Thia Eng |
Kembalinya Pendekar Rajawali 36
Sudah lama Yo Ko ditinggalkan ibundanya, kini
ia menjadi terbayang masa anak-anaknya dahulu, ia sangat berterima kasih dan
heran juga, “Cici,” tanyanya, “kenapa kau begini baik padaku, sungguh aku tak
berani menerimanya.”
“Hanya membikinkan sepotong baju, apanya yang
baik?” sahut si gadis, “Kau mati-matian menolong jiwa orang tanpa pikirkan diri
sendiri, itu baru pantas dibilang baik budi.”
Pagi hari itu berlalu dengan tenang, lewat
lohor kembali si gadis menghadapi meja dan melatih tulis pula, pingin sekali Yo
Ko hendak melihat apakah sesungguhnya yang ditulisnya, tapi beberapa kali ia
memohon selalu ditolak si gadis.
Kira-kira ada sejam gadis itu tekun menulis,
habis selembar ditulisnya, lalu ia termenung-menung, ia robek kertasnya dan
kembali menulis lagi, tapi tetap seperti tak memuaskan tulisannya, maka habis
tulis lantas dirobek pula, sampai akhirnya terdengar ia menghela napas, lalu
tak menulis lebih lanjut.
“Kau pingin makan apa, biar kubuatkan,”
tanyanya kemudian pada Yo Ko.
Tergerak pikiran Yo Ko tiba-tiba. “Terima
kasih, hanya membikin repot kau saja,” sahutnya.
“Apakah, coba bilang,” kata si gadis.
“Aku sungguh ingin makan bakcang,” ujar Yo
Ko.
Gadis itu rada tertegun, tapi segera iapun
berkata: “Repot apa, hanya membungkus beberapa kue bakcang saja! Aku sendiri
memang juga pingin makan, Kau suka yang manis atau
yang asin?”
“Boleh seadanya, asal ada makan aku sudal
puas, mana berani pilih2 lagi?” sahut Yo Ko.
Betul juga, malam itu si gadis telah membuatkan
beberapa buah kue bakcang pada Yo Ko, yang manis berisi kacang ijo gula putih,
yang asin pakai daging samcan bercampur ham, rasanya lezat tiada bandingan.
Keruan saja beruntung sekali mulut si Yo Ko, sembari makan iapun tiada hentinya
memuji-muji.
“Kau sungguh pintar, akhirnya dapat kau
menerka asal usul diriku,” kata gadis itu kemudian sambil menghela napas.
Yo Ko menjadi heran, ia tidak sengaja
menerka, kenapa bilang asal-usul orang kena diterkanya? Namun begitu, ia toh
berkata: “Kenapa kau bisa tahu?”
“Ya, kampung halamanku Ohciu tersohor karena
makanan kue bakcang, kau tidak minta yang lain tapi justru ingin makan
bakcang,” sahut si gadis.
Tergerak pikiran Yo Ko. Teringat olehnya
beberapa tahun yang lalu di Ohciu telah dijumpai Kwe Ceng dan Oey Yong,
pertemuannya dengan Auwyang Hong dan perkelahiannya melawan Li Bok-chiu, tapi
siapakah gerangan si gadis di depan mata ini tetap tak dapat mengingatnya.
Mengenai permintaannya ingin makan bak-cang
adalah karena dia mempunyai tujuan lain, pada waktu hampir selesai makan,
ketika gadis itu sedikit meleng, mendadak ia lekatkan sepotong bakcang di
telapak tangannya dan sedang si gadis bebenah mangkok sumpit ke dapur, cepat
sekali ia ambil
seutas benang yang ketinggalan ketika gadis
itu menjahit baju untuknya tadi, ujung benang ia ikat bakcang yang ia sisakan
tadi terus disambitkan ke meja, sepotong kertas robekan telah melekat oleh kue
bakcang itu, lalu ia tarik benang-nya dan membacanya, tapi ia menjadi melongo,
kiranya di atas kertas itu tertulis 8 huruf yang maksudnya terang sekali
berbunyi:
“Jika sudah kutemukan dikau, betapa aku tidak
senang?”
Lekas-lekas Yo Ko sembunyikan kertas itu, ia
lemparkan ujung benang dan memancing pula selembar kertas, ia lihat tetap di
atasnya tertulis 8 huruf tadi, cuma ada satu huruf yang ikut tersobek.
Hati Yo Ko memukul keras, beruntun-runtun ia
sambitkan bakcang itu dan belasan lembar kertas robekan itu kena dipancingnya,
tapi apa yang tertulis di atasnya bolak-balik tetap 8 huruf itu2 juga, ia coba
selami maksud apa yang terkandung dalam tulisan itu, tanpa terasa ia
termangu-mangu sendiri. Tiba-tiba didengarnya suara tindakan orang, gadis tadi
telah masuk kamar lagi.
Lekas-lekas Yo Ko selusupkan kertas2 itu ke
dalam selimutnya. sementara si gadis kumpulkan sisa-sisa kertas robekan tadi
dan dibakarnya keluar kamar.
“Kata-kata “dikau” yang ditulisnya itu
jangan-jangan maksudkan aku?” demikian diam-diam Yo Ko berpikir sendiri, “Tapi
bercakap saja belum ada beberapa patah kata aku dengan dia, apanya yang
menyenangkan dia akan diriku ini?
Bila bukan maksudkan diriku, toh di sini
tiada orang lain.”
Sedang ia termenung-menung, gadis itu telah
masuk kamar lagi, setelah berdiri sejenak di pinggir jendela, kemudian api
lilin disirapnya. Sinar rembulan remang-remang menyorot masuk melalui jendela.
“Cici,” Yo Ko memanggil pelahan.
Tapi gadis itu tak menjawabnya, sebaliknya ia
berjalan keluar, Selang tak lama, terdengar di luar ada suara seruling yang
ulem, sebuah lagu merdu gayup2 berkumandang.
Pernah Yo Ko rnelihat gadis itu memakai
seruIing sebagai senjata menempur Li Bok-chiu, ilmu silatnya tidaklah lemah,
siapa duga seruling yang ditiupnya ternyata juga begini enak didengar.
Dulu waktu tinggal di kuburan kuno, di kala
iseng ia sering mendengarkan Siao-liong-li mena-buh khim, (kecapi) dan pernah
belajar juga beberapa waktu padanya, maka boleh dikatakan iapun sedikit paham
seni suara.
Waktu ia mendengarkan terus dengan cermat,
akhirnya dapat diketahuinya orang lagi melagukan suatu bagian dari isi kitab
“Si-keng” yang terdiri dari lima bait yang memuji seorang laki-laki cakap,
laki-laki ini dikatakan ramah tamah dan suci bersih bagai batu jade yang telah
diukir dan halus bagai gading yang sudah dikerik.
Setelah mendengarkan lagi, tak tahan Yo Ko
getol juga oleh lagu itu, ia lihat di tepi ranjang sana ada sebuah kecapi tujuh
senar terletak di atas meja, perlahan-lahan ia berduduk dan mengambil kecapi
itu, ia menyetel senarnya lalu ditabuhnya mengiringi suara seruling si gadis.
Kecuali lima bait dalam “Si-keng” itu
sebenarnya masih ada beberapa kalimat lanjutannya yang bilang laki-laki sejati
yang gagah berani itu sesungguhnya sukar dilupakan orang.
Selagi ia hendak menyambung kalimat2 itu,
mendadak suara seruling berhenti.
Yo Ko tertegun, tapi lapat-lapat ia paham
juga akan maksud orang: “Ah, maksudnya meniup seruling mula-mula hanya untuk
menghibur diri saja, sesudah diiringi suara kecapiku ia tahu perasaannya telah
dapat dipecahkan olehku, Tapi karena terputusnya suara seruling yang mendadak
ini apa
bukan lebih menandakan akan maksud isi hatinya
itu?”
Besok paginya, ketika gadis itu mengantarkan
sarapan pagi, ia lihat Yo Ko telah memakai kedok kulit, ia menjadi heran: “He,
kenapa kaupun pakai barang ini?” tanyanya tertawa.
“Bukankah ini pemberianmu ?” sahut Yo Ko.
“Kau tak mau perlihatkan muka aslimu, biarlah akupun memakai topeng saja.”
Tahulah si gadis bahwa orang sengaja hendak
pancing dirinya membuka kedoknya, tapi bila ingat kalau kedoknya ditanggalkan,
apa yang terpikir dalam hatinya dengan sendirinya akan tertampak di-wajahnya,
hal ini berarti menambah banyak susah baginya, maka kemudian ia menjawab
dingin: “Boleh juga bila kau ingin memakainya.”
Habis berkata itu, ia letakkan barang sarapan
terus keluar lagi, Sehari itu iapun tidak bicara lagi dengan Yo Ko. Tentu saja
pemuda ini rada tak enak, ia kuatir telah membikin marah
padanya, hendak minta maaf pikirnya, tapi
tidak pernah lagi gadis itu tinggal sejenak di dalam kamar.
Sampai malamnya, ketika gadis itu bebanah
mangkok piring dan hendak keluar lagi, tiba-tiba Yo Ko memanggilnya:
“Cici, tiupan serulingmu itu sangat merdu,
sukalah kau meniupnya satu lagu lagi?”
Gadis itu termenung sejurus. “Baiklah,”
katanya kemudian.
Lalu iapun pergi mengambil serulingnya, ia
duduk didepan ranjang si Yo Ko dan meniupnya pelahan, Lagu yang ditiupnya
sekali ini adalah “Geng-sian-khek” atau menyambut tamu dewata lagunya ramah dan
hangat seperti tuan rumah yang lagi menjamu tetamunya dengan gembira.
“Kiranya di waktu meniup seruling kaupun
memakai kedok dan sama sekali tak ingin kelihatan perasaan hatimu,” demikian Yo
Ko membatin.
Tapi sebelum habis selagu ditiup, ketika
sinai bulan perlahan-lahan menyorot naik ke dinding, mendadak gadis itu
letakkan serulingnya dan menjerit sambil berdiri, suaranya terdengar begitu
kaget dan kuatir.
Melihat perubahan orang yang hebat dan aneh
ini, seketika Yo Ko ikut terkejut, waktu ia pandang menurut arah sinar mata
orang, ia lihat di atas dinding terang kelihatan ada tiga buah cap tangan
merah, Ketiga cap tangan ini sangat tinggi, harus melompat baru bisa mencapnya,
karena warnanya merah berdarah, di bawah sorotan sinai bulan tampaknya menjadi
tambah seram.
“Cici, permainan apakah dan perbuatan siapa
kah itu?” tanya Yo Ko tak mengerti akan maksud tiga cap tangan itu.
“Kau tak tahu?” menegas si gadis, “Jik-lian
sian-cu !”
“Li Bok-chiu maksudmu?” tanya Yo Ko. “Bilakah
ia tinggalkan cap tangan ini?”
“Tentunya pada waktu kau tidur semalam,” kata
gadis itu.
“Di sini memangnya ada tiga orang.”
“Tiga orang?” Yo Ko menegas dan tidak paham.
“Ya,” kata si gadis, “la tinggalkan tiga cap
tangan, maksudnya ialah memberi peringatan akan membunuh tiga orang penghuni
rumah ini”
“Kecuali kau dan aku, siapakah gerangan orang
ketiga itu?” tanya Yo Ko.
“Aku,” sambung suara seorang tiba-tiba dari
luar. Ketika pintu terpentang, dari luar masuk seorang gadis berbaju kuning
muda, perawakannya langsing, raut mukanya potongan daun sirih, siapa lagi dia
kalau bukan Liok Bu-siang yang jiwanya pernah beberapa kali ditolong oleh Yo
Ko.
“Haha, Tolol, sekali ini giliranmu terluka,
ya?” demikian Bu-siang menyapa dengan tertawa.
“Bini…” mendadak Yo Ko berhenti, sebenarnya
ia hendak panggil orang “bini cilik”, tapi baru setengah ucapan tiba-tiba
teringat olehnya masih ada gadis berbaju hijau yang ramah itu berdiri
disamping, maka iapun tak berani bergurau lagi.
“Piauci, begitu aku terima beritamu, segera
juga aku datang ke sini,” kata Bu-siang lagi, “He, Tolol, siapakah yang melukai
kau?”
Belum Yo Ko menjawab, tiba-tiba si gadis baju
hijau menuding cap tangan di dinding itu.
Seketika Liok Bu-siang berseru kaget, air
mukanya berubah hebat bagai melihat momok, pemandangan waktu kecil di kampung
halamannya Ling-oh-tin di Ohciu, di mana Li Bok-chiu meninggalkan cap tangan
dan membunuh seluruh isi keluarganya tak tertinggal sejiwapun, seketika
terbayang olehnya.
Begitulah dalam berdukanya air matanya
ber-kilau2 hendak menetes, mendadak ia ulur kedua tangannya dan sekaligus
menarik kedua kedok dari muka Yo Ko dan si gadis baju hijau sambil berkata:
“Lekasan kita berdaya menghadapi iblis jahat ini, buat apa kalian berdua masih
memakai barang tak genah ini.”
Karena ditanggalkannya kedok, seketika mata
Yo Ko terbeliak, ia lihat gadis itu berkulit putih bersih bagai salju, parasnya
bundar telur dan pipinya terdapat dekik kecil yang manis, meski tak secantik
Siao-liong-li yang tiada taranya, tapi terhitung juga satu nona yang amat ayu.
Kiranya gadis ini memang Piauci atau kakak
misan Liok Bu-siang, ialah Thia Eng, si gadis cilik pemetik ubi teratai yang
kita kenal pada permulaan cerita ini.
Seperti diketahui dahulu ia tertawan Li
Bok-chiu dan hampir teraniaya oleh tangan kejinya. Kebetulan Tho-hoa Tocu
(pemilik pulau Tho-hoa) Oey Yok-su lewat disitu dan menolong jiwanya.
Sejak puterinya (Oey Yong) menikah, Oey
Yok-su lantas mengembara ke mana saja, meski jiwanya sangat sederhana dan
terbuka, tapi seorang tua hidup sebatangkara mau-tak-mau terasa kesepian juga.
Tatkala itu Thia Eng yang lemah tiada
sandaran telah menimbulkan rasa kasihannya, ia sembuhkan racun luka Thia Eng
dan karena gadis cilik ini pintar meladeninya melebihi Oey Yong, maka dari
kasihan timbullah rasa sayang hingga akhirnya Oey Yok-su menerimanya sebagai
murid secara resmi. Meski kepintaran dan kecerdasan Thia Eng tidak menimpali
Oey Yong, tapi ia bisa berlaku sangat hati-hati dan giat belajar, maka berhasil
juga dilatih nya tidak sedikit kepandaian kebanggaan Oey Yok su.
Tahun ini baru saja ia tamat belajar ilmu
silat permulaannya, ia minta ijin sang guru dan kembali ke utara mencari
Piaumoay, kebetulan di tengah jalan diketemukannya
Yo Ko dan Liok Bu-siang yang sedang
di-uber-uber Li Bok-chiu, lantas ia bantu memberi peringatan dan tengah malam
menolongnya pula.
Habis pertempuran di restoran dan mendadak Yo
Ko tinggal pergi tanpa pamit, lalu Thia Eng membawa Liok Bu-siang ke tanah
pegunungan sunyi ini dan mendirikan gubuk untuk merawat lukanya, Beberapa hari
yang lalu setelah luka Liok Bu-siang sembuh sama sekali, gadis ini pesiar
keluar dengan seorang kawannya, siapa tahu di tengah jajan dipergokinya Oey
Yong lagi bertahan melawan Kim-lun Hoat-ong dengan memasang “Loan-ciok-tin”
Tentang ilmu pengetahuan yang aneh-aneh itu
pernah juga Thia Eng belajar dari Oey Yok-su, meski tak banyak yang
dipahaminya, tapi sedikit yang dipelajarinya itu secara kebetulan Yo Ko dapat
ditolongnya.
Kini tiga muda-mudi berkumpul ketika membicarakan
Li Bok-chiu barulah mereka tahu di waktu kecilnya pernah bertemu di 0hciu.
Sebelah mata Li Bok-chiu buta justru karena
dipatuk burung merahnya Yo Ko.
Tatkala itu Li Bok-chiu kena diatasi Oey
Yok-su hingga pernah ditempeleng empat kali oleh Thia Eng. Paling akhir ini
Liok Bu-siang telah menggondol lari kitab pusakanya: “Panca-bisa”, tentu saja
gadis ini lebih-lebih ingin dibekuknya.
Kalau dibicarakan, maka ketiga muda-mudi ini
semua adalah musuh besar Jik-lian-sian-cu, kini mendadak ia datang lagi, ia tak
mau binasakan Yo Ko secara diam-diam selagi orang terluka, tetapi malah
tinggalkan tanda peringatan tiga cap tangan, suatu tanda ia sudah yakin tiga
sasarannya ini tidak nanti bisa loIos.
Yo Ko sendiri terluka dan tak bisa berkutik,
kalau melulu andalkan Thia Eng dan Liok Bu-siang sesungguhnya susah melawannya,
setelah ketiga orang berunding, merekapun merasa tak berdaya.
“Aku masih ingat tempo dulu iblis ini
mendatangi rumah Piaumoay waktu hari hampir terang tanah,” demikian kata Thia
Eng, “kini kalau dia datang juga sebelum fajar tiba, sementara ini kita masih
ada waktu beberapa jam, kuda tunggangan Yo-heng sangat bagus, biarlah sekarang
juga kita lari, belum tentu iblis itu bisa menyandak kita.”
“Ya, bagaimana Tolol, kau terluka, sanggup
naik kuda tidak?” tanya Bu-siang.
“Terpaksa harus dicoba juga,” sahut Yo Ko.
“Daripada mati konyol di tangan iblis ini.”
“Piauci”, kata Bu-siang pula, “kau kawani si
Tolol lari ke
barat, aku nanti pancing dia kejar ke timur.”
“Tidak, kau saja yang temani Yo-heng,” sahut
Thia Eng rada jengah, “Diantara kita bertiga permusuhanku dengan dia paling
ringan, sekalipun aku tertangkap belum pasti dia membunuh aku, sebaliknya bila
kau yang terpegang, dapat dipastikan kau bakal celaka,”
“Tujuan kedatangannya ini adalah diriku,
kalau ia dapatkan aku bersama dengan si Tolol ini, bukankah akan bikin susah
dia?” ujar Bu-siang.
Terharu sekali Yo Ko mendengar pembicaraan
mereka, ia pikir kedua nona ini ternyata berbudi luhur semua, dalam keadaan
berbahaya dengan sukarela bersedia menolong jiwanya, kalau aku sampai ketangkap
dan tewas oleh iblis itu, hidupku ini rasanya pun tidak sia-sia.
“He, Tolol, coba katakan, kau suka lari
diiringi Piauci atau dikawani aku?” tiba-tiba didengar-Bu-siang bertanya.
Belum Yo Ko menjawab, Thia Eng telah menyela:
“Kenapa kau terus memanggilnya Tolol, apa kau tak takut Yo-heng menjadi marah?”
Bu-siang melelet lidah jenaka, lalu dengan
tertawa ia bilang: “Coba begitu ramah kau terhadapnya, tentu saja engkoh Tolol
ini pilih diiring kau.” Dari sebutan “Tolol” sekarang ia ganti dengan memanggil
engkoh Tolol, hal ini boleh dikatakan Bu-siang telah menaikkan harga si Yo Ko.
Keruan saja Thia Eng merah jengah, “Eh,
bukankah orang juga panggil kau/bini cilik? Dan sebagai bini cilik tak
mengurusnya, lalu kiramu siapa yang akan urus dia?”
demikian batasnya menggoda Dengan begitu
giliran Liok Bu-siang kini yang merah jengah, ia ulur tangan lantas akan
meng-kili2 Thia Eng dan terjadilah udak-udakan. Suasana dalam kamar seketika
menjadi berubah, mereka bertiga tidak ketakutan lagi seperti mula-mula tadi.
“Kalau nona Thia yang iringi aku lari, tentu
bini cilik berbahaya jiwanya, sebaliknya bila bini cilik yang kawani aku, nona
Thia juga amat ber-bahaya,” demikian Yo Ko berpikir.
Karena itu, begini baik padaku, sungguh aku
berterima kasih sekali. Maka kupikir paling baik kalian berdua lekas menyingkir
dari sini, biar aku tinggal sendiri melayani iblis itu. Guruku dan dia adalah
saudara seperguruan, rasanya ia akan ingat pada hubungan perguruan, pula ia
takut pada guruku, agaknya tidak sampai berbuat apa-apa padaku”
“Tidak, tidak,” sela Bu-siang sebelum Yo Ko
selesai.
Yo Ko menduga kedua nona itu tidak nanti mau
melarikan diri meninggalkan dirinya, maka dengan suara lantang ia bilang lagi:
“Kalau begitu biarlah kita bertiga menempuh jalan bersama, kalau benar-benar
terkejar oleh iblis itu, kita bertiga lawan saja mati-matian, hidup atau mati
biarlah terserah takdir.”
“Baiklah, begini paling baik,” sahut Bu-siang
setuju.
“Datang dan perginya iblis itu sangat cepat,
kalau kita berjalan bersama pasti akan disusul olehnya”, ujar Thia Eng sesudah
merenung sejenak “Daripada bergebrak dengan dia di tengah jalan, adalah lebih
baik di sini saja kita tunggu dia?”
“Ya, betul,” kata Yo Ko. “Cici mahir ilmu
pengetahuan yang aneh-aneh sampai Kim-lun Hoat-ong juga kena kau kurung, tentu
Jik-lian-sian-cu juga belum bisa membobolnya.”
Karena kata-kata Yo Ko ini, pada ketiga orang
ini lantas timbul sinar harapan.
“Barisan batu-batu itu adalah Kwe-hujin yang
reka, aku hanya ikut merubahnya saja, kalau aku sendiri harus memasangnya,
inilah belum cukup kepandaianku. Tapi biarlah, kita usahakan sebisanya menurut
nasib,” demikian kata Thia Eng, “Piaumoay, marilah kau membantu aku.”
Lalu kedua saudara misan itu membawa
alat-alat cangkul dan sekop keluar rumah, mereka menggali tanah dan menumpuk
batu. Setelah sibuk lebih satu jam, sayup-sayup terdengar ayam berkokok di
kejauhan, sementara itu Thia Eng sudah mandi keringat karena kerja keras itu.
Waktu dipandangnya gundukan tanah yang dia
tumpuk dan atur itu, kalau dibanding barisan batu yang dipasang Oey Yong,
sesungguhnya daya-gunanya masih selisih jauh, diam-diam Thia Eng bersedih,
“Kepintaran Kwe-hujin sungguh beratus kali lebih tinggi dariku. Ai, dengan
gundukan tanah yang kasar jelek ini rasanya sulit hendak merintangi
Jik-lian-sian-cu itu”, demikian ia mengeluh. Tapi karena kuatir Piaumoay dan Yo
Ko ikut ber-sedih, maka pikirannya ini tak diutarakannya.
Setelah sibuk “kerja-bakti”, di bawah sinar
bulan remang- remang Bu-siang melihat wajah sang Piauci agak berlainan, ia tahu
pasti orang tak yakin bisa menahan musuh. Tiba-tiba ia keluarkan sejilid
kitab-dari bajunya, ia masuk rumah dan diangsurkan pada Yo Ko.
“ToloI, inilah kitab “panca-bisa” guruku
itu,” katanya.
Melihat kulit kitab itu merah bagai darah. Yo
Ko rada terkesiap.
“Aku telah membohongi Suhu bahwa kitab itu
telah direbut Kay-pang, maka kuatir bila sebentar lagi aku tertangkap olehnya
bisa digeledahnya,” kata Bu-siang. “Maka bolehlah kau membacanya sekali,
setelah kau apalkan lalu bakar saja sekalian.”
Biasanya kalau bicara dengan Yo Ko selamanya
Bu-siang suka olok-olok dan main bengis, tapi disaat jiwa terancam, ia tidak
sempat berkelakar Iagi.
Melihat sikap si gadis muram durja, Yo Ko
mengangguk dan terima kitab itu.
Lalu Bu-siang keluarkan lagi sepotong sapu
tangan sulaman, dengan suara lirih ia bilang lagi: “Jika tak beruntung kaupun
jatuh di tangan iblis itu dan dia hendak celakai jiwamu, hendaklah kau lantas
unjukkan sapu tangan ini padanya.”
Yo Ko lihat sapu tangan itu yang sebelah jelas
kelihatan bekas sobek, bunga merah sulam juga tersobek separoh, ia tak tahu
maksud Bu-siang, maka ia bingung tak menerima.
“Apakah ini?” tanyanya.
“Aku minta kau sampaikan ini padanya, maukah
kau?” sahut Bu-siang.
Yo Ko angguk-angguk, lalu terima dan ditaroh
samping bantalnya.
Tapi tiba-tiba Bu-siang mendekatinya dan
ambil saputangan itu terus dimasukkan ke baju Yo Ko, mendadak diciumnya bau
khas orang laki-laki teringat olehnya
pengalaman tempo hari pernah bajunya dilepas
pemuda ini dan menyambung tulangnya, malahan pernah tidur bersama seranjang,
terguncanglah hatinya, ia pandang Yo Ko sekejap, lalu keluar kamar.
Melihat kerlingan mata si gadis sebelum pergi
ini penuh arti, hati Yo Ko ikut terguncang keras.
Selang tak lama barulah ia membalik halaman2 kitab
“panca-bisa”, ia lihat kitab itu sudah berubah kuning saking tuanya, apa yang
tertulis ialah sebangsa pelajaran cara-cara menangkap makluk berbisa,merendam
senjata rahasia dengan racun serta cara-cara pengobatannya.
Dari awal sampai akhir Yo Ko baca kitab
“Panca-bisa” itu sampai beberapa kali dan mengingatnya baik-baik. Ibunya tewas
karena pagutan ular berbisa, peristiwa ini meninggalkan
luka yang dalam di hati sanuharinya, maka
demi dilihatnya kitab itu tercatat begitu banyak dan jelas tentang cara-cara
membuat racun serta cara mengobatinya, tanpa terasa ia berpikir:
“Ah, jika dulu2 aku paham begini banyak cara
menyembuhkan racun yang bagus ini, tentulah aku dapat menolong jiwa ibuku, Dan
ia pasti akan kasih-saysng padaku dan tidak sampai ter-lunta2 menjadi
yatim-piatu seperti sekarang ini.” Teringat akan itu, tak tahan lagi air
matanya me-netes2 ke atas kitab itu.
Tiba-tiba didengarnya suara pintu didorong,
ketika ia memandang, ia lihat Thia Eng dengan kedua pipi merah jengah lagi
mendekati pembaringan-nya, pada jidat gadis ini masih penuh butir2 keringat
“Yo-heng, aku telah pasang barisan gundukan
tanah diluar pintu, tapi paling banyak hanya sekadar merintangi saja, untuk
menahan iblis terkutuk itu terang sukar,” demikian kata
Thia Eng perlahan sambil keluarkan sepotong
saputangan sutra dari bajunya dan diangsurkan pada Yo Ko, “Maka bila sampai
iblis itu menerjang masuk, serahkanlah saputangan ini padanya.”
Yo Ko lihat saputangan ini hanya separuh
juga, kainnya dan kembangnya serupa dengan potongan saputangan yang diterimanya
dari Bu-siang tadi, ia menjadi heran sekali. Waktu ia angkat kepala, tiba-tiba
sinar matanya kebentrok dengan sinar mata -si gadis, di bawah sorot lampu
dilihatnya airmata mengaca di kelopak matanya dengan wajah malu-malu girang, selagi
Yo Ko hendak tanya, tiba-tiba muka Thia Eng merah dan berkata pula lirih:
“Sekali-kali jangan diketahui Piaumoayku.”
Habis ini iapun jalan keluar.
Yo Ko keluarkan setengah saputangan yang
diterimanya dari Liok Bu-siang tadi dan digabung menjadi satu, nyata kedua
belah saputangan itu persis berwujud selembar, Cuma saputangan itu sudah
terlalu tua sutera putih sudah berubah kuning, hanya bunga merah sulaman itu
kelihatan masih segar.
Yo Ko tahu saputangan ini pasti mengandung
arti yang dalam, cuma kedua gadis itu mengapa masing-masing menyerahkannya
separoh? Dan kenapa ingin serahkan pada Li Bok-chiu dan mengapa tidak diketahui
masing-masing pihak?
Sedang diwaktu memberikan saputangan wajah
kedua gadis itu mengunjuk rasa malu-malu!
Nyata karena hati Yo Ko sudah tertambat atas
diri Siao-liong-li, terhadap Liok Bu-siang dan Thia Eng hanya anggap sebagai
sahabat baik saja, sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa kedua gadis itu
sebenarnya sangat mendalam mencintai-nya, sudah terang saputangan itu akan merindukan
Li Bok-chiu pada kisah asmaranya dulu dan akan mengampuni jiwa mereka, tapi
mereka justru memberikan itu padanya.
Begitulah Yo Ko termangu-mangu duduk di atas
ranjangnya, tiba-tiba didengarnya suara ayam berkokok lagi dikejauhan, menyusul
mana terdengar juga suara suling yang merdu, kiranya Thia Eng telah meniup
serulingnya, agaknya sesudah atur barisan gundukan tanah dan merasa lega, maka
ditiupnya sebuah lagu “liu-po”, suara sulingnya halus tenang tak berduka, suatu
tanda orang lagi merasa senang tanpa kuatir sesuatu.
Setelah dengar sejurus, tiba-tiba Yo Ko ambil
kecapi dan mengiringi seruling orang, suara kecapi itu nyaring hingga merupakan
paduan suara yang sangat serasi dengan suara seruling.
Bu-siang duduk di belakang gundukan tanah, ia
terpesona mendengarkan sang Piauci meniup seruling mengiringi suara kecapi Yo
Ko, sementara itu ufuk timur sudah remang-remang, fajar telah mendatang, tak
tahan lagi ia berpikir: “Ah, sekejap lagi Suhu bakal datang, jiwaku tak nanti
bisa tertolong dalam sejam ini. Harap saja Suhu melihat sapu-tangan itu dan
mengampuni jiwa Piauci dan dia, mereka berdua…”
Sebenarnya watak Bu-siang nakal dan licin,
biasanya Thia Eng suka mengalah padanya sejak kecil. Tapi dalam keadaan bahaya
sekarang, dalam hati Bu-siang justru berharap Yo Ko bisa selamat, cintanya
ternyata sudah mendalam dan diam- diam berdo’a agar pemuda itu terhindar dari
malapetaka.
Selagi termangu-mangu, ketika mendadak ia
angkat kepalanya, tiba-tiba dilihatnya di luar gundukan tanah sana sudah
berdiri seorang Tokoh (imam wanita) berjubah putih, tangan kanan membawa kebut,
siapa lagi kalau bukan Suhunya, Li Bok-chiu.
Bu-siang berseru tertahan, cepat ia lolos
pedang dan berdiri, sementara itu Yo Ko lagi tabuh khim dan sampai pada saat
yang tegang, Thia Eng juga lagi asyik meniup serulingnya, perhatian mereka
penuh dicurahkan pada alat musik mereka meski Bu-siang menjerit tertahan, namun
ternyata tak digubrisnya.
Tapi aneh juga, Li Bok-chiu hanya berdiri
tegak tak bergerak, ia malah pasang kuping mendengarkan dengan cermat.
Kiranya suara paduan khim dan siau (seruling)
itu mengingatkannya pada masa mudanya waktu sama-sama main musik dengan
kekasihnya, Liok Tian-goan, malahan lagu
“liu-po” yang dibawakan orang sekarang ini
adalah lagu yang
sering dibawa-kannya dahulu.
Kejadian itu sudah lalu berpuluh tahun, tapi
kenangan itu sukar dilupakan, maka diam-diam ia berdiri di luar sana
mendengarkan suara kecapi dan seruling yang sahut menyahut dengan mesranya,
tiba-tiba ia berduka, sekonyong-konyong ia menangis tergerung-gerung keras.
Tangisannya yang amat sedihnya ini membikin
Liok Bu-
siang tak mengerti, biasanya gurunya terkenal
kejam, mana pernah mengunjuk hati lemah? Kini terang-terangan ia datang hendak
membunuh orang, kenapa malah menangis di luar pintu? Dan bila didengarnya
tangisan Li Bok-chiu begitu sedih memilukan, tak tahan iapun menangis.
Dan karena menangisnya Li Bok-chiu itu,
segera Yo Ko dan Thia Eng mengetahuinya juga, suara khim dan siau mereka rada
terpengaruh hingga sedikit kacau iramanya.
Tergerak pikiran Li Bok-chiu, mendadak dari
menangis ia berubah menyanyi keras dengan suaranya yang memilukan.
Sebenarnya suara khim dan siau tadi penuh
membawa perasaan gembira, tapi karena nyanyian Li Bok-chiu yang bukan saja
syairnya sangat sedih, nadanya pun amat memilukan, bahkan iramanya berlainan
sama sekali dengan lagu Yo Ko berdua, baru saja Li Bok-chiu mulai menyanyi,
suara seruling Thia Eng segera hampir-hampir mengikuti iramanya.
Keruan Yo Ko terkejut, lekas-lekas ia tambahi
suara kecapinya lebih keras dan menarik kembali suara seruling Thia Eng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar