Senin, 26 November 2012

SIn Tiauw Hiap Lu 90



Kembalinya Pendekar Rajawali 90

Karena sudah kepepet, tiada jalan lain terpaksa Yo Ko angkat pedangnya untuk menangkis. “Prak” batang pedang itu terpatuk dengan tepat, Yo Ko merasa tangannya tergetar dan pedang seakan-akan terlepas dari cekalan.
Dilihatnya pula burung raja wali itu pentang sayap kanan lagi terus menyabet dari samping.
Keruaa Yo Ko terkejut, cepat ia melompat ke atas dan melayang lewat di atas kepala rajawali itu, setiba di bagian
dalam panggung batu, kuatir burung itu menyusu ikan serangan lagi, segera ia memutar pedangnya ke belakang, “brek”, dengan tepat pedang beradu pula dengan paruh rajawali.
Yo Ko berkeringat dingin karena sempat lolos dari bahaya, cepat ia berseru: “He, Tiau-heng jangan kau anggap aku seperti Tokko-tayhiap!”
Rajawali sakti itu berkaok dua kali dan tidak menyerang pula, sebaliknya Yo Ko lantas teringat kepada cara menyerang rajawali itu tadi, burung raksasa itu pernah mendampingi Tokko Kiu-pay, besar kemungkinan ketika Tokko Ktu-pay hidup terpencil di pegunungan ini, di waktu latihan rajawali inilah yang dianggap sebagai lawannya.
Kini Tokko Kiu-pay sudah meninggal, ilmu silatnya yang maha sakti itu sudah punah, tapi dari burung ini bisa jadi akan dapat ditemukan bekas-bekas kesaktian tokoh angkatan lalu itu.
Berpikir demikian, ia menjadi girang dan segera, berseru: “Tiau-heng, awas seranganku ini!” Begitulah ia lantas mendahului menyerang malah ke dada rajawali itu, Sudah tentu burung itu tidak tinggal diam, sayapnya terus balas menyabet.
Sehari penuh Yo Ko terus berkutak-kutik dengan rajawali sakti itu di atas panggung batu, tenaga rajawali itu sungguh sangat kuat, sekali sayapnya menyabet, seketika berjangkit angin keras laksana tenaga pukulan beberapa tokoh terkemuka sekaligus.
Dalam keadaan demikian segala ilmu pedang yang pernah dipelajari Yo Ko sama sekali tak dapat dikeluarkan, terpaksa ia hanya bertahan dan menghindar secara gesit, kalau balas menyerang juga menusuk secara begitu2 saja tanpa sesuatu perubahan.
Sampai hari sudah gelap, keduanya lantas pulang ke gua.
sepanjang hari Yo Ko bertempur, mestinya dia merasa lelah, tapi aneh, sedikitpun dia tidak merasakannya, sebaliknya terasa lebih segar daripada biasanya, ia pikir mungkin berkat khasiat buah merah itu. Esok paginya waktu dia bangun, rajawali sakti itu sudah membawakan pula beberapa biji buah merah, segera Yo Ko memakannya, habis itu ia duduk semadi mengatur pernapasan, terasa semuanya lancar dan tenaga penuh.
Girang sekali anak muda itu, cepat ia melompat bangun dan membawa pedang berat itu ke panggung batu itu untuk berlatih pula dengan si rajawali.
Kalau kemarin terasa sukar memanjat ke atas panggung itu, sekarang dia membawa pedang seberat berpuluh kati malah dengan enteng saja dapat naik kesitu, tahulah dia seharian kemarin tenaganya telah banyak lebih kuat, maka dalam latihannya dengan rajawali itu sekarang menjadi lebih tangkas.
Begitulah dia terus berlatih beberapa hari ber turut-urut, pedang yang tadinya terasa berat itu sekarang sudah mirip senjata biasa saja, setiap gerak serangannya dapat dilakukan sesuka hatinya. Dasarnya memang pintar, beberapa bulan yang lalu iapun sudah menciptakan aliran ilmu silatnya sendiri, sekarang tenaganya berlipat ganda, setiap hari dia berlatih dengan rajawali itu dengan menggunakan pedang yang berat, maka semakin dirasakan ilmu pedang yang dipelajarinya dahulu terlalu banyak variasinya, terlalu banyak perubahannya, sekarang dirasakannya setiap jurus serangannya yang tampaknya begitu2 saja tanpa kembangan justeru lebih sukar ditangkis oleh pihak lawan.
Misalnya pedangnya menusuk lurus ke depan, asalkan tenaganya maha kuat, maka daya tekanannya menjadi jauh lebih besar daripada ilmu pedang Coan-cin-pay atau Ko-bong-pay yang banyak variasinya itu. Meski sekarang dia Cuma menggunakan tangan kiri saja, tapi setiap hari dia makan buah merah yang dibawa si rajawali, maka tanpa terasa tenaga dalamnya bertambah lipat ganda, hanya beberapa hari saja dia sudah sanggup melawan tenaga sakti si rajawali yang luar biasa dahsyatnya itu.
Setelah ilmu silatnya mencapai tingkatan ini, maka dia seperti berada tinggi di puncak gunung memandang bukit-bukit kecil di bawahnya, kini dia merasakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dahulu seakan2 sama sekali tiada artinya lagi.
“Pagi hari ini cuaca mendung, air hujan seperti dituang dan langit Yo Ko coba bertanya si rajawali: “Tiau-heng, hujan sehebat ini, apa kita masih harus berlatih?”
Rajawah itu menggigit ujung bajunya dan diseretnya berjalan ke arah timur laut, sesudah itu terus mendahului melangkah ke sana dengan cepat.
Yo Ko menjadi heran apakah di arah sana ada sesuatu benda aneh lagi? Dengan membawa pedang berat itu ia lantas mengikutinya di bawah hujan deras.
Beberapa li sudah mereka tempuh, terdengar suara gemuruh yang keras, jelas itu suara gemuruhnya air bah.
 Setelah membelok ke suatu selat gunung, suara gemuruh air semakin memekak telinga, Terhhat diantara dua puncak gunung mengalir air terjun laksana naga putih raksasa, air terjun itu menggerujuk masuk ke sebuah sungai kecil dibawahnya, di antara air itu terselip pula tangkai kayu dan batu yang ikut terjun ke sungai dan lenyap terbawa arus dalam waktu sekejap saja.
Sementara itu hujan semakin lebat pakaian Yo Ko sudah basah kuyup, melihat air bah yang semakin gemuruh itu, diam-diam anak muda itu rada jeri.
Rajawali itu menarik baju Yo Ko lagi dan mengajaknya ketepi sungai kecil itu, melihat gelagatnya, burung itu seperti menyuruhnya turun ke sungai.
“Untuk apa turun ke situ?” ujar Yo Ko dengan heran. “Air bah begini dahsyat, bisa terhanyut.”
Tiba-tiba rajawali itu berbunyi satu kali dengan menegakkan lehernya, lalu dia terjun ke tengah sungai, kedua kakinya tepat berdiri di atas sepotong batu karang yang berada di tengah sungai, ketika sayap kirinya menyampuk kedepan, kontan sebuah batu besar yang terhanyut air bah dari hulu itu ter-tolak ke atas. Waktu batu itu menerjang tiba lagi terbawa arus, kembali rajawali menyabet dengan sayapnya dan batu itu tertolak balik pula.
Begitulah terjadi beberapa kali, batu itu tetap tidak dapat lewat di samping si rajawali. Ketika untuk sekali lagi batu itu terhanyut tiba, mendadak rajawali itu menghantam sekuatnya dengan sayap, batu itu terus mencelat dan jatuh di tepi sungai. Habis itu si rajawali lantas melompat kembali ke samping Yo Ko.
Sekarang Yo Ko dapat menangkap maksud si rajawali, ia tahu mendiang Tokko Kiu pay pasti sering berlatih pedang ditengah air bah ini setiap hari hujan. Akan tetapi ia sendiri tidak mempunyai kemampuan sehebat ini, maka tidak berani mencobanya.
Selagi sangsi, mendadak si rajawali mengebas pantat Yo Ko dengan sayapnya, karena keduanya berdiri sangat dekat, pula tidak terduga, tanpa ampun tubuh Yo Ko terus mencelat ke tengah sungai, Karena sudah telanjur, terpaksa Yo Ko mengincar baik-baik dan tancapkan kakinya di atas batu karang tempat berdiri si rajawali tadi, Begitu kedua kakinya tergenang air, segera ia diterjang air bah hingga sempoyongan dan serasa mau terhanyut.
Tiba-tiba terpikir oleh Yo Ko: “Tokko-locianpwe itu adalah manusia, akupun manusia, kalau dia sanggup berdiri di sini, mengapa aku tidak?”
Karena dorongan semangat ini, sekuatnya ia melawan terjangan air bah, tapi untuk menggunakan pedang buat menyingkirkan batu yang terbawa arus benar-benar ia tidak mampu.
Cukup lama Yo Ko bertahan di tengah damparan air bah yang kuat hingga tenaganya terasa mulai lemas, segera ia gunakan pedangnya untuk menahan di batu karang itu terus melompat ke tepi sungai.
Belum sempat ia mengaso, tahu-tahu sayap si rajawali telah menyabet pantatnya lagi. Sekali ini Yo Ko sudah waspada, maka sabetan itu tidak kena, namun terpaksa ia harus melompat sendiri ke dalam sungai.
Diam-diam ia mengakui rajawali itu benar-benar merupakan “guru yang keras dan sahabat yang baik”, ia pikir kalau dia mau mendesak aku giat berlatih tanpa kendur sedikitpun, masakah aku malah tidak mempunyai hasrat ingin maju dan mengabaikan maksud baiknya?
Segera ia perkuat tenaga kakinya dan berdiri tegak, makin lama semakin disadarinya cara menggunakan tenaganya, meski air bah juga semakin deras hingga batas pinggangnya mulai tergenang, tapi dia malah tambah kuat dan tidak goyah lagi.
Selang tak lama, air bah semakin membanjir dan mulai menggenang sampai di dadanya, lalu naik lagi dekat muIutnya, Bisa-bisa mati tenggelam kalau berdirinya tidak kukuh, Karena pikiran itu, segera Yo Ko melompat ke tepi sungai.
Tak terduga si rajawali yang berjaga di tepi sungai sudah bersiap juga, begitu melihat Yo Ko melompat naik, sebelum kakinya menyentuh tanah, cepat sayapnya menyabet, terpaksa Yo Ko menahannya dengan pedang dan dengan sendirinya pula ia terdorong lagi ke dalam sungai, “plung”, ia kecebur pula ke dalam amukan air bah.
Baru saja kakinya menginjak batu karang di dalam sungai tadi, terasa air sudah menggenangi kepalanya dan airpun masuk mulutnya, Kalau dia menyemburkan air dan mengerahkan tenaga, tentu tenaga kakinya akan berkurang dan bisa terhanyut oleh arus yang deras itu. Cepat ia berdiri sekuatnya dengan menahan napas, selang sejenak, ia menutulkan kedua kakinya dan meloncat ke atas, ia semburkan air yang sudah ditahannya sekian lama itu, kemudian dia turun lagi ke bawah, sekali ini ia dapat berdiri dengan kukuh di dalam air dan membiarkan dirinya diamuk oleh air bah yang dahsyat itu.
Sesudah pikirannya tenang, ia pikir kalau pedang tidak kugunakan mencungkil batu, tentu akan dipandang hina oleh si rajawali, Dasar watak Yo Ko memang suka unggul, biarpun terhadap seekor burung juga dia tidak mau kehilangan muka, segera ia bersiap, begitu melihat di antara air bah itu ada batang kayu atau batu gunung, segera ia menjungkitnya atau menyampuknya dengan pedang ke bagian hulu.
Di dalam air dengan sendirinya batupun berubah enteng, pedang pantul itupun jauh lebih enteng karena tersanggah oleh tekanan air sehingga Yo Ko dapat memainkannya dengan leluasa. Begitulah ia terus menyampuk dan menghantam, ia terus berlatih hingga otot lemas, dan tenaga habis, kakipun terasa lunglai, dengan begitulah baru ia melompat ke atas tepi sungai.
Ia kuatir si rajawali akan mendorongnya ke dalam air lagi, padahal dia sudah lemas betul-betul, kalau tidak mengaso dulu tentu tidak sanggup menahan damparen air bah yang dahsyat itu. Benar saja, rajawali itu tidak membolehkan dia naik, begitu melihat dia melompat keluar dari air, seketika sayapnya menyabetnya.
“Tiau heng, caramu ini bisa bikin mati aku!” seru Yo Ko dan terpaksa menceburkan diri ke dalam sungai lagi, ia berdiri lagi sejenak dan sungguh-sungguh terasa tidak tahan, tiada jalan lain kecuali melompat lagi ke atas.
Di lihatnya si rajawali menyabetkan sayapnya lagi, karena kepepet, terpaksa Yo Ko balas menusuk dengan pedangnya, setelah tiga gebrakan rajawali itu ternyata dapat didesaknya mundur setindak.
“Maaf, Tiau-heng!” seru Yo Ko sambil menusukkan pedangnya pula. Terdengar suara mendesing ujung pedangnya, ternyata daya serangannya sudah jauh berbeda daripada biasanya, Malahan rajawali itupun tidak berani menangkis lagi, begitu mendekat tusukan Yo Ko itu, cepat burung itu melompat mundur.
Tahulah Yo Ko bahwa selama setengah harian berlatih ditengah damparan air bah itu, kini tenaga tangan kirinya sudah tambah kuat, keruan ia kejut2 girang, ia merasa untuk menumbuhkan tenaganya itu seharusnya diperlukan waktu sepuluh atau dua puluh hari, ternyata cuma digembleng setengah hari di dalam air sudah maju sepesat ini, ia pikir buah merah yang dibawakan si rajawali setiap hari itu pasti berkhasiat memupuk tenaga dan mengikatkan otot sehingga tanpa terasa tenaga dalamnya telah tambah sehebat ini.
Begitulah setelah duduk istirahat sejenak di tepi sungai dan terasa tenaga segera pulih, kini tanpa dipaksa si rajawali lagi segera ia melompat ke dalam sungai untuk berlatih pula.
Ketika kemudian dia melompat kembali ke atas sungai rajawali itu sudah tidak nampak di situ dan entah ke mana perginya, sementara hujan sudah mulai mereda, ia pikir air bah tak lama lagi pasti juga akan menyurut, kalau datang lagi besok belum tentu tenaga air akan sekuat ini, mumpung sekarang tidak terasa telah, ada baiknya kulatih lebih lama lagi Karena pikiran ini, segera ia melompat pula ke dalam sungai untuk berlatih Iagi.
Waktu untuk keempat kalinya dia melompat kembali ke tepi sungai, dilihatnya di situ tertaruh beberapa buah merah, sungguh ia sangat berterima kasih atas kebaikan rajawali itu. sekaligus ia lantas habiskan buah2 itu, lalu berlatih pedang pula ke tengah sungai.
Ia terus berlatih hingga jauh malam, aneh juga bukannya tambah capek, sebaliknya semakin bersemangat dan semakin kuat, namun air bah sudah mulai surut.
Semalaman ia tidak tidur, ia terus merenungkan hasil latihannya di dalam sungai itu, sekarang baru di pahaminya betapa cara memainkan pedangnya dengan berbagai gaya dan gerakan di dalam air, dengan cara begini ia memainkan pedangnya maka benda apapun juga pasti akan dihancurkannya, dan jika sudah begitu, lalu apa gunanya pedang yang tajam.
BegituIah dari amukan air bah itu Yo Ko telah berhasil menyelami teori ilmu pedangnya, ia tahu cara bagaimana memainkan pedang puntul yang berat itu kini sudah dikuasainya benar-benar dan tidak perlu dilatih lagi, ia pikir biarpun Tokko Kiu-pay itu hidup kembali, yang dapat diajarkan padanya paling-paling juga cuma begini saja.
Tiba-tiba terpikir olehnya apa gunanya dengan ilmu pedang yang telah dipahaminya kalau saja dia tetap tinggal di pegunungan sunyi ini? Kalau racun bunga cinta mendadak kumat dan membinasakannya, bukankah ilmu pedang maha sakti ini akan lenyap pula dari dunia ini? Teringat begini seketika terbangkit jiwa kesatriaannya.
“Tidak, aku harus juga meniru Tokko-locianpwe, harus kugunakan ilmu pedang ini untuk mengalahkan semua jago silat di dunia ini, dengan begitu barulah aku rela meninggalkan dunia fana ini,” demikian ia menggumam sendiri.
Tanpa terasa ia meraba lengan kanan sendiri yang buntung itu. teringat dendamnya kepada Kwe Hu, tanpa terasa darahnya bergolak, pikirnya: “Budak ini mengira ayah-ibunya berpengaruh dan di segani, sejak dulu juga sudah memandang hina padaku, Waktu aku mondok di rumahnya dahulu sudah kenyang aku di hina dan dianiaya, Bahwa aku berdusta pada kedua saudara Bu sesungguhnya demi kebaikannya, kalau saja salah seorang kedua Bu itu mati karena memperebutkan dia, bukankah dia sendiri yang berdosa? Hm, dia mengutungi lenganku ini selagi aku sakit dan takbisa mengelakkannya, kalau tidak kubalas sakit hati ini aku bukan lagi laki-laki sejati.”
Selamanya Yo Ko paling tegas membedakan budi dan sakit hati, waktu lengannya dibuntungi tempo hari dia terus sembunyi di lembah sunyi ini untuk merawat lukanya, hal ini karena terpaksa.
Sekarang luka lengan sudah sembuh, ilmu silatnya berbalik maju pesat, maka segenap pikirannya sekarang terpusat pada soal menuntut balas.
Begitulah setelah ambil keputusan, segera ia pulang ke gua itu dan mohon diri kepada si rajawali dan menyatakan terima kasihnya atas kebaikan burung itu, bila ada kesempatan ia menyatakan kelak akan datang lagi, mengenai pedang puntul yang berat milik Tokko Kiu-pay itu akan dipinjamnya untuk sementara.
Habis itu ia memberi hormat kepada rajawali itu serta menyembah di depan makam batu Tokko Kiu-pay, lalu melangkah pergi. Rajawali itu mengantarkan hingga mulut lembah barulah berpisah dengan perasaan berat.
 Pedang puntul itu sangat berat, kalau digantungkan pada pinggang tentu tali pinggang akan putus seketika, Yo Ko mencari tiga utas rotan tua dan dipuntir menjadi tali, ia ikat pedang itu dan digendongnya di punggung, lalu pergilah dia ke Siangyang dengan Ginkangnya yang tinggi.
Setiba di luar kota Siangyang, hari dekat magrib, karena semalaman tidak tidur, ia merasa perlu istirahat dulu untuk menghadapi pertempuran dahsyat nanti terutama kalau kepergok tokoh-tokoh semacam Kwe Ceng dan Oey Yong.
Segera ia mencari suatu tempat sepi di tanah pekuburan, disemak-semak rumput yang lebat ia merebahkan diri untuk tidur.
Waktu ia bangun, ia merasa tenaga cukup segar ia mencari pula buah2an pula sekedar isi perut, menjelang tengah malam barulah dia mendekati benteng kota.
Benteng kota Siangyang itu sangat megah dan tinggi, tempo hari waktu Kim-Iun Hoat-ong dan Li Bok-chiu melompat turun juga perlu menggunakan tubuh manusia sebagai batu loncatan, sekarang hendak memanjat ke atas dari luar benteng tentu juga perbuatan yang tidak mudah.
Waktu masih mengaso di tanah pekuburan tadi Yo Ko sudah memikirkan cara melintasi benteng kota, ia pikir cara bagaimana Tokko-locianpwe memanjat dinding tebing, dengan cara itu pula aku akan memanjati benteng kota.
Begitulah ia coba mendekati bagian yang sunyi di samping pintu gerbang timur, dilihatnya perajurit penjaga sedang berjalan jauh ke sana, segera ia melompat ke atas, dengan pedang berat itu ia menusuk dinding benteng.
 Meski ujung pedang itu puntul, tapi tusukannya sangat kuat, terdengailah suara “brak” yang keras, dinding benteng yang tersusun dari batu-batu besar itu pecah seketika dan berlubang.
Yo Ko tidak menduga tusukannya itu membawa tenaga sekuat itu, diam-diam ia terkejut sendiri dan bergirang pula, Waktu ia melompat lagi,ke atas untuk kedua kalinya, sebelah kakinya lantas berpijak pada lubang dinding benteng itu lalu ia membuat lubang lagi di bagian atas, sekali ini dia menusuk dengan pelahan saja agar tidak mengeluarkan suara keras dan mengejutkan penjaga.
Dengan begitulah setindak demi setindak ia memanjat ke atas benteng, Kira-kira beberapa meter terakhir, tanpa membuat lubang lagi ia terus merambat ke atas dengan “Pia-hou-yu-jiang-kang” atau ilmu cecak merayap dinding, maka dengan enteng saja ia sudah berada di atas benteng dan sembunyi di tempat yang gelap.
Di bagian dalam benteng itu ada undak-undakan batu, ia menunggu penjaga berjalan lagi ke sana, cepat ia menyelinap ke bawah dan berlari ke tempat tinggal Kwe Ceng.
Sejak makan buah2an merah itu, tenaga dalam Yo Ko telah banyak bertambah, sekaligus gerak-geriknya juga lebih lincah dan gesit, ginkangnya jauh lebih maju daripada dulu.
Tapi diapun tahu ilmu silat Kwe Ceng bukan sembarangan melulu Hang-liong-sip-pat-ciang (pukulan sakti penakluk naga) saja mungkin tiada tandingannya di seluruh jagat, belum lagi ketambahan Pak-kau-pang-hoat Oey Yong yang hebat itu.
Sebab itulah dia tidak berani sembrono setiba di luar rumah kediaman keluarga Kwe, perlahan-lahan dan hati-hati ia melintasi pagar tembok.
Dia cukup lama tinggal di situ, maka seluk-beluk rumah itu sangat apal baginya, begitu mengitari taman bunga, segera tertampaklah kamar yang pernah ditinggalinya tempo hari.
Sesudah dekat ia coba pasang kuping, terasa tiada seorangpun di dalam, pelahan ia menolak pintu dan segera terbuka, segera ia melangkah ke dalam kamar.
Dia dapat memandang di malam gelap seperti di siang hari, maka dilihatnya segala sesuatu di dalam kamar itu masih tetap seperti dulu tanpa perubahan, hanya selimut bantal diatas ranjang sudah di singkirkan ia duduk di tepi ranjang, teringat lengan sendiri yang baik-baik itu justeru tertabas di tempat tidur itu, tanpa tertahan ia menjadi berduka dan gemas pula.
Yo Ko dilahirkan dengan tampang cakap, wataknya juga rada dugal dan sok romantis, meski cintanya kepada Siao-liong-Ii sangat mendalam dan tak tergoyahkan, namun banyak perempuan cantik lain juga sama jatuh cinta padanya, seperti Thia Eng, Liok Bu-siang, Wanyen Peng, Kongsun Lik-oh dan lain-lain semuanya kesemsem padanya baik secara samar-samar maupun berterus terang, sekarang dia meraba tangan sendiri yang sudah buntung itu, ia pikir kalau ketemu lagi dengan gadis2 jelita itu, dalam pandangan mereka sekarang dirinya pasti akan berubah menjadi manusia yang harus dikasihani dan lucu, biarpun tinggi ilmu silatnya, paling-paling juga cuma makhluk hidup yang aneh saja.
Begitulah dalam kegelapan ia duduk termenung pikirannya timbul tenggelam mengenangkan kejadian-kejadian di masa lampau.
Pada saat itulah tiba-tiba dari sebelah sana samar-samar ada suara orang bertengkar jelas itulah suaranya Kwe Ceng dan Oey Yong, Yo Ko menjadi heran dan ingin tahu apa yang sedang diributkan suami isteri itu.
Dengan pelahan ia merunduk ke kamar Kwe Ceng, dari luar jendela dapat didengarnya dengan jelas Oey Yong sedang berkata: “Sudah jelas mereka membawa anak Yang kita ke Coat-ceng-kok untuk menukar obat penawar racunnya, tapi kau masih terus bilang Yo Ko itu adalah anak baik. Belum ada satu jam orok itu lahir lantas jatuh di tangan mereka, saat ini masakah jiwanya masih hidup?” Sampai disini, suaranya terdengar tersendat2 dan menangis.
“Ko-ji pasti bukan manusia begitu,” terdengar Kwe Ceng menjawab “Pula dia telah menyelamatkan kita beberapa kali, andaikan kita gunakan anak Yang untuk menukar jiwanya juga rela dan ikhlas bagiku.”
“Kau rela, aku yang tidak rela ” belum habis ucapan Oey Yong, tiba-tiba terdengar suara tangisan anak bayi, suaranya keras dan nyaring.
Yo Ko menjadi heran apakah bayi perempuan itu telah direbutnya kembali dari tangan Li Bok-caju, tapi mengapa barusan Oey Yong menyangsikan jiwa bayi itu apakah masih hidup?
Ia coba mengintip ke dalam kamar melalui celah-celah jendela, terlihat Oey Yong memondong seorang bayi, karena muka anak bayi itu menghadap jendela, maka Yo Ko dapat melihat jelas bayi itu bermuka lebar dan bertelinga besar, kulit rada ke-hitam-hitaman, jelas bukan bayi perempuan yang pernah digendongnya itu.
Dalam pada itu terdengar Oey Yong sedang menina bobokkan bayi itu, lalu berkata “Sepasang anak sebaik ini, sekarang cuma tinggal adiknya saja, hendaklah kau lekas berusaha menemukan kakaknya kembali.”
Baru sekarang Yo Ko menyadari duduknya perkara, kiranya Oey Yong melahirkan anak kembar, bayi yang lahir lebih dulu adalah perempuan yang sebelumnya sudah disediakan nama oleh Kwe Ceng, yaitu Kwe Yang, kemudian menyusul lahir pula bayi lelaki yang diberi nama Kwe Be-loh. Ketika bayi lelaki ini lahir, sementara itu bayi perempuan sudah dibawa pergi oleh Siao-liong-ii.
Begitulah Kwe Ceng sedang mondar mandir di dalam kamar dan berkata kepada sang isteri: “Yong-ji, biasanya kau sangat bijaksana mengapa sekarang kau menjadi berpikiran sesempit ini mengenai urusan kanak-2 suasana sekarang sangat genting, mana boleh kutinggalkan kota ini hanya karena seorang bayi?”
“Tapi kuhendak pergi mencari sendiri, kaupun tidak mengidzinkan!” ujar Oey Yong, “Apakah kita harus membiarkan jiwa anak kita itu melayang begitu saja?”
“Kesehatanmu belum pulih, mana boleh pergi?” kata Kwe Cing.
“Habis bagaimana? Sang ayah tidak pedulikan anaknya, ibunya yang harus menderita, apa boleh buat?” seru Oey Yong dengan gusar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar