Kamis, 15 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 41



Kembalinya Pendekar Rajawali 41

Begitulah bayangan pertarungan antara berbagai aliran silat terus berkecamuk di dalam benaknya sampai akhirnya tanpa terasa kaki dan tangannya juga ikut bergerak. Semula masih dapat dibedakan jurus ini berasal dari ajaran Ang Chit kong dan jurus lain dipelajari dari Auyang Hong, tapi lama-Iama menjadi kacau balau dan tak tahan lagi, mendadak ia jatuh terjungkal dan pingsan.
Dari jauh Darba mengikuti gerak-gerik Yo Ko yang linglung dan kemudian main silat sendiri seperti orang gila, akhirnya pemuda itu mendadak jatuh, ia menjadi kaget dan memburu maju hendak menolongnya.
Tapi Kim-lun Hoat-ong telah mencegahnya dengan tertawa: “Jangan kau ganggu dia, Sayang kecerdasanmu kurang sehingga kau tidak memahami persoalannya.”
Yo Ko tidur setengah malam, esoknya setelah bangun kembali ia memeras otak pula, dalam tujuh hari ia jatuh pingsan lima kali tapi gerak tangan dan kakinya semakin lihay, telapak tangan mampu mematahkan pohon dan kaki sanggup menerbangkan batu. Sampai hari kedelapan, gerakan Yo Ko sudah mulai pelahan, dari dahsyat berubah menjadi lemas, sekali pukul pada batang pohon, sehelai daun juga tidak bergoyang, tahu-tahu pohon itu patah.
Tahulah Yo Ko bahwa ilmu silat ciptaannya telah jadi, sungguh girangnya tidak alang kepalang, segera ia duduk bersila dan mulai merenungkan kembali semua jurus ilmu silat ciptaannya itu dari awal sampai akhir, ia merasa semuanya terlebur menjadi satu dalam pemikirannya, baru sekarang dia
tahu perbedaan antara kekuatan batin dan tenaga luar, antara kebagusan Pak-kau-pang-hoat dan Giok-siau-kiam-hoat, sesungguhnya semua itu “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda, tapi satu, Kemudian ia berbangkit pelahan dan memandang jauh di atas puncak gunung itu, perutnya terasa sangat lapar, tanpa pikir ia makan sekenyangnya buah-buahan yang dikumpulkan Darba.
“Selamat, saudara Yo atas berhasilnya ilmu silat ciptaanmu,” kata Kim-iun Hoat-ong dengan tertawa sambil berbangkit dan memberi hormat dengan merangkap kedua telapak tangannya di depan dada. Berbareng itu serangkum angin dahsyat terus menyambar ke arah Yo Ko.
Yo Ko terkejut dan cepat gunakan tangannya untuk menyampuk angin pukulan lawan ke samping, Tapi begitu tenaga pukulan kedua pihak saling kontak, segera Kim-lun Hoat-ong tarik kembali tenaga pukulannya.
Hanya benturan ringan tenaga pukulan tadi Kim-lun Hoat-ong sudah dapat menarik kesimpulan bahwa hasil renungan Yo Ko selama delapan hari ternyata luar biasa hebatnya.
Tahu bahwa orang cuma menguji kepandaian-nya, Yo Ko tertawa dan berkata: “Akupun mengucapkan selamat padamu, kini kau sudah sehat kembali”
Bahwa seorang kalau sudah “jadi”, apakah jadi kaya, atau jadi pintar, dengan sendirinya sikap dan wibawanya segera berubah, Begitu juga dalam hal ilmu silat, karena kini Yo Ko adalah pendiri suatu aliran tersendiri meski usianya masih muda belia, namun wibawa dan sikapnya sudah jauh berbeda daripada delapan hari sebelumnya.
Diam-diam Kim-lun Hoat-ong merasa syukur dan merasa akan banyak memetik hasilnya dengan bersekutu dan mendapat bantuan anak muda ini, Maka ia lantas berkata:
“Saudara Nyo, marilah kuperkenalkan seorang kepadamu, Orang ini mempunyai pengetahuan yg luar biasa dan berbakat tinggi, bijaksana lagi berbudi kutanggung engkau juga akan kagum kepadanya setelah menemuinya.”
“Siapakah dia?” tanya Yo Ko.
“Kubilai, pangeran Mongol,” jawab Hoat-ong. “Dia adalah cucu Jengis Khan, putera keempat pangeran Tule.”
Karena pernah menyaksikan keganasan tentara Mongol, maka Yo Ko merasa benci kepada orang Mongol, ia menjawab: “Aku ingin selekasnya dapat membunuh musuh untuk menuntut balas. Maka tak perlulah kiranya pertemuan dengan pangeran MongoI itu.”
“Aku sudah berjanji akan membantu kau, janji ini pasti akan kupegang teguh,” ujar Hoat-ong dengan tertawa, “Tapi aku adalah orang undangan pangeran Kubilai, aku perlu memberi lapor sekadarnya kepada beliau. Perkemahannya
terletak tidak jauh dari sini sehari saja cukup untuk mencapainya.”
Yo Ko merasa sendirian pasti bukan tandingan Kwe Ceng dan Oey Yong, karena memerlukan bantuan orang, terpaksa Yo Ko menurut dan ikut Kim-lun Hoat-ong.
Adalah kebiasaan orang Mongol bertempat tinggal dalam kemah adat ini tak dapat dilenyapkan meski mereka berhasil menyerbu ke Tiongkok dan menduduki kota, mereka tetap tidak biasa bertempat tinggal di dalam rumah bertembok.
Sebab itulah Kubilai juga tinggal di dalam kemahnya. Kim-lun Hoat-ong adalah Koksu utama kerajaan Mongol, dengan sendirinya dia sangat dihormati dan disegani melihat kedatangannya cepat penjaga melapor kepada sang pangeran.
Sambil berendeng maju, Kim-lun Hoat-ong dan Yo Ko melangkah masuk ke dalam kemah pangeran Kubilai.
Di dalam kemah itu ternyata sangat sederhana, kecuali luasnya satu kali lipat daripada kemah orang Mongol biasa, lebih dari itu tiada kelihatan tanda-tanda sesuatu yang mewah. Seorang pemuda berusia 25-26 tahun dengan dandanan orang terpelajar sedang membaca kitab.
Melihat Hoat-ong berdua datang, cepat pemuda itu berbangkit menyambut dan berkata dengan tertawa: “Sudah  beberapa hari tidak bertemu dengan Koksu, rasaku menjadi kesal.”
“Ongya, ini kuperkenalkan seorang kesatria muda padamu,” kata Hoat-ong. “Saudara Yo ini adalah seorang ksatria yang sukar ada bandingannya.”
Mendengar sapa menyapa itu, Yo Ko terkejut. Tadinya ia mengira sebagai cucu Jengis Khan dan saudara raja Mongol yang bertahta sekarang, tentulah pangeran Kubilai itu pasti gagah berwibawa dan kereng, siapa tahu yang dihadapinya sekarang adalah seorang pemuda pelajar yang berdandan sebagai bangsa Han dan bicara dalam bahasa Han pula.
Kubilai mengawasi Yo Ko sejenak, lalu sebelah tangannya menggandeng Yo Ko dan tangan lain menarik Kim-Iun Hoat-ong serta berseru kepada anak buahnya: “Lekas ambilkan arak, aku ingin minum bersama saudara ini.
Segera anak buahnya menghaturkan tiga buah mangkuk besar serta dituangi arak khas Mongol, arak susu kuda.
Sekali tenggak Kubilai habiskan semangkuk penuh, Hoat-ong juga keringkan isi mangkuknya. Yo Ko sendiri biasanya jarang minum arak, kini melihat tuan rumah sangat simpatik, ia merasa tidak enak untuk menolak, segera iapun habiskan isi mangkuknya, ia merasa arak itu sangat keras dan pedas, tapi mengandung rasa pahit dan kecut pula.
“Bagaimana rasanya arak ini, saudara cilik?” tanya Kubilai dengan tertawa.
“Arak ini mempunyai rasa pahit, pedas, kecut dan sepat, didalamnya terasa perih puIa, rasanya tidak enak, tapi inilah arak minuman seorang lelaki sejati,” jawab Yo Ko cepat.
Kubilai sangat girang, berulang ia berseru kepada anak buahnya agar menuangkan arak pula dan ketiga orangpun masing-masing menghabiskan tiga mangkuk. Berkat tenaga dalamnya yang kuat, sedikitpun Yo Ko tidak memperlihatkan tanda mabuk meski sudah habiskan arak keras itu cukup banyak.
Dengan gembira Kubilai tanya kepada Kim-lun Hoat-ong : “Koksu, dari manakah engkau mendapatkan bakat muda sebagus ini? Sungguh beruntung bagi Mongol Raya kita.”
Secara ringkas Kim-lun Hoat-ong lantas menceritakan, asal usul Yo Ko, nadanya bahkan sengaja meninggikan derajat anak muda itu seolah-olah menganggap Yo Ko sebagai tokoh dunia persilatan di Tionggoan.
Jika orang lain tentu takkan percaya terhadap cerita Hoat-ong itu mengingat usia Yo Ko jelas masih sangat muda, Tapi Kubilai sendiri sejak kecil sudah terkenal sebagai anak ajaib, pintar luar biasa dan bijaksana, apalagi iapun percaya penuh kepada Hoat-ong, maka ia menjadi kegirangan dan segera
memerintahkan diadakan perjamuan, katanya kepada Hoat-ong dan Yo Ko: “Sebentar akan kuperkenalkan kalian kepada beberapa orang kosen.”
Kubilai sudah lama tinggal di daerah Tiong-goan dan mengagumi kebudayaan Tiongkok, hidupnya sehari-hari senantiasa bergaul dengan kaum terpelajar iapun mengumpulkan jago silat, dari berbagai penjuru dan menghimpun kaum cendekiawan sebagai staf untuk membincangkan rencana penyerbuan ke Tiongkok “selatan.
BegituIah tidak seberapa lama meja perjamuan sudah siap dengan hidangan campuran Mongol dan Han. Kubilai memberi perintah pula kepada anak buahnya: “Undanglah beberapa tuan di Ciau-hian-koan (Wisma Ksatria) itu hadir ke sini.”
Setelah anak buahnya mengiakan dan pergi, Kubilai berkata pula: “Beberapa hari di Ciau-hian-koan telah berkumpul beberapa tamu yang memiliki kepandaian kosen, semuanya sangat menyenangkan hatiku, tapi tetap belum dapat memadai kepandaian Koksu dan saudara Yo yang serba bisa.”Habis berkata ia tertawa terbahak-bahak.
Tidak lama penjaga memberi lapor tamu undangan telah datang, Waktu tirai kemari tersingkap, masuklah empat orang.
Yo Ko terkejut ketika mengenali orang yang berjalan paling depan itu kaku sebagai mayat dan di sebelahnya adalah seorang cebol hitam, siapa lagi kalau bukan Siau-siang-cu dan Nimo Singh yang dipergokinya di lembah gunung tengah malam itu.
Dua orang lagi yang masuk belakangan juga mempunyai potongan yang aneh, seorang tinggi besar, tingginya lebih 2 meter, tangan kasar dan kaki besar, sungguh seorang raksasa tulen, cuma air mukanya tampak ketolol-tololan, pandangan matanya kaku buram, mirip orang tidak waras, seorang lagi berhidung besar, Iekuk matanya dalam, rambutnya keriting dan janggutnya merah keemasan, jelas seorang golongan Arab, justeru memakai pakaian bangsa Han yang perlente memakai kalung mutiara segala, malahan pakai gelang jamrud lagi. Dandanannya gemilapan dan lagaknya kebanci-bancian.
Kubilai menyilakan semua orang berduduk, lalu memperkenalkan mereka satu per satu, Kira-nya si raksasa tadi adalah suku Hwe di daerah Sin-kiang, sejak kecil memiliki tenaga besar dan sanggup membinasakan singa atau harimau dengan bertangan kosong.
Kemudian bertemu pula dengan orang kosen dan mendapatkan pelajaran ilmu silat yang kasar, cuma tenaganya memang maha kuat, meski ilmu silatnya tidak tinggi, kalau berkelahi tampaknya menjadi dahsyat sekali.
Sedangkan orang keturunan Arab itu adalah saudagar Persia dan sudah tiga turunan tinggal di Tiongkok sebagai pedagang batu permata, namanya juga menggunakan nama bangsa Han, yakni In Kik-si, dia memiliki ilmu silat gaya Persia yang aneh, ditambah lagi waktu dia berkeliling mencari barang dagangan, sering dia berbincang ilmu silat dengan jago silat Tiongkok, dari hasil tukar pikiran itu dipelajarinya lagi secara mendalam hingga akhirnya dia mengkombinasikan ilmu silat
dari dua negeri, dapat diciptakannya suatu aliran silat tersendiri. Ia mendengar Kubilai sedang mencari jago silat maka iapun datang melamar.
Begitulah Nimo Singh dan Siau-siang-cu saling pandang dengan tertawa penuh arti, mereka melirik ke arah Kim-lun Hoat-ong dengan sikap yang tidak mau tunduk, Ketika melihat Yo Ko masih muda belia itu, mereka mengira anak muda ini adalah anak cucu murid Kim-lun Hoat-ong, maka sama sekali tidak memperhatikannya.
Setelah suguhan arak berulang tiga kali, Nimo Singh yang berwatak berangasan itu tidak sabar lagi, segera ia berteriak: “Ongya, kerajaan MongoI Raya makmur jaya, ksatria di dunia ini semuanya berkumpul di sini, kalau Hwesio besar ini dianugerahi dengan gelar Koksu nomor satu, tentu ilmu silatnya tiada bandingannya, untuk itu kami justeru ingin tahu akan kesaktiannya sekadar menambah pengalaman kami.”
Kubilai tersenyum dan tidak menanggapi segera Siau- siang-cu menyambung: “Saudara Nimo Singh ini datang dari negeri Thian-tiok (lndia), sedangkan ilmu silat di Tibet berasal dari negeri Thian-tiok, apakah mungkin anak didik lebih mahir dari sang guru, aku menjadi ragu dan ingin tahu pula.”
Ucapan Siau-siang-cu itu jelas bernada mengadu domba, ia memang berharap agar Nimo Singh dapat bertempur dulu dengan Kim-lun Hoat-ong, dengan begitu dirinya nanti tinggal menarik keuntungannya saja, walaupun nadanya rada memihak Nimo Singh, tapi sesungguhnya dia berharap keduanya bertarung mati-matian.
Melihat air muka Siau-siang-cu pucat bersemu hijau, Kim-lun Hoat-ong yakin orang ini pasti memiliki Lwekang yg tinggi bukan mustahil diantara empat orang dia ini adalah lawan yang terkuat, Sekilas dilihatnya In Kik-si hanya tertawa saja, sejak tadi dengan lagak saudagar yang cuma mementingkan
duit belaka, tampaknya sama sekali tidak mengerti ilmu silat, tapi justeru orang yang macam begini malahan tidak boleh dipandang enteng.
Maka Kim-lun Hoat-ong lantas berkata dengan tersenyum: “Bahwa diriku diangkat sebagai Kok-su, semua ini adalah berkat budi kebaikan Sri Baginda serta Paduka Pangeran, sebenarnya aku mana berani menerimanya.”
“Jika tidak berani menerima, kan seharusnya kau memberikan pangkat itu kepada orang lain,” ujar Siau-siang-cu sambil melirik ke arah Nimo Singh.
Hoat-ong angkat sumpitnya menyupit sepotong besar daging sampi rebus, lalu berkata dengan tertawa: “Potongan daging ini paling besar di piring ini, sesungguhnya akupun tidak ingin memakannya, hanya saja sumpitku secara kebetulan mencomotnya, dalam agama Budha disebut “ada jodoh” Sekiranya tuan yang hadir di sini ada yang berminat makan daging ini, kusilahkan menyumpitnya saja.”
Habis berkata Hoat-ong tetap pegang sumpitnya yang menjepit potongan daging itu dan berhenti di atas piring sambil menunggu reaksi orang lain.
Si raksasa Be Kong-co paling polos orangnya, pikirannya terlalu sederhana dan tidak tahu kelicikan manusia umumnya, ia tidak tahu bahwa ucapan Kim-lun Hoat-ong itu bercabang makna.
Katanya saja sepotong daging, tapi yang dimaksudkan sebenarnya adalah kedudukan Koksu nomor satu yang ingin diperebutkan Nimo Singh itu.
Dasar Be Kong-co memang lugu, tanpa pikir ia menjulurkan sumpitnya untuk menjepit potongan daging disumpit Hoat-ong itu, tapi baru saja ujung sumpitnya hampir menempel daging, sekonyong-konyong ujung sebuah sumpit yang dipegang Kim-lun Hoat-ong itu, menyerong keluar dan membentur sumpitnya.
Seketika Be Kong-co merasakan tangannya tergetar sakit, sumpitnya terlepas dari cekalan dan jatuh di atas meja.
Semua orang saling memandang dengan melongo kaget, mereka kagum betapa lihaynya tenaga dalam Hoat-ong. Tapi Be Kong-co sendiri ternyata belum menyadari apa yang terjadi itu, dia jemput kembali sumpitnya dan sekali ini dipegang sekencangnya agar tidak tergetar jatuh pula, lalu sumpit dijulurkan untuk berebut daging lagi.
Kembali ujung sumpit Hoat-ong menyerong keluar, tapi sekali ini pegangan Be Kong-co sungguh kencang dan tak dapat tergetar jatuh sumpitnya, yang terdengar adalah suara “krek” sekali, sepasang sumpitnya telah patah menjadi empat seperti ditabas pisau, kedua bagian yang patah itu jatuh semua di atas meja.
Be Kong-co menjadi gusar malah, ia meraung terus hendak menubruk maju untuk melabrak Kim-lun Hoat-ong.
Namun Kubilai keburu mencegahnya dan berkata dengan tertawa: “Harap Be-cong-su jangan marah, kalau mau bertanding silat boleh nanti saja setelah dahar.”
Meski orangnya kasar, tapi Be Kong-co ternyata takut kepada sang pangeran, dia kembali berduduk, katanya dengan mendongkol sambil tuding Hoat-ong: “Kau menggunakan ilmu siluman apa sehingga alat makanku terpatahkan?”
Kim-lun Hoat-ong hanya tersenyum saja tanpa menjawab, sumpitnya tetap terjulur di atas meja dengan daging yang tersumpit itu.
Semula Nimo Singh meremehkan Kim-lun Hoat-ong, tapi kini ia tak berani memandang enteng lagi padanya setelah melihat Lwekang orang yang hebat itu. Sebagai orang Thian-tiok, cara makannya tidak memakai sumpit, tapi pakai tangan belaka, segera ia berkata: “Be-heng tak mampu menyumpit daging ini, serahkan saja padaku.” Mendadak kelima jarinya terus mencengkeram daging yang disumpit Hoat-ong itu.
Akan tetapi secepat kilat Kim-lun Hoat-ong tetap menyerongkan sebuah ujung sumpit, hanya sedikit bergetar saja sekaligus ia mengincar beberapa Hiat-to pada jari tangan Nimo Singh.
Namun Nimo Singh juga bukan jago rendahan, tangannya membalik terus memotong pergelangan tangan lawan.
Tangan Hoat-ong tidak bergerak, hanya sumpitnya yang diputar balik dan tetap bergetar beberapa kali, Segera Nimo Singh merasa ujung sumpit lawan hampir menyentuh urat nadi tangannya, cepat ia menarik kembali tangannya, Dalam pada itu sumpit Kim-lun Hoat-ong juga telah membalik lagi
dan tetap dapat menyapit potongan daging tadi.
Yo Ko dan lain-lain dapat menyaksikan bahwa hanya sekejap itu saja sebenarnya antara Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh sudah saling gebrak beberapa jurus, gerakan sumpit Hoat-ong sangat cepat, tapi cara Nimo Singh bergerak dan menarik tangannya juga cepat luar biasa, itulah pertarungan antara jago silat kelas satu.
Dengan nada dingin Siau-siang-co berseru memuji, sedangkan Kubilai hanya tahu kedua orang itu telah saling uji kepandaian dengan ilmu silat yang tinggi, tapi ilmu apa yang dikeluarkan mereka tak dapat diketahuinya, Be Kong-cu juga melongo bingung mengikuti pertarungan aneh itu.
Kini giliran In Kik-si, dengan tertawa ia berkata: “Ah, saudara-saudara ini mengapa sungkan-sungkan terhadap daharan lezat ini, kau tak mau makan, akupun tak mau makan, kan sebentar semua menjadi dingin.”
Sambil berkata iapun menjulurkan sumpitnya dengan pelahan, gelang tangannya yang jamrud bersentuhan dengan gelang emas hingga menerbitkan suara gemerincing nyaring, Belum lagi sumpitnya menyentuh daging, Hoat-ong sudah merasakan sumpitnya tergetar oleh tenaga dalam In Kik-si.
Tapi Hoat-ong malah terus menyurung sumpitnya ke depan agar dagingnya kena disumpit In-Kik-si, berbareng itu suatu arus tenaga dalam yang maha kuat disalurkan dan menggempur lengan lawan.
Dalam hati In Kik-si berteriak celaka, kalau saja tenaga dalam dapat menggempur sampai di dadanya, maka dirinya pasti akan terluka parah, Terpaksa ia mengerahkan segenap tenaga untuk balas menggempur.
Tak terduga tenaga dalam Hoat-ong itu setelah dikerahkan secara mendadak ditarik kembali pula, karena itu daging yang sudah tersumpit oleh In Kik-si itu menjadi tertolak kembali oleh gempuran balik tenaganya sehingga dapat dicapit pula oleh sumpit Hoat-ong.
“Haha, ternyata In-heng juga sungkan dan tidak sudi makan daging ini,” kata Hoat-ong dengan tertawa.
Nyata Hoat-ong telah mengalahkan In Kik-si dengan akal In Kik-si juga sangat tinggi hati setelah kena diakali, terpaksa ia mundur teratur, apa lagi kalau bergebrak pula dirinya juga belum tentu dapat menang, ia pikir lain kali saja kalau ada kesempatan akan kucoba lagi Hwesio ini.
Kemudian ia menyumpit sepotong daging yang agak kecilan dan dimakan, katanya dengan tertawa: “Selama hidupku hanya duit saja yang menarik daging sampi yang terlalu banyak gemuknya akupun tak suka, biarlah kumakan daging yang kecilan saja.”
Diam-diam Kim-lun Hoat-ong juga mengakui kelihayan orang Persi ini dengan gayanya yang luwes, kalau mesti bertempur sungguh merupakan lawan yang tangguh, talu ia berpaling kepada Siau-siang-cu dan berkata: “Jika Siau-heng juga tidak sudi, terpaksa kumakan sendiri ” Berbareng ia sedikit tarik mundur sumpitnya.
Kiranya Hoat-ong yakin Siau-siang-cu adalah lawan paling kuat di antara empat orang yang dihadapinya sekarang, bahwa alasannya mau makan sendiri sebenarnya dia sengaja menarik mundur tangannya, dengan demikian daya tahannya akan bertambah - kuat, sebaliknya jarak lawan menjadi tambah jauh dan dengan sendirinya pihak lawan harus lebih banyak mengeluarkan tenaga apabila mau menyerang.
Sudah tentu Siau-siang-cu mengetahui maksud tujuan orang, ia hanya mendengus saja, pelahan ia angkat sumpitnya, tapi mendadak secepat kilat bergerak ke depan dan tepat mencapit potongan daging itu terus ditarik, karena itu jarak mundurnya tangan Hoat-ong tadi kena diseret maju lagi ke posisi semula.
Meski sebelumnya Hoat-ong mengetahui tenaga dalam lawan ini sangat lihay, tapi tak menduga bahwa gerakannya bisa bergitu cepat, maka cepat iapun balas menarik. Karena kedua orang sama-sama mengerahkan tenaga dalam, seketika terjadilah saling betot dan saling tahan, hanya sekejap saja tiga gebrakan sudah terjadi dan potongan daging itu masih tersumpit oleh dua pasang sumpit.
Kubilai tidak paham betapa bagusnya ilmu silat kelas wahid, ia mengira kedua orang hanya saling berebut daging rebus saja, padahal kedua orang sudah saling gebrak beberapa jurus seperti pertarungan di medan tempur. Ditengah saling uji kepandaian beberapa orang itu, sejak tadi Yo Ko hanya menyaksikan saja dengan tersenyum, ia pikir orang kosen di dunia ini sungguh sukar dihitung banyaknya, terutama kepandaian kedua orang yang sukar dibedakan kalah dan menang sekarang ini, pada saat itulah tiba-tiba dari jauh berkumandang suara seorang: “Kwe Ceng! Adik Kwe Ceng dimana kau ? Lekas keluar! Hai, Kwe Ceng, bocah she Kwe, dimana kau?”
Suara itu semula terdengar berkumandang dari sebelah timur dan sekejap kemudian kedengaran ada beberapa li jauhnya, seperti suara seorang, lalu disusul dengan suara orang kedua, cuma logatnya jelas berasal dari seorang yang sama, malahan dari timur ke barat dan dari barat ke timur suara itu terus menerus bergema tanpa berhenti maka dapat dibayangkan betapa cepat gerak tubuh orang itu sungguh jarang ada bandingannya.
Selagi semua orang saling pandang dengan melenggong, sementara itu Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu masih saling ngotot. Padahal daging rebus itu mana mampu menahan tenaga tarikan dua jago kelas satu itu, tapi nyatanya daging itu masih tetap ulet dan tidak putus.
Kiranya teramat cepat pergantian tenaga Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu, begitu saling tarik segera pula saling sodok, tapi lantaran gerakan kedua orang sama cepatnya dan sama kuat pula, maka daging itu tidak lebih hanya sebagai perantara penyaluran tenaga saja sehingga tidak hancur.
Yo Ko dapat melihat keadaan itu, ia tunggu ketika kedua orang sedang saling betot dan daging itu tertarik hingga memanjang, mendadak ia angkat sumpitnya dan memotong daging itu, dua batang sumpit memotong daging itu menjadi tiga bagian, pada saat yang tepat ia jepit potongan daging bagian tengah, sedangkan Hoat-ong dan Siau-siang-cu masing-masing mendapatkan potongan daging ujung kanan dan kiri.
Cara turun tangan Yo Ko ini tidak mengutamakan kekuatan tenaga dalam melainkan unggul dalam hal kejituan dan kecepatan, ia dapat menggunakan tempo yang paling tepat.
BegituIah ketiga orang saling pandang dengan tertawa dan baru saja mereka hendak memakan daging pada sumpit masing-masing, sekonyong-konyong tirai kemah tersingkap dan bayangan seorang berkelebat mendadak seorang mengulurkan tangan dan sekaligus-dapat merampas potongan daging pada sumpit Yo Ko bertiga, lalu dimakan dengan lahapnya.
Orang itu terduduk bersimpuh di atas permadani di dalam kemah dan makan dengan mikmatnya, sama sekali tidak pandang sebelah mata pada orang lain yang berada di situ.
Kejadian ini membikin semua orang terkejut dan serentak berdiri Bayangkan saja, betapa lihaynya ilmu silat Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan Iain-lain, Yo Ko kinipun sudah termasuk barisan tokoh kelas satu, tapi orang itu sekaligus dapat merampas daging mereka tanpa bisa mengelak sedikit.
Waktu Yo Ko mengawasi kiranya orang itu adalah seorang kakek berambut dan berjenggot putih, tapi mukanya merah bercahaya dan tersenyum simpul menyenangkan, betapa usianya sukar untuk diterka.
Penjaga kemah ternyata tidak mampu merintangi kakek itu, para pengawal itu serentak membentak: “Tangkap pengacau !” Berbareng empat tumbak terus menusuk ke dada kakek itu. Tapi kakek itu cuma menggunakan tangan kirinya dan sekaligus ujung keempat tumbak sudah terpegang
olehnya, Lalu katanya kepada Yo Ko: “Eh, adik cilik, ambilkan lagi daging sampi, perutku lapar sekali.”
Sudah tentu keempat pengawal Mongol itu sangat penasaran, sekuatnya mereka membetot tumbak yang dipegang si kakek, tapi sedikitpun tak bergeming meski muka mereka merah padam dan otot hijau menonjol di dahi mereka.
Yo Ko sangat tertarik akan kepandaian kakek aneh itu, tanpapikir ia angkat piring yang berisi daging rebus itu terus, dilemparkan ke sana sambil berkata : “lni, silahkan makan!”
Dengan tangan kanan saja kakek itu menahan pantat piring yang menyambar tiba itu, mendadak sepotong daging di atas piring itu melompat-ke atas dan masuk mulut si kakek.
Kubilai sangat tertarik dan bersorak gembira, disangkanya kakek itu mahir main sulapan, sedangkan Kim-lun Hoat-ong dan lain-lain dapat melihat Lwekang orang tua itu kuat luar biasa, bahwa potongan daging itu dapat melompat sendiri jelas karena getaran tenaga tangannya yang menyanggah piring itu.
Hebatnya daging yang melonjak ke atas itu hanya sepotong saja dan potongan daging yang lain tidak bergerak sedikitpun ketepatan tenaga inilah yang luar biasa dan tak dapat ditiru orang lain, Mau-tak-mau semua orang merasa kagum dan segan pula.
Tertampak kakek itu terus makan dengan Iahapnya, baru potongan daging pertama dilalap, segera sepotong daging yang lain melompat lagi dari piring dan masuk mulut si kakek.
Hanya sekejap saja daging seisi piring itu sudah tersapu bersih.
Ketika tangan kanan si kakek bergerak, piring kosong yang dipegangnya itu terus melayang ke atas dan berputar satu kali, lalu menyamber ke arah Yo Ko dan In Kik-si. Karena sudah tahu kakek itu memiliki ilmu gaib dan kuatir terdapat sesuatu pada piring itu, Yo Ko dan In Kik-si tak berani menangkap piring itu, mereka sama mengegos ke samping.
Karena itu piring kosong itu terus menyamber lewat dan turun ke permukaan meja, tepat membentur piring lain yang berisi daging kambing panggang, piring kosong tadi berhenti di atas meja, sebaliknya piring yang berisi daging kambing panggang terus terbang menuju si kakek.
Tampaknya si kakek sangat senang, ia bergelak tertawa, seperti cara tadi setelah piring berisi daging kambing dipegangnya, kembali sepotong demi sepotong daging kambing itu melompat masuk mulutnya dan tidak lama telah dilalap habis.
Dalam keadaan begitu, yang paling konyol tentulah keempat pengawal Moegol tadi tumbak mereka terpegang si kakek, mereka membetot se-kuatnya dan tak dapat terlepas, untuk melepaskan senjata merekapun tidak berani Maklumlah disiplin tentara Mongol sangat keras, membuang senjata dimedan perang hukumannya mati, apalagi keempat orang itu bertugas sebagai pengawal sang Pangeran, terpaksa mereka mengerahkan segenap tenaga untuk menarik sekuatnya.
Kakek itu ternyata sangat nakal, semakin ke empat orang itu kelabakan, semakin senang dia. Mendadak ia berseru : “Bim-salabim! Dua orang menyembah padaku, dua lagi terjengkang ! Satu-dua-tiga !”
Selesai “tiga” diucapkan, berbareng tangannya sedikit bergerak, kontan ujung keempat tumbak patah semua, Tapi tenaga yang dikeluarkan jari tangannya ternyata berbeda, dua batang tumbak ditolak ke sana, sebaliknya dua tumbak yang kiri di-betot, maka terdengarlah suara mengaduh kesakitan keempat orang Mongol itu, yang dua orang jatuh tiarap seperti orang menyembah, dua lagi jatuh terjengkang ke belakang.
Habis itu si kakek bertepuk tangan dan menyanyikan lagu kanak-kanak, yaitu lagu yang umumnya didendangkan orang tua untuk menghibur anak kecil yang menangis karena jatuh.
Tiba-tiba Siau-sang-cu teringat kepada satu orang, cepat ia bertanya: “Apakah Cianpwe she Ciu?”
Kakek itu terbahak-bahak, jawabnya: “Ya, kau kenal padaku ?”
Tanpa ayal Siau-siang-cu” berbangkit dan memberi hormat, katanya: “Kiranya Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, Ciu- locianpwe yang tiba,”
Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh baru pertama kali ini datang di Tionggoan, mereka belum kenal siapa itu Ciu Pek-thong, mereka hanya merasa ilmu silat si kakek she Ciu ini tinggi luar biasa dan sukar diukur, tapi tingkah lakunya jenaka
dan nakal pula, pantas berju!uk “Lo-wang-tong”, (si nakal tua).. Karena itu rasa permusuhan mereka jadi lantas berkurang, malahan mereka sama tersenyum geli oleh julukan orang yang lucu itu.
Segera Kim-lum Hoat-ong berkata: “Maafkan keteledoranku yang tidak kenal orang kosen dari dunia persilatan Bagaimana kalau silakan duduk saja di sini. Ongya sedang mencari orang pandai, kini orang kosen berada di sini, tentu Ongya merasa sangat gembira.”
Kubilai juga memberi salam dan berkata: “Benar, silakan Ciu-losiansing berduduk, ada banyak persoalan yang kurang jelas perlu kuminta petunjuk padamu.”
Tapi Ciu Pek-thong menggeleng kepala, jawabnya: “Tidak, aku sudah kenyang dan tidak ingin makan lagi, Di mana Kwe Cing? Apakah dia berada di sini?”
Hati Yo Ko tergetar mendengar nama Kwe Ceng disebut, dengan dingin ia tanya: “Ada urusan apa kau mencari dia?”
Dasar watak Ciu Pek-thong memang kocak dan kekanak-kanakan, dia paling suka bergaul dengan anak kecil, melihat Yo Ko berusia paling muda diantara orang yang hadir di situ, hal ini sudah membuatnya suka lebih dahulu, kini mendengar pula Yo Ko menyebutnya dengan kata “kau” dan tidak pakai “Locianpwe” dan “Ciu-siansing” segala, ini membuatnya lebih- lebih senang.
Maka cepat Ciu Pek-thong menjawab: “Kwe Ceng adalah saudara angkatku, apakah kau kenal dia? Sejak kecil dia suka bergaul dengan orang Mongol, maka begitu melihat orang Mongol di sini segera kumenerobos ke sini untuk mencarinya.”
“Ada urusan apa kau mencari Kwe Ceng?” tanya Yo Ko pula sambil mengerut kening.
Ciu Pek-thong memang orang polos dah tidak bisa berpikir, mana dia tahu urusan apa yang harus dirahasiakan atau tidak, tanpa ragu ia terus menjawab: “Dia telah kirim berita padaku agar aku menghadiri Eng-hiong-yan (perjamuan ksatria).” Jauh-jauh aku berangkat ke sana, di tengah jalan aku mampir dan pesiar sehingga terlambat datang beberapa hari, mereka ternyata sudah bubar, sungguh mengecewakan.”
“Apakah mereka tidak meninggalkan surat untukmu?” ujar Yo Ko.
Mendadak Ciu Pek-thong mendelik dan berkata: “Mengapa kau hanya bertanya melulu ? sebenarnya kau kenal Kwe Ceng tidak?”
“Mengapa aku tidak kenal ?” jawab Yo Ko. “Nyonya Kwe bernama Oey Yong, betul tidak? Anak perempuan mereka bernama Kwe Hu, ya bukan ?”
Tapi Ciu Pek-thong mendadak menggoyangkan tangannya dan berseru dengan tertawa: “Salah, salah ! Si budak Oey Yong sendiri juga seorang anak perempuan kecil, mana mereka mempunyai anak perempuan segala ?”
Yo Ko melengak bingung, tapi ia lantas paham persoalannya, segera ia tanya pula: “Sudah berapa tahun kau tidak bertemu dengan mereka suami-isteri?”
Ciu Pek-thong tidak lantas menjawab, ia tekuk jarinya satu demi satu, sepuluh jari secara rata di-hitungnya ulang dua kali, lalu berkata: “Sudah ada 20 tahun.”
“Nah, masakah sudah 20 tahun dia masih anak perempuan kecil ?” kata Yo Ko dengan tertawa.
Ciu Pek-thong tertawa ngakak sambil garuk-garuk kepala, lalu berkata: “Ya, ya, kau yang benar, kau yang benar !
Apakah anak perempuan mereka itu pun cakap ?” “Suka anak perempuan mereka itu lebih banyak mirip nyonya Kwe dan sedikit saja memper Kwe Ceng, nah, cakap tidak menurut pendapatmu ?” tanya Yo Ko.
“Hahahaha! Bagus kalau begitu !” kata Ciu Pek-thong dengan tertawa, “Anak perempuan kalau beralis tebal dan bermata besar serta bermuka hitam seperti saudaraku Kwe Cing itu, dengan sendirinya bukan cakap lagi namanya.”
Yo Ko tahu kini Ciu Pek-thong tidak ragu lagi, tapi untuk memperkuat kepercayaannya kembali ia menambahkan: “Ayah Oey Yong, yaitu Tho-hoa-tocu Oey Yok-su, kakak Yok-su ada hubungan persaudaraan denganku, apakah kau kenal dia?”
Berganti Ciu Pek-thong melengak heran sekarang, ia pikir masakah anak muda ini berani mengaku bersaudara dengan oey-losia, lantas apa kedudukan orang muda ini? Segera ia bertanya pada Yo Ko: “siapakah gurumu ?”
“Kepandaian guruku teramat hebat, jika kukatakan bisa jadi kau mati ketakutan,” jawab Yo Ko.
“Masakah aku dapat ditakut-takuti?” ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa, Berbareng tangannya bergerak, piring kosong bekas wadah daging kambing tadi terus melayang ke arah Nyo
Ko dengan maha dahsyat. Sebenarnya Yo Ko tidak tahu asal-usul aliran perguruan
orang kosen macam Ciu Pek-thong ini, samberan piring “kosong yang keras itu sebenarnya tak berani ditangkapnya, tapi ketika melihat gaya Ciu Pek-thong itu ternyata berasal dari aliran Coan-cin-pay, padahal ilmu silat Coan-cin-pay baginya boleh dikatakan sudah apal di luar kepala, maka. tanpa pikir ia hanya gunakan jari telunjuk tangan kiri, ia tunggu ketika piring kosong itu melayang tiba, dengan cepat dan tepat jarinya menyanggah pantat piring, seketika laju piring itu terhenti terus berputar pada ujung jarinya.
Kejadian ini sungguh membikin Ciu Pek-thong sangat gembira, malahan Kim-lun Hoat-ong, Nimo Singh dan Iain-Iain juga melengak. Lebih-lebih Siau-siang-cu, semula ia lihat pakaian Yo Ko kotor dan robek, usianya muda pula, maka ia tidak pandang sebelah mata padanya, tapi sekarang mau-tak-mau ia harus berubah sikap, ia heran siapakah dan dari manakah pemuda lihay ini?
Di sebelah sana Ciu Pek-thong telah berseru memuji beberapa kali kepada Yo Ko, malahan ia pun dapat melihat gaya permainan jari Yo Ko itu adalah gaya aliran Coan-cin-pay, maka ia lantas tanya : “Apakah kau kenal Ma Giok dan Khu Ju-ki?”
“Kedua hidung kerbau itu masakah aku tak kenal?” jawab Yo Ko tak acuh. Ciu Pek-thong tambah kegirangan. Maklumlah, meski dia terhitung, tokoh tertua Coan-cin-pai, tapi lantaran dia tak dapat mematuhi peraturan agama, maka selama ini dia tak pernah menjadi Tojin.
Mendiang Ong Tiong-yang, yaitu cakal bakal Coan-cin-kau yang juga Suhengnya, kenal watak Ciu Pek-thang yang polos dan suka bertindak menuruti jalan pikiran sendiri kalau saja dipaksa menjauhi dunia ramai dan memeluk agama dan menjadi Tojin, tentu kuil Tiong-yang-kiong akan tambah kacau dibuatnya.
Sebab itulah Ciu Pek-thong tidak diharuskan menjadi Tosu dan hal ini pun cuma berlaku atas diri Lo-wan-tong saja.
Walau Kwe Ceng, Nyo Khong dan Yo Ko juga belajar ilmu silat Coan-cin-pay, tapi mereka bukanlah anak murid Coan-cin-pay, kedudukan mereka berbeda dengan Ciu Pek-Thong.
Meski antara Ciu Pek-thong dan Khu Ju-ki, Ma Giok dan lainnya tiada persengketaan apapun, dia hanya menganggap mereka itu terlalu kaku dan terikat oleh macam-macam peraturan dan pantangan, maka dalam hati dia merasa cocok.
Selama hidupnya kecuali sang Suheng, yaitu Ong Tiong-yang, yang paling dihormati dan dikagumi adalah Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong, si pengemis sakti berjari sembilan. Selain itu iapun rada cocok dengan kelatahan Oey-Yok-su dan kejahilan Oey Yong.
Kini mendengar Yo Ko menyebut Khu Ju-ki, Ma Giok dan lainnya sebagai “hidung kerbau (kata olok-oIok kepada kaum Tosu), kata-kata ini ternyata sangat cocok bagi pendengaran Ciu Pek-thong, segera ia tanya pula: “Dan bagaimana dengan Hek Tay-thong?”
Mendengar nama “Hek Tay-thong”, seketika Yo Ko menjadi gusar dan memaki: “Hm, hidung kerbau ini paling brengsek, pada suatu hari pasti akan kerjai dia, agar dia tahu rasa.”
Ciu Pek-thong menjadi semakin tertarik, cepat ia tanya: “Cara bagaimana akan kau kerjai dia dan apa rasanya ?”
“Akan kuringkus dia, kuikat tangan dan kaki-nya, lalu kurendam dia di kembangan kakus seharian,” kata Yo Ko.
Tidak kepalang senangnya Ciu Pek-thong, ia berbisik dengan suara tertahan: “Sst, nanti kalau dia sudah kubekuk, jangan kau rendam dia dahulu, beri kabar dulu kepadaku agar aku dapat mengintipnya secara diam-diam.”
Sebenarnya tiada maksud buruknya terhadap Hek Tay-thong, hanya watak Ciu Pek-thong memang suka pada permainan yang kocak, orang lain berbuat nakal dan onar, hal ini terasa sangat cocok dengan kegemarannya, maka iapun ingin ikut ambil bagian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar