Bab 6. Pengejaran
Tidak ada jalan lain, Cie Kee
terjang musuhnya, si buta itu, ujung pedangnya menikam ke arah muka. Tin Ok
dengar anginnya senjata, ia menangkis. Keras kedua senjata beradu, lalu Cie Kee
menjadi kaget sekali. Dia hampir membikin terlepas pedangnya.“Lihay tenaga
dalam si buta ini! Mungkinkah ia melebihi aku?“ pikirnya. Ia penasaran, maka
lagi sekali, ia menikam. Kali ini, ia insyaf kenapa ia kalah kuat. Nyatanya
luka di pundaknya itu menyebabkan tenaganya jadi berkurang hingga separuhnya.
Oleh karena ini, ia lantas pindahkan pedangnya ke tangan kiri. Dengan tangan
kiri ini, ia bersilat dengan ilmu silatnya “Kie Siang Kim-hoat” atau “Melukai Semua”.
Inilah ilmu silat yang sejak ia yakinkan belum pernah ia pakai untuk melawan musuh.
Dengan menggunai ini ia telah menjadi nekat. Dengan ini, di sebelah musuh ia
sendiri pun bisa celaka. dengan “melukai semua” hendak diartikan “mati
bersama”.
Segera
juga Kwa Tin Ok, Cu
Cong dan Ciauw Bok
terarah semua bagian tubuhnya yang berbahaya. Maka repotlah mereka membuat
perlawanan. Sejak turun gunung, Cie
Kee belum pernah menemui lawan
setimpal, inilah pertama kalinya. Tidak peduli tenaganya kurang, dengan berlaku
nekat ia tetap berbahaya..
Baharu
belasan jurus paha Tin Ok telah tertikam pedang.
“Kwa
Toako, Cu Jieko, biarkan si imam berlalu!” berseru Ciauw Bok
Taysu.
Paderi
ini lihat ancaman bahaya, ia memikir untuk mengalah tetapi justru ia serukan
kawannya, ujung pedang Cie
Kee mengenai iga kanannya hingga
ia kaget dan menjerit, tubuhnya rubuh seketika!
“Imam anjing!” Cu Cong
mencaci. “Imam bangsat!
Racun ditubuhmu telah menyerang hatimu! Kau tikamlah pula tiga kali!”
Bangkit kumisnya si imam, mendelik sepasang matanya, tanpa bilang
suatu apa, ia melompat kepada Manusia
Aneh yang kedua itu.
Cu Cong tidak melayani, ia hanya
berlari-lari berputaran di pendopo kuil.Sembari berlari, Cie Kee
insyaf bahwa tak dapat ia menyandak lawan itu. Ia pun mulai terhuyung. Maka
sambil menghela napas, ia berhenti mengejar. Tiba-tiba ia rasai matanya kabur,
lekas-lekas ia pusatkan semangatnya. Sekarang ia baru ingat untuk angkat kaki
saja. tetapi terlambat. Mendadak bebokongnya mengasi dengar suara keras! Ia
merasa sakit sekali, tubuhnya pun terhuyung!
Cu Cong yang cerdik itu
telah timpuk imam itu dengan sepatunya, cukup keras timpukannya itu. Cie Kee
merasai pikirannya kacau tetapi kembali ia memusatkannya. Justru itu, batok
kepalanya telah terpukul keras. Kali ini Cu Cong
menimpuk dengan bok-hie, itu tambur teroktok peranti
mambaca doa.
“Sudah,
sudah, hari ini Tiang Cun Cu mesti terbinasa di tangannya bangsat-bangsat
licik…” ia mengeluh. Ia menahan sakit, ia melompat ke depan, akan tetapi ketika
kakinya menyentuh tanah, kedua kakinya itu lemas, tubuhnya terus terguling!
“Bekuk dia dulu, baru kita bicara!” berseru Cu Cong. Ia dekati
imam itu, yang rebah diam saja. Ia geraki kipasnya untuk menotok jalan darah di
dada si imam. Tiba-tiba ia lihat tangan kiri Cie Kee
bergerak, ia kaget. Ia menginsyafi bahaya, dengan cepat ia menangkis dengan
tangan kanannya. Tidak urung, ia merasakan dorongan suatu tenaga keras sekali,
tubuhnya terpental ke belakang, belum lagi tubuh itu tiba di tanah, ia sudah
muntahkan darah hidup!Cie
Kee telah gunai tenaganya yang
terakhir untuk serang lawannya itu.
Paderi-paderi dari Hoat Hoa Sian Sie tidak mengerti ilmu silat,
mereka juga tidak tahu bahwa guru mereka mengerti ilmu itu, dari itu selama
pertempuran mengambil tempat, mereka semua pada sembunyikan diri. Sampai
keadaan sunyi, baru mereka keluar dari tempat persembunyian mereka, akan saksikan
segala apa kacau dan orang rebah di sana
sini, darah pun berhamburan.
Mereka jadi ketakutan, mereka lantas pergi mencari Toan Thian
Tek.
Orang she Toan itu terus sembunyi di dalam ruang dalam tanah,
takutnya bukan main. Tempo ia diberitahu orang telah pada rubuh semua, ia masih
khawatirkan tidak ada Khu
Cie Kee
di antara korban-korban itu. Ia suruh dulu sat kacung paderi untuk melihatnya,
kemudian barulah ia keluar, hatinya lega. Ia telah diberitahu si imam lagi
rebah diam dengan kedua mata tertutup.Dengan tarik tangan Lie Peng, Thian Tek
pergi cepat-cepat ke pendopo. Ia lantas hampirkan Cie Kee,
tubuh siapa dia dupak.
Imam itu masih belum putus
jiwanya, ia bernapas berlahan sekali.
Thian Tek cabut goloknya. “Imam bangsat, kau kejar
aku hingga aku bersengsara, sekarang hendak aku kirim kau pulang ke Langit Barat!”
ia kata, lalu ia ayunkan goloknya.
“Jangan….jangan
bunuh dia…!” berseru Ciauw
Bok Taysu,
tapi suaranya sangat lemah. Ia rebah dengan terluka parah tapi ia dapat lihat
perbuatan si keponakan murid.
“Kenapa?”
Thian Tek tanya.
“Dia
adalah satu imam yang baik…” sahut Ciauw Bok.
“Dia Cuma berhati keras… Di
sini telah terbit salah mengerti…”
“Orang
baik apa!” kata Thian
Tek. “Dia perlu dibunuh dulu…!”
Ciauw Bok menjadi gusar. “Kau
tidak mau dengar perkataanku?!” dia membentak. “Letaki golokmu…!”
Thian Tek tertawa tergelak.
“Kau ingin aku meletaki golokku? Hahaha!” ia tertawa mengejek. Ia ayunkan pula
goloknya, ia arahkan ke kepalanya si imam.
Dengan
mendadak Lie Peng berteriak. “Kau…kau hendak lagi membunuh orang!” tanyanya.
Ciauw Bok Taysu juga gusar bukan
main, dengan sisa tenaganya ia timpuk Thian Tek
dengan sepotong kayu di tangannya.
Thian Tek berkelit tetapi ia
terlambat, mukanya kena terhajar hingga rontok ziga buah giginya. Ia merasakan
sangat sakit, ia jadi kalap, tanpa ingat budinya Ciauw Bok, ia
lantas menyerang.
Di situ ada beberapa
kacung paderi, mereka ini kaget. Satu kacung langsung tubruk Thian Tek
untuk tarik lengannya, yang lainnya mengigit. Thian Tek
gusar bukan kepalang, dengan kejam, dengan dua bacokan ia bikin kedua kacung
itu rubuh.
Tiang
Cun Cun, Ciauw Bok dan Kanglam Cit Koay adalah orang-orang yang lihay, akan
tetapi di saat seperti ini, justru jiwa mereka sendiri terancam bahaya, mereka
Cuma bisa membuka mata menyaksikan kejadian hebat itu.
Lie
Peng berteriak-teriak pula: “Hai, manusia jahat, tahan!”
Tidak
ada orang yang kenali Lie Peng, walaupun suaranya nyaring. Ini nyonya tetap
mengenakan seragam, orang sangka ia adalah serdadu sebawahannya Thian Tek.
Cuma Tin Ok, walaupun ia buta, mendengar suara orang, dia tahu pasti orang
adalah seorang wanita. Maka itu sembari menghela napas, dia berkata: “ Ciauw Bok
Hweshio, kami semua telah kau
aniaya! Benar saja di dalam kuilmu ini kau ada sembunyikan orang perempuan….!”
Ciauw Bok terkejut, hatinya
mencekat. Ia bukannya seorang tolol, segera ia pun sadar. Maka itu bukan main
menyesalnya ia untuk kealpaannya itu.
“Binatang
ini telah jual aku, dia membikin aku mencelakai sahabat-sahabatku,” katanya
dalam hati. Hampir ia pingsan saking kerasnya ia melawan kemendongkolannya. Ia
kerahkan tenaganya dengan kedua tangannya menekan lantai, ia lompat kepada Thian Tek.
Orang
she Toan itu tidak menangkis, dia hanya menyingkir sambil egos tubuhnya.
Tubuh
paderi itu lewat terus, dengan cepat, tepat mengenai tiang pendopo, maka
tubuhnya rubuh dengan kepala pecah, tubuh itu tidak berkutik lagi.
Toan Thian Tek kaget, hatinya
menjadi ciut, dari itu dengan sambar tangannya Lie Peng, ia lari keluar kuil.
“Tolong!
Tolong!” Lie Peng berteriak-teriak. “Tidak, aku tidak mau pergi….!”
Tapi
ia ditarik terus, hingga suaranya tidak terdengar lagi.
Kuil
itu menjadi berisik, semua paderi menangis karena kebinasaan guru mereka.
Mereka pun menjadi repot, akan tolongi orang-orang yang terluka, guna pindahkan
mayat. Selagi mereka bekerja, tiba-tiba mereka dengar suara apa-apa dari arah
genta, hingga mereka kaget. Kemudian belasan paderi itu menggunai dadung, akan
tarik genta itu untuk dibikin terbalik, setelah mana mereka dapatkan satu tubuh
tergelumuk menggelinding keluar. Mereka kaget, mereka lari serabutan.
Tubuh
bergelumbuk itu sudah lantas lompat bangun, ia mengeluarkan napas lega. Ia
bukan lain daripada Ma Ong Sin Han Po Kie yang tadi kena ditungkrap Khu Cie
Kee, hingga ia tak mampu keluar
dari jambangan dan genta itu. Ia heran dan kaget saksikan pendopo itu, hingga
ia berkoak-koak.
Kwa
Tin Ok masih sadar walaupun ia terluka, ia panggil Po Kie, untuk sabarkan
padanya. Ia pun keluarkan obatnya untuk suruh satu paderi pergi obat Khu Cie
Kee dan Han Siauw Eng,
ia sendiri memberi keterangan pada Po Kie perihal jalannya pertempuran, tentang
Toan Thian Tek
dan si wanita yang menyamar sebagai serdadu.
“Nanti
aku susul dia!” teriak Po Kie sangkin gusarnya.
“Jangan!”
Tin Ok mencegah. “Nanti ada ketikanya untuk menghukum dia, sekarang kau perlu
rawat dulu saudara-saudaramu yang terluka.”
Po
Kie dapat dibikin sadar.
Cu Cong dan Lam Hie Jin
adalah yang terluka paling parah. Thio A Seng patah lengannya, setelah pingsan, ia
sadar, ia tidak terancam bahaya.
Po
Kie lantaa rawat semua saudaranya itu.
Paderi
pengurus dari Hoat Hoa Sian Sie telah bekerja, disatu pihak ia ajukan pengaduan
kepada pembesar negeri, di lain pihak ia kirim kabar pada Kouw Bok
Taysu di Kong
Hauw Sie, Hangciu. Jenazahnya
Ciauw Bok
Taysu pun lantas diurus.
Selang
beberapa hari, Cie
Kee dan Siauw Eng
telah dapat ditolong dari racun. Cie Kee
mengerti ilmu obat-obatan, ia lantas obati Tin Ok semua, ia pun uruti mereka,
hingga selang beberapa hari, semuanya telah dapat bangun dari pembaringan.
Pada
suatu hari, semua orang duduk berkumpul dengan dirundung kemasgulan hingga
mereka pada berdiam saja. Mereka menyesal sekali sudah jadi korbannya Toan Thian
Tek, hingga Ciauw Bok
Taysu menjadi korban.
“Totiang,
bagaimana sekarang?” Siauw
Eng tanya
Khu Cie Kee. Ia memangnya polos. “Totiang berkenamaan dan kami pun bukannya
orang-orang yang masih hijau, kita sekarang rubuh di tangannya satu kurcaci,
apa kata kaum kang-ouw bila peristiwa disini sampai tersiar? Tidakkah itu
sangat memalukan? Tolong
Totiang tunjuki kami bagaimana
kami harus berbuat.”
“Kwa
Toako, kau saja yang bicara,” kata Cie Kee
menyahuti si nona. Ia sendiri pun bukan main masgul, menyesal dan
mendongkolnya. Ia merasakan kesembronoannya. Coba ia tidak turuti hawa
amarahnya dan berbicara dengan tenang sama Ciauw Bok,
peristiwa celaka itu pasti dapat dicegah.
Tin
Ok tertawa dingin. Ia memang aneh tabiatnya. Ia malu sekali yang ia bertujuh
saudara kena dikalahi Cie
Kee, terutama dirinya sendiri,
yang kena ditikam kakinya hingga tak dapat dia berjalan dengan leluasa.
“Totiang
biasa malang
melintang, mana kau melihat mata kepada kami!” katanya tawar, “ Tentang ini
untuk apa kau menanya pula kami…”
Cie Kee tahu orang masih
mendongkol, ia lantas bangkit berbnagkit untuk menjura kepada tujuh saudara
itu. “Pinto sangat menyesal, aku mohon maaf,” dia bilang.
Cu Cong semua membalas
hormat, Cuma Tin Ok yang diam saja, ia berpura-pura tidak tahu.
“Segala
urusan kaum kang-ouw, kami tidak ada muka untuk mencampuri tahu lagi,” kata ini
ketua Kanglam
Cit Koay.
“Selanjutnya kami akan berdiam di sini, untuk menangkap ikan atau mencari kayu.
Asal Totiang tidak mengganggu kami, kami akan
melewati sisa hidup kami…”
Mukanya Cie Kee menjadi merah, ia
jengah hingga tak dapat ia membuka mulutnya. Selang sesaat baru ia dapat
bicara.
“Aku
telah menerbitkan malapetaka, lain kali tak nanti aku datang kemari untuk
membuat onar pula,” katanya seraya berbangkit. “Tentang sakit hatinya Ciauw Bok
Taysu serahkan itu padaku, dengan
tanganku sendiri, akan aku bunuh jahanaman itu! Sekarang aku mohon diri…”
Ia
menjura pula, lantas ia ngeloyor keluar.
“Tahan!”
Tin Ok berseru.
Imam itu memutar tubuhnya.
“Kwa Toako hendak menitah apa?” ia tanya.
Tetap ia sadar.
“Kau
telah lukakan parah saudara-saudaraku ini, apakah itu cukup dengan hanya
kata-katamu barusan?” tanya Tin Ok.
“Habis
Kwa Toako memikir bagaimana?” menegaskan Cie Kee.
“Apa saja yang tenagaku dapat kerjakan, suka aku menuruti titahmu.”
“Tak
sanggup aku menelan peristiwa ini,” Tin Ok bilang. “Aku masih ingin menerima
pengajaran dari Totiang!”
Kanglam Cit Koay gemar melakukan amal
akan tetapi mereka berkepala besar, sepak terjang mereka biasanya luar biasa,
kalau tidak, tidak nanti mereka disebut “Cit Koay”
– tujuh Manusia
Aneh. Mereka semua lihay, jumlah
mereka pun banyak – bertujuh – dari itu, orang malui mereka. Mereka sendiri
belum pernah nampak kegagalan, malah dengan pernah mengalahkan seratus lebih
jago Hoay Yang Pang, nama mereka jadi menggemparkan dunia Kang-ouw. Sekarang
mereka kalah di tangan Khu
Cie Kee
satu orang, bagaimana mereka tidak menjadi penasaran?
Cie Kee terkejut. “Pinto telah terkena
senjata rahasiamu, Kwa Toako,” kata ia, tetap tenang.
“Tanpa pertolonganmu, pasti sekarang aku telah berada di Negara
Setan. Di dalam urusan kita ini,
walaupun benar pinto telah lukai kamu, kenyataannya adalah pinto telah rubuh,
maka itu pinto menyerah kalah…”“Kalau begitu, letaki pedang di bebokongmu itu!”
bentak Tin Ok. “Dengan meninggalkan pedangmu, suka aku melepas kau pergi!”
Bukan
main mendongkolnya Cie
Kee, di dalam hati ia berkata:
“Aku telah beri muka kepada kamu, aku telah menghanturkan maaf dan mengaku
kalah, kenapa kamu masih merasa belum cukup?” Ia lantas menjawab: “Pedang ini
adalah alat pembela diriku, sama saja dengan tongkat Kwa Toako…”
Tin
Ok tapi tetap murka. “Kau pandang entang kakiku pengkor?!” ia membentak.
“Pinto
tidak berani,” sahut si imam itu.
Dalam
murkanya, Tin Ok bilang: “sekarang kita sama-sama terluka, sulit untuk kita
bertempur lagi, maka itu baiklah lain tahun pada hari ini, aku minta totiang
membuat pertemuan pula di Cui
Siang Lauw!”
Cie Kee mengerutkan
keningnya. Ia sangat masgul. Ia tahu Cit Koay
bukan orang busuk, tak dapat ia layani mereka. Bagaimana ia bisa loloskan diri
dari mereka itu? Pula
ada sulit untuk melayani mereka bertempur pada lain tahun. Ia bersendirian dan
mereka bertujuh. Mungkin sekali, selama tempo satu tahun, mereka itu akan
tambah kepandaiannya. Ia pun bisa berlatih diri tapi barangkali sukar untuk
beroleh kemajuan. Ia terus berpikir, sampai ia dapat satu pikiran.
“Tuan-tuan,
kamu hendak adu kepandaian yang memutuskan denganku, tidak ada halangannya,” ia
berkata. “Hanya untuk itu, syaratnya haruslah pinto yang menetapkannya. Kalau
tidak, pinto suka menyerah kalah saja.”
Han
Po Kie bersama Siauw
Aeng dan A Seng bnagkit berdiri,
dan CU Cong dan lainnya yang terluka mengangkat
kepalanya dari pembaringan. Hampir berbareng mereka itu kata: “Kalau Kanglam
Cit Koay
bertaruh selamanya adalah pihak sana
yang memilih tempat dan waktunya!”
Cie Kee tersenyum dapatkan
orang demikian gemar menang sendiri.
“Apakah
kamu suka terima syarat apapun?” dia tanya.
Cu Cong dan Coan Kim
Hoat adalah yang tercerdik di
antara saudara-saudaranya, mereka tidak jeri.
“Kau
sebutkan saja syaratmu!” kata mereka. Di
dalam hatinya mereka berkata: “Tidak peduli kau pakai akal licin apa juga,
mustahil kami nanti kalah…”
“Kata-katanya
satu kuncu?” berkata imam itu.
“Sama
cepatnya dengan satu cambukan kuda!” sahut Siauw Eng
lantas.
Kwa
Tin Ok masih sedang memikir ketika Khu Cie Kee berkata pula: “Mengenai syaratku ini,
masih tetap berlaku kata-kataku tadi. Ialah umpama kata tuan-tuan anggap tidak
sempurna, pinto tetap suka menyerah kalah!”
Dengan
ini, imam itu memancing hawa amarah ke tujuh Manusia Aneh
itu. Ia tahu benar Cit
Koay adalah sangat besar kepala.
“Jangan kau coba pancing hawa amarah kami!” Tin Ok memotong.
“Lekas kau bicara!”Cie
Kee lantas berduduk.
“Syaratku ini ada meminta tempo yang lama,” ia menyahut dengan
sabar. “Tapi apa yang kita akan adu adalah kepandaian sejati. Aku sendiri tidak
menghendaki cara mengandali kekosenan
saja, dengan menggunai alat senjata atau kepalan dan tendangan.
Kepandaian semacam itu, siapa menyakinkan ilmu silat tentunya
semua mengerti. Bukankah kita, kaum Rimba Persilatan
yang kenamaan tak dapat berlaku demikian cupat sebagai anak-anak muda yang
terlahir belakangan?”Kanglam
Cit Koay
saling mengawasi, hati mereka masing-masing menduga: “Kau tidak hendak
menggunai senjata, tangan dan kaki, habis apakah syaratmu itu?” Maka mereka
menanti penjelasan.
Cie Kee berkata pula, dengan
sikapnya yang agung. “Biar bagaimana, kita mesti melakukan suatu pertempuran
yang memutuskan. Aku akan menghadapi kalian bertujuh, tuan-tuan! Kita bukan
Cuma mengadu kepandaian, juga mengadu kesabaran, kita memakai akal budi.
Marilah kita lihat, siapakah yang paling gagah – satu enghiong sajati!”
Kata-kata
ini membuat darahnya Kanglam
Cit Koay
mengalir deras.
“Lekas
bilang, lekas!” Han
Siauw Eng. “Semakin sulit adanya syarat,
semakin baik!”
Cu Cong tapinya tertawa. Ia
berkata: “Kalau syaratmu itu adalah untuk mengadu bertapa atau membikin obat
mujarab atau membikin surat
jimat guna menangkap roh-roh jahat, maka kami bukanlah tandingan kamu bangsa
imam!”
Khu Cie Kee pun tertawa.
“Pinto
juga tidak berpikir untuk adu kepandaian sama Cu Jieko
dalam hal mencuri ayam atau meraba-raba anjing atau mengulur tangan menuntun
kambing!” Ia maksudkan ilmu mencopet.
Mendengar
itu Siauw Eng pun tertawa. “Lekas bicara, lekas!” ia
mendesak pula.
“Jikalau
kita mencari pokok sebabnya,” kata Tiang Cun Cu dengan tenang, “Biangnya
gara-gara hingga kita bertempur dan saling melukai adalah urusan menolongi
turunannya orang-orang gagah, oleh karena itu, baiklah kita kembali kepada
sebab musabab itu.”
Dengan
“orang gagah” imam itu maksudkan “ho-kiat” atau “enghiong”. Lalu ia menjelaskan
tentang persahabatannya sama Kwee
Siauw Thian
dan Yo Tiat Sim – yang ia maksudkan si orang-orang gagah itu – yang mengalami
nasib celaka, karena itu ia telah ubar-ubar Toan Thian
Tek. Ia juga tuturkan bagaimana
caranya ia kejar Thian
Tek itu, tetapi sangkin licinnya, Thian Tek
saban-saban dapat meloloskan diri.
Selagi
memasang kuping, beberapa kali Kanglam Cit Koay mengutuk bangsa Kim serta pemerintah Song yang sewenang-wenang dan
kejam.
Habis
menutur, Cie
Kee tambahkan: “Orang yang Toan
Thian Tek bawa lari itu adalah Lie-sie, istrinya Kwee Siauw
Thian. Kecuali Kwa Toako bersama
saudara Han, empat saudara lainnya telah pernah
lihat mereka itu”
“Aku
ingat suaranya Lie-sie itu,” kata Kwa Tin Ok. “Umpama berselang lagi tiga puluh
tahun, tidak nanti aku dapat melupakannya.”
“Tentang
istri Yo Tiat Sim, yaitu Pauw-sie,” Cie Kee
menambahkan, “Aku masih belum tahu dia ada dimana. Pernah pinto melihat romanya
Pauw-sie, tidak dengan demikian tuan-tuan. Inilah yang pinto hendak gunai
sebagai syarat pertaruhan kita…”
Siauw Eng segera menyela:
“Kami pergi tolongi Lie-sie, kau pergi tolong Pauw-sie! Siapa yang lebih dulu
berhasil, dia yang menang, bukankah?”
Khu Cie Kee tersenyum.
“Cuma
menolongi saja?” ia ulangi. “Untuk pergi mencari dan menolongi, itu memang
benar bukannya kerjaan terlalu gampang, akan tetapi selain itu, masih ada hal
yang terlebih sukar lagi, yang meminta banyak waktu, tenaga dan pikiran..”
“Apakah
adanya itu?” Kwa Tin Ok bertanya.
“Akan aku jelaskan,” jawab si imam.
“Dua-duanya Pauw-sie dan Lie-sie itu sama-sama lagi mengandung.
Pinto ingin setelah dapat cari dan tolong mereka, kita mesti pernahkan mereka
itu. Kita tunggu sampai mereka telah melahirkan anak, lalu anak-anak mereka itu
kita rawat dan didik dalam ilmu silat. Pinto akan didik anak Yo Tiat Sim dan
tuan-tuan bertujuh merawat anaknya Kwee Siauw
Thian…”Tujuh bersaudara itu
membuka mulut mereka. Heran untuk kata-kata si imam.
“Bagaimana
sebenarnya?” Han Po Kie tanya
“Kita
menanti sampai lagi delapan belas tahun,” menerangkan Tiang Cun Cu. “Itu waktu,
anak-naka itu telah berumur delapan belas tahun, lalu kita ajak mereka ke
Kee-hin, untuk membuat pertemuan di Cui Sian Lauw. Berbareng dengan itu, kita
undang sejumlah orang gagah lainnya untuk menjadi saksi. Kita membuatnya pesta,
sesudah puas makan minum, baru kita suruh kedua anak itu adu kepandaian. Di situ nanti kita lihat, murid pinto yang berhasil
atau muridnya tuan-tuan bertujuh!”
Tjuh
bersaudara itu saling memandang, tidak ada satu jua yang segara menjawab imam
itu. Bukankah syarat itu ada sangat luar biasa?
“Jikalau
tuan-tuan bertujuh yang bertempur sama aku, umpama kata kamu yang menang, itu
tidak ada artinya,” Cie
Kee berkata pula. “Bukankah
tuan-tuan menang karena jumlah yang banyak lawan jumlah yang sedikit?
Kemenangan itu bukan kemenangan yang mentereng! Dengan syarat kita ini aku
nanti turunkan kepandaianku kepada satu orang, tuan-tuan pun mewariskan
kepandaian kamu kepada satu orang juga, setelah itu mereka bertanding satu
lawan satu, sampai itu waktu, andaikata muridku yang menang, bukankah tuan-tuan
akan merasa puas?”
Akhirnya
Tin Ok ketruki tongkat besinya ke lantai. “Baiklah, secara demikian kita
bertaruh! katanya.
Tapi Coan Kim
Hoat campur bicara. Ia tanya: “Bagaimana kalau pertolongan kami terlambat,
dan Lie-sie keburu dibikin binasa oleh Toan Thian
Tek?”
“Biarlah
kita sekalian adu keberuntungan juga!” sahut Cie Kee.
“Jikalau Thian menghendaki aku yang menang, apa
hendak dibilang?”
“Baik!”
Han Po Kie juga turut bicara. “Memang menolong anak piatu dan janda juga adalah
perbuatan yang mulia, umpama kami tak dapat lawan kamu, kami toh telah lakukan
juga satu perbuatan yang baik.”
Cie Kee tonjolkan jempolnya.
“Han Samya benar!” pujinya. “Tuan-tuan berkenan
menolongi abak yatim piatu dari keluarga Kwee itu, untuk ini sekarang pinto
wakilkan saudara Kwee menghanturkan terima kasih terlebih dahulu!” Dan ia lantas menjura dalam.
“Cara pertaruhan ini adalah terlalu licin,” berkata Cu Cong
kemudian. “Cuma dengan beberapa kata-katamu ini, kau hendak membikin kamu
bercapek lelah selama delapan belas tahun!”
Wajahnya Khu Cie Kee berubah, akan tetapi ia berdongak dan
tertawa besar.
“Apakah
yang lucu?” tanya Han Siauw
Eng.
“Selama
dalam dunia kang-ouw telah aku dengar nama besar dari Kanglam Cit
Koay,” sahut si imam yang ditanya,
“Orang umumnya bilang mereka itu gemar sekali menolong sesamanya, mereka gagah
perkasa dan mulia, tetapi hari ini bertemu dengan kamu – hahaha!”
Kanglam Cit Koay menjadi panas
hatinya. Han Po Kie segera menghajar bangku dengan tangannya. Ia hendak bicara
tetapi si imam dului dia.
“Sejak
zaman dahulu hingga sekarang ini,” kata Cie Kee.
“Kalau satu orang gagah sejati bersahabt, dia bersahabat untuk menjual jiwanya,
ialah denagn segala urusan ia bersedia untuk mengorbankan dirinya. Pengorbanan
itu tidak ada artinya! Bukankah kita belum pernah dengar bahwa di jaman dahulu
ada Keng Ko dan Liap Ceng berhitungan?”
Wajahnya Cu Cong menjadi pucat, tak
ada sinarnya. “Tidak salah apa yang totiang bilang!” katanya sambil goyang
kipasnya. “Aku mengaku keliru! Baiklah, kita bertujuh akan terima tanggung
jawab kita ini!”
Khu Cie Kee lantas berbangkit.
“Hari
ini adalah tanggal dua puluh empat bulan tiga,” ia berkata pula, “Maka itu lagi
delapan belas tahun, kita akan bertemun pula di rumah makan Cui Siang
Lauw, untuk orang-orang gagah di
kolong langit ini menyaksikan siapa sebenarnya laki-laki sejati!”
Habis
berkata, seraya kibaskan tangannya, ia bertindak pergi.
“Nanti
aku susul Toan
Thian Tek!”
kata Han Po Kie. “Dia tak dapat dibiarkan menghilang, hingga pastilah sulit
kita mencari padanya!”
Di antara Cit Koay,
dialah yang tidak terluka. Setelah berkata begitu, ia lantas lari keluar, untuk
terus menaiki kudanya, guna susul Thian Tek.
“Sha-tee!
Sha-tee! Cu Cong memanggil-manggil. “Kau tidak kenal
mereka itu!”.
Dengan
mereka, orang she Cu ini menyebutkannya Thian Tek
dan Lie Peng.
Tetapi Po Kie si tak sabaran telah
pergi jauh.
Thian Tek telah angkat kaki
dengan naik perahu. Ketika ia tarik Lie Peng keluar dari tempat berbahaya itu,
lega hatinya apabila ia menoleh ke belakang, ia tak tampak ada orang yang kejar
atau susul padanya. Ia cerdik, maka itu segera ia menuju ke sungai, malah tanpa
memilih kenderaan air lagi, ia lompat naik ke sebuah perahu, ia ajak Lie Peng
bersama.
“Lekas
berangkat!” ia membentak tukang perahu sambil ia cabut goloknya.
Kanglam
adalah daerah air, disana ada banyak sungai atau kali, dari itu, kendaraan air
adalah alat penghubung atau pengangkut yang paling umum, sama saja dengan kuda
atau keledai di Utara. begitu muncul kata-kata: “Orang Utara naik kuda, orang
Selatan naik perahu.”
Tukang
perahu itu ketakutan lihat orang demikian galak., ia buka tambatan perahunya,
ia lantas mengayuh. Dengan lekas ia keluar dari daerah kota.
Thian Tek lantas asah otaknya:
“Aku telah terbitkan onar besar, tak dapat aku pulang untuk pangku pula
jabatanku. Baiklah aku pergi ke Utara untuk menyingkir dulu dari ancaman
bahaya. Semoga itu imam bangsat dan tujuh siluman dari Kanglam itu bertempur
hingga mampus semuanya, supaya aku dapat kembali ke Lim-an.”
Kudanya Po Kie lari pesat, tetapi
ia hanya mondar-mandir di darat, tentu sekali ia tak dapat cari Thian Tek,
apapula ia kenali roman orang itu. Ia tanya-tanya
orang akan tetapi pertanyaannya tidak jelas.
Thian Tek tunjuki terus
kelicinannya. ia menukar perahu beberapa kali. Berselang belasan hari, tibalah
ia di Yangciu. Paling dulu ia mencari rumah penginapan. Ia telah memikir untuk
cari suatu tempat untuk bertinggal buat sementara waktu. Sebab bukanlah soal
yang sempurna untuk terus-terusan berkelana dengan hati tidak tentram.
Itu hari selagi berada di dalam kamar, ia dengar suara Han Po Kie
tengah berbicara sama pemilik penginapan, menanyakan tentang dia dan Lie Peng.
Ia kaget tetapi ia berlaku tenang. Dari dalam kamarnya ia
mengintai, memasang mata. Ia lihat tegas seorang kate
dampak yang romannya jelek sekali yang berbicara dengan lidah Kee-hin. Setelah
merasa pasti bahwa orang adalah salah satu Cit Koay, ia
tarik tangannya Lie Peng untuk diajak segera menyingkir dari pintu belakang.
Kembali ia menyewa sebuah perahu. tak sudi ia berjalan sedikit juga. Ia
berlayar terus ke Utara, hingga mereka sampai di perhentian Lie-kok-ek, di tepi
telaga Bie San Ouw di wilayah propinsi Shoatang. Belum sampai setengah bulan ia
berdiam di tepi telaga itu, Han Po Kie dapat susul ia. Malah Po Kie ada bersama
denagn satu nona.Adalah pikirannya Thian Tek, untuk keram diri di dalam
kamarnya , akan tetapi Lie Peng, yang merasa ada bintang penolongnya, sudah
lantas menjerit-jerit. Akan tetapi ia adalah satu wanita lemah, ia diringkus Thian Tek,
dibekap mulutnya dengan selimut. Ia pun telah dipukuli. Setiap kali ia berlepas
tangan atau mulutnya, ia terus berontak dan berteriak-teriak. Syukur untuk Thian Tek,
Po Kie bersama kawannya yaitu Siuaw
Eng, adiknya, tidak mendengar
apa-apa.
Dalam
sengitnya, saking khawatirnya, Thian
Tek berniat membunuh Nyonya Kwee
itu. Ia telah hunus pedangnya, ia dekati Lie-sie.
Nyonya
Kwee telah tawar hatinya sejak kebinasaan suaminya, ia sebenarnya sudah memikir
untuk bunuh diri, lebih baik bia ia bisa binasa bersama musuhnya itu, maka itu,
menampak sikapnya Thian Tek itu, ia tidak takut, ia justru diam-diam memuji
kepada roh suaminya: “Engko Siauw, engko Siauw, aku mohon kepadamu, ingin aku
supaya sebelum datang saatnya, aku bertemu pula denganmu, kau lindungi
kepadaku, agar dapat aku membinasakan manusia jahat ini!” Lalu dengan diam-diam,
ia siapkan pisau belati atau badik yang Cie Kee
hadiahkan kepadanya.
Thian Tek tersenyum aneh, ia
angkat tangannya untuk dikasih turun denagn bacokannya.
Lie
Peng tidak mengerti silat, tetapi telah bulat tekadnya, maka itu sebaliknya
dari ketakutan, ia justru mendahului sambil menubruk, ia menikam!
Thian Tek kaget dan heran.
Inilah ia tidak sangka. Maka terpaksa ia gunai goloknya untuk menangkis.
“Trang!”
demikian satu suara nyaring.
Untuk kagetnya manusia busuk ini, ujung goloknya putus dan jatuh
ke tanah dan ujung pisau belati menyambar terus ke dadanya. Dalam kagetnya ia
buang diri ke belakang, tetapi tak urung, bajunya kena terobek, dadanya kena
tergurat, hingga darahnya lantas mengucur keluar. Coba Lie-sie bertenaga cukup,
dadanya itu pasti telah tertancap pisau belati itu.
Untuk bela diri terlebih jauh, Thian Tek
sambar sebuah kursi. “Simpan senjatamu!” ia membentak. “Aku tak akan membunuh
padamu!”Lie Peng sendiri telah lemas kaki dan tangan dan tubuhnya, ia telah
keluarkan tenaga terlalu besar, ia sudah umbar hebat hawa amarahnya tanpa
merasa ia membuat kandungannya tergerak, hingga bayi di dalam perutnya itu
meronta-ronta. Dengan letih ia jatuhkan diri ke kursi, napasnya memburu. Tapi
ia masih ingat akan pisau belatinya yang ia pegangi keras-keras.
Thian Tek tetap jerih untuk Han Po Kie
beramai, ia juga tak dapat lari seorang diri, sudah kepalang tanggung, ia terus
membawa Lie Peng.
Ny Kwee |
Ketika
itu hawa udara telah mulai berubah. Hawa panas mulai lenyap, sang angin sejuk
telah mulai menghembus. Udara begini tidak terlalu mengganggu orang-orang yang
membuat perjalanan, malah menyenangkan.
Thian Tek telah menyingkir
jauh ke utara, akan tetapi ia tetap dibayangi pengejar-pengejarnya. Celaka
untuknya, setelah berjalan jauh dan melewatkan banyak hari, bekalan uangnya
mulai habis. Pada suatu, saking uring-uringan, ia ngoceh seorang diri: “Selama
aku pangku pangku di Hangciu, bagaimana senangnya
aku. Setiap hari aku bisa dahar dan minum enak, dapat ku bersenang-senang
dengan wanita-wanita cantik, tetapi dasar pangeran Kim
yang keenam itu yang kemaruk sama istri orang, dia telah celakai aku hingga
begini…”
Justru ia ngoceh ini, mendadak ia dapat ingat suatu apa. “Bukankah
aku telah tidak jauh dari Yan-khia?” demikian ia ingat. “Kenapa aku tidak pergi
kepada Liok-taycu?”Liok-taycu itu adalah putra keenam dari raja Kim, itu pangeran Kim
yang ia maksudkan. Tanpa ragu-ragu lagi, ia bernagkat menuju ke Yan-khia,
ibukota kerjaan Kim itu.
Ibukota Yan-khia itu disebut juga
Tiong-touw atau Chungtu, artinya “Kota Tengah”. Sekarang ini ialah kota Pakkhia (Peking). Di sana Thian Tek
langsung mencari istananya pangeran itu, ialah Tio Ong atau Chao Wang
(Pangeran Tio atau Chao)
Kapan Wanyen Lieh dengar tentang
kedatangannya satu perwira dari selatan, ia lantas ijinkan orang menemui dia.
Ia terkejut akan ketahui, tetamunya adalah Toan Thian Tek dan orang ingin
numpangi diri kepadanya.
Ia lantas mengerutkan kening, mulutnya
mengeluarkan kata-kata yang tak nyata. Didalam hatinya, ia berpikir: “Tentang
Pauw-sie, aku masih belum dapat mempernahkannya, bagaimana aku bisa menerima
Thian Tek? Ia tahu rahasiaku, kalau ia membocorkannya, urusan bisa menjadi
rewel. Kenapa aku mesti meninggalkan satu , mulut hidup? Bukankah ada
peribahasa kuno yang mengatakannya, “Yang cupat pikirannya kuncu, yang tak
kejam bukannya satu laki-laki?” Karena ini ia lantas tersenyum.“Kau baru sampai
dari satu perjalanan jauh, kau tentunya letih, pergilah beristirahat dulu,”
katanya dengan manis.
Thian Tek mengucap terima kasih. Ia sebenarnya hendak
beritahu juga bahwa ia datang bersama Lie Peng, tetapi satu hambanya pangeran
itu muncul dengan tiba-tiba mengabarkan ‘kunjungannya Sam-ongya’ – pangeran
yang ketiga.
Wanyen Lieh bangkit dari
kursinya. “Pergilah kau beristirahat!” katanya sambil ia mengibaskan tangannya,
setelah mana ia bertindak untuk sambut tetamunya.
Sam-ongya itu adalah Wanyen Yung Chi, putra
yang ketiga dari Wanyen Ching, raja Kim.
Ia bergelar Wei
Wang atau Wee Ong, pangeran Wei atau Wee. Di
antara saudara-saudaranya, ia bergaul paling erat dengan Wanyen Lieh,
sang adik. Ia ada lemah, maka itu, dalam segala hal, ia suka dengari adiknya
yang cerdik dan tangkas.Pada masa itu pemimpin bangsa Mongolia, Temuchin sudah
mulai kuat kedudukannya, tetapi ia takluk kepada bangsa Kim, ia malah membantui
negara Kim memusnahkan bnagsa Tartar, oleh karena mana, guna menghargai jasanya
itu, raja Kim utus Wanyen Yung Chi, sang putra pergi menganugerahkan Temuchin
sebagai Pak Kiang Ciauw-touw-su, semacam kommissaris tinggi. Di samping itu, kepergian putra ini sebenarnya guna
melihat sendiri keadaan bangsa Monglia itu. Karena tugasnya ini, Wee Ong telah
datang menemui Tio
Ong, untuk memohon pikiran.
“Bangsa Monglia
itu tak tetap tempat tinggalnya,” berkata Wanyen Lieh.
“Mereka juga bertabiat kasar, gemar mereka menghina yang lemah tetapi jerih
terhadap yang kuat, untuk pergi ke sana,
kakak harus membawa satu pasukan tentera yang terpilih, supaya melihat
keangkeran kita, hatinya menjadi ciut. Denagn begitu, selanjutnya mereka tidak
akan berani berontak.”
Wanyen
Yung Chi terima baik nasehat itu, ia mengucapkan terima kasih, setelah
omong-omong lagi sebentar ia pamitan. Ketika ia hendak berbnagkit, adik itu
berkata kepadanya: “Hari ini ada datang padaku satu mata-mata dari kerajaan
Selatan.”
“Begitu?”
tanya sang kakak, heran, “Habis?”
“Dia
datang untuk tumpangkan diri padaku,” sahut adik itu. “Itulah alasannya belaka,
sebenarnya ia hendak mencari tahu keadaan kita bangsa Kim.”
“Kalau
begitu, bunuh saja padanya!” kata sang kakak.
“Tindakan
itu tidak sempurna,” Wanyen
Lieh bilang. “Kakak tahu sendiri
kecerdikan bangsa Selatan itu. Mungkin mata-mata yang datang bukan dia satu
orang, kalau dia ini dibunuh, yang lainnya pasti bakal jadi waspada. Aku pikir
hendak mohon kakak bawa ia pergi ke utara.”
“Bawa
ia ke Utara?” Yung Chi tanya.
“Ya”
sahut Wanyen
Lieh. “Di
sana, di padang gurun, di mana
tidak ada lain orang, dengan cari satu alasan kakak boleh hukum mati padanya. Di sini aku nanti layani lain-lainnya mata-mata.”
“Bagus!”
Yung Chi bertepuk tangan, dia tertawa riang. “Sebentar kau kirim dia padaku,
bilang saja dia hendak dijadikan pengiringku.”
Sang
adik menjadi girang. “Baik!” katanya.
Sore
itu Wanyen Lieh tidak panggil Toan
Thian Tek
menghadap lagi padanya, hanya sambil dibekali uang perak dua potong, dia suruh
Thian Tek pergi ke istana Wei
Wang untuk bantu pangeran itu,
katanya.
Thian Tek tidak tahu rencana
orang, ia menurut saja. Ia khawatir Lie Peng nanti buka rahasianya, ia tetap
ajak nyonya itu. Ia mempengaruhinya hingga si nyonya diam saja. Sedang si nyonya
ini masih mengharapkan datangnya pertolongan padanya……..
Berselang
beberapa hari, Wanyen Yung Chi berangkat ke Monglia, dia ajak Thian Tek
bersama.
Sementara
itu perutnya Lie Peng makin menjadi besar, perjalanan jauh denagn menunggang
kuda, sangat meletihkan dia. Tapi ia telah bertekad untuk membalas sakit
hatinya, dia kuatkan hati dan tubuhnya untuk lawan penderitaan ini. Di lain pihak ia jaga diri baik-baik agar tentara Kim tidak tahu siapa dia. Demikian untuk beberapa
puluh hari, dia terus menderita.
Wanyen Yung chi berangkat
bersama seribu serdadu pilihan yang semua kelihatan gagah dan mentereng. Dia
sengaja menunjuki pengaruh menurut nasihat Wanyen Lieh.
Pada
suatu hari tibalah barisan ini di satu tempat dekat dengan perkemahan Temuchin.
Wanyen Yung Chi lantas kirim belasan serdadunya untuk memberi warta terlebih
dahulu tentang tibanya itu sekalian menitahkan Temuchin datang menyambut utusan
Kim.
Tatkala
itu bulan kedelapan untuk di Utara, hawa ada dingin
luar biasa. kapan sang malam tiba, salju beterbangan turun bagaikan
lembaran-lembaran unga. Diwaktu begini, barisan dari seribu serdadu pilihan
dari bangsa Kim berjalan berlerot
bagaikan seekor ular panjang, berjalan di padang
pasir yang seperti tak ada ujung pangkalnya.
Selagi
pasukan ini berjalan terus, sekonyong-konyong orang mendapat dengar suara
berisik yang datangnya dari arah utara, suara seperti satu pertempuran. Selagi
Wanyen Yung Chi terheran-heran, ia lantas tampak lari mendatangi satu pasukan
kecil serdadu.
“Sam-ongya,
lekas kasih perintah untuk bersiap untuk berperang!” demikian kata perwiranya
yang pimpin pasukan kecil itu setibanya dia di depan pangeran Kim itu. Dialah Ouw
See Houw.
Yung
Chi menjadi kaget. “Pasukan musuh manakah itu?” dia bertanya.
“Mana
aku tahu?!” sahut si perwira yang lantas saja mengatur barisannya. Ia keprak
kudanya untuk maju ke depan.
Hampir
itu waktu, apa yang disebutkan tentara musuh itu, sudah datang dekat sekali.
Mereka itu terpencar si segala penjuru, memenuhi bukit dan tegalan di hadapan
angaktan perang Kim itu.
Ouw
See Houw ada satu panglima yang berpengalaman yang diandalkan negeranya,
sebaliknya Wanyen Yung Chi lemah, dia tak dapat berpikir, maka itu kepala
perang ini telah melancangi pangeran itu untuk mengatur persiapan.
Segera
juga terlihat suatu keanehan. Tentara ‘musuh’ itu bukan terus menerjang pasukan
Kim, hanya mereka kabur keempat
penjuru. Kapan Ouw See Houw sudah mengawasi sekian lama, ia dapat kenyataan,
itulah pasukan sisa yang habis kalah perang, yang telah membuang panah dan
tombak mereka, semua tidak menunggang kuda, roman mereka ketakutan. Disamping
itu di belakang mereka menerjang sejumlah pasukan berkuda, hingga banyak
serdadu yang kena terinjak-injak.
Ouw
See Houw berlaku tabah. ia beri perintah akan tenteranya mengurung pangerang
mereka, untuk melindungi. Mereka bersiap tanpa bersuara.
Tentera
musuh yang kabur itu melihat pasukan Kim,
mereka lari tanpa berani datang mendekati, mereka kabur jauh-jauh.
Tiba-tiba dari arah kiri terdengar ramai
suara terompet tanduk, di situ muncvul satu pasukan serdadu, yang terus
menerjang tentera sisa. Tentera sisa ini berjumlah lebih besar tapi mereka
tidak berdaya terhadap pasukan berkuda ynag jauh lebih kecil itu.
Terpaksa untuk menyingkir, tentara sisa ini
meluruk ke arah pasukan Kim.“Lepaskan panah” Ouw See Houw memberi titah.
Tentara sisa itu segera diserang, sejumlah diantaranya
lantas rubuh, akan tetapi jumlah mereka banyak, mereka pun lagi ketakutan,
mereka menerobos terus. Dengan sendirinya mereka jadi bertempur sama tentara
Kim. Hebat akibatnya untuk tentara Kim itu, yang berjumlah lebih sedikit. Kekalutan sudah
lantas terjadi, musuh dan kawan bercampur menjadi satu, bergumul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar