Bab 65
“Eng Kouw,
lebih dahulu aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih untuk pertolonganmu!”
si nona lantas berkata.
Tapi si nyonya terus terang: “Aku memberi
petunjuk kepadamu untuk kau datang berobat kemari, maksudku yang utama bukan
untuk menolongi kau, hanya untuk mencelakai orang. Buat apa kau mengucap terima
kasih padaku?”
Nona Oey menghela napas.
“Di
dalam dunia ini, budi dan permusuhan sangat sukar dijelaskannya,” katanya.
“Ayahku di Tho Hoa To telah memenjarakan Loo
Boan Tong Ciu Pek Thong limabelas tahun
lamanya sampai diakhirnya, dia tetap tidak sanggup menolongi jiwanya ibuku……”
Mendengar disebutnya nama Pek Thong, tubuh Eng Kouw
bergidik.
“Ada
apakah hubungannya di antara ibumu dan Ciu Peng Thong?” ia menanya bengis.
Oey Yong cerdik sekali. Segera ia menduga, Eng Kouw tentu mencurigai ada hubungan asmara di antara
ibunya dan Loo Boan Tong. Nada suara nyonya ini tegas menyatakan itu. Tapi ini pun bukti
bahwa setelah berselang belasan tahun, kui-hui ini masih tidak melupakan Pek
Thong, bahkan dia menjadi jelus terhadap orang lain. Tapi orang menanyakan
tentang ibunya. Ia lantas tunduk dan air matanya mengucur turun.
“Ibuku telah dibikin letih Ciu Pek Thong
hingga ia meninggal dunia,” sahutnya.
Eng Kouw menjadi bertambah
curiga. Ia mengawasi tajam nona di depannya, hingga ia melihat kulit muka orang
yang putih dan halus, matanya yang indah dan alis
bagus bagaikan dilukis. Ia merasa, meskipun
dulu, semasa ia muda dan sedang cantiknya, tidak dapat ia melawan nona ini. Maka kalau dia ini
sama dengan ibunya, sama cantiknya, siapa berani tanggung Ciu Pek Thong tidak
jatuh hati terhadap ibu si nona ini? Maka ia mengerutkan alis.
Oey Yong berkata pula:
“Jangan kau memikir yang tidak-tidak! Ibuku ada seorang bagaikan bidadari,
sedang Ciu Pek Thong itu buruk bagaikan kerbau nakal! Kecuali orang yang ada matanya
tanpa bijinya, tidak nanti ada yang menaruh hati pada si nakal itu!”
Eng Kouw tahu ia dimaki
berdepan, tetapi toh kata-kata si nona melenyapkan kecurigaannya, maka
berbareng dengan itu, lenyap juga kejelusannya. Tapi ia mempunyai tabiatnya
sendiri, ia tetap berlaku dingin. Ia kata: “Karena ada orang yang mencintai Kwee Ceng
yang tolol seperti babi, mesti ada orang yang mencintai juga orang yang buruk
dan nakal seperti kerbau! Kenapa ibumu itu dibikin mati letih oleh Loo Boan
Tong?”
“Kau mencaci sukoku, aku tidak suka bicara
denganmu!” sahut Oey
Yong, yang menunjuki tak senang
hatinya. Ia lantas memutar tubuh, dengan lagaknya orang bergusar.
“Baiklah,” kata Eng Kouw
cepat. “Lain kali aku tidak mengatakan dia lagi.”
Oey Yong menghentikan
tindakannya, ia memutar tubuh.
“Loo Boan Tong juga bukannya sengaja membikin
mati ibuku,” ia berkata, “Adalah ibuku yang tidak beruntung, yang telah
meninggal dunia disebabkan gara-gara dia.
Karena murkanya di satu saat, ayahku telah
mengurung dia di Tho Hoa To. Diakhirnya, sia-sia saja tidak ada hasilnya dan
ayah menjadi menyesal karenanya. Ada
dibilang, penasaran ada sebabnya, utang ada piutangnya. Ada sebabnya utang piutangnya.
Siapa membinasakan orang yang kau cintai, kau
harus cari di ujung langit atau di pangkal laut, untuk membalaskan sakit hati,
tetapi memindahkan hawa amarah kepada lain orang, apa perlunya itu?”
Mendengar itu Eng Kouw
berdiri menjublak. Ia seperti merasa kepalanya dikemplang dengan tongkat.
“Maka
itu ayahku telah memerdekakan Loo Boan Tong……” Oey Yong
berkata pula.
Eng Kouw terkejut.
“Jadi aku tidak perlu menolongi lagi
padanya?” tanyanya. Agaknya dia lantas lega hatinya.
Semenjak meninggalkan Tali, Eng Kouw
sudah lantas pergi mencari Ciu Pek Thong.
Untuk beberapa tahun, sia-sia belaka usahanya
itu. Kemudian dari mulutnya Hek
Hong Siang
Sat, dengan tidak disengaja, ia mendengar halnya Pek Thong dikurung Oey Yok
Su di Tho Hoa To, tentang
sebabnya, ia tidak berhasil memperoleh keterangan. Ia girang berbareng berduka
mendapat kabar halnya Pek Thong itu. Ia girang sebab ia sekarang ketahui di
mana adanya si kekasih, hanya ia berduka sebab sulit untuk pergi menemui dan
menolongi dia itu. Ia pernah mencoba memasuki Tho Hoa To. Di situ, jangan kata menolongi orang, ia sendiri bersengsara tiga hari tiga
malam, hampir ia mati kelaparan. Setelah lolos dari Tho Hoa To, barulah ia
berdiam di rawa lumpur hitamnya itu, untuk meyakinkan ilmu gaib, maksudnya
supaya dapat memasuki Tho Hoa To itu.
Sekarang, mendapat tahu Pek Thong sudah
bebas, rupa-rupa perasaan memenuhkan otaknya.
“Loo Boan Tong paling mendengar kata
terhadapku,” kata pula Oey
Yong, sekarang sambil tertawa manis. “Apa juga yang aku bilang, belum pernah dia berani
bantah.
Jikalau kau ingin menemui dia, mari ikut aku turun gunung, aku nanti menolongi kamu merangkap
jodoh. Dengan begitu juga aku jadi bisa membalas budimu sudah menolongi aku.”
Perkataan itu membikin muka Eng Kouw
menjadi merah dan hatinya berdebaran.
Oey Yong mengawasi nyonya
itu, hatinya lega. Ia percaya yang ia bakal berhasil membujuki si nyonya,
hingga bahaya menjadi lenyap untuk It Teng Taysu. Tengah ia mengharapi jawaban
orang, tiba-tiba ia melihat nyonya itu menepuk tangan keras, lantas romannya
berubah menjadi bengis dan dia berkata dengan bengis: “Eh, budak masih berambut
kuning, dapatkah kau membikin dia mendengar kata terhadapmu?
Apakah yang kau andalkan? Apakah
kecantikanmu! Hm! Aku tidak melepas budi padamu, aku tidak mengharapi
pembalasan budimu itu! Sekarang lekas kau membuka jalan, jangan kau
ayal-ayalan! Jangan kau nanti mengatakan aku tidak mengenal kasihan!”
Oey Yong tidak takut, dia
bahkan tertawa.
“Ah, ah! Kau hendak membunuh aku?” tanyanya.
“Kalau membunuh kau, boleh jadi apa?” kata
Eng Kouw dingin. “Lain orang jeri terhadap
Oey Lao Shia, aku tidak! Aku tidak takut bumi atau langit!”
Oey Yong terus tertawa.
“Tidak apa kau membunuh aku!” katanya. “Habis
siapa nanti menolongi kau memecahkan teka-tekiku baru-baru ini?”
Eng Kouw lantas diingati
teka-teki si nona. Memang semenjak kepergiannya Oey Yong,
tidak berhasil ia memecahkan teka-teki itu, sia-sia belaka ia menghitungnya.
Untuk dapat menolongi Ciu Pek Thong, ia
mengasah otak, ia bekerja keras memikirkan, sampai ada kalanya ia lupa dahar
dan lupa tidur. Sekarang, mendengar suara si nona, timbullah
kesangsiannya.
“Kau jangan bunuh aku, nanti aku mengajari
kau,” kata Oey
Yong. Ia lantas mengambil pelita di depan patung, ia pindahkan itu ke lantai. Ia
juga mengambil sebatang jarum emas, dengan itu ia mencoret-coret di atas batu.
Eng Kouw menjadi ketarik,
tanpa merasa ia mengawasi. Ia menjadi kagum sekali
untuk kepintaran si nona.
“Tapi, apa perlunya, dia melayani aku bicara
secara begini?” kemudian ia pikir.
“Apakah dia bukannya hendak mengulur tempo?”
Diam-diam ia memandang ke pedalaman. Ia menduga mestinya It Teng Taysu berdiam di ruang belakang. Tentu sekali ia tidak
sudi diakali satu bocah. Maka itu tanpa berkata
apa-apa, ia bertindak ke dalam. Ketika ia sudah melewati hud-tian, ia melihat
sinar api yang guram. Ia menjadi jeri.
Tidakkah ia bersendirian saja?
“Toan Tie Hin!” ia lantas memanggil, suaranya
keras. “Sebenarnya kau mau menemui aku atau tidak? Kenapa kau menyembunyikan
diri di tempat yang gelap?
Adakah perbuatanmu perbuatan satu laki-laki?”
Oey Yong mengikuti itu
nyonya. Mendengar suara orang, ia tertawa dan berkata:
“Eng Kouw,
apakah kau mencela tempat ini kurang penerangannya? It Teng Supee justru takut
lampu terlalu banyak hingga kalau dipasang semuanya kau nanti menjadi kaget. Ia
justru menitahkan api dipadamkan……”
“Hm!” si nyonya menyahuti. “Akulah manusia
yang ditakdirkan mesti mampus masuk ke neraka, mustahil aku takut segala gunung
golok dan kuali minyak?”
Si nona bertepuk tangan.
“Bagus sekali!” ia berseru. “Aku justru
hendak main-main di gunung golok denganmu!”
Ia lantas menyalakan api dan menyulut ke
lantai.
Eng Kouw terkejut. Di sisi kaki si nona ada minyaknya. Ia mengawasi
tajam. Ia bukan melihat pelita hanya satu cangkir teh yang isi minyaknya
setengah, yang direndamkan sumbu. Di
samping itu ada nancap sebatang bambu kecil yang diraut tajam, panjangnya kira
satu kaki. Tanpa henti-henti, si nona bertindak, saban bertindak, ia menyulut,
dan di samping setiap cangkir, ada bambu lancip yang serupa. Ketika telah
selesai si nona menyulut, Eng
Kouw menghitung, jumlahnya seratus
tigabelas batang juga. Ia heran.
“Kalau dibilang inilah panggung
Bwee-hoa-chung,” ia pikir, “Pelatuknya mesti tujuhpuluh dua atau seratus
delapan. Tapi ini seratus tigabelas. Apakah artinya ini? Ini juga bukannya
keletakan penjuru pat-kwa! Dengan ujung pelatuk begini tajam, di mana orang dapat
menaruh kaki? Ah, dia tentulah memakai sepatu dasar besi……” Maka ia
lantas memikir: “Dia sudah bersiap sedia, aku tentu kalah, maka baik aku
berlagak pilon, aku terus melewati ini!”
Ia lantas bertindak. Tapi cangkir dan pelatuk
dipasang rapat, sukar untuk berjalan, maka ia menendang roboh lima enam batang. Sembari berbuat begini, ia
kata:
“Permainan setan apa ini? Nyonya besarmu
tidak mempunyai kesempatan akan menemani kau main-main!”
“Eh, eh, jangan!” berteriak Oey Yong.
“Jangan! Jangan!”
Eng Kouw tidak memperdulikan,
ia menendang terus.
Si nona agaknya menjadi habis sabar.
“Baiklah!” dia mengancam. “Kau tidak mau
pakai aturan, maka hendak aku memadamkan api! Hati-hatilah kau melihatnya, kau
perhatikanlah kedudukannya setiap pelatuk bambu tajam itu!”
Eng Kouw kaget.
“Mereka di sini tentulah telah mengingat baik
keletakan semua pelatuk bambu ini,” ia pikir, “Kalau mereka mengepung aku, bisa
aku terbinasa di sini. Baiklah aku lekas mengangkat kaki!”
Karena memikir demikian, si nyonya mengempos
semangatnya, untuk menendang dengan terlebih gencar lagi.
“Kau main gila! Kau tidak tahu malu!” berseru
Oey Yong, yang terus berlompat maju, untuk
menghalangi dengan tongkatnya, hingga diantara sinar api, cahaya hijau tongkat itu
berkelebatan.
Eng Kouw tidak memandang mata
kepada seorang bocah, segera ia menghajar dengan tangan kirinya, berniat
membikin patah tongkat keramat itu, akan tetapi segera ia kecewa. Si nona
mengasih lihat ilmu silat tongkat Tah Kauw Pang-hoat bagian “hong”
atau “menutup”. Dengan ini ia tidak
menyerang, hanya ia memutar tongkatnya bagaikan tembok penghadang. Kalau lawan
tidak maju, tongkat itu tidak berbahaya, tetapi asal lawan maju satu tingkat
saja, ia bisa merasakan bagiannya.
Begitulah ketika satu kali Eng Kouw
menyerang pula, mendadak ia merasakan tangannya sakit dan kaku. Ia berlaku
sebat untuk menarik pulang tangannya itu tetapi tongkat mendahulukan menghajar
belakang telapakan tangannya. Baru sekarang ia kaget berbareng gusar sekali,
tetapi sebagai seorang yang dapat berpikir ia tidak menjadi kalap. Sebaliknya,
ia menguasai diri ia menurut menutup diri, guna melihat dahulu ilmu silat nona
itu.
“Dulu hari itu aku menyaksikan Hek Hong
Siang Sat mereka memang lihay,”
pikir bekas kui-hui ini. “Tetapi mereka itu tidak heran karena mereka berumur
kira-kira empatpuluh tahun. Kenapa
sekarang ini bocah lihay sekali? Rupanya Oey
Yok Su
telah mewariskan ke pandaiannya kepada ini anak tunggalnya yang ia sangat
saying……”
Tentu sekali bekas nyonya agung ini tidak
tahu halnya ilmu silat kaum Kay
Pang serta tongkat keramatnya itu.
Kalau Oey Yong
bersilat dengan Tah Kauw Pang-hoat meskipun Oey Yok Su sendiri, tidak nanti gampang-gampang
ayah itu dapat merobohkannya.
Selagi orang menutup diri, Oey Yong
juga tetap menutup dirinya, tetap ia menghadang, guna mencegah nyonya itu dapat
nerobos ke perdalaman kuil. Di lain pihak
setiap kali ia bertindak, berbareng ia menendang, ia membuatnya padam setiap pelita
cangkir itu, untuk membikin mati semuanya seratus tigabelas buah. Ia menggunai ujung
sepatunya, ia membikin tidak ada cangkir yang pecah ketendang, sedang muncratnya
minyak pun sedikit. Dalam hal menendang ini, ia menggunai ilmu silat Tho Hoa To
yang dinamakan “Tendangan
Menyapu Daun”.
Eng Kouw berkelahi sambil
memasang mata. Ia percaya si nona belum pulih kesehatannya, maka ia pikir,
baiklah ia menyerang di bawah, supaya nona itu lekas letih, agar dalam tempo
beberapa puluh jurus saja, ia akan sudah memperoleh kemenangan. Akan tetapi
perkembangan terlebih jauh membuatnya ia berkhawatir.
Itulah sebab si nona terus main menendang api
hingga padam.
Dengan cepat di tiga penjuru ruang sudah
gelap, tinggal di ujung timur laut, hingga sinar api menjadi seperti
berkelak-kelik. Ke arah ini si nona mendesak guna melangsungkan usahanya
memadamkan semua itu.
“Inilah berbahaya,” Eng Kouw
mengeluh. “Celaka kalau api padam semua. Mana bisa aku bertindak dengan
leluasa? Di sembarang waktu aku bisa
kena injak pelatuk bambu yang tajam ini……”
“Kau ingat baik-baik keletakkannya pelatuk
bambu! Oey Yong mengasih dengar suaranya dalam
kegelapan setelah api padam semua. “Mari kita bertarung
selama tigapuluh jurus! Asal
kau dapat tidak melukakan aku, aku akan memberi ijin kau masuk menemui It Teng
Taysu!”
“Tetapi kau curang,” kata Eng Kouw.
“Pelatuk ini dipasang olehmu sendiri, entah untuk beberapa hari dan beberapa
malam kau telah melatih dirimu. Aku sendiri baru
melihatnya sekejapan, mana bisa aku mengingat semua?”
Oey Yong biasa menang
sendiri, ia percaya kepada kekuatan memikirkannya.
“Itulah tidak susah!” katanya tertawa. “Kau
nyalakan pelita, kau boleh tancap pelatuk itu sesukamu, setelah rapi, api baru
dipadamkan pula, habis itu baru kita bertempur lagi.”
Eng Kouw tahu, inilah bukan
lagi mengadu ilmu ringan tubuh hanya mengadu otak, mengadu berpikir. Ia kata di dalam hatinya, si nona demikian licin, apa boleh dia
melayaninya? Bukankah
sakit hatinya belum terbalas? Tapi ia pun cerdik, ia
lantas mendapat pikiran.
“Baiklah, aku si nyonya tua nanti menemani
kau main-main!” katanya. Ia lantas mengeluarkan apinya ia menyulut semua pelita
itu.
“Kenapa kau menyebutnya dirimu si nyonya
tua?” berkata Oey
Yong tertawa.
“Melihat romanmu yang cantik bagaikan kumala,
kau lebih menang daripada nona-nona lainnya yang berumur enambelas tahun!
Pantaslah dulu hari itu Toan
Hongya menjadi tergila-gila
kepadamu!”
Eng Kouw tengah
menancapi pelatuk ketika ia mendengar perkataan si nona, ia menjadi melengak. Ia lantas tertawa
dingin dan menyahuti: “Dia tergila-gila padaku?
Hm! Selama tiga tahun aku masuk ke dalam
istananya berapa kalikah dia pernah memperhatikan aku?”
“Eh, heran!” berkata si nona, “Bukankah dia
telah mengajari silat padamu?”
“Apakah mengajari silat berarti
diperhatikan?”
“Aku mengerti sekarang! Toan Hongya
hendak memahamkan ilmu Sian Thian Kang, It Yang Cie, dia jadi tidak terlalu
rapat denganmu……”
“Hm! Kau tahu apa?” kata bekas kui-hui itu. “Kalau begitu, kenapa dia dapat juga putra mahkota?”
Oey Yong memiringkan
kepalanya, nampaknya ia berpikir.
“Putra mahkota dilahirkan lebih dulu, ketika
itu Toan Hongya belum mempelajari Sian Thian Kang,”
katanya sesaat kemudian.
Eng Kouw mengasih dengar
suara, “Hm!” lalu membungkam, terus ia mengatur pelatuk baru. Oey Yong sendiri diam-diam
memperhatikan pengaturan itu, karena ia tahu, pertarungan yang bakal datang
berarti bahaya untuk jiwanya.
“Toan Hongya
tidak mau menolongi anakmu, itulah karena dia mencintai kau,” kata ia pula
kemudian.
“Karena dia mencintai aku?” Eng Kouw
tanya. Lagu suaranya menandakan ia mendongkol sekali, ia sangat membenci.
“Dia jelus terhadap Loo Boan Tong! Kalau dia
tidak mencintai kau, kenapa dia jelus?”
Kembali Eng Kouw berdiam. Dulu-dulu
ia tidak pernah ingat hal ini. Memang beralasan, karena cintanya, raja Tali itu
menjadi jelus.
“Maka itu, turut penglihatanku, baiklah kau
pulang saja,” kata lagi si nona.
“Kecuali kau mampu menghalangi aku!” bilang
si nyonya dingin. Kembali hatinya panas.
“Baiklah!” berkata si nona. “Kalau kau tetap
hendak mengadu kepandaian, suka aku menemani kau! Jikalau kau mampu nerobos,
aku tidak akan menghalang-halangi lagi!
Bagaimana kalau kau tidak sanggup?”
“Selanjutnya aku tidak akan mendaki pula
gunung ini!” menyahut si nyonya. “Aku menghendaki kau menemani aku satu tahun,
janji itu pun suka aku menghapuskannya!”
Oey Yong menepuk tangan.
“Bagus!” ia berseru. “Memang hebat untuk aku
berdiam di rawa lumpur hitam selama satu tahun! Siapa sanggup?”
Selama itu, Eng Kouw
telah menancap kira enampuluh batang. Mendadak ia memadamkan pelitanya.
“Yang lain-lainnya biarlah tetap sebagaimana
adanya!” katanya. Mendadak saja ia menerjang si nona
dengan lima jari tangannya terbuka.
Oey Yong melihat ia diserang
secara demikian, ia berkelit. Ia lantas membalas
menyerang, menekan ke pundak nyonya itu.
Eng Kouw tidak menangkis, ia
bertindak maju terus, tindakannya lebar, saban-saban terdengar kakinya
menginjak pelatuk, yang memperdengarkan suara, sebab semua pelatuk itu telah
terpatahkan. Maka leluasa sekali dia bertindak terus.
Sekejab saja si nona sadar.
“Ha, aku terpedayakan!” katanya. “Teranglah
tadi, selagi menukar pelatuk, dia mematahkan setiap pelatu itu……”
Tentu saja, ia menjadi menyesal sekali.
Eng Kouw segera sampai di
belakang, terus ia menolak pintu, maka di dalam kamar ia melihat seorang
pendeta lagi duduk bersila di tengah-tengah. Pendeta itu sudah tua, kumisnya
yang ubanan dan panjang turun ke dadanya, sedang leher jubahnya sampai ke
pipinya. Ia sedang bersemedhi. Di
sampingnya, dia ditemani oleh keempat muridnya, beberapa pendeta tua lainnya
serta beberapa kacung.
Kapan si pelajar melihat si nyonya datang, ia
bertindak ke depan si pendeta tua sambil merangkap kedua tangannya. “Suhu, Lauw Nio-nio
datang berkunjung!” memberi tahu.
Si pendeta tua mengangguk perlahan, ia tidak
menyahuti.
Di dalam ruang itu cuma
ada sebuah pelita, maka bisa dimengerti, di situ setiap muka orang tak nampak
tegas.
Eng Kouw memang tahu Toan Hongya
sudah mensucikan diri, hanya ia tidak menyangka, baru sepuhuh tahun tidak
bertemu, kaisar yang begitu gagah dan pintar itu, sekarang telah menjadi
pendeta begini tua dan lemah, ia pun lantas mengingat perkataannya Oey Yong
tadi perihal pendeta tua ini. Tanpa merasa, hatinya menjadi lemah, hingga
gagang goloknya tidak lagi dipegang erat-erat. Ketika ia mehihat ke bawah, ia
mendapatkan oto sulamnya dilekati di depan pendeta itu, di atas oto itu ada gelang
kumaha - itu gelang yang dulu hari Toan Hongya
menghadiahkan dia.
Sekejap itu seperti terkilas segala apa, di
depan matanya bagaikan berbayang saat ia baru masuk ke istana, belajar silat,
bertemu sama Ciu Pek Thong hingga mereka memain api asmara, lalu ia melahirkan anak dan anaknya
terbinasa. Yang hebat ketika ia ingat wajah anaknya yang menderita sakit karena
lukanya yang hebat, bagaimana anak itu beroman minta ditolongi tetapi
pertolongan gagal dan anak itu seperti menyesali ibunya……
Mendadak saja Eng Kouw menyerang kepada Toan Hongya,
goloknya nancap di dada, melesak sampai sebatas gagangnya. Ia tahu kaisar itu
lihay, ia mau percaya tikamannya tidak bakal lantas merampas jiwa, maka justru
ia merasakan sesuatu yang aneh waktu goloknya menebas, ia lekas menarik pulang,
guna mengulangi dengan tikaman yang kedua kali. Hanya di luar sangkaannya,
goloknya itu seperti nancap keras.
Ketika itu si pelajar berempat menjerit,
semua berlompat maju.
Sepuluh tahun lebih Eng Kouw
telah mehatih diri, dan tikamannya ini ia mengulanginya entah berapa ribu, atau
berapa puhuh ribu kali. Ia tahu, Toan Hongya
mesti telah menjaga diri baik-baik, maka ia juga bersiap sempurna. Maka ketika ia akhirnya
dapat mencabut goloknya dengan tangan kanan, tangan kirinya dipakai melindungi
dirinya. Dengan sebat ia berlompat mundur ke pintu. Di
sini ia masih sempat menoheh ke
belakang, dengan begitu ia bisa melihat Toan Hongya
memegangi dadanya, rupanya dia merasakan kesakitan yang sangat. Karena ia telah membalas sakit hati, ia lantas ingat kebaikannya raja itu,
ia lantas menghela napas, terus ia memutar tubuhnya, untuk ngeloyor pergi. Tapi ketika ia baru
memutar tubuh, mendadak ia menjadi kaget sekali, sampai ia menjerit keras dan
bulu romanya bangun berdiri. Di ambang
pintu itu, ia melihat seorang pendeta lagi berdiri dengan kedua tangan dirangkap
di depan dadanya. Kebetulan sekali, sinar api menuju ke mukanya pendeta itu,
suatu muka yang penuh dengan sorot cinta kasih. Yang mengagetkan ialah si pendeta
Toan Hongya adanya!
“Mungkinkah aku salah membunuh orang?” begitu
berkelebat pikiran di otaknya.
Maka ia lantas menoleh pula ke belakang,
kepada orang yang baru ia tikam.
Ketika itu terlihat si pendeta berbangkit
berdiri perlahan-lahan, terus dia membuka jubah sucinya, sedang tangan kirinya
meraba ke mukanya, untuk menarik terlepas kumis jenggotnya. Maka kagetlah ia.
Si pendeta palsu itu ialah Kwee
Ceng! Kembali ia mengeluarkan
jeritan.
Pasti sekali Eng Kouw tidak tahu bahwa ia
telah dipermainkan Oey
Yong, yang telah mengatur tipu
dayanya itu dengan bekerja sama si anak muda. Kwee Ceng
menotok It Teng Taysu untuk dapat menggantikan dia. Kalau It Teng Taysu diajak
berdamai dulu, mungkin dia menolak. Si pendeta India ditotok
karena disangkanya lihay, tidak tahunya ia tidak punya guna. Selanjutnya nona Oey
bersiap terlebih jauh. Selagi ia menungkuli Eng Kouw
main pelita, Kwee
Ceng dibantu si pelajar berempat
pergi menyamarkan diri.
Sebab habis kecemplung di pengempang, anak
muda ini tidak mengejar nyonya itu hanya pergi ke dalam untuk siap sedia. Untuk
ini Kwee Ceng berkorban rambutnya, yang dicukur
habis, sedang untuk kumis jenggotnya, dipakai kumisnya It Teng Taysu, kumis
siapa pun dicukur. Sebenarnya keempat murid itu merasa tidak enak mempermainkan
guru mereka, tetapi mengingat pengorbanan Kwee Ceng itu serta usahanya Oey Yong
guna menolong guru mereka, terpaksa mereka menurut. Kalau lain orang yang menyamar jadi It Teng, ada
kemungkinan dia tertikam mati oleh Eng Kouw
yang lihay itu. Sekalipun
Kwee Ceng
yang dapat menjepit goloknya si nyonya, saking hebatnya tikaman, ujung golok toh
melukai juga kulit dan sedikit dagingnya, syukur tidak berbahaya. Kalau Kwee
Ceng memakai baju lapisnya Oey Yong, ia
bisa lobos dari ancaman bencana, tetapi baju itu tidak dipakai sebab dikhawatir
si nyonya jadi curiga.
Selagi akal itu berjalan demikian baik,
sekonyong-konyong It Teng Taysu muncul.
Inilah tidak cuma membikin kaget kepada Eng Kouw
tetapi juga Oey Yong semua.
It Teng itu, meskipun ia terluka tenaga
dalamnya, ilmu silatnya sendiri tidak lenyap semua, sedang Kwee Ceng,
diwaktu menotok dia, sudah menotok di jalan darah yang tidak akan mengakibatkan
kecelakaan. Ia telah dipernahkan di kamar sebelah. Di
sini ia dengan perlahan-lahan menyalurkan tenaganya, ia berhasil membebaskan
diri dari totokan, maka itu ia lantas keluar. Kebetulan sekali, ia berpapasan
dengan Eng Kouw.
Mukanya nyonya itu menjadi sangat pucat
saking kaget dan berkhawatir. Ia lantas merasa bahwa
ia tidak bakal lolos lagi dari kepungan.
“Kembalikan goloknya kepadanya!” berkata It
Teng pada Kwee
Ceng.
Pemuda itu mendengar suara yang berpengaruh,
tanpa bersangsi pula, ia melemparkan golok di tangannya kepada Eng Kouw.
Si nyonya menyambuti senjatanya itu, lalu ia
mengawasi orang banyak terutama It Teng, untuk melihat apa akan orang perbuat
atas dirinya. Ia menduga mungkin ia bakal disiksa……
It Teng membuka jubahnya dengan perlahan,
terus ia membuka baju dalamnya.
“Jangan ganggu dia,” berkata ia, “Biarkan dia
turun gunung dengan baik. Nah sekarang, kau tikamlah aku!” ia meneruskan kepada
si selir. “Memang sudah lama aku menantikanmu!”
Suara itu perlahan dan sabar, tetapi
mendengar itu, Eng
Kouw merasa ia seperti mendengar
guntur, hingga ia berdiri tercengang, golok terlepas jatuh sendirinya dari
tangannya. Begitu ia sadar, ia menutupi mukanya, ia lari ke luar dari kuil.
Mulanya masih terdengar tindakan kakinya, lalu itu lenyap.
Semua orang saling mengawasi, mereka pun
tercengang semua berdiam. Hanya selang sesaat, di situ terdengar dua kali suara
menggabruk, lalu terlihat si tukang pancing dan si petani roboh terguling.
Karena mereka telah menjadi korban jarum beracun dari Eng Kouw.
Tadinya mereka masih dapat bertahan, sekarang setelah mendapatkan guru mereka
selamat, saking girang, habis tenaga perlawanannya, mereka roboh sendirinya.
Si pelajar kaget. “Lekas undang paman guru!”
katanya.
Belum berhenti suara si pelajar ini, atau Oey Yong
telah muncul bersama si pendeta India,
maka pendeta itu lantas dapat bekerja menolongi dua keponakan murid itu, selain
dikasih obat makan, jeriji tangan mereka pun dibelek, untuk mengeluarkan
darahnya yang sudah kecampuran racun.
Habis bekerja, ia berkata-kata seorang bagaikan memuji.
Itulah kata-kata dalam bahasa Sansekerta. It Teng ketahui bahasa itu, ia lega hatinya. Sebab si sutee, adik seperguruan
mengatakan lukanya dua orang itu tidak berbahaya untuk jiwanya, bahwa mereka
harus beristirahat dua bulan nanti mereka sembuh betul.
Ketika itu Kwee Ceng
sudah menukar pakaiannya dan lukanya pun telah dibalut, ia berlutut di depan It
Teng untuk minta maaf.
It Teng mengangkat bangun tubuh pemuda itu.
“Kau berkorban untuk menolongi aku, akulah
yang berhutang budi,” katanya. “Semua ini karena salahku.” Ia menoleh kepada si pendeta India, untuk menjelaskan pertolongan anak muda
itu.
Pendeta itu kembali mengucapkan kata-kata
dalam bahasa Sansekerta. Mendengar itu, Kwee Ceng
heran.
“Aku kenal ini,” katanya, dan ia terus
menghapal lanjutannya kata-kata itu, menurut ajarannya Ciu Pek Thong.
It Teng dan si pendeta India menjadi
heran pemuda ini mengerti bahasa asing itu.
“Bagaimana ini?” menanya Toan Hongya
pada anak muda itu.
Kwee Ceng jujur, ia lantas
menutur kepada ia mengerti bahasa itu.
Mendengar keterangan itu, It Teng menghela
napas.
“Tatmo Couwsu
memang orang India,
tetapi di waktu menulis Kiu Im
Cin-Keng, ia memakai
bahasa Tionghoa,” katanya, “Cuma di bagian-bagian pokok, ia tetap menggunai
bahasa Sansekerta. Kitab itu memang sangat sukar
dimengerti, sukar juga dihapalnya.”
Kemudian pendeta itu menitahkan keempat
muridnya dan yang lain-lain keluar dari kamar, habis itu ia menjalin, ia
memberi penjelasan pada Kwee Ceng dan Oey Yong tentang bunyi Kiu Im Cin-keng
seperti dihapalkan Kwee
Ceng barusan.
It Teng dapat memberi penjelasan sempurna, Oey Yong
lantas mengerti, sedang Kwee
Ceng si bebal, mengerti enam
sampai tujuh bagian.
Kemudian berkatalah It Teng Taysu: “Aku telah
terluka hebat, turut biasa, aku mesti beristirahat lima tahun, baru kesehatanku akan pulih,
tetapi dengan memperoleh warisan Tatmo Couwsu
ini, aku rasa tak usah sampai tiga bulan, aku akan sudah sembuh seanteronya.”
Kwee Ceng dan Oey Yong
menjadi girang sekali.
Sejak ttu, muda mudi ini lantas berdiam di
atas gunung, menemani It Teng Taysu. Si pendeta telah mewariskan kepandaiannya
It Yang Cie, Sian Thian Kang dan penjelasan lebih jauh dari Kiu Im Cin-keng,
sedang mereka berbareng menjagai pendeta ini lantaran dikhawatir Eng Kouw
nanti berbalik pikiran dan datang pula untuk menuntut balas, selagi masih
sakit, tentu It Teng tidak dapat membela dirinya.
Dihari kedelapan, selagi Oey Yong dan Kwee Ceng
berlatih di luar kuil, mereka mendengar suara burung berbunyi di udara,
suaranya nyaring tapi nadanya sedih, lalu segera terlihat burungnya mendatangi
dari arah timur.
“Bagus, Kim-wawa sampai!” berseru si pemudi
seraya bertepuk tangan.
Segera juga kedua burung rajawali sampai dan
turun. romannya lesu.
Muda mudi ini heran, mereka lantas memeriksa.
Di dada kiri rajawali betina ada nancap
sebatang panah pendek, dan di kaki rajawali jantan ada sepotong juiran cita hijau.
Kim-wawa sebaliknya tidak ada. Oey
Yong mengenali, juiran itu ialah
juiran baju ayahnya. Ia menjadi kaget. Pasti kedua burung itu telah sampai di
Tho Hoa To. Mungkin Tho Hoa To kedatangan musuh tangguh maka ayahnya tidak
sempat melayani ia dalam urusan ikan emas itu. Heran adalah terpanahnya burung
itu. Musuh mestinya lihay.
Celakanya, kedua burung tidak dapat
berbicara. Oleh karena berkhawatir Oey Yong lantas mengajak Kwee Ceng menemui Thian Tek,
untuk berpamitan. Kepada pendeta itu dituturkan sebabnya niat kepergian mereka.
It Teng tidak dapat menahan kedua tetamunya ini.
Si pengail dan petani lagi sakit, mereka
rebah di pembaringan, maka itu si pelajar dan si tukang kayu yang mengantarkan
turun gunung. Di kaki gunung si nona
mendapatkan kuda dan burungnya. Di
situ, kedua pihak berpamitan.
Perjalanan ini dilakukan Oey Yong
dengan gembira. Ia tidak terlalu mengkhawatirkan ayahnya, yang ia tahu lihay
dan pintar, umpama musuh tangguh sekali, pasti ayahnya itu dapat mempertahankan
diri.
“Semenjak kita berkenalan, entah berapa
banyak kali kita menghadapi ancaman bahaya,” katanya. “Dan
selamanya, di dalam bahaya, kita memperoleh kebaikan.
Lihatlah kali ini. Aku terhajar Khiu Cian
Jin, akhirnya aku memperoleh It
Yang Cie dan Kiu
Im Sin
Kang.”
“Aku rela tidak mengerti ilmu silat asal kau
selamat tidak kurang suatu apa,” kata Kwee Ceng.
Senang hatinya si nona, ia girang bukan main.
Tapi ia tertawa dan kata: “Ah, ah, untuk mengambil-ambil hati, jangan kau omong
enak saja! Tanpa mengerti ilmu silat, tentulah kau telah orang hajar mati!
Jangan kata Auwyang
Hong dan See Thong Thian semua,
walaupun satu anggota saja dari Tiat Ciang Pang, dia bisa membacok kutung lehermu!”
“Biar bagaimana, aku tidak akan mengijinkan
kau terluka lagi!” kata si anak muda.
“Kali ini lukamu hebat sekali, melihatnya
saja hatiku tidak kuat…… Di Lim-an aku terluka, aku
merasa tidak apa-apa.”
“Kalau begitu, kau tidak punya hati!” kata si
nona tertawa.
Kwee Ceng heran. “Kenapa
begitu?” ia tanya.
“Kau terluka, kau tidak merasa, tetapi
bagaiman dengan aku?” kata si nona.
Si anak muda diam, lalu dia tertawa lama. Ia menjepi perut kuda, maka kudanya itu lantas kabur.
Tengah hari itu mereka tiba di kecamatan
Tho-goan Oey
Yong belum pulih kesehatannya,
disebabkan menunggang kuda terlalu lama, ia merasa letih, kedua pipinya menjadi
merah, napasnya pun kurang lurus jalannya, maka Kwee Ceng
ajak ia mampir di rumah makan Pie Cin Lauw.
Sembari dahar Kwee Ceng
minta pelayan tolong memanggili tukang perahu, yang perahunya hendak di sewa
untuk menyeberang ke Hankauw.
“Kalau tuan menumpang, tuan bisa menghemat
sewaan perahu,” kata pelayan itu.
“Kalau tuan memborong sendiri, sewanya
mahal……”
Oey Yong tidak senang si
pelayan banyak bicara. Ia mengasih lihat roman gusar, ia
melemparkan uang perak lima tail.
“Cukup tidak?” ia tanya.
“Cukup, cukup!” kata si pelayan, yang lantas
ngeloyor pergi.
Kwee Ceng tidak mau si nona
minum arak ini, khawatir arak mengganggu kesehatannya, dari itu ia pun tidak
minum.
Tengah mereka bersantap, pelayan kembali
bersama seorang tukang perahu, katanya dia minta uang sewa empat tail enam
chie, dapat nasi tanpa lauk pauk.
Oey Yong akur, tanpa banyak
bicara, ia menyerahkan uang lima
tail itu.
Tukang perahu itu menerima uang, ia memberi
hormat sambil menunjuk mulutnya, suaranya tidak karuan. Ternyata dia gagu. Kedua tangannya lantas digunai sebagai gantinya.
Oey Yong mengerti pembicaraan
dengan tangan itu, ia melayani, atas mana tukang perahu itu berlalu dengan
kegirangan.
“Apa yang kamu bicarakan?” tanya Kwee
Ceng.
“Kata dia, habis bersantap kita berangkat. Aku menyuruh dia membeli beberapa ekor ayam beberapa kati daging, uangnya
sebentar kita ganti.”
Pemuda itu menghela napas.
“Kalau dia bertemu aku, tak tahu aku mesti
bikin apa……” katanya. Kemudian ia ingat Ang Cit Kong. Inilah disebabkan hidangan lezat
yang dimakannya itu. Ia kata:
“Entah suhu ada di mana dan bagaimana dengan
lukanya……”
Selagi Oey Yong mau menyahuti, ia
mendengar tindakan kaki di tangga lauwteng, lantas ia melihat naiknya dua
too-kauw, ialah imam wanita. Mereka menutupi muka hingga tinggal matanya yang
terlihat. Mereka mengambil meja di pojok, kepada pelayan, yang satunya bicara
perlahan.
Oey Yong merasa ia seperti
kenal dua imam itu tetapi ia tidak ingat betul.
Kwee Ceng melihat kawannya
memperhatikan orang, ia menoleh, justru imam yang satu lagi mengawasi ia. Dia
itu lantas melengos.
“Engko Ceng,
imam itu tergerak hatinya!” kata Oey Yong
perlahan sambil tertawa.
“Dia tentu mengatakan kau tampan sekali……”
“Hus, jangan
ngaco!” kata si anak muda. “Mereka orang suci……”
Masih si nona tertawa. “Kalau kau tidak
percaya, lihat saja nanti!” katanya.
Habis bersantap, mereka turun dari lauwteng.
Si nona bercuriga, ia menoleh ke arah kedua too-kouw itu, kebetulan yang satu
lagi menyingkap tutup mukanya, maka melihat muka orang, hampir ia berseru
heran. Si too-kouw menggoyangi tangan, lekas-lekas dia menutup mukanya, untuk
terus tunduk dan dahar.
Kejadian itu cepat sekali, Kwee Ceng
tidak melihatnya.
Di pintu rumah makan,
tukang perahu sudah menantikan. Oey Yong memberi tanda
bahwa ia hendak belanja sebentaran. Tukang perahu itu mengangguk, ia menunjuk ke pinggir
kali dimana ada perahunya. Si nona mengangguk,
lantas ia berjalan terus bersama Kwee Ceng. Mereka melihat tukang perahu itu berdiri
menantikan. Di sebuah jalan di sebelah
timur, dari mana rumah makan tak nampak lagi, Oey Yong
berhenti, matanya mengawasi ke rumah makan itu.
Tidak lama kedua too-kouw tadi nampak keluar.
Mereka mengawasi kuda merah dan burung rajawali. Terang mereka lagi mencari
orang. Setelah itu mereka bertindak ke barat.
“Mari,”
berkata si nona, yang terus menarik ujung baju si pemuda.
Kwee Ceng heran tetapi ia ikut
tanpa bicara.
Kota Tho-goan tidak
besar, tak lama mereka sudah keluar dari pintu timur. Dari situ si nona menuju
ke selatan, melewati pintu, lalu mengambil jurusan barat.
“Kita menguntit kedua too-kouw itu?” Kwee Ceng
tanya akhirnya. “Ah, jangan kau main-main denganku!”
“Main-main apa?” berkata si nona tertawa.
“Too-kouw demikian cantik, seperti bidadari! Menyesal kalau kau tidak mengikuti
dia!”
Si anak muda menghentikan tindakannya.
“Yong-jie, kalau kau menyebut lagi, aku akan
marah!” katanya.
“Ah, ah, aku tidak takut!” kata si nona.
“Coba kau marah, aku lihat!”
Si pemuda kalah desak, ia lantas mengikuti
pula. Kira lima
enam lie, di sana
terlihat kedua imam wanita duduk di bawah pohon kayu di tepi jalan. Ketika
mereka menampak si muda-mudi, mereka berbangkit dan berjalan pergi ke jalan
kecil yang menuju ke lembah.
Oey Yong menarik tangan
pemudanya, untuk diajak pergi ke jalan kecil itu.
“Yong-jie!” kata si anak muda. “Kalau kau
tetap bergurau, nanti aku pondong kau untuk dibawa balik!”
Si nona tidak memperdulikan.
“Aku letih, pergilah kau mengikuti sendiri!”
katanya.
Pemuda itu lantas berjongkok. “Mari aku gendong kau!” katanya. Ia kata tidak ingin ia nanti terbit onar pula. Agaknya ia sangat
memperhatikan si nona.
Oey Yong tertawa.
“Nanti aku singkap sapu tangan penutup
mukanya untuk kau lihat!” katanya. Dan
ia mempercepat tindakannya, menyusul ke dua too-kouw itu. Ia lari.
Kedua imam wanita itu berhenti jalan, bahkan
mereka menantikan.
Begitu sampai, Oey Yong
menubruk too-kouw yang lebih jangkung, tangannya membuka tutup muka orang.
“Yong-jie, jangan!” Kwee Ceng
berseru selagi ia menyusul. Tapi sudah kasep. Ketika ia melihat muka si
too-kouw, ia berdiri menjublak.
Too-kouw itu bermuka sedih, air matanya
mengembang. Dialah Bok Liam Cu, si nona yang baru-baru ini mengikuti Yo Kang
pergi ke barat.
“Enci Bok,
kau kenapa?” tanya Oey Yong
sambil merangkul.
“Apakah Yo Kang kembali menghinamu?”
Liam Cu tunduk, ia tidak
menyahuti.
Kwee Ceng menghampirkan.
“Sie-moay,” ia memanggil.
Nona itu yang dipanggil adik - sie-moay -
menyahuti dengan perlahan.
Oey Yong menarik tangan nona
itu, untuk diajak duduk di bawah pohon di tepi kali kecil di dekat mereka.
“Enci, bagaimana caranya dia menghina kau?”
ia menanya pula. “Mari kita cari dia untuk membuat perhitungan! Juga aku dan engko
Ceng telah dipermainkan dia, hampir jiwa kita melayang di tangannya!”
Liam Cu tidak lantas
menyahuti, hanya ia menggapai kepada kawannya.
“Adik, mari!”
ia memanggil.
Karena memperhatikan Liam Cu,
Oey Yong dan Kwee Ceng
melupai too-kouw yang satunya itu. Baru sekarang mereka menoleh dan memandang
dia. Kebetulan too-kouw itu lagi mengawasi si anak muda, hingga sinar mata
mereka bentrok.
Too-kouw itu menghampirkan, ia pun
menyingkirkan tutup mukanya, terus ia menjura kepada si anak muda seraya berkata:
“Inkong, baik?”
Kwee Ceng heran sekali. Nona
itu ialah Cin Lam Kim. Pantas dia memanggil ingkong, tuan penolong. Ia lekas
membalas hormat. Ia sekarang melihat tegas, di rambut dan di kuping si nona ada
bunga kecil warna putih dan pakaian dalamnya dari kain kasar, tanda dari
berkabung.
“Mana kakekmu?” ia tanya.
“Apa ia baik.
Nona itu tidak lantas menjawab, ia hanya
menangis. Itulah tanda yang kakeknya telah menutup mata.
Liam Cu berbangkit, ia
menarik tangannya Nona
Cin, untuk diajak duduk bertiga, hingga
tubuh mereka berbayang di permukaan air.
Kwee Ceng duduk terpisah dari
mereka itu, ia duduk di atas sebuah batu, pikirannya bekerja. Ia heran dengan
pertemuan sama kedua nona ini. Kenapa mereka dandan sebagai imam dan di rumah
makan tidak mau lantas menegur? Kenapa si empeh Cin
meninggal dunia?
Oey Yong melihat kedua nona
itu tengah berduka, ia tidak menanyakan mereka, hanya ia memegangi tangan
mereka masing-masing dengan erat-erat.
“Adik, Kwee Sieko,”
kata Liam Cu kemudian, “Perahu yang kamu sewa ada perahunya
orang Tiat Ciang Pang dan mereka itu sudah mengatur daya untuk mencelakai
kamu.”
Oey Yong dan Kwee Ceng
kaget. Inilah mereka tidak sangka.
“Kau maksudkan perahunya si gagu itu?”
akhirnya mereka tanya.
“Benar. Tapi dia bukannya gagu, dia berpura-pura.
Bahkan dia orang lihay dari Tiat Ciang Pang. Karena suaranya keras, rupanya dia khawatir kamu bercuriga mendengar suara
itu, ia pakai akal.”
“Kalau kau tidak omong, enci, benar-benar aku
tidak tahu,” kata Oey
Yong. Ia benar kaget sekali.
Kwee Ceng lantas naik ke atas
pohon, akan memandang kelilingan. Di situ cuma ada dua
tiga orang tani. Maka
ia kata di dalam hatinya. “Kalau
Oey Yong
tidak mengambil jalan mutar, pasti ada orang Tiat Ciang Pang yang menguntit
kita.”
Liam Cu menghela napas. Ia
berkata pula, perlahan: “Urusanku dengan Yo Kang, kamu telah mendapat tahu,
hanya kemudian diwaktu membawa jenazah ayah dan ibu angkatku ke Selatan, aku
bertemu pula dengannya di Gu-kee-cun di Lim-an……”
“Hal itu kami sudah ketahui, enci,” kata Oey Yong.
“Kami pun melihat dia membinasakan Auwyang Kongcu……”
Liam Cu heran, matanya
dibuka lebar. Ia tak dapat mempercayai.
Oey Yong tahu orang sangsi,
maka ia memberikan keterangan bahwa itu waktu ia berdua Kwee Ceng
ada di kamar rahasia lagi beristirahat. Ia pun menceritakan halnya Yo Kang
mengaku jadi pangcu dari Kay
Pang, cuma ia menuturkan itu
secara singkat, sebab ia lebih ingin mengetahui hal ikhwal nona ini.
“Dia jahat, pasti dia tidak bakal dapat
pembalasan baik!” kata Liam
Cu sengit. “Maka aku cuma bisa
menyesalkan diri yang mataku tidak ada bijinya. Rupanya sudah takdir, sudah
nasib aku bertemu dengannya.”
Oey Yong mengeluarkan sapu
tangannya, menyusuti air mata nona itu.
Liam Cu sangat berduka,
sampai sekian lama, baru dapat ia berkata pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar