Kembalinya Pendekar Rajawali 84
Pada dasarnya kedua orang ini lugu dan polos,
sebab itulah meski ucapan Ciu Pek-thong itu rada-rada tak genah, tapi
Siao-liong-li juga tidak ambil pusing, deengan tersenyum ia menjelaskan:
“Soalnya Yo Ko mahir memainkan ilmu pedang Coan-cin-pay yang lihay itu, kalau
dia main berpasangan dengan aku akan dapat mengalahkan Hwesio Tibet ini.”
“Hahaha, bicara tentang ilmu pedang
Coan-cin-pay, memangnya si Yo Ko bisa melebihiku” ujar Ciu Pek-thong dengan
tertawa.
Tapi permainan ganda kami ini disebut Giok-li
kiam-hoat, untuk ini harus cinta mencintai antara dia dan aku, dengan adanya
paduan perasaan baiklah dapat mengalahkan musuh,” tutur Siao-liong-li.
Bicara tentang cinta, seketika hati Ciu
Pek-phong kebat-kebit, cepat ia menggeleng dan berkata: “Stop… stop! Jangan kau
ucapkan lagi, Hanya ingin kukatakan padamu bahwa tinggal selama beberapa di
dalam gua ini, sebenarnya bukan soal, Dulu aku pernah berdiam di dalam sebuah
gua di Tho hoa-to selama belasan tahun, aku sendirian tanpa seorang teman,
terpaksa aku berkelahi dengan diriku sendiri, tapi sekarang kita tinggal
berdua, berbicara dan dapat tertawa, keadaan jelas sangat berbeda.”
“Aneh, berkelahi dengan dirinya sendiri,
bagai mana caranya itu?” tanya Siao-Iiong-li terheran-heran.
Chiu Pek-thong sangat senang ada orang
tertarik pada kepandaiannya yang khas itu, segera ia menjelaskan secara ringkas
ilmu ciptaannya itu, yakni cara berkelahi dengan tangan kanan melawan tangan
kiri satu orang melakonkan peranan dua orang.
Hati Siao-Iiong-Ji tergerak, ia pikir kalau
ilmu aneh ini dapat kupelajari dengan tangan kiri ku mainkan Coan-cin-kiam hoat
dan tangan kanan memainkan Giok-li-kiam-hoat, sehingga jadilah gabungan ilmu
pedang dari dua orang.
Hanya saja kepandaian khas ini mungkin sukar
dipelajari dalam waktu singkat. Segera ia bertanya: “Apakah ilmu ini sukar
dipelajari?”
Dibilang sukar memang sangat sukar, dikatakan
mudah juga sangat mudah,” ujar Ciu Pek-thong. “Ada orang ingin belajar, tapi
selama hidup tak berhasil, sebaliknya ada orang yang dapat mempelajarinya
dengan baik hanya dalam waktu beberapa hari saja, Nah, kau kenal suami isteri
yang bernama Kwe Ceng dan Oey Yong bukan?”
Siau-liong-li mengangguk.
“Nah, coba katakan, siapa yang lebih pintar
diantara mereka suami dan isteri itu?”
“Kwe-hujin sangat pintar dan cerdas,
diberitahu satu segera paham seratus, menurut Ko-ji, katanya di jaman ini
mungkin tiada manusia lain yang lebih cerdas daripadanya.
Sedangkan Kwe tayhiap memang tinggi ilmu
silatnya, tapi soal kecerdasan hanya biasa saja.”
“Hanya biasa apa?” ujar Ciu Pek thong dengan
tertawan “Lebih tepat dikatakan goblok. Nah, coba katakan, aku ini pintar atau
goblok?”
“Kau sudah, tua, tapi masih ketololan dan
dari cara bicaramu juga angin-anginan,” jawab Siao-liong li dengan tertawa.
“Benar ucapanmu memang, tidak salah” kata
Pek-thong, “llmu kanan kiri saling berkelahi itu adalah, hasil pemikiranku
kemudian kuajarkan adik Kwe dan cuma beberapa hari saja sudah dikuasainya. Lalu
dia mengajarkan lagi kepada istrinya, tapi apa yang terjadi? Haha, jangan kau
kira si Oey Yong itu pintarnya seperti setan, tapi ilmu ciptaanku itu justeru
tidak berhasil dipelajari olehnya. Tadinya kukira Kwe Ceng keliru mengajarnya,
maka aku sendiri juga memberi petunjuk, namun pada pelajaran pertama saja dia gagal,
coba, kan aneh dan lucu toh?”
“Bagaimanakah pelajaran pertama ilmu
kepandaianmu itu?” tanya si nona.
Pertama kali adalah “tangan kiri melukis
per-pegi dan tangan kanan menggambar bundaran”, tapi meski berulang-ulang ia
menggambar tetap tidak jadi, Sebab ituIah kukatakan ada orang segera berhasil
sekali belajar, tapi juga ada yang belajar selama hidup tetap tidak menguasai.
Mungkin semakin pintar orang nya semakin tidak jadi.”
“Masakah dunia ini ada orang bodoh lebih
unggul belajar kepandaian daripada orang pintar? Heh, aku tidak percaya,” kata
Siao-liong-li.
Dengan tertawa Ciu Pek-thong berkata pula:
“Kulihat kecerdasanmu dan kecantikanmu seimbang dengan si Oey Yong, ilmu
silatmu juga selisih tidak jauh daripada dia. Kalau kau tidak percaya, sekarang
kau boleh coba melukis sebuah persegi dengan tangan kirimu dan berbareng
menggambar pula sebuah bundaran dengan tangan kananmu.”
Sudah tentu Siao-liong-li ingin mencobanya,
segera ia mengulurkan kedua jari telunjuk dari kedua tangannya dan berbareng
menggambar di tanah, tapi hasilnya memang sangat mengecewakan gambar persegi
lebih tepat dikatakan jorong dan gambar bundaran malahan mirip persegi.
Ciu Pek-thong terbahak-bahak, katanya: “Nah,
apa kataku? Kau anggap dirimu sangat pintar, nyatanya pekerjaan sepele begitu
juga tidak bisa.”
Siao-liong-li tersenyum, ia coba menghimpun
semangat dan memusatkan pikiran, ia mengulurkan kedua jari pula dan sekenanya
menggambar lagi sebuah persegi dan sebuah bundaran, sekali ini perseginya
benar-benar persegi dan yang bundar benar-benar bundar-dar.
“He, kau…. kau…” tidak kepalang kejut Ciu
Pek-thong.
Sejenak baru disambungnya lagi: “Apakah
sebelum ini kau sudah pernah mempelajarinya?”
“Belum pernah,” jawab Siao liong-li.
“Memangnya apa sulitnya?”
“Habis cara bagaimana kau bisa melukisnya
sebaik ini?” ujar Ciu Pek-thong sambil garuk-garuk kepala.
“Aku sendiripun tidak tahu caranya,” jawab
Siao liong-li.
“Yang pasti aku tidak memikirkan apa-apa dan
sekali jariku menggores lantas jadi.”
Segera ia memberi demonstrasi lagi, kembali
kedua tangannya mencorat-coret di tanah, -”tangan kiri menuliskan
“Lo-wan-thong” dan tangan kanan menulis “Siao-Iiobg-li”
kedua tangan menulis berbareng, tulisannya
rajin dan indah laksana tertulis dari satu tangan saja.
Ciu Pek-thong menjadi girang, katanya: “Wah,
tampaknya kepandaian ini sudah kau pelajari sejak kau bjerada di dalam
kandungan ibumu.”
BegituIah Ciu Pek thong lantas mengajari Siao
liong-li ilmu berkelahi “Satu orang melakukan dua peranan”, kalau tangan kiri
menyerang tangan kanan lantas bertahan dan begitu pula sebaliknya, ia ajarkan
seluruhnya kepada si nona segenap teori kanghu (Kungfu) hasil pemikirannya
ketika terkurung di gua Tho-hoa-to dahulu itu..
Sebenarnya Kanghu ciptaan Ciu Pek thong ini
kuncinya terletak pada “Hun-sim-ji-yong” (membagi perhatian untuk dua peranan).
Justeru orang yang cerdik pandai, orang yang banyak berpikir dan suka berpikir,
malahan sulit disuruh belajar ilmu berkelahi ini. .
Adapun Siao-liong-li sejak kecil sudah
digembleng menghilangkan perasaan dan napsu, ilmu dasar itu sudah terpupuk
dengan kuat, meski kemudian dia jatuh cinta kepada Yo Ko sehingga banyak
mengganggu ilmunya itu, tapi sekarang hatinya lagi terluka dan membuatnya patah
hati dan putus asa, maka sebagian besar ilmunya yang telah dikuasainya dahulu
itu telah pulih kembali dalam keadaan lapang pikiran dan benak kosong, sedikit
diberi petunjuk oleh Ciu Pek-thong segera dapat dipahaminya.
Clu Pek-thong sendiri belum sembuh, tapi ia
dapat memberi petunjuk dengan ucapan dan gerakan tangan secara mengasyikkan,
Siao-liong li juga tertarik dan berulang-ulang mengangguk sambil merentangkan
tangan kanan menggunakan Giok-li-kiam-hoat dari- Ko-bong-pay dan tangan kiri
menggunakan Coan-cin-kiam-hoat dari Coan-cin-pay, hanya dalam waktu beberapa
jam saja sudah dapat dipahami seluruhnya.
“Cukuplah, aku sudah paham semua,” kata
Siao-liong-li, kedua tangannya lantas coba-coba main beberapa jurus dan
ternyata sangat tepat tanpa sesuatu kesalahan.
Keruan Ciu Pek-thong melongo bingung,
berulang2 ia menyatakan herannya.
Dalam pada itu Kim-lun Hoat-ong dan Tio
Ci-keng masih terus berjaga di luar gua, mereka cuma mendengar suara Ciu
Pek-thong dan Siao liong-li yang berbicara tak ber-henti-henti sampai sekian
lama, ada omong ada tawa, sedikitpun tidak kesal sebagaimana orang tahanan
umumnya.
Tentu saja merekapun heran, mereka coba
pasang kuping ikut mendengarkan tapi secara terputus mereka hanya dapat
menangkap beberapa kalimat pembicaraan Ciu Pek-thong berdua, malahan sama
sekali tidak paham arti ucapannya.
Suatu ketika Siao-liong-li berpaling dan
kebetulan melihat Hoat-ong dan Ci-keng sedang melongak-longok ke dalam gua
seperti maling mengincar jemuran, segera ia berbangkit dan mengajak Ciu
Pek-thong: “Marilah kita pergi.”
“Kemana?” tanya Pek-thong melengak.
“Keluar sana dan membekuk bangsat gundul itu
untuk memberikan obat penawar padamu,”
“Apakah kau yakin dapat mengalahkan dia?”
Pek-thong bertanya sambil tarik-tarik janggutnya sendiri.
Belum lagi Siao-liong-li menjawab, tiba-tiba
terdengar suara mengaungnya tawon, seekor tawon madu tampak terjebak ke dalam
sarang labah2 di mulut gua dan meronta2 berusaha melepaskan diri, Kalau tadi
kupu-kupu yang besar itu seketika mati begitu menyentuh benang sarang labah2,
ternyata tawon madu ig kecil ini tidak takut pada racun labah2 loreng setelah
meronta-ronta, akhirnya sarang labah2 itu malah kebobolan satu lubang, Seekor
labah2 lorong mengawasi dengan garangnya didekat tawon kecil tu, tapi tidak
berani maju untuk menyerangnya.
Ketika tinggal di kuburan kuno itu dahulu,
Siao-liong li pernah memiara gerombolan tawon madu dan dapat menguasainya
dengan baik, malahan dia anggap kawanan tawon itu sebagai sahabat baik,
sekarang melihat tawon kecil terperangkap, ia menjadi tidak tega dan ingin
menolongnya.
Tiba-tiba terpikir olehnya: “Meski bentuk
labah2 ini sangat menakutkan, tapi tawonku mungkin tidak takut pada-nya.” -
Segera ia mengeluarkan botol porselen dan
membuka tutupnya, ia kerahkan tenaga dalam maka hawa panas tersalur dari
telapak tangannya. botol itu.
Hanya sebentar saja Siao-liong-li menggenggam
botol kecil itu, lalu teruar bau harum madu tawon keluar gua menembus sarang
labah2.
Ciu Pek-thong menjadi heran dan bertanya “Apa
yang kau lakukan?”
“Ini permainan suiapan yang menarik, kau
ingin tahu tidak?” jawab Siao-liong li.
“Wah, bagus, bagus sekali” seru Pek-thong
kegirangan.
Tapi sulapan apakah itu.
Siao-liong li cuma tersenyum saja tanpa
menjawab, diam- diam ia mengerahkan tenaga dalamnya lebih kuat untuk menambah
panasnya botol porselen agar bau harum madu teruar lebih cepat dan lebih keras.
Tatkala itu adalah musim panas, bunga hutan
di lembah pegunungan sedang mekar semerbak, di mana-mana terdapat
gerombolan tawon liar yang mencari sari
bunga. Ketika mencium bau harum madu serentak kawanan tawon membanjir dari
segenap penjuru.
Setiap tawon sama menerjang isi dalam gua,
tapi begitu menempel benang jaring labah2 lantas melengket dan berontak
sekuatnya untuk membebaskan diri, ada sebagian tergigit mati oleh labah2
berbisa itu, tapi ada juga tawon yang sempat menyengat tubuh labah2. Meski
labah2 adalah makhluk maha berbisa, tapi makhluk yang satu dimatikan oleh
makhluk yang lain, agaknya tawon adalah musuh besar labah2 itu, begitu
tersengat dan kena racun tawon, pelahan labah2 itupun kaku dan mati akhirnya.
Begitulah terjadi perang tanding antara
kawanan tawon dengan labah2 berbisa itu, yang paling senang adalah Ciu
Pek-thong, ia berjingkrak kegirangan menonton pertempuran aneh itu, sebaliknya
Kimlun Hoat-ong dan Ci-keng yang berada diluar gua menjadi melongo kesima dan
tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Waktu itu kawanan labah2 masih di atas angin,
hanya dua ekor saja yang mati, sebaliknya kawanan tawon sudah binasa beberapa
puluh ekor, Namun tawon liar itu makin membanjir tiba, semula cuma beberapa
ekor saja, lalu beberapa puluh, bertambah lagi beberapa ratus dan akhirnya
beribu-ribu, hanya sekejap saja jaring labah2 yang memenuhi mulut gua itu
menjadi bobol sama sekali, belasan ekor labah2 berbisa itu mampus semua
tersengat tawon.
Ci-keng sudah kapok karena dahulu pernah merasakan
siksaan sengatan tawon, maka begitu melihat gelagat jelek, diam-diam ia
mengeluyur ke semak-semak pohon sana, Hoat-ong sendiri cuma menyayangkan
matinya labah2 itu,
kehancuran barisan labah2 yang sukar
dimengerti itu disangkanya karena dikerubut oleh kawanan tawon liar, ia pikir
mungkin tawon suka bergerombol dan bersatu menghadapi musuh bersama sehingga
kawanan Iabah2 itu dibinasakan seluruhnya ia tidak tahu bahwa datangnya
gerombolan tawon itu sebenarnya sengaja dipancing oleh bau madu yang disiarkan
oleh Siao-liong-li.
Malahan Hoat-ong memikirkan pula cara
bagaimana agar dapat memaksa Ciu Pek-thong dan Siao-Iiong-li keluar gua untuk
kemudian dibinasakan semua.
Namun Siao-Iiong-li sudah bertindak lebih
dulu dengankuku jarinya ia mencukil sedikit madu tawoni lalu disentilkan ke
arah Hoat-ong, lalu jari telunjuk menuding ke kanan sekali dan ke kiri sekali,
berbareng mulutnya juga membentak-bentak dua kali, Mendadak kawanan tawon yang
beribu-ribu jumlahnya itu terus menyamber keluar gua, ke arah Hoat-ong.
Keruan kaget Hoat-ong tidak kepalang, cepat
ia membalik tubuh dan sekuatnya melompat ke sana hingga beberapa meter jauhnya,
Ginkangnya memang sudah mencapai tingkatan maha tinggi, betapapun cepat terbang
kawanan tawon itu ternyata masih kalah cepat daripada lompatan Hoat-ong.
Sekejap saja ia sudah jauh meninggalkan kejaran kawanan tawon itu. Karena tidak
dapat menyusul sasarannya pawanan tawon itupun lantas buyar sendiri-sendiri.
Ber-uIang2 Siao-liong-Ii membanting kaki dan
menyatakan sayang.
“Sayang apa?” tanya Ciu Pek-thong.
“Dia berhasil kabur, kita tak dapat lagi
merebut obat penawarnya,” kata Siao-liong li Kiranya tadi Siao-liong-li
mengerahkan kawanan tawon hendak mengurung Kim-lun Hoat-ong dari kanan dan
kiri, tak terpikir olehnya bahwa kawanan tawon itu bergabung secara liar dan
bukan terdiri dari satu sarang, dengan sendirinya tidak penurut sebagaimana
tawon putih yang di kuburan kuno itu.
Kalau sekadarnya disuruh mengejar dan
menyengat musuh sih bisa, lebih dari itu jelas tidak mungkin.
Namun begitu CiuPek-thong juga sudah kagum
luar biasa terhadap kesaktian Siao liongli yang lahir mengendalikan kawanan
tawon itu, ia merasa permainan ini jauh lebih menarik daripada semua permainan
yang pernah dilihatnya, seketika ia menjadi lupa pada badan sendiri apakah sisa
racunnya dapat dipunahkan seluruhnya atau tidak.
Karena sarang labah2 di mulut gua sudah
hapus, segera Siao-Iiong-li melompat keluar, lalu ia memanggil Ciu Pek-thong
agar ikut keluar.
Menyusul Ciu Pek-thong juga melompat keluar,
tapi segera ia terbanting jatuh, “Wah, cialat! Tenaga sukar dikeluarkan!”
katanya dengan gegetun, Mendadak sekujur
badan gemetar dan gigi berkertukan.
Kiranya jatuhnya itu telah memancing
bekerjanya sisa racun labah2 yang masih mengeram dalam tubuhnya, seketika ia
menggigil kedinginan seperti kejeblos ke dalam peti es, bibir dan mukanya
menjadi pucat pasi.
“He, Ciu Pek-thong, kenapa kau?” tanya
Siao-liong-li kaget.
Ciu Pek-thong masih menggigil jawabnya dengan
suara gemetar: “Lekas…. lekas kau cocok aku dengan…. dengan jarum itu.”
“Tapi jarumku ini berbisa,” kata
Siao-liong-li.
“Ya, justeru…. justeru karena berbisa itulah,
lekas!” pinta Pek thong pula.
Tergerak pikiran Siao-liong-li, teringat
pertempuran antara kawanan tawon dengan labah2 berbisa tadi, ia pikit
jangan-jangan racun tawon merupakan lawan racun labah2 itu?
Segera ia jemput sebuah jarum dan mencoba
mencocoki lengan Ciu Pek-thong.
Mendadak Pek-thong berteriak: “Bagus! Lekas
tusuk beberapa kali lagi!”
Ber-turut-urut Siao-liong-ii mencocoki
beberapa kali lagi dan ber-ulang Ciu Pek-thong berteriak bagus. Tampaknya kadar
racun di jarum itu sudah lenyap, lalu Siao-Iiong-li berganti jarum yang lain,
seluruhnya belasan jarum digunakan mencocoki tubuh Ciu Pek-thong, Akhirnya
orang tua itu tidak menggigil lagi, ia menghela napas lega dan berkata: “Ehm,
menyerang racun dengan racun, memang resep paling mujarab.”
Habis itu ia coba mengerahkan tenaga dalam,
tapi masih ada sisa racun yang belum hilang, mendadak ia menepuk paha dan
bersemi “Aha, tahukah aku. Nona Liong, racun tawon pada jarummu itu agaknya
kurang segar, sudah basi.”
“Jika begitu, apakah kau mau kalau kusuruh
lawanan tawon liar itu untuk menyengat kau?” ujar Siao-liong-li dengan tertawa.
“Aha, terima kasih sebelumnya, lekas kau
mengundangnya, lekas!” seru Giu Pek-thong.
Siao-liong-li lantas membuka pula botol
madunya untuk memancing kedatangan kawanan tawon liar, setiap tawon itu sama
mengantupi badan Ciu Pek-thong, bukannya mengeluh sakit, sebaliknya, Anak Tua
Nakal itu malah tertawa gembira, ia membuka bajunya sekalian, punggung yang
telanjang itu sengaja dibiarkan disengat oleh kawanan tawon, berbareng iapun
mengerahkan tenaga dalam untuk melancarkan jalan darah dan menghalau sisa racun
labah2.
Agak lama juga ia diantupi tawon sehingga
punggungnya penuh bintik merah bekas sengatan, akhirnya sisa racun dapat
dihilangkan semua, kalau disengat lagi lantas terasa sakit, Maka berteriaklah
Ciu Pek-thong: “Cukup, sudah cukup! Kalau diantupi lagi jiwaku bisa melayang!”
Siao-liong-li tersenyum dan menghalau pergi
kawanan tawon itu. Lalu ia menjemput tali sutera berkeleningan yang terjatuh di
samping sana, kemudian ia tanya Ciu Pek-thong:
“Aku akan pergi ke Cong-Iam-san, kau ikut
tidak?”
Ciu Pek-thong menggeleng dan menjawab:
“Tidak, aku masih ada urusan lain, silakan engkau pergi sendiri saja.”
“Oya, kau perlu ke Siangyang untuk membantu
Kwe-tayhiap,” kata Siao-Iiong-li. Menyebut nama “Kwe-tayhiap” ia lantas ingat
pula kepada Kwe Hu, dari Kwe Hu lantas terkenang kepada Yo Ko.
“Ciu Pek-thong,” katanya kemudian dengan
muram, “jika kau bertemu dengan Yo Ko, janganlah kau bilang pernah bertemu
dengan diriku.”
Akan tetapi Ciu Pek-thong tidak menjawabnya,
waktu Siao-liong-li mengawasi, tertampak orang tua itu sedang berkomat-kamit,
entah apa yang sedang di gumamkan, malahan mimik wajahnya sangat aneh, entah
lagi main gila apa?
Selang sejenak barulah mendadak Ciu Pek-thong
mendongak dan bertanya: “Apa katamu tadi?”
“O, tidak apa-apa,” jawab Siao-liong-li.
“Sampai bertemu pula.”
Tampaknya Ciu Pek-thong tidak menaruh
perhatian kepada ucapan Siao-liong-li itu, ia cuma mengiakan, lalu
berkomat-kamit lagi.
Tanpa-bicara lagi Siao-liong-li lantas
berangkat sendiri, setelah melintasi suatu tanah tanjakan sana, tiba-tiba
terdengar suara bentakan Ciu Pek-thong, suaranya seperti lagi menirukan Siao-liong-Ii
ketika mengendalikan kawanan tawon.
Siao-liong-li sangat heran, diam-diam ia
memutar balik ketempat, tadi dan mengintai dari balik pohon. dilihatnya Ciu
Pek-thong memegangi sebuah botol porselen kecil dan sedang berjingkrak-jingkrak
sambil berkaok-kaok aneh, Waktu Siao-liong-li meraba sakti sendiri, ternyata
botol madunya itu sudah lenyap entah sejak kapan telah dicuri si Anak Tua Nakal
itu.
Rupanya suara Ciu Pek-thong itu rada-rada
mirip cara Siao-liong-li memberi perintah kepada kawanan tawon, tapi lebih
banyak salahnya, meski ada juga beberapa ekor tawon yang muncul karena mencium
bau harum madu, tapi tiada satupun yang tunduk kepada perintah Ciu-Pek-thong,
tawon2itu cuma terbang kian kemari mengitari botol porselen.
Siao-liong-li tertawa geli melihat tingkah
Anak Tua Nakal itu, segera ia menampakkan diri dan berseru “Sini, kuajarkan
kau!”
Melihat rahasianya terbongkar dan ketangkap
basah dengan bukti barang curiannya, Ciu Pek thong menjadi malu, tanpa bicara
lagi ia terus berlari pergi dan dalam sekejap saja sudah menghilang.
Siao-liong-li bergelak tertawa melihat
tingkah laku si tua yang lucu itu, Suara tertawanya berkumandang membalik,
mendadak ia merasa hampa dan kesepian, tanpa terasa ia meneteskan air mata.
Bilamana ia mengadu kecerdasan dan tenaga
dengan Kim-lun Hoat-ong, kemudian ia ditemani Lo-wab-tong dan bercanda sekian
lama, kini musuh sudah kabur, kawan pun sudah pergi, di dunia ini bisanya
tertinggal ia seorang diri saja.
Sepanjang jalan ia menguntit Ci-keng dan
Ci-peng, ia merasa kedua Tosu itu sangat busuk, biarpun dicincang hingga hancur
lebur juga sukar terlampias rasa dendamnya.
padahal sekali dia turun jangan saja kedua
orang itu pasti akan binasa, namun hati selalu enggan, rasanya sekalipun mereka
dibinasakan, habis mau apa lagi?
Sendirian ia duduk termangu-mangu di bawah
pohon, akhirnya ia menggumam sendiri: “Agaknya harus mencari mereka lagi!”
Ia lantas turun dari bukit itu dan mencemplak
atas keledai yang dilepas untuk makan rumput bawah bukit itu, baru saja ia mau
berangkat ke arah pasukan Mongol, tiba-tiba di depan debu mengepul tinggi
disertai suara terompet bergema riuh, pasukan tampak sedang bergerak ke selatan
secara besar-besaran, jelas pihak Mongol mulai menggempur Siangyang lagi.
Siao-liong-li menjadi ragu-ragu, di tengah
pasukan besar itu, cara bagaimana mencari kedua Tosu itu. Tapi pada saat itu
juga, sekonyong-konyong tiga penunggang kuda berlari lewat di bawah bukit, para
penunggang kuda itu jelas berjubah kuning dan berkopiah kaum Tosu.
Siao-liong-li menjadi heran mengapa bisa
bertambah seorang Tosu lagi, ia coba mengamati dari jauh, jelas yang paling
belakang adalah Ci-peng sedangkan Ci-keng mengaburkan kudanya bersama Tosu
ketiga yang berusia jauh lebih muda.
Tanpa pikir Siao-liong-li lantas keprak
keledainya menyusul ke sana.
Ketika mendengar suara ketoprakan kaki kuda
In Cipeng menoleh ke belakang dan ternyata Siao liong-li sudah mengintil lagi,
keruan air mukanya berubah pucat. segera Ci-keng dan Tosu yang muda juga
mengetahui penguntilan Siao-liong-li.
“Siapakah perempuan muda ini, Tiosupek?”
tanya Tosu muda itu.
“Dia adalah musuh besar Coan-cin-kau kita,
sutit jangan banyak bertanya,” jawab Ci-keng.
Toso muda itu terkejut, tanya pula dengan
suara rada gemetar: “Apakah dia ini Jik-lian siancu Li Bok-chiu?”
“Bukan, tapi Sumoaynya,” kata Ci-keng.
Kiranya Tosu muda itu bernama Ki Ci-seng,
meski namanya juga pakai “Ci”, tapi dia termasuk anak murid Coan-cin-kau
angkatan ke empat, lebih rendah satu angkatan daripada In Ci-peng dan Tio
ci-keng.
Yang diketahuinya hanya Li Bok-chiu telah
beberapa kali bertengkar dengan para kakek-gurunya malahan pihak Coan-cin
mereka beberapa kali kecundang.
Begitulah Ci-keng lantas cambuk kudanya agar
berlari lebih cepat dan diikuti oleh Ci-peng berdua. Kanya sekejap saja
Siao-liong-li sudah tertinggal jauh. Namun keledai belang yang ditunggangi
Siao-jong-li itu sangat kuat larinya, meski tidak cepat namun dapat berlari
secara teratur tanpa lelah, Sedangkan kuda-kuda itu setelah berlari cepat,
kemudian megap-megap napasnya dan mulai lamban larinya sehingga keledai belang
dapat menyusulnya lagi.
Waktu Ci-keng menoleh dan melihat Siao-liong
li sudah mendekat, cepat ia cambuk kudanya lagi, tapi kudanya Cuma lari kencang
sebentar, lalu lari lambat pula.
“Tio-supek, tampaknya kita tak dapat lari,
marilah kita membalik kesana untuk mencegatnya dan biar In-supek lolos
sendiri,” kata Ki Ci-seng.
Dengan wajah geram Ci-keng menjawab:
“Hm mudah saja kau bicara, memangnya kau tidak ingin hidup lagi?”
“Tapi… tapi In-supek mengemban tugas berat
sebagai pejabat ketua, kita harus berusaha menyelamatkan dia,” ujar Ci-seng.
Ci-keng sangat mendongkol ia hanya mendengus
saja tanpa menjawab.
Melihat air muka sang paman guru yang marah
itu, Ci-seng tidak berani bicara lagi, ia tunggu setelah Cipeng mendekat, lalu
berbisik padanya “In-supek, paling penting engkau harus jalan lebih dulu.”
“Ah, biarkan saja dia menyusul ke sini,”
jawab Ci-peng tak acuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar