Kembalinya Pendekar Rajawali 81
Kim-Iun Hoat-ong juga pernah mendengar nama
Khu Ju-ki dan mengetahui dia adalah tokoh nomor satu Coan-cin-pay, sekarang
dilihatnya kepandaian Ci-peng berdua juga tidak lemah, diam-diam ia mengakui
ilmu pedang dan Lwekang Coan-cin-pay memang lihay.
Dalam pada itu Sato sibuk menanyai Ci-peng
tentang kesehatan ke-18 murid Coan-cin-kau yang lain, bicara kejadian dimasa
lalu, Sato menjadi bersemangat dan sangat gembira, Pada saat itulah tiba-tiba
masuk seorang perempuan muda berbaju putih. serentak Hoat-ong, Nimo Singh,
Ci-peng dan Ci-keng sama terkesiap, Ternyata pendatang ini adalah
Siao-liong-Ii.
Diantara orang-orang itu hanya Nimo Singh
yang tidak punya rasa dendam, segera ia menegur. “Hai, pengantin perempuan
Cui-sian-kok, baik-baik ya kau?”
Siao-liong-li hanya mengangguk saja tanpa
menjawab, ia pilih meja dipojok sana dan berduduk tanpa gubris orang lain, ia
memberi pesan seperlunya kepada pelayan agar membuatkan santapan.
Air muka Ci-peng berdua menjadi pucat dan
hati berdebar, Hoat-ong juga kuatir kalau segera Yo Ko menyusul tiba, selamanya
dia tidak gentar apapun kecuali permainan ganda ilmu pedang Yo Ko dan
Siao-liong-li.
Begitulah ketiga orang sama memikirkan urusan
sendiri dan tidak bicara lagi melainkan makan saja, Ci-peng berdua sebenarnya
sudah kenyang makan, tapi kalau mendadak terdiam bisa jadi akan menimbulkan
curiga orang lain, terpaksa mereka makan lagi tanpa berhenti agar mulut tidak
mengangur.
Hanya Sato saja yang tetap gembira ria, ia
tanya Ci-peng : “ln-totiang, apakah engkau pernah bertemu dengan Pangeran
kami?”
Ci-peng hanya menggeleng saja tanpa bicara.
Sato lantas menyambung: “Wah, pangeran kita ini sungguh pintar dan bijaksana,
beliau adalah putera keempat pangeran Tulai, setiap perajurit sayang padanya,
sekarang aku hendak menghadap beliau memberi laporan keadaan, kalau kedua
Totiang tiada urusan lain, bagaimana kalau ikut serta menghadap beliau?”
Ci-peng sedang bingung, maka tanpa pikir ia
menggeleng pula, Tapi pikiran Cikeng lantas tergerak ia tanya Hoat-ong:
“Apakah Taysu juga hendak menghadap Ongya?”
“Ya,” jawab Hoat-ong “Pangcran Kubilai adalah
pahlawan yang tiada bandingannya di jaman ini, kalian harus berkunjung dan
berkenalan dengan beliau.”
“Baiklah,” cepat Ci-keng menanggapi “Kami
akan ikut Taysu dan Sato-ciangkun ke sana.” Habis ini kakinya menyenggol
pelahan kaki Ci-peng serta mengedipinya.
Sebenarnya Ci-peng terlebih cerdik daripada
Ci-keng, cuma saja begitu melihat Siao-liong-li seketika ia menjadi linglung,
Selang sejenak barulah dia ingat apa maksud tujuan Ci-keng itu, rupanya ingin
meloloskan diri dari kejaran Siao liong-li dengan bernaung di bawah lindungan
Kim-lun Hoat-ong.
Begitulah setelah makan, ber-turut-urut semua
orang lantas berangkat. Diam-diam Hoat-ong merasa lega karena selama ini Yo Ko
tidak kelihatan muncul, pikirnya: “Coan-cin-kau adalah suatu sekte agama
berpengaruh di Tionggoan,
kalau saja dapat dirangkul tentu akan banyak
bermanfaat bagi pihak Mongol. Apalagi tujuannya ke Siangyang telah mengalami
kegagalan total, kalau dapat mengajak pulang kedua Tosu Coau-cin-kau ini kan
juga suatu jasa besar.”
Sementara itu hari sudah mulai gelap, mereka
terus melarikan kuda dengan cepat, ketika di belakang terdengar pula derapan
kaki binatang, Ci-keng menoleh dan samar-samar kelihatan Siao-liong-li masih
mengikuti dari jauh dengan menunggang seekor keledai.
Kim-luo Hoat-ong juga merinding setelah
mengetahui Siao-liong-li membuntuti mereka, Diam-diam iapun heran mengapa Siao-liong-li
berani mengikutinya sendirian, padahal satu-lawan-satu jelas nona itu pasti
bukan tandinganku, jangan-jangan dia membawa bala bantuan secara tersembunyi?
Demikianlah Kim-lun Hoat-ong menjadi sangsi,
padahal kalau sekarang dia berani menyongsong kedatangan Siao-liong-li dan
melabraknya, tentu nona itu akan celaka, kalau tidak terbunuh juga tertawan,
Tapi Hoat-ong baru saja berkenalan dengan Ci-peng berdua dari Coan cin-pay, ia
menjadi kuatir kalau kebetulan kecundang, hal ini tentu akan menurunkan pamornya,
sebab itulah dia lebih suka cari selamat dan pura-pura tidak tahu penguntitan
Siao-liong-li.
Setelah menempuh perjalanan setengah malaman,
sampai di suatu hutan, Sato memerintahkan pasukan berhenti mengaso,
Masing-masing duduk istirahat di bawah pohon, kelihatan Siao-liong-li juga
turun dari keledainya dan duduk disana dalam jarak beberapa puluh meter
jauhnya.
Semakin misterius gerak-gerik si nona,
semakin menimbulkan curiga Kim-lun Hoat-ong dan tidak berani sembarangan
bertindak Yang paling ketakutan tentu saja, In Ci-peng, memandang saja dia
tidak berani: sesudah cukup mengaso, kemudian pasukan berangkat lagi, setelah
jauh meninggalkan hutan itu,
terdengar suara “keteplak-keteplak” yang
samar-samar, ternyata Siao-liongli tetap menguntit di belakang dengan
keledainya.
Sampai pagi mendatang, Siao-liong-li tetap
mengintil di belakang dalam jarak itu2 juga.
Sementara itu rombongan mereka sampai
di suatu tanah datar yang luas, sepanjang mata memandang tiada menampak suatu
bayangan apapun. Diam-diam timbul pikiran jahat Kim-lun Hoat-ong, ia membatin:
“Sejak kudatang keTionggoan belum pernah ketemu tandingan, tapi akhir2 ini
ber-turut-urut dikalahkan oleh ilmu pedang gabungan Yo-Ko dan nona ini.
sekarang dia terus membuntuti aku, tentu dia mempunyai maksud buruk, sebelum
dia bertindak, kenapa tidak kubinasakan dia dahulu secara tak terduga olehnya,
seumpama nanti bala bantuannya tiba tentu juga tidak keburu menoIongnya. Dan
jika nona ini sudah mati, di dunia ini tiada orang lain lagi yang mampu
melebihi aku.”
Setelah ambil keputusan itu, baru saja dia
mau menahan kudanya untuk menantikan datangnya Siao-liong-li, tiba-tiba dari
depaa ada suara gemuruh datangnya serombongan orang disertai debu mengepul dan
suara keleningan kuda atau unta.
“Wah, terlambat jika tahu bala bantuannya
akan datang sekarang, tentu sejak tadi kubinasakan dia,” demikian Hoat-ong
membatin karena tidak sempat lagi menindak Siao-liong-li.
Pada saat lain tiba-tiba terdengar Sato
berseru menyatakan herannya, Waktu Hoat-ong melongok jauh kesana, terlihat
rombongan yang datang itu sangat aneh, seluruhnya empat ekor unta tanpa
penunggang, pada punggung unta pertama di sisi kanan terpancang sebuah bendera
besar, ujung tiang bendera itu ikut berkibaran pula tujuh ikat bulu putih,
itulah panji pengenal Kubilai.
“Barangkali Ongya yang datang?” guman Sato
sambil keprak kudanya menyongsong ke depan, Kira-kira beberapa puluh meter dari
rombongan unta itu. Sato lantas turun dari kudanya dan berdiri di tepi jalan
dengan hormat.
Kim-lun Hoat-ong merasa tidak leluasa lagi
untuk membunuh Siao-liong-li jika betul Kubilai yang datang, ia ingin menjaga
harga diri, sebab kalau sampai dilihat Kubilai bahwa dia membunuh seorang
perempuan muda, tentu dia akan dipandang hina.
Sementara itu keempat unta tadi masih terus
berlari cepat mendatangi tapi Hoat-ong tidak turun dari kudanya melainkan
perlahan-lahan memapak kedepan. Terlihat di antara tempat luang keempat ekor
unta itUi ada berduduk seorang secara terapung, orang itu berjenggot dan
beralis putih dengan wajah selalu tersenyum, kiranya adalah Ciu Pek-thong yang
baru mengacaukan Cui-sian-kok itu.
Terdengar Ciu Pek-thong berteriak dari jauh:
“Bagus, bagus! Hwesio gede dan si cebol hitam, kita berjumpa kembali di sini,
ada lagi nona cilik yang cantik molek itu!”
Hoat-ong sangat heran, ia tidak mengerti
mengapa Cui Pek-thong bisa duduk terapung di tengah-tengah keempat unta itu.
Tapi sesudah dekat barulah dia tahu duduknya perkara, kiranya di antara unta2
itu terbentang beberapa utas tali yang ujungnya terikat pada punuk tiap-tiap
unta dan ditengah - tengah persilangan tali itulah Ciu Pek-thong berduduk.
Ciu Pek-thong adalah Sute cikal-bakal
Coan-cin-kau, yaitu Ong Tiong-yang yang pernah menjalin cinta dengan nenek guru
Siao-liong-li, bicara tentang kedudukan di Coan-cin-kau sekarang dialah paling
top, tapi selangkahpun dia tidak pernah menginjak Tiong-yang-kiong dan jarang
pula berhubungan dengan Ma Giok, Khu Ju-ki dan lain-lain, sebab itulah Ci-peng
dan Ci-keng tidak mengenalnya.
Meski, mereka pernah mendengar cerita
dari guru masing-masing bahwa mereka mempunyai seorang Susiokco (kakek guru
muda), tapi sudah lama tidak ada kabar beritanya, besar kemungkinan sudah
meninggal dunia, maka sekarang merekapun tidak menduga bahwa tokoh aneh ini
adalah sang Susiokco yang maha sakti itu.
BegituIah Hoat-ong mengernyitkan dahinya
melihat kelakuan Ciu Pek-thong itu, ia pikir ilmu silat orang ini teramat
tinggi dan sukar dilawan, ia coba
menanyainya: “Apakah Ongya berada di belakang sana?”
“Kira-kira 40 li dibelakang sana adalah
perkemahannya,”
jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa sambil
menuding ke belakang “Eh, Toa-hwesio, kunasehati kau sebaiknya kau jangan pergi
ke sana,”
“Sebab apa?” tanya Hoat-ong heran, “Sebab dia
sedang marah-marah. jika kau ke sana, mungkin kepalamu yang gundul itu akan
dipenggal olehnya,” ujar Pek thong.
“Ngaco-balo!” omel Hoat-ong dengan
mendongkoI. “Sebab apa Ongya marah?”
Sambil menuding panji tanda pengenal Kubilai
itu, Pek-thong berkata dengan tertawa: “Lihat ini, panji kebesaran Ongyamu ini
kena kucuri, mustahil dia tidak marah-marah ya”
Hoat-ong meIengak, diam-diam iapun percaya
apa yang dikatakan itu, ia yakin Ciu Pek-thong pasti tidak berdusta, Segera ia
tanya pula: “Untuk apa kau mencuri panji kebesaran Ongya?”
“Kau kenal Kwe Ceng bukan?” tanya Pek-thong
“Ya, ada apa?” Hoat-ong mengangguk.
“Dia adalah saudara mudaku.” tutur Pek thong
dengannya sudah belasan tahun kami tidak bertemu, aku sangat kangen padanya,
maka aku buru-buru hendak menjenguk kesana.
Kudengar dia sedang berperang dengan orang Mongol
diSiang-yang, maka aku sengaja mencuri panji kebesaran pangeran Mongol ini
sebagai kado untuk saudara-angkatku itu.”
Hoat-ong kaget. ia pikir urusan bisa celaka,
sedang Siangyang belum dapat dibobol, sekarang panji kebesaran panglimanya
direbut musuh, hal ini teramat memalukan. “Hm ia harus mencari akal untuk
merampas kembali panji ini.”
Mendadak terdengar Ciu Pek-thong membentak,
empat ekor unta itu terus bergerak dan berbondong-bondong berlari ke sana,
setelah mengitar satu lingkaran, lalu berlari kembali, panji besar itu berkibar
tertiup angin Ciu Pek-thong berdiri menegak di tengah persilangan tali, dengan
tangan memegang tali kendali keempat unta, lagaknya seperti panglima besar
saja, dengan berseri-seri ia melarikan kawanan unta itu, sesudah dekat,
“tarrr”, cambuknya berbunyi dan serentak unta2 itu lantas berhenti, entah
dengan cara bagaimana Ciu Pek-thong ternyata dapat mengendalikan unta2 itu
dengan sangat penurut
“Toa-hwesio, bagus tidak barisan unta
pimpinanku ini?” tanya Pek-thong dengan tertawa.
“Bagus sekali!” jawab Hoat-ong sambil
mengacungkan ibu jarinya, tapi diam-diam ia sedang memikirkan cara bagaimana
merebut kembali panji itu.
Tiba-tiba Ciu Pek-thong mengangkat
tangannya dan berseru: “Toahwesio, nona cilik, Lo wan-tong mau berangkat!”
Mendengar sebutan “Lo-wan-tong” itu, serentak
Ci-peng dan Ci-keng berseru: “Susiokco!” - Berbareng merekapun melompat turun
dari kudanya.
“Apakah ini Ciu-locianpwe dari Coan-cin-pay?”
tanya Ci-peng.
Biji mata Ciu Pek-thong4 tampak
ber-putar-putar, lalu menjawab: “Hm, ada apa? Kalian ini anak murid “hidung
kerbau” yang mana?”
Dengan hormat Ci-peng menjawab: “Tio Ci-keng
adalah murid Giok-yang-cu Ong-totiang dan Tecu sendiri In Ci-peng murid
Tiang-jun-cu Khu-totiang.”
“Huh, Tosu kecil Coan-cin-kau makin lama
makin tidak keruan, tampaknya kalian juga tidak becus,” dengus Pek-thong,
mendadak kedua kakinya memancal ke depan, sepasang sepatunya terus me-nyamber
ke muka Ci-peng berdua.
Ci-keng terkejut, cepat ia hendak
menangkapnya. Tapi Ci-peng sudah yakin orang tua ini pasti Ciu Pek-thong
adanya, ia pikir kalau Susiokco mau memberi hukuman, betapapun tidak boleh
menghindar apalagi tenaga samberan sepatu itu tampaknya juga tidak keras, kalau
kena rasanya tidak terlalu sakit, karena itulah ia tidak ambil pusing samberan
sepatu dan tetap memberi hormat.
Di luar dugaan, ketika sepatu itu menyamber
sampai didegan muka Ci peng berdua, sekonyong-konyong dapat memutar balik.
Tangan Ci-keng menangkap tempat kosong, sementara itu kedua buah sepatu telah
masuk kembali ke kaki Ciu Pek-thong.
Meski perbuatan Ciu Pek-thong itu lebih
menyerupai permainan jahil, tapi kalau tidak memiliki tenaga dalam yang maha
sakti pasti tidak dapat melakukannya. Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh sudah
pernah menyaksikan Anak Tua Nakal itu mempermainkan orang di kemah Kubilai
dengan pura-pura menimpukkan ujung tumbak, maka mereka tidak merasa heran,
sebab dasarnya sama saja seperti permainan sepatu terbang ini.
Akan tetapi Ci-keng menjadi amat kaget tak
terhingga, dengan kepandaiannya sekarang, betapapun lawan menyerangnya dengan
senjata rahasia juga pasti dapat ditangkapnya tanpa meleset, siapa tahu sebuah
sepatu butut yang tampaknya menyamber tiba dengan pelahan itu ternyata takdapat
ditangkapnya, Keruan ia tidak berani ragu lagi, segera ia ikut menyembah dan
memperkenalkan namanya.
“Hahaha,” Ciu Pek-thong tertawa, “Penilaian
Khu Ju-ki dan Ong Ju-it sungguh rendah, mengapa menerima murid-murid tak becus
begini? Sudahlah, siapa minta disembah kalian?” -
Habis ini mendadak ia membentak: “Serbu!” –
serentak keempat ekor unta terus membedal cepat ke depan.
Namun secepat burung terbang Hoat-ong lantas
melayang ke sana dan mengadang di depan kawanan unta sambil berseru: “Nanti
dulu!” Kedua tangannya menahan di batok kepala dua ekor unta yang di depan,
seketika pula unta2 yang sedang berlari itu dapat dihentikan dan bahkan
didorong mundur beberapa langkah.
Ciu Pek-thong menjadi gusar, teriaknya:
“Toa-hwesio, apakah kau mengajak berkelahi? Sudah belasan tahun Lo-wan-tong
tidak menemukan tandingan kepalanku memang sedang gatal, marilah kita coba-coba
beberapa jurus!”
Sifat Ciu Pek-thong memang keranjingan ilmu
silat, semakin tua bukannya semakin loyo, tapi kepandaiannya semakin tinggi
sehingga tiada seorangpun yang berani bergebrak dengan dia. Tapi iapun tahu ilmu
silat Kim-lunHoat-ong cukup lihay dan dapat diajak berkelahi maka segera ia
gosok kepalan dan ingin bergebrak
Namun Hoat-ong meng-goyang-goyang tangannya
dan berkata: “Tidak, selamanya aku tidak sudi bergebrak dengan manusia tidak
tahu malu, kalau kau memaksa, silakankau pukul saja dan pasti takkan kubalas.”
Tentu saja Pek-thong menjadi gusar,
damperat-nya: “Mengapa kau berani menganggap aku adalah manusia tidak tahu
malu?”
“Habis, sudah jelas kau tahu aku tidak berada
di tempat, kau mencuri panji kebesaran ini, apa namanya perbuatanmu ini kalau
bukan tak tahu malu?”, jawab Hoat-ong.
“Huh, kau merasa bukan tandinganku maka
ketika aku pergi, kesempatan baik lantas kau gunakan. Hehe, Ciu Pek-thong, kau
benar-benar tidak punya muka.”
“Baik, aku dapat menandingi kau atau tidak
marilah kita berkelahi saja dan segera dapat di ketahui,” tantang Pek-thong.
Hoat-ong sengaja menggeleng dan menjawab.
“Sudah kukatakan aku tidak sudi bertempur dengan manusia tidak tahu malu, kau
tak dapat memaksa aku. Kepalanku cukup terhormat kalau menghantam badan manusia
tidak tahu malu, kepalaku bisa berbau busuk dan takkan hilang bau busuknya
selama 3 tahun 3 bulan.”
Ciu Pek-thong tambah murka, teriaknya: “Habis
bagaimana menurut kau?”
“Kau harus menyerahkan kembali panji itu padaku
dan malam nanti boleh kau coba mencuri nya lagi.” ujar Hoat-ong, “Aku akan
berjaga di markas sana, kau boleh merebutnya secara terang-terangan atau
mencurinya secara gelap2an, asalkan kau dapat memegangnya lagi, segera aku
menyerah dan mengakui kau memang pahlawan besar dan ksatria terhormat!”
Watak Ciu Pek-thong paling kaku, mudah
dibakar, sesuatu urusan, semakin sulit semakin ingin diiakukannya. Segera ia
cabut panji besar itu terus dilemparkan pada Hoat-ong sambil berseru: “Baik,
terimalah, malam nanti akan kucuri kembali,”
Begitu tangan Hoat-ong menangkap panji itu,
segera diketahui tenaga lemparan Ciu Pek-thong sangat kuat, cepat ia bertahan,
tapi tidak urung tergetar mundur dua-tiga tindak, Karena pegangan Hoat-ong pada
unta tadi dilepaskan, serentak ke-empat unta itu lantas berjingkrak terus
membedal lagi ke depan.
Semua orang mengikuti bayangan Ciu Pek-thong
dengan barisan unta yang aneh itu hingga jauh dan menghilang.
Sejenak Hoat-ong tertegun, kemudian ia
serahkan panji kebesaran itu kepada Soto dan mengajaknya berangkai Iagi,
Diam-diam iapun merenungkan cara bagaimana
harus menghadapi Lo-wan-tong yang tindak tanduknya aneh dan sukar diraba itu.
Tapi seketika ia takdapat menemukan
akal yang bagus.
Ketika tanpa sengaja ia menoleh, dilihatnya
Ci-peng dan Ci-keng sedang bicara bisik-bisik sambil beberapa kali, berpaling
dan melirik Siao-liong-li, tampaknya kedua Tosu itu sangat takut.
Tergerak hati Hoat-ong, ia pikir
jangan-jangan penguntilan nona itu ditujukan kepada kedua Tosu ini. Segera ia
coba memancing dengan kata-kata: “In-toheng, apakah kau memang kenal nona Liong
itu?”
Air muka Ci-peng tampak berubah dan mengiakan
pelahan, Hoat-ong tambah yakin akan dugaan tadi, Segera ia tanya pula: “Kalian
telah berbuat salah padanya dan dia hendak mencari perkara kepada kalian,
begitu bukan? Nona itu memang sangat lihay, kalian memusuhi dia, lebih banyak
celaka daripada selamatnya.”
Sudah tentu Hoat-ong tidak tahu menahu
pertengkaran antara kedua Tosu itu, cuma dilihatnya kedua orang itu merasa
gelisah dan bisik-bisik, maka dia sengaja memancingnya dan dugaannya memang
tidak meleset”
Namun Ci-keng juga lantas menanggapi: “Tapi
nona itupun pernah berselisih dengan Taysu, malahan Taysu pernah kecundang di
tangannya, masakah kekalahan itu tidak Taysu balas?”
“Darimana kau tahu?” dengus Hoat-ong.
“Kejadian itu tersiar di seluruh jagat, siapa
yang tidak tahu?” ujar Ci-keng.
Diam-diam Hoat-ong mengakui kelihayan
kedua Tosu itu,
maksudnya hendak menakutinya, ternyata Cikeng
berbalik hendak memperalatnya. Rasanya urusan ini lebih baik dibicarakan secara
terus terang saja. Maka ia lantas berkata: “Nona Liong itu hendak membunuh
kalian dan kalian merasa bukan tandingannya, maka kalian ingin perlindunganku,
bukan?”
Dengan gusar Ci-peng menjawab: “Biarpun mati
juga aku tidak perlu minta perlindungan orang, apalagi Taysu juga belum tentu
bisa mengalahkan dia.”
Melihat sikap Ci-peng yang tegas dan berani
itu, Hoat-ong menjadi sangsi, jangan-jangan perkiraannya tidak betul. Tapi
dengan tertawa ia lantas berkata: “Jika dia main berganda dengan Yo Ko, tentu
saja ilmu pedang mereka cukup lihay.
Tapi sekarang dia sendirian, kaIau mau dapat
kubinasakan dia dengan mudah.”
“Belum tentu bisa,” ujar Ci-keng sambil
menggeleng.
“Setiap orang Kangouw sama tahu bahwa Kim-lun
Hoat-ong sudah pernah dikalahkan oleh Siao-liong-Ii!”
“Haha, sudah lama aku bertapa, tiada gunanya
kau membakar aku dengan perkataanmu itu?” jawab Hoat-ong.
Dari ucapan Ci-keng itu kini ia yakin benar
bahwa Tosu itu memang berharap dirinya bergebrak dengan Siao-liong-li.
Scbelnm Ciu Pek-thong muncul tadi sebenarnya
ada maksud Kim-lun Hoat-ong untuk membinasakan Siao-liong-li, tapi sekarang dia
telah berjanji dengan Ciu Pek-thong agar mencuri lagi panji kebesaran Kubilai,
untuk itu tenaga kedua Tosu rasanya ada gunanya, jka Siao-liong-li dibunuh
lebih dulu berarti hilanglah alat pemerasnya terhadap kedua Tosu ini.
Maka dengan sikap tak acuh ia lantas berkata
pula: “Jika begitu, baiklah kuberangkat lebih dulu, nanti kalau kalian sudah
selesaikan urusan nona itu, silakan berkunjung ke kemah Ongya sana.”
Habis berkata ia terus melarikan kudanya ke
depan, jelas tujuannya agar kedua Tosu itu tidak mengikuti dia.
Tentu saja Cikeng menjadi gelisah, kalau
paderi Tibet itu pergi dan Siao-liong-li memburu tiba, entah cara bagaimana dirinya
akan disiksa oleh nona itu, apalagi kalau ingat betapa sakitnya sengatan tawon
di Cong lam-san dahulu, tanpa terasa nyalinya menjadi pecah.
Tanpa memikirkan harga diri lagi segera ia
melarikan kudanya menyusul ke depan sambil berseru: “Nanti dulu, Taysu! Jalanan
di sini kurang kupahami, kalau sudi memberi petunjuk tentu takkan kulupakan
budi pertolonganmu?”
Diam-diam Hoat-ong tertawa geli mendengar
seruan Ci-keng itu, ia pikir tentu Tosu ini bersalah pada nona Liong itu
sehingga ketakutan sedemikian rupa.
Sedangkan Tosu she In itu tampaknya adem ayem
saja rupanya tidak tersangkut dalam persoalan mereka, dengan tertawa ia lantas
menjawab: “Baiklah, bisa jadi nanti akupun perlu bantuanmu.”
“Jika Taysu memerlukan tenagaku, pasti akan
kulakukan,” cepat Cikeng menanggapi.
Hoat ong lantas meneruskan perjalanan dengaft
berjajar dengan Ci-keng sambil menanyai keadaan Coan-cin-kau sekarang dan
dijawab seperlunya saja oleh Ci-keng.
Dengan pikiran linglung Ci-peng mengikut dari
belakang tanpa memperhatikan apa yang dibicarakan kedua orang itu.
Sementara itu Hoat-ong sedang berkata:
“Konoti Ma-totiang sudah mengundurkan diri dari tugasnya dan menyerahkan
jabatan ketua kepada Khu-totiang yang kabarnya juga sudah tua, kukira jabatan
ketua berikut tentu akan jatuh pada gurumu, Ong-totiang.”
Agaknya perkataan Hoat-ong itu rada menyentuh
isi hati Ci-keng, tiba-tiba air mukanya rada berubah, jawabnya: “Usia guruku
juga sudah lanjut sehingga beliau akhir2 ini jarang mengurusi pekerjaan umum,
besar kemungkinan jabatan ketua nanti akan dilanjutkan oleh In-sute ini.”
Melihat air muka Ci-keng menampilkan rasa
penasaran, dengan suara lirih Hoat-ong coba membakarnya: “tampaknya ilmu silat
Ih-foheng ini juga tak melebihi Tio-toheng sendiri, mengenai kecerdikan dan
kecekatan kerja tentu juga selisih jauh dengan dirimu, kan jabatan ketua yang
penting itu seharusnya diserahkan kepadamu.”
Hal ini sebenarnya sudah terpendam selama
beberapa tahun dalam hati Ci-keng, sekarang Hoat-ong yang membeberkan isi
hatinya, tentu saja rasa dendam dongkolnya semakin kentara, padahal secara
Iisan In Ci-peng sudah ditetapkan sebagai pejabat ketua yang akan datang,
semula Ci-keng hanya penasaran dan iri saja, tapi sejak dia mengenai kesalahan
Ci-peng, segera ia berdaya upaya hendak merebut kedudukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar