Kembalinya Pendekar Rajawali 27
Seketika itu Yo Ko malah menjadi bingung,
teringat
olehnya Ang Chit-kong pernah tidur selama tiga
hari tiga
malam, kini kedua orang tua ini jangan-jangan
juga mati
buatan? Tetapi kalau melihat keadaannya,
agaknya bukanlah
mati palsu.
“Ah, lebih baik anggap dia palsu, daripada
menyangkanya
sungguh-sungguh,” demikian akhirnya Yo Ko
ambil
keputusan.
Lalu ia pindahkan mayat kedua jago tua itu ke
dalam gua,
ia sendiri menjaga di situ selama 7 hari 7
malam, sampai
akhirnya wajah kedua mayat itu sudah mulai
berubah barulah
pemuda ini mau percaya orang sudah mati
sungguh-sungguh.
Ia menangis tergerung-gerung, kemudian ia
gali dua liang
dalam gua itu dan kubur kedua jago kosen
dunia persilatan
itu.
Waktu ia keluar gua ia lihat bekas-bekas
tapak kaki di atas
salju dimana Ang Chit-kong menem-pur Auwyang
Hong kini
sudah membeku menjadi es. Bekas tapak kakinya
masih,
namun orangnya sudah masuk liang kubur,
Menghadapi bekas
tapak kaki ini, Yo Ko jadi terbayang pada
pertarungan kedua
jago tua itu tempo hari, tanpa terasa ia
berduka pula.
Ia masuk gua pula, di depan kuburan kedua
jago tua itu ia
berlutut dan menjura masing-masing empat
kali.
“Ayah angkat meski hebat, tapi apapun juga
memang
masih selisih setingkat dengan
Ang-locian-pwe. Di waktu Pak-
kau-pang-hoatnya menyerang, ayah harus
memeras otak
berpikir sejenak baru bisa mematahkan tipu
pukulannya, jika
pertarungan itu dilangsungkan secara
sungguh-sungguh,
sudah tentu ia tak diberi kesempatan untuk
memikir se-
maunya!” demikian Yo Ko membatin.
Sesudah menghela napas terharu, kemudian ia
pun cari
jalan buat turun ke bawah gunung,
Turunnya ke bawah gunung sekarang ini
dilakukan Yo Ko
dengan seenaknya saja, iapun tidak beda2kan
timur atau
barat, utara atau selatan, yang terpikir
olehnya hanya bumi
seluas ini melulu aku sendirilah yang
sebatangkara, biar aku
terlunta-lunta ke mana saja, kalau sudah tiba
ajalnya, biarlah
di mana aku rebah, di situlah aku mati.
Meski tinggal di atas Hoa-san tidak lebih
setengah bulan,
namun bagi Yo Ko rasanya sudah lewat beberapa
tahun,
Pada waktu naik gunung ia merasa dirinya
selalu dipandang
hina orang dengan penuh rasa penyesalan, tetapi
kini waktu
turun gunung ia merasa segala keduniawian ini
sama saja
seperti awan yang terapung di udara, biarlah
orang mau
pandang berharga atau pandang hina, ada
sangkut paut apa
dengan aku?
Begitulah dalam usianya semuda itu ternyata
sudah timbul
semacam rasa benci pada sesamanya dan anggap
sepi mati-
hidupnya sendiri.
Tidak seberapa hari, tibalah dia pada suatu
hutan yang
sepi di daerah Siamsay, mendadak terdengar
olehnya di arah
barat gemuruh dengan suara larinya binatang
dengan debu
mengepul tinggi. Tidak antara lama, beberapa
ratus kuda liar
kelihatan berlari lewat di depannya dengan
cepat.
Kuda-kuda liar senang hidup bebas tanpa
kekangan
apapun ini membikin Yo Ko menjadi kagum dan
tertarik.
Selagi ia ikut gembira oleh kelincahan
kuda-kuda liar itu, tiba-
tiba didengarnya di belakangnya ada suara
meringkiknya kuda
lain yang lemah.
Waktu Yo Ko berpaling, ia lihat seekor kuda
kurus
menyeret sebuah kereta bermuatan kayu sedang
mendatangi
dengan pelahan melalui jalan raya, agaknya
kuda kurus ini
tertarik oleh sebangsanya yang hidup merdeka
itu, sedang
dirinya sendiri harus susah menderita
hidupnya, maka telah
meringkik sedih.
Kuda ini sudah kurus lagi tinggi,
tulang-tulang iganya
sampai kelihatan nyata berderet-deret, bulu
badan pun tak
rata penuh borok2, semua ini menjadikan
rupanya jelek sekali
Di atas kereta itu duduk seorang laki-laki
kasar, mungkin
jalan kuda kurus itu dianggapnya terlalu
lambat, maka tiada
hentinya, ia ayun cambuknya memecut terus.
Selama hidup Yo Ko sendiri sudah kenyang
dihina dan
dihajar orang, kini mendadak nampak
penderitaan kuda ini,
aneh, tanpa terasa timbul rasa simpatiknya,
ia menjadi
“solider” melihat kuda itu dipecut terus,
saking terharunya
sampai matanya merah basah.
“Hai, kau! Kenapa kau pecut kuda ini terus?”
bentaknya
gusar sambil menghadang di tengah jalan
ketika kereta itu
sudah dekat.
Melihat yang merintangi adalah pemuda dengan
pakaian
compang-camping dekil serupa orang
minta-minta, lelaki kasar
itu anggap sepi saja atas teguran itu.
“Lekas minggir, apa kau cari mampus?”
batasnya
membentak.
Lalu cambuknya diangkat, kuda kurus itu
di-hujani pecutan
lagi.
Keruan Yo Ko tambah gusar.
“Jika kau pecut kuda ini lagi, segera kubunuh
kau!”
teriaknya sengit.
“Hahaha!” lelaki itu malah tertawa, berbareng
pecutnya”
lantas menyabet ke atas kepala Yo Ko.
Tentu saja pecut yang tiada artinya ini tak
mungkin bisa
mengenai Yo Ko, sekali pemuda ini ulur
tangannya, segera
cambuk orang direbut-nya, bahkan ia putar
kembali pecut itu,
dengan menerbitkan suara “tarrr”, tiba-tiba
leher lelaki tadi
kena terlibat oleh pecutnya sendiri dan kena
diseret ke tanah,
menyusul Yo Ko lantas menghujam orang dengan
cambukan.
Kuda kurus itu meski jelek rupanya, tetapi
seperti sangat
cerdik, melihat lelaki itu dihajar Yo Ko,
binatang ini telah
berjingkrak meringkik riang, bahkan ia
gosok-gosok kepalanya
pada Yo Ko sebagai tanda terima kasihnya.
“Pergilah kau ke sana hidup di alam bebas!”
kata Yo Ko
kemudian setelah putuskan tali penarik kereta
sambil tepuk-
tepuk punggung binatang itu dan menuding ke
arah debu
yang beterbangan oleh karena lari gerombolan
kuda liar tadi.
Tiba-tiba kuda kurus ini meringkik dan
berdiri tegak, habis
ini terus lari cepat ke depan, Tapi mungkin
saking lama
menderita lapar, sekarang mendadak lari keras
hingga tenaga
tak cukup, maka baru belasan meter berlari,
tiba-tiba kaki
belakangnya terasa lemas, lalu jatuh
terbanting.
Yo Ko merasa kasihan, ia mendekati binatang
itu dan
mengangkatnya berdiri.
Nampak si Yo Ko begitu perkasa, lelaki tadi
ketakutan
setengah mati, begitu merangkak bangun,
kereta dan kayunya
tak dipikir lagi, segera ia lari
terbirit-birit sambil berteriak-
teriak minta tolong.
Yo Ko merasa geli oleh kelakuan orang. Lalu
dicabutnya
beberapa comot rumput segar dan memberi makan
kuda
kurus tadi.
“O, kuda yang harus dikasihani selanjutnya
kau ikut
padaku saja,” demikian Yo Ko berkata sambil
meng-elus-elus
punggung binatang iru, Nyata karena
penderitaan kuda itu,
tanpa terasa timbul simpatiknya yang senasib.
Kemudian perlahan-lahan ia tuntun kuda itu
menuju ke
satu kota, ia beli sedikit bahan makanan kuda
agar binatang
ini bisa makan enak dan kenyang, Besok
paginya kuda ini
sudah kelihatan sehat kuat dan bersemangat
habis ini baru
Yo Ko menungganginya dengan jalan
perlahan-lahan.
Kuda buduk ini tadinya tak bisa lari kalau
tidak kesandung
kakinya, tentu kepeleset jatuh, siapa tahu
makin jauh berjalan
makin baik, sampai 78 hari kemudian, sesudah
diberi makan
cukup hingga tenaga penuh, mulai kelihatanlab
kepandaiannya berlari secepat terbang.
Tentu saja Yo Ko sangat girang, ia menjadi
tambah
sayang dan memberi perawatan yang lebih baik.
Hari itu Yo Ko berhenti pada suatu kedai arak
untuk
tangsal perut dan suruh pelayan menyediakan
semangkok
arak Tiba-tiba kudanya mendekati mejanya
sambil meringkik
dan memandangi mangkok araknya itu seperti
ingin minum.
Yo Ko menjadi ketarik, ia coba berikan
araknya itu sambil
mengelus leher binatang itu, Betul saja kuda
itu telah pentang
mulut lebar, tanpa sungkan-sungkan sekejap
saja semangkok
arak itu telah dilahap kering, habis ini
ekornya men-jengkit2
dan kakinya mengetok-ngetok, tampaknya
binatang ini senang
sekali.
Yo Ko menjadi makin ketarik, ia suruh pelayan
ambilkan
arak lagi, beruntun kuda itu habiskan belasan
mangkok arak
dan masih belum mau sudah, rupanya pelayan
kedai itu
meragukan kemampuan Yo Ko membayar uang arak
itu,
karena pakaiannya tompang-camping, maka waktu
disuruh
tambah arak lagi ia telah menolak.
Waktu perjalanan dilanjutkan mungkin karena
pengaruh
arak, tiba jadi itu berlari cepat seperti
kranjingan setan, begitu
cepat hingga pepohonan di tepi jalan
berkelebat lewat seperti
terbang saja, Malahan binatang ini seperti
punya watak yang
aneh, yakni tidak pedili apa saja, asal
dilihatnya ada sesuatu
binatang di depannya, pasti ia kan pentang
kaki secepatnya
mendahului ke depan.
Agaknya wataknya suka menang itu bukan
mustahil
disebabkan karena selama ini ia dipandang
rendah dan cukup
menderita segala hinaan, maka kini begitu
dapat kesempatan
ia justru ingin unjuk ketangkasannya yang
tidak mau kalah
dengan kuda yang lain.
Tabiat dogol demikian ini rupanya sangat
cocok dengan
watak Yo Ko, maka satu orang dan satu kuda
ini telah
menjadi kawan yang sangat baik.
Tadinya Yo Ko merasa sangat masgul dan
kosong, tetapi
setelah mendapatkan kawan kuda yang membikin
hatinya
riang, betapapun juga memang hati anak muda,
tidak
seberapa hari ia sudah kembali gembira
seperti sediakala.
Tanpa terasa sudah jalan beberapa hari,
akhirnya ia ambil
jalan lama melalui Liong-kik-ce terus menuju
ke Hing-ci-koan.
Sepanjang jalan bila Yo Ko ingat waktu menggoda
Liok
Bu-siang dan permainan Li Bok-chiu,
kadang-kadang ia
tertawa geli sendiri di atas kudanya.
Suatu hari waktu lohor, sepanjang jalan
selalu Yo Ko
ketemukan kawanan pengemis secara
ber-kelompok-
kelompok, melihat sikap mereka itu jelas
banyak diantaranya
adalah golongan jago silat yang tinggi
Tiba-tiba Yo Ko terkesiap, pikirnya:
“Jangan-jangan
percekcokan antara Liok Bu-siang dan kawanan
pengemis ini
masih belum selesai?” Atau boleh jadi Li
Bok-chiu hendak
tentukan mati-hidupnya dengan kawanan pengemis
yang lagi
himpun kekuatan ini? Ha, keramaian ini tidak
boleh
kulewatkan!”
Teringat olehnya bahwa Ang Chit-kong adalah
Pangcu
kaum pengemis yang dulu, meski tidak ketarik
oleh kawanan
pengemis itu, namun teringat akan kesatriaan
Ang Chit-kong
yang pernah dia lihat, tanpa terasa timbul
juga perasaan
persaudaraannya dengan Kay-pang, ia pikir
bila ada
kesempatan seharusnya aku beritahukan mereka
tentang
wafatnya Ang Chit-kong di atas Hoa-san.
Setelah berjalan tak lama lagi, ia lihat
kawanan pengemis
itu makin lama makin banyak kalau diantara
pengemis itu ada
yang menggendong kantong kain,
pengemis-pengemis lain
pada umumnya lantas sangat hormat padanya.
Sebaliknya melihat macamnya Yo Ko, para
pengemis itu
rada heran, jika melihat dandanan Yo Ko,
memang tiada
ubahnya seperti pengemis, tetapi diantara
anggota Kay-pang
itu sekali-kali tiada orang yang naik kuda.
Namun Yo Ko tak peduli mereka, ia tetap
melarikan
kudanya dengan pelahan.
Tiba-tiba terdengar suara mencicitnya burung,
dua ekor
rajawali kelihatan menukik ke depan sana.
“Ah, Ui-pangcu sudah datang, malam ini besar
kemungkinan akan ada rapat,” terdengar satu
pengemis di
samping Yo Ko berkata.
“Entah Kwe-tayhiap ikut datang tidak?” sela
seorang
pengemis lain.
“Tentu datang,” ujar pengemis yang pertama tadi.
“Suami-
isteri mereka adalah seperti timbangan dengan
anak batunya,
yang satu tidak bisa kehilangan yang lain.”
Selagi hendak meneruskan perkataannya,
tiba-tiba
dilihatnya Yo Ko menahan kuda sedang
mengawasi mereka,
maka pengemis itu melotot sekejap pada Yo Ko,
lalu tutup
mulut tak jadi menyambung.
Kiranya demi mendengar nama Kwe Ceng dan Oey
Yong,
seketika hati Yo Ko rada terperanjat, cuma
wataknya
sekarang sudah jauh berbeda dari dulu, maka
diam-diam ia
tertawa dingin: “Hm, dahulu aku makan
menganggur di
rumahmu hingga kenyang dihina dan
dipermainkan kalian,
Tatkala itu aku masih kecil dan tak punya
kepandaian, maka
tidak sedikit pahit getir yang kurasakan.
Tetapi kini aku
anggap jagat ini sebagai rumahku, tak perlu
lagi aku
mengandalkan kau?”
Tiba-tiba terpikir lagi olehnya: “Ah, lebih
baik aku pura-
pura jatuh sengsara dan pergi minta
pertolongan mereka,
ingin kulihat cara bagaimana mereka melayani
aku.”
Lalu dicarinya tempat yang sepi, ia bikin
rambutnya
menjadi kusut semrawut, ia jotos mukanya sendiri
sekali
hingga ujung mata kirinya matang biru, ia
cakar lagi mukanya
sendiri hingga babak belur.
Memangnya pakaiannya sudah tak necis, kini ia
sengaja
dirobek pula, malahan ia mengguling beberapa
kali di tanah
hingga tambah kotor, dengan macamnya ini ditambah
berjodoh dengan kuda buduk yang jelek, maka
tampaknya
menjadi benar-benar seorang rudin yang
sengsara dan tinggal
mampus saja.
Selesai menyamar, dengan jalan pincang dan
bikinan Nyo
Ko kembali ke jalan besar, ia tidak tunggangi
kudanya lagi
melainkan jalan bersama kawanan pengemis,
Kadang-kadang
ada pengemis yang menegur padanya apakah ikut
pergi ke
rapat besar, Yo Ko tak bisa menjawab, ia
hanya melongo
saja. Tetapi ia tetap campurkan dirinya di
antara kawanan
pengemis itu dan meneruskan perjalanan bersama
mereka.
Sampai hari sudah magrib, rombongan mereka
tiba sampai
di depan sebuah kelenteng besar yang bobrok,
dua ekor
rajawali tadi kelihatan menghinggap di atas
satu pohon besar,
sedang Bu-si Hengte sedang sibuk memberi
makan pada
mereka, yang satu membawa nampan dan yang
lain
lemparkan potongan daging yang berada di
dalam nampan
itu.
Tempo hari waktu kakak-beradik she Bu itu
menempur Li
Bok-chiu bersama Kwe Hu, pernah juga Yo Ko
menonton dari
samping, cuma waktu itu hanya Kwe Hu seorang
yang dia
perhatikan maka terhadap kedua pemuda ini tak
begitu di-
urusnya.
Kini berhadapan lagi, Yo Ko melihat
gerak-gerik Bu Tun-si
cukup tangkas dengan semangat penuh,
sebaliknya Bu Siu-
bun enteng dan gesit, lincah tak pernah diam.
Tun-si
mengenakan baju satin berwarna wungu tua,
sedang Siu-bun
berbaju satin warna biru safir, pinggang
mereka pakai ikat
kain sutera bersulam, maka tampaknya menjadi
gagah dan
cakap.
Yo Ko coba mendekati mereka.
“Ke… kedua Bu-heng, ter… terimalah hormatku,
apa,
apa……selama ini baik-baik saja!” demikian ia
menyapa
dahulu dengan suara tak lancar.
Tatkala itu kelenteng rusak itu baik dalam
maupun luar
sudah penuh berjubel dengan kawanan pengemis
yang
semuanya berpakaian penuh tambal sulam,
dengan dandanan
Yo Ko yang sudah disiapkan itu, maka tidaklah
menyolok ia
bercampur diantara orang banyak.
Dan karena sapaan Yo Ko tadi, Tun-si balas
menghormat
dengan sopan, ia tak kenal siapakah orang
yang menegur
dirinya ini, maka dengan sinar mata yang
tajam ia coba
mengamat-amati orang.
“Siapakah saudara yang terhormat ini, maafkan
aku tak
ingat Iagi,” demikian sahutnya kemudian.
“Ah, namaku rendah ini tiada harganya buat
disebut,
Siaute… Siaute hanya mohon bertemu dengan
Ui-pangcu,”
sahut Yo Ko merendah.
Mendengar suara orang seperti sudah pernah dikenalnya
dan selagi Tun-si hendak tanya lebih jauh,
tiba-tiba
didengarnya dari dalam kelenteng itu ada
suara orang
memanggil padanya.
“Toa-Bu-koko (engkoh Bu yang tua), ikal
kucirmu tak
diikat dengan baik, coba lihat, sudah kusut
lagi,” demikian
kata suara nyaring itu.
Karena mendengar suara ini, lekas-lekas Bu
Tun-si
meninggalkan Yo Ko terus memapak ke sana.
Waktu Yo Ko berpaling, ia lihat seorang gadis
jelita
berbaju hijau muda dengan langkah lebat
sedang keluar dari
dalam kelenteng, Kedua alis gadis ini panjang
lentik,
hidungnya yang mancung sedikit menjengat,
mukanya putih,
pipinya merah bagai pauh dilayang, siapa lagi
dia kalau bukan
puterinya Kwe Ceng, Kwe Hu adanya.
Dandanan Kwe Hu sebenarnya tak seberapa
mewah,
hanya serenceng kalung mutiara yang dipakai
di lehernya itu
yang mengeluarkan sinar mengkilap hingga
wajah si gadis
tertampak lebih molek.
Hanya sekejap saja Yo Ko pandang si gadis,
segera ia
merasa dirinya terlalu kotor dan jelek, maka
tak berani ia
pandang terus.
Sementara itu Bu-si Hengte sudah lantas papak
datangnya
Kwe Hu, mereka menyanjung-nyanjung sebisanya,
kalau
tindak tanduk Bu Tun-si sedikit membawa sifat
angkuh dan
rada pegang derajat, sebaliknya Bu Siu-bun
suka me-rendah2
menjilat asal dapat pujian si gadis.
Sesudah berjalan pergi beberapa langkah,
tiba-tiba Tun-si
ingat lagi pada diri Yo Ko, ia menoleh dan
menanya: “Apa
kau datang menghadiri “Eng-hiong-yan”
(perjamuan kaum
kesatria)?”
Sebenarnya Yo Ko tak paham apa
“Eng-hiong-yan” yang
dikatakan orang itu, namun sekenanya ia
mengiakan saja.
Karena itu, Tun-si memanggil seorang pengemis
dan
memesan padanya: “Sobat ini hendaklah
dilayani baik-baik,
besok ajak dia pergi ke Hing-ci-koan
sekalian.”Habis ini, ia
asyik bicara sendiri dengan Kwe Hu dan tidak
urus Yo Ko
Iagi.
Karena pesan itu, lekas pengemis itu datang
menyapa Nyo
Ko dan menanya nama orang, oleh Yo Ko dijawab
dengan
terus terang,
Di kalangan Bu-lim atau dunia persilatan, Yo
Ko adalah
orang yang tak dikenal namanya, dengan
sendirinya pengemis
itupun tak pernah mendengar namanya, maka tak
diperhatikannya anak muda ini.
Pengemis itu mengaku bernama Ong Capsah atau
Ong
nomor 13, karena urut-urutannya dalam
keluarganya nomor
13, dan she Ong, maka dipanggil Ong Capsah.
Di Kay-pang ia
tergolong anak murid berkantong dua.
Karena ilmu silat Ong Capsah tak tinggi,
tingkatannya pun
rendah, hanya pintar bicara dan bisa bekerja
cepat, maka
anak murid Kay-pang tingkatan tinggi
menugaskan dia sebagai
penyambut tamu.
“Darimanakah asalnya Nyo-toako?” demikian Ong
Capsah
tanya lagi.
“Baru saja datang dari barat-laut,” sahut Yo
Ko.
“Eh, apa Nyo-toako anak murid Coan-cin-pay?”
tanya Ong
Capsah.
“Bukan,” sahut Yo Ko tanpa pikir sambil
geleng kepala.
Ya, pemuda ini sudah terlalu -benci pada
Coan-cin-kau, bila
mendengar nama itu saja ia sudah kepala pusing,
apalagi
suruh mengaku sebagai anak murid nya.
“Dan apakah Nyo-toako membawa Eng-hiong-tiap
(kartu
undangan kesatria)?” tanya Ong Cap-sah pula.
Yo Ko jadi tetcengang, ia tak mengerti apa
“Eng-hiong-
tiap” itu?
“Siaute biasanya hanya luntang-Iantung
merantau di
Kangouw, mana bisa disebut sebagai Enghiong?”
demikian
sahutnya kemudian, “Cuma dahulu pernah
bertemu muka
sekali dengan Ui-pangcu kalian, maka kini
sengaja datang
menemui-nya lagi buat meminjam sedikit sangu
untuk pulang
kampung.”
Ong Capsah mengkerut kening mendengar
keterangan itu.
“Ui-pangcu sedang sibuk menerima para
kesatria dari
segenap penjuru, mungkin tiada tempo buat
menerima kau,”
sahutnya kemudian sesudah berpikir sejenak.
Kedatangan Yo Ko sekali ini memang sengaja
pura-pura
rudin, semakin orang memandang rendah
padanya, semakin
senang hatinya. Oleh sebab itu ia justru
sengaja mohon belas
kasihannya Ong Capsah agar suka membantu.
Salah satu sikap yang dijunjung tinggi oleh
orang-orang
Kay-pang yalah baik budi dan setia kawan,
pula anggota Kay-
pang itu semuanya berasal dari kaum tak
punya, selamanya
mereka suka bantu yang lemah dan menolong
yang susah,
sekali-kali tidak boleh pandang hina pada
orang miskin. Oleh
sebab itulah, demi nampak Yo Ko memohon
dengan sangat,
mau-tak-mau Ong Capsah menyanggupinya.
“Baiklah, Nyo-hengte, sekarang kau makan yang
kenyang
dahulu, besok pagi kita berangkat ke
Hing-ci-koan bersama,”
katanya kemudian “Di sana nanti aku melapor
pada Pangcu
dan terserah bagaimana keputusan beliau, baik
tidak kalau
begini ?”
Tadinya Ong Capsah menyebut Yo Ko sebagai
“Toako”
atau saudara tua, tetapi kini mendengar
pemuda ini bukan
orang yang diundang menghadiri Eng-hiong-yan,
pula umur
dirinya lebih tua, maka ia ganti memanggil
orang sebagai Nyo-
heng-te atau adik Nyo.
Di lain pihak karena orang sudah mau
membantu,
berulang-ulang Yo Ko menghaturkan terima
kasinnya.
Kemudian Ong Capsah mengajak Yo Ko masuk ke
dalam
kelenteng dan membawakan daharan seperlunya.
Menurut peraturan Kay-pang, sekalipun waktu
pesta pora,
cara makan para anggotanya tetap harus bikin
kocar-kacir
segala macam daharan, baik ayam- daging, ikan
dan lain-lain
dan baru dimakan kalau sudah berwujud seperti
barang restan
orang.
Cara ini adalah tanda bahwa “kacang tak
pernah lupa pada
lanjarannya”, artinya tidak boleh lupa pada
sumbernya, yakni
sekali pengemis tetap penge-mis, baik
hidupnya dan cara
makannya, Tetapi terhadap tetamu, daharan
yang mereka
suguhkan adalah biasa dan lengkap.
Begitulah, selagi Yo Ko makan seorang diri,
tiba-tiba
matanya terbeliak, ia lihat Kwe Hu masuk lagi
dari luar dengan
muka berseri-seri, waktu gadis itu melihat Yo
Ko sedang
makan nasi di tepi patung Budha, tanpa
melirik lagi ia ajak
bicara Bu Siu-bun dan Bu Tun-si.
“Baiklah, kita berjalan malam dan berangkat
ke Hing-ci-
koan,” demikian terdengar Siu-bun berkata.
“Aku pergi
mengeluarkan kuda merahmu.”
Ketiga orang itu sembari bicara sambil
bertindak ke
belakang, Tidak antara lama, sesudah bawa
bekal dan senjata,
mereka keluar lagi kelenteng itu, lalu
terdengar suara derapan
kuda yang riuh, nyata ketiga orang itu sudah
berangkat.
Dengan termangu-mangu Yo Ko mengikuti derapan
kuda
yang sayup-sayup mulai menjauh, tetapi
sepasang sumpitnya
masih tertancap di dalam mangkok sayur, ia
tidak tahu
perasaannya waktu itu apa suka atau duka, apa
sedih atau
gusar?
Besok paginya Ong Capsah datang membawanya
pergi ke
Hing-ci-koan, sepanjang jalan kecuali
orang-orang dari Kay-
pang sendiri, tidak sedikit pula tokoh-tokoh
Bu-lim yang
mereka ketemukan baik laki-laki maupun
perempuan, tua atau
muda, ada yang berperawakan gagah tegap, ada
yang kurus
kecil tetapi setiap orang jalannya cepat dan
kuat, agaknya
semuanya diundang untuk menghadiri apa yang
disebut Eng-
hiong-yan atau perjamuan kesatria itu.
Yo Ko sendiri tidak tahu apa itu
Eng-hiong-yan dan Eng-
hiong-tiap, ia menduga meski ditanya tidak
nanti Ong Capsah
mau terangkan, maka ia pun tidak merecoki
urusan itu,
sepanjang jalan ia hanya pura-pura bodoh dan
berlagak
dungu saja.
Petangnya Yo Ko dan Ong Capsah sudah sampai
di Hing-
ci-koan. Kota Hing-ci-koan ini meski tempat
yang penting
dalam arti kemiliteran, namun kotanya sendiri
ternyata tak
begitu ramai.
Ong Capsah membawa Yo Ko melalui kota itu dan
berjalan lagi 7-8 li, akhirnya sampai di
suatu perkampungan
besar dengan gedung2 berderet-deret dilingkungi
oleh
beberapa ratus pohon wa-ringin yang rindang,
Ke dalam
kampung inilah para kesatria itu masuk.
Perkampungan itu begitu besar dengan gedung
gedungnya yang sambung menyambung dan
berjajar-jajar,
tampaknya kalau hanya tetamu beberapa ribu
saja masih
cukup luang.
Ong Capsah sangat rendah kedudukannya dalam
Kay-
pang, ia tahu waktu itu Pangcu mereka terlalu
sibuk, sudah
tentu tak berani ia laporkan permintaan Yo Ko
yang hendak
“pinjam sangu” segala, Maka setelah atur
tempat tidurnya Nyo
Ko dan sediakan makan, kemudian ia sendiripun
pergilah
mencari kawannya yang lain.
Sesudah makan, Yo Ko lihat gedung yang begini
megahnya dengan centeng yang tidak terhitung
banyaknya
hilir mudik melayani tetamu, diami ia merasa
heran siapakah
tuan rumahnya, kenapa begini besar
pengaruhnya ?
Dalam pada itu dapat didengarnya disampingnya
ada
orang sedang berkata: “Suami isteri cengcu
sendiri sedang
menyambut tetamu, marilah kita juga pergi
melihat gerangan
siapa kesatria yang datang ini?”
Sementara itu di luar sana terdengar suara
tambur
berdentum, lalu musik pun berbunyi para
centeng berbaris di
kedua samping, ucacara pembukaan ternyata
sangat meriah
dan khidmat.
Tertampak dari belakang pintu muncul satu
laki-laki dan
satu perempuan yang semuanya berusia antara
40 tahun,
yang lelaki tinggi kekar pakai jubah sulam,
bibirnya sedikit
berkumis, kereng berwibawa. Sedang yang
perempuan
berkulit putih bersih seperti wanita
bangsawan.
“lni adalah Liok-cengcu dan itu Liok-hujin,”
demikian Nyo
Ko dengar pembicaan di antara tetamu yang
hadir.
Di belakang kedua orang ini kembali adalah
sepasang
suami isteri, seketika hati Yo Ko terkesiap
demi nampak
suami isteri yang belakang ini hingga mukanya
serasa panas,
Mereka bukan lain ialah Kwe Ceng dan Oey Yong
adanya.
Selama beberapa tahun tak berjumpa, tampaknya
Kwe
Cing terlebih sabar lagi sedang Oey Yong
bermuka terang dan
ter-senyum2, tampaknya bertambah montok
daripada dahulu
waktu di Tho-hoa-to.
Pakaian yang digunakan Kwe Ceng terbuat dari
kain kasar,
sebaliknya Oey Yong memakai kain sutera merah
jambon, tetapi
sebagai Pangcu dari Kay-pang, menurut tradisi
kaum
pengemis, terpaksa ia berikan beberapa
tambalan pada
bajunya di tempat yang tak terlalu menyolok.
Di belakang Kwe Ceng dan Oey Yong ikut Kwe Hu
dan Bu-si
Hengte, tatkala itu ruangan besar itu terang
benderang
dengan api lilin, di bawah cahaya api lilin,
gadis itu tertampak
lebih cantik molek dan pemudanya bertambah
gagah ganteng.
“lni adalah Kwe-tayhiap dan itu Ui-pangcu!”
“Dan nona yang cantik itu siapa lagi?”
“lalah puteri Kwe-tayhiap dan Ui-pangcu!”
“Hei dan kedua pemuda itu apa puteranya?”
“Bukan, tapi muridnya!”
Begitulah percakapan di antara para tetamu
sambil tunjuk
sini dan tuding sama.
Yo Ko tak ingin berjumpa dengan Kwe Ceng
suami isteri
di depan orang banyak, maka ia sengaja
sembunyi di belakang
seorang lelaki tinggi besar untuk mengintip.
Dalam pada itu, di bawah iringan suara musik,
dari luar
telah masuk empat orang Tojin atau imam.
Nampak Imam ini, seketika timbul semacam rasa
aneh
dalam hati Yo Ko.
Kiranya yang paling depan itu adalah seorang
imam yang
sudah ubanan rambut alisnya mukanya berwarna
merah
hangus, ia bukan lain dari pada Kong-ling-cu
Hek Tay-thong,
satu diantara Coan-cin-chit-cu, sedang di
belakangnya adalah
imam wanita tua ubanan juga, imam wanita ini
belum pernah
dikenal Yo Ko. Dan di belakang mereka ini
ikut pula dua
imam setengah umur dengan jalan berjajar,
mereka adalah
Thio Ci-keng dan In Ci-peng.
Dengan cepat Liok-ceng-cu suami isteri sambut
imam
wanita itu sambil menjura dan memanggilnya
sebagai Suhu,
menyusul serta Kwe Ceng suami isteri, Kwe Hu
dan Bu-si
Hengte juga maju memberi hormat.
Telinga Yo Ko cukup tajam, maka percakapan
antara
para tetamu itu dapat pula diikutinya dengan
terang.
“lmam wanita tua ini adalah pendekar wanita
Coan-cin-
kau, ia she Sun bernama Put-ji,” demikian
terdengar kata
seorang tua.
“Aha, kiranya dialah Jin-ceng Sanjin yang
namanya
tersohor di daerah utara dan selatan sungai!”
ujar tamu yang
lain.
“Ja, dia adalah Suhu Liok-hujin, sedang ilmu
silat Liok-
ceng-cu sendiri bukan belajar dari dia,” kata
si orang tua tadi.
Kiranya Liok-cengcu ini bernama Khoan-eng,
ayahnya
bernama Liok Seng-hong adalah murid Oey
Yok-su, ayah Ui
Yong, maka kalau diurut, Liok-cengcu masih
lebih rendah
setingkat dari pada Kwe Ceng dan Oey Yong.
Sedang Liok-hujin, isteri Liok Khoan-eng,
Thia Yao-keh,
adalah muridnya Sun Put-ji.
Dahulu Thia Yao-keh pernah mendapat
pertolongan Kwe
Cing, Oey Yong dan orang-orang Kay-pang
sewaktu ia
mengalami marabahaya, oleh sebab itu ia
merasa utang budi
terhadap orang-orang Kay-pang, Kini Kay-pang
menyebarkan
undangan pada kestria2 di seluruh jagat dan
mengadakan
perjamuan besar menjelang rapat raksasa dari
Kay-pang me-
reka, maka Liok Khoan-eng suami isteri telah
pikul semua
biaya itu dan mengadakan perjamuan itu di
tempat
kediamannya, sekalipun perjamuan ini mungkin
akan makan
separuh dari kekayaan mereka, namun Liok
Khoan-eng adalah
seorang gagah yang terbuka tangannya, dengan
sendirinya
hal demikian ini tak dipikir olehnya.
Begitulah, maka sesudah menjalankan penghormatan,
lalu
Kwe Ceng ikut Hek Tay-thong dan Sun Put-ji ke
ruangan
pendopo untuk diperkenalkan kepada para
kesatria yang
hadir.
“Khu, Ong dan Lauw para Suheng sudah menerima
kartu
undangan Ui-pangcu, mereka bilang seharusnya
memenuhi
undangan, cuma paling belakang ini badan
Lauw-suheng
kurang sehat dan Ma-suheng harus bantu dia
menjalankan
tenaga penyembuhan maka perjalanan ini
terpaksa tak bisa
dilakukan, diharap Ui-pangcu suka memaafkan,”
demikian
terdengar Hek Tay-thong berkata dengan
mengelus
jenggotnya.
“Ah, para cianpwe itu terlalu merendah diri
saja,” sahut Ui
Yong.
Harus diketahui meski usia Oey Yong masih
muda, tetapi dia
adalah pemimpin dari suatu organisasi besar
Kay-pang,
dengan sendirinya Hek Tay-thong dan lain-lain
sangat
menghormat padanya.
Kwe Ceng sendiri sudah sejak mudanya kenal
dengan In
Ci-peng, kini bisa berjumpa pula, sudah tentu
mereka sangat
girang dan mengobrol dengan asyiknya.
Lekas-lekas Liok-cengcu memerintahkan
perjamuan
dimulai segera para tetamu mengambil tempat
duduk masing-
masing, maka suasana ruangan pendopo itu
menjadi ramai
luar biasa.
Dalam pada itu In Ci-peng sendiri lagi
longak-longok kian
kemari seperti sedang mencari seseorang
diantara orang
banyak itu.
“ln-sute, entah orang she Liong itu ikut
hadir atau tldak?”
tiba-tiba Ci-keng berkata lirih sambil
tersenyum dingin.
Berubah hebat air muka Ci-peng karena
sindiran itu,
namun ia tak menjawab.
“Kesatria she Liong yang manakah ? Apakah
sahabat
kalian berdua?” tanya Kwe Ceng, nyata tak
diketahuinya
bahwa orang yang mereka bicarakan ialah
Siao-iiong-li.
“Sahabat In-sute, aku sendiri mana berani
bergaul dengan
dia,” sahut Ci-keng.
Melihat sikap kedua imam ini rada aneh, Kwe
Ceng tahu di
dalamnya tentu tersangkut urusan-urusan lain,
maka iapun
tidak menanya lebih jauh.
Mendadak, di antara orang banyak itu Ci-peng
dapat
melihat Yo Ko, seketika tubuhnya bergetar
seperti kena
disamber petir, Kiranya disangkanya jika Yo
Ko berada di
situ, dengan sendirinya Siao-Jiong-li juga
datang.
Ketika Kwe Ceng dan Ci-keng memandang ke arah
yang
menarik perhatian Ci-peng itu hingga
kesamplok pandang
dengan Yo Ko, seketika merekapun tercengang.
Dalam kejutnya Kwe Ceng merasa girang pula,
maka ia
lantas mendekati anak muda itu sambil menarik
tangannya.
“He, Ko-ji, kiranya kau juga datang?” demikian
ia
menyapa. “Tadinya aku kuatir kau terlantarkan
pelajaranmu
maka tak berani mengundang kau, kini gurumu
sudah
membawa kau ke sini, inilah baik sekali,”
Kiranya jaman dulu karena tak lancarnya lalu
lintas, maka
urusan tentang Yo Ko berontak keluar dari
Coan-cin-pay,
Kwe Ceng yang tinggal jauh di Thohoa-to
sedikitpun tak
mendapat kabar.
Kehadiran Ci-keng ke Eng-hiong-yan sekali ini
sebenarnya
justru akan merundingkan urusan itu dengan
Kwe Ceng, siapa
duga di sinilah malah kepergok dengan Yo Ko,
Semula ia
kuatir Kwe Ceng percaya pada ocehan Yo Ko
secara sepihak,
demi mendengar apa yang dikatakan Kwe Ceng
tadi ia pun
tahulah bahwa merekapun baru pertama kali
bertemu
sekarang ini, maka dengan muka merah adam
Ci-keng
menengadah sambil berkata: “Ada kepandaian
apa dan
kebajikan apa pada diriku. mana berani aku
menjadi guru
Nyo-ya?”
Kaget sekali Kwe Ceng oleh kata-kata ini
“Apa? Kenapa Thio-suheng berkata demikian ?
Apakah
anak kecil tidak mau menutul ajaranmu?”
tanyanya cepat.
Melihat ruangan pendopo ini penuh dengan
tetamu, kalau
sampai urusaa itu diceritakan hingga terjadi
perdebatan
dengan Yo Ko, rasanya hal ini bisa
menghilangkan pamor
Coan-cin-kau, maka Ci-keng tak mau menjawab
melainkan
tertawa dingin saja.
Di lais pihak, waktu Kwe Ceng periksa keadaan
Yo Ko, ia
lihat matanya bengkak dan mukanya babak
belur, pakaiannya
compang-camping dan kotor, terang sekali
bocah ini kenyang
merasakan penderitaan yang tidak ringan, Kwe
Ceng sangat
pedih, sekali tarik ia rangkul kencang Yo Ko
ke dalam
pelukannya.
Waktu ditarik, segera Yo Ko kumpulkan seluruh
tenaga
dalamnya untuk melindungi tempati berbahaya
di tubuhnya.
Siapa tahu Kwe Ceng benar-benar sayang dan
kasihan
padanya dan tiada maksud hendak
mencelakainya, malahan
paman angkat ini telah berseru pada Oey Yong :
“Yong-ji,
lihatlah siapa ini yang datang?”
Oey Yong tercengang juga demi nampak Yo Ko,
berlainan
dengan Kwe Ceng yang kegirangan bisa berjumpa
dengan Nyo
Ko, sebaliknya ia sambut orang dengan adem
saja.
“Bagus, kiranya kaupun datang.” demikian
sahutnya tawar
Dalam pada itu dengan pelahan Yo Ko
melepaskan diri
dari pelukan Kwe Ceng.
“Tubuhku kotor, jangan sampai membikin kumal
pakaianmu,” demikian katanya pada sang paman,
Kata-kata
ini diucapkan dengan dingin, bahkan bernada
menyindir.
Namun hal itu tak terpikir oleh Kwe Ceng, ia
hanya merasa
terharu, waktu itu juga teringat olehnya :
Anak ini
sebatangkara dan yatim piatu, tentu sudah
kenyang
merasakan pahit getir.”
Karena itu, ia tarik tangan Yo Ko dan
mengajak agar
pemuda ini duduk semeja dengan dirinya.
Yo Ko duduk di suatu tempat yang terpencil
maka iapun
menolak
“Biarlah aku duduk di sini saja, silakan
Kwe-pepek pergi
menemani tetamu,” sahutnya dingin.
Kwe Ceng merasa tak enak harus meninggalkan
tetamu
yang begitu banyak, maka ia tepuk pelahan
pundak si Yo Ko,
lalu pergilah dia ke tempat duduknya semula.
Setelah tiga keliling para tamu mengeringkan
isi cawan,
sebagai ketua lalu Oey Yong mulai angkat
bicara: “Besok adalah
hari diadakannya Eng-hiong-yan, kini masih
ada beberapa
kawan dari berbagai penjuru yang belum
datang, mungkin
besok siang baru bisa tiba, Maka kini silakan
para hadirin
makan minum sepuasnya, besok baru kita
bicarakan urusan
pokok.”
Selesai pidato ini, seketika para tamu itu
bersorak sorai
kemudian perjamuan lantas dimulai.
Setelah bubar perjamuan, para tamu itu dengan
sendirinya
ada penyambutnya sendiri-sendiri yang
mengantarkan pergi
mengaso.
Maka kelihatanlah Ci-keng bisik-bisik pada
Hek Tay-thong
dan imam tua ini balas mengangguk-angguk,
lalu Ci-keng
berdiri dan membungkuk memberi hormat pada
Kwe Ceng.
“Kwe-tayhiap, Pinto merasa mengecewakan tugas
berat
yang pernah dipikirkan padaku itu, sungguh
hal ini sangat
memalukan, maka hari ini sengaja datang buat
terima
hukuman atas dosaku,” demikian kata Ci-keng.
“Ah, Thio-suheng terlalu merendah diri saja,”
sahut Kwe
Cing segera sambil balas hormat. “Marilah
kita bicara ke
kamar baca saja, apabila anak kecil ada yang
bikin marah
Thio-suheng, pasti Siaute akan beri hukuman
yang setimpal
padanyak agar amarah Thio-suheng bisa padam.”
Beberapa kata Kwe Ceng ini diucapkan dengan
suara
lantang, karena jaraknya Yo Ko tidak begitu
jauh, maka
semuanya dapat didengarnya dengan cukup
terang, Diam-
diam dalam hati pemuda ini pun sudah ambil
suatu
keputusan:
“Jika dia mendamperat sepatah kata saja
padaku, segera
aku berbangkit dan angkat kaki dari sini dan
untuk selanjutnya
tak mau bertemu muka lagi dengan dia. Bila
dia pukul aku,
meski ilmu silatku bukan tandingannya, pasti
aku akan adu
jiwa juga dengan dia”.
Karena sudah ambil keputusan demikian, maka Yo
Ko
menjadi lebih tenang, tidak lagi ketakutan
seperti waktu
bertemu dengan Thio Ci-keng untuk pertama
kalinya dahulu,
Dan demi nampak Kwe Ceng menggapai padanya,
maka iapun
ikut di belakang mereka.
Tatkala itu Kwe Hu bersama Bu-si Hengte juga
sedang
makan di suatu meja makan, semula gadis ini
tak kenal
lagipada Yo Ko belakangan sesudah
ayah-bundanya
mengenali pemuda itu, barulah Kwe Hu ingat
pemuda itu
bukan lain daripada kawan memainnya, waktu
kecil di Tho-
hoa-to dahulu.
Dasar anak muda yang cepat berubah wajahnya,
apalagi
sudah sekian tahun berpisah, pula Yo Ko
sengaja menyamar
dengan rupa yang sengsara dan bercampur di
antara orang
banyak, tentu saja Kwe Hu tak mengenalinya.
Kini nampak Yo Ko telah kembali tanpa terasa
hatinya
terguncang, terkenang olehnya kejadian dahulu
di Tho-hoa-to
di mana karena urusan jangkrik telah terjadi
perkelahian,
entah kejadian ini apa masih membuat dendam
pemuda itu
atau tidak?”
Tetapi bila dilihatnya keadaan Yo Ko yang
begitu rudin,
lesu dan kotor, jauh berlainan dengan wajah
Bu-si Heng-te
yang ganteng dan bersemangat, diam-diam
timbul juga
perasaan kasihannya pada pemuda itu.
“Ayah telah kirim dia belajar silat pada
Coan-cin-pay,
entah bagaimana dengan hasil pelajarannya
dibanding kita?”
demikian ia bisiki Bu Tun-si
“llmu silat Suhu tiada tandingannya di kolong
langit ini,
pula kepandaian Subo (ibu guru) diperoleh
dari ajaran
Engkong-luarmu, mana bisa dia dibandingkan
dengan kita?”
tiba-tiba Bu Siu-bun menyambung pertanyaan si
nona
sebelum sang kakak menjawab.
“Ya, dasarnya memang juga tidak terpupuk
baik, agaknya
sukar juga ia hendak mendapat kemajuan,” Kwe
Hu angguk-
angguk. “Tetapi kenapa keadaannya menjadi
begitu
mengenaskan.”
“Para imam itu melotot terus padanya seperti
hendak
menelannya mentah-mentah, dasar anak she Nyo
ini tabiatnya
buruk, tentu dia telah melakukan sesuatu onar
lagi di sana,”
demikian kata Siu-bun.
Begitulah ketiga orang ini berbicara sendiri,
waktu
mendengar Kwe Ceng mengundang Hek Tay-thong
dan lain-
lain ke kamar baca buat bicara dan bilang Yo
Ko akan diberi
hukuman setimpal pula, Kwe Hu menjadi heran
dan ketarik.
“Ayo, lekas kita mendahului sembunyi dulu di
kamar baca
itu untuk mendengarkan apa yang mereka
bicarakan,” segera
gadis ini mengajak.
Tetapi Bu Tun-si takut konangan sang Suhu dan
didamperat, maka ia tak berani, sebaliknya Bu
Siu-bun lantas
berteriak akur, malahan ia mendahului
bertindak pergi.
“Kau memang selalu tak turut perkataanku,”
Kwe Hu
mengomeli Tun-si.
Nampak si nona rada marah, tapi malah
menambah
kecantikannya yang menggiurkan seketika hati
Tun-si
memukul keras, ia tak berani membantah lagi
terpaksa ikut di
belakang Kwe-hu.
Dan baru saja ketiga orang itu sembunyi di
belakang rak
buku, sementara itu Kwe Ceng dan Oey Yong
sudah datang
dengan membawa Hek Tay-thong, Sun Put-ji,
Thio Ci-keng
dan In Ci-peng berempat, lalu ambil tempat
duduknya sendiri-
sendiri.
“Ko-ji, kaupun duduk sana!” kata Kwe Ceng
sesudah Yo Ko
ikut masuk
“Tidak, aku tak usah,” sahut Yo Ko. sekalipun
nyalinva
besar, tapi menghadapi enam tokoh dunia
persilatan ini, tidak
urung hatinya berdebar-debar tak tenteram.
“Anak kecil kenapa kurangajar, berani kau
bandel terhadap
Suhu,” demikian Kwe Ceng lantas damperat
sambil tarik muka,
“Tidak lekas kau berlutut menjura minta maaf
pada Susiokco
(kakek guru), Suhu dan Susiok!”
Kwe Ceng berhati jujur, ia pandang Yo Ko
seperti anaknya
sendiri, pula terhadap Coan-cin-chit-cu
biasanya ia sangat
menaruh hormat, maka tanpa bertanya ia pikir
tentu anak
muda yang telah berbuat salah.
Sebenarnya kalau menurut adat istiadat jaman
kuno itu,
ikatan peraturan antara ayah dan anak atau
guru dan murid
luar biasa kerasnya, jangankan membantah,
sekalipun ayah
atau guru menghendaki kematian anak atau
murid juga tidak
boleh membangkang.
Kini Kwe Ceng hanya mendamperat Yo Ko secara
begitu,
sesungguhnya boleh dikatakan luar biasa
ramahnya, kalau
orang lain, tentu sudah menggunakan kata-kata
“binatang,
anak haram” dan macam-macam lagi atau
dibarengi dengan
gebukan dan pukulan.
Siapa duga, mendadak Ci-keng berdiri.
“Pinto mana berani menjadi guru Nyo-ya?
Kwe-tayhiap,
hendakkh jangan kau sengaja menyindir,”
demikian katanya
ketawa dingin. “Coan-cin-kau kami selama ini
tidak pernah
bersalah terhadap Kwe-tayhiap, kenapa engkau
ejek kami di
hadapan orang banyak? Nyo-toaya, biarlah imam
tua ini
menjura padamu dan minta maaf, anggaplah aku
yang picik
dan tak kenal kaum Enghiong dan orang
gagah….”
Melihat wajah imam ini berubah begitu rupa,
kata-katanya
juga semakin kasar menandakan betapa
gusarnya, Kwe Ceng
dan Oey Yong menjadi heran sekali. Mereka
pikir kalau murid
berbuat sesuatu kesalahan, sang guru mau
damperat atau
menghajar padanya juga lumrah, tapi kenapa
harus berlaku
secara begini kasar?”
Oey Yong adalah seorang pintar luar biasa, ia
tahu pasti Nyo
Ko berbuat sesuatu kesalahan yang luar biasa
besarnya, Kini
nampak Kwe Ceng menjadi bungkam karena
serentetan kata-
kata Ci-keng tadi, mau-tidak-mau ia
mewakilkan sang suami
membuka suara.
“Thio-suheng hendaklah jangan marah dahulu,
cara
bagaimanakah bocah ini berbuat salah terhadap
sang guru,
silakan duduk dan terangkan yang jelas,”
demikian katanya
dengan tenang.
“Aku Thio Ci-keng hanya punya sedikit
kepandaian mana
aku berani menjadi guru orang? Bukankah akan
ditertawai
semua orang gagah seluruh jagad hingga copot
giginya?”
teriak Ci-keng tiba-tiba.
Oey Yong mengkerut kening melihat kekasaran
orang, ia
menjadi rada kurang senang.
Hek Tay-kong dan Sun Put-ji mengetahui
duduknya
perkara, mereka merasa pantas kalau Ci-keng
marah-marah,
tetapi kalau ribut-ribut secara kasar,
sesungguhnya juga
bukan corak asli kaum imam yang beribadat.
“Ci-keng.” kata Sun Put-ji kemudian, “kau
harus terangkan
secara baik di hadapan Kwe-tay-hiap dan
Ui-pangcu, caramu
marah-marah dan ribut-ribut ini, apa macam
jadinya ini?
Apakah itu menjadi kebiasaan orang berigama
seperti kita
ini?”
Meski Sun Put-ji adalah wanita, tetapi karena
wataknya
yang keras, maka angkatan muda sangat segan
padanya,
maka Ci-keng jadi mengkeret, ia tak berani
muring-muring lagi
sesudah mengia beberapa kali, lalu ia kembali
duduk ke
tempatnya tadi.
“Lihatlah Ko-ji, begitu hormat gurumu
terhadap orang tua,
kenapa kau tidak belajar contoh ini?” kata
Kwe Ceng.
Kontan sebenarnya Ci-keng hendak menyelak
lagi bahwa
dirinya bukan guru orang, tetapi demi
dipandangnya Sun Put-
ji, kata-kata yang hendak diucapkan ia telan
kembali.
Tak tetduga, mendadak Yo Ko berteriak “Dia
bukan
guruku!”
Karena teriakan ini, bukan saja Kwe Ceng dan
Oey Yong
kaget, bahkan Kwe Hu dan Bu-si Hengte yang
sembunyi di
belakang rak buku juga terkejut.
Maklumlah, pada jaman itu, di kalangan Bu-lim
terutama,
soal guru dan murid diatur dengan tata adat
yang sangat
keras, seorang guru dapat dipersamakan dengan
seorang
ayah yang harus di-turut dan dihormati, Siapa
tahu kini bukan
saja Yo Ko tak mau mengaku guru, bahkan
berani berteriak
terang-terangan pula.
Keruan Kwe Ceng sangat gusar, mendadak ia
berdiri sambil
tuding Yo Ko dan mendamperat:
“Apa… apa yang… yang kau katakan?”
Dasar Kwe Ceng memang tak pandai bicara, juga
tak biasa
mendamperat orang, maka mukanya menjadi merah
padam,
amarahnya boleh dikatakan memuncak, jarang
sekali Oey Yong
melihat suaminya begitu gusar, maka dengan
suara halus ia
coba menghiburnya: “Cing-koko, anak ini
memang buruk jiwa-
nya, perlu apa harus marah-marah karenanya ?”
Mula-mula tadi sebenarnya Yo Ko rada takut,
tetapi kini
seorang Kwe-pepek yang sebenarnya sangat
sayang padanya
juga marah-marah mendamperat padanya,
tiba-tiba pemuda
ini menjadi nekat, pikirnya: “Paling-paling
mati apa yang perlu
kutakuti paling banyak juga boleh kau bunuh
aku saja.”
Karena pikiran itu, dengan suara lantang
segera ia
menjawab “Ya, memang jiwaku buruk, namun
tidak pernah
aku minta belajar ilmu silat padamu, Kalian
semua ini adalah
tokoh-tokoh Bu-lim yang terkenal, kenapa
karus gunakan tipu
muslihat untuk menjebak seorang bocah yatim
piatu?”
Waktu ia berkata sampai “yatim piatu”, saking
sedih akan
nasib sendiri seketika mata Yo Ko rada merah
basah, tetapi
segera ia gigit bibir sekencang-kencangnya,
ia pikir sekalipun
hari ini harus mati tidak boleh aku alirkan
setengah tetes air
matapun.
Di lain pihak Kwe Ceng menjadi tambah marah.
“Apa kau bilang?” demikian damperatnya pula.
“lsteriku
dan gurumu dengan sungguh-sungguh ajarkan
ilmu silat
padamu, semuanya ini karena mengingat pada
persahabatanku dengan mendiang ayahmu, siapa
lagi yang
bertipu muslihat ? Dan… dan siapa yang
menjebak kau?”
Memangnya Kwe Ceng tak pandai bicara, dalam
keadaan
marah, ia menjadi lebih gelagapan.
Melihat orang tambah marah, sebaliknya Yo Ko
tambah
tenang dan pelahan bicaranya.
“Ya, engkau Kwe-pepek sudah tentu baik terhadapku,
hal
ini selamanya pasti takkan kulupakan!”
“Dan Kwe-pekbo dengan sendirinya tidak baik
terhadapmu
jika kau mau dendam untuk selamanya, hal
inipun terserah
padamu,” sela Oey Yong tiba-tiba dengan
sekata demi sekata.
Dalam keadaan demikian, Yo Ko tambah tak
gentar lagi,
sekali lagi ia berbicara terlebih berani.
“Kwe-pekbo tidak baik terhadapku, tetapi juga
tidak jelek
terhadapku”, demikian katanya Iagi. “Tetapi
kau bilang
ajarkan ilmu silat padaku, sebenarnya hanya
ajarkan aku
membaca, sedang ilmu silat sedikitpun tidak
diturunkan.
Namun demikian, membaca juga baik, sedikitnya
siautit
(keponakan) bertambah kenal beberapa huruf.
Tetapi, tetapi
beberapa imam tua ini…” sampai disini
mendadak ia tuding
Hek Tay-thong dan Thio Ci-keng, lalu dengan
gemas ia
sambung: “pada suatu hari, pasti aku akan
menuntut balas
utang berdarah dan dendam sedalam lautan
itu.”
“Apa… apa kau bilang?” tanya Kwe Ceng cepat
dan terkejut
“lmam she Thio ini katanya adalah guruku,
tetapi
sedikitpun tidak menurunkan ilmu silat padaku,
hal inipun tak
menjadi soal, tetapi ia malah suruh imam-imam
cilik
menghajar diriku,” tutur Yo Ko. “Kwe-pekbo
tidak
mengajarkan kepandaian padaku, Coan-cin-pay
tidak
mengajarkan ilmu silat pula padaku, dengan
sendirinya tidak
bisa lain aku kecuali dihajar sekenyang
mereka, Ada lagi,
imam she Hek ini, ia lihat seorang nenek2 tua
merasa sayang
dan kasihan padaku, orangtua itu malah dia
pukul hingga
mati, Hai, imam busuk she Hek, katakanlah
sekarang,
semuanya ini benar atau tidak?”
Bila Yo Ko ingat matinya Sun-popoh tidak lain
disebabkan
karena membela dirinya, sungguh ia menjadi
gemas dan
mengertak gigi, ingin sekali ia menubruk maju
mengadu Jiwa
dengan Hek Tay-thong.
Kong-ling-cu Hek Tay-thong tergolong imam
beribadat
diantara imam-imam Coan-cin-kau, baik
agamanya maupun
ilmu silatnya sudah dilatihnya sampai tingkat
yang sangat
tinggi, soalnya hanya karena salah tangan
hingga Sun-popoh
tewas, hal ini selama beberapa tahun selalu
membikin dia
merasa tak tenteram dan dianggapnya sebagai
suatu
perbuatan yang sangat disesalkan selama
hidupnya.
Kini mendadak Yo Ko meng-ungkat2 kejadian
itu, keruan
seketika mukanya menjadi pucat bagai mayat,
peristiwa ngeri
dahulu, di mana Sun-popoh muntah darah kena
pukulannya
itu seakan-akan terbayang di depan matanya.
Karena ia tak membawa senjata, maka tiba-tiba
ia lolos
pedang yang tergantung di pinggang Ci-keng.
Semua orang menyangka pedang itu tentu akan
ditusukkan pada Yo Ko, maka dengan cepat Kwe
Ceng sudah
melangkah maju hendak melindungi bocah itu.
Siapa duga
mendadak Hek Tay-thong membaliki pedangnya,
ia sodorkan
garan pedang pada Yo Ko sambil berkata: “Ya,
memang
betul, aku telah salah membunuh orang,
bolehlah kau
balaskan dendam Sun-popoh dengan pedang ini,
pasti aku
tidak akan menangkisnya.”
Nampak kelakuan Hek Tay-thong ini, semua
orang luar
biasa terperanjatnya.
Karena kuatir betul-betul Yo Ko menerima
pedang itu dan
melukai orang, lekas-lekas Kwe Ceng berseru :
“Ko-ji, jangan
kurangajar.”
Tetapi betapa cerdiknya Yo Ko, ia tahu di
hadapan Kwe
Cing dan Oey Yong, soal membalas dendam ini
tak nanti
terlaksana, maka dengan dingin ia lantas
menjawab : “Hm,
sudah terang kau tahu Kwe-pepek pasti tak
perkenankan aku
turut tangan, kau sengaja berlagak gagah
sekarang?”
Hek Tay-thong adalah Bu-lim-cianpwe atau
angkatan tua
dari kalangan persilatan, kini kena didebat
oleh kata-kata yang
begitu menusuk ia menjadi bungkam tak bisa
menjawab,
pedang yang dia sodorkan menjadi serba salah,
diangsurkan
terus orang tak terima, ditarik kembali
rasanya malu.
Mendadak ia salurkan tenaga dalamnya, maka
terdengarlah
suara “peletak” yang keras, tahu-tahu pedang
itu patah
menjadi dua.
“Sudahlah, sudahlah!” katanya sambil menghela
napas,
iapun lempar pedang patah itu ke tanah, habis
ini dengan
langkah lebar ia bertindak pergi.
Kwe Ceng masih bermaksud menahannya, namun
orang
sudah pergi tanpa menoleh lagi.
Tentu saja Kwe Ceng mulai ragu-ragu, ia
pandang Yo Ko
lalu pandang lagi pada Sun Put-ji bertiga,
pikir agaknya apa
yang dikatakan Yo Ko bukannya bikinan belaka.
“Kenapa para guru dari Coan-cin-kau tak
mengajarkan
kepandaian padamu ? Lalu selama beberapa
tahun ini apa
yang kau kerjakan?” ia tanya setelah lewat
sejenak, lagu
suaranya sekarang sudah berubah lunak.
“Waktu Kwe-pepek membawa aku ke Cong-lam-san,
beberapa ratus Tosu di sana telah kau pukul
pontang-panting
tanpa bisa membalas, umpama Ma, Khu, Ong dan
lain-lain
Cinjin tidak pikirkan peristiwa ini, apakah
imam-imam yang
lain juga tidak dendam?” demikian sahut Yo
Ko. “Sudah tentu
mereka tak berani padamu Kwe-pepek, lalu apa
mereka tak
bisa melampiaskan dongkol mereka atas diriku?
Malahan
mereka bisa-bisa ingin mampuskan aku baru
merasa puas,
Karena itu mana mereka mau mengajarkan ilmu
silat lagi
padaku ? Kalau selama ini penghidupan yg
kulewatkan adalah
gelap tak pernah melihat sinar dan kini masih
bisa berjumpa
dengan Kwe-pepek, hal ini boleh dikatakan
terlalu beruntung
sekali.”
Begitulah, meski usia Yo Ko masih muda,
tetapi cara
bicaranya masih lebih pintar dari pada Thio
Ci-keng, hanya
beberapa patah kata itu saja, secara enteng
ia telah
timpahkan semua sebab musabab memberontak
keluar dari
Coan-cin-kau itu kepada diri Kwe Ceng, Dan
apa yang dibilang
“gelap tak pernah melihat sinar” sebenarnya
juga tidak
membohong, selama itu ia tinggal di dalam
kuburan kuno,
dengan sendirinya sinar matahari sukar
dilihatnya. Tetapi
dalam pendengaran Kwe Ceng, rasa kasihannya
pada anak
muda ini menjadi ber-limpah2.
Di lain pihak Ci-keng melihat Kwe Ceng
sembilan bagian
sudah mau percaya terhadap penuturan Nvo Ko,
ia menjadi
gugup,
“Kau… kau ngaco belo… Hm Coan-cin-kau kami
adalah
golongan kesatria sejati, mana… mana bisa…”
demikian ia
coba membela diri dengan suara tak lancar.
Kwe Ceng terlalu lurus orangnya, ia anggap
apa yang
dikatakan Yo Ko itu tentu benar-benar terjadi
sebaliknya Ui
Yong yang kecerdasannya masih jauh di atas Yo
Ko, hanya
melihat air muka pemuda ini saja segera Oey
Yong tahu ada
udang di balik batu kata-katanya itu, ia
pikir bocah ini sangat
licin, tentu di dalamnya masih ada sesuatu
yang tidak benar,
Maka segera iapun menjela:
“Jika begitu, jadi sedikit ilmu silatpun kau
tak bisa? Lalu
selama beberapa tahun ini di Coan-cin-kau
tentunya terbuang
percuma bukan?” demikian sambil berkata,
perlahan-lahan
iapun berdiri, mendadak sebelah tangannya
menjulur terus
meng-gablok ke atas kepala Yo Ko.
Pukulan ini dilontarkan dengan jari tangan
tepat mengarah
“pek-hwe-hiat” di atas ubun-ubun kepala,
sedang telapak
tangan menepok “siang-seng-hiat” pada batok
kepala, kedua
Hiat-to ini adalah tempat yang mematikan,
asal kena digablok
tangan Oey Yong, maka tak perlu sangsikan
lagi pasti nyawa
Yo Ko akan melayang tanpa tertolong.
Tentu saja Kwe Ceng terperanjat ia menjerit:
“Yong-ji!”
Akan tetapi cepat luar biasa Oey Yong
mengayun
tangannya, tipu pukulan ini adalah satu
diantara “lok-eng-cio-
hoat” ajaran ayahnya, sebelum dilakukan
sedikitpun tidak
memberi tanda-tanda dahulu, bergitu bergerak,
begitu pula
telapak tangannya sudah sampai di tempat
sasarannya, Kwe
Cing ingin menolong pun tak keburu lagi.
Namun Yo Ko tidak biarkan dirinya dihantam
begitu saja,
dengan segera tubuhnya sedikit mendoyong ke
belakang
bermaksud menghindarkan diri, tetapi betapa
hebat
kepandaian Oey Yong, sekali ia turun tangan,
tidak nanti
sasarannya dapat mengelakkan diri, maka
dengan segera
telapak tangannya sudah berada di atas ubun-ubun
Yo Ko.
Sungguh bukan buatan kejut Yo Ko, cepat
hendak
ditangkisnya pukulan itu, namun mendadak
pikirannya
tergerak, tangan yang sudah sedikit diangkat
tiba-tiba ia
luruskan ke bawah lagi.
Hendaklah diketahui bahwa Kwe Ceng berilmu
silat maha
tinggi, namun pembawaan otaknya puntul, kalau
dia menjadi
Yo Ko, tentu sebelum mengerti apa yang harus
diperbuatnya
lebih dulu tangannya pasti diangkat buat
menangkis dulu.
Tetapi lain dengan si Yo Ko, pemuda ini
cerdik luar biasa,
otaknya pun bisa bekerja cepat, begitu
tangannya hendak
mcnangkis, segera terkilas dalam pikirannya:
“Ah, kiranya
Kwe-pekbo bermaksud menjajal ilmu silatku,
kalau aku
menangkis pukulannya, ini berarti aku
mengakui kata-kataku
tadi bohong belaka.”
Sungguhpun begitu, namun pukulan yang dilontarkan
Ui
Yong ini adalah tipu mematikan yang sangat
lihay, kalau orang
bukan bermaksud menjajal kepandaiannya dan
dirinya tidak
menangkis. apakah ini bukan bergurau dengan
jiwanya
sendiri.
Begitulah dalam sekejapan itu bagaikan
tarikan api
cepatnya, pikiran Yo Ko telah bolak-balik
berubah beberapa
kali, tetapi akhirnya ia tak hiraukan jiwanya
lagi dan pukulan
itu tak ditangkis-nya,
Harus diketahui bahwa dengan kepandaian Yo Ko
sekarang ini, walaupun masih belum bisa
memadai Oey Yong,
kalau menangkis pukulan itu saja rasanya
tidak sulit, tetapi
ternyata pemuda ini berani ambil resiko itu,
ia luruskan tangan
tak bergerak dan menantikan pukulan orang,
kalau bukan
watak Yo Ko memang keras kepala serta suka
turuti maksud
hatinya, sungguh tak nanti dilakukannya.
Dan ternyata memang betul pukulan Oey Yong
ini hanya
percobaan saja untuk menjajal ilmu silat Yo
Ko, pada waktu
telapak tangannya sudah hampir nempel kepala
orang, tiba-
tiba ia berhentikan dan tahan pukulannya, ia
lihat wajah Nyo
Ko rada mengunjuk takut dan bingung, sama
sekali tidak
angkat tangan buat menangkis, juga tidak
mengumpulkan
Lwekang untuk melindungi tempat-tempat yang
berbahaya,
terang memang sikap seorang yang tak paham
ilmu silat
sedikitpun.
“Ya, aku tidak ajarkan ilmu silat padamu, itu
disebabkan
aku ingin kau menjadi orang baik,” demikian
Oey Yong berkata
dengan bersenyum, sambil tarik kembali
tangannya, “Dan
para Toya dari Coan-cin-pay rupanya juga
berpikir sama
dengan aku,”
Habis ini ia balik kembali ke tempat duduknya
tadi, dengan
suara pelahan ia bisiki Kwe Ceng pula:
“Memang betul dia tidak
peroleh ajaran ilmu silat dari Coan-cin-pay.”
Akan tetapi Oey Yong adalah wanita secerdik
kancil, baru
selesai ia berkata, mendadak dalam hatinya
menjerit: “Ah,
celaka, salah ! salah! Hampir saja aku kena
diketahui setan
cilik ini,”
Kiranya ia menjadi ingat dahulu waktu Yo Ko
tinggal di
Tho-hoa-to, dimana bocah itu pernah tewaskan
seorang
pengemis anak murid Kay-pang dengan
Ha-mo-kang atau ilmu
weduk katak, ilmu silatnya pada waktu itu
sudah mempunyai
dasar yang kuat, sekalipun selama beberapa
tahun ini tidak
peroleh sesuatu kemajuan, namun dengan
pukulannya tadi
yang mengarah ubun-ubun di atas kepala,
betapapun juga
pasti bocah ini akan menangkisnya.
Katanya dalam hati: “Ha, kau betul-betul
setan Cerdik
yang luar biasa, kalau tadi kau tangkis
pukulanku dengan
lagak kelabakan, mungkin aku kena kau
kelabuhi, tetapi kini
kau pura-pura tak paham sama sekali, hal ini
berbalik
mencurigakan aku.”
Apapun juga memang Oey Yong masih setingkat
lebih
pintar, untuk bisa menimpali kecerdasannya Yo
Ko harus
hidup belasan tahun lagi dan sesudah
bertambah
pengalamannya.
Begitulah Oey Yong juga tidak mau bongkar
rahasia Yo Ko,
ia pikir biar aku lihat sandiwara apa yang
hendak kau
mainkan. Karena itu, ia hanya pandang
Ci-keng, lalu pandang
lagi Yo Ko, ia bersenyum, tetapi tak berkata.
Ci-keng menjadi murka, ia lihat Oey Yong
telah menjajal
dengan pukulannya dan sama sekali tak
ditangkis Yo Ko, ia
menyangka Oey Yong telah kena diingusi pemuda
itu, hal ini
berarti lebih menunjukkan pihaknya yang
bersalah, maka ia
tak tahan lagi, dengan suara keras ia
berteriak-teriak.
“Anak haram ini banyak tipu muslihatnya kau
tak berhasil
menjajalnya, Ui-pangcu, biarlah aku yang
mencobanya,”
demikian teriaknya sengit, Lalu ia mendekati Yo
Ko, ia tuding
hidung pemuda ini sambil memaki: “Anak haram,
apa benar-
benar kau tak bisa ilmu silat ? Nah, baiklah,
jika kau tak
sambut pukulanku ini, maka Toya pun tidak
bermurah hati,
mau mati atau ingin hidup tergantung kau
sendiri”
Ci-keng tahu ilmu silat Yo Ko kini sudah di
atas dirinya, ia
pikir asal dirinya mendadak menyerang dengan
tipu yang
mematikan, dalam keadaan demikian
mau-tidak-mau pasti
Yo Ko akan unjuk kepandaian aslinya, tetapi
bila masih
berlagak pikun, maka sekali pukul biar
lenyapkan saja jiwanya,
paling banter nanti ribut dengan Kwe Ceng
suami isteri dan
didamperat oleh Suhu dan Kaucu (ketua agama).
Bcgitulah jalan pikiran Ci-keng waktu itu,
nyata saking
gemasnya pada si Yo Ko mengakibatkan
timbulnya pikiran
jahat, ia pikir pula: “Me-mangnya kau menduga
Ui-pangcu
tidak akan celakai jiwamu, maka kau berani
pura-pura bodoh,
tetapi kini jatuh di tanganku, coba kau masih
berani main
pura-pura tidak?”
Segera ia hendak turun tangan. “Nanti dulu,”
tiba-tiba Kwe
Cing mencegah.
Rupanya Kwe Ceng kuatir jiwa Yo Ko bisa
melayang,
selagi ia hendak mencegah lebih jauh,
mendadak Oey Yong
menarik tangannya.
“Jangau kau urus dia,” dengan suara pelahan
Oey Yong
membisikinya.
Nyata Oey Yong menduga pukulan Thio Ci-keng
yang
sedang murka itu tentu dilontarkan dengan
cara tak kenal
ampun, sekali-kali Yo Ko tak berani ambil
risiko untuk
bergurau dengan jiwanya sendiri dan terpaksa
tentu akan
balas menyerang, tatkala itu, bagaimana
duduknya perkara
tentu pula akan menjadi terang.
Dengan sendirinya Kwe Ceng tak bisa menyelami
hal-hal
ber-Iiku2 itu, ia masih merasa tak tenteram,
tetapi biasanya
sang isteri dapat mengatur tepat, apa yang
dikatakannya pasti
tidak meleset, maka iapun tidak buka suara
lagi, ia berdiri di
samping sambil was-was, ia tunggu bila keadaan
betul-betul
berbahaya baharulah akan turun tangan buat
menoIongnya.
Sementara itu sebelum Ci-keng bertindak lebih
dulu ia
telah berkata pada Sun Put-ji dan In Ci-peng
: “Sun-susiok, In-
sute, anak haram ini berlagak tak bisa ilmu
silat, aku terpaksa
menjajal kepandaiannya, jika dia tetap kepala
batu sampai
titik terakhir, maka sekali hantam
kubinasakan dia, hendaklah
nanti dihadapan Suhu, Khu-supek dan Kaucu
sukalah kalian
berdua menjadi saksi.”
Tentang memberontaknya Nvo Ko dari
Coan-cin-kau,
dengan sendirinya Sun Put-ji mengetahui
seluruhnya, kini
melihat kelicinan Yo Ko yang keterlaluan
hingga Ci-keng
terdesak tak berdaya, hingga Coan-cin-kau
kelihatan di pihak
salah, maka iapun berharap Ci-keng berhasil
paksa bocah itu
menunjukkan corak asIinya, Maka dengan
tertawa dingin ia
menjawabnya: “Ya. murid murtad yang durhaka
begini
binasakan saja!”
Dengan kedudukan Sun Put-ji sebagai satu imam
yang
beribadat, mana mungkin ia suruh orang
membunun begitu
saja? Beberapa kata-katanya itu tujuannya
tidak lain hanya
untuk me-nakut2i Yo Ko agar pemuda ini tak
berani lagi
pura-pura.
Di lain pihak karena mendapat dukungan paman
gurunya
ini, nyali Ci-keng menjadi besar, tanpa
sungkan-sungkan lagi,
begitu kaki kanan diangkat, segera ia tendang
perut Yo Ko
dengan tipu gerakan “Thian-san-hui-toh”
(terbang melintasi
Thian-san), tendangan yang membawa tenaga
keras dan
tenaga tersembunyi ini sesungguhnya lihay
luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar