Rabu, 14 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 36


Thia Eng

Kembalinya Pendekar Rajawali 36

Sudah lama Yo Ko ditinggalkan ibundanya, kini ia menjadi terbayang masa anak-anaknya dahulu, ia sangat berterima kasih dan heran juga, “Cici,” tanyanya, “kenapa kau begini baik padaku, sungguh aku tak berani menerimanya.”
“Hanya membikinkan sepotong baju, apanya yang baik?” sahut si gadis, “Kau mati-matian menolong jiwa orang tanpa pikirkan diri sendiri, itu baru pantas dibilang baik budi.”
Pagi hari itu berlalu dengan tenang, lewat lohor kembali si gadis menghadapi meja dan melatih tulis pula, pingin sekali Yo Ko hendak melihat apakah sesungguhnya yang ditulisnya, tapi beberapa kali ia memohon selalu ditolak si gadis.
Kira-kira ada sejam gadis itu tekun menulis, habis selembar ditulisnya, lalu ia termenung-menung, ia robek kertasnya dan kembali menulis lagi, tapi tetap seperti tak memuaskan tulisannya, maka habis tulis lantas dirobek pula, sampai akhirnya terdengar ia menghela napas, lalu tak menulis lebih lanjut.
“Kau pingin makan apa, biar kubuatkan,” tanyanya kemudian pada Yo Ko.
Tergerak pikiran Yo Ko tiba-tiba. “Terima kasih, hanya membikin repot kau saja,” sahutnya.
“Apakah, coba bilang,” kata si gadis.
“Aku sungguh ingin makan bakcang,” ujar Yo Ko.
Gadis itu rada tertegun, tapi segera iapun berkata: “Repot apa, hanya membungkus beberapa kue bakcang saja! Aku sendiri memang juga pingin makan, Kau suka yang manis atau
yang asin?”
“Boleh seadanya, asal ada makan aku sudal puas, mana berani pilih2 lagi?” sahut Yo Ko.
Betul juga, malam itu si gadis telah membuatkan beberapa buah kue bakcang pada Yo Ko, yang manis berisi kacang ijo gula putih, yang asin pakai daging samcan bercampur ham, rasanya lezat tiada bandingan. Keruan saja beruntung sekali mulut si Yo Ko, sembari makan iapun tiada hentinya memuji-muji.
“Kau sungguh pintar, akhirnya dapat kau menerka asal usul diriku,” kata gadis itu kemudian sambil menghela napas.
Yo Ko menjadi heran, ia tidak sengaja menerka, kenapa bilang asal-usul orang kena diterkanya? Namun begitu, ia toh berkata: “Kenapa kau bisa tahu?”
“Ya, kampung halamanku Ohciu tersohor karena makanan kue bakcang, kau tidak minta yang lain tapi justru ingin makan bakcang,” sahut si gadis.
Tergerak pikiran Yo Ko. Teringat olehnya beberapa tahun yang lalu di Ohciu telah dijumpai Kwe Ceng dan Oey Yong, pertemuannya dengan Auwyang Hong dan perkelahiannya melawan Li Bok-chiu, tapi siapakah gerangan si gadis di depan mata ini tetap tak dapat mengingatnya.
Mengenai permintaannya ingin makan bak-cang adalah karena dia mempunyai tujuan lain, pada waktu hampir selesai makan, ketika gadis itu sedikit meleng, mendadak ia lekatkan sepotong bakcang di telapak tangannya dan sedang si gadis bebenah mangkok sumpit ke dapur, cepat sekali ia ambil
seutas benang yang ketinggalan ketika gadis itu menjahit baju untuknya tadi, ujung benang ia ikat bakcang yang ia sisakan tadi terus disambitkan ke meja, sepotong kertas robekan telah melekat oleh kue bakcang itu, lalu ia tarik benang-nya dan membacanya, tapi ia menjadi melongo, kiranya di atas kertas itu tertulis 8 huruf yang maksudnya terang sekali berbunyi:
“Jika sudah kutemukan dikau, betapa aku tidak senang?”
Lekas-lekas Yo Ko sembunyikan kertas itu, ia lemparkan ujung benang dan memancing pula selembar kertas, ia lihat tetap di atasnya tertulis 8 huruf tadi, cuma ada satu huruf yang ikut tersobek.
Hati Yo Ko memukul keras, beruntun-runtun ia sambitkan bakcang itu dan belasan lembar kertas robekan itu kena dipancingnya, tapi apa yang tertulis di atasnya bolak-balik tetap 8 huruf itu2 juga, ia coba selami maksud apa yang terkandung dalam tulisan itu, tanpa terasa ia termangu-mangu sendiri. Tiba-tiba didengarnya suara tindakan orang, gadis tadi telah masuk kamar lagi.
Lekas-lekas Yo Ko selusupkan kertas2 itu ke dalam selimutnya. sementara si gadis kumpulkan sisa-sisa kertas robekan tadi dan dibakarnya keluar kamar.
“Kata-kata “dikau” yang ditulisnya itu jangan-jangan maksudkan aku?” demikian diam-diam Yo Ko berpikir sendiri, “Tapi bercakap saja belum ada beberapa patah kata aku dengan dia, apanya yang menyenangkan dia akan diriku ini?
Bila bukan maksudkan diriku, toh di sini tiada orang lain.”
Sedang ia termenung-menung, gadis itu telah masuk kamar lagi, setelah berdiri sejenak di pinggir jendela, kemudian api lilin disirapnya. Sinar rembulan remang-remang menyorot masuk melalui jendela.
“Cici,” Yo Ko memanggil pelahan.
Tapi gadis itu tak menjawabnya, sebaliknya ia berjalan keluar, Selang tak lama, terdengar di luar ada suara seruling yang ulem, sebuah lagu merdu gayup2 berkumandang.
Pernah Yo Ko rnelihat gadis itu memakai seruIing sebagai senjata menempur Li Bok-chiu, ilmu silatnya tidaklah lemah, siapa duga seruling yang ditiupnya ternyata juga begini enak didengar.
Dulu waktu tinggal di kuburan kuno, di kala iseng ia sering mendengarkan Siao-liong-li mena-buh khim, (kecapi) dan pernah belajar juga beberapa waktu padanya, maka boleh dikatakan iapun sedikit paham seni suara.
Waktu ia mendengarkan terus dengan cermat, akhirnya dapat diketahuinya orang lagi melagukan suatu bagian dari isi kitab “Si-keng” yang terdiri dari lima bait yang memuji seorang laki-laki cakap, laki-laki ini dikatakan ramah tamah dan suci bersih bagai batu jade yang telah diukir dan halus bagai gading yang sudah dikerik.
Setelah mendengarkan lagi, tak tahan Yo Ko getol juga oleh lagu itu, ia lihat di tepi ranjang sana ada sebuah kecapi tujuh senar terletak di atas meja, perlahan-lahan ia berduduk dan mengambil kecapi itu, ia menyetel senarnya lalu ditabuhnya mengiringi suara seruling si gadis.
Kecuali lima bait dalam “Si-keng” itu sebenarnya masih ada beberapa kalimat lanjutannya yang bilang laki-laki sejati yang gagah berani itu sesungguhnya sukar dilupakan orang.
Selagi ia hendak menyambung kalimat2 itu, mendadak suara seruling berhenti.
Yo Ko tertegun, tapi lapat-lapat ia paham juga akan maksud orang: “Ah, maksudnya meniup seruling mula-mula hanya untuk menghibur diri saja, sesudah diiringi suara kecapiku ia tahu perasaannya telah dapat dipecahkan olehku, Tapi karena terputusnya suara seruling yang mendadak ini apa
bukan lebih menandakan akan maksud isi hatinya itu?”
Besok paginya, ketika gadis itu mengantarkan sarapan pagi, ia lihat Yo Ko telah memakai kedok kulit, ia menjadi heran: “He, kenapa kaupun pakai barang ini?” tanyanya tertawa.
“Bukankah ini pemberianmu ?” sahut Yo Ko. “Kau tak mau perlihatkan muka aslimu, biarlah akupun memakai topeng saja.”
Tahulah si gadis bahwa orang sengaja hendak pancing dirinya membuka kedoknya, tapi bila ingat kalau kedoknya ditanggalkan, apa yang terpikir dalam hatinya dengan sendirinya akan tertampak di-wajahnya, hal ini berarti menambah banyak susah baginya, maka kemudian ia menjawab dingin: “Boleh juga bila kau ingin memakainya.”
Habis berkata itu, ia letakkan barang sarapan terus keluar lagi, Sehari itu iapun tidak bicara lagi dengan Yo Ko. Tentu saja pemuda ini rada tak enak, ia kuatir telah membikin marah
padanya, hendak minta maaf pikirnya, tapi tidak pernah lagi gadis itu tinggal sejenak di dalam kamar.
Sampai malamnya, ketika gadis itu bebanah mangkok piring dan hendak keluar lagi, tiba-tiba Yo Ko memanggilnya:
“Cici, tiupan serulingmu itu sangat merdu, sukalah kau meniupnya satu lagu lagi?”
Gadis itu termenung sejurus. “Baiklah,” katanya kemudian.
Lalu iapun pergi mengambil serulingnya, ia duduk didepan ranjang si Yo Ko dan meniupnya pelahan, Lagu yang ditiupnya sekali ini adalah “Geng-sian-khek” atau menyambut tamu dewata lagunya ramah dan hangat seperti tuan rumah yang lagi menjamu tetamunya dengan gembira.
“Kiranya di waktu meniup seruling kaupun memakai kedok dan sama sekali tak ingin kelihatan perasaan hatimu,” demikian Yo Ko membatin.
Tapi sebelum habis selagu ditiup, ketika sinai bulan perlahan-lahan menyorot naik ke dinding, mendadak gadis itu letakkan serulingnya dan menjerit sambil berdiri, suaranya terdengar begitu kaget dan kuatir.
Melihat perubahan orang yang hebat dan aneh ini, seketika Yo Ko ikut terkejut, waktu ia pandang menurut arah sinar mata orang, ia lihat di atas dinding terang kelihatan ada tiga buah cap tangan merah, Ketiga cap tangan ini sangat tinggi, harus melompat baru bisa mencapnya, karena warnanya merah berdarah, di bawah sorotan sinai bulan tampaknya menjadi tambah seram.
“Cici, permainan apakah dan perbuatan siapa kah itu?” tanya Yo Ko tak mengerti akan maksud tiga cap tangan itu.
“Kau tak tahu?” menegas si gadis, “Jik-lian sian-cu !”
“Li Bok-chiu maksudmu?” tanya Yo Ko. “Bilakah ia tinggalkan cap tangan ini?”
“Tentunya pada waktu kau tidur semalam,” kata gadis itu.
“Di sini memangnya ada tiga orang.”
“Tiga orang?” Yo Ko menegas dan tidak paham.
“Ya,” kata si gadis, “la tinggalkan tiga cap tangan, maksudnya ialah memberi peringatan akan membunuh tiga orang penghuni rumah ini”
“Kecuali kau dan aku, siapakah gerangan orang ketiga itu?” tanya Yo Ko.
“Aku,” sambung suara seorang tiba-tiba dari luar. Ketika pintu terpentang, dari luar masuk seorang gadis berbaju kuning muda, perawakannya langsing, raut mukanya potongan daun sirih, siapa lagi dia kalau bukan Liok Bu-siang yang jiwanya pernah beberapa kali ditolong oleh Yo Ko.
“Haha, Tolol, sekali ini giliranmu terluka, ya?” demikian Bu-siang menyapa dengan tertawa.
“Bini…” mendadak Yo Ko berhenti, sebenarnya ia hendak panggil orang “bini cilik”, tapi baru setengah ucapan tiba-tiba  teringat olehnya masih ada gadis berbaju hijau yang ramah itu berdiri disamping, maka iapun tak berani bergurau lagi.
“Piauci, begitu aku terima beritamu, segera juga aku datang ke sini,” kata Bu-siang lagi, “He, Tolol, siapakah yang melukai kau?”
Belum Yo Ko menjawab, tiba-tiba si gadis baju hijau menuding cap tangan di dinding itu.
Seketika Liok Bu-siang berseru kaget, air mukanya berubah hebat bagai melihat momok, pemandangan waktu kecil di kampung halamannya Ling-oh-tin di Ohciu, di mana Li Bok-chiu meninggalkan cap tangan dan membunuh seluruh isi keluarganya tak tertinggal sejiwapun, seketika terbayang olehnya.
Begitulah dalam berdukanya air matanya ber-kilau2 hendak menetes, mendadak ia ulur kedua tangannya dan sekaligus menarik kedua kedok dari muka Yo Ko dan si gadis baju hijau sambil berkata: “Lekasan kita berdaya menghadapi iblis jahat ini, buat apa kalian berdua masih memakai barang tak genah ini.”
Karena ditanggalkannya kedok, seketika mata Yo Ko terbeliak, ia lihat gadis itu berkulit putih bersih bagai salju, parasnya bundar telur dan pipinya terdapat dekik kecil yang manis, meski tak secantik Siao-liong-li yang tiada taranya, tapi terhitung juga satu nona yang amat ayu.
Kiranya gadis ini memang Piauci atau kakak misan Liok Bu-siang, ialah Thia Eng, si gadis cilik pemetik ubi teratai yang kita kenal pada permulaan cerita ini.
Seperti diketahui dahulu ia tertawan Li Bok-chiu dan hampir teraniaya oleh tangan kejinya. Kebetulan Tho-hoa Tocu (pemilik pulau Tho-hoa) Oey Yok-su lewat disitu dan menolong jiwanya.
Sejak puterinya (Oey Yong) menikah, Oey Yok-su lantas mengembara ke mana saja, meski jiwanya sangat sederhana dan terbuka, tapi seorang tua hidup sebatangkara mau-tak-mau terasa kesepian juga.
Tatkala itu Thia Eng yang lemah tiada sandaran telah menimbulkan rasa kasihannya, ia sembuhkan racun luka Thia Eng dan karena gadis cilik ini pintar meladeninya melebihi Oey Yong, maka dari kasihan timbullah rasa sayang hingga akhirnya Oey Yok-su menerimanya sebagai murid secara resmi. Meski kepintaran dan kecerdasan Thia Eng tidak menimpali Oey Yong, tapi ia bisa berlaku sangat hati-hati dan giat belajar, maka berhasil juga dilatih nya tidak sedikit kepandaian kebanggaan Oey Yok su.
Tahun ini baru saja ia tamat belajar ilmu silat permulaannya, ia minta ijin sang guru dan kembali ke utara mencari Piaumoay, kebetulan di tengah jalan diketemukannya
Yo Ko dan Liok Bu-siang yang sedang di-uber-uber Li Bok-chiu, lantas ia bantu memberi peringatan dan tengah malam menolongnya pula.
Habis pertempuran di restoran dan mendadak Yo Ko tinggal pergi tanpa pamit, lalu Thia Eng membawa Liok Bu-siang ke tanah pegunungan sunyi ini dan mendirikan gubuk untuk merawat lukanya, Beberapa hari yang lalu setelah luka Liok Bu-siang sembuh sama sekali, gadis ini pesiar keluar dengan seorang kawannya, siapa tahu di tengah jajan dipergokinya Oey Yong lagi bertahan melawan Kim-lun Hoat-ong dengan memasang “Loan-ciok-tin”
Tentang ilmu pengetahuan yang aneh-aneh itu pernah juga Thia Eng belajar dari Oey Yok-su, meski tak banyak yang dipahaminya, tapi sedikit yang dipelajarinya itu secara kebetulan Yo Ko dapat ditolongnya.
Kini tiga muda-mudi berkumpul ketika membicarakan Li Bok-chiu barulah mereka tahu di waktu kecilnya pernah bertemu di 0hciu. Sebelah mata Li Bok-chiu buta justru karena
dipatuk burung merahnya Yo Ko.
Tatkala itu Li Bok-chiu kena diatasi Oey Yok-su hingga pernah ditempeleng empat kali oleh Thia Eng. Paling akhir ini Liok Bu-siang telah menggondol lari kitab pusakanya: “Panca-bisa”, tentu saja gadis ini lebih-lebih ingin dibekuknya.
Kalau dibicarakan, maka ketiga muda-mudi ini semua adalah musuh besar Jik-lian-sian-cu, kini mendadak ia datang lagi, ia tak mau binasakan Yo Ko secara diam-diam selagi orang terluka, tetapi malah tinggalkan tanda peringatan tiga cap tangan, suatu tanda ia sudah yakin tiga sasarannya ini tidak nanti bisa loIos.
Yo Ko sendiri terluka dan tak bisa berkutik, kalau melulu andalkan Thia Eng dan Liok Bu-siang sesungguhnya susah melawannya, setelah ketiga orang berunding, merekapun merasa tak berdaya.
“Aku masih ingat tempo dulu iblis ini mendatangi rumah Piaumoay waktu hari hampir terang tanah,” demikian kata Thia Eng, “kini kalau dia datang juga sebelum fajar tiba, sementara ini kita masih ada waktu beberapa jam, kuda tunggangan Yo-heng sangat bagus, biarlah sekarang juga kita lari, belum tentu iblis itu bisa menyandak kita.”
“Ya, bagaimana Tolol, kau terluka, sanggup naik kuda tidak?” tanya Bu-siang.
“Terpaksa harus dicoba juga,” sahut Yo Ko. “Daripada mati konyol di tangan iblis ini.”
“Piauci”, kata Bu-siang pula, “kau kawani si Tolol lari ke
barat, aku nanti pancing dia kejar ke timur.”
“Tidak, kau saja yang temani Yo-heng,” sahut Thia Eng rada jengah, “Diantara kita bertiga permusuhanku dengan dia paling ringan, sekalipun aku tertangkap belum pasti dia membunuh aku, sebaliknya bila kau yang terpegang, dapat dipastikan kau bakal celaka,”
“Tujuan kedatangannya ini adalah diriku, kalau ia dapatkan aku bersama dengan si Tolol ini, bukankah akan bikin susah dia?” ujar Bu-siang.
Terharu sekali Yo Ko mendengar pembicaraan mereka, ia pikir kedua nona ini ternyata berbudi luhur semua, dalam keadaan berbahaya dengan sukarela bersedia menolong jiwanya, kalau aku sampai ketangkap dan tewas oleh iblis itu, hidupku ini rasanya pun tidak sia-sia.
“He, Tolol, coba katakan, kau suka lari diiringi Piauci atau dikawani aku?” tiba-tiba didengar-Bu-siang bertanya.
Belum Yo Ko menjawab, Thia Eng telah menyela: “Kenapa kau terus memanggilnya Tolol, apa kau tak takut Yo-heng menjadi marah?”
Bu-siang melelet lidah jenaka, lalu dengan tertawa ia bilang: “Coba begitu ramah kau terhadapnya, tentu saja engkoh Tolol ini pilih diiring kau.” Dari sebutan “Tolol” sekarang ia ganti dengan memanggil engkoh Tolol, hal ini boleh dikatakan Bu-siang telah menaikkan harga si Yo Ko.
Keruan saja Thia Eng merah jengah, “Eh, bukankah orang juga panggil kau/bini cilik? Dan sebagai bini cilik tak mengurusnya, lalu kiramu siapa yang akan urus dia?”
demikian batasnya menggoda Dengan begitu giliran Liok Bu-siang kini yang merah jengah, ia ulur tangan lantas akan meng-kili2 Thia Eng dan terjadilah udak-udakan. Suasana dalam kamar seketika menjadi berubah, mereka bertiga tidak ketakutan lagi seperti mula-mula tadi.
“Kalau nona Thia yang iringi aku lari, tentu bini cilik berbahaya jiwanya, sebaliknya bila bini cilik yang kawani aku, nona Thia juga amat ber-bahaya,” demikian Yo Ko berpikir.
Karena itu, begini baik padaku, sungguh aku berterima kasih sekali. Maka kupikir paling baik kalian berdua lekas menyingkir dari sini, biar aku tinggal sendiri melayani iblis itu. Guruku dan dia adalah saudara seperguruan, rasanya ia akan ingat pada hubungan perguruan, pula ia takut pada guruku, agaknya tidak sampai berbuat apa-apa padaku”
“Tidak, tidak,” sela Bu-siang sebelum Yo Ko selesai.
Yo Ko menduga kedua nona itu tidak nanti mau melarikan diri meninggalkan dirinya, maka dengan suara lantang ia bilang lagi: “Kalau begitu biarlah kita bertiga menempuh jalan bersama, kalau benar-benar terkejar oleh iblis itu, kita bertiga lawan saja mati-matian, hidup atau mati biarlah terserah takdir.”
“Baiklah, begini paling baik,” sahut Bu-siang setuju.
“Datang dan perginya iblis itu sangat cepat, kalau kita berjalan bersama pasti akan disusul olehnya”, ujar Thia Eng sesudah merenung sejenak “Daripada bergebrak dengan dia di tengah jalan, adalah lebih baik di sini saja kita tunggu dia?”
“Ya, betul,” kata Yo Ko. “Cici mahir ilmu pengetahuan yang aneh-aneh sampai Kim-lun Hoat-ong juga kena kau kurung, tentu Jik-lian-sian-cu juga belum bisa membobolnya.”
Karena kata-kata Yo Ko ini, pada ketiga orang ini lantas timbul sinar harapan.
“Barisan batu-batu itu adalah Kwe-hujin yang reka, aku hanya ikut merubahnya saja, kalau aku sendiri harus memasangnya, inilah belum cukup kepandaianku. Tapi biarlah, kita usahakan sebisanya menurut nasib,” demikian kata Thia Eng, “Piaumoay, marilah kau membantu aku.”
Lalu kedua saudara misan itu membawa alat-alat cangkul dan sekop keluar rumah, mereka menggali tanah dan menumpuk batu. Setelah sibuk lebih satu jam, sayup-sayup terdengar ayam berkokok di kejauhan, sementara itu Thia Eng sudah mandi keringat karena kerja keras itu.
Waktu dipandangnya gundukan tanah yang dia tumpuk dan atur itu, kalau dibanding barisan batu yang dipasang Oey Yong, sesungguhnya daya-gunanya masih selisih jauh, diam-diam Thia Eng bersedih, “Kepintaran Kwe-hujin sungguh beratus kali lebih tinggi dariku. Ai, dengan gundukan tanah yang kasar jelek ini rasanya sulit hendak merintangi Jik-lian-sian-cu itu”, demikian ia mengeluh. Tapi karena kuatir Piaumoay dan Yo Ko ikut ber-sedih, maka pikirannya ini tak diutarakannya.
Setelah sibuk “kerja-bakti”, di bawah sinar bulan remang- remang Bu-siang melihat wajah sang Piauci agak berlainan, ia tahu pasti orang tak yakin bisa menahan musuh. Tiba-tiba ia keluarkan sejilid kitab-dari bajunya, ia masuk rumah dan diangsurkan pada Yo Ko.
“ToloI, inilah kitab “panca-bisa” guruku itu,” katanya.
Melihat kulit kitab itu merah bagai darah. Yo Ko rada terkesiap.
“Aku telah membohongi Suhu bahwa kitab itu telah direbut Kay-pang, maka kuatir bila sebentar lagi aku tertangkap olehnya bisa digeledahnya,” kata Bu-siang. “Maka bolehlah kau membacanya sekali, setelah kau apalkan lalu bakar saja sekalian.”
Biasanya kalau bicara dengan Yo Ko selamanya Bu-siang suka olok-olok dan main bengis, tapi disaat jiwa terancam, ia tidak sempat berkelakar Iagi.
Melihat sikap si gadis muram durja, Yo Ko mengangguk dan terima kitab itu.
Lalu Bu-siang keluarkan lagi sepotong sapu tangan sulaman, dengan suara lirih ia bilang lagi: “Jika tak beruntung kaupun jatuh di tangan iblis itu dan dia hendak celakai jiwamu, hendaklah kau lantas unjukkan sapu tangan ini padanya.”
Yo Ko lihat sapu tangan itu yang sebelah jelas kelihatan bekas sobek, bunga merah sulam juga tersobek separoh, ia tak tahu maksud Bu-siang, maka ia bingung tak menerima.
“Apakah ini?” tanyanya.
“Aku minta kau sampaikan ini padanya, maukah kau?” sahut Bu-siang.
Yo Ko angguk-angguk, lalu terima dan ditaroh samping bantalnya.
Tapi tiba-tiba Bu-siang mendekatinya dan ambil saputangan itu terus dimasukkan ke baju Yo Ko, mendadak diciumnya bau khas orang laki-laki teringat olehnya
pengalaman tempo hari pernah bajunya dilepas pemuda ini dan menyambung tulangnya, malahan pernah tidur bersama seranjang, terguncanglah hatinya, ia pandang Yo Ko sekejap, lalu keluar kamar.
Melihat kerlingan mata si gadis sebelum pergi ini penuh arti, hati Yo Ko ikut terguncang keras.
Selang tak lama barulah ia membalik halaman2 kitab “panca-bisa”, ia lihat kitab itu sudah berubah kuning saking tuanya, apa yang tertulis ialah sebangsa pelajaran cara-cara menangkap makluk berbisa,merendam senjata rahasia dengan racun serta cara-cara pengobatannya.
Dari awal sampai akhir Yo Ko baca kitab “Panca-bisa” itu sampai beberapa kali dan mengingatnya baik-baik. Ibunya tewas karena pagutan ular berbisa, peristiwa ini meninggalkan
luka yang dalam di hati sanuharinya, maka demi dilihatnya kitab itu tercatat begitu banyak dan jelas tentang cara-cara membuat racun serta cara mengobatinya, tanpa terasa ia berpikir:
“Ah, jika dulu2 aku paham begini banyak cara menyembuhkan racun yang bagus ini, tentulah aku dapat menolong jiwa ibuku, Dan ia pasti akan kasih-saysng padaku dan tidak sampai ter-lunta2 menjadi yatim-piatu seperti sekarang ini.” Teringat akan itu, tak tahan lagi air matanya me-netes2 ke atas kitab itu.
Tiba-tiba didengarnya suara pintu didorong, ketika ia memandang, ia lihat Thia Eng dengan kedua pipi merah jengah lagi mendekati pembaringan-nya, pada jidat gadis ini masih penuh butir2 keringat
“Yo-heng, aku telah pasang barisan gundukan tanah diluar pintu, tapi paling banyak hanya sekadar merintangi saja, untuk menahan iblis terkutuk itu terang sukar,” demikian kata
Thia Eng perlahan sambil keluarkan sepotong saputangan sutra dari bajunya dan diangsurkan pada Yo Ko, “Maka bila sampai iblis itu menerjang masuk, serahkanlah saputangan ini padanya.”
Yo Ko lihat saputangan ini hanya separuh juga, kainnya dan kembangnya serupa dengan potongan saputangan yang diterimanya dari Bu-siang tadi, ia menjadi heran sekali. Waktu ia angkat kepala, tiba-tiba sinar matanya kebentrok dengan sinar mata -si gadis, di bawah sorot lampu dilihatnya airmata mengaca di kelopak matanya dengan wajah malu-malu girang, selagi Yo Ko hendak tanya, tiba-tiba muka Thia Eng merah dan berkata pula lirih:
“Sekali-kali jangan diketahui Piaumoayku.” Habis ini iapun jalan keluar.
Yo Ko keluarkan setengah saputangan yang diterimanya dari Liok Bu-siang tadi dan digabung menjadi satu, nyata kedua belah saputangan itu persis berwujud selembar, Cuma saputangan itu sudah terlalu tua sutera putih sudah berubah kuning, hanya bunga merah sulaman itu kelihatan masih segar.
Yo Ko tahu saputangan ini pasti mengandung arti yang dalam, cuma kedua gadis itu mengapa masing-masing menyerahkannya separoh? Dan kenapa ingin serahkan pada Li Bok-chiu dan mengapa tidak diketahui masing-masing pihak?
Sedang diwaktu memberikan saputangan wajah kedua gadis itu mengunjuk rasa malu-malu!
Nyata karena hati Yo Ko sudah tertambat atas diri Siao-liong-li, terhadap Liok Bu-siang dan Thia Eng hanya anggap sebagai sahabat baik saja, sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa kedua gadis itu sebenarnya sangat mendalam mencintai-nya, sudah terang saputangan itu akan merindukan Li Bok-chiu pada kisah asmaranya dulu dan akan mengampuni jiwa mereka, tapi mereka justru memberikan itu padanya.
Begitulah Yo Ko termangu-mangu duduk di atas ranjangnya, tiba-tiba didengarnya suara ayam berkokok lagi dikejauhan, menyusul mana terdengar juga suara suling yang merdu, kiranya Thia Eng telah meniup serulingnya, agaknya sesudah atur barisan gundukan tanah dan merasa lega, maka ditiupnya sebuah lagu “liu-po”, suara sulingnya halus tenang tak berduka, suatu tanda orang lagi merasa senang tanpa kuatir sesuatu.
Setelah dengar sejurus, tiba-tiba Yo Ko ambil kecapi dan mengiringi seruling orang, suara kecapi itu nyaring hingga merupakan paduan suara yang sangat serasi dengan suara seruling.
Bu-siang duduk di belakang gundukan tanah, ia terpesona mendengarkan sang Piauci meniup seruling mengiringi suara kecapi Yo Ko, sementara itu ufuk timur sudah remang-remang, fajar telah mendatang, tak tahan lagi ia berpikir: “Ah, sekejap lagi Suhu bakal datang, jiwaku tak nanti bisa tertolong dalam sejam ini. Harap saja Suhu melihat sapu-tangan itu dan mengampuni jiwa Piauci dan dia, mereka berdua…”
Sebenarnya watak Bu-siang nakal dan licin, biasanya Thia Eng suka mengalah padanya sejak kecil. Tapi dalam keadaan bahaya sekarang, dalam hati Bu-siang justru berharap Yo Ko bisa selamat, cintanya ternyata sudah mendalam dan diam- diam berdo’a agar pemuda itu terhindar dari malapetaka.
Selagi termangu-mangu, ketika mendadak ia angkat kepalanya, tiba-tiba dilihatnya di luar gundukan tanah sana sudah berdiri seorang Tokoh (imam wanita) berjubah putih, tangan kanan membawa kebut, siapa lagi kalau bukan Suhunya, Li Bok-chiu.
Bu-siang berseru tertahan, cepat ia lolos pedang dan berdiri, sementara itu Yo Ko lagi tabuh khim dan sampai pada saat yang tegang, Thia Eng juga lagi asyik meniup serulingnya, perhatian mereka penuh dicurahkan pada alat musik mereka meski Bu-siang menjerit tertahan, namun ternyata tak digubrisnya.
Tapi aneh juga, Li Bok-chiu hanya berdiri tegak tak bergerak, ia malah pasang kuping mendengarkan dengan cermat.
Kiranya suara paduan khim dan siau (seruling) itu mengingatkannya pada masa mudanya waktu sama-sama main musik dengan kekasihnya, Liok Tian-goan, malahan lagu
“liu-po” yang dibawakan orang sekarang ini adalah lagu yang
sering dibawa-kannya dahulu.
Kejadian itu sudah lalu berpuluh tahun, tapi kenangan itu sukar dilupakan, maka diam-diam ia berdiri di luar sana mendengarkan suara kecapi dan seruling yang sahut menyahut dengan mesranya, tiba-tiba ia berduka, sekonyong-konyong ia menangis tergerung-gerung keras.
Tangisannya yang amat sedihnya ini membikin Liok Bu-
siang tak mengerti, biasanya gurunya terkenal kejam, mana pernah mengunjuk hati lemah? Kini terang-terangan ia datang hendak membunuh orang, kenapa malah menangis di luar pintu? Dan bila didengarnya tangisan Li Bok-chiu begitu sedih memilukan, tak tahan iapun menangis.
Dan karena menangisnya Li Bok-chiu itu, segera Yo Ko dan Thia Eng mengetahuinya juga, suara khim dan siau mereka rada terpengaruh hingga sedikit kacau iramanya.
Tergerak pikiran Li Bok-chiu, mendadak dari menangis ia berubah menyanyi keras dengan suaranya yang memilukan.
Sebenarnya suara khim dan siau tadi penuh membawa perasaan gembira, tapi karena nyanyian Li Bok-chiu yang bukan saja syairnya sangat sedih, nadanya pun amat memilukan, bahkan iramanya berlainan sama sekali dengan lagu Yo Ko berdua, baru saja Li Bok-chiu mulai menyanyi, suara seruling Thia Eng segera hampir-hampir mengikuti iramanya.
Keruan Yo Ko terkejut, lekas-lekas ia tambahi suara kecapinya lebih keras dan menarik kembali suara seruling Thia Eng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar