Kembalinya Pendekar Rajawali 42
Dengan tertawa Yo Ko lantas menjawab:
“Baiklah, kuingat akan pesanmu, Tapi mengapa kau harus mengintip secara
diam-diam, apakah kau takut pada kawanan hidung kerbau dari Coan-cin-kau?”
Ciu Pek-thong menghela napas dan menjawab:
“Aku kan paman gurunya Hek Tay-thong itu!”
Ucapan ini membikin Yo Ko bersuara kaget.
Lalu Ciu Pek-thong menyambung lagi: “Bila dia
melihat diriku, tentu dia akan minta tolong padaku. Dalam keadaan begitu, jika
aku tidak menolongnya akan terasa tidak enak, sebaliknya kalau kutolong dia,
pertunjukan menarik akan gagal kulihat.”
Diam-diam Yo Ko pikir ilmu silat orang ini
sangat tinggi meski wataknya polos dan lugu, apa pun juga dia adalah orang
Coan-cin-pay, jelas tidak mungkin mengajaknya memusuhi Kwe Ceng, maka jalan
paling baik adalah berusaha membinasakan dia saja.
Sebenarnya pembawaan Yo Ko tidaklah jahat,
soalnya dia tak pernah melupakan sakit hati kematian ayahnya, untuk mencapai
tujuan menuntut balas, segala cara dapat diIakukannya.
Sudah tentu Ciu Pek-thong tidak tahu Yo Ko
sudah berpikir jahat padanya, ia malah tanya lagi: “He, kapan kau akan
menangkap si Hek Tay-thong itu?”
“Sekarang juga aku akan berangkat, kau ingin
lihat keramaian, bolehlah kau ikut saja padaku,” kata Yo Ko.
Dengan girang Ciu Pek-thong lantas berbangkit
tapi mendadak ia berduduk pula dengan Iesu, katanya: “Ai, tidak bisa jadi, aku
harus pergi ke Siang-yang.”
“Masakah menarik kota Siangyang? Kukira
janganlah kau pergi ke sana,” ujar Yo Ko.
“Adik Kwe meninggalkan surat bagiku, katanya
pasukan Mongol telah menyerbu ke selatan dan pasti akan menyerang Siangyang,”
tutur Ciu Pek-thong. “Dia telah memimpin semua pahlawan ke Siang-yang, akupun
diminta ke sana untuk membantunya, sepanjang jalan kucari dia dan tidak ketemu,
terpaksa kususul ke Siangyang saja.”
Kubilai saling pandang sekejap dengan Kim-lun
Hoat-ong, mereka sama pikir: “Adanya bala bantuan para pahlawan yang dipimpin
Kwe Ceng itu, mungkin Siangyang sukar diduduki.”
Bicara sampai di sirii, tiba-tiba masuklah
seorang Hwesio setengah umur, dari tingkah laku dan wajahnya jelas Hwesio ini
adalah seorang terpelajar. Dia mendekati Kubilai, lalu kedua orang bicara dengan
suara tertahan.
Kiranya Hwesio ini adalah bangsa Han, namanya
Cu-cong, terhitung seorang stafnya Kubilai.
Aslinya Cu-cong bernama Lau An, menurut
catatan sejarah, Lau An adalah seorang pintar dan serba tahu, karena itu dia
sangat disayang oleh Kubilai.
Dari penjaga Lau An mendapat laporan bahwa di
kemah Kubilai ada orang kosen, maka lebih dulu ia telah mengatur penjagaan
seperlunya di luar kemah, habis itu barulah masuk menghadap Kubilai.
Ciu Pek-thong tepuk-tepuk perutnya yang rada
gendut, katanya: “Eh, Hwesio, kau menyingkir dulu, aku lagi bicara dengan adik
cilik itu. Hai, saudara cilik, siapa namamu?”
“Aku she Yo bernama Ko.” jawab Yo Ko.
“Sebenarnya siapa gurumu?” tanya Ciu
Pek-thong pula.
“Guruku seorang perempuan cantik, ilmu
silatnya maha sakti tapi namanya tak boleh diketahui orang luar,” jawab Nyo Ko.
Ciu Pek-thong merinding mendengar perempuan
cantik, ia teringat kepada kekasihnya dahulu, Eng Koh, seketika ia tak berani
tanya lagi ia berbangkit dan mengebut debu di tubuhnya, maka berhamburanlah
debu memenuhi kemana-mana Cu-cong bersin dua-tiga kali karena debu yang
mengepul itu, Ciu Pek-thong tambah gembira, lengan bajunya mengebut semakin
keras, mendadak ia bergelak tertawa dan berkata :
“Aku mau pergi!” Berbareng empat potong ujung
tumbak patah tadi terus disambitkan ke arah Siau-siang-cu, Nimo Singh, In
Kik-si dan Be Kong-co.
Terdengar suara mendesing menyambernya ke
empat ujung tumbak itu, karena jaraknya sangat dekat, dalam sekejap saja ujung
tumbak itu sudah menyamber sampai di depan mata keempat orang sasarannya.
Siau-siang-cu berempat terkejut, mereka
merasa sukar untuk mengelak, terpaksa mereka mengerahkan tenaga dalam dan
menangkap ujung tumbak Siapa tahu keempat tangan mereka itu ternyata menangkap
angin, “plok”, tahu-tahu keempat ujung tumbak itu menancap di atas tanah.
Kiranya tenaga sambitan Ciu Pek-thong itu
sangat spesial, begitu disambitkan segera disertai tenaga tarikan, maka ketika
ujung tumbak menyamber, sampai di depan sasarannya, mendadak terus ganti arah
dan membelok ke bawah dan menancap di atas tanah.
Be Kong-co adalah seorang lugu, sekali
tangkap tidak kena, ia malah merasa geli dan bergelak tertawa, serunya: “Hei,
jenggot putih, sungguh hebat permainan sulapmu !”..
Tapi Siau-siang-cu bertiga menjadi tidak
kepalang kagetnya, tanpa terasa air muka mereka berubah hebat. Bayangkan saja,
ujung tombak itu tidak berhasil mereka tangkap, tapi sempat berganti arah, maka
pada detik itu sesungguhnya jiwa sendiri sudah tergenggam di tangan lawan,
kalau saja ujung tombak itu bukan menancap di tanah, tapi menyamber ke perut
mereka, apakah jiwa mereka dapat diselamatkan ?
Karena berhasil mempermainkan keempat orang
itu, Ciu Pek-thong sangat senang, baru saja dia mau keluar kemah, tiba-tiba
Cu-cong berseru : “Eh, Ciu-losiansing, kesaktianmu sungguh jarang ada di dunia
ini. Biarlah kuberi selamat padamu dengan suguhan secawan arak ini!”
Berbareng ia terus menyodorkan secawan arak
yang sudah disiapkan ke hadapan Ciu Pek-thong.
Tanpa pikir Ciu Pek-thong terima suguhan itu
dan sekali tenggak habislah isi cawan itu.
Kembali Cu-cong menghaturkan satu cawan arak
dan berkata: “Sekarang aku mewakili Ongya menyuguh engkau satu cawan,”
Segera Ciu Pek-thong menghabiskan lagi arak
itu, baru saja Cu-cong hendak menyuguh lagi cawan ketiga, sekonyong-konyong Ciu
Pek-thong berteriak: “Haya, celaka !
Perutku mules, aku mau berak !” - Berbareng
itu ia terus berjongkok sambil membuka kolor celana terus hendak memberak di
tengah kemah.
Dengan menahan rasa gelinya Kim-lun Hoat-ong
membentak untuk mencegah perbuatan Ciu Pek-thong yang tidak senonoh itu.
Ciu Pek-thong tampak melengak sejenak, habis
itu berteriak pula: “He, muIesnya perut ini tidak beres, rasanya bukan kebelet
mau berak !”
Yo Ko memandang sekejap ke arah Cu-cong,
pahamlah dia duduknya perkara, ia tahu Hwesio itulah menaruh racun didalam arak
yang disuguhkan kepada Ciu Pek-thong, tapi ia merasa tidak tega bila orang tua
yang polos dan jenaka itu sampai mati keracunan, baru saja dia mau
memperingatkan agar Kubilai ditawan untuk memaksa Cu-cong memberikan obat
penawar racun, mendadak didengarnya Ciu Pek-thong berseru pula: “Ah, salah,
salah ! Kiranya arak beracun yang kuminum
terlalu sedikit, lantaran itulah perut
menjadi mules, Hei, Hwesio, lekas, tuangkan lagi tiga cawan arak beracun !”
Keruan semua orang saling pandang dengan
bingung, sedangkan Cu-cong menjadi ketakutan kalau-kalau Ciu Pek-thong mendadak
ngamuk sebelum ajalnya, mana dia berani mendekatinya, jangankan disuruh memberi
arak lagi.
Karena itu Ciu Pek-thong lantas maju
mendekati meja, cepat Kim-lun Hoat-ong mengadang di depan Kubilai untuk
melindunginya. Tapi Ciu Pek-thong ternyata tidak bermaksud menyerang, dengan
sebelah tangan memegangi celana yang kedodoran, tangan lain terus angkat poci
yang berisi arak teracun, sekaligus ia tenggak habis seluruh isi poci itu, satu
tetespun tidak tersisa.
Di tengah rasa bingung dan kaget semua orang,
Ciu Pek-thong malah tertawa terbahak-bahak, katanya: “Nah, beginilah baru segar
rasanya,” Perut terlalu banyak barang kotor dan beracun, harus serang racun dengan
racun !” -
Habis itu mendadak mulutnya terbuka, suatu
arus arak terus menyembur ke arah Cu-cong.
Cepat Kim-Iun Hoat-ong samber meja di
sebelahnya untuk menangkis, arak berbisa itu tepat menyerempet di muka meja dan
muncrat ke mana-mana.
Sambil bergelak tertawa Ciu Pek-thong
melangkah pergi, sampai di depan kemah, mendadak timbul lagi pikirannya yang
jahil, ia tarik tali kemah dan dibetot sekuatnya, kontan tiang penyanggah kemah
itu patah, seketika kemah besar yang terbuat dari kulit itu ambruk, Kubilai,
Kim-lun Hoat-ong, Yo Ko dan lainnya terkurung semua di bawah.
Ciu Pek-thong kegirangan, ia melompat ke atas
kemah ambruk itu dan berlari-lari kian kemari beberapa kali sehingga semua
orang yang terkurung di bawah kemah itu seluruhnya terinjak olehnya.
Dari bawah kemah Kim-Iun Hoat-ong melontarkan
suatu pukulan dan tepat mengenai telapak kaki Ciu Pek-thong, karena tidak
tersangka-sangka, Ciu Pek-thong terpental dan berjumpalitan di udara sambil
berteriak: “Haha, menarik, menarik!”
Lalu pergilah dia tanpa pamit ! Waktu Kim-Iun
Hoat-ong dan lainnya merangkak keluar dengan melindungi Kubilai, para pangawal
juga cepat memasang kemah baru, sementara itu Ciu Pek-thong sudah menghilang.
Hoat-ong dan lainnya sama minta maaf kepada
Kubilai atas kelalaian mereka yang kurang cermat mengawal sang pangeran, Namun
Kubilai cukup bijaksana, sedikitpun ia tidak menyalahkan mereka, hanya berulang
ia memuji kelihayan Ciu Pek-thong, dan menyesal karena tak dapat menarik orang
kosen begini ke pihaknya. Dengan sendirinya Kim-lun Hoat-ong dan lainnya merasa
iri dan malu pula.
Kemudian perjamuan diperbarui, Kubilai
berkata: “Sudah sekian kali pasukan Mongol menggempur Siangyang, tapi tak
berhasil. Kabarnya para pahlawan Tionggoan sama berkumpul dan bertahan di sana,
sekarang Ciu Pek-Thong ini pergi ke sana, lagi untuk membantu, sungguh sulit
urusan ini, entah kalian mempunyai akal bagus tidak?”
Nimo Singh berwatak berangasan segera ia
mendahului buka suara: “Meski ilmu silat tua bangka she Ciu itu sangat tinggi,
tapi kepandaian kita juga tidak rendah, Harap saja Ongya melancarkan serangan
sekuatnya, biarlah kita menghadapi mereka, perajurit lawan perajurit, panglima
lawan panglima, biarpun di Tionggoan banyak pahlawan, tapi benua barat juga
banyak jagoan.”
“Meski betul juga ucapanmu, tapi segala
sesuatu harus ditimbang secara masak,” kata Kubilai. “untuk memenangkan suatu
pertempuran kita harus dapat menilai kekuatan lawan dan kekuatan sendiri.”
Bicara sampai di sini, tiba-tiba di luar
kemah ada orang berteriak: “Sudah kukatakan aku tak mau pergi, mengapa kalian
terus memaksa saja, sekali kubilang tidak mau ya tetap tidak mau.”
Dari suaranya itu jelas dialah Ciu Pek-thong.
Entah mengapa sudah pergi dia datang lagi dan
sedang bicara dengan siapa? Tentu saja semua orang sangat tertarik dan lari
keluar kemah untuk melihat apa yang terjadi, tapi sebelum Kubilai memberi
tanda, tiada seorangpun yang berani meninggalkan tempat duduknya.
Rupanya Kubilai tahu pikiran mereka, katanya
dengan tertawa: “Marilah kita melihatnya, entah sedang bertengkar dengan siapa
si orang tua nakal itu?”
Waktu mereka keluar kemah, tertampaklah Ciu
Pek-thong berdiri jauh di tanah lapang sebelah barat sana, ada empat orang lagi
yang berdiri mengelilinginya dalam posisi mengepung, hanya sebelah timur saja
yang terluang, Sambil mengepal dan ngotot, berulang Ciu Pek-thong hanya
menyatakan: “Tidak mau ! Tidak mau!”
Yo Ko menjadi heran, kalau saja orang tua
nakal itu bilang tak mau pergi, siapa lagi yang mampu memaksanya dan perlu
ribut mulut begitu ?!” Waktu mengawasi keempat orang itu, ternyata semuanya
berseragam jubah hijau model kuno, jelas bukan pakaian model pada jaman itu,
tiga di antaranya lelaki memakai kopiah besar, seorang lagi perempuan muda.
Keempat orang bersikap tenang dan ramah,
Terdengar lelaki yang berdiri di sebelah utara berkata: “Kami tidak ingin
membikin susah padamu, soalnya engkau telah mengobrak-abrik tempat kami,
menjungkirkan tungku, mematahkan lengci (sejenis rumput obat), merusak kitab
pusaka dan lainnya yang merusak, kalau engkau tidak menjelaskan sendiri
duduknya perkara kepada guru kami, apabila diketahui guru kami sungguh kami
tidak berani menanggung hukuman yang akan
dijatuhkan beliau.”
“Kau dapat mengatakan semua itu adalah
perbuatan seorang hutan yang kebetulan menerobos ke situ, kan segala urusan
menjadi beres ?” ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa seperti anak kecil.
“Jadi tuan sudah pasti tak mau ikut pergi ?!”
tanya lelaki kekar tadi.
Ciu Pek-thong hanya menggeleng kepala saja.
Mendadak lelaki itu menuding ke belakang Ciu
Pek-thong dan berseru: “He, siapa itu?” - Dan begitu Ciu Pek-thong menoleh,
cepat lelaki itu beri tanda kepada kawan-kawannya, serentak keempat orang
membentangkan sebuah jaring hijau terus menutup ke atas kepala Ciu Pek-thong.
Gerakan keempat orang itu sudah terlatih, caranya
aneh pula, biarpun ilmu silat Ciu Pek-thong maha sakti, sekali terkurung oleh
jaring ikan, seketika ia menjadi kelabakan dan tak berdaya ?
Dengan cepat keempat orang itu lantas
meringkus tubuh Ciu Pek-thong dengan tali jaring, setelah kencang, dua lelaki
itu lantas memanggulnya, perempuan muda dan lelaki satunya
lagi mengawal dari samping, mereka terus
berlari.
Kejadian ini sungguh aneh dan langkah keempat
orang itu secepat terbang. Gaya Ginkang mereka ternyata belum pernah dikenal.
Segera Yo Ko memburu dan berseru: “He, kalian hendak membawanya ke mana?”
Akan tetapi keempat orang itu tidak
menggubrisnya dan tetap berlari ke depan, Karena tertarik, Yo Ko terus
mengejar. Hoat-ong dan lainnya juga menyusuInya. Beberapa li kemudian,
sampailah ditepi sebuah sungai tertampak Ciu Pek-thong digotong ke atas sebuah
perahu terus didayung pergi oleh keempat orang itu.
Cepat Yo Ko dan lainnya mencari sebuah perahu
dan memburu dengan kencang, Arus sungai itu ternyata berliku-liku, setelah
memutar beberapa tikungan, mendadak kehilangan jejak perahu tadi
Nimo Singh melompat ke atas tebing, seperti
kera gesitnya ia merangkak ke atas, dari situ ia memandang sekelilingnya,
Dilihatnya perahu kecil yang ditumpangi keempat orang berseragam hijau tadi
sedang menyusuri sebuah sungai yang sangat sempit, sungai kecil itu adalah
cabang sungai tadi,
ujung sungai kecil yang bertemu dengan muara
sungai besaran itu tertutup oleh semak pohon yang lebat, kalau tidak dipandang
dari ketinggian siapa pun takkan mengetahui dibalik lembah pegunungan itu
ternyata masih ada “dunia” lain.
Lekas Nimo Singh melompat turun, dengan
pelahan ia tancapkan kakinya di atas perahu, perahu kecil itu hanya bergoyang
sedikit saja tanpa menimbulkan guncangan berarti Hoat-ong dan lain sama berseru
memuji melihat Ginkangnya yang bagus itu.
Nimo Singh lantas menunjukkan arahnya dan
cepat perahu itu didayung balik, lalu menerobos semak pohon lebat itu.
Perahu itu terus meluncur dengan cepat,
tertampak tebing gunung menjulang tinggi di kedua tepi sungai yang sempit itu
sehingga langit kelihatannya seperti satu garis saja. Setelah beberapa li lagi,
bagian depan di tengah sungai itu teralang oleh sembilan potong batu besar yang
menonjol di permukaan sungai sehingga perahu mereka tidak dapat melintasi “Wah,
celaka ! Perahu ini tak dapat digunakan lagi!” seru Be Kong-co.
“Tubuhmu segede kerbau, boleh kau angkat
perahu ini ke sebelah sana,” kata Siau-siang-cu dengan suara melengking.
“Mana aku kuat, kecuali kau?” jawab Be
Kong-co dengan gusar.
Memangnya Kim-lun Hoat-ong lagi ragu cara
bagaimana melintasi rintangan kesembilan batu karang itu, Demi mendengar
pertengkaran Be Kong-co dan Siau-siang-cu, -tiba-
tiba pikirannya tergerak.
Kalau mengandalkan tenaga seorang tentu
siapapun tak mampu mengangkat perahu itu, tapi kalau enam orang bergotong
royong, kan segala persoalan menjadi mudah dipecahkan?
Karena itu ia lantas berkata : “He, bagaimana
kalau kita berenam lakukan bersama saja? Adik Nyo, In-heng dan diriku di-sisi
sini, saudara Nimo, Siau-heng dan Be-heng di sisi sana.”
Serentak semua orang bersorak setuju dan
menuruti petunjuk Kim-lun Hoat-ong, enam orang terbagi dan berdiri dua sisi,
karena sungai itu sangat sempit, dengan berdiri di sisi tepian tangan mereka
masih dapat meraih pinggir perahu.
Begitulah ketika Kim-lun Hoat-ong memberi
komando, serentak enam orang mengerahkan tenaga, kontan perahu itu terangkat
melintasi sepotong batu karang yang mengalang di tengah sungai itu.
Tukang perahu yang berduduk di atas perahu
belum lagi menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu terasa seperti terbang di
udara, saking kagetnya ia jerit kuatir.
Di tengah jerit kaget dan tertawa senang,
berturut perahu itu telah melintasi sembilan batu pengalang itu, lalu semua
orang melompat kembali ke atas perahu dengan tertawa gembira, lalu tukang perahu
yang masih melongo itu diperintahkan lekas mendayung lagi.
Sebenarnya keenam orang itu saling curiga
mencurigai dan suka bertengkar, tapi setelah mendalami kerja sama ini, tanpa
terasa mereka menjadi lebih akrab dan mulai pasang omong.
Kata Siau-siang-cu: “Betapapun kepandaian
kita berenam ini boleh dikatakan terhitung jago kelas satu di dunia persilatan,
dengan tenaga gabungan kita memang tidak sulit untuk mengangkat perahu ini,
akan tetapi mereka.”
“Ya, benar, mereka hanya empat orang, masakah
merekapun mampu mengangkat perahu dan melintasi sembilan batu karangtadi?”
tukas Ni-mo Singh.
Teringat hal itu, mereka sama merasa heran.
Tidak lama, berkatalah In Kik-si: “Perahu
mereka memang lebih kecil, tapi jumlah mereka juga lebih sedikit daripada kita.
Kalau mereka berempat mampu mengangkat perahu
itu, maka kepandaian merekapun harus dipuji.”
“Nona cantik muda belia, apapun juga pasti
tidak mempunyai kemampuan sebesar itu,” kata Nimo Singh.
“Kukira mereka pasti mempunyai cara lain yang
seketika tak dapat kita pecahkan.”
Kim-Iun Hoat-ong tersenyum dan berkata:
“Manusia tak boleh dinilai dari lahiriahnya, misalnya saudara Yo kita ini,
meski usianya masih muda, tapi memiliki ilmu maha tinggi, jika kita tidak
menyaksikan sendiri, siapa yang mau per-caya?”
“Ah, sedikit kepandaianku ini apa artinya?”
ujar Yo Ko dengan rendah hati. “Tapi keempat orang berseragam hijau itu mampu
meringkus Ciu Pek-thong yang maha sakti itu, tentu merekapun mempunyai
kepandaian sejati”
Kini lagak lagu Yo Ko sudah sejajar dengan
Siau-siang-cu dan lainnya, karena semua orang sudah menyaksikan caranya
menyambut samberan piring yang disambitkan Ciu Pek-thong tadi, maka tiada
seorangpun yang berani lagi meremehkan dia.
Di antara keenam orang usia Yo Ko paling
muda, sedangkan Kim-lun Hoat-ong, Be Kong-co dan Nimo Singh bertiga baru
sekarang ini menginjak daerah Tionggoan, Siau-siang-cu juga lebih sering
tirakat di pegunungan sunyi dan jarang bergaul dengan khalayak ramai, hanya In
Kik-si saja yang sangat paham terhadap kejadian di dunia persilatan daerah
Tionggoan dengan aneka macam aliran serta tokohnya. Tapi bagaimana asal usul
keempat orang berbaju hijau tadi ternyata tak diketahuinya.
Selagi mereka berbincang keanehan orang
berbaju hijau itu, sementara itu perahu telah sampai di ujung sungai kecil itu,
jalan menjadi buntu, terpaksa mereka menyuruh tukang perahu tinggal di
perahunya mereka berenam lantas melempat ke tepi sungai, dengan mengikuti
sebuah jalanan
kecil mereka terus menyusuri lembah gunung
yang rindang itu.
Untungnya jalan kecil itu hanya satu sehingga
mereka tidak sampai salah arah, namun jalanan itu makin lama makin meninggi dan
makin terjal, sampai akhirnya sukar dibedakan
lagi mana jalannya di antara batu padas yang
berserakan itu.
Kim-lun Hoat-ong dan lainnya bertenaga dalam
tinggi, dengan sendirinya mereka tidak susah menempuh jalan pegunungan yang
curam itu, hanya Be Kong-co seorang saja, karena Ginkangnya tidak setinggi
kelima orang kawannya, ia sudah mulai terengah-engah, kalau saja dia tidak
ditarik Yo Ko, In Kik-si dan Kim-lun Hoat-ong, beberapa kali ia hampir
terjerumus ke dalam jurang.
Baru sekarang Be Kong-co merasakan
kelemahannya sendiri, meski memiliki tenaga sebesar kerbau, tapi bicara tentang
tenaga dalam jelas masih selisih jauh dengan orang lain, Meski dia seorang
kasar, tapi diam-diam japun tahu diri dan malu hati.
Sementara itu hari sudah mulai gelap, tapi
jejak keempat orang berbaju hijau masih belum di ketemukan, Selagi mereka
merasa gelisah, tiba-tiba di kejauan tertampak beberapa gunduk api unggun yang sedang
menyala, seketika mereka bergirang bahwa di lembah pegunungan itu ada cahaya
api, dengan sendirinya di sana juga ada penduduknya, Kecuali beberapa orang
berbaju hijau tadi, orang biasa tentunya juga tak dapat bertempat tinggal dj
tempat securam ini.
Begitulah mereka lantas berlari lebih cepat
ke sana, dalam sekejap saja Be Gong-co sudah tertinggal jauh di belakang,
Kecuali Yo Ko, empat orang lainnya sudah
banyak berpengalaman biar-pun berlari secepatnya, tapi merekapun menyadari
sedang berada di daerah berbahaya, maka mereka sama was-was terhadap segala
kemungkinan.
Namun begitu merekapun bertambah tabah
mengingat kini mereka datang berenam, dengan gabungan tenaga mereka berenam,
rasanya tidak perlu gentar terhadap siapapun juga.
Tidak lama sampailah mereka di suatu tanah
lapang diatas puncak gunung itu, terlihat empat gundukan api yang sangat besar
sedang berkobar dengan hebatnya. Waktu mereka mendekati, maka tertampaklah
dengan jelas bahwa gundukan api besar itu masing-masing mengitari sebuah rumah
batu kecil di tengah, di pinggir rumah batu itulah tertimbun kayu bakar yang
berkobar itu. entah barang apa di dalam rumah batu itu yang lagi dibakar.
Nimo Singh datang dari negeri Thian-tiok, dia
mahir ilmu Yoga dan tidak takut pada api, segera ia melompat maju dan mendekati
rumah batu di ujung timur sana, ia mendorong pintunya dan terpentanglah
seketika, tertampak rumah batu itu kosong melompong tiada isinya, hanya di
lantai duduk, seorang lelaki baju hijau, kedua tangannya tersingkap didepan
dada sebagai penganut agama Budha, tubuhnya kelihatan menggigil air mukanya
tampak meringis menahan derita.
Heran sekali Nimo Singh, ia tidak mengerti
apa yang sedang dilakukan orang itu? Apakah sedang berlatih semacam Lwekang?
Tapi tampaknya bukan? Waktu mengamat-amati lebih jelas, kiranya kaki dan tangan
orang itu terikat oleh rantai besi dan terikat pula pada tiang di belakangnya.
Ia coba memeriksa lagi rumah batu kedua dan ketiga, keadaannya ternyata serupa
dengan rumah pertama, Rumah keempat rada berbeda, sebab yang terikat di situ
adalah seorang gadis berbaju hijau, jelas keempat orang ini adalah orang yang
menangkap Ciu Pek-thong dengan jaring ikan itu.
Cuma si tua nakal itulah yang tak kelihatan
bayangannya.
Yo Ko dan lain-lain ikut memandang ke dalam
rumah itu dan semuanya ikut heran dan terkesiap, kelihatan api semakin berkobar
dan pasti luar biasa panasnya, keempat orang itu menjadi seperti dipanggang
hidup-hidup.
Tindak-tanduk Yo Ko biasanya memang tidak
suka memikirkan bagaimana akibatnya, selain itu ia justeru dilahirkan dengan
perasaan yang suka kepada keindahan dan dengan sendirinya juga suka kepada
perempuan cantik ia pikir ketiga lelaki itu tidak menjadi soal biarpun mampus
terpanggang, tapi nona jelita ini kan harus dikasihani.
Segera ia mengambil sepotong ranting pohon
dan digunakan memadamkan api yang berkobar di tepi rumah batu yang didiami si
nona. Tidak lama Be Kong-co juga menyusul tiba, tanpa bertanya iapun membedol
sebatang pohon kecil dan membantu Yo Ko memadamkan api, tidak lama api dapat
diatasinya.
Yo Ko bermaksud memadamkan api pada rumah
yang lain, tiba-tiba si nona baju hijau berkata: “Tuan tamu harap berhenti agar
tidak menambah dosa kami”
Selagi Yo Ko merasa bingung dan hendak tanya
apa artinya, tiba-tiba dari balik rumah muncul seorang dan berseru: “Kokcu
(pemilik lembah) ada perintah, karena ada tamu, maka hukuman sementara ditunda,
keempat murid diperintahkan melayani tamu sebaiknya.”
Nona baju hijau itu mengiakan dan menyatakan
terima kasih, Lalu orang yang bicara itu melompat masuk rumah batu, ia
mengeluarkan sebuah kunci yang amat besar untuk membuka gembok pada rantai si
nona, begitulah ber-turut-urut keempat, orang itu telah dibebaskan, habis itu
dia terus berlari pergi tapi memandang sekejap kepada Yo Ko dan Iain-lain.
Keempat orang yang terantai di dalam rumah
batu tadi lantas keluar semua dan memberi hormat seorang diantaranya berkata:
“Maafkan jika tadi kami tak dapat menyambut kedatangan tuan sekalian.” - lalu
ia tuding tanah lapang di sebelah timur sana dan menyambung: “Silakan duduk
saja di sana, rumah terlalu panas terbakar, sukar untuk menerima tamu di dalam
rumah.”
Kim-lun Hoat-ong mengangguk tanda setuju,
baru saja mau melangkah ke sana, mendadak Nimo Singh berkata: “semakin panas
semakin menyenangkan.” - Habis itu dengan lagak tak takut mati ia terus
melangkah masuk ke dalam rumah batu yang terletak di tengah dan masih
dikelilingi oleh
api yang berkobar itu.
“Guruku seorang perempuan jelita, ilmu
silatnya, tinggi, orang lain dilarang menyinggung namanya.”
Semua orang melengak dan tahu kakek keling
cebol itu sengaja pamer kepandaian, Siau-siang-cu mendengus satu kali, segera
iapun menyusul ke dalam rumah itu.
“Wah, jangan sampai orang Persi berubah
menjadi daging panggang,” ujar In Kik-si dengan tertawa, walaupun begitu katanya,
tanpa ragu ia pun ikut masuk ke dalam rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar