Kembalinya Pendekar Rajawali 96
Meski racun mengeram hebat dalam tubuhnya,
namun sementara ini belum bekerja, sebaliknya ilmu silatnya mulai pulih karena
Hiat-to yang tadinya terganggu itu telah berhasil diterobos semuanya, Dengan
memondong Kwe Yang ia dapat melangkah cepat ke depan.
Lebih satu jam mereka berjalan dan makin jauh
meninggalkan Tiong-yang-kiong, dipandang dari jauh api
masih berkobar di pegunungan itu.
Angin utara meniup semakin kencang sehingga
muka si Kwe Yang cilik kedinginan ke-merah2an. “Marilah kita mencari sesuatu
makanan, anak ini kedinginan dan lapar pula, mungkin tidak tahan” kata
Siao-liong-Ii.
“Ya, aku ini sungguh tolol, entah untuk apa
kurebut anak ini, hanya menambah beban saja,” ujar Yo Ko.
Siao-liong-li mencium muka Kwe Yang yang
memerah apel itu, katanya: “Adik cilik ini sangat menyenangkan, apakah kau
tidak suka padanya?”
“Anak orang lain, tetap anak orang Iain,
paling baik kalau kita dapat melahirkan anak sendiri,” kata Yo Ko dengan
tertawa.
Wajah Siao-liong-li menjadi merah, ucapan Yo
Ko ini menyentuh sifat keibuan lubuk hatinya, pikirnya: “Ya, alangkah baiknya
kalau kudapat melahirkan anak bagimu, akan tetapi ai….”
Kuatir si nona berduka, Yo Ko tak berani
mengadu pandang, ia menengadah memandangi langit tertampak awan tebal
menggumpal bergeser dan sebelah barat-laut, begitu tebal dan luas gumpalan awan
itu seakan2 jatuh menimpa kepala saja, katanya: “Melihat gelagatnya, mungkin
segera akan turun salju, kita perlu mencari rumah penduduk untuk mondok.”
Tapj arah yang mereka tempuh adalah lereng
pegunungan yang sunyi, di mana-mana hanya batu padat dan semak belukar belaka,
mana ada rumah penduduk segala.
“Wah, tampaknya salju yang turun nanti pasti
sangat lebat, agar jalan kita tidak tertutup, sebaiknya kita harus memburu
waktu dan turun gunung sekarang juga,” kata Nyo Ko sambil mempercepat
langkahnya.
“Paman Bu dan nona Kwe mereka akan ke-pergok
pasukan Mongol tidak? Para Tosu Coan-cin-kau itu entah dapat lolos dengan
selamat tidak?” Demikian Siao liong-li berucap dengan nada yang simpatik.
“Kau benar-benar mempunyai Liangsim (hati
nurani), orang-orang itu berbuat jahat padamu, tapi kau tetapi tidak melupakan
keselamatan mereka, pantas dahulu kakek guru mengharuskan kau berlatih ilmu
yang bebas dari segala cinta rasa, urusan apapun tidak peduli dan tidak ambil
pusing, akan tetapi karena kau menaruh perhatian padaku, hasil latihanmu selama
20-an tahun telah hanyut seluruhnya dan mulailah kau menaruh perhatian terhadap
siapapun”
Siao-liong-li tersenyum, katanya:
“Sesungguhnya, pahit getir penderitaanku bagimu juga mendatangkan rasa mnais,
yang kukuatirkan adalah kau tidak mau terima perhatianku kepadamu.”
“Ya, merasakan pahit dan manis jauh lebih
baik daripada tidak merasakan apa-apa!” kata Yo Ko.
“Aku sendiri hanya suka ugal2an dan
angin-anginan, tidak pernah hidup tenang dan aman tenteram.”
“Bukankah kau mengatakan kita akan pergi ke
selatan, di sana kita akan bercocok tanam dan beternak?” tanya si nona dengan
tersenyum.
“Benar, semoga terkabul harapan kita,” ujar
Yo Ko dengan menghela napas.
Sampai di sini, tertampaklah kapas tipis
mulai beterbangan dari udara, bunga salju sudah mulai turun. Dengan Lwekang
mereka yang tinggi, dengan sendirinya hawa dingin itu tidak menjadi soal bagi
mereka, segera mereka melangkah dengan cepat.
“Eh, Ko-ji, coba kau terka ke mana perginya
Suciku sekarang?”
“Kembali kau memperhatikan dia lagi, Akhirnya
Giok-li-sim-keng dibawa lari olehnya dan terkabul cita2nya. Kuatirnya kalau isi
kitab itu berhasil diyakinkan dan ilmu silatnya maju pesat, bisa jadi
kejahatannya juga akan bertambah hebat.”
“sebenarnya suci juga harus dikasihani,” ujar
siao-liong-li.
“tapi dia sendiri tidak rela dan ingin
membikin setiap orang di dunia ini juga berduka dan merana seperti dia, “kata yo
ko.
Tengah bicara, cuaca semakin gelap. Setelah
membelok ke lereng sana, tiba-tiba terlibat di antara dua pohon Siong tua terdapat
dua buah rumah gubuk, atap rumah itu sudah tertimbun salju setebal jari
manusia, “Aha, di sinilah kita lewatkan malam ini,” seru Yo Ko kegirangan.
Setiba di depan gubuk2 itu, terlihat daun
pintunya setengah tertutup tanah salju di situ tiada tanda-tanda bekas kaki, ia
coba berseru: “Permisi! Karena hujan salju, kami mohon mondok semalam saja.”
Tapi sampai sekian lama ternyata tiada suara
jawaban, Yo Ko lantas mendorong pintu di dalam rumah, tiada seorangpun. Di atas
meja kursi penuh debu, agaknya sudah lama tiada penghuninya, segera ia
memanggil Siao liong li masuk, setelah menutup pintu, mereka lantas membuat api
unggun.
“Dinding papan rumah itu tergantung busur dan
anak panah, di pojok rumah sana ada sebuah alat perangkap kelinci, Tampaknya
rumah ini adalah pondok darurat kaum pemburu.
Dengan busur dan anak panah itu Yo Ko keluar
berburu dan mendapatkan buruan, maka mulailah mereka berpesta rusa panggang.
Sementara itu salju turun semakin lebat,
namun hawa dalam rumah cukup hangat oleh api unggun. Siao liong li mengunyah
sedikit daging rusa dan dan menyuapi si Kwe yang cilik, dengan menikmati daging
rusa panggang itu, Nyo Ko memandangi mereka berdua dengan tersenyum simpuI, suasana
hangat dan mesra laksana pengantin baru yang sedang bertamasya.
Sekonyong-konyong dari arah timur tanah salju
itu berkumandang suara tindakan orang yang cepat, jelas itulah ginkang orang yang
mahir ilmu silat. Yo Ko berdiri dan melongok ke sana melalui jendela,
dilihatnya dua kakek mendatang ke arah gubuk ini, seorang gemuk dan yang lain kurus,
pakaian mereka rombeng, kakek kurus menyanggul sebuah HioIo-(buli2 dari sejenis
labu besar) besar warna merah.
Hati Yo Ko tergetar, teringat olehnya bahwa
benda itu adalah milik Ang Jit-kong.
Dahulu Ang Jit-kong, itu ketua Kaypang yang
berjuluk pengemis sakti berjari sembilan, bertempur mati-matian dengan Auyang
Hong di puncak tertinggi Thian san, akhirnya kedua orang sama-sama kehabisan
tenaga dan gugur bersama.
Yo Ko yang mengubur kedua orang tua itu dan
Holo besar merah itupun ditanam di samping jasad Ang Jit-kong.
Kemudian dalam pertemuan besar para ksatria,
seorang pengemis tua pernah membawa Holo merah itu sebagai tanda perintah Ang
Jit-kong, katanya sang ketua itu belum meninggal, bahkan menganjurkan kaum
jembel berbangkit membela tanah air dan mengusir musuh.
Tatkala mana Yo Ko sangat heran darimana
munculnya Holo merah itu? Tapi dalam pertemuan besar itu banyak terjadi
persoalan sehingga tidak sempat mengusut urusan itu, kemudian juga tidak
bertemu lagi dengan orang Kaypang, maka urusan itupun sudah terlupa, sekarang
dandanan kedua kakek ini jelas juga anggota Kaypang.
Yo Ko jadi tertarik demi ingat kejadian
dahulu itu, segera ia membisiki Siao-Iiong li: “Di luar ada orang, kau rebah
saja di pembaringan dan pura-pura sedang sakit?”
Siao-liong-li menurut, ia pondong Kwe Yang
dan berbaring di atas ranjang, ditariknya selimut butut yang terletak di ujung tempat
tidur itu.
Yo Ko lantas xnemolesi mukanya dengan hangus,
topinya ditariknya hingga hampir menutupi mukanya, pedang pusaka juga
disembunyikan. Dalam pada itu kedua orang tadi sudah mengetok pintu. Cepat Yo
Ko meng-gosok-gosok tangannya yang berlepotan minyak daging rusa yang baru
dimakannya itu sehingga lebih mirip
seorang pemburu yang kotor, habis itu pintu lantas dibukanya.
Dengan tertawa si kakek gemuk lantas berkata:
“Hujan salju ini sangat hebat dan sukar meneruskan perjalanan, mohon kemurahan
hati tuan sudi menerima pengemis untuk mondok semalam.”
“Ah, pemburu macamku tidak perlu dipanggil
tuan segala, silakan Lotiang (bapak) masuk dan bermalam di sini,” jawab Yo Ko.
Berulang-ulang pengemis gemuk itu mengucapkan
terima kasih, Segera Yo Ko lantas mengenali juga si pengemis kurus itu, jelas
dia orang yang pernah menyampaikan perintah Ang Jit-kong dahulu dengan membawa
Holo besar merah, diam-diam ia menjadi kuatir kalau-kalau dirinya akan dikenali
pengemis kurus itu, cepat ia merobek dua potong daging panggang dan diberikan
kepada kedua orang itu, katanya:
“Mumpung masih hangat2, silakan makan
seadanya, hujan salju begini kebetulan bagiku untuk menambah penghasilan.
Besok pagi-pagi harus kupergi memasang
perangkap untuk menangkap rase, maafkan aku tidak temani kalian lebih lama,”
“Oh, jangan sungkan-sungkan, silakan saja,”
jawab si pengemis gemuk tadi.
Segera Yo Ko sengaja berseru dengan suara
keras: “He, ibunya bocah, apakah batukmu sudah baikan?”
“Wah, pergantian musim menambah dadaku makin
sesak saja,” jawab Siao-liong-li sambil batuk lebih keras, berbareng ia sengaja
menggoyangi si Kwe Yang sehingga anak itu terjjaga bangun, maka di antara suara
batuk lantas terseling suara tangisan
anak bayi, sandiwara keluarga pemburu benar-benar dimainkan mereka dengan
sangat hidup.
Yo Ko lantas masuk ke ruangan dalam serta
menutup pintu, lalu ia berbaring disamping Siao-liong-li, diam-diam ia sedang
mengingat-ingat muka si pengemis gemuk tadi seperti sudah pernah dikenalnya,
cuma di mana, seketika tak teringat.
Kedua pengemis gemuk kurus itu menyangka Yo
Ko benar-benar seorang pemburu miskin, maka mereka tidak menaruh perhatian
padanya, sembari makan daging rusa panggang mereka lantas mulai mengobrol Si
pengemis kurus berkata: “Melihat api yang berkobar di Cong-lam-san itu, agaknya
sudah berhasil.”
dimana tiba pasukan Mongol disitu lantas
ditaklukkan hanya sekawanan Tosu Coan-cin-kau saja apa artinya lagi?” ujar si
pengemis gemuk dengan tertawa.
“Tapi beberapa hari yang lalu Kim-lun
Hoat-ong dan begundalnya telah pulang dengan mengalami kekalahan yang mengenaskan,”
kata si kurus.
“Itupun baik, biar Sri Baginda tahu bahwa
untuk menduduki tanah air bangsa Han ini juga diperlukan tenaga bangsa Han
sendiri, kalau melulu mengandalkan orang Mongol dan orang asing lainnya jelas
tidak jadi.”
Sampai di sini, tiba-tiba Yo Ko teringat pada
si gemuk ini juga pernah dilihatnya dalam pertemuan besar kaum ksatria dahulu,
cuma waktu itu si gemuk ini memakai mantel kulit dan berdandan sebagai orang
Mongol serta selalu ber-bisik-bisik di samping Kim-lun Hoat-ong, jelas inilah
orangnya. Diam-diam ia merasa gemas, pikirnya:
“Apa yang mereka bicarakan melulu urusan
pengkhianatan belaka, kebetulan kepergok olehku, tidak dapat kuampuni mereka.”
Kiranya pengemis gemuk ini adalah satu di
su-tay-tianglo (empat tertua) dalam Kay-pang, yaitu Peng-tiangIo. perbuatannya
memang khianat sudah lama dia menyerah kepada pihak Mongol.
Begitulah terdengar si pengemis kurus sedang
berkata pula: “Peng-tianglo, sekali ini apabila Kay-pang aliran selatan jadi
didirikan, entah pangkat apa akan kau dapat dari raja Mongol?”
“Raja menjanjikan pangkat “panglima besar
wilayah selatan” padaku,” jawab Peng-tianglo. “Akan tetapi seperti kata
pribahasa kita, mengemis tiga tahun lebih bebas daripada jadi raja tiga hari.
Kaum pengemis seperti kita masakah ingin menjadi pembesar segala?”
Walaupun demikian katanya, namun dan balik
ruangan sana Yo Ko dapat menangkap nada ucapannya yang penuh ambisi dan harapan
itu.
“Wah, untuk itu terimalah lebih dulu ucapan
selamat dariku,” kata si kurus.
“Selama beberapa tahun terakhir ini, jasamu
juga tidak kecil, kelak tentu kau juga akan mendapat bagian yang sesuai.”
“Soal kedudukan tidak berani kuharapkan cuma
engkau pernah menjanjikan Liap hun-tay-hoat (ilmu pengikat sukma, serupa
hipnotisme sekarang), bilakah baru engkau akan mengajarkannya kepadaku?”
“Nanti kalau Kay-pang selatan sudah berdiri
dengan resmi, setelah aku menjadi Pangcu dan begitu ada waktu luang segera akan
kuajarkan padamu.”
“Kukira setelah engkau menjadi Paagcu serta
diangkat menjadi panglima, pekerjaanmu tentu semakin banyak dan sibuk, mana ada
waktu luang?”
“Ah, masakah kau tidak percaya padaku,” ujar
Peng-tianglo dengan tertawa.
Si kurus tidak bicara lagi, hanya hidungnya
mendengus pelahan, tampaknya dia masih ragu.
Diam-diam Yo Ko membatin: “seluruh dunia
hanya ada satu organisasi Kay-pang tanpa membedakan utara dan selatan, untuk
apa dia mau mendirikan Kay-pang aliran selatan segala, ini pasti permainan gila
orang Mongol.”
Terdengar Peng-tianglo sedang berkata pula
dengan tertawa: “Setelah berkeliling, hendaklah kau menyebarkan perintah si
setan tua she Ang, katakan utara dan selatan teralang dan sukar mengadakan
kontak, maka utara dan selatan perlu dipisahkan menjadi dua.”
“Dan anggota bagian selatan dengan sendirinya
berada di bawah pimpinanmu” kata si kurus dengan dingin.
“Juga tidak perlu begitu, biarlah kita
mengangkat dulu Kan-tianglo sebagai ketua, usianya lebih tua, anak muridnya juga
banyak, orang lain tentu tidak curiga, Nanti kalau dia sudah kupengaruhi dengan
Liap-hun-tay-hoat, tentu dia akan menyerahkan kedudukannya padaku, tatkala mana
segalanya akan menjadi beres dengan sendirinya.”
“Sebenarnya Ang-lopangcu sudah lama wafat,
kalau kusiarkan lagi perintah palsu beliau, mungkin akan lebih menimbulkan
curiga orang, Melulu mengandalkan Holo palsu ini rasanya sukar mendustai orang
terus menerus, kalau kepungan terhadap Siang-yang sudah mereda dan Ui-pangcu datang
mengusut persoalan ini, wah, biarpun jiwaku pakai serep juga akan melayang
semuanya.”
“Hahaha!” Peng tianglo tertawa, “Asal kau
bertindak secara cepat, maka urusan juga akan cepat beres, mengenai perempuan
hina she Ui itu, kini dia terkepung di kota, jiwanya pasti sukar tertolong”
Sampai di sini barulah Yo Ko mengetahui
duduknya perkara, kiranya Holo merah itu adalah tiruan, lantaran tiada orang
yang menyaksikan meninggalnya Ang Jit-kong, mereka berdua lantas membawa Holo
palsu itu untuk mempengaruhi murid-murid Kay pang, karena seruan yang mereka
sebarkan itu mengenai tugas suci kaum pahlawan, demi negara dan bangsa, sebab
itulah anggota Kay-pang tidak menaruh curiga.
Kalau semua anggauta sudah percaya penuh
barulah Peng-tianglo itu akan berusaha mendirikan aliran cabang untuk memecah
belah Kay-pang, itu organisasi terbesar pada jaman itu.
Meski Yo Ko hanya berkumpul beberapa hari
saja dengan Ang Jit-kong, tapi dia benar-benar kagum dan hormat terhadap sifat
ksatria tokoh tua itu, pikirnya: “Ang-locianpwe sedemikian perkasa, nama
baiknya sesudah meninggal tidak boleh dirusak oleh kaum tikus celurut begini.”
Apalagi iapun teringat kepada keganasan
pasukan Mongol yang dilihatnya di sepanjang jalan, maka diam-diam ia bertekat
akan membunuh kedua-jahanam ini.
Begitulah terdengar si pengemis kurus tadi
sedang berkata pula: “Peng-tianglo, barang yang sudah kau janjikan, kapan2 juga
harus kau berikan, cuma kulihat engkau rada-rada lain di mulut lain di hati.”
“Habis kau mau apa?” tanya Peng-tianglo
dengan tak senang.
“Aku berani apa?” jawab si kurus, “Hanya aku
ini memang penakut, selanjutnya aku tak berani lagi menyiarkan perintah palsu
Ang-pangcu.”
Diam-diam Yo Ko anggap ucapan si kurus itu
benar-benar goblok, barangkali ingin mampus, makanya berani berkata begitu.
Terdengar Peng-tianglo lantas bergelak
tertawa katanya: “Baiklah, urusan ini dapat kita rundingkan lagi, jangan kau sangsi.”
Setelah berhenti sejenak, kemudian si kurus
berkata pula: “Sisa daging rusa ini tidak kenyang kita makan, biar kupergi mencari
buruan lain.”- Habis itu ia lantas membawa busur dan anak panah dan melangkah
keluar.
Segera Yo Ko mengintip dari sela-sela dinding
papan, dilihatnya begitu si kurus pergi, Peng-tiango itu juga lantas berbangkit
dan mclolos belati serta mendengarkan gerak-gerik kawannya dari balik pintu,
setelah mendengar suara tindakan si kurus sudah pergi jauh, dengan ber jengket2
iapun menyelinap keluar.
Dengan tertawa Yo Ko membisiki Siao-liong-li:
“jelas kedua jahanam ini akan saling bunuh, kebetulan bagiku, dapat ku irit
tenaga, Ku-lihat si gemuk itu jauh lebih lihay dan sikurus bukan tandingannya.
“Paling baik kalau keduanya tidak datang
kembali semua dan gubuk ini akan tenang dan tenteram tak terganggu,” ujar Siao
-liong li.
Yo Ko mengiakan, Mendadak ia mendesis pula
dengan suara tertahan: “Dengarkan suara tindakan orang.” -Terdengar ada orang
berjalan dengan ber-jinjit2 di lereng sebelah barat terus memutar ke belakang
gubuk.
“Agaknya si kurus tadi menyusup kembali
hendak menyergap si gemuk,” bisik Yo Ko pula dengan tersenyum.
Segera ia menolak daun jendela dan melompat
keluar dengan enteng tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Benar juga dilihatnya si pengemis kurus
sedang mengintip di antara sela-sela dinding. Rupanya ia menjadi ragu-ragu karena
tidak menemukan bayangan si gemuk.
Pada saat itulah Nyo-Ko telah berada di
belakangnya dan mendadak mengikik tawa Sudah tentu si kurus kaget, cepat ia
berpaling dengan air muka ketakutan karena menyangka Peng tianglo yang berada di
belakangnya, tapi si Yo Ko lantas berkata dengan tertawa:
“Jangan takut, jangan takut!” Berbareng itu
cepat sekali ia menutuk tiga Hiat-to penting di bagian dada, iga dan kaki orang,
lalu ia menjinjing tubuh si kurus ke depan gubuk.
Ia memandang sekelilingnya yang sunyi dan
salju belaka, itu, tiba-tiba timbul sifat kanak-anaknya, serunya: “Liongji,
lekas kemari, bantulah aku membikin orang-orangan salju,”-
Habis itu ia terus mengeduk salju yang
memenuhi bumi itu dan diurukkan pada tubuh si pengemis kurus.
Siao-liong-li lantas keluar dari gubuk dan
membantunya, dengan tertawa cekakak dan cekikik Yo Ko dan Siao-liong-li benar-benar
seperti anak kecil saja, hanya sebentar seluruh badan pengemis kurus itu sudah
penuh diuruki salju.
Selain sepasang biji mata saja yang masih
dapat bergerak, kini pengemis kurus itu telah berubah menjadi orang salju yang
gemuk laksana “gajah bengkak”, malahan pada punggungnya masih menggendong Holo
besar yang juga berlapiskan bunga salju.
“Hahaha, kakek kurus kering ini hanya sekejap
saja telah berubah menjadi gemuk dan putih,” kata Yo Ko sambil tertawa.
“Dan kakek aslinya memang gemuk dan putih itu
nanti akan kau permak menjadi apa?” ujar Siao-liong-ii dengan riang.
Belum lagi Yo Ko menjawab, terdengarlah
Iangkah orang dari jauh. cepat anak muda itu mendesis: “Ssssst, si gemuk sudah
kembali, lekas kita sembunyi dulu.”
Cepat mereka masuk lagi ke dalam rumah dan
merapatkan pintu kamar, Siao liong-li sengaja menggoyangkan Kwe Yang agar anak
itu menangis, tapi niatnya tiada berhenti menimangnya agar lekas tidur.
Selama hidupnya tidak pernah Siao-liong-li
berdusta dan berbuat munafik, perbuatan yang aneh dan licik ini malahan belum
terbayang olehnya, soalnya dia melihat Yo Ko suka berbuat begitu, maka iapun
ikut ramai-ramai saja.
Dalam pada itu Peng-tianglo telah kembali,
sepanjang jalan ia mengikuti jejak kaki, dilihatnya jejak kaki si kurus itu memutar
balik dan sembunyi di kiri belakang rumah, maka iapun mengikuti jejak itu ke
belakang, lalu sampai pula didepan rumah.
Dari sela-sela dinding Yo Ko dan
Siao-liong-li dapat melihat si gemuk sedang mengintip ke dalam rumah dengan menggenggam
belati dan siap siaga. Meski pengemis kurus yang diuruki salju itu merasa
kedinginan setengah mati, tapi dia masih sadar, di lihatnya Peng-tianglo
justeru berada disampingnya, tapi sedikitpun pengemis gemuk itu tidak menyadari
hal ini, asal si kurus ayun tangannya ke bawah pasti dapat membinasakan si
gemuk, celakanya tiga tempat Hiat-to si kurus tertutuk dan takbisa berkutik.
Tampaknya Peng-tianglo sangat heran ketika
mengetahui si kurus tidak berada di dalam rumah, ia lantas mendorong pintu dan
sedang memikirkan ke mana perginya pengemis kurus itu, pada saat itulah
tiba-tiba terdengar suara orang berjalan mendatangi. Muka Peng-tianglo tampak
berkerut lalu sembunyi di balik pintu untuk menanti pulangnya si kurus.
Siao-liong-li dan Yo Ko juga sangat heran,
jelas pengemis kurus itu sudah menjadi orang salju, mengapa ada orang datang
pula? Baru mereka berpikir, segera terdengar bahwa yang datang itu seluruhnya
dua orang, jelas adalah pendatang baru dan bukan si kurus.
Karena Peng-tianglo itu bertujuan jahat dan
bertekad akan membinasakan si kurus, pula daya pendengarannya memang kalah
tajam daripada Yo Ko dan Siao-liongli, maka dia tidak mendengarnya dan baru
tahu dugaannya meleset dan setelah kedua pendatang itu sudah berada di depan
rumah..
“0-mi-to-hud: (Adhi Budaya)!”
terdengar seorang di antaranya mereka menyebut Budha, “Karena kehujanan salju, kami
mohon Sicu suka memberi mondok semalam di sini.”
Peng-tianglo lantas menyelinap keluar,
dilihatnya di tanah salju sana berdiri dua Hwesio tua, seorang alis jenggotnya sudah
putih, wajahnya welas asih, seorang lagi jenggot hitam kaku dan memakai jubah
hitam, walaupun di musim dingin, namun pakaian kedua pendeta itu sangat tipis.
Selagi Peng-tianglo melengak dan belum
menjawab, tahu-tahu Yo Ko sudah keluar dan berseru: “Silakan masuk, Toa hwesio!
Orang dalam perjalanan memangnya membawa rumah sendiri?”
Pada saat itu juga mendadak Peng-tianglo
melihat Holo besar dipungguhg si pengemis kurus yang telah berubah orang salju
gemuk itu, ia terkejut dan heran melihat keadaan kawannya yang aneh itu. Waktu ia
menoleh pada Yo Ko, dilihatnya anak muda ini bersikap biasa saja seperti tidak mengetahui
sesuatu.
Dalam pada itu Yo Ko telah menyilakan kedua
Hwesio tua itu ke dalam rumah, dari gerak-gerik kedua Hwesio itu ia yakin mereka
pasti bukan sembarangan pendeta agama Budha, terlebih Hwesio jubah hitam yang
berwajah bengis dan bersorot mata aneh itu, ia menjadi sangsi jangan-jangan adalah
orang segolongan Peng-tianglo.
“Silakan tinggal saja di sini, Toahwesio,”
kata Yo Ko kemudian, “cuma orang gunung miskin seperti kami ini tiada alat
perlengkapan tidur segala” Eh, kalian suka makan daging panggang tidak?”
Padahal dia tahu umumnya kaum Budha tidak
makan barang berjiwa, Maka cepat si Hwesio alis putih telah menjawab: “Ampun,
ampun! Kami sendiri membawa sekedar rangsum kering, Sicu tidak perlu repo2″
“Baiklah, kalau begitu,” kata Yo Ko, lalu
iapun masuk ke kamarnya dan membisiki Siao-liong li: “Kedua Hwesio tua ini tampaknya
adalah tokoh yang sangat tangguh, sebentar kita harus dua lawan tiga.
Siao-liong-li mengernyitkan keningnya,
katanya dengan suara tertahan. “Orang jahat di dunia ini sungguh banyak sekali,
orang ingin hidup tenang di pegunungan sunyi begini juga tetap terganggu,”
Yo Ko coba mengintip gerak-gerik kedua Hwesio
tua, dilihatnya si Hwesio alis putih mengeluarkan empat potong kue tawar, dua
potong diberikan si Hwesio baju hitam, ia sendiri makan dua biji.
Dari wajah dan sikap Hwesio alis putih itu Yo
Ko percaya pendeta itu pasti tinggi ibadat agamanya, cuma di dunia ini juga
tidak kurang manusia jahat berwajah alim, contoh di depan mata juga ada, yaitu
Peng-tianglo, bukankah sikapnya juga ramah tamah dan wajahnya selalu berseri2,
tapi hatinya ternyata busuk. Yang aneh adalah Hwesio jubah hitam itu, mengapa
sinar matanya begitu bengis buas.
Tengah berpikir, sekonyong-konyong terdengar
suara gemerinctng, si Hwesio jubah hitam mendadak mengeluarkan dua potong benda
ke-hitam-hitaman terbuat dari besi.
Tadinya Peng-tianglo duduk dibangku, mendadak
ia melompat bangun sambil siap melolos senjata, Tapi Hwesio jubah hitam tidak
menggubris-nya, “krek-krek”, benda hitam itu telah digembol pada kakinya
sendiri, kiranya benda itu adalah sepasang belenggu besi. sepasang belenggu
lagi lantas dipasang pula pada kedua tangan sendiri.
Tentu saja Yo Ko dan Peng-tianglo sangat
heran dan tidak dapat menerka apa maksud dan artinya perbuatan Hwesio itu
membelenggu kaki dan tangan sendiri Tapi dengan demikian rasa was-was mereka
juga lantas berkurang beberapa bagian.
Paderi alis putih tampaknya menaruh perhatian
kepada kawannya, dengan suara pelahan ia bertanya: “Apakah hari ini waktunya?”
“Sepanjang jalan Tecu sudah merasakan gelagat
tidak enak”, bisa jadi hari ini,” jawab si Hwesio jubah hitam, mendadak ia
terus berlutut, kedua tangan terangkap di depan dada serta berdo’a: “Mo-hon
pertolongan Budha- yang maha welas asih.”
Habis berucap begitu, Hwesio baju hitam itu
lantas menunduk dari meringkukkan tubuhnya tanpa bergerak, Selang sejenak,
tubuh bagian atas rada gemetar, napasnya mulai terengah-engah, makin lama makin
ngos2an, sampai akhirnya suara napasnya menjadi seperti raungan kerbau yang sekarat,
sampai rumah papan itu bergetar oleh suara raungannya dan bunga salju di atas
atap sama rontok.
Tidak hanya Peng-tianglo saja yang terkejut
dan kebat- kebit hatinya, tapi Yo Ko dan Siao-liong-li juga saling pandang
dengan bingung, mereka tidak tahu apa yang dilakukan Hwesio baju hitam itu,
dari suara raungannya itu tampaknya dia sedang menderita siksaan yang maha
hebat.
Tadinya Yo Ko berprasangka buruk terhadap
Hwesio baju hitam itu, sekarang mau tak-mau timbul rasa kasihannya. pikirnya:
“Entah penyakit aneh apa yang dideritanya, mengapa Hwesio alis putih tidak
ambil pusing, bahkan anggap tidak tahu dan tidak lihat suara napasnya yang
keras itu?”
Selang sebentar pula, suara napas Hwesio baju
hitam semakin memburu, dengan pelahan Hwesio alis putih berkatalah “Tidak
seharusnya diperbuatnya tapi telah diperbuatnya, seharusnya diperbuat malah
tidak diperbuatnya, terbakar oleh mengamuk nya api penyesalan terjerumuslah ke jalan
sesat di-jelmaan mendatangi….”
Kalimat sabda Budha itu diucapkan Hwesio itu
dengan pelahan, tapi ternyata dapat terdengar dengan jelas di tengah suara
napas Hwesio baju hitam yang gemuruh, Yo Ko terkejut akan Lwekang si Hwesio tua
yang hebat itu, rasanya di jaman ini jarang ada bandingannya.
Terdengar Hwesio alis putih meneruskan
membaca weda Budha “Kalau orang berdosa mau menyadari dosanya, sesudah sadar
tidak lagi meresahkannya, dengan begitu hatipun tenteram, tidak perlu lagi
memikirkannya pula, jangan karena rasa penyesalannya itu, tidak melakukan
apa-apa yang seharusnya dilakukannya, kejahatan2 yang sudah diperbuatnya, tidak
mungkin ditariknya kembali.”
Lambat laun napas Hwesio baju hitam menjadi
pelahan dan akhirnya berhenti, sambil berenung iapun menggumam: “Kalau orang
berdosa mau -menyadari dosanya, sesudah sadar tidak lagi meresahkannya. Suhu,
Tecu menyadari macam perbuatan di masa lalu itu berdosa, Tecu sangat menyesal
dan hampir tak dapat mengatasi perasaan berdosa sendiri ini. Yang Tecu pikirkan
adalah: kejahatan yang sudah diperbuatnya, tidak dapat ditarik kembali Karena
itu hati Tecu tidak jadi tenang dan gembira, bagaimana sebaiknya ini?”
“Berbuat salah dan mau menyesalinya, biasanya
sukar terjadi,” ujar Hwesio alis putih, “Manusia bukan Nabi, manabisa tanpa
berbuat salah. Berbuat salah dan mau memperbaikinya, itulah yang maha muIia.”
Sampai di sini mendadak Yo Ko teringat kepada
namanya sendiri, yakni “Ko” (salah), menurut ibunya dia juga mempunyai nama
alias “Kay-ci” (perbaikilah), jadi persis seperti apa yang diucapkan Hwesio
alis pulih tadi, ia menjadi ragu apakah pendeta tua ini adalah seorang maha
sakti yang sengaja datang buat membuka pikirannya? Mau-tak-mau timbul rasa
kagum dan hormatnya kepaaa pendeta yang ucapannya penuh filsafat hidup ini.
Terdengar Hwesio baju hitam berkata pula:
“Akar kejahatan Tecu sukar dilenyapkan sepuluh tahun yang lalu.
Tecu sudah lama mengikuti ajaran Suhu dan
tetap terjadi menewaskan jiwa tiga orang, sekarang darah Tecu terasa bergolak
dan sukar diatasi mungkin sekali Tecu akan berbuat dosa pula, Untuk ini mohon
welas asih Suhu, sukalah potong saja kedua tangan Tecu ini.”
“Syahdu! Syahdu! Biarpun kudapat potong ke
dua tanganmu, tapi pikiran jahat dalam hatimu harus kau babat sendiri. Kalau
pikiran jahat belum lenyap, meski kaki dan tanganmu putus juga percuma saja, Coba
dengarkan, akan kuceritakan sebuah kisah “lnduk menjangan dan si pemburu, bagimu.”
“Tecu siap mendengarkan,” jawab si baju hitam
sambil duduk bersila, Di balik ruangan sana Yo Ko dan Siao-liong-Ii juga lantas
duduk tenang ikut mendengarkan cerita pendeta itu.
“Ada seekor induk menjangan dengan dua ekor
anak menjangan,” demikian Hwesio alis putih mulai berkisah.
“Malang bagi induk menjangan itu karena
tertangkap oleh seorang pemburu, Pemburu akan membunuh induk menjangan, dengan
sangat induk menjangan minta dikasihani katanya: “Aku mempunyai dua anak, masih
kecil dan lemah, belum mahir mencari makan dan minum. Mohon di beri kelonggaran
sementara waktu agar dapat mengajarkan cara mencari makan bagi anakku, habis
itu pasti kudatang kembali untuk menyerahkan diri” - pemburu tidak
mengidzinkan, Induk menjangan memohon pula dengan memelas, akhirnya hati pemburu
terharu dan meluluskannya, induk menjangan menemukan kedua anaknya dan saling
bermesraan dengan girang dan sedih pula induk menjangan menceritakan nasibnya
yang malang dan berharap kedua anaknya menjaga diri.
Sudah tentu anak menjangan yang masih kecil
itu tidak paham maksud sang induk. Lalu induk menjangan membawa kedua anaknya
ke tempat yang banyak rumput dan sumber air, setelah memberi petunjuk cara-cara
mencari hidup lain, dengan berlinang air mata kemudian induk menjangan lantas mohon
diri.”
Mendengar sampai disini, Siao-liong-li jadi
teringat kepada jiwa sendiri yang sudah dekat ajalnya, tanpa terasa iapun mencucurkan air mata, walaupun tahu cerita
Hwesio itu Cuma dongeng belaka, tapi cinta kasih ibu dan anak dalam cerita itu sangat
mengharukan hati Yo Ko.
Dalam pada itu Hwesio alis putih sedang
melanjutkan ceritanya: “Sehabis memberi pesan, induk menjangan lantas melangkah
pergi. Kedua anak menjangan lantas menangis sedih dan terus mengikutinya dari
belakang, walaupun kecil dan lemah, larinya lambat dan jatuh bangun, namun
tetap tidak mau berpisah dengan sang induk. induk menjangan lantas berhenti dan
menoleh, katanya:
“O, anakku, janganlah kalian ikut, kalau
dilihat pemburu itu, tentu jiwa kita akan tamat semuanya, ibu rela mati, Cuma kalian
yang masih kecil dan lemah, Di dunia ini menang tiada suatu yang abadi, setelah
berkumpul akhirnya juga akan berpisah. Nasibku yang jelek sehingga membikin
kalian kehilangan ibu sejak kecil.” - Habis berkata ia terus berlari ke tempat
si pemburu.
Kedua anak menjangan sangat menginginkan
kasih sang induk, tanpa gentar kepada panah si pemburu merekapun mencari sampai
di sana. Melihat induk menjangan menepati janji dan rela untuk mati, kejujuran
dan kesetiaannya sukar dibandingi manusia.
Dilihatnya pula antara induk dan anak
menjangan itu merasa berduka dan berat untuk berpisah, si pemburu merasa tidak
tega dan akhirnya membebaskan induk menjangan.”
Habis mendengar cerita itu, air mata
bercucuran memenuhi muka si Hwesio jubah hitam, katanya: “Menjangan saja
mengutamakan janji, induknya baik hati dan anaknya berbakti, betapapun Tecu tak
dapat meniru mereka.”
“Asal timbul perasaan kasih, seketika napsu
membunuh akan lenyap,” kata Hwesio alis putih sembari memandang sekejap ke arah
Peng-tianglo.
Dengan sujud Hwesio baju hitam mengiakan Lalu
Hwesio alis putih berkata pula: “Jika ingin menebus kesalahan, jalan satu-satu
nya adalah berbuat amal. Dari menyesali perbuatan yang seharusnya dilakukan di
masa lalu, ada lebih baik selanjutnya lebih banyak berbuat sesuatu yang harus dikerjakan.”
Habis ini ia menghela napas pelahan dan
menambahkan pula: “Sekalipun aku sendiri selama ini juga banyak berbuat kesalahan.”
- Lalu ia memejamkan kan mata seperti orang semedi.
Setelah mendengarkan cerita sang guru, Hwesio
baju hitam seperti mulai sadar, tapi gejolak perasaannya selalu sukar diatasi.
Waktu ia mengangkat kepalanya, dilihatnya Peng-tianglo sedang memandangnya
dengan tersenyum simpul, kedua matanya menyorotkan cahaya yang sangat tajam dan
kuat.
Hwesio baju hitam terkesiap, ia merasa pernah
bertemu dengan orang ini, terasa pula sorot mata orang menimbulkan perasaan
sangat tidak enak, cepat ia berpaling ke arah lain, tapi hanya sejenak kembali
ia menoleh ke sana.
“Wah, lebat sekali salju yang turun ini,”
kata Peng tianglo dengan tertawa.
“Ya, ya, lebat sekali,” jawab Hwesio baju
hitam.
“Marilah kita pergi melihat pemandangan hujan
salju ini,” kata Peng-tianglo pula sambil membuka pintu.
“Baiklah, kita pergi melihat pemandangan
hujan salju,” jawab si Hwesio sambil berbangkit dan berdiri di luar pintu di samping
Peng-tianglo.
Dari balik dinding Yo Ko juga merasakan sorot
mata Peng-tianglo yang aneh itu, samar-samar ia merasakan sesuatu alamat yang
tidak enak.
“Ucapan gurumu sangat tepat, membunuh orang
sekali-sekali jangan, tapi seluruh tubuhmu penuh tenaga yang meluap2, kalau
tidak bergebrak dengan orang rasanya tidak tahan, begitu bukan?” demikian
Peng-tianglo berkata pula dengan tertawa.
Secara samar-samar si Hwesio baju hitam
mengiakan, Lalu Peng-tianglo berkata pula: “Boleh coba kau hantam orang salju
ini, pukul saja, kan tidak berdosa.”
Hwesio baju hitam memandang orang salju itu
dan mengangkat tangannya, hasratnya ingin sekali melancarkan pukulannya.
Sementara itu tubuh si pengemis kurus itu
sudah teruruk lagi oleh bunga salju yang bertebaran sejak tadi, maka kedua matanya
juga tertutup oleh salju.
“HayoIah, pukul saja dengan kedua tanganmu,
hantam orang salju ini! Pukul, hayo pukul!” demikian Peng-tiangIo menganjurkan
pula, suaranya halus, tapi penuh daya memikat.
“Baik, akan kupukul.” kata si Hwesio baju
hitam sambil mengumpulkan tenaga pada tangannya.
Si Hwesio alis putih
mengangkat kepala dan menghela napas
panjang, dengan pelahan ia menggumam: “Sekali napsu membunuh timbul, seketika
terjadi mala petaka,”
Segera terdengar suara “blang” yang keras,
kedua tangan Hek-ih-ceng (Hwesio baju hitam) menghantam sekaligus. Salju berhamburan
dan terdengar jeritan pengemis kurus. Rupanya Hiat-to yang tertutup tergetar
buka terkena pukulan Hek-ih-ceng” jeritan itu sangat ngeri dan menyeramkan dan berkumandang
hingga jauh menggema angkasa pegunungan itu.
Siaoliong-li juga bersuara kaget dan memegangi
tangan Yo Ko dengan erat.
“Ha, di dalam salju ada orang!” teriak
Hek-ih-ceng kaget Cepat Pek-bi-ceng (Hwesio alis putih) berlari keluar dan memeriksa
keadaan sang korban, ternyata pengemis kurus itu sudah binasa terkena pukulan
tangan besi yang maha sakti si Hek-ih-ceng” seketika Hwesio baju hitam ini
melongo dengan bingung, sedangkan Peng tianglo berlagak kaget dan berseru:
“He, benar-benar aneh, untuk apakah orang ini
sembunyi didalam gundukan salju? Eh, mengapa dia membawa senjata?”
Meski dengan Liap-hun tayhoatnya dia berhasil
mempengaruhi Hek-ih-ceng membinasakan si pengemis kurus, sudah tentu ia sangat
senang, tapi iapun merasa heran pula mengapa si kurus sanggup bertahan tanpa
bergerak bersembunyi di dalam gundukan salju dan tidak mendengar suaraku
menyuruh orang menghantamnya?
“Suhu… Suhu!” dengan melongo bingung
berulang-ulang Hek-ih-ceng memanggil sang guru.
“Karma! karma!” ucap Pekbiceng, “Orang ini
tidak dibunuh olehmu, tapi juga kau yang membunuhnya.”
Hek-ih-ceng mendekap di atas tanah salju dan
bertanya dengan suara gemetar: “Tecu tidak paham artinya.”
“Kau mengira hanya orang salju belaka dan
hatimu tiada bermaksud mencelakai orang,” kata Pek-bi-ceng. “Tapi tenaga pukulanmu
maha dahsyat waktu melancarkan serangan, masakah sama sekali tiada pikiranmu
hendak membunuh orang!”
“Sesungguhnya Tecu memang berkehendak
membunuh orang” jawab Hek-ih-ceng.
Pek-bi-ceng lantas memandangi Peng-tianglo
hingga sekian lama, sorot matanya halus penuh welas asih, Tapi hanya sekali
pandang saja, Liap-hun tay-hoat yang menggetar sukma orang, ilmu andalan Peng
tianglo itu lantas sirna tanpa bekas.
Mendadak Hek-ih ceng berteriak: “He… kau… kau
adalah Tianglo di Kay-pang dahulu itu, ya, ya, betul ingatlah aku sekarang!”
Seketika wajah asli Peng-tianglo timbul dari balik
sikapnya yang selalu ramah tamah dan tersenyum simpul itu, air mukanya lantas
penuh rasa bertentangan batin, katanya: “Ah, engkau adalah Kiu-pangcu dari
Tiat-ciang-pang, mengapa engkau menjadi Hwesio?”
Kiranya Hwesio baju hitam ini memang betul
ialah Kiu Jian yim, ketua Tiat-ciang-pang. Setelah terjadi pertandingan
dipuncak Hoa-san dahulu, dia telah menyadari segala dosanya di masa lampau dan
mengangkat It-teng Taysu sebagai guru, iapun menjadi Hwesio.
Dan Pek-bi-ceng atau Hwesio alis putih ini
bukan lain daripada It-teng Taysu, namanya sejajar dengan Ong Tiang-yang, Oey
Yok-sui. Auyang Hong dan Ang Jit-kong itu.
Sesudah menerima agama Budha, Kiu Jian yim mendapatkan
nama agama sebagai Cu-in. Dengan giat dia mempelajari agamanya dan telah
memperoleh kemajuan pesat. Cuma dahulu dia sudah terlalu banyak berdosa, akar kejahatannya
sukar dibasmi seluruhnya, kalau kutemukan daya pikat yang kuat dari luar,
terkadang dia masih suka umbar kemurkaannya dan mencelakai orang, sebab itulah
dia telah membuat dua pasang belenggu besi, apabila pikirannya sedang judek, ia
lantas membelenggu kaki tangan sendiri untuk mengekang tindak jahatnya.
Suatu hari lt-teng Taysu menerima berita
minta tolong dari muridnya, yaitu Cu Cu-liu, maka dari negeri Tayli It-teng Taysu
lantas membawa Cu-in berangkat ke Coat-ceng-kok.
Tak terduga di pegunungan sunyi ini mereka
bertemu dengan Peng-tianglo dan tanpa sengaja Cu-in telah membunuh satu orang
pula.
Sejak menjadi Hwesio, selama belasan tahun
baru pertama kali ini ia membunuh orang meski ada juga pelanggaran yang
diperbuatnya, seketika hatinya menjadi bimbang, ia merasa latihannya selama
belasan tahun telah hanyut ke laut seluruhnya. Dengan pelahan ia menoleh dan memandang
Peng-tianglo dengan mata berapi.
It-teng Taysu tahu saatnya sangat gawat,
kalau mengalangi dia dengan kekerasan, tentu pikiran jahatnya akan semakin
menumpuk dan pada suatu hari pasti akan meluap laksana air bah yang tidak
terbendungkan.
Hanya dengan jalan menimbulkan rasa
welas-asih kepada sesamanya barulah pikiran-jahatnya dapat dilenyapkan dan menuju
ke jalan yang bersih.
Begitulah sambil berdiri di samping Cu-in,
pelahan- It-teng Taysu menyebut:”
“O-mi to-hud!” -Sampai hampir ratusan kali ia
menyebut nama Budha barulah sorot mata Cu-in mulai meninggalkan tubuh Peng-tianglo,
lalu berduduk di tanah dan napasnya terengah-engah pula.
Sudah sejak dulu Peng-tianglo tahu ilmu silat
Kiu Jian-yim maha hebat, tapi kalau ia
dapat dipengaruhi dengan Liap-hun-tay-hoat, maka dapatlah dia peralat
sesukanya.
Siapa tahu kemana sinar mata It-teng Taysu
menyorot, seketika perasaannya seperti tertekan oleh sesuatu yang maha berat
dan sukar mengeluarkan ilmunya.
Maklumlah, Liap-hun-tay-hoat itu kira-kira
serupa dengan sebangsa ilmu bipnotis atau telepati pada jaman kini, dengan kekuatan
batin untuk mengendalikan pihak lawan, kalau kekuatan batin lebih kuat daripada
dirinya, maka ilmu itu takkan berhasil sama sekali.
Dalam hal ini pikiran It-teng ternyata lebih
kuat daripada Peng-tianglo sehingga sukar dipengaruhinya.
Kini Peng-tianglo sudah menginsyafi
keadaannya yang berbahaya. ia pikir Hwesio tua yang senantiasa menganjurkan orang
berbuat bajik ini semoga dapat mempengaruhi Kiu Jian-yim. Kalau dirinya
melarikan diri sekarang, betapapun pasti sukar lolos dari kejaran Kiu Jian yim
yang Ginkangnya terkenal maha hebat.
Terpaksa ia meringkik di pojok rumah dengan
hati kebat-kebit, pandangannya sekejap saja-tidak berani meninggalkan gerak-gerik
Kiu Jian-yim.
Tidak lama kemudian suara napas Cu-in semakin
memburu pula, tiba-tiba ia berseru: “Suhu, pembawaanku memang orang jahat,
Thian tidak berkenan menerima penyesalanku, meski aku tidak sengaja membunuh
orang, akhirnya mencelakai juga jiwa orang. Aku tidak mau menjadi Hwesio lagi.”
“Ampun! Ampun Akan kuceritakan pula sebuah
kisah padamu,” kata It- teng.
Mendadak Cuin berteriak dengan suara keras: “Kisah
apa lagi? Sudah belasan tahun kau menipu diriku,
aku tak percaya lagi padamu.” Krak-krek,
tahu-tahu belenggu pada kaki dan tangannya itu retak dan terlepas.
Dengan suara halus It-teng berkata pula:
“Jika perbuatan yang sudah terlanjur terjadi tidak perlu dirisaukan, jangan kau
sesalkan lagi.”
Namun Cu-in lantas berbangkit ia
meng-geleng-geleng kepada It-teng, habis itu ia memutar tubuh dan
menghantamkan kedua tangannya, “blam”,
tahu-tahu tubuh Peng-tianglo mencelat dan menumbuk dinding gubuk terus melayang
keluar.
Di bawah pukulan telapak tangan besi yang
maha dahsyat itu jelas otot tulangnya pasti hancur, biarpun jiwanya rangkap sepuluh
juga pasti tamat riwayatnya.
Yo Ko dan Siao-liong-li juga kaget mendengar
suara gedubrakan yang keras itu, cepat mereka memburu keluar dari ruangan
dalam, terlihat kedua tangan Cu-in terangkat ke atas, dengan sorot mata bengis
ia membentak mereka berdua: “Apa yang kalian pandang? Satu tidak berbuat, dua tidak
berhenti (artinya kalau sudah telanjur berbuat, ya sekalian kerjakan saja),
hari ini sengaja kuIanggar pantangan membunuh,” Habis berkata, tenaga yang
sudah terkumpul pada kedua tangannya segera akan dihantamkan.
Dengan tenang It-teng Taysu melangkah maju
dan mengadang di depan Yo Ko berdua, di situ ia berduduk dan mcngucap Budha,
air mukanya kereng, katanya: “Belum jauh kau tersesat, masih sempat kembali
jika kau mau. Cu-in, apakah benar-benar kau ingin terjerumus ke alam yang tak tertolong
pula.”
Wajah Cu-in sebentar merah sebentar pucar
kusut sekali pikirannya, terjadilah pertentangan batin antara baik dari jahat.
Rupanya pikiran jahatnya akhirnya berkobar lebih hebat, mendadak sebelah
tangannya menghantam ke arah It-teng taysu.
Dengan satu tangan terangkat di depan dada
It-teng menahan serangan itu dengan tubuh rada tergeliat.
“Bagus, jadi kau benar-benar ingin memusuhi
aku?” teriak Cu-in dengan gusar, menyusul tangan kiri lantas menghantam pula.
!t-teng tetap” menangkis saja dan tidak balas
menyerang. Dengari gusar Cu-in lantas mendamperat: “Hm, nntuk apa kau mengalah?
Hayolah membalas! Mengapa kau tidak balas seranganku? Huh apanya yang hebat
antara kalian Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pakkay dan Tiong-sin-thong segala?
Belum tentu kalian mampu menandingi telapak tangan besi orang she Kiu ini,
Hayolah balas, kalau kau tidak balas menyerang, jangan kau penasaran jika
jiwamu melayang percuma.”
Meski pikiran Cu-in dalam keadaan kacau tapi
ucapannya itu juga tidak salah, ilmu pukulan telapak tangan besinya boleh dikatakan
mempunyai keunggulannya sendiri dibandingkan lt-yang-ci yang menjadi andalan
It-teng Taysu itu.
Dalam hal ajaran agama memang It-teng jauh
lebih daripada cukup untuk menjadi guru Cu-in, tapi bicara tentang ilmu silat,
kalau bertempur sekuat tenaga mungkin It teng lebih unggul setingkat, tapi
kalau melulu di hantam tanpa membalas, lama2 juga pasti akan terluka parah
sekalipun jiwanya tidak melayang.
Akan tetapi It teng sudah bertekad lebih suka
mengorbankan diri untuk menolong orang lain, lebih suka
binasa kena pukulan tangan besi itu daripada
balas menyerang dengan harapan Cu-in akhirnya dapat diinsafkan, jadinya
sekarang mereka tidak lagi bertanding iimu silat atau tenaga dalam, tapi lebih
tepat dikatakan pertarungan antara pikiran bajik dan pikiran jahat.
Yo Ko dan Siao-liong li menyaksikan pukulan
sakti Cu-in itu terus menerus dilontarkan ke arah It-teng, sampai pada pukulan
ke-14, tertumpas lah darah segar dari mulut It-teng.
“Apakah kau tetap tidak mau membalas?,”
bentak Cu-in melengak demi melihat darah yang mengucur dari mulut It teng itu.
Dengan tersenyum It-teng menjawab: “Untuk apa
aku membalas? Apa gunanya jika kukalahkan kau? Apa pula paedahnya kalau kau
kaIahkan diriku? Yang paling sukar adalah mengalahkan dirinya sendiri,
mengekang perasaannya sendiri.”
Cu-in tampak tertegun dan bergumam:
“Mengalahkan dirinya sendiri, mengekang perasaan sendiri inilah yang sukar?”
Beberapa kalimat ucapan It-teng itu laksana
bunyi geledek yang menggetar hati Yo Ko. Pikirnya: “Untuk mengalahkan kehendak
diri sendiri dan mengekang hasrat buruk sendiri memang jauh lebih sukar
daripada mengalahkan musuh yang tangguh.”
Ucapan pendeta agung ini benar-benar sangat
tepat dan bernilai.
Dalam pada itu dilihatnya kedua tangan Cu-in
berhenti sejenak di atas, habis itu terus menghantam pula ke depan.
“Brak”, tubuh It-teng terhuyung, darah segar
kembali tersembur keluar, jenggotnya yang putih dan jubahnya sama berlepotan
darah…
Dari caranya menerima serangan lawan serta
daya tahannya, Yo Ko tahu ilmu silat It-teng asebenarnya terlebih tinggi
daripada Hek-ih-ceng itu, tapi kalau melulu terima pukulan saja, biarpun tubuh
terbuat dari besi juga akhirnya akan meleyot.
Kini Yo Ko luar biasa kagum dan hormatnya
kepada It-teng Taysu, ia tahu It-teng sengaja mengorbankan diri untuk menginsafkan
orang jahat, tapi iapun tak dapat menyaksikan orang baik seperti lt teng tewas
begitu saja, karena itulah ia lantas mengangkat pedangnya dan mengitar ke
samping It-teng, waktu Cu-in melancarkan pukulan lagi, “sret”, iapun membarengi
dengan tusukan pedang.
Guncangan angin pukulan yang dahsyat itu
menumbuk angin pukulan Cu-in, tubuh kedua orang sama tergetar.
Cu-in bersuara heran, tak tersangka olehnya
bahwa di pegunungan sunyi ini ada seorang pemburu muda yang memiliki ilmu silat
setinggi ini. It-teng memandang Yo Ko sekejap, hatinya juga heran luar biasa.
“Siapa kau? Apa kehendakmu?” bentak Cu-in
dengan bengis.
“Gurumu memberi nasihat secara baik-baik,
mengapa Taysu tidak mau sadar?” jawab Yo Ko. “Tidak mau menerima nasihat sudah
keliru, malahan kau membalas kebaikan dengan kebencian dan melancarkan pukulan
keji kepada gurumu.
Manusia macam demikian bukankah jauh lebih
rendahdaripada binatang?”
Dengan gusar Cu-in membentak: “Apakah kaupun
orang Kay-pang? Begundal si Tianglo konyol tadi?”
“Kedua orang ini memang orang busuk Kay-pang”
jawab Yo Ko dengan tertawa, “Bahwa Taysu telah membinasakan mereka, menumpas
kejahatan sama dengan berbuat kebajikan, mengapa engkau merasa menyesal?”
Untuk sejenak Cu-in melengak, lalu menggumam:
“Menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan…menumpas kejahatan sama
dengan berbuat kebajikan…”
Setelah mengikuti percakapan It-teng dan
Cu-in tadi, lapat-lapat Yo Ko sudah paham isi hati mereka yakni lantaran Cu-in
merasa menyesal sehingga timbul rasa benci, dari benci lantas timbul pikiran
jahat.
Maka ia lantas berkata pula: “Kedua orang itu
adalah anggota khianat Kay-pang, yang berkomplot dengan pihak musuh dan
bermaksud menjual tanah air kita kepada bangsa lain, sekarang Taysu membunuh
mereka, ini adalah pahala yang maha besar. Kalau kedua orang ini tidak mati,
entah betapa orang baik-baik akan menjadi korban kejahatan mereka”
Cuin merasa ucapan Yo Ko itu sangat tepat,
perlahan-lahan ia menurunkan tangannya yang siap menghantam itu.
Tapi segera teringat olehnya dahulu dirinya
juga pernah bekerja bagi kerajaan Kim dan pernah membantu bangsa asing itu
menjajah negerinya sendiri, jadi ucapan Yo Ko itu tiada ubahnya seperti mencaci
maki kesalahannya itu, mendadak pukulannya dilancarkan ke arah Yo Ko sambil membentak:
“Kau mengaco-balo apa, binatang cilik?”
Tadinya Yo Ko menyangka ucapannya tadi telah membangunkan
hati nurani Cu-in, siapa duga mendadak orang malah melancarkan serangan maut,
serangan yang cepat lagi keji itu dalam sekejap saja sudah sampai di depan dadanya,
dalam keadaan gawat ia tidak sempat menangkisnya, terpaksa ia ikuti daya
pukulan musuh dan melompat mundur, “blang-blang” dinding papan rumah ambrol dan
tubuh Yo Ko mencelat keluar rumah.
lt-teng Taysu terkejut, pikirnya: “Apakah
pemuda ini akan binasa begitu saja? tampaknya ilmu silatnya juga tidak rendah.”
Pada saat lain, mendadak api unggun yang
berkobar di dalam rumah itu menyurut gelap, lubang dinding yang ambrol itu
dihembus angin keras, tahu-tahu Yo Ko melayang masuk lagi sambil menusukkan pedangnya
ke arah Cu-in dengan membentak: “Baik, hari ini boleh kita coba-coba ukur
tenaga.”
Rupanya Yo Ko tadi dapat mundur lebih cepat
daripada tenaga pukulan musuh, dengan menumbuk ambrol dinding rumah, dapatlah
ia terhindar dari pukulan maut itu. Kini pedangnya menusuk lurus ke depan
kekuatan yang dahsyat dan sukar di tahan. Cu-in memukulkan tangannya agar
tenaga pukulan dapat mengguncang pergi daya tusuk Yo Ko itu.
Tak disangkanya bahwa ilmu pedang Yo Ko ini
adalah ajaran Tokko Kiu-pay yang tiada tandingnya, apalagi sudah digembleng di
tengah air bah serta tambahan tenaga dari buah merah dibantu pula oleh rajawali
sakti, kini ilmu pedang yang dikuasi Yo Ko sudah tiada ubahnya seperti
kesaktian Tokko Kiu-pay dahulu, maka telaga pukulan Cu-in itu hamper tiada
artinya bagi Hyo Ko, pedang anak muda itu masih tetap menyelonong ke depan.
Keruan Cu-in kaget, cepat mengelak agar
tubuhnya tidak tertembus.
Setelah bergebrak barulah sama-sama
mengetahui ilmu silat pihak lawan memang sangat lihay dan tidak berani lagi meremehkan
musuh, It teng terheran-heran menyaksikan semua itu, ia pikir usia anak muda
ini paling-paling baru Iikuran, tapi ternyata mampu menandingi ilmu pukulan
tangan besi Kiu Jian-yim yang pernah menggetarkan dunia kangouw di masa lampau,
malahan gaya ilmu pedang anak muda ini tidak diketahui berasal dari aliran mana
meskipun pengalaman sendiri tergolong sangat luas, lebih-lebih pedangnya yang hitam
berat itu jelas merupakan senjata yang aneh pola.
Bahkan Siao-liong-li yang cantik molek itu
mengikuti pertarungan itu di samping dengan tenang-tenang saja, diam-diam iapun
yakin nona ini pasti juga tokoh yang lain daripada yang lain, Ketika ia
mengawasi lebih teliti, dilihatnya diantara dahi si nona samar-samar bersemu
hitam, tanpa terasa ia bersuara kaget.
Siao-liong-li tersenyum melihat sikap It-teng
Taysu itu, katanya: “Oh, kau sudah tahu?”
Dalam pada itu pertarungan Yo Ko lebih
beruntung dalam hal senjata sebaliknya Cu-in lebih banyak sebuah lengan, jadinya
seimbang. Terdengai pula suara “blang”, papan kayu jebol sebuah, menyusul
“krek” sekali, tiang rumah patah sebuah, padahal luas rumah itu sudah kecil
bangunan kurang kukuh pula, betapapun tidak mungkin digunakan sebagai arena
pertarungan dua tokoh kelas wahid, ke mana serangan mereka tiba, di situ papan
kayu bertebaran, akhirnya terdengarlah suara gemuruh, sebuah tiang patah lagi
serentak atap rumah lantas ambruk.
Cepat Siao-liong-li pondong Kwe Yang dan
menerobos keluar melalui jendela, Di luar salju masih turun dengan lebatnya
dengan angin yang menderu, Yo Ko dan Cu-in telah mengobrak-abrik kedua rumah gubuk itu secara
mentah-mentah dan pertandingan tetap berlangsung dengan sengitnya di bawah
badai salju.
Sudah belasan tahun Cu-in tidak pernah
bertempur sesengit ini dengan orang, saking bersemangat nya pukulan telapak
besinya yang dahsyat itu disertai pula dengan raungan yang keras. Sampai
ratusan jurus, tenaga pedang pusaka Nyo Ko itu ternyata semakin berat, karena
usia Cu-in memang sudah lanjut, lambat-laun ia merasa kewalahan untuk menahannya.
Ketika Yo Ko menusuk lagi dari depan, Cu-in,
lantas menggeser ke samping. Tapi pedang Yo Ko lantas menyapu sehingga
menimbulkan angin keras dengan hamburan salju menyambar ke muka Cu-in. Karena
matanya tertutup bunga salju, cepat Cu-in mengusap mukanya. Pada saat itulah pedang
Yo Ko terus memutar dari atas dan menempel di atas pundak Cu-in.
Seketika Cu in merasa seperti ditindihi oleh
benda yang beribu kati beratnya dan tidak sanggup berdiri tegak, ia jatuh telentang,
Ujung pedang Yo Ko terus mengancam di dada lawan, biarpun ujung pedang itu
tidak tajam, tapi beratnya tak terperikan sehingga Cu-in merasa sesak napas.
Pada saat demikian sekilas terbayang “mati”
dalam benak Cu-in. Sejak dia menjadi gembong Tiat-ciang-pang dan malang
melintang di dunia Kangouw, selamanya dia hanya membunuh dan mencelakai orang,
jarang sekali mengalami kekalahan, biarpun pernah dikalahkan Ciu Pek-thong dan
lari ke wilayah barat, akhirnya dia juga dapat menggertak lari si Anak Tua
Nakal itu, sekarang ia merasakan ajalnya sudah dekat pintu gerbang neraka,
inilah belum pernah dialaminya selama hidup, mau-tak-mau timbul rasa
penyesalannya, kalau tamat begini saja riwayatnya, ia merasakan segala dosa
yang pernah diperbuatnya menjadi tak bisa ditebus lagi.
Selama ini kuliah It-teng Taysu tidak dapat
membuka pikirannya yang gelap, kini ancaman pedang Yo Ko ternyata merupakan
bunyi guntur yang dapat memecahkan segala persoalan dan seketika membuatnya
teringat, ternyata begini mengenaskan kalau dibunuh orang, jika begitu
orang-orang yang pernah kubunuh dahulu tentu juga mengenaskan seperti ini.
Diam-diam It-teng sangat kagum menyaksikan Yo
Ko akhirnya dapat menaklukkan Cu-in, segera ia melangkah maju, jarinya
menyelentik pelahan pada batang pedang, seketika Yo Ko merasa lengan kiri
kesemutan, pedang lantas bergetar ke samping, serentak Cu-in melompat bangun
dan menjura kepada It-teng sambil berseru. “Suhu, dosa Tecu pantas dihukum
mati!”
It-teng tersenyum dan meraba punggungnya,
katanya: “Tidaklah mudah kau dapat menginsafl segalanya, kau harus berterima
kasih kepada anak muda ini.”
Tadinya Yo Ko juga sudah sangsi kalau Hwe-sio
tua beralis putih ini adalah It-teng Taysu, setelah pedangnya terselentik ke
saraping, tanpa sangsi lagi akan dugaannya, sebab soal tenaga jari sakti pada
jaman ini selain Oey Yok-su hanya It-yang-ci saja yang dapat mengimbanginya dan
tokoh nomor satu It-yang-ci tiada lain adalah It-teng Taysu, segera iapun
menyembah dan berkata:
“Tecu Yo Ko memberi salam
hormat kepada Taysu.” -
Dilihatnya pula Cu-in mendekatinya dan menjura
padanya.
Cepat ia membalas hormat dan berkata: “Wah,
mana kuberani terima penghormatan sebesar ini, Locian-pwe,” Lalu ia tuding
Siao-liong-li dan menambahkan pula: “lni adalah isteriku she Liong,
Eh,liong-ji, lekas memberi hormat kepada Taysu.”
Dengan ber-gegas2 Siao-libng-li melangkah
maju dengan memondong Kwe Yang serta memberi hormat.
“Kedua rumah ini sungguh malang sehingga
kitapun tiada tempat berduduk untuk ber-bincang2″ kata It-teng dengan tertawa.
“Tadi pikiran Tecu menjadi gelap dan hilang
akal, apakah luka Suhu berbahaya?” tanya
Cu-in.
“Kau sendiri apakah sudah sehat?” tanya
It-teng sambil tersenyum.
Cu-in merasa sangat menyesal dan tidak tahu
apa yang harus diucapkan, ia coba menegakkan tiang rumah gubuk itu, dinding
papan dibetulkan sehingga sekedarnya sebuah gubuk dapat didirikan kembali
sekadar tempat bernaung, sementara itu Yo Ko juga menceritakan pengalamannya
berkenalan dengan Bu Sam-kong dan Cu Cu-liu serta terkena racun di Coat-ceng-kok,
lalu Paderi Hindu dan Cu Cu-liu berusaha mencarikan obat baginya.
“Kedatangan kami berdua ini justeru hendak
pergi ke Coat-ceng-kok,” tutur It-teng Taysu, “Apakah kau tahu hubungan Cu-in
Hwesio ini dengan penguasa wanita Coat-ceng-kok itu?”
Karena beberapa kali mendengar Peng-tianglo
dan Cu-in menyebut “Kiu-pangcu”, maka Yo Ko lantas bertanya: “Apakah asalnya
Cu-in Taysu she Kiu, yaitu Kiu-pangcu dari Tiat-ciang-pang dahulu?” - Ketika
dilihatnya Cu-in mengangguk pelahan, lalu ia berkata pula padanya: “Jika kegitu
penguasa wanita Coat ceng-kok itu adalah adik perempuanmu.”
“Benar,” jawab Cu in, “apakah adik
perempuanku baik-baik saja?”
Yo Ko merasa sukar untuk menjawabnya.
Kaki dan tangan Kiu Jian-jio telah dibikin
cacat oleh sang suami, jadi bagaimanapun tak dapat dikatakan “baik.”
Melihat anak muda itu ragu-ragu menjawabnya,
Cu-in berkata pula: “Adik perempuanku itu suka menuruti adatnya sendiri, kalau
dia mengalami sesuatu juga tidak perlu diherankan.”
“Adikmu hanya cacat tangan dan kaki saja,
badannya sih sehat2 saja,” kata Yo Ko.
Cu-in menghela napas, katanya: “Selang sekian
tahun, semua sudah tua…, biasanya dia cuma akur dengan Toako kami saja…” sampai
disini ia lantas termangu-mangu mengenang masa lampau
It-teng Taysu tahu pikiran Cu-in belum bersih
dari urusan kehidupan manusia, kalau tadi dia menyesal dan insaf adalah karena
menghadapi detik antara mati dan hidup, maka pikiran jahatnya mendadak lantas
Ienyap, padahal pikiran jahat dalam benaknya belum hilang sampai akarnya, kelak
kalau terpengaruh lagi daya kuat dari luar mungkin penyakitnya akan kambuh lagi dan sukarlah dibayangkan
apakah kelak mampu mengatasinya atau tidak.
Melihat It-teng memandangi Cu-in dengan sorot
mata yang kasihan, tiba-tiba Yo Ko merasa tindakannya tadi bisa jadi malah
membikin urusan semakin runyam, maka ia lantas bertanya: “Taysu, tindakanku
yang bodoh tadi apakah salah, mohon Taysu memberi petunjuk.”
“Hati orang sukar dijajaki, seumpama aku
dihantam mati olehnya juga belum tentu dia akan sadar dan mungkin malah kejeblos
lebih dalam,” jawab It-teng. “Yang jelas kau telah menyelamatkan jiwaku, mana
bisa salah? Sungguh aku sangat berterima kasih padamu.”
Lalu dia berpaling jkepada Siao-liong-Ii dan
berianya: “Cara bagaimana nyonya ini terkena racun?”
Mendengar pertanyaan itu, seketika Yo Ko
rSeperti melihat setitik sinar harapan dalam kegelapan, cepat ia menjawab: “Dia
terluka dan waktu itu sedang berusaha dengan penyembuhan melancarkan urat nadi,
tak terduga pada saat yang gawat itu mendadak terserang rahasia berbisa, Apakah
Taysu sudi menaruh belas kasihan dan menolong jiwanya?”
Habis berkata tanpa terasa ia berlutut lagi
di hadapan It-teng Taysu.
It-teng membangunkan anak muda itu dan
berkata: “Cara bagaimana penyembuhan dengan melancarkan urat nadi itu dilakukan?”
“Dia mengerahkan tenaga dalam secara terbalik
berbaring di dipan kemala dingin serta ditambah bantuanku,” tutur Nyo Ko serta
menceritakan secara ringkas apa saja yang telah dilakukannya.
Maka pahamlah It-teng, berulang2 ia
menyatakan rasa herannya, ia coba memegang nadi pergelangan tangan Siao-liong-li,
lalu kelihatan sedih tanpa membeli keterangan.
Dengan termangu-mangu Yo Ko juga memandangi
It-teng dengan penuh harapan dari mulut Hwesio agung itu akan bercetus ucapan:
“Dapat ditolong”, sedangkan pandangan Siao-liong-li terarahkan kepada Yo Ko,
sudah sejak mula tak terpikir olehnya bahwa jiwanya dapat bertahan sampai sekarang,
maka ia coba menghibur Yo Ko yang kelihatan menanggung sedih tak terkatakan
itu:
“Ko-ji, hidup atau mati sudah ditakdirkan
mana bisa dimohon secara paksa, untuk ini hendaklah kau dapat berpikir panjang
dan jangan terlalu merisaukannya.”
Baru pertama kali ini It-teng Taysu mendengar
Siao-liongli buka suara, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa perempuan muda
seperti ini dapat bicara seterang itu, biasanya setiap orang pasti cemas dan
sedih menghadapi persoalan mati hidup sendiri, tapi ucapan Siao-liong-li tadi seakan-akan
seorang alim yang sudah tinggi ibadatnya, mati seakan2 pulang saja.
Diam-diam It-teng memuji sepasang muda-mudi
ini sungguh manusia luar biasa, yang lelaki sangat hebat ilmu silatnya, yang
perempuan memiliki ketinggian batin yang tiada bandingannya, Cuma sayang,
karena racunnya sudah merasuk terlalu dalam, aku sendiripun terluka dan tak
dapat menggunakan ilmu jari sakti It-yang-ci. Setelah berpikir sejenak, lalu ia
berkata: “Meski usia kalian berdua masih muda, tapi sudah memiliki kebatinan
yang tinggi, biarlah kukatakan terus terang saja….”
Mendengar sampai di sini, hati Yo Ko serasa
tertekan, kedua tanganpun terasa dingin.
“Racun dalam tubuh nyonya memang sudah
mendalam,” demikian It-teng menyambung, “kalau saja aku tidak terluka, dapat
kubantu menyetop bekerjanya racun dengan lt-yang ci, habis itu berusaha mencarikan
obat mujarab baginya, tapi sekarang ya, untung Lwekang nyonya sudah terlatih
amat tinggi, akan kuberi lagi satu biji obat ini, setelah diminum dapat di
jamin selama tujuh hari tujuh malam takkan terjadi alangan apapun, Kita segera
berangkat pula ke Coatceng-kok untuk mencari Suteku”.
“Benar.” seru Yo Ko sambil berdiri. “Memang
kepandaian mengobati keracunan rahib sakti Hindu itu maha hebat, beliau pasti
mempunyai cara pengobatannya.”
“Andaikan Suteku juga tidak mampu
menolongnya, maka anggaplah memang sudah takdir” kata It-teng. “Di dunia ini banyak
anak-anak yang belum lama dilahirkan sudah lantas mati pula, sedangkan nyonya
sudah menikah barulah mengalami kejadian ini sehingga tidak dapat dikatakan
pendek umur.”
Selesai berkata, lt-teng lantas termenung
karena teringat kepada anak yang dilahirkan selirnya yaitu Lau-kwi hui, hasil hubungan
gelap selir itu dengan Ciu Pek-thong, akibat dendam dan cemburu dirinya dan
berkeras tidak mau mengobati anak itu dengan It-yang-ci, akhirnya bocah itupun meninggal
sedangkan orang yang menyerang anak itu bukan lain daripada Cu-in Hwesio ini.
Dahulu It-teng juga tidak tahu bahwa Cu-in
memukul anak itu, baru diketahui setelah Kiu Jian-yim alias Cu-in itu mengangkat
dia sebagai gurunya serta mengaku semua dosa yang pernah diperbuatnya. Namun
satu katapun It-teng tidak menyesali Cu-in, cuma dalam lubuk hatinya tidak
urung timbul semacam perasaan bahwa nasib jelek sendiri adakah karena gara-gara
perbuatan Cu-in itu.
Begitulah dengan mata terbelalak Yo Ko
memandangi It-teng Taysu, pikirnya: “Dapat tidak mengobati Liong-ji belum bisa
dipastikan, tapi mengapa engkau sama sekali tidak menghibur sepatah katapun”
Dalam pada itu Siao-liong-li hanya tersenyum
tawar saja dan mengiakan setiap ucapan It-teng Taysu, Tiba-tiba It teng mengeluarkan
sebutir telur ayam dan diserahkan kepada Siao-liong-li, katanya: “Coba katakan,
ada ayam lebih dulu atau telur ada lebih dulu.”
Ini memang teka-teki yang belum terpecahkan,
Yo Ko menjadi heran dalam keadaan begini si Hwesio tua ini sempat bertanya soal
yang tidak penting ini.
Siao-liong-li lantas menerima telur ayam itu,
ketika diperiksa ternyata bukan telur ayam biasa melainkan tiruan terbuat dari
porselen, baik warna maupun besarnya serupa dengan telur asli. Setelah berpikir
sejenak Siao-liong-li lantas tahu maksud orang, katanya: “Telur menetaskan
ayam, ayam besar bertelur, kalau ada lahir tentu juga ada mati.”
Segera ia pencet telur itu dan tertampaklah
satu biji obat warna kuning di dalamnya mirip kuning telur.
“Lekas diminum,” kata lt-eng, taysu.
Tanpa pikir Siao-Hong-ii terus memasukkam
obat itu kemulut, ia tahu obat itu pasti sangat berharga.
Esok paginya hujan salju masih belum mereda.
Yo Ko pikir jarak dari sini ke Coat-ceng-kok
tidak dekat, meski It-teng Taysu menyatakan obatnya dapat mempertahankan jiwa
Siao-liong li selama tujuh hari tujuh malam, untuk mencapai lembah itu masih
harus menempuh perjalanan secepatnya baru dapat tiba tepat pada waktunya.
Maka ia lantas berkata: “Taysu, apakah lukamu
sendiri tidak beralangan?”
Sebenarnya luka It-teng cukup parah, tapi
demi menolong sang Sute, Cn Cu-liu serta Siao-liong-li yang takdapat di-tunda2
lagi, segera ia menyatakan tidak beralangan dan mendahului berangkat, sekali
melesat tahu-tahu sudah beberapa meter jauhnya Cepat Yo Ko bertiga mengikut
kencang dari belakang
Setelah minum obat tadi, Siao-liong-ii merasa
bagian perutnya terasa hangat, semangat terbangkit, ia melancarkan Ginkangnya
dan sekaligus sudah melampaui di depan It-teng Taysu.
Cu-in terkejut, tak disangkanya bahwa nona cantik
molek begini juga memiliki ilmu silat setinggi ini. Semalam melulu menghadapi
Yo Ko saja dirinya sudah kalah, apalagi kalau perempuan muda inipun ikut maju,
jelas dirinya pasti kalah terlebih cepat. Tiba-tiba timbul rasa ingin
menangnya, segera “tancap gas” dan menguber cepat ke depan.
Yang seorang adalah ahli waris Ko-bong pay
dengan Ginkangnya yang tiada bandingannya di dunia ini, seorang lagi adalah
jago tua yang pernah termasyhur dengan julukan “Tiat-ciang-cui-siang-hui”
(telapak tangan besi mengapung diatas air) yang menggambarkan betapa hebat ilmu
pukulannya seru kecepatan berlarinya.
Hanya sekejap saja kedua orang sudah saling
uber menguber di kejauhan dan sejenak pula hanya tampak dua titik hitam saja di
tanah salju sana.
Kuatir pikiran jahat Cu-in mendadak timbul
lagi dan mencelakai Siao liong-li, cepat Yo Ko mengejar ke sana.
Ginkangnya sebenarnya bukan tandingan kedua
orang itu, tapi dia miliki tenaga dalam yang kuat, dengan sendirinya tenaga kakinya
juga lain daripada yang lain, semula jaraknya dengan kedua orang itu sangat
jauh, tapi setelah sekian lamanya, bayangan kedua orang di depan itu muIai
nampak dan semakin jelas kelihatan.
Selagi Yo Ko asyik mengejar, tiba-tiba
terdengar It-teng menegur di belakang: “Hebat benar tenaga dalammu, siapakah
gurumu, bolehkah kuketahui.”
Yo Ko terkejut, dia mengejar kedua orang
didepan itu tanpa menoIeh, disangkanya It-teng- sudah jauh ditinggalkan di
belakang, siapa tahu tanpa besuara Hwesio tua itu tetap mengintil rapat di
belakangnya.
Segera ia mengendurkan langkah dan jalan
berjajar dengan paderi itu, jawabnya: “Kepandaianku ini adalah ajaran isteriku.”
“Tapi tampaknya isterimu toh tidak lebih
hebat daripadamu?” ujar It-teng heran.
“Entah mengapa selama beberapa bulan terakhir
ini tenagaku mendadak bertambah kuat luar biasa, Cayhe sendiri tidak tahu
apa-sebabnya.”
“Apakah kau makan suatu obat penambah tenaga?
Seperti Jinsom atau Lengci dan sebagainya?”
Yo Ko. menggeleng, Tapi tiba-tiba teringat
sesuatu olehnya, cepat katanya pula: “Wanpwe pernah makan
beberapa puluh biji buah warna merah segar,
habis makan buah2an itu tenaga lantas-banyak bertambah, entah buahan itu ada
sangkut-pautnya atau tidak dalam hal ini?”
“Buah merah segar?
Apakah besarnya hampir sama jeruk nipis, rasanya manis dan tanpa biji?”
“Benar, buah itu memang tiada terdapat biji
Wanpwe merasa heran, kalau buah tidak berbiji lalu cara bagaimana membibitnya?”
“Barimana kaudapat buah itu?” tanya It-teng.
“Tecu diberi oleh seekor burung rajawali
raksasa,” jawab Yo Ko.
“Wah, sungguh suatu penemuan yang sukar
dicari. Buah merah segar itu namanya Cu-koh (buah merah), jauh lebih sukar
dicari dan bernilai daripada Jinsom dan Lengci yang paling bagus. Cu-koh itu
niscaya tumbuh di lereng2 gunung yang sukar di jangkau manusia, biasanya
berbuah beberapa puluh tahun sekali, bisa jadi ratusan tahun juga tidak pernah berbuah
sekalipun. Agaknya rajawali raksasa itu benar-benar rajawali sakti.”
“Ya, memang rajawali sakti!” tukas Yo Ko.
iapun berpikir kalau rajawali itu dapat diminta mencarikan beberapa biji buah merah
itu untuk Liong-ji, tentu akan besar manfaatnya bagi kesehatannya. Tapi menurut
keterangan Taysu ini, katanya buah merah itu bisa jadi ratusan tahun juga tidak
pernah berbuah sekali, entah kesempatan mendapatkan buab merah itu kelak masih
terluka atau tidak?
Begitulah sambil bicara kaki merekapun tidak
lemah berhenti, beberapa lama kemudian, jarak mereka dengan Siao-liong-li dan
Cu-in sudah bertambah dekat, It-teng dan Yo Ko saling pandang dengan tersenyum.
Rupanya Ginkang mereka memang tidak sehebat
Siao-liong-Ii dan Cu-in, tapi dalam hal lomba lari jarak jauh, kepastian
terakhir terletak pada tenaga dalam dan bukan bergantung kepada Ginkang,
Ginkang hebat tak didukung oleh tenaga dalam yang tahan lama, akhirnya pasti
mengendur larinya.
Di antara kedua orang yang berlomba di bagian
depan itupun ada perbedaan, Siao-Iiong-li tampak ketinggalan beberapa meter
pula di belakang. Agaknya soal kekuatan Siao-liong-li juga kalah sedikit
daripada Cu in.
Tengah berlari dan
setelah melintasi sebuah tanjakan, tiba-tiba Yo Ko menuding ke depan dan
berkata pada It-teng: “He, aneh, mengapa di depan sana ada tiga orang?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar