Kembalinya Pendekar Rajawali 40
Yo Ko turun dari kudanya sambil masih
memondong bayi yang sudah tak bernyawa tadi, ia pikir: “Kedua orang tua anak
ini tentu sangat sayang padanya, tapi tumbak Busu Mongol itu telah membinasakan
bayi tak berdosa ini. Bayi ini kini sudah mati dan tak merasakan apa-apa lagi,
tinggal kedua orang tuanya yang berduka dan merana, Melihat keganasan musuh, serbuan
pasukan Mongol ke selatan sekali ini entah betapa banyak korban yang akan
ditimbulkannya?”
Makin dipikir makin susah hati Yo Ko,
kemudian ia menggali liang di tepi pohon untuk mengubur bayi itu. Habis itu ia
menjadi teringat kepada ucapan Sah Koh tentang kematian ayahnya, bayi ini mati,
tapi ada yang menguburnya, sebaliknya kematian ayahku harus diakhiri di dalam
perut burung gagak, Kalian sudah membunuhnya dan mengapa tidak menguburnya
puIa? Ai, kalian sungguh amat kejam !
Karena berlari seharian, Yo Ko melihat
kudanya sudah lelah, apalagi ke sananya mungkin juga sukar mendapatkan tempat
pondok, terpaksa harus mencari tempat bermalam seadanya, ia kuatir di semak
belukar ini akan diganggu oleh ular berbisa atau binatang buas, maka ia lantas
mengeluarkan seutas tali, kedua ujung tali diikat pada dua batang pohon, ia
menirukan cara tidur Siao-liong-li dengan berbaring di atas tali yang
terbentang itu.
Sampai tengah malam, tiba-tiba Yo Ko
mengendus bau langu, menyusul terdengarlah suara raungan di sana sini, Yo Ko
terkejut, cepat ia memandang ke arah suara meraung itu,
Kebetulan malam ini gelap gulita, syukur dia
sudah biasa bertempat tinggal di kuburan kuno yang gelap itu, sudah biasa pula
ia memandang sesuatu dalam keadaan gelap.
Maka dapatlah diketahui ada empat lentera
kecil yang mendekatnya dengan pelahan. Waktu ia menegas pula, kiranya empat
lentera kecil itu adalah sorot mata dua ekor harimau kumbang. Kedua ekor
harimau kumbang itu hitam mulus dengan badan langsing dan panjang, jelas bukan
harimau daerah Tionggoan yang pernah dilihatnya.
Kedua ekor harimau itu sambil berjalan sambil
mengendus-endus, sampai di tempat kuburan bayi, mendadak cakar kedua harimau
itu menggaruk-garuk dengan cepat.
Yo Ko menjadi gusar, pikiranya hendak
melompat turun untuk mengusir harimau itu, ceIakanya tidak membawa senjata,
tumbak rampasan dari Busu Mongol itu sudah dibuangnya tadi. Tampaknya kedua
ekor kucing raksasa sangat tangkas dan buas, jika menempurnya dengan bertangan
kosong mungkin diri sendiri tak terhindar dari luka parah.
Selagi sangsi, tiba-tiba terdengar di sebelah
barat sana ada suara “blang” yang keras, sejenak kemudian suara “blang” itu
terdengar lagi satu kali. Waktu Yo Ko memandang kesana, seketika ia tertegun
dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri.
Ternyata yang dilihatnya adalah sebuah peti
mati, anehnya peti mati itu dapat bergerak dan melompat-lompat, makin lama
makin dekat.
Bahwa peti mati dapat bergerak sendiri
benar-benar aneh bin ajaib, Yo Ko sampai terkesima berbaring di atas talinya
sambil menahan napas.
Setelah melompat-lompat lagi beberapa kali,,
kemudian peti mati itu berhenti di bawah sebatang pohon besar Tampaknya kedua
ekor harimau kumbang itu menjadi heran juga melihat peti mati, mereka terus
lari ke sana dan mengelilingi peti mati sambil mengeluarkan suara endusan dari
hidung.
Salah seekor harimau itu coba menggaruk tutup
peti mati dengan cakarnya yang tajam.
Pada saat itulah mendadak tutup peti mati
bisa menjeplak sendiri, dari dalam peti melompat keluar sesosok mayat kering
yang tinggi kurus, sekali kakinya menendang dengan kaku, kontan harimau kumbang
di depannya jatuh terguIing.
Harimau yang lain segera menubruk maju hendak
menggigit mayat hidup itu, tapi kuduk harimau malah kena dicengkeram oleh mayat
hidup itu dan terlempar hingga jauh.
Melihat betapa hebat kekuatan mayat hidup
itu, Yo Ko terkejut hingga mandi keringat dingin.
Meski sudah kecundang, tapi kedua harimau
kumbang itu tidak menyerah mentah-mentah, walaupun tak berani menerjang maju
lagi, tapi keduanya mendekam di kejauhan sambil meraung geram.
Tiba-tiba dari lembah gunung sana timbul
suara seram laksana bunyi burung hantu, sesosok bayangan hitam menggelinding
tiba laksana gumpalan asap, Kedua ekor harimau kumbang lantas memapaki gumpalan
asap itu dan berdiri di sampingnya dengan tingkah laku yang sangat jinak
seperti anjing terhadap majikannya.
Sesudah gumpalan asap hitam itu tidak
bergerak lagi barulah kelihatan dengan jelas, kiranya adalah seorang kakek
pendek dengan baju hitam mulus, kulit badannya juga hitam kelam serta janggut
yang hitam lebat, di atas pundaknya menghinggap seekor burung kondor besar
dengan kepala botak, warna burung kondor itupun hitam mulus, Terdengar kakek
hitam pendek itu membuka suara: “Siau-siang-cu, mengapa kau memukuli kucing
piaraanku? Kata pribahasa: pukul anjing juga mesti mengingat majikannya,
Tindakanmu tadi bukankah terlalu ?”
Tinggi badan kakek itu hanya satu meteran,
walaupun tubuhnya cebol, tapi suaranya ternyata nyaring seperti bunyi guntur
sehingga anak telinga Yo Ko pun tergetar.
Terdengar mayat hidup tadi mendengus dan
menjawab dengan suara lemah: “Saudara Singh, kucingmu kan tidak sampai kulukai?
Baiklah kuminta maaf padamu !” Sembari berkata iapun memberi hormat.
Kini barulah Yo Ko dapat melihat dengan
jelas, kiranya mayat hidup itu sebenarnya adalah manusia, cuma gerak-geriknya
lurus kaku, mukanya pucat seperti kertas, pula muncul dari dalam peti mati maka
Yo Ko salah menyangkanya sebagai mayat hidup.
Kalau melihat gerak tendangan serta
cengkeramannya tadi, dua ekor harimau kumbang dianggapnya seperti dua ekor
kucing saja, jelas kepandaiannya itu adalah tokoh dunia persilatan kelas satu.
Kedua orang sama-sama menyebut
harimau-kumbang sebagai “kucing”, si kakek cebol berwatak keras berangasan,
sebaliknya si- mayat hidup jangkung bersikap tenang, sungguh suatu perbandingan
yang menyolok dan aneh.
Terdengar si kakek cebol berkata pula:
“Siau-siang-cu, bagaimana dengan urusannya Kim-Iun Hoat-ong?”
Mendengar nama “Kim-lun Hoat-ong” disebut,
mau-tak-mau Yo Ko sangat tertarik dan menaruh perhatian sepenuhnya.
Maka terdengar Siau-siang-cu mendengus satu
kali, lalu berduduk di atas peti mati dan berkata: “Seorang diri dia berebut
pengaruh dengan jago silat Tionggoan dan telah mengalami kekalahan besar.”
Kakek cebol itu terbahak-bahak, suaranya
menggetar pohon, burung hantu di atas pundaknya juga mengeluarkan suara yang
seram.
Habis tertawa barulah kakek cebol itu berkata
: “Aku Nimo Singh datang dari negeri Thian-tiok (lndia sekarang) yang jauh di
barat sana, tapi sampai di sini ternyata telah didahului oleh Kim-lun Hoat-ong,
dia sudah diangkat sebagai Koksu (imam negara) kerajaan Mongol Hm, hm, padahal
berdasarkan kepandaiannya apakah dia sesuai untuk disebut sebagai “nomor
satu”?”
Dengan nada mengejek Siau-siang-cu menanggapi
“Memangnya, di dunia ini selain engkau saudara Singh, siapa lagi yang sesuai
dianugerahi gelar itu?”
Nimo Singh bergelak tertawa gembira,
Siau-siang-cu juga terkekeh beberapa kali, tapi jelas nadanya mengejek.
Nimo Singh berkata lagi : “Siau-siang-cu, kau
tinggal di Ouwlam, mengapa kau tidak berebut gelar itu padanya ?”
Siau-siang-cu menjawab: “Waktu pangeran
Kubilai mengirim undangan padaku, ketika itu aku sedang berlatih
Siu-bok-tiang-sing-kang (ilmu hidup abadi) dan tidak sempat hadir, jadinya
kedudukan itu dapat diambil Kim-lun Hoat-ong dengan mudah.”
“Dan kini ilmu saktimu itu tentu sudah
selesai kau latih, mengapa kau tidak mengukur tenaga dengan dia? Apakah kau
takut kepada roda emas Hwesio besar itu?” ejek Nimo Singh.
“Kenapa takut kepada Hwesio?” jawab
Siau-siang-cu, “soalnya kepandaianku belum memadai, kan begitu ?”
Kembali Nimo Singh bergelak terrawa, tapi
mendadak ia merasa ucapan orang bernada mengejek dengan gusar ia lantas
berkata: “Siau-siang-cu, kau pandang rendah diriku. bukan? Baik, akan kucoba
betapa lihaynya kau punya Siu-bok-tiang-sing-kang?”
Sekali bilang mau coba, tanpa tawar-tawar
lagi segera ia mencobanya, mendadak segulung asap menerjang ke depan..
Tapi biarpun perawakan Siau-siang-cu
kelihatan kaku, gerak-geriknya ternyata gesit dan cepat luar biasa, cepat ia
angkat peti matinya terus mengepruk. Terdengarlah suara “blang” yang keras,
kedua orang sama melompat mundur, kedua ekor harimau kumbang dan burung hantu
sama meraung dan menguak sehingga menambah seramnya suasana.
Setelah benturan tadi, kedua orang sama
merasakan kepandaian lawan memang lihay, Nimo Singh berkata: “Hebat sekali
kepandaianmu Siau-siang-cu,”
Siau-siang-cu tertawa dingin pula dan
menjawab : “Ah, aku yang mengaku kalah. Apakah namanya ilmu kepandaianmu itu?”
“lnilah Sakya-hiat-kang (ilmu sakti Sakya
melempar gajah),” jawab Nimo Singh
“Ya, saudara Singh berasal dari negeri
Tat-Ipo Loco
(Budha Dharma), pantas memiliki ilmu sakti
itu,” ujar Siau- siang-cu.
Dari jarak jauh kedua orang lantas saling
memberi hormat Habis itu mendadak Nimo Singh berlari cepat ke sana, dalam
sekejap saja bayangannya sudah menghilang di kegelapan, kedua ekor harimau
kumbang tadi juga lantas menyusul pergi.
Siau-siang-cu juga lantas melompat ke dalam
peti matinya dan peti mati itu kembali berjingkrak-jingkrak menggeser sendiri
ke arah berlawanan.
Tanpa sengaja Yo Ko telah menyaksikan adegan
aneh itu, diam-diam ia mengakui bahwa jagat raya yang luas ini benar-benar
terdapat orang-orang maha sakti dan hal-hal yang ajaib. Coba kalau dirinya
tidak berbaring tinggi di atas tali, tentu jejaknya sudah ketahuan kedua orang
aneh tadi dan bukan mustahil jiwanya sudah melayang.
Sukar baginya untuk tidur lagi, ia coba
merenungkan gaya ilmu silat kedua orang tadi, ia merasa ilmu mereka itu sama
anehnya, tapi sangat lihay.
Sampai lama sekali Yo Ko merenung, akhirnya
ia pejamkan mata untuk menghimpun semangat. Tak lama, tiba-tiba terdengar
kudanya meringkik sekali. Kuda itu sangat cerdik, ketika kedua ekor harimau
kumbang tadi datang, karena mengendus bau binatang buas itu, maka kuda kuda itu
mendahului menyingkir jauh, kini mendadak meringkik, tentu terjadi sesuatu pula
di sekitar situ.
Dari balik semak rumput Yo Ko coba merunduk
maju ke sana, sementara itu sudah fajar hari sudah mulai remang-remang, Yo Ko
melihat di kejauhan ada seorang sedang melompat tinggi ke atas, sebelah
tangannya menjulur untuk memetik buah-buahan. sesudah dekat, Yo Ko mengenal
orang itu adalah Darba, murid Kim-lun Hoat-ong.
Setiap lompatan Darba hanya dapat memetik
satu buah, rupanya ia menjadi tidak sabar, akhirnya ia gunakan lengannya untuk
menghantam batang pohon, seketika pohon buah itu patah dan rebah, maka dapatlah
Darba memetik buahnya dengan mudah dan cepat.
Yo Ko pikir barangkali Kim-lun Hoat-ong juga
berada di sekitar situ, sebenarnya dia tiada permusuhan dengan Hoat-ong, kini
setelah jelas diketahui Kwe Ceng dan Oey Yong adalah musul pembunuh ayahnya, ia
menjadi menyesal tempo hari telah membantu kedua orang itu menempur Kim-lun
Hoat-ong.
Diam-diam Yo Ko lantas menguntit di belakang
Darba, ia lihat orang berlari secepat terbang menuju lereng bukit sana, Yo Ko
tahu ilmu silat Darba sangat hebat, maka ia tidak berani terlalu dekat, hanya
menguntit dari kejauhan saja.
Tertampak Darba masuk ke tengah hutan dan
makin menanjak ke atas, akhirnya sampai puncak tertinggi pegunungan itu. Di
atas puncak gunung itu terdapat sebuah gubuk kecil yang tak berdinding,
Kelihatan Kim-lun Hoat-ong sedang duduk bersemadi.
Darba menaruh semua buah yang dipetiknya tadi
di lantai gubuk itu, lalu mengundurkan diri. Ketika berpaling dan mendadak
dilihatnya Yo Ko sedang mendatanginya, seketika air mukanya berubah dan
berseru: “Hei, Toasuheng, apakah engkau hendak membikin susah Suhu?”
Berbareng itu ia terus menerjang maju dan
menarik baju Yo Ko.
Sebenarnya ilmu silat Darba terlebih kuat
daripada Yo Ko,
tapi lantaran sang guru dalam keadaan semadi
dan tidak boleh diganggu, apabila sampai terganggu, seketika jiwa bisa
melayang, saking gugupnya ia menjadi linglung dan cara menyerangnya menjadi
melanggar peraturan dasar ilmu silat, keruan ia berbalik kena dipegang oleh Yo
Ko terus disengkelit sehingga dia terbanting jatuh.
Menurur jalan pikiran Darba, ia percaya Yo Ko
adalah inkarnasi Suhengnya, apalagi sekarang ia terbanting jatuh, setelah
berguling di tanah segera ia merangkak bangun dan berlari pula ke depan Yo Ko.
Semula Yo Ko menyangka orang hendak
menyerangnya lagi, maka cepat ia melangkah mundur dan siap balas menyerang,
Siapa duga mendadak Darba terus tekuk lutut dan menyembah padanya sambil
memohon: “O, Toasuheng, harap engkau suka mengingat kebaikan Suhu di masa
lampau, kini Suhu terluka parah dan sedang mengadakan penyembuhan diri, jika
engkau mengejutkan beliau tentu bisa…” sampai disini Darba tidak sanggup
melanjutkan lagi karena tenggorokan serasa tersumbat dan air matapun
bercucuran.
Meski Yo Ko tidak paham bahasa Tibet yang
diucapkan Darba, tapi dari sikapnya dan suaranya, pula Kim-lun Hoat-ong
tampak pucat, maka dapatlah dia memahami apa
artinya itu, cepat ia membangunkan Darba dan berkata: “Aku takkan mencelakai gurumu,
jangan kuatir.”
Melihat sikap Yo Ko yang ramah itu, Darba
menjadi girang, meski berbeda bahasa, namun rasa permusuhan telah lenyap kini.
Pada saat itulah Kim-lun Hoat-ong tampak
membuka matanya, melihat Yo Ko, ia menjadi melenggong, Tadi dia tekun bersemadi
sehingga tidak mendengar apa yang dipercakapkan antara Darba dan Yo Ko, kini
mendadak nampak musuh sudah berada di depan mata, maka sambil menghela napas
iapun berkata: “Percumalah kepandaian yang kulatih berpuluh tahun ini, siapa
nyana hari ini aku harus tewas di Tionggoan sini.”
Kiranya Kim-lun Hoat-ong terluka parah oleh
hantaman batu besar itu hingga isi perutnya terluka dalam, ia pasang gubuk dan
merawat luka di atas gunung ini, tak terduga Yo Ko mendadak bisa muncul di
sini, maka ia mengira dirinya pasti celaka.
Siapa tahu Yo Ko malah memberi hormat padanya
dan menyapa: “Kedatanganku ini bukan untuk memusuhi Hoat-ong, hendaklah jangan
kuatir.”
Hoat-ong menggeleng kepala, baru mau bicara
lagi, mendadak dada terasa kesakitan, cepat ia pejamkan mata dan mengatur
pernapasan.
Melihat keadaan orang, Yo Ko mengulurkan
tangan kanan dan menempel Ci-yang-hiat di punggung Hoat-ong.
Darba kaget, cepat ia ayun kepalan hendak
menyerang Yo Ko, Tapi Yo Ko sempat menggoyangi tangan kiri dan mengedipinya.
Ketika nampak keadaan sang guru tiada
perubahan apapun, sebaliknya tampak tersenyum simpul, maka kepalan yang sudah
diangkat itu tak jadi dipukulkan.
Dalam pada itu Yo Ko telah mengerahkan tenaga
dalam sehingga suatu arus hawa hangat mengalir ke berbagai Hiat-to di tubuh
Kim-lun Hoat-ong.
Karena pikirannya tidak perlu kuatir lagi
segera Kim-lun Hoat-ong memusatkan segenap kekuatannya untuk melancarkan aliran
darahnya serta membenarkan luka dalamnya, Tidak terlalu Iama rasa sakitnya
sudah mulai lenyap, wajahnya telah bersemu merah. Ia membuka mata dan
mengangguk kepada Yo Ko sebagai tanda terima kasih.
Setelah dibantu Yo Ko sekian lama, Kim-lun
Hoat-ong merasa hawa murni di dalam tubuh telah berputar dengan cepat dan
lancar.
Yo Ko merasakan perputaran dan arah aliran
hawa murni di dalam tubuh Hoat-ong itu ternyata sama sekali berbeda dengan
Lwekang aliran Coan- cin-pay, bahkan juga tidak sama dengan lwekang terbalik
ajaran Auyang Hong. Yang jelas Lwekang Hoat-ong ini juga teratur dengan baik
walaupun perputarannya terkadang berubah ke kanan dan ke kiri secara tak
menentu. ia tahu ini adalah aliran ilmu tersendiri dari Tibet, diam-diam iapun
mengingatnya dengan baik, hanya saja bagaimana caranya berlatih belum diketahui
Yo Ko, apalagi untuk berlatih sampai tingkatan Kim-lun Hoat-ong tentu tak dapat
dicapai dalam waktu singkat.
BegituIah kemudian Kim-lun Hoat-ong memberi
hormat kepada Yo Ko dan bertanya: “Yo-siauhiap, mengapa engkau tiba-tiba datang
membantu aku?”
Yo Ko lantas menceritakan bahwa baru saja ia
mengetahui pembunuh ayahnya ternyata adalah Kwe Ceng dan Oey Yong, maka kini
bertekad akan menuntut balas, secara tidak sengaja tadi dia menguntit Darba
sehingga akhirnya bertemu di sini.
“Syahdu ! Syahdu ! Kiranya Yo-siauhiap
sendiri dibebani dendam kesumat begitu,” sabda Kim-lun Hoat-ong. “Namun
Kwe-tayhiap dan isterinya itu berilmu silat maha tinggi, bagi Yo-siauhiap
kiranya tidaklah mudah untuk menuntut balas.”
“Jika perlu, biarlah kami ayah dan anak mati
semua ditangannya,” ujar Yo Ko setelah terdiam sejenak
“Betapapun maksud tujuanmu untuk mengukur
tenaga dengan tokoh persilatan di Tionggoan sini belum terhenti, namun dengan
tenagaku sendiri jelas tak sanggup melawan mereka yang berjumlah banyak, aku
juga ingin mengundang tokoh persilatan dari negeri lain untuk membantu pihak
kami, dengan begitu kita akan dapat mengukur tenaga dengan jago silat Tionggoan
dengan sama banyak dan adil Untuk ini apakah engkau bermaksud membantu pihak
kami?”
Mestinya Yo Ko ingin menerima tawaran itu,
tapi segera teringat olehnya kekejaman perajurit Mongol, segera ia menjawab:
“Aku tak dapat membantu pihak MongoI.”
“Tapi jika engkau ingin membunuh Kwe Ceng dan
isterinya dengan tenagamu sendiri terang maha sulit,” kata Hoat-ong.
Untuk sejenak Yo Ko berpikir, katanya
kemudian: “Baik, akan kubantu kau merebut kedudukan Bu-lim Beng-cu, tapi kau
harus membantu aku menuntut balas.”
“Baik,” jawab Hoat-ong sambil mengulurkan
tangan “Kata-kata seorang lelaki sejati harus ditepati, Marilah kita berjanji
dengan bertepuk tangan.”
Segera kedua orang saling tepuk tangan tiga
kali sebagai sumpah setia berserikat.
Lalu Yo Ko berkata pula: “Aku cuma berjanji
membantu kau berebut kedudukan Bu-Iirn-bengcu saja, bahwa kau akan membantu
orang Mongol menyerang ke selatan dan melakukan kekejaman dan kejahatan, untuk
itu aku tak dapat memberi bantuan.”
“Setiap orang mempunyai cita-cita sendiri dan
tak dapat dipaksakan,” kata Hoat-ong dengan tertawa. “Saudara Yo, gaya ilmu
silatmu terdiri dari berbagai aliran, ingin kukatakan terus terang, bahwasanya
memahami berbagai ilmu memang tiada jeleknya, tapi terlalu banyak menjadi tidak
murni. Dalam ilmu apa yang paling kau andalkan dan dari aliran mana?
Dengan kepandaian apa kau hendak menempuh Kwe
Ceng dan istrinya untuk membalas sakit hatimu?”
Pertanyaan ini membikin Yo Ko bungkam dan
sukar memberi jawaban. Selama hidupnya memang banyak pengalaman aneh yang
ditemuinya, wataknya juga suka menerima kepandaian apa saja asalkan bisa
dipelajarinya, ilmu silat Coan-cin-pay, kepandaian Auyang Hong,
Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, Kiu-im-cin-keng, ajaran Oey Yok-su dan Ang
Chit-kong tak terhitung banyaknya ilmu yang telah dipeIajarinya.
Tapi setiap ilmu itu sangat luas dan dalam,
biarpun dia mempelajarinya dengan segenap kepintarannya juga sukar mencapai
tingkatan yang sempurna, dia hanya ambil sini sebagian dan petik sana sebagian
pula, belum ada sejenis ilmu itu yang benar-benar dilatihnya hingga mencapai
tingkat kelas satu.
Dengan memiliki kepandaian yang beraneka
macam itu, kalau ketemu jago kelas dua memang cukup untuk membikin musuhnya itu
kewalahan dan bingung, tapi kalau kebentur tokoh kelas tinggi segera
kelemahannya kelihatan dan menyolok perbedaannya.
Begitulah Yo Ko menunduk merenungkan-apa yang
dikatakan Kim-lun Hoat-ong itu, ia merasa ucapan orang memang benar dan tepat
mengenai kelemahan ilmu silat yang telah dipelajarinya itu, Bahwa Ang
Chit-kong, Oey Yok-su, Auyang Hong, Kim-lun Hoat-ong dan tokoh terkemuka lain,
dapat termashur, dan menonjol semuanya adalah karena mereka hanya meyakinkan
ilmu perguruannya sendiri, jadi untuk mencapai tingkatan sempurna tidaklah
perlu serakah dalam jumlah, tapi yang penting adalah kadar kepandaian itu
sendiri.
Ia pikir sudah sekian banyak ilmu yang
kupahami dan semuanya serba lihay, lalu ilmu manakah yang harus kupelajari
secara khas? Kalau menuruti arah pikiran, sudah tentu dirinya harus melulu
meyakini Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, apalagi kalau dirinya sudah
bertekad akan hidup berdampingan selamanya di dalam kuburan kuno bersama
Siao-tiong-li.
Tapi bila teringat betapa bagusnya
Pak-kau-pang-hoat ajaran Ang Chit-kong, atau betapa indahnya Giok
Siau-kiam-hoat ajaran Oey Yok-su, kalau semuanya itu dikesampingkan kan juga
sayang? Apalagi Ha-mo-kang ajaran Auyang-Hong atau berbagai ilmu sakti dari
kitab Kiu-im- cin-keng, ilmu yang sangat diidamkan jago silat siapapun, kini
dirinya dapat mempelajarinya, masakah malah ditinggalkan begitu saja ?
Saking kesalnya ia keluar gubuk itu dan
berjalan mondar- mandir dengan bersedekap-tangan, sejenak kemudian mendadak
timbul suatu pikiran dalam benaknya: “Ya, mengapa aku tidak menggunakan
intisari semua ilmu yang kupahami ini untuk menjadikannya suatu aliran
tersendiri? setiap ilmu silat di dunia ini adalah ciptaan manusia, kalau orang
lain dapat menciptakannya, mengapa aku tidak?” Berpikir sampai di sini,
mendadak pikirannya terbuka, jalan terbentang terang di depan matanya.
Begitulah ia mulai memeras otak, dari pagi
berpikir sampai lohor dan sampai jauh malam pula tanpa makan dan minum,
Berbagai aliran ilmu silat terbayang bergantian dalam benaknya dan seakan-akan
saling bertempur.
Ia pernah menyaksikan pertandingan antara Ang
Chit-kong dan Auyang Hong secara lisan, ia sendiripun pernah menggertak lari Li
Bok-chiu hanya dengan uraian mulut saja.
Kini pertarungan berbagai aliran ilmu silat
dalam benaknya itu ternyata jauh lebih dahsyat dan sengit daripada pertandingan
lisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar