Oey Yok Su |
Kembalinya Pendekar Rajawali 38
Yo Ko sangat heran mendengar Li Bok-chiu,
masih berada di balik gunung sana, ia pikir mengapa iblis itu begitu berani ia
coba memandang Oey Yok-su dengan harapan agar orang tua itu suka memberi
penjelasan.
Tapi Oey Yok-su hanya tertawa saja dan
berkata: “Marilah kita melongok ke sana !”
Berada bersama orang tua itu, dengan
sendirinya Yo Ko dan lain-Iainnya tidak perlu takut terhadap Li Bok-chiu. Maka
beramai-ramai mereka lantas menuju ke balik gunung disebelah barat sana.
Thia Eng tahu rasa sangsi Yo Ko, maka dengan
suara pelahan ia berkata padanya: “Maksud Suhu, Li Bok-chiu yakin Suhu pasti
menjaga harga diri sekali gagal membunuhnya di gubuk itu, tentu malu untuk
bertindak kedua kalinya.”
“Oh, makanya dia berani bercokol di sini
untuk mencari kesempatan lagi buat membunuh kita bertiga,” kata Yo Ko.
Tidak Iama kemudian mereka berlima sudah
sampai dibalik bukit, tertampak di samping sebatang pohon besar ada sebuah
gubuk yang sudah bobrok, pintu gubuk tertutup rapat, di daun pintu terpaku
sehelai kertas yang tertulis: “Tho-hoa-tocu mempunyai anak murid banyak, dengan
lima lawan satu, sungguh mentertawakan!”
Oey Yok-su tertawa melihat tulisan olok-olok
itu, ia jemput dua potong batu kecil dan diselentikkan, “plak-plok”, kedua batu
kecil itu menghantam kedua sayap daun pintu dari jarak belasan langkah, kontan
daun pintu terpentang, sungguh luar biasa tenaga jari sakti Tho-hoa-tocu yang
termashur itu.
“Tertampaklah di mana pintu terpentang, Li
Bok-chiu berduduk semadi di atas tikar dengan tangan memegang kebut, sikapnya
agung, wajahnya kereng, seharusnya dia seorang alim yang beribadat tinggi kalau
saja tidak tahu akan perbuatan yang pernah dilakukannya, siapapun pasti tidak
percaya bahwa dia adalah seorang iblis yang maha jahat.
Melihat Li Bok-chiu, serentak Liok Bu-siang
teringat kepada ayah bundanya yang terbunuh, segera ia melolos pedang dan
berseru: “ToIol, piauci, tidak perlu Tocu turun tangan, marilah kita bertiga
melabrak dia saja.”
“Dan masih ada aku…” sambung Sah Koh sambil
menyingsing lengan baju dan menggosok kepalan.
Li Bok-chiu membuka mata dan memandang
sekejap kepada kelima orang itu, lalu memejamkan matanya lagi, sedikitpun ia
tidak mengacuhkan lawan tangguh yang berada di depan mata ini.
Thia Eng memandang sang guru untuk menantikan
perintahnya. Tapi Oey Yok-su berkata sambil menghela napas: “Sudahlah, memang
Oey-losia” mempunyai anak murid banyak, andaikata salah seorang muridku
diantara Tan, Bwe, Ki dan Tiok berada di sini, mana kau mampu lolos dari
tangannya, lalu ia memberi tanda dan berkata pula : “Hayolah, pergi!”
Tentu saja Thia Eng berempat tidak paham
maksudnya dan terpaksa ikut kembali ke gubuknya. Tertampak Oey Yok-su muram
durja, makan malam pun tidak dihabiskan lantas pergi tidur.
Meski Thia Eng adalah murid Oey Yok-su, tapi
dia sama sekali tidak mengetahui kejadian di masa lampau tentang Oey Yok-su
pernah menganiaya dan mengusir anak muridnya dari Tho-hoa-to, ia mengira sang
guru mendongkol karena diolok-olok oleh tulisan Li Bok-chiu itu, ia tidak tahu
bahwa sebenarnya Oey Yok-su bersedih dan menyesalkan tindakan sendiri di masa
lampau, kini anak muridnya itu sudah
meninggal dan cacat, kalau tidak dirinya
pasti takkan diolok-olok oleh manusia macam Li.Bok-chiu.
Yo Ko yang tidur menyebelah dengan Oey Yok-su
juga sedang mengingat kembali apa yang dikatakan Sah Koh siang tadi, iapun
memikirkan olok-olok Li Bok-chiu itu, ia pikir kini lukaku sudah sembuh,
rasanya aku cukup kuat untuk melawannya, lebik baik diam-diam aku menempur
sendiri, selain dapat menuntut balas penghinaannya terhadap Kokoh, sekaligus
dapat menghilangkan rasa dongkol Ui-tocu.
Setelah ambil keputusan itu, segera ia bangun
dengan pelahan, ia menyadari Li Bok-chiu adalah lawan tangguh, sedikit lengah
tentu jiwa sendiri bisa melayang. Karena itu diperlukan persiapan yang baik,
Segera ia duduk bersemadi di atas pembaringan sendiri untuk mengumpulkan tenaga
dan nanti akan menempur Li Bok-chiu dengan mati-matian.
Bersemadi sekian lamanya, mendadak
pandangannya terbeliak, di depan seperti cahaya yang terang benderang, segenap
anggota badannya serasa penuh tenaga, tanpa terasa dari mulut mengeluarkan
suara raungan yang keras dan berkumandang jauh, Kiranya Lwekang seorang kalau
sudah mencapai tingkatan sempurna, tanpa terasa akan dapat mengeluarkan suara
aneh.
Oey Yok-su sudah mengetahui gerak-gerak Yo Ko
ketika pemuda itu bangun, sungguh tak terduga olehnya bahwa Lwekang pemuda itu
ternyata sudah mencapai setinggi ini, tentu saja ia terkejut dan bergirang
pula..
Suara Yo Ko yang kuat itu terus bertahan
hingga lama dan pelahan mulai berhenti Oey Yok-su sangat heran akan tingkatan
yang dicapai Yo Ko itu, padahal ia sendiri baru mencapai tingkat setinggi itu
setelah menginjak pertengahan umur, kini usia Yo Ko masih muda belia, tapi
sudah sehebat ini, sungguh suatu bakat yang sukar ada bandingannya, entah
pengalaman dan penemuan mukjijat apa yang pernah dialami pemuda itu.
Sesudah Yo Ko selesai berlatih, kemudian Oey
Yok-su bertanya padanya : “Yo Ko, coba katakan, apakah ilmu kepandaian Li
Bok-chiu yang paling lihay?”
Yo Ko tidak merasakan suara raungan sendiri,
cuma dari pertanyaan Oey Yok-su itu, ia tahu maksud hatinya sendiri tentu sudah
diketahui orang tua itu, maka iapun menjawab: “Jelas adalah Ngo-tok-sin-ciang
dan permainan kebutnya”
“Benar,” kata di Yok-su, “Dengan dasar
Lwekangmu sekarang, rasanya tidaklah sulit jika ingin mematahkan ilmu
kepandaiannya itu.”
Girang sekali Yo Ko, cepat ia menyembah,
sebenarnya watak Yo Ko sangat angkuh, meski ia mengakui Oey Yok-su sebagai kaum
cianpwe dan tahu kepandaian orang yang serba mahir itu, tapi lahirnya dia tak
mau tunduk padanya, Kini didengarnya kepandaian Li Bok-chiu yang maha lihay itu
akan dapat dipatahkan dengan mudah, kesan ia menjadi kagum dan tunduk.
Oey Yok-su lantas mengajarkan ilmu “jari
sakti” padanya, ilmu ini dapat mengatasi Ngo-tok-sin-kang, lalu diajarkan pula
ilmu pedang yang diubah dari permainan seruling untuk menghadapi permainan
kebut musuh.
Setelah mendapatkan petunjuk dan kunci ilmu
kepandaian itu, kemudian Yo Ko menimang, untuk bisa menggunakan kepandaian itu
dengan baik, maka diperlukan latihan satu tahun dan jika pasti menang atas Li
Bok-chiu, rasanya perlu dilatih tiga tahun.
Karena itu ia coba bertanya: “Ui-tocu, bila
ingin segera mengalahkan dia, agaknya tiada harapam lagi”..
“Waktu tiga tahun dalam sekejap saja
berlalu”, ujar Oey Yok-su sambil menghela napas, kini usiamu baru 22 tahun dan
sudah berhasil mencapai setingkatan ini, memangnya kau merasa belum cukup?”
Dengan kikuk Yo Ko menjawab: “Maksudku bukan…
bukan untuk diriku.”
Oey Yok-su menepuk bahunya dan berkata “Asal
kau dapat membunuhnya tiga tahun yang akan datang, untuk itu aku sudah puas dan
berterima kasih padamu. Dahulu aku telah menghancurkan anak muridku sendiri,
jika sekarang aku mendapatkan sedikit ganjaran atas perbuatan sendiri juga
pantas.”
Tanpa pikir Yo Ko lantas berlutut dan
menyembah kepada Oey Yok-su sambil memanggil
“Suhu!”
Kiranya keduanya sama-sama orang yang maha
cerdik dan saling memahami pikiran masing-masing. Yo Ko tahu tujuan Oey Yok-su
mengajarkan ilmu padanya adalah ingin dia membalaskan penghinaan Li Bok-chiu,
yang telah mengolok-oloknya dengan tulisan itu, untuk mana antara Yo Ko dan Oey
Yok-su harus ada ikatan guru dan murid secara resmi.
Sebaliknya Oey Yok-su tahu keakraban hubungan
Yo Ko dengan Ko-bong-pay, betapapun pemuda ini pasti tidak mau berguru lagi
pada pihak lain.
Karena itu Oey Yok-su lantas Yo Ko dan
berkata padanya: “Selanjutnya begini saja, apa bila kau bertempur dengan akan
ilmu ajaranku, pada saat itulah kau muridku, di luar itu kau tetap adalah kau.
Nah, adik Yo Ko, mengerti tidak ?”
“Baiklah, kakak Yok-su, sungguh beruntung
mendapatkan sahabat baik seperti engkau,” jawab Yo Ko dengan tertawa.
“Akupun merasa berbahagia dapat bertemu
dengan kau!”
ujar Ui Yoksu. Lalu kedua orang saling
berjabat tangan dan bergelak tertawa gembira.
Oey Yok-su lantas menuturkan lebih jauh. semua
kunci rahasia kedua ilmu kepandaian yang di-ajarkannya tadi.
Melihat cara mengajar Oey Yok-su yang begitu
jelas dan lengkap Yo Ko tahu orang tua itu tentu akan segera pergi meninggalkan
dia. Dengan murung ia lantas berkata: “Kakak Yok-su, kapan kita baru dapat
berjumpa pula?” “Jauh di mata dekat di hati, asal hati kita tetap bersatu,
biarpun berpisah jauh kita tetap seperti berhadapan selalu.” ujar Oey Yok-su
dengan tertawa. “Kelak bila kutahu ada orang
hendak merintangi perkawinanmu, biarpun jauh
berada di ujung langit sana juga aku pasti memburu ke sini untuk membantu kau.”
..
Yo Ko sangat terhibur oleh dukungan moril Oey
Yok-su itu, dengan tertawa ia berkata: “Tapi orang pertama yang akan merincangi
maksudku itu mungkin ialah puteri kesayanganmu sendiri.”
“Dia sendiri dahulu juga kepala batu ketika
mendapatkan kekasih pilihan sendiri, masakah sekarang dia tidak
memikirkan penderitaan rindu dendam orang
lain?” ujar Oey Yok su. setelah memikir sejenak, dalam kegelapan ia lantas
mengambil bungkusan alat tulis dan menuliskan sepucuk surat, lalu diserahkan
kepada Yo Ko dan berkata: “Jika puteriku itu merintangi lagi kehendakmu, maka
boleh kau perlihatkan suratku ini.”.- Habis berpesan ia lantas melangkah pergi
dengan bergelak tertawa, hanya sekejap saja suara tertawanya sudah berada jauh,
sejenak pula orang dan suara tertawanya telah ditelan kegelapan malam.
Untuk sesaat Yo Ko duduk termenung, mengingat
kembali keadaan yang baru dipelajarinya tadi.
Tidak lama fajarpun menyingsing, tertampak di
atas meja tertaruh keranjang jahitan Thia Eng. ia coba mengambil gunting di
dalam keranjang rotan itu dan dibuat memain sejenak, kemudian tiba-tiba pintu
terdorong dan masuklah Thia Eng dengan bersenyum dan membawa sepotong baju
warna hijau.
“Silakan coba baju ini, apakah cocok tidak?”
kata Thia Eng dengan tersenyum.
Alangkah rasa terima kasih Yo Ko, waktu
menerima baju baru- itu, tanganpun sedikit gemetar.
Ketika dia beradu pandang sekejap dengan si
nona, tertampak sorot matanya yang lembut penuh arti, ia coba memakai baju baru
itu dan terasa pas.
“Sungguh aku sangat ber… berterima kasih
padamu,” kata Yo Ko.
Kembali Thia Eng tersenyum, tapi di antara
sorot matanya lantas mengunjuk rasa sedih, katanya: “Dengan kepergian Suhu ini,
entah kapan baru dapat bertemu lagi.”
Mestinya ia ingin berbicara lagi dengan Yo
Ko, tapi tampak dilihatnya bayangan orang berkelebat di luar, ia tahu itulah
Liok Bu-siang yang berseliweran diluar, ia tahu sang Piau-moay juga hati
terhadap Yo Ko, maka ia lantas meninggalkan kamar pemuda itu.
Kemudian Yo Ko meneliti baju tersebut, tampak
jahitannya sangat rapi, dalam ia bergetar, pikirnya: Nona ini jatuh hati
padaku, bini cilik juga, namun hatiku sudah terisi dan tidak mungkin lagi, jika
aku tidak lekas pergi dari sini tentu akan banyak menimbulkan kesukaran,”
Sehari suntuk ia memikirkan tindakan apa yang
harus dilakukannya, ia kuatir pula bila dirinya pergi dan mendadak Li Bok-chiu
melancarkan serangan, maka ia coba mengintai kebalik gunung sana, dilihatnya
gubuk bekas tempat tinggal Li Bok-chiu itu hanya setumpuk puing belaka, gubuk
itu sudah
terbakar, rupanya Li Bok-chiu telah pergi
setelah membakar gubuknya sendiri.
Maka tekad Yo Ko menjadi bulat untuk pergi,
malamnya ia menulis surat untuk ditinggalkan kepada kedua nona itu,
Bila teringat kepada kebaikan hati kedua nona
itu, tanpa terasa hati Yo Ko menjadi muram.
Malam itu ia bergulang-guling tak dapat
pulas. Saat pagi, selagi layap-layap, tiba-tiba terdengar suara Liok Bu-siang
memanggilnya, suara si nona kedengaran gugup, Cepat Yo Ko melompat bangun dan
keluar.
Terasa angin pagi meniup silir, hari belum
lagi terang benderang, tapi tampak jelas Liok Bu-siang merasa takut dan
menuding pada daun pintu sebelah-sana. Waktu Yo Ko memandangnya, ia menjadi
kaget, Kiranya di daun pintu itu jelas tertera empat buah cap tangan merah.
Terang itulah tanda pengenal Li Bok-chiu. Agaknya semalam iblis itu telah
datang dan mengetahui Oey Yok-su sudah pergi, maka dia sengaja meninggalkan
daftar calon yang akan dibunuhnya yaitu Yo Ko, Thia, Eng, Liok Bu-siang dan ditambahkan
pula si Sah Koh.
Tidak lama Thian Eng juga muncul, iapun
merasa sedih melihat cap tangan itu. Mereka bertiga lantas masuk ke dalam rumah
untuk berunding…
“Tempo hari iblis itu telah dihajar oleh
“garpu api Sah Koh dan melarikan diri mengapa sekarang dia tidak takut lagi?”
ujar Liok Bu-siang.
“Permainan garpu Sah Koh hanya begitu-begitu
saja, setelah direnungkan tentu iblis itu sudah mendapatkan cara mematahkan
serangan garpu Sah Koh” kata Thia Eng.
“Tapi luka si Tolol kini sudah sembuh, jika
kedua orang tolol bergabung kan jadi maha kuat?” kata Bu-siang pula.
Yo Ko tertawa, katanya: “Tolol laki ditambah
tolol perempuan tentu keadaan menjadi tambah runyam, mana bisa menjadi kuat
segala?”
Begitulah mereka menjadi tak berdaya, tapi
mengingat betapapun gabungan kekuatan mereka berempat sedikitnya cukup untuk
menjaga diri walaupun tak dapat mengalahkan musuh, maka mereka bertekad besok
akan menempur iblis itu dengan mati-2an.
“Besok barlah kami berdua orang tolol
menghadapi dia dan kalian berdua saudara mengerubutnya dari kanan dan kiri,”
ujar Yo Ko, “Marilah kita mencari Sah Koh untuk berlatih lebih dulu” Mereka
menyadari keganasan Li Bok-chiu yang tak kenal ampun itu, sedikit lengah saja
jiwa mereka akan melayang, maka mereka tak berani gegabah.
Segera mereka mencari Sah Koh, tapi ternyata
tak diketemukan. Mereka menjadi kuatir dan cepat mencari sekeliling situ.
Akhirnya di balik gundukan batu sana Thia Eng
menemukan Sah Koh menggeletak dalam keadaan kempas-kempis. Waktu diperiksa,
pada punggung Sah Koh ada bekas telapak tangan yang merah, jelas itulah pukulan
berbisa Li Bok-chiu, Ngo-tok-sin-ciang, Cepat ia memanggil Yo Ko dan Liok
Bu-siang, segera pula ia memberi minum obat mujarab perguruannya, yaitu
Giok-loh-wan.
Yo Ko masih ingat dalam kitab pusaka milik Li
Bok-chiu yang dicuri Liok Bu-siang itu tertera cara menyembuhkan akibat pukulan
berbisa itu, maka cepat ia mengerahkan lwekang untuk melancarkan Hiat-to si Sah
Koh.
Sejenak tampak Sah Koh tersenyum
ketolol-tololan dan berkata: “Tokoh busuk itu menyerang dari… dari belakang,
tapi kupersen ia dengan… dengan sekali gamparan.”
Kiranya gamparan dengan tangan membalik ke
belakang yang dimaksud Sah Koh adalah salah itu ilmu ajaran Oey Yok-su. Meski
Li Bok-chiu berhasil menyergap Sah Koh, tapi pergelangan tangan pun juga kena
digampar oleh Sah Koh, saking kesakitan ia tidak berani menyerang lebih, lanjut
sehingga jiwa Sah Koh dapat diselamatkan.
Begitulah mereka lantas menggotong Sah Koh
kembali kegubuk itu, mereka berduduk terpekur sedih, antara mereka berempat
kini salah seorang cidera, besok tentu lebih sukar menghadapi musuh ganas itu.
Sambil memandang Thia Eng dan lain saat
memandang Bu-siang, secara iseng Yo Ko mengambil gunting yang berada di
keranjang jahitan Thia Eng itu dan mengguntingi seutas benang hingga menjadi
potongan kecil-kecil.
Sekonyong-konyong Sah Koh yang rebah di
pembaringan itu berseru: “Gunting saja, itu kebut si Tokoh busuk, gunting putus
dia!”
Mendadak hati Yo Ko tergerak, ia pikir
kebutan iblis itu adalah benda lemas, senjata tajam apapun sukar menabasnya,
jika ada sebuah gunting raksasa dan sekaligus ujung kebut musuh itu digunting
putus, maka segalanya menjadi beres, iblis itu tentu akan berkurang
keganasannya.
Tanpa terasa gunting yang dipegangnya itu
lantas bergaya ke sana dan ke sini seperti sedang mematahkan serangan musuh
Melihat itu, pahamlah Thia Eng dan Bu-siang
apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. Thia Eng berkata: “Beberapa li di
sebelah barat sana ada seorang pandai besi…”
“Benar marilah kita pergi ke sana dan minta
dia membuatkan sebuah gunting besar” sahut Bu-siang cepat.
Yo Ko pikir dalam waktu singkat tentu sukar
juga membuat senjata demikian itu, tapi tiada jeleknya untuk dicoba, sebenarnya
ia ingin pergi sendiri ke tempat pandai besi itu, tapi kuatir kalau mendadak Li
Bok-chiu melakukan serangan, Kalau Sah Koh ditinggalkan sendirian tentu lebih
berbahaya pula.
Kini mereka berempat tak dapat berpisah
sejenakpun.
Terpaksa Thia Eng dan Bu siang memasang kasur
di atas kuda untuk tempat merebahkan si Sah Koh, lalu mereka berangkat ke
tempat pandai besi.
Bengkel itu ternyata sangat jorok dan
sederhana keadaannya, begitu memasuki pintu bengkel, segera tertampak sebuah
tatakan besi, yaitu tempat untuk menggembleng, lantai penuh karatan besi dan
debu arang, dinding sebelah sana tergantung beberapa buah arit dan cangkul
buatan pandai besi itu, suasana sunyi senyap tiada seorangpun.
Melihat keadaan bengkel itu, Yo Ko pikir
pandai besi begini masakah mampu membuatkan senjata apa segala? Tapi sudah
terlanjur datang, tiada jeleknya ditanyai dulu. Maka ia lantas berseru: “Hai,
adakah yang punya rumah ?”
Sejenak kemudian keluarlah seorang kakek yang
sudah ubanan meski usianya tampaknya baru 50-an, mungkin penderitaan kehidupan
dan sepanjang tahun hanya menggembleng besi melulu, maka punggungnya membungkuk
kedua matanya juga menyipit dan merah, malahan banyak kotoran pada kelopak
matanya, sebelah kakinya juga pincang.
Sambil berjalan dengan bantuan sebuah
tongkat, orang tua itu menegur: “Tuan tamu ada keperluan apa?”
Baru saja Yo Ko hendak menjawab, tiba-tiba
terdengar suara derapan kuda, dua penunggang kuda telah berhenti didepan
bengkel, kedua penunggangnya adalah tentara-tentara Mongol seorang yang mukanya
penuh berewok, lantas bertanya: “Mana si pandai besi she Pang?”
Orang tua bungkuk tadi mendekati dan memberi
hormat, jawabnya: “Hamba adanya !”
“Perintah atasan, agar segenap pandai besi
diwilayah ini dalam tiga hari harus berkumpul ke dalam kota untuk wajib dinas
bagi pasukan kerajaan,” seru opsir itu pula, “Nah, besok juga kau harus lapor
ke kota, jelas tidak?”
“Tapi hamba sudah tua…” belum selesai pandai
besi she Pang itu berkata, cepat opsir Mongol itu telah menyabetnya dengan
cambuk sambil membentak: “Besok tidak datang, awas dengan kepalamu !” Habis
berkata kedua opsir itu lantas membedalkan kuda mereka.
Pandai besi tua itu menghela napas dan
berdiri terkesima.
Thia Eng merasa kasihan padanya, ia
mengeluarkan 20 tahil perak dan ditaruh di atas meja, lalu katanya : “Pak
pandai besi, engkau sudah tua, jalanpun tidak leluasa, jika diwajibkan bekerja
bagi pasukan Mongol tentu jiwamu akan melayang percuma. Kukira lebih baik
engkau lari saja mencari selamat dengan sedikit sangu yang kuberi ini”
“Terima kasih atas kebaikan hati nona,” jawab
pandai besi itu sambil menghela napas, “Sebenarnya hidup atau mati bagi orang
tua macam diriku ini tidak ada artinya, sayangnya dalam waktu singkat berpuluh
ribu jiwa bangsa kita mungkin akan tertimpa malapetaka.”
Myo Ko bertiga terkejut dan cepat bertanya:
“Malapetaka?
Ada urusan apa?”
“Panglima Mongol sedang mengumpulkan segenap
pandai besi, jelas tujuannya senjata Mongol biasanya sangat lengkap dan cukup,
kalau sekarang mereka membuat senjata baru secara besar-besaran, terang ada
rencana hendak menyerbu ke selatan,”
Tutur kata pandai besi tua itu ternyata masuk
di akal dan bukan ucapan seorang pandai besi kampungan biasa, Selagi mereka
hendak tanya lagi, pandai besi itu telah tanya mereka ada keperluan apa?
“Sebenarnya tidak enak bagi kami untuk
mengganggu orang yang sedang ada urusan, tapi lantaran terdesak keperluan
penting, terpaksa kami minta pertolonggan bapak,” jawab Yo Ko. Lalu iapun
menjelaskan maksud
kedatangannya dan memberikan gambar contoh
gunting yang diperlukan.
Kalau orang memberi pekerjaan misalnya minta
dibuatkan cangkul atau arit atau golok tentulah tidak mengherankan tapi kini
barang pesanan Yo Ko adalah sebuah gunting raksasa,
hal ini sebenarnya luar biasa, tapi pandai
besi itu ternyata tidak mengunjuk rasa heran, setelah mendapatkan keterangan
pola gunting yang diperlukan ia hanya manggut-manggut, Ialu menyalakan api
tungku dan membakar dua potong besi besar untuk digembleng.
“Entar, malam ini dapat jadi tidak?” tanya Yo
Ko.
“Akan kuusahakan secepatnya,” jawab si pandai
besi she Pang itu. Habis itu ia percepat bara dalam tungku, hanya sekejap saja
kedua potong besi tadi sudah merah dan mulai lunak.
Yo Ko bertiga berasal dari daerah Kanglam,
meski sejak kecil sudah meninggalkan kampung halaman, tapi demi mendengar
kampung halaman bakal tertimpa bencana, betapapun mereka merasa masgul sedih.
Sah Koh mendekap di atas meja, setengah
berduduk dan setengah bersandar, memang keadaannya sangat lelah, maka apapun
yang terjadi di sekitarnya tak sempat diperhatikannya.
Selang tak lama, kedua potong besi yang
dibakar itu sudah lunak, segera pandai besi Pang mengangkat potongan besi itu
dan mulai digembleng dengan sebuah palu besar, Meski usianya sudah lanjut, tapi
tenaga lengannya ternyata sangat kuat, palu besar itu dapat diayunnya dengan
leluasa tanpa susah payah, kedua potongan besi itu digembleng lagi, kemudian
memanjang dan melengkung dalam bentuk gunting.
“Tolol, tampaknya guntingmu itu dapat jadi
petang nanti,” kata Bn-siang dengan girang.
Pada saat itulah mendadak di belakang mereka
ada suara orang berkata: “Hm, untuk apa membikin gunting sebesar itu? Hendak
digunakan memotong kebutku bukan?”
Yo Ko bertiga terkejut, cepat mereka
berpaling dan ternyata Li Bok-chiu sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan
memegang kebutnya yang lihay itu.
Sungguh celaka, senjata yang diandalkan belum
jadi dibuat, tapi musuh tangguh sudah tiba lebih duIu. Cepat Thia Eng dan Liok
Bu-sang melolos pedang, Yo Ko juga mengincar sebatang besi di sebelahnya, asal
musuh menyerang segera besi itu akan disambernya untuk digunakan sebagai
senjata.
“Hm, memotong ksbutku dengan gunting, pintar
juga jalan pikiranmu,” demikian jengek Li Bok-chiu pula, “Tapi boleh dicoba
juga, akan kutunggu di sini sampai guntingmu itu jadi, habis itu barulah kita
bertempur.”
Habis berkata ia seret sebuah bangku ke dekat
pintu dan berduduk di situ dengan tenangnya, lawan-Iawan yang dihadapinya itu
dianggapnya seperti barang sepele saja.
“Bagus sekali jika begitu, tampaknya nasib
kebutmu itu harus dipotong putus oleh guntingku nanti,” kata Yo Ko.
Melihat si Sah Koh mendekap di atas meja,
diam-diam Li Bok-chiu merasa heran akan kekuatan orang, padahal orang yang
terkena pukulannya yang berbisa itu biasanya takkan tahan hidup beberapa jam
saja, Kemudian ia bertanya pula:
“Mana Oey Yok-su?”
Mendengar disebutnya nama “Oey Yok-su”, si
pandai besi tua itu rada bergetar dan menoleh sekejap kepada Li Bok-chiu, lalu
menunduk lagi meneruskan pekerjaanmu.
“Hm, jelas kau mengetahui guruku tidak berada
di sini, tapi sengaja tanya,” ejek Thia Eng “Jika beliau masih tinggal disini,
hm, biarpun nyalimu sebesar gajah juga takkan berani datang.”
Li Bok-chiu balas mendengus sekali, ia
mengeluarkan sehelai kertas dan berkata pula: “Oey Yok-su hanya bernama kosong
saja, paling-paling main kerubut karena bermurid banyak. Tapi, hm, antara
murid-muridnya itu masakah ada seorangpun yang betul-betul berguna?”
Habis berkata, sekali tangannya bergerak,
kertas itu mendadak melayang ke depan dan “crit”, kertas itu terpaku pada tiang
kayu oleh sebuah jarum perak yang
disambitkannya. Lalu Li Bok-chiu menyambung:
“Nah, biarkan tulisan ini sebagai bukti. Kelak kalau Ui-losia kembali ke sini
supaya dia mengetahui siapakah yang membunuh muridmu ini”
Mendadak ia berpaling dan membentak si pandai
besi: “Hayo, lekas! Tempoku tidak banyak menunggu kau.”
Sambil memicingkan matanya si pandai besi she
Phang itu memandangi kertas yang bertuliskan kaia-kata yang mengolok-olok Oey
Yok-su itu, habis itu dia menengadah dan memandangi atap rumah dengan
termangu-mangu.
“Hayo, kenapa kau berhenti?” bentak Li
Bok-chiu.
“Ya, ya, baik !” pandai besi itu seperti
tersadar dari lamunannva, ia mulai bekerja lagi Tapi sebelah tangannya mendadak
gunakan tanggam besi nya yang panjang itu untuk menjepit jarum perak berikut
kertas surat tadi terus dimasukkan ke dalam tungku, tentu saja hanya sekejap
kertas itu, sudah terbakar menjadi abu.
Li Bok-chiu menjadi gusar, segera kebutnya
diayun hendak dihantamkan kepada pandai besi itu, Tapi dia sudah berpengalaman
luas, mendadak terpikir olehnya bahwa seorang pandai besi tua renta dan
kampungan ini masakan begini berani, bukan mustahil dia seorang luar biasa.
Tadinya ia sudah berbangkit, maka pelahan ia
duduk kembali, lalu menegur: “Siapakah kau ini?”
“Tidakkah kau lihat sendiri, aku cuma seorang
pandai besi,” jawab orang she Pang itu.
“Mengapa kau membakar kertasku itu?” tanya Li
Bok-chiu pula.
“Yang tertulis di situ tidak betul maka
janganlah ditempel di tempatku ini,” jawab si orang tua.
“Apa katamu?” bentak Li Bok-chiu.
“Tho-hoa-tocu mempunyai kepandaian maha
sakti, setiap anak muridnya asalkan memperoleh sejenis kepandaiannya saja sudah
cukup untuk malang melintang di dunia ini,” kata pandai besi itu. “Muridnya
yang tertua bernama Tan Hian-hong, sekujur badannya keras laksana otot kawat
tulang besi tak mempan senjata, apakah kau pernah mendengar namanya?”
Sambil bicara palunya masih terus memukuli
lempengan besi yang digemblengnya itu.
Mendengar disebutnya nama Tan Hian-hong,
tidak saja Li Bok-chiu terkejut dan heran, bahkan Yo Ko dan lain-Iain juga
merasa aneh, sama sekali mereka tidak menduga secrang pandai besi tua kampungan
ternyata kenal juga tokoh-tokoh Kang-ouw termashur.
Terdengar Li Bok-chiu menanggapinya : “Em,
konon Tan Hian-hong mati ditusuk oleh seorang anak kecil, di mana letak
kelihayannya?”
“O,” terdengar pandai besi itu bersuara ragu,
Lalu disambungnya: “Dan murid kedua Tho-hoa-tocu bernama Bwe Ciau-hong,
terkenal dengan Ginkangnya yang maha hebat dan kecepatan menyerangnya.”
“Ya, begitu cepat gerakan orang she Bwe itu
sehingga lebih dulu matanya kena dibutakan oleh Kanglam-jit-koay (tujuh tokoh
aneh dari Kanglam), Kemudian mampus di tangan Se-tok (si racun dari barat)
Auyang Hong.”
“Begitukah?” tukas si pandai besi, ia
termenung haru sejenak, lalu berkata pula: “Tapi sama sekali aku tidak
mengetahui kejadian itu. Dan murid ketiga Tho-hoa-tocu yang bernama Ki
Leng-hong terlebih lihay lagi, terutama Pi-kong-ciang (pukulan dari jauh)
terkenal amat ganas.”
“Memang ada cerita di dunia Kangouw, katanya
ada seorang pencuri berani masuk ke keraton raja yang bertahta sekarang dan
telah dibinasakan oleh pengawal keraton, tentulah orang itu ialah Ki Leng-hong
yang maha lihay dengan Pi-kong-ciang-nya? Hehe”
Tiba-tiba si pandai besi tua itu menunduk
“ces-ces”, dua tetes butiran air jatuh di atas lempengan besi yang membara itu
dan terbakar menjadi uap.
Liok Bu-siang berduduk paling dekat dengan
orang tua itu dan dapat melihat jelas kedua tetes air itu adalah air mata yang
mengucur dari mata orang tua itu, Diam-diam ia merasa heran, Tertampak orang
tua itu mengangkat palunya terlebih tinggi dan memukul dengan lebih keras.
Sejenak kemudian pandai besi she Pang itu
membuka suara lagi: “Tho-hoa-to terkenal dengan empat murid utamanya,
masing-masing she Tan, Bwe, Ki dan Liok, Murid keempat, Liok Seng-hong, selain
terkenal lihay ilmu silatnya juga termashur karena kemahirannya dalam ilmu-ilmu
mujizat, jika kau bertemu dengan dia tentu kau bisa celaka.”
“Hm, ilmu mujizat apa gunanya?” jengek Li
Bok-chiu. “Liok Seng-hong membangun sebuah perkampungan Kui-in-ceng di tepi
danau Thay-ouw, tapi hanya dengan sebuah obor saja orang telah membumi
hanguskan perkampungannya itu pula dia lantas kehilangan jejak, bisa jadi iapun
sudah terbakar menjadi abu oleh api itu.”
Mendadak si pandai besi she Pang menatap Li
Bok-chiu dan berseru dengan bengis. “Kau Tokoh ini berani mengaco-belo, setiap
anak murid Tho-hoa-tocu cukup lihay, manabisa semuanya terbinasa. Hm, kau kira
aku orang udik dan tidak tahu apa-apa?”
“Jika tidak percaya boleh kau tanya ketiga
bocah ini,”
jengek Li Bok-chiu.
Si pandai besi paling suka kepada Thia Eng,
maka ia berpaling kepada nona itu, sorot matanya memancarkan sinar yang penuh
mengandung tanda tanya.
Dengan muram Thia Eng lantas berkata:
“Sungguh malang perguruanku yang telah kekurangan tenaga andalannya kini,
Wanpwe juga merasa malu karena belum lama masuk perguruan sehingga belum mampu
membela nama kehormatan Suhu. Apakah engkau ada hubungannya dengan Suhuku?”
Pandai besi tua itu tidak menjawab, ia hanya
mengamat-amati Thia Eng dengan sikap yang sangsi, kemudian ia bertanya: “Apakah
paling akhir ini Tho-hoa-tocu mengambil murid Iagi?”
Melihat sebelah kaki si pandai besi cacat,
tiba-tiba hati Thia Eng tergerak, jawabnya: “Suhu merasa kesepian dan perlu
orang meIayaninya. sebenarnya anak muda macam diriku ini mana berani mengaku
sebagai anak murid Tho-hoa-tocu, malahan sampai detik ini Wanpwe belum pernah
menginjakkan kaki di Tho-hoa-to.”
Dengan ucapan Thia Eng itu sama saja ia telah
mengaku dirinya memang betul adalah anak murid Tho-hoa-to.
Tertampak pandai besi tua itu
manggut-manggut, sorot matanya mengunjuk rasa simpatik terhadap si nona seperti
sanak keluarga sendiri lalu menunduk dan menggembleng besi lagi beberapa kali,
tampaknya sambil merenungkan sesuatu.
Melihat gerakan palu si pandai besi sangat
mirip dengan gaya ilmu pukulan Lok-hoa-ciang-hoat dari Tho-hoa-to, mau-tak-mau
Thia Eng menjadi lebih paham persoalannya, ia berkata: “Di waktu iseng Suhu
suka bicara padaku mengenai kejadian beliau mengusir anak muridnya dahulu,
bahwa Tan dan Bwe berdua Suheng itu adalah akibat perbuatannya sendiri yang
jahat tidak perlu disayangkan, tapi Ki, Liok, Bu dan Pang berempat Suheng
benar-benar ikut kena getahnya karena mereka berempat sebenarnya tidak berdosa,
terutama Pang Bik-hong, Pang-suheng itu berusia paling muda, kisah hidupnya
juga pantas dikasihi, bila teringat akan hal itu sering Suhu merasa menyesal”
Padahal watak Oey Yok-su sangat eksentrik,
biarpun hatinya berpikir begitu, tidak mungkin sampai diucapkannya dengan mulut
Soalnya Thia Eng adalah gadis cerdik dan berperasaan halus, di kala sang guru
kesepian dan bicara iseng dengan dia, dari nada ucapan Oey Yok-su itu dapatlah
diterka akan jalan pikiran sang guru itu, maka sekarang ia sengaja memperbesar
apa yang didengarnya itu.
Dasar watak Li Bok-chiu memang kejam dan
keji, di samping itu perasaannya sebenarnya juga mudah terguncang, dari tanya
jawab dan sikap si pandai besi dan Thia Eng dapatlah diterka sembilan bagian
hubungan antara kedua orang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar