Kamis, 01 November 2012

Sia Tiauw Enghiong 62



Bab 62
Si pelajar berempat menjadi sangat kaget begitu juga Kwee Ceng. Bersama-sama mereka berlompat menubruk. Mereka melihat daging di mukanya pendeta itu bergerak-gerak, tandanya dia lagi melawan rasa nyeri yang hebat. Mereka menjadi bingung sekali, tak tahu mereka bagaimana harus menolongnya. Semua lantas berdiri diam di pinggiran.
Tidak lama, It Teng bersenyum.
“Anak, adakah obatmu ini buatan ayahmu sendiri?” ia tanya Oey Yong.
“Bukan, supee. Inilah buatannya suko Liok Seng Hong, tetapi ia membuatnya menurut surat obat ayah.”
“Pernahkah kau mendengar dari ayahmu, kalau obat ini dimakan terlalu banyak dapat berbalik menjadi bahaya?” si pendeta menanya pula, suaranya sabar.
Oey Yong terkejut. “Mungkinkah ada yang tidak benar pada obatku ini?” pikirnya. Ia lekas menyahuti: “Ayah pernah membilang, semakin banyak dimakan semakin baik, hanya sebab pembuatannya sukar, ayah sendiri tidak berani memakan banyak-banyak.”
It Teng berdiam, agaknya ia berpikir. Kemudian ia menggeleng kepala.
“Ayahmu itu sangat cerdik dan pandangannya sangat jauh,” katanya, “Ia sangat sukar diterka hatinya hingga aku pun tidak dapat membilang apa-apa tentangnya.
Mungkinkah ia hendak menghukum Liok Suhengmu maka dia diberikan surat obat yang dipalsukan? Atau mungkinkah Liok Suhengmu itu bermusuh dengan kau maka di dalam obatnya itu dicampuri beberapa biji yang ada racunnya?”
Mendengar disebutnya racun, semua orang terkejut.
“Suhu, apakah suhu telah keracunan?” si pelajar tanya.
“Syukur di sini ada paman gurumu, maka biarnya racun yang lebih dahsyat lagi tidak akan membikin orang mati,” sahut sang guru.
Mukanya keempat murid itu lantas berubah, segera mereka menoleh kepada Oey Yomg dan berkata dengan bengis: “Guru kami bermaksud baik menolongi kau, cara bagaimana kau begini besar hati berani meracuninya?”
Segera mereka itu mengurung, agaknya mereka mau lamtas menerjang.
Kwee Ceng menjadi bingung sekali. Ia tidak nyana akan perkembangan semacam ini.
Oey Yong pun bingung tetapi segera ia berpikir segala sesuatu memgenai obat itu, hingga ia menduga, pada ini tentu ada hubungannya dengan perbuatannya Eng Kouw di rumahnya di rawa lumpur hitam itu. Bukan obat itu telah dibawa si nyonya ke lain kamar, untuk diperiksa, dan sampai sekian lama baru nyonya itu membawanya pula ke luar untuk diserahkan kembali kepadanya?
“Supee, aku mengerti sekarang!” katanya. Sebab segera ia dapat menerka. “Inilah perbuatannya Eng Kouw!”
“Benarkah Eng Kouw?” It Teng bertanya.
“Ya,” sahut si nona, dan ia tuturkan apa yang terjadi di rumah Eng Kouw, hingga sekarang ia menjadi bercuriga. “Dia pun telah memesan wanti-wanti supaya aku sendiri jangan makan obat ini. Tentu teranglah sudah sebab ia mencampuri racun di dalamnya.”
“Hm!” mengejek si petani. “Dia perlakukan kau baik sekali dan maka itu ia khawatir membuatnya kau mampus!”
Nona ini sangat berduka yang paman gurunya terkena racun, maka itu ia tidak memikir untuk mengadu lidah dengan murid orang, bahkan dengan perlahan ia kata:
“Sebenarnya dia bukannya berkhawatir untuk membikin aku mati, hanya dia khawatir, kalau aku memakannya, supee nanti tidak kena dia racuni……”
“Dosa, dosa,” berkata It Teng, yang menghela napas. Lantas sikapnya menjadi sangat tenang. Ia kata perlahan kepada muda mudi itu: “Inilah nasib dan dengan kamu berdua tidak ada hubungannya. Juga Eng Kouw sendiri, inilah telah terjadi karena karma. Sekarang pergi kamu beristirahat beberapa hari, habis itu baik-baik saja kamu turun gunung. Benar aku telah terluka tetapi adik seperguruanku pandai sekali mengobati racun, maka kamu tidak usah berkhawatir.”
Pendeta ini lantas menutup rapat matanya, ia tidak berkata-kata lagi.
Berdua muda mudi itu membungkuk, untuk pamitan. Mereka melihat It Teng bersenyum, tangannya dikibaskan, maka itu mereka tidak berani berdiam lebih lama lagi di situ, dengan perlahan mereka memutar tubuh dan mengundurkan diri. Si kacung menantikan mereka di luar kamar, mereka lantas diajak ke sebuah kamar di ruang belakang, kamar mana tidak ada perabotannya kecuali dua pembaringan bambu.
Tidak lama, di situ muncul dua orang pendeta tua dengan barang makanan sayur.
“Silahkan dahar,” mereka mengundang.
“Apakah taysu baik?” tanya Oey Yong. Ia senantiasa memikirkan paman guru itu.
“Siauwceng tidak tahu,” sahut satu pendeta, suaranya tajam. Ia lantas memberi hormat, untuk segera mengundurkan diri.
“Mendengar suara mereka, aku mengira wanita,” kata Kwee Ceng.
“Mereka thaykam,” berkata Oey Yong. “Tentu mereka itu telah merawati taysu semenjak taysu masih menjadi raja.”
Kwee Ceng heran.
Karena masing-masing berpikir, tidak ada nafsu dahar mereka. Terus mereka berdiam di dalam kamar yang sunyi itu, cuma kadang-kadang saja berkesiur suara angin lewat, membuatnya daun-daun bambu bersuara perlahan.
“Yong-jie, kepandaian taysu hebat sekali,” kemudian si pemuda berkata.
“Begitu?” kata si pemudi perlahan dan singkat.
“Guru kita,” kata pula Kwee Ceng, “Dan ayahmu juga Ciu Toako, Auwyang Hong dan Khiu Cian Jin, walaupun mereka semua lihay tidak nanti mereka dapat melawan It Teng Supee……”
“Coba bilang, di antara mereka berenam, siapa yang pantas mendapat sebutan jago nomor satu di kolong langit ini?”
Kwee Ceng berpikir.
“Sebenarnya sesuatunya dari mereka mempunyai keistimewaannya sendiri-sendiri,” sahutnya sesaat kemudian, “Dari itu tidak dapat dibilang siapa di antaranya yang paling lihay……”
“Di dalam halnya bun bu coan cay?” si nona menanya pula, tentang kepandaian orang dua-dua di dalam ilmu surat dan ilmu silat.
“Di dalam hal itu, tentulah ayahmu,” menyahut si anak muda.
Oey Yong girang, inilah kentara dari romannya. Hanya sebentar, ia lalu menghela napas.
“Maka itu inilah anehnya!” katanya.
“Apakah yang aneh?” tanya Kwee Ceng cepat. Ia heran.
“Taysu begini lihay, keempat muridnya lihay juga,” kata Oey Yong, “Tetapi kenapa mereka hidup bersembunyi di tempat sunyi begini? Kenapa asal mendengar ada orang datang, mereka nampak takut seperti juga bencana besar bakal mengancam mereka?
Di antara keenam jago, cuma See Tok dan Khiu Cian Jin yang mungkin menjadi  musuhnya, tetapi mereka itu berdua berkenamaan, apa mungkin mereka akan datang berdua untuk mengepung taysu?”
“Tetapi, Yong-jie,” kata Kwee Ceng. “Biarnya See Tok dan Khiu Cian Jin datang bersama, sekarang kita tidak usah takuti mereka.”
“Bagaimana itu?”
Kwee Ceng nampaknya likat, agaknya ia tak enak hati untuk menjawab.
“Eh, kenapakah kau nampaknya sulit bicara?” si nona menegur.
“Kepandaiannya It Teng Taysu pasti tidak ada di bawahan See Tok,” kata si anak muda kemudian, “Atau sedikitnya, mereka berimbang. Menurut penglihatanku, ilmu menotok jalan darah dari taysu mungkin ada cara untuk meruntuhkan Kap Moa Kang dari See Tok itu……”
“Bagaimana dengan Khiu Cian Jin?” Oey Yong tanya pula, “Apakah si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar, bukannya tandingan dia seorang?”
“Benar. Selama di puncak Tiat Ciang Hong, di gunung Kun San, di telaga Tong Teng, pernah aku melayani Khiu Cian Jin. Kalau kita bertempur seratus jurus, mungkin aku dapat melawan seri padanya, tetapi lebih daripada seratus jurus, belum tentu aku dapat bertahan lebih lama pula. Ketika tadi aku menyaksikan Taysu menotok kau……”
Mendadak Oey Yong menjadi girang, ia memotong: “Kalau begitu kau telah dapat mempelajari kepandaiannya Taysu! Dengan begitu bukankah kau bakal dapat mengalahkan Khiu Tiat Ciang?”
“Kau tahu sendiri otakku puntul,” berkata si anak muda, “Dan ilmu totok ini sangat dalam, mana bisa aku lantas berhasil memahamkannya? Hanya benar aku telah mendapatkan beberapa jurus. Aku pikir, untuk segera mengalahkan Khiu Cian Jin, itulah sukar, tetapi buat bertahan sampai satu jam atau tiga perempat, mungkin aku sanggup……”
Oey Yong lantas menghela napas.
“Dan kau pun melupakan satu hal,” katanya masgul.
“Apakah itu?”
“Sekarang ini Taysu terkena racun dan entah sampai kapan ia bakal sembuh……”
Kwee Ceng berdiam, lantas ia menjadi sengit.
“Kenapa si nenek, Eng Kouw demikian kejam?” katanya mengeluh. Ia baru berkata begitu, atau ia ingat suatu apa, hingga ia berseru: “Ah, celaka!”
Oey Yong kaget.
“Apa?” dia menanya.
“Kau telah berjanji dengan Eng Kouw!” si pemuda memberi ingat. “Setelah kau sembuh, kau mesti menemani dia satu tahun, bukan? Nah, habis bagaimana? Apakah janji itu mesti ditepati atau tidak?”
“Kau sendiri?”
“Jikalau kita tidak dapat petunjuknya, tidak dapat kita mencari It Teng Taysu. Itu waktu pastilah lukamu…… Ah, tak dapatlah dikatakan……”
“Kenapa tak dapat dikatakan? Bilang saja terus-terang. jiwaku tidak dapat ditotong lagi! Kaulah satu laki-laki maka kau tentunya ingin menepati janji itu, bukankah?”
Si nona lantas menjadi berduka. Ia ingat Kwee Ceng pun tidak suka melanggar janji perjodohannya dengan putri Gochin Baki dari Mongolia. Air mukanya menjadi guram.
Mengenai sifat wanita ini, Kwee Ceng asing, maka itu selagi Oey Yong berduka dan hendak menangis, ia tetapi tidak sadar. Maka ia kata; “Dia membilang ayahmu lihay, memang seratus kali daripadanya, umpama kata kau suka mengajari dia, dia bilang dia tak bakal dapat menyamai kulit atau bulu ayahmu. Dia telah mengetahui itu, habis apa perlunya dia masih menghendaki kau menemani dia?”
Oey Yong menutup mukanya, ia tidak menyahuti.
Pemuda itu masih tidak sadar, ia mengulangi pertanyaannya.
“Eh, tolol, benarkah kau tidak mengerti?” akhirnya tanya si nona gusar.
Kwee Ceng heran orang gusar tidak karu-karuan.
“Ya, Yong-jie, aku memang dasarnya tolol,” ia mengaku. “Maka itu juga aku minta kau suka memberikan keteranganmu.”
Oey Yong menyesal yang ia telah mengeluarkan perkataan keras itu, sekarang ia mendengar suara orang yang lemah lembut, orang yang telah mengaku ketololannya, ia menjadi sangat berduka, tak dapat tertahan lagi, ia menangis di dalam rangkulan pemuda itu.
Masih Kwee Ceng tidak mengerti, ia mengusut-ngusut punggung orang seraya menghibur.
Oey Yong menarik ujung baju orang, untuk menyusut air matanya.
“Engko Ceng, aku yang salah,” katanya. Mendadak ia tertawa. “Lain kali aku tidak bakal memaki pula kepadamu……”
“Memang aku tolol, apakah halangannya untuk kau mengatakannya?” kata si tolol, tetap polos.
Nona itu menghela napas.
“Ya, kau memang baik, akulah yang buruk,” katanya kemudian. “Mari aku menjelaskan padamu. Eng Kouw itu bermusuh sama ayahku, dia mencari ilmu kepandaian untuk dia pakai menyatroni Tho Hoa To, guna menuntut balas , tetapi dia telah mendapat kenyataan, dalam ilmu silat dia kalah dari kau, maka karena putus asa, dia mengubah siasatnya. Dia sekarang hendak menjadikan aku sebagai manusia tanggungan, supaya ayahku datang menolongi aku.
Dengan akal ini, dia jadi menang di atas angin, dia menjadi dapat jalan untuk mencelakai ayahku itu.”
Baru sekarang si tolol mengerti, maka ia menepuk pahanya.
“Oh, benar begitu! Kalau demikian adanya, janji itu tidak dapat ditepati!” ia berkata.
“Kenapa tidak?” tanya Oey Yong, “Pasti mesti ditepati.”
“Eh?” si anak muda heran.
“Eng Kouw itu sangat lihay,” berkata si nona, menerangkan. “Lihat saja bagaimana ia telah mencampuri racun di dalam obat Kiu-hoa Giok Louw Wan dengan apa dia mencelakai It Teng Taysu. Maka jikalau dia tidak disingkirkan, dia akhirnya bakal jadi ancaman bencana untuk ayahku. Dia ingin aku menemani dia, aku nanti menemaninya.
Sekarang aku telah bersiap sedia, tidak nanti aku kena diakali dia. Aku percaya, tidak perduli dia bakal menggunai tipu apa, aku merasa pasti bakal dapat memecahkannya!”
“Tetapi, itulah sama artinya kau menemani seekor harimau betina……” kata si anak muda masgul.
Oey Yong hendak berkata pula ketika kupingnya mendengar suara berisik dari sebelah depan, dari kamar sucinya It Teng Taysu. Itulah beberapa kali suara kaget atau seruan.
Kwee Ceng pun mendengar itu, maka keduanya saling mengawasi. Selagi mereka memasang kuping, suara berisik itu lantas lenyap.
“Entah bagaimana dengan taysu?” kata si pemuda.
Si pemudi menggeleng kepala.
“Nah, kau daharlah lantas tidur,” kata Kwee Ceng kemudian. Oey Yong masih menggeleng kepala. Atau mendadak: “Ada orang datang!” katanya.
Benar juga lantas terdengar tindakan kaki beberapa orang, di antaranya ada yang berkata dengan suara sengit: “Budak itu banyak akalnya, baik mampusi dulu padanya!”
Itulah suara si petani. Maka Kwee Ceng berdua terkejut.
“Jangan sembarang,” terdengar suara si tukang kayu. “Kita menanya jelas dulu.”
“Apa yang mau ditanyakan lagi?” kata si petani. “Sudah terang dua bangsat cilik itu disuruh musuh suhu datang kemari! Kita bunuh yang satu, biarkan yang satu lagi, untuk menanyakan keterangannya. Cukup kita memeriksa si tolol!”

Selagi mereka bicara, mereka sudah sampai di depan pintu kamar di mana Kwee Ceng dan Oey Yong berada. Nyata mereka tidak takut yang suara mereka dapat didengar orang di dalam kamar itu.
Kwee Ceng mengerti ancaman bahaya, tanpa bersangsi pula dengan pukulan “Hang liong yu hui”, ia menghajar tembok di belakangnya, hingga dengan suara sangat berisik tembok itu gempur, membuat sebuah liang. Setelah itu, dengan membungkuk, ia menggendong si nona, terus ia lompat melewati liang itu.
Di sana terlihat si petani, yang sangat gesit, sebelah tangannya diulur, guna menyambar kaki kiri si anak muda.
Oey Yong tidak berdiam saja, ia melihat sambaran itu, maka dengan tangan kirinya ia mengibas ke belakang, mengebut jalan darah yang tie-hiat dari si petani. Itulah ilmu kebutan, atau totokan, warisan ayahnya. Itulah yang disebut “Lan-hoa Hut-hiat Ciu”,
atau Bunga Anggrek Mengebut Jalan Darah. Ilmu ini tidak selihay ilmu totoknya It Teng tetapi toh berbahaya untuk lawan.
Si petani kaget, lekas-lekas ia menarik pulang sambaranmya, ia membaliki itu, untuk menangkis, tetapi gerakan ini memperlambat gerakannya, maka Kwee Ceng telah berhasil berlompat lewat, akan berlari terus dengan melompati tembok belakang. Di sini ia baru lari beberapa tindak, atau ia menjerit sendirinya, berkeluh kesah. Di depannya itu  ada tumbuh pohon duri setinggi sependirian orang, lebat dan banyak durinya, hingga tak dapat dilewati orang. Ketika ia menoleh, ia menampak mendatanginya empat orang       ialah si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar. Mereka itu lantas berdiri menghadang.
“Taysu menitahkan kami turun gunung, tuan-tuan telah mendengarnya sendiri,” berkata Kwee Ceng, “Kenapa sekarang kamu menghalangi kami?”
Si pengail mendelik matanya.
“Guru kami sangat baik hatinya, dia pemurah, dengan mengorbankan diri dia menolongi kamu, kenapa sekarang kamu……” kata dia, suaranya mengguntur.
Dua-dua muda mudi itu terkejut.
“Dia mengorbankan diri?” tanya mereka berbareng. “Bagaimana itu…..?”
“Fui……!” berseru si pengail dan petani.
Si pelajar tertawa dingin, dia berkata: “Lukamu, nona telah ditolong diobati oleh guruku dengan guruku itu mengorbankan dirinya! Mustahil kau benar-benar tidak ketahui itu?”
“Dengan sebenarnya, aku tidak tahu,” menyahut Oey Yong. “Tolong kau menjelaskannya.”
Pelajar itu mengawasi. Ia melihat roman orang benar seperti tidak lagi mendusta, maka ia berpaling kepada si tukang kayu. Dia ini mengangguk. Lantas ia berkata:
“Nona, kau telah mendapat luka yang sangat berbahaya, untuk menyembuhkannya kau mesti dapat penyaluran pada pelbagai jalan darah dan nadimu. Untuk itu dibutuhkan ilmu It Yang Cie Siang-thian Kanghu. Ilmu itu, semenjak meninggalnya Ong Tiong Yang Cinjin, kauwcu dari Coan Cin Pay, cuma guru kami satu orang yang mengerti itu. Meski begitu, kalau ilmu itu dipakai mengobati orang, dia sendiri mesti turut mendapat penyakit sebagai akibatnya, sebab dia mesti menggunai terlalu banyak tenaga terutama tenaga dalamnya. Untuk lima tahun, habislah semua kepandaian silatnya……”
Oey Yong kaget hingga ia mengeluarkan seruan tertahan. Ia menyesal dan malu sekali.
“Selama itu tempo lima tahun, untuk memulihkan diri, orang mesti berlatih dan bersemedhi setiap hari, siang dan malam, kalau dia salah berlatih, maka dia bakal nampak kegagalan dan kepandaiamnya itu tidak akan pulih kembali. Orang yang menjadi korbam begitu, entengnya dia bercacad seumur hidup, hebatnya dia lantas mati. Guruku begitu murah hati menolongi kau, kenapa kau begini jahat, kebaikan dibalas dengan kejahatan?”
Mendadak Oey Yong melepaskan diri dari Kwee Ceng, lantas ia berlutut ke arah kamarnya It Teng Taysu, empat kali ia mengangguk, sembari menangis ia berkata:
“Supee, sungguh keponakanmu tidak menyangka begini besar kau telah melepas budi menolongi jiwaku……”
Menyaksikan kelakuan si nona, roman si pengail berempat nampak sedikit sabar.
“Ayahmu menitahkan kau menjalankan akalnya ini mencelakai guru kami, benar-benar kau sendiri tidak tahu?” tanya si tukang pancing.
Ditanya begitu, Oey Yong menjadi gusar.
“Mana dapat ayahku mencelakai supee?” katanya keras. “Ayahku itu orang macam apa? Mana dapat ayahku berlaku demikian hina dina?”
Si tukang pancing menjura.
“Jikalau ini bukan titah ayahmu, nona, harap kau memberi maaf atas kelancanganku ini,” ia berkata.
“Hm!” berkata si nona. “Jikalau perkataanmu barusan dapat didengar ayahku, tidak perduli kau muridnya supee, kau pasti bakal diberi rasa sedikit!”
“Hm,” berkata si pengail, “Ayahmu digelarkan Tong Shia, si Sesat dari Timur, maka itu kami pikir, apa yang dapat diperbuat See Tok, si Bisa dari Barat, tentulah dapat dilakukan juga ayahmu. Sekarang ini rupanya soal adalah lain.”
“Mana dapat ayahku dibanding dengan See Tok?” berkata si nona. “Auwyang Hong si bangsat tua itu, apa juga dapat dia lakukan! Apakah yang dia telah perbuat?”
“Baik,” si pelajar datang sama tengah. “Sekarang segala apa sudah jelas, mari kita kembali ke dalam untuk bicara lebih jauh.”
Maka berenam mereka masuk ke kamar, untuk terus berduduk, akan tetapi empat orang itu duduk demikian rupa, hingga sendirinya mereka seperti memegat jalan keluar kedua muda-mudi itu. Oey Yong mengetahui itu, ia bersenyum, ia tidak mau membuka rahasia orang.
“Apakah kamu ketahui tentang urusan Kiu Im Cin-keng?” si pelajar mulai bicara.
“Aku ketahui itu. Apakah ada sangkutannya supee dengan kitab itu?”
“Ketika diadakan pertemuan pertama di Hoa San itu, soalnya ialah perebutan kitab Kiu Im Cin-keng itu,” berkata si pelajar. “Ketika itu Coan Cin Kauwcu adalah yang terlihay, kitab itu telah jatuh di tangannya. Bahwa semua orang takluk kepada kauwcu itu, itulah bukan soal lagi. Tiong Yang Cinjin sangat mengagumi ilmu Sian Thian Kang dari guru kami, maka juga di tahun kedua bersama-sama adik seperguruannya dia datang mengunjungi guru kami di Tali, ketika itu mereka berbicara banyak tentang ilmu silat itu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar