BAB 63
“Adik
seperguruannya Tiong Yang Cinjin?” tanya
Oey Yong. “Itulah Loo Boan Tong Ciu Pek
Thong!”
“Benar,” sahut si pelajar. “Nona masih begini
muda tetapi banyak sekali orang yang nona kenal……”
“Ah, jangan kau memuji aku,” berkata si nona.
“Paman Ciu
itu seorang sangat jenaka, tetapi kami tidak tahu bahwa dia dipanggil Loo Boan
Tong si bocah tua bangkotan yang nakal. Ketika itu guru kami masih belum mensucikan
diri.”
“Oh, kalau begitu ketika supee masih menjadi
kaisar!” kata Oey
Yong.
“Benar. Coan Cin Kauwcu (Dewi-KZ) itu bersama adik
seperguruannya tinggal di istana belasan hari, selama itu kami berempat
senantiasa mendampinginya. Guru kami
telah menjelaskan segala apa mengenai
Sian Thian Kang itu, hingga Tiong Yang Cinjin menjadi sangat girang, maka ia
pun lantas mengajari ilmu silat It Yang Cie yang menjadi ilmu silatnya yang
paling istimewa. Kami mendengari semua pembicaraan akan tetapi pelajaran kami
masih sangat rendah dan kami pun tumpul sekali, tak dapat kami mengajari itu.”
“Habis bagaimana dengan Loo Boan Tong?” Oey Yong
tanya. “Kepandaiannya Loo Boan
Tong tidak cetek.”
“Paman Ciu itu seorang
gemar bergerak, tak suka dia berdiam, setiap hari dia berputaran saja di
seluruh istana. Dia
pergi ke timur dan ke barat, ke segala tempat sampai pun dia tidak
pandang-pandang lagi keraton di mana permaisuri dan selir-selir bertinggal.
Semua orang kebiri dan dayang mendapat tahu dialah tetamu agung kami, tidak ada
di antaranya yang berani melarang.”
Oey Yong dan Kwee Ceng
saling memandang dan bersenyum. Mereka tahu baik sifatnya itu engko atau kakak
angkat. Cuma di dalam hatinya, mereka kata: “Itu dia sifatnya Loo Boan Tong!”
“Ketika Tiong Yang meminta diri,” si pelajar
melanjuti, “Dia berkata kepada guru kami:
‘Selama yang belakangan ini penyakitku yang
lama kembali kumat, maka mungkin aku tidak bakal berdiam lama lagi di dalam
dunia ini, karena sekarang sudah ada ahli waris dari It Yang Cie, jadi di dalam
dunia ada orang yang dapat menindih padanya, bolehlah tak usah dikhawatir yang
dia nanti berani malang
melintang bermain gila.’ Baru setelah itu guru kami mengetahui maksud utama
kenapa Tiong Yang Cinjin melakoni perjalanan demikian jauh datang ke Tali
mengunjungi guru kami, maksudnya ialah untuk mewariskan kepandaiannya itu, agar
setelah ia menutup mata nanti, ada orang yang dapat mengekang Auwyang Hong.
Lima-limanya Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay
dan Tiong Sin Thong adalah orang-orang yang namanya sama termashurnya, kalau Tiong
Yang Cinjin membilang terus terang dia datang http://kangzusi.com/ untuk memberi
pelajaran, dia khawatir guru kami merasa dirinya dipandang enteng, dari itu lebih
dulu dia minta pelajaran Sian Thian Kang, kemudian baru dia membalas mengajari
It Yang Cie. Itulah artinya pertukaran. Guru kami mengetahui
maksud baik dari Tiong Yang Cinjin, ia menjadi bersyukur, ia mengagumi kauwcu
itu. Ia lantas memahamkan itu dengan sungguh-sungguh. Kemudian di negara Tali
itu telah terjadi suatu hal yang malang,
hati guru kami menjadi tawar, maka itu ia pergi mencukuri rambutnya dan masuk
menjadi hweeshio.”
Mendengar itu, Oey Yong
berpikir; “Toan
Hongya tidak mau menjadi kaisar,
dia lebih suka menjadi pendeta, mestinya kejadian malang itu sangat melukai hatinya. Karena muridnya
ini tidak mau menjelaskan, tidak dapat aku minta keterangan atas kejadian itu……”
Ia memandang kepada kawannya. Ia melihat Kwee Ceng
seperti hendak membuka mulut, untuk menanya, ia lekas mencegah dengan kedipan matanya.
Kwee Ceng mengerti kedipan
itu, ia menunda membuka mulutnya.
Air muka si pelajar nampak guram. Rupanya ia
teringat akan peristiwa dulu itu. Ia berdiam beberapa saat baru ia berbicara
pula.
“Setahu bagaimana, kemudian hal guru kami
mempelajari It Yang Cie itu telah bocor,” katanya. “Pada suatu bari, ini suhengku……” ia menunjuk pada si
petani “……
telah menerima titah suhu, ialah guru kami
itu, untuk pergi mencari daun obat-obatan.
Suhengku telah pergi ke gunung Tay Soat San
di barat Inlam, di sana
orang telah melukai ia dengan ilmu silat Kap Moa Kang.”
“Pastilah penyerang itu si Bisa bangkotan!”
berkata Oey Yong.
“Siapa lagi kalau bukannya dia?” berkata si
petani gusar. “Mulanya seorang muda yang tidak karu-karuan yang telah mencari
stori denganku, dia membilangnya Tay Soat San itu miliknya dan dia melarang
siapa juga mencari daun obat di situ. Aku telah menerima pengajaran suhu, aku
berlaku sabar, tapi justru aku mengalah, si anak muda semakin mendesak, dia menyuruh aku mengangguk
tigaratus kali kepadanya, baru dia mau mengijinkan aku turun gunung. Karena
habis sabarku, aku menempur dia. Pemuda tu benar lihay,
sekian lama kita bertempur, kita tetap seri. Itu waktu mendadak muncullah si tua
berbisa itu, tanpa banyak omong, dia menghajar aku hingga aku terluka parah,
setelah mana si anak muda menggendong aku, mengantari aku pulang sampai di luar
kuil Liong Coan Sie
di mana suhu berdiam.”
“Kalau begitu sudah ada orang yang mewakilkan
kau membalas sakit hatimu,” berkata si nona. “Pemuda itu ialah Auwyang Kongcu
sudah ada yang membunuhnya.”
“Ah, dia telah mati?” kata si petani gusar.
“Siapakah yang membunuh dia?”
“Eh, heran!” kata Oey Yong.
“Ada orang lain
membunuh musuhmu, kau masih gusar?”
“Musuhku mesti aku yang membalas sendiri!”
sahut si petani.
“Sayang kau tidak dapat membalasnya……” kata
si nona menghela napas.
“Sebenarnya siapakah yang membunuhnya?”
“Dia juga seorang busuk. Kepandaian dia itu
kalah dari Auwyang
Kongcu tetapi dia menggunai akal.”
“Bagus!” berkata si pelajar. “Nona, tahukah
kau maksudnya Auwyang
Hong melukai suhengku ini?”
“Tidak sukar untuk menerka itu,” menyahut Oey Yong.
“Dengan kepandaiannya See Tok, dengan dua kali turun tangan, dapat dia
membinasakan suhengmu, tetapi dia Cuma melukai parah, lalu dia mengantarnya
pulang ke depan pintu rumah gurumu. Maksudnya itu ialah agar gurumu
menghabiskan tenaga dalamnya untuk mengobati suhengmu itu.
Barusan kau membilangnya, supee mesti
membuang tempo lima
tahun untuk memulihkan kepandaiannya, maka itu berarti, kalau nanti diadakan
rapat yang kedua di gunung Hoa San, pasti gurumu tak keburu turut mengambil
bagian.”
Pelajar itu menghela napas.
“Nona sungguh cerdik, tetapi kali nona cuma
dapat menerka separuhnya,” ia berkata.
“Kejahatan Auwyang
Hong itu sukar diterka dari
bermula. Justru di saat suhu mengobati suhengku ini, justru kesegaran suhu
belum kembali, dia datang melakukan penyerangan, maksudnya untuk membikin mati
pada suhu……”
“It Teng Supee demikian murah hati, apakah
benar dia menyebabkan permusuhan dengan Auwyang Hong?”
Kwee Ceng menanya. Anak muda ini heran.
“Engko kecil, pertanyaanmu ini tidak tepat,”
menyahut si pelajar. “Pertama-tama, si orang murah hati
itu justrulah musuh daripada si orang jahat. Si orang jahat tak suka hidup bersama
di dalam dunia dengan orang baik hati. Kedua, kalau Auwyang Hong
hendak mencelakai orang, dia tentu tidak sudi memperhatikan orang itu
bermusuhan dengannya. Karena dia ketahui ilmu silat It Yang Cie dari suhu
adalah penumpas dari ilmu silatnya, maka itu dia dapat menggunai seratus atau
seribu akal keji untuk membinasakan guru kami.”
Kwee Ceng mengerti, ia
mengangguk beberapa kali.
“Habis, apakah supee telah kena dia bikin
celaka?” ia menanya pula.
“Setelah suhu melihat lukanya suheng, lantas
suhu dapat menerka maksudnya Auwyang
Hong,” si pelajar menerangkan
pula. “Malam itu juga suhu pindah tempat, dan Auwyang Hong
tidak berdaya mencari. Karena tahu Auwyang Hong
tidak bakal berhenti sampai di situ, kami mencari tempat-tempat sampai kami
mendapatkan ini tempat suci.
Setelah suhu pulih kesehatannya, kami berempat
mengusulkan suhu pergi mencari See Tok di Pek
To San, guna membuat perhitungan dengannya, akan tetapi suhu berpendirian,
kalau dapat mengalah baiklah dia mengalah terus dan kami dilarang pergi menerbitkan
gara-gara. Demikianlah untuk belasan tahun kami tinggal dengan aman di tempat
ini. Siapa tahu sekarang kamu berdua datang kemari! Kami cuma tahu kamu murid-
muridnya Kiu
Cie Sin
Kay, kami menduga kamu tidak
bermaksud jahat, maka itu kami
merintanginya setengah hati, coba kami berbuat nekat, tidak nanti kami membiarkan
kamu masuk ke kuil kami. Sungguh di luar dugaan, toh akhir-akhirnya guru kami
telah terkena juga tangan jahat kamu……”
Setelah berkata begitu, mendadak muka si
pelajar menjadi bengis pula, bahkan sambil berbangkit bangun, ia menghunus pedangnya,
yang berkilau berkeredepan.
Melihat demikian, si pengail, si tukang kayu
dan si petani, turut berbangkit juga sambil menghunus senjata mereka, lantas
mereka mengambil sikap mengurung.
“Ketika aku datang mencari supee untuk minta
diobati, aku tidak tahu bahwa pengobatannya itu bakal menghabiskan
kepandaiannya selama lima
tahun,” berkata Oey
Yong. “Bahwa obatku ada racunnya,
itu juga aku tidak tahu, sebab itu ada perbuatannya lain orang. Supee telah
melepas budi padaku, meskipun kami tidak punya hati, tidak nanti kami membalas
kebaikannya dengan kejahatan.”
“Kalau begitu,” menegur si tukang pancing,
“Kenapa selagi kesehatan guru kami belum pulih dan dia pun terkena racun, kamu
mengajak musuh mendaki gunung ini?”
Ditanya begitu, Oey Yong
dan Kwee Ceng kaget bukan alang kepalang.
“Tidak sama sekali!” mereka menyangkal.
“Masih menyangkal!” membentak si tukang
pancing. “Begitu suhu terkena racun, kita lantas menerima gelang kumala dari
pihak musuh. Kalau memangnya kamu tidak bersekongkol mana bisa terjadi peristiwa
begini kebetulan?”
“Gelang kumala apa itu?” Oey Yong
tanya. Ia benar tidak mengerti.
“Hm, masih berlagak piton!” si tukang pancing
mengejek. Mendadak ia menggeraki dua tangannya, maka kedua
pengayuhnya lantas menghajar muda mudi di depannya itu.
Kwee Ceng duduk berendeng sama
Oey Yong, begitu ia melihat datangnya pengayuh,
ia berlompat bangun, kedua tangannya bergerak, tangan kanan menyambar satu
pengayuh, untuk segera dirampas, tangan yang lain menangkap pengayuh yang kedua,
yang terus ia gentak.
Si tukang pancing kaget dan tangannya
kesakitan, pengayuhnya itu terpaksa dilepaskan. Selagi begitu, Kwee Ceng
meneruskan menangkis garunya si petani, hingga kedua senjata bentrok keras dan
lelatu apinya muncrat berhamburan. Setelah itu, lekas-lekas ia mengangsurkan,
menyerahkan pulang pengayuhnya si tukang pancing, hingga dia ini heran dan
tercengang, tetapi cuma sebentar, setelah menyambuti itu, berbareng bersama
kampaknya si tukang kayu, dia menyerang pula.
Kwee Ceng sementara itu
berlaku sangat sebat, begitu ia mundur, begitu ia menolak, menampak mana si
pelajar yang mengenali ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang, segera meneriaki
kedua saudara seperguruannya: “Lekas mundur!”
Si tukang pancing dan si tukang kayu adalah
murid-muridnya seorang guru yang lihay, mereka menginsyafi bahaya dengan cepat
mereka menarik pulang senjata mereka sambil mengundurkan diri juga. Tapi biar
bagaimana mereka sebat, mereka masih kalah gesit, mereka tidak dihajar hanya
senjata mereka disambar, untuk dirampas pula!
“Sambut ini!” berkata Kwee Ceng,
yang kembali mengembalikan senjata orang, sekarang pengayuh dan garu!
“Bagus!” si pelajar memuji sambil ia menikam
dengan pedangnya ke iga kanan.
Melihat datangnya tikaman, Kwee Ceng
terperanjat. Sekarang terbukti, dari keempat murid orang itu, adalah si pelajar
ini, yang gerak-geriknya halus, justru yang ilmu silatnya paling lihay. Maka ia
tidak mau berlaku alpa. Untuk dapat melindungi Oey Yong,
yang tidak boleh mengeluarkan banyak tenaga, ia membela diri dengan gerakannya menuruti
barisan Thian Kong Pak-tauw-tin dari Coan Cin Cit Cu. Mula-mula ia hanya mengurung
diri, kemudian perlahan-lahan ia memperlebar kurungannya, maka keempat lawan
itu terpaksa mundur sendirinya, sampai mereka terdesak ke tembok. Disaat ini, asal
ia mau turun tangan, dapat si anak muda melukai mereka itu, atau salah satu di
antaranya.
Selama itu, Kwee Ceng
mempertahankan diri, antaranya ia tidak menambah tenaganya. Dengan begini ia
membuatnya mereka dua pihak tidak kalah dan tidak menang.
Si pelajar agaknya penasaran, mendadak ia
mengubah ilmu pedangnya. Kali ini pedangnya itu mengasih dengar sambaran angin
mengaung. Ia menyerang ke empat penjuru, setiap kalinya dengan enam tusukan
atau sabetan beruntun. Itulah ilmu pedang Ay Lao Kiam Hoat dari Ay Lao San di
Inlam, yang semuanya terdiri dari tigapuluh enam jurus. Tapi terhadap si anak
muda, ilmu pedang itu tidak mempan. Tenang-tenang seperti biasa, dengan tangan
kanan pemuda ini melayani pedang, dengan tangan kirinya ia menghalau setiap
senjatanya si tukang pancing, si tukang kayu dan si petani.
Disaat datangnya tusukan pedang yang
ketigapuluh enam, Kwee
Ceng menyambut itu dengan
sentilannya jari tengah. Itulah dia ilmu silat Tan Cie Sin Thong dari Oey Yok
Su, ilmu silat yang tak ada keduanya, sebagaimana terbukti ketika dengan Ciu Pek
Thong ia main-main menyentil batu, sedang selama di Kwie-in-chung, dia telah
memberi petunjuknya kepada Bwee
Tiauw Hong,
sementara Kwee
Ceng telah melihatnya di
Gu-kee-cun, Lim-an, selama Tong Shia melayani Coan Cin Cit Cu. Memang ia belum mencapai kemahiran seperti
Oey Yok Su tetapi ketika pedang si pelajar kena tersentil, pedang itu berbunyi
nyaring dan mental. Si pelajar merasai tangannya sakit
sampai hampir terlepas cekalannya.
“Tahan!” pelajar itu berseru sambil ia lompat
mundur.
Si tukang pancing sudah lantas menurut,
semuanya mengundurkan diri, tetapi mereka sudah terdesak ke tembok, tidak ada
ruang lagi untuk mundur, maka itu, si tukang pancing mundur ke pintu, si petani
lompat di liang tembok yang gempur, sedang si tukang
kayu, yang terus menyelipkan kapaknya di pinggangnya, bukan menyingkir hanya
sambil tertawa dia kata: “Aku telah membilangnya kedua tetamu kita ini tidak mengandung
maksud jahat tetapi kamu tidak percaya!” Ia berbicara itu
sama ketiga saudara seperguruannya.
Si pelajar menyimpan pedangnya, ia menjura
kepada Kwee Ceng.
“Kau baik hati, kau suka mengalah, engko
kecil,” katanya. “Terima kasih!”
Kwee Ceng lekas-lekas
berbangkit untuk membalas hormat. Hanya karena kata-kata si tukang kayu, ia
heran, ia kata di dalam hatinya: “Kami memang tidak mengandung maksud buruk,
mengapa mereka berempat mulanya tidak mempercayainya? Kenapa baru sekarang
mereka percaya?”
Oey Yong melihat paras
kawannya, ia tahu apa yang orang pikir, maka ia membisik.
“Jikalau kau memikir buruk, kau tentunya
telah melukai mereka. Sekarang ini, sekalipun It Teng Supee bukanlah
tandinganmu.”
Kwee Ceng pikir itu benar ia
mengangguk.
Si pelajar berempat telah berkumpul pula di
dalam kamar.
“Sebenarnya siapa itu musuh dari It Teng
Supee?” Oey Yong tanya.
“Apa itu yang disebut gelang kumala?”
“Menyesal,” menyahut si pelajar. “Bukannya
kami tidak suka menjelaskan hanya sebenarnya kami sendiri tidak tahu duduknya
hal. Apa yang kami tahu ialah suhu dan orang itu ada mempunyai kepentingan.” Oey Yong
masih mau menanya ketika si petani berlompat bangun seraya berkata keras: “Ah,
inilah berbahaya!”
“Bahaya apa?” tanya
si tukang pancing.
Si petani menunjuk si pelajar, ia menyahuti:
“Suhu sedang kehabisan tenaga, sekarang dia menutur segala apa, kalau kedua
tetamu kita ini bermaksud tidak baik, kita sendiri tidak sanggup mencegahnya,
apakah kau kira suhu masih dapat ditolongi?”
Mendengar kekhawatiran itu, si tukang kayu
berkata: “Paduka conggoan pandai berpikir, mustahil hal ini dia tidak dapat
memikirkannya? Kalau begitu, mana bisa dia menjadi perdana menteri dari
negara Tali? Sebenarnya
dia ketahui dari siang-siang bahwa kita bukan tandingannya tetapi dia toh
bertindak juga, itulah ke satu untuk mencoba kepandaiannya kedua tetamu kita
ini dan kedua untuk membikinnya kau percaya habis!”
Si pelajar bersenyum.
Si petani dan si tukang pancing mendelik
kepada saudaranya, mereka kagum, separuhnya lagi menyesali.
Ketika itu terdengar tindakan kaki orang,
lalu muncul seorang kacung pendeta, yang lantas memberi hormat seraya berkata:
“Suhu menitahkan suheng berempat mengantarkan tetamu pulang.”
Atas itu semua orang berbangkit. Tapi Kwee
Ceng segera berkata: “Supee lagi menghadapi
musuh, mana dapat kita lantas berlalu dari sini? Bukankah siauwtee tidak tahu
diri tetapi ingin aku bekerja sama suheng berempat untuk mengusir dulu musuh itu.”
Si tukang pancing berempat saling melirik,
mereka memperlihatkan roman girang.
“Nanti aku pergi dulu menanyakan suhu,” kata
si pelajar, yang lantas berlalu, diikutiketiga saudaranya. Tidak lama mereka
kembali, kali ini lenyap roman mereka yang gembira. Si pelajar lantas berkata:
“Suhu mengucap terima kasih atas kebaikan jiewi, tetapi suhu membilang juga,
segala apa biar terserah kepada karma, biar orang berbuatnya sendiri-sendiri,
dari itu orang luar tidak dapat campur tangan.”
Tapi Oey Yong memikir lain.
“Engko Ceng,
mari kita bicara sendiri sama supee!”
katanya.
Kwee Ceng menurut. Ketika
mereka sampai di kamar It Teng Taysu, pintu kamar dikunci, percuma mereka
mengetuk-ngetuk dan memanggil-manggil, tidak ada suara jawaban. Sebenarnya
pintu itu bisa digempur tetapi mereka tidak berani berbuat demikian.
“Suhu tidak dapat menemui kamu pula, jiewi,”
berkata si tukang kayu, yang airmukanya guram. “Karena gunung itu tinggi dan
air panjang, baiklah lain kali kita bertemu pula.”
Oey Yong belum bilang
apa-apa, atau Kwee
Ceng mendapat satu pikiran, maka
ia lantas berkata dengan nyaring: “Yongjie, mari
kita pergi! Bukankah supee tidak sudi menemui kita? Sebentar di bawah gunung,
supee mengasih ijin atau tidak, kalau kita ketemu orang dan orang itu banyak
rewel, kita hajar padanya!”
Si nona yang cerdik lantas dapat menerka
maksud engko Cengnya itu, ia pun menyahuti dengan nyaring: “Kau benar, engko
Ceng! Umpama kata musuhnya supee sangat lihay dan kita mati di tangannya, kita
puas, hitung-hitung kita sudah membalas budi supee!”
Dua-dua suara itu keras, pasti suara itu
terdengar sampai di dalam, maka juga, ketika si muda mudi baru jalan beberapa
tindak, mendadak daun pintu dipentang, lalu terdengar suara tajam dari seorang
pendeta tua: “Taysu mengundang jiewi!”
Kwee Ceng girang sekali,
bersama Oey Yong, ia jalan berendeng masuk ke dalam kamarnya
It Teng Taysu. Di sana si pendeta, bersama si pendeta dari India, masih
duduk bersila. Mereka
lantas menghampirkan, untuk memberi hormat sambil berlutut.
Ketika kemudian mereka mengangkat kepala,
mereka mendapatkan It Teng Taysu bermuka pucat kuning, beda
daripada waktu semula mereka melihatnya. Mereka jadi bersyukur berbareng
berduka, hingga mereka tidak tahu mesti membilang apa.
It Teng Taysu
bersenyum.
“Semua masuk!” ia kata kepada empat muridnya,
yang menanti di depan pintu. “Aku hendak bicara.”
Si pelajar berempat menghampirkan, lebih dulu
mereka memberi hormat kepada guru mereka itu, juga kepada si pendeta India. Dia ini cuma mengangguk, lantas dia tunduk dan berdiam, kembali tidak
memperdulikan semua orang.
It Teng Taysu
mengawasi asap yang bergulung naik, tangannya membuat main sebuah gelang
kumala. Oey Yong melihat itu, katanya dalam hatinya;
“Terang itu ada gelang orang perempuan, entah apa maksudnya musuh supee
bolehnya mengirimkan ini?”
Untuk beberapa detik, semua orang berdiam,
kemudian baru terdengar It Teng Taysu menghela napas dan mengatakan: “Setiap
hari dahar nasi, tetapi pernahkan memakannya sebutir beras?” Ia lantas menoleh
kepada si muda-mudi, untuk melanjuti:
“Kamu berdua mulia hati, aku si pendeta tua
menerima itu dengan baik, Mengenai urusan ini, jikalau aku tidak menjelaskan,
aku khawatir murid-murid atau sahabat-sahabat dari kedua pihak nanti menerbitkan
gelombang yang tak diingini. Itulah bukannya kehendakku. Tahukah kamu siapa
sebenarnya aku ini?”
“Supee adalah kaisar dari Tali di Inlam,”
menyahut Oey
Yong. “Supee ada satu-satunya
kaisar di Selatan yang kesohor sekali, siapakah yang tidak tahu?”
It Teng bersenyum.
“Kaisar palsu, pendeta juga palsu,” ia
berkata. “Kau, nona kecil, kau pun palsu……”
Oey Yong tidak menginsyafi
filsafat si pendeta, ia mengawasi saja.
It Teng berkata pula, dengan perlahan:
“Negara Tali kami, semenjak Sri Baginda
Sin Seng Bun Bu Tee Thaycouw
membangun pemerintahan, ialah di tahun Teng-yoe, itulah lebih dulu duapuluh
tiga tahun dari berdirinya kerajaan Song oleh Song Thay-couw Tio Kong
In. Setelah
tujuh turunan, kerajaan diturunkan kepada Baginda Peng
Gie. Setelah empat tahun memerintah,
Baginda Peng Gie
mengundurkan diri dari kerajaan dan masuk menjadi pendeta. Tahta diserahkan
pada keponakannya ialah Baginda
Seng Tek.
Kemudian tahta diturunkan terus kepada Baginda-bagina Hin Cong Hauw Tek, Poo Teng,
Hian Cong Soan
Jin serta ayahku, Keng Cong
Ceng Kong.
Semua Baginda itu telah menjadi pendeta juga. Dari Thay-couw sampai pada aku,
delapanbelas turunan, ada tujuh raja yang mensucikan diri.”
Si tukang pancing berempat adalah orang Tali,
mereka semua tahu hal ikhwalnya raja-raja mereka itu, cuma Kwee Ceng berdua Oey Yong
yang heran, hingga mereka mau memikir, apa mungkin menjadi pendeta lebih senang
daripada menjadi raja……
It Teng Taysu
melanjuti keterangannya: “Kamu keluarga Toan kami, dengan berkah kebijaksanaan
leluhur kami, telah berhasil menjadi sebuah keluarga kaisar di sebuah negara
kecil di Selatan. Semua mereka merasa tanggung jawab
itu besar, maka juga hati mereka tidak tenang, tidak berani mereka melakukan
apa-apa yang melewati batas.
Biarnya begitu, siapa menjadi raja, bukankah
dia dapat dahar tanpa meluku, dapat berpakai tanpa menenun? Bukankah kalau
keluar dia naik kereta, dan kalau pulang memasuki istana? Bukankah semua itu
asalnya dari keringatnya rakyat? Oleh karena itu semua, disaat usianya
langsung, mereka menginsyafi capai lelah rakyatnya itu, mereka merasa menyesal,
maka diakhirnya mereka telah menjadi pendeta……”
Selagi mengucap begitu, pendeta ini memandang
ke luar, mulutnya memperlihatkan senyuman, tetapi pada alisnya, nampak roman
kedukaannya. Maka itu, entahlah dia bergirang atau berduka.
Enam orang itu mendengar dengan terus
berdiam.
It Teng Taysu
mengangkat gelang kumalanya, ia masuki itu ke dalam jari telunjuk dari
tangannya, ia putar itu beberapa kali. Kemudian ia meneruskan: “Aku sendiri,
aku bukannya mengikuti kebiasaan leluhurku itu. Tentang aku, sebab-sebabnya ada
sangkut pautnya dengan urusan rapat ilmu pedang di gunung Hoa San, ketika lima jago saling berebutan
kitab. Ketika tahun itu Tiong Yang Ong Cinjin dari Coan Cin Kauw memperoleh kitab, di lain tahunnya dia datang
sendiri ke Tali, dia mewariskan ilmu silat It Yang Cie padaku. Setengah tahun dia berdiam di dalam istanaku, merundingkan tentang ilmu
silat. Kita
cocok sekali satu dengan lain, adik seperguruannya, Ciu Pek Thong.
Dia ini ternyata tidak betah duduk diam saja, dia lantas
pergi putar kayun di seluruh istana. Diluar dugaan, dia telah menerbitkan
peristiwa.”
Mendengar itu, Oey Yong
kata di dalam hatinya: “Kalau Loo Boan Tong tidak menerbitkan gara-gara itu
barunya namanya heran!”
It Teng Taysu
menghela napas.
“Sebenarnya biang peristiwa adalah pada
diriku sendiri,” ia berkata pula. “Aku adalah satu raja kecil, kerajaanku tidak
dapat disamakan dengan kerajaan Song, meski begitu, aku mempunyai sedikit
permaisuri dan selir. Ya, inilah dosa. Aku gemar ilmu silat, jarang aku
mendekati orang perempuan, bahkan permaisuri, aku menemuinya beberapa hari sekali,
maka itu bisa dimengerti, mana ada tempo akan menemui segala selir?”
Berkata sampai di situ, It Teng memandang
keempat muridnya.
“Kamu tidak mengetahui tentang ini, sekarang
biarlah kamu mendapat tahu juga,” ia menambahkan.
Mendengar ini, Oey Yong
kata di dalam hatinya: “Benar-benar mereka tidak tahu, mereka jadinya tidak
mendustakan aku.”
“Sekalian selirku melihat aku setiap hari
berlatih silat, di antaranya ada yang ketarik hati dan minta diajarkan.” It
Teng mulai pula. “Aku suka mengajari mereka. Aku pikir, pelajaran itu ada
baiknya, untuk mereka menjadi bertambah sehat dan panjang umur. Di antaranya adalah Lauw Kui-hui, yang bakatnya
paling baik. Selir ini, begitu diajari, begitu dia bisa. Dia masih muda, dia
rajin belajar, dia memperoleh kemajuan pesat. Dasar mau terjadi urusan. Pada
suatu hari dia tengah berlatih di taman dia terlihat Ciu Suheng.
Ciu Suheng gemar silat, dia polos, dia tidak
menghiraukan perbedaan di antara pria dan wanita, begitu melihat Lauw Kui-hui,
dia mengajaknya main-main. Tentu sekali Lauw Kui-hui bukanlah tandingannya……”
Oey Yong terkejut.
“Tentulah Loo Boan Tong tidak mengenal kira
dan dia melukai kui-hui……” katanya perlahan.
“Melukai, itulah tidak,” It Teng memberitahu.
“Baru dua tiga jurus, dia telah menotok hingga kui-hui roboh, lantas dia
menanya, kui-hui takluk atau tidak. Pasti sekali Lauw Kui-hui menyerah kalah. Ciu Suheng
puas sekali, setelah menotok bebas kepada kui-hui, ia lantas bicara banyak
tentang ilmu totok. Memangnya kui-hui sangat ketarik sama kepandaian itu,
padaku ia telah minta diajari berulang-ulang. Coba kamu pikir, ilmu kepandaian
semacam itu mana dapat diturunkan kepada kui-hui? Sekarang ada ketikanya, ia lantas minta Ciu Suheng mengajarinya.”
“Kalau begitu, niscaya Loo Boan Tong puas
sekali,” kata si nona.
“Apakah kau kenal Ciu Suheng?”
It Teng tanya.
“Kamilah sahabat-sahabat erat!” si nona
menyahuti tertawa. “Dia pernah tinggal sepuluh tahun di
Tho Hoa To, belum pernah dia pergi satu tindak juga!”
“Dia dapat berdiam begitu lama sedang sifat
dia tak suka diam?”
“Sebab dia dipenjarakan ayah!” sahut si nona
tertawa. “Baru yang belakangan ini dia dimerdekakan!”
It Teng mengangguk.
“Begitu?” katanya. “Apa sekarang dia baik?”
“Dia baik hanya tabiatnya makin tua makin
jadi!”
It Teng bersenyum. Kembali ia meneruskan:
“Sebenarnya ilmu totok itu tidak dapat diajari kecuali ayah dengan gadisnya,
ibu dengan putranya dan suami istri. Biasanya guru lelaki tidak menurunkan
kepada murid perempuannya dan guru perempuan tidak kepada murid laki-lakinya……”
“Kenapa begitu supee?”
“Itulah sebab lam lie siu siu put cin,”
menjawab It Teng.
“Pria dan wanita, tidak dapat bersentuh
tangan. Coba pikir tanpa meraba jalan darah di seluruh tubuh, mana bisa ilmu
itu diajari sempurna?”
“Bukankah supee telah menotok sekujur
tubuhku?” si nona tanya.
Si pengail dan petani sebal nona ini main
potong cerita, mereka mengawasi nona itu dengan mata mendelik. Oey Yong
melihat itu, ia balik mendeliki mereka, bahkan diamenegur: “Kenapa? Tak
dapatkah aku bertanya?”
It Teng bersenyum.
“Dapat, dapat!” katanya lekas. “Kaulah satu bocah, jiwamu pun sangat perlu ditolong, kau mesti dipandang
dari jurusan lain.”
“Baiklah. Bagaimana selanjutnya?”
“Selanjutnya yang satu mengajari, yang lain
mempelajari,” It Teng melanjuti ceritanya itu. “Ciu Suheng
sedang gagahnya, Lauw Kui-hui sedang mudanya, tubuh mereka beradu tak hentinya,
hari ketemu hari, tanpa merasa, hati mereka berubah, hingga akhirnya mereka
mengacau sampai tidak dapat diurus lagi……”
Oey Yong mau menanya atau
mendadak ia mendapat menahan hatinya. Ia pun segera
mendengar kelanjutannya cerita: “Lantas ada orang yang memberi laporan padaku. Sebenarnya aku
mendongkol, tetapi aku masih memandang Ong Cinjin,
aku berpura-pura pilon. Adalah belakangan, hal itu dapat diketahui juga oleh Ong Cinjin.”
“Urusan apakah sampai tak dapat diurus lagi?”
tanya Oey Yong
akhirnya. Ia polos, ia tidak menyangka jelek.
It Teng beragu-ragu sedikit. Rupanya sulit ia
mencari kata-kata.
“Mereka itu bukan suami istri tetapi
kenyataannya mereka mirip suami istri,” sahutnya kemudian.
“Ah, aku tahu sekarang!” berkata si nona.
“Loo Boan Tong dan Lauw Kui-hui itukemudian melahirkan anak?”
“Itulah bukannya,” berkata It Teng. “Mereka baru
berkenalan kira sepuluh hari lebih kurang, mana bias mereka mendapat anak? Ketika Ong Cinjin
mendapat tahu itu, dia ringkus Ciu
Suheng dan dihadapkan kepadaku,
dia menyerahkannya untuk aku memberi hukuman. Kami kaum persilatan, kami
menghargai kehormatan dan persahabatan lebih tinggi daripada urusan orang
perempuan, maka aku lantas membebaskan Ciu Suheng,
lantas aku memanggil Lauw Kui-hui, di situ aku menitahkan mereka menjadi suami
istri. Ciu Suheng menampik, dia mengatakan dia tidak
tahu bahwa itulah perbuatan salah, bahwa kalau ia tahu itu perbuatan tidak
bagus, meski dibunuh juga tidak nanti dia melakukannya. Dia keras menolak
menikah dengan Lauw
Kui-bui. Ong Cinjin
menjadi masgul sekali. Dia kata kalau dia memang tidak tahu Ciu Suheng
itu manusia tolol dan tak tahu selatan, tentulah dia sudah membunuhnya.”
Oey Yong mengulur lidahnya
keluar.
“Sungguh hebat Loo Boan Tong, dia menghadapi
bahaya!” katanya.
“Penampikannya itu membuat aku mendongkol,”
berkata It Teng, yang meneruskan ceritanya. “Dengan tandas aku kata padanya:
‘Ciu suheng, dengan ikhlas aku menyerahkan kui-hui padamu! Apakah kau menyangka
aku mengandung maksud lain?
Bukankah semenjak dulu ada dibilang, saudara
ialah tangan dan kaki dan istri itu pakaian? Apakah artinya seorang perempuan?”
“Eh, eh, supee, kau memandang enteng wanita!”
Oey Yong memotong. “Kata-kata supee mirip sama
ngaco belo!”
Si petani menjadi gusar.
“Tak dapatkah kau tidak memotong?” dia tanya bengis.
“Supee omong tidak tepat, itulah mesti
dibantah!” berkata si nona membelar.
Keempat murid itu melongo. Bagaimana mereka
menghormati guru mereka, maka bagaimana “kurang ajarnya” bocah wanita ini.
It Teng sabar luar biasa, dia tidak
menggusari si nona. Dia meneruskan perkataannya: “Mendengar perkataanku itu, Ciu Suheng
menggeleng kepala. Maka aku menjadi bertambah gusar. Aku kata padanya: ‘Jikalau
kau mencintai dia, kenapa sekarang kau menampik? Jikalau kau memang tidak
mencintai, kenapa kau lakukan perbuatanmu itu? Negeriku memang negeri kecil,
tetapi tidak nanti aku mengijinkan kau menghina kami!’ Mendengar itu, Ciu Suheng
menjublak sekian lama, akhirnya dia menjatuhkan diri berlutut di depanku,
mengangguk beberapa kali lalu berkata; ‘Toan Hongya,
aku salah! Aku pergi sekarang!’ Aku tidak menyangka akan putusannya ini, aku tercengang
karenanya. Dia lantas mengeluarkan sehelai sapu tangan sutra dari sakunya, dia
berikan itu kepada Lauw Kui-hui seraya berkata: ‘Ini aku pulangi padamu!’
Kui-hui tahu orang bersusah hati, ia tertawa
sedih. Ia tidak menyambuti sapu tangan itu, maka sapu tangan itu jatuh di dekat
kakiku. Ciu Suheng tidak membilang apa-apa lagi, dia terus
berlalu. Sejak
itu sudah berselang sepuluh tahun lebih, tentang dia aku tidak mendengar
apa-apa lagi. Ong
Cinjin menghaturkan maaf
berulang-ulang kepadaku, habis itu ia pun berlalu, sampai kemudian aku
mendengarnya ia telah meninggal dunia.
Ia berhati mulia tidak ada tandingannya,
saying……”
“Di
dalam ilmu silat, mungkin Ong
Cinjin lebih lihay daripada kau,
supee,” berkata si nona. “Tetapi bicara tentang hati mulia, dia tidak bisa
melawan supee sendiri. Habis bagaimana dengan sapu tangan sulam itu?”
Si pelajar berempat tidak puas si nona
mengingat selalu sapu tangan itu. Tapi guru mereka berbicara terus: “Aku
melihat Lauw Kui-hui menjublak saja, seperti yang ditinggalkan arwahnya, aku
jadi mendongkol. Aku menjumput sapu tangan itu. Di
situ aku menampak sulaman sepasang burung wanyoh memain di air. Hm, tidak salah
lagi, itulah barang Lauw Kui-hui untuk kekasihnya. Aku tertawa dingin. Lantas
aku membalik sapu tangan itu. Kiranya di situ ada sebaris syairnya……”
Oey Yong sangat tertarik
hingga ia lantas menanya: “Apakah itu berbunyi…… ‘Empat buah perkakas tenun……
maka tenunan burung wanyoh bakal terbang berpasangan……”
Si petani habis sabar, dia membentak: “Kami
sendiri tidak tahu, bagaimana kau ketahui itu? Ha, kau ngaco saja, kau main
potong tak hentinya!”
Tetapi It Teng sendiri tidak gusar, ia
menghela napas. “Benar begitu,” sahutnya. “Kau juga ketahui itu?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar