Bab 62
Si pelajar berempat menjadi sangat kaget
begitu juga Kwee
Ceng. Bersama-sama mereka
berlompat menubruk. Mereka melihat daging di mukanya pendeta itu
bergerak-gerak, tandanya dia lagi melawan rasa nyeri yang hebat. Mereka menjadi
bingung sekali, tak tahu mereka bagaimana harus menolongnya. Semua lantas
berdiri diam di pinggiran.
Tidak lama, It Teng bersenyum.
“Anak, adakah obatmu ini buatan ayahmu
sendiri?” ia tanya Oey Yong.
“Bukan, supee. Inilah buatannya suko Liok Seng
Hong, tetapi ia membuatnya menurut
surat obat
ayah.”
“Pernahkah kau mendengar dari ayahmu, kalau
obat ini dimakan terlalu banyak dapat berbalik menjadi bahaya?” si pendeta
menanya pula, suaranya sabar.
Oey Yong terkejut.
“Mungkinkah ada yang tidak benar pada obatku ini?” pikirnya. Ia lekas
menyahuti: “Ayah pernah
membilang, semakin banyak dimakan semakin baik, hanya sebab pembuatannya sukar,
ayah sendiri tidak berani memakan banyak-banyak.”
It Teng berdiam, agaknya ia berpikir.
Kemudian ia menggeleng kepala.
“Ayahmu itu sangat cerdik dan pandangannya
sangat jauh,” katanya, “Ia sangat sukar diterka hatinya hingga aku pun tidak
dapat membilang apa-apa tentangnya.
Mungkinkah ia hendak menghukum Liok Suhengmu
maka dia diberikan surat
obat yang dipalsukan? Atau mungkinkah Liok Suhengmu
itu bermusuh dengan kau maka di dalam obatnya itu dicampuri beberapa biji yang
ada racunnya?”
Mendengar disebutnya racun, semua orang
terkejut.
“Suhu, apakah suhu telah keracunan?” si
pelajar tanya.
“Syukur di sini ada paman gurumu, maka
biarnya racun yang lebih dahsyat lagi tidak akan membikin orang mati,” sahut
sang guru.
Mukanya keempat murid itu lantas berubah,
segera mereka menoleh kepada Oey
Yomg dan berkata dengan bengis: “Guru kami bermaksud baik
menolongi kau, cara bagaimana kau
begini besar hati berani meracuninya?”
Segera mereka itu mengurung, agaknya mereka
mau lamtas menerjang.
Kwee Ceng menjadi bingung
sekali. Ia tidak nyana akan perkembangan semacam ini.
Oey Yong pun bingung tetapi
segera ia berpikir segala sesuatu memgenai obat itu, hingga ia menduga, pada
ini tentu ada hubungannya dengan perbuatannya Eng Kouw
di rumahnya di rawa lumpur hitam itu. Bukan obat itu telah dibawa si nyonya ke
lain kamar, untuk diperiksa, dan sampai sekian lama baru nyonya itu membawanya
pula ke luar untuk diserahkan kembali kepadanya?
“Supee, aku mengerti sekarang!” katanya.
Sebab segera ia dapat menerka. “Inilah perbuatannya Eng Kouw!”
“Benarkah Eng
Kouw?” It Teng bertanya.
“Ya,” sahut si nona, dan ia tuturkan apa yang
terjadi di rumah Eng
Kouw, hingga sekarang ia menjadi
bercuriga. “Dia pun telah memesan wanti-wanti supaya aku sendiri jangan makan
obat ini. Tentu teranglah sudah sebab ia mencampuri racun di dalamnya.”
“Hm!” mengejek si petani. “Dia perlakukan kau
baik sekali dan maka itu ia khawatir membuatnya kau mampus!”
Nona ini sangat berduka yang paman gurunya
terkena racun, maka itu ia tidak memikir untuk mengadu lidah dengan murid
orang, bahkan dengan perlahan ia kata:
“Sebenarnya dia bukannya berkhawatir untuk
membikin aku mati, hanya dia khawatir, kalau aku memakannya, supee nanti tidak
kena dia racuni……”
“Dosa, dosa,” berkata It Teng, yang menghela
napas. Lantas sikapnya menjadi sangat tenang. Ia kata perlahan kepada muda mudi
itu: “Inilah nasib dan dengan kamu berdua tidak ada hubungannya. Juga Eng Kouw
sendiri, inilah telah terjadi karena karma. Sekarang pergi kamu beristirahat
beberapa hari, habis itu baik-baik saja kamu turun gunung. Benar aku telah
terluka tetapi adik seperguruanku pandai sekali mengobati racun, maka kamu
tidak usah berkhawatir.”
Pendeta ini lantas menutup rapat matanya, ia
tidak berkata-kata lagi.
Berdua muda mudi itu membungkuk, untuk
pamitan. Mereka melihat It Teng bersenyum, tangannya dikibaskan, maka itu
mereka tidak berani berdiam lebih lama lagi di situ, dengan perlahan mereka
memutar tubuh dan mengundurkan diri. Si kacung menantikan mereka di luar kamar,
mereka lantas diajak ke sebuah kamar di ruang belakang, kamar mana tidak ada
perabotannya kecuali dua pembaringan bambu.
Tidak lama, di situ muncul dua orang pendeta
tua dengan barang makanan sayur.
“Silahkan dahar,” mereka mengundang.
“Apakah taysu baik?” tanya
Oey Yong. Ia senantiasa memikirkan paman guru
itu.
“Siauwceng tidak tahu,” sahut satu pendeta,
suaranya tajam. Ia lantas memberi hormat, untuk segera mengundurkan diri.
“Mendengar suara mereka, aku mengira wanita,”
kata Kwee Ceng.
“Mereka thaykam,” berkata Oey Yong.
“Tentu mereka itu telah merawati taysu semenjak taysu masih menjadi raja.”
Kwee Ceng heran.
Karena masing-masing berpikir, tidak ada
nafsu dahar mereka. Terus mereka berdiam di dalam kamar yang sunyi itu, cuma
kadang-kadang saja berkesiur suara angin lewat, membuatnya daun-daun bambu
bersuara perlahan.
“Yong-jie, kepandaian taysu hebat sekali,”
kemudian si pemuda berkata.
“Begitu?” kata si pemudi perlahan dan
singkat.
“Guru kita,” kata pula Kwee Ceng,
“Dan ayahmu juga Ciu Toako,
Auwyang Hong dan Khiu Cian
Jin, walaupun mereka semua lihay
tidak nanti mereka dapat melawan It Teng Supee……”
“Coba bilang, di antara mereka berenam, siapa
yang pantas mendapat sebutan jago nomor satu di kolong langit ini?”
Kwee Ceng berpikir.
“Sebenarnya sesuatunya dari mereka mempunyai
keistimewaannya sendiri-sendiri,” sahutnya sesaat kemudian, “Dari itu tidak
dapat dibilang siapa di antaranya yang paling lihay……”
“Di
dalam halnya bun bu coan cay?” si nona menanya pula, tentang kepandaian orang
dua-dua di dalam ilmu surat
dan ilmu silat.
“Di
dalam hal itu, tentulah ayahmu,” menyahut si anak muda.
Oey Yong girang, inilah
kentara dari romannya. Hanya sebentar, ia lalu menghela
napas.
“Maka itu inilah anehnya!” katanya.
“Apakah yang aneh?” tanya
Kwee Ceng cepat. Ia heran.
“Taysu begini lihay, keempat muridnya lihay
juga,” kata Oey
Yong, “Tetapi kenapa mereka hidup
bersembunyi di tempat sunyi begini? Kenapa asal mendengar
ada orang datang, mereka nampak takut seperti juga bencana besar bakal
mengancam mereka?
Di antara keenam jago,
cuma See Tok dan Khiu
Cian Jin
yang mungkin menjadi musuhnya, tetapi
mereka itu berdua berkenamaan, apa mungkin mereka akan datang berdua untuk
mengepung taysu?”
“Tetapi, Yong-jie,” kata Kwee Ceng.
“Biarnya See Tok dan Khiu
Cian Jin
datang bersama, sekarang kita tidak usah takuti mereka.”
“Bagaimana itu?”
Kwee Ceng nampaknya likat,
agaknya ia tak enak hati untuk menjawab.
“Eh, kenapakah kau nampaknya sulit bicara?”
si nona menegur.
“Kepandaiannya It Teng Taysu pasti tidak ada
di bawahan See Tok,” kata si anak muda kemudian, “Atau sedikitnya, mereka
berimbang. Menurut penglihatanku, ilmu menotok jalan darah dari taysu mungkin
ada cara untuk meruntuhkan Kap Moa
Kang dari See Tok itu……”
“Bagaimana dengan Khiu Cian
Jin?” Oey Yong tanya pula, “Apakah si tukang pancing, si
tukang kayu, si petani dan si pelajar, bukannya tandingan dia seorang?”
“Benar. Selama di puncak Tiat Ciang
Hong, di gunung Kun San, di telaga
Tong Teng, pernah aku melayani Khiu
Cian Jin.
Kalau kita bertempur seratus jurus, mungkin aku dapat melawan seri padanya,
tetapi lebih daripada seratus jurus, belum tentu aku dapat bertahan lebih lama
pula. Ketika tadi aku menyaksikan Taysu menotok kau……”
Mendadak Oey Yong menjadi girang, ia
memotong: “Kalau begitu kau telah dapat mempelajari kepandaiannya Taysu! Dengan
begitu bukankah kau bakal dapat mengalahkan Khiu Tiat
Ciang?”
“Kau tahu sendiri otakku puntul,” berkata si
anak muda, “Dan ilmu totok ini sangat dalam,
mana bisa aku lantas berhasil memahamkannya? Hanya benar aku telah mendapatkan beberapa jurus. Aku pikir, untuk
segera mengalahkan Khiu
Cian Jin,
itulah sukar, tetapi buat bertahan sampai satu jam atau tiga perempat, mungkin
aku sanggup……”
Oey Yong lantas menghela
napas.
“Dan
kau pun melupakan satu hal,” katanya masgul.
“Apakah itu?”
“Sekarang ini Taysu terkena racun dan entah
sampai kapan ia bakal sembuh……”
Kwee Ceng berdiam, lantas ia
menjadi sengit.
“Kenapa si nenek, Eng Kouw
demikian kejam?” katanya mengeluh. Ia baru berkata begitu,
atau ia ingat suatu apa, hingga ia berseru: “Ah, celaka!”
Oey Yong kaget.
“Apa?” dia menanya.
“Kau telah berjanji dengan Eng Kouw!”
si pemuda memberi ingat. “Setelah kau sembuh, kau mesti menemani dia satu
tahun, bukan? Nah, habis bagaimana? Apakah janji itu mesti ditepati atau
tidak?”
“Kau sendiri?”
“Jikalau kita tidak dapat petunjuknya, tidak
dapat kita mencari It Teng Taysu. Itu waktu pastilah lukamu…… Ah, tak dapatlah
dikatakan……”
“Kenapa tak dapat dikatakan? Bilang saja
terus-terang. jiwaku tidak dapat ditotong lagi! Kaulah satu laki-laki maka kau
tentunya ingin menepati janji itu, bukankah?”
Si nona lantas menjadi berduka. Ia ingat Kwee Ceng
pun tidak suka melanggar janji perjodohannya dengan putri Gochin Baki
dari Mongolia.
Air mukanya menjadi guram.
Mengenai sifat wanita ini, Kwee Ceng
asing, maka itu selagi Oey
Yong berduka dan hendak menangis,
ia tetapi tidak sadar. Maka ia kata; “Dia membilang ayahmu lihay, memang
seratus kali daripadanya, umpama kata kau suka mengajari dia, dia bilang dia tak
bakal dapat menyamai kulit atau bulu ayahmu. Dia telah mengetahui itu, habis apa perlunya dia masih menghendaki kau
menemani dia?”
Oey Yong menutup mukanya, ia
tidak menyahuti.
Pemuda itu masih tidak sadar, ia mengulangi
pertanyaannya.
“Eh, tolol, benarkah kau tidak mengerti?”
akhirnya tanya si nona gusar.
Kwee Ceng heran orang gusar
tidak karu-karuan.
“Ya, Yong-jie, aku memang dasarnya tolol,” ia
mengaku. “Maka itu juga aku minta kau suka memberikan keteranganmu.”
Oey Yong menyesal yang ia
telah mengeluarkan perkataan keras itu, sekarang ia mendengar suara orang yang
lemah lembut, orang yang telah mengaku ketololannya, ia menjadi sangat berduka,
tak dapat tertahan lagi, ia menangis di dalam rangkulan pemuda itu.
Masih Kwee Ceng tidak mengerti, ia
mengusut-ngusut punggung orang seraya menghibur.
Oey Yong menarik ujung baju
orang, untuk menyusut air matanya.
“Engko Ceng,
aku yang salah,” katanya. Mendadak ia tertawa. “Lain kali aku tidak bakal
memaki pula kepadamu……”
“Memang aku tolol, apakah halangannya untuk
kau mengatakannya?” kata si tolol, tetap polos.
Nona itu menghela napas.
“Ya, kau memang baik, akulah yang buruk,”
katanya kemudian. “Mari aku menjelaskan
padamu. Eng Kouw itu bermusuh sama ayahku, dia mencari
ilmu kepandaian untuk dia pakai menyatroni Tho Hoa To, guna menuntut balas ,
tetapi dia telah mendapat kenyataan, dalam ilmu silat dia kalah dari kau, maka
karena putus asa, dia mengubah siasatnya. Dia sekarang hendak menjadikan aku
sebagai manusia tanggungan, supaya ayahku datang menolongi aku.
Dengan akal ini, dia jadi menang di atas
angin, dia menjadi dapat jalan untuk mencelakai ayahku itu.”
Baru sekarang si tolol mengerti, maka ia
menepuk pahanya.
“Oh, benar begitu! Kalau demikian adanya,
janji itu tidak dapat ditepati!” ia berkata.
“Kenapa tidak?” tanya
Oey Yong, “Pasti mesti ditepati.”
“Eh?” si anak muda heran.
“Eng Kouw
itu sangat lihay,” berkata si nona, menerangkan. “Lihat saja bagaimana ia telah
mencampuri racun di dalam obat Kiu-hoa Giok Louw Wan dengan apa dia mencelakai
It Teng Taysu. Maka jikalau dia tidak disingkirkan, dia akhirnya bakal jadi ancaman
bencana untuk ayahku. Dia ingin aku menemani dia, aku nanti menemaninya.
Sekarang aku telah bersiap sedia, tidak nanti
aku kena diakali dia. Aku percaya, tidak perduli dia bakal menggunai tipu apa,
aku merasa pasti bakal dapat memecahkannya!”
“Tetapi, itulah sama
artinya kau menemani seekor harimau betina……” kata si anak muda masgul.
Oey Yong hendak berkata pula
ketika kupingnya mendengar suara berisik dari sebelah depan, dari kamar sucinya
It Teng Taysu. Itulah beberapa kali suara kaget atau seruan.
Kwee Ceng pun mendengar itu,
maka keduanya saling mengawasi. Selagi mereka memasang kuping, suara berisik
itu lantas lenyap.
“Entah bagaimana dengan taysu?” kata si
pemuda.
Si pemudi menggeleng kepala.
“Nah, kau daharlah lantas tidur,” kata Kwee Ceng
kemudian. Oey
Yong masih menggeleng kepala. Atau
mendadak: “Ada
orang datang!” katanya.
Benar juga lantas terdengar tindakan kaki
beberapa orang, di antaranya ada yang berkata dengan suara sengit: “Budak itu banyak
akalnya, baik mampusi dulu padanya!”
Itulah suara si petani. Maka Kwee
Ceng berdua terkejut.
“Jangan sembarang,” terdengar suara si tukang
kayu. “Kita menanya jelas dulu.”
“Apa yang mau ditanyakan lagi?” kata si
petani. “Sudah terang dua bangsat cilik itu disuruh musuh suhu datang kemari!
Kita bunuh yang satu, biarkan yang satu lagi, untuk menanyakan keterangannya.
Cukup kita memeriksa si tolol!”
Selagi mereka bicara, mereka sudah sampai di
depan pintu kamar di mana Kwee Ceng dan Oey Yong
berada. Nyata mereka tidak takut yang suara mereka dapat didengar orang di
dalam kamar itu.
Kwee Ceng mengerti ancaman
bahaya, tanpa bersangsi pula dengan pukulan “Hang liong yu hui”, ia menghajar
tembok di belakangnya, hingga dengan suara sangat berisik tembok itu gempur,
membuat sebuah liang. Setelah itu, dengan
membungkuk, ia menggendong si nona, terus ia lompat melewati liang
itu.
Di sana terlihat si petani, yang sangat gesit,
sebelah tangannya diulur, guna menyambar kaki kiri si anak muda.
Oey Yong tidak berdiam saja,
ia melihat sambaran itu, maka dengan tangan kirinya ia mengibas ke belakang,
mengebut jalan darah yang tie-hiat dari si petani. Itulah ilmu kebutan, atau
totokan, warisan ayahnya. Itulah yang disebut “Lan-hoa Hut-hiat Ciu”,
atau Bunga Anggrek
Mengebut Jalan
Darah. Ilmu ini tidak selihay ilmu
totoknya It Teng tetapi toh berbahaya untuk lawan.
Si petani kaget, lekas-lekas ia menarik
pulang sambaranmya, ia membaliki itu, untuk menangkis, tetapi gerakan ini
memperlambat gerakannya, maka Kwee
Ceng telah berhasil berlompat
lewat, akan berlari terus dengan melompati tembok belakang. Di sini ia baru lari beberapa tindak, atau ia
menjerit sendirinya, berkeluh kesah. Di
depannya itu ada tumbuh pohon duri
setinggi sependirian orang, lebat dan banyak durinya, hingga tak dapat dilewati
orang. Ketika ia menoleh, ia menampak mendatanginya empat orang ialah si tukang pancing, si tukang kayu,
si petani dan si pelajar. Mereka itu lantas berdiri menghadang.
“Taysu menitahkan kami turun gunung,
tuan-tuan telah mendengarnya sendiri,” berkata Kwee Ceng,
“Kenapa sekarang kamu menghalangi kami?”
Si pengail mendelik matanya.
“Guru kami sangat baik hatinya, dia pemurah,
dengan mengorbankan diri dia menolongi kamu, kenapa sekarang kamu……” kata dia,
suaranya mengguntur.
Dua-dua muda mudi itu terkejut.
“Dia mengorbankan diri?” tanya mereka berbareng. “Bagaimana itu…..?”
“Fui……!” berseru si pengail dan petani.
Si pelajar tertawa dingin, dia berkata:
“Lukamu, nona telah ditolong diobati oleh guruku dengan guruku itu mengorbankan
dirinya! Mustahil kau benar-benar tidak ketahui itu?”
“Dengan sebenarnya, aku tidak tahu,” menyahut
Oey Yong. “Tolong kau menjelaskannya.”
Pelajar itu mengawasi. Ia melihat roman orang
benar seperti tidak lagi mendusta, maka ia berpaling kepada si tukang kayu. Dia
ini mengangguk. Lantas ia berkata:
“Nona, kau telah mendapat luka yang sangat
berbahaya, untuk menyembuhkannya kau mesti dapat penyaluran pada pelbagai jalan
darah dan nadimu. Untuk itu dibutuhkan ilmu It Yang Cie Siang-thian Kanghu.
Ilmu itu, semenjak meninggalnya Ong Tiong Yang Cinjin, kauwcu dari Coan Cin
Pay, cuma guru kami satu orang yang mengerti itu. Meski begitu, kalau ilmu itu
dipakai mengobati orang, dia sendiri mesti turut mendapat penyakit sebagai
akibatnya, sebab dia mesti menggunai terlalu banyak tenaga terutama tenaga dalamnya.
Untuk lima
tahun, habislah semua kepandaian silatnya……”
Oey Yong kaget hingga ia
mengeluarkan seruan tertahan. Ia menyesal dan malu
sekali.
“Selama itu tempo lima tahun, untuk memulihkan diri, orang
mesti berlatih dan bersemedhi setiap hari, siang dan malam, kalau dia salah
berlatih, maka dia bakal nampak kegagalan dan kepandaiamnya itu tidak akan
pulih kembali. Orang yang menjadi korbam begitu, entengnya dia bercacad seumur
hidup, hebatnya dia lantas mati. Guruku begitu murah hati menolongi kau, kenapa
kau begini jahat, kebaikan dibalas dengan kejahatan?”
Mendadak Oey Yong melepaskan diri dari
Kwee Ceng, lantas ia berlutut ke arah kamarnya
It Teng Taysu, empat kali ia mengangguk, sembari menangis ia berkata:
“Supee, sungguh keponakanmu tidak menyangka
begini besar kau telah melepas budi menolongi jiwaku……”
Menyaksikan kelakuan si nona, roman si
pengail berempat nampak sedikit sabar.
“Ayahmu menitahkan kau menjalankan akalnya
ini mencelakai guru kami, benar-benar kau sendiri tidak tahu?” tanya si tukang pancing.
Ditanya begitu, Oey Yong
menjadi gusar.
“Mana dapat ayahku mencelakai supee?” katanya
keras. “Ayahku itu orang macam apa? Mana dapat ayahku
berlaku demikian hina dina?”
Si tukang pancing menjura.
“Jikalau ini bukan titah ayahmu, nona, harap
kau memberi maaf atas kelancanganku ini,” ia berkata.
“Hm!” berkata si nona. “Jikalau perkataanmu
barusan dapat didengar ayahku, tidak perduli kau muridnya supee, kau pasti
bakal diberi rasa sedikit!”
“Hm,” berkata si pengail, “Ayahmu digelarkan
Tong Shia, si Sesat dari Timur, maka itu kami pikir, apa yang dapat diperbuat
See Tok, si Bisa dari Barat, tentulah dapat dilakukan juga ayahmu. Sekarang ini
rupanya soal adalah lain.”
“Mana dapat ayahku dibanding dengan See Tok?”
berkata si nona. “Auwyang
Hong si bangsat tua itu, apa juga
dapat dia lakukan! Apakah yang dia telah perbuat?”
“Baik,” si pelajar datang sama tengah.
“Sekarang segala apa sudah jelas, mari
kita kembali ke dalam untuk bicara lebih jauh.”
Maka berenam mereka masuk ke kamar, untuk
terus berduduk, akan tetapi empat orang itu duduk demikian rupa, hingga
sendirinya mereka seperti memegat jalan keluar kedua muda-mudi itu. Oey Yong mengetahui itu, ia bersenyum, ia tidak mau membuka rahasia orang.
“Apakah kamu ketahui tentang urusan Kiu Im
Cin-keng?” si pelajar mulai bicara.
“Aku ketahui itu. Apakah ada sangkutannya
supee dengan kitab itu?”
“Ketika diadakan pertemuan pertama di Hoa San
itu, soalnya ialah perebutan kitab Kiu Im Cin-keng itu,” berkata si pelajar.
“Ketika itu Coan
Cin Kauwcu
adalah yang terlihay, kitab itu telah jatuh di tangannya. Bahwa semua orang
takluk kepada kauwcu itu, itulah bukan soal lagi. Tiong Yang Cinjin sangat
mengagumi ilmu Sian Thian Kang dari guru kami, maka juga di tahun kedua
bersama-sama adik seperguruannya dia datang mengunjungi guru kami di Tali,
ketika itu mereka berbicara banyak tentang ilmu silat itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar