Kembalinya Pendekar Rajawali 80
Ci-keng melihat kesempatan baik, ia pikir
perempuan ini dalam keadaan kurang waras, mungkin sudak gila, kalau sekarang
tidak lekas kabur hendak tunggu kapan lagi? Maka cepat ia tarik Ci-peng dan
berkata dengan menyeringai: “Lekas pergi saja, tampaknya dia merasa berat untuk
membunuh kau-”
Habis berkata ia menarik Ci-peng sekuatnya
dan berlari keluar pintu sana.
Ci-peng menjadi linglung melihat wajah
Siao-liong-Ii, seluruh badan terasa lemas tak bertenaga, karena tarikan Ci-keng
itu ia menjadi terhuyung-huyung dan ikut berlari keluar.
Cepat Ci-keng mengeluarkan Ginkangnya untuk
berlari cepat, semula Ci-peng ditarik oteh Ci-keng tapi segera iapun dapat
mengeluarkan Ginkang sendiri. Kedua adalah jagoan Coan-cin-pay angkatan ke
tiga, maka lari mereka ini sungguh cepat melebihi lari kuda, mereka menyusur
kian kemari dijalan-jalan dalam kota, sebentar saja mereka sudah sampai di
pintu gerbang sebelah timur.
Di pintu gerbang itu ada penjaga belasan
anggota Kay-pang dan dua regu perajurit, anggota Kay-pang yang menjadi pemimpin
kenal pada Ci-keng dan Ci-peng sebagai Tosu dari Coan - cin - pay, bicara
tentang kedudukan kedua Tosu itu terhitung Suheng Kwe Ceng, maka demi mendengar
Ci-keng bilang ada urusan penting harus keluar benteng, kebetulan waktu ku
tiada serangan dari pasukan musuh, maka cepat diperintahkan membuka pintu
benteng.
Begitu pintu gerbang baru terbuka sedikit,
cepat sekali Ci-keng lantas melompat keluar disusul oleh Ci-peng, Selagi orang
Kay-pang itu memuji kehebatan Ginkang kedua Tosu itu, mendadak sesosok bayangan
putih berkelebat keluar benteng pula, dengan terkejut ia membentak: “Siapa
itu?”
Namun bayangan orang itu sudah lenyap, waktu
ia melongok keluar benteng, karena fajar baru menyingsing, belasan meter di
depan masih remang-remang tertutup oleh kabut, maka tiada sesuatupun yang
kelihatan. Diam-diam anggota Kay-pang itu mengomel.
Ia pikir barangkali matanya sendiri yang
mulai lamur sehingga pandangannya kabur.
Ci-keng berdua masih terus berlari hingga
belasan li jauhnya baru berani melambatkan lari mereka.
Dengan kuatir dan bersyukur pula Ci-keng
mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya sambil menggumam: “Wah, bahaya,
sungguh bahaya!”
Tapi waktu ia berpaling ke belakang, tanpa
terasa kakinya menjadi lemas, hampir saja jatuh ter-jungkal. Kiranya tidak jauh
di belakangnya itu sudah berdiri seorang perempuan muda berbaju putih dan
sedang memandangnya dengan melenggong, siapa lagi dia kalau bukan
Siau-liong-li.
Sungguh kaget Ci-keng tak terperikan, ia
menjerit satu kali dan segera menarik tangan Ci-peng untuk diajak lari pula,
Sungguh tak tersangka olehnya bahwa Siao-liong-li yang dikiranya sudah jauh
ditinggalkan di kota Siangyang sana tahu-tahu masih mengintil dibelakangnya,
cuma cara berjalan nona itu tidak bersuara, meski mengintil dalam jarak dekat
juga tidak diketahuinya.
Sekaligus ia berlari agak jauh barulah dia
coba menoleh ke belakang, dilihatnya Siao-liong li menguntit di belakang dalam
jarak tetap, seperti tadi.
Dengan pikiran bingung dan takut Ci-keng
segera “tancap gas” lebih kencang sambil menyeret Ci-peng. Dia tidak berani
lagi sering2 menoleh, sebab setiap kali memandang kebelakang, setiap kali pula
hatinya bertambah takut, lambat-laun kakinya mulai lemas, rasanya tangan yang memegangi
lengan Ci-peng mulai tak bertenaga lagi.
“ln-sute,” katanya kemudian, “kalau sekarang
dia mau membunuh kita boleh dikatakan sangat mudah, tapi dia tidak melakukan
hal ini, kukira dia pasti mempunyai maksud tertentu.”
“Maksud tertentu apa?” tanya Ci-peng. . ,
“Kukira dia ingin menawan kita, lalu
membongkar perbuatanmu yang kotor itu di depan para ksatria agar nama baik
Coan-cin-pay akan runtuh habis-habisan.”
Hati Ci-peng terkesiap, terhadap
mati-hidupnya sendiri sebenarnya tak terpikir lagi olehnya, kalau saja
Siao-liong-li akan membunuhnya pasti dia takkan melawan, tapi jika mengenai
nama baik Coan-cin-pay, betapapun ia harus membelanya mati-matian, apalagi jika
runtuhnya kehormatan Coan-cin pay itu disebabkan oleh perbuatannya.
Teringat alasan ini dia menjadi kuatir juga,
segera larinya bertambah cepat mendampingi Ci-keng.
Kedua orang berlari ke daerah yang sunyi dan
sukar dicapai orang lain, terkadang mereka menoleh, tapi Siao-liong-Ii selalu
berada dalam jarak puluhan meter di belakang, Dengan Ginkang Ko-bong-pay yang
tiada tandingannya itu, kalau mau sebenarnya dengan mudah Siao-liong-li dapat
melampaui kedua buruannya.
Cuma dia memang masih polos, jalan pikirannya
sederhana, menghadapi persoalan maha besar ini dia menjadi bingung dan tidak
tahu cara bagaimana harus bertindak.
Karena itu terpaksa ia hanya mengintil saja
di belakang mereka, selalu dalam jarak itu2 saja tapi juga tidak membiarkan
lolosnya kedua orang itu.
Pikiran Ci-peng dan Ci-keng memangnya sangat
bingung, apalagi Siao-liong-li terus menguntit dan tidak diketahui apa maksud
tujuannya, makin dipikir makin takut mereka.
Mereka berlari dari pagi hingga siang, dari
siang hingga sore hari sudah 6-7 jam mereka berlari-lari kesetanan, betapapun
kuatnya tenaga dalam mereka akhirnya juga terempas-empis, langkahpun mulai
sempoyongan dan tidak sanggup berlari cepat lagi.
Dalam pada itu panas matahari yang menyengat
itu telah membuat mereka mandi keringat, malahan juga lapar dan haus, ketika
tiba-tiba nampak di depan ada sebuah sungai kecil, mereka menjadi nekat.
Mereka pikir andaikan akan tertangkap di situ
masa-bodohlah, Begitulah mereka terus menjatuhkan diri di tepi sungai kecil itu
dan minum air sekenyangnya.
Dengan pelahan Siao-liong-li juga mendekati
sungai bagian hulu, iapun meraup air untuk diminum, permukaan air sungai
mencerminkan seorang nona jelita berbaju putih dengan ikal rambut hitam dan
wajah cantik molek laksana dewi kahyangan.
Tapi, perasaan Siao-liong-li serasa
hampa, dukanya tidak kepalang sehingga cermin dirinya itu tidak menariknya
melainkan termangu-mangu saja memandangi bayangan sendiri di dalam air itu.
Sambil minum air, Ci-keng berdua senantiasa,
melirik Siao-liong li, melihat nona itu termangu-mangu seakan-akan lupa daratan
pada dunia fana ini, cepat mereka saling memberi isyarat, dengan pelahan mereka
berbangkit dan berjalan ber-jengket2 menjauh ke sana. Beberapa kali mereka
menoleh dan melihat si nona masih termenung memandang air sungai, segera mereka
percepat langkah terus berlari ke depan.
Mereka mengira sekali ini pasti dapat lolos
dari kuntitan Siao-liong-li, siapa duga, ketika kebetulan Ci-peng berpaling,
ternyata si nona sudah mengintil lagi di belakang mereka.
Seketika muka Ci-peng pucat pasi seperti
mayat, serunya: “Sudahlah, sudahlah Tio suheng, kita toh tak dapat lolos,
terserah saja apakah dia akan membunuh atau mencincang kita.” Habis berkata ia
terus berhenti dan berdiri di situ.
Ci-keng menjadi gusar dan membentak: “Kau
mati juga pantas, tapi mengapa aku harus mati bersamamu?” Segera ia tarik
tangan sang Sute untuk diajak lari pula.
Akan tetapi Ci-peng sudah putus asa dan tidak
ingin lari lagi, Dasar Ci-keng memang pemberang, tanpa bicara lagi sebelah
tangannya terus menggampar.
“Mengapa kau pukul aku?” teriak Ci - peng
dengan gusar.
Melihat kedua orang itu saling hantam
lagi, Siao-liong-li menjadi heran.
Pada saat itulah dari depan sana tampak
mendatangi dua penunggadg kuda, rupanya dua kurir Mongol yang bertugas mengirim
surat atau berita. pikiran Ci-keng bergerak, dengan suara tertahan ia berkata
pada Ci-peng: “Mari kita rebut kuda mereka. Kita pura-pura berkelahi supaya
tidak menimbulkan curiga Siao-liong-li.”
Ci-peng-menurut, mereka pura-pura berhantam
lagi sambil menggeser ke jalan raya, Karena jalan terhalang, kedua perajurit
MongoI itu menahan kuda mereka sambil membentak-bentak.
Tapi Ci-keng mendadak melompat ke atas,
seorang satu seketika kedua perajurit Mongol itu disodok terjungkal kebawah
kuda rampasan itulah mereka terus kabur cepat ke utara.
Kedua ekor kuda itu adalah kuda perang
piIihan, perawakannya gagah dan larinya cepat. Waktu mereka menoleh, ternyata
Siao-liong-li tidak mengejar lagi, maka legalah hati mereka. Mereka terus
melarikan kuda ke utara, belasan li kemudian sampailah mereka pada jalan
persimpangan tiga.
“Dia melihat kita kabur ke utara, sekarang
justeru membelok ke timur,” kata Ci-keng sambil membelokkan kuda ke kanan dan
diikuti Ci-peng.
Menjelang magrib, sampailah mereka di suatu
kota kecil.
Sehari suntuk mereka berlari tanpa mengisi
perut barang sedikitpun, sudah tentu mereka sudah lelah dan lapar. Segera
mereka mencari suatu warung makan dan pesan satu piring daging dan beberapa
bakpau.
Sambil duduk menunggu daharan, hati Ci-keng
masih berdebar-debar mengenang bahaya yang dihadapi nya tadi, ia tidak tahu
mengapa Siao liong-li melulu menguntit saja dan tidak segera turun tangan.
Dilihatnya Ci-peng juga duduk menunduk dengan
muka pucat dan seperti orang linglung.
Tidak lama makanan yang dipesan telah
disuguhkan, segera mereka makan minum. Belum seberapa lama, tiba-tiba terdengar
suara ribut di luar, seorang sedang membentak-bentak dan bertanya “Siapa
pemilik kedua ekor kuda ini?
Mengapa berada di sini?” Dari logat suaranya
agaknya orang Mongol.
Ci-keng berdiri dan mendekati pintu,
dilihatnya seorang perwira Mongol dengan beberapa anak buah sedang bertanya
mengenai kedua ekor kuda rampasan Ci-keng berdua itu, pelayan rumah makan
tampak ketakutan dan menyembah.
Lantaran seharian diuber Siao-liong-li dan
rasa dongkol Ci-keng belum terlampiaskan kini ada orang mencari gara-gara,
segera ia tampil ke muka dan berteriak:
“Kudaku, ada apa?”
“Dapat darimana?” tanya perwira itu. “milikku
sendiri, peduIi apa dengan mu?” jawab Ci-keng.
Tatkala mana di utara Siangyang sudah berada
dalam pendudukan pasukan Mongol, rakyat Song hidup di bawah penindasan secara
kejam, mana ada orang berani bersikap kasar terhadap perwira Mongol?
Tapi lantaran melihat perawakan Ci-keng
gagah dan kuat,
membawa pedang pula, diam-diam perwira itu
rada jeri, ia lantas tanya pula: “Kau dapat beli atau mencuri?”
“Beli atau mencuri apa?” jawab Ci-keng dengan
gusar.
“Kuda ini adalah piaraanku sendiri.”
“Tangkap” mendadak perwira itu memberi aba2.
Serentak beberapa perajurit itu mengerubut maju dengan senjata terhunus.
“Hm, berdasarkan apa kalian menangkap orang.”
Bentak Ci keng sambit meraba pedangnya.
“Berani kau melawan, maling kuda?” jengek
perwira Mongol itu. “Haha, barangkali kau sudah makan hati macan, maka berani
melawan perwira markas besar? Hayo kau mengaku mencuri tidak?” - Berbareng ia
menyingkap bulu paha belakang kuda hingga kelihatan cap bakar dua huruf Mongol.
Rupanya setiap kuda perang Mongol pasti di
tandai dengan cap bakar untuk menjelaskan kuda itu termasuk pasukan dan
kelompok mana, Ci-keng merampas kuda itu di tengah jalan, sudah tentu ia tidak
tahu seluk-beluk tanda cap bakar sega!a.
Karena itu ia menjadi tak bisa menjawab. Tapi
dia sengaja berdebat secara ngotot: “Siapa bilang kuda perang Mongol? Ditempat
kami banyak juga kuda yatg kami beri cap bakar seperti ini? Memangnya tidak
boleh dan melanggar aturan?”
“Perwira itu menjadi gusar, belum pernah ada
orang yang berani membantah padanya, masakah sekarang ada maling kuda yang
malah menantang-nya. Segera ia melangkah maju terus hendak mencengkeram baju
dada Ci-keng.
Akan tetapi tangan kiri Ci-keng menagkis dan
membalik, tangan perwira itu berbalik kena dipegangnya. Menyusul tangan kanan
Ci-keng terus mencengkram punggung perwira itu dan diangkat ke atas, setelah
diputar beberapa kali terus dilemparkan
Tanpa ampun -perwira itu terbanting ke dalam
sebuah toko barang pecah belah, seketika terdengarlah suara gemerantang nyaring
ber-turut-urut, rak mangkok piring dan barang-barang porselin lain sama roboh
dan hancur berantakan…
Muka perwira itupun babak belur terluka oleh
pecahan beling serta tertindih oleh rak yang ambruk.
Cepat para perajurit Mongol memberi
pertolongan sehingga lupa menangkap orang.
Ci-keng terbahak-bahak gembira dan masuk
kembali ke warung makan untuk meneruskan daharannya tadi.
Karena ribut-ribut itu, toko2 yang tadinya
buka dasar seketika sama tutup pintu. Tetamu yang sedang makan diwarung itupun
segera buyar. Maka jumlah tentara Mongol terkenal ganas dan kejam, tapi
sekarang ada orang Han memukuli perwira Mongol, maka akibatnya dapatlah
dibayangkan, bukan mustahil seluruh kota akan dibumi- hanguskan.
Belum banyak Ci-keng mengisi perutnya,
tiba-tiba kuasa rumah makan itu mendekatinya dan berlutut di depannya. Ci-keng
tahu maksud orang, pasti kuatir perusahaannya ikut terkena getahnya, maka minta
penyelesaian se-baik-baiknya.
Dengah tertawa ia lantas berkata: “jangan
kuatir kau, setelah makan kenyang segera kami angkat kaki dari sini.”
Tapi kuasa rumah makan itu tetap menyembah
dengan muka pucat.
Ci-peng lantas berkata kepada Ci-keng:
“Rupanya dia takut bila kita pergi, sebentar lagi pasukan Mongol akan datang
minta pertanggungan jawabnya.”
Ia memang lebih cerdik daripada Ci-keng,
setelah berpikir sejenak,” segera ia berkata pula kepada kuasa rumah makan itu.
“Lekas ambilkan lagi dataran yang lezat, apa yang telah kami perbuat, adalah
tanggung jawab kami sendiri, kenapa mesti takut?”
Kuasa rumah makan itu mengiakan dengan
girang, cepat ia merangkak bangun dan memerintahkan daharan ditambah dan
membawakan arak pula.
Sementara itu perwira Mongol yang babak belur
itu telah dibangunkan anak buahnya dan dibawa pergi. Dengan tertawa Ci-keng
berkata kepada Ci-peng: “ln-sute, sudah seharian kita kenyang tersiksa,
sebentar biarlah kita labrak mereka sepuasnya.”
Ci-peng hanya mendengus saja tanpa menanggapi
sementara itu pelayan sibuk membawakan daharan, Sesudah makan lagi sekadarnya,
mendadak Ci-peng berbangkit, pelayan yang ladeni disebelah-nya dihantamnya
hingga terjungkal.
Keruan si kuasa rumah makan kaget, cepat ia
mendekati dan minta maaf bila ada kesalahan pelayanan Tapi kaki Ci-peng lantas
melayang pula, dengan tepat dengkul kuasa rumah makan itu didepak sehingga
jatuh terguling.
Ci-keng tidak tahu maksud tujuan sang Sute,
disangkanya rasa dongkol Ci-peng itu sengaja dilampiaskan atas diri sipelayan.
Ja berusaha mencegahnya tapi mendadak Ci-peng mendomplangkan meja yang penuh
mangkok piring makanan itu, menyusul dua orang pelayan dipukul roboh lagi.
Cara memukul Ci-peng itu disertai dengan
tutukan Hiat-to, maka setelah jatuh, orang-orang itu sama tergeletak tak bisa
berkutik. Habis “ngamuk”, Ci-peng kebut2 baju sendiri, lalu berkata: “sebentar
kalau pasukan Mongol datang dan melihat kalian ku labrak sedemikian rupa, tentu
kalian takkan di-marahi, Nah, paham tidak? Kalau perlu kalian boleh saling
hantam lagi agar kelihatan lebih babak belur.”
Baru sekarang orang-orang itu mengerti apa
maksud tujuan Ci-peng memukuli mereka, setelah menyatakan akal bagus. segera
mereka saling hantam pula hingga baju robek dan hidung bengkak.
Pada saat itulah terdengar suara derapan kaki
kuda, ada beberapa orang mendatang pula, serentak orang-orang rumah makan itu
sama merebabkan diri sambil berteriak mengaduh kesakitan serta minta ampun
segala.
Setiba di depan rumah makan itu, benar juga
penunggang2 kuda itu lantas berhenti dan masuklah empat perwira Mongol,
dibelakangnya ikut pula seorang paderi Tibet yang bertubuh tinggi kurus dan
seorang asing yang pendek dan hitam, orang asing itu sudah buntung kedua
kakinya, kedua tangan memegang tongkat penyanggah ketiak.
Melihat keadaan rumah makan yang porak
poranda itu, para perwira Mongol itu sambil me-ngerut kering, segera pula
mereka membentak: “Lekas bawakan santapan enak, kami buru-buru mau berangkat
lagi!”
Kuasa rumah makan tadi melengak, baru
sekarang ia tahu rombongan ini bukanlah kawan rombongan pertama tadi, ia
menjadi bingung, kalau perwira Mongol yang dilabrak In Ci-peng tadi datang
kembali, lalu cara bagaimana akan menghadapinya?
Tengah sangsi, perwira2 Mongol itu menjadi
tidak sabar dan menyabetkan cambuk kudanya, Kuasa rumah makan itu terpaksa
mengiakan dengan menahan rasa sakit, celakanya dia tak dapat bangun, syukur ada
pegawai lain telah melayani kawanan Mongol itu dan mengaturkan meja kursi.
Paderi Tibet itu bukan lain daripada Kim-lun
Hoat-ong dan orang asing hitam pendek dan kaki buntung itu adalah Nimo Singh.
Mereka merawai diri beberapa hari di lembah sunyi itu.
sesudah Hoat-ong mengeluarkan sisa racun
dalam tubuh dan luka kaki Nimo Singh mulai sembuh barulah mereka meninggalkan
lembah itu serta bertemu dengan perwira2 Mongol itu di tengah jalan, lalu
bersama-sama pulang ke markas besar Kubilai.
Tentu saja Ci-peng dan Ci-keng terkejut
melihat datangnya Kim-lun Hoat-ong, mereka sudah pernah menyaksikan kelihayan
paderi Tibet itu, malahan kedua muridnya saja, yaitu Darba dan Hotu yang dulu
pernah menyatroni Tiong-yang-kiong, sukar ditandingi tokoh-tokoh Coan-cin-pay,
apalagi sekarang kepergok Kim-lun Hoat-ong sendiri, diam-diam mereka
kebat-kebit. Mereka saling memberi tanda dan segera mencari jalan buat
meloloskan diri.
Meski Ci-keng berdua kenal Kim-lun Hoat-ong,
sebaliknya Hoat-ong tidak kenal kedua Tosu itu, Walaupun keadaan rumah makan
itu berantakan, namun suasana perang tatkala itu tidak membuatnya heran jika
menyaksikan keadaan rusak itu.
Karena kepergiannya ke Siangyang sekali ini
mengalami kekalahan, ia merasa malu bila nanti bertemu dengan Kubilai, maka
yang dia pikirkan sekarang adalah cara bagaimana harus bicara kepada tuannya
itu, sehingga kehadiran dua orang Tosu di rumah makan ini tidak digubris
olehnya.
Pada saat itu tiba-tiba terjadi kegaduhan di
luar rumah makan. sekawanan perajurit Mongol menerjang masuk, begitu melihat
Ci-keng berdua, sambil membentak-bentak terus hendak menangkapnya.
“Lari melalui pintu belakang”. demikian kata
Ci-peng dengan suara tertahan kepada Ci-keng sembari mendomplangkan sebuah meja
sehingga mangkuk piring berserakan di lantai, berbareng mereka terus melompat
menuju ke pintu belakang.
Sebab Kim-lun Hoat-ong duduk dekat pintu
depan, kalau lari lewat di sebelahnya bisa jadi dia akan mengalangi mereka.
Ketika hampir menuju ke ruangan belakang,
sekilas Ci-peng menoleh dan melihat Hoat-ong masih asyik minum tanpa gubris
kekacauan di rumah makan itu, diam-diam ia tergirang, asalkan paderi itu tidak
ikut campur tentu tidak sukar untuk kabur.
Tak terduga mendadak sesosok bayangan
melayang tiba, orang cebol buntung tahu-tahu melompat ke sana, sebelah
tongkatnya lantas menghantam sekaligus Ci-peng dan Ci-keng.
Sudah tentu Ci-pehg berdua belum kenal siapa
Nimo Singh, cepat mereka mengelak. Heran juga Nimo Singh karena serangannya
tidak mengenai sasarannya, ia merasa kedua Tosu ini ternyata bukan jago lemah.
Segera kedua tongkatnya bergantian yang satu
dibuat menyanggah tubuh dan yang lain digunakan menyerang, dari bagian luar ia
terus desak mundur Ci-peng berdua dan dengan sendirinya: Ci-peng berdua balas
menyerang dan berusaha meloloskan diri.
Meski kepandaian Nimo Singh lebih tinggi dari
pada Ci-peng berdua, tapi lantaran kedua kakinya buntung belumlama, tenaganya
belum pulih seluruhnya, apalagi belum biasa memakai tongkat begitu, lama2 ia
sendiri menjadi kewalahan dikerubuti Ci-peng dan Ci-keng.
Melihat kawannya rada kerepotan, pelahan
Hoat-ong mendekati mereka, ketika pedang Ci-keng menusuk dada Nimo Singh dan
orang Keling ini menangkisnya dengan tongkat, namun pedang Ci-peng sekaligus
juga mengancam iga kanan Singh yang tak terjaga, kalau tidak ingin tertembus
perutnya terpaksa Nimo Singh harus melompat ke samping.
Ketika Hoat-ong melangkah tiba, kebetulan
Nimo Singh melompat ke atas, maka tangan kiri Hoat-ong lantas digunakan
mendukung bokong Nimo Singh dan memondongnya, sedang tangan kanan memegangi
lengannya.
Saat itu tongkatnya masih menempel pedang
Ci-keng, ketika Hoat-ong menyalurkan tenaga dalamnya melalui tongkat Nimo
Singh, seketika Ci-keng merasa tangan kanan tergetar dan dada terasa sesak.
“trang”, pedang terpaksa dilepaskan dan jatuh ke lantai.
Meski tenaganya belum cukup kuat, namun
perubahan serangan Nimo Singh sangat cepat begitu pedang Ci-keng jatuh, segera
ia memutar tongkatnya dan menempel pula pedang Ci-peng. Ketika Hoat-ong menyalurkan
lagi tenaga dalamnya, sekuatnya Ci-peng juga melawan tenaga dalam, akan tetapi
cara menguasai tenaga dalam Kim-lun Hoat-ongmemang luar biasa bisa keras bisa
lunak, “krek”, tahu-tahu
pedang Ci-peng juga patah, yang
terpegang-olehnya hanya setengah potong pedang saja.
Dengan pelahan Hoat-ong menurunkan Nimo
Singh, begitu kedua tangannya meraih, tahu-tahu pundak kedua Tosu sudah
terpegang olehnya, katanya dengan tertawa: “Kita belum pernah kenal, kenapa
saling labrak? Kepadaian kalian boleh dikatakan Jagopedang kelas satu di sini,
Bagaimana kalau duduk dulu dan marilah omong2.”
Cara memegang Hoat-ong itu biasa saja, tapi
ternyata sukar dielakkan Ci-peng berdua, mereka merasa ditindih oleh tenaga
maha kuat cepat mereka mengerahkan tenaga dalam untuk melawan dan tidak berani
menjawab.
Sementara itu pasukan Mongol yang menerjang
masuk itu telah mengepung semua orang, perwira yang memimpin adalah seorang
Cian-hu-tiang komandan seribu orang, dia kenal Kim-Iun Hoat-ong sebagai Koksu
atau Imam Negara yang sangat dihormati pangeran Kubilai, cepat ia mendekati dan
memberi hormat sambil menyapa: “Koksuya, kedua Tosu ini mencuri kuda perang dan
memukul anggota tentara kita, harap Koksuya suka…” sampai di sinj, tiba-tiba ia
mengamat-amati In Ci-peng, lalu berkata mendadak: “Hei, bukankah engkau ini In
Ci-peng, In-totiang?”
Ci-peng mengangguk dan tidak menjawab, ia
merasa tidak kenal perwira Mongol yang menegurnya ini.
Pegangan Hoat-ong lantas dikendurkan,
diam-diam iapun mengakui Lwekang kedua Tosu itu ternyata cukup hebat meski usia
mereka rata2 baru 40-an.
Perwira Mongol itu lantas berkata pula dengan
tertawa: “Apakah In-totiang sudah pangling padaku? 19 tahun yang lalu kita
pernah berkumpul di gurun pasir sana dan makan panggang kambing, masakah sudah
lupa, Namaku Sato!”
Setelah mengamati dan mengingat sejenak,
Ci-peng menjadi girang dan berseru: “Aha, betul, betul! sekarang kau berewok
lebat sehingga aku pangling padamu.”
“Selama ini kami terus berjuang kian kemari
sehingga rambut dan jenggot juga putih semua, tapi wajah Totiang ternyata tidak
banyak berubah,” ujar Sato dengan tertawa, “Pantas Jengis Khan Agung kami
mengatakan kaum beragama seperti kalian ini hidup laksana malaikat dewata,”
Lalu ia berpaling kepada Hoat-ong dan
menutur: “Koksuya, In-totiang ini dahulu pernah berkunjung ke negeri kami atas
undangan Jengis Khan Agung kita, kalau dibicarakan kita adalah orang sendiri”
Hoat-ong manggut-manggut, lalu melepaskan
pundak Ci-peng berdua.
Supaya diketahui, dahulu waktu Jengis Khan
mulai jaya, dia pernah mengundang kaum Tosu dari Coan-cinkau ke Mongol agar
mengajarkan ilmu panjang umur kepadanya.
Untuk itu Khu Ju-ki telah berangkat ke sana
dengan membawa 18 anak muridnya, In Ci-peng adalah murid tertua dengan
sendirinya ia ikut serta.
Untuk mereka, Jengis Khan telah mengutus 200
perajurit sebagai pengawal rombongan Khu Ju-ki itu, tatkala mana Sato cuma
seorang perajurit biasa saja dan termasuk dalam pasukan pengawal itu, sebab
itulah dia kenal In Ci-peng.
Selama 20 tahun Sato terus naik pangkat
hingga menjadi Cian-hu-tiang dan secara kebetulan bertemu kembali dengan
Ci-peng, tentu saja ia sangat gembira, segera ia suruh menyediakan makanan
untuk menghormati Ci-peng, urusan kuda dan memukuli perajurit Mongol dengan
sendirinya tak diusut pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar