Kembalinya Pendekar Rajawali 41
Begitulah bayangan pertarungan antara
berbagai aliran silat terus berkecamuk di dalam benaknya sampai akhirnya tanpa
terasa kaki dan tangannya juga ikut bergerak. Semula masih dapat dibedakan
jurus ini berasal dari ajaran Ang Chit kong dan jurus lain dipelajari dari
Auyang Hong, tapi lama-Iama menjadi kacau balau dan tak tahan lagi, mendadak ia
jatuh terjungkal dan pingsan.
Dari jauh Darba mengikuti gerak-gerik Yo Ko
yang linglung dan kemudian main silat sendiri seperti orang gila, akhirnya
pemuda itu mendadak jatuh, ia menjadi kaget dan memburu maju hendak
menolongnya.
Tapi Kim-lun Hoat-ong telah mencegahnya
dengan tertawa: “Jangan kau ganggu dia, Sayang kecerdasanmu kurang sehingga kau
tidak memahami persoalannya.”
Yo Ko tidur setengah malam, esoknya setelah
bangun kembali ia memeras otak pula, dalam tujuh hari ia jatuh pingsan lima
kali tapi gerak tangan dan kakinya semakin lihay, telapak tangan mampu
mematahkan pohon dan kaki sanggup menerbangkan batu. Sampai hari kedelapan,
gerakan Yo Ko sudah mulai pelahan, dari dahsyat berubah menjadi lemas, sekali
pukul pada batang pohon, sehelai daun juga tidak bergoyang, tahu-tahu pohon itu
patah.
Tahulah Yo Ko bahwa ilmu silat ciptaannya
telah jadi, sungguh girangnya tidak alang kepalang, segera ia duduk bersila dan
mulai merenungkan kembali semua jurus ilmu silat ciptaannya itu dari awal
sampai akhir, ia merasa semuanya terlebur menjadi satu dalam pemikirannya, baru
sekarang dia
tahu perbedaan antara kekuatan batin dan
tenaga luar, antara kebagusan Pak-kau-pang-hoat dan Giok-siau-kiam-hoat,
sesungguhnya semua itu “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda, tapi satu,
Kemudian ia berbangkit pelahan dan memandang jauh di atas puncak gunung itu,
perutnya terasa sangat lapar, tanpa pikir ia makan sekenyangnya buah-buahan
yang dikumpulkan Darba.
“Selamat, saudara Yo atas berhasilnya ilmu
silat ciptaanmu,” kata Kim-iun Hoat-ong dengan tertawa sambil berbangkit dan
memberi hormat dengan merangkap kedua telapak tangannya di depan dada.
Berbareng itu serangkum angin dahsyat terus menyambar ke arah Yo Ko.
Yo Ko terkejut dan cepat gunakan tangannya
untuk menyampuk angin pukulan lawan ke samping, Tapi begitu tenaga pukulan
kedua pihak saling kontak, segera Kim-lun Hoat-ong tarik kembali tenaga
pukulannya.
Hanya benturan ringan tenaga pukulan tadi
Kim-lun Hoat-ong sudah dapat menarik kesimpulan bahwa hasil renungan Yo Ko
selama delapan hari ternyata luar biasa hebatnya.
Tahu bahwa orang cuma menguji kepandaian-nya,
Yo Ko tertawa dan berkata: “Akupun mengucapkan selamat padamu, kini kau sudah
sehat kembali”
Bahwa seorang kalau sudah “jadi”, apakah jadi
kaya, atau jadi pintar, dengan sendirinya sikap dan wibawanya segera berubah,
Begitu juga dalam hal ilmu silat, karena kini Yo Ko adalah pendiri suatu aliran
tersendiri meski usianya masih muda belia, namun wibawa dan sikapnya sudah jauh
berbeda daripada delapan hari sebelumnya.
Diam-diam Kim-lun Hoat-ong merasa syukur dan
merasa akan banyak memetik hasilnya dengan bersekutu dan mendapat bantuan anak
muda ini, Maka ia lantas berkata:
“Saudara Nyo, marilah kuperkenalkan seorang
kepadamu, Orang ini mempunyai pengetahuan yg luar biasa dan berbakat tinggi,
bijaksana lagi berbudi kutanggung engkau juga akan kagum kepadanya setelah
menemuinya.”
“Siapakah dia?” tanya Yo Ko.
“Kubilai, pangeran Mongol,” jawab Hoat-ong.
“Dia adalah cucu Jengis Khan, putera keempat pangeran Tule.”
Karena pernah menyaksikan keganasan tentara
Mongol, maka Yo Ko merasa benci kepada orang Mongol, ia menjawab: “Aku ingin
selekasnya dapat membunuh musuh untuk menuntut balas. Maka tak perlulah kiranya
pertemuan dengan pangeran MongoI itu.”
“Aku sudah berjanji akan membantu kau, janji
ini pasti akan kupegang teguh,” ujar Hoat-ong dengan tertawa, “Tapi aku adalah
orang undangan pangeran Kubilai, aku perlu memberi lapor sekadarnya kepada
beliau. Perkemahannya
terletak tidak jauh dari sini sehari saja
cukup untuk mencapainya.”
Yo Ko merasa sendirian pasti bukan tandingan
Kwe Ceng dan Oey Yong, karena memerlukan bantuan orang, terpaksa Yo Ko menurut
dan ikut Kim-lun Hoat-ong.
Adalah kebiasaan orang Mongol bertempat
tinggal dalam kemah adat ini tak dapat dilenyapkan meski mereka berhasil
menyerbu ke Tiongkok dan menduduki kota, mereka tetap tidak biasa bertempat
tinggal di dalam rumah bertembok.
Sebab itulah Kubilai juga tinggal di dalam
kemahnya. Kim-lun Hoat-ong adalah Koksu utama kerajaan Mongol, dengan
sendirinya dia sangat dihormati dan disegani melihat kedatangannya cepat
penjaga melapor kepada sang pangeran.
Sambil berendeng maju, Kim-lun Hoat-ong dan
Yo Ko melangkah masuk ke dalam kemah pangeran Kubilai.
Di dalam kemah itu ternyata sangat sederhana,
kecuali luasnya satu kali lipat daripada kemah orang Mongol biasa, lebih dari
itu tiada kelihatan tanda-tanda sesuatu yang mewah. Seorang pemuda berusia
25-26 tahun dengan dandanan orang terpelajar sedang membaca kitab.
Melihat Hoat-ong berdua datang, cepat pemuda
itu berbangkit menyambut dan berkata dengan tertawa: “Sudah beberapa hari
tidak bertemu dengan Koksu, rasaku menjadi kesal.”
“Ongya, ini kuperkenalkan seorang kesatria
muda padamu,” kata Hoat-ong. “Saudara Yo ini adalah seorang ksatria yang sukar
ada bandingannya.”
Mendengar sapa menyapa itu, Yo Ko terkejut.
Tadinya ia mengira sebagai cucu Jengis Khan dan saudara raja Mongol yang
bertahta sekarang, tentulah pangeran Kubilai itu pasti gagah berwibawa dan
kereng, siapa tahu yang dihadapinya sekarang adalah seorang pemuda pelajar yang
berdandan sebagai bangsa Han dan bicara dalam bahasa Han pula.
Kubilai mengawasi Yo Ko sejenak, lalu sebelah
tangannya menggandeng Yo Ko dan tangan lain menarik Kim-Iun Hoat-ong serta
berseru kepada anak buahnya: “Lekas ambilkan arak, aku ingin minum bersama
saudara ini.
Segera anak buahnya menghaturkan tiga buah
mangkuk besar serta dituangi arak khas Mongol, arak susu kuda.
Sekali tenggak Kubilai habiskan semangkuk
penuh, Hoat-ong juga keringkan isi mangkuknya. Yo Ko sendiri biasanya jarang
minum arak, kini melihat tuan rumah sangat simpatik, ia merasa tidak enak untuk
menolak, segera iapun habiskan isi mangkuknya, ia merasa arak itu sangat keras
dan pedas, tapi mengandung rasa pahit dan kecut pula.
“Bagaimana rasanya arak ini, saudara cilik?”
tanya Kubilai dengan tertawa.
“Arak ini mempunyai rasa pahit, pedas, kecut
dan sepat, didalamnya terasa perih puIa, rasanya tidak enak, tapi inilah arak
minuman seorang lelaki sejati,” jawab Yo Ko cepat.
Kubilai sangat girang, berulang ia berseru
kepada anak buahnya agar menuangkan arak pula dan ketiga orangpun masing-masing
menghabiskan tiga mangkuk. Berkat tenaga dalamnya yang kuat, sedikitpun Yo Ko
tidak memperlihatkan tanda mabuk meski sudah habiskan arak keras itu cukup
banyak.
Dengan gembira Kubilai tanya kepada Kim-lun
Hoat-ong : “Koksu, dari manakah engkau mendapatkan bakat muda sebagus ini?
Sungguh beruntung bagi Mongol Raya kita.”
Secara ringkas Kim-lun Hoat-ong lantas
menceritakan, asal usul Yo Ko, nadanya bahkan sengaja meninggikan derajat anak
muda itu seolah-olah menganggap Yo Ko sebagai tokoh dunia persilatan di
Tionggoan.
Jika orang lain tentu takkan percaya terhadap
cerita Hoat-ong itu mengingat usia Yo Ko jelas masih sangat muda, Tapi Kubilai
sendiri sejak kecil sudah terkenal sebagai anak ajaib, pintar luar biasa dan
bijaksana, apalagi iapun percaya penuh kepada Hoat-ong, maka ia menjadi
kegirangan dan segera
memerintahkan diadakan perjamuan, katanya
kepada Hoat-ong dan Yo Ko: “Sebentar akan kuperkenalkan kalian kepada beberapa
orang kosen.”
Kubilai sudah lama tinggal di daerah
Tiong-goan dan mengagumi kebudayaan Tiongkok, hidupnya sehari-hari senantiasa
bergaul dengan kaum terpelajar iapun mengumpulkan jago silat, dari berbagai
penjuru dan menghimpun kaum cendekiawan sebagai staf untuk membincangkan
rencana penyerbuan ke Tiongkok “selatan.
BegituIah tidak seberapa lama meja perjamuan
sudah siap dengan hidangan campuran Mongol dan Han. Kubilai memberi perintah
pula kepada anak buahnya: “Undanglah beberapa tuan di Ciau-hian-koan (Wisma
Ksatria) itu hadir ke sini.”
Setelah anak buahnya mengiakan dan pergi,
Kubilai berkata pula: “Beberapa hari di Ciau-hian-koan telah berkumpul beberapa
tamu yang memiliki kepandaian kosen, semuanya sangat menyenangkan hatiku, tapi
tetap belum dapat memadai kepandaian Koksu dan saudara Yo yang serba
bisa.”Habis berkata ia tertawa terbahak-bahak.
Tidak lama penjaga memberi lapor tamu
undangan telah datang, Waktu tirai kemari tersingkap, masuklah empat orang.
Yo Ko terkejut ketika mengenali orang yang
berjalan paling depan itu kaku sebagai mayat dan di sebelahnya adalah seorang
cebol hitam, siapa lagi kalau bukan Siau-siang-cu dan Nimo Singh yang
dipergokinya di lembah gunung tengah malam itu.
Dua orang lagi yang masuk belakangan juga
mempunyai potongan yang aneh, seorang tinggi besar, tingginya lebih 2 meter,
tangan kasar dan kaki besar, sungguh seorang raksasa tulen, cuma air mukanya
tampak ketolol-tololan, pandangan matanya kaku buram, mirip orang tidak waras,
seorang lagi berhidung besar, Iekuk matanya dalam, rambutnya keriting dan
janggutnya merah keemasan, jelas seorang golongan Arab, justeru memakai pakaian
bangsa Han yang perlente memakai kalung mutiara segala, malahan pakai gelang
jamrud lagi. Dandanannya gemilapan dan lagaknya kebanci-bancian.
Kubilai menyilakan semua orang berduduk, lalu
memperkenalkan mereka satu per satu, Kira-nya si raksasa tadi adalah suku Hwe
di daerah Sin-kiang, sejak kecil memiliki tenaga besar dan sanggup membinasakan
singa atau harimau dengan bertangan kosong.
Kemudian bertemu pula dengan orang kosen dan
mendapatkan pelajaran ilmu silat yang kasar, cuma tenaganya memang maha kuat,
meski ilmu silatnya tidak tinggi, kalau berkelahi tampaknya menjadi dahsyat
sekali.
Sedangkan orang keturunan Arab itu adalah
saudagar Persia dan sudah tiga turunan tinggal di Tiongkok sebagai pedagang
batu permata, namanya juga menggunakan nama bangsa Han, yakni In Kik-si, dia
memiliki ilmu silat gaya Persia yang aneh, ditambah lagi waktu dia berkeliling
mencari barang dagangan, sering dia berbincang ilmu silat dengan jago silat
Tiongkok, dari hasil tukar pikiran itu dipelajarinya lagi secara mendalam
hingga akhirnya dia mengkombinasikan ilmu silat
dari dua negeri, dapat diciptakannya suatu
aliran silat tersendiri. Ia mendengar Kubilai sedang mencari jago silat maka
iapun datang melamar.
Begitulah Nimo Singh dan Siau-siang-cu saling
pandang dengan tertawa penuh arti, mereka melirik ke arah Kim-lun Hoat-ong
dengan sikap yang tidak mau tunduk, Ketika melihat Yo Ko masih muda belia itu,
mereka mengira anak muda ini adalah anak cucu murid Kim-lun Hoat-ong, maka sama
sekali tidak memperhatikannya.
Setelah suguhan arak berulang tiga kali, Nimo
Singh yang berwatak berangasan itu tidak sabar lagi, segera ia berteriak:
“Ongya, kerajaan MongoI Raya makmur jaya, ksatria di dunia ini semuanya
berkumpul di sini, kalau Hwesio besar ini dianugerahi dengan gelar Koksu nomor
satu, tentu ilmu silatnya tiada bandingannya, untuk itu kami justeru ingin tahu
akan kesaktiannya sekadar menambah pengalaman kami.”
Kubilai tersenyum dan tidak menanggapi segera
Siau- siang-cu menyambung: “Saudara Nimo Singh ini datang dari negeri
Thian-tiok (lndia), sedangkan ilmu silat di Tibet berasal dari negeri
Thian-tiok, apakah mungkin anak didik lebih mahir dari sang guru, aku menjadi
ragu dan ingin tahu pula.”
Ucapan Siau-siang-cu itu jelas bernada
mengadu domba, ia memang berharap agar Nimo Singh dapat bertempur dulu dengan
Kim-lun Hoat-ong, dengan begitu dirinya nanti tinggal menarik keuntungannya
saja, walaupun nadanya rada memihak Nimo Singh, tapi sesungguhnya dia berharap
keduanya bertarung mati-matian.
Melihat air muka Siau-siang-cu pucat bersemu
hijau, Kim-lun Hoat-ong yakin orang ini pasti memiliki Lwekang yg tinggi bukan
mustahil diantara empat orang dia ini adalah lawan yang terkuat, Sekilas
dilihatnya In Kik-si hanya tertawa saja, sejak tadi dengan lagak saudagar yang cuma
mementingkan
duit belaka, tampaknya sama sekali tidak
mengerti ilmu silat, tapi justeru orang yang macam begini malahan tidak boleh
dipandang enteng.
Maka Kim-lun Hoat-ong lantas berkata dengan
tersenyum: “Bahwa diriku diangkat sebagai Kok-su, semua ini adalah berkat budi
kebaikan Sri Baginda serta Paduka Pangeran, sebenarnya aku mana berani
menerimanya.”
“Jika tidak berani menerima, kan seharusnya
kau memberikan pangkat itu kepada orang lain,” ujar Siau-siang-cu sambil
melirik ke arah Nimo Singh.
Hoat-ong angkat sumpitnya menyupit sepotong
besar daging sampi rebus, lalu berkata dengan tertawa: “Potongan daging ini
paling besar di piring ini, sesungguhnya akupun tidak ingin memakannya, hanya
saja sumpitku secara kebetulan mencomotnya, dalam agama Budha disebut “ada
jodoh” Sekiranya tuan yang hadir di sini ada yang berminat makan daging ini,
kusilahkan menyumpitnya saja.”
Habis berkata Hoat-ong tetap pegang sumpitnya
yang menjepit potongan daging itu dan berhenti di atas piring sambil menunggu
reaksi orang lain.
Si raksasa Be Kong-co paling polos orangnya,
pikirannya terlalu sederhana dan tidak tahu kelicikan manusia umumnya, ia tidak
tahu bahwa ucapan Kim-lun Hoat-ong itu bercabang makna.
Katanya saja sepotong daging, tapi yang
dimaksudkan sebenarnya adalah kedudukan Koksu nomor satu yang ingin
diperebutkan Nimo Singh itu.
Dasar Be Kong-co memang lugu, tanpa pikir ia
menjulurkan sumpitnya untuk menjepit potongan daging disumpit Hoat-ong itu,
tapi baru saja ujung sumpitnya hampir menempel daging, sekonyong-konyong ujung
sebuah sumpit yang dipegang Kim-lun Hoat-ong itu, menyerong keluar dan
membentur sumpitnya.
Seketika Be Kong-co merasakan tangannya
tergetar sakit, sumpitnya terlepas dari cekalan dan jatuh di atas meja.
Semua orang saling memandang dengan melongo
kaget, mereka kagum betapa lihaynya tenaga dalam Hoat-ong. Tapi Be Kong-co
sendiri ternyata belum menyadari apa yang terjadi itu, dia jemput kembali
sumpitnya dan sekali ini dipegang sekencangnya agar tidak tergetar jatuh pula,
lalu sumpit dijulurkan untuk berebut daging lagi.
Kembali ujung sumpit Hoat-ong menyerong
keluar, tapi sekali ini pegangan Be Kong-co sungguh kencang dan tak dapat
tergetar jatuh sumpitnya, yang terdengar adalah suara “krek” sekali, sepasang
sumpitnya telah patah menjadi empat seperti ditabas pisau, kedua bagian yang
patah itu jatuh semua di atas meja.
Be Kong-co menjadi gusar malah, ia meraung
terus hendak menubruk maju untuk melabrak Kim-lun Hoat-ong.
Namun Kubilai keburu mencegahnya dan berkata
dengan tertawa: “Harap Be-cong-su jangan marah, kalau mau bertanding silat
boleh nanti saja setelah dahar.”
Meski orangnya kasar, tapi Be Kong-co
ternyata takut kepada sang pangeran, dia kembali berduduk, katanya dengan
mendongkol sambil tuding Hoat-ong: “Kau menggunakan ilmu siluman apa sehingga
alat makanku terpatahkan?”
Kim-lun Hoat-ong hanya tersenyum saja tanpa
menjawab, sumpitnya tetap terjulur di atas meja dengan daging yang tersumpit
itu.
Semula Nimo Singh meremehkan Kim-lun
Hoat-ong, tapi kini ia tak berani memandang enteng lagi padanya setelah melihat
Lwekang orang yang hebat itu. Sebagai orang Thian-tiok, cara makannya tidak
memakai sumpit, tapi pakai tangan belaka, segera ia berkata: “Be-heng tak mampu
menyumpit daging ini, serahkan saja padaku.” Mendadak kelima jarinya terus mencengkeram
daging yang disumpit Hoat-ong itu.
Akan tetapi secepat kilat Kim-lun Hoat-ong
tetap menyerongkan sebuah ujung sumpit, hanya sedikit bergetar saja sekaligus
ia mengincar beberapa Hiat-to pada jari tangan Nimo Singh.
Namun Nimo Singh juga bukan jago rendahan,
tangannya membalik terus memotong pergelangan tangan lawan.
Tangan Hoat-ong tidak bergerak, hanya
sumpitnya yang diputar balik dan tetap bergetar beberapa kali, Segera Nimo
Singh merasa ujung sumpit lawan hampir menyentuh urat nadi tangannya, cepat ia
menarik kembali tangannya, Dalam pada itu sumpit Kim-lun Hoat-ong juga telah
membalik lagi
dan tetap dapat menyapit potongan daging
tadi.
Yo Ko dan lain-lain dapat menyaksikan bahwa
hanya sekejap itu saja sebenarnya antara Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh sudah
saling gebrak beberapa jurus, gerakan sumpit Hoat-ong sangat cepat, tapi cara
Nimo Singh bergerak dan menarik tangannya juga cepat luar biasa, itulah
pertarungan antara jago silat kelas satu.
Dengan nada dingin Siau-siang-co berseru
memuji, sedangkan Kubilai hanya tahu kedua orang itu telah saling uji
kepandaian dengan ilmu silat yang tinggi, tapi ilmu apa yang dikeluarkan mereka
tak dapat diketahuinya, Be Kong-cu juga melongo bingung mengikuti pertarungan
aneh itu.
Kini giliran In Kik-si, dengan tertawa ia
berkata: “Ah, saudara-saudara ini mengapa sungkan-sungkan terhadap daharan
lezat ini, kau tak mau makan, akupun tak mau makan, kan sebentar semua menjadi
dingin.”
Sambil berkata iapun menjulurkan sumpitnya
dengan pelahan, gelang tangannya yang jamrud bersentuhan dengan gelang emas
hingga menerbitkan suara gemerincing nyaring, Belum lagi sumpitnya menyentuh
daging, Hoat-ong sudah merasakan sumpitnya tergetar oleh tenaga dalam In
Kik-si.
Tapi Hoat-ong malah terus menyurung sumpitnya
ke depan agar dagingnya kena disumpit In-Kik-si, berbareng itu suatu arus
tenaga dalam yang maha kuat disalurkan dan menggempur lengan lawan.
Dalam hati In Kik-si berteriak celaka, kalau
saja tenaga dalam dapat menggempur sampai di dadanya, maka dirinya pasti akan
terluka parah, Terpaksa ia mengerahkan segenap tenaga untuk balas menggempur.
Tak terduga tenaga dalam Hoat-ong itu setelah
dikerahkan secara mendadak ditarik kembali pula, karena itu daging yang sudah
tersumpit oleh In Kik-si itu menjadi tertolak kembali oleh gempuran balik
tenaganya sehingga dapat dicapit pula oleh sumpit Hoat-ong.
“Haha, ternyata In-heng juga sungkan dan
tidak sudi makan daging ini,” kata Hoat-ong dengan tertawa.
Nyata Hoat-ong telah mengalahkan In Kik-si
dengan akal In Kik-si juga sangat tinggi hati setelah kena diakali, terpaksa ia
mundur teratur, apa lagi kalau bergebrak pula dirinya juga belum tentu dapat
menang, ia pikir lain kali saja kalau ada kesempatan akan kucoba lagi Hwesio
ini.
Kemudian ia menyumpit sepotong daging yang
agak kecilan dan dimakan, katanya dengan tertawa: “Selama hidupku hanya duit
saja yang menarik daging sampi yang terlalu banyak gemuknya akupun tak suka,
biarlah kumakan daging yang kecilan saja.”
Diam-diam Kim-lun Hoat-ong juga mengakui
kelihayan orang Persi ini dengan gayanya yang luwes, kalau mesti bertempur
sungguh merupakan lawan yang tangguh, talu ia berpaling kepada Siau-siang-cu
dan berkata: “Jika Siau-heng juga tidak sudi, terpaksa kumakan sendiri ”
Berbareng ia sedikit tarik mundur sumpitnya.
Kiranya Hoat-ong yakin Siau-siang-cu adalah
lawan paling kuat di antara empat orang yang dihadapinya sekarang, bahwa
alasannya mau makan sendiri sebenarnya dia sengaja menarik mundur tangannya,
dengan demikian daya tahannya akan bertambah - kuat, sebaliknya jarak lawan
menjadi tambah jauh dan dengan sendirinya pihak lawan harus lebih banyak
mengeluarkan tenaga apabila mau menyerang.
Sudah tentu Siau-siang-cu mengetahui maksud
tujuan orang, ia hanya mendengus saja, pelahan ia angkat sumpitnya, tapi
mendadak secepat kilat bergerak ke depan dan tepat mencapit potongan daging itu
terus ditarik, karena itu jarak mundurnya tangan Hoat-ong tadi kena diseret
maju lagi ke posisi semula.
Meski sebelumnya Hoat-ong mengetahui tenaga
dalam lawan ini sangat lihay, tapi tak menduga bahwa gerakannya bisa bergitu
cepat, maka cepat iapun balas menarik. Karena kedua orang sama-sama mengerahkan
tenaga dalam, seketika terjadilah saling betot dan saling tahan, hanya sekejap
saja tiga gebrakan sudah terjadi dan potongan daging itu masih tersumpit oleh
dua pasang sumpit.
Kubilai tidak paham betapa bagusnya ilmu
silat kelas wahid, ia mengira kedua orang hanya saling berebut daging rebus
saja, padahal kedua orang sudah saling gebrak beberapa jurus seperti
pertarungan di medan tempur. Ditengah saling uji kepandaian beberapa orang itu,
sejak tadi Yo Ko hanya menyaksikan saja dengan tersenyum, ia pikir orang kosen
di dunia ini sungguh sukar dihitung banyaknya, terutama kepandaian kedua orang
yang sukar dibedakan kalah dan menang sekarang ini, pada saat itulah tiba-tiba
dari jauh berkumandang suara seorang: “Kwe Ceng! Adik Kwe Ceng dimana kau ?
Lekas keluar! Hai, Kwe Ceng, bocah she Kwe, dimana kau?”
Suara itu semula terdengar berkumandang dari
sebelah timur dan sekejap kemudian kedengaran ada beberapa li jauhnya, seperti
suara seorang, lalu disusul dengan suara orang kedua, cuma logatnya jelas
berasal dari seorang yang sama, malahan dari timur ke barat dan dari barat ke
timur suara itu terus menerus bergema tanpa berhenti maka dapat dibayangkan
betapa cepat gerak tubuh orang itu sungguh jarang ada bandingannya.
Selagi semua orang saling pandang dengan
melenggong, sementara itu Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu masih saling
ngotot. Padahal daging rebus itu mana mampu menahan tenaga tarikan dua jago
kelas satu itu, tapi nyatanya daging itu masih tetap ulet dan tidak putus.
Kiranya teramat cepat pergantian tenaga
Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu, begitu saling tarik segera pula saling
sodok, tapi lantaran gerakan kedua orang sama cepatnya dan sama kuat pula, maka
daging itu tidak lebih hanya sebagai perantara penyaluran tenaga saja sehingga
tidak hancur.
Yo Ko dapat melihat keadaan itu, ia tunggu
ketika kedua orang sedang saling betot dan daging itu tertarik hingga
memanjang, mendadak ia angkat sumpitnya dan memotong daging itu, dua batang
sumpit memotong daging itu menjadi tiga bagian, pada saat yang tepat ia jepit
potongan daging bagian tengah, sedangkan Hoat-ong dan Siau-siang-cu
masing-masing mendapatkan potongan daging ujung kanan dan kiri.
Cara turun tangan Yo Ko ini tidak
mengutamakan kekuatan tenaga dalam melainkan unggul dalam hal kejituan dan
kecepatan, ia dapat menggunakan tempo yang paling tepat.
BegituIah ketiga orang saling pandang dengan
tertawa dan baru saja mereka hendak memakan daging pada sumpit masing-masing,
sekonyong-konyong tirai kemah tersingkap dan bayangan seorang berkelebat
mendadak seorang mengulurkan tangan dan sekaligus-dapat merampas potongan
daging pada sumpit Yo Ko bertiga, lalu dimakan dengan lahapnya.
Orang itu terduduk bersimpuh di atas
permadani di dalam kemah dan makan dengan mikmatnya, sama sekali tidak pandang
sebelah mata pada orang lain yang berada di situ.
Kejadian ini membikin semua orang terkejut
dan serentak berdiri Bayangkan saja, betapa lihaynya ilmu silat Kim-lun
Hoat-ong, Siau-siang-cu dan Iain-lain, Yo Ko kinipun sudah termasuk barisan
tokoh kelas satu, tapi orang itu sekaligus dapat merampas daging mereka tanpa
bisa mengelak sedikit.
Waktu Yo Ko mengawasi kiranya orang itu
adalah seorang kakek berambut dan berjenggot putih, tapi mukanya merah
bercahaya dan tersenyum simpul menyenangkan, betapa usianya sukar untuk
diterka.
Penjaga kemah ternyata tidak mampu merintangi
kakek itu, para pengawal itu serentak membentak: “Tangkap pengacau !” Berbareng
empat tumbak terus menusuk ke dada kakek itu. Tapi kakek itu cuma menggunakan
tangan kirinya dan sekaligus ujung keempat tumbak sudah terpegang
olehnya, Lalu katanya kepada Yo Ko: “Eh, adik
cilik, ambilkan lagi daging sampi, perutku lapar sekali.”
Sudah tentu keempat pengawal Mongol itu
sangat penasaran, sekuatnya mereka membetot tumbak yang dipegang si kakek, tapi
sedikitpun tak bergeming meski muka mereka merah padam dan otot hijau menonjol
di dahi mereka.
Yo Ko sangat tertarik akan kepandaian kakek
aneh itu, tanpapikir ia angkat piring yang berisi daging rebus itu terus,
dilemparkan ke sana sambil berkata : “lni, silahkan makan!”
Dengan tangan kanan saja kakek itu menahan
pantat piring yang menyambar tiba itu, mendadak sepotong daging di atas piring
itu melompat-ke atas dan masuk mulut si kakek.
Kubilai sangat tertarik dan bersorak gembira,
disangkanya kakek itu mahir main sulapan, sedangkan Kim-lun Hoat-ong dan
lain-lain dapat melihat Lwekang orang tua itu kuat luar biasa, bahwa potongan
daging itu dapat melompat sendiri jelas karena getaran tenaga tangannya yang
menyanggah piring itu.
Hebatnya daging yang melonjak ke atas itu
hanya sepotong saja dan potongan daging yang lain tidak bergerak sedikitpun
ketepatan tenaga inilah yang luar biasa dan tak dapat ditiru orang lain,
Mau-tak-mau semua orang merasa kagum dan segan pula.
Tertampak kakek itu terus makan dengan
Iahapnya, baru potongan daging pertama dilalap, segera sepotong daging yang
lain melompat lagi dari piring dan masuk mulut si kakek.
Hanya sekejap saja daging seisi piring itu
sudah tersapu bersih.
Ketika tangan kanan si kakek bergerak, piring
kosong yang dipegangnya itu terus melayang ke atas dan berputar satu kali, lalu
menyamber ke arah Yo Ko dan In Kik-si. Karena sudah tahu kakek itu memiliki
ilmu gaib dan kuatir terdapat sesuatu pada piring itu, Yo Ko dan In Kik-si tak
berani menangkap piring itu, mereka sama mengegos ke samping.
Karena itu piring kosong itu terus menyamber
lewat dan turun ke permukaan meja, tepat membentur piring lain yang berisi
daging kambing panggang, piring kosong tadi berhenti di atas meja, sebaliknya
piring yang berisi daging kambing panggang terus terbang menuju si kakek.
Tampaknya si kakek sangat senang, ia bergelak
tertawa, seperti cara tadi setelah piring berisi daging kambing dipegangnya,
kembali sepotong demi sepotong daging kambing itu melompat masuk mulutnya dan
tidak lama telah dilalap habis.
Dalam keadaan begitu, yang paling konyol
tentulah keempat pengawal Moegol tadi tumbak mereka terpegang si kakek, mereka
membetot se-kuatnya dan tak dapat terlepas, untuk melepaskan senjata merekapun
tidak berani Maklumlah disiplin tentara Mongol sangat keras, membuang senjata
dimedan perang hukumannya mati, apalagi keempat orang itu bertugas sebagai
pengawal sang Pangeran, terpaksa mereka mengerahkan segenap tenaga untuk
menarik sekuatnya.
Kakek itu ternyata sangat nakal, semakin ke
empat orang itu kelabakan, semakin senang dia. Mendadak ia berseru :
“Bim-salabim! Dua orang menyembah padaku, dua lagi terjengkang ! Satu-dua-tiga
!”
Selesai “tiga” diucapkan, berbareng tangannya
sedikit bergerak, kontan ujung keempat tumbak patah semua, Tapi tenaga yang
dikeluarkan jari tangannya ternyata berbeda, dua batang tumbak ditolak ke sana,
sebaliknya dua tumbak yang kiri di-betot, maka terdengarlah suara mengaduh
kesakitan keempat orang Mongol itu, yang dua orang jatuh tiarap seperti orang
menyembah, dua lagi jatuh terjengkang ke belakang.
Habis itu si kakek bertepuk tangan dan
menyanyikan lagu kanak-kanak, yaitu lagu yang umumnya didendangkan orang tua untuk
menghibur anak kecil yang menangis karena jatuh.
Tiba-tiba Siau-sang-cu teringat kepada satu
orang, cepat ia bertanya: “Apakah Cianpwe she Ciu?”
Kakek itu terbahak-bahak, jawabnya: “Ya, kau
kenal padaku ?”
Tanpa ayal Siau-siang-cu” berbangkit dan
memberi hormat, katanya: “Kiranya Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, Ciu- locianpwe
yang tiba,”
Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh baru pertama
kali ini datang di Tionggoan, mereka belum kenal siapa itu Ciu Pek-thong,
mereka hanya merasa ilmu silat si kakek she Ciu ini tinggi luar biasa dan sukar
diukur, tapi tingkah lakunya jenaka
dan nakal pula, pantas berju!uk
“Lo-wang-tong”, (si nakal tua).. Karena itu rasa permusuhan mereka jadi lantas
berkurang, malahan mereka sama tersenyum geli oleh julukan orang yang lucu itu.
Segera Kim-lum Hoat-ong berkata: “Maafkan
keteledoranku yang tidak kenal orang kosen dari dunia persilatan Bagaimana
kalau silakan duduk saja di sini. Ongya sedang mencari orang pandai, kini orang
kosen berada di sini, tentu Ongya merasa sangat gembira.”
Kubilai juga memberi salam dan berkata:
“Benar, silakan Ciu-losiansing berduduk, ada banyak persoalan yang kurang jelas
perlu kuminta petunjuk padamu.”
Tapi Ciu Pek-thong menggeleng kepala,
jawabnya: “Tidak, aku sudah kenyang dan tidak ingin makan lagi, Di mana Kwe
Cing? Apakah dia berada di sini?”
Hati Yo Ko tergetar mendengar nama Kwe Ceng
disebut, dengan dingin ia tanya: “Ada urusan apa kau mencari dia?”
Dasar watak Ciu Pek-thong memang kocak dan
kekanak-kanakan, dia paling suka bergaul dengan anak kecil, melihat Yo Ko
berusia paling muda diantara orang yang hadir di situ, hal ini sudah membuatnya
suka lebih dahulu, kini mendengar pula Yo Ko menyebutnya dengan kata “kau” dan
tidak pakai “Locianpwe” dan “Ciu-siansing” segala, ini membuatnya lebih- lebih
senang.
Maka cepat Ciu Pek-thong menjawab: “Kwe Ceng
adalah saudara angkatku, apakah kau kenal dia? Sejak kecil dia suka bergaul
dengan orang Mongol, maka begitu melihat orang Mongol di sini segera
kumenerobos ke sini untuk mencarinya.”
“Ada urusan apa kau mencari Kwe Ceng?” tanya
Yo Ko pula sambil mengerut kening.
Ciu Pek-thong memang orang polos dah tidak
bisa berpikir, mana dia tahu urusan apa yang harus dirahasiakan atau tidak,
tanpa ragu ia terus menjawab: “Dia telah kirim berita padaku agar aku
menghadiri Eng-hiong-yan (perjamuan ksatria).” Jauh-jauh aku berangkat ke sana,
di tengah jalan aku mampir dan pesiar sehingga terlambat datang beberapa hari,
mereka ternyata sudah bubar, sungguh mengecewakan.”
“Apakah mereka tidak meninggalkan surat
untukmu?” ujar Yo Ko.
Mendadak Ciu Pek-thong mendelik dan berkata:
“Mengapa kau hanya bertanya melulu ? sebenarnya kau kenal Kwe Ceng tidak?”
“Mengapa aku tidak kenal ?” jawab Yo Ko.
“Nyonya Kwe bernama Oey Yong, betul tidak? Anak perempuan mereka bernama Kwe
Hu, ya bukan ?”
Tapi Ciu Pek-thong mendadak menggoyangkan
tangannya dan berseru dengan tertawa: “Salah, salah ! Si budak Oey Yong sendiri
juga seorang anak perempuan kecil, mana mereka mempunyai anak perempuan segala
?”
Yo Ko melengak bingung, tapi ia lantas paham
persoalannya, segera ia tanya pula: “Sudah berapa tahun kau tidak bertemu
dengan mereka suami-isteri?”
Ciu Pek-thong tidak lantas menjawab, ia tekuk
jarinya satu demi satu, sepuluh jari secara rata di-hitungnya ulang dua kali,
lalu berkata: “Sudah ada 20 tahun.”
“Nah, masakah sudah 20 tahun dia masih anak
perempuan kecil ?” kata Yo Ko dengan tertawa.
Ciu Pek-thong tertawa ngakak sambil
garuk-garuk kepala, lalu berkata: “Ya, ya, kau yang benar, kau yang benar !
Apakah anak perempuan mereka itu pun cakap ?”
“Suka anak perempuan mereka itu lebih banyak mirip nyonya Kwe dan sedikit saja
memper Kwe Ceng, nah, cakap tidak menurut pendapatmu ?” tanya Yo Ko.
“Hahahaha! Bagus kalau begitu !” kata Ciu
Pek-thong dengan tertawa, “Anak perempuan kalau beralis tebal dan bermata besar
serta bermuka hitam seperti saudaraku Kwe Cing itu, dengan sendirinya bukan
cakap lagi namanya.”
Yo Ko tahu kini Ciu Pek-thong tidak ragu
lagi, tapi untuk memperkuat kepercayaannya kembali ia menambahkan: “Ayah Oey
Yong, yaitu Tho-hoa-tocu Oey Yok-su, kakak Yok-su ada hubungan persaudaraan
denganku, apakah kau kenal dia?”
Berganti Ciu Pek-thong melengak heran
sekarang, ia pikir masakah anak muda ini berani mengaku bersaudara dengan
oey-losia, lantas apa kedudukan orang muda ini? Segera ia bertanya pada Yo Ko:
“siapakah gurumu ?”
“Kepandaian guruku teramat hebat, jika
kukatakan bisa jadi kau mati ketakutan,” jawab Yo Ko.
“Masakah aku dapat ditakut-takuti?” ujar Ciu
Pek-thong dengan tertawa, Berbareng tangannya bergerak, piring kosong bekas
wadah daging kambing tadi terus melayang ke arah Nyo
Ko dengan maha dahsyat. Sebenarnya Yo Ko
tidak tahu asal-usul aliran perguruan
orang kosen macam Ciu Pek-thong ini, samberan
piring “kosong yang keras itu sebenarnya tak berani ditangkapnya, tapi ketika
melihat gaya Ciu Pek-thong itu ternyata berasal dari aliran Coan-cin-pay,
padahal ilmu silat Coan-cin-pay baginya boleh dikatakan sudah apal di luar
kepala, maka. tanpa pikir ia hanya gunakan jari telunjuk tangan kiri, ia tunggu
ketika piring kosong itu melayang tiba, dengan cepat dan tepat jarinya
menyanggah pantat piring, seketika laju piring itu terhenti terus berputar pada
ujung jarinya.
Kejadian ini sungguh membikin Ciu Pek-thong
sangat gembira, malahan Kim-lun Hoat-ong, Nimo Singh dan Iain-Iain juga
melengak. Lebih-lebih Siau-siang-cu, semula ia lihat pakaian Yo Ko kotor dan
robek, usianya muda pula, maka ia tidak pandang sebelah mata padanya, tapi
sekarang mau-tak-mau ia harus berubah sikap, ia heran siapakah dan dari manakah
pemuda lihay ini?
Di sebelah sana Ciu Pek-thong telah berseru
memuji beberapa kali kepada Yo Ko, malahan ia pun dapat melihat gaya permainan
jari Yo Ko itu adalah gaya aliran Coan-cin-pay, maka ia lantas tanya : “Apakah
kau kenal Ma Giok dan Khu Ju-ki?”
“Kedua hidung kerbau itu masakah aku tak
kenal?” jawab Yo Ko tak acuh. Ciu Pek-thong tambah kegirangan. Maklumlah, meski
dia terhitung, tokoh tertua Coan-cin-pai, tapi lantaran dia tak dapat mematuhi
peraturan agama, maka selama ini dia tak pernah menjadi Tojin.
Mendiang Ong Tiong-yang, yaitu cakal bakal
Coan-cin-kau yang juga Suhengnya, kenal watak Ciu Pek-thang yang polos dan suka
bertindak menuruti jalan pikiran sendiri kalau saja dipaksa menjauhi dunia
ramai dan memeluk agama dan menjadi Tojin, tentu kuil Tiong-yang-kiong akan
tambah kacau dibuatnya.
Sebab itulah Ciu Pek-thong tidak diharuskan
menjadi Tosu dan hal ini pun cuma berlaku atas diri Lo-wan-tong saja.
Walau Kwe Ceng, Nyo Khong dan Yo Ko juga
belajar ilmu silat Coan-cin-pay, tapi mereka bukanlah anak murid Coan-cin-pay,
kedudukan mereka berbeda dengan Ciu Pek-Thong.
Meski antara Ciu Pek-thong dan Khu Ju-ki, Ma
Giok dan lainnya tiada persengketaan apapun, dia hanya menganggap mereka itu
terlalu kaku dan terikat oleh macam-macam peraturan dan pantangan, maka dalam
hati dia merasa cocok.
Selama hidupnya kecuali sang Suheng, yaitu
Ong Tiong-yang, yang paling dihormati dan dikagumi adalah Kiu-ci-sin-kay Ang
Chit-kong, si pengemis sakti berjari sembilan. Selain itu iapun rada cocok
dengan kelatahan Oey-Yok-su dan kejahilan Oey Yong.
Kini mendengar Yo Ko menyebut Khu Ju-ki, Ma
Giok dan lainnya sebagai “hidung kerbau (kata olok-oIok kepada kaum Tosu),
kata-kata ini ternyata sangat cocok bagi pendengaran Ciu Pek-thong, segera ia
tanya pula: “Dan bagaimana dengan Hek Tay-thong?”
Mendengar nama “Hek Tay-thong”, seketika Yo
Ko menjadi gusar dan memaki: “Hm, hidung kerbau ini paling brengsek, pada suatu
hari pasti akan kerjai dia, agar dia tahu rasa.”
Ciu Pek-thong menjadi semakin tertarik, cepat
ia tanya: “Cara bagaimana akan kau kerjai dia dan apa rasanya ?”
“Akan kuringkus dia, kuikat tangan dan
kaki-nya, lalu kurendam dia di kembangan kakus seharian,” kata Yo Ko.
Tidak kepalang senangnya Ciu Pek-thong, ia
berbisik dengan suara tertahan: “Sst, nanti kalau dia sudah kubekuk, jangan kau
rendam dia dahulu, beri kabar dulu kepadaku agar aku dapat mengintipnya secara
diam-diam.”
Sebenarnya tiada maksud buruknya terhadap Hek
Tay-thong, hanya watak Ciu Pek-thong memang suka pada permainan yang kocak,
orang lain berbuat nakal dan onar, hal ini terasa sangat cocok dengan
kegemarannya, maka iapun ingin ikut ambil bagian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar