Senin, 26 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 82



Kembalinya Pendekar Rajawali 82

Ci-keng yakin kalau dia membeberkan rahasia In Ci-peng yang diam-diam jatuh cinta dan bahkan telah menodai Siao-liong-li, akibatnya Ci-peng pasti akan dihukum mati. Tapi iapun menyadari dirinya kurang disukai para paman gurunya, antar sesama saudara seperguruan juga banyak yang tidak cocok padanya, ia pikir akhirnya jabatan ketua itu toh juga takkan jatuh padanya, sebab itulah sampai sekarang ia belum membongkar dosa Ci-peng itu.
Dari gerak dan sikap kedua Tosu ini Hoat-ong dapat menerka jalan pikiran Ci-keng, ia pikir: “Kalau kubantu dia merebut jabatan ketuanya, tentu kelak dapat kuperalat dengan baik, pengaruh Coan- Cinkau cukup besar dan tentu akan bermanfaat bagi penyerbuan Ongya ke selatan, bagiku berarti pula suatu jasa besar dan mungkin lebih besar daripada jasa membunuh Kwe Ceng.”
Begitulah diam-diam Hoat-ong merancangkan tindakan selanjutnya, menjelang lohor, sampailah rombongan mereka di markas besar Kubilai, sebelum masuk ke kemah, Hoat ong coba berpaling, dilihatnya Siao-liong-li dengan keledainya berdiri jauh di sana dan tidak mendekat lagi, ia pikir dengan
beradanya nona itu, mustahil kedua Tosu ini takkan masuk perangkapku.
Setelah berhadapan dengan Kubilai, ternyata pangeran Mongol itu sedang uring-uringan berhubung panji kebesarannya dicuri orang, padahal panji itu adalah simbol kebesaran dan kepemimpinan, maju mundurnya pasukan selalu mengikuti arah kibaran panji itu, tapi sekarang dicuri orang tanpa berdaya, hal ini sama saja mengalami kalah perang besar-besaran.
Kubilai sangat girang melihat Kim-lun Hoat ong sudah kembali, cepat ia berdiri menyambut Kubilai memang seorang pemimpin berbakat dan bijaksana melebihi sang kakek, yaitu Jengis Khan, untuk sementara dikesampingkan urusan kehilangan panji itu, tapi lantas menerima Ci-peng berdua yang diperkenalkan oleh Hoat-ong itu sebagai tanda simpatiknya terhadap kaum ksatria, Segera pula ia menyuruh menyediakan perjamuan.
In Ci-peng tetap lesu Iinglung, segenap pikiran-nya hanya melayang kepada diri Siao-liong-li, sebaliknya Ci-keng adalah manusia yang kemaruk kedudukan, melihat raja Mongol sedemikian menghormatinya, ia menjadi kegirangan.
Sama sekali Kubilai tidak menyinggung tentang kegagalan usaha Hoat-ong membunuh Kwe Ceng, “ia hanya terus memuji kesetiaan Nimo Singh pada tugasnya sehingga kedua kakinya menjadi korban, Maka dalam perjamuan ini Nimo Singh diberi tempat utama dan berulang-ulang mengajak minum padanya.
Dengan demikian bukan saja Nimo Singh menjadi lebih bulat kesetiaannya, orang lain juga merasakan budi kebaikan pangeran Mongol itu sungguh sangat luhur.
Selesai perjamuan Hoat-ong mengiringi Ci-peng dan Ci-keng mengaso ke perkemahan di samping sana. Ci-peng sudah lelah lahir batin, maka begitu membaringkan diri ia terus pulas tertidur “Tio-toheng, daripada iseng, marilah kita jalan keluar,” ajak Hoat-ong.
Mereka lantas berjalan keluar kemah, Dari jauh kelihatan Siao-liong-li berduduk di bawah pohon dan keledainya juga tertambat di sana, Tanpa terasa air tbuka Ci-keng berubah lagi, Tapi Hoat-ong pura-pura tidak tahu, malahan ia sengaja mengajak omong yang dan menanyai berbagai keadaan Coan- cin-kau.
Lantaran sudah anggap Hoat-ong sebagai teman karibnya, Ci-keng lantas menjawab dengan terus terang.
Sambil bicara sambil berjalan terus ke depan, lambat-laun mereka sampai di tempat yang sepi, tiba-tiba Hoat-ong menghela napas dan berkata: “Tio-toheng, sungguh tidak mudah Coan-cin-kau kalian dapat berkembang sebaik ini, tapi terus terang ingin kukatakan bahwa para paman gurumu itu mengapa begitu gegabah untuk menyerahkan jabatan ketua yang penting itu kepada In-toheng?”
Sebenarnya sudah lama Ci-keng menginginkan kedudukan itu, akan tetapi ia sendiri menyadari harapannya terlalu tipis, maka iapun menghela napas demi mendengar Hoat-ong menyebut hal itu, lalu iapun memandang sekejap ke arah Siao-Iiong-li.
“Urusan nona Liong itu adalah soal kecil, asalkan aku mau turun tangan, dengan mudah saja dapat kubereskan dia dan kau tak perlu lagi kuatir.” kata Hoat-ong, “Justeru yang penting adalah jabatan ketua agama kalian itu tidak boleh jatuh di tangan orang yang kurang tepat.”
“Kalau Taysu dapat memberi petunjuk jalan yang baik, selama hidupku rela menuruti perintahmu” jawab Ci keng.
Tentu saja janji inilah yang di-harap2kan Kim lun Hoat-ong, segera ia menegas: “Kata-kata seorang lelaki sejati harus ditepati dan tidak boleh menyesal di belakang hari.”
“Sudah tentu,” jawab Cikeng.
“Baik, dalam waktu tiga bulan akan ku usahakan kau diangkat menjadi ketua Coan-cin-kau” kata Hoat-ong.
 Girang sekali Ci-keng, tapi mengingat urusan ini sesungguhnya amat suIit, mau-tak-mau ia menjadi ragu-ragu.
“Apakah kau percaya?” tanya Hoat-ong.
“Percaya, pasti percaya,” jawab Ci-keng. “Kepandaian Taysu maha sakti, tentu engkau mempunyai daya upaya yang bagus.”
“Sebenarnya aku tiada sangkut paut apapun dengan agama kalian, siapapun yang menjadi ketuanya juga sama saja bagiku, tapi entah mengapa, baru berkenalan rasanya aku sudah cocok dengan kau dan ingin membantu kau,” kata Hoat-ong dengan tertawa,
“Maka langkah pertama kita harus diusahakan ada seorang kuat di dalam agamamu yang akan menjadi pendukungmu.
Saat ini siapakah yang paling tinggi menurut angkataanya di agamamu!”
“lalah Ciu susiokco yang kita jumpai di tengah jalan tadi,” jawab Ci-keng.
“Benar, kalau dia membantu kau dengan sepenuh tenaga, maka tiada seorangpun yang dapat menandingi kau lagi,” ujar Hoat-ong.
“Betul, apa yang dikatakan Susiokco sudah tentu mempunyai bobot dan harus diturut oleh Ma-supek, Khusupek dan lain!” kata Ci-keng dengan girang, “Tapi dengan cara bagaimana Taysu akan membuat Ciususiokco memihak diriku?”
“Tadi dia telah berjanji padaku akan datang ke sini untuk mencuri panji kebesaran Ongya,” tutur Hoat-ong, “Nah menurut pendapatmu, dia datang atau tidak?”
“Tentu saja datang,” jawab Ci-keng.
“Tapi panji ini justeru tidak kita kerek pada tiangnya melainkan kita sembunyikan di suatu tempat yang dirahasiakan Di tengah perkemahan yang beratus buah ini biarpun Ciu Pek-thong mempunyai kepandaian setinggi langit juga takkan menemukan panji itu hanya dalam semalam saja.”
“Ya, memang,” ujar Ci-keng, Tapi dalam hati ia anggap cara bertaruh begitu kurang jujur, andaikan menang juga kurang terhormat.
“Tentunya kau anggap pertaruhan cara demikian kalau menang juga kurang terhormat begitu bukan?” tanya Hoat-ong tiba-tiba. “Tapi semua ini adalah demi kepentinganmu.”
Ci-keng jadi melenggong memandang Hoat-ong, lebih tidak paham seluk beluknya.
Hoat-ong menepuk pelahan pundak Ci-keng, dan berkata pula: “Begini, akan kukatakan padamu tempat penyimpanan panji itu, kemudian secara diam-diam kau memberitahukannya kepada Ciu Pek-thong agar dia menemukan panji itu, jadi kau akan berjasa besar baginya.”
“Benar, benar, dengan demikian Ciu-susiokco pasti akan senang,” seru Ci - keng dengan girang. tapi segera berpikir olehnya, katanya lagi: “Namun pertaruhan Taysu itu kan menjadi kalah?”
“Yang penting adalah persahabatan kita, soal kalah menang urusan pribadi bukan apa-apa bagiku” kata Hoat-ong.
Tentu saja Ci-keng sangat berterima kasih, katanya: “Budi kebaikan Taysu entah cara bagaimana harus kubalas.”
Hoat-ong tersenyum, katanya: “Asalkan kau sudah mendapatkan bantuan Ciu Pek-thong, lalu kubantu lagi dengan perencanaan yang lebih sempurna, dengan begitu jabatan ketua pasti akan jatuh ditanganmu.” - Habis ini dia menuding bukit di sebelah sana dan berkata: “Marilah kita lihat2 ke bukit sana.”
Kira-kira beberapa li dari perkemahan Kubilai itu memang ada beberapa buah bukit, dengan cara jalan cepat mereka, hanya sekejap saja sudah sampai di tempat tujuan.
“Marilah kita mencari suatu gua sebagai tempat menyimpan panji,” kata Hoat-ong.
Bukit pertama tandus dan tiada sesuatu gua, ber-turut-urut mereka melintasi dua-tiga bukit, sampai bukit ketiga yang banyak pepohonan itu, malahan banyak pula guanya.
“Bagus sekali bukit ini,” ujar Hoat-ong. Dilihatnya diantara celah-celah dua batang pohon besar ada sebuah gua, mulut gua ter-aling-aling oleh pohon sehingga tidak mudah terlihat.
Segera ia berkata pula: “Nah ingatlah tempat ini, sebentar kusembunyikan panji itu, di dalam gua ini, malam nanti kalau Ciu Pek thong datang boleh kau membawanya ke sini.”
Dengan gembira Ci-keng mengiakan saja, ia mengamat-amati pula kedua pohon besar dan ingat baik-baik tempat itu, ia pikir pasti takkan salah.
Setiba kembali di perkemahan, setelah makan malam, Ci-keng berusaha mengajak bicara dengan Ci-peng, tapi Ci-peng masih lesu saja dan sungkan bicara.
Sementara itu malam sudah tiba, mendekat tengah malam, Ci-keng terus ngeluyur keluar dan duduk di samping sebuah gundukan pasir, Dilihatnya penjaga berkuda meronda kian kemari dengan ketat, dalam hati ia sangat kagum atas kepandaian Ciu Pek-thong yang maha sakti itu, di tengah penjagaan sekeras itu orang tua itu ternyata mampu pergi datang sesukanya dan berhasil mencuri panji kebesaran Kubilai.
Suasana sunyi senyap, langit membiru kelam hanya kelap-kelip bintang yang jarang-jarang. Tiba-tiba terpikir oleh Ci-keng: “Kalau apa yang dikatakan Hoat-ong terlaksana, tiga bulan kemudian aku akan menjadi ketua Coan-cin-kau, tatkala mana namaku akan termashur di segenap penjuru, beribu Tokoan (kuil agama To) dengan penganut yang tak terhitung jumlahnya akan tunduk semua pada perintahku Hm, tatkala itu kalau mau mencabut nyawa bocah she Nyo itu boleh dikatakan mudah seperti merogoh barang di saku sendiri.”
Begitulah makin dipikir makin senang hatinya sehingga dia berdiri dan memandang jauh ke sana, samar-samar tertampak Siao-liong-li masih duduk di bawah pohon itu, segera terpikir pula olehnya: “Nona Liong itu memang cantik luar biasa dan setiap orang pasti suka padanya, pantas Ci-peng edan kasmaran padanya, Tapi seorang ksatria sejati yang mengutamakan tugas besar mana boleh hilang akal dan tergoda oleh kecantikan wanita?”
Pada saat itulah tiba-tiba terlihat sesosok bayangan orang berlari datang dengan cepat dan menyusuri kian kemari di antara perkemahan itu, hanya sekejap saja bayangan itu sudah sampai di bawah tiang bendera, orang itu berjubah longgar, jenggotnya yang putih bergoatsi tertiup angin, siapa lagi kalau bukan Ciu Pek-thong.
Melihat tiang itu kosong tiada benderanya, Pek-thong terkesiap, tadinya ia menyangka Kim-hin Hoat-ong pasti menyembunyikan jago-jago di sekitar situ untuk mencegatnya dan inilah yang dia harap, sebab dengan demikian dia dapat berkelahi sepuasnya, siapa tahu tiang bendera itu ternyata kosong, ia coba memandang sekeliling, tertampak beribu-ribu kemah berderet-deret dan kemana harus mencari panji kebesaran Kubilai.
Segera Ci-keng menyongsong ke depan, bara saja ia hendak menyapa, tapi lantas terpikir jika begitu saja dia memberitahu tempat bendera itu, pasti akan menimbulkan rasa sangsi orang malah, sebaiknya dibiarkan orang tua itu mencari dengan kelabakan, nanti kalau sudah tak dapat menemukannya barulah kumuncul dan memberitahukan tempat penyimpanan bendera, dengan begitu dia batu merasakan betapa berharganya bantuanku dan pasti ikan sangat berterima kasih padaku.
Segera ia sembunyi di balik sebuah kemah untuk mengawasi gerak-gerik Ciu Pek-thong, dilihatnya sekali lompat saja orang tua itu telah memanjat ke atas tiang bendera, hanya beberapa kali kedua tangannya bekerja, segesit kera pucuk tiang bendera itu telah dicapainya, Diam-diam Ci-keng melongo kaget, padahal usia Ciu Pek-thong itu sedikitnya sudah lebih 90 jika belum genap seabad, tapi gerak-gerik-nya ternyata masih gesit dan tangkas seperti orang muda, sungguh luar biasa.
Setiba di atas pucuk tiang bendera, Ciu Pek-thong memandang sekelilingnya, yang terlihat cuma ribuan panji kecil yang berkibaran, hanya panji helai milik Kubilai itulah yang tidak nampak, ia menjadi gusar dan berteriak: “Hai, Kim-lun Hoat-ong, ke mana kau menyembunyikan Ongki (panji raja) itu?”
Bcgitu keras dan nyaring suaranya sehingga berkumandang jauh dan didengar oleh segenap perajurit Mongol, bahkan suara kumandang juga sayup-sayup terdengar membalik dari kejauhan sana.
Sebelumnya Hoat-ong sudah lapor pada Kubilai tentang urusan ini, maka perkemahan pasukan Mongol itu tetap sunyi senyap saja meski mendengai suara teriakan Ciu Pek-thong itu.
Terdengar Ciu Pek-thong menggembor lagi. “Wahai, Kim-lun Hoat-ong, kalau kau tidak menjawab, segera akan kumaki kau!”
Selang sebentar pula dan tetap tiada orang menggubris, terus saja Ciu Pek-thong mencaci-maki “Kim-lun busuk, Hoat-ong anjing, kau ini ksatria macam apa? Kau lebih tepat disebut kura2 yang mengerutkan kepala?”
Sekonyong-konyong di sebelah timur sana ada orang berseru: “Lo-wan-tong, Ongki yang kau cari beradij di sini, kalau mampu bolehlah kau mencurinya,”!
Secepat terbang Ciu Pek-thong terus melayang turun dan berlari ke sana sambil membentak: “Kemana?,”
Tapi sesudah berseru tadi, lalu orang itu tidak bersuara lagi, sambil memandangi kemah yang tak terhitung banyaknya itu, Ciu Pek-thong merasa bingung dan tidak tahu cara bagaimana harus bertindak.
Pada saat itulah mendadak di sebelah barat sana ada suara melengking teriakan orang macam menguiknya babi disembelih: “Ongki berada di sini!”
Seperti kesetanan Ciu Pek-tbong terus memburu ke sana, Suara orang itu masih terdengar tanpa berhenti, tapi makin lama makin lirih dan akhirnya lenyap tak terdengar lagi.
Dengan terbahak-bahak Ciu Pek - thong berteriak pula: “Hahaha, Hoat-ong busuk, memangnya kau sengaja main kucing2an dengan aku ya? Haha, sebentar kalau kubakar perkemahan kalian ini barulah kau nyaho!”
Diam-diam Ci-keng berkuatir, kalau betul orang tua ini main bakar, urusan memang bisa berubah runyam Cepat ia melompat keluar dari tempat sembunyinya dan mendesis: “Ssst! Ciu-susiokco, tidak boleh main bakar.
“Eh, kau, Tosu kecil!” tegur Pek-thong. “Kenapa kau bilang tidak boleh main bakar.”
“Mereka justeru sengaja memancing kau menyalakan api,”
demikian Cikeng sengaja membual “Di tengah perkemahan ini penuh tersimpan bahan peledak, sekali engkau menyalakan api. seketika semuanya-akan meledak dan badanmu akan hancur lebur.”
Ciu Pek-thong menjadi kaget dan memaki. “Keji juga muslihat busuk mereka ini.”
Ci-keng bergirang karena orang tua itu percaya kepada ocehannya, Segera ia berkata pula: “Cucu murid mengetahui muslihat mereka dan kuatir Susiokco terjebak, maka sejak tadi hati cucu murid sangat cemas dan gelisah, sebab itulah kutunggu di sini”
Wo, baik hati juga kau,” ujar Ciu Pek-thong–”Untung kau memberitahu padaku, kalau tidak kan Lo-wan-tong sudah mampus.”
“Malahan cucu murid dengan menyerempet bahaya mendapat keterangan tempat penyimpanan Ongki itu, marilah Susiokco ikut padaku,” bisik Ci-keng.
Akan tetapi Ciu Pek-thong lantas menggeleng dan berkata: “Jangan, jangan kau katakan padaku, kalau aku tak dapat menemukannya, anggaplah aku kalah.”
Rupanya pertaruhan mencuri panji ini bagi Ciu Pek-thong adalah suatu permainan yang sangat menarik,” kalau saja Ci-keng memberi petunjuk, andaikan berhasil juga terasa kurang nikmat baginya, apalagi setiap perbuatannya selamanya dilakukan secara terang-terangan dan tidak suka main sembunyi2an.
Karena bujukannya tidak berhasil, Ci-keng menjadi kelabakan, mendadak teringat bahwa kelakuan sang Susiokco ini lain daripada yang lain, untuk bisa berhasil harus dengan cara memancingnya. Segera ia berkata pula: “Susiokco, jika begitu akan kucari sendiri Ongki itu, lihat saja nanti kau lebih dulu berhasil atau aku.” Habis berkata ia ierus mendahului berlari kearah bukit-bukit.
Tidak jauh berlari, Ci-keng coba melirik kebe-lakang dan dilihatnya Ciu Pek-thong juga mengintilnya, langsung saja ia berlari ke bukit ketiga yang ada pepohonan itu, di situ ia menggumam sendiri: “mereka mengatakan Ongki itu disembunyikan dalam gua yang teraling oleh dua pohon besar, mana ada dua pohon besar yang dikatakan itu?”
Ia sengaja pura-pura celingukan kian kemari, tapi tidak mendekati gua yang dikatakan Kim-lun Hoat-ong.
Tiba-tiba terdengar Ciu Pek-thong berseru gembira. “Aha, kutemukan lebih dulu di sini!” Berbareng ia terus menerobos ke sela-sela kedua pohon.
Diam-diam Ci-keng tersenyum karena maksud tujuannya sudah tercapai, ia pikir setelah sang Susiokco berhasil menemukan Ongki, pasti dia akan berterima kasih padaku,
apalagi dia pasti merasa utang budi padaku karena aku telah menghindarkan dia dari kematian apabila dia jadi menyalakan api.
Dengan hati senang ia lantas mendekati gua itu tapi mendadak terdengar jeritan Ciu Pek-thong, suaranya ngeri menyeramkan, menyusul terdengal teriakannya: “Ular! Ular berbisa!”
Keruan Ci-keng kaget, sebelah kaki yang sudah melangkah ke dalam gua itu cepat di tariknya kembali, lalu berseru: “Susiokco, masakah di situ ada ular berbisa?”
“Buk… bukan ular…. bukan ular…”
Terdengar teriakan Ciu Pek-thong, suaranya sudah jauh lebih lemah.
Kejadian ini sama sekali di luar dugaan Tio Ci Keng, cepat ia menjemput sepotang kayu kering dan dinyalakan sebagai obor, lalu digunakan menerangi kedalam gua, Dilihatnya Ciu Pek-thong tergeletak di tanah, tangan kiri memegangi sehelai- bun panji dan berulang-ulang dikebutkan seperti sedang menghalau sesuatu makhluk aneh.
“Susiokco, ada apakah ?” tanya Ci-keng kuatir.
“Aku digigit… digigit makhluk ber… makhluk berbisa….” kata Pek thong dengan suara lemah dan terputus-putus sampai di sini tangannya juga lantas melambai ke bawah dan tidak kuat mengebutkan kain bendera lagi…
Ci-keng heran, makhluk berbisa apakah yang sedemikian lihaynya sehingga dapat membuat Ciu Pek-thong yang maha sakti itu tak dapat berkutik dalam waktu sesingkat itu? Segera dilihatnya kain panji yang dipegang Ciu Pek-thong itu ternyata sebuah panji tentara biasa dan bukan panji kebesaran Kubilai yang di cari itu.
Diam-diam ia tambah ngeri. Kiranya paderi Tibet itu sengaja menipu aku memancing Susiokco ke sini, tapi di dalam gua ini telah disebarkan makhluk berbisa.”
Dalam keadaan demikian, bagi Ci-keng yang penting adalah menyelamatkan jiwanya sendiri, mana sempat dia sempat memikirkan mati-hidupnya Ciu Pek-thong, iapun tidak berani memeriksa keadaan sang Susiokco dan makhluk berbisa apa yang menggigitnya itu, tanpa bicara lagi ia membuang obofnvl dan melarikan diri.
Tapi sebelum obor itu jatuh ke tanah, mendadak berhenti di tengah jalan, rupanya kena ditangkap oleh tangan seseorang, terdengar orang itu berkata: “Kenapa, masakah orang tua ditinggalkan begitu saja?” suaranya halus nyaring, tertampak baju putih berkelebat jelas itulah Siao-liong-li, dibawah cahaya obor wajahnya yang moIek itu tampak tidak mengunjuk perasaan girang atau gusar.
Sungguh kejut Ci-keng tak terkatakan. Sama sekali tak terduga bahwa Siaoliongli berada begitu dekat di belakangnya, ingin sekali ia melarikan diri, tapi kakinya terasa berat dan sukar melangkah.
Padahal dari jauh Siao-liong-li mengawasi dia, setiap gerak gerik Tio Ci-keng tak pernah terlepas dari pengamatannya, Ketika Ci-keng memancing Ciu Pek-thong ke bukit ini, diam-diam Siao-liong-li juga menguntit di belakangnya. Sudah tentu Ciu Pek-thong mengetahuinya, tapi ia tidak ambil pusingi hanya Ci-keng saja yang tidak tahu.
Dengan obor yang dipegangnya itu Siaoliong-li lantas menerangi tubuh Ciu Pek-thong, terlihat muka orang tua itu samar-samar bersemu hijau, segera ia Iepaskan sarung tangan benang emas, lalu memegang tangan Ciu Pek-thong dan diperiksa. Seketika Siao-liong-li terperanjat ternyata ada tiga ekor labah2 sebesar ibu jari sedang menggigit tiga jari tangan kiri Ciu Pek-thong.
Bentuk ketiga ekor labah2 itu sangat aneh, seluruh badan berloreng merah dan hijau menyolok, sekali pandang saja orang akan merasa ngeri.
Siao-liong-li tahu makhluk berbisa apapun semakin bagus warnanya semakin jahat racunnya, apa lagi labah2 ini belum pernah dilihatnya, biarpun memakai sarung tangan juga tak berani ditangkapnya, cepat ia ambil sepotong ranting kayu dan bermaksud pencukit ketiga ekor labah2 itu.
Tak terduga labah2 itu ternyata menggigit kencang sekali di jari Ciu Pek-thong, beberapa kali Siao liong-li mencukitnya tetap tak terlepas: Tanpa pikir lantas menyambitkan tiga buah Giokhong-ciam (jarum tawon putih), kontan ketiga ekor labah2 tertembus perutnya dan mati seketika.
Cara Siao-liong-Ii menyambitkan jarumnya itu sangat bagus sekali, tenaga yang digunakan begitu tepat, labah2 itu mati tertusuk jarum, tapi tidak sampai melukai Ciu Pek-thong.
Kiranya labah2 itu disebut “Cay swat-tu” (labah2 salju panca warna) dan hidup di pegunungan bersalju daerah Tibet, tergolong satu di antara tiga jenis makhluk berbisa paling jahat di dunia ini. Kim-lun Hoat-ong membawa labah2 berbisa ini ke Tionggoan maksudnya hendak mengadu kepandaian menggunakan racun dengan ahli racun di Tionggoan.
Tempo hari waktu dia berusaha membunuh Kwe Ceng, karena tiada rencana menggunakan racun, maka dia tidak membawa labah2 berbisa ini. Tak terduga ia sendiri malah kena jarum berbisa Li Bok chiu.
Saking gemasnya setiba kembali di markas Kubilai ia lantas keluarkan kotak penyimpan labah2 itu dan disiapkan untuk menghadapi Li Bok-chiu apabila kepergok lagi setiap saat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar