Sabtu, 24 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 80




Kembalinya Pendekar Rajawali 80

 


Ci-keng melihat kesempatan baik, ia pikir perempuan ini dalam keadaan kurang waras, mungkin sudak gila, kalau sekarang tidak lekas kabur hendak tunggu kapan lagi? Maka cepat ia tarik Ci-peng dan berkata dengan menyeringai: “Lekas pergi saja, tampaknya dia merasa berat untuk membunuh kau-”
Habis berkata ia menarik Ci-peng sekuatnya dan berlari keluar pintu sana.
Ci-peng menjadi linglung melihat wajah Siao-liong-Ii, seluruh badan terasa lemas tak bertenaga, karena tarikan Ci-keng itu ia menjadi terhuyung-huyung dan ikut berlari keluar.
Cepat Ci-keng mengeluarkan Ginkangnya untuk berlari cepat, semula Ci-peng ditarik oteh Ci-keng tapi segera iapun dapat mengeluarkan Ginkang sendiri. Kedua adalah jagoan Coan-cin-pay angkatan ke tiga, maka lari mereka ini sungguh cepat melebihi lari kuda, mereka menyusur kian kemari dijalan-jalan dalam kota, sebentar saja mereka sudah sampai di pintu gerbang sebelah timur.
Di pintu gerbang itu ada penjaga belasan anggota Kay-pang dan dua regu perajurit, anggota Kay-pang yang menjadi pemimpin kenal pada Ci-keng dan Ci-peng sebagai Tosu dari Coan - cin - pay, bicara tentang kedudukan kedua Tosu itu terhitung Suheng Kwe Ceng, maka demi mendengar Ci-keng bilang ada urusan penting harus keluar benteng, kebetulan waktu ku tiada serangan dari pasukan musuh, maka cepat diperintahkan membuka pintu benteng.
Begitu pintu gerbang baru terbuka sedikit, cepat sekali Ci-keng lantas melompat keluar disusul oleh Ci-peng, Selagi orang Kay-pang itu memuji kehebatan Ginkang kedua Tosu itu, mendadak sesosok bayangan putih berkelebat keluar benteng pula, dengan terkejut ia membentak: “Siapa itu?”
Namun bayangan orang itu sudah lenyap, waktu ia melongok keluar benteng, karena fajar baru menyingsing, belasan meter di depan masih remang-remang tertutup oleh kabut, maka tiada sesuatupun yang kelihatan. Diam-diam anggota Kay-pang itu mengomel.
Ia pikir barangkali matanya sendiri yang mulai lamur sehingga pandangannya kabur.
Ci-keng berdua masih terus berlari hingga belasan li jauhnya baru berani melambatkan lari mereka.
Dengan kuatir dan bersyukur pula Ci-keng mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya sambil menggumam: “Wah, bahaya, sungguh bahaya!”
Tapi waktu ia berpaling ke belakang, tanpa terasa kakinya menjadi lemas, hampir saja jatuh ter-jungkal. Kiranya tidak jauh di belakangnya itu sudah berdiri seorang perempuan muda berbaju putih dan sedang memandangnya dengan melenggong, siapa lagi dia kalau bukan Siau-liong-li.
Sungguh kaget Ci-keng tak terperikan, ia menjerit satu kali dan segera menarik tangan Ci-peng untuk diajak lari pula, Sungguh tak tersangka olehnya bahwa Siao-liong-li yang dikiranya sudah jauh ditinggalkan di kota Siangyang sana tahu-tahu masih mengintil dibelakangnya, cuma cara berjalan nona itu tidak bersuara, meski mengintil dalam jarak dekat juga tidak diketahuinya.
Sekaligus ia berlari agak jauh barulah dia coba menoleh ke belakang, dilihatnya Siao-liong li menguntit di belakang dalam jarak tetap, seperti tadi.
Dengan pikiran bingung dan takut Ci-keng segera “tancap gas” lebih kencang sambil menyeret Ci-peng. Dia tidak berani lagi sering2 menoleh, sebab setiap kali memandang kebelakang, setiap kali pula hatinya bertambah takut, lambat-laun kakinya mulai lemas, rasanya tangan yang memegangi lengan Ci-peng mulai tak bertenaga lagi.
“ln-sute,” katanya kemudian, “kalau sekarang dia mau membunuh kita boleh dikatakan sangat mudah, tapi dia tidak melakukan hal ini, kukira dia pasti mempunyai maksud tertentu.”
“Maksud tertentu apa?” tanya Ci-peng. . ,
“Kukira dia ingin menawan kita, lalu membongkar perbuatanmu yang kotor itu di depan para ksatria agar nama baik Coan-cin-pay akan runtuh habis-habisan.”
Hati Ci-peng terkesiap, terhadap mati-hidupnya sendiri sebenarnya tak terpikir lagi olehnya, kalau saja Siao-liong-li akan membunuhnya pasti dia takkan melawan, tapi jika mengenai nama baik Coan-cin-pay, betapapun ia harus membelanya mati-matian, apalagi jika runtuhnya kehormatan Coan-cin pay itu disebabkan oleh perbuatannya.
Teringat alasan ini dia menjadi kuatir juga, segera larinya bertambah cepat mendampingi Ci-keng.
Kedua orang berlari ke daerah yang sunyi dan sukar dicapai orang lain, terkadang mereka menoleh, tapi Siao-liong-Ii selalu berada dalam jarak puluhan meter di belakang, Dengan Ginkang Ko-bong-pay yang tiada tandingannya itu, kalau mau sebenarnya dengan mudah Siao-liong-li dapat melampaui kedua buruannya.
Cuma dia memang masih polos, jalan pikirannya sederhana, menghadapi persoalan maha besar ini dia menjadi bingung dan tidak tahu cara bagaimana harus bertindak.
Karena itu terpaksa ia hanya mengintil saja di belakang mereka, selalu dalam jarak itu2 saja tapi juga tidak membiarkan lolosnya kedua orang itu.
Pikiran Ci-peng dan Ci-keng memangnya sangat bingung, apalagi Siao-liong-li terus menguntit dan tidak diketahui apa maksud tujuannya, makin dipikir makin takut mereka.
Mereka berlari dari pagi hingga siang, dari siang hingga sore hari sudah 6-7 jam mereka berlari-lari kesetanan, betapapun kuatnya tenaga dalam mereka akhirnya juga terempas-empis, langkahpun mulai sempoyongan dan tidak sanggup berlari cepat lagi.
Dalam pada itu panas matahari yang menyengat itu telah membuat mereka mandi keringat, malahan juga lapar dan haus, ketika tiba-tiba nampak di depan ada sebuah sungai kecil, mereka menjadi nekat.
Mereka pikir andaikan akan tertangkap di situ masa-bodohlah, Begitulah mereka terus menjatuhkan diri di tepi sungai kecil itu dan minum air sekenyangnya.
Dengan pelahan Siao-liong-li juga mendekati sungai bagian hulu, iapun meraup air untuk diminum, permukaan air sungai mencerminkan seorang nona jelita berbaju putih dengan ikal rambut hitam dan wajah cantik molek laksana dewi kahyangan.
 Tapi, perasaan Siao-liong-li serasa hampa, dukanya tidak kepalang sehingga cermin dirinya itu tidak menariknya melainkan termangu-mangu saja memandangi bayangan sendiri di dalam air itu.
Sambil minum air, Ci-keng berdua senantiasa, melirik Siao-liong li, melihat nona itu termangu-mangu seakan-akan lupa daratan pada dunia fana ini, cepat mereka saling memberi isyarat, dengan pelahan mereka berbangkit dan berjalan ber-jengket2 menjauh ke sana. Beberapa kali mereka menoleh dan melihat si nona masih termenung memandang air sungai, segera mereka percepat langkah terus berlari ke depan.
Mereka mengira sekali ini pasti dapat lolos dari kuntitan Siao-liong-li, siapa duga, ketika kebetulan Ci-peng berpaling, ternyata si nona sudah mengintil lagi di belakang mereka.
Seketika muka Ci-peng pucat pasi seperti mayat, serunya: “Sudahlah, sudahlah Tio suheng, kita toh tak dapat lolos, terserah saja apakah dia akan membunuh atau mencincang kita.” Habis berkata ia terus berhenti dan berdiri di situ.
Ci-keng menjadi gusar dan membentak: “Kau mati juga pantas, tapi mengapa aku harus mati bersamamu?” Segera ia tarik tangan sang Sute untuk diajak lari pula.
Akan tetapi Ci-peng sudah putus asa dan tidak ingin lari lagi, Dasar Ci-keng memang pemberang, tanpa bicara lagi sebelah tangannya terus menggampar.
“Mengapa kau pukul aku?” teriak Ci - peng dengan gusar.
 Melihat kedua orang itu saling hantam lagi, Siao-liong-li menjadi heran.
Pada saat itulah dari depan sana tampak mendatangi dua penunggadg kuda, rupanya dua kurir Mongol yang bertugas mengirim surat atau berita. pikiran Ci-keng bergerak, dengan suara tertahan ia berkata pada Ci-peng: “Mari kita rebut kuda mereka. Kita pura-pura berkelahi supaya tidak menimbulkan curiga Siao-liong-li.”
Ci-peng-menurut, mereka pura-pura berhantam lagi sambil menggeser ke jalan raya, Karena jalan terhalang, kedua perajurit MongoI itu menahan kuda mereka sambil membentak-bentak.
Tapi Ci-keng mendadak melompat ke atas, seorang satu seketika kedua perajurit Mongol itu disodok terjungkal kebawah kuda rampasan itulah mereka terus kabur cepat ke utara.
Kedua ekor kuda itu adalah kuda perang piIihan, perawakannya gagah dan larinya cepat. Waktu mereka menoleh, ternyata Siao-liong-li tidak mengejar lagi, maka legalah hati mereka. Mereka terus melarikan kuda ke utara, belasan li kemudian sampailah mereka pada jalan persimpangan tiga.
“Dia melihat kita kabur ke utara, sekarang justeru membelok ke timur,” kata Ci-keng sambil membelokkan kuda ke kanan dan diikuti Ci-peng.
Menjelang magrib, sampailah mereka di suatu kota kecil.
Sehari suntuk mereka berlari tanpa mengisi perut barang sedikitpun, sudah tentu mereka sudah lelah dan lapar. Segera mereka mencari suatu warung makan dan pesan satu piring daging dan beberapa bakpau.
Sambil duduk menunggu daharan, hati Ci-keng masih berdebar-debar mengenang bahaya yang dihadapi nya tadi, ia tidak tahu mengapa Siao liong-li melulu menguntit saja dan tidak segera turun tangan.
Dilihatnya Ci-peng juga duduk menunduk dengan muka pucat dan seperti orang linglung.
Tidak lama makanan yang dipesan telah disuguhkan, segera mereka makan minum. Belum seberapa lama, tiba-tiba terdengar suara ribut di luar, seorang sedang membentak-bentak dan bertanya “Siapa pemilik kedua ekor kuda ini?
Mengapa berada di sini?” Dari logat suaranya agaknya orang Mongol.
Ci-keng berdiri dan mendekati pintu, dilihatnya seorang perwira Mongol dengan beberapa anak buah sedang bertanya mengenai kedua ekor kuda rampasan Ci-keng berdua itu, pelayan rumah makan tampak ketakutan dan menyembah.
Lantaran seharian diuber Siao-liong-li dan rasa dongkol Ci-keng belum terlampiaskan kini ada orang mencari gara-gara,
segera ia tampil ke muka dan berteriak: “Kudaku, ada apa?”
“Dapat darimana?” tanya perwira itu. “milikku sendiri, peduIi apa dengan mu?” jawab Ci-keng.
Tatkala mana di utara Siangyang sudah berada dalam pendudukan pasukan Mongol, rakyat Song hidup di bawah penindasan secara kejam, mana ada orang berani bersikap kasar terhadap perwira Mongol?
 Tapi lantaran melihat perawakan Ci-keng gagah dan kuat,
membawa pedang pula, diam-diam perwira itu rada jeri, ia lantas tanya pula: “Kau dapat beli atau mencuri?”
“Beli atau mencuri apa?” jawab Ci-keng dengan gusar.
“Kuda ini adalah piaraanku sendiri.”
“Tangkap” mendadak perwira itu memberi aba2. Serentak beberapa perajurit itu mengerubut maju dengan senjata terhunus.
“Hm, berdasarkan apa kalian menangkap orang.” Bentak Ci keng sambit meraba pedangnya.
“Berani kau melawan, maling kuda?” jengek perwira Mongol itu. “Haha, barangkali kau sudah makan hati macan, maka berani melawan perwira markas besar? Hayo kau mengaku mencuri tidak?” - Berbareng ia menyingkap bulu paha belakang kuda hingga kelihatan cap bakar dua huruf Mongol.
Rupanya setiap kuda perang Mongol pasti di tandai dengan cap bakar untuk menjelaskan kuda itu termasuk pasukan dan kelompok mana, Ci-keng merampas kuda itu di tengah jalan, sudah tentu ia tidak tahu seluk-beluk tanda cap bakar sega!a.
Karena itu ia menjadi tak bisa menjawab. Tapi dia sengaja berdebat secara ngotot: “Siapa bilang kuda perang Mongol? Ditempat kami banyak juga kuda yatg kami beri cap bakar seperti ini? Memangnya tidak boleh dan melanggar aturan?”
“Perwira itu menjadi gusar, belum pernah ada orang yang berani membantah padanya, masakah sekarang ada maling kuda yang malah menantang-nya. Segera ia melangkah maju terus hendak mencengkeram baju dada Ci-keng.
Akan tetapi tangan kiri Ci-keng menagkis dan membalik, tangan perwira itu berbalik kena dipegangnya. Menyusul tangan kanan Ci-keng terus mencengkram punggung perwira itu dan diangkat ke atas, setelah diputar beberapa kali terus dilemparkan
Tanpa ampun -perwira itu terbanting ke dalam sebuah toko barang pecah belah, seketika terdengarlah suara gemerantang nyaring ber-turut-urut, rak mangkok piring dan barang-barang porselin lain sama roboh dan hancur berantakan…
Muka perwira itupun babak belur terluka oleh pecahan beling serta tertindih oleh rak yang ambruk.
Cepat para perajurit Mongol memberi pertolongan sehingga lupa menangkap orang.
Ci-keng terbahak-bahak gembira dan masuk kembali ke warung makan untuk meneruskan daharannya tadi.
Karena ribut-ribut itu, toko2 yang tadinya buka dasar seketika sama tutup pintu. Tetamu yang sedang makan diwarung itupun segera buyar. Maka jumlah tentara Mongol terkenal ganas dan kejam, tapi sekarang ada orang Han memukuli perwira Mongol, maka akibatnya dapatlah dibayangkan, bukan mustahil seluruh kota akan dibumi- hanguskan.
Belum banyak Ci-keng mengisi perutnya, tiba-tiba kuasa rumah makan itu mendekatinya dan berlutut di depannya. Ci-keng tahu maksud orang, pasti kuatir perusahaannya ikut terkena getahnya, maka minta penyelesaian se-baik-baiknya.
Dengah tertawa ia lantas berkata: “jangan kuatir kau, setelah makan kenyang segera kami angkat kaki dari sini.”
Tapi kuasa rumah makan itu tetap menyembah dengan muka pucat.
Ci-peng lantas berkata kepada Ci-keng: “Rupanya dia takut bila kita pergi, sebentar lagi pasukan Mongol akan datang minta pertanggungan jawabnya.”
Ia memang lebih cerdik daripada Ci-keng, setelah berpikir sejenak,” segera ia berkata pula kepada kuasa rumah makan itu. “Lekas ambilkan lagi dataran yang lezat, apa yang telah kami perbuat, adalah tanggung jawab kami sendiri, kenapa mesti takut?”
Kuasa rumah makan itu mengiakan dengan girang, cepat ia merangkak bangun dan memerintahkan daharan ditambah dan membawakan arak pula.
Sementara itu perwira Mongol yang babak belur itu telah dibangunkan anak buahnya dan dibawa pergi. Dengan tertawa Ci-keng berkata kepada Ci-peng: “ln-sute, sudah seharian kita kenyang tersiksa, sebentar biarlah kita labrak mereka sepuasnya.”
Ci-peng hanya mendengus saja tanpa menanggapi sementara itu pelayan sibuk membawakan daharan, Sesudah makan lagi sekadarnya, mendadak Ci-peng berbangkit, pelayan yang ladeni disebelah-nya dihantamnya hingga terjungkal.
Keruan si kuasa rumah makan kaget, cepat ia mendekati dan minta maaf bila ada kesalahan pelayanan Tapi kaki Ci-peng lantas melayang pula, dengan tepat dengkul kuasa rumah makan itu didepak sehingga jatuh terguling.
Ci-keng tidak tahu maksud tujuan sang Sute, disangkanya rasa dongkol Ci-peng itu sengaja dilampiaskan atas diri sipelayan. Ja berusaha mencegahnya tapi mendadak Ci-peng mendomplangkan meja yang penuh mangkok piring makanan itu, menyusul dua orang pelayan dipukul roboh lagi.
Cara memukul Ci-peng itu disertai dengan tutukan Hiat-to, maka setelah jatuh, orang-orang itu sama tergeletak tak bisa berkutik. Habis “ngamuk”, Ci-peng kebut2 baju sendiri, lalu berkata: “sebentar kalau pasukan Mongol datang dan melihat kalian ku labrak sedemikian rupa, tentu kalian takkan di-marahi, Nah, paham tidak? Kalau perlu kalian boleh saling hantam lagi agar kelihatan lebih babak belur.”
Baru sekarang orang-orang itu mengerti apa maksud tujuan Ci-peng memukuli mereka, setelah menyatakan akal bagus. segera mereka saling hantam pula hingga baju robek dan hidung bengkak.
Pada saat itulah terdengar suara derapan kaki kuda, ada beberapa orang mendatang pula, serentak orang-orang rumah makan itu sama merebabkan diri sambil berteriak mengaduh kesakitan serta minta ampun segala.
Setiba di depan rumah makan itu, benar juga penunggang2 kuda itu lantas berhenti dan masuklah empat perwira Mongol, dibelakangnya ikut pula seorang paderi Tibet yang bertubuh tinggi kurus dan seorang asing yang pendek dan hitam, orang asing itu sudah buntung kedua kakinya, kedua tangan memegang tongkat penyanggah ketiak.
Melihat keadaan rumah makan yang porak poranda itu, para perwira Mongol itu sambil me-ngerut kering, segera pula mereka membentak: “Lekas bawakan santapan enak, kami buru-buru mau berangkat lagi!”
Kuasa rumah makan tadi melengak, baru sekarang ia tahu rombongan ini bukanlah kawan rombongan pertama tadi, ia menjadi bingung, kalau perwira Mongol yang dilabrak In Ci-peng tadi datang kembali, lalu cara bagaimana akan menghadapinya?
Tengah sangsi, perwira2 Mongol itu menjadi tidak sabar dan menyabetkan cambuk kudanya, Kuasa rumah makan itu terpaksa mengiakan dengan menahan rasa sakit, celakanya dia tak dapat bangun, syukur ada pegawai lain telah melayani kawanan Mongol itu dan mengaturkan meja kursi.
Paderi Tibet itu bukan lain daripada Kim-lun Hoat-ong dan orang asing hitam pendek dan kaki buntung itu adalah Nimo Singh. Mereka merawai diri beberapa hari di lembah sunyi itu.
sesudah Hoat-ong mengeluarkan sisa racun dalam tubuh dan luka kaki Nimo Singh mulai sembuh barulah mereka meninggalkan lembah itu serta bertemu dengan perwira2 Mongol itu di tengah jalan, lalu bersama-sama pulang ke markas besar Kubilai.
Tentu saja Ci-peng dan Ci-keng terkejut melihat datangnya Kim-lun Hoat-ong, mereka sudah pernah menyaksikan kelihayan paderi Tibet itu, malahan kedua muridnya saja, yaitu Darba dan Hotu yang dulu pernah menyatroni Tiong-yang-kiong, sukar ditandingi tokoh-tokoh Coan-cin-pay, apalagi sekarang kepergok Kim-lun Hoat-ong sendiri, diam-diam mereka kebat-kebit. Mereka saling memberi tanda dan segera mencari jalan buat meloloskan diri.
Meski Ci-keng berdua kenal Kim-lun Hoat-ong, sebaliknya Hoat-ong tidak kenal kedua Tosu itu, Walaupun keadaan rumah makan itu berantakan, namun suasana perang tatkala itu tidak membuatnya heran jika menyaksikan keadaan rusak itu.
Karena kepergiannya ke Siangyang sekali ini mengalami kekalahan, ia merasa malu bila nanti bertemu dengan Kubilai, maka yang dia pikirkan sekarang adalah cara bagaimana harus bicara kepada tuannya itu, sehingga kehadiran dua orang Tosu di rumah makan ini tidak digubris olehnya.
Pada saat itu tiba-tiba terjadi kegaduhan di luar rumah makan. sekawanan perajurit Mongol menerjang masuk, begitu melihat Ci-keng berdua, sambil membentak-bentak terus hendak menangkapnya.
“Lari melalui pintu belakang”. demikian kata Ci-peng dengan suara tertahan kepada Ci-keng sembari mendomplangkan sebuah meja sehingga mangkuk piring berserakan di lantai, berbareng mereka terus melompat menuju ke pintu belakang.
Sebab Kim-lun Hoat-ong duduk dekat pintu depan, kalau lari lewat di sebelahnya bisa jadi dia akan mengalangi mereka.
Ketika hampir menuju ke ruangan belakang, sekilas Ci-peng menoleh dan melihat Hoat-ong masih asyik minum tanpa gubris kekacauan di rumah makan itu, diam-diam ia tergirang, asalkan paderi itu tidak ikut campur tentu tidak sukar untuk kabur.
Tak terduga mendadak sesosok bayangan melayang tiba, orang cebol buntung tahu-tahu melompat ke sana, sebelah tongkatnya lantas menghantam sekaligus Ci-peng dan Ci-keng.
Sudah tentu Ci-pehg berdua belum kenal siapa Nimo Singh, cepat mereka mengelak. Heran juga Nimo Singh karena serangannya tidak mengenai sasarannya, ia merasa kedua Tosu ini ternyata bukan jago lemah.
Segera kedua tongkatnya bergantian yang satu dibuat menyanggah tubuh dan yang lain digunakan menyerang, dari bagian luar ia terus desak mundur Ci-peng berdua dan dengan sendirinya: Ci-peng berdua balas menyerang dan berusaha meloloskan diri.
Meski kepandaian Nimo Singh lebih tinggi dari pada Ci-peng berdua, tapi lantaran kedua kakinya buntung belumlama, tenaganya belum pulih seluruhnya, apalagi belum biasa memakai tongkat begitu, lama2 ia sendiri menjadi kewalahan dikerubuti Ci-peng dan Ci-keng.
Melihat kawannya rada kerepotan, pelahan Hoat-ong mendekati mereka, ketika pedang Ci-keng menusuk dada Nimo Singh dan orang Keling ini menangkisnya dengan tongkat, namun pedang Ci-peng sekaligus juga mengancam iga kanan Singh yang tak terjaga, kalau tidak ingin tertembus perutnya terpaksa Nimo Singh harus melompat ke samping.
Ketika Hoat-ong melangkah tiba, kebetulan Nimo Singh melompat ke atas, maka tangan kiri Hoat-ong lantas digunakan mendukung bokong Nimo Singh dan memondongnya, sedang tangan kanan memegangi lengannya.
Saat itu tongkatnya masih menempel pedang Ci-keng, ketika Hoat-ong menyalurkan tenaga dalamnya melalui tongkat Nimo Singh, seketika Ci-keng merasa tangan kanan tergetar dan dada terasa sesak. “trang”, pedang terpaksa dilepaskan dan jatuh ke lantai.
Meski tenaganya belum cukup kuat, namun perubahan serangan Nimo Singh sangat cepat begitu pedang Ci-keng jatuh, segera ia memutar tongkatnya dan menempel pula pedang Ci-peng. Ketika Hoat-ong menyalurkan lagi tenaga dalamnya, sekuatnya Ci-peng juga melawan tenaga dalam, akan tetapi cara menguasai tenaga dalam Kim-lun Hoat-ongmemang luar biasa bisa keras bisa lunak, “krek”, tahu-tahu
pedang Ci-peng juga patah, yang terpegang-olehnya hanya setengah potong pedang saja.
Dengan pelahan Hoat-ong menurunkan Nimo Singh, begitu kedua tangannya meraih, tahu-tahu pundak kedua Tosu sudah terpegang olehnya, katanya dengan tertawa: “Kita belum pernah kenal, kenapa saling labrak? Kepadaian kalian boleh dikatakan Jagopedang kelas satu di sini, Bagaimana kalau duduk dulu dan marilah omong2.”
Cara memegang Hoat-ong itu biasa saja, tapi ternyata sukar dielakkan Ci-peng berdua, mereka merasa ditindih oleh tenaga maha kuat cepat mereka mengerahkan tenaga dalam untuk melawan dan tidak berani menjawab.
Sementara itu pasukan Mongol yang menerjang masuk itu telah mengepung semua orang, perwira yang memimpin adalah seorang Cian-hu-tiang komandan seribu orang, dia kenal Kim-Iun Hoat-ong sebagai Koksu atau Imam Negara yang sangat dihormati pangeran Kubilai, cepat ia mendekati dan memberi hormat sambil menyapa: “Koksuya, kedua Tosu ini mencuri kuda perang dan memukul anggota tentara kita, harap Koksuya suka…” sampai di sinj, tiba-tiba ia mengamat-amati In Ci-peng, lalu berkata mendadak: “Hei, bukankah engkau ini In Ci-peng, In-totiang?”
Ci-peng mengangguk dan tidak menjawab, ia merasa tidak kenal perwira Mongol yang menegurnya ini.
Pegangan Hoat-ong lantas dikendurkan, diam-diam iapun mengakui Lwekang kedua Tosu itu ternyata cukup hebat meski usia mereka rata2 baru 40-an.
Perwira Mongol itu lantas berkata pula dengan tertawa: “Apakah In-totiang sudah pangling padaku? 19 tahun yang lalu kita pernah berkumpul di gurun pasir sana dan makan panggang kambing, masakah sudah lupa, Namaku Sato!”
Setelah mengamati dan mengingat sejenak, Ci-peng menjadi girang dan berseru: “Aha, betul, betul! sekarang kau berewok lebat sehingga aku pangling padamu.”
“Selama ini kami terus berjuang kian kemari sehingga rambut dan jenggot juga putih semua, tapi wajah Totiang ternyata tidak banyak berubah,” ujar Sato dengan tertawa, “Pantas Jengis Khan Agung kami mengatakan kaum beragama seperti kalian ini hidup laksana malaikat dewata,”
Lalu ia berpaling kepada Hoat-ong dan menutur: “Koksuya, In-totiang ini dahulu pernah berkunjung ke negeri kami atas undangan Jengis Khan Agung kita, kalau dibicarakan kita adalah orang sendiri”
Hoat-ong manggut-manggut, lalu melepaskan pundak Ci-peng berdua.
Supaya diketahui, dahulu waktu Jengis Khan mulai jaya, dia pernah mengundang kaum Tosu dari Coan-cinkau ke Mongol agar mengajarkan ilmu panjang umur kepadanya.
Untuk itu Khu Ju-ki telah berangkat ke sana dengan membawa 18 anak muridnya, In Ci-peng adalah murid tertua dengan sendirinya ia ikut serta.
Untuk mereka, Jengis Khan telah mengutus 200 perajurit sebagai pengawal rombongan Khu Ju-ki itu, tatkala mana Sato cuma seorang perajurit biasa saja dan termasuk dalam pasukan pengawal itu, sebab itulah dia kenal In Ci-peng.
Selama 20 tahun Sato terus naik pangkat hingga menjadi Cian-hu-tiang dan secara kebetulan bertemu kembali dengan Ci-peng, tentu saja ia sangat gembira, segera ia suruh menyediakan makanan untuk menghormati Ci-peng, urusan kuda dan memukuli perajurit Mongol dengan sendirinya tak diusut pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar