Kamis, 01 November 2012

Sia Tiauw Enghiong 65



Bab 65
“Eng Kouw, lebih dahulu aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih untuk pertolonganmu!” si nona lantas berkata.
Tapi si nyonya terus terang: “Aku memberi petunjuk kepadamu untuk kau datang berobat kemari, maksudku yang utama bukan untuk menolongi kau, hanya untuk mencelakai orang. Buat apa kau mengucap terima kasih padaku?”
Nona Oey menghela napas.
“Di dalam dunia ini, budi dan permusuhan sangat sukar dijelaskannya,” katanya.
“Ayahku di Tho Hoa To telah memenjarakan Loo Boan Tong Ciu Pek Thong limabelas  tahun lamanya sampai diakhirnya, dia tetap tidak sanggup menolongi jiwanya ibuku……”
Mendengar disebutnya nama Pek Thong, tubuh Eng Kouw bergidik.
“Ada apakah hubungannya di antara ibumu dan Ciu Peng Thong?” ia menanya bengis.
Oey Yong cerdik sekali. Segera ia menduga, Eng Kouw tentu mencurigai ada hubungan asmara di antara ibunya dan Loo Boan Tong. Nada suara nyonya ini tegas menyatakan itu. Tapi ini pun bukti bahwa setelah berselang belasan tahun, kui-hui ini masih tidak melupakan Pek Thong, bahkan dia menjadi jelus terhadap orang lain. Tapi orang menanyakan tentang ibunya. Ia lantas tunduk dan air matanya mengucur turun.
“Ibuku telah dibikin letih Ciu Pek Thong hingga ia meninggal dunia,” sahutnya.
Eng Kouw menjadi bertambah curiga. Ia mengawasi tajam nona di depannya, hingga ia melihat kulit muka orang yang putih dan halus, matanya yang indah dan alis bagus bagaikan dilukis. Ia merasa, meskipun dulu, semasa ia muda dan sedang cantiknya, tidak dapat ia melawan nona ini. Maka kalau dia ini sama dengan ibunya, sama cantiknya, siapa berani tanggung Ciu Pek Thong tidak jatuh hati terhadap ibu si nona ini? Maka ia mengerutkan alis.
Oey Yong berkata pula: “Jangan kau memikir yang tidak-tidak! Ibuku ada seorang bagaikan bidadari, sedang Ciu Pek Thong itu buruk bagaikan kerbau nakal! Kecuali orang yang ada matanya tanpa bijinya, tidak nanti ada yang menaruh hati pada si nakal itu!”
Eng Kouw tahu ia dimaki berdepan, tetapi toh kata-kata si nona melenyapkan kecurigaannya, maka berbareng dengan itu, lenyap juga kejelusannya. Tapi ia mempunyai tabiatnya sendiri, ia tetap berlaku dingin. Ia kata: “Karena ada orang yang mencintai Kwee Ceng yang tolol seperti babi, mesti ada orang yang mencintai juga orang yang buruk dan nakal seperti kerbau! Kenapa ibumu itu dibikin mati letih oleh Loo Boan Tong?”
“Kau mencaci sukoku, aku tidak suka bicara denganmu!” sahut Oey Yong, yang menunjuki tak senang hatinya. Ia lantas memutar tubuh, dengan lagaknya orang bergusar.
“Baiklah,” kata Eng Kouw cepat. “Lain kali aku tidak mengatakan dia lagi.”
Oey Yong menghentikan tindakannya, ia memutar tubuh.
“Loo Boan Tong juga bukannya sengaja membikin mati ibuku,” ia berkata, “Adalah ibuku yang tidak beruntung, yang telah meninggal dunia disebabkan gara-gara dia.
Karena murkanya di satu saat, ayahku telah mengurung dia di Tho Hoa To. Diakhirnya, sia-sia saja tidak ada hasilnya dan ayah menjadi menyesal karenanya. Ada dibilang, penasaran ada sebabnya, utang ada piutangnya. Ada sebabnya utang piutangnya.
Siapa membinasakan orang yang kau cintai, kau harus cari di ujung langit atau di pangkal laut, untuk membalaskan sakit hati, tetapi memindahkan hawa amarah kepada lain orang, apa perlunya itu?”
Mendengar itu Eng Kouw berdiri menjublak. Ia seperti merasa kepalanya dikemplang dengan tongkat.
 “Maka itu ayahku telah memerdekakan Loo Boan Tong……” Oey Yong berkata pula.
Eng Kouw terkejut.
“Jadi aku tidak perlu menolongi lagi padanya?” tanyanya. Agaknya dia lantas lega hatinya.
Semenjak meninggalkan Tali, Eng Kouw sudah lantas pergi mencari Ciu Pek Thong.
Untuk beberapa tahun, sia-sia belaka usahanya itu. Kemudian dari mulutnya Hek Hong Siang Sat, dengan tidak disengaja, ia mendengar halnya Pek Thong dikurung Oey Yok Su di Tho Hoa To, tentang sebabnya, ia tidak berhasil memperoleh keterangan. Ia girang berbareng berduka mendapat kabar halnya Pek Thong itu. Ia girang sebab ia sekarang ketahui di mana adanya si kekasih, hanya ia berduka sebab sulit untuk pergi menemui dan menolongi dia itu. Ia pernah mencoba memasuki Tho Hoa To. Di situ, jangan kata menolongi orang, ia sendiri bersengsara tiga hari tiga malam, hampir ia mati kelaparan. Setelah lolos dari Tho Hoa To, barulah ia berdiam di rawa lumpur hitamnya itu, untuk meyakinkan ilmu gaib, maksudnya supaya dapat memasuki Tho Hoa To itu.
Sekarang, mendapat tahu Pek Thong sudah bebas, rupa-rupa perasaan memenuhkan otaknya.
“Loo Boan Tong paling mendengar kata terhadapku,” kata pula Oey Yong, sekarang sambil tertawa manis. “Apa juga yang aku bilang, belum pernah dia berani bantah.
Jikalau kau ingin menemui dia, mari ikut aku turun gunung, aku nanti menolongi kamu merangkap jodoh. Dengan begitu juga aku jadi bisa membalas budimu sudah menolongi aku.”
Perkataan itu membikin muka Eng Kouw menjadi merah dan hatinya berdebaran.
Oey Yong mengawasi nyonya itu, hatinya lega. Ia percaya yang ia bakal berhasil membujuki si nyonya, hingga bahaya menjadi lenyap untuk It Teng Taysu. Tengah ia mengharapi jawaban orang, tiba-tiba ia melihat nyonya itu menepuk tangan keras, lantas romannya berubah menjadi bengis dan dia berkata dengan bengis: “Eh, budak masih berambut kuning, dapatkah kau membikin dia mendengar kata terhadapmu?
Apakah yang kau andalkan? Apakah kecantikanmu! Hm! Aku tidak melepas budi padamu, aku tidak mengharapi pembalasan budimu itu! Sekarang lekas kau membuka jalan, jangan kau ayal-ayalan! Jangan kau nanti mengatakan aku tidak mengenal kasihan!”
Oey Yong tidak takut, dia bahkan tertawa.
“Ah, ah! Kau hendak membunuh aku?” tanyanya.
“Kalau membunuh kau, boleh jadi apa?” kata Eng Kouw dingin. “Lain orang jeri terhadap Oey Lao Shia, aku tidak! Aku tidak takut bumi atau langit!”
Oey Yong terus tertawa.
“Tidak apa kau membunuh aku!” katanya. “Habis siapa nanti menolongi kau memecahkan teka-tekiku baru-baru ini?”
Eng Kouw lantas diingati teka-teki si nona. Memang semenjak kepergiannya Oey Yong, tidak berhasil ia memecahkan teka-teki itu, sia-sia belaka ia menghitungnya.
Untuk dapat menolongi Ciu Pek Thong, ia mengasah otak, ia bekerja keras memikirkan, sampai ada kalanya ia lupa dahar dan lupa tidur. Sekarang, mendengar suara si nona, timbullah kesangsiannya.
“Kau jangan bunuh aku, nanti aku mengajari kau,” kata Oey Yong. Ia lantas mengambil pelita di depan patung, ia pindahkan itu ke lantai. Ia juga mengambil sebatang jarum emas, dengan itu ia mencoret-coret di atas batu.
Eng Kouw menjadi ketarik, tanpa merasa ia mengawasi. Ia menjadi kagum sekali untuk kepintaran si nona.
“Tapi, apa perlunya, dia melayani aku bicara secara begini?” kemudian ia pikir.
“Apakah dia bukannya hendak mengulur tempo?”
Diam-diam ia memandang ke pedalaman. Ia menduga mestinya It Teng Taysu berdiam di ruang belakang. Tentu sekali ia tidak sudi diakali satu bocah. Maka itu tanpa berkata apa-apa, ia bertindak ke dalam. Ketika ia sudah melewati hud-tian, ia melihat sinar api yang guram. Ia menjadi jeri. Tidakkah ia bersendirian saja?
“Toan Tie Hin!” ia lantas memanggil, suaranya keras. “Sebenarnya kau mau menemui aku atau tidak? Kenapa kau menyembunyikan diri di tempat yang gelap?
Adakah perbuatanmu perbuatan satu laki-laki?”
Oey Yong mengikuti itu nyonya. Mendengar suara orang, ia tertawa dan berkata:
“Eng Kouw, apakah kau mencela tempat ini kurang penerangannya? It Teng Supee justru takut lampu terlalu banyak hingga kalau dipasang semuanya kau nanti menjadi kaget. Ia justru menitahkan api dipadamkan……”
“Hm!” si nyonya menyahuti. “Akulah manusia yang ditakdirkan mesti mampus masuk ke neraka, mustahil aku takut segala gunung golok dan kuali minyak?”
Si nona bertepuk tangan.
“Bagus sekali!” ia berseru. “Aku justru hendak main-main di gunung golok denganmu!”
Ia lantas menyalakan api dan menyulut ke lantai.
Eng Kouw terkejut. Di sisi kaki si nona ada minyaknya. Ia mengawasi tajam. Ia bukan melihat pelita hanya satu cangkir teh yang isi minyaknya setengah, yang direndamkan sumbu. Di samping itu ada nancap sebatang bambu kecil yang diraut tajam, panjangnya kira satu kaki. Tanpa henti-henti, si nona bertindak, saban bertindak, ia menyulut, dan di samping setiap cangkir, ada bambu lancip yang serupa. Ketika telah selesai si nona menyulut, Eng Kouw menghitung, jumlahnya seratus tigabelas batang juga. Ia heran.
“Kalau dibilang inilah panggung Bwee-hoa-chung,” ia pikir, “Pelatuknya mesti tujuhpuluh dua atau seratus delapan. Tapi ini seratus tigabelas. Apakah artinya ini? Ini juga bukannya keletakan penjuru pat-kwa! Dengan ujung pelatuk begini tajam, di mana orang dapat menaruh kaki? Ah, dia tentulah memakai sepatu dasar besi……” Maka ia lantas memikir: “Dia sudah bersiap sedia, aku tentu kalah, maka baik aku berlagak pilon, aku terus melewati ini!”
Ia lantas bertindak. Tapi cangkir dan pelatuk dipasang rapat, sukar untuk berjalan, maka ia menendang roboh lima enam batang. Sembari berbuat begini, ia kata:
“Permainan setan apa ini? Nyonya besarmu tidak mempunyai kesempatan akan menemani kau main-main!”
“Eh, eh, jangan!” berteriak Oey Yong. “Jangan! Jangan!”
Eng Kouw tidak memperdulikan, ia menendang terus.
Si nona agaknya menjadi habis sabar.
“Baiklah!” dia mengancam. “Kau tidak mau pakai aturan, maka hendak aku memadamkan api! Hati-hatilah kau melihatnya, kau perhatikanlah kedudukannya setiap pelatuk bambu tajam itu!”
Eng Kouw kaget.
“Mereka di sini tentulah telah mengingat baik keletakan semua pelatuk bambu ini,” ia pikir, “Kalau mereka mengepung aku, bisa aku terbinasa di sini. Baiklah aku lekas mengangkat kaki!”
Karena memikir demikian, si nyonya mengempos semangatnya, untuk menendang dengan terlebih gencar lagi.
“Kau main gila! Kau tidak tahu malu!” berseru Oey Yong, yang terus berlompat maju, untuk menghalangi dengan tongkatnya, hingga diantara sinar api, cahaya hijau tongkat itu berkelebatan.
Eng Kouw tidak memandang mata kepada seorang bocah, segera ia menghajar dengan tangan kirinya, berniat membikin patah tongkat keramat itu, akan tetapi segera ia kecewa. Si nona mengasih lihat ilmu silat tongkat Tah Kauw Pang-hoat bagian “hong”
atau “menutup”. Dengan ini ia tidak menyerang, hanya ia memutar tongkatnya bagaikan tembok penghadang. Kalau lawan tidak maju, tongkat itu tidak berbahaya, tetapi asal lawan maju satu tingkat saja, ia bisa merasakan bagiannya.
Begitulah ketika satu kali Eng Kouw menyerang pula, mendadak ia merasakan tangannya sakit dan kaku. Ia berlaku sebat untuk menarik pulang tangannya itu tetapi tongkat mendahulukan menghajar belakang telapakan tangannya. Baru sekarang ia kaget berbareng gusar sekali, tetapi sebagai seorang yang dapat berpikir ia tidak menjadi kalap. Sebaliknya, ia menguasai diri ia menurut menutup diri, guna melihat dahulu ilmu silat nona itu.
“Dulu hari itu aku menyaksikan Hek Hong Siang Sat mereka memang lihay,” pikir bekas kui-hui ini. “Tetapi mereka itu tidak heran karena mereka berumur kira-kira  empatpuluh tahun. Kenapa sekarang ini bocah lihay sekali? Rupanya Oey Yok Su telah mewariskan ke pandaiannya kepada ini anak tunggalnya yang ia sangat saying……”
Tentu sekali bekas nyonya agung ini tidak tahu halnya ilmu silat kaum Kay Pang serta tongkat keramatnya itu. Kalau Oey Yong bersilat dengan Tah Kauw Pang-hoat meskipun Oey Yok Su sendiri, tidak nanti gampang-gampang ayah itu dapat merobohkannya.
Selagi orang menutup diri, Oey Yong juga tetap menutup dirinya, tetap ia menghadang, guna mencegah nyonya itu dapat nerobos ke perdalaman kuil. Di lain pihak setiap kali ia bertindak, berbareng ia menendang, ia membuatnya padam setiap pelita cangkir itu, untuk membikin mati semuanya seratus tigabelas buah. Ia menggunai ujung sepatunya, ia membikin tidak ada cangkir yang pecah ketendang, sedang muncratnya minyak pun sedikit. Dalam hal menendang ini, ia menggunai ilmu silat Tho Hoa To yang dinamakan “Tendangan Menyapu Daun”.
Eng Kouw berkelahi sambil memasang mata. Ia percaya si nona belum pulih kesehatannya, maka ia pikir, baiklah ia menyerang di bawah, supaya nona itu lekas letih, agar dalam tempo beberapa puluh jurus saja, ia akan sudah memperoleh kemenangan. Akan tetapi perkembangan terlebih jauh membuatnya ia berkhawatir.
Itulah sebab si nona terus main menendang api hingga padam.
Dengan cepat di tiga penjuru ruang sudah gelap, tinggal di ujung timur laut, hingga sinar api menjadi seperti berkelak-kelik. Ke arah ini si nona mendesak guna melangsungkan usahanya memadamkan semua itu.
“Inilah berbahaya,” Eng Kouw mengeluh. “Celaka kalau api padam semua. Mana bisa aku bertindak dengan leluasa? Di sembarang waktu aku bisa kena injak pelatuk bambu yang tajam ini……”
“Kau ingat baik-baik keletakkannya pelatuk bambu! Oey Yong mengasih dengar suaranya dalam kegelapan setelah api padam semua. “Mari kita bertarung selama tigapuluh jurus! Asal kau dapat tidak melukakan aku, aku akan memberi ijin kau masuk menemui It Teng Taysu!”
“Tetapi kau curang,” kata Eng Kouw. “Pelatuk ini dipasang olehmu sendiri, entah untuk beberapa hari dan beberapa malam kau telah melatih dirimu. Aku sendiri baru melihatnya sekejapan, mana bisa aku mengingat semua?”
Oey Yong biasa menang sendiri, ia percaya kepada kekuatan memikirkannya.
“Itulah tidak susah!” katanya tertawa. “Kau nyalakan pelita, kau boleh tancap pelatuk itu sesukamu, setelah rapi, api baru dipadamkan pula, habis itu baru kita bertempur lagi.”
Eng Kouw tahu, inilah bukan lagi mengadu ilmu ringan tubuh hanya mengadu otak, mengadu berpikir. Ia kata di dalam hatinya, si nona demikian licin, apa boleh dia melayaninya? Bukankah sakit hatinya belum terbalas? Tapi ia pun cerdik, ia lantas mendapat pikiran.
“Baiklah, aku si nyonya tua nanti menemani kau main-main!” katanya. Ia lantas mengeluarkan apinya ia menyulut semua pelita itu.
“Kenapa kau menyebutnya dirimu si nyonya tua?” berkata Oey Yong tertawa.
“Melihat romanmu yang cantik bagaikan kumala, kau lebih menang daripada nona-nona lainnya yang berumur enambelas tahun! Pantaslah dulu hari itu Toan Hongya menjadi tergila-gila kepadamu!”
Eng Kouw tengah menancapi pelatuk ketika ia mendengar perkataan si nona, ia menjadi melengak. Ia lantas tertawa dingin dan menyahuti: “Dia tergila-gila padaku?
Hm! Selama tiga tahun aku masuk ke dalam istananya berapa kalikah dia pernah memperhatikan aku?”
“Eh, heran!” berkata si nona, “Bukankah dia telah mengajari silat padamu?”
“Apakah mengajari silat berarti diperhatikan?”
“Aku mengerti sekarang! Toan Hongya hendak memahamkan ilmu Sian Thian Kang, It Yang Cie, dia jadi tidak terlalu rapat denganmu……”
“Hm! Kau tahu apa?” kata bekas kui-hui itu. “Kalau begitu, kenapa dia dapat juga putra mahkota?”
Oey Yong memiringkan kepalanya, nampaknya ia berpikir.
“Putra mahkota dilahirkan lebih dulu, ketika itu Toan Hongya belum mempelajari Sian Thian Kang,” katanya sesaat kemudian.
Eng Kouw mengasih dengar suara, “Hm!” lalu membungkam, terus ia mengatur pelatuk baru. Oey Yong sendiri diam-diam memperhatikan pengaturan itu, karena ia tahu, pertarungan yang bakal datang berarti bahaya untuk jiwanya.
“Toan Hongya tidak mau menolongi anakmu, itulah karena dia mencintai kau,” kata ia pula kemudian.
“Karena dia mencintai aku?” Eng Kouw tanya. Lagu suaranya menandakan ia mendongkol sekali, ia sangat membenci.
“Dia jelus terhadap Loo Boan Tong! Kalau dia tidak mencintai kau, kenapa dia jelus?”
Kembali Eng Kouw berdiam. Dulu-dulu ia tidak pernah ingat hal ini. Memang beralasan, karena cintanya, raja Tali itu menjadi jelus.
“Maka itu, turut penglihatanku, baiklah kau pulang saja,” kata lagi si nona.
“Kecuali kau mampu menghalangi aku!” bilang si nyonya dingin. Kembali hatinya panas.
“Baiklah!” berkata si nona. “Kalau kau tetap hendak mengadu kepandaian, suka aku menemani kau! Jikalau kau mampu nerobos, aku tidak akan menghalang-halangi lagi!
Bagaimana kalau kau tidak sanggup?”
 “Selanjutnya aku tidak akan mendaki pula gunung ini!” menyahut si nyonya. “Aku menghendaki kau menemani aku satu tahun, janji itu pun suka aku menghapuskannya!”
Oey Yong menepuk tangan.
“Bagus!” ia berseru. “Memang hebat untuk aku berdiam di rawa lumpur hitam selama satu tahun! Siapa sanggup?”
Selama itu, Eng Kouw telah menancap kira enampuluh batang. Mendadak ia memadamkan pelitanya.
“Yang lain-lainnya biarlah tetap sebagaimana adanya!” katanya. Mendadak saja ia menerjang si nona dengan lima jari tangannya terbuka.
Oey Yong melihat ia diserang secara demikian, ia berkelit. Ia lantas membalas menyerang, menekan ke pundak nyonya itu.
Eng Kouw tidak menangkis, ia bertindak maju terus, tindakannya lebar, saban-saban terdengar kakinya menginjak pelatuk, yang memperdengarkan suara, sebab semua pelatuk itu telah terpatahkan. Maka leluasa sekali dia bertindak terus.
Sekejab saja si nona sadar.
“Ha, aku terpedayakan!” katanya. “Teranglah tadi, selagi menukar pelatuk, dia mematahkan setiap pelatu itu……”
Tentu saja, ia menjadi menyesal sekali.
Eng Kouw segera sampai di belakang, terus ia menolak pintu, maka di dalam kamar ia melihat seorang pendeta lagi duduk bersila di tengah-tengah. Pendeta itu sudah tua, kumisnya yang ubanan dan panjang turun ke dadanya, sedang leher jubahnya sampai ke pipinya. Ia sedang bersemedhi. Di sampingnya, dia ditemani oleh keempat muridnya, beberapa pendeta tua lainnya serta beberapa kacung.
Kapan si pelajar melihat si nyonya datang, ia bertindak ke depan si pendeta tua sambil merangkap kedua tangannya. “Suhu, Lauw Nio-nio datang berkunjung!” memberi tahu.
Si pendeta tua mengangguk perlahan, ia tidak menyahuti.
Di dalam ruang itu cuma ada sebuah pelita, maka bisa dimengerti, di situ setiap muka orang tak nampak tegas.
Eng Kouw memang tahu Toan Hongya sudah mensucikan diri, hanya ia tidak menyangka, baru sepuhuh tahun tidak bertemu, kaisar yang begitu gagah dan pintar itu, sekarang telah menjadi pendeta begini tua dan lemah, ia pun lantas mengingat perkataannya Oey Yong tadi perihal pendeta tua ini. Tanpa merasa, hatinya menjadi lemah, hingga gagang goloknya tidak lagi dipegang erat-erat. Ketika ia mehihat ke bawah, ia mendapatkan oto sulamnya dilekati di depan pendeta itu, di atas oto itu ada gelang kumaha - itu gelang yang dulu hari Toan Hongya menghadiahkan dia.
Sekejap itu seperti terkilas segala apa, di depan matanya bagaikan berbayang saat ia baru masuk ke istana, belajar silat, bertemu sama Ciu Pek Thong hingga mereka memain api asmara, lalu ia melahirkan anak dan anaknya terbinasa. Yang hebat ketika ia ingat wajah anaknya yang menderita sakit karena lukanya yang hebat, bagaimana anak itu beroman minta ditolongi tetapi pertolongan gagal dan anak itu seperti menyesali ibunya……
Mendadak saja Eng Kouw menyerang kepada Toan Hongya, goloknya nancap di dada, melesak sampai sebatas gagangnya. Ia tahu kaisar itu lihay, ia mau percaya tikamannya tidak bakal lantas merampas jiwa, maka justru ia merasakan sesuatu yang aneh waktu goloknya menebas, ia lekas menarik pulang, guna mengulangi dengan tikaman yang kedua kali. Hanya di luar sangkaannya, goloknya itu seperti nancap keras.
Ketika itu si pelajar berempat menjerit, semua berlompat maju.
Sepuluh tahun lebih Eng Kouw telah mehatih diri, dan tikamannya ini ia mengulanginya entah berapa ribu, atau berapa puhuh ribu kali. Ia tahu, Toan Hongya mesti telah menjaga diri baik-baik, maka ia juga bersiap sempurna. Maka ketika ia akhirnya dapat mencabut goloknya dengan tangan kanan, tangan kirinya dipakai melindungi dirinya. Dengan sebat ia berlompat mundur ke pintu. Di sini ia masih sempat  menoheh ke belakang, dengan begitu ia bisa melihat Toan Hongya memegangi dadanya, rupanya dia merasakan kesakitan yang sangat. Karena ia telah membalas sakit hati, ia lantas ingat kebaikannya raja itu, ia lantas menghela napas, terus ia memutar tubuhnya, untuk ngeloyor pergi. Tapi ketika ia baru memutar tubuh, mendadak ia menjadi kaget sekali, sampai ia menjerit keras dan bulu romanya bangun berdiri. Di ambang pintu itu, ia melihat seorang pendeta lagi berdiri dengan kedua tangan dirangkap di depan dadanya. Kebetulan sekali, sinar api menuju ke mukanya pendeta itu, suatu muka yang penuh dengan sorot cinta kasih. Yang mengagetkan ialah si pendeta Toan Hongya adanya!
“Mungkinkah aku salah membunuh orang?” begitu berkelebat pikiran di otaknya.
Maka ia lantas menoleh pula ke belakang, kepada orang yang baru ia tikam.
Ketika itu terlihat si pendeta berbangkit berdiri perlahan-lahan, terus dia membuka jubah sucinya, sedang tangan kirinya meraba ke mukanya, untuk menarik terlepas kumis jenggotnya. Maka kagetlah ia. Si pendeta palsu itu ialah Kwee Ceng! Kembali ia mengeluarkan jeritan.
Pasti sekali Eng Kouw tidak tahu bahwa ia telah dipermainkan Oey Yong, yang telah mengatur tipu dayanya itu dengan bekerja sama si anak muda. Kwee Ceng menotok It Teng Taysu untuk dapat menggantikan dia. Kalau It Teng Taysu diajak berdamai dulu, mungkin dia menolak. Si pendeta India ditotok karena disangkanya lihay, tidak tahunya ia tidak punya guna. Selanjutnya nona Oey bersiap terlebih jauh. Selagi ia menungkuli Eng Kouw main pelita, Kwee Ceng dibantu si pelajar berempat pergi menyamarkan diri.
Sebab habis kecemplung di pengempang, anak muda ini tidak mengejar nyonya itu hanya pergi ke dalam untuk siap sedia. Untuk ini Kwee Ceng berkorban rambutnya, yang dicukur habis, sedang untuk kumis jenggotnya, dipakai kumisnya It Teng Taysu, kumis siapa pun dicukur. Sebenarnya keempat murid itu merasa tidak enak mempermainkan guru mereka, tetapi mengingat pengorbanan Kwee Ceng itu serta usahanya Oey Yong guna menolong guru mereka, terpaksa mereka menurut. Kalau lain  orang yang menyamar jadi It Teng, ada kemungkinan dia tertikam mati oleh Eng Kouw yang lihay itu. Sekalipun Kwee Ceng yang dapat menjepit goloknya si nyonya, saking hebatnya tikaman, ujung golok toh melukai juga kulit dan sedikit dagingnya, syukur tidak berbahaya. Kalau Kwee Ceng memakai baju lapisnya Oey Yong, ia bisa lobos dari ancaman bencana, tetapi baju itu tidak dipakai sebab dikhawatir si nyonya jadi curiga.
Selagi akal itu berjalan demikian baik, sekonyong-konyong It Teng Taysu muncul.
Inilah tidak cuma membikin kaget kepada Eng Kouw tetapi juga Oey Yong semua.
It Teng itu, meskipun ia terluka tenaga dalamnya, ilmu silatnya sendiri tidak lenyap semua, sedang Kwee Ceng, diwaktu menotok dia, sudah menotok di jalan darah yang tidak akan mengakibatkan kecelakaan. Ia telah dipernahkan di kamar sebelah. Di sini ia dengan perlahan-lahan menyalurkan tenaganya, ia berhasil membebaskan diri dari totokan, maka itu ia lantas keluar. Kebetulan sekali, ia berpapasan dengan Eng Kouw.
Mukanya nyonya itu menjadi sangat pucat saking kaget dan berkhawatir. Ia lantas merasa bahwa ia tidak bakal lolos lagi dari kepungan.
“Kembalikan goloknya kepadanya!” berkata It Teng pada Kwee Ceng.
Pemuda itu mendengar suara yang berpengaruh, tanpa bersangsi pula, ia melemparkan golok di tangannya kepada Eng Kouw.
Si nyonya menyambuti senjatanya itu, lalu ia mengawasi orang banyak terutama It Teng, untuk melihat apa akan orang perbuat atas dirinya. Ia menduga mungkin ia bakal disiksa……
It Teng membuka jubahnya dengan perlahan, terus ia membuka baju dalamnya.
“Jangan ganggu dia,” berkata ia, “Biarkan dia turun gunung dengan baik. Nah sekarang, kau tikamlah aku!” ia meneruskan kepada si selir. “Memang sudah lama aku menantikanmu!”
Suara itu perlahan dan sabar, tetapi mendengar itu, Eng Kouw merasa ia seperti mendengar guntur, hingga ia berdiri tercengang, golok terlepas jatuh sendirinya dari tangannya. Begitu ia sadar, ia menutupi mukanya, ia lari ke luar dari kuil. Mulanya masih terdengar tindakan kakinya, lalu itu lenyap.
Semua orang saling mengawasi, mereka pun tercengang semua berdiam. Hanya selang sesaat, di situ terdengar dua kali suara menggabruk, lalu terlihat si tukang pancing dan si petani roboh terguling. Karena mereka telah menjadi korban jarum beracun dari Eng Kouw. Tadinya mereka masih dapat bertahan, sekarang setelah mendapatkan guru mereka selamat, saking girang, habis tenaga perlawanannya, mereka roboh sendirinya.
Si pelajar kaget. “Lekas undang paman guru!” katanya.
Belum berhenti suara si pelajar ini, atau Oey Yong telah muncul bersama si pendeta India, maka pendeta itu lantas dapat bekerja menolongi dua keponakan murid itu, selain dikasih obat makan, jeriji tangan mereka pun dibelek, untuk mengeluarkan darahnya  yang sudah kecampuran racun. Habis bekerja, ia berkata-kata seorang bagaikan memuji.
Itulah kata-kata dalam bahasa Sansekerta. It Teng ketahui bahasa itu, ia lega hatinya. Sebab si sutee, adik seperguruan mengatakan lukanya dua orang itu tidak berbahaya untuk jiwanya, bahwa mereka harus beristirahat dua bulan nanti mereka sembuh betul.
Ketika itu Kwee Ceng sudah menukar pakaiannya dan lukanya pun telah dibalut, ia berlutut di depan It Teng untuk minta maaf.
It Teng mengangkat bangun tubuh pemuda itu.
“Kau berkorban untuk menolongi aku, akulah yang berhutang budi,” katanya. “Semua ini karena salahku.” Ia menoleh kepada si pendeta India, untuk menjelaskan pertolongan anak muda itu.
Pendeta itu kembali mengucapkan kata-kata dalam bahasa Sansekerta. Mendengar itu, Kwee Ceng heran.
“Aku kenal ini,” katanya, dan ia terus menghapal lanjutannya kata-kata itu, menurut ajarannya Ciu Pek Thong.
It Teng dan si pendeta India menjadi heran pemuda ini mengerti bahasa asing itu.
“Bagaimana ini?” menanya Toan Hongya pada anak muda itu.
Kwee Ceng jujur, ia lantas menutur kepada ia mengerti bahasa itu.
Mendengar keterangan itu, It Teng menghela napas.
“Tatmo Couwsu memang orang India, tetapi di waktu menulis Kiu Im Cin-Keng, ia memakai bahasa Tionghoa,” katanya, “Cuma di bagian-bagian pokok, ia tetap menggunai bahasa Sansekerta. Kitab itu memang sangat sukar dimengerti, sukar juga dihapalnya.”
Kemudian pendeta itu menitahkan keempat muridnya dan yang lain-lain keluar dari kamar, habis itu ia menjalin, ia memberi penjelasan pada Kwee Ceng dan Oey Yong tentang bunyi Kiu Im Cin-keng seperti dihapalkan Kwee Ceng barusan.
It Teng dapat memberi penjelasan sempurna, Oey Yong lantas mengerti, sedang Kwee Ceng si bebal, mengerti enam sampai tujuh bagian.
Kemudian berkatalah It Teng Taysu: “Aku telah terluka hebat, turut biasa, aku mesti beristirahat lima tahun, baru kesehatanku akan pulih, tetapi dengan memperoleh warisan Tatmo Couwsu ini, aku rasa tak usah sampai tiga bulan, aku akan sudah sembuh seanteronya.”
Kwee Ceng dan Oey Yong menjadi girang sekali.
Sejak ttu, muda mudi ini lantas berdiam di atas gunung, menemani It Teng Taysu. Si pendeta telah mewariskan kepandaiannya It Yang Cie, Sian Thian Kang dan penjelasan lebih jauh dari Kiu Im Cin-keng, sedang mereka berbareng menjagai pendeta ini lantaran dikhawatir Eng Kouw nanti berbalik pikiran dan datang pula untuk menuntut balas, selagi masih sakit, tentu It Teng tidak dapat membela dirinya.
Dihari kedelapan, selagi Oey Yong dan Kwee Ceng berlatih di luar kuil, mereka mendengar suara burung berbunyi di udara, suaranya nyaring tapi nadanya sedih, lalu segera terlihat burungnya mendatangi dari arah timur.
“Bagus, Kim-wawa sampai!” berseru si pemudi seraya bertepuk tangan.
Segera juga kedua burung rajawali sampai dan turun. romannya lesu.
Muda mudi ini heran, mereka lantas memeriksa. Di dada kiri rajawali betina ada nancap sebatang panah pendek, dan di kaki rajawali jantan ada sepotong juiran cita hijau. Kim-wawa sebaliknya tidak ada. Oey Yong mengenali, juiran itu ialah juiran baju ayahnya. Ia menjadi kaget. Pasti kedua burung itu telah sampai di Tho Hoa To. Mungkin Tho Hoa To kedatangan musuh tangguh maka ayahnya tidak sempat melayani ia dalam urusan ikan emas itu. Heran adalah terpanahnya burung itu. Musuh mestinya lihay.
Celakanya, kedua burung tidak dapat berbicara. Oleh karena berkhawatir Oey Yong lantas mengajak Kwee Ceng menemui Thian Tek, untuk berpamitan. Kepada pendeta itu dituturkan sebabnya niat kepergian mereka. It Teng tidak dapat menahan kedua tetamunya ini.
Si pengail dan petani lagi sakit, mereka rebah di pembaringan, maka itu si pelajar dan si tukang kayu yang mengantarkan turun gunung. Di kaki gunung si nona mendapatkan kuda dan burungnya. Di situ, kedua pihak berpamitan.
Perjalanan ini dilakukan Oey Yong dengan gembira. Ia tidak terlalu mengkhawatirkan ayahnya, yang ia tahu lihay dan pintar, umpama musuh tangguh sekali, pasti ayahnya itu dapat mempertahankan diri.
“Semenjak kita berkenalan, entah berapa banyak kali kita menghadapi ancaman bahaya,” katanya. “Dan selamanya, di dalam bahaya, kita memperoleh kebaikan.
Lihatlah kali ini. Aku terhajar Khiu Cian Jin, akhirnya aku memperoleh It Yang Cie dan Kiu Im Sin Kang.”
“Aku rela tidak mengerti ilmu silat asal kau selamat tidak kurang suatu apa,” kata Kwee Ceng.
Senang hatinya si nona, ia girang bukan main. Tapi ia tertawa dan kata: “Ah, ah, untuk mengambil-ambil hati, jangan kau omong enak saja! Tanpa mengerti ilmu silat, tentulah kau telah orang hajar mati! Jangan kata Auwyang Hong dan See Thong Thian semua, walaupun satu anggota saja dari Tiat Ciang Pang, dia bisa membacok kutung lehermu!”
“Biar bagaimana, aku tidak akan mengijinkan kau terluka lagi!” kata si anak muda.
“Kali ini lukamu hebat sekali, melihatnya saja hatiku tidak kuat…… Di Lim-an aku terluka, aku merasa tidak apa-apa.”
“Kalau begitu, kau tidak punya hati!” kata si nona tertawa.
Kwee Ceng heran. “Kenapa begitu?” ia tanya.
“Kau terluka, kau tidak merasa, tetapi bagaiman dengan aku?” kata si nona.
Si anak muda diam, lalu dia tertawa lama. Ia menjepi perut kuda, maka kudanya itu lantas kabur.
Tengah hari itu mereka tiba di kecamatan Tho-goan Oey Yong belum pulih kesehatannya, disebabkan menunggang kuda terlalu lama, ia merasa letih, kedua pipinya menjadi merah, napasnya pun kurang lurus jalannya, maka Kwee Ceng ajak ia mampir di rumah makan Pie Cin Lauw.
Sembari dahar Kwee Ceng minta pelayan tolong memanggili tukang perahu, yang perahunya hendak di sewa untuk menyeberang ke Hankauw.
“Kalau tuan menumpang, tuan bisa menghemat sewaan perahu,” kata pelayan itu.
“Kalau tuan memborong sendiri, sewanya mahal……”
Oey Yong tidak senang si pelayan banyak bicara. Ia mengasih lihat roman gusar, ia melemparkan uang perak lima tail.
“Cukup tidak?” ia tanya.
“Cukup, cukup!” kata si pelayan, yang lantas ngeloyor pergi.
Kwee Ceng tidak mau si nona minum arak ini, khawatir arak mengganggu kesehatannya, dari itu ia pun tidak minum.
Tengah mereka bersantap, pelayan kembali bersama seorang tukang perahu, katanya dia minta uang sewa empat tail enam chie, dapat nasi tanpa lauk pauk.
Oey Yong akur, tanpa banyak bicara, ia menyerahkan uang lima tail itu.
Tukang perahu itu menerima uang, ia memberi hormat sambil menunjuk mulutnya, suaranya tidak karuan. Ternyata dia gagu. Kedua tangannya lantas digunai sebagai gantinya.
Oey Yong mengerti pembicaraan dengan tangan itu, ia melayani, atas mana tukang perahu itu berlalu dengan kegirangan.
“Apa yang kamu bicarakan?” tanya Kwee Ceng.
“Kata dia, habis bersantap kita berangkat. Aku menyuruh dia membeli beberapa ekor ayam beberapa kati daging, uangnya sebentar kita ganti.”
Pemuda itu menghela napas.
“Kalau dia bertemu aku, tak tahu aku mesti bikin apa……” katanya. Kemudian ia ingat Ang Cit Kong. Inilah disebabkan hidangan lezat yang dimakannya itu. Ia kata:
“Entah suhu ada di mana dan bagaimana dengan lukanya……”
Selagi Oey Yong mau menyahuti, ia mendengar tindakan kaki di tangga lauwteng, lantas ia melihat naiknya dua too-kauw, ialah imam wanita. Mereka menutupi muka hingga tinggal matanya yang terlihat. Mereka mengambil meja di pojok, kepada pelayan, yang satunya bicara perlahan.
Oey Yong merasa ia seperti kenal dua imam itu tetapi ia tidak ingat betul.
Kwee Ceng melihat kawannya memperhatikan orang, ia menoleh, justru imam yang satu lagi mengawasi ia. Dia itu lantas melengos.
“Engko Ceng, imam itu tergerak hatinya!” kata Oey Yong perlahan sambil tertawa.
“Dia tentu mengatakan kau tampan sekali……”
“Hus, jangan ngaco!” kata si anak muda. “Mereka orang suci……”
Masih si nona tertawa. “Kalau kau tidak percaya, lihat saja nanti!” katanya.
Habis bersantap, mereka turun dari lauwteng. Si nona bercuriga, ia menoleh ke arah kedua too-kouw itu, kebetulan yang satu lagi menyingkap tutup mukanya, maka melihat muka orang, hampir ia berseru heran. Si too-kouw menggoyangi tangan, lekas-lekas dia menutup mukanya, untuk terus tunduk dan dahar.
Kejadian itu cepat sekali, Kwee Ceng tidak melihatnya.
Di pintu rumah makan, tukang perahu sudah menantikan. Oey Yong memberi tanda bahwa ia hendak belanja sebentaran. Tukang perahu itu mengangguk, ia menunjuk ke pinggir kali dimana ada perahunya. Si nona mengangguk, lantas ia berjalan terus bersama Kwee Ceng. Mereka melihat tukang perahu itu berdiri menantikan. Di sebuah jalan di sebelah timur, dari mana rumah makan tak nampak lagi, Oey Yong berhenti, matanya mengawasi ke rumah makan itu.
Tidak lama kedua too-kouw tadi nampak keluar. Mereka mengawasi kuda merah dan burung rajawali. Terang mereka lagi mencari orang. Setelah itu mereka bertindak ke barat.
“Mari,” berkata si nona, yang terus menarik ujung baju si pemuda.
Kwee Ceng heran tetapi ia ikut tanpa bicara.
Kota Tho-goan tidak besar, tak lama mereka sudah keluar dari pintu timur. Dari situ si nona menuju ke selatan, melewati pintu, lalu mengambil jurusan barat.
“Kita menguntit kedua too-kouw itu?” Kwee Ceng tanya akhirnya. “Ah, jangan kau main-main denganku!”
“Main-main apa?” berkata si nona tertawa. “Too-kouw demikian cantik, seperti bidadari! Menyesal kalau kau tidak mengikuti dia!”
Si anak muda menghentikan tindakannya.
“Yong-jie, kalau kau menyebut lagi, aku akan marah!” katanya.
“Ah, ah, aku tidak takut!” kata si nona. “Coba kau marah, aku lihat!”
Si pemuda kalah desak, ia lantas mengikuti pula. Kira lima enam lie, di sana terlihat kedua imam wanita duduk di bawah pohon kayu di tepi jalan. Ketika mereka menampak si muda-mudi, mereka berbangkit dan berjalan pergi ke jalan kecil yang menuju ke lembah.
Oey Yong menarik tangan pemudanya, untuk diajak pergi ke jalan kecil itu.
“Yong-jie!” kata si anak muda. “Kalau kau tetap bergurau, nanti aku pondong kau untuk dibawa balik!”
Si nona tidak memperdulikan.
“Aku letih, pergilah kau mengikuti sendiri!” katanya.
Pemuda itu lantas berjongkok. “Mari aku gendong kau!” katanya. Ia kata tidak ingin ia nanti terbit onar pula. Agaknya ia sangat memperhatikan si nona.
Oey Yong tertawa.
“Nanti aku singkap sapu tangan penutup mukanya untuk kau lihat!” katanya. Dan ia mempercepat tindakannya, menyusul ke dua too-kouw itu. Ia lari.
Kedua imam wanita itu berhenti jalan, bahkan mereka menantikan.
Begitu sampai, Oey Yong menubruk too-kouw yang lebih jangkung, tangannya membuka tutup muka orang.
“Yong-jie, jangan!” Kwee Ceng berseru selagi ia menyusul. Tapi sudah kasep. Ketika ia melihat muka si too-kouw, ia berdiri menjublak.
Too-kouw itu bermuka sedih, air matanya mengembang. Dialah Bok Liam Cu, si nona yang baru-baru ini mengikuti Yo Kang pergi ke barat.
“Enci Bok, kau kenapa?” tanya Oey Yong sambil merangkul.
“Apakah Yo Kang kembali menghinamu?”
Liam Cu tunduk, ia tidak menyahuti.
Kwee Ceng menghampirkan. “Sie-moay,” ia memanggil.
Nona itu yang dipanggil adik - sie-moay - menyahuti dengan perlahan.
Oey Yong menarik tangan nona itu, untuk diajak duduk di bawah pohon di tepi kali kecil di dekat mereka.
“Enci, bagaimana caranya dia menghina kau?” ia menanya pula. “Mari kita cari dia untuk membuat perhitungan! Juga aku dan engko Ceng telah dipermainkan dia, hampir jiwa kita melayang di tangannya!”
Liam Cu tidak lantas menyahuti, hanya ia menggapai kepada kawannya.
“Adik, mari!” ia memanggil.
Karena memperhatikan Liam Cu, Oey Yong dan Kwee Ceng melupai too-kouw yang satunya itu. Baru sekarang mereka menoleh dan memandang dia. Kebetulan too-kouw itu lagi mengawasi si anak muda, hingga sinar mata mereka bentrok.
Too-kouw itu menghampirkan, ia pun menyingkirkan tutup mukanya, terus ia menjura kepada si anak muda seraya berkata: “Inkong, baik?”
Kwee Ceng heran sekali. Nona itu ialah Cin Lam Kim. Pantas dia memanggil ingkong, tuan penolong. Ia lekas membalas hormat. Ia sekarang melihat tegas, di rambut dan di kuping si nona ada bunga kecil warna putih dan pakaian dalamnya dari kain kasar, tanda dari berkabung.
“Mana kakekmu?” ia tanya. “Apa ia baik.
Nona itu tidak lantas menjawab, ia hanya menangis. Itulah tanda yang kakeknya telah menutup mata.
Liam Cu berbangkit, ia menarik tangannya Nona Cin, untuk diajak duduk bertiga, hingga tubuh mereka berbayang di permukaan air.
Kwee Ceng duduk terpisah dari mereka itu, ia duduk di atas sebuah batu, pikirannya bekerja. Ia heran dengan pertemuan sama kedua nona ini. Kenapa mereka dandan sebagai imam dan di rumah makan tidak mau lantas menegur? Kenapa si empeh Cin meninggal dunia?
Oey Yong melihat kedua nona itu tengah berduka, ia tidak menanyakan mereka, hanya ia memegangi tangan mereka masing-masing dengan erat-erat.
“Adik, Kwee Sieko,” kata Liam Cu kemudian, “Perahu yang kamu sewa ada perahunya orang Tiat Ciang Pang dan mereka itu sudah mengatur daya untuk mencelakai kamu.”
Oey Yong dan Kwee Ceng kaget. Inilah mereka tidak sangka.
“Kau maksudkan perahunya si gagu itu?” akhirnya mereka tanya.
“Benar. Tapi dia bukannya gagu, dia berpura-pura. Bahkan dia orang lihay dari Tiat Ciang Pang. Karena suaranya keras, rupanya dia khawatir kamu bercuriga mendengar suara itu, ia pakai akal.”
“Kalau kau tidak omong, enci, benar-benar aku tidak tahu,” kata Oey Yong. Ia benar kaget sekali.

Kwee Ceng lantas naik ke atas pohon, akan memandang kelilingan. Di situ cuma ada dua tiga orang tani. Maka ia kata di dalam hatinya. “Kalau Oey Yong tidak mengambil jalan mutar, pasti ada orang Tiat Ciang Pang yang menguntit kita.”
Liam Cu menghela napas. Ia berkata pula, perlahan: “Urusanku dengan Yo Kang, kamu telah mendapat tahu, hanya kemudian diwaktu membawa jenazah ayah dan ibu angkatku ke Selatan, aku bertemu pula dengannya di Gu-kee-cun di Lim-an……”
“Hal itu kami sudah ketahui, enci,” kata Oey Yong. “Kami pun melihat dia membinasakan Auwyang Kongcu……”
Liam Cu heran, matanya dibuka lebar. Ia tak dapat mempercayai.
Oey Yong tahu orang sangsi, maka ia memberikan keterangan bahwa itu waktu ia berdua Kwee Ceng ada di kamar rahasia lagi beristirahat. Ia pun menceritakan halnya Yo Kang mengaku jadi pangcu dari Kay Pang, cuma ia menuturkan itu secara singkat, sebab ia lebih ingin mengetahui hal ikhwal nona ini.
“Dia jahat, pasti dia tidak bakal dapat pembalasan baik!” kata Liam Cu sengit. “Maka aku cuma bisa menyesalkan diri yang mataku tidak ada bijinya. Rupanya sudah takdir, sudah nasib aku bertemu dengannya.”
Oey Yong mengeluarkan sapu tangannya, menyusuti air mata nona itu.
Liam Cu sangat berduka, sampai sekian lama, baru dapat ia berkata pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar