Kamis, 15 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 42



Kembalinya Pendekar Rajawali 42

Dengan tertawa Yo Ko lantas menjawab: “Baiklah, kuingat akan pesanmu, Tapi mengapa kau harus mengintip secara diam-diam, apakah kau takut pada kawanan hidung kerbau dari Coan-cin-kau?”
Ciu Pek-thong menghela napas dan menjawab: “Aku kan paman gurunya Hek Tay-thong itu!”
Ucapan ini membikin Yo Ko bersuara kaget.
Lalu Ciu Pek-thong menyambung lagi: “Bila dia melihat diriku, tentu dia akan minta tolong padaku. Dalam keadaan begitu, jika aku tidak menolongnya akan terasa tidak enak, sebaliknya kalau kutolong dia, pertunjukan menarik akan gagal kulihat.”
Diam-diam Yo Ko pikir ilmu silat orang ini sangat tinggi meski wataknya polos dan lugu, apa pun juga dia adalah orang Coan-cin-pay, jelas tidak mungkin mengajaknya memusuhi Kwe Ceng, maka jalan paling baik adalah berusaha membinasakan dia saja.
Sebenarnya pembawaan Yo Ko tidaklah jahat, soalnya dia tak pernah melupakan sakit hati kematian ayahnya, untuk mencapai tujuan menuntut balas, segala cara dapat diIakukannya.
Sudah tentu Ciu Pek-thong tidak tahu Yo Ko sudah berpikir jahat padanya, ia malah tanya lagi: “He, kapan kau akan menangkap si Hek Tay-thong itu?”
“Sekarang juga aku akan berangkat, kau ingin lihat keramaian, bolehlah kau ikut saja padaku,” kata Yo Ko.
Dengan girang Ciu Pek-thong lantas berbangkit tapi mendadak ia berduduk pula dengan Iesu, katanya: “Ai, tidak bisa jadi, aku harus pergi ke Siang-yang.”
“Masakah menarik kota Siangyang? Kukira janganlah kau pergi ke sana,” ujar Yo Ko.
“Adik Kwe meninggalkan surat bagiku, katanya pasukan Mongol telah menyerbu ke selatan dan pasti akan menyerang Siangyang,” tutur Ciu Pek-thong. “Dia telah memimpin semua pahlawan ke Siang-yang, akupun diminta ke sana untuk membantunya, sepanjang jalan kucari dia dan tidak ketemu, terpaksa kususul ke Siangyang saja.”
Kubilai saling pandang sekejap dengan Kim-lun Hoat-ong, mereka sama pikir: “Adanya bala bantuan para pahlawan yang dipimpin Kwe Ceng itu, mungkin Siangyang sukar diduduki.”
Bicara sampai di sirii, tiba-tiba masuklah seorang Hwesio setengah umur, dari tingkah laku dan wajahnya jelas Hwesio ini adalah seorang terpelajar. Dia mendekati Kubilai, lalu kedua orang bicara dengan suara tertahan.
Kiranya Hwesio ini adalah bangsa Han, namanya Cu-cong, terhitung seorang stafnya Kubilai.
Aslinya Cu-cong bernama Lau An, menurut catatan sejarah, Lau An adalah seorang pintar dan serba tahu, karena itu dia sangat disayang oleh Kubilai.
Dari penjaga Lau An mendapat laporan bahwa di kemah Kubilai ada orang kosen, maka lebih dulu ia telah mengatur penjagaan seperlunya di luar kemah, habis itu barulah masuk menghadap Kubilai.
Ciu Pek-thong tepuk-tepuk perutnya yang rada gendut, katanya: “Eh, Hwesio, kau menyingkir dulu, aku lagi bicara dengan adik cilik itu. Hai, saudara cilik, siapa namamu?”
“Aku she Yo bernama Ko.” jawab Yo Ko.
“Sebenarnya siapa gurumu?” tanya Ciu Pek-thong pula.
“Guruku seorang perempuan cantik, ilmu silatnya maha sakti tapi namanya tak boleh diketahui orang luar,” jawab Nyo Ko.
Ciu Pek-thong merinding mendengar perempuan cantik, ia teringat kepada kekasihnya dahulu, Eng Koh, seketika ia tak berani tanya lagi ia berbangkit dan mengebut debu di tubuhnya, maka berhamburanlah debu memenuhi kemana-mana Cu-cong bersin dua-tiga kali karena debu yang mengepul itu, Ciu Pek-thong tambah gembira, lengan bajunya mengebut semakin keras, mendadak ia bergelak tertawa dan berkata :
“Aku mau pergi!” Berbareng empat potong ujung tumbak patah tadi terus disambitkan ke arah Siau-siang-cu, Nimo Singh, In Kik-si dan Be Kong-co.
Terdengar suara mendesing menyambernya ke empat ujung tumbak itu, karena jaraknya sangat dekat, dalam sekejap saja ujung tumbak itu sudah menyamber sampai di depan mata keempat orang sasarannya.
Siau-siang-cu berempat terkejut, mereka merasa sukar untuk mengelak, terpaksa mereka mengerahkan tenaga dalam dan menangkap ujung tumbak Siapa tahu keempat tangan mereka itu ternyata menangkap angin, “plok”, tahu-tahu keempat ujung tumbak itu menancap di atas tanah.
Kiranya tenaga sambitan Ciu Pek-thong itu sangat spesial, begitu disambitkan segera disertai tenaga tarikan, maka ketika ujung tumbak menyamber, sampai di depan sasarannya, mendadak terus ganti arah dan membelok ke bawah dan menancap di atas tanah.
Be Kong-co adalah seorang lugu, sekali tangkap tidak kena, ia malah merasa geli dan bergelak tertawa, serunya: “Hei, jenggot putih, sungguh hebat permainan sulapmu !”..
Tapi Siau-siang-cu bertiga menjadi tidak kepalang kagetnya, tanpa terasa air muka mereka berubah hebat. Bayangkan saja, ujung tombak itu tidak berhasil mereka tangkap, tapi sempat berganti arah, maka pada detik itu sesungguhnya jiwa sendiri sudah tergenggam di tangan lawan, kalau saja ujung tombak itu bukan menancap di tanah, tapi menyamber ke perut mereka, apakah jiwa mereka dapat diselamatkan ?
Karena berhasil mempermainkan keempat orang itu, Ciu Pek-thong sangat senang, baru saja dia mau keluar kemah, tiba-tiba Cu-cong berseru : “Eh, Ciu-losiansing, kesaktianmu sungguh jarang ada di dunia ini. Biarlah kuberi selamat padamu dengan suguhan secawan arak ini!”
Berbareng ia terus menyodorkan secawan arak yang sudah disiapkan ke hadapan Ciu Pek-thong.
Tanpa pikir Ciu Pek-thong terima suguhan itu dan sekali tenggak habislah isi cawan itu.
Kembali Cu-cong menghaturkan satu cawan arak dan berkata: “Sekarang aku mewakili Ongya menyuguh engkau satu cawan,”
Segera Ciu Pek-thong menghabiskan lagi arak itu, baru saja Cu-cong hendak menyuguh lagi cawan ketiga, sekonyong-konyong Ciu Pek-thong berteriak: “Haya, celaka !
Perutku mules, aku mau berak !” - Berbareng itu ia terus berjongkok sambil membuka kolor celana terus hendak memberak di tengah kemah.
Dengan menahan rasa gelinya Kim-lun Hoat-ong membentak untuk mencegah perbuatan Ciu Pek-thong yang tidak senonoh itu.
Ciu Pek-thong tampak melengak sejenak, habis itu berteriak pula: “He, muIesnya perut ini tidak beres, rasanya bukan kebelet mau berak !”
Yo Ko memandang sekejap ke arah Cu-cong, pahamlah dia duduknya perkara, ia tahu Hwesio itulah menaruh racun didalam arak yang disuguhkan kepada Ciu Pek-thong, tapi ia merasa tidak tega bila orang tua yang polos dan jenaka itu sampai mati keracunan, baru saja dia mau memperingatkan agar Kubilai ditawan untuk memaksa Cu-cong memberikan obat penawar racun, mendadak didengarnya Ciu Pek-thong berseru pula: “Ah, salah, salah ! Kiranya arak beracun yang kuminum
terlalu sedikit, lantaran itulah perut menjadi mules, Hei, Hwesio, lekas, tuangkan lagi tiga cawan arak beracun !”
Keruan semua orang saling pandang dengan bingung, sedangkan Cu-cong menjadi ketakutan kalau-kalau Ciu Pek-thong mendadak ngamuk sebelum ajalnya, mana dia berani mendekatinya, jangankan disuruh memberi arak lagi.
Karena itu Ciu Pek-thong lantas maju mendekati meja, cepat Kim-lun Hoat-ong mengadang di depan Kubilai untuk melindunginya. Tapi Ciu Pek-thong ternyata tidak bermaksud menyerang, dengan sebelah tangan memegangi celana yang kedodoran, tangan lain terus angkat poci yang berisi arak teracun, sekaligus ia tenggak habis seluruh isi poci itu, satu tetespun tidak tersisa.
Di tengah rasa bingung dan kaget semua orang, Ciu Pek-thong malah tertawa terbahak-bahak, katanya: “Nah, beginilah baru segar rasanya,” Perut terlalu banyak barang kotor dan beracun, harus serang racun dengan racun !” -
Habis itu mendadak mulutnya terbuka, suatu arus arak terus menyembur ke arah Cu-cong.
Cepat Kim-Iun Hoat-ong samber meja di sebelahnya untuk menangkis, arak berbisa itu tepat menyerempet di muka meja dan muncrat ke mana-mana.
Sambil bergelak tertawa Ciu Pek-thong melangkah pergi, sampai di depan kemah, mendadak timbul lagi pikirannya yang jahil, ia tarik tali kemah dan dibetot sekuatnya, kontan tiang penyanggah kemah itu patah, seketika kemah besar yang terbuat dari kulit itu ambruk, Kubilai, Kim-lun Hoat-ong, Yo Ko dan lainnya terkurung semua di bawah.
Ciu Pek-thong kegirangan, ia melompat ke atas kemah ambruk itu dan berlari-lari kian kemari beberapa kali sehingga semua orang yang terkurung di bawah kemah itu seluruhnya terinjak olehnya.
Dari bawah kemah Kim-Iun Hoat-ong melontarkan suatu pukulan dan tepat mengenai telapak kaki Ciu Pek-thong, karena tidak tersangka-sangka, Ciu Pek-thong terpental dan berjumpalitan di udara sambil berteriak: “Haha, menarik, menarik!”
Lalu pergilah dia tanpa pamit ! Waktu Kim-Iun Hoat-ong dan lainnya merangkak keluar dengan melindungi Kubilai, para pangawal juga cepat memasang kemah baru, sementara itu Ciu Pek-thong sudah menghilang.
Hoat-ong dan lainnya sama minta maaf kepada Kubilai atas kelalaian mereka yang kurang cermat mengawal sang pangeran, Namun Kubilai cukup bijaksana, sedikitpun ia tidak menyalahkan mereka, hanya berulang ia memuji kelihayan Ciu Pek-thong, dan menyesal karena tak dapat menarik orang kosen begini ke pihaknya. Dengan sendirinya Kim-lun Hoat-ong dan lainnya merasa iri dan malu pula.
Kemudian perjamuan diperbarui, Kubilai berkata: “Sudah sekian kali pasukan Mongol menggempur Siangyang, tapi tak berhasil. Kabarnya para pahlawan Tionggoan sama berkumpul dan bertahan di sana, sekarang Ciu Pek-Thong ini pergi ke sana, lagi untuk membantu, sungguh sulit urusan ini, entah kalian mempunyai akal bagus tidak?”
Nimo Singh berwatak berangasan segera ia mendahului buka suara: “Meski ilmu silat tua bangka she Ciu itu sangat tinggi, tapi kepandaian kita juga tidak rendah, Harap saja Ongya melancarkan serangan sekuatnya, biarlah kita menghadapi mereka, perajurit lawan perajurit, panglima lawan panglima, biarpun di Tionggoan banyak pahlawan, tapi benua barat juga banyak jagoan.”
“Meski betul juga ucapanmu, tapi segala sesuatu harus ditimbang secara masak,” kata Kubilai. “untuk memenangkan suatu pertempuran kita harus dapat menilai kekuatan lawan dan kekuatan sendiri.”
Bicara sampai di sini, tiba-tiba di luar kemah ada orang berteriak: “Sudah kukatakan aku tak mau pergi, mengapa kalian terus memaksa saja, sekali kubilang tidak mau ya tetap tidak mau.”
Dari suaranya itu jelas dialah Ciu Pek-thong.
Entah mengapa sudah pergi dia datang lagi dan sedang bicara dengan siapa? Tentu saja semua orang sangat tertarik dan lari keluar kemah untuk melihat apa yang terjadi, tapi sebelum Kubilai memberi tanda, tiada seorangpun yang berani meninggalkan tempat duduknya.
Rupanya Kubilai tahu pikiran mereka, katanya dengan tertawa: “Marilah kita melihatnya, entah sedang bertengkar dengan siapa si orang tua nakal itu?”
Waktu mereka keluar kemah, tertampaklah Ciu Pek-thong berdiri jauh di tanah lapang sebelah barat sana, ada empat orang lagi yang berdiri mengelilinginya dalam posisi mengepung, hanya sebelah timur saja yang terluang, Sambil mengepal dan ngotot, berulang Ciu Pek-thong hanya menyatakan: “Tidak mau ! Tidak mau!”
Yo Ko menjadi heran, kalau saja orang tua nakal itu bilang tak mau pergi, siapa lagi yang mampu memaksanya dan perlu ribut mulut begitu ?!” Waktu mengawasi keempat orang itu, ternyata semuanya berseragam jubah hijau model kuno, jelas bukan pakaian model pada jaman itu, tiga di antaranya lelaki memakai kopiah besar, seorang lagi perempuan muda.
Keempat orang bersikap tenang dan ramah, Terdengar lelaki yang berdiri di sebelah utara berkata: “Kami tidak ingin membikin susah padamu, soalnya engkau telah mengobrak-abrik tempat kami, menjungkirkan tungku, mematahkan lengci (sejenis rumput obat), merusak kitab pusaka dan lainnya yang merusak, kalau engkau tidak menjelaskan sendiri duduknya perkara kepada guru kami, apabila diketahui guru kami sungguh kami tidak berani menanggung hukuman yang akan
dijatuhkan beliau.”
“Kau dapat mengatakan semua itu adalah perbuatan seorang hutan yang kebetulan menerobos ke situ, kan segala urusan menjadi beres ?” ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa seperti anak kecil.
“Jadi tuan sudah pasti tak mau ikut pergi ?!” tanya lelaki kekar tadi.
Ciu Pek-thong hanya menggeleng kepala saja.
Mendadak lelaki itu menuding ke belakang Ciu Pek-thong dan berseru: “He, siapa itu?” - Dan begitu Ciu Pek-thong menoleh, cepat lelaki itu beri tanda kepada kawan-kawannya, serentak keempat orang membentangkan sebuah jaring hijau terus menutup ke atas kepala Ciu Pek-thong.
Gerakan keempat orang itu sudah terlatih, caranya aneh pula, biarpun ilmu silat Ciu Pek-thong maha sakti, sekali terkurung oleh jaring ikan, seketika ia menjadi kelabakan dan tak berdaya ?
Dengan cepat keempat orang itu lantas meringkus tubuh Ciu Pek-thong dengan tali jaring, setelah kencang, dua lelaki itu lantas memanggulnya, perempuan muda dan lelaki satunya
lagi mengawal dari samping, mereka terus berlari.
Kejadian ini sungguh aneh dan langkah keempat orang itu secepat terbang. Gaya Ginkang mereka ternyata belum pernah dikenal. Segera Yo Ko memburu dan berseru: “He, kalian hendak membawanya ke mana?”
Akan tetapi keempat orang itu tidak menggubrisnya dan tetap berlari ke depan, Karena tertarik, Yo Ko terus mengejar. Hoat-ong dan lainnya juga menyusuInya. Beberapa li kemudian, sampailah ditepi sebuah sungai tertampak Ciu Pek-thong digotong ke atas sebuah perahu terus didayung pergi oleh keempat orang itu.
Cepat Yo Ko dan lainnya mencari sebuah perahu dan memburu dengan kencang, Arus sungai itu ternyata berliku-liku, setelah memutar beberapa tikungan, mendadak kehilangan jejak perahu tadi
Nimo Singh melompat ke atas tebing, seperti kera gesitnya ia merangkak ke atas, dari situ ia memandang sekelilingnya, Dilihatnya perahu kecil yang ditumpangi keempat orang berseragam hijau tadi sedang menyusuri sebuah sungai yang sangat sempit, sungai kecil itu adalah cabang sungai tadi,
ujung sungai kecil yang bertemu dengan muara sungai besaran itu tertutup oleh semak pohon yang lebat, kalau tidak dipandang dari ketinggian siapa pun takkan mengetahui dibalik lembah pegunungan itu ternyata masih ada “dunia” lain.
Lekas Nimo Singh melompat turun, dengan pelahan ia tancapkan kakinya di atas perahu, perahu kecil itu hanya bergoyang sedikit saja tanpa menimbulkan guncangan berarti Hoat-ong dan lain sama berseru memuji melihat Ginkangnya yang bagus itu.
Nimo Singh lantas menunjukkan arahnya dan cepat perahu itu didayung balik, lalu menerobos semak pohon lebat itu.
Perahu itu terus meluncur dengan cepat, tertampak tebing gunung menjulang tinggi di kedua tepi sungai yang sempit itu sehingga langit kelihatannya seperti satu garis saja. Setelah beberapa li lagi, bagian depan di tengah sungai itu teralang oleh sembilan potong batu besar yang menonjol di permukaan sungai sehingga perahu mereka tidak dapat melintasi “Wah, celaka ! Perahu ini tak dapat digunakan lagi!” seru Be Kong-co.
“Tubuhmu segede kerbau, boleh kau angkat perahu ini ke sebelah sana,” kata Siau-siang-cu dengan suara melengking.
“Mana aku kuat, kecuali kau?” jawab Be Kong-co dengan gusar.
Memangnya Kim-lun Hoat-ong lagi ragu cara bagaimana melintasi rintangan kesembilan batu karang itu, Demi mendengar pertengkaran Be Kong-co dan Siau-siang-cu, -tiba-
tiba pikirannya tergerak.
Kalau mengandalkan tenaga seorang tentu siapapun tak mampu mengangkat perahu itu, tapi kalau enam orang bergotong royong, kan segala persoalan menjadi mudah dipecahkan?
Karena itu ia lantas berkata : “He, bagaimana kalau kita berenam lakukan bersama saja? Adik Nyo, In-heng dan diriku di-sisi sini, saudara Nimo, Siau-heng dan Be-heng di sisi sana.”
Serentak semua orang bersorak setuju dan menuruti petunjuk Kim-lun Hoat-ong, enam orang terbagi dan berdiri dua sisi, karena sungai itu sangat sempit, dengan berdiri di sisi tepian tangan mereka masih dapat meraih pinggir perahu.
Begitulah ketika Kim-lun Hoat-ong memberi komando, serentak enam orang mengerahkan tenaga, kontan perahu itu terangkat melintasi sepotong batu karang yang mengalang di tengah sungai itu.
Tukang perahu yang berduduk di atas perahu belum lagi menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu terasa seperti terbang di udara, saking kagetnya ia jerit kuatir.
Di tengah jerit kaget dan tertawa senang, berturut perahu itu telah melintasi sembilan batu pengalang itu, lalu semua orang melompat kembali ke atas perahu dengan tertawa gembira, lalu tukang perahu yang masih melongo itu diperintahkan lekas mendayung lagi.
Sebenarnya keenam orang itu saling curiga mencurigai dan suka bertengkar, tapi setelah mendalami kerja sama ini, tanpa terasa mereka menjadi lebih akrab dan mulai pasang omong.
Kata Siau-siang-cu: “Betapapun kepandaian kita berenam ini boleh dikatakan terhitung jago kelas satu di dunia persilatan, dengan tenaga gabungan kita memang tidak sulit untuk mengangkat perahu ini, akan tetapi mereka.”
“Ya, benar, mereka hanya empat orang, masakah merekapun mampu mengangkat perahu dan melintasi sembilan batu karangtadi?” tukas Ni-mo Singh.
Teringat hal itu, mereka sama merasa heran.
Tidak lama, berkatalah In Kik-si: “Perahu mereka memang lebih kecil, tapi jumlah mereka juga lebih sedikit daripada kita.
Kalau mereka berempat mampu mengangkat perahu itu, maka kepandaian merekapun harus dipuji.”
“Nona cantik muda belia, apapun juga pasti tidak mempunyai kemampuan sebesar itu,” kata Nimo Singh.
“Kukira mereka pasti mempunyai cara lain yang seketika tak dapat kita pecahkan.”
Kim-Iun Hoat-ong tersenyum dan berkata: “Manusia tak boleh dinilai dari lahiriahnya, misalnya saudara Yo kita ini, meski usianya masih muda, tapi memiliki ilmu maha tinggi, jika kita tidak menyaksikan sendiri, siapa yang mau per-caya?”
“Ah, sedikit kepandaianku ini apa artinya?” ujar Yo Ko dengan rendah hati. “Tapi keempat orang berseragam hijau itu mampu meringkus Ciu Pek-thong yang maha sakti itu, tentu merekapun mempunyai kepandaian sejati”
Kini lagak lagu Yo Ko sudah sejajar dengan Siau-siang-cu dan lainnya, karena semua orang sudah menyaksikan caranya menyambut samberan piring yang disambitkan Ciu Pek-thong tadi, maka tiada seorangpun yang berani lagi meremehkan dia.
Di antara keenam orang usia Yo Ko paling muda, sedangkan Kim-lun Hoat-ong, Be Kong-co dan Nimo Singh bertiga baru sekarang ini menginjak daerah Tionggoan, Siau-siang-cu juga lebih sering tirakat di pegunungan sunyi dan jarang bergaul dengan khalayak ramai, hanya In Kik-si saja yang sangat paham terhadap kejadian di dunia persilatan daerah Tionggoan dengan aneka macam aliran serta tokohnya. Tapi bagaimana asal usul keempat orang berbaju hijau tadi ternyata tak diketahuinya.
Selagi mereka berbincang keanehan orang berbaju hijau itu, sementara itu perahu telah sampai di ujung sungai kecil itu, jalan menjadi buntu, terpaksa mereka menyuruh tukang perahu tinggal di perahunya mereka berenam lantas melempat ke tepi sungai, dengan mengikuti sebuah jalanan
kecil mereka terus menyusuri lembah gunung yang rindang itu.
Untungnya jalan kecil itu hanya satu sehingga mereka tidak sampai salah arah, namun jalanan itu makin lama makin meninggi dan makin terjal, sampai akhirnya sukar dibedakan
lagi mana jalannya di antara batu padas yang berserakan itu.
Kim-lun Hoat-ong dan lainnya bertenaga dalam tinggi, dengan sendirinya mereka tidak susah menempuh jalan pegunungan yang curam itu, hanya Be Kong-co seorang saja, karena Ginkangnya tidak setinggi kelima orang kawannya, ia sudah mulai terengah-engah, kalau saja dia tidak ditarik Yo Ko, In Kik-si dan Kim-lun Hoat-ong, beberapa kali ia hampir terjerumus ke dalam jurang.
Baru sekarang Be Kong-co merasakan kelemahannya sendiri, meski memiliki tenaga sebesar kerbau, tapi bicara tentang tenaga dalam jelas masih selisih jauh dengan orang lain, Meski dia seorang kasar, tapi diam-diam japun tahu diri dan malu hati.
Sementara itu hari sudah mulai gelap, tapi jejak keempat orang berbaju hijau masih belum di ketemukan, Selagi mereka merasa gelisah, tiba-tiba di kejauan tertampak beberapa gunduk api unggun yang sedang menyala, seketika mereka bergirang bahwa di lembah pegunungan itu ada cahaya api, dengan sendirinya di sana juga ada penduduknya, Kecuali beberapa orang berbaju hijau tadi, orang biasa tentunya juga tak dapat bertempat tinggal dj tempat securam ini.
Begitulah mereka lantas berlari lebih cepat ke sana, dalam sekejap saja Be Gong-co sudah tertinggal jauh di belakang,
Kecuali Yo Ko, empat orang lainnya sudah banyak berpengalaman biar-pun berlari secepatnya, tapi merekapun menyadari sedang berada di daerah berbahaya, maka mereka sama was-was terhadap segala kemungkinan.
Namun begitu merekapun bertambah tabah mengingat kini mereka datang berenam, dengan gabungan tenaga mereka berenam, rasanya tidak perlu gentar terhadap siapapun juga.
Tidak lama sampailah mereka di suatu tanah lapang diatas puncak gunung itu, terlihat empat gundukan api yang sangat besar sedang berkobar dengan hebatnya. Waktu mereka mendekati, maka tertampaklah dengan jelas bahwa gundukan api besar itu masing-masing mengitari sebuah rumah batu kecil di tengah, di pinggir rumah batu itulah tertimbun kayu bakar yang berkobar itu. entah barang apa di dalam rumah batu itu yang lagi dibakar.
Nimo Singh datang dari negeri Thian-tiok, dia mahir ilmu Yoga dan tidak takut pada api, segera ia melompat maju dan mendekati rumah batu di ujung timur sana, ia mendorong pintunya dan terpentanglah seketika, tertampak rumah batu itu kosong melompong tiada isinya, hanya di lantai duduk, seorang lelaki baju hijau, kedua tangannya tersingkap didepan dada sebagai penganut agama Budha, tubuhnya kelihatan menggigil air mukanya tampak meringis menahan derita.
Heran sekali Nimo Singh, ia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan orang itu? Apakah sedang berlatih semacam Lwekang? Tapi tampaknya bukan? Waktu mengamat-amati lebih jelas, kiranya kaki dan tangan orang itu terikat oleh rantai besi dan terikat pula pada tiang di belakangnya. Ia coba memeriksa lagi rumah batu kedua dan ketiga, keadaannya ternyata serupa dengan rumah pertama, Rumah keempat rada berbeda, sebab yang terikat di situ adalah seorang gadis berbaju hijau, jelas keempat orang ini adalah orang yang menangkap Ciu Pek-thong dengan jaring ikan itu.
Cuma si tua nakal itulah yang tak kelihatan bayangannya.
Yo Ko dan lain-lain ikut memandang ke dalam rumah itu dan semuanya ikut heran dan terkesiap, kelihatan api semakin berkobar dan pasti luar biasa panasnya, keempat orang itu menjadi seperti dipanggang hidup-hidup.
Tindak-tanduk Yo Ko biasanya memang tidak suka memikirkan bagaimana akibatnya, selain itu ia justeru dilahirkan dengan perasaan yang suka kepada keindahan dan dengan sendirinya juga suka kepada perempuan cantik ia pikir ketiga lelaki itu tidak menjadi soal biarpun mampus terpanggang, tapi nona jelita ini kan harus dikasihani.
Segera ia mengambil sepotong ranting pohon dan digunakan memadamkan api yang berkobar di tepi rumah batu yang didiami si nona. Tidak lama Be Kong-co juga menyusul tiba, tanpa bertanya iapun membedol sebatang pohon kecil dan membantu Yo Ko memadamkan api, tidak lama api dapat diatasinya.
Yo Ko bermaksud memadamkan api pada rumah yang lain, tiba-tiba si nona baju hijau berkata: “Tuan tamu harap berhenti agar tidak menambah dosa kami”
Selagi Yo Ko merasa bingung dan hendak tanya apa artinya, tiba-tiba dari balik rumah muncul seorang dan berseru: “Kokcu (pemilik lembah) ada perintah, karena ada tamu, maka hukuman sementara ditunda, keempat murid diperintahkan melayani tamu sebaiknya.”
Nona baju hijau itu mengiakan dan menyatakan terima kasih, Lalu orang yang bicara itu melompat masuk rumah batu, ia mengeluarkan sebuah kunci yang amat besar untuk membuka gembok pada rantai si nona, begitulah ber-turut-urut keempat, orang itu telah dibebaskan, habis itu dia terus berlari pergi tapi memandang sekejap kepada Yo Ko dan Iain-lain.
Keempat orang yang terantai di dalam rumah batu tadi lantas keluar semua dan memberi hormat seorang diantaranya berkata: “Maafkan jika tadi kami tak dapat menyambut kedatangan tuan sekalian.” - lalu ia tuding tanah lapang di sebelah timur sana dan menyambung: “Silakan duduk saja di sana, rumah terlalu panas terbakar, sukar untuk menerima tamu di dalam rumah.”
Kim-lun Hoat-ong mengangguk tanda setuju, baru saja mau melangkah ke sana, mendadak Nimo Singh berkata: “semakin panas semakin menyenangkan.” - Habis itu dengan lagak tak takut mati ia terus melangkah masuk ke dalam rumah batu yang terletak di tengah dan masih dikelilingi oleh
api yang berkobar itu.
“Guruku seorang perempuan jelita, ilmu silatnya, tinggi, orang lain dilarang menyinggung namanya.”
Semua orang melengak dan tahu kakek keling cebol itu sengaja pamer kepandaian, Siau-siang-cu mendengus satu kali, segera iapun menyusul ke dalam rumah itu.
“Wah, jangan sampai orang Persi berubah menjadi daging panggang,” ujar In Kik-si dengan tertawa, walaupun begitu katanya, tanpa ragu ia pun ikut masuk ke dalam rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar