BAB 61
Toan Hong Ya |
Melihat orang menggendong tetapi gerakannya
demikian hebat, si pelajar menghela napas sendirinya dan di dalam hatinya ia
berkata: “Aku bangga atas kepandaianku ilmu surat dan ilmu silat, sekarang
ternyata, dalam ilmu surat aku tak ada seperti si nona, dalam ilmu silat tak
ada seperti si pemuda, sungguh aku mesti malu…” Ketika ia melirik kepada si
nona, nyata sekali nona itu sangat girang akan kemenangannya, rupanya ia
memikir ia telah merobohkan satu conggoan. Maka ia pikir, “Baiklah aku ganggu
dia, supaya ia jangan terlalu girang.” Maka ia lantas berkata: “Nona, meskipun
ilmu suratmu lihay, tetapi di dalam halnya prilaku, kau ada cacadnya.”
Oey Yong tertawa.
“Di dalam hal ini aku minta petunjukmu,” ia
bilang.
“Bukankah di dalam kitab Beng Coe ada bilang,
yang dibilang adat-istiadat ialah pria dan wanita tak dapat saling bersentuh
tangan?” katanya si pelajar. “Sekarang lihat sendiri, Nona adalah seorang gadis
dan dengan engko kecil ini, kamu bukanlah suami-istri, maka kenapa nona
membiarkan ia menggendong padamu? Beng Hoe-coe membilang, cuma kalau sang ipar
perempuan kelelap maka sang ipar lelaki dapat menolongnya. Nona ini tidak
kelelap, Nona pun bukan iparnya engko kecil ini, kenapa dia menggendong Nona?
Itulah sangat besar melanggar adat-istiadat.”
Mendengar sindiran atau ejekan ini Oey Yong
berpikir: “Hm! Engko
Ceng toh sangat baik denganku.
Memang dialah bukan suamiku, suko Liok Seng
Hong membilang demikian, sekarang
ini conggoan membilang demikian juga…” Ia tidak suka mengalah, maka sambil
mainkan mulutnya, ia berkata: “Beng Hoe Coe itu memang paling suka
mengaco-belo! Dapatkah kau percaya kau percaya kata-katanya itu?”
Mendengar demikian, si pelajar menjadi gusar.
ia tidak senang Beng Hoe Coe dikatakan mengaco-belo.
“Beng Hoe Coe ialah seorang nabi, seorang
rasul, mengapa kata-katanya tak dapat dipercaya?” dia tanya keras.
Oey Yong kata tertawa, bagaikan bersenandung,
ia kata: “Seorang pengemis mana mempunyai dua istri? Seorang tetangga mana
mempunyai demikian banyak ayam? Di jaman itu masih ada kaisar dari kerajaan
Ciu, kenapa orang mesti omong banyak dengan raja-raja Gui dan Cee?”
Mendengar kata-kata si nona, pelajar itu
berdiri menjublak. Ia mengetahui baik sekali kata-kata nona ini.
Apa yang disebutkan Oey Yong
adalah syair karya ayahnya sendiri. Oey Yok Su pintar akan tetapi tabiatnya
aneh, maka itu, sering ia membuat syair dengan apa ia mengejek Khong Coe dan
Beng Coe. Kalau bukan begitu, dialah bukan Tong Shia di Sesat dari Timur.
Beng Coe itu pernah bercerita
dari halnya seorang dari negeri Cee mempunyai seorang istri serta seorang
gunidk, toh untuk hidupnya, ia pergi mengemis sisa sayur dan nasi dingin, dan
halnya seorang yang setiap hari mencuri seekor ayam tetangganya. Dua cerita itu
disyairkan dengan maksud akan dipakai menipu orang. Tentang yang lainnya: jaman
itu ialah jaman perang antara negara (Cian Kok), itu masih ada raja dari
kerajaan Ciu, maka itu Tong Shia menanya, kenapa Beng Cu bukannya menunjang
raja Ciu, dia hanya pergi kepada raja muda Liang Hui Hong dan Cee Soan Ong
kepada siapa Beng Cu meminta pangkat? Tong Shia menganggapnya itu bertentangan
sama prilakunya seorang nabi atau rasul.
Pelajar ini berpikir: “Si orang negeri Cee
dan si tetangga itu cuma cerita, cuma cerita, perumpamaan saja, hanya yang
mengenai Beng Coe itu, mungkin Beng Coe sendiri di alam baka sukar menjawab…”
Ia melirik pula si nona, ia berpikir lagi: “Dia masih begini muda, kenapa dia
begini cerdik?”
Meski apa yang ia pikir itu, si pelajar
membungkam. Ia hanya memimpin dua muda-mudi itu. Ketika melewati pengempang, ia
memandang kepada daun teratai yang tadi disebutkan si nona itu, kemudian ia
melirik kepada si nona. Oey Yong tertawa dan melengos!
Tidak lama sampailah mereka di kuil, si
pelajar mengundang kedua tetamunya masuk ke kamar sebelah timur, di mana lantas
ada kacung pendeta yang menyuguhkan the.
“Jiewi, harap tunggu sebentar, hendak aku
mengabarkan guruku,” kata si pelajar.
“Eh, tunggu dulu,” berkata Kwee Ceng. “Itu
paman petani, di lereng gunung di tengah menahan batu yang ada kerbaunya, dia
tidak dapat meloloskan dirinya, baiklah paman pergi menolong dia.”
Mendengar ini, si pelajar kaget. Hingga tanpa
bilang apa-apa lagi, dia lantas lari keluar.
“Nah, lekaslah buka itu kantung yang kuning!”
kata Oey Yong kepada kawannya.
“Ah,” kata si pemuda, “Kalau kau tidak
menyebutnya, pasti aku lupa.” Ia lantas mengeluarkan kantung kuning itu, untuk
memerika isinya. Itulah kertas putih tanpa huruf, hanya ada gambar, yang
meggambarkan seorang India
yang menjadi raja, dengan pisau raja itu telah memotongi dagingnya hingga tak
ada tubuhnya yang utuh, sedang darahnya berhamburan. Di
depan raja ini ada sebuah dacin, alat peranti menimbang: di ujung yang satu ada
seekor burung dara putih dan di sebelah yang lain ialah dagingnya itu. Daging
lebih banyak, burung dara lebih kecil, tetapi buktinya, burung dara lebih
berat. Di samping dacin ada seekor
burung elang, yang romannya sangat bengis.
Sekian lama Oey Yong
mengawasi gambar itu, ia tidak mengerti maksudnya.
Kwee Ceng pun tidak tahu apa
artinya itu, karena si nona diam saja, ia turut berdiam. Maka ia gulung gambar
itu, utuk dipegangi dengan digenggam.
Tidak lama terdengar tindakan kaki yang berat
dan berisik, lalu nampak si petani datang dengan dipegangi si pelajar, romannya
sangat gusar. Rupanya ia mendongkol sebab kena diakali hingga ia seperti
tersiksa. Dia terus dibawa masuk ke dalam kuil.
Selang tak lama, muncullah satu kacung
pendeta. Dia memberi hormat dengan merangkpa kedua tangannya. Ia menanya.
“Jiewi datang dari tempat yang jauh, entah
ada urusan apa?”
“Kami sengaja datang untuk mohon menghadap Toan Hongya,”
Kwee Ceng menyahuti. “Kami minta tolong agar
kedatangan kami disampaikan.”
Pendeta itu merangkap kedua tangannya.
“Toan Hongya
sudah lama tak ada lagi di dalam dunia ini, maka sayang sekali, jiewi telah
bercapai lelah tanpa ada hasilnya. Silahkan dahar dulu, sebentar nanti
siauw-ceng mengantarkannya turun gunung.”
Kwee Ceng berdiam, karena ia
kecele sekali mendapat jawaban itu. Tidak demikian dengan Oey Yong,
yang telah melihat kuil itu dan sekarang si pendeta cilik ini. Ia menduga
sesuatu. Ia mengambil gambar dari tangannya Kwee Ceng, ia
kata: “Aku telah mendapat luka parah, sengaja aku datang ke mari untuk minta gurumu suka menolongi, dari itu sehelai
kertas ini tolong kau menyampaikannya kepada gurumu itu.”
Kacung itu menerima, ia tidak berani membuka
gambar itu, hanya setelah memberi hormat, ia masuk ke dalam. Tapi tidak lama ia
keluar pula, sembari menurunkan alisnya, sambil memberi hormat, ia berkata:
“Silahkan jiewi masuk.”
Itulah undangan, maka Kwee Ceng
menjadi girang sekali. Ia lantas pegangi Oey Yong,
untuk diajak mengikuti kacung itu.
Kuil itu kecil tetapi dalam. Kwee Ceng
berdua Oey Yong jalan di satu jalanan batu hijau yang
lecil melewati sebuah tempat di mana ada ditanam banyak pohon bambu, yang
daunnya lebat, keadaannya sunyi dan tenang, hingga siapa berada di situ, ia
tentunya terpengaruh suasana kesucian. Di
dalam rimba bambu itu terlihat sebuah rumah batu terdiri dari tiga ruang. Si kacung
pendeta lantas membuka pintu, untuk mempersilahkan kedua tetamunya masuk ke
dalam. Ia berdiri di pinggaran dengan sikapnya yang sangat menghormat.
Kwee Ceng girang. Ia bersenyum
kepada pendeta itu, sebagai tanda terima kasihnya. Bersama Oey
Yong, ia jalan berendeng masuk ke
dalam.
Di atas meja kecil ada
pedupaan dari kayu garu. Di kedua
samping itu ada berduduk masing-masing seorang hweeshio atau pendeta. Yang satu
mukanya hitam, hidungnya mancung, matanya dalam. Dialah seorang India. Yang
lainnya, yang bajunya kasar, mempunyai alis putih yang panjang, ujung alisnya
meroyot turun di ujung matanya. Wajah pendeta ini menunjuk ia murah hati, benar
sinar matanya rada guram, mungkin tercampur kedukaan, tetapi umumnya dia halus
dan agung. Si pelajar dan si petani berdiri di belakang pendeta alis panjang
ini.
Oey Yong bertindak tanpa sangsi lagi. Ia
menarik tangan Kwee Ceng, untuk menghampirkan pendeta itu, sambil membungkuk ia
berkata: “Teecu Kwee Ceng bersama Oey Yong menghadap Supee.”
Kwee Ceng terkejut mendengar nona itu
memanggil supee atau paman guru, meski begitu tanpa bersangsi lagi dia menekuk
kedua kainya untuk mengangguk sampai empat kali.
Pendeta alis panjang itu bersenyum, ia bangun
untuk berdiri, tangannya diulur mengasih bangun pada mereka itu. Ia pun tertawa
dan berkata: “Saudara Cit telah mendapatkan murid yang baik sekali dan saudara
Yok mendapatkan anak yang manis! Menurut katanya mereka ini…” ia menunjuk
kepada si petani dan si pelajar, “Lihay ilmu surat dan ilmu silat kamu berdua,
jauh melebihkan murid-muridku yang bodoh itu. Haha, sungguh kamu berdua harus
diberi selamat!”
Mendengar suara itu, Kwee Ceng merasa pasti
orang adalah Toan Hongya, maka ia heran kenapa seorang raja boleh berubah
menjadi hweeshio dan heran juga bahwa Toan Hongya dikatakan sudah mati, toh
orang masih hidup segar-bugar. Pula
ia heran yang Oey Yong lantas mengetahui pendeta itu adalah Toan Hongya
sendiri.
Lalu terdengar si pendeta menanya Oey Yong:
“Apakah ayahmu dan gurumu mu baik-baik semua? Ketika dulu hari kita berapat di
gunung Hoa San di mana kita merundingkan ilmu pedang bersama ayahmu, ayahmu itu
masih sebatang kara, siapa sangka baru
berpisah dua puluh tahun, dia telah mendapatkan satu anak perempuan yang cantik
dan pintar! Apakah kau ini mempunyai saudara tua dan muda, enci atau adik? Dan
kakek luarmu itu, dia orang gagah yang manakah?”
Ditanya begitu, matanya Oey Yong menjadi
merah.
“Ibuku cuma melahirkan aku seorang,”
sahutnya. “Ibu pun telah meninggal semenjka siang-siang. Siapa itu kakek
luarku, aku tidak tahu…”
“Oh,” kata pendeta itu, yang dengan perlahan
menepuk pundak orang, sebagai tanda menghibur. “Aku telah bersemadhi tiga hari
dan tiga malam, baru saja aku pulang. Apakah kamu sudah lama menunggu aku?”
Oey Yong berpikir: “Dilihat
dari sikapnya ini, dia sangat menyukai kami. Maka mungkin di sepanjang jalan
tadi, yang menyulitkan kami adalah bisanya muridnya itu…” Karena itu, ia lekas
menyahut: “Teecu juga baru tiba. Syukur beberapa paman telah mempersulit di
tengah jalan, kalau tidak, tentulah kami sudah tiba semenjak tadi-tadi, hingga
dengan supee tengah bersemadhi mungkin tibanya kami akan sia-sia belaka.”
Mendengar itu, si pendeta tertawa riang.
“Mereka itu sangat khawatir aku bertemu sama
orang luar,” katanya. “Sebenarnya, bukankah kau bukannya orang luar? Ah, anak,
muridmu tajam sekali, dasar turunan! Baiklah kamu ketahui, Toan Hongya
sudah tidak ada lagi dalam dunia ini, sekarang aku dipanggil It Teng Hweesio.
Gurumu ketahui ketika aku mulai menganut agama, ia menyaksikannya, ayahmu
mungkin belum mengetahuinya.”
Baru sekarang segala apa terang bagi Kwee Ceng.
Toan Hongya telah menjadi Hweeshio, dia memakai
nama It Teng itu, pantas dia dikatakan sudah menutup mata. Memang siapa
menyucikan diri, dia bagaikan menjelma pula. “Suhu mengetahui tentang supee
ini, kalau suhu menyuruh kita ke amri, tidak nanti ia menyebut pula Toan Hongya,
hanya It Teng Taysu.” Maka itu, benar-benar Oey Yong
cerdik sekali, ia lantas dapat menerka!
“Memang juga ayah tidak tahu,” berkata Oey
Yong.
“Benar,” It Teng pun bilang sambil ia
tertawa. “Tentang gurumu itu, mulutnya itu lebih banyak yang masuk, sedikit
yang keluar, yang dimakan banyak, yang dibicarakan sedikit, maka itu urusan aku
si pendeta tua tentulah dia tak suka bicarakan itu sama lain orang. Kamu datang
dari tempat jauh, kamu sudah dahar atau belum? Ah….” Mendadak pendeta ini
terkejut, lalu ia menarik tangan Oey Yong
ke depan pintu di mana ia mengawasi dengan tajam, di sinar matahari. Di sini dia nampak seperti kaget.
Kwee Ceng benar tak gelap
pikirannya tetapi tahulah ia bahwa It Teng Taysu tentu telah mendapat lihat
sakitnya Oey
Yong, maka itu, hatinya jadi
sangat pedih, lantas saja ia menjatuhkan diri di depan pendeta itu,
berulang-ulang ia mengangguk.
It Teng meluncurkan sebelah tangannya, akan
mengangkat bangun bocah itu.
Kwee Ceng merasakan satu
tenaga besar membentur tangannya, ia tidak berani menentang itu, ia lantas
mengikuti, maka ia berbangkit dengan perlahan-lahan. Sembari bangun, ia
berkata: “Teecu mohon supee suka menolongi jiwanya sumoy ini…”
It Teng mengangkat si anak muda dengan
mengandung dua maksud, satu untuk mengasih bangun benar-benar, yang lain guna
mencoba tenaga dalam bocah itu. Umpama Kwee Ceng melawan, tidak nanti ia
membikin orang terluka atau terpelanting, di dalam hal itu, ia pandai mengendalikan
tenaganya. Sebaliknya, meskipun Kwee Ceng mengikuti, ia merasa bahwa anak muda
ini juga pandai mengendalikan tenaganya, maka itu ia menjadi kagum.
“Saudara Cit mendapat murid yang bagus
sekali,” pikirnya. “Pantas murid-muridku kalah…”
Sementara itu, habis orang berkata, Kwee Ceng
kaget sekali. Mendadak ia merasa tubuhnya kena tertarik hingga ia maju satu
tindak, ketika ia mencoba menahan diri, mukanya menjadi merah tahu benar
lihaynya pendeta tua itu. Sebenarnya ia menduga It Teng sudah berhenti menguji
padanya, ia mengendorkan diri seperti wajar, tidak tahunya, ia diuji terus.
Sekarang ia menginsyafi benar lihaynya Tong Shia dan See Tok, Lam Tee dan Pak
Kay.
It Teng dapat melihat sinar mata anak muda
itu, ia heran dan kagum, ia menepuk perlahan pundak orang, sembari tertawa ia
kata: “Anak, kau telah mempunyai kepandaianmu ini, sungguh inilah dukar
didapat.”
Dilan pihak, pendeta ini masih belum
melepaskan tangannya yang satu lagi yang memegangi tangan Oey Yong,
maka ia lantas menoleh kepada si nona. Hanya kali ini ia tidak lagi tertawa
hanya bersenyum, cuma dengan sungguh-sungguh dengan perlahan sekali, ia bilang:
“Anak, jangan kau takut, kau tetapkan hatimu.”
Lalu ia menuntun nona itu, untuk dikasih
duduk.
Oey Yong sangat bersyukur.
Seumurnya belum pernah ia merasa orang perlakukan ia begini manis
dan halus, tidak juga ayahnya yang aneh itu. Ayahnya itu menyayangi ia, tetapi
sikap mereka berdua mirp sahabat erat, tidak pernah si ayah menunjuk tegas
cinta kasihnya seorang ayah sebagaimana umumnya. Maka itu, tanpa merasa, ia
menangis.
“Jangan menangis, anak yang baik, jangan
menangis,” It Teng menghibur. “Tubuhmu sakit, bukan? Nanti supeemu mengobati
kau hingga sembuh.”
Hanyalah semakin halus ia pendeta berbicara,
semakin sedih hatinya si nona, hingga ia menangis tersedu-sedu tak hentinya.
Kwee Ceng girang mendengar It
Teng memberi janjinya itu, tetapi kebetulan ia mengangkat kepalanya dan melihat
si petani dan si pelajar, ia terkejut. Dua orang itu memandang dia dengan wajah
bermuram durja tanda dari kemurkaan. Ia berpikir: “Kami bisa masuk sampai di
sini, semua itu mengandal kepada kecerdikannya Oey Yong, yang pandai menggunai
tipu daya, tidak heran, selagi It Teng Taysu begini baik, kenapa keempat
muridnya menggunai segala jalan untuk menghalang-halangi kami?”
Pemuda ini baru berhenti berpikir ketika ia
mendengar It Teng menanya Oey
Yong. Katanya: “Anak, bagaimana
caranya kau terluka, dan bagaimana jalannya hingga kau dapat masuk ke mari,
coba kau tuturkan pada supeemu.”
Oey Yong memberikan keterangan bagaimana ia
terlukakan Khiu Cian Jin, yang mula ya ia tidak tahu ada yang tulen dan ada
yang palsu, karena kesangsiannya itu, ia mandah saja kasih dirinya dihajar.
Mendengar disebutknya nama Khiu Cian Jin, It
Teng Taysu itu mengerutkan alis, hanya sejenak, lalu ia dapat bersenyum pula,
ia nampak tenang seperti biasa.
Oey Yong si cerdik bicara sambil diam-diam
memperhatikan si pendeta itu, maka air muka orang itu tidak lolos dari
pandangan matanya yang tajam. Begitu ketika ia menutur sampai di bagian mereka
bertemu Eng Kouw di rimba rahasia dan rawa lumpur hitam, ia juga mendapatkan si
pendeta itu berubah lagi romannya, si pendeta seperti tengah mengenang
peristiwa lama. Karena ini, ia menunda penuturannya itu.
“Kemudian bagaimana?” tanya
It Teng, yang menghela napas.
“Kemudian kami sampai di kaki gunung,”
melanjuti Oey
Yong yang terus menceritakan
bagaimana mereka dipersulit si tukang pancing, tukang kayu, yang memberi mereka
lewat dengan gampang, sebaliknya, mengenai tiga yang lain, ia sengaja
menambah-nambahkan hingga si petani dan pelajar mendongkol bukan buatan.
“Yong-jie, jangan omong sembarangan,”
beberapa kali Kwee
Ceng campur bicara. “Paman-paman
itu tak ada sedemikian galak….”
Oey Yong berani bicara begitu
rupa, karena ia tahu, di depan gurunya, mereka itu tidak nanti berani berbuat
sesuatu atas dirinya. Ia memang sengaja hendak mengocok isi perut mereka itu.
“Anak-anak itu benar perbuatannya kurang
bagus terhadap anak-anak kecil,” kata It Teng kemudian. “Biarlah sebentar aku
menyuruh mereka menghanturkan maaf kepada kamu.”
Oey Yong melirik dua murid
itu, selagi ia bercerita terus sampai ia memasuki kuil ini, akhirnya ia
tambahkan. “Begitulah teecu lantas memberikan gambar itu untuk supee periksa.
Sedari itu waktu, baru mereka tidak berani menghadang kami lagi.”
It Teng nampaknya heran.
“Eh, gambar apakah itu?” ia tanya.
“Itulah gambarnya burung elang, burung dara
dan daging yang dipotong,” menyahut si nona.
“Kau serahkan itu pada siapa?” It Teng tanya
pula.
Belum lagi Oey Yong
menyahuti, si pelajar telah merogoh sakunya dan mengeluarkan gambar itu.
“Gambar itu ada pada teecu, suhu,” ia
berkata. “Tadi suhu belum selesai bersemadhi, gambar itu teecu tidak berani
lantas menyerahkannya.”
It Teng menyambuti gambar itu.
“Lihatlah!” katanya. “Jikalau kau tidak menyebutkannya,
mana aku bisa melihat ini?” Ia membuka gambar itu perlahan-lahan, terus ia
lihat. Cuma sekelebatan, ia lantas tertawa dan kata: “Kiranya orang khawatir
aku tidak suka menolong kau, maka ia menggunai gambar ini untuk membangkitkan
kemendongkolanku, agar hatiku menjadi panas. Tidakkah dengan begitu ia jadi
memandang enteng sekali kepada aku si pendeta tua?”
Oey Yong tidak menjawab, ia
hanya melirik si petani dan pelajar, hingga ia kembali melihat muka orang
suram, agaknya hati mereka cemas dan tetap mendongkol. Ia menjadi heran sekali.
Ia tanya dirinya sendiri: “Kenapa
mereka tak senang mendengar It Teng Taysu berniat mengobati aku? Kenapa mereka
seperti menghendaki kematianku? Adakah itu disebabkan obatnya ada obat dewa?”
Ia mengawasi pula si pendeta, yang lagi memperhatikan gambar itu, yang bahkan
dibawa ke terangnya matahari, untuk ddiperiksa dengan teliti. Dia bukannya
membaca hanya memperhatikan kertasnya. Beberapa kali kertas itu
disentil-sentil, dan air mukanya di pendeta menandakan ia ragu-ragu.
“Adakah lukisan ini lukisannya Eng Kouw
sendiri?” ia menanya.
“Benar.”
Pendeta itu berdiam sejenak.
“Kau melihatnya dengan matamu sendiri?”
Pertanyaan ini heran, maka Oey Yong
mengingat-ingat kejadian hari itu. Ia menjawab: “Di
waktu Eng Kouw menulis, ia membelakangi kami berdua, aku cuma melihat ia
menggoyangi pit, entah dia menulis surat
atau melukis gambar.”
“Kau membilang masih ada dua kantung surat lainnya. Mana,
kasih aku melihatnya.”
Kwee Ceng menyerahkan dua
lembar surat
wasiat itu.
It Teng mengawasi sekian lama, lalu air
mukanya berubah.
“Benarlah!” katanya kemudian. Ia menyerahkan surat itu pada si nona
seraya berkata: “Saudara
Yok itu seorang pelukis pandai,
kau putrinya, kau tentu mengerti segala apa. Kau lihat ketiga surat itu, ada apakah yang berlainan?”
Oey Yong menyambuti dan
memeriksa.
“Ini dua kerta giokpoan yang biasa,” ia
berkata. “Dan gambar ini memakai
kertas ciu-song.”
It Teng mengangguk.
“Mengenai lukisan, akulah si orang diluar
kalangan,” katanya pula. “Coba kau bilangi aku pandanganmu tentang gambar ini.
Oey Yong meneliti.
“Supee pura-pura menjadi orang di luar
kalangan!” katanya tertawa. “Sebenarnya supee telah melihatny, ini bukan gambar
lukisannya Eng
Kouw sendiri!”
Kembali berubah air mukanya It Teng.
“Jadi benar ini bukannya lukisannya Eng Kouw
sendiri?” katanya. “Aku melihatnya dari jalan pikirannya, bukannya dari
gambarnya.”
Oey Yong menarik tangan
orang.
“Mari
lihat huruf-hurufnya kedua surat
ini,” ia berkata. “Bagaimana halus tekukannya dan indah. Huruf-huruf di dalam
gambar sebaliknya kaku! Ah, inilah lukisannya seorang laki-laki! Memang,
mestinya dia seorang pria, hanya sayangnya dia tidak mempunyai minat
menggambar, lukisannya tak ada harganya. Tetapi tulisannya ini, karena ia
menggunai tenaganya, telah menembus ke belakang kertas… Air bak ini juga
mestinya telah lama sekali, jangan-jangan lebih tua dari usianya…”
It Teng Taysu
menghela napas. Ia menunjuk kepada sebuah kitab di atas meja, ia menyuruh si
pelajar mengambilnya untuknya.
Oey Yong membaca judulnya
kitab, maka ia kata di dalam hatinya; “Dia mau bicara tentang kitab suci dengan
aku, mana aku mengerti….” Itulah sebuah kitab suci dan pula cetakan tua.
It Teng membuka lembarannya kitab itu, lalu
di samping itu ia meletaki gambar dari Eng Kouw.
“Kau lihat!” katanya.
“Eh, kertasnya sama!” kata Oey Yong
heran.
Pendeta itu mengangguk.
Kwee Ceng tidak mengerti,
sambil berbisik ia tanya si nona,
kertas apanya yang sama.
“Kau lihat sendiri dan bandingkanlah,” kata Oey Yong.
“Bukankah kertasnya gambar dan kitab ini sama saja?”
Si anak muda mengawasi teliti dan memegang
juga kedua kertas, yang tebal dan licinnya sama saja.
“Benar sama. Habis bagaimana?” ia tanya.
Si nona tidak menjawab, ia hanya memandang It
Teng, untuk memperoleh jawaban.
“Kitab ini dibawa oleh adik seperguruanku
dari Wilayah
Barat,” berkata pendeta itu alias Toan Hongya.
Semenjak semula, Kwee Ceng
dan Oey Yong tidak memperhatikan si pendeta bangsa
India
itu, baru sekarang mereka menoleh dan mengawasi. Pendeta itu tetap duduk
bersila, tidak bergerak atau menoleh, tidak memperdulikan orang bicara asyik di
dekatnya.
“Kitab ini juga terbuat dari kertas buatan Wilayah Barat,
demikian juga kertas dari gambar ini,” kemudian It Teng berkata pula.
“Pernahkah kau mendengar namanya gunung Pek To San di Wilayah Barat itu?”
Pek To San ialah gunung Unta Putih.
“Gunungnya See Tok Auwyang Hong?” tanya Oey
Yong terkejut.
“Tidak salah,” menyahut si pendeta perlahan.
“Gambar ini pun dilukis oleh Auwyang
Hong.
Oey Yong dan Kwee Ceng
kaget sampai mereka bungkam.
It Teng Taysu
bersenyum.
“Auwyang Kongcu
itu seorang yang pandai berpikir dan jauh pendengarannya,” katanya.
“Supee, aku tidak tahu kalau gambar ini
dilukis oleh si bisa bangkotan itu!” kata Oey Yong.
“Kalau begitu dia bermaksud tidak baik tentu….”
It Teng bersenyum, tetapi kapan ia melihat
parasnya si nona, yang merah, suatu tanda nona ini lagi menahan sakit, ia
mengulur tangannya memegang pundak orang.
“Baiklah belakangan saja kita bicara lebih
jauh. Sekarang yang penting ialah mengobatimu,” katanya. Lalu ia mengajak si
nona pergi ke kamar samping.
Belum lagi mereka memasuki kamar itu, si
pelajar dan si petani, yang saling melirik, sudah mendahului lompat ke pintu
kamar untuk menghalangi di situ. Keduanya lantas berlutut dan berkata: “Suhu,
biarlah teecu saja yang mengobati nona ini.”
It Tent menggeleng kepala.
“Apakah pelajaranmu telah cukup?” ia
bertanya. “Apakah kau sanggup mengobati hingga sembuh?”
“Teecu akan mencoba sebisa-bisanya,” menyahut
kedua murid itu.
Si pendeta lantas mengasih lihat roman
sungguh-sungguh.
“Apakah nyawa manusia dapat dicoba-coba?” ia
kata nyaring.
“Dua orang ini datang ke mari atas petunjuk orang jahat,” kata si pelajar,
“Mereka pasti tidak mengandung maksud baik. Walaupun suhu bermaksud baik hendak
menolongi orang tetapi tidak dapat suhu kena diperdayakan akal jahat!”
It Teng menghela napas.
“Apakah yang setiap hari aku mengajarkan
kamu?” ia tanya perlahan-lahan.
“Baiklah kau bawa gambar ini dan pergilah lihat-lihat.”
Guru ini menyerahkan
gambarnya Auwyang
Hong itu.
Si petani mengangguk dalam.
“Suhu, gambar ini dilukis See Tok,” katanya.
“Inilah akal busuk dari Auwyang
Hong….”
Kelihatannya murid ini bergelisah sekali,
sampai air matanya turun mengalir.
Oey Yong dan Kwee Ceng
mengawasi dengan bingung. Mereka tidak menyangka, kenapa tindakannya It Teng
Taysu untuk mengobati ada demikian rupa sangkut pautnya. Apakah yang
menyebabkan sikapnya kedua murid itu?
“Bangun, bangun,” kata It Teng perlahan.
“Jangan kamu menyebabkan hati tetamu kita menjadi tidak tenang.”
Suara itu sabar akan tetapi nadanya ialah
nada dari putusan mutlak. Kedua murid itu rupanya mengerti, terpaksa mereka
berdiam, mereka berbangkit untuk berdiri di pinggaran, kepala mereka tunduk.
It Teng Taysu
mengajak Oey
Yong masuk.
“Kau juga masuk!” ia memanggil Kwee ceng,
yang berdiri diam.
Pemuda itu bertindak masuk.
Setelah itu, It Teng menarik turun sero
bambu, terus ia menyulut sebatang hio, untuk ditancap di tempat abu di atas
meja.
Kamar itu berperabot kecuali sebuah meja
bambu itu cuma dengan tiga buah tempat duduk dari tikar. Oey Yong
diperintah duduk di tikar yang tengah. Kepada Kwee
Ceng ia memesan: “Kau jagai hio
itu, kalau sudah terbakar habis, kau beritahu aku.”
Pemuda itu menyahuti, “Ya!”
Lantas It Teng duduk di tikar di samping si
nona, matanya memandang ke sero, segera ia memesan pula kepada si anak muda;
“Kau jagai pintu juga, jangan ijinkan orang lain masuk ke mari
- tidak peduli adik seperguruanku atau murid-muridku, kau jangan kasih masuk!”
Kwee ceng heran tetapi ia berikan janjinya.
Habis itu It Teng merapatkan kedua matanya.
Tapi tak lama, ia melek pula, ia berkata kepada si pemuda: “Jikalau mereka itu
sampai menggunai kekerasan, kau lawan! Ingat, di sini ada bergantung jiwanya
sumoymu!”
Kwee Ceng mengangguk, ia jadi
semakin heran, hatinya pun tegang.
It Teng lalu berkata kepada Oey Yong:
“Kau kedorkan seluruh tubuhmu, tidak peduli ada rasa nyeri atau gatal bagaimana
hebat juga, jangan kau membuat perlawanan atasnya!”
Si nona tertawa ketika ia menyahuti: “Aku
menganggap diriku sudah mati…!”
Mau tidak mau, It Teng pun tertawa.
“Anak yang baik, kau benar-benar pintar!” ia
memuji. Ia lantas menutup pula matanya untuk memusatkan pikirannya. Ketika hio
sudah terbakar kira satu dim, mendadak ia berlompat bangun, tangan kirinya
diangkat, diletaki di dadanya, tangan kanannya, dengan jari telunjuknya,
diarahkan, ditotokan ke jalan darah pek-hwee-hiat di embun-embunan Oey Yong.
Ketika ditotok itu, tanpa merasa, Oey Yong
berjingkrak sendirinya, terus ia merasa dari embun-embunnya itu keluar hawa
panas.
Habis menotok, It Teng menarik pulang
tangannya itu, hanya belum lewat sejenak, kembali ia sudah menotok, sekarang di
jalan darah houw-teng-hiat di belakang jalan darah pek-hwee-hiat itu,
terpisahnya cuma satu dim. Setelah itu, dengan saling susul ia menotok terus
pelbagai jalan darah lainnya, seperti kiang-kian-hiat, laohu-hiat, honghu-hiat,
ah-bun-hiat, taytwie-hiat, totoo-hiat dan lainnya, maka ketika hio terbakar
baru setengah batang, dia sudah menotok semua tigapuluh jalan darah.
Kwee Ceng telah maju jauh, maka itu ia bisa
menyaksikan cara menotok dari It Teng itu, hingga ia melihat tegas kelihayan si
pendeta. Sesuatu gerakan beda satu dari lain. Ilmu totok semacam itu, ia belum
dapat dari Kanglam Liok Koay, bahkan di dalam kitab bagian ilmu totok dari Kiu
Im Cin-keng, tidak ada dicatat juga. Menyaksikan itu, ia kagum hingga mulutnya
terbentang dan matanya hampir kabur. Selama itu ia tidak ingat yang It Teng
lagi menggunai seluruh tenaga dalamnya guna menyalurkan semua jalan darah dan
nadi Oey Yong.
Habis menotok itu, It Teng duduk untuk beristirahat.
Sesudah itu, sesudah Kwee Ceng menyulut sebatang hio yang lain, ia mulai
bekerja pula. Kali ini dia menotok duapuluh lima jalan darah yang disebut
bagian nadi dim-meh. Pula kali ini, totokan dilakukan dengan kesebatan,
gerakannya bagaikan sesapung menyambar-nyambar air, ia seperti menahan napas.
Yang hebat, semua totokan itu tidak pernah gagal.
“Sungguh hebat, di kolong langit ini ada
kepandaian seperti ini,” kata Kwee Ceng di dalam hatinya saking kagum.
Kemudian It Teng Taysu menotok pula empatbelas
jalan darah yang disebut im-wie-meh. Juga totokan itu dilakukan dengan lain
cara, dengan gerak-gerik kaki “jalan naga” dan “tindakannya harimau”, hingga
sikapnya nampak sangat angker, hingga dimatanya Kwee Ceng, dia bukan lagi
seorang pendeta suci dan alim, hanya seorang raja dari berlaksa rakyat negeri.
Sekali ini It Teng tidak beristirahat lagi, ia meneruskan menotok tigapuluh dua
jalan darah dari yang-wie-meh. Totokan ini dari jarak sedikit jauh. Umpama
ketika ia menotok jalan darah hongtie-hiat di leher si nona, ia berlompatan
dari jarak setombak, habis itu terus ia lompat mundur pula, demikian
seterusnya.
Menampak cara menotok itu, Kwee Ceng
kata di dalam hatinya: “Kalau kita lagi bertempur sama musuh yang tangguh,
apabila bertempur dengan rapat berbahaya, bolehlah kita pakai cara jauh ini. Dengan begitu, sambil menyerang untuk
merebut kemenangan, kita juga dapat membela diri dengan sempurna.”
Demikian, sembari menonton, anak muda ini
mengingati baik-baik setiap totokan itu, bagaimana sikapnya, dari bersiap
sampai menotok dan sampai sesudahnya itu, untuk mulai dengan lain-lain totokan
lagi. Diam-diam ia juga mengutuk dirinya, yang dikatakan bebal sekali, yang
gampang lupa, hingga ada yang baru dilihat lalu tak teringat lagi.
Setelah menukar lagi dua batang hio, It Teng
sudah selesai menotok dua bagian jalan darah im-kiauw dan yang-kiauw. Ketika
Kwee Ceng melihat totokan pada jalan darah kie-kut-hiat, mendadak ia ingat:
“Ah, totokan ini ada termuat di dalam Kiu Im Cin-keng! Dasar aku yang tolol, aku
tidak dapat menangkap maksudnya!”
Sekarang ia melihat gerak-gerak It Teng sama
dengan petunjuk-petunjuk dalam kitab Kiu Im Cin-keng itu. Hal ini menggampangi
ia mengingat-ingat, hingga ia mengingat baik tempo It Teng menotok jalan darah
ciong-meh.
Paling belakang It Teng Taysu hendak menotok
jalan darah tay-meh. Untuk itu, ia mesti jalan ke belakang Oey Yong.
Pertama kali ia menotok ciangbun-hiat, sedang semuanya ada delapan jalan darah.
Sekarang nampak gerakannya si pendeta sangat lambat, agaknya ia bergerak sukar
sekali, sedang napasnya sudah memburu dan tubuhnya terhuyung, bagaikan ia tak
kuat berdiri lebih lama pula.
Kwee Ceng melihat semua itu,
ia terkejut apapula kapan ia menampak peluh membasahi jidatnya pendeta itu,
mengucur di alisnya yang putih dan panjang itu. Ia ingin maju menolongi tetapi
ia khawatir mengganggu. Tempo ia mengawasi Oey Yong,
si nona telah bermandikan keringat, pakaiannya basah. Dia pun mengerutkan alis dan menutup mulut rapat-rapat, rupanya ia
melawan rasa nyeri yang hebat.
Selagi anak muda ini terbengong, mendadak ia
mendengar satu suara di sebelah belakang, ialah dari tersingkapnya sero bambu,
suara mana disusul sama panggilan nyaring: “Suhu!” Disusul lagi sama masuknya
orang yang berseru itu. Belum ia ingat itu, ia segera menyerang ke belakang,
dengan salah satu totokannya It Teng barusan. Ia menyerang saling susul dengan
cepat sekali hingga empat kali. Sebagai kesudahan dari itu, ia mendengar suara
robohnya beberapa orang. Sekarang barulah ia menoleh ke belakang, tepat di saat
satu orang, ialah si pelajar, berlomnpat ke belakang, hingga ia bebas dari
totokan. Yang roboh ialah si tukang pancing, si tukang kayu dan si petani
bertiga, mereka terus rebah di lantai. Ia bengong mengawasi mereka, sebab tak
dipikirnya untuk menyerang mereka itu. Ketika ia memandang si pelajar itu, dia
itu lagi mengawasi ia dengan bengis, satu tanda orang ada sangat gusar.
“Habis sudah!” berseru si pelajar dalam
murkanya. “Apalagi yang hendak dicegah?”
Kwee Ceng menoleh, maka ia melihat It Teng
Taysu lagi duduk bersila di atas tempat duduknya, mukanya pucat sekali, bajunya
basah dengan peluhnya, sedang Oey Yong telah roboh dengan tubuh tak bergerak,
entah dia sudah meninggal atau masih hidup. Maka dalam kagetnya, ia lompat
menubruk, guna mengasih bangun. Paling dulu hidungnya mendapat cium bau amis.
Muka nona itu pucat bercampur sinar biru, tak
ada cahaya dari darahnya, hanyalah sinar hitamnya yang samar-samar sudah lenyap
semua.
Kwee Ceng mendengari napas orang di hidung,
jalan napas itu berat sekali. Tapi dengan mendapat dengar suara napas itu, ia
merasa lega sedikit.
Ketika itu si pelajar sudah menolongi menotok
bebas si tukang pancing, si tukang kayu dan si petani, bersama-sama mereka
merubungi guru mereka, semua membungkam, roman mereka diliputi kedukaan dan
kegelisahan.
Kwee Ceng tidak memperhatikan mereka itu, ia
terus menungggui si nona, muka siapa ia awasi. Maka hatinya menjadi bertambah
lega kapan dengan perlahan-lahan ia mendapatkan paras nona itu berubah pula
sedikit dadu. Hanya paras dadu itu, lama-lama berubah terus, lalu merah, habis
mana kedua pipi nona itu terasa panas begitu pun dahinya, panasnya seperti api
ketika dahi itu diraba.
Lagi beberapa saat, butir-butir peluh yang
besar turun dari jidatnya di nona lalu kembali parasnya berubah, dari merah
menjadi putih pula. Kejadian ini terulang sampai tiga kali, tiga kali juga
peluh keluar banyak sekali. Diakhirnya, Oey Yong
mengeluarkan suara kaget dan kedua matanya dibuka, terus ia menanya: “Engko Ceng,
mana dapur? Mana es?”
Bukan kepalang girangnya Kwee Ceng
mendengar orang dapat berbicara.
“Apa dapur? ia bertanya. “Apa es?”
Si nona melihat ke seputarnya, ia menggeleng
kepala. Akhirnya ia tertawa.
“Ah, aku bermimpi hebat sekali!” katanya.
“Aku bermimpikan Auwyang
Hong, Auwyang Kongcu
dan Khiu Cian Jin.
Mereka itu menjebloskan aku ke dalam dapur, untuk dipanggang, lalu mereka
mengambil es, dengan apa aku dibikin dingin, setelah tubuhku dingin, dia
membakar pula…Ah, sungguh menakutkan! Eh, bagaimana dengan It Teng Taysu?”
It Teng membuka matanya, ia tertawa.
“Lukamu sudah sembuh,” katanya. “Sekarang kau
perlu beristirahat satu atau dua hari. Jangan sembarang bergerak, supaya kau
nanti sembuh seluruhnya.”
“Seluruh tubuhku rasanya tidak bertenaga sama
sekali,” berkata si nona, “Sampai pun jari tangan malas digeraki…”
Ketika itu si petani mendelik pada si nona,
dia agaknya sangat gusar. Oey
Yong melihat itu, ia tidak
mengambil mumat. Ia hanya kata kepada paman gurunya itu.
“Supee tentulah sangat lelah sebab untuk
mengobati aku, supee telah mengeluarkan banyak tenaga. Aku mempunyai obat
Kiu-hoa Giok-louw-wan buatan ayahku, apa supee mau memakannya beberapa biji?”
“Bagus!” kata It Teng gembira. “Aku tidak
menyangka kau membawa obat mujarab buatan ayahmu itu. Itulah obat untuk
menambah tenaga. Ketika kita merundingkan ilmu pedang di Hoa San, tempo
semuanya sudah sangat letih, ayahmu membaginya kepada kami beramai, habis makan
itu, kita semua menjadi segar sekali.”
Oey Yong lantas mengeluarkan
kantong obatnya, untuk diserahkan pada si paman guru.
Si petani lari ke dapur, untuk mengambil
semangkok air, sedang si pelajar mengeluarkan obat itu, semuanya dikeluarkannya
obat itu, lalu semuanya dikasihkan pada gurunya.
“Tidak begini banyak!” berkata It Teng
tertawa. “Obat ini sangat sukar dibuatnya. Cukup kita minta separuhnya saja.”
“Tetapi suhu!” berkata si pelajar, yang
romannya cemas, “Meski obat di dalam dunia digotong semua ke mari, itu masih belum cukup!”
Pendeta itu tidak tega menampik, maka ia
lantas menelan beberapa puluh butir, yang ia bantu dengan air beberapa
ceglukan. Kemudian ia kata kepada Kwee Ceng:
“Kau pergi pimpin sumoymu ini untuk beristirahat dua hari, setelah itu kamu
pergi turun gunung, tak usah kamu menemui aku lagi. Eh, ada satu urusan yang
aku hendak minta dari kamu…..”
Kwee Ceng sudah lantas menjatuhkan
dirinya berlutut seraya mengangguk empat kali hingga kepalanya membentur
lantai. Oey Yong pun turut menjura, sambil berkata
perlahan: “Supee telah menolongi jiwaku, budimu ini tidak nanti keponakanmu
berani melupakannya.”
It Teng tertawa. “Lebih baik dilupakan,
supaya tak usah diingat-ingat lagi,” katanya, seraya ia terus menoleh kepada Kwee Ceng,
untuk memberi pesannya: “Kamu telah naik ke gunung ini, hal itu segala kejadian
di sini, jangan kamu omongkan kepada orang lain, juga tak usah kau menyebutkannya
kepada gurmu.”
Kwee Ceng tercengang. Ia
justru lagi memikirkan bagaimana harus membawa gurunya datang ke mari guna minta pertolongan paman guru ini.
It Teng tertawa. Ia berkata pula: “Kamu juga
lain kali tak usah datang pula ke mari,
kami sekaligus hendka pindah.”
“Pindah?” tanya si anak
muda heran. “Pindah
ke mana, supee?”
It Teng tersenyum, ia tidak menjawab.
“Ah, engko tolol,” kata Oey Yong
tertawa. “Karena tempat supee ini telah ketahuan oleh kita maka supee mau
pindah. Mana supee dapat memberi keterangan padamu?”
Meski ia berkata begitu, nona ini sebenarnya
berduka sekali. Itulah gara-garanya dia maka si supee mau pindah meninggalkan
tempat kediamannya yang bagus ini. Mana bisa ia melupakan budi yang sangat
besar itu? Mengingat begini, ia mengawasi empat murid orang, yang telah
berkumpul semua. Ia ingin berkata-kata kepada mereka itu. Hanya belum lagi ia
membuka mulutnya, mendadak paras It Teng menjadi pucat, tubuhnya terhuyung,
lalu jatuh dari tempat duduknya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar