Senin, 26 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 85



Kembalinya Pendekar Rajawali 85

Diam-diam Ci-seng sangat kagum melihat sikap sang paman guru yang sangat tenang itu, ia pikir sikap ksatria demikian sungguh sukar dicari bandingannya di antara tokoh angkatan ketiga, pantas para kakek guru memilih In-supek sebagai pejabat ketua, betapapun ia tidak tahu bahwa perasaan Ci-peng saat ini sungguh aneh luar biasa, andaikan Siao-liong-li ingin membunuhnya, maka iapun sudah siap memasangkan lehernya di depan si nona, sedikitpun tiada pikirannya buat melawan lagi.
Melihat kedua kawannya tidak cemas akan datangnya musuh, Ci-keng menjadi serba susah, hendak lari lebih dulu terasa malu, untunglah sementara ini tiada tanda-tanda Siao-liong-li akan bertindak kepada mereka. Namun hatinya tetap kebat-kebit, sebentar ia lantas menoleh ke belakang.
Begitulah tiga orang di depan dikuntit seorang dari belakang, mereka meneruskan perjalanan ke utara tanpa bicara lagi, sementara itu suara gemuruh gerakan pasukan Mongol ke selatan sudah Ienyap, hanya terkadang samar-samar terdengar suara riuh umatnya pertempuran di kejauhan yang terbawa angin, tapi setelah arah angin berganti, suara itupun tak terdengar.
Sepanjang jalan, karena menghindari gangguan pasukan tentara yang besar itu, semua rumah penduduk boleh dikatakan kosong melompong, bahkan ayam dan anjingpun tak tertampak seekorpun, Kalau tempo hari Ci-peng dan Ci-keng berlari ke jurusan yang sepi, malahan terkadang dapat ditemukan rumah makan kecil yang sederhana dipedusunan, kini mereka melalui jalan besar, jangankan rumah makan, sebuah rumah penduduk yang utuh pun sukar ditemukan.
Malamnya Cipeng bertiga lantas mondok di sebuah rumah bobrok yang tiada daun pintu dan jendela, Sekali-sekali Cikeng coba mengintip keluar, di lihatnya Siao-liong-li telah memasang seutas tali antara dua batang pohon besar, di atas tali yang terbentang itulah si nona berbaring..
Ci-seng juga ikut mengintai, melihat betapa hebat kepandaian Siao-liong-li, hatinya menjadi takut. Hanya Ci-peng tidur dengan nyenyaknya, tanpa perdulikan urusan lain, semalaman Ci-keng tidak bisa pulas, sebentar bangun sebentar berbaring, ia sudah bersiap-siap apabila ada suara yang mencurigakan segera ia akan kabur lebih dulu.
Esok paginya mereka melanjutkan perjalanan lagi, karena semalam suntuk tidak tidur, ditambahi rasa takutnya yang menumpuk, ia menjadi rada pusing kepala di atas kudanya. Ci-seng mendampingi
Ci-peng ketinggalan di belakang, dengan lesu Ci-peng menanyai Ci-seng tentang keadaan di Cong-lam-san akhir2 ini serta kesehatan para paman guru dan gurunya.
Menurut Ci-seng, Coan-cin-ngo-cu kelima murid utama Coan cin-kau, tadinya tujuh orang, Tam Ju-hoat dan Ma Giok sudah meninggal sehingga tinggal lima orang) sekarang mulai bertapa atau menyepi untuk waktu yang cukup lama, bisa setahun atau paling sedikit tiga bulan, sebab itulah ln Ci-peng diharapkan pulang ke Tiong-yang-kiong untuk menerima tugas sebagai pejabat ketua.
Ci-peng termangu-mangu mendengar cerita itu, ia menggumam sendiri: “Kepandaian beliau2 itu tiada taranya, entah apalagi yang hendak mereka latih?”
Dengan suara tertahan Ci-seng membisiki: “Konon kelima kakek guru bertekad menyelami dan menciptakan semacam ilmu yang dapat mengalahkan jlimu silat Ko-bong-pay.”
“Oh,” Ci-peng bersuara singkat dan tanpa terasa menoleh memandang sekejap kepada Siao-liong-li.
Kiranya sesudah Siao-liong-li bergabung dengan Yo Ko mengalahkan Kim-Iun Hoat-ong di pertempuran besar ksatria dahulu, ilmu silat kedua muda-mudi telah menggemparkan dunia persilatan, Tapi lantaran Yo Ko berdua sedang mabok kepayang mereka tidak lagi memikirkan kejadian itu.
Namun dunia persilatan sudah kadung geger, katanya ilmu silat di dunia ini tiada yang dapat menandingi pewaris dari Ko-bong-pay. Sudah tentu desas-desus begitu, banyak di-bumbui pula.
Apalagi kejadian itu juga disaksikan oleh Hek Tay-thong, Sun Put-ji, Ci peng dan Ci-keng, ditambah pula berita kemudian mengatakan Kim-lun Hoat-ong sekali lagi dikalahkan Yo Ko dan Siao-liong-li sehingga paderi itu lari terbirit-birit, tentu saja semua itu sangat mencemaskan pimpinan Coan-cin-kau, terutama kalau teringat pada suatu ketika Li Bok-chiu, Siao-liong-li atau Yo Ko pasti akan menuntut balas kepada mereka.
Menghadapi Li Bok-chiu seorang saja sukar, apalagi ditambah Yo Ko dan Siao-liong-li berdua, Bahwa diantara Li Bok-chiu dan Siao-liong-li juga terjadi sengketa ternyata tidak diketahui oleh pihak Coan cin-kau.
Kini pucuk pimpinan Coan-cin-kau hanya tinggal lima orang saja, semuanya sudah sama tua dan loyo, sedangkan anak murid angkatan muda juga tiada tokoh yang menonjol, kalau nanti pihak Ko-bong-pay datang, pasti Coan-cin-pay mereka akan kalah habis-habisan.
Sebab itulah kelima tokoh Coan-cin-kau itu memutuskan menyepi untuk memikirkan satu macam ilmu silat maha hebat sebagai persiapan untuk menghadapi pihak Ko-bong-pay.
Lantaran itu pula In Ci-peng dipanggil pulang ke Cong-lam-san untuk menerima tugas sebagai pejabat ketua.
Begitulah mereka terus melanjutkan perjalanan ke barat laut, Siao-liong-li masih tetap menguntit di belakang dalam jarak tertentu.
Suatu hari sampailah mereka di wilayah Siam-say, sudah dekat dengan Cong-lam-san. Ci-peng tidak mengerti apa kehendak Siao-liong-li itu yang menguntitnya terus menerus, pikirnya: “Apakah dia hendak melapor kepada Suhuku tentang perbuatanku yang rendah itu atau dia akan mengobrak-abrik Coan-cin-kau lagi untuk menuntut balas sakit hatinya? Atau bisa jadi dia akan pulang ke Ko-bong pay yang satu jurusan dengan kami ini atau… atau….” sampai di sini ia tidak berani melanjutkan pikirannya lagi, yang jelas ia sudah tidak memikirkan mati- hidup selanjutnya, maka rasa takutnya menjadi banyak berkurang pula.
Selang beberapa hari, akhirnya mereka sampai di kaki gunung Cong lam, segera Ci-seng melepaskan sebuah anak panah berwarna. Tak lama kemudian empat Tosu tampak berlari turun dari atas gunung dan memberi hormat kepada Ci-peng serta menyambut kembalinya dengan hangat.
Tosu yang tertua lantas berkata: “Menurut keputusan kelima paman guru, begitu Jing-ho Cin-Jti (gelar agama In Ci-peng) tiba diharuskan segera bertugas sebagai pejabat ketua, tentang upacara serah terima boleh menunggu nanti sehabis Khu-susiok selesai menyepi.”
“Apakah kelima paman guru sudah mulai menyepi,” tanya Ci-peng.
“Sudah mulai 20 hari lebih,” jawab Tosu itu”.Tengah bicara, ber-turut-urut datang pula belasan Tosu yang lain dan menyambut pulangnya ln Ci peng dengan tetabuhan, berbondong-bondong Ci-peng lantas di arak ke atas gunung sehingga Ci-keng tertinggal di belakang tanpa diperhatikan.
Tentu saja Ci-keng mendongkol dan gemas serta iri pula,
namun dalam hati iapun bergirang “Nanti kalau kedudukan pejabat ketua sudah kupegang barulah “kalian tahu rasa.”
 Menjelang petang sampailah rombongan mereka di depan Tiong-yang-kiong, penghuni istana agama yang berjumlah lebih 500 orang itu sama berbaris memanjang di luar pintu disertai suara genta dan tambur yang ditabuh ber-taIu2.
Melihat keadaan yang khidmat itu, Ci-peng yang tadinya lesu itu seketika bersemangat kembali. Di bawah iringan 16 murid tertua ia masuk ke ruangan pendopo untuk memberi sembah kepada lukisan Ong Tiong-yang, yaitu cakal-bakal Coan-cin-kau, lalu masuk lagi ke ruangan berikutnya untuk memberi hormat kepada tujuh kursi yang biasanya menjadi tempat duduk Coan-cin-jit-cu jika berkumpul. Habis itu ia balik lagi ke ruangan pendopo di depan.
Murid Khu Ju-ki yang kedua, yakni Li Ci-iang, lantas mengeluarkan surat keputusan sang ketua dan dibacakan di depan orang banyak, menurut surat keputusan itu, In Ci-peng diperintahkan nenerima jabatan ketua.
Dengan sendirinya Ci-peng berlutut dan menerima perintah itu dengan perasaan terima kasih dan malu. Sekilas ia melihat Ci-keng berdiri di sebelah, air mukanya tersenyum mengejek, seketika hati Ci-peng tergetar.
Sehabis menerima surat perintah itu, Ci-peng berdiri dan hendak memberikan kata sambutan sekadarnya, pada saat itulah tiba-tiba masuk seorang Tosu penjaga dan melapor:
“Lapor ketua, ada tamu di luar.”
Ci-peng melengak, sama sekali tak diduganya bahwa Siao-liong-ii akan berkunjung padanya secara terang-terangan begitu, ia menjadi bingung cara bagaimana harus menghadapinya? Namun urusan sudah telanjur begini, hendak laripun tidak bisa lagi, terpaksa ia berkata: “Silakan tamunya masuk ke sini.”
Tosu itu berlari keluar, tidak lama ia masuk lagi dengan membawa dua orang. Tapi semua orang menjadi heran melihat kedua tamu ini, lebih-lebih Ci-peng, ia tidak tahu untuk maksud apakah kedatangan kedua orang ini.
Kiranya kedua tamu ini yang seorang berdandan sebagai perwira Mongol dan seorang lagi adalah Siau-siang-cu yang pernah dilihatnya di markas Kubilai tempo hari.
“Ada titah Sri Bagtnda Raja memberi anugrah kepada pejabat ketua Coan-cin-kau!” segera perwira Mongol itu berseru lantang, ia terus maju ke tengah dan mengeluarkan segulungan sutera kuning dan di bentang, lalu membaca: “Pejabat ketua Coan-cin-kau dengan ini dianugrahi sebagai pemimpin besar golongan agama To dengan gelar …..”
sampai di sini dilihatnya tiada seorangpun berlutut untuk menerima anugrah itu, maka ia lantas berteriak: “Silakan pejabat ketua menerima titah Sri Baginda ini!”
Ci-peng melangkah maju dan memberi hormat kepada perwira itu, lalu berkata: “Ketua kami Khu-cinjin saat ini sedang menyepi, maka untuk sementara Siauto ditugaskan sebagai pejabat ketua, Anugrah raja Mongol ini bukan ditujukan kepadaku maka Siauto tidak berani menerimanya.”
“Sri Baginda memberi pesan bahwa Khu-cinjin adalah tokoh yang dihormatinya dan diketahui usianya sudah lanjut serta tidak tahu apakah beliau masih sehat atau sudah wafat, sebab itulah anugrah ini bukan ditujukan kepada Khu-cinjin pribadi melainkan ditujukan kepada pejabat ketua Coan-cin-pay sekarang,” demikian kata perwira Mongol itu dengan tertawa.
 “Tapi… tapi Siauto tidak berjasa apa-apa. Sesungguhnya tidak berani terima anugerah,” ujar Ci-peng dengan ragu-ragu.
Tapi perwira itu mendesak akhirnya Ci-peng menambahkan: “Karena persoalan ini cukup penting dan datangnya mendadak, silakan Tayjin duduk minum sebentar di ruangan dalam, biarlah Siauto mengadakan perundingan dahulu dengan para saudara seperguruan.”
Perwira itu tampak kurang senang, apa boleh buat, terpaksa ia menurut bersama Siau-siang-cu mereka lantas dibawa ke ruangan belakang.
Ci-peng sendiri lantas mengundang ke-16 murid tertua Coan-cin-kau untuk berunding di ruangan samping, ia berkata setelah semua orang berduduk: “Urusan ini sangat penting dan Siauto tidak berani memutuskannya sendiri, untuk itu kuingin mendengar bagaimana pendapat saudara2.”
Segera Ci-keng mendahului bicara: “Maksud baik raja MongoI ini harus diterima, hal inipun menandakan Coan-cin-kau semakin jaya, sampai raja Mongol juga tidak berani memandang enteng kepada kita.” Habis berkata, dengan sikap yang gembira ia lantas bergelak tertawa.
“Kukira tidak demikian,” Ci-siang ikut bicara. “Bangsa Mongol menyerbu negeri kita, rakyat jelata kita banyak menjadi korban, mana boleh kita menerima anugrahnya?”
“Dahulu Khu - supek sendiri juga menerima undangan cakal-bakal kerajaan Mongol yang bernama Jengis Khan itu dan jauh-jauh menuju ke daerah barat sana, tatkala itu In-ciangkau dan Li-suheng juga ikut serta, berdasarkan kejadian itu, apa salahnya kalau sekarang kita menerima anugerah raja Mongol?” ujar Ci-keng.
“Waktu itu dan keadaan sekarang sangat berbeda.” Jawab Ci-siang. “Ketika itu pihak Mongol hanya memusuhi kerajaan Kim dan belum menyerbu negara kita, kedua hal ini mana boleh di sama-ratakan?”
“Cong-Iam-san kita ini termasuk wilayah kekuasaan Mongol, kuil kita juga banyak yang tersebar dalam daerah kekuasaan pemerintah Mongol, kalau kita menolak anugerah ini, jelas Coan-cin-kau kita akan segera menghadapi bahaya,” kata Ci-ikeng pula.
“Salah ucapan Tio-suheng ini,” kata Ci-siang.
“Di mana letak salahnya, coba jelaskan.” seru Ci keng aseran.
“Harap Tio-suheng menjawab dulu, siapakah Tiong-yang Cin-jin, cakal bakal agama kita ini?” Dan siapa pula guru kita yang termasuk dalam Coan cin jit-cu ini?” tanya Li Ci-siang dengan tenang.
“Kakek guru dan Suhu kita adalah para pendeta agama yang setia, mereka adalah tokoh termashur di dunia Kangouw, siapa yang tidak menghormat dan mengagumi mereka.” Jawab Ci-keng.
“Bagus! Malahan dapat kutambahkan mereka adalah lelaki sejati, pahlawan besar yang cinta negeri dan pembela bangsa, semuanya pernah berjuang mati-matian dan bertempur melawan penyerbu dari negeri Kim” seru Ci-siang. “Nah, kalau angkatan tua Coan-cin-kau kita tiada seorangpun gentar menghadapi musuh, sekarang biarpun Coan-cin-kau akan tertimpa bahaya, kenapa kita harus takut. Harus diketahui bahwa kepala kita boleh dipenggal, tapi cita2 kita tidak boleh luntur”
 Ucapan Ci-siang ini tegas dan gagah berani sehingga In Ci- peng dan belasan orang lainnya sama terbangkit semangatnya.
“Hm, memangnya cuma Li-suheng saja yang tidak takut mati dan kami ini adalah manusia pengecut semua.” Jengek Ci-keng. “Yang perlu kukemukakan adalah jerih payah Cousuya (cakal-bakal) kita, bahwa Coan-cin-kau bisa berkembang seperti sekarang ini, betapa banyak Co-suya dan ketujuh guru dan paman guru kita telah menegcurkan darah dan keringatnya? Kalau tindakan kita kurang benar sehingga menghancurkan Coau-cin-kau yang ini dalam sekejap mata saja, lalu cara bagaimana kita akan bertanggung-jawab terhadap Cosuya kita di alam baka?. Dan, cara bagaimana pula kita akan memberi alasan bila kelima guru kita nanti habis menyepi?”
Karena ucapannya cukup beralasan, segera ada dua-tiga tosu lain mendukungnya, Segera Cikeng berkata puIa: “Bangsa Kim adalah musuh bebuyutan Coan-cin-kau kita.
bahwa orang Mongol telah menghancurkan kerajaan Kim, hal ini sangat cocok dengan tujuan kita. Kalau saja Cosuya mengetahui hal ini, entah betapa beliau akan bergembira.”
Tiba-tiba salah seorang murid Khu Ju-ki yang lain yakni Ong Ci-heng, ikut bicara: “Jika sehabis menghancurkan kerajaan Kim, lalu orang Mongol bersahabat dengan negeri Song kita, dengan sendirinya kita akan menerima mereka sebagai negeri tetangga yang terhormat. Tapi sekarang pasukan Mongol menyerbu ke selatan dan sedang menggempur Siangyang, tanah air kita terancam bahaya, adalah rakyat jelata Song Raya, mana boleh menerima anugerah raja pihak musuh?”
 Sampai di sini ia terus berpaling kepada In Ci-peng dan menegaskan: “Ciangkau-suheng (kakak guru pejabat ketua), kalau saja engkau menerima anugrah raja MongoI, itu berarti engkau adalah penghianat bangsa, orang berdosa dalam agama kita. Untuk itu sekalipun aku orang she Ong harus mengalirkan darah juga takkan mengampuni kau.”
Mendadak Tio Ci-keng berdiri sambil menggebrak meja, bentaknya: “Ong-sute, apakah kau ingin main kasar? Kau berani bersikap kurangajar, begini terhadap pejabat ketua?”
“Yang kita utamakan adalah kebenaran, kalau perlu main kasar, memangnya kutakut padamu?” jawab Ong Ci-heng dengan suara keras.
Karena sama-sama ngotot, tampaknya kedua pihak segera akan main kepalan dan adu senjata.
Tiba-tiba seorang Tosu bertubuh pendek kecil membuka suara: “Sungguh sayang bahwa di antara kita sendiri. Harus berbeda pendapat. Padahal keadaan sekarang berbeda dengan masa dahulu, Waktu itu Siaute juga ikut ke barat bersama Suhu untuk menemui Jengis Khan, dan menyaksikan sendiri keganasan perajurit Mongol. Kalau sekarang kita menerima anugerah dan menyerah pada Mongol, ini berarti kita membantu pihak yang lalim dan ikut berbuat jahat.”
Tosu pendek kecil ini bernada Song Tek-hai, dia termasuk salah seorang dari ke-18 anak murid yang ikut Khu Ju-ki melawat ke Mongol dahulu.
Ci-keng lantas menjengek: “Hm, kau pernah bertemu dengan Jengis Khan, lantas kau anggap hebat begitu? Sekali ini akupun bertemu sendiri dengan jklik raja Mongol, yaitu Kubilai, Pangeran ini sangat baik hati dan bijaksana, tiada sedikitpun tanda-tanda ganas dan kejam.”
“Aha, bagus! jadi kau mengemban tugas bagi Kubilai untuk menjadi mata2 di sini?” teriak Ong Ci-heng. Ci-keng menjadi gusar “Apa katamu?” bentaknya.
“Siapa yang bicara bagi orang Mongol, dia adalah pengkhianat!” teriak Ong Ci-heng pula.
Dengan murka Ci-keng terus melompat maju, sebelah tangannya terus menghantam kepala Ong Ci-heng. Namun dari samping dua orang murid Khu Ju-ki yang lain telah menangkis pukulannya ini.
“Bagus!” Ci-keng berkaok-kaok terlebih murka. “Anak murid Khu-supek memang banyak, jadi kalau hendak menang2an?”
Dalam keadaan tegang itu, Ci-peng menepuk tangan dan berseru: “Harap para Suheng dan Sute berduduk dengan tenang, dengarkanlah ucapanku.”
Pejabat ketua Coan-cin-kau biasanya memegang kekuasaan tertinggi dan berwibawa, maka para Tosu itu lantas berduduk kembali dan tidak berani bersuara pula.
“Ya, memang seharusnya kita mendengarkan petua pejabat ketua, kalau dia menerima anugerahnya ya terimalah, kalau tidak ya tolak saja, Yang dianugerahi raja Mongol adalah dia dan bukan kau! atau aku, untuk apa kita ribut?” demikian Ci-keng berkata, ia yakin bahwa In Ci-peng pasti akan mengikuti kehendaknya karena rahasia orang sudah terpegang olehnya…
Maka dengan pelahan Ci-peng mulai bicara: “Siaute memang tidak mampu, baru saja diberi tugas pejabat ketua, hari pertama saja ternyata sudah menghadapi persoalan maha penting dan sulit ini. ia merandek sejenak dan termangu-mangu. Sorot mata semua orang sama tertuju padanya, suasana di ruangan itu menjadi hening.
Kemudian Ci-peng melanjutkan “Coan-cin-kau kita didirikan oleh Tiong-yang Cinjin dan dikembangkan oleh Ma-cinjin dan Khu-cinjin, sekarang Siaute menjabat ketua, mana kuberani menentangkan ajaran ketiga Cinjin itu? Coba para Suheng jawab sendiri, selagi negeri kita berada di bawah penindasan pihak Mongol, andaikan ketiga cianpwe kita itu berada disini, mereka akan menerima anugerah raja MongoI ini atau tidak?”
Semua orang terdiam dan sama memikirkan tindak tanduk kaum tua yang disebut itu. Ong Tiong-Sudah lama wafat dan banyak di antara murid angkatan ketiga ini tidak pernah melihatnya, sedangkan Ma Giok juga sudah meninggal dan pribadinya terkenal ramah-tamah, setiap keputusan yang diambil mengutamakan ketenangan.
Tapi Khu Ju-ki berwatak keras, namun berbudi luhur dan berjiwa setia, Teringat kepada Khu Ju-ki, serentak semua orang berteriak: “Khu-cinjin pasti takkan menerima anugerah raja Mongol ini.”
Dengan suara keras Ci-keng lantas berteriak pula: “Tapi pejabat ketua sekarang adalah kau dan bukan Khu-supek.”
“Namun Siauto harus taat kepada ajaran guru, apalagi dosaku teramat besar, matipun belum cukup penebus dosaku,” jawab Ci peng, lalu ia menunduk.
Sudah tentu Tosu Iain tidak tahu arti yang terkandung dalam ucapan Ci-peng itu, hanya Ci-keng yang dapat menangkap maksudnya, ia lantas berbangkit dan menjengek:
“Jika begitu, jadi sudah pasti kau tak mau terima?”
“Jiwaku sesungguhnya tidak berarti, yang utama adalah nama baik Coan cin-kau kita,” jawab Ci peng dengan suara pedih, tapi kemudian suaranya berubah bersemangat ia menyambung pula. “Apalagi saat ini setiap ksatria perlu bersatu untuk melawan musuh dari Iuar. Coan-cin-pay kita terkenal sebagai tulang punggungnya dunia persilatan, kalau kita takluk kepada Mongol, ke mana lagi muka kita ini harus ditaruh?”
Serentak para Tosu itu bersorak gemuruh memuji ketegasan Ci - peng. Yang marah adalah Ci keng, segera ia melangkah pergi. Setiba di ambang pintu ia menoleh dan mendengus: “Goankau-suheng cara bicaramu terdengar bagus sekali, tapi hehe, bagai mana akibatnya persoalan ini tentu kau sendiri sudah memikirkannya.”
Habis berkata ia terus melangkah pergi tanpa berpaling lagi. Beberapa Tosu yang mendukung Tio Ci-keng tadi juga cepat mengeluyur pergi di tengah sanjung puji Tosu yang larut kepada sikap In Ci-peng itu.
Ci-peng tidak bicara lagi, dengan muram ia kembali kekamarnya sendiri, ia tahu setelah mengalami kegagalan tadi, Ci-keng pasti takkan menyerah begitu saja, tentu akan membongkar rahasia perbuatannya yang kotor terhadap Siao-liong-li itu.
Sebenarnya Ci-peng sudah bertekad mati ketika dia menolak anugerah Mongol tadi, selama beberapa bulan ini dia sudah kenyang menahan rasa takut ia tersiksa batinnya, teringat olehnya jika sudah mati maka segala apapun tidak perlu dikuatirkan lagi, maka hatinya menjadi lega malah.
Segera ia menutup pintu kamar dan dipalang, dengan iklas ia melolos pedang terus di gorokkan ke lehernya sendiri.
Mendadak dari belakang rak buku muncul seorang dan cepat merampas pedang In Ci-peng, karena tidak berjaga-jaga, tahu-tahu pedang Ci-peng ini terampas begitu saja.
Keruan Ci-peng terkejut dan cepat menoleh, kiranya yang merampas pedangnya bukan lain daripada Tio Ci-keng.
“Setelah kau merusak nama baik Coan-cin-kau kita, sekarang kau ingin bunuh diri dan habis perkara, begitu?”
jengek Ci-keng, “Nona Liong masih menunggu di luar sana, sebentar kalau dia datang akan meminta keadilan, lalu cara bagaimana kita akan menjawabnya?”
“Baik, akan kutemui dia dan bunuh diri dihadapannya untuk menebus dosaku,” kata Ci-peng.
“Biarpun kau sudah bunuh diri juga urusan tak dapat diselesaikan,” ujar Ci-keng. “Nanti sesudah keluar dari menyepi tentu kelima guru kita akan mengusut persoalanmu.
Sekali nama baik Coan-cin kau kita runtuh, maka selamanya kau akan menjadi orang berdosa.”
Ci-peng merasa terdesak dan bingung, ia metutupi mukanya dan mendadak duduk di lantai, menggumam sendiri: “Habis apa yang harus kulakukan sekarang? Apa yang harus kulakukan?”
Kalau tadi di depan orang banyak ia dapat bicara dengan lancar, sekarang setelah berhadapan sendirian dengan Tio Ci- keng ternyata sedikitpun tidak dapat menguasai diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar