Selasa, 27 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 96



Kembalinya Pendekar Rajawali 96

Meski racun mengeram hebat dalam tubuhnya, namun sementara ini belum bekerja, sebaliknya ilmu silatnya mulai pulih karena Hiat-to yang tadinya terganggu itu telah berhasil diterobos semuanya, Dengan memondong Kwe Yang ia dapat melangkah cepat ke depan.
Lebih satu jam mereka berjalan dan makin jauh meninggalkan Tiong-yang-kiong, dipandang dari jauh api
masih berkobar di pegunungan itu.
Angin utara meniup semakin kencang sehingga muka si Kwe Yang cilik kedinginan ke-merah2an. “Marilah kita mencari sesuatu makanan, anak ini kedinginan dan lapar pula, mungkin tidak tahan” kata Siao-liong-Ii.
“Ya, aku ini sungguh tolol, entah untuk apa kurebut anak ini, hanya menambah beban saja,” ujar Yo Ko.
Siao-liong-li mencium muka Kwe Yang yang memerah apel itu, katanya: “Adik cilik ini sangat menyenangkan, apakah kau tidak suka padanya?”
“Anak orang lain, tetap anak orang Iain, paling baik kalau kita dapat melahirkan anak sendiri,” kata Yo Ko dengan tertawa.
Wajah Siao-liong-li menjadi merah, ucapan Yo Ko ini menyentuh sifat keibuan lubuk hatinya, pikirnya: “Ya, alangkah baiknya kalau kudapat melahirkan anak bagimu, akan tetapi ai….”
Kuatir si nona berduka, Yo Ko tak berani mengadu pandang, ia menengadah memandangi langit tertampak awan tebal menggumpal bergeser dan sebelah barat-laut, begitu tebal dan luas gumpalan awan itu seakan2 jatuh menimpa kepala saja, katanya: “Melihat gelagatnya, mungkin segera akan turun salju, kita perlu mencari rumah penduduk untuk mondok.”
Tapj arah yang mereka tempuh adalah lereng pegunungan yang sunyi, di mana-mana hanya batu padat dan semak belukar belaka, mana ada rumah penduduk segala.
“Wah, tampaknya salju yang turun nanti pasti sangat lebat, agar jalan kita tidak tertutup, sebaiknya kita harus memburu waktu dan turun gunung sekarang juga,” kata Nyo Ko sambil mempercepat langkahnya.
“Paman Bu dan nona Kwe mereka akan ke-pergok pasukan Mongol tidak? Para Tosu Coan-cin-kau itu entah dapat lolos dengan selamat tidak?” Demikian Siao liong-li berucap dengan nada yang simpatik.
“Kau benar-benar mempunyai Liangsim (hati nurani), orang-orang itu berbuat jahat padamu, tapi kau tetapi tidak melupakan keselamatan mereka, pantas dahulu kakek guru mengharuskan kau berlatih ilmu yang bebas dari segala cinta rasa, urusan apapun tidak peduli dan tidak ambil pusing, akan tetapi karena kau menaruh perhatian padaku, hasil latihanmu selama 20-an tahun telah hanyut seluruhnya dan mulailah kau menaruh perhatian terhadap siapapun”
Siao-liong-li tersenyum, katanya: “Sesungguhnya, pahit getir penderitaanku bagimu juga mendatangkan rasa mnais, yang kukuatirkan adalah kau tidak mau terima perhatianku kepadamu.”
“Ya, merasakan pahit dan manis jauh lebih baik daripada tidak merasakan apa-apa!” kata Yo Ko.
“Aku sendiri hanya suka ugal2an dan angin-anginan, tidak pernah hidup tenang dan aman tenteram.”
“Bukankah kau mengatakan kita akan pergi ke selatan, di sana kita akan bercocok tanam dan beternak?” tanya si nona dengan tersenyum.
“Benar, semoga terkabul harapan kita,” ujar Yo Ko dengan menghela napas.
Sampai di sini, tertampaklah kapas tipis mulai beterbangan dari udara, bunga salju sudah mulai turun. Dengan Lwekang mereka yang tinggi, dengan sendirinya hawa dingin itu tidak menjadi soal bagi mereka, segera mereka melangkah dengan cepat.
“Eh, Ko-ji, coba kau terka ke mana perginya Suciku sekarang?”
“Kembali kau memperhatikan dia lagi, Akhirnya Giok-li-sim-keng dibawa lari olehnya dan terkabul cita2nya. Kuatirnya kalau isi kitab itu berhasil diyakinkan dan ilmu silatnya maju pesat, bisa jadi kejahatannya juga akan bertambah hebat.”
“sebenarnya suci juga harus dikasihani,” ujar siao-liong-li.
“tapi dia sendiri tidak rela dan ingin membikin setiap orang di dunia ini juga berduka dan merana seperti dia, “kata yo ko.
Tengah bicara, cuaca semakin gelap. Setelah membelok ke lereng sana, tiba-tiba terlibat di antara dua pohon Siong tua terdapat dua buah rumah gubuk, atap rumah itu sudah tertimbun salju setebal jari manusia, “Aha, di sinilah kita lewatkan malam ini,” seru Yo Ko kegirangan.
Setiba di depan gubuk2 itu, terlihat daun pintunya setengah tertutup tanah salju di situ tiada tanda-tanda bekas kaki, ia coba berseru: “Permisi! Karena hujan salju, kami mohon mondok semalam saja.”
Tapi sampai sekian lama ternyata tiada suara jawaban, Yo Ko lantas mendorong pintu di dalam rumah, tiada seorangpun. Di atas meja kursi penuh debu, agaknya sudah lama tiada penghuninya, segera ia memanggil Siao liong li masuk, setelah menutup pintu, mereka lantas membuat api unggun.
“Dinding papan rumah itu tergantung busur dan anak panah, di pojok rumah sana ada sebuah alat perangkap kelinci, Tampaknya rumah ini adalah pondok darurat kaum pemburu.
Dengan busur dan anak panah itu Yo Ko keluar berburu dan mendapatkan buruan, maka mulailah mereka berpesta rusa panggang.
Sementara itu salju turun semakin lebat, namun hawa dalam rumah cukup hangat oleh api unggun. Siao liong li mengunyah sedikit daging rusa dan dan menyuapi si Kwe yang cilik, dengan menikmati daging rusa panggang itu, Nyo Ko memandangi mereka berdua dengan tersenyum simpuI, suasana hangat dan mesra laksana pengantin baru yang sedang bertamasya.
Sekonyong-konyong dari arah timur tanah salju itu berkumandang suara tindakan orang yang cepat, jelas itulah ginkang orang yang mahir ilmu silat. Yo Ko berdiri dan melongok ke sana melalui jendela, dilihatnya dua kakek mendatang ke arah gubuk ini, seorang gemuk dan yang lain kurus, pakaian mereka rombeng, kakek kurus menyanggul sebuah HioIo-(buli2 dari sejenis labu besar) besar warna merah.
Hati Yo Ko tergetar, teringat olehnya bahwa benda itu adalah milik Ang Jit-kong.
Dahulu Ang Jit-kong, itu ketua Kaypang yang berjuluk pengemis sakti berjari sembilan, bertempur mati-matian dengan Auyang Hong di puncak tertinggi Thian san, akhirnya kedua orang sama-sama kehabisan tenaga dan gugur bersama.
Yo Ko yang mengubur kedua orang tua itu dan Holo besar merah itupun ditanam di samping jasad Ang Jit-kong.
Kemudian dalam pertemuan besar para ksatria, seorang pengemis tua pernah membawa Holo merah itu sebagai tanda perintah Ang Jit-kong, katanya sang ketua itu belum meninggal, bahkan menganjurkan kaum jembel berbangkit membela tanah air dan mengusir musuh.
Tatkala mana Yo Ko sangat heran darimana munculnya Holo merah itu? Tapi dalam pertemuan besar itu banyak terjadi persoalan sehingga tidak sempat mengusut urusan itu, kemudian juga tidak bertemu lagi dengan orang Kaypang, maka urusan itupun sudah terlupa, sekarang dandanan kedua kakek ini jelas juga anggota Kaypang.
Yo Ko jadi tertarik demi ingat kejadian dahulu itu, segera ia membisiki Siao-Iiong li: “Di luar ada orang, kau rebah saja di pembaringan dan pura-pura sedang sakit?”
Siao-liong-li menurut, ia pondong Kwe Yang dan berbaring di atas ranjang, ditariknya selimut butut yang terletak di ujung tempat tidur itu.
Yo Ko lantas xnemolesi mukanya dengan hangus, topinya ditariknya hingga hampir menutupi mukanya, pedang pusaka juga disembunyikan. Dalam pada itu kedua orang tadi sudah mengetok pintu. Cepat Yo Ko meng-gosok-gosok tangannya yang berlepotan minyak daging rusa yang baru dimakannya  itu sehingga lebih mirip seorang pemburu yang kotor, habis itu pintu lantas dibukanya.
Dengan tertawa si kakek gemuk lantas berkata: “Hujan salju ini sangat hebat dan sukar meneruskan perjalanan, mohon kemurahan hati tuan sudi menerima pengemis untuk mondok semalam.”
“Ah, pemburu macamku tidak perlu dipanggil tuan segala, silakan Lotiang (bapak) masuk dan bermalam di sini,” jawab Yo Ko.
Berulang-ulang pengemis gemuk itu mengucapkan terima kasih, Segera Yo Ko lantas mengenali juga si pengemis kurus itu, jelas dia orang yang pernah menyampaikan perintah Ang Jit-kong dahulu dengan membawa Holo besar merah, diam-diam ia menjadi kuatir kalau-kalau dirinya akan dikenali pengemis kurus itu, cepat ia merobek dua potong daging panggang dan diberikan kepada kedua orang itu, katanya:
“Mumpung masih hangat2, silakan makan seadanya, hujan salju begini kebetulan bagiku untuk menambah penghasilan.
Besok pagi-pagi harus kupergi memasang perangkap untuk menangkap rase, maafkan aku tidak temani kalian lebih lama,”
“Oh, jangan sungkan-sungkan, silakan saja,” jawab si pengemis gemuk tadi.
Segera Yo Ko sengaja berseru dengan suara keras: “He, ibunya bocah, apakah batukmu sudah baikan?”
“Wah, pergantian musim menambah dadaku makin sesak saja,” jawab Siao-liong-li sambil batuk lebih keras, berbareng ia sengaja menggoyangi si Kwe Yang sehingga anak itu terjjaga bangun, maka di antara suara batuk lantas terseling  suara tangisan anak bayi, sandiwara keluarga pemburu benar-benar dimainkan mereka dengan sangat hidup.
Yo Ko lantas masuk ke ruangan dalam serta menutup pintu, lalu ia berbaring disamping Siao-liong-li, diam-diam ia sedang mengingat-ingat muka si pengemis gemuk tadi seperti sudah pernah dikenalnya, cuma di mana, seketika tak teringat.
Kedua pengemis gemuk kurus itu menyangka Yo Ko benar-benar seorang pemburu miskin, maka mereka tidak menaruh perhatian padanya, sembari makan daging rusa panggang mereka lantas mulai mengobrol Si pengemis kurus berkata: “Melihat api yang berkobar di Cong-lam-san itu, agaknya sudah berhasil.”
dimana tiba pasukan Mongol disitu lantas ditaklukkan hanya sekawanan Tosu Coan-cin-kau saja apa artinya lagi?” ujar si pengemis gemuk dengan tertawa.
“Tapi beberapa hari yang lalu Kim-lun Hoat-ong dan begundalnya telah pulang dengan mengalami kekalahan yang mengenaskan,” kata si kurus.
“Itupun baik, biar Sri Baginda tahu bahwa untuk menduduki tanah air bangsa Han ini juga diperlukan tenaga bangsa Han sendiri, kalau melulu mengandalkan orang Mongol dan orang asing lainnya jelas tidak jadi.”
Sampai di sini, tiba-tiba Yo Ko teringat pada si gemuk ini juga pernah dilihatnya dalam pertemuan besar kaum ksatria dahulu, cuma waktu itu si gemuk ini memakai mantel kulit dan berdandan sebagai orang Mongol serta selalu ber-bisik-bisik di samping Kim-lun Hoat-ong, jelas inilah orangnya. Diam-diam ia merasa gemas, pikirnya:
“Apa yang mereka bicarakan melulu urusan pengkhianatan belaka, kebetulan kepergok olehku, tidak dapat kuampuni mereka.”
Kiranya pengemis gemuk ini adalah satu di su-tay-tianglo (empat tertua) dalam Kay-pang, yaitu Peng-tiangIo. perbuatannya memang khianat sudah lama dia menyerah kepada pihak Mongol.
Begitulah terdengar si pengemis kurus sedang berkata pula: “Peng-tianglo, sekali ini apabila Kay-pang aliran selatan jadi didirikan, entah pangkat apa akan kau dapat dari raja Mongol?”
“Raja menjanjikan pangkat “panglima besar wilayah selatan” padaku,” jawab Peng-tianglo. “Akan tetapi seperti kata pribahasa kita, mengemis tiga tahun lebih bebas daripada jadi raja tiga hari. Kaum pengemis seperti kita masakah ingin menjadi pembesar segala?”
Walaupun demikian katanya, namun dan balik ruangan sana Yo Ko dapat menangkap nada ucapannya yang penuh ambisi dan harapan itu.
“Wah, untuk itu terimalah lebih dulu ucapan selamat dariku,” kata si kurus.
“Selama beberapa tahun terakhir ini, jasamu juga tidak kecil, kelak tentu kau juga akan mendapat bagian yang sesuai.”
“Soal kedudukan tidak berani kuharapkan cuma engkau pernah menjanjikan Liap hun-tay-hoat (ilmu pengikat sukma, serupa hipnotisme sekarang), bilakah baru engkau akan mengajarkannya kepadaku?”
“Nanti kalau Kay-pang selatan sudah berdiri dengan resmi, setelah aku menjadi Pangcu dan begitu ada waktu luang segera akan kuajarkan padamu.”
“Kukira setelah engkau menjadi Paagcu serta diangkat menjadi panglima, pekerjaanmu tentu semakin banyak dan sibuk, mana ada waktu luang?”
“Ah, masakah kau tidak percaya padaku,” ujar Peng-tianglo dengan tertawa.
Si kurus tidak bicara lagi, hanya hidungnya mendengus pelahan, tampaknya dia masih ragu.
Diam-diam Yo Ko membatin: “seluruh dunia hanya ada satu organisasi Kay-pang tanpa membedakan utara dan selatan, untuk apa dia mau mendirikan Kay-pang aliran selatan segala, ini pasti permainan gila orang Mongol.”
Terdengar Peng-tianglo sedang berkata pula dengan tertawa: “Setelah berkeliling, hendaklah kau menyebarkan perintah si setan tua she Ang, katakan utara dan selatan teralang dan sukar mengadakan kontak, maka utara dan selatan perlu dipisahkan menjadi dua.”
“Dan anggota bagian selatan dengan sendirinya berada di bawah pimpinanmu” kata si kurus dengan dingin.
“Juga tidak perlu begitu, biarlah kita mengangkat dulu Kan-tianglo sebagai ketua, usianya lebih tua, anak muridnya juga banyak, orang lain tentu tidak curiga, Nanti kalau dia sudah kupengaruhi dengan Liap-hun-tay-hoat, tentu dia akan menyerahkan kedudukannya padaku, tatkala mana segalanya akan menjadi beres dengan sendirinya.”

“Sebenarnya Ang-lopangcu sudah lama wafat, kalau kusiarkan lagi perintah palsu beliau, mungkin akan lebih menimbulkan curiga orang, Melulu mengandalkan Holo palsu ini rasanya sukar mendustai orang terus menerus, kalau kepungan terhadap Siang-yang sudah mereda dan Ui-pangcu datang mengusut persoalan ini, wah, biarpun jiwaku pakai serep juga akan melayang semuanya.”
“Hahaha!” Peng tianglo tertawa, “Asal kau bertindak secara cepat, maka urusan juga akan cepat beres, mengenai perempuan hina she Ui itu, kini dia terkepung di kota, jiwanya pasti sukar tertolong”
Sampai di sini barulah Yo Ko mengetahui duduknya perkara, kiranya Holo merah itu adalah tiruan, lantaran tiada orang yang menyaksikan meninggalnya Ang Jit-kong, mereka berdua lantas membawa Holo palsu itu untuk mempengaruhi murid-murid Kay pang, karena seruan yang mereka sebarkan itu mengenai tugas suci kaum pahlawan, demi negara dan bangsa, sebab itulah anggota Kay-pang tidak menaruh curiga.
Kalau semua anggauta sudah percaya penuh barulah Peng-tianglo itu akan berusaha mendirikan aliran cabang untuk memecah belah Kay-pang, itu organisasi terbesar pada jaman itu.
Meski Yo Ko hanya berkumpul beberapa hari saja dengan Ang Jit-kong, tapi dia benar-benar kagum dan hormat terhadap sifat ksatria tokoh tua itu, pikirnya: “Ang-locianpwe sedemikian perkasa, nama baiknya sesudah meninggal tidak boleh dirusak oleh kaum tikus celurut begini.”
Apalagi iapun teringat kepada keganasan pasukan Mongol yang dilihatnya di sepanjang jalan, maka diam-diam ia bertekat akan membunuh kedua-jahanam ini.
Begitulah terdengar si pengemis kurus tadi sedang berkata pula: “Peng-tianglo, barang yang sudah kau janjikan, kapan2 juga harus kau berikan, cuma kulihat engkau rada-rada lain di mulut lain di hati.”
“Habis kau mau apa?” tanya Peng-tianglo dengan tak senang.
“Aku berani apa?” jawab si kurus, “Hanya aku ini memang penakut, selanjutnya aku tak berani lagi menyiarkan perintah palsu Ang-pangcu.”
Diam-diam Yo Ko anggap ucapan si kurus itu benar-benar goblok, barangkali ingin mampus, makanya berani berkata begitu.
Terdengar Peng-tianglo lantas bergelak tertawa katanya: “Baiklah, urusan ini dapat kita rundingkan lagi, jangan kau sangsi.”
Setelah berhenti sejenak, kemudian si kurus berkata pula: “Sisa daging rusa ini tidak kenyang kita makan, biar kupergi mencari buruan lain.”- Habis itu ia lantas membawa busur dan anak panah dan melangkah keluar.
Segera Yo Ko mengintip dari sela-sela dinding papan, dilihatnya begitu si kurus pergi, Peng-tiango itu juga lantas berbangkit dan mclolos belati serta mendengarkan gerak-gerik kawannya dari balik pintu, setelah mendengar suara tindakan si kurus sudah pergi jauh, dengan ber jengket2 iapun menyelinap keluar.
Dengan tertawa Yo Ko membisiki Siao-liong-li: “jelas kedua jahanam ini akan saling bunuh, kebetulan bagiku, dapat ku irit tenaga, Ku-lihat si gemuk itu jauh lebih lihay dan sikurus bukan tandingannya.
“Paling baik kalau keduanya tidak datang kembali semua dan gubuk ini akan tenang dan tenteram tak terganggu,” ujar Siao -liong li.
Yo Ko mengiakan, Mendadak ia mendesis pula dengan suara tertahan: “Dengarkan suara tindakan orang.” -Terdengar ada orang berjalan dengan ber-jinjit2 di lereng sebelah barat terus memutar ke belakang gubuk.
“Agaknya si kurus tadi menyusup kembali hendak menyergap si gemuk,” bisik Yo Ko pula dengan tersenyum.
Segera ia menolak daun jendela dan melompat keluar dengan enteng tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Benar juga dilihatnya si pengemis kurus sedang mengintip di antara sela-sela dinding. Rupanya ia menjadi ragu-ragu karena tidak menemukan bayangan si gemuk.
Pada saat itulah Nyo-Ko telah berada di belakangnya dan mendadak mengikik tawa Sudah tentu si kurus kaget, cepat ia berpaling dengan air muka ketakutan karena menyangka Peng tianglo yang berada di belakangnya, tapi si Yo Ko lantas berkata dengan tertawa:
“Jangan takut, jangan takut!” Berbareng itu cepat sekali ia menutuk tiga Hiat-to penting di bagian dada, iga dan kaki orang, lalu ia menjinjing tubuh si kurus ke depan gubuk.
Ia memandang sekelilingnya yang sunyi dan salju belaka, itu, tiba-tiba timbul sifat kanak-anaknya, serunya: “Liongji, lekas kemari, bantulah aku membikin orang-orangan salju,”-
Habis itu ia terus mengeduk salju yang memenuhi bumi itu dan diurukkan pada tubuh si pengemis kurus.
Siao-liong-li lantas keluar dari gubuk dan membantunya, dengan tertawa cekakak dan cekikik Yo Ko dan Siao-liong-li benar-benar seperti anak kecil saja, hanya sebentar seluruh badan pengemis kurus itu sudah penuh diuruki salju.
Selain sepasang biji mata saja yang masih dapat bergerak, kini pengemis kurus itu telah berubah menjadi orang salju yang gemuk laksana “gajah bengkak”, malahan pada punggungnya masih menggendong Holo besar yang juga berlapiskan bunga salju.
“Hahaha, kakek kurus kering ini hanya sekejap saja telah berubah menjadi gemuk dan putih,” kata Yo Ko sambil tertawa.
“Dan kakek aslinya memang gemuk dan putih itu nanti akan kau permak menjadi apa?” ujar Siao-liong-ii dengan riang.
Belum lagi Yo Ko menjawab, terdengarlah Iangkah orang dari jauh. cepat anak muda itu mendesis: “Ssssst, si gemuk sudah kembali, lekas kita sembunyi dulu.”
Cepat mereka masuk lagi ke dalam rumah dan merapatkan pintu kamar, Siao liong-li sengaja menggoyangkan Kwe Yang agar anak itu menangis, tapi niatnya tiada berhenti menimangnya agar lekas tidur.
Selama hidupnya tidak pernah Siao-liong-li berdusta dan berbuat munafik, perbuatan yang aneh dan licik ini malahan belum terbayang olehnya, soalnya dia melihat Yo Ko suka berbuat begitu, maka iapun ikut ramai-ramai saja.
Dalam pada itu Peng-tianglo telah kembali, sepanjang jalan ia mengikuti jejak kaki, dilihatnya jejak kaki si kurus itu memutar balik dan sembunyi di kiri belakang rumah, maka iapun mengikuti jejak itu ke belakang, lalu sampai pula didepan rumah.
Dari sela-sela dinding Yo Ko dan Siao-liong-li dapat melihat si gemuk sedang mengintip ke dalam rumah dengan menggenggam belati dan siap siaga. Meski pengemis kurus yang diuruki salju itu merasa kedinginan setengah mati, tapi dia masih sadar, di lihatnya Peng-tianglo justeru berada disampingnya, tapi sedikitpun pengemis gemuk itu tidak menyadari hal ini, asal si kurus ayun tangannya ke bawah pasti dapat membinasakan si gemuk, celakanya tiga tempat Hiat-to si kurus tertutuk dan takbisa berkutik.
Tampaknya Peng-tianglo sangat heran ketika mengetahui si kurus tidak berada di dalam rumah, ia lantas mendorong pintu dan sedang memikirkan ke mana perginya pengemis kurus itu, pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang berjalan mendatangi. Muka Peng-tianglo tampak berkerut lalu sembunyi di balik pintu untuk menanti pulangnya si kurus.
Siao-liong-li dan Yo Ko juga sangat heran, jelas pengemis kurus itu sudah menjadi orang salju, mengapa ada orang datang pula? Baru mereka berpikir, segera terdengar bahwa yang datang itu seluruhnya dua orang, jelas adalah pendatang baru dan bukan si kurus.
Karena Peng-tianglo itu bertujuan jahat dan bertekad akan membinasakan si kurus, pula daya pendengarannya memang kalah tajam daripada Yo Ko dan Siao-liongli, maka dia tidak mendengarnya dan baru tahu dugaannya meleset dan setelah kedua pendatang itu sudah berada di depan rumah..
“0-mi-to-hud: (Adhi Budaya)!” terdengar seorang di antaranya mereka menyebut Budha, “Karena kehujanan salju, kami mohon Sicu suka memberi mondok semalam di sini.”
Peng-tianglo lantas menyelinap keluar, dilihatnya di tanah salju sana berdiri dua Hwesio tua, seorang alis jenggotnya sudah putih, wajahnya welas asih, seorang lagi jenggot hitam kaku dan memakai jubah hitam, walaupun di musim dingin, namun pakaian kedua pendeta itu sangat tipis.
Selagi Peng-tianglo melengak dan belum menjawab, tahu-tahu Yo Ko sudah keluar dan berseru: “Silakan masuk, Toa hwesio! Orang dalam perjalanan memangnya membawa rumah sendiri?”
Pada saat itu juga mendadak Peng-tianglo melihat Holo besar dipungguhg si pengemis kurus yang telah berubah orang salju gemuk itu, ia terkejut dan heran melihat keadaan kawannya yang aneh itu. Waktu ia menoleh pada Yo Ko, dilihatnya anak muda ini bersikap biasa saja seperti tidak mengetahui sesuatu.
Dalam pada itu Yo Ko telah menyilakan kedua Hwesio tua itu ke dalam rumah, dari gerak-gerik kedua Hwesio itu ia yakin mereka pasti bukan sembarangan pendeta agama Budha, terlebih Hwesio jubah hitam yang berwajah bengis dan bersorot mata aneh itu, ia menjadi sangsi jangan-jangan adalah orang segolongan Peng-tianglo.
“Silakan tinggal saja di sini, Toahwesio,” kata Yo Ko kemudian, “cuma orang gunung miskin seperti kami ini tiada alat perlengkapan tidur segala” Eh, kalian suka makan daging panggang tidak?”
Padahal dia tahu umumnya kaum Budha tidak makan barang berjiwa, Maka cepat si Hwesio alis putih telah menjawab: “Ampun, ampun! Kami sendiri membawa sekedar rangsum kering, Sicu tidak perlu repo2″
“Baiklah, kalau begitu,” kata Yo Ko, lalu iapun masuk ke kamarnya dan membisiki Siao-liong li: “Kedua Hwesio tua ini tampaknya adalah tokoh yang sangat tangguh, sebentar kita harus dua lawan tiga.
Siao-liong-li mengernyitkan keningnya, katanya dengan suara tertahan. “Orang jahat di dunia ini sungguh banyak sekali, orang ingin hidup tenang di pegunungan sunyi begini juga tetap terganggu,”
Yo Ko coba mengintip gerak-gerik kedua Hwesio tua, dilihatnya si Hwesio alis putih mengeluarkan empat potong kue tawar, dua potong diberikan si Hwesio baju hitam, ia sendiri makan dua biji.
Dari wajah dan sikap Hwesio alis putih itu Yo Ko percaya pendeta itu pasti tinggi ibadat agamanya, cuma di dunia ini juga tidak kurang manusia jahat berwajah alim, contoh di depan mata juga ada, yaitu Peng-tianglo, bukankah sikapnya juga ramah tamah dan wajahnya selalu berseri2, tapi hatinya ternyata busuk. Yang aneh adalah Hwesio jubah hitam itu, mengapa sinar matanya begitu bengis buas.
Tengah berpikir, sekonyong-konyong terdengar suara gemerinctng, si Hwesio jubah hitam mendadak mengeluarkan dua potong benda ke-hitam-hitaman terbuat dari besi.
Tadinya Peng-tianglo duduk dibangku, mendadak ia melompat bangun sambil siap melolos senjata, Tapi Hwesio jubah hitam tidak menggubris-nya, “krek-krek”, benda hitam itu telah digembol pada kakinya sendiri, kiranya benda itu adalah sepasang belenggu besi. sepasang belenggu lagi lantas dipasang pula pada kedua tangan sendiri.
Tentu saja Yo Ko dan Peng-tianglo sangat heran dan tidak dapat menerka apa maksud dan artinya perbuatan Hwesio itu membelenggu kaki dan tangan sendiri Tapi dengan demikian rasa was-was mereka juga lantas berkurang beberapa bagian.
Paderi alis putih tampaknya menaruh perhatian kepada kawannya, dengan suara pelahan ia bertanya: “Apakah hari ini waktunya?”
“Sepanjang jalan Tecu sudah merasakan gelagat tidak enak”, bisa jadi hari ini,” jawab si Hwesio jubah hitam, mendadak ia terus berlutut, kedua tangan terangkap di depan dada serta berdo’a: “Mo-hon pertolongan Budha- yang maha welas asih.”
Habis berucap begitu, Hwesio baju hitam itu lantas menunduk dari meringkukkan tubuhnya tanpa bergerak, Selang sejenak, tubuh bagian atas rada gemetar, napasnya mulai terengah-engah, makin lama makin ngos2an, sampai akhirnya suara napasnya menjadi seperti raungan kerbau yang sekarat, sampai rumah papan itu bergetar oleh suara raungannya dan bunga salju di atas atap sama rontok.
Tidak hanya Peng-tianglo saja yang terkejut dan kebat- kebit hatinya, tapi Yo Ko dan Siao-liong-li juga saling pandang dengan bingung, mereka tidak tahu apa yang dilakukan Hwesio baju hitam itu, dari suara raungannya itu tampaknya dia sedang menderita siksaan yang maha hebat.
Tadinya Yo Ko berprasangka buruk terhadap Hwesio baju hitam itu, sekarang mau tak-mau timbul rasa kasihannya. pikirnya: “Entah penyakit aneh apa yang dideritanya, mengapa Hwesio alis putih tidak ambil pusing, bahkan anggap tidak tahu dan tidak lihat suara napasnya yang keras itu?”
Selang sebentar pula, suara napas Hwesio baju hitam semakin memburu, dengan pelahan Hwesio alis putih berkatalah “Tidak seharusnya diperbuatnya tapi telah diperbuatnya, seharusnya diperbuat malah tidak diperbuatnya, terbakar oleh mengamuk nya api penyesalan terjerumuslah ke jalan sesat di-jelmaan mendatangi….”
Kalimat sabda Budha itu diucapkan Hwesio itu dengan pelahan, tapi ternyata dapat terdengar dengan jelas di tengah suara napas Hwesio baju hitam yang gemuruh, Yo Ko terkejut akan Lwekang si Hwesio tua yang hebat itu, rasanya di jaman ini jarang ada bandingannya.
Terdengar Hwesio alis putih meneruskan membaca weda Budha “Kalau orang berdosa mau menyadari dosanya, sesudah sadar tidak lagi meresahkannya, dengan begitu hatipun tenteram, tidak perlu lagi memikirkannya pula, jangan karena rasa penyesalannya itu, tidak melakukan apa-apa yang seharusnya dilakukannya, kejahatan2 yang sudah diperbuatnya, tidak mungkin ditariknya kembali.”
Lambat laun napas Hwesio baju hitam menjadi pelahan dan akhirnya berhenti, sambil berenung iapun menggumam: “Kalau orang berdosa mau -menyadari dosanya, sesudah sadar tidak lagi meresahkannya. Suhu, Tecu menyadari macam perbuatan di masa lalu itu berdosa, Tecu sangat menyesal dan hampir tak dapat mengatasi perasaan berdosa sendiri ini. Yang Tecu pikirkan adalah: kejahatan yang sudah diperbuatnya, tidak dapat ditarik kembali Karena itu hati Tecu tidak jadi tenang dan gembira, bagaimana sebaiknya ini?”
“Berbuat salah dan mau menyesalinya, biasanya sukar terjadi,” ujar Hwesio alis putih, “Manusia bukan Nabi, manabisa tanpa berbuat salah. Berbuat salah dan mau memperbaikinya, itulah yang maha muIia.”
Sampai di sini mendadak Yo Ko teringat kepada namanya sendiri, yakni “Ko” (salah), menurut ibunya dia juga mempunyai nama alias “Kay-ci” (perbaikilah), jadi persis seperti apa yang diucapkan Hwesio alis pulih tadi, ia menjadi ragu apakah pendeta tua ini adalah seorang maha sakti yang sengaja datang buat membuka pikirannya? Mau-tak-mau timbul rasa kagum dan hormatnya kepaaa pendeta yang ucapannya penuh filsafat hidup ini.
Terdengar Hwesio baju hitam berkata pula: “Akar kejahatan Tecu sukar dilenyapkan sepuluh tahun yang lalu.
Tecu sudah lama mengikuti ajaran Suhu dan tetap terjadi menewaskan jiwa tiga orang, sekarang darah Tecu terasa bergolak dan sukar diatasi mungkin sekali Tecu akan berbuat dosa pula, Untuk ini mohon welas asih Suhu, sukalah potong saja kedua tangan Tecu ini.”

“Syahdu! Syahdu! Biarpun kudapat potong ke dua tanganmu, tapi pikiran jahat dalam hatimu harus kau babat sendiri. Kalau pikiran jahat belum lenyap, meski kaki dan  tanganmu putus juga percuma saja, Coba dengarkan, akan kuceritakan sebuah kisah “lnduk menjangan dan si pemburu, bagimu.”
“Tecu siap mendengarkan,” jawab si baju hitam sambil duduk bersila, Di balik ruangan sana Yo Ko dan Siao-liong-Ii juga lantas duduk tenang ikut mendengarkan cerita pendeta itu.
“Ada seekor induk menjangan dengan dua ekor anak menjangan,” demikian Hwesio alis putih mulai berkisah.
“Malang bagi induk menjangan itu karena tertangkap oleh seorang pemburu, Pemburu akan membunuh induk menjangan, dengan sangat induk menjangan minta dikasihani katanya: “Aku mempunyai dua anak, masih kecil dan lemah, belum mahir mencari makan dan minum. Mohon di beri kelonggaran sementara waktu agar dapat mengajarkan cara mencari makan bagi anakku, habis itu pasti kudatang kembali untuk menyerahkan diri” - pemburu tidak mengidzinkan, Induk menjangan memohon pula dengan memelas, akhirnya hati pemburu terharu dan meluluskannya, induk menjangan menemukan kedua anaknya dan saling bermesraan dengan girang dan sedih pula induk menjangan menceritakan nasibnya yang malang dan berharap kedua anaknya menjaga diri.
Sudah tentu anak menjangan yang masih kecil itu tidak paham maksud sang induk. Lalu induk menjangan membawa kedua anaknya ke tempat yang banyak rumput dan sumber air, setelah memberi petunjuk cara-cara mencari hidup lain, dengan berlinang air mata kemudian induk menjangan lantas mohon diri.”
Mendengar sampai disini, Siao-liong-li jadi teringat kepada jiwa sendiri yang sudah dekat ajalnya, tanpa terasa iapun  mencucurkan air mata, walaupun tahu cerita Hwesio itu Cuma dongeng belaka, tapi cinta kasih ibu dan anak dalam cerita itu sangat mengharukan hati Yo Ko.
Dalam pada itu Hwesio alis putih sedang melanjutkan ceritanya: “Sehabis memberi pesan, induk menjangan lantas melangkah pergi. Kedua anak menjangan lantas menangis sedih dan terus mengikutinya dari belakang, walaupun kecil dan lemah, larinya lambat dan jatuh bangun, namun tetap tidak mau berpisah dengan sang induk. induk menjangan lantas berhenti dan menoleh, katanya:
“O, anakku, janganlah kalian ikut, kalau dilihat pemburu itu, tentu jiwa kita akan tamat semuanya, ibu rela mati, Cuma kalian yang masih kecil dan lemah, Di dunia ini menang tiada suatu yang abadi, setelah berkumpul akhirnya juga akan berpisah. Nasibku yang jelek sehingga membikin kalian kehilangan ibu sejak kecil.” - Habis berkata ia terus berlari ke tempat si pemburu.
Kedua anak menjangan sangat menginginkan kasih sang induk, tanpa gentar kepada panah si pemburu merekapun mencari sampai di sana. Melihat induk menjangan menepati janji dan rela untuk mati, kejujuran dan kesetiaannya sukar dibandingi manusia.
Dilihatnya pula antara induk dan anak menjangan itu merasa berduka dan berat untuk berpisah, si pemburu merasa tidak tega dan akhirnya membebaskan induk menjangan.”
Habis mendengar cerita itu, air mata bercucuran memenuhi muka si Hwesio jubah hitam, katanya: “Menjangan saja mengutamakan janji, induknya baik hati dan anaknya berbakti, betapapun Tecu tak dapat meniru mereka.”
“Asal timbul perasaan kasih, seketika napsu membunuh akan lenyap,” kata Hwesio alis putih sembari memandang sekejap ke arah Peng-tianglo.
Dengan sujud Hwesio baju hitam mengiakan Lalu Hwesio alis putih berkata pula: “Jika ingin menebus kesalahan, jalan satu-satu nya adalah berbuat amal. Dari menyesali perbuatan yang seharusnya dilakukan di masa lalu, ada lebih baik selanjutnya lebih banyak berbuat sesuatu yang harus dikerjakan.”
Habis ini ia menghela napas pelahan dan menambahkan pula: “Sekalipun aku sendiri selama ini juga banyak berbuat kesalahan.” - Lalu ia memejamkan kan mata seperti orang semedi.
Setelah mendengarkan cerita sang guru, Hwesio baju hitam seperti mulai sadar, tapi gejolak perasaannya selalu sukar diatasi. Waktu ia mengangkat kepalanya, dilihatnya Peng-tianglo sedang memandangnya dengan tersenyum simpul, kedua matanya menyorotkan cahaya yang sangat tajam dan kuat.
Hwesio baju hitam terkesiap, ia merasa pernah bertemu dengan orang ini, terasa pula sorot mata orang menimbulkan perasaan sangat tidak enak, cepat ia berpaling ke arah lain, tapi hanya sejenak kembali ia menoleh ke sana.
“Wah, lebat sekali salju yang turun ini,” kata Peng tianglo dengan tertawa.
“Ya, ya, lebat sekali,” jawab Hwesio baju hitam.
“Marilah kita pergi melihat pemandangan hujan salju ini,” kata Peng-tianglo pula sambil membuka pintu.
“Baiklah, kita pergi melihat pemandangan hujan salju,” jawab si Hwesio sambil berbangkit dan berdiri di luar pintu di samping Peng-tianglo.
Dari balik dinding Yo Ko juga merasakan sorot mata Peng-tianglo yang aneh itu, samar-samar ia merasakan sesuatu alamat yang tidak enak.
“Ucapan gurumu sangat tepat, membunuh orang sekali-sekali jangan, tapi seluruh tubuhmu penuh tenaga yang meluap2, kalau tidak bergebrak dengan orang rasanya tidak tahan, begitu bukan?” demikian Peng-tianglo berkata pula dengan tertawa.
Secara samar-samar si Hwesio baju hitam mengiakan, Lalu Peng-tianglo berkata pula: “Boleh coba kau hantam orang salju ini, pukul saja, kan tidak berdosa.”
Hwesio baju hitam memandang orang salju itu dan mengangkat tangannya, hasratnya ingin sekali melancarkan pukulannya.
Sementara itu tubuh si pengemis kurus itu sudah teruruk lagi oleh bunga salju yang bertebaran sejak tadi, maka kedua matanya juga tertutup oleh salju.
“HayoIah, pukul saja dengan kedua tanganmu, hantam orang salju ini! Pukul, hayo pukul!” demikian Peng-tiangIo menganjurkan pula, suaranya halus, tapi penuh daya memikat.
“Baik, akan kupukul.” kata si Hwesio baju hitam sambil mengumpulkan tenaga pada tangannya.
Si Hwesio alis putih mengangkat kepala dan menghela  napas panjang, dengan pelahan ia menggumam: “Sekali napsu membunuh timbul, seketika terjadi mala petaka,”
Segera terdengar suara “blang” yang keras, kedua tangan Hek-ih-ceng (Hwesio baju hitam) menghantam sekaligus. Salju berhamburan dan terdengar jeritan pengemis kurus. Rupanya Hiat-to yang tertutup tergetar buka terkena pukulan Hek-ih-ceng” jeritan itu sangat ngeri dan menyeramkan dan berkumandang hingga jauh menggema angkasa pegunungan itu.
Siaoliong-li juga bersuara kaget dan memegangi tangan Yo Ko dengan erat.
“Ha, di dalam salju ada orang!” teriak Hek-ih-ceng kaget Cepat Pek-bi-ceng (Hwesio alis putih) berlari keluar dan memeriksa keadaan sang korban, ternyata pengemis kurus itu sudah binasa terkena pukulan tangan besi yang maha sakti si Hek-ih-ceng” seketika Hwesio baju hitam ini melongo dengan bingung, sedangkan Peng tianglo berlagak kaget dan berseru:
“He, benar-benar aneh, untuk apakah orang ini sembunyi didalam gundukan salju? Eh, mengapa dia membawa senjata?”
Meski dengan Liap-hun tayhoatnya dia berhasil mempengaruhi Hek-ih-ceng membinasakan si pengemis kurus, sudah tentu ia sangat senang, tapi iapun merasa heran pula mengapa si kurus sanggup bertahan tanpa bergerak bersembunyi di dalam gundukan salju dan tidak mendengar suaraku menyuruh orang menghantamnya?
“Suhu… Suhu!” dengan melongo bingung berulang-ulang Hek-ih-ceng memanggil sang guru.
“Karma! karma!” ucap Pekbiceng, “Orang ini tidak dibunuh olehmu, tapi juga kau yang membunuhnya.”
Hek-ih-ceng mendekap di atas tanah salju dan bertanya dengan suara gemetar: “Tecu tidak paham artinya.”
“Kau mengira hanya orang salju belaka dan hatimu tiada bermaksud mencelakai orang,” kata Pek-bi-ceng. “Tapi tenaga pukulanmu maha dahsyat waktu melancarkan serangan, masakah sama sekali tiada pikiranmu hendak membunuh orang!”
“Sesungguhnya Tecu memang berkehendak membunuh orang” jawab Hek-ih-ceng.
Pek-bi-ceng lantas memandangi Peng-tianglo hingga sekian lama, sorot matanya halus penuh welas asih, Tapi hanya sekali pandang saja, Liap-hun tay-hoat yang menggetar sukma orang, ilmu andalan Peng tianglo itu lantas sirna tanpa bekas.
Mendadak Hek-ih ceng berteriak: “He… kau… kau adalah Tianglo di Kay-pang dahulu itu, ya, ya, betul ingatlah aku sekarang!”
Seketika wajah asli Peng-tianglo timbul dari balik sikapnya yang selalu ramah tamah dan tersenyum simpul itu, air mukanya lantas penuh rasa bertentangan batin, katanya: “Ah, engkau adalah Kiu-pangcu dari Tiat-ciang-pang, mengapa engkau menjadi Hwesio?”
Kiranya Hwesio baju hitam ini memang betul ialah Kiu Jian yim, ketua Tiat-ciang-pang. Setelah terjadi pertandingan dipuncak Hoa-san dahulu, dia telah menyadari segala dosanya di masa lampau dan mengangkat It-teng Taysu sebagai guru, iapun menjadi Hwesio.
Dan Pek-bi-ceng atau Hwesio alis putih ini bukan lain daripada It-teng Taysu, namanya sejajar dengan Ong Tiang-yang, Oey Yok-sui. Auyang Hong dan Ang Jit-kong itu.
Sesudah menerima agama Budha, Kiu Jian yim mendapatkan nama agama sebagai Cu-in. Dengan giat dia mempelajari agamanya dan telah memperoleh kemajuan pesat. Cuma dahulu dia sudah terlalu banyak berdosa, akar kejahatannya sukar dibasmi seluruhnya, kalau kutemukan daya pikat yang kuat dari luar, terkadang dia masih suka umbar kemurkaannya dan mencelakai orang, sebab itulah dia telah membuat dua pasang belenggu besi, apabila pikirannya sedang judek, ia lantas membelenggu kaki tangan sendiri untuk mengekang tindak jahatnya.
Suatu hari lt-teng Taysu menerima berita minta tolong dari muridnya, yaitu Cu Cu-liu, maka dari negeri Tayli It-teng Taysu lantas membawa Cu-in berangkat ke Coat-ceng-kok.
Tak terduga di pegunungan sunyi ini mereka bertemu dengan Peng-tianglo dan tanpa sengaja Cu-in telah membunuh satu orang pula.
Sejak menjadi Hwesio, selama belasan tahun baru pertama kali ini ia membunuh orang meski ada juga pelanggaran yang diperbuatnya, seketika hatinya menjadi bimbang, ia merasa latihannya selama belasan tahun telah hanyut ke laut seluruhnya. Dengan pelahan ia menoleh dan memandang Peng-tianglo dengan mata berapi.
It-teng Taysu tahu saatnya sangat gawat, kalau mengalangi dia dengan kekerasan, tentu pikiran jahatnya akan semakin menumpuk dan pada suatu hari pasti akan meluap laksana air bah yang tidak terbendungkan.
Hanya dengan jalan menimbulkan rasa welas-asih kepada sesamanya barulah pikiran-jahatnya dapat dilenyapkan dan menuju ke jalan yang bersih.
Begitulah sambil berdiri di samping Cu-in, pelahan- It-teng Taysu menyebut:”
“O-mi to-hud!” -Sampai hampir ratusan kali ia menyebut nama Budha barulah sorot mata Cu-in mulai meninggalkan tubuh Peng-tianglo, lalu berduduk di tanah dan napasnya terengah-engah pula.
Sudah sejak dulu Peng-tianglo tahu ilmu silat Kiu Jian-yim maha hebat, tapi kalau ia dapat dipengaruhi dengan Liap-hun-tay-hoat, maka dapatlah dia peralat sesukanya.
Siapa tahu kemana sinar mata It-teng Taysu menyorot, seketika perasaannya seperti tertekan oleh sesuatu yang maha berat dan sukar mengeluarkan ilmunya.
Maklumlah, Liap-hun-tay-hoat itu kira-kira serupa dengan sebangsa ilmu bipnotis atau telepati pada jaman kini, dengan kekuatan batin untuk mengendalikan pihak lawan, kalau kekuatan batin lebih kuat daripada dirinya, maka ilmu itu takkan berhasil sama sekali.
Dalam hal ini pikiran It-teng ternyata lebih kuat daripada Peng-tianglo sehingga sukar dipengaruhinya.
Kini Peng-tianglo sudah menginsyafi keadaannya yang berbahaya. ia pikir Hwesio tua yang senantiasa menganjurkan orang berbuat bajik ini semoga dapat mempengaruhi Kiu Jian-yim. Kalau dirinya melarikan diri sekarang, betapapun pasti sukar lolos dari kejaran Kiu Jian yim yang Ginkangnya terkenal maha hebat.
Terpaksa ia meringkik di pojok rumah dengan hati kebat-kebit, pandangannya sekejap saja-tidak berani meninggalkan gerak-gerik Kiu Jian-yim.
Tidak lama kemudian suara napas Cu-in semakin memburu pula, tiba-tiba ia berseru: “Suhu, pembawaanku memang orang jahat, Thian tidak berkenan menerima penyesalanku, meski aku tidak sengaja membunuh orang, akhirnya mencelakai juga jiwa orang. Aku tidak mau menjadi Hwesio lagi.”
“Ampun! Ampun Akan kuceritakan pula sebuah kisah padamu,” kata It- teng.
Mendadak Cuin berteriak dengan suara keras: “Kisah apa lagi? Sudah belasan tahun kau menipu diriku,
aku tak percaya lagi padamu.” Krak-krek, tahu-tahu belenggu pada kaki dan tangannya itu retak dan terlepas.
Dengan suara halus It-teng berkata pula: “Jika perbuatan yang sudah terlanjur terjadi tidak perlu dirisaukan, jangan kau sesalkan lagi.”

Namun Cu-in lantas berbangkit ia meng-geleng-geleng kepada It-teng, habis itu ia memutar tubuh dan
menghantamkan kedua tangannya, “blam”, tahu-tahu tubuh Peng-tianglo mencelat dan menumbuk dinding gubuk terus melayang keluar.
Di bawah pukulan telapak tangan besi yang maha dahsyat itu jelas otot tulangnya pasti hancur, biarpun jiwanya rangkap sepuluh juga pasti tamat riwayatnya.
Yo Ko dan Siao-liong-li juga kaget mendengar suara gedubrakan yang keras itu, cepat mereka memburu keluar dari ruangan dalam, terlihat kedua tangan Cu-in terangkat ke atas, dengan sorot mata bengis ia membentak mereka berdua: “Apa yang kalian pandang? Satu tidak berbuat, dua tidak berhenti (artinya kalau sudah telanjur berbuat, ya sekalian kerjakan saja), hari ini sengaja kuIanggar pantangan membunuh,” Habis berkata, tenaga yang sudah terkumpul pada kedua tangannya segera akan dihantamkan.
Dengan tenang It-teng Taysu melangkah maju dan mengadang di depan Yo Ko berdua, di situ ia berduduk dan mcngucap Budha, air mukanya kereng, katanya: “Belum jauh kau tersesat, masih sempat kembali jika kau mau. Cu-in, apakah benar-benar kau ingin terjerumus ke alam yang tak tertolong pula.”
Wajah Cu-in sebentar merah sebentar pucar kusut sekali pikirannya, terjadilah pertentangan batin antara baik dari jahat. Rupanya pikiran jahatnya akhirnya berkobar lebih hebat, mendadak sebelah tangannya menghantam ke arah It-teng taysu.
Dengan satu tangan terangkat di depan dada It-teng menahan serangan itu dengan tubuh rada tergeliat.
“Bagus, jadi kau benar-benar ingin memusuhi aku?” teriak Cu-in dengan gusar, menyusul tangan kiri lantas menghantam pula.
!t-teng tetap” menangkis saja dan tidak balas menyerang. Dengari gusar Cu-in lantas mendamperat: “Hm, nntuk apa kau mengalah? Hayolah membalas! Mengapa kau tidak balas seranganku? Huh apanya yang hebat antara kalian Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pakkay dan Tiong-sin-thong segala? Belum tentu kalian mampu menandingi telapak tangan besi orang she Kiu ini, Hayolah balas, kalau kau tidak balas menyerang, jangan kau penasaran jika jiwamu melayang percuma.”
Meski pikiran Cu-in dalam keadaan kacau tapi ucapannya itu juga tidak salah, ilmu pukulan telapak tangan besinya boleh dikatakan mempunyai keunggulannya sendiri dibandingkan lt-yang-ci yang menjadi andalan It-teng Taysu itu.
Dalam hal ajaran agama memang It-teng jauh lebih daripada cukup untuk menjadi guru Cu-in, tapi bicara tentang ilmu silat, kalau bertempur sekuat tenaga mungkin It teng lebih unggul setingkat, tapi kalau melulu di hantam tanpa membalas, lama2 juga pasti akan terluka parah sekalipun jiwanya tidak melayang.
Akan tetapi It teng sudah bertekad lebih suka mengorbankan diri untuk menolong orang lain, lebih suka
binasa kena pukulan tangan besi itu daripada balas menyerang dengan harapan Cu-in akhirnya dapat diinsafkan, jadinya sekarang mereka tidak lagi bertanding iimu silat atau tenaga dalam, tapi lebih tepat dikatakan pertarungan antara pikiran bajik dan pikiran jahat.
Yo Ko dan Siao-liong li menyaksikan pukulan sakti Cu-in itu terus menerus dilontarkan ke arah It-teng, sampai pada pukulan ke-14, tertumpas lah darah segar dari mulut It-teng.
“Apakah kau tetap tidak mau membalas?,” bentak Cu-in melengak demi melihat darah yang mengucur dari mulut It teng itu.
Dengan tersenyum It-teng menjawab: “Untuk apa aku membalas? Apa gunanya jika kukalahkan kau? Apa pula paedahnya kalau kau kaIahkan diriku? Yang paling sukar adalah mengalahkan dirinya sendiri, mengekang perasaannya sendiri.”
Cu-in tampak tertegun dan bergumam: “Mengalahkan dirinya sendiri, mengekang perasaan sendiri inilah yang sukar?”
Beberapa kalimat ucapan It-teng itu laksana bunyi geledek yang menggetar hati Yo Ko. Pikirnya: “Untuk mengalahkan kehendak diri sendiri dan mengekang hasrat buruk sendiri memang jauh lebih sukar daripada mengalahkan musuh yang tangguh.”
Ucapan pendeta agung ini benar-benar sangat tepat dan bernilai.
Dalam pada itu dilihatnya kedua tangan Cu-in berhenti sejenak di atas, habis itu terus menghantam pula ke depan.
“Brak”, tubuh It-teng terhuyung, darah segar kembali tersembur keluar, jenggotnya yang putih dan jubahnya sama berlepotan darah…
Dari caranya menerima serangan lawan serta daya tahannya, Yo Ko tahu ilmu silat It-teng asebenarnya terlebih tinggi daripada Hek-ih-ceng itu, tapi kalau melulu terima pukulan saja, biarpun tubuh terbuat dari besi juga akhirnya akan meleyot.
Kini Yo Ko luar biasa kagum dan hormatnya kepada It-teng Taysu, ia tahu It-teng sengaja mengorbankan diri untuk menginsafkan orang jahat, tapi iapun tak dapat menyaksikan orang baik seperti lt teng tewas begitu saja, karena itulah ia lantas mengangkat pedangnya dan mengitar ke samping It-teng, waktu Cu-in melancarkan pukulan lagi, “sret”, iapun membarengi dengan tusukan pedang.
Guncangan angin pukulan yang dahsyat itu menumbuk angin pukulan Cu-in, tubuh kedua orang sama tergetar.
Cu-in bersuara heran, tak tersangka olehnya bahwa di pegunungan sunyi ini ada seorang pemburu muda yang memiliki ilmu silat setinggi ini. It-teng memandang Yo Ko sekejap, hatinya juga heran luar biasa.
“Siapa kau? Apa kehendakmu?” bentak Cu-in dengan bengis.
“Gurumu memberi nasihat secara baik-baik, mengapa Taysu tidak mau sadar?” jawab Yo Ko. “Tidak mau menerima nasihat sudah keliru, malahan kau membalas kebaikan dengan kebencian dan melancarkan pukulan keji kepada gurumu.
Manusia macam demikian bukankah jauh lebih rendahdaripada binatang?”
Dengan gusar Cu-in membentak: “Apakah kaupun orang Kay-pang? Begundal si Tianglo konyol tadi?”
“Kedua orang ini memang orang busuk Kay-pang” jawab Yo Ko dengan tertawa, “Bahwa Taysu telah membinasakan mereka, menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan, mengapa engkau merasa menyesal?”
Untuk sejenak Cu-in melengak, lalu menggumam: “Menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan…menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan…”
Setelah mengikuti percakapan It-teng dan Cu-in tadi, lapat-lapat Yo Ko sudah paham isi hati mereka yakni lantaran Cu-in merasa menyesal sehingga timbul rasa benci, dari benci lantas timbul pikiran jahat.
Maka ia lantas berkata pula: “Kedua orang itu adalah anggota khianat Kay-pang, yang berkomplot dengan pihak musuh dan bermaksud menjual tanah air kita kepada bangsa lain, sekarang Taysu membunuh mereka, ini adalah pahala yang maha besar. Kalau kedua orang ini tidak mati, entah betapa orang baik-baik akan menjadi korban kejahatan mereka”
Cuin merasa ucapan Yo Ko itu sangat tepat, perlahan-lahan ia menurunkan tangannya yang siap menghantam itu.
Tapi segera teringat olehnya dahulu dirinya juga pernah bekerja bagi kerajaan Kim dan pernah membantu bangsa asing itu menjajah negerinya sendiri, jadi ucapan Yo Ko itu tiada ubahnya seperti mencaci maki kesalahannya itu, mendadak pukulannya dilancarkan ke arah Yo Ko sambil membentak: “Kau mengaco-balo apa, binatang cilik?”
Tadinya Yo Ko menyangka ucapannya tadi telah membangunkan hati nurani Cu-in, siapa duga mendadak orang malah melancarkan serangan maut, serangan yang cepat lagi keji itu dalam sekejap saja sudah sampai di depan dadanya, dalam keadaan gawat ia tidak sempat menangkisnya, terpaksa ia ikuti daya pukulan musuh dan melompat mundur, “blang-blang” dinding papan rumah ambrol dan tubuh Yo Ko mencelat keluar rumah.
lt-teng Taysu terkejut, pikirnya: “Apakah pemuda ini akan binasa begitu saja? tampaknya ilmu silatnya juga tidak rendah.”
Pada saat lain, mendadak api unggun yang berkobar di dalam rumah itu menyurut gelap, lubang dinding yang ambrol itu dihembus angin keras, tahu-tahu Yo Ko melayang masuk lagi sambil menusukkan pedangnya ke arah Cu-in dengan membentak: “Baik, hari ini boleh kita coba-coba ukur tenaga.”
Rupanya Yo Ko tadi dapat mundur lebih cepat daripada tenaga pukulan musuh, dengan menumbuk ambrol dinding rumah, dapatlah ia terhindar dari pukulan maut itu. Kini pedangnya menusuk lurus ke depan kekuatan yang dahsyat dan sukar di tahan. Cu-in memukulkan tangannya agar tenaga pukulan dapat mengguncang pergi daya tusuk Yo Ko itu.
Tak disangkanya bahwa ilmu pedang Yo Ko ini adalah ajaran Tokko Kiu-pay yang tiada tandingnya, apalagi sudah digembleng di tengah air bah serta tambahan tenaga dari buah merah dibantu pula oleh rajawali sakti, kini ilmu pedang yang dikuasi Yo Ko sudah tiada ubahnya seperti kesaktian Tokko Kiu-pay dahulu, maka telaga pukulan Cu-in itu hamper tiada artinya bagi Hyo Ko, pedang anak muda itu masih tetap menyelonong ke depan.
Keruan Cu-in kaget, cepat mengelak agar tubuhnya tidak tertembus.
Setelah bergebrak barulah sama-sama mengetahui ilmu silat pihak lawan memang sangat lihay dan tidak berani lagi meremehkan musuh, It teng terheran-heran menyaksikan semua itu, ia pikir usia anak muda ini paling-paling baru Iikuran, tapi ternyata mampu menandingi ilmu pukulan tangan besi Kiu Jian-yim yang pernah menggetarkan dunia kangouw di masa lampau, malahan gaya ilmu pedang anak muda ini tidak diketahui berasal dari aliran mana meskipun pengalaman sendiri tergolong sangat luas, lebih-lebih pedangnya yang hitam berat itu jelas merupakan senjata yang aneh pola.
Bahkan Siao-liong-li yang cantik molek itu mengikuti pertarungan itu di samping dengan tenang-tenang saja, diam-diam iapun yakin nona ini pasti juga tokoh yang lain daripada yang lain, Ketika ia mengawasi lebih teliti, dilihatnya diantara dahi si nona samar-samar bersemu hitam, tanpa terasa ia bersuara kaget.
Siao-liong-li tersenyum melihat sikap It-teng Taysu itu, katanya: “Oh, kau sudah tahu?”
Dalam pada itu pertarungan Yo Ko lebih beruntung dalam hal senjata sebaliknya Cu-in lebih banyak sebuah lengan, jadinya seimbang. Terdengai pula suara “blang”, papan kayu jebol sebuah, menyusul “krek” sekali, tiang rumah patah sebuah, padahal luas rumah itu sudah kecil bangunan kurang kukuh pula, betapapun tidak mungkin digunakan sebagai arena pertarungan dua tokoh kelas wahid, ke mana serangan mereka tiba, di situ papan kayu bertebaran, akhirnya terdengarlah suara gemuruh, sebuah tiang patah lagi serentak atap rumah lantas ambruk.
Cepat Siao-liong-li pondong Kwe Yang dan menerobos keluar melalui jendela, Di luar salju masih turun dengan lebatnya dengan angin yang menderu, Yo Ko dan Cu-in telah  mengobrak-abrik kedua rumah gubuk itu secara mentah-mentah dan pertandingan tetap berlangsung dengan sengitnya di bawah badai salju.
Sudah belasan tahun Cu-in tidak pernah bertempur sesengit ini dengan orang, saking bersemangat nya pukulan telapak besinya yang dahsyat itu disertai pula dengan raungan yang keras. Sampai ratusan jurus, tenaga pedang pusaka Nyo Ko itu ternyata semakin berat, karena usia Cu-in memang sudah lanjut, lambat-laun ia merasa kewalahan untuk menahannya.
Ketika Yo Ko menusuk lagi dari depan, Cu-in, lantas menggeser ke samping. Tapi pedang Yo Ko lantas menyapu sehingga menimbulkan angin keras dengan hamburan salju menyambar ke muka Cu-in. Karena matanya tertutup bunga salju, cepat Cu-in mengusap mukanya. Pada saat itulah pedang Yo Ko terus memutar dari atas dan menempel di atas pundak Cu-in.
Seketika Cu in merasa seperti ditindihi oleh benda yang beribu kati beratnya dan tidak sanggup berdiri tegak, ia jatuh telentang, Ujung pedang Yo Ko terus mengancam di dada lawan, biarpun ujung pedang itu tidak tajam, tapi beratnya tak terperikan sehingga Cu-in merasa sesak napas.
Pada saat demikian sekilas terbayang “mati” dalam benak Cu-in. Sejak dia menjadi gembong Tiat-ciang-pang dan malang melintang di dunia Kangouw, selamanya dia hanya membunuh dan mencelakai orang, jarang sekali mengalami kekalahan, biarpun pernah dikalahkan Ciu Pek-thong dan lari ke wilayah barat, akhirnya dia juga dapat menggertak lari si Anak Tua Nakal itu, sekarang ia merasakan ajalnya sudah dekat pintu gerbang neraka, inilah belum pernah dialaminya selama hidup, mau-tak-mau timbul rasa penyesalannya, kalau tamat begini saja riwayatnya, ia merasakan segala dosa yang pernah diperbuatnya menjadi tak bisa ditebus lagi.
Selama ini kuliah It-teng Taysu tidak dapat membuka pikirannya yang gelap, kini ancaman pedang Yo Ko ternyata merupakan bunyi guntur yang dapat memecahkan segala persoalan dan seketika membuatnya teringat, ternyata begini mengenaskan kalau dibunuh orang, jika begitu orang-orang yang pernah kubunuh dahulu tentu juga mengenaskan seperti ini.
Diam-diam It-teng sangat kagum menyaksikan Yo Ko akhirnya dapat menaklukkan Cu-in, segera ia melangkah maju, jarinya menyelentik pelahan pada batang pedang, seketika Yo Ko merasa lengan kiri kesemutan, pedang lantas bergetar ke samping, serentak Cu-in melompat bangun dan menjura kepada It-teng sambil berseru. “Suhu, dosa Tecu pantas dihukum mati!”
It-teng tersenyum dan meraba punggungnya, katanya: “Tidaklah mudah kau dapat menginsafl segalanya, kau harus berterima kasih kepada anak muda ini.”
Tadinya Yo Ko juga sudah sangsi kalau Hwe-sio tua beralis putih ini adalah It-teng Taysu, setelah pedangnya terselentik ke saraping, tanpa sangsi lagi akan dugaannya, sebab soal tenaga jari sakti pada jaman ini selain Oey Yok-su hanya It-yang-ci saja yang dapat mengimbanginya dan tokoh nomor satu It-yang-ci tiada lain adalah It-teng Taysu, segera iapun menyembah dan berkata:
“Tecu Yo Ko memberi salam hormat kepada Taysu.” -
Dilihatnya pula Cu-in mendekatinya dan menjura padanya.  
Cepat ia membalas hormat dan berkata: “Wah, mana kuberani terima penghormatan sebesar ini, Locian-pwe,” Lalu ia tuding Siao-liong-li dan menambahkan pula: “lni adalah isteriku she Liong, Eh,liong-ji, lekas memberi hormat kepada Taysu.”
Dengan ber-gegas2 Siao-libng-li melangkah maju dengan memondong Kwe Yang serta memberi hormat.
“Kedua rumah ini sungguh malang sehingga kitapun tiada tempat berduduk untuk ber-bincang2″ kata It-teng dengan tertawa.
“Tadi pikiran Tecu menjadi gelap dan hilang akal, apakah luka Suhu berbahaya?” tanya Cu-in.
“Kau sendiri apakah sudah sehat?” tanya It-teng sambil tersenyum.
Cu-in merasa sangat menyesal dan tidak tahu apa yang harus diucapkan, ia coba menegakkan tiang rumah gubuk itu, dinding papan dibetulkan sehingga sekedarnya sebuah gubuk dapat didirikan kembali sekadar tempat bernaung, sementara itu Yo Ko juga menceritakan pengalamannya berkenalan dengan Bu Sam-kong dan Cu Cu-liu serta terkena racun di Coat-ceng-kok, lalu Paderi Hindu dan Cu Cu-liu berusaha mencarikan obat baginya.
“Kedatangan kami berdua ini justeru hendak pergi ke Coat-ceng-kok,” tutur It-teng Taysu, “Apakah kau tahu hubungan Cu-in Hwesio ini dengan penguasa wanita Coat-ceng-kok itu?”
Karena beberapa kali mendengar Peng-tianglo dan Cu-in menyebut “Kiu-pangcu”, maka Yo Ko lantas bertanya: “Apakah asalnya Cu-in Taysu she Kiu, yaitu Kiu-pangcu dari Tiat-ciang-pang dahulu?” - Ketika dilihatnya Cu-in mengangguk pelahan, lalu ia berkata pula padanya: “Jika kegitu penguasa wanita Coat ceng-kok itu adalah adik perempuanmu.”
“Benar,” jawab Cu in, “apakah adik perempuanku baik-baik saja?”
Yo Ko merasa sukar untuk menjawabnya.
Kaki dan tangan Kiu Jian-jio telah dibikin cacat oleh sang suami, jadi bagaimanapun tak dapat dikatakan “baik.”
Melihat anak muda itu ragu-ragu menjawabnya, Cu-in berkata pula: “Adik perempuanku itu suka menuruti adatnya sendiri, kalau dia mengalami sesuatu juga tidak perlu diherankan.”
“Adikmu hanya cacat tangan dan kaki saja, badannya sih sehat2 saja,” kata Yo Ko.
Cu-in menghela napas, katanya: “Selang sekian tahun, semua sudah tua…, biasanya dia cuma akur dengan Toako kami saja…” sampai disini ia lantas termangu-mangu mengenang masa lampau
It-teng Taysu tahu pikiran Cu-in belum bersih dari urusan kehidupan manusia, kalau tadi dia menyesal dan insaf adalah karena menghadapi detik antara mati dan hidup, maka pikiran jahatnya mendadak lantas Ienyap, padahal pikiran jahat dalam benaknya belum hilang sampai akarnya, kelak kalau terpengaruh lagi daya kuat dari luar mungkin penyakitnya  akan kambuh lagi dan sukarlah dibayangkan apakah kelak mampu mengatasinya atau tidak.

Melihat It-teng memandangi Cu-in dengan sorot mata yang kasihan, tiba-tiba Yo Ko merasa tindakannya tadi bisa jadi malah membikin urusan semakin runyam, maka ia lantas bertanya: “Taysu, tindakanku yang bodoh tadi apakah salah, mohon Taysu memberi petunjuk.”
“Hati orang sukar dijajaki, seumpama aku dihantam mati olehnya juga belum tentu dia akan sadar dan mungkin malah kejeblos lebih dalam,” jawab It-teng. “Yang jelas kau telah menyelamatkan jiwaku, mana bisa salah? Sungguh aku sangat berterima kasih padamu.”
Lalu dia berpaling jkepada Siao-liong-Ii dan berianya: “Cara bagaimana nyonya ini terkena racun?”
Mendengar pertanyaan itu, seketika Yo Ko rSeperti melihat setitik sinar harapan dalam kegelapan, cepat ia menjawab: “Dia terluka dan waktu itu sedang berusaha dengan penyembuhan melancarkan urat nadi, tak terduga pada saat yang gawat itu mendadak terserang rahasia berbisa, Apakah Taysu sudi menaruh belas kasihan dan menolong jiwanya?”
Habis berkata tanpa terasa ia berlutut lagi di hadapan It-teng Taysu.
It-teng membangunkan anak muda itu dan berkata: “Cara bagaimana penyembuhan dengan melancarkan urat nadi itu dilakukan?”
“Dia mengerahkan tenaga dalam secara terbalik berbaring di dipan kemala dingin serta ditambah bantuanku,” tutur Nyo Ko serta menceritakan secara ringkas apa saja yang telah dilakukannya.
Maka pahamlah It-teng, berulang2 ia menyatakan rasa herannya, ia coba memegang nadi pergelangan tangan Siao-liong-li, lalu kelihatan sedih tanpa membeli keterangan.
Dengan termangu-mangu Yo Ko juga memandangi It-teng dengan penuh harapan dari mulut Hwesio agung itu akan bercetus ucapan: “Dapat ditolong”, sedangkan pandangan Siao-liong-li terarahkan kepada Yo Ko, sudah sejak mula tak terpikir olehnya bahwa jiwanya dapat bertahan sampai sekarang, maka ia coba menghibur Yo Ko yang kelihatan menanggung sedih tak terkatakan itu:
“Ko-ji, hidup atau mati sudah ditakdirkan mana bisa dimohon secara paksa, untuk ini hendaklah kau dapat berpikir panjang dan jangan terlalu merisaukannya.”
Baru pertama kali ini It-teng Taysu mendengar Siao-liongli buka suara, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa perempuan muda seperti ini dapat bicara seterang itu, biasanya setiap orang pasti cemas dan sedih menghadapi persoalan mati hidup sendiri, tapi ucapan Siao-liong-li tadi seakan-akan seorang alim yang sudah tinggi ibadatnya, mati seakan2 pulang saja.
Diam-diam It-teng memuji sepasang muda-mudi ini sungguh manusia luar biasa, yang lelaki sangat hebat ilmu silatnya, yang perempuan memiliki ketinggian batin yang tiada bandingannya, Cuma sayang, karena racunnya sudah merasuk terlalu dalam, aku sendiripun terluka dan tak dapat menggunakan ilmu jari sakti It-yang-ci. Setelah berpikir sejenak, lalu ia berkata: “Meski usia kalian berdua masih muda, tapi sudah memiliki kebatinan yang tinggi, biarlah kukatakan terus terang saja….”
Mendengar sampai di sini, hati Yo Ko serasa tertekan, kedua tanganpun terasa dingin.
“Racun dalam tubuh nyonya memang sudah mendalam,” demikian It-teng menyambung, “kalau saja aku tidak terluka, dapat kubantu menyetop bekerjanya racun dengan lt-yang ci, habis itu berusaha mencarikan obat mujarab baginya, tapi sekarang ya, untung Lwekang nyonya sudah terlatih amat tinggi, akan kuberi lagi satu biji obat ini, setelah diminum dapat di jamin selama tujuh hari tujuh malam takkan terjadi alangan apapun, Kita segera berangkat pula ke Coatceng-kok untuk mencari Suteku”.
“Benar.” seru Yo Ko sambil berdiri. “Memang kepandaian mengobati keracunan rahib sakti Hindu itu maha hebat, beliau pasti mempunyai cara pengobatannya.”
“Andaikan Suteku juga tidak mampu menolongnya, maka anggaplah memang sudah takdir” kata It-teng. “Di dunia ini banyak anak-anak yang belum lama dilahirkan sudah lantas mati pula, sedangkan nyonya sudah menikah barulah mengalami kejadian ini sehingga tidak dapat dikatakan pendek umur.”
Selesai berkata, lt-teng lantas termenung karena teringat kepada anak yang dilahirkan selirnya yaitu Lau-kwi hui, hasil hubungan gelap selir itu dengan Ciu Pek-thong, akibat dendam dan cemburu dirinya dan berkeras tidak mau mengobati anak itu dengan It-yang-ci, akhirnya bocah itupun meninggal sedangkan orang yang menyerang anak itu bukan lain daripada Cu-in Hwesio ini.
Dahulu It-teng juga tidak tahu bahwa Cu-in memukul anak itu, baru diketahui setelah Kiu Jian-yim alias Cu-in itu mengangkat dia sebagai gurunya serta mengaku semua dosa yang pernah diperbuatnya. Namun satu katapun It-teng tidak menyesali Cu-in, cuma dalam lubuk hatinya tidak urung timbul semacam perasaan bahwa nasib jelek sendiri adakah karena gara-gara perbuatan Cu-in itu.
Begitulah dengan mata terbelalak Yo Ko memandangi It-teng Taysu, pikirnya: “Dapat tidak mengobati Liong-ji belum bisa dipastikan, tapi mengapa engkau sama sekali tidak menghibur sepatah katapun”
Dalam pada itu Siao-liong-li hanya tersenyum tawar saja dan mengiakan setiap ucapan It-teng Taysu, Tiba-tiba It teng mengeluarkan sebutir telur ayam dan diserahkan kepada Siao-liong-li, katanya: “Coba katakan, ada ayam lebih dulu atau telur ada lebih dulu.”
Ini memang teka-teki yang belum terpecahkan, Yo Ko menjadi heran dalam keadaan begini si Hwesio tua ini sempat bertanya soal yang tidak penting ini.
Siao-liong-li lantas menerima telur ayam itu, ketika diperiksa ternyata bukan telur ayam biasa melainkan tiruan terbuat dari porselen, baik warna maupun besarnya serupa dengan telur asli. Setelah berpikir sejenak Siao-liong-li lantas tahu maksud orang, katanya: “Telur menetaskan ayam, ayam besar bertelur, kalau ada lahir tentu juga ada mati.”
Segera ia pencet telur itu dan tertampaklah satu biji obat warna kuning di dalamnya mirip kuning telur.
“Lekas diminum,” kata lt-eng, taysu.
Tanpa pikir Siao-Hong-ii terus memasukkam obat itu kemulut, ia tahu obat itu pasti sangat berharga.
Esok paginya hujan salju masih belum mereda.
Yo Ko pikir jarak dari sini ke Coat-ceng-kok tidak dekat, meski It-teng Taysu menyatakan obatnya dapat mempertahankan jiwa Siao-liong li selama tujuh hari tujuh malam, untuk mencapai lembah itu masih harus menempuh perjalanan secepatnya baru dapat tiba tepat pada waktunya.
Maka ia lantas berkata: “Taysu, apakah lukamu sendiri tidak beralangan?”
Sebenarnya luka It-teng cukup parah, tapi demi menolong sang Sute, Cn Cu-liu serta Siao-liong-li yang takdapat di-tunda2 lagi, segera ia menyatakan tidak beralangan dan mendahului berangkat, sekali melesat tahu-tahu sudah beberapa meter jauhnya Cepat Yo Ko bertiga mengikut kencang dari belakang
Setelah minum obat tadi, Siao-liong-ii merasa bagian perutnya terasa hangat, semangat terbangkit, ia melancarkan Ginkangnya dan sekaligus sudah melampaui di depan It-teng Taysu.
Cu-in terkejut, tak disangkanya bahwa nona cantik molek begini juga memiliki ilmu silat setinggi ini. Semalam melulu menghadapi Yo Ko saja dirinya sudah kalah, apalagi kalau perempuan muda inipun ikut maju, jelas dirinya pasti kalah terlebih cepat. Tiba-tiba timbul rasa ingin menangnya, segera “tancap gas” dan menguber cepat ke depan.
Yang seorang adalah ahli waris Ko-bong pay dengan Ginkangnya yang tiada bandingannya di dunia ini, seorang lagi adalah jago tua yang pernah termasyhur dengan julukan “Tiat-ciang-cui-siang-hui” (telapak tangan besi mengapung diatas air) yang menggambarkan betapa hebat ilmu pukulannya seru kecepatan berlarinya.
Hanya sekejap saja kedua orang sudah saling uber menguber di kejauhan dan sejenak pula hanya tampak dua titik hitam saja di tanah salju sana.
Kuatir pikiran jahat Cu-in mendadak timbul lagi dan mencelakai Siao liong-li, cepat Yo Ko mengejar ke sana.
Ginkangnya sebenarnya bukan tandingan kedua orang itu, tapi dia miliki tenaga dalam yang kuat, dengan sendirinya tenaga kakinya juga lain daripada yang lain, semula jaraknya dengan kedua orang itu sangat jauh, tapi setelah sekian lamanya, bayangan kedua orang di depan itu muIai nampak dan semakin jelas kelihatan.
Selagi Yo Ko asyik mengejar, tiba-tiba terdengar It-teng menegur di belakang: “Hebat benar tenaga dalammu, siapakah gurumu, bolehkah kuketahui.”
Yo Ko terkejut, dia mengejar kedua orang didepan itu tanpa menoIeh, disangkanya It-teng- sudah jauh ditinggalkan di belakang, siapa tahu tanpa besuara Hwesio tua itu tetap mengintil rapat di belakangnya.
Segera ia mengendurkan langkah dan jalan berjajar dengan paderi itu, jawabnya: “Kepandaianku ini adalah ajaran isteriku.”
“Tapi tampaknya isterimu toh tidak lebih hebat daripadamu?” ujar It-teng heran.
“Entah mengapa selama beberapa bulan terakhir ini tenagaku mendadak bertambah kuat luar biasa, Cayhe sendiri tidak tahu apa-sebabnya.”
“Apakah kau makan suatu obat penambah tenaga? Seperti Jinsom atau Lengci dan sebagainya?”
Yo Ko. menggeleng, Tapi tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, cepat katanya pula: “Wanpwe pernah makan
beberapa puluh biji buah warna merah segar, habis makan buah2an itu tenaga lantas-banyak bertambah, entah buahan itu ada sangkut-pautnya atau tidak dalam hal ini?”
“Buah merah segar? Apakah besarnya hampir sama jeruk nipis, rasanya manis dan tanpa biji?”
“Benar, buah itu memang tiada terdapat biji Wanpwe merasa heran, kalau buah tidak berbiji lalu cara bagaimana membibitnya?”
“Barimana kaudapat buah itu?” tanya It-teng.
“Tecu diberi oleh seekor burung rajawali raksasa,” jawab Yo Ko.
“Wah, sungguh suatu penemuan yang sukar dicari. Buah merah segar itu namanya Cu-koh (buah merah), jauh lebih sukar dicari dan bernilai daripada Jinsom dan Lengci yang paling bagus. Cu-koh itu niscaya tumbuh di lereng2 gunung yang sukar di jangkau manusia, biasanya berbuah beberapa puluh tahun sekali, bisa jadi ratusan tahun juga tidak pernah berbuah sekalipun. Agaknya rajawali raksasa itu benar-benar rajawali sakti.”
“Ya, memang rajawali sakti!” tukas Yo Ko. iapun berpikir kalau rajawali itu dapat diminta mencarikan beberapa biji buah merah itu untuk Liong-ji, tentu akan besar manfaatnya bagi kesehatannya. Tapi menurut keterangan Taysu ini, katanya buah merah itu bisa jadi ratusan tahun juga tidak pernah berbuah sekali, entah kesempatan mendapatkan buab merah itu kelak masih terluka atau tidak?
Begitulah sambil bicara kaki merekapun tidak lemah berhenti, beberapa lama kemudian, jarak mereka dengan Siao-liong-li dan Cu-in sudah bertambah dekat, It-teng dan Yo Ko saling pandang dengan tersenyum.
Rupanya Ginkang mereka memang tidak sehebat Siao-liong-Ii dan Cu-in, tapi dalam hal lomba lari jarak jauh, kepastian terakhir terletak pada tenaga dalam dan bukan bergantung kepada Ginkang, Ginkang hebat tak didukung oleh tenaga dalam yang tahan lama, akhirnya pasti mengendur larinya.
Di antara kedua orang yang berlomba di bagian depan itupun ada perbedaan, Siao-Iiong-li tampak ketinggalan beberapa meter pula di belakang. Agaknya soal kekuatan Siao-liong-li juga kalah sedikit daripada Cu in.
Tengah berlari dan setelah melintasi sebuah tanjakan, tiba-tiba Yo Ko menuding ke depan dan berkata pada It-teng: “He, aneh, mengapa di depan sana ada tiga orang?”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar