Kamis, 01 November 2012

Sia Tiauw Enghiong 63



BAB 63
 “Adik seperguruannya Tiong Yang Cinjin?” tanya Oey Yong. “Itulah Loo Boan Tong Ciu Pek Thong!”
“Benar,” sahut si pelajar. “Nona masih begini muda tetapi banyak sekali orang yang nona kenal……”
“Ah, jangan kau memuji aku,” berkata si nona.
“Paman Ciu itu seorang sangat jenaka, tetapi kami tidak tahu bahwa dia dipanggil Loo Boan Tong si bocah tua bangkotan yang nakal. Ketika itu guru kami masih belum mensucikan diri.”
“Oh, kalau begitu ketika supee masih menjadi kaisar!” kata Oey Yong.
“Benar. Coan Cin Kauwcu (Dewi-KZ) itu bersama adik seperguruannya tinggal di istana belasan hari, selama itu kami berempat senantiasa mendampinginya. Guru kami  telah menjelaskan segala apa mengenai Sian Thian Kang itu, hingga Tiong Yang Cinjin menjadi sangat girang, maka ia pun lantas mengajari ilmu silat It Yang Cie yang menjadi ilmu silatnya yang paling istimewa. Kami mendengari semua pembicaraan akan tetapi pelajaran kami masih sangat rendah dan kami pun tumpul sekali, tak dapat kami mengajari itu.”
“Habis bagaimana dengan Loo Boan Tong?” Oey Yong tanya. “Kepandaiannya Loo Boan Tong tidak cetek.”
“Paman Ciu itu seorang gemar bergerak, tak suka dia berdiam, setiap hari dia berputaran saja di seluruh istana. Dia pergi ke timur dan ke barat, ke segala tempat sampai pun dia tidak pandang-pandang lagi keraton di mana permaisuri dan selir-selir bertinggal. Semua orang kebiri dan dayang mendapat tahu dialah tetamu agung kami, tidak ada di antaranya yang berani melarang.”
Oey Yong dan Kwee Ceng saling memandang dan bersenyum. Mereka tahu baik sifatnya itu engko atau kakak angkat. Cuma di dalam hatinya, mereka kata: “Itu dia sifatnya Loo Boan Tong!”
“Ketika Tiong Yang meminta diri,” si pelajar melanjuti, “Dia berkata kepada guru kami:
‘Selama yang belakangan ini penyakitku yang lama kembali kumat, maka mungkin aku tidak bakal berdiam lama lagi di dalam dunia ini, karena sekarang sudah ada ahli waris dari It Yang Cie, jadi di dalam dunia ada orang yang dapat menindih padanya, bolehlah tak usah dikhawatir yang dia nanti berani malang melintang bermain gila.’ Baru setelah itu guru kami mengetahui maksud utama kenapa Tiong Yang Cinjin melakoni perjalanan demikian jauh datang ke Tali mengunjungi guru kami, maksudnya ialah untuk mewariskan kepandaiannya itu, agar setelah ia menutup mata nanti, ada orang yang dapat mengekang Auwyang Hong. Lima-limanya Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong adalah orang-orang yang namanya sama termashurnya, kalau Tiong Yang Cinjin membilang terus terang dia datang http://kangzusi.com/ untuk memberi pelajaran, dia khawatir guru kami merasa dirinya dipandang enteng, dari itu lebih dulu dia minta pelajaran Sian Thian Kang, kemudian baru dia membalas mengajari
It Yang Cie. Itulah artinya pertukaran. Guru kami mengetahui maksud baik dari Tiong Yang Cinjin, ia menjadi bersyukur, ia mengagumi kauwcu itu. Ia lantas memahamkan itu dengan sungguh-sungguh. Kemudian di negara Tali itu telah terjadi suatu hal yang malang, hati guru kami menjadi tawar, maka itu ia pergi mencukuri rambutnya dan masuk menjadi hweeshio.”
Mendengar itu, Oey Yong berpikir; “Toan Hongya tidak mau menjadi kaisar, dia lebih suka menjadi pendeta, mestinya kejadian malang itu sangat melukai hatinya. Karena muridnya ini tidak mau menjelaskan, tidak dapat aku minta keterangan atas kejadian itu……” Ia memandang kepada kawannya. Ia melihat Kwee Ceng seperti hendak membuka mulut, untuk menanya, ia lekas mencegah dengan kedipan matanya.
Kwee Ceng mengerti kedipan itu, ia menunda membuka mulutnya.
Air muka si pelajar nampak guram. Rupanya ia teringat akan peristiwa dulu itu. Ia berdiam beberapa saat baru ia berbicara pula.
“Setahu bagaimana, kemudian hal guru kami mempelajari It Yang Cie itu telah bocor,” katanya. “Pada suatu bari, ini suhengku……” ia menunjuk pada si petani “……
telah menerima titah suhu, ialah guru kami itu, untuk pergi mencari daun obat-obatan.
Suhengku telah pergi ke gunung Tay Soat San di barat Inlam, di sana orang telah melukai ia dengan ilmu silat Kap Moa Kang.”
“Pastilah penyerang itu si Bisa bangkotan!” berkata Oey Yong.
“Siapa lagi kalau bukannya dia?” berkata si petani gusar. “Mulanya seorang muda yang tidak karu-karuan yang telah mencari stori denganku, dia membilangnya Tay Soat San itu miliknya dan dia melarang siapa juga mencari daun obat di situ. Aku telah menerima pengajaran suhu, aku berlaku sabar, tapi justru aku mengalah, si anak muda  semakin mendesak, dia menyuruh aku mengangguk tigaratus kali kepadanya, baru dia mau mengijinkan aku turun gunung. Karena habis sabarku, aku menempur dia. Pemuda tu benar lihay, sekian lama kita bertempur, kita tetap seri. Itu waktu mendadak muncullah si tua berbisa itu, tanpa banyak omong, dia menghajar aku hingga aku terluka parah, setelah mana si anak muda menggendong aku, mengantari aku pulang sampai di luar kuil Liong Coan Sie di mana suhu berdiam.”
“Kalau begitu sudah ada orang yang mewakilkan kau membalas sakit hatimu,” berkata si nona. “Pemuda itu ialah Auwyang Kongcu sudah ada yang membunuhnya.”
“Ah, dia telah mati?” kata si petani gusar. “Siapakah yang membunuh dia?”
“Eh, heran!” kata Oey Yong. “Ada orang lain membunuh musuhmu, kau masih gusar?”
“Musuhku mesti aku yang membalas sendiri!” sahut si petani.
“Sayang kau tidak dapat membalasnya……” kata si nona menghela napas.
“Sebenarnya siapakah yang membunuhnya?”
“Dia juga seorang busuk. Kepandaian dia itu kalah dari Auwyang Kongcu tetapi dia menggunai akal.”
“Bagus!” berkata si pelajar. “Nona, tahukah kau maksudnya Auwyang Hong melukai suhengku ini?”
“Tidak sukar untuk menerka itu,” menyahut Oey Yong. “Dengan kepandaiannya See Tok, dengan dua kali turun tangan, dapat dia membinasakan suhengmu, tetapi dia Cuma melukai parah, lalu dia mengantarnya pulang ke depan pintu rumah gurumu. Maksudnya itu ialah agar gurumu menghabiskan tenaga dalamnya untuk mengobati suhengmu itu.
Barusan kau membilangnya, supee mesti membuang tempo lima tahun untuk memulihkan kepandaiannya, maka itu berarti, kalau nanti diadakan rapat yang kedua di gunung Hoa San, pasti gurumu tak keburu turut mengambil bagian.”
Pelajar itu menghela napas.
“Nona sungguh cerdik, tetapi kali nona cuma dapat menerka separuhnya,” ia berkata.
“Kejahatan Auwyang Hong itu sukar diterka dari bermula. Justru di saat suhu mengobati suhengku ini, justru kesegaran suhu belum kembali, dia datang melakukan penyerangan, maksudnya untuk membikin mati pada suhu……”
“It Teng Supee demikian murah hati, apakah benar dia menyebabkan permusuhan dengan Auwyang Hong?” Kwee Ceng menanya. Anak muda ini heran.
“Engko kecil, pertanyaanmu ini tidak tepat,” menyahut si pelajar. “Pertama-tama, si orang murah hati itu justrulah musuh daripada si orang jahat. Si orang jahat tak suka hidup bersama di dalam dunia dengan orang baik hati. Kedua, kalau Auwyang Hong hendak mencelakai orang, dia tentu tidak sudi memperhatikan orang itu bermusuhan dengannya. Karena dia ketahui ilmu silat It Yang Cie dari suhu adalah penumpas dari ilmu silatnya, maka itu dia dapat menggunai seratus atau seribu akal keji untuk membinasakan guru kami.”
Kwee Ceng mengerti, ia mengangguk beberapa kali.
“Habis, apakah supee telah kena dia bikin celaka?” ia menanya pula.
 “Setelah suhu melihat lukanya suheng, lantas suhu dapat menerka maksudnya Auwyang Hong,” si pelajar menerangkan pula. “Malam itu juga suhu pindah tempat, dan Auwyang Hong tidak berdaya mencari. Karena tahu Auwyang Hong tidak bakal berhenti sampai di situ, kami mencari tempat-tempat sampai kami mendapatkan ini tempat suci.
Setelah suhu pulih kesehatannya, kami berempat mengusulkan suhu pergi mencari See Tok di Pek To San, guna membuat perhitungan dengannya, akan tetapi suhu berpendirian, kalau dapat mengalah baiklah dia mengalah terus dan kami dilarang pergi menerbitkan gara-gara. Demikianlah untuk belasan tahun kami tinggal dengan aman di tempat ini. Siapa tahu sekarang kamu berdua datang kemari! Kami cuma tahu kamu murid- muridnya Kiu Cie Sin Kay, kami menduga kamu tidak bermaksud jahat, maka itu  kami merintanginya setengah hati, coba kami berbuat nekat, tidak nanti kami membiarkan kamu masuk ke kuil kami. Sungguh di luar dugaan, toh akhir-akhirnya guru kami telah terkena juga tangan jahat kamu……”
Setelah berkata begitu, mendadak muka si pelajar menjadi bengis pula, bahkan sambil berbangkit bangun, ia menghunus pedangnya, yang berkilau berkeredepan.
Melihat demikian, si pengail, si tukang kayu dan si petani, turut berbangkit juga sambil menghunus senjata mereka, lantas mereka mengambil sikap mengurung.
“Ketika aku datang mencari supee untuk minta diobati, aku tidak tahu bahwa pengobatannya itu bakal menghabiskan kepandaiannya selama lima tahun,” berkata Oey Yong. “Bahwa obatku ada racunnya, itu juga aku tidak tahu, sebab itu ada perbuatannya lain orang. Supee telah melepas budi padaku, meskipun kami tidak punya hati, tidak nanti kami membalas kebaikannya dengan kejahatan.”
“Kalau begitu,” menegur si tukang pancing, “Kenapa selagi kesehatan guru kami belum pulih dan dia pun terkena racun, kamu mengajak musuh mendaki gunung ini?”
Ditanya begitu, Oey Yong dan Kwee Ceng kaget bukan alang kepalang.
“Tidak sama sekali!” mereka menyangkal.
“Masih menyangkal!” membentak si tukang pancing. “Begitu suhu terkena racun, kita lantas menerima gelang kumala dari pihak musuh. Kalau memangnya kamu tidak bersekongkol mana bisa terjadi peristiwa begini kebetulan?”
“Gelang kumala apa itu?” Oey Yong tanya. Ia benar tidak mengerti.
“Hm, masih berlagak piton!” si tukang pancing mengejek. Mendadak ia menggeraki dua tangannya, maka kedua pengayuhnya lantas menghajar muda mudi di depannya itu.
Kwee Ceng duduk berendeng sama Oey Yong, begitu ia melihat datangnya pengayuh, ia berlompat bangun, kedua tangannya bergerak, tangan kanan menyambar satu pengayuh, untuk segera dirampas, tangan yang lain menangkap pengayuh yang kedua, yang terus ia gentak.
Si tukang pancing kaget dan tangannya kesakitan, pengayuhnya itu terpaksa dilepaskan. Selagi begitu, Kwee Ceng meneruskan menangkis garunya si petani, hingga kedua senjata bentrok keras dan lelatu apinya muncrat berhamburan. Setelah itu, lekas-lekas ia mengangsurkan, menyerahkan pulang pengayuhnya si tukang pancing, hingga dia ini heran dan tercengang, tetapi cuma sebentar, setelah menyambuti itu, berbareng bersama kampaknya si tukang kayu, dia menyerang pula.
Kwee Ceng sementara itu berlaku sangat sebat, begitu ia mundur, begitu ia menolak, menampak mana si pelajar yang mengenali ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang, segera meneriaki kedua saudara seperguruannya: “Lekas mundur!”
Si tukang pancing dan si tukang kayu adalah murid-muridnya seorang guru yang lihay, mereka menginsyafi bahaya dengan cepat mereka menarik pulang senjata mereka sambil mengundurkan diri juga. Tapi biar bagaimana mereka sebat, mereka masih kalah gesit, mereka tidak dihajar hanya senjata mereka disambar, untuk dirampas pula!
“Sambut ini!” berkata Kwee Ceng, yang kembali mengembalikan senjata orang, sekarang pengayuh dan garu!
“Bagus!” si pelajar memuji sambil ia menikam dengan pedangnya ke iga kanan.
Melihat datangnya tikaman, Kwee Ceng terperanjat. Sekarang terbukti, dari keempat murid orang itu, adalah si pelajar ini, yang gerak-geriknya halus, justru yang ilmu silatnya paling lihay. Maka ia tidak mau berlaku alpa. Untuk dapat melindungi Oey Yong, yang tidak boleh mengeluarkan banyak tenaga, ia membela diri dengan gerakannya menuruti barisan Thian Kong Pak-tauw-tin dari Coan Cin Cit Cu. Mula-mula ia hanya mengurung diri, kemudian perlahan-lahan ia memperlebar kurungannya, maka keempat lawan itu terpaksa mundur sendirinya, sampai mereka terdesak ke tembok. Disaat ini, asal ia mau turun tangan, dapat si anak muda melukai mereka itu, atau salah satu di antaranya.
Selama itu, Kwee Ceng mempertahankan diri, antaranya ia tidak menambah tenaganya. Dengan begini ia membuatnya mereka dua pihak tidak kalah dan tidak menang.
Si pelajar agaknya penasaran, mendadak ia mengubah ilmu pedangnya. Kali ini pedangnya itu mengasih dengar sambaran angin mengaung. Ia menyerang ke empat penjuru, setiap kalinya dengan enam tusukan atau sabetan beruntun. Itulah ilmu pedang Ay Lao Kiam Hoat dari Ay Lao San di Inlam, yang semuanya terdiri dari tigapuluh enam jurus. Tapi terhadap si anak muda, ilmu pedang itu tidak mempan. Tenang-tenang seperti biasa, dengan tangan kanan pemuda ini melayani pedang, dengan tangan kirinya ia menghalau setiap senjatanya si tukang pancing, si tukang kayu dan si petani.
Disaat datangnya tusukan pedang yang ketigapuluh enam, Kwee Ceng menyambut itu dengan sentilannya jari tengah. Itulah dia ilmu silat Tan Cie Sin Thong dari Oey Yok Su, ilmu silat yang tak ada keduanya, sebagaimana terbukti ketika dengan Ciu Pek Thong ia main-main menyentil batu, sedang selama di Kwie-in-chung, dia telah memberi petunjuknya kepada Bwee Tiauw Hong, sementara Kwee Ceng telah melihatnya di Gu-kee-cun, Lim-an, selama Tong Shia melayani Coan Cin Cit Cu. Memang ia belum mencapai kemahiran seperti Oey Yok Su tetapi ketika pedang si pelajar kena tersentil, pedang itu berbunyi nyaring dan mental. Si pelajar merasai tangannya sakit sampai hampir terlepas cekalannya.
“Tahan!” pelajar itu berseru sambil ia lompat mundur.
Si tukang pancing sudah lantas menurut, semuanya mengundurkan diri, tetapi mereka sudah terdesak ke tembok, tidak ada ruang lagi untuk mundur, maka itu, si tukang pancing mundur ke pintu, si petani lompat di liang tembok yang gempur, sedang si tukang kayu, yang terus menyelipkan kapaknya di pinggangnya, bukan menyingkir hanya sambil tertawa dia kata: “Aku telah membilangnya kedua tetamu kita ini tidak mengandung maksud jahat tetapi kamu tidak percaya!” Ia berbicara itu sama ketiga saudara seperguruannya.
Si pelajar menyimpan pedangnya, ia menjura kepada Kwee Ceng.
“Kau baik hati, kau suka mengalah, engko kecil,” katanya. “Terima kasih!”
Kwee Ceng lekas-lekas berbangkit untuk membalas hormat. Hanya karena kata-kata si tukang kayu, ia heran, ia kata di dalam hatinya: “Kami memang tidak mengandung maksud buruk, mengapa mereka berempat mulanya tidak mempercayainya? Kenapa baru sekarang mereka percaya?”
Oey Yong melihat paras kawannya, ia tahu apa yang orang pikir, maka ia membisik.
“Jikalau kau memikir buruk, kau tentunya telah melukai mereka. Sekarang ini, sekalipun It Teng Supee bukanlah tandinganmu.”
Kwee Ceng pikir itu benar ia mengangguk.
Si pelajar berempat telah berkumpul pula di dalam kamar.
“Sebenarnya siapa itu musuh dari It Teng Supee?” Oey Yong tanya. “Apa itu yang disebut gelang kumala?”
“Menyesal,” menyahut si pelajar. “Bukannya kami tidak suka menjelaskan hanya sebenarnya kami sendiri tidak tahu duduknya hal. Apa yang kami tahu ialah suhu dan orang itu ada mempunyai kepentingan.” Oey Yong masih mau menanya ketika si petani berlompat bangun seraya berkata keras: “Ah, inilah berbahaya!”
“Bahaya apa?” tanya si tukang pancing.
Si petani menunjuk si pelajar, ia menyahuti: “Suhu sedang kehabisan tenaga, sekarang dia menutur segala apa, kalau kedua tetamu kita ini bermaksud tidak baik, kita sendiri tidak sanggup mencegahnya, apakah kau kira suhu masih dapat ditolongi?”
Mendengar kekhawatiran itu, si tukang kayu berkata: “Paduka conggoan pandai berpikir, mustahil hal ini dia tidak dapat memikirkannya? Kalau begitu, mana bisa dia menjadi perdana menteri dari negara Tali? Sebenarnya dia ketahui dari siang-siang bahwa kita bukan tandingannya tetapi dia toh bertindak juga, itulah ke satu untuk mencoba kepandaiannya kedua tetamu kita ini dan kedua untuk membikinnya kau percaya habis!”
Si pelajar bersenyum.
Si petani dan si tukang pancing mendelik kepada saudaranya, mereka kagum, separuhnya lagi menyesali.
Ketika itu terdengar tindakan kaki orang, lalu muncul seorang kacung pendeta, yang lantas memberi hormat seraya berkata: “Suhu menitahkan suheng berempat mengantarkan tetamu pulang.”
Atas itu semua orang berbangkit. Tapi Kwee Ceng segera berkata: “Supee lagi menghadapi musuh, mana dapat kita lantas berlalu dari sini? Bukankah siauwtee tidak tahu diri tetapi ingin aku bekerja sama suheng berempat untuk mengusir dulu musuh itu.”
Si tukang pancing berempat saling melirik, mereka memperlihatkan roman girang.
“Nanti aku pergi dulu menanyakan suhu,” kata si pelajar, yang lantas berlalu, diikutiketiga saudaranya. Tidak lama mereka kembali, kali ini lenyap roman mereka yang gembira. Si pelajar lantas berkata: “Suhu mengucap terima kasih atas kebaikan jiewi, tetapi suhu membilang juga, segala apa biar terserah kepada karma, biar orang berbuatnya sendiri-sendiri, dari itu orang luar tidak dapat campur tangan.”
Tapi Oey Yong memikir lain.
“Engko Ceng, mari kita bicara sendiri sama supee!” katanya.
Kwee Ceng menurut. Ketika mereka sampai di kamar It Teng Taysu, pintu kamar dikunci, percuma mereka mengetuk-ngetuk dan memanggil-manggil, tidak ada suara jawaban. Sebenarnya pintu itu bisa digempur tetapi mereka tidak berani berbuat demikian.
“Suhu tidak dapat menemui kamu pula, jiewi,” berkata si tukang kayu, yang airmukanya guram. “Karena gunung itu tinggi dan air panjang, baiklah lain kali kita bertemu pula.”
Oey Yong belum bilang apa-apa, atau Kwee Ceng mendapat satu pikiran, maka ia lantas berkata dengan nyaring: “Yongjie, mari kita pergi! Bukankah supee tidak sudi menemui kita? Sebentar di bawah gunung, supee mengasih ijin atau tidak, kalau kita ketemu orang dan orang itu banyak rewel, kita hajar padanya!”
Si nona yang cerdik lantas dapat menerka maksud engko Cengnya itu, ia pun menyahuti dengan nyaring: “Kau benar, engko Ceng! Umpama kata musuhnya supee sangat lihay dan kita mati di tangannya, kita puas, hitung-hitung kita sudah membalas budi supee!”
Dua-dua suara itu keras, pasti suara itu terdengar sampai di dalam, maka juga, ketika si muda mudi baru jalan beberapa tindak, mendadak daun pintu dipentang, lalu terdengar suara tajam dari seorang pendeta tua: “Taysu mengundang jiewi!”
Kwee Ceng girang sekali, bersama Oey Yong, ia jalan berendeng masuk ke dalam kamarnya It Teng Taysu. Di sana si pendeta, bersama si pendeta dari India, masih duduk bersila. Mereka lantas menghampirkan, untuk memberi hormat sambil berlutut.
Ketika kemudian mereka mengangkat kepala, mereka mendapatkan It Teng Taysu bermuka pucat kuning, beda daripada waktu semula mereka melihatnya. Mereka jadi bersyukur berbareng berduka, hingga mereka tidak tahu mesti membilang apa.
It Teng Taysu bersenyum.
“Semua masuk!” ia kata kepada empat muridnya, yang menanti di depan pintu. “Aku hendak bicara.”
Si pelajar berempat menghampirkan, lebih dulu mereka memberi hormat kepada guru mereka itu, juga kepada si pendeta India. Dia ini cuma mengangguk, lantas dia tunduk dan berdiam, kembali tidak memperdulikan semua orang.
It Teng Taysu mengawasi asap yang bergulung naik, tangannya membuat main sebuah gelang kumala. Oey Yong melihat itu, katanya dalam hatinya; “Terang itu ada gelang orang perempuan, entah apa maksudnya musuh supee bolehnya mengirimkan ini?”
Untuk beberapa detik, semua orang berdiam, kemudian baru terdengar It Teng Taysu menghela napas dan mengatakan: “Setiap hari dahar nasi, tetapi pernahkan memakannya sebutir beras?” Ia lantas menoleh kepada si muda-mudi, untuk melanjuti:
“Kamu berdua mulia hati, aku si pendeta tua menerima itu dengan baik, Mengenai urusan ini, jikalau aku tidak menjelaskan, aku khawatir murid-murid atau sahabat-sahabat dari kedua pihak nanti menerbitkan gelombang yang tak diingini. Itulah bukannya kehendakku. Tahukah kamu siapa sebenarnya aku ini?”
“Supee adalah kaisar dari Tali di Inlam,” menyahut Oey Yong. “Supee ada satu-satunya kaisar di Selatan yang kesohor sekali, siapakah yang tidak tahu?”
It Teng bersenyum.
 “Kaisar palsu, pendeta juga palsu,” ia berkata. “Kau, nona kecil, kau pun palsu……”
Oey Yong tidak menginsyafi filsafat si pendeta, ia mengawasi saja.
It Teng berkata pula, dengan perlahan: “Negara Tali kami, semenjak Sri Baginda Sin Seng Bun Bu Tee Thaycouw membangun pemerintahan, ialah di tahun Teng-yoe, itulah lebih dulu duapuluh tiga tahun dari berdirinya kerajaan Song oleh Song Thay-couw Tio Kong In. Setelah tujuh turunan, kerajaan diturunkan kepada Baginda Peng Gie. Setelah empat tahun memerintah, Baginda Peng Gie mengundurkan diri dari kerajaan dan masuk menjadi pendeta. Tahta diserahkan pada keponakannya ialah Baginda Seng Tek. Kemudian tahta diturunkan terus kepada Baginda-bagina Hin Cong Hauw Tek, Poo Teng, Hian Cong Soan Jin serta ayahku, Keng Cong Ceng Kong. Semua Baginda itu telah menjadi pendeta juga. Dari Thay-couw sampai pada aku, delapanbelas turunan, ada tujuh raja yang mensucikan diri.”
Si tukang pancing berempat adalah orang Tali, mereka semua tahu hal ikhwalnya raja-raja mereka itu, cuma Kwee Ceng berdua Oey Yong yang heran, hingga mereka mau memikir, apa mungkin menjadi pendeta lebih senang daripada menjadi raja……
It Teng Taysu melanjuti keterangannya: “Kamu keluarga Toan kami, dengan berkah kebijaksanaan leluhur kami, telah berhasil menjadi sebuah keluarga kaisar di sebuah negara kecil di Selatan. Semua mereka merasa tanggung jawab itu besar, maka juga hati mereka tidak tenang, tidak berani mereka melakukan apa-apa yang melewati batas.
Biarnya begitu, siapa menjadi raja, bukankah dia dapat dahar tanpa meluku, dapat berpakai tanpa menenun? Bukankah kalau keluar dia naik kereta, dan kalau pulang memasuki istana? Bukankah semua itu asalnya dari keringatnya rakyat? Oleh karena itu semua, disaat usianya langsung, mereka menginsyafi capai lelah rakyatnya itu, mereka merasa menyesal, maka diakhirnya mereka telah menjadi pendeta……”
Selagi mengucap begitu, pendeta ini memandang ke luar, mulutnya memperlihatkan senyuman, tetapi pada alisnya, nampak roman kedukaannya. Maka itu, entahlah dia bergirang atau berduka.
Enam orang itu mendengar dengan terus berdiam.
It Teng Taysu mengangkat gelang kumalanya, ia masuki itu ke dalam jari telunjuk dari tangannya, ia putar itu beberapa kali. Kemudian ia meneruskan: “Aku sendiri, aku bukannya mengikuti kebiasaan leluhurku itu. Tentang aku, sebab-sebabnya ada sangkut pautnya dengan urusan rapat ilmu pedang di gunung Hoa San, ketika lima jago saling berebutan kitab. Ketika tahun itu Tiong Yang Ong Cinjin dari Coan Cin Kauw  memperoleh kitab, di lain tahunnya dia datang sendiri ke Tali, dia mewariskan ilmu silat It Yang Cie padaku. Setengah tahun dia berdiam di dalam istanaku, merundingkan tentang ilmu silat. Kita cocok sekali satu dengan lain, adik seperguruannya, Ciu Pek Thong. Dia ini ternyata tidak betah duduk diam saja, dia lantas pergi putar kayun di seluruh istana. Diluar dugaan, dia telah menerbitkan peristiwa.”
Mendengar itu, Oey Yong kata di dalam hatinya: “Kalau Loo Boan Tong tidak menerbitkan gara-gara itu barunya namanya heran!”
It Teng Taysu menghela napas.
“Sebenarnya biang peristiwa adalah pada diriku sendiri,” ia berkata pula. “Aku adalah satu raja kecil, kerajaanku tidak dapat disamakan dengan kerajaan Song, meski begitu, aku mempunyai sedikit permaisuri dan selir. Ya, inilah dosa. Aku gemar ilmu silat, jarang aku mendekati orang perempuan, bahkan permaisuri, aku menemuinya beberapa hari sekali, maka itu bisa dimengerti, mana ada tempo akan menemui segala selir?”
Berkata sampai di situ, It Teng memandang keempat muridnya.
“Kamu tidak mengetahui tentang ini, sekarang biarlah kamu mendapat tahu juga,” ia menambahkan.
Mendengar ini, Oey Yong kata di dalam hatinya: “Benar-benar mereka tidak tahu, mereka jadinya tidak mendustakan aku.”
“Sekalian selirku melihat aku setiap hari berlatih silat, di antaranya ada yang ketarik hati dan minta diajarkan.” It Teng mulai pula. “Aku suka mengajari mereka. Aku pikir, pelajaran itu ada baiknya, untuk mereka menjadi bertambah sehat dan panjang umur. Di antaranya adalah Lauw Kui-hui, yang bakatnya paling baik. Selir ini, begitu diajari, begitu dia bisa. Dia masih muda, dia rajin belajar, dia memperoleh kemajuan pesat. Dasar mau terjadi urusan. Pada suatu hari dia tengah berlatih di taman dia terlihat Ciu Suheng. Ciu Suheng gemar silat, dia polos, dia tidak menghiraukan perbedaan di antara pria dan wanita, begitu melihat Lauw Kui-hui, dia mengajaknya main-main. Tentu sekali Lauw Kui-hui bukanlah tandingannya……”
Oey Yong terkejut.
“Tentulah Loo Boan Tong tidak mengenal kira dan dia melukai kui-hui……” katanya perlahan.
“Melukai, itulah tidak,” It Teng memberitahu. “Baru dua tiga jurus, dia telah menotok hingga kui-hui roboh, lantas dia menanya, kui-hui takluk atau tidak. Pasti sekali Lauw Kui-hui menyerah kalah. Ciu Suheng puas sekali, setelah menotok bebas kepada kui-hui, ia lantas bicara banyak tentang ilmu totok. Memangnya kui-hui sangat ketarik sama kepandaian itu, padaku ia telah minta diajari berulang-ulang. Coba kamu pikir, ilmu kepandaian semacam itu mana dapat diturunkan kepada kui-hui? Sekarang ada ketikanya, ia lantas minta Ciu Suheng mengajarinya.”
“Kalau begitu, niscaya Loo Boan Tong puas sekali,” kata si nona.
“Apakah kau kenal Ciu Suheng?” It Teng tanya.
“Kamilah sahabat-sahabat erat!” si nona menyahuti tertawa. “Dia pernah tinggal sepuluh tahun di Tho Hoa To, belum pernah dia pergi satu tindak juga!”
“Dia dapat berdiam begitu lama sedang sifat dia tak suka diam?”
“Sebab dia dipenjarakan ayah!” sahut si nona tertawa. “Baru yang belakangan ini dia dimerdekakan!”
It Teng mengangguk.
“Begitu?” katanya. “Apa sekarang dia baik?”
“Dia baik hanya tabiatnya makin tua makin jadi!”
It Teng bersenyum. Kembali ia meneruskan: “Sebenarnya ilmu totok itu tidak dapat diajari kecuali ayah dengan gadisnya, ibu dengan putranya dan suami istri. Biasanya guru lelaki tidak menurunkan kepada murid perempuannya dan guru perempuan tidak kepada murid laki-lakinya……”
“Kenapa begitu supee?”
“Itulah sebab lam lie siu siu put cin,” menjawab It Teng.
“Pria dan wanita, tidak dapat bersentuh tangan. Coba pikir tanpa meraba jalan darah di seluruh tubuh, mana bisa ilmu itu diajari sempurna?”
“Bukankah supee telah menotok sekujur tubuhku?” si nona tanya.
Si pengail dan petani sebal nona ini main potong cerita, mereka mengawasi nona itu dengan mata mendelik. Oey Yong melihat itu, ia balik mendeliki mereka, bahkan diamenegur: “Kenapa? Tak dapatkah aku bertanya?”
It Teng bersenyum.
“Dapat, dapat!” katanya lekas. “Kaulah satu bocah, jiwamu pun sangat perlu ditolong, kau mesti dipandang dari jurusan lain.”
“Baiklah. Bagaimana selanjutnya?”
“Selanjutnya yang satu mengajari, yang lain mempelajari,” It Teng melanjuti ceritanya itu. “Ciu Suheng sedang gagahnya, Lauw Kui-hui sedang mudanya, tubuh mereka beradu tak hentinya, hari ketemu hari, tanpa merasa, hati mereka berubah, hingga akhirnya mereka mengacau sampai tidak dapat diurus lagi……”
Oey Yong mau menanya atau mendadak ia mendapat menahan hatinya. Ia pun segera mendengar kelanjutannya cerita: “Lantas ada orang yang memberi laporan padaku. Sebenarnya aku mendongkol, tetapi aku masih memandang Ong Cinjin, aku berpura-pura pilon. Adalah belakangan, hal itu dapat diketahui juga oleh Ong Cinjin.”
“Urusan apakah sampai tak dapat diurus lagi?” tanya Oey Yong akhirnya. Ia polos, ia tidak menyangka jelek.
It Teng beragu-ragu sedikit. Rupanya sulit ia mencari kata-kata.
“Mereka itu bukan suami istri tetapi kenyataannya mereka mirip suami istri,” sahutnya kemudian.
“Ah, aku tahu sekarang!” berkata si nona. “Loo Boan Tong dan Lauw Kui-hui itukemudian melahirkan anak?”
“Itulah bukannya,” berkata It Teng. “Mereka baru berkenalan kira sepuluh hari lebih kurang, mana bias mereka mendapat anak? Ketika Ong Cinjin mendapat tahu itu, dia ringkus Ciu Suheng dan dihadapkan kepadaku, dia menyerahkannya untuk aku memberi hukuman. Kami kaum persilatan, kami menghargai kehormatan dan persahabatan lebih tinggi daripada urusan orang perempuan, maka aku lantas membebaskan Ciu Suheng, lantas aku memanggil Lauw Kui-hui, di situ aku menitahkan mereka menjadi suami istri. Ciu Suheng menampik, dia mengatakan dia tidak tahu bahwa itulah perbuatan salah, bahwa kalau ia tahu itu perbuatan tidak bagus, meski dibunuh juga tidak nanti dia melakukannya. Dia keras menolak menikah dengan Lauw Kui-bui. Ong Cinjin menjadi masgul sekali. Dia kata kalau dia memang tidak tahu Ciu Suheng itu manusia tolol dan tak tahu selatan, tentulah dia sudah membunuhnya.”
Oey Yong mengulur lidahnya keluar.
“Sungguh hebat Loo Boan Tong, dia menghadapi bahaya!” katanya.
“Penampikannya itu membuat aku mendongkol,” berkata It Teng, yang meneruskan ceritanya. “Dengan tandas aku kata padanya: ‘Ciu suheng, dengan ikhlas aku menyerahkan kui-hui padamu! Apakah kau menyangka aku mengandung maksud lain?
Bukankah semenjak dulu ada dibilang, saudara ialah tangan dan kaki dan istri itu pakaian? Apakah artinya seorang perempuan?”
“Eh, eh, supee, kau memandang enteng wanita!” Oey Yong memotong. “Kata-kata supee mirip sama ngaco belo!”
Si petani menjadi gusar.
“Tak dapatkah kau tidak memotong?” dia tanya bengis.
“Supee omong tidak tepat, itulah mesti dibantah!” berkata si nona membelar.
Keempat murid itu melongo. Bagaimana mereka menghormati guru mereka, maka bagaimana “kurang ajarnya” bocah wanita ini.
It Teng sabar luar biasa, dia tidak menggusari si nona. Dia meneruskan perkataannya: “Mendengar perkataanku itu, Ciu Suheng menggeleng kepala. Maka aku menjadi bertambah gusar. Aku kata padanya: ‘Jikalau kau mencintai dia, kenapa sekarang kau menampik? Jikalau kau memang tidak mencintai, kenapa kau lakukan perbuatanmu itu? Negeriku memang negeri kecil, tetapi tidak nanti aku mengijinkan kau menghina kami!’ Mendengar itu, Ciu Suheng menjublak sekian lama, akhirnya dia menjatuhkan diri berlutut di depanku, mengangguk beberapa kali lalu berkata; ‘Toan Hongya, aku salah! Aku pergi sekarang!’ Aku tidak menyangka akan putusannya ini, aku tercengang karenanya. Dia lantas mengeluarkan sehelai sapu tangan sutra dari sakunya, dia berikan itu kepada Lauw Kui-hui seraya berkata: ‘Ini aku pulangi padamu!’
Kui-hui tahu orang bersusah hati, ia tertawa sedih. Ia tidak menyambuti sapu tangan itu, maka sapu tangan itu jatuh di dekat kakiku. Ciu Suheng tidak membilang apa-apa lagi, dia terus berlalu. Sejak itu sudah berselang sepuluh tahun lebih, tentang dia aku tidak mendengar apa-apa lagi. Ong Cinjin menghaturkan maaf berulang-ulang kepadaku, habis itu ia pun berlalu, sampai kemudian aku mendengarnya ia telah meninggal dunia.
Ia berhati mulia tidak ada tandingannya, saying……”
“Di dalam ilmu silat, mungkin Ong Cinjin lebih lihay daripada kau, supee,” berkata si nona. “Tetapi bicara tentang hati mulia, dia tidak bisa melawan supee sendiri. Habis bagaimana dengan sapu tangan sulam itu?”
Si pelajar berempat tidak puas si nona mengingat selalu sapu tangan itu. Tapi guru mereka berbicara terus: “Aku melihat Lauw Kui-hui menjublak saja, seperti yang ditinggalkan arwahnya, aku jadi mendongkol. Aku menjumput sapu tangan itu. Di situ aku menampak sulaman sepasang burung wanyoh memain di air. Hm, tidak salah lagi, itulah barang Lauw Kui-hui untuk kekasihnya. Aku tertawa dingin. Lantas aku membalik sapu tangan itu. Kiranya di situ ada sebaris syairnya……”
Oey Yong sangat tertarik hingga ia lantas menanya: “Apakah itu berbunyi…… ‘Empat buah perkakas tenun…… maka tenunan burung wanyoh bakal terbang berpasangan……”
Si petani habis sabar, dia membentak: “Kami sendiri tidak tahu, bagaimana kau ketahui itu? Ha, kau ngaco saja, kau main potong tak hentinya!”
Tetapi It Teng sendiri tidak gusar, ia menghela napas. “Benar begitu,” sahutnya. “Kau juga ketahui itu?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar