Sabtu, 10 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 25



Kembalinya Pendekar Rajawali 25


Nampak orang melarikan diri, Li Bok-chiu pikir: “Kalian
sudah terkena aku punya pukulan maut, di jagat ini kecuali It-
ting Taysu tiada lagi yang mampu mengobati, jika Pangcu
kalian inginkan jiwa kalian tentu dia akan menurut dan
serahkan Ngo-tok-pit-toan padaku. Tapi, nah, celaka, kalau
mereka menyalin kitab itu dan kitab aslinya baru dikembalikan
padaku, bukankah aku kena ditipu mentah-mentah?”
Segera ia berpikir pula: “Memang celaka, padahal segala
macam cara memunahkan racun pukulan dan senjata rahasia,
semuanya sudah kutulis di dalam kitab itu dengan jelas, kalau
mereka sudah dapat memiliki kitab itu, buat apa mereka
datang memohon pertolonganku?”
Teringat akan itu, tanpa terasa mukanya menjadi pucat,
begitu tubuhnya melesat, tahu-tahu ia mencelat dan
menghadang di tengah tangga di depan kedua pengemis yang
sedang melarikan diri itu.
Begitu kedua tangannya bekerja, susul menyusul dua kali
pukulan telah paksa kedua pengemis itu balik lagi ke atas
loteng.
Tindakan Li Bok-chiu ternyata cepat luat biasa, hanya
terlihat bayangannya berkelebat tahu-tahu sebelah lengan
salah satu pengemis sudah dia pegang terus ditekuk
sekuatnya, maka terdengarlah suara gemelutuk, tulang lengan
orang sudah patah hingga tangannya melambai ke bawah
dengan lemas.
Tentu saja pengemis yang lain sangat kaget, tetapi
disinilah terbukti betapa setia kawan antara kaum pengemis
itu, bukannya dia melarikan diri, sebaliknya ia menubruk maju
untuk melindungi kawannya yang terluka, ketika melihat Li
Bok-chiu merangsak maju lagi, kontan iapun mendahului
memukul.
Tak terduga, kembali tangan Li Bok-chiu bergerak pelahan,
kepalan si pengemis yang memukul ini kena ditangkapnya dan
sekalian pula ditekuk, maka tulang lengannya segera senasib
dengan kawannya, kena dipatahkan lagi.
Hanya sekali gebrak saja kedua pengemis itu sudah
dihajar Li Bok-chiu hingga luka parah, maka insaflah mereka
bahwa hari ini mereka tentu celaka, namun demikian, mereka
tidak menyerah mentah-mentah, dengan punggung menempel
punggung mereka berdempetan satu sama lain dan dengan
sebelah tangan masing-masing yang masih sehat itu siap
menempur musuh.
“Kalian berdua baiknya tinggal di sini dulu, tunggu saja
Pangcu kalian datang sendiri dengan membawa kitabku itu
untuk tukar menukar,” terdengar Li Bok-chiu berkata dengan
lembut.
Melihat orang habis berkata terus kembali ke mejanya
buat minum arak, malahan duduknya mungkur ke arah
mereka, maka kedua pengemis itu menggeser pelahan ke tepi
tangga dengan maksud kalau ada kesempatan terus hendak
kabur. Tak terduga mendadak Li Bok-chu berpaling.
“Tampaknya tulang kaki kalian berdua harus dipatahkan
juga, dengan begitu baru kalian kerasan tinggal di sini.”
katanya dengan tersenyum, sembari berkata iapun berdirilah.
“Suhu, biarlah aku, menjaga mereka, tak nanti mereka
bisa kabur,” tukas Ang Ling-po trba2. Rupanya ia tak tega
juga melihat kekejian sang guru.
“Hm, bajik juga hatimu,” jengek Li Bok-chiu, perlahan-
lahan ia masih terus mendekati kedua pengemis itu.
Saking murkanya mata kedua pengemis itu merah berapi,
mereka sudah ambil keputusan tiada jalan lain daripada adu
jiwa dengan musuh.
Sejak tadi Yali Ce kakak beradik hanya menonton dengan
tenang, watak mereka berdua sebenarnya sangat keras, kini
tak tahan lagi, serentak mereka berdiri.
“Sam-moay, lekas kau pergi, perempuan ini terlalu lihay,”
dengan suara pelahan Yali Ce pesan adiknya.
“Dan kao?” tanya Yali Yen.
“Sesudah tolong kedua pengemis ini, segera aku melarikan
diri,” sahut Yali Ce.
Biasanya Yali Yen menjunjung sang kakak ini bagai
malaikat dewata, tetapi kini mendengar orangpun nanti akan
selamatkan diri dalam hati si gadis menjadi ragu-ragu.
Pada saat itulah, dengan keras mendadak Yo Ko gebrak
meja, lalu didekatnya Yali Ce.
“Yali-heng (saudara Yali), marilah kita turun tangan
bersama untuk menolong orang, bagaimana?” ajak Yo Ko.
Melihat Yo Ko mengenakan pakaian Mongol dan mukanya
sangat jelek, Yali Ce merasa belum pernah kenal orang
demikian ini, ia pikir kalau orang berada bersama Wanyen
Peng, tentu saja kenal siapakah dirinya.
Tetapi ilmu silat Li Bok-chiu sudah dia saksikan tadi, ia
yakin tak bisa menandinginya, kalau sembarangan turun
tangan, itu berarti antar jiwa belaka, oleh karena itu, seketika
ia ragu-ragu tak menjawab ajakan Yo Ko tadi.
Di lain pihak demi mendengar Yo Ko membuka suara,
segera Li Bok-chiu mengamat-amati si pemuda dari kepala
sampai ke kaki dan sebaliknya, ia merasa lagu suara orang
sudah dikenalnya entah dimana.
Akan tetapi muka orang begitu rupa, kalau pernah
dikenalnya, tidak mungkin bisa melupakannya, maka dapat
dipastikan memang belum pernah kenal.
“Aku tak bersenjata, terpaksa harus pinjam dulu,”
sementara Yo Ko berkata lagi.
Habis itu, mendadak tubuhnya melesat cepat, ia
menyerempet lewat samping Ang Ling-po, wak-tu tangannya
menguIur, tahu-tahu kerangka pedang yang tergantung di
pinggang orang sudah dia ambil malahan pipi Ang Ling-po dia
kecup pula sekali.
“Ehm, wanginya!” demikian seru Yo Ko sengaja.
Keruan Ang Ling-po sangat murka, tangannya membalik
terus menggablok, namun sedikit menunduk Yo Ko sudah
hindarkan serangan itu dan menerobos pergi untuk kemudian
berdiri diantara kedua pengemis itu dan Li Bok-chiu.
Tindakan dan perbuatan Yo Ko itu dilakukan secara cepat
luar bisa, keruan dalam hati Li Bok-chiu diam-diam terperanjat
sebaliknya Yali Ce menjadi girang.
“Siapakah she dan nama saudara yang mulia ini?” segera
ia berseru menanya.
“Siaute she Nyo,” sahut Yo Ko sembari geraki tangannya,
ia angkat kerangka pedang samberan dari pinggang Ang Ling-
po itu dan menyambung pula: “Aku tahu isi di dalamnya
adalah pedang buntung!”
Dan waktu pedang ia IoIos, betul saja pedangnya
memang kutungan.
Mendadak Ang Ling-po mendusin “Anak keparat,” serunya
cepat. “Suhu, dia inilah yang kita cari.”
Karena orang sudah kenali dirinya, Yo Ko tak perlu maut
sandiwara pula, topeng kulit yang dia pakai segera
ditanggalkan.
“Supek, Suci, Tecu Yo Ko memberi hormat,” katanya
segera pada Li Bok-chiu dan Ang Ling-po.
Mendengar Yo Ko panggil Supek dan Suci, bukan saja
Yali Ce menjadi bingung, begitu pula Liok Bu-siang pun luar
biasa kagetnya.
“He, kenapa si Tolol ini panggil mereka Supek dan Suci?”
demikian Bu-siang tidak habis mengerti.
Sementara itu dengan tersenyum dingin Li Bok-chiu telah
menjawab: “Em, gurumu baik-baik-kah?”
Mendengar Siao-liong-li ditanyakan, seketika hati Yo Ko
berduka hingga matanya pun basah.
“Gurumu sungguh pintar mengajar murid,” demikian kata
Li Bok-chiu pula dengan tertawa.
Kiranya kemarin setelah saling gebrak tiga jurus di tengah
jalan itu, dengan tipu gerakan yang aneh Yo Ko telah
patahkan tiga kali serangan “Sam-bu-sam-put-jiu”, ia telah
berpikir dan tetap tak bisa meraba “dari aliran manakah tipu-
tipu Yo Ko itu, Oleh sebab itu ia menjadi ragu-ragu apakah
imam kecil yang bertarung dengan dirinya itu Yo Ko adanya?
ia pikir bila betul murid sang Sumoay itu, lalu darimana bisa
memiliki ilmu silat yang begitu tinggi dan aneh?
Kini setelah mendengar si Yo Ko memanggil “Supek” dan
“Suci”, maka percayalah dia memang betul ialah si pemuda
yang beberapa tahun yang lalu dilihatnya di kuburan kuno itu.
Keruan saja diam-diam ia terperanjat, pikirnya: “Sekarang saja
bocah ini sudah begini lihay, apa Iagi Sumoay sendiri, lebih-
lebih jangan ditanya betapa hebat kepandaiannya,”
Walaupun berpikir begitu, namun mukanya sedikitpun
tidak mengunjukkan perasaan hatinya itu.
Namun Nye Ko sangat cerdik, ia dapat menerka apa yang
orang sedang pikir, maka kembali ia memberi hormat dan
berkata lagi: “Suhu suruh aku menjampaikan salam pada
Supek!”
“O, dimanakah dia?” tanya Li Bok-chio, “Kami berdua
sudah lama tak berjumpa.”
“Suhu berada di sekitar sini saja, tak lama tentu beliau
akan datang menemui Supek,” sahut -Yo Ko.
Nyata pemuda ini tahu dirinya jauh bukan tandingan Li
Bok-chiu, sekalipun ditambah dengan Yali Ce masih sukar
memperoleh kemenangan maka ia sengaja pakai akal “gertak
sumber, ia coba tonjolkan gurunya - Siao-liong-li - untuk
menakuti orang.
“Aku lagi berurusan dengan murid sendiri, sangkut paut
apa dengan gurumu?” demikian kata Li Bok-chiu, Dari lagu
suaranya ini nyata ia rada miring terhadap Siao-Iiong-li.
“Tetapi Suhu ingin minta kemurahan hati Supek agar suka
ampuni Sumoay (maksudnya Liok Bu-siang) saja,” kata Nyo
Ko.
“Huh, kau telah main gila dan melakukan perbuatan
terkutuk seperti binatang dengan gurumu sendiri, kini kau
masih panggil dia Suhu terus menerus di hadapan orang
banyak, sungguh tidak tahu malu?” ejek Li Bok-chiu tiba-tiba
dengan tertawa.
Tiba-tiba Li Bok-chiu merobah gerakan, badannya
mencelat naik kaki kirinya menginjak mulut cangkir, berbareng
kebutnya menyapu ke belakang, katanya menggoda : “Apakah
gendakmu tidak ajarkan jurus ini kepadamu?”
Yo Ko tertegun, lekas dia merendahkan badan sarung
pedang menyapu seraya membentak : “Gendak apa ?”
Alangkah murkanya Yo Ko mendengar nista itu, mukanya
seketika pucat lesi, Dalam hati ia junjung Siao-Iiong-li bagai
malaikat dewata, kini orang berani menista gurunya itu,
seketika darah seakan-akan mendidih, tanpa pikir lagi
kerangka pedang rampasannya tadi segera dipakai sebagai
pedang terus ditusukannya pada Li Bok-chiu,
“Haha, perbuatanmu yang kotor itu memangnya takut
dibongkar orang, ya?” Li Bok-chiu tertawa mengolok-olok lagi
Namun dengan Kiam-hoat dari Coan-cin-pay, Yo Ko
melontarkan serangan yang gencar dan lihay luar biasa, itu
adalah ilmu silat warisan mendiang Ong Tiong-yang khusus
untuk mengalahkan ilmu pedang “Giok-li-kiam-hoat” ciptaan
Ong Tiao-eng, setiap serangannya selalu diarahkan tempat
yang berbahaya di tubuh Li Bok-chiu.
Sedikitpun Li Bok-chiu tak berani ayal, ia putar kebutnya
dengan sama cepatnya, ia tangkis setiap serangan dan
menyambut pertempuran itu dengan seluruh perhatiannya.
Setelah lewat beberapa jurus, Li Bok-chiu merasakan
Kiam-hoat lawannya ternyata hebat luar biasa, daya
tekanannya pun semakin berat, setiap gerak-gerik dirinya
seakan-akan sudah dapat diketahui sebelumnya oleh lawan
hingga selalu kena didahului orang, kalau bukan dirinya
memang lebih ulet, mungkin sejak tadi sudah terkalahkan.
“Suhu betul-betul pilih kasih, Kiam-hoat sebagus ini hanya
diajarkan pada Sumoay saja,” demikian pikir Li Bok-chiu
dengan gemas. ia menyangka itu adalah Kiam-hoat golongan
mereka sendiri.
Mendadak permainan silatnya berubah, tiba-tiba ia
melompat ke atas meja, ketika kaki kanan menendang
kesamping, kaki kiri lantas berdiri di atas sebuah cawan arak,
Cara mengajaknya di atas cawan, arak itu begitu tepat dan
tantangan badannya begitu bagus, maka cawan itu sama
sekali tak tumpah atau miring barang sedikitpun
“Haha, gendakmu itu pernah mengajarkan kepandaian
seperti ini tidak?” dengan gelak tertawa Bok-chiu menyindir
pula,
Yo Ko tercengang bingung sejenak Tetapi segera ia
menjadi gusar, “Gendak apa maksudmu?” damperatnya
kemudian,
“Ha, pura-pura bodoh,” sahut Bok-chiu, “Sumoay-ku
pernah bersumpah takkan turun gunung kalau Siu-kiong-seh
belum lenyap dari lengannya, kini dia telah turun gunung ikut
kau, siapa lagi dia itu kalau bukan gendakmu ?”
Tidak kepalang murka Yo Ko oleh tambahan nista orang
yang keji itu, tanpa berkata lagi, kerangka pedang dia putar,
begitu enjot tubuhnya segera iapun melompat ke atas meja.
Cuma Ginkangnya masih belum memadai orang, maka tak
berani Yo Ko berdiri di atas cawan arak melainkan di atas
sebuah mangkok, lalu kerangka pedang dia angkat terus
menyerang dengan kalap.
“Ehm, tidak jelek juga Ginkangmu ini!” dengan tertawa Li
Bok-chiu mengejek pula sembari menangkis serangan orang,
“Nyata baik sekali gendakmu itu terhadapmu, sudah cinta lagi
berbudi semuanya telah diajarkan padamu.”
Mendengar makin lama makin menjadi orang menistanya,
sungguh tak tertahankan asa murka Yo Ko.
“Orang she Li kau ini manusia atau binatang?, Kau mau
bicara secara manusia tidak ?” teriaknya murka, sembari
memaki iapun menyerang lebih nekad.
“Hm, kalau ingin orang lain tak tahu kecuali kalau diri
sendiri tak berbuat” jengek Li Bok-chiu. “Ko-bong-pay kami
bisa timbul dua manusia sampah seperti kalian ini, boleh
dikata telah mencoreng muka habis-habisan.”
Begitulah, seraya menyambut setiap serangan Yo Ko,
sambil tiada hentinya Li Bok-chiu menyindir dan mengolok-
olok.
Karena tak tahu hal ikhwalnya, Yali Ce kakak beradik dan
Liok Bu-siang hanya saling pandang, kemudian karena Yo Ko
tak sanggup membantah lagi sepatah-katapun, mereka
berpikir tentu apa yang dikatakan Li Bok-chiu itu adalah
kejadian sebenamya, maka tanpa terasa timbul rasa hina
terhadap Yo Ko.
Harus diketahui meski ilmu silat Yo Ko sudah jauh maju,
tetapi sama sekali Li Bok-chiu tak gentar terhadapnya, yang
dia kuatirkan ialah kalau Siao-Iiong-li sembunyi di sekitar situ
hingga mendadak muncul, ini berarti sukar baginya untuk
melawannya, oleh sebab itu ia sengaja menista mereka
dengan kata-kata yang se-kotornya dengan tujuan agar Siao-
liong-Ii menjadi malu dan tak berani menampakkan diri.
Dasar sifat Yo Ko memang gampang tersinggung dan
wataknya keras, karena dinista secara kotor itu, perasaannya
menjadi terpukuI, kaki tangannya menjadi lemas dan gemetar,
tiba-tiba kepala pun terasa puyeng, lalu pandangannya
menjadi gelap, ia menjerit sekali kerangka pedang terlepas
dari cekalannya dan orangnya pun roboh ke bawah.
Melihat ada kesempatan, Li Bok-chiu menjengek sekali,
kebutnya bekerja cepat, sekali pukul kepala Yo Ko segera
disabetnya.
Tahu keadaan sangat berbahaya, lekas Yali Ce samber dua
cawan arak dari meja terus ditimpukkan ke punggung Li Bok-
chiu, kedua cawan itu menghantam “Ci-yang-hiat” dan “Yang-
koen-hiat” yang merupakan urat nadi penting di tubuh
manusia.
Mendengar dari belakang ada samberan angin Am-gi atau
senjata rahasia, namun Li Bok-cIiu cukup tinggi Lwekangnya,
tiba-tiba ia tarik napasnya dalam-dalam untuk menahan
semua jalan darahnya, ia pikir sekali pukul mampuskan Nyo
Ko dahulu, sekalipun Am-gi pembokong itu mengenai
punggungnya juga takkan melukainya.
Tak tahunya, belum tiba cawannya atau arak di dalam
cawan itu sudah muncrat datang lebih dulu hingga terasa
kedua urat nadi tadi rada kesemutan.
“Celaka! Kiranya Sumoay telah datang, Araknya saja begini
lihay, apa lagi cawannya?” demikian keluhnya dalam hati.
Maka lekas-lekas ia putar tubuh dan ayun kebutnya ke
belakang, dengan tepat kedua cawan arak itu kena
disampuknya, namun terasa juga lengannya terguncang
hebat, keruan hatinya bertambah kuatir, ia heran mengapa
tenaga sang Sumoay bisa begitu kuat kini?
Tapi sesudah dia mengawasi ia lihat orang yang
menimpukkan cawan arak itu ternyata bukan Siao-liong-li
melainkan si pemuda ganteng berdandan bangsa Mongol itu.
Tentu saja hal ini semakin menambah terperanjatnya.
“Kenapa dari angkatan muda bisa muncul begini banyak
jago-jago lihay?” demikian ia membatin.
Sementara itu ia lihat pemuda, Mongol itu sudah lolos
pedang dan dengan suara nyaring membuka suara: “Cara
turun tangan Sian-koh sesungguhnya terlalu keji, maka cayhe
ingin minta pengajaran beberapa jurus.”
Siapakah perempuan baju hijau yang bermuka jelek itu?
Apakah Siau-liong-li? Murid siapakah Yali Ce yang
berkepandaian tinggi ini?
Siapakah yang akan merebut kedudukan Bulim Bengcu untuk
pimpin kaum persilatan angkat senjata melawan serbuan
pasukan Mongol? Kwe Ceng, Yo Ko atau Jago-jago Mongol
yang bakal menang?

Jilid 16
Ia lihat si pemuda perlahan-lahan mendekati dirinya,
langkahnya mantap, melihat umurnya baru antara dua
puluhan, tetapi gerak-geriknya cara menimpuk cawan arak
tadi ternyata sudah memiliki keuletan latihan beberapa puluh
tahun.
“Siapakah kau? siapakah gurumu ?” tanya Li Bok-chiu
dengan sorot mata yang tajam.
“Cayhe Yali Ce, anak murid Coan-cin-pay,” sahut Yali Ce
dengan sedikit membungkuk tubuh.
Saat itu Yo Ko sudah siuman kembali, ia lihat Wanyen
Peng lagi memandang padanya dengan berjongkok, matanya
tertampak basah dan muka muram durja. Dan ketika
mendadak dengar Yali Ce mengaku sebagai anak murid Coan-
cin-pay, keruan Yo Ko terperanjat.
“Apa gurumu Ma Giok atau Khu Ju-ki?” tanya Li Bok-chiu.
“Bukan semua”, jawab Yali Ce.
“Kalau begitu, tentunya Ong Ju-it bukan?” tanya Bok-chiu
pula,
“Bukan.” sahut Yali Ce tetap.
Tiba-tiba Li Bok-chiu ketawa terkekeh.
“Dia sendiri mengaku murid Ong Tiong-yang kalau begitu
kalian berdua ini tentunya Su-heng-te (saudara seperguruan),”
katanya sambil menunjuk Yo Ko.
“Mana bisa?” sahut Yali Ce terkejut “Sudah lama Ong-
cinjin wafat, mana bisa saudara ini adalah muridnya?”
“Huh, anak murid Coan-cin-pay memang tiada seorangpun
yang baik. Awas senjata!” ejek Li Bok-chiu, berbareng
kebutnya lantas memukul.
Dengan cepat Yali Ce melangkah ke samping, tangan
kirinya bergaya pedang segera menusuk dengan tipu “ting-
yang-ciam” yang merupakan serangan asli dari Coan-cin-tiam-
hoat.
Nampak gerak tangan orang begitu jitu dan lihay, sebagai
seorang tokoh segera Li Bok-chiu tahu telah ketemukan lawan
tangguh, bahwa orang mengaku anak murid Coan-cin-pay
memang bukanlah palsu, oleh karena itu, lekas-lekas ia
menggeser lagi, kebutnya menyabet pula secepat kilat, hanya
sekejap saja segala penjuru seakan-akan penuh dengan
bayangan kebutnya yang menyamber kian ke mari, asal
lawannya sedikit kesenggol ujung kebutnya kalau tidak mati
sedikitnya akan terluka parah juga.
Meski tinggi ilmu silatnya, namun pengalaman Yali Ce
masih cetek, kini untuk pertama kalinya menghadapi lawan
kuat, ia kumpulkan seluruh semangatnya untuk menempur
orang.
Maka sebentar saja mereka sudah saling gebrak lebih 40
jurus, makin merangsak Li Bok-chiu semakin maju, sebaliknya
lingkaran pertahanan Yali Ce semakin ciut, namun secara gigih
ia masih bertahan, tampaknya kekalahannya sudah pasti,
tetapi seketika Li Bok-chiu hendak merobohkan dia juga belum
bisa.
“Ya, ilmu silat bocah ini memang dari Coan-cin-pay yang
murni, meski belum setingkat Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-
it, tetapi dibanding Sun Put-ji dan Hek Tay-thong terang tidak
kalah, sungguh anak murid Coan-cin angkatan muda banyak
yang pandai,” demikian Li Bok-chiu terheran-heran.
Dan sesudah saling labrak beberapa jurus lagi, sengaja Li
Bok-chiu memberi suatu kesempatan dan membiarkan orang
menyerang maju.
Yali Ce tak tahu orang sengaja memancing, tanpa pikir
pedangnya terus menusuk, siapa duga mendadak kaki Li Bok-
chiu lantas melayang hingga pergelangan tangannya kena
ditendang, saking sakitnya Yali Ce tak kuasa pegang kencang
senjatanya. sungguhpun begitu, namun Yali Ce tidak menjadi
bingung, tiba-tiba telapak tangan kirinya memotong dari
samping, sedang tangan kanan dengan ilmu menangkap dan
menawan segera digunakan untuk merebut kebut Li Bok-chiu.
“Hah, ilmu silat yang bagus!” Li Bok-chiu tertawa memuji.
Tatkala itu Yo Ko sudah tak merasa puyeng lagi, segera
ia memaki: “Perempuan bangsat, selama hidupku ini tak sudi
aku mengaku kau sebagai Supek lagi!”
Habis itu, ia jinjing kerangka pedang rampasan dari Ang
Llng-po tadi terus maju mengerubut.
“Ya, ya, kau adalah laki gurumu, boleh juga kau panggil
aku Suci saja,” dengan tertawa Li Bok-chiu menyindir.
Dalam pada itu, pedang Yali Ce telah menyamber tiba,
Lekas-lekas Li Bok-chiu angkat kebutnya, dengan ujung kebut
tiba-tiba batang pedang kena direbut, bahkan terus dia tarik
dan ditimpukkan ke arah Yo Ko,
Namun Yo Ko tidak menjadi gugup, ia incar baik-baik
datangnya pedang itu, mendadak ia angkat kerangka sarung
pedangnya terus memapaknya.
Tanpa terasa Liok Bu-siang dan Wanyen Peng menjerit
kuatir, tetapi segera terdengar suara “sret”, ternyata dengan
tepat sekali pedang itu masuk ke dalam sarung yang
disodorkan ke depan oleh Yo Ko itu.
Dengan kerangka sarung untuk menyambut pedang,
sesungguhnya perbuatan ini terlalu berbahaya, asal pedang itu
sedikit meleset saja ditambah Iagi tenaga timpukan ti Bok-chiu
itu, maka dapat dipastikan dada Yo Ko akan tertembus.
Harus diketahui sewaktu tinggal di kuburan kuno dahulu,
dengan giat Yo Ko telah melatih ilmu menggunakan Am-gi,
maka soal ketajaman mata, ketepatan waktu yang digunakan
dan kejituan menaksir tempat yang diarah, semuanya sudah
terlatih begitu rupa hingga boleh dikatakan bisa dipergunakan
sesuka hatinya, sebab itulah kini ia berani unjuk
ketangkasannya ini di depan Li Bok-chiu.
Dan begitulah, segera Yo Ko melolos pedang yg
ditancapkan, tadi dan tangan yg lain tetap pegang sarung
pedang ia merangsak maju lagi bersama Yali Ce.
Restoran itu menjadi kacau balau, meja kursi jungkir balik
tak keruan, para tamu lain sudah sejak tadi lari
menyelamatkan diri Hanya Ang Ling-po saja yang masih ikut
menonton gurunya bertempur, selama Ling-po ikut gurunya
merantau, belum pernah ia saksikan gurunya dikalahkan
orang, oleh sebab itu, meski gurunya kini dikeroyok dua
rausuh, namun sedikitpun Ling Po tak kuatir, ia menonton
dengan tenang di samping.
Sementara itu pertarungan ketiga orang bertambah seru,
kemudian tipu serangan Li Bok-chiu berubah lagi dengan
angin pukulannya ia desak kedua lawannya hingga sukar
berdiri sekejap saja Yali Ce dan Yo Ko berulang kali
menghadapi serangan bahaya.
“Celaka,” seru Yali Yen dan Wanyen Peng, berbareng
merekapun melompat maju buat bantu kedua kawannya
Akan tetapi bertambahnya tenaga baru ini susah juga
merubah kedudukan yang sudah kalah itu, mendadak kaki Yali
Yen sendiri malah terserempet oleh ujung kebut Li Bok-chiu,
saking sakitnya sampai sebelah kaki gadis ini berlutut dan
hampiri terjungkal
Melihat adiknya terpukul pikiran Yali Ce menjadi kacau, ia
kena dicecar beberapa kali oleh Li Bok-chiu, terpaksa ia
mundur terus, tampak keadaan sangat genting, dengan cepat
si gadis baju hijau tadi melompat maju untuk memayang
mundur Yali Yen.
Meski dalam pertarungan sengit, namun mata telinga Li
Bok-chiu betul-betul dapat bekerja dengan tajam, begitu
melihat gadis baju hijau itu melompat secara gesit dan
enteng, segera ia tahu orang adalah anak murid guru pandai,
kontan saja kebutnya menyabet muka si gadis.
“She apakah nona ini? siapakah gurumu?” demikian ia
bertanya.
Jarak diantara mereka ada setombak lebih, tetapi
menyambernya kebut ternyata cepat luar biasa, sekejap saja
ujung kebut itu sudah sampai di depan muka gadis itu.
Agaknya gadis baju hijau itu terkejut, secepat kilat
tangannya bergerak, tahu-tahu ia lolos sebatang senjata dan
kebut musuh dapat ditangkisnya.
Melihat senjata orang yang aneh itu sepanjang kira-kira
tiga kaki dan mengkilap seperti sebatang seruling, diam-diam
Li Bok-chiu berpikir: “Senjata macam ini dari aliran mana ini?”
Karena curiganya itu, segera ia tambahi serangan kilat
dengan maksud memaksa gadis itu mengeluarkan kepandaian
aslinya, Dan karena gadis itu kewalahan, lekas-lekas Yo Ko
dan Yali Ce menubruk maju buat menolong.
Tapi sesungguhnya mereka memang tak bisa tandingi Li
Bok-chiu, hanya sekejap saja kembali kedua pemuda ini sudah
terdesak dibawah angin.
“Dalam keadaan begini, asal salah satu diantara kami
berdua ini sedikit meleng, pasti semua orang yang berada di
sini akan melayang jiwanya,” demikan Yo Ko pikir, Oleh
karena itu, segera ia berteriak-teriak : “Bini cilik, adikku
sayang, Enci yang baik, Yali-sumoay, lekas kalian melarikan
diri, perempuan keparat ini terlalu lihay.”
Mendengar Yo Ko berteriak-teriak serabutan, ke-empat
gadis itu ada yang senang dan ada pula yang mengkal, tetapi
melihat keadaan memang sangat berbahaya, tanpa perintah
lagi Liok Bu-siang yang pertama-tama turun loteng restoran
itu, habis itu si gadis baju hijau dengan memayang Yali Yen
juga ikut lari.
Dalam pada itu kedua pengemis tadi menyaksikan kedua
pemuda gagah perkasa ini telah melabrak Li Bok-chiu karena
membela mereka, terpikir oleh kedua pengemis ini hendak
maju membantu, cuma sayang lengan mereka sudah patah
dan tak dapat berkutik Namun demikian, kedua pengemis ini
cukup setia kawan. meski Li Bok-chiu tiada tempo buat urus
mereka lagi, tapi mereka masih terus berdiri di tempatnya dan
tak mau kabur mendahului Yo Ko.
Begitulah dengan gigih Yo Ko bertempur sejajar dengan
Yali Ce, sekuat tenaga mereka menahan serangan Li Bok-chiu
yang makin lama semakin lihay hingga akhirnya Wanyen Peng
pun sudah undurkan diri dari restoran itu.
Meski Li Bok-chiu merangsak terus dan berada di pihak
yang unggul namun dalam hati iapun gusar luar biasa.
“Kurangajar kedua bocah ini, selama hidupku siapapun tak
berani merintangi kehendakku kalau sampai Liok Bu-siang bisa
lolos, sungguh gelarku Jik-lian-sian-cu bakal lenyap tersapu
bersih,” demikian ia pikir dengan gemas.
Begitulah mereka terus bertempur mati-matian, dari loteng
restoran berpindah ke tengah jalan dan dari tengah jalan
sampai di ladang,
“Bini cilik, adikku sayang, pergi lekas, makin jauh makin
baik! Yali-sumoay, nona baju hijau, kalianpun lekas melarikan
diri, kami berdua lelaki tak nanti mati,” begitulah si Yo Ko
masih terus berteriak.
Sebaliknya Yali Ce sama sekali tak buka suara sepatah-
katapun. Usianya hanya setahun dua lebih tua daripada Nyo
Ko, tetapi yang satu bersikap keren dan sungguh-sungguh,
sedang yang lain gagah dan lincah, watak kedua pemuda ini
ternyata sama sekali berbeda.
Di lain pihak karena Siao-liong-li masih tidak muncul, Li
Bok-chiu menjadi lebih berani lagi, senjata kebutnya diputar
semakin kencang menurut keinginannya.
Betapapun juga Yo Ko dan Yali Ce memang masih selisih
jauh dibandingkan Li Bok-chiu, meski kedua pemuda itu bisa
mengeluarkan serangan yang aneh untuk mengacaukan
perhatian Li Bok-chiu, namun kini mereka berdua juga mulai
payah.
Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, pikirnya: “Tidak usah
setengah jam lagi pasti jiwa kedua orang ini akan kubereskan
semua.”
Dalam pada itu, tiba-tiba didengarnya beberapa kali suara
burung, tahu-tahu dua ekor rajawali menyamber ke atas
kepalanya.
Kedua rajawali itu ternyata sangat tangkas dan lihay,
waktu menubruk turun, debu pasir ikut bertebaran hingga
keadaan sangat mengejutkan orang.
Yo Ko kenal kedua ekor rajawali itu adalah binatang
piaraan Kwe Ceng suami-isteri dahulu waktu dirinya masih kecil
dan tinggal di Tho-hoa-to, pernah juga bermain bersama
kedua rajawali ini, ia pikir kalau kini eajawali-rajawali ini
datang, tentu pula Kwe Ceng suami-isteri berada juga di
sekitar sini, karena dirinya sudah berontak keluar dari Coan-
cin-kau, sesungguhnya tak ingin bertemu lagi dengan mereka,
maka lekas-lekas Yo Ko melompat mundur, ia keluarkan
topeng kulitnya dan dipakai segera.
Tatkala itu kedua ekor rajawali itu sudah menyerang pula
dari kanan-kiri dan terbang naik-turun dengan sengitnya
menempur Li Bok-chiu.
Ternyata ingatan kedua rajawali itu sangat baik, mereka
masih dendam terhadap timpukkan “Peng-pok-sin-ciam” yang
mengenai kaki mereka dahulu, kini pergoki Li Bok-chiu di
tengah jalan, segera juga mereka menubruk dengan sengit,
cuma kuatir merasakan lagi jarum orang yang berbisa, maka
bila Li Bok-chiu ayun tangannya segera kedua binatang itu
pentang sajap menjulang ke angkasa.
Diam-diam Yali Ce menjadi heran oleh datangnya kedua
rajawali itu, melihat binatang itu susah memperoleh
kemenangan, segera ia berseru: “Nyo-heng, mari kita maju
lagi bersama, kita keroyok dia dari atas dan bawah bersama
eajawali-rajawali itu, coba bagaimana ia akan,lawan kita?”
Dan selagi ia hendak merangsak maju, sekonyong-
konyong terdengar dari arah timur sana ramai suara derapan
kuda, seorang penunggangnya mendatangi secepat terbang.
Nyata itulah seekor kuda merah yang berkaki panjang dan
tinggi, larinya cepat tiada bandingannya, baru dengar suara
menderapnya atau tahu-tahu kudanya sudah sampai di depan.
Semua orang menjadi heran kenapa kuda ini bisa begini cepat
larinya ?
Sementara tertampak penunggangnya adalah seorang
nona berbaju merah, kuda dan penung-gangnya bagaikan
sesosok arang yang membara, hanya muka si nona yang putih
halus.
BegituIah gadis itu tarik tali kendalinya, seketika kuda
merah itu berhenti dengan cepat kuda ini bisa mendadak
berhenti sewaktu berlari keras, tanpa meringkik juga tidak
berjingkrak, kelakuannya tenang dan biasa saja, sungguh
binatang bagus yang jarang diketemukan.
Sejak kecil Yali Ce dibesarkan di daerah Mongol, tidak
sedikit kuda pilihan yang sudah dilihatnya, tetapi binatang
sebagus ini sungguh belum pernah disaksikannya, keruan
iapun luar biasa terkejutnya.
Hendaklah diketahui bahwa kuda merah ini adalah “Han-
hiat-po-ma” (kuda mestika berkeringat merah darah) yang
didapatkan Kwe Ceng secara kebetulan di gurun pasir diwaktu
mudanya.
Tatkala itu kuda merah inipun masih kecil, kini boleh
dikatakan sudah menginjak usia tua, akan tetapi binatang
bagus memang tak bisa disamakan dengan kuda biasa,
sungguhpun usianya sudah tua, namun larinya masih cepat
dan kuat tak kalah dengan masa mudanya.
Dan dengan sendirinya nona penunggangnya ini bukan
lain dari pada Kwe Hu, puteri tunggal Kwe Ceng dan Oey Yong
dari Tho-hoa-to.
Sudah beberapa tahun Yo Ko berpisah dengan Kwe Hu,
apabila ia ingat si gadis, selalu Yo Ko masih sangka Kwe Hu
adalah anak perempuan yang nakal dan sombong, siapa tahu
kini sudah berupa satu nona yang cantik jelita.
Di lain pihak, sesudah tahan kudanya, Kwe Hu saksikan
kedua burungnya sejenak menempur Li Bok-chiu, lalu ia
melirik ke arak Yali Ce, waktu sinar matanya sampai di muka
Yo Ko, dilihatnya Yo Ko memakai baju orang Mongol,
mukanya sangat jelek dan aneh karena memakai kedok, tanpa
terasa si gadis mengkerut kening, wajahnya mengunjuk rasa
hina pada Yo Ko.
Sejak kecil memangnya Yo Ko tak cocok dengan Kwe Hu,
kini setelah bertemu kembali dan melihat si gadis masih tetap
benci padanya, maka bertambah hebat rasa rendah dirinya
Yo Ko dan berduka pula. Katanya dalam hati: “Kau pandang
hina padaku, memangnya aku lantas minta-minta kasihanmu?
ilmu silat ayahmu tiada bandingannya di seluruh jagad, ibumu
juga pendekar wanita pada jaman ini, Gwakongmu adalah
maha guru ilmu silat, semua orang dari segala aliran di kolong
langit ini siapa yang tidak menaruh hormat pada
sekeluargamu itu? Akan tetapi, dimana ayah-bundaku? ibuku
hanya wanita penangkap ular pedusunan saja, ayahku pun tak
diketahui siapa dia, matinya pun tidak terang apa sebabnya.
Hm, sudah tentu aku tak bisa dibandingkan dengan kau,
memang aku dilahirkan dengan nasib malang dan harus selalu
dihina orang, kini kau menghina aku lagi, rasanya pun tidak
menjadi soal!”
Begitulah Yo Ko berdiri terpaku dan berduka hati, ia
merasa di dunia ini tiada seorangpun yang menghargai dirinya
lagi, meski hidup rasanya pun tidak berguna. Hanya Suhu
Siao-llong-li saja seorang yang bersungguh hati terhadap
dirinya, tetapi saat ini entah berada dimana sang guru itu?
Sisa hidup ini entah masih dapat bertemu tidak dengan beliau?
Sedang Yo Ko bersedih hati, tiba-tiba terdengar lagi
suara derapan kuda yang lebih riuh, kembali ada dua
penunggang mendatangi.
Kedua ekor kuda ini satu kelabu dan yang lain coklat,
meski tergolong kuda bagus juga, tetapi kalau dibandingkan
kuda merah tunggangan Kwe Hu, terang selisihnya terlalu
jauh. Tiap-tiap kuda itu ternyata ditunggangi seorang pemuda
dan semuanya mengenakan baju kuning.
“Bu-keh-koko (engkoh keluarga Bu), perempuan jahat ini
kembali kita ketemukan lagi,” segera Kwe Hu berseru pada
kedua pemuda itu.
Kiranya pemuda2 penunggang kuda ini memang adalah Bu
Tun-si dan Bu Siu-bun kakak beradik Dan begitu melihat Li
Bok-chhi, kedua saudara Bu itu terkejut.
Li Bok-chiu adalah musuh pembunuh ibu mereka, selama
beberapa tahun ini siang malam boleh dikatakan tak pernah
mereka melupakan dendam itu, siapa tahu mendadak bisa
kepergok di sini. Keruan saja mereka menjadi murka, serentak
mereka melompat turun dari kuda, pedang dan segera mereka
memapak maju tanpa bicara lagi.
“Akupun bantu kalian,” teriak Kwe Hu. iapun lolos
pedangnya dan melompat turun buat bantu kawan-kawannya.
Melihat makin lama musuh bertambah banyak, apalagi
kedua pemuda yang datang terus merangsak maju dengan
muka merah dan mata melotot seperti hendak mengadu jiwa,
bahkan Kiam-hoat yang mereka mainkan sangat bagus, terang
adalah anak murid dari guru ternama, malahan si gadis cantik
tadi ikut-ikut menyerbu juga, pedang yang dipakai gemilapan
menyilaukan mata, ternyata adalah sebatang Pokiam atau
pedang pusaka, begitu juga Kiam-hoat yang dilontarkan lihay
luar biasa. Tentu saja Li Bok-chiu terkesiap oleh semuanya ini.
“He, kau adalah nona keluarga Kwe dari Tho-hoa-to,
bukan?” tanyanya segera.
“Kau kenal juga padaku!” sahut Kwe Hu tertawa sambil
melompat ke atas terus menusuk cepat.
“Hmm, sungguh sombong kau bocah perempuan ini”,
jengek Li Bok-chiu dalam hati, sembari kecutnya menangkis.
“Dengan sedikit kepandaianmu ini, kalau bukannya keder
terhadap orang tuamu, jangan kata kau hanya satu, meski
sepuluh orang pun sekaligus kumampuskan semua.”
Selagi ujung kebutnya diayun hendak melilit pedang
orang, sekonyong-konyong ada angin tajam menyamber lagi
dari samping.
Harus diketahui bahwa ilmu silat kedua saudara Bu dan
Kwe Hu adalah sama-sama ajaran Kwe Ceng sendiri, ketiga
muda-mudi ini tinggal setempat di Tho-hoa-to, Kiam-hoat
yang mereka pelajari adalah serupa, oleh sebab itu setiap
gerak serangan mereka bisa bekerja sama dengan rapat
sekali.
Di-tambah lagi ada kedua rajawali ikut mengerubut hingga
Li Bok-chiu rada kerepotan, sebenarnya kalau lewat sedikit
lama lagi pasti salah satu diantara mereka bisa dirobohkan Li
Bok-chiu dan tinggal dua yang lain tentu sukar buat
selamatkan diri.
Tetapi Li Bok-chiu berhadapan dengan orang banyak, ia
kuatir kalau lawannya mengerubut maju semua, inilah susah
baginya untuk melayani apalagi kalau Kwe Ceng suami-isteri
menyusul datang lagi inilah lebih celaka baginya.
Karena pikiran itulah, begitu kebutnya menyabet lagi,
dengan tertawa ia berkata: “Lihatlah sekarang, biar nonamu
unjuk permainan joget monyet!”
Menyusul itu kebutnya menyamber ber-turut-urut enam
kali, setiap serangannya selalu mengincar tempat-tempat yang
berbahaya, maka Kwe Hu dan Bu-si Hengte didesak hingga
kelabakan dan tiada hentinya melompat-lompat menghindari
tampaknya menjadi seperti monyet.
Kemudian Li Bok-chiu menyabet lagi sekali dengan keras,
lalu ia putar tubuh sambil berseru: “Ling-po, marilah pergi!” -
Habis itu, guru dan murid inipun kabur ke arah barat laut.
“Haha, Bu-si-koko, ia ketakutan pada kita, hayo, kejar
lekas!” teriak Kwe Hu.
Selesai berkata, dengan pedang terhunus iapun mengudak
cepat Dengan ilmu entengkan tubuh segera Bu-si Hengte
menyusul juga.
Namun larinya Li Bok-chiu dan Ang Ling-po ternyata cepat
luar biasa, tampaknya mereka berlenggang kangkung
seenaknya, tetapi sedikitpun tiada debu yang mengepul di
bawah kaki mereka, meski Kwe Hu dan Bu-si Hengte “tancap
gas” sekencang-kencangnya, namun jarak diantara mereka
dengan Li Bok-chiu berdua makin lama semakin jauh.
Hanya kedua ekor rajawali itulah yang masih bisa
menyandak orang, kadang-kadang kedua binatang itu masih
menubruk kebawah buat memagut.
Agaknya Bu Tun-si lebih bisa berpikir, ia tahu harapan
membalas dendam hari ini tak mungkin bisa terlaksana, maka
dia bersuit panjang memanggil kembali kedua rajawali itu.
Karena kuatir ketiga orang itu terjadi sesuatu, maka Yali
Ce dan lain-lainnya ikut menyusul juga. Demi nampak Kwe Hu
dan Bu-si Hengte sudah balik kembali, segera mereka saling
memberi hormat Dan karena mereka sama-sama berwatak
muda, maka begitu bicara merekapun sangat cocok satu sama
lain.
“He, dimanakah Nyo-heng?” seru Yali Ce tiba-tiba teringat
pada Yo Ko.
“Seorang diri dia sudah pergi,” kata Wanyen Peng, “Aku
tanya dia hendak ke mana, tetapi dia tak gubris lagi padaku.”
Habis berkata, Wanyen Peng menunduk kesal
Waktu Yali Ce berlari ke atas tanah tinggi buat
memandang, ia lihat si gadis baju hijau itu sedang jalan
berendeng dengan Liok Bu-siang dan sudah rada jauh, karena
mereka sedang bercakap dengan asyiknya, maka tak enak Yali
Ce hendak manggilnya, sebaliknya bayangan Yo Ko sama
sekali tak kelihatan.
Sesaat itu perasaan Yali Ce seakan-akan kehilangan
sesuatu saja. Meski baru pertama kali ini ia bertemu Yo Ko,
tetapi melihat ilmu silatnya tinggi dan wataknya jujur terus
terang, sekali bertemu saja rasanya sudah sangat cocok,
walaupun didengarnya Li Bok-chiu menista orang berbuat
sesuatu yang tak senonoh dengan gurunya, tetapi betapapun
juga rasa persahabatannya dengan Yo Ko menangkan
pandangan hina karena kata-kata Li Bok-chiu itu. ia pikir:
“Seorang muda gagah perkasa seperti dia (Yo Ko) ini
sesungguhnya susah diketemukan. Seumpama betul-betul ada
sesuatu perbuatannya yang kurang baik, kalau aku menasihati
dia dan asal dia mau perbaiki diri, rasanya masih belum
kecewa sebagai seorang Laki-laki sejati.”
Dan kini mendadak Yo Ko pergi tanpa pamit, Yali Ce
menjadi seperti kehilangan seorang sahabat lama.
Kiranya tadi waktu Yo Ko melihat Bu-si Heng-te menyusul
datang dan bersama Kwe Hu mengeroyok Li Bok-chiu,
kelakuan ketiga muda-mudi itu seperti rapat dan rukun sekali,
Kiam-hoat merekapun bagus luar biasa hingga dalam
beberapa gebrak saja sudah bikin Li Bok-chiu melarikan diri.
Ia tidak tahu larinya Li Bok-chiu sebab takut pada Kwe
Cing dan Oey Yong, sebaliknya ia menyangka Kiam-hoat ketiga
orang itu yang membikin Li Bok-chiu dipaksa kabur.
Pikiran ini disebabkan dahulu waktu Yo Ko diantar ke
Cong-lam-san oleh Kwe Ceng, di sana Kwe Ceng telah unjuk
ketangkasannya mengalahkan tidak sedikit imam dari Coan-
cin-kau, ilmu silat yang sangat tinggi itu terlalu berkesan
dalam hati kecilnya Yo Ko, oleh sebab itu ia pikir murid
ajaran Kwe Ceng sudah tentu kepandaiannya berpuluh kali
lebih hebat dari pada dirinya.
Begitulah makin dipikir makin mendongkol teringat lagi
oleh Yo Ko dahulu di Tho-hoa-to telah dihajar Bu-si Hengte
babak belur sampai sembunyi di dalam gua semalam sehari
pula terpikir olehnya Oey Yong sengaja tak mau mengajarkan
ilmu silat padanya, sebalikiya Kwe Ceng malah mengirim
dirinya ke Tiong-yang-kiong untuk disiksa oleh kawanan imam
jahat itu, semuanya ini membikin perasaannya bergolak
ditambah lagi dilihatnya Wanyen Peng, Liok Bu-siang dan si
gadis baju hijau serta Yali Ce sedang memandang kepada
dirinya dengan muka yang sangsi-sangsi, Yo Ko sendiri
berpikir pula. “Hm, tentu kalian mengejek dan pandang hina
padaku!”
Begitulah timbul rasa benci pada dirinya Yo Ko,
mendadak ia angkat kaki dan lari seperti keranjingan setan,
iapun tidak turuti jalanan umum, melainkan alas pegunungan
yang diterobosnya tanpa tujuan.
Dalam keadaan kehilangan pribadinya itu, Yo Ko anggap
di seluruh kolong langit semua orang bermusuhan padanya,
padahal mukanya memakai kedok kulit, meski wajahnya
berubah, Wanyen Peng dan lain-lain mana bisa
mengetahuinya?
Kenapa tanpa sebab orang mengejek dan menghina
padanya?
Sebenarnya Yo Ko dari utara hendak menuju ke selatan,
tetapi kini karena ingin bisa tinggalkan orang-orang itu sejauh
mungkin, maka dia malah balik menuju ke jurusan utara.
Dalam kusutnya pikiran dan benci pada sesamanya, Nyo
Ko tanggalkan kedok yang dia pakai terus gentayangan
seorang diri diantara pegunungan yang sepi, kalau perutnya
lapar, ia petik buah2-an untuk mengisi perut.
Semakin jalan semakin jauh dan makin lamapun makin
menanjak tinggi. Tiada sebulan, kondisi badan Yo Ko sudah
berubah hebat, kini tubuhnya mulai kurus kering, pakaiannya
compang-camping tak terurus, akhirnya iapun berada di
sebuah gunung besar yang tinggi.
Ia tidak tahu bahwa waktu itu dirinya berada di atas Hoa-
san (gunung Hoa), satu diantara lima gunung terbesar di
kolong langit ini, ia lihat keadaan gunung sangat curam dan
terjal, tetapi dengan perasaan beku, ia justru makin menanjak
ke atas ke bagian yang tertinggi.
Walaupun Ginkang Yo Ko sangat tinggi, tetapi Hoa-san
adalah pegunungan yang terkenal terjalnya di kolong langit
ini, kalau hendak ditanjaki begitu saja oleh Yo Ko rasanya tak
dapat dilakukannya dengan mudah.
Dan baru dia sampai di tengah gunung atau cuaca menjadi
gelap, awan mendung menutup tebal, menyusul mana
turunlah hujan salju yang berhamburan.
Tetapi dalam keadaan masgul, Yo Ko justru semakin
menyiksa diri se-bisa-bisanya, bukannya dia mencari tempat
meneduh, tetapi semakin besar turunnya salju, ia melanjutkan
perjalanan semakin nekad ke tempat yang paling curam dan
berbahaya, sampai hari sudah gelap, turunnya salju
bertambah lebat hingga jalanan sangat licin dan susah dikenali
lagi.
Dalam keadaan begitu, kalau sedikit salah langkah saja,
dapat dipastikan Yo Ko akan tergelincir ke dalam jurang dan
badan hancur lebur.
Namun demikian, sama sekali hal mana tak dipikirkan Nyo
Ko, ia pandang jiwanya waktu itu seperti tiada harganya dan
masih terus menanjak ke atas dengan nekat.
Tak lama pula, tiba-tiba Yo Ko dengar di belakangnya
ada suara gemerisik yang sangat pelahan sekali seperti ada
sesuatu binatang yang berjalan di tanah salju itu. Waktu Nyo
Ko menoleh, tiada sesuatu yang dilihatnya, tetapi di tanah
salju itu tertampak ada serentetan bekas tapak kaki disamping
bekas tapak kaki dirinya sendiri.
Yo Ko terperanjat melihat bekas tapak kaki itu, terang
ada orang sedang menguntit dirinya, tetapi waktu ia menoleh
kenapa tak sesuatu bayangan yang dilihatnya? Kalau dibilang
setan seharusnya tidak sampai meninggalkan bekas kaki,
tetapi bila manusia, kenapa gerak tubuhnya bisa begitu cepat
dan mendadak menghilang ?
Sesudah merandek sejenak, kemudian Yo Ko berjalan
lagi, tetapi baru belasan tindak, suara gemerisik di
belakangnya berbunyi pula, nyata sekali itu adalah suara
orang yang berjalan di atas salju.
Mendadak Yo Ko menoleh lagi, dengan tindakan yang
cepat dan diluar dugaan ini, ia pikir sekali ini pasti bisa tahu
siapakah gerangan orang itu.
Siapa duga, tetap yang dia lihat hanya dua baris bekas
kaki saja di tanah salju, sedang ujung baju orang sedikitpun
tak tertampak olehnya.
Kalau orang lain, menghadapi keadaan begitu,
sungguhpun ilmu silatnya tinggi, tentu juga akan merasa takut
dan mengkirik, tetapi Yo Ko sudah tak sayangkan jiwanya
lagi, ia malah sangat ketarik oleh kejadian itu, ia justru ingin
cari tahu sampai ke-akar2nya. ia pikir di sekitarnya tiada
tumbuh pepohonan dan tempat-tempat lain yang bisa dibuat
sembunyi pada sebelah adalah gunung tinggi dan sebelah lain
adalah jurang, apa mungkin orang itu bisa terbang ke atas?
sekalipun bisa terbang pasti akan kelihatan juga!
Begitulah sambil jalan sembari Yo Ko memikir, sementara
itu suara gemerisik di belakang terdengar berjangkit lagi.
“Orang ini pasti berilmu silat sangat tinggi, begitu melihat
pundakku bergerak, segera ia tahu aku akan berpaling terus
mendahului sembunyi” demikian Yo Ko membatin, “Sekali ini
biar pundakku tak bergerak, coba dia bisa lari kemana lagi?”
Lalu dengan tabah ia merangkak ke atas pula, satu saat,
mendadak ia membungkuk ke depan dan memandang ke
belakang melalui sela selangkangan.
Gaya ini adalah ajaran Auwyang Hong diwaktu melatih
ilmu secara menjungkir itu, karena sudah biasa dilatihnya,
cara membungkuk dan memandang ke belakang tadi
dilakukan dengan kecepatan luar biasa, maka sekilas dapat
dilihat olen Yo Ko ada satu bayangan orang melesat ke
dalam jurang.
“Haya, celaka, sekali ini bisa tewas dia,” teriak Yo Ko
dalam hati saking kaget.
Ketika ia melongok ke dalam jurang, tiba-tiba dilihatnya
ada satu orang dengan sebuah jari tangan saja menggantol di
tepian batu dengan tubuhnya tergantung Kiranya beberapa
kali orang itu menggoda dan selalu dengan cara demikianlah
orang ini menyembunyikan diri.
Melihat orang sanggup menggunakan satu jari saja untuk
menahan bobot tubuhnya dan tergantung di udara yang
beralaskan jurang, sesungguhnya kepandaian orang sudah
sampai taraf yang tak dapat diukur.
Oleh karenanya, dengan laku sangat hormat Yo Ko
membungkuk tubuh dan berkata : “Silakan naiklah
Locianpwe!”
Sekonyong-konyong orang itu ketawa terbahak-bahak,
begitu keras hingga lembah pegunungan seakan-akan
bergemuruh, ketika jari tangannya menarik, orangnya seperti
burung saja lantas meloncat naik dari tebing jurang itu.
“Apa kau begundalnya Ngo-kui dari Tibet? Kenapa tengah
malam buta berkeliaran di sini?” mendadak ketawa orang itu
berubah membentak.
Karena bentakan orang yang tanpa sebab tiada alasan ini,
seketika Yo Ko tersinggung lagi perasaannya hingga
mendadak ia menangis tergerung-gerung, terkenang oleh
nasibnya yang malang hingga selalu dihina orang, seorang
Siao-liong-li yang dihormati dan dicintai itu tanpa sebab pula
telah mendamperat padanya dan selanjutnya tak dapat bersua
lagi, saking dukanya hingga menangisnya makin men-jadi2
seakan-akan seluruh kesedihan dari dahulu hingga sekarang
hendak dilampiaskan dalam tangisnya ini
Melihat Yo Ko mendadak menggerung-gerung mula-mula
orang itu rada tercengang, tetapi demi mendengar tangis
orang makin lama semakin duka, ia merasa heran puk, Melihat
tangis Yo Ko men-jadi2 dan tiada habis-habisnya, mendadak
ia tertawa panjang sekeras-kerasnya, paduan suara tertawa
dan menangis ini menjadi begitu hebat hingga saling
berkumandang di antara Iebah2 pegunungan itu, sampai
gumpalan2 salju sama longsor oleh karena geloranya.
“Dan kau menangisi apa?” balas tanya orang itu tetap
tertawa.
Sebenarnya Yo Ko masih hendak memaki orang dengan
kata-kata kasar, syukur segera teringat olehnya ilmu silat
orang yang tak terukur tingginya itu, seketika api amarahnya
ditahan, malahan dengan hormat sekali ia menjura.
“Siaujin (aku yang rendah) Yo Ko memberi hormat pada
Locianpwe,” demikian sapanya.
Tangan orang itu memegang sebatang tongkat bambu,
tiba-tiba ia mencungkit pelahan lengan Yo Ko, tanpa terasa
tahu-tahu Yo Ko “telah terbanting kebelakang meski tenaga
tongkat orang tak berapa besar.
Menurut daya bantingan itu, seharusnya Nyo-Ko akan
terbanting hingga tak sanggup berdiri lagi, namun pemuda ini
sudah biasa dilatih Ha-mo-kang atau ilmu weduk katak
dengan tubuh menjungkir, maka di tengah udara ia masih bisa
berjumpalitan, lalu dengan tegak ia berdiri kembali Kejadian
ini sama-sama diluar dugaan kedua orang.
Dengan ilmu silat Yo Ko sekarang ini, sekali serang
hendak bikin pemuda ini terjungkal biarpun tokoh seperti Li
Bok-chiu atau segolongan Khu Ju-ki, rasanya juga tak nanti
bisa, Melihat usia Yo Ko semuda ini sudah melatih silat
sampai tingkat begini tinggi dalam hati orang itu menjadi
sangat kagum.
“Apa yang kau tangisi tadi?” demikian orang itu bertanya lagi
Yo Ko amat-amati orang, ia lihat orang adalah kakek2
yang rambut jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya
compang-camping seperti seorang pengemis, walaupun
malam gelap, namun di bawah pantulan sinar salju yang
memutih, lapat-lapat terlihat mukanya yang merah bercahaya,
semangatnya pun masih menyala-nyala, tanpa terasa Yo Ko
sangat menaruh hormat padanya.
“Aku adalah seorang yang bernasib malang, hidup di jagat
ini sesungguhnya tiada gunanya, lebih baik mati saja beres,”
sahutnya kemudian.
“Siapakah yang bikin susah kau, coba katakan pada
Kongkong (kakek),” kata si pengemis tua itu.
“Ayahku dibunuh orang, tetapi aku tak tahu siapa
pembunuhnya, ibuku pun mati digigit ular, di dunia ini tiada
orang lagi yang sayang dan cinta padaku,” sahut Yo Ko.
“Em, sebatangkara, sungguh harus dikasihani,” ujar si
pengemis,tua, “Dan siapakah gurumu yang mengajarkan ilmu
silat padamu?”
Dengar orang menanyakan Suhunya, pikir Yo Ko:
“Resminya Kwe-pekbo adalah guruku, tetapi sedikitpun ia tak
ajarkan ilmu silat padaku. Para imam busuk Coan-cin-kau itu
lebih menggemaskan pula, Auwyang Hong adalah ayah angkat
dan bukan guruku, sedang Kokoh yang telah ajarkan ilmu silat
padaku, kini telah berakhir dengan demikian ini, mana bisa
kuceritakan hal ini pada orang luar?” Ong Tiong-yang Siansu
(guru marhum) dan Lim-popoh menurunkan ilmu padaku
melalui ukiran-ukiran di kamar kuburan itu, rasanya juga
belum dapat dikatakan sebagai Suhuku, sungguhpun guruku
begitu banyak, tetapi satupuh ternyata tak bisa di-sebutkan.”
Demikianlah pertanyaan pengemis tua itu jadi menusuk
perasaannya lagi hingga mendadak ia me-nangis2 tergerung-
gerung pula, “Aku tak punya Suhu, aku tak punya Suhu!” ia
berteriak-teriak.
“Baiklah, baiklah! Kau tak mau mengaku juga tak
mengapalah!” ujar pengemis tua.
“Bukan aku tak mau katakan, tetapi aku tak punya,” sahut
Yo Ko terguguk-guguk.
“Tidak punya ya sudah, perlu apa menangis lagi?” kata si
pengemis tua. “Melihat kau berjalan seorang diri di malam
gelap, tadi aku sangka kau adalah begundalnya Ngo-kui dari
Tibet, kini ternyata bukan, biarlah Lokiauhoa (pengemis tua)
terima kau sebagai murid saja.”
Kiranya orang ini bukan lain dari pada Kiu-ci-sin-kay Ang
Chit-kong, Si pengemis sakti berjari sembilan, namanya sejajar
dengan Tang-sia, Setok, Lam-te dan Ong Tiong-yang.
Dahulu sesudah kedudukan Pangcu (ketua persatuan
pengemis) dia turunkan pada Oey Yong, lalu seorang diri ia
merantau ke timur dan ke barat untuk mencari makanan2
yang paling aneh dan enak seluruh jagat.
Memang ciri satu-satunya Ang Chit-kong yalah suka
makan, untuk mencari makanan enak, ia tak segan-segan
memasuki keraton raja untuk mencuri masakan yang ingin
dicicipinya itu, jadi sebelum raja makan, setiap masakan tentu
dia cicipi dahulu.
Bahkan untuk penganan enak ia tidak sungkan untuk
berebut tanpa pikirkan akibat-nya, saking rakusnya terhadap
penganan, suatu kali dalam gemasnya ia sampai hukum
dirinya sendiri dengan memotong sebuah jari telunjuk, oleh
karena inilah ia disebut “Kiu-ci-sin-kay” atau Si-pengemis sakti
berjari sembilan, walaupun demikian, toh cirinya yang rakus
itu masih belum bisa hilang,
Begitulah, oleh karena daerah Kwitang terkenal nyaman
dan paling banyak terdapat makanan yang aneh-aneh, maka
Ang Chit-kong sampai di propinsi ini, ia menjadi kerasan dan
sudah belasan tahun tak pernah kembali ke daerah utara lagi.
orang-orang Bu-lim menyangka usia Ang Chit-kong sudah
lanjut, mungkin sudah lama wafat, siapa tahu ia justru hidup
sehat di Kwitang merasai segala macam penganan di mulai
dari sebangsa semut, tikus sampai ular-ular berbisa dan lain
sebagainya semua dimakannya, rejeki mulutnya sungguh tidak
sedikit.
Tahun itu dua “Kui” dari Cong-pian-ngo-kui” atau lima
momok dari Tibet melakukan pembunuhan se-wenang2 di
Kwitang, Dasar Ang Chit-kong benci pada kejahatan seperti
musuhnya, sebenarnya kedua Kui atau kedua momok itu
sekaligus hendak dibunuhnya, tapi karena ingin juga sekalian
bisa bereskan yang lain-lain, maka sengaja ia kuntit orang, ia
tunggu bila kelima momok itu sudah berkumpul semua baru
sekaligus akan dibasminya semua, siapa tahu karena
menguntitnya itu akhirnya sampai di atas Hoa-san.
Waktu itu, empat momok dari Tibet itu sudah berkumpuI,
hanya Toa Kui, si momok pertama, yang belum datang, siapa
tahu di tengah malam Yo Ko yang dia ketemukan di tanah
salju itu, kini mendengar pemuda ini begitu sedih menangis,
tiba-tiba hatinya tertarik dan hendak-terima Yo Ko sebagai
murid.
Selama hidup Ang Chit-kong, murid yang diterimanya
secara resmi hanya Kwe Ceng dan Oey Yong berdua, kini entah
mengapa, tiba-tiba ia mengatakan sendiri ingin terima Yo Ko.
ia pikir bocah ini pasti girang luar biasa dan menghaturkan
terima kasih.
Siapa tahu, sedikitpun Yo Ko tak pernah melupakan Siao-
liong-li, ia sudah ambil keputusan tak mau lagi mengangkat
guru “yang kedua.
Sebab itulah ia telah geleng-geleng kepala dan menjawab
: “Terima kasih atas maksud baikmu, tetapi aku tak mau
angkat kau sebagai guru.”
Jawaban Yo Ko ini sangat mengherankan Ang Chit-kong,
dasar pengemis tua ini wataknya sangat berkeras pada kata-
katanya sendiri, maka ia bilang lagi: “Kau tak mau angkat
guru padaku, tetapi aku justru ingin kau menjadi muridku.”
“Kau mau pukul mati aku, boleh silakan memukul saja,
tetapi ingin aku angkat guru, itulah tidak bisa,” sahut Yo Ko
tetap.
Nampak tabiat orang sama kerasnya dan kukuh pada
pendiriannya sendiri, Ang Chit-kong bertambah suka padanya.
“Sudahlah, kita jangan bicara urusan ini dulu, agaknya
kaupun sudah lapar, marilah kita makan dulu baru berunding
lagi,” katanya,
Habis itu, ia berjongkok di tanah salju dan menggaruk-
garuk untuk mendapatkan beberapa kayu kering, dengan
inilah lalu dinyalakan api.
“Hendak makan masakan apakah kita?” tanya Yo Ko
sambil bantu orang mengumpulkan kayu,
“Kelabang!” sahut Chit-kong singkat
“Kelabang? Ah, mana mungkin!” demikian Yo Ko pikir, ia
sangka orang cuma berguyon saja, maka ia hanya tersenyum
dan tak tanya Iagi.
“Dengan susah payah aku kintil Cong-pian Ngo-kui dari
Linglam (nama lain dari Kwitang) sampai di Hoa-san sini, kalau
tidak mencari beberapa macam makanan enak yang aneh-
aneh, rasanya tak enak terhadap kawanku ini!” kata Chit-kong
sambil tepuk-tepuk perut sendiri.
Yo Ko lihat perawakan pengemis tua ini kekar kuat,
hanya perutnya yang rada gendut
“Hoa-san adalah tempat yang paling teduh, tempat paling
dingin di kolong langit ini, produksi kelabangnya adalah paling
gemuk dan halus pula.
Hawa di Kwitang sebaliknya panas, segala makhluk hidup
di sana lebih cepat tumbuh besar, maka daging kelabangnya
pun rada kasar,” demikian Ang Chit-kong mencerocos pula
dengan teori ilmu makannya
Mau-tak-mau Yo Ko rada heran mendengar orang
berkata secara sungguh-sungguh dan kelihatan bukan
bergurau belaka.
Sembari berkata Ang Chit-kong tambahi kayu pada api
unggunnya, kemudian ia keluarkan sebuah wajan kecil dari
buntalannya dan ditaruh di atas api, ia mengepal dua
gelondong salju dan dimasukkan kedalam wajan.
“Mari ikut pergi mengambil kelabang,” kata-nya. Selesai
berkata, sekali melesat, tahu-tahu orangnya sudah melompat
ke atas tebing gunung setinggi lebih dua tombak.
Melihat tebing gunung itu begitu terjal, seketika Yo Ko
ragu-ragu tak berani ikut manjat ke atas.
“Anak tak berguna, lekas naik sini!” seru Ang Chit-kong.
Yo Ko paiing benci kalau ada orang pandang hina
padanya, kini dikatai tak berguna oleh Ang Chit-kong, tiba-tiba
ia kertak gigi terus ikut merangkak ke atas.
“Hm, memangnya aku sudah tak pikirkan mati atau hidup
lagi, biarkan mati tergelincir juga tak apalah,” diam-diam ia
berpikir.
Karena marahnya itu, nyalinya menjadi besar, Ginkang
yang dia keluarkan bisa digunakan lebih hebat, maka dengan
kencang ia ikut di belakang Ang Chit-kong, meski tempat-
tempat yang paiing curam dan berbahaya, akhirnya dapat
dipanjatnya juga.
Hanya sebentar saja mereka berdua sudah memanjat
sampai di atas puncak gunung yang tak pernah diinjak
manusia.
Melihat Yo Ko memiliki Ginkang yang bagus dan hatinya
begitu tabah, Ang Chit-kong menjadi tambah suka padanya.
“Anak bagus, tak bisa tidak aku harus terima kau sebagai
murid,” demikian ia memuji.
“Terima kasih Locianpwe, kalau locianpwe ada perintah
apa-apa, siaujin tidak nanti bantah, tentang soal angkat guru,
harap jangan disebut puIa,” sahut Yo Ko.
Ang Chit-kong tahu pasti ada ganjelan hati orang yang
sukar diucapkan, sebenarnya ia hendak menanya, tetapi
teringat akan makanan enak yang harus diberi “prioritas” lebih
dulu, maka cepat ia mendekati sebuah batu padas, ia gali
tanah di bawah batu itu, maka tertampaklah seekor ayam jago
yang sudah mati
Luar biasa herannya Yo Ko.
“Eh, kenapa ada bangkai ayam jago disitu?” katanya
heran, Namun iapun segera mengerti: “Ah, engkau sendirilah
yang memendamnya.”
Ang Ching-kong tak menjawab, ia hanya tersenyum dan
angkat bangkai ayam jago itu.
Mata Yo Ko sudah terlatih memandang di waktu malam,
apalagi kini di bawah sorotan sinar salju yang membalik itu,
maka tertampaklah olehnya di bawah perut bangkai jago itu
penuh lengket beratus ekor kelabang yang panjangnya rata2
belasan senti dengan warna merah-hitam yang belang-
bonteng.
Sejak kecil Yo Ko sudah berkawan dengan ular,
sebenarnya ia tidak takut terhadap binatang berbisa, tetapi
demi mendadak nampak kelabang sebanyak ini, saking
seramnya tidak urung ia mengkirik juga.
“Haha,” sebaliknya Ang Chit-kong lantas tertawa riang,
“Kelabang ini memang musuh kawakan ayam jago, kemarin di
sini sengaja kupendam seekor bangkai jago, betul saja
keIabang2 ini kena dipancing datang semua.”
Habis ini diapun mengeluarkan kain pembungkus, bangkai
ayam jago berikut kelabang2 yang masih melengket itu ia
buntal seluruhnya, lalu dengan riang gembira ia merosot turun
dari puncak gunung itu.
“Apa benar-benar akan makan kelabang? Kalau melihat
sikapnya, tampaknya bukannya sengaja buat menakuti aku,”
pikir Yo Ko diam-diam sambil ikut di belakang orang.
Sementara itu air salju yang digodok dengan wajan Ang
Chit-kong tadi sudah mendidih, Ang Chit-kong buka
buntalannya tadi, ia tarik ekor tiap-tiap ke!abang dan
dicemplungkan ke dalam wajan. Kelabang2 itu semula
kerupukan dalam air mendidih, tapi sekejap saja lantas kaku
dan tak berkutik.
“Sebelum mati, kelabang2 ini telah muntahkan semua
racun yang berada padanya, oleh sebab itu, air salju dalam
wajan ini luar biasa jahat bisanya,” ujar Chit-kong.
Kemudian ia gali sebuah lobang di tanah salju itu, ia tuang
air berbisa itu ke dalamnya, saking dingin suhu di atas gunung
ini, maka sebentar saja air beracun itu sudah membeku
menjadi es.
Habis itu Ang Chit-kong keluarkan sebilah pisau kecil, ia
potong kepala dan buntut tiap-tiap kelabang, lalu dipelocoti
satu per satu, dengan gampang saja kulit kelabang2 itu
mengelotok hingga daging kelabang kelihatan putih bersih
seperti daging udang.
“Dengan caranya rnengolah ini, boleh jadi memang dapat
dimakan?” demikian pikir Yo Ko, akhirnya ia jadi ketarik.
Ia lihat Ang Chit-kong menggodok lagi dua wajan air salju,
daging kelabang itu dia cuci bersih tanpa ketinggalan setetes
air racun, habis itu ia keluarkan lagi beberapa kaleng kecil dari
buntalannya Kaleng2 kecil ini ternyata berisi bumbul masak
sebangsa minyak, garam, kecap, cuka dan lain-lain. Lebih dulu
wajan dibikin panas dengan minyak mendidih, kemudian
daging kelabang itu dituang ke dalamnya untuk digoreng,
begitu daging kelabang itu masuk wajan, maka terciumlah bau
sedap yang bikin orang mengilar.
Melihat macamnya Ang Chit-kong yang berulang kali telan
air liur, biji lehernya tampak naik turun, sifat rakusnya nyata2
kelihatan, mau-tak-mau Yo Ko terheran-heran dan merasa
geli pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar