Kembalinya Pendekar Rajawali 90
Karena sudah kepepet, tiada jalan lain
terpaksa Yo Ko angkat pedangnya untuk menangkis. “Prak” batang pedang itu
terpatuk dengan tepat, Yo Ko merasa tangannya tergetar dan pedang seakan-akan terlepas
dari cekalan.
Dilihatnya pula burung raja wali itu pentang
sayap kanan lagi terus menyabet dari samping.
Keruaa Yo Ko terkejut, cepat ia melompat ke
atas dan melayang lewat di atas kepala rajawali itu, setiba di bagian
dalam panggung batu, kuatir burung itu
menyusu ikan serangan lagi, segera ia memutar pedangnya ke belakang, “brek”,
dengan tepat pedang beradu pula dengan paruh rajawali.
Yo Ko berkeringat dingin karena sempat lolos
dari bahaya, cepat ia berseru: “He, Tiau-heng jangan kau anggap aku seperti
Tokko-tayhiap!”
Rajawali sakti itu berkaok dua kali dan tidak
menyerang pula, sebaliknya Yo Ko lantas teringat kepada cara menyerang rajawali
itu tadi, burung raksasa itu pernah mendampingi Tokko Kiu-pay, besar
kemungkinan ketika Tokko Ktu-pay hidup terpencil di pegunungan ini, di waktu
latihan rajawali inilah yang dianggap sebagai lawannya.
Kini Tokko Kiu-pay sudah meninggal, ilmu
silatnya yang maha sakti itu sudah punah, tapi dari burung ini bisa jadi akan
dapat ditemukan bekas-bekas kesaktian tokoh angkatan lalu itu.
Berpikir demikian, ia menjadi girang dan
segera, berseru: “Tiau-heng, awas seranganku ini!” Begitulah ia lantas
mendahului menyerang malah ke dada rajawali itu, Sudah tentu burung itu tidak
tinggal diam, sayapnya terus balas menyabet.
Sehari penuh Yo Ko terus berkutak-kutik
dengan rajawali sakti itu di atas panggung batu, tenaga rajawali itu sungguh
sangat kuat, sekali sayapnya menyabet, seketika berjangkit angin keras laksana
tenaga pukulan beberapa tokoh terkemuka sekaligus.
Dalam keadaan demikian segala ilmu pedang
yang pernah dipelajari Yo Ko sama sekali tak dapat dikeluarkan, terpaksa ia
hanya bertahan dan menghindar secara gesit, kalau balas menyerang juga menusuk
secara begitu2 saja tanpa sesuatu perubahan.
Sampai hari sudah gelap, keduanya lantas
pulang ke gua.
sepanjang hari Yo Ko bertempur, mestinya dia
merasa lelah, tapi aneh, sedikitpun dia tidak merasakannya, sebaliknya terasa
lebih segar daripada biasanya, ia pikir mungkin berkat khasiat buah merah itu.
Esok paginya waktu dia bangun, rajawali sakti itu sudah membawakan pula
beberapa biji buah merah, segera Yo Ko memakannya, habis itu ia duduk semadi
mengatur pernapasan, terasa semuanya lancar dan tenaga penuh.
Girang sekali anak muda itu, cepat ia
melompat bangun dan membawa pedang berat itu ke panggung batu itu untuk
berlatih pula dengan si rajawali.
Kalau kemarin terasa sukar memanjat ke atas
panggung itu, sekarang dia membawa pedang seberat berpuluh kati malah dengan
enteng saja dapat naik kesitu, tahulah dia seharian kemarin tenaganya telah
banyak lebih kuat, maka dalam latihannya dengan rajawali itu sekarang menjadi
lebih tangkas.
Begitulah dia terus berlatih beberapa hari
ber turut-urut, pedang yang tadinya terasa berat itu sekarang sudah mirip
senjata biasa saja, setiap gerak serangannya dapat dilakukan sesuka hatinya.
Dasarnya memang pintar, beberapa bulan yang lalu iapun sudah menciptakan aliran
ilmu silatnya sendiri, sekarang tenaganya berlipat ganda, setiap hari dia
berlatih dengan rajawali itu dengan menggunakan pedang yang berat, maka semakin
dirasakan ilmu pedang yang dipelajarinya dahulu terlalu banyak variasinya,
terlalu banyak perubahannya, sekarang dirasakannya setiap jurus serangannya
yang tampaknya begitu2 saja tanpa kembangan justeru lebih sukar ditangkis oleh
pihak lawan.
Misalnya pedangnya menusuk lurus ke depan,
asalkan tenaganya maha kuat, maka daya tekanannya menjadi jauh lebih besar
daripada ilmu pedang Coan-cin-pay atau Ko-bong-pay yang banyak variasinya itu.
Meski sekarang dia Cuma menggunakan tangan kiri saja, tapi setiap hari dia
makan buah merah yang dibawa si rajawali, maka tanpa terasa tenaga dalamnya
bertambah lipat ganda, hanya beberapa hari saja dia sudah sanggup melawan
tenaga sakti si rajawali yang luar biasa dahsyatnya itu.
Setelah ilmu silatnya mencapai tingkatan ini,
maka dia seperti berada tinggi di puncak gunung memandang bukit-bukit kecil di
bawahnya, kini dia merasakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dahulu
seakan2 sama sekali tiada artinya lagi.
“Pagi hari ini cuaca mendung, air hujan
seperti dituang dan langit Yo Ko coba bertanya si rajawali: “Tiau-heng, hujan
sehebat ini, apa kita masih harus berlatih?”
Rajawah itu menggigit ujung bajunya dan
diseretnya berjalan ke arah timur laut, sesudah itu terus mendahului melangkah
ke sana dengan cepat.
Yo Ko menjadi heran apakah di arah sana ada
sesuatu benda aneh lagi? Dengan membawa pedang berat itu ia lantas mengikutinya
di bawah hujan deras.
Beberapa li sudah mereka tempuh, terdengar
suara gemuruh yang keras, jelas itu suara gemuruhnya air bah.
Setelah membelok ke suatu selat gunung,
suara gemuruh air semakin memekak telinga, Terhhat diantara dua puncak gunung
mengalir air terjun laksana naga putih raksasa, air terjun itu menggerujuk
masuk ke sebuah sungai kecil dibawahnya, di antara air itu terselip pula
tangkai kayu dan batu yang ikut terjun ke sungai dan lenyap terbawa arus dalam
waktu sekejap saja.
Sementara itu hujan semakin lebat pakaian Yo
Ko sudah basah kuyup, melihat air bah yang semakin gemuruh itu, diam-diam anak
muda itu rada jeri.
Rajawali itu menarik baju Yo Ko lagi dan
mengajaknya ketepi sungai kecil itu, melihat gelagatnya, burung itu seperti
menyuruhnya turun ke sungai.
“Untuk apa turun ke situ?” ujar Yo Ko dengan
heran. “Air bah begini dahsyat, bisa terhanyut.”
Tiba-tiba rajawali itu berbunyi satu kali
dengan menegakkan lehernya, lalu dia terjun ke tengah sungai, kedua kakinya
tepat berdiri di atas sepotong batu karang yang berada di tengah sungai, ketika
sayap kirinya menyampuk kedepan, kontan sebuah batu besar yang terhanyut air
bah dari hulu itu ter-tolak ke atas. Waktu batu itu menerjang tiba lagi terbawa
arus, kembali rajawali menyabet dengan sayapnya dan batu itu tertolak balik
pula.
Begitulah terjadi beberapa kali, batu itu
tetap tidak dapat lewat di samping si rajawali. Ketika untuk sekali lagi batu
itu terhanyut tiba, mendadak rajawali itu menghantam sekuatnya dengan sayap,
batu itu terus mencelat dan jatuh di tepi sungai. Habis itu si rajawali lantas
melompat kembali ke samping Yo Ko.
Sekarang Yo Ko dapat menangkap maksud si
rajawali, ia tahu mendiang Tokko Kiu pay pasti sering berlatih pedang ditengah
air bah ini setiap hari hujan. Akan tetapi ia sendiri tidak mempunyai kemampuan
sehebat ini, maka tidak berani mencobanya.
Selagi sangsi, mendadak si rajawali mengebas
pantat Yo Ko dengan sayapnya, karena keduanya berdiri sangat dekat, pula tidak
terduga, tanpa ampun tubuh Yo Ko terus mencelat ke tengah sungai, Karena sudah
telanjur, terpaksa Yo Ko mengincar baik-baik dan tancapkan kakinya di atas batu
karang tempat berdiri si rajawali tadi, Begitu kedua kakinya tergenang air,
segera ia diterjang air bah hingga sempoyongan dan serasa mau terhanyut.
Tiba-tiba terpikir oleh Yo Ko:
“Tokko-locianpwe itu adalah manusia, akupun manusia, kalau dia sanggup berdiri
di sini, mengapa aku tidak?”
Karena dorongan semangat ini, sekuatnya ia
melawan terjangan air bah, tapi untuk menggunakan pedang buat menyingkirkan
batu yang terbawa arus benar-benar ia tidak mampu.
Cukup lama Yo Ko bertahan di tengah damparan
air bah yang kuat hingga tenaganya terasa mulai lemas, segera ia gunakan
pedangnya untuk menahan di batu karang itu terus melompat ke tepi sungai.
Belum sempat ia mengaso, tahu-tahu sayap si
rajawali telah menyabet pantatnya lagi. Sekali ini Yo Ko sudah waspada, maka
sabetan itu tidak kena, namun terpaksa ia harus melompat sendiri ke dalam
sungai.
Diam-diam ia mengakui rajawali itu
benar-benar merupakan “guru yang keras dan sahabat yang baik”, ia pikir kalau
dia mau mendesak aku giat berlatih tanpa kendur sedikitpun, masakah aku malah
tidak mempunyai hasrat ingin maju dan mengabaikan maksud baiknya?
Segera ia perkuat tenaga kakinya dan berdiri
tegak, makin lama semakin disadarinya cara menggunakan tenaganya, meski air bah
juga semakin deras hingga batas pinggangnya mulai tergenang, tapi dia malah
tambah kuat dan tidak goyah lagi.
Selang tak lama, air bah semakin membanjir
dan mulai menggenang sampai di dadanya, lalu naik lagi dekat muIutnya,
Bisa-bisa mati tenggelam kalau berdirinya tidak kukuh, Karena pikiran itu,
segera Yo Ko melompat ke tepi sungai.
Tak terduga si rajawali yang berjaga di tepi
sungai sudah bersiap juga, begitu melihat Yo Ko melompat naik, sebelum kakinya
menyentuh tanah, cepat sayapnya menyabet, terpaksa Yo Ko menahannya dengan
pedang dan dengan sendirinya pula ia terdorong lagi ke dalam sungai, “plung”,
ia kecebur pula ke dalam amukan air bah.
Baru saja kakinya menginjak batu karang di
dalam sungai tadi, terasa air sudah menggenangi kepalanya dan airpun masuk
mulutnya, Kalau dia menyemburkan air dan mengerahkan tenaga, tentu tenaga
kakinya akan berkurang dan bisa terhanyut oleh arus yang deras itu. Cepat ia
berdiri sekuatnya dengan menahan napas, selang sejenak, ia menutulkan kedua
kakinya dan meloncat ke atas, ia semburkan air yang sudah ditahannya sekian
lama itu, kemudian dia turun lagi ke bawah, sekali ini ia dapat berdiri dengan
kukuh di dalam air dan membiarkan dirinya diamuk oleh air bah yang dahsyat itu.
Sesudah pikirannya tenang, ia pikir kalau
pedang tidak kugunakan mencungkil batu, tentu akan dipandang hina oleh si
rajawali, Dasar watak Yo Ko memang suka unggul, biarpun terhadap seekor burung
juga dia tidak mau kehilangan muka, segera ia bersiap, begitu melihat di antara
air bah itu ada batang kayu atau batu gunung, segera ia menjungkitnya atau
menyampuknya dengan pedang ke bagian hulu.
Di dalam air dengan sendirinya batupun
berubah enteng, pedang pantul itupun jauh lebih enteng karena tersanggah oleh
tekanan air sehingga Yo Ko dapat memainkannya dengan leluasa. Begitulah ia
terus menyampuk dan menghantam, ia terus berlatih hingga otot lemas, dan tenaga
habis, kakipun terasa lunglai, dengan begitulah baru ia melompat ke atas tepi
sungai.
Ia kuatir si rajawali akan mendorongnya ke
dalam air lagi, padahal dia sudah lemas betul-betul, kalau tidak mengaso dulu
tentu tidak sanggup menahan damparen air bah yang dahsyat itu. Benar saja,
rajawali itu tidak membolehkan dia naik, begitu melihat dia melompat keluar
dari air, seketika sayapnya menyabetnya.
“Tiau heng, caramu ini bisa bikin mati aku!”
seru Yo Ko dan terpaksa menceburkan diri ke dalam sungai lagi, ia berdiri lagi
sejenak dan sungguh-sungguh terasa tidak tahan, tiada jalan lain kecuali
melompat lagi ke atas.
Di lihatnya si rajawali menyabetkan sayapnya
lagi, karena kepepet, terpaksa Yo Ko balas menusuk dengan pedangnya, setelah
tiga gebrakan rajawali itu ternyata dapat didesaknya mundur setindak.
“Maaf, Tiau-heng!” seru Yo Ko sambil
menusukkan pedangnya pula. Terdengar suara mendesing ujung pedangnya, ternyata
daya serangannya sudah jauh berbeda daripada biasanya, Malahan rajawali itupun
tidak berani menangkis lagi, begitu mendekat tusukan Yo Ko itu, cepat burung
itu melompat mundur.
Tahulah Yo Ko bahwa selama setengah harian
berlatih ditengah damparan air bah itu, kini tenaga tangan kirinya sudah tambah
kuat, keruan ia kejut2 girang, ia merasa untuk menumbuhkan tenaganya itu
seharusnya diperlukan waktu sepuluh atau dua puluh hari, ternyata cuma
digembleng setengah hari di dalam air sudah maju sepesat ini, ia pikir buah
merah yang dibawakan si rajawali setiap hari itu pasti berkhasiat memupuk
tenaga dan mengikatkan otot sehingga tanpa terasa tenaga dalamnya telah tambah
sehebat ini.
Begitulah setelah duduk istirahat sejenak di
tepi sungai dan terasa tenaga segera pulih, kini tanpa dipaksa si rajawali lagi
segera ia melompat ke dalam sungai untuk berlatih pula.
Ketika kemudian dia melompat kembali ke atas
sungai rajawali itu sudah tidak nampak di situ dan entah ke mana perginya,
sementara hujan sudah mulai mereda, ia pikir air bah tak lama lagi pasti juga
akan menyurut, kalau datang lagi besok belum tentu tenaga air akan sekuat ini,
mumpung sekarang tidak terasa telah, ada baiknya kulatih lebih lama lagi Karena
pikiran ini, segera ia melompat pula ke dalam sungai untuk berlatih Iagi.
Waktu untuk keempat kalinya dia melompat
kembali ke tepi sungai, dilihatnya di situ tertaruh beberapa buah merah,
sungguh ia sangat berterima kasih atas kebaikan rajawali itu. sekaligus ia
lantas habiskan buah2 itu, lalu berlatih pedang pula ke tengah sungai.
Ia terus berlatih hingga jauh malam, aneh
juga bukannya tambah capek, sebaliknya semakin bersemangat dan semakin kuat,
namun air bah sudah mulai surut.
Semalaman ia tidak tidur, ia terus
merenungkan hasil latihannya di dalam sungai itu, sekarang baru di pahaminya
betapa cara memainkan pedangnya dengan berbagai gaya dan gerakan di dalam air,
dengan cara begini ia memainkan pedangnya maka benda apapun juga pasti akan
dihancurkannya, dan jika sudah begitu, lalu apa gunanya pedang yang tajam.
BegituIah dari amukan air bah itu Yo Ko telah
berhasil menyelami teori ilmu pedangnya, ia tahu cara bagaimana memainkan
pedang puntul yang berat itu kini sudah dikuasainya benar-benar dan tidak perlu
dilatih lagi, ia pikir biarpun Tokko Kiu-pay itu hidup kembali, yang dapat
diajarkan padanya paling-paling juga cuma begini saja.
Tiba-tiba terpikir olehnya apa gunanya dengan
ilmu pedang yang telah dipahaminya kalau saja dia tetap tinggal di pegunungan
sunyi ini? Kalau racun bunga cinta mendadak kumat dan membinasakannya, bukankah
ilmu pedang maha sakti ini akan lenyap pula dari dunia ini? Teringat begini
seketika terbangkit jiwa kesatriaannya.
“Tidak, aku harus juga meniru
Tokko-locianpwe, harus kugunakan ilmu pedang ini untuk mengalahkan semua jago
silat di dunia ini, dengan begitu barulah aku rela meninggalkan dunia fana
ini,” demikian ia menggumam sendiri.
Tanpa terasa ia meraba lengan kanan sendiri
yang buntung itu. teringat dendamnya kepada Kwe Hu, tanpa terasa darahnya
bergolak, pikirnya: “Budak ini mengira ayah-ibunya berpengaruh dan di segani,
sejak dulu juga sudah memandang hina padaku, Waktu aku mondok di rumahnya
dahulu sudah kenyang aku di hina dan dianiaya, Bahwa aku berdusta pada kedua
saudara Bu sesungguhnya demi kebaikannya, kalau saja salah seorang kedua Bu itu
mati karena memperebutkan dia, bukankah dia sendiri yang berdosa? Hm, dia
mengutungi lenganku ini selagi aku sakit dan takbisa mengelakkannya, kalau
tidak kubalas sakit hati ini aku bukan lagi laki-laki sejati.”
Selamanya Yo Ko paling tegas membedakan budi
dan sakit hati, waktu lengannya dibuntungi tempo hari dia terus sembunyi di
lembah sunyi ini untuk merawat lukanya, hal ini karena terpaksa.
Sekarang luka lengan sudah sembuh, ilmu
silatnya berbalik maju pesat, maka segenap pikirannya sekarang terpusat pada
soal menuntut balas.
Begitulah setelah ambil keputusan, segera ia
pulang ke gua itu dan mohon diri kepada si rajawali dan menyatakan terima
kasihnya atas kebaikan burung itu, bila ada kesempatan ia menyatakan kelak akan
datang lagi, mengenai pedang puntul yang berat milik Tokko Kiu-pay itu akan
dipinjamnya untuk sementara.
Habis itu ia memberi hormat kepada rajawali
itu serta menyembah di depan makam batu Tokko Kiu-pay, lalu melangkah pergi.
Rajawali itu mengantarkan hingga mulut lembah barulah berpisah dengan perasaan
berat.
Pedang puntul itu sangat berat, kalau
digantungkan pada pinggang tentu tali pinggang akan putus seketika, Yo Ko
mencari tiga utas rotan tua dan dipuntir menjadi tali, ia ikat pedang itu dan
digendongnya di punggung, lalu pergilah dia ke Siangyang dengan Ginkangnya yang
tinggi.
Setiba di luar kota Siangyang, hari dekat
magrib, karena semalaman tidak tidur, ia merasa perlu istirahat dulu untuk
menghadapi pertempuran dahsyat nanti terutama kalau kepergok tokoh-tokoh
semacam Kwe Ceng dan Oey Yong.
Segera ia mencari suatu tempat sepi di tanah
pekuburan, disemak-semak rumput yang lebat ia merebahkan diri untuk tidur.
Waktu ia bangun, ia merasa tenaga cukup segar
ia mencari pula buah2an pula sekedar isi perut, menjelang tengah malam barulah
dia mendekati benteng kota.
Benteng kota Siangyang itu sangat megah dan
tinggi, tempo hari waktu Kim-Iun Hoat-ong dan Li Bok-chiu melompat turun juga
perlu menggunakan tubuh manusia sebagai batu loncatan, sekarang hendak memanjat
ke atas dari luar benteng tentu juga perbuatan yang tidak mudah.
Waktu masih mengaso di tanah pekuburan tadi
Yo Ko sudah memikirkan cara melintasi benteng kota, ia pikir cara bagaimana
Tokko-locianpwe memanjat dinding tebing, dengan cara itu pula aku akan
memanjati benteng kota.
Begitulah ia coba mendekati bagian yang sunyi
di samping pintu gerbang timur, dilihatnya perajurit penjaga sedang berjalan
jauh ke sana, segera ia melompat ke atas, dengan pedang berat itu ia menusuk
dinding benteng.
Meski ujung pedang itu puntul, tapi
tusukannya sangat kuat, terdengailah suara “brak” yang keras, dinding benteng
yang tersusun dari batu-batu besar itu pecah seketika dan berlubang.
Yo Ko tidak menduga tusukannya itu membawa
tenaga sekuat itu, diam-diam ia terkejut sendiri dan bergirang pula, Waktu ia
melompat lagi,ke atas untuk kedua kalinya, sebelah kakinya lantas berpijak pada
lubang dinding benteng itu lalu ia membuat lubang lagi di bagian atas, sekali
ini dia menusuk dengan pelahan saja agar tidak mengeluarkan suara keras dan
mengejutkan penjaga.
Dengan begitulah setindak demi setindak ia
memanjat ke atas benteng, Kira-kira beberapa meter terakhir, tanpa membuat
lubang lagi ia terus merambat ke atas dengan “Pia-hou-yu-jiang-kang” atau ilmu
cecak merayap dinding, maka dengan enteng saja ia sudah berada di atas benteng
dan sembunyi di tempat yang gelap.
Di bagian dalam benteng itu ada undak-undakan
batu, ia menunggu penjaga berjalan lagi ke sana, cepat ia menyelinap ke bawah
dan berlari ke tempat tinggal Kwe Ceng.
Sejak makan buah2an merah itu, tenaga dalam
Yo Ko telah banyak bertambah, sekaligus gerak-geriknya juga lebih lincah dan
gesit, ginkangnya jauh lebih maju daripada dulu.
Tapi diapun tahu ilmu silat Kwe Ceng bukan
sembarangan melulu Hang-liong-sip-pat-ciang (pukulan sakti penakluk naga) saja
mungkin tiada tandingannya di seluruh jagat, belum lagi ketambahan
Pak-kau-pang-hoat Oey Yong yang hebat itu.
Sebab itulah dia tidak berani sembrono setiba
di luar rumah kediaman keluarga Kwe, perlahan-lahan dan hati-hati ia melintasi
pagar tembok.
Dia cukup lama tinggal di situ, maka
seluk-beluk rumah itu sangat apal baginya, begitu mengitari taman bunga, segera
tertampaklah kamar yang pernah ditinggalinya tempo hari.
Sesudah dekat ia coba pasang kuping, terasa
tiada seorangpun di dalam, pelahan ia menolak pintu dan segera terbuka, segera
ia melangkah ke dalam kamar.
Dia dapat memandang di malam gelap seperti di
siang hari, maka dilihatnya segala sesuatu di dalam kamar itu masih tetap
seperti dulu tanpa perubahan, hanya selimut bantal diatas ranjang sudah di
singkirkan ia duduk di tepi ranjang, teringat lengan sendiri yang baik-baik itu
justeru tertabas di tempat tidur itu, tanpa tertahan ia menjadi berduka dan
gemas pula.
Yo Ko dilahirkan dengan tampang cakap,
wataknya juga rada dugal dan sok romantis, meski cintanya kepada Siao-liong-Ii
sangat mendalam dan tak tergoyahkan, namun banyak perempuan cantik lain juga
sama jatuh cinta padanya, seperti Thia Eng, Liok Bu-siang, Wanyen Peng, Kongsun
Lik-oh dan lain-lain semuanya kesemsem padanya baik secara samar-samar maupun
berterus terang, sekarang dia meraba tangan sendiri yang sudah buntung itu, ia
pikir kalau ketemu lagi dengan gadis2 jelita itu, dalam pandangan mereka
sekarang dirinya pasti akan berubah menjadi manusia yang harus dikasihani dan
lucu, biarpun tinggi ilmu silatnya, paling-paling juga cuma makhluk hidup yang
aneh saja.
Begitulah dalam kegelapan ia duduk termenung
pikirannya timbul tenggelam mengenangkan kejadian-kejadian di masa lampau.
Pada saat itulah tiba-tiba dari sebelah sana
samar-samar ada suara orang bertengkar jelas itulah suaranya Kwe Ceng dan Oey
Yong, Yo Ko menjadi heran dan ingin tahu apa yang sedang diributkan suami
isteri itu.
Dengan pelahan ia merunduk ke kamar Kwe Ceng,
dari luar jendela dapat didengarnya dengan jelas Oey Yong sedang berkata:
“Sudah jelas mereka membawa anak Yang kita ke Coat-ceng-kok untuk menukar obat
penawar racunnya, tapi kau masih terus bilang Yo Ko itu adalah anak baik. Belum
ada satu jam orok itu lahir lantas jatuh di tangan mereka, saat ini masakah
jiwanya masih hidup?” Sampai disini, suaranya terdengar tersendat2 dan
menangis.
“Ko-ji pasti bukan manusia begitu,” terdengar
Kwe Ceng menjawab “Pula dia telah menyelamatkan kita beberapa kali, andaikan
kita gunakan anak Yang untuk menukar jiwanya juga rela dan ikhlas bagiku.”
“Kau rela, aku yang tidak rela ” belum habis
ucapan Oey Yong, tiba-tiba terdengar suara tangisan anak bayi, suaranya keras
dan nyaring.
Yo Ko menjadi heran apakah bayi perempuan itu
telah direbutnya kembali dari tangan Li Bok-caju, tapi mengapa barusan Oey Yong
menyangsikan jiwa bayi itu apakah masih hidup?
Ia coba mengintip ke dalam kamar melalui
celah-celah jendela, terlihat Oey Yong memondong seorang bayi, karena muka anak
bayi itu menghadap jendela, maka Yo Ko dapat melihat jelas bayi itu bermuka
lebar dan bertelinga besar, kulit rada ke-hitam-hitaman, jelas bukan bayi
perempuan yang pernah digendongnya itu.
Dalam pada itu terdengar Oey Yong sedang
menina bobokkan bayi itu, lalu berkata “Sepasang anak sebaik ini, sekarang cuma
tinggal adiknya saja, hendaklah kau lekas berusaha menemukan kakaknya kembali.”
Baru sekarang Yo Ko menyadari duduknya
perkara, kiranya Oey Yong melahirkan anak kembar, bayi yang lahir lebih dulu
adalah perempuan yang sebelumnya sudah disediakan nama oleh Kwe Ceng, yaitu Kwe
Yang, kemudian menyusul lahir pula bayi lelaki yang diberi nama Kwe Be-loh.
Ketika bayi lelaki ini lahir, sementara itu bayi perempuan sudah dibawa pergi
oleh Siao-liong-ii.
Begitulah Kwe Ceng sedang mondar mandir di
dalam kamar dan berkata kepada sang isteri: “Yong-ji, biasanya kau sangat
bijaksana mengapa sekarang kau menjadi berpikiran sesempit ini mengenai urusan
kanak-2 suasana sekarang sangat genting, mana boleh kutinggalkan kota ini hanya
karena seorang bayi?”
“Tapi kuhendak pergi mencari sendiri, kaupun
tidak mengidzinkan!” ujar Oey Yong, “Apakah kita harus membiarkan jiwa anak
kita itu melayang begitu saja?”
“Kesehatanmu belum pulih, mana boleh pergi?”
kata Kwe Cing.
“Habis bagaimana? Sang ayah tidak pedulikan
anaknya, ibunya yang harus menderita, apa boleh buat?” seru Oey Yong dengan
gusar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar