Rabu, 14 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 38


Oey Yok Su

Kembalinya Pendekar Rajawali 38

Yo Ko sangat heran mendengar Li Bok-chiu, masih berada di balik gunung sana, ia pikir mengapa iblis itu begitu berani ia coba memandang Oey Yok-su dengan harapan agar orang tua itu suka memberi penjelasan.
Tapi Oey Yok-su hanya tertawa saja dan berkata: “Marilah kita melongok ke sana !”
Berada bersama orang tua itu, dengan sendirinya Yo Ko dan lain-Iainnya tidak perlu takut terhadap Li Bok-chiu. Maka beramai-ramai mereka lantas menuju ke balik gunung disebelah barat sana.
Thia Eng tahu rasa sangsi Yo Ko, maka dengan suara pelahan ia berkata padanya: “Maksud Suhu, Li Bok-chiu yakin Suhu pasti menjaga harga diri sekali gagal membunuhnya di gubuk itu, tentu malu untuk bertindak kedua kalinya.”
“Oh, makanya dia berani bercokol di sini untuk mencari kesempatan lagi buat membunuh kita bertiga,” kata Yo Ko.
Tidak Iama kemudian mereka berlima sudah sampai dibalik bukit, tertampak di samping sebatang pohon besar ada sebuah gubuk yang sudah bobrok, pintu gubuk tertutup rapat, di daun pintu terpaku sehelai kertas yang tertulis: “Tho-hoa-tocu mempunyai anak murid banyak, dengan lima lawan satu, sungguh mentertawakan!”
Oey Yok-su tertawa melihat tulisan olok-olok itu, ia jemput dua potong batu kecil dan diselentikkan, “plak-plok”, kedua batu kecil itu menghantam kedua sayap daun pintu dari jarak belasan langkah, kontan daun pintu terpentang, sungguh luar biasa tenaga jari sakti Tho-hoa-tocu yang termashur itu.
“Tertampaklah di mana pintu terpentang, Li Bok-chiu berduduk semadi di atas tikar dengan tangan memegang kebut, sikapnya agung, wajahnya kereng, seharusnya dia seorang alim yang beribadat tinggi kalau saja tidak tahu akan perbuatan yang pernah dilakukannya, siapapun pasti tidak percaya bahwa dia adalah seorang iblis yang maha jahat.
Melihat Li Bok-chiu, serentak Liok Bu-siang teringat kepada ayah bundanya yang terbunuh, segera ia melolos pedang dan berseru: “ToIol, piauci, tidak perlu Tocu turun tangan, marilah kita bertiga melabrak dia saja.”
“Dan masih ada aku…” sambung Sah Koh sambil menyingsing lengan baju dan menggosok kepalan.
Li Bok-chiu membuka mata dan memandang sekejap kepada kelima orang itu, lalu memejamkan matanya lagi, sedikitpun ia tidak mengacuhkan lawan tangguh yang berada di depan mata ini.
Thia Eng memandang sang guru untuk menantikan perintahnya. Tapi Oey Yok-su berkata sambil menghela napas: “Sudahlah, memang Oey-losia” mempunyai anak murid banyak, andaikata salah seorang muridku diantara Tan, Bwe, Ki dan Tiok berada di sini, mana kau mampu lolos dari tangannya, lalu ia memberi tanda dan berkata pula : “Hayolah, pergi!”
Tentu saja Thia Eng berempat tidak paham maksudnya dan terpaksa ikut kembali ke gubuknya. Tertampak Oey Yok-su muram durja, makan malam pun tidak dihabiskan lantas pergi tidur.
Meski Thia Eng adalah murid Oey Yok-su, tapi dia sama sekali tidak mengetahui kejadian di masa lampau tentang Oey Yok-su pernah menganiaya dan mengusir anak muridnya dari Tho-hoa-to, ia mengira sang guru mendongkol karena diolok-olok oleh tulisan Li Bok-chiu itu, ia tidak tahu bahwa sebenarnya Oey Yok-su bersedih dan menyesalkan tindakan sendiri di masa lampau, kini anak muridnya itu sudah
meninggal dan cacat, kalau tidak dirinya pasti takkan diolok-olok oleh manusia macam Li.Bok-chiu.
Yo Ko yang tidur menyebelah dengan Oey Yok-su juga sedang mengingat kembali apa yang dikatakan Sah Koh siang tadi, iapun memikirkan olok-olok Li Bok-chiu itu, ia pikir kini lukaku sudah sembuh, rasanya aku cukup kuat untuk melawannya, lebik baik diam-diam aku menempur sendiri, selain dapat menuntut balas penghinaannya terhadap Kokoh, sekaligus dapat menghilangkan rasa dongkol Ui-tocu.
Setelah ambil keputusan itu, segera ia bangun dengan pelahan, ia menyadari Li Bok-chiu adalah lawan tangguh, sedikit lengah tentu jiwa sendiri bisa melayang. Karena itu diperlukan persiapan yang baik, Segera ia duduk bersemadi di atas pembaringan sendiri untuk mengumpulkan tenaga dan nanti akan menempur Li Bok-chiu dengan mati-matian.
Bersemadi sekian lamanya, mendadak pandangannya terbeliak, di depan seperti cahaya yang terang benderang, segenap anggota badannya serasa penuh tenaga, tanpa terasa dari mulut mengeluarkan suara raungan yang keras dan berkumandang jauh, Kiranya Lwekang seorang kalau sudah mencapai tingkatan sempurna, tanpa terasa akan dapat mengeluarkan suara aneh.
Oey Yok-su sudah mengetahui gerak-gerak Yo Ko ketika pemuda itu bangun, sungguh tak terduga olehnya bahwa Lwekang pemuda itu ternyata sudah mencapai setinggi ini, tentu saja ia terkejut dan bergirang pula..
Suara Yo Ko yang kuat itu terus bertahan hingga lama dan pelahan mulai berhenti Oey Yok-su sangat heran akan tingkatan yang dicapai Yo Ko itu, padahal ia sendiri baru mencapai tingkat setinggi itu setelah menginjak pertengahan umur, kini usia Yo Ko masih muda belia, tapi sudah sehebat ini, sungguh suatu bakat yang sukar ada bandingannya, entah pengalaman dan penemuan mukjijat apa yang pernah dialami pemuda itu.
Sesudah Yo Ko selesai berlatih, kemudian Oey Yok-su bertanya padanya : “Yo Ko, coba katakan, apakah ilmu kepandaian Li Bok-chiu yang paling lihay?”
Yo Ko tidak merasakan suara raungan sendiri, cuma dari pertanyaan Oey Yok-su itu, ia tahu maksud hatinya sendiri tentu sudah diketahui orang tua itu, maka iapun menjawab: “Jelas adalah Ngo-tok-sin-ciang dan permainan kebutnya”
“Benar,” kata di Yok-su, “Dengan dasar Lwekangmu sekarang, rasanya tidaklah sulit jika ingin mematahkan ilmu kepandaiannya itu.”
Girang sekali Yo Ko, cepat ia menyembah, sebenarnya watak Yo Ko sangat angkuh, meski ia mengakui Oey Yok-su sebagai kaum cianpwe dan tahu kepandaian orang yang serba mahir itu, tapi lahirnya dia tak mau tunduk padanya, Kini didengarnya kepandaian Li Bok-chiu yang maha lihay itu akan dapat dipatahkan dengan mudah, kesan ia menjadi kagum dan tunduk.
Oey Yok-su lantas mengajarkan ilmu “jari sakti” padanya, ilmu ini dapat mengatasi Ngo-tok-sin-kang, lalu diajarkan pula ilmu pedang yang diubah dari permainan seruling untuk menghadapi permainan kebut musuh.
Setelah mendapatkan petunjuk dan kunci ilmu kepandaian itu, kemudian Yo Ko menimang, untuk bisa menggunakan kepandaian itu dengan baik, maka diperlukan latihan satu tahun dan jika pasti menang atas Li Bok-chiu, rasanya perlu dilatih tiga tahun.
Karena itu ia coba bertanya: “Ui-tocu, bila ingin segera mengalahkan dia, agaknya tiada harapam lagi”..
“Waktu tiga tahun dalam sekejap saja berlalu”, ujar Oey Yok-su sambil menghela napas, kini usiamu baru 22 tahun dan sudah berhasil mencapai setingkatan ini, memangnya kau merasa belum cukup?”
Dengan kikuk Yo Ko menjawab: “Maksudku bukan… bukan untuk diriku.”
Oey Yok-su menepuk bahunya dan berkata “Asal kau dapat membunuhnya tiga tahun yang akan datang, untuk itu aku sudah puas dan berterima kasih padamu. Dahulu aku telah menghancurkan anak muridku sendiri, jika sekarang aku mendapatkan sedikit ganjaran atas perbuatan sendiri juga pantas.”
Tanpa pikir Yo Ko lantas berlutut dan menyembah kepada Oey Yok-su sambil memanggil
“Suhu!”
Kiranya keduanya sama-sama orang yang maha cerdik dan saling memahami pikiran masing-masing. Yo Ko tahu tujuan Oey Yok-su mengajarkan ilmu padanya adalah ingin dia membalaskan penghinaan Li Bok-chiu, yang telah mengolok-oloknya dengan tulisan itu, untuk mana antara Yo Ko dan Oey Yok-su harus ada ikatan guru dan murid secara resmi.
Sebaliknya Oey Yok-su tahu keakraban hubungan Yo Ko dengan Ko-bong-pay, betapapun pemuda ini pasti tidak mau berguru lagi pada pihak lain.
Karena itu Oey Yok-su lantas Yo Ko dan berkata padanya: “Selanjutnya begini saja, apa bila kau bertempur dengan akan ilmu ajaranku, pada saat itulah kau muridku, di luar itu kau tetap adalah kau. Nah, adik Yo Ko, mengerti tidak ?”
“Baiklah, kakak Yok-su, sungguh beruntung mendapatkan sahabat baik seperti engkau,” jawab Yo Ko dengan tertawa.
“Akupun merasa berbahagia dapat bertemu dengan kau!”
ujar Ui Yoksu. Lalu kedua orang saling berjabat tangan dan bergelak tertawa gembira.
Oey Yok-su lantas menuturkan lebih jauh. semua kunci rahasia kedua ilmu kepandaian yang di-ajarkannya tadi.
Melihat cara mengajar Oey Yok-su yang begitu jelas dan lengkap Yo Ko tahu orang tua itu tentu akan segera pergi meninggalkan dia. Dengan murung ia lantas berkata: “Kakak Yok-su, kapan kita baru dapat berjumpa pula?” “Jauh di mata dekat di hati, asal hati kita tetap bersatu, biarpun berpisah jauh kita tetap seperti berhadapan selalu.” ujar Oey Yok-su dengan tertawa. “Kelak bila kutahu ada orang
hendak merintangi perkawinanmu, biarpun jauh berada di ujung langit sana juga aku pasti memburu ke sini untuk membantu kau.” ..
Yo Ko sangat terhibur oleh dukungan moril Oey Yok-su itu, dengan tertawa ia berkata: “Tapi orang pertama yang akan merincangi maksudku itu mungkin ialah puteri kesayanganmu sendiri.”
“Dia sendiri dahulu juga kepala batu ketika mendapatkan kekasih pilihan sendiri, masakah sekarang dia tidak
memikirkan penderitaan rindu dendam orang lain?” ujar Oey Yok su. setelah memikir sejenak, dalam kegelapan ia lantas mengambil bungkusan alat tulis dan menuliskan sepucuk surat, lalu diserahkan kepada Yo Ko dan berkata: “Jika puteriku itu merintangi lagi kehendakmu, maka boleh kau perlihatkan suratku ini.”.- Habis berpesan ia lantas melangkah pergi dengan bergelak tertawa, hanya sekejap saja suara tertawanya sudah berada jauh, sejenak pula orang dan suara tertawanya telah ditelan kegelapan malam.
Untuk sesaat Yo Ko duduk termenung, mengingat kembali keadaan yang baru dipelajarinya tadi.
Tidak lama fajarpun menyingsing, tertampak di atas meja tertaruh keranjang jahitan Thia Eng. ia coba mengambil gunting di dalam keranjang rotan itu dan dibuat memain sejenak, kemudian tiba-tiba pintu terdorong dan masuklah Thia Eng dengan bersenyum dan membawa sepotong baju warna hijau.
“Silakan coba baju ini, apakah cocok tidak?” kata Thia Eng dengan tersenyum.
Alangkah rasa terima kasih Yo Ko, waktu menerima baju baru- itu, tanganpun sedikit gemetar.
Ketika dia beradu pandang sekejap dengan si nona, tertampak sorot matanya yang lembut penuh arti, ia coba memakai baju baru itu dan terasa pas.
“Sungguh aku sangat ber… berterima kasih padamu,” kata Yo Ko.
Kembali Thia Eng tersenyum, tapi di antara sorot matanya lantas mengunjuk rasa sedih, katanya: “Dengan kepergian Suhu ini, entah kapan baru dapat bertemu lagi.”
Mestinya ia ingin berbicara lagi dengan Yo Ko, tapi tampak dilihatnya bayangan orang berkelebat di luar, ia tahu itulah Liok Bu-siang yang berseliweran diluar, ia tahu sang Piau-moay juga hati terhadap Yo Ko, maka ia lantas meninggalkan kamar pemuda itu.
Kemudian Yo Ko meneliti baju tersebut, tampak jahitannya sangat rapi, dalam ia bergetar, pikirnya: Nona ini jatuh hati padaku, bini cilik juga, namun hatiku sudah terisi dan tidak mungkin lagi, jika aku tidak lekas pergi dari sini tentu akan banyak menimbulkan kesukaran,”
Sehari suntuk ia memikirkan tindakan apa yang harus dilakukannya, ia kuatir pula bila dirinya pergi dan mendadak Li Bok-chiu melancarkan serangan, maka ia coba mengintai kebalik gunung sana, dilihatnya gubuk bekas tempat tinggal Li Bok-chiu itu hanya setumpuk puing belaka, gubuk itu sudah
terbakar, rupanya Li Bok-chiu telah pergi setelah membakar gubuknya sendiri.
Maka tekad Yo Ko menjadi bulat untuk pergi, malamnya ia menulis surat untuk ditinggalkan kepada kedua nona itu,
Bila teringat kepada kebaikan hati kedua nona itu, tanpa terasa hati Yo Ko menjadi muram.
Malam itu ia bergulang-guling tak dapat pulas. Saat pagi, selagi layap-layap, tiba-tiba terdengar suara Liok Bu-siang memanggilnya, suara si nona kedengaran gugup, Cepat Yo Ko melompat bangun dan keluar.
Terasa angin pagi meniup silir, hari belum lagi terang benderang, tapi tampak jelas Liok Bu-siang merasa takut dan menuding pada daun pintu sebelah-sana. Waktu Yo Ko memandangnya, ia menjadi kaget, Kiranya di daun pintu itu jelas tertera empat buah cap tangan merah. Terang itulah tanda pengenal Li Bok-chiu. Agaknya semalam iblis itu telah datang dan mengetahui Oey Yok-su sudah pergi, maka dia sengaja meninggalkan daftar calon yang akan dibunuhnya yaitu Yo Ko, Thia, Eng, Liok Bu-siang dan ditambahkan pula si Sah Koh.
Tidak lama Thian Eng juga muncul, iapun merasa sedih melihat cap tangan itu. Mereka bertiga lantas masuk ke dalam rumah untuk berunding…
“Tempo hari iblis itu telah dihajar oleh “garpu api Sah Koh dan melarikan diri mengapa sekarang dia tidak takut lagi?” ujar Liok Bu-siang.
“Permainan garpu Sah Koh hanya begitu-begitu saja, setelah direnungkan tentu iblis itu sudah mendapatkan cara mematahkan serangan garpu Sah Koh” kata Thia Eng.
“Tapi luka si Tolol kini sudah sembuh, jika kedua orang tolol bergabung kan jadi maha kuat?” kata Bu-siang pula.
Yo Ko tertawa, katanya: “Tolol laki ditambah tolol perempuan tentu keadaan menjadi tambah runyam, mana bisa menjadi kuat segala?”
Begitulah mereka menjadi tak berdaya, tapi mengingat betapapun gabungan kekuatan mereka berempat sedikitnya cukup untuk menjaga diri walaupun tak dapat mengalahkan musuh, maka mereka bertekad besok akan menempur iblis itu dengan mati-2an.
“Besok barlah kami berdua orang tolol menghadapi dia dan kalian berdua saudara mengerubutnya dari kanan dan kiri,” ujar Yo Ko, “Marilah kita mencari Sah Koh untuk berlatih lebih dulu” Mereka menyadari keganasan Li Bok-chiu yang tak kenal ampun itu, sedikit lengah saja jiwa mereka akan melayang, maka mereka tak berani gegabah.
Segera mereka mencari Sah Koh, tapi ternyata tak diketemukan. Mereka menjadi kuatir dan cepat mencari sekeliling situ.
Akhirnya di balik gundukan batu sana Thia Eng menemukan Sah Koh menggeletak dalam keadaan kempas-kempis. Waktu diperiksa, pada punggung Sah Koh ada bekas telapak tangan yang merah, jelas itulah pukulan berbisa Li Bok-chiu, Ngo-tok-sin-ciang, Cepat ia memanggil Yo Ko dan Liok Bu-siang, segera pula ia memberi minum obat mujarab perguruannya, yaitu Giok-loh-wan.
Yo Ko masih ingat dalam kitab pusaka milik Li Bok-chiu yang dicuri Liok Bu-siang itu tertera cara menyembuhkan akibat pukulan berbisa itu, maka cepat ia mengerahkan lwekang untuk melancarkan Hiat-to si Sah Koh.
Sejenak tampak Sah Koh tersenyum ketolol-tololan dan berkata: “Tokoh busuk itu menyerang dari… dari belakang, tapi kupersen ia dengan… dengan sekali gamparan.”
Kiranya gamparan dengan tangan membalik ke belakang yang dimaksud Sah Koh adalah salah itu ilmu ajaran Oey Yok-su. Meski Li Bok-chiu berhasil menyergap Sah Koh, tapi pergelangan tangan pun juga kena digampar oleh Sah Koh, saking kesakitan ia tidak berani menyerang lebih, lanjut
sehingga jiwa Sah Koh dapat diselamatkan.
Begitulah mereka lantas menggotong Sah Koh kembali kegubuk itu, mereka berduduk terpekur sedih, antara mereka berempat kini salah seorang cidera, besok tentu lebih sukar menghadapi musuh ganas itu.
Sambil memandang Thia Eng dan lain saat memandang Bu-siang, secara iseng Yo Ko mengambil gunting yang berada di keranjang jahitan Thia Eng itu dan mengguntingi seutas benang hingga menjadi potongan kecil-kecil.
Sekonyong-konyong Sah Koh yang rebah di pembaringan itu berseru: “Gunting saja, itu kebut si Tokoh busuk, gunting putus dia!”
Mendadak hati Yo Ko tergerak, ia pikir kebutan iblis itu adalah benda lemas, senjata tajam apapun sukar menabasnya, jika ada sebuah gunting raksasa dan sekaligus ujung kebut musuh itu digunting putus, maka segalanya menjadi beres, iblis itu tentu akan berkurang keganasannya.
Tanpa terasa gunting yang dipegangnya itu lantas bergaya ke sana dan ke sini seperti sedang mematahkan serangan musuh
Melihat itu, pahamlah Thia Eng dan Bu-siang apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. Thia Eng berkata: “Beberapa li di sebelah barat sana ada seorang pandai besi…”
“Benar marilah kita pergi ke sana dan minta dia membuatkan sebuah gunting besar” sahut Bu-siang cepat.
Yo Ko pikir dalam waktu singkat tentu sukar juga membuat senjata demikian itu, tapi tiada jeleknya untuk dicoba, sebenarnya ia ingin pergi sendiri ke tempat pandai besi itu, tapi kuatir kalau mendadak Li Bok-chiu melakukan serangan, Kalau Sah Koh ditinggalkan sendirian tentu lebih berbahaya pula.
Kini mereka berempat tak dapat berpisah sejenakpun.
Terpaksa Thia Eng dan Bu siang memasang kasur di atas kuda untuk tempat merebahkan si Sah Koh, lalu mereka berangkat ke tempat pandai besi.
Bengkel itu ternyata sangat jorok dan sederhana keadaannya, begitu memasuki pintu bengkel, segera tertampak sebuah tatakan besi, yaitu tempat untuk menggembleng, lantai penuh karatan besi dan debu arang, dinding sebelah sana tergantung beberapa buah arit dan cangkul buatan pandai besi itu, suasana sunyi senyap tiada seorangpun.
Melihat keadaan bengkel itu, Yo Ko pikir pandai besi begini masakah mampu membuatkan senjata apa segala? Tapi sudah terlanjur datang, tiada jeleknya ditanyai dulu. Maka ia lantas berseru: “Hai, adakah yang punya rumah ?”
Sejenak kemudian keluarlah seorang kakek yang sudah ubanan meski usianya tampaknya baru 50-an, mungkin penderitaan kehidupan dan sepanjang tahun hanya menggembleng besi melulu, maka punggungnya membungkuk kedua matanya juga menyipit dan merah, malahan banyak kotoran pada kelopak matanya, sebelah kakinya juga pincang.
Sambil berjalan dengan bantuan sebuah tongkat, orang tua itu menegur: “Tuan tamu ada keperluan apa?”
Baru saja Yo Ko hendak menjawab, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda, dua penunggang kuda telah berhenti didepan bengkel, kedua penunggangnya adalah tentara-tentara Mongol seorang yang mukanya penuh berewok, lantas bertanya: “Mana si pandai besi she Pang?”
Orang tua bungkuk tadi mendekati dan memberi hormat, jawabnya: “Hamba adanya !”
“Perintah atasan, agar segenap pandai besi diwilayah ini dalam tiga hari harus berkumpul ke dalam kota untuk wajib dinas bagi pasukan kerajaan,” seru opsir itu pula, “Nah, besok juga kau harus lapor ke kota, jelas tidak?”
“Tapi hamba sudah tua…” belum selesai pandai besi she Pang itu berkata, cepat opsir Mongol itu telah menyabetnya dengan cambuk sambil membentak: “Besok tidak datang, awas dengan kepalamu !” Habis berkata kedua opsir itu lantas membedalkan kuda mereka.
Pandai besi tua itu menghela napas dan berdiri terkesima.
Thia Eng merasa kasihan padanya, ia mengeluarkan 20 tahil perak dan ditaruh di atas meja, lalu katanya : “Pak pandai besi, engkau sudah tua, jalanpun tidak leluasa, jika diwajibkan bekerja bagi pasukan Mongol tentu jiwamu akan melayang percuma. Kukira lebih baik engkau lari saja mencari selamat dengan sedikit sangu yang kuberi ini”
“Terima kasih atas kebaikan hati nona,” jawab pandai besi itu sambil menghela napas, “Sebenarnya hidup atau mati bagi orang tua macam diriku ini tidak ada artinya, sayangnya dalam waktu singkat berpuluh ribu jiwa bangsa kita mungkin akan tertimpa malapetaka.”
Myo Ko bertiga terkejut dan cepat bertanya: “Malapetaka?
Ada urusan apa?”
“Panglima Mongol sedang mengumpulkan segenap pandai besi, jelas tujuannya senjata Mongol biasanya sangat lengkap dan cukup, kalau sekarang mereka membuat senjata baru secara besar-besaran, terang ada rencana hendak menyerbu ke selatan,”
Tutur kata pandai besi tua itu ternyata masuk di akal dan bukan ucapan seorang pandai besi kampungan biasa, Selagi mereka hendak tanya lagi, pandai besi itu telah tanya mereka ada keperluan apa?
“Sebenarnya tidak enak bagi kami untuk mengganggu orang yang sedang ada urusan, tapi lantaran terdesak keperluan penting, terpaksa kami minta pertolonggan bapak,” jawab Yo Ko. Lalu iapun menjelaskan maksud
kedatangannya dan memberikan gambar contoh gunting yang diperlukan.
Kalau orang memberi pekerjaan misalnya minta dibuatkan cangkul atau arit atau golok tentulah tidak mengherankan tapi kini barang pesanan Yo Ko adalah sebuah gunting raksasa,
hal ini sebenarnya luar biasa, tapi pandai besi itu ternyata tidak mengunjuk rasa heran, setelah mendapatkan keterangan pola gunting yang diperlukan ia hanya manggut-manggut, Ialu menyalakan api tungku dan membakar dua potong besi besar untuk digembleng.
“Entar, malam ini dapat jadi tidak?” tanya Yo Ko.
“Akan kuusahakan secepatnya,” jawab si pandai besi she Pang itu. Habis itu ia percepat bara dalam tungku, hanya sekejap saja kedua potong besi tadi sudah merah dan mulai lunak.
Yo Ko bertiga berasal dari daerah Kanglam, meski sejak kecil sudah meninggalkan kampung halaman, tapi demi mendengar kampung halaman bakal tertimpa bencana, betapapun mereka merasa masgul sedih.
Sah Koh mendekap di atas meja, setengah berduduk dan setengah bersandar, memang keadaannya sangat lelah, maka apapun yang terjadi di sekitarnya tak sempat diperhatikannya.
Selang tak lama, kedua potong besi yang dibakar itu sudah lunak, segera pandai besi Pang mengangkat potongan besi itu dan mulai digembleng dengan sebuah palu besar, Meski usianya sudah lanjut, tapi tenaga lengannya ternyata sangat kuat, palu besar itu dapat diayunnya dengan leluasa tanpa susah payah, kedua potongan besi itu digembleng lagi, kemudian memanjang dan melengkung dalam bentuk gunting.
“Tolol, tampaknya guntingmu itu dapat jadi petang nanti,” kata Bn-siang dengan girang.
Pada saat itulah mendadak di belakang mereka ada suara orang berkata: “Hm, untuk apa membikin gunting sebesar itu? Hendak digunakan memotong kebutku bukan?”
Yo Ko bertiga terkejut, cepat mereka berpaling dan ternyata Li Bok-chiu sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan memegang kebutnya yang lihay itu.
Sungguh celaka, senjata yang diandalkan belum jadi dibuat, tapi musuh tangguh sudah tiba lebih duIu. Cepat Thia Eng dan Liok Bu-sang melolos pedang, Yo Ko juga mengincar sebatang besi di sebelahnya, asal musuh menyerang segera besi itu akan disambernya untuk digunakan sebagai senjata.
“Hm, memotong ksbutku dengan gunting, pintar juga jalan pikiranmu,” demikian jengek Li Bok-chiu pula, “Tapi boleh dicoba juga, akan kutunggu di sini sampai guntingmu itu jadi, habis itu barulah kita bertempur.”
Habis berkata ia seret sebuah bangku ke dekat pintu dan berduduk di situ dengan tenangnya, lawan-Iawan yang dihadapinya itu dianggapnya seperti barang sepele saja.
“Bagus sekali jika begitu, tampaknya nasib kebutmu itu harus dipotong putus oleh guntingku nanti,” kata Yo Ko.
Melihat si Sah Koh mendekap di atas meja, diam-diam Li Bok-chiu merasa heran akan kekuatan orang, padahal orang yang terkena pukulannya yang berbisa itu biasanya takkan tahan hidup beberapa jam saja, Kemudian ia bertanya pula:
“Mana Oey Yok-su?”
Mendengar disebutnya nama “Oey Yok-su”, si pandai besi tua itu rada bergetar dan menoleh sekejap kepada Li Bok-chiu, lalu menunduk lagi meneruskan pekerjaanmu.
“Hm, jelas kau mengetahui guruku tidak berada di sini, tapi sengaja tanya,” ejek Thia Eng “Jika beliau masih tinggal disini, hm, biarpun nyalimu sebesar gajah juga takkan berani datang.”
Li Bok-chiu balas mendengus sekali, ia mengeluarkan sehelai kertas dan berkata pula: “Oey Yok-su hanya bernama kosong saja, paling-paling main kerubut karena bermurid banyak. Tapi, hm, antara murid-muridnya itu masakah ada seorangpun yang betul-betul berguna?”
Habis berkata, sekali tangannya bergerak, kertas itu mendadak melayang ke depan dan “crit”, kertas itu terpaku pada tiang kayu oleh sebuah jarum perak yang
disambitkannya. Lalu Li Bok-chiu menyambung: “Nah, biarkan tulisan ini sebagai bukti. Kelak kalau Ui-losia kembali ke sini supaya dia mengetahui siapakah yang membunuh muridmu ini”
Mendadak ia berpaling dan membentak si pandai besi: “Hayo, lekas! Tempoku tidak banyak menunggu kau.”
Sambil memicingkan matanya si pandai besi she Phang itu memandangi kertas yang bertuliskan kaia-kata yang mengolok-olok Oey Yok-su itu, habis itu dia menengadah dan memandangi atap rumah dengan termangu-mangu.
“Hayo, kenapa kau berhenti?” bentak Li Bok-chiu.
“Ya, ya, baik !” pandai besi itu seperti tersadar dari lamunannva, ia mulai bekerja lagi Tapi sebelah tangannya mendadak gunakan tanggam besi nya yang panjang itu untuk menjepit jarum perak berikut kertas surat tadi terus dimasukkan ke dalam tungku, tentu saja hanya sekejap kertas itu, sudah terbakar menjadi abu.
Li Bok-chiu menjadi gusar, segera kebutnya diayun hendak dihantamkan kepada pandai besi itu, Tapi dia sudah berpengalaman luas, mendadak terpikir olehnya bahwa seorang pandai besi tua renta dan kampungan ini masakan begini berani, bukan mustahil dia seorang luar biasa.
Tadinya ia sudah berbangkit, maka pelahan ia duduk kembali, lalu menegur: “Siapakah kau ini?”
“Tidakkah kau lihat sendiri, aku cuma seorang pandai besi,” jawab orang she Pang itu.
“Mengapa kau membakar kertasku itu?” tanya Li Bok-chiu pula.
“Yang tertulis di situ tidak betul maka janganlah ditempel di tempatku ini,” jawab si orang tua.
“Apa katamu?” bentak Li Bok-chiu.
“Tho-hoa-tocu mempunyai kepandaian maha sakti, setiap anak muridnya asalkan memperoleh sejenis kepandaiannya saja sudah cukup untuk malang melintang di dunia ini,” kata pandai besi itu. “Muridnya yang tertua bernama Tan Hian-hong, sekujur badannya keras laksana otot kawat tulang besi tak mempan senjata, apakah kau pernah mendengar namanya?”
Sambil bicara palunya masih terus memukuli lempengan besi yang digemblengnya itu.
Mendengar disebutnya nama Tan Hian-hong, tidak saja Li Bok-chiu terkejut dan heran, bahkan Yo Ko dan lain-Iain juga merasa aneh, sama sekali mereka tidak menduga secrang pandai besi tua kampungan ternyata kenal juga tokoh-tokoh Kang-ouw termashur.
Terdengar Li Bok-chiu menanggapinya : “Em, konon Tan Hian-hong mati ditusuk oleh seorang anak kecil, di mana letak kelihayannya?”
“O,” terdengar pandai besi itu bersuara ragu, Lalu disambungnya: “Dan murid kedua Tho-hoa-tocu bernama Bwe Ciau-hong, terkenal dengan Ginkangnya yang maha hebat dan kecepatan menyerangnya.”
“Ya, begitu cepat gerakan orang she Bwe itu sehingga lebih dulu matanya kena dibutakan oleh Kanglam-jit-koay (tujuh tokoh aneh dari Kanglam), Kemudian mampus di tangan Se-tok (si racun dari barat) Auyang Hong.”
“Begitukah?” tukas si pandai besi, ia termenung haru sejenak, lalu berkata pula: “Tapi sama sekali aku tidak mengetahui kejadian itu. Dan murid ketiga Tho-hoa-tocu yang bernama Ki Leng-hong terlebih lihay lagi, terutama Pi-kong-ciang (pukulan dari jauh) terkenal amat ganas.”
“Memang ada cerita di dunia Kangouw, katanya ada seorang pencuri berani masuk ke keraton raja yang bertahta sekarang dan telah dibinasakan oleh pengawal keraton, tentulah orang itu ialah Ki Leng-hong yang maha lihay dengan Pi-kong-ciang-nya? Hehe”
Tiba-tiba si pandai besi tua itu menunduk “ces-ces”, dua tetes butiran air jatuh di atas lempengan besi yang membara itu dan terbakar menjadi uap.
Liok Bu-siang berduduk paling dekat dengan orang tua itu dan dapat melihat jelas kedua tetes air itu adalah air mata yang mengucur dari mata orang tua itu, Diam-diam ia merasa heran, Tertampak orang tua itu mengangkat palunya terlebih tinggi dan memukul dengan lebih keras.
Sejenak kemudian pandai besi she Pang itu membuka suara lagi: “Tho-hoa-to terkenal dengan empat murid utamanya, masing-masing she Tan, Bwe, Ki dan Liok, Murid keempat, Liok Seng-hong, selain terkenal lihay ilmu silatnya juga termashur karena kemahirannya dalam ilmu-ilmu mujizat, jika kau bertemu dengan dia tentu kau bisa celaka.”
“Hm, ilmu mujizat apa gunanya?” jengek Li Bok-chiu. “Liok Seng-hong membangun sebuah perkampungan Kui-in-ceng di tepi danau Thay-ouw, tapi hanya dengan sebuah obor saja orang telah membumi hanguskan perkampungannya itu pula dia lantas kehilangan jejak, bisa jadi iapun sudah terbakar menjadi abu oleh api itu.”
Mendadak si pandai besi she Pang menatap Li Bok-chiu dan berseru dengan bengis. “Kau Tokoh ini berani mengaco-belo, setiap anak murid Tho-hoa-tocu cukup lihay, manabisa semuanya terbinasa. Hm, kau kira aku orang udik dan tidak tahu apa-apa?”
“Jika tidak percaya boleh kau tanya ketiga bocah ini,”
jengek Li Bok-chiu.
Si pandai besi paling suka kepada Thia Eng, maka ia berpaling kepada nona itu, sorot matanya memancarkan sinar yang penuh mengandung tanda tanya.
Dengan muram Thia Eng lantas berkata: “Sungguh malang perguruanku yang telah kekurangan tenaga andalannya kini, Wanpwe juga merasa malu karena belum lama masuk perguruan sehingga belum mampu membela nama kehormatan Suhu. Apakah engkau ada hubungannya dengan Suhuku?”
Pandai besi tua itu tidak menjawab, ia hanya mengamat-amati Thia Eng dengan sikap yang sangsi, kemudian ia bertanya: “Apakah paling akhir ini Tho-hoa-tocu mengambil murid Iagi?”
Melihat sebelah kaki si pandai besi cacat, tiba-tiba hati Thia Eng tergerak, jawabnya: “Suhu merasa kesepian dan perlu orang meIayaninya. sebenarnya anak muda macam diriku ini mana berani mengaku sebagai anak murid Tho-hoa-tocu, malahan sampai detik ini Wanpwe belum pernah
menginjakkan kaki di Tho-hoa-to.”
Dengan ucapan Thia Eng itu sama saja ia telah mengaku dirinya memang betul adalah anak murid Tho-hoa-to.
Tertampak pandai besi tua itu manggut-manggut, sorot matanya mengunjuk rasa simpatik terhadap si nona seperti sanak keluarga sendiri lalu menunduk dan menggembleng besi lagi beberapa kali, tampaknya sambil merenungkan sesuatu.
Melihat gerakan palu si pandai besi sangat mirip dengan gaya ilmu pukulan Lok-hoa-ciang-hoat dari Tho-hoa-to, mau-tak-mau Thia Eng menjadi lebih paham persoalannya, ia berkata: “Di waktu iseng Suhu suka bicara padaku mengenai kejadian beliau mengusir anak muridnya dahulu, bahwa Tan dan Bwe berdua Suheng itu adalah akibat perbuatannya sendiri yang jahat tidak perlu disayangkan, tapi Ki, Liok, Bu dan Pang berempat Suheng benar-benar ikut kena getahnya karena mereka berempat sebenarnya tidak berdosa, terutama Pang Bik-hong, Pang-suheng itu berusia paling muda, kisah hidupnya juga pantas dikasihi, bila teringat akan hal itu sering Suhu merasa menyesal”
Padahal watak Oey Yok-su sangat eksentrik, biarpun hatinya berpikir begitu, tidak mungkin sampai diucapkannya dengan mulut Soalnya Thia Eng adalah gadis cerdik dan berperasaan halus, di kala sang guru kesepian dan bicara iseng dengan dia, dari nada ucapan Oey Yok-su itu dapatlah diterka akan jalan pikiran sang guru itu, maka sekarang ia sengaja memperbesar apa yang didengarnya itu.
Dasar watak Li Bok-chiu memang kejam dan keji, di samping itu perasaannya sebenarnya juga mudah terguncang, dari tanya jawab dan sikap si pandai besi dan Thia Eng dapatlah diterka sembilan bagian hubungan antara kedua orang itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar