Rabu, 14 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 40



Kembalinya Pendekar Rajawali 40

Yo Ko turun dari kudanya sambil masih memondong bayi yang sudah tak bernyawa tadi, ia pikir: “Kedua orang tua anak ini tentu sangat sayang padanya, tapi tumbak Busu Mongol itu telah membinasakan bayi tak berdosa ini. Bayi ini kini sudah mati dan tak merasakan apa-apa lagi, tinggal kedua orang tuanya yang berduka dan merana, Melihat keganasan musuh, serbuan pasukan Mongol ke selatan sekali ini entah betapa banyak korban yang akan ditimbulkannya?”
Makin dipikir makin susah hati Yo Ko, kemudian ia menggali liang di tepi pohon untuk mengubur bayi itu. Habis itu ia menjadi teringat kepada ucapan Sah Koh tentang kematian ayahnya, bayi ini mati, tapi ada yang menguburnya, sebaliknya kematian ayahku harus diakhiri di dalam perut burung gagak, Kalian sudah membunuhnya dan mengapa tidak menguburnya puIa? Ai, kalian sungguh amat kejam !
Karena berlari seharian, Yo Ko melihat kudanya sudah lelah, apalagi ke sananya mungkin juga sukar mendapatkan tempat pondok, terpaksa harus mencari tempat bermalam seadanya, ia kuatir di semak belukar ini akan diganggu oleh ular berbisa atau binatang buas, maka ia lantas mengeluarkan seutas tali, kedua ujung tali diikat pada dua batang pohon, ia menirukan cara tidur Siao-liong-li dengan berbaring di atas tali yang terbentang itu.
Sampai tengah malam, tiba-tiba Yo Ko mengendus bau langu, menyusul terdengarlah suara raungan di sana sini, Yo Ko terkejut, cepat ia memandang ke arah suara meraung itu,
Kebetulan malam ini gelap gulita, syukur dia sudah biasa bertempat tinggal di kuburan kuno yang gelap itu, sudah biasa pula ia memandang sesuatu dalam keadaan gelap.
Maka dapatlah diketahui ada empat lentera kecil yang mendekatnya dengan pelahan. Waktu ia menegas pula, kiranya empat lentera kecil itu adalah sorot mata dua ekor harimau kumbang. Kedua ekor harimau kumbang itu hitam mulus dengan badan langsing dan panjang, jelas bukan harimau daerah Tionggoan yang pernah dilihatnya.
Kedua ekor harimau itu sambil berjalan sambil mengendus-endus, sampai di tempat kuburan bayi, mendadak cakar kedua harimau itu menggaruk-garuk dengan cepat.
Yo Ko menjadi gusar, pikiranya hendak melompat turun untuk mengusir harimau itu, ceIakanya tidak membawa senjata, tumbak rampasan dari Busu Mongol itu sudah dibuangnya tadi. Tampaknya kedua ekor kucing raksasa sangat tangkas dan buas, jika menempurnya dengan bertangan kosong mungkin diri sendiri tak terhindar dari luka parah.
Selagi sangsi, tiba-tiba terdengar di sebelah barat sana ada suara “blang” yang keras, sejenak kemudian suara “blang” itu terdengar lagi satu kali. Waktu Yo Ko memandang kesana, seketika ia tertegun dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri.
Ternyata yang dilihatnya adalah sebuah peti mati, anehnya peti mati itu dapat bergerak dan melompat-lompat, makin lama makin dekat.
Bahwa peti mati dapat bergerak sendiri benar-benar aneh bin ajaib, Yo Ko sampai terkesima berbaring di atas talinya sambil menahan napas.
Setelah melompat-lompat lagi beberapa kali,, kemudian peti mati itu berhenti di bawah sebatang pohon besar Tampaknya kedua ekor harimau kumbang itu menjadi heran juga melihat peti mati, mereka terus lari ke sana dan mengelilingi peti mati sambil mengeluarkan suara endusan dari hidung.
Salah seekor harimau itu coba menggaruk tutup peti mati dengan cakarnya yang tajam.
Pada saat itulah mendadak tutup peti mati bisa menjeplak sendiri, dari dalam peti melompat keluar sesosok mayat kering yang tinggi kurus, sekali kakinya menendang dengan kaku, kontan harimau kumbang di depannya jatuh terguIing.
Harimau yang lain segera menubruk maju hendak menggigit mayat hidup itu, tapi kuduk harimau malah kena dicengkeram oleh mayat hidup itu dan terlempar hingga jauh.
Melihat betapa hebat kekuatan mayat hidup itu, Yo Ko terkejut hingga mandi keringat dingin.
Meski sudah kecundang, tapi kedua harimau kumbang itu tidak menyerah mentah-mentah, walaupun tak berani menerjang maju lagi, tapi keduanya mendekam di kejauhan sambil meraung geram.
Tiba-tiba dari lembah gunung sana timbul suara seram laksana bunyi burung hantu, sesosok bayangan hitam menggelinding tiba laksana gumpalan asap, Kedua ekor harimau kumbang lantas memapaki gumpalan asap itu dan berdiri di sampingnya dengan tingkah laku yang sangat jinak seperti anjing terhadap majikannya.
Sesudah gumpalan asap hitam itu tidak bergerak lagi barulah kelihatan dengan jelas, kiranya adalah seorang kakek pendek dengan baju hitam mulus, kulit badannya juga hitam kelam serta janggut yang hitam lebat, di atas pundaknya menghinggap seekor burung kondor besar dengan kepala botak, warna burung kondor itupun hitam mulus, Terdengar kakek hitam pendek itu membuka suara: “Siau-siang-cu, mengapa kau memukuli kucing piaraanku? Kata pribahasa: pukul anjing juga mesti mengingat majikannya, Tindakanmu tadi bukankah terlalu ?”
Tinggi badan kakek itu hanya satu meteran, walaupun tubuhnya cebol, tapi suaranya ternyata nyaring seperti bunyi guntur sehingga anak telinga Yo Ko pun tergetar.
Terdengar mayat hidup tadi mendengus dan menjawab dengan suara lemah: “Saudara Singh, kucingmu kan tidak sampai kulukai? Baiklah kuminta maaf padamu !” Sembari berkata iapun memberi hormat.
Kini barulah Yo Ko dapat melihat dengan jelas, kiranya mayat hidup itu sebenarnya adalah manusia, cuma gerak-geriknya lurus kaku, mukanya pucat seperti kertas, pula muncul dari dalam peti mati maka Yo Ko salah menyangkanya sebagai mayat hidup.
Kalau melihat gerak tendangan serta cengkeramannya tadi, dua ekor harimau kumbang dianggapnya seperti dua ekor kucing saja, jelas kepandaiannya itu adalah tokoh dunia persilatan kelas satu.
Kedua orang sama-sama menyebut harimau-kumbang sebagai “kucing”, si kakek cebol berwatak keras berangasan, sebaliknya si- mayat hidup jangkung bersikap tenang, sungguh suatu perbandingan yang menyolok dan aneh.
Terdengar si kakek cebol berkata pula: “Siau-siang-cu, bagaimana dengan urusannya Kim-Iun Hoat-ong?”
Mendengar nama “Kim-lun Hoat-ong” disebut, mau-tak-mau Yo Ko sangat tertarik dan menaruh perhatian sepenuhnya.
Maka terdengar Siau-siang-cu mendengus satu kali, lalu berduduk di atas peti mati dan berkata: “Seorang diri dia berebut pengaruh dengan jago silat Tionggoan dan telah mengalami kekalahan besar.”
Kakek cebol itu terbahak-bahak, suaranya menggetar pohon, burung hantu di atas pundaknya juga mengeluarkan suara yang seram.
Habis tertawa barulah kakek cebol itu berkata : “Aku Nimo Singh datang dari negeri Thian-tiok (lndia sekarang) yang jauh di barat sana, tapi sampai di sini ternyata telah didahului oleh Kim-lun Hoat-ong, dia sudah diangkat sebagai Koksu (imam negara) kerajaan Mongol Hm, hm, padahal berdasarkan kepandaiannya apakah dia sesuai untuk disebut sebagai “nomor satu”?”
Dengan nada mengejek Siau-siang-cu menanggapi “Memangnya, di dunia ini selain engkau saudara Singh, siapa lagi yang sesuai dianugerahi gelar itu?”
Nimo Singh bergelak tertawa gembira, Siau-siang-cu juga terkekeh beberapa kali, tapi jelas nadanya mengejek.
Nimo Singh berkata lagi : “Siau-siang-cu, kau tinggal di Ouwlam, mengapa kau tidak berebut gelar itu padanya ?”
Siau-siang-cu menjawab: “Waktu pangeran Kubilai mengirim undangan padaku, ketika itu aku sedang berlatih Siu-bok-tiang-sing-kang (ilmu hidup abadi) dan tidak sempat hadir, jadinya kedudukan itu dapat diambil Kim-lun Hoat-ong dengan mudah.”
“Dan kini ilmu saktimu itu tentu sudah selesai kau latih, mengapa kau tidak mengukur tenaga dengan dia? Apakah kau takut kepada roda emas Hwesio besar itu?” ejek Nimo Singh.
“Kenapa takut kepada Hwesio?” jawab Siau-siang-cu, “soalnya kepandaianku belum memadai, kan begitu ?”
Kembali Nimo Singh bergelak terrawa, tapi mendadak ia merasa ucapan orang bernada mengejek dengan gusar ia lantas berkata: “Siau-siang-cu, kau pandang rendah diriku. bukan? Baik, akan kucoba betapa lihaynya kau punya Siu-bok-tiang-sing-kang?”
Sekali bilang mau coba, tanpa tawar-tawar lagi segera ia mencobanya, mendadak segulung asap menerjang ke depan..
Tapi biarpun perawakan Siau-siang-cu kelihatan kaku, gerak-geriknya ternyata gesit dan cepat luar biasa, cepat ia angkat peti matinya terus mengepruk. Terdengarlah suara “blang” yang keras, kedua orang sama melompat mundur, kedua ekor harimau kumbang dan burung hantu sama meraung dan menguak sehingga menambah seramnya suasana.
Setelah benturan tadi, kedua orang sama merasakan kepandaian lawan memang lihay, Nimo Singh berkata: “Hebat sekali kepandaianmu Siau-siang-cu,”
Siau-siang-cu tertawa dingin pula dan menjawab : “Ah, aku yang mengaku kalah. Apakah namanya ilmu kepandaianmu itu?”
“lnilah Sakya-hiat-kang (ilmu sakti Sakya melempar gajah),” jawab Nimo Singh
“Ya, saudara Singh berasal dari negeri Tat-Ipo Loco
(Budha Dharma), pantas memiliki ilmu sakti itu,” ujar Siau- siang-cu.
Dari jarak jauh kedua orang lantas saling memberi hormat Habis itu mendadak Nimo Singh berlari cepat ke sana, dalam sekejap saja bayangannya sudah menghilang di kegelapan, kedua ekor harimau kumbang tadi juga lantas menyusul pergi.
Siau-siang-cu juga lantas melompat ke dalam peti matinya dan peti mati itu kembali berjingkrak-jingkrak menggeser sendiri ke arah berlawanan.
Tanpa sengaja Yo Ko telah menyaksikan adegan aneh itu, diam-diam ia mengakui bahwa jagat raya yang luas ini benar-benar terdapat orang-orang maha sakti dan hal-hal yang ajaib. Coba kalau dirinya tidak berbaring tinggi di atas tali, tentu jejaknya sudah ketahuan kedua orang aneh tadi dan bukan mustahil jiwanya sudah melayang.
Sukar baginya untuk tidur lagi, ia coba merenungkan gaya ilmu silat kedua orang tadi, ia merasa ilmu mereka itu sama anehnya, tapi sangat lihay.
Sampai lama sekali Yo Ko merenung, akhirnya ia pejamkan mata untuk menghimpun semangat. Tak lama, tiba-tiba terdengar kudanya meringkik sekali. Kuda itu sangat cerdik, ketika kedua ekor harimau kumbang tadi datang, karena mengendus bau binatang buas itu, maka kuda kuda itu mendahului menyingkir jauh, kini mendadak meringkik, tentu terjadi sesuatu pula di sekitar situ.
Dari balik semak rumput Yo Ko coba merunduk maju ke sana, sementara itu sudah fajar hari sudah mulai remang-remang, Yo Ko melihat di kejauhan ada seorang sedang melompat tinggi ke atas, sebelah tangannya menjulur untuk memetik buah-buahan. sesudah dekat, Yo Ko mengenal orang itu adalah Darba, murid Kim-lun Hoat-ong.
Setiap lompatan Darba hanya dapat memetik satu buah, rupanya ia menjadi tidak sabar, akhirnya ia gunakan lengannya untuk menghantam batang pohon, seketika pohon buah itu patah dan rebah, maka dapatlah Darba memetik buahnya dengan mudah dan cepat.
Yo Ko pikir barangkali Kim-lun Hoat-ong juga berada di sekitar situ, sebenarnya dia tiada permusuhan dengan Hoat-ong, kini setelah jelas diketahui Kwe Ceng dan Oey Yong adalah musul pembunuh ayahnya, ia menjadi menyesal tempo hari telah membantu kedua orang itu menempur Kim-lun Hoat-ong.
Diam-diam Yo Ko lantas menguntit di belakang Darba, ia lihat orang berlari secepat terbang menuju lereng bukit sana, Yo Ko tahu ilmu silat Darba sangat hebat, maka ia tidak berani terlalu dekat, hanya menguntit dari kejauhan saja.
Tertampak Darba masuk ke tengah hutan dan makin menanjak ke atas, akhirnya sampai puncak tertinggi pegunungan itu. Di atas puncak gunung itu terdapat sebuah gubuk kecil yang tak berdinding, Kelihatan Kim-lun Hoat-ong sedang duduk bersemadi.
Darba menaruh semua buah yang dipetiknya tadi di lantai gubuk itu, lalu mengundurkan diri. Ketika berpaling dan mendadak dilihatnya Yo Ko sedang mendatanginya, seketika air mukanya berubah dan berseru: “Hei, Toasuheng, apakah engkau hendak membikin susah Suhu?”
Berbareng itu ia terus menerjang maju dan menarik baju Yo Ko.
Sebenarnya ilmu silat Darba terlebih kuat daripada Yo Ko,
tapi lantaran sang guru dalam keadaan semadi dan tidak boleh diganggu, apabila sampai terganggu, seketika jiwa bisa melayang, saking gugupnya ia menjadi linglung dan cara menyerangnya menjadi melanggar peraturan dasar ilmu silat, keruan ia berbalik kena dipegang oleh Yo Ko terus disengkelit sehingga dia terbanting jatuh.
Menurur jalan pikiran Darba, ia percaya Yo Ko adalah inkarnasi Suhengnya, apalagi sekarang ia terbanting jatuh, setelah berguling di tanah segera ia merangkak bangun dan berlari pula ke depan Yo Ko.
Semula Yo Ko menyangka orang hendak menyerangnya lagi, maka cepat ia melangkah mundur dan siap balas menyerang, Siapa duga mendadak Darba terus tekuk lutut dan menyembah padanya sambil memohon: “O, Toasuheng, harap engkau suka mengingat kebaikan Suhu di masa lampau, kini Suhu terluka parah dan sedang mengadakan penyembuhan diri, jika engkau mengejutkan beliau tentu bisa…” sampai disini Darba tidak sanggup melanjutkan lagi karena tenggorokan serasa tersumbat dan air matapun bercucuran.
Meski Yo Ko tidak paham bahasa Tibet yang diucapkan Darba, tapi dari sikapnya dan suaranya, pula Kim-lun Hoat-ong
tampak pucat, maka dapatlah dia memahami apa artinya itu, cepat ia membangunkan Darba dan berkata: “Aku takkan mencelakai gurumu, jangan kuatir.”
Melihat sikap Yo Ko yang ramah itu, Darba menjadi girang, meski berbeda bahasa, namun rasa permusuhan telah lenyap kini.
Pada saat itulah Kim-lun Hoat-ong tampak membuka matanya, melihat Yo Ko, ia menjadi melenggong, Tadi dia tekun bersemadi sehingga tidak mendengar apa yang dipercakapkan antara Darba dan Yo Ko, kini mendadak nampak musuh sudah berada di depan mata, maka sambil menghela napas iapun berkata: “Percumalah kepandaian yang kulatih berpuluh tahun ini, siapa nyana hari ini aku harus tewas di Tionggoan sini.”
Kiranya Kim-lun Hoat-ong terluka parah oleh hantaman batu besar itu hingga isi perutnya terluka dalam, ia pasang gubuk dan merawat luka di atas gunung ini, tak terduga Yo Ko mendadak bisa muncul di sini, maka ia mengira dirinya pasti celaka.
Siapa tahu Yo Ko malah memberi hormat padanya dan menyapa: “Kedatanganku ini bukan untuk memusuhi Hoat-ong, hendaklah jangan kuatir.”
Hoat-ong menggeleng kepala, baru mau bicara lagi, mendadak dada terasa kesakitan, cepat ia pejamkan mata dan mengatur pernapasan.
Melihat keadaan orang, Yo Ko mengulurkan tangan kanan dan menempel Ci-yang-hiat di punggung Hoat-ong.
Darba kaget, cepat ia ayun kepalan hendak menyerang Yo Ko, Tapi Yo Ko sempat menggoyangi tangan kiri dan mengedipinya.
Ketika nampak keadaan sang guru tiada perubahan apapun, sebaliknya tampak tersenyum simpul, maka kepalan yang sudah diangkat itu tak jadi dipukulkan.
Dalam pada itu Yo Ko telah mengerahkan tenaga dalam sehingga suatu arus hawa hangat mengalir ke berbagai Hiat-to di tubuh Kim-lun Hoat-ong.
Karena pikirannya tidak perlu kuatir lagi segera Kim-lun Hoat-ong memusatkan segenap kekuatannya untuk melancarkan aliran darahnya serta membenarkan luka dalamnya, Tidak terlalu Iama rasa sakitnya sudah mulai lenyap, wajahnya telah bersemu merah. Ia membuka mata dan mengangguk kepada Yo Ko sebagai tanda terima kasih.
Setelah dibantu Yo Ko sekian lama, Kim-lun Hoat-ong merasa hawa murni di dalam tubuh telah berputar dengan cepat dan lancar.
Yo Ko merasakan perputaran dan arah aliran hawa murni di dalam tubuh Hoat-ong itu ternyata sama sekali berbeda dengan Lwekang aliran Coan- cin-pay, bahkan juga tidak sama dengan lwekang terbalik ajaran Auyang Hong. Yang jelas Lwekang Hoat-ong ini juga teratur dengan baik walaupun perputarannya terkadang berubah ke kanan dan ke kiri secara tak menentu. ia tahu ini adalah aliran ilmu tersendiri dari Tibet, diam-diam iapun mengingatnya dengan baik, hanya saja bagaimana caranya berlatih belum diketahui Yo Ko, apalagi untuk berlatih sampai tingkatan Kim-lun Hoat-ong tentu tak dapat dicapai dalam waktu singkat.
BegituIah kemudian Kim-lun Hoat-ong memberi hormat kepada Yo Ko dan bertanya: “Yo-siauhiap, mengapa engkau tiba-tiba datang membantu aku?”
Yo Ko lantas menceritakan bahwa baru saja ia mengetahui pembunuh ayahnya ternyata adalah Kwe Ceng dan Oey Yong, maka kini bertekad akan menuntut balas, secara tidak sengaja tadi dia menguntit Darba sehingga akhirnya bertemu di sini.
“Syahdu ! Syahdu ! Kiranya Yo-siauhiap sendiri dibebani dendam kesumat begitu,” sabda Kim-lun Hoat-ong. “Namun Kwe-tayhiap dan isterinya itu berilmu silat maha tinggi, bagi Yo-siauhiap kiranya tidaklah mudah untuk menuntut balas.”
“Jika perlu, biarlah kami ayah dan anak mati semua ditangannya,” ujar Yo Ko setelah terdiam sejenak
“Betapapun maksud tujuanmu untuk mengukur tenaga dengan tokoh persilatan di Tionggoan sini belum terhenti, namun dengan tenagaku sendiri jelas tak sanggup melawan mereka yang berjumlah banyak, aku juga ingin mengundang tokoh persilatan dari negeri lain untuk membantu pihak kami, dengan begitu kita akan dapat mengukur tenaga dengan jago silat Tionggoan dengan sama banyak dan adil Untuk ini apakah engkau bermaksud membantu pihak kami?”
Mestinya Yo Ko ingin menerima tawaran itu, tapi segera teringat olehnya kekejaman perajurit Mongol, segera ia menjawab: “Aku tak dapat membantu pihak MongoI.”
“Tapi jika engkau ingin membunuh Kwe Ceng dan isterinya dengan tenagamu sendiri terang maha sulit,” kata Hoat-ong.
Untuk sejenak Yo Ko berpikir, katanya kemudian: “Baik, akan kubantu kau merebut kedudukan Bu-lim Beng-cu, tapi kau harus membantu aku menuntut balas.”
“Baik,” jawab Hoat-ong sambil mengulurkan tangan “Kata-kata seorang lelaki sejati harus ditepati, Marilah kita berjanji dengan bertepuk tangan.”
Segera kedua orang saling tepuk tangan tiga kali sebagai sumpah setia berserikat.
Lalu Yo Ko berkata pula: “Aku cuma berjanji membantu kau berebut kedudukan Bu-Iirn-bengcu saja, bahwa kau akan membantu orang Mongol menyerang ke selatan dan melakukan kekejaman dan kejahatan, untuk itu aku tak dapat memberi bantuan.”
“Setiap orang mempunyai cita-cita sendiri dan tak dapat dipaksakan,” kata Hoat-ong dengan tertawa. “Saudara Yo, gaya ilmu silatmu terdiri dari berbagai aliran, ingin kukatakan terus terang, bahwasanya memahami berbagai ilmu memang tiada jeleknya, tapi terlalu banyak menjadi tidak murni. Dalam ilmu apa yang paling kau andalkan dan dari aliran mana?
Dengan kepandaian apa kau hendak menempuh Kwe Ceng dan istrinya untuk membalas sakit hatimu?”
Pertanyaan ini membikin Yo Ko bungkam dan sukar memberi jawaban. Selama hidupnya memang banyak pengalaman aneh yang ditemuinya, wataknya juga suka menerima kepandaian apa saja asalkan bisa dipelajarinya, ilmu silat Coan-cin-pay, kepandaian Auyang Hong, Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, Kiu-im-cin-keng, ajaran Oey Yok-su dan Ang Chit-kong tak terhitung banyaknya ilmu yang telah dipeIajarinya.
Tapi setiap ilmu itu sangat luas dan dalam, biarpun dia mempelajarinya dengan segenap kepintarannya juga sukar mencapai tingkatan yang sempurna, dia hanya ambil sini sebagian dan petik sana sebagian pula, belum ada sejenis ilmu itu yang benar-benar dilatihnya hingga mencapai tingkat kelas satu.
Dengan memiliki kepandaian yang beraneka macam itu, kalau ketemu jago kelas dua memang cukup untuk membikin musuhnya itu kewalahan dan bingung, tapi kalau kebentur tokoh kelas tinggi segera kelemahannya kelihatan dan menyolok perbedaannya.
Begitulah Yo Ko menunduk merenungkan-apa yang dikatakan Kim-lun Hoat-ong itu, ia merasa ucapan orang memang benar dan tepat mengenai kelemahan ilmu silat yang telah dipelajarinya itu, Bahwa Ang Chit-kong, Oey Yok-su, Auyang Hong, Kim-lun Hoat-ong dan tokoh terkemuka lain, dapat termashur, dan menonjol semuanya adalah karena mereka hanya meyakinkan ilmu perguruannya sendiri, jadi untuk mencapai tingkatan sempurna tidaklah perlu serakah dalam jumlah, tapi yang penting adalah kadar kepandaian itu sendiri.
Ia pikir sudah sekian banyak ilmu yang kupahami dan semuanya serba lihay, lalu ilmu manakah yang harus kupelajari secara khas? Kalau menuruti arah pikiran, sudah tentu dirinya harus melulu meyakini Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, apalagi kalau dirinya sudah bertekad akan hidup berdampingan selamanya di dalam kuburan kuno bersama Siao-tiong-li.
Tapi bila teringat betapa bagusnya Pak-kau-pang-hoat ajaran Ang Chit-kong, atau betapa indahnya Giok Siau-kiam-hoat ajaran Oey Yok-su, kalau semuanya itu dikesampingkan kan juga sayang? Apalagi Ha-mo-kang ajaran Auyang-Hong atau berbagai ilmu sakti dari kitab Kiu-im- cin-keng, ilmu yang sangat diidamkan jago silat siapapun, kini dirinya dapat mempelajarinya, masakah malah ditinggalkan begitu saja ?
Saking kesalnya ia keluar gubuk itu dan berjalan mondar- mandir dengan bersedekap-tangan, sejenak kemudian mendadak timbul suatu pikiran dalam benaknya: “Ya, mengapa aku tidak menggunakan intisari semua ilmu yang kupahami ini untuk menjadikannya suatu aliran tersendiri? setiap ilmu silat di dunia ini adalah ciptaan manusia, kalau orang lain dapat menciptakannya, mengapa aku tidak?” Berpikir sampai di sini, mendadak pikirannya terbuka, jalan terbentang terang di depan matanya.
Begitulah ia mulai memeras otak, dari pagi berpikir sampai lohor dan sampai jauh malam pula tanpa makan dan minum, Berbagai aliran ilmu silat terbayang bergantian dalam benaknya dan seakan-akan saling bertempur.
Ia pernah menyaksikan pertandingan antara Ang Chit-kong dan Auyang Hong secara lisan, ia sendiripun pernah menggertak lari Li Bok-chiu hanya dengan uraian mulut saja.
Kini pertarungan berbagai aliran ilmu silat dalam benaknya itu ternyata jauh lebih dahsyat dan sengit daripada pertandingan lisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar