Minggu, 11 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 27



Kembalinya Pendekar Rajawali 27

Seketika itu Yo Ko malah menjadi bingung, teringat
olehnya Ang Chit-kong pernah tidur selama tiga hari tiga
malam, kini kedua orang tua ini jangan-jangan juga mati
buatan? Tetapi kalau melihat keadaannya, agaknya bukanlah
mati palsu.
“Ah, lebih baik anggap dia palsu, daripada menyangkanya
sungguh-sungguh,” demikian akhirnya Yo Ko ambil
keputusan.
Lalu ia pindahkan mayat kedua jago tua itu ke dalam gua,
ia sendiri menjaga di situ selama 7 hari 7 malam, sampai
akhirnya wajah kedua mayat itu sudah mulai berubah barulah
pemuda ini mau percaya orang sudah mati sungguh-sungguh.
Ia menangis tergerung-gerung, kemudian ia gali dua liang
dalam gua itu dan kubur kedua jago kosen dunia persilatan
itu.
Waktu ia keluar gua ia lihat bekas-bekas tapak kaki di atas
salju dimana Ang Chit-kong menem-pur Auwyang Hong kini
sudah membeku menjadi es. Bekas tapak kakinya masih,
namun orangnya sudah masuk liang kubur, Menghadapi bekas
tapak kaki ini, Yo Ko jadi terbayang pada pertarungan kedua
jago tua itu tempo hari, tanpa terasa ia berduka pula.
Ia masuk gua pula, di depan kuburan kedua jago tua itu ia
berlutut dan menjura masing-masing empat kali.
“Ayah angkat meski hebat, tapi apapun juga memang
masih selisih setingkat dengan Ang-locian-pwe. Di waktu Pak-
kau-pang-hoatnya menyerang, ayah harus memeras otak
berpikir sejenak baru bisa mematahkan tipu pukulannya, jika
pertarungan itu dilangsungkan secara sungguh-sungguh,
sudah tentu ia tak diberi kesempatan untuk memikir se-
maunya!” demikian Yo Ko membatin.
Sesudah menghela napas terharu, kemudian ia pun cari
jalan buat turun ke bawah gunung,
Turunnya ke bawah gunung sekarang ini dilakukan Yo Ko
dengan seenaknya saja, iapun tidak beda2kan timur atau
barat, utara atau selatan, yang terpikir olehnya hanya bumi
seluas ini melulu aku sendirilah yang sebatangkara, biar aku
terlunta-lunta ke mana saja, kalau sudah tiba ajalnya, biarlah
di mana aku rebah, di situlah aku mati.
Meski tinggal di atas Hoa-san tidak lebih setengah bulan,
namun bagi Yo Ko rasanya sudah lewat beberapa tahun,
Pada waktu naik gunung ia merasa dirinya selalu dipandang
hina orang dengan penuh rasa penyesalan, tetapi kini waktu
turun gunung ia merasa segala keduniawian ini sama saja
seperti awan yang terapung di udara, biarlah orang mau
pandang berharga atau pandang hina, ada sangkut paut apa
dengan aku?
Begitulah dalam usianya semuda itu ternyata sudah timbul
semacam rasa benci pada sesamanya dan anggap sepi mati-
hidupnya sendiri.
Tidak seberapa hari, tibalah dia pada suatu hutan yang
sepi di daerah Siamsay, mendadak terdengar olehnya di arah
barat gemuruh dengan suara larinya binatang dengan debu
mengepul tinggi. Tidak antara lama, beberapa ratus kuda liar
kelihatan berlari lewat di depannya dengan cepat.
Kuda-kuda liar senang hidup bebas tanpa kekangan
apapun ini membikin Yo Ko menjadi kagum dan tertarik.
Selagi ia ikut gembira oleh kelincahan kuda-kuda liar itu, tiba-
tiba didengarnya di belakangnya ada suara meringkiknya kuda
lain yang lemah.
Waktu Yo Ko berpaling, ia lihat seekor kuda kurus
menyeret sebuah kereta bermuatan kayu sedang mendatangi
dengan pelahan melalui jalan raya, agaknya kuda kurus ini
tertarik oleh sebangsanya yang hidup merdeka itu, sedang
dirinya sendiri harus susah menderita hidupnya, maka telah
meringkik sedih.
Kuda ini sudah kurus lagi tinggi, tulang-tulang iganya
sampai kelihatan nyata berderet-deret, bulu badan pun tak
rata penuh borok2, semua ini menjadikan rupanya jelek sekali
Di atas kereta itu duduk seorang laki-laki kasar, mungkin
jalan kuda kurus itu dianggapnya terlalu lambat, maka tiada
hentinya, ia ayun cambuknya memecut terus.
Selama hidup Yo Ko sendiri sudah kenyang dihina dan
dihajar orang, kini mendadak nampak penderitaan kuda ini,
aneh, tanpa terasa timbul rasa simpatiknya, ia menjadi
“solider” melihat kuda itu dipecut terus, saking terharunya
sampai matanya merah basah.
“Hai, kau! Kenapa kau pecut kuda ini terus?” bentaknya
gusar sambil menghadang di tengah jalan ketika kereta itu
sudah dekat.
Melihat yang merintangi adalah pemuda dengan pakaian
compang-camping dekil serupa orang minta-minta, lelaki kasar
itu anggap sepi saja atas teguran itu.
“Lekas minggir, apa kau cari mampus?” batasnya
membentak.
Lalu cambuknya diangkat, kuda kurus itu di-hujani pecutan
lagi.
Keruan Yo Ko tambah gusar.
“Jika kau pecut kuda ini lagi, segera kubunuh kau!”
teriaknya sengit.
“Hahaha!” lelaki itu malah tertawa, berbareng pecutnya”
lantas menyabet ke atas kepala Yo Ko.
Tentu saja pecut yang tiada artinya ini tak mungkin bisa
mengenai Yo Ko, sekali pemuda ini ulur tangannya, segera
cambuk orang direbut-nya, bahkan ia putar kembali pecut itu,
dengan menerbitkan suara “tarrr”, tiba-tiba leher lelaki tadi
kena terlibat oleh pecutnya sendiri dan kena diseret ke tanah,
menyusul Yo Ko lantas menghujam orang dengan cambukan.
Kuda kurus itu meski jelek rupanya, tetapi seperti sangat
cerdik, melihat lelaki itu dihajar Yo Ko, binatang ini telah
berjingkrak meringkik riang, bahkan ia gosok-gosok kepalanya
pada Yo Ko sebagai tanda terima kasihnya.
“Pergilah kau ke sana hidup di alam bebas!” kata Yo Ko
kemudian setelah putuskan tali penarik kereta sambil tepuk-
tepuk punggung binatang itu dan menuding ke arah debu
yang beterbangan oleh karena lari gerombolan kuda liar tadi.
Tiba-tiba kuda kurus ini meringkik dan berdiri tegak, habis
ini terus lari cepat ke depan, Tapi mungkin saking lama
menderita lapar, sekarang mendadak lari keras hingga tenaga
tak cukup, maka baru belasan meter berlari, tiba-tiba kaki
belakangnya terasa lemas, lalu jatuh terbanting.
Yo Ko merasa kasihan, ia mendekati binatang itu dan
mengangkatnya berdiri.
Nampak si Yo Ko begitu perkasa, lelaki tadi ketakutan
setengah mati, begitu merangkak bangun, kereta dan kayunya
tak dipikir lagi, segera ia lari terbirit-birit sambil berteriak-
teriak minta tolong.
Yo Ko merasa geli oleh kelakuan orang. Lalu dicabutnya
beberapa comot rumput segar dan memberi makan kuda
kurus tadi.
“O, kuda yang harus dikasihani selanjutnya kau ikut
padaku saja,” demikian Yo Ko berkata sambil meng-elus-elus
punggung binatang iru, Nyata karena penderitaan kuda itu,
tanpa terasa timbul simpatiknya yang senasib.
Kemudian perlahan-lahan ia tuntun kuda itu menuju ke
satu kota, ia beli sedikit bahan makanan kuda agar binatang
ini bisa makan enak dan kenyang, Besok paginya kuda ini
sudah kelihatan sehat kuat dan bersemangat habis ini baru
Yo Ko menungganginya dengan jalan perlahan-lahan.
Kuda buduk ini tadinya tak bisa lari kalau tidak kesandung
kakinya, tentu kepeleset jatuh, siapa tahu makin jauh berjalan
makin baik, sampai 78 hari kemudian, sesudah diberi makan
cukup hingga tenaga penuh, mulai kelihatanlab
kepandaiannya berlari secepat terbang.
Tentu saja Yo Ko sangat girang, ia menjadi tambah
sayang dan memberi perawatan yang lebih baik.
Hari itu Yo Ko berhenti pada suatu kedai arak untuk
tangsal perut dan suruh pelayan menyediakan semangkok
arak Tiba-tiba kudanya mendekati mejanya sambil meringkik
dan memandangi mangkok araknya itu seperti ingin minum.
Yo Ko menjadi ketarik, ia coba berikan araknya itu sambil
mengelus leher binatang itu, Betul saja kuda itu telah pentang
mulut lebar, tanpa sungkan-sungkan sekejap saja semangkok
arak itu telah dilahap kering, habis ini ekornya men-jengkit2
dan kakinya mengetok-ngetok, tampaknya binatang ini senang
sekali.
Yo Ko menjadi makin ketarik, ia suruh pelayan ambilkan
arak lagi, beruntun kuda itu habiskan belasan mangkok arak
dan masih belum mau sudah, rupanya pelayan kedai itu
meragukan kemampuan Yo Ko membayar uang arak itu,
karena pakaiannya tompang-camping, maka waktu disuruh
tambah arak lagi ia telah menolak.
Waktu perjalanan dilanjutkan mungkin karena pengaruh
arak, tiba jadi itu berlari cepat seperti kranjingan setan, begitu
cepat hingga pepohonan di tepi jalan berkelebat lewat seperti
terbang saja, Malahan binatang ini seperti punya watak yang
aneh, yakni tidak pedili apa saja, asal dilihatnya ada sesuatu
binatang di depannya, pasti ia kan pentang kaki secepatnya
mendahului ke depan.
Agaknya wataknya suka menang itu bukan mustahil
disebabkan karena selama ini ia dipandang rendah dan cukup
menderita segala hinaan, maka kini begitu dapat kesempatan
ia justru ingin unjuk ketangkasannya yang tidak mau kalah
dengan kuda yang lain.
Tabiat dogol demikian ini rupanya sangat cocok dengan
watak Yo Ko, maka satu orang dan satu kuda ini telah
menjadi kawan yang sangat baik.
Tadinya Yo Ko merasa sangat masgul dan kosong, tetapi
setelah mendapatkan kawan kuda yang membikin hatinya
riang, betapapun juga memang hati anak muda, tidak
seberapa hari ia sudah kembali gembira seperti sediakala.
Tanpa terasa sudah jalan beberapa hari, akhirnya ia ambil
jalan lama melalui Liong-kik-ce terus menuju ke Hing-ci-koan.
Sepanjang jalan bila Yo Ko ingat waktu menggoda Liok
Bu-siang dan permainan Li Bok-chiu, kadang-kadang ia
tertawa geli sendiri di atas kudanya.
Suatu hari waktu lohor, sepanjang jalan selalu Yo Ko
ketemukan kawanan pengemis secara ber-kelompok-
kelompok, melihat sikap mereka itu jelas banyak diantaranya
adalah golongan jago silat yang tinggi
Tiba-tiba Yo Ko terkesiap, pikirnya: “Jangan-jangan
percekcokan antara Liok Bu-siang dan kawanan pengemis ini
masih belum selesai?” Atau boleh jadi Li Bok-chiu hendak
tentukan mati-hidupnya dengan kawanan pengemis yang lagi
himpun kekuatan ini? Ha, keramaian ini tidak boleh
kulewatkan!”
Teringat olehnya bahwa Ang Chit-kong adalah Pangcu
kaum pengemis yang dulu, meski tidak ketarik oleh kawanan
pengemis itu, namun teringat akan kesatriaan Ang Chit-kong
yang pernah dia lihat, tanpa terasa timbul juga perasaan
persaudaraannya dengan Kay-pang, ia pikir bila ada
kesempatan seharusnya aku beritahukan mereka tentang
wafatnya Ang Chit-kong di atas Hoa-san.
Setelah berjalan tak lama lagi, ia lihat kawanan pengemis
itu makin lama makin banyak kalau diantara pengemis itu ada
yang menggendong kantong kain, pengemis-pengemis lain
pada umumnya lantas sangat hormat padanya.
Sebaliknya melihat macamnya Yo Ko, para pengemis itu
rada heran, jika melihat dandanan Yo Ko, memang tiada
ubahnya seperti pengemis, tetapi diantara anggota Kay-pang
itu sekali-kali tiada orang yang naik kuda.
Namun Yo Ko tak peduli mereka, ia tetap melarikan
kudanya dengan pelahan.
Tiba-tiba terdengar suara mencicitnya burung, dua ekor
rajawali kelihatan menukik ke depan sana.
“Ah, Ui-pangcu sudah datang, malam ini besar
kemungkinan akan ada rapat,” terdengar satu pengemis di
samping Yo Ko berkata.
“Entah Kwe-tayhiap ikut datang tidak?” sela seorang
pengemis lain.
“Tentu datang,” ujar pengemis yang pertama tadi. “Suami-
isteri mereka adalah seperti timbangan dengan anak batunya,
yang satu tidak bisa kehilangan yang lain.”
Selagi hendak meneruskan perkataannya, tiba-tiba
dilihatnya Yo Ko menahan kuda sedang mengawasi mereka,
maka pengemis itu melotot sekejap pada Yo Ko, lalu tutup
mulut tak jadi menyambung.
Kiranya demi mendengar nama Kwe Ceng dan Oey Yong,
seketika hati Yo Ko rada terperanjat, cuma wataknya
sekarang sudah jauh berbeda dari dulu, maka diam-diam ia
tertawa dingin: “Hm, dahulu aku makan menganggur di
rumahmu hingga kenyang dihina dan dipermainkan kalian,
Tatkala itu aku masih kecil dan tak punya kepandaian, maka
tidak sedikit pahit getir yang kurasakan. Tetapi kini aku
anggap jagat ini sebagai rumahku, tak perlu lagi aku
mengandalkan kau?”
Tiba-tiba terpikir lagi olehnya: “Ah, lebih baik aku pura-
pura jatuh sengsara dan pergi minta pertolongan mereka,
ingin kulihat cara bagaimana mereka melayani aku.”
Lalu dicarinya tempat yang sepi, ia bikin rambutnya
menjadi kusut semrawut, ia jotos mukanya sendiri sekali
hingga ujung mata kirinya matang biru, ia cakar lagi mukanya
sendiri hingga babak belur.
Memangnya pakaiannya sudah tak necis, kini ia sengaja
dirobek pula, malahan ia mengguling beberapa kali di tanah
hingga tambah kotor, dengan macamnya ini ditambah
berjodoh dengan kuda buduk yang jelek, maka tampaknya
menjadi benar-benar seorang rudin yang sengsara dan tinggal
mampus saja.
Selesai menyamar, dengan jalan pincang dan bikinan Nyo
Ko kembali ke jalan besar, ia tidak tunggangi kudanya lagi
melainkan jalan bersama kawanan pengemis, Kadang-kadang
ada pengemis yang menegur padanya apakah ikut pergi ke
rapat besar, Yo Ko tak bisa menjawab, ia hanya melongo
saja. Tetapi ia tetap campurkan dirinya di antara kawanan
pengemis itu dan meneruskan perjalanan bersama mereka.
Sampai hari sudah magrib, rombongan mereka tiba sampai
di depan sebuah kelenteng besar yang bobrok, dua ekor
rajawali tadi kelihatan menghinggap di atas satu pohon besar,
sedang Bu-si Hengte sedang sibuk memberi makan pada
mereka, yang satu membawa nampan dan yang lain
lemparkan potongan daging yang berada di dalam nampan
itu.
Tempo hari waktu kakak-beradik she Bu itu menempur Li
Bok-chiu bersama Kwe Hu, pernah juga Yo Ko menonton dari
samping, cuma waktu itu hanya Kwe Hu seorang yang dia
perhatikan maka terhadap kedua pemuda ini tak begitu di-
urusnya.
Kini berhadapan lagi, Yo Ko melihat gerak-gerik Bu Tun-si
cukup tangkas dengan semangat penuh, sebaliknya Bu Siu-
bun enteng dan gesit, lincah tak pernah diam. Tun-si
mengenakan baju satin berwarna wungu tua, sedang Siu-bun
berbaju satin warna biru safir, pinggang mereka pakai ikat
kain sutera bersulam, maka tampaknya menjadi gagah dan
cakap.
Yo Ko coba mendekati mereka.
“Ke… kedua Bu-heng, ter… terimalah hormatku, apa,
apa……selama ini baik-baik saja!” demikian ia menyapa
dahulu dengan suara tak lancar.
Tatkala itu kelenteng rusak itu baik dalam maupun luar
sudah penuh berjubel dengan kawanan pengemis yang
semuanya berpakaian penuh tambal sulam, dengan dandanan
Yo Ko yang sudah disiapkan itu, maka tidaklah menyolok ia
bercampur diantara orang banyak.
Dan karena sapaan Yo Ko tadi, Tun-si balas menghormat
dengan sopan, ia tak kenal siapakah orang yang menegur
dirinya ini, maka dengan sinar mata yang tajam ia coba
mengamat-amati orang.
“Siapakah saudara yang terhormat ini, maafkan aku tak
ingat Iagi,” demikian sahutnya kemudian.
“Ah, namaku rendah ini tiada harganya buat disebut,
Siaute… Siaute hanya mohon bertemu dengan Ui-pangcu,”
sahut Yo Ko merendah.
Mendengar suara orang seperti sudah pernah dikenalnya
dan selagi Tun-si hendak tanya lebih jauh, tiba-tiba
didengarnya dari dalam kelenteng itu ada suara orang
memanggil padanya.
“Toa-Bu-koko (engkoh Bu yang tua), ikal kucirmu tak
diikat dengan baik, coba lihat, sudah kusut lagi,” demikian
kata suara nyaring itu.
Karena mendengar suara ini, lekas-lekas Bu Tun-si
meninggalkan Yo Ko terus memapak ke sana.
Waktu Yo Ko berpaling, ia lihat seorang gadis jelita
berbaju hijau muda dengan langkah lebat sedang keluar dari
dalam kelenteng, Kedua alis gadis ini panjang lentik,
hidungnya yang mancung sedikit menjengat, mukanya putih,
pipinya merah bagai pauh dilayang, siapa lagi dia kalau bukan
puterinya Kwe Ceng, Kwe Hu adanya.
Dandanan Kwe Hu sebenarnya tak seberapa mewah,
hanya serenceng kalung mutiara yang dipakai di lehernya itu
yang mengeluarkan sinar mengkilap hingga wajah si gadis
tertampak lebih molek.
Hanya sekejap saja Yo Ko pandang si gadis, segera ia
merasa dirinya terlalu kotor dan jelek, maka tak berani ia
pandang terus.
Sementara itu Bu-si Hengte sudah lantas papak datangnya
Kwe Hu, mereka menyanjung-nyanjung sebisanya, kalau
tindak tanduk Bu Tun-si sedikit membawa sifat angkuh dan
rada pegang derajat, sebaliknya Bu Siu-bun suka me-rendah2
menjilat asal dapat pujian si gadis.
Sesudah berjalan pergi beberapa langkah, tiba-tiba Tun-si
ingat lagi pada diri Yo Ko, ia menoleh dan menanya: “Apa
kau datang menghadiri “Eng-hiong-yan” (perjamuan kaum
kesatria)?”
Sebenarnya Yo Ko tak paham apa “Eng-hiong-yan” yang
dikatakan orang itu, namun sekenanya ia mengiakan saja.
Karena itu, Tun-si memanggil seorang pengemis dan
memesan padanya: “Sobat ini hendaklah dilayani baik-baik,
besok ajak dia pergi ke Hing-ci-koan sekalian.”Habis ini, ia
asyik bicara sendiri dengan Kwe Hu dan tidak urus Yo Ko
Iagi.
Karena pesan itu, lekas pengemis itu datang menyapa Nyo
Ko dan menanya nama orang, oleh Yo Ko dijawab dengan
terus terang,
Di kalangan Bu-lim atau dunia persilatan, Yo Ko adalah
orang yang tak dikenal namanya, dengan sendirinya pengemis
itupun tak pernah mendengar namanya, maka tak
diperhatikannya anak muda ini.
Pengemis itu mengaku bernama Ong Capsah atau Ong
nomor 13, karena urut-urutannya dalam keluarganya nomor
13, dan she Ong, maka dipanggil Ong Capsah. Di Kay-pang ia
tergolong anak murid berkantong dua.
Karena ilmu silat Ong Capsah tak tinggi, tingkatannya pun
rendah, hanya pintar bicara dan bisa bekerja cepat, maka
anak murid Kay-pang tingkatan tinggi menugaskan dia sebagai
penyambut tamu.
“Darimanakah asalnya Nyo-toako?” demikian Ong Capsah
tanya lagi.
“Baru saja datang dari barat-laut,” sahut Yo Ko.
“Eh, apa Nyo-toako anak murid Coan-cin-pay?” tanya Ong
Capsah.
“Bukan,” sahut Yo Ko tanpa pikir sambil geleng kepala.
Ya, pemuda ini sudah terlalu -benci pada Coan-cin-kau, bila
mendengar nama itu saja ia sudah kepala pusing, apalagi
suruh mengaku sebagai anak murid nya.
“Dan apakah Nyo-toako membawa Eng-hiong-tiap (kartu
undangan kesatria)?” tanya Ong Cap-sah pula.
Yo Ko jadi tetcengang, ia tak mengerti apa “Eng-hiong-
tiap” itu?
“Siaute biasanya hanya luntang-Iantung merantau di
Kangouw, mana bisa disebut sebagai Enghiong?” demikian
sahutnya kemudian, “Cuma dahulu pernah bertemu muka
sekali dengan Ui-pangcu kalian, maka kini sengaja datang
menemui-nya lagi buat meminjam sedikit sangu untuk pulang
kampung.”
Ong Capsah mengkerut kening mendengar keterangan itu.
“Ui-pangcu sedang sibuk menerima para kesatria dari
segenap penjuru, mungkin tiada tempo buat menerima kau,”
sahutnya kemudian sesudah berpikir sejenak.
Kedatangan Yo Ko sekali ini memang sengaja pura-pura
rudin, semakin orang memandang rendah padanya, semakin
senang hatinya. Oleh sebab itu ia justru sengaja mohon belas
kasihannya Ong Capsah agar suka membantu.
Salah satu sikap yang dijunjung tinggi oleh orang-orang
Kay-pang yalah baik budi dan setia kawan, pula anggota Kay-
pang itu semuanya berasal dari kaum tak punya, selamanya
mereka suka bantu yang lemah dan menolong yang susah,
sekali-kali tidak boleh pandang hina pada orang miskin. Oleh
sebab itulah, demi nampak Yo Ko memohon dengan sangat,
mau-tak-mau Ong Capsah menyanggupinya.
“Baiklah, Nyo-hengte, sekarang kau makan yang kenyang
dahulu, besok pagi kita berangkat ke Hing-ci-koan bersama,”
katanya kemudian “Di sana nanti aku melapor pada Pangcu
dan terserah bagaimana keputusan beliau, baik tidak kalau
begini ?”
Tadinya Ong Capsah menyebut Yo Ko sebagai “Toako”
atau saudara tua, tetapi kini mendengar pemuda ini bukan
orang yang diundang menghadiri Eng-hiong-yan, pula umur
dirinya lebih tua, maka ia ganti memanggil orang sebagai Nyo-
heng-te atau adik Nyo.
Di lain pihak karena orang sudah mau membantu,
berulang-ulang Yo Ko menghaturkan terima kasinnya.
Kemudian Ong Capsah mengajak Yo Ko masuk ke dalam
kelenteng dan membawakan daharan seperlunya.
Menurut peraturan Kay-pang, sekalipun waktu pesta pora,
cara makan para anggotanya tetap harus bikin kocar-kacir
segala macam daharan, baik ayam- daging, ikan dan lain-lain
dan baru dimakan kalau sudah berwujud seperti barang restan
orang.
Cara ini adalah tanda bahwa “kacang tak pernah lupa pada
lanjarannya”, artinya tidak boleh lupa pada sumbernya, yakni
sekali pengemis tetap penge-mis, baik hidupnya dan cara
makannya, Tetapi terhadap tetamu, daharan yang mereka
suguhkan adalah biasa dan lengkap.
Begitulah, selagi Yo Ko makan seorang diri, tiba-tiba
matanya terbeliak, ia lihat Kwe Hu masuk lagi dari luar dengan
muka berseri-seri, waktu gadis itu melihat Yo Ko sedang
makan nasi di tepi patung Budha, tanpa melirik lagi ia ajak
bicara Bu Siu-bun dan Bu Tun-si.
“Baiklah, kita berjalan malam dan berangkat ke Hing-ci-
koan,” demikian terdengar Siu-bun berkata. “Aku pergi
mengeluarkan kuda merahmu.”
Ketiga orang itu sembari bicara sambil bertindak ke
belakang, Tidak antara lama, sesudah bawa bekal dan senjata,
mereka keluar lagi kelenteng itu, lalu terdengar suara derapan
kuda yang riuh, nyata ketiga orang itu sudah berangkat.
Dengan termangu-mangu Yo Ko mengikuti derapan kuda
yang sayup-sayup mulai menjauh, tetapi sepasang sumpitnya
masih tertancap di dalam mangkok sayur, ia tidak tahu
perasaannya waktu itu apa suka atau duka, apa sedih atau
gusar?
Besok paginya Ong Capsah datang membawanya pergi ke
Hing-ci-koan, sepanjang jalan kecuali orang-orang dari Kay-
pang sendiri, tidak sedikit pula tokoh-tokoh Bu-lim yang
mereka ketemukan baik laki-laki maupun perempuan, tua atau
muda, ada yang berperawakan gagah tegap, ada yang kurus
kecil tetapi setiap orang jalannya cepat dan kuat, agaknya
semuanya diundang untuk menghadiri apa yang disebut Eng-
hiong-yan atau perjamuan kesatria itu.
Yo Ko sendiri tidak tahu apa itu Eng-hiong-yan dan Eng-
hiong-tiap, ia menduga meski ditanya tidak nanti Ong Capsah
mau terangkan, maka ia pun tidak merecoki urusan itu,
sepanjang jalan ia hanya pura-pura bodoh dan berlagak
dungu saja.
Petangnya Yo Ko dan Ong Capsah sudah sampai di Hing-
ci-koan. Kota Hing-ci-koan ini meski tempat yang penting
dalam arti kemiliteran, namun kotanya sendiri ternyata tak
begitu ramai.
Ong Capsah membawa Yo Ko melalui kota itu dan
berjalan lagi 7-8 li, akhirnya sampai di suatu perkampungan
besar dengan gedung2 berderet-deret dilingkungi oleh
beberapa ratus pohon wa-ringin yang rindang, Ke dalam
kampung inilah para kesatria itu masuk.
Perkampungan itu begitu besar dengan gedung
gedungnya yang sambung menyambung dan berjajar-jajar,
tampaknya kalau hanya tetamu beberapa ribu saja masih
cukup luang.
Ong Capsah sangat rendah kedudukannya dalam Kay-
pang, ia tahu waktu itu Pangcu mereka terlalu sibuk, sudah
tentu tak berani ia laporkan permintaan Yo Ko yang hendak
“pinjam sangu” segala, Maka setelah atur tempat tidurnya Nyo
Ko dan sediakan makan, kemudian ia sendiripun pergilah
mencari kawannya yang lain.
Sesudah makan, Yo Ko lihat gedung yang begini
megahnya dengan centeng yang tidak terhitung banyaknya
hilir mudik melayani tetamu, diami ia merasa heran siapakah
tuan rumahnya, kenapa begini besar pengaruhnya ?
Dalam pada itu dapat didengarnya disampingnya ada
orang sedang berkata: “Suami isteri cengcu sendiri sedang
menyambut tetamu, marilah kita juga pergi melihat gerangan
siapa kesatria yang datang ini?”
Sementara itu di luar sana terdengar suara tambur
berdentum, lalu musik pun berbunyi para centeng berbaris di
kedua samping, ucacara pembukaan ternyata sangat meriah
dan khidmat.
Tertampak dari belakang pintu muncul satu laki-laki dan
satu perempuan yang semuanya berusia antara 40 tahun,
yang lelaki tinggi kekar pakai jubah sulam, bibirnya sedikit
berkumis, kereng berwibawa. Sedang yang perempuan
berkulit putih bersih seperti wanita bangsawan.
“lni adalah Liok-cengcu dan itu Liok-hujin,” demikian Nyo
Ko dengar pembicaan di antara tetamu yang hadir.
Di belakang kedua orang ini kembali adalah sepasang
suami isteri, seketika hati Yo Ko terkesiap demi nampak
suami isteri yang belakang ini hingga mukanya serasa panas,
Mereka bukan lain ialah Kwe Ceng dan Oey Yong adanya.
Selama beberapa tahun tak berjumpa, tampaknya Kwe
Cing terlebih sabar lagi sedang Oey Yong bermuka terang dan
ter-senyum2, tampaknya bertambah montok daripada dahulu
waktu di Tho-hoa-to.
Pakaian yang digunakan Kwe Ceng terbuat dari kain kasar,
sebaliknya Oey Yong memakai kain sutera merah jambon, tetapi
sebagai Pangcu dari Kay-pang, menurut tradisi kaum
pengemis, terpaksa ia berikan beberapa tambalan pada
bajunya di tempat yang tak terlalu menyolok.
Di belakang Kwe Ceng dan Oey Yong ikut Kwe Hu dan Bu-si
Hengte, tatkala itu ruangan besar itu terang benderang
dengan api lilin, di bawah cahaya api lilin, gadis itu tertampak
lebih cantik molek dan pemudanya bertambah gagah ganteng.
“lni adalah Kwe-tayhiap dan itu Ui-pangcu!”
“Dan nona yang cantik itu siapa lagi?”
“lalah puteri Kwe-tayhiap dan Ui-pangcu!”
“Hei dan kedua pemuda itu apa puteranya?”
“Bukan, tapi muridnya!”
Begitulah percakapan di antara para tetamu sambil tunjuk
sini dan tuding sama.
Yo Ko tak ingin berjumpa dengan Kwe Ceng suami isteri
di depan orang banyak, maka ia sengaja sembunyi di belakang
seorang lelaki tinggi besar untuk mengintip.
Dalam pada itu, di bawah iringan suara musik, dari luar
telah masuk empat orang Tojin atau imam.
Nampak Imam ini, seketika timbul semacam rasa aneh
dalam hati Yo Ko.
Kiranya yang paling depan itu adalah seorang imam yang
sudah ubanan rambut alisnya mukanya berwarna merah
hangus, ia bukan lain dari pada Kong-ling-cu Hek Tay-thong,
satu diantara Coan-cin-chit-cu, sedang di belakangnya adalah
imam wanita tua ubanan juga, imam wanita ini belum pernah
dikenal Yo Ko. Dan di belakang mereka ini ikut pula dua
imam setengah umur dengan jalan berjajar, mereka adalah
Thio Ci-keng dan In Ci-peng.
Dengan cepat Liok-ceng-cu suami isteri sambut imam
wanita itu sambil menjura dan memanggilnya sebagai Suhu,
menyusul serta Kwe Ceng suami isteri, Kwe Hu dan Bu-si
Hengte juga maju memberi hormat.
Telinga Yo Ko cukup tajam, maka percakapan antara
para tetamu itu dapat pula diikutinya dengan terang.
“lmam wanita tua ini adalah pendekar wanita Coan-cin-
kau, ia she Sun bernama Put-ji,” demikian terdengar kata
seorang tua.


“Aha, kiranya dialah Jin-ceng Sanjin yang namanya
tersohor di daerah utara dan selatan sungai!” ujar tamu yang
lain.
“Ja, dia adalah Suhu Liok-hujin, sedang ilmu silat Liok-
ceng-cu sendiri bukan belajar dari dia,” kata si orang tua tadi.
Kiranya Liok-cengcu ini bernama Khoan-eng, ayahnya
bernama Liok Seng-hong adalah murid Oey Yok-su, ayah Ui
Yong, maka kalau diurut, Liok-cengcu masih lebih rendah
setingkat dari pada Kwe Ceng dan Oey Yong.
Sedang Liok-hujin, isteri Liok Khoan-eng, Thia Yao-keh,
adalah muridnya Sun Put-ji.
Dahulu Thia Yao-keh pernah mendapat pertolongan Kwe
Cing, Oey Yong dan orang-orang Kay-pang sewaktu ia
mengalami marabahaya, oleh sebab itu ia merasa utang budi
terhadap orang-orang Kay-pang, Kini Kay-pang menyebarkan
undangan pada kestria2 di seluruh jagat dan mengadakan
perjamuan besar menjelang rapat raksasa dari Kay-pang me-
reka, maka Liok Khoan-eng suami isteri telah pikul semua
biaya itu dan mengadakan perjamuan itu di tempat
kediamannya, sekalipun perjamuan ini mungkin akan makan
separuh dari kekayaan mereka, namun Liok Khoan-eng adalah
seorang gagah yang terbuka tangannya, dengan sendirinya
hal demikian ini tak dipikir olehnya.
Begitulah, maka sesudah menjalankan penghormatan, lalu
Kwe Ceng ikut Hek Tay-thong dan Sun Put-ji ke ruangan
pendopo untuk diperkenalkan kepada para kesatria yang
hadir.
“Khu, Ong dan Lauw para Suheng sudah menerima kartu
undangan Ui-pangcu, mereka bilang seharusnya memenuhi
undangan, cuma paling belakang ini badan Lauw-suheng
kurang sehat dan Ma-suheng harus bantu dia menjalankan
tenaga penyembuhan maka perjalanan ini terpaksa tak bisa
dilakukan, diharap Ui-pangcu suka memaafkan,” demikian
terdengar Hek Tay-thong berkata dengan mengelus
jenggotnya.
“Ah, para cianpwe itu terlalu merendah diri saja,” sahut Ui
Yong.
Harus diketahui meski usia Oey Yong masih muda, tetapi dia
adalah pemimpin dari suatu organisasi besar Kay-pang,
dengan sendirinya Hek Tay-thong dan lain-lain sangat
menghormat padanya.
Kwe Ceng sendiri sudah sejak mudanya kenal dengan In
Ci-peng, kini bisa berjumpa pula, sudah tentu mereka sangat
girang dan mengobrol dengan asyiknya.
Lekas-lekas Liok-cengcu memerintahkan perjamuan
dimulai segera para tetamu mengambil tempat duduk masing-
masing, maka suasana ruangan pendopo itu menjadi ramai
luar biasa.
Dalam pada itu In Ci-peng sendiri lagi longak-longok kian
kemari seperti sedang mencari seseorang diantara orang
banyak itu.
“ln-sute, entah orang she Liong itu ikut hadir atau tldak?”
tiba-tiba Ci-keng berkata lirih sambil tersenyum dingin.
Berubah hebat air muka Ci-peng karena sindiran itu,
namun ia tak menjawab.
“Kesatria she Liong yang manakah ? Apakah sahabat
kalian berdua?” tanya Kwe Ceng, nyata tak diketahuinya
bahwa orang yang mereka bicarakan ialah Siao-iiong-li.
“Sahabat In-sute, aku sendiri mana berani bergaul dengan
dia,” sahut Ci-keng.
Melihat sikap kedua imam ini rada aneh, Kwe Ceng tahu di
dalamnya tentu tersangkut urusan-urusan lain, maka iapun
tidak menanya lebih jauh.
Mendadak, di antara orang banyak itu Ci-peng dapat
melihat Yo Ko, seketika tubuhnya bergetar seperti kena
disamber petir, Kiranya disangkanya jika Yo Ko berada di
situ, dengan sendirinya Siao-Jiong-li juga datang.
Ketika Kwe Ceng dan Ci-keng memandang ke arah yang
menarik perhatian Ci-peng itu hingga kesamplok pandang
dengan Yo Ko, seketika merekapun tercengang.
Dalam kejutnya Kwe Ceng merasa girang pula, maka ia
lantas mendekati anak muda itu sambil menarik tangannya.
“He, Ko-ji, kiranya kau juga datang?” demikian ia
menyapa. “Tadinya aku kuatir kau terlantarkan pelajaranmu
maka tak berani mengundang kau, kini gurumu sudah
membawa kau ke sini, inilah baik sekali,”
Kiranya jaman dulu karena tak lancarnya lalu lintas, maka
urusan tentang Yo Ko berontak keluar dari Coan-cin-pay,
Kwe Ceng yang tinggal jauh di Thohoa-to sedikitpun tak
mendapat kabar.
Kehadiran Ci-keng ke Eng-hiong-yan sekali ini sebenarnya
justru akan merundingkan urusan itu dengan Kwe Ceng, siapa
duga di sinilah malah kepergok dengan Yo Ko, Semula ia
kuatir Kwe Ceng percaya pada ocehan Yo Ko secara sepihak,
demi mendengar apa yang dikatakan Kwe Ceng tadi ia pun
tahulah bahwa merekapun baru pertama kali bertemu
sekarang ini, maka dengan muka merah adam Ci-keng
menengadah sambil berkata: “Ada kepandaian apa dan
kebajikan apa pada diriku. mana berani aku menjadi guru
Nyo-ya?”
Kaget sekali Kwe Ceng oleh kata-kata ini
“Apa? Kenapa Thio-suheng berkata demikian ? Apakah
anak kecil tidak mau menutul ajaranmu?” tanyanya cepat.
Melihat ruangan pendopo ini penuh dengan tetamu, kalau
sampai urusaa itu diceritakan hingga terjadi perdebatan
dengan Yo Ko, rasanya hal ini bisa menghilangkan pamor
Coan-cin-kau, maka Ci-keng tak mau menjawab melainkan
tertawa dingin saja.
Di lais pihak, waktu Kwe Ceng periksa keadaan Yo Ko, ia
lihat matanya bengkak dan mukanya babak belur, pakaiannya
compang-camping dan kotor, terang sekali bocah ini kenyang
merasakan penderitaan yang tidak ringan, Kwe Ceng sangat
pedih, sekali tarik ia rangkul kencang Yo Ko ke dalam
pelukannya.
Waktu ditarik, segera Yo Ko kumpulkan seluruh tenaga
dalamnya untuk melindungi tempati berbahaya di tubuhnya.
Siapa tahu Kwe Ceng benar-benar sayang dan kasihan
padanya dan tiada maksud hendak mencelakainya, malahan
paman angkat ini telah berseru pada Oey Yong : “Yong-ji,
lihatlah siapa ini yang datang?”
Oey Yong tercengang juga demi nampak Yo Ko, berlainan
dengan Kwe Ceng yang kegirangan bisa berjumpa dengan Nyo
Ko, sebaliknya ia sambut orang dengan adem saja.
“Bagus, kiranya kaupun datang.” demikian sahutnya tawar
Dalam pada itu dengan pelahan Yo Ko melepaskan diri
dari pelukan Kwe Ceng.
“Tubuhku kotor, jangan sampai membikin kumal
pakaianmu,” demikian katanya pada sang paman, Kata-kata
ini diucapkan dengan dingin, bahkan bernada menyindir.
Namun hal itu tak terpikir oleh Kwe Ceng, ia hanya merasa
terharu, waktu itu juga teringat olehnya : Anak ini
sebatangkara dan yatim piatu, tentu sudah kenyang
merasakan pahit getir.”
Karena itu, ia tarik tangan Yo Ko dan mengajak agar
pemuda ini duduk semeja dengan dirinya.
Yo Ko duduk di suatu tempat yang terpencil maka iapun
menolak
“Biarlah aku duduk di sini saja, silakan Kwe-pepek pergi
menemani tetamu,” sahutnya dingin.
Kwe Ceng merasa tak enak harus meninggalkan tetamu
yang begitu banyak, maka ia tepuk pelahan pundak si Yo Ko,
lalu pergilah dia ke tempat duduknya semula.
Setelah tiga keliling para tamu mengeringkan isi cawan,
sebagai ketua lalu Oey Yong mulai angkat bicara: “Besok adalah
hari diadakannya Eng-hiong-yan, kini masih ada beberapa
kawan dari berbagai penjuru yang belum datang, mungkin
besok siang baru bisa tiba, Maka kini silakan para hadirin
makan minum sepuasnya, besok baru kita bicarakan urusan
pokok.”
Selesai pidato ini, seketika para tamu itu bersorak sorai
kemudian perjamuan lantas dimulai.
Setelah bubar perjamuan, para tamu itu dengan sendirinya
ada penyambutnya sendiri-sendiri yang mengantarkan pergi
mengaso.
Maka kelihatanlah Ci-keng bisik-bisik pada Hek Tay-thong
dan imam tua ini balas mengangguk-angguk, lalu Ci-keng
berdiri dan membungkuk memberi hormat pada Kwe Ceng.
“Kwe-tayhiap, Pinto merasa mengecewakan tugas berat
yang pernah dipikirkan padaku itu, sungguh hal ini sangat
memalukan, maka hari ini sengaja datang buat terima
hukuman atas dosaku,” demikian kata Ci-keng.
“Ah, Thio-suheng terlalu merendah diri saja,” sahut Kwe
Cing segera sambil balas hormat. “Marilah kita bicara ke
kamar baca saja, apabila anak kecil ada yang bikin marah
Thio-suheng, pasti Siaute akan beri hukuman yang setimpal
padanyak agar amarah Thio-suheng bisa padam.”
Beberapa kata Kwe Ceng ini diucapkan dengan suara
lantang, karena jaraknya Yo Ko tidak begitu jauh, maka
semuanya dapat didengarnya dengan cukup terang, Diam-
diam dalam hati pemuda ini pun sudah ambil suatu
keputusan:
“Jika dia mendamperat sepatah kata saja padaku, segera
aku berbangkit dan angkat kaki dari sini dan untuk selanjutnya
tak mau bertemu muka lagi dengan dia. Bila dia pukul aku,
meski ilmu silatku bukan tandingannya, pasti aku akan adu
jiwa juga dengan dia”.
Karena sudah ambil keputusan demikian, maka Yo Ko
menjadi lebih tenang, tidak lagi ketakutan seperti waktu
bertemu dengan Thio Ci-keng untuk pertama kalinya dahulu,
Dan demi nampak Kwe Ceng menggapai padanya, maka iapun
ikut di belakang mereka.
Tatkala itu Kwe Hu bersama Bu-si Hengte juga sedang
makan di suatu meja makan, semula gadis ini tak kenal
lagipada Yo Ko belakangan sesudah ayah-bundanya
mengenali pemuda itu, barulah Kwe Hu ingat pemuda itu
bukan lain daripada kawan memainnya, waktu kecil di Tho-
hoa-to dahulu.
Dasar anak muda yang cepat berubah wajahnya, apalagi
sudah sekian tahun berpisah, pula Yo Ko sengaja menyamar
dengan rupa yang sengsara dan bercampur di antara orang
banyak, tentu saja Kwe Hu tak mengenalinya.
Kini nampak Yo Ko telah kembali tanpa terasa hatinya
terguncang, terkenang olehnya kejadian dahulu di Tho-hoa-to
di mana karena urusan jangkrik telah terjadi perkelahian,
entah kejadian ini apa masih membuat dendam pemuda itu
atau tidak?”
Tetapi bila dilihatnya keadaan Yo Ko yang begitu rudin,
lesu dan kotor, jauh berlainan dengan wajah Bu-si Heng-te
yang ganteng dan bersemangat, diam-diam timbul juga
perasaan kasihannya pada pemuda itu.
“Ayah telah kirim dia belajar silat pada Coan-cin-pay,
entah bagaimana dengan hasil pelajarannya dibanding kita?”
demikian ia bisiki Bu Tun-si
“llmu silat Suhu tiada tandingannya di kolong langit ini,
pula kepandaian Subo (ibu guru) diperoleh dari ajaran
Engkong-luarmu, mana bisa dia dibandingkan dengan kita?”
tiba-tiba Bu Siu-bun menyambung pertanyaan si nona
sebelum sang kakak menjawab.
“Ya, dasarnya memang juga tidak terpupuk baik, agaknya
sukar juga ia hendak mendapat kemajuan,” Kwe Hu angguk-
angguk. “Tetapi kenapa keadaannya menjadi begitu
mengenaskan.”
“Para imam itu melotot terus padanya seperti hendak
menelannya mentah-mentah, dasar anak she Nyo ini tabiatnya
buruk, tentu dia telah melakukan sesuatu onar lagi di sana,”
demikian kata Siu-bun.
Begitulah ketiga orang ini berbicara sendiri, waktu
mendengar Kwe Ceng mengundang Hek Tay-thong dan lain-
lain ke kamar baca buat bicara dan bilang Yo Ko akan diberi
hukuman setimpal pula, Kwe Hu menjadi heran dan ketarik.
“Ayo, lekas kita mendahului sembunyi dulu di kamar baca
itu untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan,” segera
gadis ini mengajak.
Tetapi Bu Tun-si takut konangan sang Suhu dan
didamperat, maka ia tak berani, sebaliknya Bu Siu-bun lantas
berteriak akur, malahan ia mendahului bertindak pergi.
“Kau memang selalu tak turut perkataanku,” Kwe Hu
mengomeli Tun-si.
Nampak si nona rada marah, tapi malah menambah
kecantikannya yang menggiurkan seketika hati Tun-si
memukul keras, ia tak berani membantah lagi terpaksa ikut di
belakang Kwe-hu.
Dan baru saja ketiga orang itu sembunyi di belakang rak
buku, sementara itu Kwe Ceng dan Oey Yong sudah datang
dengan membawa Hek Tay-thong, Sun Put-ji, Thio Ci-keng
dan In Ci-peng berempat, lalu ambil tempat duduknya sendiri-
sendiri.
“Ko-ji, kaupun duduk sana!” kata Kwe Ceng sesudah Yo Ko
ikut masuk
“Tidak, aku tak usah,” sahut Yo Ko. sekalipun nyalinva
besar, tapi menghadapi enam tokoh dunia persilatan ini, tidak
urung hatinya berdebar-debar tak tenteram.
“Anak kecil kenapa kurangajar, berani kau bandel terhadap
Suhu,” demikian Kwe Ceng lantas damperat sambil tarik muka,
“Tidak lekas kau berlutut menjura minta maaf pada Susiokco
(kakek guru), Suhu dan Susiok!”
Kwe Ceng berhati jujur, ia pandang Yo Ko seperti anaknya
sendiri, pula terhadap Coan-cin-chit-cu biasanya ia sangat
menaruh hormat, maka tanpa bertanya ia pikir tentu anak
muda yang telah berbuat salah.
Sebenarnya kalau menurut adat istiadat jaman kuno itu,
ikatan peraturan antara ayah dan anak atau guru dan murid
luar biasa kerasnya, jangankan membantah, sekalipun ayah
atau guru menghendaki kematian anak atau murid juga tidak
boleh membangkang.
Kini Kwe Ceng hanya mendamperat Yo Ko secara begitu,
sesungguhnya boleh dikatakan luar biasa ramahnya, kalau
orang lain, tentu sudah menggunakan kata-kata “binatang,
anak haram” dan macam-macam lagi atau dibarengi dengan
gebukan dan pukulan.
Siapa duga, mendadak Ci-keng berdiri.
“Pinto mana berani menjadi guru Nyo-ya? Kwe-tayhiap,
hendakkh jangan kau sengaja menyindir,” demikian katanya
ketawa dingin. “Coan-cin-kau kami selama ini tidak pernah
bersalah terhadap Kwe-tayhiap, kenapa engkau ejek kami di
hadapan orang banyak? Nyo-toaya, biarlah imam tua ini
menjura padamu dan minta maaf, anggaplah aku yang picik
dan tak kenal kaum Enghiong dan orang gagah….”
Melihat wajah imam ini berubah begitu rupa, kata-katanya
juga semakin kasar menandakan betapa gusarnya, Kwe Ceng
dan Oey Yong menjadi heran sekali. Mereka pikir kalau murid
berbuat sesuatu kesalahan, sang guru mau damperat atau
menghajar padanya juga lumrah, tapi kenapa harus berlaku
secara begini kasar?”
Oey Yong adalah seorang pintar luar biasa, ia tahu pasti Nyo
Ko berbuat sesuatu kesalahan yang luar biasa besarnya, Kini
nampak Kwe Ceng menjadi bungkam karena serentetan kata-
kata Ci-keng tadi, mau-tidak-mau ia mewakilkan sang suami
membuka suara.
“Thio-suheng hendaklah jangan marah dahulu, cara
bagaimanakah bocah ini berbuat salah terhadap sang guru,
silakan duduk dan terangkan yang jelas,” demikian katanya
dengan tenang.
“Aku Thio Ci-keng hanya punya sedikit kepandaian mana
aku berani menjadi guru orang? Bukankah akan ditertawai
semua orang gagah seluruh jagad hingga copot giginya?”
teriak Ci-keng tiba-tiba.
Oey Yong mengkerut kening melihat kekasaran orang, ia
menjadi rada kurang senang.
Hek Tay-kong dan Sun Put-ji mengetahui duduknya
perkara, mereka merasa pantas kalau Ci-keng marah-marah,
tetapi kalau ribut-ribut secara kasar, sesungguhnya juga
bukan corak asli kaum imam yang beribadat.
“Ci-keng.” kata Sun Put-ji kemudian, “kau harus terangkan
secara baik di hadapan Kwe-tay-hiap dan Ui-pangcu, caramu
marah-marah dan ribut-ribut ini, apa macam jadinya ini?
Apakah itu menjadi kebiasaan orang berigama seperti kita
ini?”
Meski Sun Put-ji adalah wanita, tetapi karena wataknya
yang keras, maka angkatan muda sangat segan padanya,
maka Ci-keng jadi mengkeret, ia tak berani muring-muring lagi
sesudah mengia beberapa kali, lalu ia kembali duduk ke
tempatnya tadi.
“Lihatlah Ko-ji, begitu hormat gurumu terhadap orang tua,
kenapa kau tidak belajar contoh ini?” kata Kwe Ceng.
Kontan sebenarnya Ci-keng hendak menyelak lagi bahwa
dirinya bukan guru orang, tetapi demi dipandangnya Sun Put-
ji, kata-kata yang hendak diucapkan ia telan kembali.
Tak tetduga, mendadak Yo Ko berteriak “Dia bukan
guruku!”
Karena teriakan ini, bukan saja Kwe Ceng dan Oey Yong
kaget, bahkan Kwe Hu dan Bu-si Hengte yang sembunyi di
belakang rak buku juga terkejut.
Maklumlah, pada jaman itu, di kalangan Bu-lim terutama,
soal guru dan murid diatur dengan tata adat yang sangat
keras, seorang guru dapat dipersamakan dengan seorang
ayah yang harus di-turut dan dihormati, Siapa tahu kini bukan
saja Yo Ko tak mau mengaku guru, bahkan berani berteriak
terang-terangan pula.
Keruan Kwe Ceng sangat gusar, mendadak ia berdiri sambil
tuding Yo Ko dan mendamperat:
“Apa… apa yang… yang kau katakan?”
Dasar Kwe Ceng memang tak pandai bicara, juga tak biasa
mendamperat orang, maka mukanya menjadi merah padam,
amarahnya boleh dikatakan memuncak, jarang sekali Oey Yong
melihat suaminya begitu gusar, maka dengan suara halus ia
coba menghiburnya: “Cing-koko, anak ini memang buruk jiwa-
nya, perlu apa harus marah-marah karenanya ?”
Mula-mula tadi sebenarnya Yo Ko rada takut, tetapi kini
seorang Kwe-pepek yang sebenarnya sangat sayang padanya
juga marah-marah mendamperat padanya, tiba-tiba pemuda
ini menjadi nekat, pikirnya: “Paling-paling mati apa yang perlu
kutakuti paling banyak juga boleh kau bunuh aku saja.”
Karena pikiran itu, dengan suara lantang segera ia
menjawab “Ya, memang jiwaku buruk, namun tidak pernah
aku minta belajar ilmu silat padamu, Kalian semua ini adalah
tokoh-tokoh Bu-lim yang terkenal, kenapa karus gunakan tipu
muslihat untuk menjebak seorang bocah yatim piatu?”
Waktu ia berkata sampai “yatim piatu”, saking sedih akan
nasib sendiri seketika mata Yo Ko rada merah basah, tetapi
segera ia gigit bibir sekencang-kencangnya, ia pikir sekalipun
hari ini harus mati tidak boleh aku alirkan setengah tetes air
matapun.
Di lain pihak Kwe Ceng menjadi tambah marah.
“Apa kau bilang?” demikian damperatnya pula. “lsteriku
dan gurumu dengan sungguh-sungguh ajarkan ilmu silat
padamu, semuanya ini karena mengingat pada
persahabatanku dengan mendiang ayahmu, siapa lagi yang
bertipu muslihat ? Dan… dan siapa yang menjebak kau?”
Memangnya Kwe Ceng tak pandai bicara, dalam keadaan
marah, ia menjadi lebih gelagapan.
Melihat orang tambah marah, sebaliknya Yo Ko tambah
tenang dan pelahan bicaranya.
“Ya, engkau Kwe-pepek sudah tentu baik terhadapku, hal
ini selamanya pasti takkan kulupakan!”
“Dan Kwe-pekbo dengan sendirinya tidak baik terhadapmu
jika kau mau dendam untuk selamanya, hal inipun terserah
padamu,” sela Oey Yong tiba-tiba dengan sekata demi sekata.
Dalam keadaan demikian, Yo Ko tambah tak gentar lagi,
sekali lagi ia berbicara terlebih berani.
“Kwe-pekbo tidak baik terhadapku, tetapi juga tidak jelek
terhadapku”, demikian katanya Iagi. “Tetapi kau bilang
ajarkan ilmu silat padaku, sebenarnya hanya ajarkan aku
membaca, sedang ilmu silat sedikitpun tidak diturunkan.
Namun demikian, membaca juga baik, sedikitnya siautit
(keponakan) bertambah kenal beberapa huruf. Tetapi, tetapi
beberapa imam tua ini…” sampai disini mendadak ia tuding
Hek Tay-thong dan Thio Ci-keng, lalu dengan gemas ia
sambung: “pada suatu hari, pasti aku akan menuntut balas
utang berdarah dan dendam sedalam lautan itu.”
“Apa… apa kau bilang?” tanya Kwe Ceng cepat dan terkejut
“lmam she Thio ini katanya adalah guruku, tetapi
sedikitpun tidak menurunkan ilmu silat padaku, hal inipun tak
menjadi soal, tetapi ia malah suruh imam-imam cilik
menghajar diriku,” tutur Yo Ko. “Kwe-pekbo tidak
mengajarkan kepandaian padaku, Coan-cin-pay tidak
mengajarkan ilmu silat pula padaku, dengan sendirinya tidak
bisa lain aku kecuali dihajar sekenyang mereka, Ada lagi,
imam she Hek ini, ia lihat seorang nenek2 tua merasa sayang
dan kasihan padaku, orangtua itu malah dia pukul hingga
mati, Hai, imam busuk she Hek, katakanlah sekarang,
semuanya ini benar atau tidak?”
Bila Yo Ko ingat matinya Sun-popoh tidak lain disebabkan
karena membela dirinya, sungguh ia menjadi gemas dan
mengertak gigi, ingin sekali ia menubruk maju mengadu Jiwa
dengan Hek Tay-thong.
Kong-ling-cu Hek Tay-thong tergolong imam beribadat
diantara imam-imam Coan-cin-kau, baik agamanya maupun
ilmu silatnya sudah dilatihnya sampai tingkat yang sangat
tinggi, soalnya hanya karena salah tangan hingga Sun-popoh
tewas, hal ini selama beberapa tahun selalu membikin dia
merasa tak tenteram dan dianggapnya sebagai suatu
perbuatan yang sangat disesalkan selama hidupnya.
Kini mendadak Yo Ko meng-ungkat2 kejadian itu, keruan
seketika mukanya menjadi pucat bagai mayat, peristiwa ngeri
dahulu, di mana Sun-popoh muntah darah kena pukulannya
itu seakan-akan terbayang di depan matanya.
Karena ia tak membawa senjata, maka tiba-tiba ia lolos
pedang yang tergantung di pinggang Ci-keng.
Semua orang menyangka pedang itu tentu akan
ditusukkan pada Yo Ko, maka dengan cepat Kwe Ceng sudah
melangkah maju hendak melindungi bocah itu. Siapa duga
mendadak Hek Tay-thong membaliki pedangnya, ia sodorkan
garan pedang pada Yo Ko sambil berkata: “Ya, memang
betul, aku telah salah membunuh orang, bolehlah kau
balaskan dendam Sun-popoh dengan pedang ini, pasti aku
tidak akan menangkisnya.”
Nampak kelakuan Hek Tay-thong ini, semua orang luar
biasa terperanjatnya.
Karena kuatir betul-betul Yo Ko menerima pedang itu dan
melukai orang, lekas-lekas Kwe Ceng berseru : “Ko-ji, jangan
kurangajar.”
Tetapi betapa cerdiknya Yo Ko, ia tahu di hadapan Kwe
Cing dan Oey Yong, soal membalas dendam ini tak nanti
terlaksana, maka dengan dingin ia lantas menjawab : “Hm,
sudah terang kau tahu Kwe-pepek pasti tak perkenankan aku
turut tangan, kau sengaja berlagak gagah sekarang?”
Hek Tay-thong adalah Bu-lim-cianpwe atau angkatan tua
dari kalangan persilatan, kini kena didebat oleh kata-kata yang
begitu menusuk ia menjadi bungkam tak bisa menjawab,
pedang yang dia sodorkan menjadi serba salah, diangsurkan
terus orang tak terima, ditarik kembali rasanya malu.
Mendadak ia salurkan tenaga dalamnya, maka terdengarlah
suara “peletak” yang keras, tahu-tahu pedang itu patah
menjadi dua.
“Sudahlah, sudahlah!” katanya sambil menghela napas,
iapun lempar pedang patah itu ke tanah, habis ini dengan
langkah lebar ia bertindak pergi.
Kwe Ceng masih bermaksud menahannya, namun orang
sudah pergi tanpa menoleh lagi.
Tentu saja Kwe Ceng mulai ragu-ragu, ia pandang Yo Ko
lalu pandang lagi pada Sun Put-ji bertiga, pikir agaknya apa
yang dikatakan Yo Ko bukannya bikinan belaka.
“Kenapa para guru dari Coan-cin-kau tak mengajarkan
kepandaian padamu ? Lalu selama beberapa tahun ini apa
yang kau kerjakan?” ia tanya setelah lewat sejenak, lagu
suaranya sekarang sudah berubah lunak.
“Waktu Kwe-pepek membawa aku ke Cong-lam-san,
beberapa ratus Tosu di sana telah kau pukul pontang-panting
tanpa bisa membalas, umpama Ma, Khu, Ong dan lain-lain
Cinjin tidak pikirkan peristiwa ini, apakah imam-imam yang
lain juga tidak dendam?” demikian sahut Yo Ko. “Sudah tentu
mereka tak berani padamu Kwe-pepek, lalu apa mereka tak
bisa melampiaskan dongkol mereka atas diriku? Malahan
mereka bisa-bisa ingin mampuskan aku baru merasa puas,
Karena itu mana mereka mau mengajarkan ilmu silat lagi
padaku ? Kalau selama ini penghidupan yg kulewatkan adalah
gelap tak pernah melihat sinar dan kini masih bisa berjumpa
dengan Kwe-pepek, hal ini boleh dikatakan terlalu beruntung
sekali.”
Begitulah, meski usia Yo Ko masih muda, tetapi cara
bicaranya masih lebih pintar dari pada Thio Ci-keng, hanya
beberapa patah kata itu saja, secara enteng ia telah
timpahkan semua sebab musabab memberontak keluar dari
Coan-cin-kau itu kepada diri Kwe Ceng, Dan apa yang dibilang
“gelap tak pernah melihat sinar” sebenarnya juga tidak
membohong, selama itu ia tinggal di dalam kuburan kuno,
dengan sendirinya sinar matahari sukar dilihatnya. Tetapi
dalam pendengaran Kwe Ceng, rasa kasihannya pada anak
muda ini menjadi ber-limpah2.
Di lain pihak Ci-keng melihat Kwe Ceng sembilan bagian
sudah mau percaya terhadap penuturan Nvo Ko, ia menjadi
gugup,
“Kau… kau ngaco belo… Hm Coan-cin-kau kami adalah
golongan kesatria sejati, mana… mana bisa…” demikian ia
coba membela diri dengan suara tak lancar.
Kwe Ceng terlalu lurus orangnya, ia anggap apa yang
dikatakan Yo Ko itu tentu benar-benar terjadi sebaliknya Ui
Yong yang kecerdasannya masih jauh di atas Yo Ko, hanya
melihat air muka pemuda ini saja segera Oey Yong tahu ada
udang di balik batu kata-katanya itu, ia pikir bocah ini sangat
licin, tentu di dalamnya masih ada sesuatu yang tidak benar,
Maka segera iapun menjela:
“Jika begitu, jadi sedikit ilmu silatpun kau tak bisa? Lalu
selama beberapa tahun ini di Coan-cin-kau tentunya terbuang
percuma bukan?” demikian sambil berkata, perlahan-lahan
iapun berdiri, mendadak sebelah tangannya menjulur terus
meng-gablok ke atas kepala Yo Ko.
Pukulan ini dilontarkan dengan jari tangan tepat mengarah
“pek-hwe-hiat” di atas ubun-ubun kepala, sedang telapak
tangan menepok “siang-seng-hiat” pada batok kepala, kedua
Hiat-to ini adalah tempat yang mematikan, asal kena digablok
tangan Oey Yong, maka tak perlu sangsikan lagi pasti nyawa
Yo Ko akan melayang tanpa tertolong.
Tentu saja Kwe Ceng terperanjat ia menjerit: “Yong-ji!”
Akan tetapi cepat luar biasa Oey Yong mengayun
tangannya, tipu pukulan ini adalah satu diantara “lok-eng-cio-
hoat” ajaran ayahnya, sebelum dilakukan sedikitpun tidak
memberi tanda-tanda dahulu, bergitu bergerak, begitu pula
telapak tangannya sudah sampai di tempat sasarannya, Kwe
Cing ingin menolong pun tak keburu lagi.
Namun Yo Ko tidak biarkan dirinya dihantam begitu saja,
dengan segera tubuhnya sedikit mendoyong ke belakang
bermaksud menghindarkan diri, tetapi betapa hebat
kepandaian Oey Yong, sekali ia turun tangan, tidak nanti
sasarannya dapat mengelakkan diri, maka dengan segera
telapak tangannya sudah berada di atas ubun-ubun Yo Ko.
Sungguh bukan buatan kejut Yo Ko, cepat hendak
ditangkisnya pukulan itu, namun mendadak pikirannya
tergerak, tangan yang sudah sedikit diangkat tiba-tiba ia
luruskan ke bawah lagi.
Hendaklah diketahui bahwa Kwe Ceng berilmu silat maha
tinggi, namun pembawaan otaknya puntul, kalau dia menjadi
Yo Ko, tentu sebelum mengerti apa yang harus diperbuatnya
lebih dulu tangannya pasti diangkat buat menangkis dulu.
Tetapi lain dengan si Yo Ko, pemuda ini cerdik luar biasa,
otaknya pun bisa bekerja cepat, begitu tangannya hendak
mcnangkis, segera terkilas dalam pikirannya: “Ah, kiranya
Kwe-pekbo bermaksud menjajal ilmu silatku, kalau aku
menangkis pukulannya, ini berarti aku mengakui kata-kataku
tadi bohong belaka.”
Sungguhpun begitu, namun pukulan yang dilontarkan Ui
Yong ini adalah tipu mematikan yang sangat lihay, kalau orang
bukan bermaksud menjajal kepandaiannya dan dirinya tidak
menangkis. apakah ini bukan bergurau dengan jiwanya
sendiri.
Begitulah dalam sekejapan itu bagaikan tarikan api
cepatnya, pikiran Yo Ko telah bolak-balik berubah beberapa
kali, tetapi akhirnya ia tak hiraukan jiwanya lagi dan pukulan
itu tak ditangkis-nya,
Harus diketahui bahwa dengan kepandaian Yo Ko
sekarang ini, walaupun masih belum bisa memadai Oey Yong,
kalau menangkis pukulan itu saja rasanya tidak sulit, tetapi
ternyata pemuda ini berani ambil resiko itu, ia luruskan tangan
tak bergerak dan menantikan pukulan orang, kalau bukan
watak Yo Ko memang keras kepala serta suka turuti maksud
hatinya, sungguh tak nanti dilakukannya.
Dan ternyata memang betul pukulan Oey Yong ini hanya
percobaan saja untuk menjajal ilmu silat Yo Ko, pada waktu
telapak tangannya sudah hampir nempel kepala orang, tiba-
tiba ia berhentikan dan tahan pukulannya, ia lihat wajah Nyo
Ko rada mengunjuk takut dan bingung, sama sekali tidak
angkat tangan buat menangkis, juga tidak mengumpulkan
Lwekang untuk melindungi tempat-tempat yang berbahaya,
terang memang sikap seorang yang tak paham ilmu silat
sedikitpun.
“Ya, aku tidak ajarkan ilmu silat padamu, itu disebabkan
aku ingin kau menjadi orang baik,” demikian Oey Yong berkata
dengan bersenyum, sambil tarik kembali tangannya, “Dan
para Toya dari Coan-cin-pay rupanya juga berpikir sama
dengan aku,”
Habis ini ia balik kembali ke tempat duduknya tadi, dengan
suara pelahan ia bisiki Kwe Ceng pula: “Memang betul dia tidak
peroleh ajaran ilmu silat dari Coan-cin-pay.”
Akan tetapi Oey Yong adalah wanita secerdik kancil, baru
selesai ia berkata, mendadak dalam hatinya menjerit: “Ah,
celaka, salah ! salah! Hampir saja aku kena diketahui setan
cilik ini,”
Kiranya ia menjadi ingat dahulu waktu Yo Ko tinggal di
Tho-hoa-to, dimana bocah itu pernah tewaskan seorang
pengemis anak murid Kay-pang dengan Ha-mo-kang atau ilmu
weduk katak, ilmu silatnya pada waktu itu sudah mempunyai
dasar yang kuat, sekalipun selama beberapa tahun ini tidak
peroleh sesuatu kemajuan, namun dengan pukulannya tadi
yang mengarah ubun-ubun di atas kepala, betapapun juga
pasti bocah ini akan menangkisnya.
Katanya dalam hati: “Ha, kau betul-betul setan Cerdik
yang luar biasa, kalau tadi kau tangkis pukulanku dengan
lagak kelabakan, mungkin aku kena kau kelabuhi, tetapi kini
kau pura-pura tak paham sama sekali, hal ini berbalik
mencurigakan aku.”
Apapun juga memang Oey Yong masih setingkat lebih
pintar, untuk bisa menimpali kecerdasannya Yo Ko harus
hidup belasan tahun lagi dan sesudah bertambah
pengalamannya.
Begitulah Oey Yong juga tidak mau bongkar rahasia Yo Ko,
ia pikir biar aku lihat sandiwara apa yang hendak kau
mainkan. Karena itu, ia hanya pandang Ci-keng, lalu pandang
lagi Yo Ko, ia bersenyum, tetapi tak berkata.
Ci-keng menjadi murka, ia lihat Oey Yong telah menjajal
dengan pukulannya dan sama sekali tak ditangkis Yo Ko, ia
menyangka Oey Yong telah kena diingusi pemuda itu, hal ini
berarti lebih menunjukkan pihaknya yang bersalah, maka ia
tak tahan lagi, dengan suara keras ia berteriak-teriak.
“Anak haram ini banyak tipu muslihatnya kau tak berhasil
menjajalnya, Ui-pangcu, biarlah aku yang mencobanya,”
demikian teriaknya sengit, Lalu ia mendekati Yo Ko, ia tuding
hidung pemuda ini sambil memaki: “Anak haram, apa benar-
benar kau tak bisa ilmu silat ? Nah, baiklah, jika kau tak
sambut pukulanku ini, maka Toya pun tidak bermurah hati,
mau mati atau ingin hidup tergantung kau sendiri”
Ci-keng tahu ilmu silat Yo Ko kini sudah di atas dirinya, ia
pikir asal dirinya mendadak menyerang dengan tipu yang
mematikan, dalam keadaan demikian mau-tidak-mau pasti
Yo Ko akan unjuk kepandaian aslinya, tetapi bila masih
berlagak pikun, maka sekali pukul biar lenyapkan saja jiwanya,
paling banter nanti ribut dengan Kwe Ceng suami isteri dan
didamperat oleh Suhu dan Kaucu (ketua agama).
Bcgitulah jalan pikiran Ci-keng waktu itu, nyata saking
gemasnya pada si Yo Ko mengakibatkan timbulnya pikiran
jahat, ia pikir pula: “Me-mangnya kau menduga Ui-pangcu
tidak akan celakai jiwamu, maka kau berani pura-pura bodoh,
tetapi kini jatuh di tanganku, coba kau masih berani main
pura-pura tidak?”
Segera ia hendak turun tangan. “Nanti dulu,” tiba-tiba Kwe
Cing mencegah.
Rupanya Kwe Ceng kuatir jiwa Yo Ko bisa melayang,
selagi ia hendak mencegah lebih jauh, mendadak Oey Yong
menarik tangannya.
“Jangau kau urus dia,” dengan suara pelahan Oey Yong
membisikinya.
Nyata Oey Yong menduga pukulan Thio Ci-keng yang
sedang murka itu tentu dilontarkan dengan cara tak kenal
ampun, sekali-kali Yo Ko tak berani ambil risiko untuk
bergurau dengan jiwanya sendiri dan terpaksa tentu akan
balas menyerang, tatkala itu, bagaimana duduknya perkara
tentu pula akan menjadi terang.
Dengan sendirinya Kwe Ceng tak bisa menyelami hal-hal
ber-Iiku2 itu, ia masih merasa tak tenteram, tetapi biasanya
sang isteri dapat mengatur tepat, apa yang dikatakannya pasti
tidak meleset, maka iapun tidak buka suara lagi, ia berdiri di
samping sambil was-was, ia tunggu bila keadaan betul-betul
berbahaya baharulah akan turun tangan buat menoIongnya.
Sementara itu sebelum Ci-keng bertindak lebih dulu ia
telah berkata pada Sun Put-ji dan In Ci-peng : “Sun-susiok, In-
sute, anak haram ini berlagak tak bisa ilmu silat, aku terpaksa
menjajal kepandaiannya, jika dia tetap kepala batu sampai
titik terakhir, maka sekali hantam kubinasakan dia, hendaklah
nanti dihadapan Suhu, Khu-supek dan Kaucu sukalah kalian
berdua menjadi saksi.”
Tentang memberontaknya Nvo Ko dari Coan-cin-kau,
dengan sendirinya Sun Put-ji mengetahui seluruhnya, kini
melihat kelicinan Yo Ko yang keterlaluan hingga Ci-keng
terdesak tak berdaya, hingga Coan-cin-kau kelihatan di pihak
salah, maka iapun berharap Ci-keng berhasil paksa bocah itu
menunjukkan corak asIinya, Maka dengan tertawa dingin ia
menjawabnya: “Ya. murid murtad yang durhaka begini
binasakan saja!”
Dengan kedudukan Sun Put-ji sebagai satu imam yang
beribadat, mana mungkin ia suruh orang membunun begitu
saja? Beberapa kata-katanya itu tujuannya tidak lain hanya
untuk me-nakut2i Yo Ko agar pemuda ini tak berani lagi
pura-pura.
Di lain pihak karena mendapat dukungan paman gurunya
ini, nyali Ci-keng menjadi besar, tanpa sungkan-sungkan lagi,
begitu kaki kanan diangkat, segera ia tendang perut Yo Ko
dengan tipu gerakan “Thian-san-hui-toh” (terbang melintasi
Thian-san), tendangan yang membawa tenaga keras dan
tenaga tersembunyi ini sesungguhnya lihay luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar