Kembalinya Pendekar Rajawali 25
Nampak orang melarikan diri, Li Bok-chiu
pikir: “Kalian
sudah terkena aku punya pukulan maut, di
jagat ini kecuali It-
ting Taysu tiada lagi yang mampu mengobati,
jika Pangcu
kalian inginkan jiwa kalian tentu dia akan
menurut dan
serahkan Ngo-tok-pit-toan padaku. Tapi, nah,
celaka, kalau
mereka menyalin kitab itu dan kitab aslinya
baru dikembalikan
padaku, bukankah aku kena ditipu
mentah-mentah?”
Segera ia berpikir pula: “Memang celaka,
padahal segala
macam cara memunahkan racun pukulan dan
senjata rahasia,
semuanya sudah kutulis di dalam kitab itu
dengan jelas, kalau
mereka sudah dapat memiliki kitab itu, buat
apa mereka
datang memohon pertolonganku?”
Teringat akan itu, tanpa terasa mukanya
menjadi pucat,
begitu tubuhnya melesat, tahu-tahu ia
mencelat dan
menghadang di tengah tangga di depan kedua
pengemis yang
sedang melarikan diri itu.
Begitu kedua tangannya bekerja, susul
menyusul dua kali
pukulan telah paksa kedua pengemis itu balik
lagi ke atas
loteng.
Tindakan Li Bok-chiu ternyata cepat luat
biasa, hanya
terlihat bayangannya berkelebat tahu-tahu
sebelah lengan
salah satu pengemis sudah dia pegang terus
ditekuk
sekuatnya, maka terdengarlah suara gemelutuk,
tulang lengan
orang sudah patah hingga tangannya melambai
ke bawah
dengan lemas.
Tentu saja pengemis yang lain sangat kaget,
tetapi
disinilah terbukti betapa setia kawan antara
kaum pengemis
itu, bukannya dia melarikan diri, sebaliknya
ia menubruk maju
untuk melindungi kawannya yang terluka,
ketika melihat Li
Bok-chiu merangsak maju lagi, kontan iapun
mendahului
memukul.
Tak terduga, kembali tangan Li Bok-chiu
bergerak pelahan,
kepalan si pengemis yang memukul ini kena
ditangkapnya dan
sekalian pula ditekuk, maka tulang lengannya
segera senasib
dengan kawannya, kena dipatahkan lagi.
Hanya sekali gebrak saja kedua pengemis itu
sudah
dihajar Li Bok-chiu hingga luka parah, maka
insaflah mereka
bahwa hari ini mereka tentu celaka, namun
demikian, mereka
tidak menyerah mentah-mentah, dengan punggung
menempel
punggung mereka berdempetan satu sama lain
dan dengan
sebelah tangan masing-masing yang masih sehat
itu siap
menempur musuh.
“Kalian berdua baiknya tinggal di sini dulu,
tunggu saja
Pangcu kalian datang sendiri dengan membawa
kitabku itu
untuk tukar menukar,” terdengar Li Bok-chiu
berkata dengan
lembut.
Melihat orang habis berkata terus kembali ke
mejanya
buat minum arak, malahan duduknya mungkur ke
arah
mereka, maka kedua pengemis itu menggeser
pelahan ke tepi
tangga dengan maksud kalau ada kesempatan
terus hendak
kabur. Tak terduga mendadak Li Bok-chu
berpaling.
“Tampaknya tulang kaki kalian berdua harus
dipatahkan
juga, dengan begitu baru kalian kerasan
tinggal di sini.”
katanya dengan tersenyum, sembari berkata
iapun berdirilah.
“Suhu, biarlah aku, menjaga mereka, tak nanti
mereka
bisa kabur,” tukas Ang Ling-po trba2. Rupanya
ia tak tega
juga melihat kekejian sang guru.
“Hm, bajik juga hatimu,” jengek Li Bok-chiu,
perlahan-
lahan ia masih terus mendekati kedua pengemis
itu.
Saking murkanya mata kedua pengemis itu merah
berapi,
mereka sudah ambil keputusan tiada jalan lain
daripada adu
jiwa dengan musuh.
Sejak tadi Yali Ce kakak beradik hanya
menonton dengan
tenang, watak mereka berdua sebenarnya sangat
keras, kini
tak tahan lagi, serentak mereka berdiri.
“Sam-moay, lekas kau pergi, perempuan ini
terlalu lihay,”
dengan suara pelahan Yali Ce pesan adiknya.
“Dan kao?” tanya Yali Yen.
“Sesudah tolong kedua pengemis ini, segera
aku melarikan
diri,” sahut Yali Ce.
Biasanya Yali Yen menjunjung sang kakak ini
bagai
malaikat dewata, tetapi kini mendengar
orangpun nanti akan
selamatkan diri dalam hati si gadis menjadi ragu-ragu.
Pada saat itulah, dengan keras mendadak Yo Ko
gebrak
meja, lalu didekatnya Yali Ce.
“Yali-heng (saudara Yali), marilah kita turun
tangan
bersama untuk menolong orang, bagaimana?”
ajak Yo Ko.
Melihat Yo Ko mengenakan pakaian Mongol dan
mukanya
sangat jelek, Yali Ce merasa belum pernah
kenal orang
demikian ini, ia pikir kalau orang berada
bersama Wanyen
Peng, tentu saja kenal siapakah dirinya.
Tetapi ilmu silat Li Bok-chiu sudah dia
saksikan tadi, ia
yakin tak bisa menandinginya, kalau
sembarangan turun
tangan, itu berarti antar jiwa belaka, oleh
karena itu, seketika
ia ragu-ragu tak menjawab ajakan Yo Ko tadi.
Di lain pihak demi mendengar Yo Ko membuka
suara,
segera Li Bok-chiu mengamat-amati si pemuda
dari kepala
sampai ke kaki dan sebaliknya, ia merasa lagu
suara orang
sudah dikenalnya entah dimana.
Akan tetapi muka orang begitu rupa, kalau
pernah
dikenalnya, tidak mungkin bisa melupakannya,
maka dapat
dipastikan memang belum pernah kenal.
“Aku tak bersenjata, terpaksa harus pinjam
dulu,”
sementara Yo Ko berkata lagi.
Habis itu, mendadak tubuhnya melesat cepat,
ia
menyerempet lewat samping Ang Ling-po, wak-tu
tangannya
menguIur, tahu-tahu kerangka pedang yang
tergantung di
pinggang orang sudah dia ambil malahan pipi
Ang Ling-po dia
kecup pula sekali.
“Ehm, wanginya!” demikian seru Yo Ko sengaja.
Keruan Ang Ling-po sangat murka, tangannya
membalik
terus menggablok, namun sedikit menunduk Yo
Ko sudah
hindarkan serangan itu dan menerobos pergi
untuk kemudian
berdiri diantara kedua pengemis itu dan Li Bok-chiu.
Tindakan dan perbuatan Yo Ko itu dilakukan
secara cepat
luar bisa, keruan dalam hati Li Bok-chiu
diam-diam terperanjat
sebaliknya Yali Ce menjadi girang.
“Siapakah she dan nama saudara yang mulia
ini?” segera
ia berseru menanya.
“Siaute she Nyo,” sahut Yo Ko sembari geraki
tangannya,
ia angkat kerangka pedang samberan dari
pinggang Ang Ling-
po itu dan menyambung pula: “Aku tahu isi di
dalamnya
adalah pedang buntung!”
Dan waktu pedang ia IoIos, betul saja
pedangnya
memang kutungan.
Mendadak Ang Ling-po mendusin “Anak keparat,”
serunya
cepat. “Suhu, dia inilah yang kita cari.”
Karena orang sudah kenali dirinya, Yo Ko tak
perlu maut
sandiwara pula, topeng kulit yang dia pakai
segera
ditanggalkan.
“Supek, Suci, Tecu Yo Ko memberi hormat,”
katanya
segera pada Li Bok-chiu dan Ang Ling-po.
Mendengar Yo Ko panggil Supek dan Suci, bukan
saja
Yali Ce menjadi bingung, begitu pula Liok
Bu-siang pun luar
biasa kagetnya.
“He, kenapa si Tolol ini panggil mereka Supek
dan Suci?”
demikian Bu-siang tidak habis mengerti.
Sementara itu dengan tersenyum dingin Li
Bok-chiu telah
menjawab: “Em, gurumu baik-baik-kah?”
Mendengar Siao-liong-li ditanyakan, seketika
hati Yo Ko
berduka hingga matanya pun basah.
“Gurumu sungguh pintar mengajar murid,”
demikian kata
Li Bok-chiu pula dengan tertawa.
Kiranya kemarin setelah saling gebrak tiga
jurus di tengah
jalan itu, dengan tipu gerakan yang aneh Yo
Ko telah
patahkan tiga kali serangan
“Sam-bu-sam-put-jiu”, ia telah
berpikir dan tetap tak bisa meraba “dari
aliran manakah tipu-
tipu Yo Ko itu, Oleh sebab itu ia menjadi
ragu-ragu apakah
imam kecil yang bertarung dengan dirinya itu
Yo Ko adanya?
ia pikir bila betul murid sang Sumoay itu,
lalu darimana bisa
memiliki ilmu silat yang begitu tinggi dan
aneh?
Kini setelah mendengar si Yo Ko memanggil
“Supek” dan
“Suci”, maka percayalah dia memang betul
ialah si pemuda
yang beberapa tahun yang lalu dilihatnya di
kuburan kuno itu.
Keruan saja diam-diam ia terperanjat,
pikirnya: “Sekarang saja
bocah ini sudah begini lihay, apa Iagi Sumoay
sendiri, lebih-
lebih jangan ditanya betapa hebat
kepandaiannya,”
Walaupun berpikir begitu, namun mukanya
sedikitpun
tidak mengunjukkan perasaan hatinya itu.
Namun Nye Ko sangat cerdik, ia dapat menerka
apa yang
orang sedang pikir, maka kembali ia memberi
hormat dan
berkata lagi: “Suhu suruh aku menjampaikan
salam pada
Supek!”
“O, dimanakah dia?” tanya Li Bok-chio, “Kami
berdua
sudah lama tak berjumpa.”
“Suhu berada di sekitar sini saja, tak lama
tentu beliau
akan datang menemui Supek,” sahut -Yo Ko.
Nyata pemuda ini tahu dirinya jauh bukan
tandingan Li
Bok-chiu, sekalipun ditambah dengan Yali Ce
masih sukar
memperoleh kemenangan maka ia sengaja pakai
akal “gertak
sumber, ia coba tonjolkan gurunya -
Siao-liong-li - untuk
menakuti orang.
“Aku lagi berurusan dengan murid sendiri,
sangkut paut
apa dengan gurumu?” demikian kata Li
Bok-chiu, Dari lagu
suaranya ini nyata ia rada miring terhadap
Siao-Iiong-li.
“Tetapi Suhu ingin minta kemurahan hati Supek
agar suka
ampuni Sumoay (maksudnya Liok Bu-siang)
saja,” kata Nyo
Ko.
“Huh, kau telah main gila dan melakukan
perbuatan
terkutuk seperti binatang dengan gurumu
sendiri, kini kau
masih panggil dia Suhu terus menerus di
hadapan orang
banyak, sungguh tidak tahu malu?” ejek Li
Bok-chiu tiba-tiba
dengan tertawa.
Tiba-tiba Li Bok-chiu merobah gerakan,
badannya
mencelat naik kaki kirinya menginjak mulut
cangkir, berbareng
kebutnya menyapu ke belakang, katanya
menggoda : “Apakah
gendakmu tidak ajarkan jurus ini kepadamu?”
Yo Ko tertegun, lekas dia merendahkan badan
sarung
pedang menyapu seraya membentak : “Gendak apa
?”
Alangkah murkanya Yo Ko mendengar nista itu,
mukanya
seketika pucat lesi, Dalam hati ia junjung
Siao-Iiong-li bagai
malaikat dewata, kini orang berani menista
gurunya itu,
seketika darah seakan-akan mendidih, tanpa pikir
lagi
kerangka pedang rampasannya tadi segera
dipakai sebagai
pedang terus ditusukannya pada Li Bok-chiu,
“Haha, perbuatanmu yang kotor itu memangnya
takut
dibongkar orang, ya?” Li Bok-chiu tertawa
mengolok-olok lagi
Namun dengan Kiam-hoat dari Coan-cin-pay, Yo
Ko
melontarkan serangan yang gencar dan lihay
luar biasa, itu
adalah ilmu silat warisan mendiang Ong
Tiong-yang khusus
untuk mengalahkan ilmu pedang
“Giok-li-kiam-hoat” ciptaan
Ong Tiao-eng, setiap serangannya selalu
diarahkan tempat
yang berbahaya di tubuh Li Bok-chiu.
Sedikitpun Li Bok-chiu tak berani ayal, ia
putar kebutnya
dengan sama cepatnya, ia tangkis setiap
serangan dan
menyambut pertempuran itu dengan seluruh
perhatiannya.
Setelah lewat beberapa jurus, Li Bok-chiu
merasakan
Kiam-hoat lawannya ternyata hebat luar biasa,
daya
tekanannya pun semakin berat, setiap
gerak-gerik dirinya
seakan-akan sudah dapat diketahui sebelumnya
oleh lawan
hingga selalu kena didahului orang, kalau
bukan dirinya
memang lebih ulet, mungkin sejak tadi sudah
terkalahkan.
“Suhu betul-betul pilih kasih, Kiam-hoat
sebagus ini hanya
diajarkan pada Sumoay saja,” demikian pikir
Li Bok-chiu
dengan gemas. ia menyangka itu adalah
Kiam-hoat golongan
mereka sendiri.
Mendadak permainan silatnya berubah,
tiba-tiba ia
melompat ke atas meja, ketika kaki kanan
menendang
kesamping, kaki kiri lantas berdiri di atas
sebuah cawan arak,
Cara mengajaknya di atas cawan, arak itu
begitu tepat dan
tantangan badannya begitu bagus, maka cawan
itu sama
sekali tak tumpah atau miring barang sedikitpun
“Haha, gendakmu itu pernah mengajarkan
kepandaian
seperti ini tidak?” dengan gelak tertawa
Bok-chiu menyindir
pula,
Yo Ko tercengang bingung sejenak Tetapi
segera ia
menjadi gusar, “Gendak apa maksudmu?”
damperatnya
kemudian,
“Ha, pura-pura bodoh,” sahut Bok-chiu,
“Sumoay-ku
pernah bersumpah takkan turun gunung kalau
Siu-kiong-seh
belum lenyap dari lengannya, kini dia telah
turun gunung ikut
kau, siapa lagi dia itu kalau bukan gendakmu
?”
Tidak kepalang murka Yo Ko oleh tambahan
nista orang
yang keji itu, tanpa berkata lagi, kerangka
pedang dia putar,
begitu enjot tubuhnya segera iapun melompat
ke atas meja.
Cuma Ginkangnya masih belum memadai orang,
maka tak
berani Yo Ko berdiri di atas cawan arak
melainkan di atas
sebuah mangkok, lalu kerangka pedang dia
angkat terus
menyerang dengan kalap.
“Ehm, tidak jelek juga Ginkangmu ini!” dengan
tertawa Li
Bok-chiu mengejek pula sembari menangkis
serangan orang,
“Nyata baik sekali gendakmu itu terhadapmu,
sudah cinta lagi
berbudi semuanya telah diajarkan padamu.”
Mendengar makin lama makin menjadi orang
menistanya,
sungguh tak tertahankan asa murka Yo Ko.
“Orang she Li kau ini manusia atau binatang?,
Kau mau
bicara secara manusia tidak ?” teriaknya
murka, sembari
memaki iapun menyerang lebih nekad.
“Hm, kalau ingin orang lain tak tahu kecuali
kalau diri
sendiri tak berbuat” jengek Li Bok-chiu.
“Ko-bong-pay kami
bisa timbul dua manusia sampah seperti kalian
ini, boleh
dikata telah mencoreng muka habis-habisan.”
Begitulah, seraya menyambut setiap serangan
Yo Ko,
sambil tiada hentinya Li Bok-chiu menyindir
dan mengolok-
olok.
Karena tak tahu hal ikhwalnya, Yali Ce kakak
beradik dan
Liok Bu-siang hanya saling pandang, kemudian
karena Yo Ko
tak sanggup membantah lagi sepatah-katapun,
mereka
berpikir tentu apa yang dikatakan Li Bok-chiu
itu adalah
kejadian sebenamya, maka tanpa terasa timbul
rasa hina
terhadap Yo Ko.
Harus diketahui meski ilmu silat Yo Ko sudah
jauh maju,
tetapi sama sekali Li Bok-chiu tak gentar
terhadapnya, yang
dia kuatirkan ialah kalau Siao-Iiong-li
sembunyi di sekitar situ
hingga mendadak muncul, ini berarti sukar
baginya untuk
melawannya, oleh sebab itu ia sengaja menista
mereka
dengan kata-kata yang se-kotornya dengan
tujuan agar Siao-
liong-Ii menjadi malu dan tak berani
menampakkan diri.
Dasar sifat Yo Ko memang gampang tersinggung
dan
wataknya keras, karena dinista secara kotor
itu, perasaannya
menjadi terpukuI, kaki tangannya menjadi
lemas dan gemetar,
tiba-tiba kepala pun terasa puyeng, lalu
pandangannya
menjadi gelap, ia menjerit sekali kerangka
pedang terlepas
dari cekalannya dan orangnya pun roboh ke
bawah.
Melihat ada kesempatan, Li Bok-chiu menjengek
sekali,
kebutnya bekerja cepat, sekali pukul kepala
Yo Ko segera
disabetnya.
Tahu keadaan sangat berbahaya, lekas Yali Ce
samber dua
cawan arak dari meja terus ditimpukkan ke
punggung Li Bok-
chiu, kedua cawan itu menghantam
“Ci-yang-hiat” dan “Yang-
koen-hiat” yang merupakan urat nadi penting
di tubuh
manusia.
Mendengar dari belakang ada samberan angin
Am-gi atau
senjata rahasia, namun Li Bok-cIiu cukup
tinggi Lwekangnya,
tiba-tiba ia tarik napasnya dalam-dalam untuk
menahan
semua jalan darahnya, ia pikir sekali pukul
mampuskan Nyo
Ko dahulu, sekalipun Am-gi pembokong itu
mengenai
punggungnya juga takkan melukainya.
Tak tahunya, belum tiba cawannya atau arak di
dalam
cawan itu sudah muncrat datang lebih dulu
hingga terasa
kedua urat nadi tadi rada kesemutan.
“Celaka! Kiranya Sumoay telah datang, Araknya
saja begini
lihay, apa lagi cawannya?” demikian keluhnya
dalam hati.
Maka lekas-lekas ia putar tubuh dan ayun
kebutnya ke
belakang, dengan tepat kedua cawan arak itu
kena
disampuknya, namun terasa juga lengannya
terguncang
hebat, keruan hatinya bertambah kuatir, ia
heran mengapa
tenaga sang Sumoay bisa begitu kuat kini?
Tapi sesudah dia mengawasi ia lihat orang
yang
menimpukkan cawan arak itu ternyata bukan
Siao-liong-li
melainkan si pemuda ganteng berdandan bangsa
Mongol itu.
Tentu saja hal ini semakin menambah
terperanjatnya.
“Kenapa dari angkatan muda bisa muncul begini
banyak
jago-jago lihay?” demikian ia membatin.
Sementara itu ia lihat pemuda, Mongol itu
sudah lolos
pedang dan dengan suara nyaring membuka
suara: “Cara
turun tangan Sian-koh sesungguhnya terlalu
keji, maka cayhe
ingin minta pengajaran beberapa jurus.”
Siapakah perempuan baju hijau yang bermuka
jelek itu?
Apakah Siau-liong-li? Murid siapakah Yali Ce
yang
berkepandaian tinggi ini?
Siapakah yang akan merebut kedudukan Bulim
Bengcu untuk
pimpin kaum persilatan angkat senjata melawan
serbuan
pasukan Mongol? Kwe Ceng, Yo Ko atau Jago-jago
Mongol
yang bakal menang?
Jilid 16
Ia lihat si pemuda perlahan-lahan mendekati
dirinya,
langkahnya mantap, melihat umurnya baru
antara dua
puluhan, tetapi gerak-geriknya cara menimpuk
cawan arak
tadi ternyata sudah memiliki keuletan latihan
beberapa puluh
tahun.
“Siapakah kau? siapakah gurumu ?” tanya Li
Bok-chiu
dengan sorot mata yang tajam.
“Cayhe Yali Ce, anak murid Coan-cin-pay,”
sahut Yali Ce
dengan sedikit membungkuk tubuh.
Saat itu Yo Ko sudah siuman kembali, ia lihat
Wanyen
Peng lagi memandang padanya dengan
berjongkok, matanya
tertampak basah dan muka muram durja. Dan
ketika
mendadak dengar Yali Ce mengaku sebagai anak
murid Coan-
cin-pay, keruan Yo Ko terperanjat.
“Apa gurumu Ma Giok atau Khu Ju-ki?” tanya Li
Bok-chiu.
“Bukan semua”, jawab Yali Ce.
“Kalau begitu, tentunya Ong Ju-it bukan?”
tanya Bok-chiu
pula,
“Bukan.” sahut Yali Ce tetap.
Tiba-tiba Li Bok-chiu ketawa terkekeh.
“Dia sendiri mengaku murid Ong Tiong-yang
kalau begitu
kalian berdua ini tentunya Su-heng-te
(saudara seperguruan),”
katanya sambil menunjuk Yo Ko.
“Mana bisa?” sahut Yali Ce terkejut “Sudah
lama Ong-
cinjin wafat, mana bisa saudara ini adalah
muridnya?”
“Huh, anak murid Coan-cin-pay memang tiada
seorangpun
yang baik. Awas senjata!” ejek Li Bok-chiu,
berbareng
kebutnya lantas memukul.
Dengan cepat Yali Ce melangkah ke samping,
tangan
kirinya bergaya pedang segera menusuk dengan
tipu “ting-
yang-ciam” yang merupakan serangan asli dari
Coan-cin-tiam-
hoat.
Nampak gerak tangan orang begitu jitu dan
lihay, sebagai
seorang tokoh segera Li Bok-chiu tahu telah
ketemukan lawan
tangguh, bahwa orang mengaku anak murid
Coan-cin-pay
memang bukanlah palsu, oleh karena itu,
lekas-lekas ia
menggeser lagi, kebutnya menyabet pula
secepat kilat, hanya
sekejap saja segala penjuru seakan-akan penuh
dengan
bayangan kebutnya yang menyamber kian ke
mari, asal
lawannya sedikit kesenggol ujung kebutnya
kalau tidak mati
sedikitnya akan terluka parah juga.
Meski tinggi ilmu silatnya, namun pengalaman
Yali Ce
masih cetek, kini untuk pertama kalinya menghadapi
lawan
kuat, ia kumpulkan seluruh semangatnya untuk
menempur
orang.
Maka sebentar saja mereka sudah saling gebrak
lebih 40
jurus, makin merangsak Li Bok-chiu semakin
maju, sebaliknya
lingkaran pertahanan Yali Ce semakin ciut,
namun secara gigih
ia masih bertahan, tampaknya kekalahannya
sudah pasti,
tetapi seketika Li Bok-chiu hendak merobohkan
dia juga belum
bisa.
“Ya, ilmu silat bocah ini memang dari
Coan-cin-pay yang
murni, meski belum setingkat Ma Giok, Khu
Ju-ki dan Ong Ju-
it, tetapi dibanding Sun Put-ji dan Hek
Tay-thong terang tidak
kalah, sungguh anak murid Coan-cin angkatan
muda banyak
yang pandai,” demikian Li Bok-chiu
terheran-heran.
Dan sesudah saling labrak beberapa jurus
lagi, sengaja Li
Bok-chiu memberi suatu kesempatan dan
membiarkan orang
menyerang maju.
Yali Ce tak tahu orang sengaja memancing,
tanpa pikir
pedangnya terus menusuk, siapa duga mendadak
kaki Li Bok-
chiu lantas melayang hingga pergelangan
tangannya kena
ditendang, saking sakitnya Yali Ce tak kuasa
pegang kencang
senjatanya. sungguhpun begitu, namun Yali Ce
tidak menjadi
bingung, tiba-tiba telapak tangan kirinya
memotong dari
samping, sedang tangan kanan dengan ilmu
menangkap dan
menawan segera digunakan untuk merebut kebut
Li Bok-chiu.
“Hah, ilmu silat yang bagus!” Li Bok-chiu
tertawa memuji.
Tatkala itu Yo Ko sudah tak merasa puyeng
lagi, segera
ia memaki: “Perempuan bangsat, selama hidupku
ini tak sudi
aku mengaku kau sebagai Supek lagi!”
Habis itu, ia jinjing kerangka pedang
rampasan dari Ang
Llng-po tadi terus maju mengerubut.
“Ya, ya, kau adalah laki gurumu, boleh juga
kau panggil
aku Suci saja,” dengan tertawa Li Bok-chiu
menyindir.
Dalam pada itu, pedang Yali Ce telah
menyamber tiba,
Lekas-lekas Li Bok-chiu angkat kebutnya,
dengan ujung kebut
tiba-tiba batang pedang kena direbut, bahkan
terus dia tarik
dan ditimpukkan ke arah Yo Ko,
Namun Yo Ko tidak menjadi gugup, ia incar
baik-baik
datangnya pedang itu, mendadak ia angkat
kerangka sarung
pedangnya terus memapaknya.
Tanpa terasa Liok Bu-siang dan Wanyen Peng
menjerit
kuatir, tetapi segera terdengar suara “sret”,
ternyata dengan
tepat sekali pedang itu masuk ke dalam sarung
yang
disodorkan ke depan oleh Yo Ko itu.
Dengan kerangka sarung untuk menyambut
pedang,
sesungguhnya perbuatan ini terlalu berbahaya,
asal pedang itu
sedikit meleset saja ditambah Iagi tenaga
timpukan ti Bok-chiu
itu, maka dapat dipastikan dada Yo Ko akan
tertembus.
Harus diketahui sewaktu tinggal di kuburan
kuno dahulu,
dengan giat Yo Ko telah melatih ilmu
menggunakan Am-gi,
maka soal ketajaman mata, ketepatan waktu
yang digunakan
dan kejituan menaksir tempat yang diarah,
semuanya sudah
terlatih begitu rupa hingga boleh dikatakan
bisa dipergunakan
sesuka hatinya, sebab itulah kini ia berani
unjuk
ketangkasannya ini di depan Li Bok-chiu.
Dan begitulah, segera Yo Ko melolos pedang yg
ditancapkan, tadi dan tangan yg lain tetap
pegang sarung
pedang ia merangsak maju lagi bersama Yali
Ce.
Restoran itu menjadi kacau balau, meja kursi
jungkir balik
tak keruan, para tamu lain sudah sejak tadi
lari
menyelamatkan diri Hanya Ang Ling-po saja
yang masih ikut
menonton gurunya bertempur, selama Ling-po
ikut gurunya
merantau, belum pernah ia saksikan gurunya
dikalahkan
orang, oleh sebab itu, meski gurunya kini
dikeroyok dua
rausuh, namun sedikitpun Ling Po tak kuatir,
ia menonton
dengan tenang di samping.
Sementara itu pertarungan ketiga orang
bertambah seru,
kemudian tipu serangan Li Bok-chiu berubah
lagi dengan
angin pukulannya ia desak kedua lawannya
hingga sukar
berdiri sekejap saja Yali Ce dan Yo Ko
berulang kali
menghadapi serangan bahaya.
“Celaka,” seru Yali Yen dan Wanyen Peng,
berbareng
merekapun melompat maju buat bantu kedua
kawannya
Akan tetapi bertambahnya tenaga baru ini
susah juga
merubah kedudukan yang sudah kalah itu,
mendadak kaki Yali
Yen sendiri malah terserempet oleh ujung
kebut Li Bok-chiu,
saking sakitnya sampai sebelah kaki gadis ini
berlutut dan
hampiri terjungkal
Melihat adiknya terpukul pikiran Yali Ce
menjadi kacau, ia
kena dicecar beberapa kali oleh Li Bok-chiu,
terpaksa ia
mundur terus, tampak keadaan sangat genting,
dengan cepat
si gadis baju hijau tadi melompat maju untuk
memayang
mundur Yali Yen.
Meski dalam pertarungan sengit, namun mata
telinga Li
Bok-chiu betul-betul dapat bekerja dengan
tajam, begitu
melihat gadis baju hijau itu melompat secara
gesit dan
enteng, segera ia tahu orang adalah anak
murid guru pandai,
kontan saja kebutnya menyabet muka si gadis.
“She apakah nona ini? siapakah gurumu?”
demikian ia
bertanya.
Jarak diantara mereka ada setombak lebih,
tetapi
menyambernya kebut ternyata cepat luar biasa,
sekejap saja
ujung kebut itu sudah sampai di depan muka
gadis itu.
Agaknya gadis baju hijau itu terkejut,
secepat kilat
tangannya bergerak, tahu-tahu ia lolos
sebatang senjata dan
kebut musuh dapat ditangkisnya.
Melihat senjata orang yang aneh itu sepanjang
kira-kira
tiga kaki dan mengkilap seperti sebatang
seruling, diam-diam
Li Bok-chiu berpikir: “Senjata macam ini dari
aliran mana ini?”
Karena curiganya itu, segera ia tambahi
serangan kilat
dengan maksud memaksa gadis itu mengeluarkan
kepandaian
aslinya, Dan karena gadis itu kewalahan,
lekas-lekas Yo Ko
dan Yali Ce menubruk maju buat menolong.
Tapi sesungguhnya mereka memang tak bisa
tandingi Li
Bok-chiu, hanya sekejap saja kembali kedua
pemuda ini sudah
terdesak dibawah angin.
“Dalam keadaan begini, asal salah satu
diantara kami
berdua ini sedikit meleng, pasti semua orang
yang berada di
sini akan melayang jiwanya,” demikan Yo Ko
pikir, Oleh
karena itu, segera ia berteriak-teriak :
“Bini cilik, adikku
sayang, Enci yang baik, Yali-sumoay, lekas
kalian melarikan
diri, perempuan keparat ini terlalu lihay.”
Mendengar Yo Ko berteriak-teriak serabutan,
ke-empat
gadis itu ada yang senang dan ada pula yang
mengkal, tetapi
melihat keadaan memang sangat berbahaya,
tanpa perintah
lagi Liok Bu-siang yang pertama-tama turun
loteng restoran
itu, habis itu si gadis baju hijau dengan
memayang Yali Yen
juga ikut lari.
Dalam pada itu kedua pengemis tadi
menyaksikan kedua
pemuda gagah perkasa ini telah melabrak Li
Bok-chiu karena
membela mereka, terpikir oleh kedua pengemis
ini hendak
maju membantu, cuma sayang lengan mereka
sudah patah
dan tak dapat berkutik Namun demikian, kedua
pengemis ini
cukup setia kawan. meski Li Bok-chiu tiada
tempo buat urus
mereka lagi, tapi mereka masih terus berdiri
di tempatnya dan
tak mau kabur mendahului Yo Ko.
Begitulah dengan gigih Yo Ko bertempur
sejajar dengan
Yali Ce, sekuat tenaga mereka menahan
serangan Li Bok-chiu
yang makin lama semakin lihay hingga akhirnya
Wanyen Peng
pun sudah undurkan diri dari restoran itu.
Meski Li Bok-chiu merangsak terus dan berada
di pihak
yang unggul namun dalam hati iapun gusar luar
biasa.
“Kurangajar kedua bocah ini, selama hidupku
siapapun tak
berani merintangi kehendakku kalau sampai
Liok Bu-siang bisa
lolos, sungguh gelarku Jik-lian-sian-cu bakal
lenyap tersapu
bersih,” demikian ia pikir dengan gemas.
Begitulah mereka terus bertempur mati-matian,
dari loteng
restoran berpindah ke tengah jalan dan dari
tengah jalan
sampai di ladang,
“Bini cilik, adikku sayang, pergi lekas,
makin jauh makin
baik! Yali-sumoay, nona baju hijau, kalianpun
lekas melarikan
diri, kami berdua lelaki tak nanti mati,”
begitulah si Yo Ko
masih terus berteriak.
Sebaliknya Yali Ce sama sekali tak buka suara
sepatah-
katapun. Usianya hanya setahun dua lebih tua daripada
Nyo
Ko, tetapi yang satu bersikap keren dan
sungguh-sungguh,
sedang yang lain gagah dan lincah, watak
kedua pemuda ini
ternyata sama sekali berbeda.
Di lain pihak karena Siao-liong-li masih
tidak muncul, Li
Bok-chiu menjadi lebih berani lagi, senjata
kebutnya diputar
semakin kencang menurut keinginannya.
Betapapun juga Yo Ko dan Yali Ce memang masih
selisih
jauh dibandingkan Li Bok-chiu, meski kedua
pemuda itu bisa
mengeluarkan serangan yang aneh untuk
mengacaukan
perhatian Li Bok-chiu, namun kini mereka
berdua juga mulai
payah.
Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang,
pikirnya: “Tidak usah
setengah jam lagi pasti jiwa kedua orang ini
akan kubereskan
semua.”
Dalam pada itu, tiba-tiba didengarnya
beberapa kali suara
burung, tahu-tahu dua ekor rajawali menyamber
ke atas
kepalanya.
Kedua rajawali itu ternyata sangat tangkas
dan lihay,
waktu menubruk turun, debu pasir ikut
bertebaran hingga
keadaan sangat mengejutkan orang.
Yo Ko kenal kedua ekor rajawali itu adalah
binatang
piaraan Kwe Ceng suami-isteri dahulu waktu
dirinya masih kecil
dan tinggal di Tho-hoa-to, pernah juga
bermain bersama
kedua rajawali ini, ia pikir kalau kini
eajawali-rajawali ini
datang, tentu pula Kwe Ceng suami-isteri
berada juga di
sekitar sini, karena dirinya sudah berontak
keluar dari Coan-
cin-kau, sesungguhnya tak ingin bertemu lagi
dengan mereka,
maka lekas-lekas Yo Ko melompat mundur, ia
keluarkan
topeng kulitnya dan dipakai segera.
Tatkala itu kedua ekor rajawali itu sudah
menyerang pula
dari kanan-kiri dan terbang naik-turun dengan
sengitnya
menempur Li Bok-chiu.
Ternyata ingatan kedua rajawali itu sangat
baik, mereka
masih dendam terhadap timpukkan
“Peng-pok-sin-ciam” yang
mengenai kaki mereka dahulu, kini pergoki Li
Bok-chiu di
tengah jalan, segera juga mereka menubruk
dengan sengit,
cuma kuatir merasakan lagi jarum orang yang
berbisa, maka
bila Li Bok-chiu ayun tangannya segera kedua
binatang itu
pentang sajap menjulang ke angkasa.
Diam-diam Yali Ce menjadi heran oleh
datangnya kedua
rajawali itu, melihat binatang itu susah memperoleh
kemenangan, segera ia berseru: “Nyo-heng,
mari kita maju
lagi bersama, kita keroyok dia dari atas dan
bawah bersama
eajawali-rajawali itu, coba bagaimana ia
akan,lawan kita?”
Dan selagi ia hendak merangsak maju,
sekonyong-
konyong terdengar dari arah timur sana ramai
suara derapan
kuda, seorang penunggangnya mendatangi
secepat terbang.
Nyata itulah seekor kuda merah yang berkaki
panjang dan
tinggi, larinya cepat tiada bandingannya,
baru dengar suara
menderapnya atau tahu-tahu kudanya sudah
sampai di depan.
Semua orang menjadi heran kenapa kuda ini
bisa begini cepat
larinya ?
Sementara tertampak penunggangnya adalah
seorang
nona berbaju merah, kuda dan penung-gangnya
bagaikan
sesosok arang yang membara, hanya muka si
nona yang putih
halus.
BegituIah gadis itu tarik tali kendalinya,
seketika kuda
merah itu berhenti dengan cepat kuda ini bisa
mendadak
berhenti sewaktu berlari keras, tanpa
meringkik juga tidak
berjingkrak, kelakuannya tenang dan biasa
saja, sungguh
binatang bagus yang jarang diketemukan.
Sejak kecil Yali Ce dibesarkan di daerah
Mongol, tidak
sedikit kuda pilihan yang sudah dilihatnya,
tetapi binatang
sebagus ini sungguh belum pernah
disaksikannya, keruan
iapun luar biasa terkejutnya.
Hendaklah diketahui bahwa kuda merah ini
adalah “Han-
hiat-po-ma” (kuda mestika berkeringat merah
darah) yang
didapatkan Kwe Ceng secara kebetulan di gurun
pasir diwaktu
mudanya.
Tatkala itu kuda merah inipun masih kecil,
kini boleh
dikatakan sudah menginjak usia tua, akan
tetapi binatang
bagus memang tak bisa disamakan dengan kuda
biasa,
sungguhpun usianya sudah tua, namun larinya
masih cepat
dan kuat tak kalah dengan masa mudanya.
Dan dengan sendirinya nona penunggangnya ini
bukan
lain dari pada Kwe Hu, puteri tunggal Kwe
Ceng dan Oey Yong
dari Tho-hoa-to.
Sudah beberapa tahun Yo Ko berpisah dengan
Kwe Hu,
apabila ia ingat si gadis, selalu Yo Ko masih
sangka Kwe Hu
adalah anak perempuan yang nakal dan sombong,
siapa tahu
kini sudah berupa satu nona yang cantik
jelita.
Di lain pihak, sesudah tahan kudanya, Kwe Hu
saksikan
kedua burungnya sejenak menempur Li Bok-chiu,
lalu ia
melirik ke arak Yali Ce, waktu sinar matanya
sampai di muka
Yo Ko, dilihatnya Yo Ko memakai baju orang
Mongol,
mukanya sangat jelek dan aneh karena memakai
kedok, tanpa
terasa si gadis mengkerut kening, wajahnya
mengunjuk rasa
hina pada Yo Ko.
Sejak kecil memangnya Yo Ko tak cocok dengan
Kwe Hu,
kini setelah bertemu kembali dan melihat si
gadis masih tetap
benci padanya, maka bertambah hebat rasa
rendah dirinya
Yo Ko dan berduka pula. Katanya dalam hati:
“Kau pandang
hina padaku, memangnya aku lantas minta-minta
kasihanmu?
ilmu silat ayahmu tiada bandingannya di
seluruh jagad, ibumu
juga pendekar wanita pada jaman ini,
Gwakongmu adalah
maha guru ilmu silat, semua orang dari segala
aliran di kolong
langit ini siapa yang tidak menaruh hormat
pada
sekeluargamu itu? Akan tetapi, dimana
ayah-bundaku? ibuku
hanya wanita penangkap ular pedusunan saja,
ayahku pun tak
diketahui siapa dia, matinya pun tidak terang
apa sebabnya.
Hm, sudah tentu aku tak bisa dibandingkan
dengan kau,
memang aku dilahirkan dengan nasib malang dan
harus selalu
dihina orang, kini kau menghina aku lagi,
rasanya pun tidak
menjadi soal!”
Begitulah Yo Ko berdiri terpaku dan berduka
hati, ia
merasa di dunia ini tiada seorangpun yang
menghargai dirinya
lagi, meski hidup rasanya pun tidak berguna.
Hanya Suhu
Siao-llong-li saja seorang yang bersungguh
hati terhadap
dirinya, tetapi saat ini entah berada dimana
sang guru itu?
Sisa hidup ini entah masih dapat bertemu
tidak dengan beliau?
Sedang Yo Ko bersedih hati, tiba-tiba
terdengar lagi
suara derapan kuda yang lebih riuh, kembali
ada dua
penunggang mendatangi.
Kedua ekor kuda ini satu kelabu dan yang lain
coklat,
meski tergolong kuda bagus juga, tetapi kalau
dibandingkan
kuda merah tunggangan Kwe Hu, terang
selisihnya terlalu
jauh. Tiap-tiap kuda itu ternyata ditunggangi
seorang pemuda
dan semuanya mengenakan baju kuning.
“Bu-keh-koko (engkoh keluarga Bu), perempuan
jahat ini
kembali kita ketemukan lagi,” segera Kwe Hu
berseru pada
kedua pemuda itu.
Kiranya pemuda2 penunggang kuda ini memang
adalah Bu
Tun-si dan Bu Siu-bun kakak beradik Dan
begitu melihat Li
Bok-chhi, kedua saudara Bu itu terkejut.
Li Bok-chiu adalah musuh pembunuh ibu mereka,
selama
beberapa tahun ini siang malam boleh dikatakan
tak pernah
mereka melupakan dendam itu, siapa tahu
mendadak bisa
kepergok di sini. Keruan saja mereka menjadi
murka, serentak
mereka melompat turun dari kuda, pedang dan
segera mereka
memapak maju tanpa bicara lagi.
“Akupun bantu kalian,” teriak Kwe Hu. iapun
lolos
pedangnya dan melompat turun buat bantu
kawan-kawannya.
Melihat makin lama musuh bertambah banyak,
apalagi
kedua pemuda yang datang terus merangsak maju
dengan
muka merah dan mata melotot seperti hendak
mengadu jiwa,
bahkan Kiam-hoat yang mereka mainkan sangat
bagus, terang
adalah anak murid dari guru ternama, malahan
si gadis cantik
tadi ikut-ikut menyerbu juga, pedang yang
dipakai gemilapan
menyilaukan mata, ternyata adalah sebatang
Pokiam atau
pedang pusaka, begitu juga Kiam-hoat yang dilontarkan
lihay
luar biasa. Tentu saja Li Bok-chiu terkesiap
oleh semuanya ini.
“He, kau adalah nona keluarga Kwe dari
Tho-hoa-to,
bukan?” tanyanya segera.
“Kau kenal juga padaku!” sahut Kwe Hu tertawa
sambil
melompat ke atas terus menusuk cepat.
“Hmm, sungguh sombong kau bocah perempuan
ini”,
jengek Li Bok-chiu dalam hati, sembari
kecutnya menangkis.
“Dengan sedikit kepandaianmu ini, kalau
bukannya keder
terhadap orang tuamu, jangan kata kau hanya
satu, meski
sepuluh orang pun sekaligus kumampuskan semua.”
Selagi ujung kebutnya diayun hendak melilit
pedang
orang, sekonyong-konyong ada angin tajam
menyamber lagi
dari samping.
Harus diketahui bahwa ilmu silat kedua
saudara Bu dan
Kwe Hu adalah sama-sama ajaran Kwe Ceng
sendiri, ketiga
muda-mudi ini tinggal setempat di Tho-hoa-to,
Kiam-hoat
yang mereka pelajari adalah serupa, oleh
sebab itu setiap
gerak serangan mereka bisa bekerja sama
dengan rapat
sekali.
Di-tambah lagi ada kedua rajawali ikut
mengerubut hingga
Li Bok-chiu rada kerepotan, sebenarnya kalau
lewat sedikit
lama lagi pasti salah satu diantara mereka
bisa dirobohkan Li
Bok-chiu dan tinggal dua yang lain tentu
sukar buat
selamatkan diri.
Tetapi Li Bok-chiu berhadapan dengan orang
banyak, ia
kuatir kalau lawannya mengerubut maju semua,
inilah susah
baginya untuk melayani apalagi kalau Kwe Ceng
suami-isteri
menyusul datang lagi inilah lebih celaka
baginya.
Karena pikiran itulah, begitu kebutnya
menyabet lagi,
dengan tertawa ia berkata: “Lihatlah
sekarang, biar nonamu
unjuk permainan joget monyet!”
Menyusul itu kebutnya menyamber
ber-turut-urut enam
kali, setiap serangannya selalu mengincar
tempat-tempat yang
berbahaya, maka Kwe Hu dan Bu-si Hengte
didesak hingga
kelabakan dan tiada hentinya melompat-lompat
menghindari
tampaknya menjadi seperti monyet.
Kemudian Li Bok-chiu menyabet lagi sekali
dengan keras,
lalu ia putar tubuh sambil berseru: “Ling-po,
marilah pergi!” -
Habis itu, guru dan murid inipun kabur ke
arah barat laut.
“Haha, Bu-si-koko, ia ketakutan pada kita,
hayo, kejar
lekas!” teriak Kwe Hu.
Selesai berkata, dengan pedang terhunus iapun
mengudak
cepat Dengan ilmu entengkan tubuh segera
Bu-si Hengte
menyusul juga.
Namun larinya Li Bok-chiu dan Ang Ling-po
ternyata cepat
luar biasa, tampaknya mereka berlenggang
kangkung
seenaknya, tetapi sedikitpun tiada debu yang
mengepul di
bawah kaki mereka, meski Kwe Hu dan Bu-si
Hengte “tancap
gas” sekencang-kencangnya, namun jarak
diantara mereka
dengan Li Bok-chiu berdua makin lama semakin
jauh.
Hanya kedua ekor rajawali itulah yang masih
bisa
menyandak orang, kadang-kadang kedua binatang
itu masih
menubruk kebawah buat memagut.
Agaknya Bu Tun-si lebih bisa berpikir, ia
tahu harapan
membalas dendam hari ini tak mungkin bisa
terlaksana, maka
dia bersuit panjang memanggil kembali kedua
rajawali itu.
Karena kuatir ketiga orang itu terjadi
sesuatu, maka Yali
Ce dan lain-lainnya ikut menyusul juga. Demi
nampak Kwe Hu
dan Bu-si Hengte sudah balik kembali, segera
mereka saling
memberi hormat Dan karena mereka sama-sama
berwatak
muda, maka begitu bicara merekapun sangat
cocok satu sama
lain.
“He, dimanakah Nyo-heng?” seru Yali Ce
tiba-tiba teringat
pada Yo Ko.
“Seorang diri dia sudah pergi,” kata Wanyen
Peng, “Aku
tanya dia hendak ke mana, tetapi dia tak
gubris lagi padaku.”
Habis berkata, Wanyen Peng menunduk kesal
Waktu Yali Ce berlari ke atas tanah tinggi
buat
memandang, ia lihat si gadis baju hijau itu
sedang jalan
berendeng dengan Liok Bu-siang dan sudah rada
jauh, karena
mereka sedang bercakap dengan asyiknya, maka
tak enak Yali
Ce hendak manggilnya, sebaliknya bayangan Yo
Ko sama
sekali tak kelihatan.
Sesaat itu perasaan Yali Ce seakan-akan
kehilangan
sesuatu saja. Meski baru pertama kali ini ia
bertemu Yo Ko,
tetapi melihat ilmu silatnya tinggi dan
wataknya jujur terus
terang, sekali bertemu saja rasanya sudah
sangat cocok,
walaupun didengarnya Li Bok-chiu menista
orang berbuat
sesuatu yang tak senonoh dengan gurunya,
tetapi betapapun
juga rasa persahabatannya dengan Yo Ko
menangkan
pandangan hina karena kata-kata Li Bok-chiu
itu. ia pikir:
“Seorang muda gagah perkasa seperti dia (Yo
Ko) ini
sesungguhnya susah diketemukan. Seumpama
betul-betul ada
sesuatu perbuatannya yang kurang baik, kalau
aku menasihati
dia dan asal dia mau perbaiki diri, rasanya
masih belum
kecewa sebagai seorang Laki-laki sejati.”
Dan kini mendadak Yo Ko pergi tanpa pamit,
Yali Ce
menjadi seperti kehilangan seorang sahabat
lama.
Kiranya tadi waktu Yo Ko melihat Bu-si
Heng-te menyusul
datang dan bersama Kwe Hu mengeroyok Li
Bok-chiu,
kelakuan ketiga muda-mudi itu seperti rapat
dan rukun sekali,
Kiam-hoat merekapun bagus luar biasa hingga
dalam
beberapa gebrak saja sudah bikin Li Bok-chiu
melarikan diri.
Ia tidak tahu larinya Li Bok-chiu sebab takut
pada Kwe
Cing dan Oey Yong, sebaliknya ia menyangka
Kiam-hoat ketiga
orang itu yang membikin Li Bok-chiu dipaksa
kabur.
Pikiran ini disebabkan dahulu waktu Yo Ko
diantar ke
Cong-lam-san oleh Kwe Ceng, di sana Kwe Ceng
telah unjuk
ketangkasannya mengalahkan tidak sedikit imam
dari Coan-
cin-kau, ilmu silat yang sangat tinggi itu
terlalu berkesan
dalam hati kecilnya Yo Ko, oleh sebab itu ia
pikir murid
ajaran Kwe Ceng sudah tentu kepandaiannya
berpuluh kali
lebih hebat dari pada dirinya.
Begitulah makin dipikir makin mendongkol
teringat lagi
oleh Yo Ko dahulu di Tho-hoa-to telah dihajar
Bu-si Hengte
babak belur sampai sembunyi di dalam gua
semalam sehari
pula terpikir olehnya Oey Yong sengaja tak
mau mengajarkan
ilmu silat padanya, sebalikiya Kwe Ceng malah
mengirim
dirinya ke Tiong-yang-kiong untuk disiksa
oleh kawanan imam
jahat itu, semuanya ini membikin perasaannya
bergolak
ditambah lagi dilihatnya Wanyen Peng, Liok
Bu-siang dan si
gadis baju hijau serta Yali Ce sedang
memandang kepada
dirinya dengan muka yang sangsi-sangsi, Yo Ko
sendiri
berpikir pula. “Hm, tentu kalian mengejek dan
pandang hina
padaku!”
Begitulah timbul rasa benci pada dirinya Yo
Ko,
mendadak ia angkat kaki dan lari seperti
keranjingan setan,
iapun tidak turuti jalanan umum, melainkan
alas pegunungan
yang diterobosnya tanpa tujuan.
Dalam keadaan kehilangan pribadinya itu, Yo
Ko anggap
di seluruh kolong langit semua orang
bermusuhan padanya,
padahal mukanya memakai kedok kulit, meski
wajahnya
berubah, Wanyen Peng dan lain-lain mana bisa
mengetahuinya?
Kenapa tanpa sebab orang mengejek dan
menghina
padanya?
Sebenarnya Yo Ko dari utara hendak menuju ke
selatan,
tetapi kini karena ingin bisa tinggalkan
orang-orang itu sejauh
mungkin, maka dia malah balik menuju ke
jurusan utara.
Dalam kusutnya pikiran dan benci pada
sesamanya, Nyo
Ko tanggalkan kedok yang dia pakai terus
gentayangan
seorang diri diantara pegunungan yang sepi,
kalau perutnya
lapar, ia petik buah2-an untuk mengisi perut.
Semakin jalan semakin jauh dan makin lamapun
makin
menanjak tinggi. Tiada sebulan, kondisi badan
Yo Ko sudah
berubah hebat, kini tubuhnya mulai kurus
kering, pakaiannya
compang-camping tak terurus, akhirnya iapun
berada di
sebuah gunung besar yang tinggi.
Ia tidak tahu bahwa waktu itu dirinya berada
di atas Hoa-
san (gunung Hoa), satu diantara lima gunung
terbesar di
kolong langit ini, ia lihat keadaan gunung sangat
curam dan
terjal, tetapi dengan perasaan beku, ia
justru makin menanjak
ke atas ke bagian yang tertinggi.
Walaupun Ginkang Yo Ko sangat tinggi, tetapi
Hoa-san
adalah pegunungan yang terkenal terjalnya di
kolong langit
ini, kalau hendak ditanjaki begitu saja oleh
Yo Ko rasanya tak
dapat dilakukannya dengan mudah.
Dan baru dia sampai di tengah gunung atau
cuaca menjadi
gelap, awan mendung menutup tebal, menyusul
mana
turunlah hujan salju yang berhamburan.
Tetapi dalam keadaan masgul, Yo Ko justru
semakin
menyiksa diri se-bisa-bisanya, bukannya dia
mencari tempat
meneduh, tetapi semakin besar turunnya salju,
ia melanjutkan
perjalanan semakin nekad ke tempat yang
paling curam dan
berbahaya, sampai hari sudah gelap, turunnya
salju
bertambah lebat hingga jalanan sangat licin
dan susah dikenali
lagi.
Dalam keadaan begitu, kalau sedikit salah
langkah saja,
dapat dipastikan Yo Ko akan tergelincir ke
dalam jurang dan
badan hancur lebur.
Namun demikian, sama sekali hal mana tak
dipikirkan Nyo
Ko, ia pandang jiwanya waktu itu seperti
tiada harganya dan
masih terus menanjak ke atas dengan nekat.
Tak lama pula, tiba-tiba Yo Ko dengar di
belakangnya
ada suara gemerisik yang sangat pelahan
sekali seperti ada
sesuatu binatang yang berjalan di tanah salju
itu. Waktu Nyo
Ko menoleh, tiada sesuatu yang dilihatnya,
tetapi di tanah
salju itu tertampak ada serentetan bekas
tapak kaki disamping
bekas tapak kaki dirinya sendiri.
Yo Ko terperanjat melihat bekas tapak kaki
itu, terang
ada orang sedang menguntit dirinya, tetapi
waktu ia menoleh
kenapa tak sesuatu bayangan yang dilihatnya?
Kalau dibilang
setan seharusnya tidak sampai meninggalkan
bekas kaki,
tetapi bila manusia, kenapa gerak tubuhnya
bisa begitu cepat
dan mendadak menghilang ?
Sesudah merandek sejenak, kemudian Yo Ko
berjalan
lagi, tetapi baru belasan tindak, suara
gemerisik di
belakangnya berbunyi pula, nyata sekali itu
adalah suara
orang yang berjalan di atas salju.
Mendadak Yo Ko menoleh lagi, dengan tindakan
yang
cepat dan diluar dugaan ini, ia pikir sekali
ini pasti bisa tahu
siapakah gerangan orang itu.
Siapa duga, tetap yang dia lihat hanya dua
baris bekas
kaki saja di tanah salju, sedang ujung baju
orang sedikitpun
tak tertampak olehnya.
Kalau orang lain, menghadapi keadaan begitu,
sungguhpun ilmu silatnya tinggi, tentu juga
akan merasa takut
dan mengkirik, tetapi Yo Ko sudah tak
sayangkan jiwanya
lagi, ia malah sangat ketarik oleh kejadian
itu, ia justru ingin
cari tahu sampai ke-akar2nya. ia pikir di
sekitarnya tiada
tumbuh pepohonan dan tempat-tempat lain yang
bisa dibuat
sembunyi pada sebelah adalah gunung tinggi
dan sebelah lain
adalah jurang, apa mungkin orang itu bisa
terbang ke atas?
sekalipun bisa terbang pasti akan kelihatan
juga!
Begitulah sambil jalan sembari Yo Ko memikir,
sementara
itu suara gemerisik di belakang terdengar
berjangkit lagi.
“Orang ini pasti berilmu silat sangat tinggi,
begitu melihat
pundakku bergerak, segera ia tahu aku akan
berpaling terus
mendahului sembunyi” demikian Yo Ko membatin,
“Sekali ini
biar pundakku tak bergerak, coba dia bisa
lari kemana lagi?”
Lalu dengan tabah ia merangkak ke atas pula,
satu saat,
mendadak ia membungkuk ke depan dan memandang
ke
belakang melalui sela selangkangan.
Gaya ini adalah ajaran Auwyang Hong diwaktu
melatih
ilmu secara menjungkir itu, karena sudah
biasa dilatihnya,
cara membungkuk dan memandang ke belakang
tadi
dilakukan dengan kecepatan luar biasa, maka
sekilas dapat
dilihat olen Yo Ko ada satu bayangan orang
melesat ke
dalam jurang.
“Haya, celaka, sekali ini bisa tewas dia,”
teriak Yo Ko
dalam hati saking kaget.
Ketika ia melongok ke dalam jurang, tiba-tiba
dilihatnya
ada satu orang dengan sebuah jari tangan saja
menggantol di
tepian batu dengan tubuhnya tergantung
Kiranya beberapa
kali orang itu menggoda dan selalu dengan
cara demikianlah
orang ini menyembunyikan diri.
Melihat orang sanggup menggunakan satu jari
saja untuk
menahan bobot tubuhnya dan tergantung di
udara yang
beralaskan jurang, sesungguhnya kepandaian
orang sudah
sampai taraf yang tak dapat diukur.
Oleh karenanya, dengan laku sangat hormat Yo
Ko
membungkuk tubuh dan berkata : “Silakan
naiklah
Locianpwe!”
Sekonyong-konyong orang itu ketawa
terbahak-bahak,
begitu keras hingga lembah pegunungan
seakan-akan
bergemuruh, ketika jari tangannya menarik,
orangnya seperti
burung saja lantas meloncat naik dari tebing
jurang itu.
“Apa kau begundalnya Ngo-kui dari Tibet?
Kenapa tengah
malam buta berkeliaran di sini?” mendadak
ketawa orang itu
berubah membentak.
Karena bentakan orang yang tanpa sebab tiada
alasan ini,
seketika Yo Ko tersinggung lagi perasaannya
hingga
mendadak ia menangis tergerung-gerung,
terkenang oleh
nasibnya yang malang hingga selalu dihina
orang, seorang
Siao-liong-li yang dihormati dan dicintai itu
tanpa sebab pula
telah mendamperat padanya dan selanjutnya tak
dapat bersua
lagi, saking dukanya hingga menangisnya makin
men-jadi2
seakan-akan seluruh kesedihan dari dahulu
hingga sekarang
hendak dilampiaskan dalam tangisnya ini
Melihat Yo Ko mendadak menggerung-gerung
mula-mula
orang itu rada tercengang, tetapi demi
mendengar tangis
orang makin lama semakin duka, ia merasa
heran puk, Melihat
tangis Yo Ko men-jadi2 dan tiada
habis-habisnya, mendadak
ia tertawa panjang sekeras-kerasnya, paduan
suara tertawa
dan menangis ini menjadi begitu hebat hingga
saling
berkumandang di antara Iebah2 pegunungan itu,
sampai
gumpalan2 salju sama longsor oleh karena
geloranya.
“Dan kau menangisi apa?” balas tanya orang
itu tetap
tertawa.
Sebenarnya Yo Ko masih hendak memaki orang
dengan
kata-kata kasar, syukur segera teringat
olehnya ilmu silat
orang yang tak terukur tingginya itu,
seketika api amarahnya
ditahan, malahan dengan hormat sekali ia
menjura.
“Siaujin (aku yang rendah) Yo Ko memberi
hormat pada
Locianpwe,” demikian sapanya.
Tangan orang itu memegang sebatang tongkat
bambu,
tiba-tiba ia mencungkit pelahan lengan Yo Ko,
tanpa terasa
tahu-tahu Yo Ko “telah terbanting kebelakang
meski tenaga
tongkat orang tak berapa besar.
Menurut daya bantingan itu, seharusnya Nyo-Ko
akan
terbanting hingga tak sanggup berdiri lagi,
namun pemuda ini
sudah biasa dilatih Ha-mo-kang atau ilmu
weduk katak
dengan tubuh menjungkir, maka di tengah udara
ia masih bisa
berjumpalitan, lalu dengan tegak ia berdiri
kembali Kejadian
ini sama-sama diluar dugaan kedua orang.
Dengan ilmu silat Yo Ko sekarang ini, sekali
serang
hendak bikin pemuda ini terjungkal biarpun
tokoh seperti Li
Bok-chiu atau segolongan Khu Ju-ki, rasanya
juga tak nanti
bisa, Melihat usia Yo Ko semuda ini sudah
melatih silat
sampai tingkat begini tinggi dalam hati orang
itu menjadi
sangat kagum.
“Apa yang kau tangisi tadi?” demikian orang
itu bertanya lagi
Yo Ko amat-amati orang, ia lihat orang adalah
kakek2
yang rambut jenggotnya sudah putih semua,
pakaiannya
compang-camping seperti seorang pengemis,
walaupun
malam gelap, namun di bawah pantulan sinar salju
yang
memutih, lapat-lapat terlihat mukanya yang
merah bercahaya,
semangatnya pun masih menyala-nyala, tanpa
terasa Yo Ko
sangat menaruh hormat padanya.
“Aku adalah seorang yang bernasib malang,
hidup di jagat
ini sesungguhnya tiada gunanya, lebih baik mati
saja beres,”
sahutnya kemudian.
“Siapakah yang bikin susah kau, coba katakan
pada
Kongkong (kakek),” kata si pengemis tua itu.
“Ayahku dibunuh orang, tetapi aku tak tahu
siapa
pembunuhnya, ibuku pun mati digigit ular, di
dunia ini tiada
orang lagi yang sayang dan cinta padaku,”
sahut Yo Ko.
“Em, sebatangkara, sungguh harus dikasihani,”
ujar si
pengemis,tua, “Dan siapakah gurumu yang
mengajarkan ilmu
silat padamu?”
Dengar orang menanyakan Suhunya, pikir Yo Ko:
“Resminya Kwe-pekbo adalah guruku, tetapi sedikitpun
ia tak
ajarkan ilmu silat padaku. Para imam busuk
Coan-cin-kau itu
lebih menggemaskan pula, Auwyang Hong adalah
ayah angkat
dan bukan guruku, sedang Kokoh yang telah
ajarkan ilmu silat
padaku, kini telah berakhir dengan demikian
ini, mana bisa
kuceritakan hal ini pada orang luar?” Ong
Tiong-yang Siansu
(guru marhum) dan Lim-popoh menurunkan ilmu
padaku
melalui ukiran-ukiran di kamar kuburan itu,
rasanya juga
belum dapat dikatakan sebagai Suhuku,
sungguhpun guruku
begitu banyak, tetapi satupuh ternyata tak
bisa di-sebutkan.”
Demikianlah pertanyaan pengemis tua itu jadi
menusuk
perasaannya lagi hingga mendadak ia
me-nangis2 tergerung-
gerung pula, “Aku tak punya Suhu, aku tak
punya Suhu!” ia
berteriak-teriak.
“Baiklah, baiklah! Kau tak mau mengaku juga
tak
mengapalah!” ujar pengemis tua.
“Bukan aku tak mau katakan, tetapi aku tak
punya,” sahut
Yo Ko terguguk-guguk.
“Tidak punya ya sudah, perlu apa menangis
lagi?” kata si
pengemis tua. “Melihat kau berjalan seorang
diri di malam
gelap, tadi aku sangka kau adalah begundalnya
Ngo-kui dari
Tibet, kini ternyata bukan, biarlah Lokiauhoa
(pengemis tua)
terima kau sebagai murid saja.”
Kiranya orang ini bukan lain dari pada
Kiu-ci-sin-kay Ang
Chit-kong, Si pengemis sakti berjari
sembilan, namanya sejajar
dengan Tang-sia, Setok, Lam-te dan Ong
Tiong-yang.
Dahulu sesudah kedudukan Pangcu (ketua
persatuan
pengemis) dia turunkan pada Oey Yong, lalu
seorang diri ia
merantau ke timur dan ke barat untuk mencari
makanan2
yang paling aneh dan enak seluruh jagat.
Memang ciri satu-satunya Ang Chit-kong yalah
suka
makan, untuk mencari makanan enak, ia tak
segan-segan
memasuki keraton raja untuk mencuri masakan
yang ingin
dicicipinya itu, jadi sebelum raja makan,
setiap masakan tentu
dia cicipi dahulu.
Bahkan untuk penganan enak ia tidak sungkan
untuk
berebut tanpa pikirkan akibat-nya, saking
rakusnya terhadap
penganan, suatu kali dalam gemasnya ia sampai
hukum
dirinya sendiri dengan memotong sebuah jari
telunjuk, oleh
karena inilah ia disebut “Kiu-ci-sin-kay”
atau Si-pengemis sakti
berjari sembilan, walaupun demikian, toh
cirinya yang rakus
itu masih belum bisa hilang,
Begitulah, oleh karena daerah Kwitang
terkenal nyaman
dan paling banyak terdapat makanan yang
aneh-aneh, maka
Ang Chit-kong sampai di propinsi ini, ia
menjadi kerasan dan
sudah belasan tahun tak pernah kembali ke
daerah utara lagi.
orang-orang Bu-lim menyangka usia Ang
Chit-kong sudah
lanjut, mungkin sudah lama wafat, siapa tahu
ia justru hidup
sehat di Kwitang merasai segala macam
penganan di mulai
dari sebangsa semut, tikus sampai ular-ular
berbisa dan lain
sebagainya semua dimakannya, rejeki mulutnya
sungguh tidak
sedikit.
Tahun itu dua “Kui” dari Cong-pian-ngo-kui”
atau lima
momok dari Tibet melakukan pembunuhan
se-wenang2 di
Kwitang, Dasar Ang Chit-kong benci pada
kejahatan seperti
musuhnya, sebenarnya kedua Kui atau kedua
momok itu
sekaligus hendak dibunuhnya, tapi karena
ingin juga sekalian
bisa bereskan yang lain-lain, maka sengaja ia
kuntit orang, ia
tunggu bila kelima momok itu sudah berkumpul
semua baru
sekaligus akan dibasminya semua, siapa tahu
karena
menguntitnya itu akhirnya sampai di atas
Hoa-san.
Waktu itu, empat momok dari Tibet itu sudah
berkumpuI,
hanya Toa Kui, si momok pertama, yang belum
datang, siapa
tahu di tengah malam Yo Ko yang dia ketemukan
di tanah
salju itu, kini mendengar pemuda ini begitu
sedih menangis,
tiba-tiba hatinya tertarik dan hendak-terima
Yo Ko sebagai
murid.
Selama hidup Ang Chit-kong, murid yang
diterimanya
secara resmi hanya Kwe Ceng dan Oey Yong
berdua, kini entah
mengapa, tiba-tiba ia mengatakan sendiri
ingin terima Yo Ko.
ia pikir bocah ini pasti girang luar biasa
dan menghaturkan
terima kasih.
Siapa tahu, sedikitpun Yo Ko tak pernah
melupakan Siao-
liong-li, ia sudah ambil keputusan tak mau
lagi mengangkat
guru “yang kedua.
Sebab itulah ia telah geleng-geleng kepala
dan menjawab
: “Terima kasih atas maksud baikmu, tetapi
aku tak mau
angkat kau sebagai guru.”
Jawaban Yo Ko ini sangat mengherankan Ang
Chit-kong,
dasar pengemis tua ini wataknya sangat
berkeras pada kata-
katanya sendiri, maka ia bilang lagi: “Kau
tak mau angkat
guru padaku, tetapi aku justru ingin kau
menjadi muridku.”
“Kau mau pukul mati aku, boleh silakan
memukul saja,
tetapi ingin aku angkat guru, itulah tidak
bisa,” sahut Yo Ko
tetap.
Nampak tabiat orang sama kerasnya dan kukuh
pada
pendiriannya sendiri, Ang Chit-kong bertambah
suka padanya.
“Sudahlah, kita jangan bicara urusan ini
dulu, agaknya
kaupun sudah lapar, marilah kita makan dulu
baru berunding
lagi,” katanya,
Habis itu, ia berjongkok di tanah salju dan
menggaruk-
garuk untuk mendapatkan beberapa kayu kering,
dengan
inilah lalu dinyalakan api.
“Hendak makan masakan apakah kita?” tanya Yo
Ko
sambil bantu orang mengumpulkan kayu,
“Kelabang!” sahut Chit-kong singkat
“Kelabang? Ah, mana mungkin!” demikian Yo Ko
pikir, ia
sangka orang cuma berguyon saja, maka ia
hanya tersenyum
dan tak tanya Iagi.
“Dengan susah payah aku kintil Cong-pian
Ngo-kui dari
Linglam (nama lain dari Kwitang) sampai di
Hoa-san sini, kalau
tidak mencari beberapa macam makanan enak
yang aneh-
aneh, rasanya tak enak terhadap kawanku ini!”
kata Chit-kong
sambil tepuk-tepuk perut sendiri.
Yo Ko lihat perawakan pengemis tua ini kekar
kuat,
hanya perutnya yang rada gendut
“Hoa-san adalah tempat yang paling teduh,
tempat paling
dingin di kolong langit ini, produksi
kelabangnya adalah paling
gemuk dan halus pula.
Hawa di Kwitang sebaliknya panas, segala
makhluk hidup
di sana lebih cepat tumbuh besar, maka daging
kelabangnya
pun rada kasar,” demikian Ang Chit-kong
mencerocos pula
dengan teori ilmu makannya
Mau-tak-mau Yo Ko rada heran mendengar orang
berkata secara sungguh-sungguh dan kelihatan
bukan
bergurau belaka.
Sembari berkata Ang Chit-kong tambahi kayu
pada api
unggunnya, kemudian ia keluarkan sebuah wajan
kecil dari
buntalannya dan ditaruh di atas api, ia
mengepal dua
gelondong salju dan dimasukkan kedalam wajan.
“Mari ikut pergi mengambil kelabang,”
kata-nya. Selesai
berkata, sekali melesat, tahu-tahu orangnya
sudah melompat
ke atas tebing gunung setinggi lebih dua
tombak.
Melihat tebing gunung itu begitu terjal,
seketika Yo Ko
ragu-ragu tak berani ikut manjat ke atas.
“Anak tak berguna, lekas naik sini!” seru Ang
Chit-kong.
Yo Ko paiing benci kalau ada orang pandang
hina
padanya, kini dikatai tak berguna oleh Ang
Chit-kong, tiba-tiba
ia kertak gigi terus ikut merangkak ke atas.
“Hm, memangnya aku sudah tak pikirkan mati
atau hidup
lagi, biarkan mati tergelincir juga tak
apalah,” diam-diam ia
berpikir.
Karena marahnya itu, nyalinya menjadi besar,
Ginkang
yang dia keluarkan bisa digunakan lebih
hebat, maka dengan
kencang ia ikut di belakang Ang Chit-kong,
meski tempat-
tempat yang paiing curam dan berbahaya,
akhirnya dapat
dipanjatnya juga.
Hanya sebentar saja mereka berdua sudah
memanjat
sampai di atas puncak gunung yang tak pernah
diinjak
manusia.
Melihat Yo Ko memiliki Ginkang yang bagus dan
hatinya
begitu tabah, Ang Chit-kong menjadi tambah
suka padanya.
“Anak bagus, tak bisa tidak aku harus terima
kau sebagai
murid,” demikian ia memuji.
“Terima kasih Locianpwe, kalau locianpwe ada
perintah
apa-apa, siaujin tidak nanti bantah, tentang
soal angkat guru,
harap jangan disebut puIa,” sahut Yo Ko.
Ang Chit-kong tahu pasti ada ganjelan hati
orang yang
sukar diucapkan, sebenarnya ia hendak
menanya, tetapi
teringat akan makanan enak yang harus diberi
“prioritas” lebih
dulu, maka cepat ia mendekati sebuah batu
padas, ia gali
tanah di bawah batu itu, maka tertampaklah
seekor ayam jago
yang sudah mati
Luar biasa herannya Yo Ko.
“Eh, kenapa ada bangkai ayam jago disitu?”
katanya
heran, Namun iapun segera mengerti: “Ah,
engkau sendirilah
yang memendamnya.”
Ang Ching-kong tak menjawab, ia hanya
tersenyum dan
angkat bangkai ayam jago itu.
Mata Yo Ko sudah terlatih memandang di waktu
malam,
apalagi kini di bawah sorotan sinar salju
yang membalik itu,
maka tertampaklah olehnya di bawah perut
bangkai jago itu
penuh lengket beratus ekor kelabang yang
panjangnya rata2
belasan senti dengan warna merah-hitam yang
belang-
bonteng.
Sejak kecil Yo Ko sudah berkawan dengan ular,
sebenarnya ia tidak takut terhadap binatang
berbisa, tetapi
demi mendadak nampak kelabang sebanyak ini,
saking
seramnya tidak urung ia mengkirik juga.
“Haha,” sebaliknya Ang Chit-kong lantas
tertawa riang,
“Kelabang ini memang musuh kawakan ayam jago,
kemarin di
sini sengaja kupendam seekor bangkai jago,
betul saja
keIabang2 ini kena dipancing datang semua.”
Habis ini diapun mengeluarkan kain
pembungkus, bangkai
ayam jago berikut kelabang2 yang masih
melengket itu ia
buntal seluruhnya, lalu dengan riang gembira
ia merosot turun
dari puncak gunung itu.
“Apa benar-benar akan makan kelabang? Kalau
melihat
sikapnya, tampaknya bukannya sengaja buat
menakuti aku,”
pikir Yo Ko diam-diam sambil ikut di belakang
orang.
Sementara itu air salju yang digodok dengan
wajan Ang
Chit-kong tadi sudah mendidih, Ang Chit-kong
buka
buntalannya tadi, ia tarik ekor tiap-tiap
ke!abang dan
dicemplungkan ke dalam wajan. Kelabang2 itu
semula
kerupukan dalam air mendidih, tapi sekejap
saja lantas kaku
dan tak berkutik.
“Sebelum mati, kelabang2 ini telah muntahkan
semua
racun yang berada padanya, oleh sebab itu,
air salju dalam
wajan ini luar biasa jahat bisanya,” ujar
Chit-kong.
Kemudian ia gali sebuah lobang di tanah salju
itu, ia tuang
air berbisa itu ke dalamnya, saking dingin
suhu di atas gunung
ini, maka sebentar saja air beracun itu sudah
membeku
menjadi es.
Habis itu Ang Chit-kong keluarkan sebilah
pisau kecil, ia
potong kepala dan buntut tiap-tiap kelabang,
lalu dipelocoti
satu per satu, dengan gampang saja kulit
kelabang2 itu
mengelotok hingga daging kelabang kelihatan
putih bersih
seperti daging udang.
“Dengan caranya rnengolah ini, boleh jadi
memang dapat
dimakan?” demikian pikir Yo Ko, akhirnya ia
jadi ketarik.
Ia lihat Ang Chit-kong menggodok lagi dua
wajan air salju,
daging kelabang itu dia cuci bersih tanpa ketinggalan
setetes
air racun, habis itu ia keluarkan lagi
beberapa kaleng kecil dari
buntalannya Kaleng2 kecil ini ternyata berisi
bumbul masak
sebangsa minyak, garam, kecap, cuka dan
lain-lain. Lebih dulu
wajan dibikin panas dengan minyak mendidih,
kemudian
daging kelabang itu dituang ke dalamnya untuk
digoreng,
begitu daging kelabang itu masuk wajan, maka
terciumlah bau
sedap yang bikin orang mengilar.
Melihat macamnya Ang Chit-kong yang berulang
kali telan
air liur, biji lehernya tampak naik turun,
sifat rakusnya nyata2
kelihatan, mau-tak-mau Yo Ko terheran-heran
dan merasa
geli pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar