itu dijatuhkan tepat di atas
tubuh Sun Put ji.
Asalkan Sun Put-ji tertutup di dalam genta
dan Yo Ko tidak dapat mencelakai dia, maka beramai-ramai kawanan Tosu itu akan
dapat mengerubut dan menawan Yo Ko berdua.
Akal itu sebenarnya sangat bagus, tapi Lau
Ju-hian tidak tahu bahwa kini ilmu pedang Yo Ko benar-benar sudah maha sakti,
tenaga dalamnya juga maju banyak, sekali pedang tumpul itu ditusukkan ke depan,
“trang”, tahu-tahu genta raksasa itu tergeser menceng sedikit ke samping dan
jatuhnya tepat akan menindih tubuh Sun Put-ji.
Kejadian ini dapat disaksikan dengan jelas
Lau Ju-hian berempat dari atas, mereka sama menjerit kaget dan berduka, sama
sekali mereka tidak mengira tenaga anak muda itu sedemikian hebatnya, Lau
Ju-hian sampai memejamkan matanya untuk menyaksikan nasib buruk Sun Put-ji yang
akan tertimpa genta itu.
Tak terduga segera terdengar Khu Ju-ki
berseru: “Terima kasih atas kemurahan hatimu!”
Waktu Lau Ju-hiaa membuka kembali matanya, ia
menjad heran, ternyata genta itu telah mengurung rapat Sun Put-ji di dalamnya,
di samping genta tiada sesuatu tanda bekas tertindihnya Sun Put-ji bahkan ujung
jubahnya juga tidak kelihatan.
Rupanya waktu Yo Ko melihat genta yang
ditolak oleh pedangnya itu bakal menimpa Sun Put-ji dan pasti akan membuatnya
binasa, tiba-tiba teringat olehnya bahwa baru saja kami menikah, tidaklah baik
kalau mencelakai jiwa orang, apalagi Tokoh tua itu juga tidak jahat, hanya
wataknya saja yang rada aneh.
Karena pikiran itulah, secepat kilat ia
mengebaskan lengan bajunya untuk mendorong kasur yang diduduki Sun Put ji itu sehingga
tepat tertutup rapat di dalam genta.
Khu Ju-ki berempat menjadi serba salah
sekarang, mereka merasa tidak pantas lagi memusuhi Yo Ko, namun anak muridnya
tadi sudah diberi pesan bila genta itu sudah dijatuhkan ke bawah, serentak
mereka harus menyerbu ke dalam pendopo, Anak murid mereka tentu tidak dapat menyaksikan
apa yang terjadi di bagian dalam, maka saat itu kawanan Tosu itu beramai-ramai
sudah mulai menyerbu.
Melihat suasana rada gawat, cepat Yo Ko
gantungkan pedang pada pinggangnya, ia rangkul Siao-liong-li terus dibawa, lari
ke ruangan belakang.
“Perhatian para anak murid, jangan
sekali-sekali mencelakai jiwa mereka berdua,” seru Khu Ju-ki dengan suara lantang.
Dalam pada itu para Tosu itu lantas mengudak
ke belakang sambil berteriak-teriak. Sebelum itu Lau Ju-hian juga sudah
menyiapkan 21 murid pilihan di halaman belakang pendopo, baru saja Yo Ko
keluar, tertampak sinar pedang gemerdapan, mereka telah dipapak oleh barisan
pedang.
Tiba-tiba Yo Ko berpikir bahwa lebih baik
menerjang keluar melalui lubang atap yang jebol oleh genta raksasa tadi, meski
di atas atap ada dijaga oleh keempat tokoh utama Coan cin-pay, tampaknya mereka
berempat takkan melancarkan serangan maut padaku. Karena pikiran ini, segera ia
berlari kembali ke ruangan pendopo,
Kedua tangan Siao-liong-li merangkul kencang
di leher Nyo Ko, katanya dengan suara lembut: “Kita sudah terikat menjadi suami-isteri,
cita2 hidup kita sudah tercapai. Adalah baik kalau kita dapat menerjang keluar,
andaikan tidak dapat juga tidak menjadi soal.”
“Benar,” kata Yo Ko, begitu kakinya bekerja .
“blakbluk”, kontan dua Tosu yang mengadangnya didepaknya hingga terjungkal sementara
itu ruangan pendopo itu sudah penuh berjubel kawanan Tosu, karena itu barisan
pedang Coan-cin-pay itu sukar dikerahkan Namun lengan kiri Yo Ko digunakan memondong
Siao-liong-li, hanya dengan kakinya saja ia dapat merobohkan musuh dan dengan
sendirinya sukarlah baginya untuk lolos dari kepungan.
Diam-diam ia menjadi gemas terhadap para Tosu
itu. “Blang”, kembali seorang Tojin ditendangnya terjungkal dan menumbuk jatuh
pula dua kawannya.
Tengah ribut-ribut sekonyong-konyong dari
luar sana berlari masuk seorang tua berjenggot dan berambut ubanan semua, di
belakang si kakek mengikut suatu gerombolan besar tawon madu, orang itu
ternyata Ciu Pek-thong adanya.
Pendopo Tiong-yang-kiong itu kacau balau
sehingga bertambah seorang Ciu Pek-thong juga tidak menjadi perhatian orang
Coan-cin-kau.
Tapi begitu tiba, segera kawanan tawon
mencari sasarannya untuk disengat, keruan keadaan tambah gaduh, Ka-wanan tawon
madu itu bukanlah tawon biasa, tapi adalah tawon putih piaraan Siao-liong-li di
kuburan kuno itu.
Begitu tersengat tawon itu, seketika timbul
rasa sakit dan gatal yang tak tertahankan. saking tidak tahan, sebagian Tosu itu
sama ber-guling2 di lantai sambil berteriak-teriak, keruan suasana tambah
kacau.
Kiranya Ciu Pek-thong teramat kagum dan
tertarik setelah menyaksikan Siao-liong-li dapat mengundang dan memimpin gerombolan
tawon di luar kota Siangyang tempo hari, di luar tahu Siao-liong-li ia telah
mencuri botol madu tawon nona itu dengan maksud akan menirukan kepandaian
Siao-liong-li
mengumpulkan barisan tawon.
Tak terduga, biarpun beberapa puluh ekor
tawon dapat dipancing datang, tapi lantaran caranya tidak tepat, segerombolan
tawon itu tidak mau tunduk pada perintahnya.
Ketika permainannya itu kemudian kepergok
Siao-liong-li, Ciu pek-thong jadi malu dan cepat-cepat kabur. Tadinya dia bermaksud
mencari Kwe Ceng, tapi kuatir ketemu Siao-liong-li lagi di sana, ia batalkan
maksudnya ke kota itu, setelah ditimbang, akhirnya ia ambil keputusan
mengunjungi Cong-lam-san, tujuan utama dapat bertemu dengan para Sutit (murid
keponakan) yang sudah belasan tahun tidak bcrjumpa, selain itu iapun ingin
mencari Tio Ci-keng untuk ditanyai mengapa berani mengapusi dan mencelakai sang
Susiokco?
Sepanjang jalan Ciu Pek’thong mempelajari
madu tawon yang dicurinya dari Siao-liong-li itu, lama2 iapun dapat meraba sedikit
cara-cara memerintah kawanan tawon.
Perlu diketahui bahwa sifat Ciu Pek-thong
memang kocak, ke-kanak-anakan, suka humor, senang gara-gara dan cari perkara
serta ugal2an, sebab itulah dia di beri julukan “Lo wan-tong” atau si anak tua
nakal, tapi sesungguhnya dia bukan orang bodoh, bahkan sebenarnya otaknya
sangat cerdas dan pintar, kalau tidak masakah ilmu silatnya dapat mencapai
setinggi itu?
Begitulah karena hasratnya ingin meniru
Siao-liong-li main-main dengan tawon, setibanya di Conglam-san ia benar-benar ketemu
batunya. Tawon putih itu berbeda daripada tawon madu biasa, bentuk badannya
lebih besar, sengatannya juga berbisa, begitu mencium bau madu yang dibawa Ciu
Pek-thong, serentak datanglah kawanan tawon itu sehingga membikin Ciu Pek-thong
merasa kewalahan malah.
Kawanan tawon putih itu sudah biasa mengikuti
suara dan gerak tangan Siao-liong-li, dengan sendirinya sukar bagi Ciu Pek-thong
untuk menghalaunya, tidak hanya itu saja, bahkan terus mengikutinya. Melihat
gelagat jelek, Ciu Pek-thong berlari ke Tiong-yang-kiong dengan tujuan mencari
suatu tempat sembunyi yang baik. Kebetulan saat itu Tiong-yang-kiong sedang
kacau balau dan ramainya bukan main:
Sekilas ia melihat Siao-liong-li berada di
situ, ia terkejut dan bergirang pula, cepat ia melemparkan botol madu kepada Siao-liong-li
sambil berseru. “Wah, celaka, aku tidak sanggup melayani tuan-tuan besar tawon
ini, lekas kau menolong aku!”
Sekali kebas lengan bajunya dapatlah Yo Ko
menangkap botol madu itu, dengan tersenyum Siao liong-li menerima botol itu.
Dalam pada itu gerombolan tawon itu beterbangan memenuhi ruangan pendopo, Khu
Ju-ki berempat cepat melompat turun dari atap rumah untuk memberi hormat kepada
sang Susiok.
Segera Hek Tay-thong berseru: “Lekas ambil
obor, ambil obor!”
Para anak murid Coan-cin-kau menjadi sibuk,
ada yang memutar pedang untuk mengusir kawanan tawon, ada yang cari selamat
dengan menutupi muka dan kepala dengan lengan jubah, ada pula yang berlari
pergi mengambil obor.
Ciu Pek-thong tidak pedulikan Khu Ju-ki dan
lain-lain, batok kepala anak tua nakal itu sendiri sudah benjal-benjol tersengat
tawon, yang dia harapkan adalah mencari suatu tempat sembunyi yang ia dapat
diselundupi oleh tawon, Ketika tiba-tiba melihat sebuah genta besar terletak di
situ, ia menjadi girang, Cepat ia mengungkap genta itu, tapi dilihatnya di
bawahnya sudah ada seorang, tanpa diperhatkan siapa orang itu, ia lantas
berkata: “Maaf, silakan menyingkir dulu.”
Berbareng ia dorong Sun Putji keluar, ia
sendiri lantas menyusup ke dalam genta, sekali lepas tangan, “blang”, genta itu
segera menutup rapat lagi. Girang luar biasa Ciu Pek thong berada di dalam
genta, ia pikir biarpun gerombolan tawon yang ber-laksa2 jumlahnya juga tak
dapat mengejarnya serta menyengatnya lagi.
Dalam pada itu Yo Ko telah membisiki Siao
liong-li: “Cepat kau memerintahkan bantuan tawon, kita terjang keluar saja,”
Biasanya yang selalu memberi perintah adalah
Siao-liong-li, sekarang baru saja menjadi isterinya, untuk pertama kalinya ia
dengar si Yo Ko bicara seperti memberi perintah padanya, hati Siao-liong-li
merasa sangat bahagia, pikirnya: “Ternyata dia tidak anggap aku sebagai gurunya
lagi dan sungguh-sungguh menganggap diriku sebagai isterinya.”
Segera Siao-liong-li mengiakan dengan suara
lembut dan penurut, ia lantas angkat botol madu dan diguncangkan beberapa kali
sembari berseru beberapa kali. Karena bertemu dengan majikannya, kawanan tawon
lantas bergerombol menjadi satu dalam waktu sekejap saja, Siao-liong-li terus memberi
tanda dan membentak pula, gerombolan tawon itu lantas terbagi menjadi dua
barisan, baris pertama mendahului di depan, barisan lain berjaga di belakang,
Siao-liong-li dan Yo Ko seakan-akan di-kawal oleh kedua barisan tawon itu terus
menerjang ke belakang Tiong-yang-kiong. Karena gara-gara kedatangan Ciu
Pek-thong, Khu Ju-ki dan kawan-kawannya menjadi serba runyam, tampaknya Nyo Ko
berdua sudah mundur ke belakang istana, segera ia memberi perintah agar anak
muridnya tidak mengejar. Ong Ju-it lantas membuka Hiat-to Sun Put-ji yang
tertutuk itu,
sedang Khu Ju-ki berusaha membuka genta.
Ciu Pek-thong yang sembunyi di dalam genta
dengan sendirinya tidak tahu apa yang terjadi di luar, ketika merasakan genta
itu hendak dibuka orang, ia menjadi kuatir dan berteriak: “Haya, celaka! Dengan
kedua tangannya ia menahan dinding genta dan ditekan ke bawah. Karena tenaga
dalam Khu Ju-ki tidak lebih kuat daripada sang Susiok, “trang”, baru tersingkap
sedikit, segera genta itu jatuh lagi ke bawah.
Dengan tertawa Khu Ju-ki berkata kepada para
Sutenya: “Susiok kembali bergurau lagi. Ma-rilah kita bekerja sama.”
Segera Khu Ju-ki, Ong Ju-it, Lan Ju-hian dan
Hek Tay-thong berempat sama sama menggunakan sebelah tangan untuk menahan genta
itu, sekali bentak seketika genta itu terangkat ke atas, Tapi mereka lantas
bersuara heran ketika tidak melihat bayangan seorangpun di bawah genta, Ciu
Pek-thong ternyata sudah lenyap entah ke mana.
Selagi mereka melongo heran, tiba-tiba
sesosok bayangan menyelinap keluar, Ciu Pek-thong sudah berdiri di situ dengan bergelak
tertawa, Rupanya tadi dia sengaja pentang kaki dan tangannya menahan di dinding
genta bagian dalam sehingga tubuhnya ikut terangkat ke atas, kalau genta itu
tak di jungkir atau orang melongok ke bagian dalam genta tentu takkan melihatnya.
Khu Ju-ki dan lain-lain lantas mengulangi
lagi member hormat, tapi Ciu Pek-thong telah goyang-goyang tangannya dan
bersem: “Sudah, anak-anak tidak perlu banyak adat” padahal usia Khu Ju-ki dan
kawan-kawan nya itu sudah berusia lanjut, tapi Ciu Pek-thong masih tetap
menyebut mereka “anak-anak” saja.
Baru saja mereka hendak tanya sang Susiok,
sekilas Ciu Pek-thong melihat Tio Ci-keng hendak mengeluyur pergi, sambil
membentak segera ia melompat ke sana dan membekuknya seraya memaki: “Eh, hendak
lari kau? Jangan kau harap, hidung kerbau bangsat!”
Segera ia menyingkap genta raksasa itu
-Cikeng terus dilemparkan ke dalam, sekali lepas tangan, genta itu lantas
menutup rapat lagi, malahan mulut Ciu Pek-thong belum berhenti memaki: “Hidung
kerbau bangsat, hidung kerbau maling!”
“Hidung kerbau” adalah istilah olok-olok pada
kaum Tosu, Padahal yang hadir di situ sekarang, kecuali Ciu Pek-thong sendiri,
selebihnya adalah Tosu semua, maka makian Ciu Pek-thong itu sama saja -memaki
seluruh anggota Coau-ciu kau, Tapi lantaran sudah kenal sifat sang Susiok, Khu
Ju-ki berlima hanya saling pandang dengan menyengir saja.
“Susiok,” Ong Ju-it coba bertanya, “entah cara bagaimana Ci-keng bersalah kepada Susiok? Tecu
pasti akan memberi hukuman setimpal padanya.”
“Hehe, hidung kerbau bangsat ini memancing
aku ke gua itu untuk mencuri panji, tapi di sana banyak tersembunyi labah2 besar, untung
ada nona cilik itu, wah mana nona cilik itu? Yo Ko mana pula?” begitulah Ciu
Pek-thong menutur dengan tidak teratur
Sudah tentu Ong Ju-it tidak paham apa yang
dimaksudkan sang Susiok, hanya kelihatan orang tua itu celingukan kian kemari
ingin mencari Siao-hong-li. Pada saat itulah ada murid memberi laporan bahwa Yo
Ko dan Siao-liong-Ii telah mengundurkan diri ke belakang gunung dan masuk ke
Cong-keng-kok (ruangan perpustakaan)
Keruan Khu Ju-ki berlima terkejut,
Cong-keng-kok adalah tempat penting Coan-cin-kau, di mana tersimpan berbagai
kitab pusaka serta dokumen2-rahasia yang menyangkut kepentingan agama mereka,
kalau terjadi sesuatu akan berarti bahaya besar bagi nasib Coan-cin-kau mereka.
Cepat Khu Ju-ki berseru: “Marilah kita
menyusul ke sana!
Tadi Yo Ko itu tidak melukai Sun-sumoay,
sebaiknya permusuhan ini diubah menjadi persahabatan.”
Sun Put-ji mengiakan,
beramai-ramai mereka lantas berlari ke belakang. Hanya Ong Ju-it saja merasa kuatir
Ci-keng mati sesak napas di dalam genta, betapapun Ci-keng adalah muridnya yang
tertua, apalagi tindak tanduk sang Susiok biasanya terkenal angin-anginan,
dalam urusan ini belum pasti Ci-keng yang bersalah, maka nanti masih harus
ditanyai lebih jelas.
Karena itu ia lantas mengambil sepotong batu,
ia singkap sedikit genta itu dan batu itu diganjalkan di bawahnya sebagai jalan
hawa. Habis itu barulah ia berlari menyusul ke sana.
Setiba di depan Cong-keng-kok, terlihat
ber-ratus2 anak murid sedang berkaok-kaok, tapi tiada seorangpun yang berani
naik ke loteng Cong-keng kok itu. Segera Khu Ju-ki berseru: “Nona Liong dan
Nyo-siauhiap, segala persoalan biarlah kita anggap selesai dan marilah kita
berkawan saja bagai-mana?”
Selang sejenak ternyata tidak terdengar
sesuatu suara jawab, Khu Ju-ki lantas berkata pula: “Nona liong terluka,
silakan turun saja dan berdaya untuk menyembuhkannya.
Kami berjanji pasti takkan membikin susah
kalian.”
Akan tetapi sekian lamanya tetap tiada
sesuatu suara apapun, pikiran Lau lu-hian tergerak, katanya: “Khu-suko, tampaknya
mereka sudah pergi.”
“Mana bisa?” ujar Ju-ki.
“Lihatlah kawanan tawon yang beterbangan
serabutan itu,” kata Ju-hian sambil mengambil sebuah obor dari seorang
muridnya, lalu ia mendahului berlari ke atas loteng.
Beramai-ramai Khu Ju-ki dan lain-lain juga
ikut ke sana, benar juga ruangan perpustakaan itu ternyata kosong tiada
seorangpun, di meja tengah ruangan itu tertaruh botol madu tawon itu, Seperti
menemukan jimat saja, cepat Ciu Pek-thong menyamber botol itu dan dimasukkan
bajunya.
Semua orang coba memeriksa sekitar
Cong-keng-kok, tetap tiada menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan, hanya
pada lantai di pojok ruangan sana ada setumpuk kitab, namun tiada tanda
berkurangnya jumlah kitab, hanya peti tempat kitab-kitab itu sudah lenyap,
Tiba-tiba Hek Tay-thong berseru: “He, mereka
kabur melalui sini” .
Semua orang mendekati jendela itu di bagian
belakang loteng itu, terlihat seutas tali terikat pada jendela itu, ujung tali
yang lain terikat pada pohon di tebing sebelah sana.
Antara Cong-keng-kok dan tebing sana teralang
oleh sebuah jurang yang lebarnya belasan meter, sebenarnya buntu tiada jalan
tembus, sama sekali tak terduga bahwa Yo Ko dapat menyeberang ke sana dengan
melalui seutas tali itu dengan Ginkangnya yang hebat.
Yo Ko dan Siao-liong-li melangsungkan upacara
nikah di pendopo Tiong-yang-kiong, betapapun orang-orang Coan-cin-kau merasa
kehilangan muka karena takdapat mencegah perbuatan kedua muda-mudi itu kini
kedua lawan telah pergi, Coan-cin-ngo-cu saling pandang dengan senyum kecut,
namun hati terasa lega juga.
Yang paling dongkol dan penasaran sebenarnya
adalah Sun Put-ji, tapi setelah menyaksikan cinta kasih Yo Ko dan Siao-liong-li
yang suci murni itu, pula pada detik yang berbahaya Yo Ko juga menyelamatkan
dia, tanpa terasa Sun Put-ji seperti kehilangan apa-apa dan bungkam saja.
BegituIah Coan-cin-ngo-cu dan Ciu Pek-thong
lantas kembali lagi ke ruangan pendopo untuk menanyai seluk-beluk datangnya
utusan raja Mongol kita pertengkaran antara golongan In Ci-peng dengan
komplotan Tio Ci-keng dan mendadak Siao-liong-li muncul sehingga terjadi
pertarungan sengit itu.
Dengan sejujurnya Li Ci-siang dan Song
Tek-hong lantas memberikan laporan secara jelas. Khu Ju-ki meneteskan air mata
dan berkata: “Meski Ci-peng berbuat salah, tapi dia juga telah membela
Coan-cin-kau dengan mati-matian dan tidak sudi menyerah pada Mongol, jasanya
juga tidak kecil.”
“Benar, kesalahan Ci-peng tidak lebih besar
daripada jasanya, betapapun kita tetap mengakui dia sebagai pejabat lama,” kata
Ong Ju-it dan di-tunjang oleh Lau Ju-hian dan Lain-lain.
Kalau Khu Ju-ki dan lain-lain sedang sibuk
menanyai Li Ci-siang untuk membereskan persoalan selanjutnya, Ciu Pek-thong
ternyata tidak mau ambil pusing, ia lagi sibuk
memainkan botol madu itu, beberapa kali ingin
membuka botol itu untuk memancing kedatangan kawanan tawon, tapi iapun takut
kalau sekali tawon sudah datang tak bisa di balau pergi lagi.
Dalam pada itu seorang murid memberi laporan
bahwa ada lima orang murid lainnya sedang menderita tersengat tawon dan mohon
paraguru berusaha mengobatinya, Hek Tay-thong lantas teringat pada pemberian
madu tawon oleh Sun-popoh dahulu! Segera mendekati Ciu Pek-thong dan berkata:
“Kebetulan Susiok membawa sebotol madu tawon
ini, mohon kemurahan hati Susiok agar sudi membagikan madu ini untuk para cucu
murid yang tersiksa itu.”
Mendadak Ciu Pek-thong mengangkat kedua
tangannya, ternyata botol madu tadi sudah tak kelihatan lagi, katanya:
“Aneh, entah mengapa, botol madu itu lenyap
mendadak.”
Padahal dengan jelas Hek Tay-thong melihat
barusan saja botol madu itu masih dipegangi sang Susiok, mana bisa hilang
mendadak, tentu sang Susiok sengaja tidak mau memberi, namun terhadap paman
guru dengan sendirinya tidak sopan mendesaknya dengan kata-, maka Hek Tay-thong
menjadi serba sulit.
Kembali Ciu Pek-thong tepuk-tepuk bajunya dan
mengebas lengan baju beberapa kali, lalu berkata pula: “Nak, aku kan tidak
menyembunyikan botol madu itu. jangan kau anggap aku pelit dan tidak mau
memberi!”
Rupanya si “anak tua nakal” ini memang suka
jahil dan gemar mainan seperti anak kecil, sampai tua sifatnya ini tetap tidak
berubah, ia pikir kalau cuma disengat tawon saja, paling-paling cuma kesakitan
dan takkan mampus, sebaliknya madu tawon yang sukar dicari ini tidak boleh
diberikan begitu saja.
Sebab itulah baru saja Hek Tay-thong membuka
mulut segera ia selusupkan botol madu itu ke lengan baju, ketika ia mengangkat
tangannya, botol itu terus menyusup ke kelek dan menerobos ke dada sampai ke
perut, waktu ia kerut kan perutnya, kembali botol itu menerobos ke dalam celananya
dan dari kaki celana botol itu jatuh pelahan di belakang tungkak kaki, Karena
Lwekang Ciu Pek-thong sudah sangat tinggi sehingga kulit daging sekujur
badannya dapat dikuasai dengan sesukanya, maka sedikitpun tidak mengeluarkan
suara ketika botol madu yang kecil itu diselundupkannya sampai di lantai.
Melihat sang Susiok tidak mau memberi, Ong
Ju-it dan lain-lain tidak berani memaksa, ia pikir tunggu nanti saja kalau sang
paman guru lagi memainkan botol madu itu, lalu secara mendadak diminta lagi,
tentu tiada alasan baginya untuk menolak, ia pikir urusan penting sekarang
adalah menyelesaikan dulu soal penghianatan Tio Ci-keng.
Maka dengan tegas ia lantas menyatakan
pendiriannya itu:
“Hek-sute, urusan lain kita tunda dahulu,
kita harus membereskan dulu soal murid khianat Tio Ci-keng.”
Serentak semna orang menyatakan setuju. Semua
saudara seperguruannya cukup kenal watak Ong Ju-it yang jujur dan adil, biarpun
murid sendiri juga pasti tidak dibela kalau berbuat kesalahan, apalagi sekarang
melakukan penghianatan yang tak terampunkan.
Tapi pada saat itu juga dari bawah genta
tiba-tiba Ci-keng berkata dengan suara lemah: “Ciu-susiok-co, jika engkau
menolong jiwaku, segera akan kukembalikan madu tawon ini, kalau tidak akan
kuminum habis, bagaimanapun juga aku toh akan mati.”
Ciu Pek-thong terkejut, cepat ia membalik ke
belakang, benar juga botol madu itu sudah lenyap. Kiranya dia berdiri tepat di samping genta raksasa itu. Ci-keng mendekam di
dalam genta dan botol madu kebetulan jatuh di depannya, ia dengar Hek Tay-thong
memohon madu pada Ciu Pek-thong dan tidak berhasil, maka botol itu lantas
dicomotnya melalui lubang genta yang diganjal batu itu.
Dengan botol madu itu sebagai alat pemerasan
untuk menyelamatkan jiwanya, cara ini sebenarnya terlalu ke-kanak-anakan dan
tipis harapan, tapi di antara putus harapan itu sedikitnya masih ada setitik
harapan untuk hidup, untuk itulah Ci-kcng berusaha sebisanya
Ternyata Ciu Pek-thong menjadi kuatir
mendengar ancaman Ci-keng itu, cepat ia berseru: “He, he, jangan kau minum madu
itu, segala urusan dapat kita rundingkan.”
“Jika begitu engkau harus berjanji akan
menyelamatkan jiwaku,” kata Ci-keng pula.
Khu Ju-ki dan lain-lain juga terkejut, mereka
kenal sang Susiok yang berjuluk “Lo-wan-tong” itu berwatak lain daripada yang
lain, kalau saja paman guru itu menyanggupi permintaan Ci-keng itu, maka sukar
lagi menghukum murid murtad itu,
Cepat Ju-ki bicara: “Susiok, dosa murid
murtad ini tak terampunkan, jangan sekali engkau mengampuni dia.”
Ciu Pek-thong berjongkok dan mendekatkan kepalanya
ke celah genta dan berseru pula “He… he, jangan kau minum madu itu”"
“Jangan gubris dia, Susiok,” kata Lau
Ju-hian. “Apa sulitnya jika Susiok ingin mendapatkan madu itu, kini permusuhan
kita dengan nona Liong sudah berakhir, sebentar kita dapat pergi ke tempatnya
untuk memohon beberapa botol madu seperti itu, Kalau nona Liong sudah mau
memberi sebotol padamu, tentu dia akan memberi lagi sebotol sedikitnya.”
Tapi Ciu Pek-thong menggeleng dan menjawab:
“Belum tentu, belum tentu!” Sudah tentu ia tak berani memberitahu bahwa madu
itu adalah hasil copetannya dari Siao-liongli dan tadi setelah dikembalikan
kepada si nona, rupanya botol itu tertinggal di Cong-keng-kok, kalau meminta
pada Siao-liong-li lagi belum tentu nona itu mau memberi lagi, andaikan diberi
juga akan digunakan sebagai obat dan dia takkan mendapatkan bagian.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara
mendengung pelahan, ada beberapa ekor tawon putih tampak terbang masuk ke
pendopo situ dan mengitari genta.
Pikiran Ciu Pek thong tergerak, cepat ia
melongok lagi ke bawah genta dan berseru: “Ci-keng yang kau ambil itu mungkin
bukan madu tawon.”
“Benar, benar madu
tulen, mengapa bukan?” ujar Cikeng gugup.
“Kukira bukan, bisa jadi
madu palsu,” ujar Ciu Pek-thong.
“Supaya aku percaya,
coba kau buka tutup botol agar aku dapat mencium baunya, tulen atau palsu
segera akan terbukti.
Tanpa pikir Ci-keng membuka sumbat botol dan
berkata:
“Baiklah, coba kau menciumnya! Wah, harum dan
sedap baunya, masakah palsu?”
Ciu Pek-thong sengaja menarik napas panjang
beberapa kali dengan hidungnya, lalu berkata: “Uh, rasa2nya bukan madu, seperti
bau sirup! Coba ku-cium beberapa kali!”
Ci-keng genggam botol madu itu sekcncangnya
dengan kedua tangannya, kuatir kalau orang mendadak menyingkap genta terus
merampas botolnya, berulang ia menyatakan “Harum dan sedap sekali, betul
tidak?”
Dalam pada itu bau harum madu tawon itu sudah
teruar memenuhi ruangan pendopo itu, Ciu iPek-thong sengaja bersin satu kali
dan berkata dengan tertawa: “Wah, aku sedang pilek, hidungku mampet!” - Sembari
bicara iapun kucek hidung dan memicingkan sebelah mata kepada Khu Ju-ki
dan lain-lain.
Sudah tentu Cikeng juga menduga orang sedang
main akal ulur waktu, segera ia mengancam pula: “Awas, jangan kau menyentuh
genta ini, sekali tanganmu memegang genta segera kuminum habis madu ini.”
sementara itu tawon putih yang berdatangan
sudah tambah menjadi puluhan ekor dan sedang mengitari genta besar itu dengan
suaranya yang mendengung, Mendadak Ciu Pek-thong mengebaskan lengan bajunya
sambil membentak:
“Masuk ke sana dan sengat dia!”
Kawanan tawon itu belum tentu mau tunduk pada
perintahnya, tapi saat itu bau harum madu itu semakin keras, benar saja
beberapa ekor tawon itu lantas menerobos ke dalam genta melalui celah-celah
yang diganjal batu itu.
Segera terdengar Ci-keng menjerit, menyusul
terdengar suara jatuhnya benda pecah disertai bau harum yang semakin keras,
nyata Ci-keng telah kena disengat tawon, saking kesakitan botol madu yang
dipegangnya terjatuh dan hancur berantakan.
“Bangsat keparat!” bentak Ciu Pek-thong
dengan gusar, “Memegang botol saja tidak becus!”
Segera ia bermaksud menyingkap genta itu
untuk memberi beberapa kali tamparan pada Ci-keng yang dianggapnya tak becus,
tiba-tiba segerombol tawon putih membanjir tiba karena tertarik oleh bau madu
yang harum itu, be ramai-ramai kawanan tawon itu lantas menyusup ke dalam
genta.
Ciu Pek-thong sudah merasakan betapa lihay
sengatan tawon itu, ia sudah kapok mendekatinya, Dilihatnya tawon yang menyusup
ke dalam genta itu bertambah banyak, sedangkan tempat luang di dalam genta itu
terbatas, tubuh Ci-keng berlepotan madu tawon, setiap kali bergerak pasti
menyenggol kawanan tawon itu, keruan berpuluh, beratus bahkan beribu sengatan
tawon memenuhi badannya.
Semula orang masih mendengar jeritan
ngerinya, sebentar kemudian suaranya menjadi lemah dan akhirnya tak terdengar
lagi, jelas karena terlalu hebat kena racun sengatan dan telah melayang
jiwanya.
Mendadak Ciu Pek-thong pegang baju dada Lau
Ju-hian dan berteriak: “Baik, Ju-hian, sekarang kau harus memohonkan sebotol
madu kepada nona Liong bagiku.”
Lau Ju-hian menyeringai serba susah, tadi dia
Cuma berharap Ciu Pek-thong jangan mudah menyanggupi pemerasan Ci-keng, maka
dia menyatakan akan memintakan madu tawon kepada Siao liong-li bagi sang
Susiok, sekarang dia dicengkeram, terpaksa ia menjawab: “Susiok, lepaskan
tangahmu, akan kumintakan niadunya.” Lalu ia membetulkan bajunya dan melangkah
ke arah kuburan kuno Khu Ju-ki tahu kepergian Lau Ju-bian ini sangat berbahaya,
kalau Siao- liong-li selamat tidaklah menjadi soal, tapi kalau lukanya parah
dan tak bisa sembuh, entah berapa banyak orang Coan-cin-kau yang akan dibunuh
lagi oleh Nyo Ko. Karena itu ia lantas berseru:
“Marilah kita ber-sama-sama ikut ke sana!”
Hutan di dekat kuburan kuno itu sudah lama
dilarang masuk oleh anak murid Coan-cin-kau sesuai ketentuan mendiang Ong
Tiong-yang, maka setiba di pinggir hutan itu, dengan suara lantang Khu Ju-ki
berseru: “Nyo-siauhiap, apakah luka nona sudah baikan? Di sini adalah beberapa biji obat, silakan ambil ini!”
Akan tetapi sampai sekian lama tiada
terdengar jawaban orang. Khu Ju-ki mengulangi lagi seruannya dan tetap sunyi
senyap saja keadaannya hutan.
Kelihatan rimbun dengan pohon-pohon tua yang
tumbuh di bawah pohon juga penuh semak beluka, mereka coba menyusuri tepian
hutan itu dan tidak tampak tanda ada orang menuju ke arah kuburan kuno,
tampaknya Yo Ko dan Siao-Iiong-li tidak pulang ke sana melainkan meninggalkan
Cong-Iam-san.
Dengan girang dan kuatir pula semua orang
kembali ke Tiong-yang-kiong, mereka bergirang karena Yo Ko dan Siao liong-Ii
sudah pergi jauh, tapi juga kuatir kalau luka Siao-liong-li tak bisa
disembuhkan, untuk itu tentu Yo Ko akan membalas dendam dan celakalah
Coan-cin-kau.
Ternyata si anak tua nakal Ciu Pek-thong juga
tampak senang dan sedih, dia sedih karena tidak berhasil mendapatkan madu
tawon, senangnya karena dia tidak perlu bertemu lagi dengan Siao-liong-li
sehingga perbuatannya mencopet madu takkan terbongkar.
Selama berpuluh tahun tinggal di Cong-lamsan
ternyata orang-orang Coan-cin-kau itu sama sekali tidak dapat menerka ke mana
perginya Yo Ko dan Siaoliongli.
Kiranya waktu suasana di Tiong-yang-kiong
menjadi kacau oleh datangnya gerombolan lebah, segera-Siao-liong-li memimpin
barisannya sebagai pengaman dan menerjang ke belakang gunung, dilihatnya ada
sebuah bangunan kecil berloteng di atas bukit situ, Yo Ko tahu itulah
Cong-keng-kok yang merupakan salah satu tempat penting di Tiong-yang kiong ini,
segera ia pondong Siao-liong-li ke atas loteng itu.
Baru saja mereka sempat mengaso sejenak,
segera terdengar pula suara hiruk pikuk di bawah, berpuluh Tosu sudah menyusul
tiba, cuma tangga loteng itu rada sempit dan sukar memainkan barisan pedang,
maka kawanan Tosu itu tidaki berani sembarangan menyerbu ke atas.
Setelah mendudukkan Siao-liong-li di atas
kursi, Yo Ko coba memeriksa keadaan sekitar loteng itu, dilihatnya di belakang
Cong-keng-kok itu adalah sebuah sungai gunung yang dalam, namun sungai itu
tidak begitu lebar, Tiba-tiba ia mendapatkan akal, ia keluarkan tali yang
biasanya diikat pada dua batang pohon digunakan tempat tidur, ia ikat ujung
tali itu pada tiang Cong-keng-kok dan ujung tali yang lain dibawanya melompat
ke seberang sungai dan diikat pada sebatang pohon.
Lalu ia melompat kembali ke Cong-keng-kok dan
bertanya kepada Siao-Iiong-li: “Sebaiknya kita pulang ke mana?”,
“Kau bilang ke mana, aku hanya ikut saja
padamu,” jawab Siao liong-li sambil menghela napas.
Dari air muka si nona dapat lah Yo Ko menerka
pikirannya, tentu yang diharapkannya adalah pulang kembali ke kuburan kuno itu.
Cuma cara bagaimana masuk ke sana, inilah yang menjadi persoalan Dalam pada itu
suara ribut di bawah sana tambah ramai rasanya tak dapat tahan lebih lama lagi
di sini.
Yo Ko dapat memahami pikiran Siaoliong-li,
tapi si nona juga dapat meraba pikiran anak muda itu, dengan suara halus ia
berkata: “Akupun tidak harus pulang ke kuburan kuno itu, jangan kau pikirkan
hal ini.” - ia tersenyum manis, lalu menambahkan “Asalkan senantiasa berada
bersamamu, ke manapun aku setuju,”
Inilah cita2 Siao-liong-li yang pertama
setelah mereka menikah, maka Yo Ko bertekad akan melaksanakan keinginan si
nona, kalau tidak ia merasa tidak sesuai sebagai suaminya ia coba memandang
ruangan loteng itu, dilihatnya dibelakang rak buku di sudut sana ada sebuah
peti kayu, tiba-tiba tergerak pikirannya, cepat ia mendekati peti itu, ternyata
peti itu digembok dengan sebuah gembok besi.
“Dengan mudah saja Yo Ko puntir patah gembok
itu dan membuka tutup peti ternyata penuh terisi kitab dan sejenisnya. Segera
ia angkat peti itu sehingga isi peti itu tertumplek semua di lantai.
Peti itu terbuat dari kayu kamper, tebalnya
lima senti dan sangat kukuh, ia coba melompat dan meraba atas rak buku, benar
juga penuh tertutup oleh kain minyak. yaitu untuk menjaga kalau kebocoran agar
tidak merusak kitab-kitab itu.
Dia tarik dua helai kain minyak itu dan
dimasukkan ke dalam peti, lalu peti itu diseberangkan lebih dulu dengan melalui
jembatan tali tadi, kemudian ia kembali lagi untuk memondong Siao-Iiong-ii ke
sana, “Marilah, kita pulang kerumah asal” katanya dengan tertawa.
Siao-liong-li sangat girang, jawabnya dengan
tersenyum:
“Bagus sekali caramu mengatur!”
Kuatir si nona berkuatir, Yo Ko lantas
menambahkan: “Pedangku ini sangat hebat, apapun di dasar sungai yang merintangi
peti ini tentu dapat kubereskan dengan pedang ini, aku akan berjalan dengan
cepat, engkau pasti takkan sumpek di dalam peti,”
“Cuma ada sesuatu yang tidak baik bagiku”
“Apa itu?” tanya Yo Ko dengan me1engak.
“Untuk waktu tertentu aku takdapat melihat
kau,” jawab sinona.
Sambil bicara merekapun sudah sampai di
seberang. Yo Ko jadi teringat kepada Kwe Yang yang tertinggal di gua itu,
katanya segera: “Nona keluarga Kwe juga kubawa ke sini. Apa yang harus
kulakukan menurut pendapatmu?”
Siao-liong-li melenggong, tanyanya dengan
suara rada gemetar: “Apa katamu? Kau.. kau membawa puteri Kwe-tayhiap itu ke
sini?”
Melihat sikap si nona yang aneh itu, Yo Ko
melengak juga, tapi cepat ia paham sebab musababnya, tentu Siao-liong-li salah
paham dan mengira dia membawa Kwe Hu ke sini, segera ia mencium pelahan pipi si
nona dan berkata: “Ya, puteri Kwe-tayhiap yang kubawa ke sini, tapi bukan nona
yang membuntungi lenganku melainkan orok yang baru lahir tiada sebulan itu.”
Muka Siao-liong-li menjadi merah jengah, ia
rangkul Yo Ko kencang-kencang dan tak berani memandangnya, selang sejenak
barulah ia berkata: “Bolehlah kita membawanya serta ke kuburan kuno. Jika
ditinggalkan lebih lama di hutan ini, boleh jadi jiwanya akan melayang.”
Yo Ko menjadi kuatir juga, sudah sekian lama
dia teralang di Tiong-yang-kiong, entah bagaimana keadaan Kwe Yang yang
disembunyikan di dalam gua itu. Cepat ia menuju ke gua itu, ternyata keadaan
sunyi sepi tiada suara tangisan anak kecil, ia tambah kuatir, lekas-lekas ia
menyingkirkan belukar kering dan masuk ke gua, dilihatnya Kwe Yang sedang tidur
dengan lelapnya, kedua pipi bayi itu kelihatan ke-merah2an menyenangkan “Biar
kubopong dia,” kata Siao liong-li.
kuatir si nona kurang tenaga karena belum
sehat, Yo Ko mengusulkan anak itu ditaruh saja di dalam peti, lalu ia mencari
belasan Lamkwa (wa-toh, sebangsa labu besar warna kuning) hasil tanaman kawanan
Tosu Coan-cin-kau, ia memasukkan waloh itu ke dalam peti dan diseret ke tepi
sungai.
Setelah Siao-liong-li juga didudukkan di
dalam peti sambil memondong Kwe Yang, pelahan Yo Ko lantas menutup peti itu dan
dibungkus pula dengan kain minyak, habis itu barulah memasukkan peti itu ke
sungai. ia menarik napas panjang terus menyelam ke dasar sungai sambil menarik
peti itu melalui jalan waktu keluar dari kuburan kuno itu tempo hari.
Sejak digembleng di bawah air terjun itu,
kini tenaga dalam Yo Ko boleh dikatakan tiada taranya, berjalan di bawah sungai
kecil itu bukan soal lagi baginya.
Dasar sungai itu ternyata tidak rata,
terkadang meninggi, lalu merendah lagi. Yo Ko terus menyusuri sungai itu, kalau
teralang oleh batu karang sehingga peti itu tak dapat lewat, segera ia
menahannya dengan pedang dan segala rintangan dapatlah dibereskan, ia kuatir
Siap-liong-li sumpek di dalam peti, maka jalannya sangat cepat, tidak lama kemudian
ia sudah timbul lagi ke atas sungai dan sampai di jalan rahasia di bawah tanah
yang menuju ke kuburan kuno.
Lekas-lekas ia membuka peti itu, dilihatnya
Siao-Ijong-li dalam keadaan lemas dan setengah sadar, mungkin karena terluka
parah sehingga tidak tahan dikurung dalam peti yang rapat itu, sebaliknya Kwe
Yang tampak berteriak-teriak dan menangis penuh semangat. Rupanya orok itu
diberi minum susu macan selama sebulan sehingga jauh lebih sehat daripada bayi
biasa.
Dengan lemah Siao liong-li tersenyum bahagia
dan berkata: “Akhirnya kita pulang juga ke rumah!” – Habis berkata ia tak tahan
lagi dan memejamkan mata Yo Ko tidak memandangnya lagi dan mem-biarkannya tetap
duduk di dalam peti, ia seret peti itu ke tempat tinggal mereka di dalam
kuburan kuno itu. Dilihatnya segala sesuatu di situ masih tetap serupa seperti
waktu ditinggalkan dahulu, Sambil memeriksa kamar2 batu di situ dan
mengamat-amati pula barang-barang yang pernah dipakainya sejak kecil, tiba-tiba
anak muda itu timbul semacam perasaan yang sukar dilukiskan, seperti girang
rasanya, tapi juga mengandung rasa haru dan duka.
Waktu ia menoleh, dilihatnya Siao liong-li
berdiri berpegang pada samakan kursi dengan air mata berlinang-linang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar