Sabtu, 20 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 19



Bab 19. Ada Kuping Di Balik Tembok

Kwee Ceng tiada bilang apa-apa lagi, ia masuki resep ke dalam sakunya, lanats ia berlalu dari hotel. Ia lari keluar kota barat tanpa menghiraukan salju berterbangan menyampok mukanya. Disekitarnya yang luas, ia tampak segala apa putih meletak, disana tidak ada tapak-tapak manusia. Sesudah hampir sepuluh lie, ia lihat sinar terang dari air telaga. Karena hawa udara tidak sangat dingin, telaga itu tidak membeku, salju jatuh ke air, lantas lumer. Adalah di tepian, di pepohonan, salju melulu yang tampak.
Memandang ke sekitarnya, bocah ini menjadi heran. Tidak ada bayangan orang sekalipun.
“Apa mungkin dia sia-sia menanti aku dan dia lantas pergi duluan?” ia berpikir. Tapi ia buka mulutnya, akan perdengarkan suara nyaring: “Oey Hiantee! Oey Hiantee!”
Tidak ada jawaban, cuma dua ekor burung air yang terbang gelapakan di telaga.
“Oey Hiantee! Oey Hiantee!” ia memanggil pula, dengan hatinya masgul. Tapi ia masih dapat berpikir; “Mungkin ia belum datang, maka baiklah aku menunggu ia disini…”
Maka ia lantas menantikan sambil ia pandangi keindahan telaga di musim salju itu.
Belum terlalu lama atau dari tengah telaga terdengar suara tertawa halus, kapan Kwee Ceng menoleh, ia lihat sebuah perahu muncul dari bagian telaga yang lebat dengan pepohonan. Itulah sebuah perahu kecil dengan penumpangnya, yang duduk di belakang perahu, ada satu nona, yang rambutnya panjang meroyot melewati pundak, bajunya putih mulus, rambutnya di bagian atas ada pitanya dari emas, hingga emas itu bercahaya di antara sinar putih dari salju.
Kwee Ceng mengawasi dengan menjublak. Ia dapatkan si nona bagaikan bidadari. Orang berumur belum lima atau enambelas tahun, kulitnya putih halus, romannya cantik sekali dan manis, mukanya dadu segar. Ia lantas berpaling ke lain jurusan, tidak berani ia mengawasi terus-terusan. Ia pun bertindak dari tepian.
Si nona mengayuh perahunya sampai ke pinggir telaga. “Kwee Koko, mari naik ke perahu!” tiba-tiba dia memanggil. Dia menyebutnya “Kwee Koko” = “Engko Kwee”.
Kwee Ceng terkejut. Ia dipanggil selagi ia menoleh ke lain jurusan. Begitu ia menoleh, begitu ia tampak satu wajah yang manis sekali, sedang tangan baju orang memain di antara sampokan angin. Ia berdiri menjublak bagaikan orang yang tengah bermimpi, kemudian ia kucak-kucak matanya dengan kedua tangannya.
“Bagaimana, eh, engko Kwee,” berkata pula si nona. “Apakah kau tidak kenal aku?”
Kwee Ceng perhatikan suara orang. Itulah suaranya Oey Yong, sahabat eratnya, sahabat sehidup semiati…….. !
Tapi sahabatnya itu adalah satu pemuda dengan muka kotor dan pakaian compang-camping…. Kenapa sekarang tercipta menjadi satu bidadari?
Dalam kesangsiannya, bocah ini mengawasi dengan mendelong.
Nona itu tertawa. “Aku adalah Oey Hianteemu!” ia berkata. “Benarkah kau telah tidak kenali aku?”
Oleh karena ia menatap, Kwee Ceng kenali roman mukanya Oey Yong yang alisnya lentik dan mulutnya mungil, cuma dandannya lain. “Kau…kau….” katanya perlahan.
Oey Yong tertawa pula. “Sebenarnya aku adalah seorang wanita,” ia berkata pula. “Siapa suruh kau panggil aku Oey Hiantee dan Oey Hiantee tak sudahnya? Ayolah lekas naik ke perahu ini!”
Kwee Ceng sadar, lalu ia enjoti tubuhnya, lompat ke perahu itu. “Oey Hiantee…!” katanya.
Oey Yong tidak menyahuti, ia hanya kayuh perahunya ke telaga. Ia lantas sajikan bekalannya, barang makanan dan arak.
“Kita duduk disini, dahar dan minum arak sambil memandangi sang salju, bagus bukan?” katanya merdu.
Kwee Ceng mencoba akan menenangi diri. “Ah…aku tolol sekali!” katanya kemudian. “Sampai sebegitu jauh, aku sangka kau adalah seorang pria! Selanjutnya tidak dapat aku panggil lagi kau Oey Hiantee….”
Oey Yong tertawa. “Kau juga jangan panggil aku Oey Hian-moay,” ia berkata. “Aku dipanggil Yong-jie. Ayahpun selalu memanggil aku begitu.”
Dengan sendirinya nona ini tidak menghendaki di panggil “Oey Hian-moay” = “adik Oey” dan menghendaki di sebut namanya saja. “Yong-jie” berarti “anak Yong”.
Tiba-tiba Kwee Ceng ingat sesuatu. “Aku membekali kau tiamsim!” katanya seraya terus kasih keluar tiamsim yang ia bawa dari istananya Wanyen Kang. Cuma sekarang tiamsim itu sudah pusak-pesok tiada karuan.
Oey Yong mengawasi macamnya tiamsim yang tidak karuan itu, ia tertawa.
Merah mukanya Kwee Ceng, ia jengah. “Tiamsim ini tak dapat dimakan…” katanya. Ia ambil itu, untuk dilemparkan ke air.
Oey Yong sambar tiamsim itu. “Aku bisa makan!” katanya. “Aku doyan!”
Selagi si bocah tercengang, Oey Yong sudah menggayem tiamsim itu.
Kwee Ceng mengawasi, sampai ia mendadak menjadi heran sekali. Oey Yong dahar tiamsim itu, lantas perlahan-lahan matanya menjadi merah, lalu air matanya perlahan-lahan mengalir turun…
“Begitu aku dilahirkan, aku sudah tidak punya ibu,” berkata Oey Yong yang dapat membade pikirannya sahabatnya. “Seumurku, belum pernah ada orang yang ingat aku seperti kau ini…”
Air matanya mengalir deras, ia keluarkan sapu tangannya ang putih bersih.
Kwee Ceng menyangka orang hendak menyusuti air matanya, tak tahunya dengan cara hati-hati nona itu bungkus sisa tiamsim yang kemudian ia masuki ke dalam sakunya. “Aku akan dahar ini perlahan-lahan…” katanya, dan kali ini ia tertawa.
Benar-benar aneh kelakuan bocah wanita ini, Kwee Ceng asing betul dengan tingkah lakunya ini “Oey Hiantee”.
“Bilangnya ada urusan penting yang kau hendak bicarakan dengan aku, urusan apakah itu?” kemudian ia tanya. Ia sudah lantas ingat surat si nona dan untuk apa ia datang ke telaga ini.
Oey Yong tertawa ketika ia menyahuti: “Aku panggil kau datang kemari untuk memberitahukan padamu bahwa aku bukannya Oey Hianteemu, hanya Yong-jie. Apa ini bukannya urusan penting?”
Kwee Ceng tersenyum. Orang benar-benar jenaka. “Kau begitu manis untuk dipandang, kenapa mulanya kau menyamar sebagai penemis?” ia tanya.
Oey Yong melengos ke samping. “Kau bilang aku manis dipandang?” ia tanya.
“Manis sekali!” sahut si anak muda. “Kau mirip dengan bidadari dari puncak gunung salju!” Ia menghela napas.
Oey Yong tertawa pula. “Pernahkah kau melihat bidadari?” tanyanya.
“Aku belum pernah lihat. Kalau aku dapat menemui, mana aku masih hidup lagi…?”
Oey Yong heran. “Eh, kenapa begitu?” ia menegaskan.
“Sebab pernah aku dengar pembilangannya orang-orang tua, siapa dapat melihat bidadari, dia tidak bakal kembali ke tanah datar, untuk selamanya ia akan duduk bengong saja di gunung salju, lalu lewat beberapa hari, dia akan mati beku….”
Oey Yong tertawa pula. “Sekarang kau melihat aku, kau bakal bengong saja atau tidak?” tanyanya kemudian.
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah. “Kita toh sahabat-sahabat kekal, kita lain…”
Oey Yong menganggguk. Lalu ia berkata dengan sungguh-sungguh: “Aku tahu kau baik hati dengan sesungguhnya, terhadap aku, tidak peduli aku pria ataupun wanita, biarpun aku bagus atau jelek.” Ia berhenti sebentar. “Dengan dandananku ini, kalau orang bersikap baik terhadap aku, apakah anehnya? Diwaktu aku menjadi pengemis, kau baik sekali dengan aku, nah itu barulah sahabat sejati.” Ia rupanya sangat girang, semabri tertawa ia kata pula: “Aku ingin bernyanyi untukmu, sukakah kau mendengarnya?”
“Apakah tidak boleh besok saja kau bernyanyi?” Kwee Ceng minta. “Sekarang ini aku mesti pergi beli obat untuk Ong Totiang.”
Kwee Ceng lantas tuturkan tentang adu kepandaian di istana Chao Wang, sampai Ong Cie It, yang melindungi ia, mendapat luka parah, bahwa sia-sia belaka ia mencari obat.
Oey Yong mengawasi, ia tertawa. “Aku pun heran sekali menyaksikan kau lari mondar-mandir di jalan besar dan memasuki rumah obat dari yang satu kepada yang lain, entah kau bikin apa, tidak tahunya kau hendak membeli obat,” katanya.
Kwee Ceng menduga, selagi ia lari mondar-mandir, Oey Yong tentu telah mengintai padanya tetapi ia tidak tahu, kalau tidak, niscaya nona itu tidak ketahui ia tinggal di hotel mana.
“Oey Hiantee,” katanya kemudian, “Apakah boleh pinjam kuda merahmu yang kecil untuk aku pergi membeli obat?”
Oey Yong menatap. “Ketahuilah!” katanya. “Kesatu, aku bukannya si Oey Hiantee! Kedua, kuda merah yang kecil itu adalah kepunyaanmu! Apakah kau sangka benar-benar aku menghendaki kudamu itu? Aku melainkan lagi menguji hatimu. Ketiga, di tempat sekitar ini, belum tentu kau dapat mencari obat itu…!”
Kwee Ceng berdiam, hatinya pepat. Ia bingung sekali. Dugaan si nona nyata cocok betul dengan dugaannya Ong Cie It.
Oey Yong tertawa. “Sekarang aku nyanyai, kau dengari!” dia kata. Lalu kedua bibirnya yang merah tergerak terbuka, segera lidahnya bergerak, memperdengarkan nyanyiannya yang halus dan merdu.
Kwee Ceng mendengari dengan hati kesengsem walaupun tidak mengerti jelas artinya nyanyian itu, hatinya menjadi goncang. Seumurnya belum pernah ia peroleh pengalaman ini.
“Inilah nyanyian Sui Ho Sian dari Sin Tayjin,” kata Oey Yong perlahan habis ia nyanyi. “Bagaimana kau bilang, bagus atau tidak?”
“Aku kurang mengerti tetapi didengarnya menarik hati,” Kwee Ceng menjawab. “Siapa itu Sin Tayjin?”
“Dialah Sin Kee Cie,” sahut Oey Yong. “Menurut ayahku dialah satu pembesar jempolan yang menyinta negara dan rakyat. Ketika dulu hari utara Tionggoan terjatuh ke dalam tangan bangsa Kim dan Gak Bu Bok terbinasa di tangan dorna, tinggal Sin Tayjin sendiri yang masih berdaya untuk merampas pulang daerah-daerah yang terhilang itu.”
Kwee Ceng tahu kekejaman bangsa Kim dari penuturan ibunya, karena ia hidup di Mongolia, ia kurang tahu. Ia kata: “Belum pernah aku pergi ke Tionggoan, maka hal ini baik nanti saja perlahan-lahan kau tuturkan padaku. Sekarang kita mesti pikirkan daya menacri obat untuk Ong Totiang.”
“Kau dengar aku,” berakta Oey Yong. “Kita pesiar dulu disini, tak usah kau cemas tidak karuan.”
“Ong Totiang bilang, kalau dalam tempo dua belas jam ia tidak dapat obat, ia bisa celaka,” Kwee Ceng jelaskan.
“Aku tanggung, kau akan dapatkan obat itu,” si nona bilang.
Mendengar si nona bicara dengan sungguh-sungguh dan juga percaya orang memang ada terlebih pandai dan cerdik daripadanya, Kwee Ceng dapat juga melegakan hatinya.
“Mungkin ia tidak akan membikin gagal,” pikirnya. Maka ia lantas layani si cantik itu minum arak dan dahar makanan sambil mereka pasang omong.
Dengan gembira, dan secara menarik hati, Oey Yong tuturkan bagaimana caranya ia menggangtung Hong Ho Su Koay, bagaimana ia ganggu Hauw Thong Hay sampai si Ular Naga Kepala Tiga itu mendongkol bukan main.
“Bagus!” seru Kwee Ceng saking gembira.
“Memang bagus!” kata si nona. Dan keduanya bertepuk tangan.
Tanpa merasa sang tempo telah berlalu, Oey Yong lihat bagaimana secara perlaha-lahan sang mega atau kabut mulai menutupi air telaga yang putih. Dengan perlahan sekali ia ulur tangannya, terus ia genggam tangannya si Kwee Ceng, sembari berbuat begitu ia kata dengan perlahan: “Sekarang aku tidak takut apa juga…!”
“Kenapa?” menanya si anak muda dengan heran.
“Taruh kata ayah tidak menginginkan aku, kau tentunya sudi aku ikuti kau, bukankah?” si nona tanya tanpa ia menyahuti pertanyaan orang.
“Pasti!” jawab Kwee Ceng sungguh-sungguh. “Aku sendiri, belum pernah aku bergembira seperti sekarang ini!”
Oey Yong membawa tubuhnya mendekati dada si pemuda dan menempelkannya, maka Kwee Ceng lantas saja merasakan ia bagai terkurung bau harum, bau yang meliputi juga antero telaga, seluruh langit dan bumi……
Tanpa mengucap sepatah kata, keduanya saling berpegang tangan…..
Lagi sekian lama, tiba-tiba Oey Yong menghela napas. “Tempat ini sungguh indah, sayang kita bakal meninggalkannya…” katanya.
“Kenapa begitu?” Kwee Ceng tanya. Ia heran.
“Bukankah kita harus mencari obat untuk menolongi Ong Totiang?” sahut si nona.
Kwee Ceng sadar, ia menjadi girang sekali. “Ah, ke mana kita mencarinya?”
“Ke manakah perginya itu beberapa rupa obat yang dibutuhkan, yang tidak berada di rumah-rumah obat?” Oey Yong menanya.
“Tentulah semua itu dibeli oleh orangnya Chao Wang,” menyahut Kwee Ceng.
“Benar!” berkata si nona.
“Tetapi tidak dapat kita pergi ke sana!” Kwee Ceng bilang. “Pergi ke sana artinya kita mengantari jiwa kita…”
“Habis apakah kau tega membiarkan Ong Totiang menjadi bercacad seumur hidupnya?” Oey Yong tanya. “Jangan-jangan, karena lukanya itu berubah menjadi berbahaya, ia pun bisa hilang jiwanya….”
Darahnya Kwee Ceng bergolak. “Baik, aku akna pergi!” ia bilang. “Tapi kau jangan turut…”
“Jangan turut? Kenapakah?” tanya si nona.
Kwee Ceng berdiam. Ia tidak punyakan alasan untuk kata-katanya itu.
Oey Yong mengawasi. “Engko yang baik,” katanya perlahan. “Kau kasihanilah aku. Umpama kata kau menemui bencana, apakah kau sangka aku dapat hidup seorang diri saja?”
Kwee Ceng menjadi sangat bersyukur dan bergirang. “Baiklah!” katanya kemudian. “Mari kita pergi bersama!”
Keduanya lantas mengayuh, membuatnya perahu mereka ke pinggir, setelah mendarat, mereka menuju langsung ke istana Chao Wang, ke arah belakang. Mereka memasuki pekarangan dengan melompati tembok.
“Engko Ceng, sempurna sekali ilmu ringan tubuhmu!” Oey Yong memuji selagi si anak muda mendekam di kaki tembok untuk memasang kuping dan mata.
Mendengar pujian itu, Kwee Ceng gembira bukan main. Merdu sekali suara si nona.
Tak lama, mereka mendapat dengar tindakan kaki dibarengi sama suara bicara sambil tertawa. Mereka menutup mulut.
“Siauw-ongya mengurung si nona di sini, kau tahu untuk apa?” terdengar seorang menanya. “Siauw-ongya” itu ialah pangeran muda.
“Buat apa lagi!” tertawa orang yang kedua. “Si nona ada demikian cantik! Sejak kau dilahirkan, pernahkah kau melihat nona secantik itu?”
“Kau hati-hati, sahabat!” kata yang pertama, “Melihat macammu ini, hati-hatilah, nanti siauw-ongya kutungi batang lehermu…”
Kwee Ceng lantas berpikir: “Kiranya Wanyen Kang sudah punya pacar maka juga ia tidak sudi nikahi nona Bok. Dalam hal ini, dia tidak dapat disesalkan. Cuma mengapa ia mengurung nona itu? Mustahilkah si nona menolak dan ia hendak gunai kekerasan untuk memaksa?”
Dua orang itu sudah lantas datang dekat sekali, yang satu membawa tengloleng, yang lainnya menenteng barang makanan.
Yang membawa makanan itu berkata pula sambil tertawa: “Siauw-ongya aneh! Dia mengurung orang, dia juga khawatir orang kelaparan! Lihat, sudah malam begini dia masih suruh mengantarkan barang makanan….”
“Jikalau tidak berlaku manis budi, mana dia dapat merampas hati si nona?” berkata yang membawa lentera.
Lantas mereka lewat, suara tertawa mereka masih terdengar.
“Mari kita lihat!” berbisik Oey Yong, yang hatinya menjadi tertarik. “Sebenarnya bagaimana sih cantiknya orang itu…”
“Lebih perlu kita mencari obat,” Kwee Ceng bilang.
“Aku ingin lihat dulu si cantik!” kata Oey Yong, yang tertawa.
Kwee Ceng heran sekali. “Apa sih bagusnya orang perempuan untuk di lihat?” katanya dalam hati. Ia tidak menginsyafi sifat wanita. Kalau satu nona mendengar ada nona cantik lainnya, sebelum melihatnya, hatinya tidak nanti puas, kalau dia sendiri cantik, lebih keras lagi keinginannya melihatnya itu. “Ah, dasar anak kecil….!”
Luas pekarangan dalam dari gedung Chao wang itu. Mereka berdua berjalan berliku-liku menguntit dua hamba tadi. Mereka tiba di depan sebuah gedung besar yang gelap, tapi ada yang jaga. Mereka lantas umpatkan diri, untuk mendenagri kedua kacung itu bicara sama penjaga rumah itu, yang ialah seoarng serdadu. Dia ini lantas membuka pintu, untuk mengijinkan orang masuk.
Oey Yong cerdik. Ia menjumput sebutir batu, dengan itu ia menimpuk lentera orang, hingga apinya lentera itu padam seketika, membarengi mana ia tarik tangan si anak muda, untuk diajak berlompat masuk ke pintu.
Kedua kacung dan serdadu itu tidak menduga jelek, mereka cuma menyangka batu jatuh dari atas. Sembari mengutuk, mereka nyalakan pula lenteranya. Setelah membuka sebuah pintu dalam, yang kecil, berdua mereka masuk lebih jauh.
Oey Yong dan Kwee Ceng menempatkan diri di sebelah belakang, dengan hati-hati mereka menguntit pula, sampai mereka berada di depan sebuah ruang seperti kerangkeng binatang liar, jerujinya semua besi kasar. Di dalam situ ada dua orang, terlihat samar-samar seperti pria dan wanita.
Satu bujang lantas memasang lilin, yang mana ia masuki ke dalam kerengkeng. Maka sekarang terlihat tegaslah dua orang yang terkurung itu. Mengenali mereka, Kwee Ceng terkejut. Mereka adalah Bok Ek serta gadisnya, yang tadi siang mengadakan pibu mencari jodoh. Bok Ek nampaknya tengah bergusar. Liam Cu duduk di samping ayahnya dengan kepala tunduk.
“Bagaimana dengan Wanyen Kang? Sebenarnya dia sukai nona ini atau tidak?” Kwee Ceng beragu-ragu.
Kedua bujang itu memasuki barang makanan berikut araknya. Bok Ek sembat sebuah mangkok, terus ia lemparkan. Ia berseru: “Aku telah terjatuh ke dalam tipumu yang busuk, kalau kau hendak membinasakan, binasakanlah! Buat apa kamu berpura-pura menaruh belas kasihan?!”
Belum sampai si bujang membilang apa-apa, di sebelah luar terdengar suaranya serdadu penjaga pintu yang tadi: “Siauw-ongya baik?”
Mendengar itu, Kwee Ceng dan Oey Yong berpaling, lalu lekas-lekas mereka mencari tempat sembunyi.
Segera juga terdengar suara membentak sari Wanyen kang, yang datang dengan tindakan lebar: “Siapa yang membikin Bok Loenghiong gusar? Awas, sebentar aku hajar patah kaki anjingmu!”
Kedua hamba itu lantas bertekuk lutut. “Hambamu tidak berani…” berakat mereka.
“Lekas berlalu!” membentak pula si pangeran.
“Ya, ya…” menyahuti kedua hamba itu, yang berlalu dengan cepat. Hanya setibanya mereka di pintu luar, mereka saling mengawasi dengan mengulurkan lidahnya masing-masing…..
Wanyen Kang tunggu sampai orang telah merapatkan daun pintu, ia hampiri Bok Ek dan gadisnya.
“Jiwi silahkan kemari!” ia berkata, suaranya sabar sekali. “Aku hendak membilangi sesuatu kepada kamu, harap kamu jangan salah mengerti.”
“Kau telah kurung kami sebagai pesakitan, apakah artinya undanganmu ini?!” Bok Ek menegur. Ia gusar sekali.
“Maafkan aku, menyesal sekali,” berkata Wanyen kang. “Untuk sementara aku minta jiwi harap bersabar. Aku pun merasa tak enak hati.”
“Kau boleh akali bocah umur tiga tahun!” Bok Ek membentak pula. “Aku tahu baik sifatnya kamu orang besar! Hm!”
Wanyen Kang hendak bicara pula, saban-saban ia terhalang oleh bentakan orang tua itu, tetapi ia sabar luar biasa, sebaliknya dari bergusar, ia tertawa.
“Ayah, coba dengar dulu apa ia hendak bilang,” akhirnya Liam Cu berkata dengan perlahan.
“Hm!” orang tua itu perdengarkan suara di hidungnya.
“Nona seperti putrimu, mustahil aku tidak sukai dia” berkata Wanyen Kang.
Mendengar itu, wajahnya Liam Cu menjadi merah, ia tunduk lebih rendah.
“Hanyalah aku adalah satu pangeran dan aturan rumah tanggaku keras sekali,” Wanyen Kang berkata pula. “Umpama kata orang mendapat tahu aku mempunyai mertua seorang kangouw, bukan cuma ayahku bisa memarahinya, malah ada kemungkinan sri baginda juga nanti menegur ayahku itu…”
“Habis kau mau apa?” menanya Bok Ek. Ia anggap orang bicara beralasan juga.
“Sekarang ini aku mau minta jiwi berdiam dulu beberapa hari di sini, untuk sekalian merawat lukamu,” sahut pangeran itu. “Setelah itu barulah kamu pulang ke kampung halamanmu. Nanti, selang satu atau setengah tahun, setelah suasana sudah reda, akan aku nikahi putrimu ini, baik dengan jalan aku pergi menjemput ke rumahmu atau dengan minta locianpwee datang ke mari. Tidakkah itu lebih bagus?” kata pangeran ini lebih lanjut.
Bok Ek berdiam. Ia tengah memikir satu hal lain.
“Peristiwa ini bisa merembet ayahku,” Wanyen Kang berkata pula, sambil tertawa. “Oleh karena kenakalanku, beberapa kali ayah pernah ditegur sri baginda raja, maka kalau urusan ini sampai didengar oleh sri baginda, pastilah pernikahan ini gagal. Maka itu aku minta sukalah locianpwee menyimpan rahasia.”
Bok Ek gusar. “Menurut caramu ini!” katanya sengit, “Kalau nanti anakku menikah sama kamu, untuk seumur hidupnya ia mesti main sembunyi-sembunyi! Dia jadinya bukan satu istri yang terang di muka umum!”
“Dalam hal ini pastilah aku akan mengatur lainnya,” Wanyen Kang memberi keterangan. “Sekarang pun aku sudah pikir nanti minta perantaraannya beberapa menteri sebagai orang pertengahan, supaya kita nanti menikah secara terhormat….”
Wajahnya Bok Ek berubah. “Kalau begitu, pergi kau panggil ibumu datang ke mari,” katanya. “Aku ingin kita omong depan berdepan dan secara terus terang!”
Wanyen Kang tersenyum. “Mana dapat ibuku menemui locianpwee?” katanya.
“Jikalau aku tidak dapat bicara dengan ibumu, biar bagaimana, tidak sudi aku melayani kamu!” kata Bok Ek kaku, tangannya menyambar sepoci arak, yang dia timpukkan di antara jeruji besi.
Bok Liam Cu kaget dan berduka menyaksikan sikap ayahnya ini. Sebenarnya, semenjak memulai bertanding sama pangeran itu, ia telah menaruh hati, maka juga ia senang mendengar pembicaraannya si anak muda yang ia anggap beralasan. Ia tidak sangka, ayahnya telah ambil sikapnya yang tegas itu.
Wanynn Kang geraki tangannya menyambar poci arak itu, terus ia letaki itu ditempatnya, di atas meja. “Menyesal tidak dapat aku menemani lebih lama,” katanya. Ia tertawa dan memutar tubuhnya untuk berlalu.
Kwee Ceng anggap omongannya Wanyen Kang beralasan. Bukankah si pangeran ada kesulitannya sendiri? Maka itu, menyaksikan kemurkaannya Bok Ek, ia lantas berpikir; “Baiklah aku bujuki ia…” Ia lantas geraki tubuhnya, untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Tapi ia tidak dapat wujudkan apa yang ia pikirkan itu. Oey Yong telah tarik tangan bajunya, untuk ajak ia keluar.
“Apakah sudah diambil?” mereka lantas dengar suaranya Wanyen Kang, yang bicara sama satu hambanya.
“Sudah,” sahut si hamba, yang terus angkat sebelah tangannya. Nyata ia mencekal seekor kelinci. Wanyen Kang menyambuti dengan kedua tangannya, tiba-tiba saja ia patahkan kedua kakinya kelinci itu, yang ia terus masuki ke dalam sakunya, setelah mana ia bertindak dengan cepat.
Binatang itu berpekik satu kali, lalu kelengar.
Dua-duanya Oey Yong dan Kwee Ceng heran sekali. Merak lantas kuntiti pangeran itu, yang jalan memutari sebuah pagar bambu, setelah mana terlihatlah sebuah rumah tembik putih yang kecil. Itulah rumah bermodel rumah rakyat di Kanglam. Maka heran di dalam pekarangan istana mentereng itu ada sebuah rumah yang begini sederhana. Maka mereka jadi bertambah heran.
Wanyen Kang menolak pintu rumah itu dan masuk ke dalamnya.
Dengan lekas Kwee Ceng berdua lari ke jendela untuk memasang kuping sambil mengintai di sela-sela jendela itu. Mereka percaya mesti ada perbuatan yang aneh dari si pangeran itu.
“Ma!” mereka lantas dengar suara si pangeran.
“Ya..!” demikian suara penyahutan perlahan, suaranya seorang wanita.
Wanyen Kang lantas masuk ke dalam kamar.
Untuk bisa melihat, Kwee Ceng berdua menghampirkan sebuah jendela lain. Maka mereka lantas tampak satu nyonya tengah berduduk di pinggiran meja, sebelah tangannya menunjang dagu, matanya mendelong. Dia belum berumur empatpuluh tahun dan mukanya cantik sekali. Di rambut dekat kupingnya dia memakai setangkai bunga putih. Pakaiannya semua terdiri dari kain kasar.
“Mama, apakah hari ini kau kurang sehat?” tanya Wanyen Kang seraya pegangi tangan si nyonya.
Nyonya itu menghela napas. “Bukankah aku tak berlega hati untukmu?” sahutnya.
Wanyen Kang sanderkan diri di tubuh nyonya itu, yang ia panggil ibu, agaknya ia manja sekali.
“Ma, bukankah anakmu berada di sini?” katanya, aleman. “Toh aku tidak kekurangan walaupun sebelah kakiku…?”
“Kau mengacau, kalau ayahmu dengar itu, masih tidak apa,” berkata si ibu itu, “Tetapi gurumu? Bagaimana kalau ia mendengar kabar? Tidakkah hebat?”
“Ma,” berkata si pangeran, tertawa, “Tahukah kau siapa imam itu yang datang menyela untuk menolongi orang?”
“Siapakah imam itu?”
“Dialah adik seperguruan dari guruku…”
“Celaka!” berseru si nyonya kaget. “Pernah aku melihatnya gurumu disaat ia tengah murka! Dia dapat membunuh orang! Sungguh menakutkan…!”
Wanyen Kang agaknya heran. “Pernah mama melihat suhu membunuh orang?” dia tanya. “Di manakah itu? Kenapa suhu membunuh orang?”
Nyonya itu angkat kepalanya, memandang lilin. Ia agaknya tengah memikir jauh. “Itulah sudah lama, sudah lama,” katanya kemudian dengan perlahan. “Ah, kejadian daulu hari itu hampir aku lupa….”
Wanyen Kang tidak menanyakan lebih jauh, sebaliknya dengan gembira, ia kata; “Ong Susiok itu telah mendesak aku, menanyakan bagaimana urusan pibu hendak diselsaikan. Aku telah menjanjikan untuk menerima baik. Asal si orang she Bok itu datang, apa yang diatur, aku terima baik.”
“Apakah kau sudah bicara dengan ayahmu?” tanya si nyonya itu. “Bersediakah dia akan memberikan perkenanannya?”
Wanyen Kang tertawa. “Ma, kau memang baik sekali!” katanya. “Dari siang-siang telah aku perdayakan orang she Bok itu dan gadisnya datang ke mari, sekarang mereka ditahan di kerangkeng di belakang sini. Mana Ong Susiok dapat mencari mereka?”
Selagi si pangeran ini demikian gembira, Kwee Ceng sebaliknya bertambah kemendongkolannya dan kemurkaannya. Kata pemuda ini dalam hatinya; “Aku menyangka dia bermaksud baik, siapa tahu ia sebenarnya sangat licik!”
Si wanita pun tidak setujui putranya itu. “Kau telah permainkan anak dara orang,” katanya kurang senang, “Kau juga kurung mereka di sini. Apakah artinya itu? pergi lekas kau merdekakan mereka! Kau berikan mereka uang, kau menghanturkan maaf, lantas kau persilahkan mereka pulang ke kampung halaman mereka.”
Kwee Ceng mengangguk-angguk. Ia setujui sikap nyonya itu. “Begitu baru benar,” pikirnya.
Wanyen kang tetap tertawa. “Ma, kau belum tahu,” katanya. “Orang kangouw seperti mereka tidak memandang uang! Jikalau mereka dilepaskan, setelah merdeka, tentu mereka akan buka suara lebar-lebar. Kalau itu sampai terjadi, bagaimana suhu bisa tak ketahui urusan ini?”
“Habis, apakah kau hendak kurung mereka seumur hidup mereka?” tanya si nyonya.
Putra itu tetap tertawa. “Akan aku bicara baik-baik dengan mereka, nanti aku perdayakan hingga mereka suka pulang ke kampung halaman mereka,” ia bilang. “Biarlah di sana mereka menanti-nanti hingga mereka putus asa…”. Lantas ia tertawa terbahak.
Kembali bangki hawa amarahnya Kwee Ceng, hingga ia ayun sebelah tangannya ke daun jendela dan mulutnya pun hendak dibuka.
“Jangan turuti adat…!” demikian ia dengar bisikan di kupingnya, berbareng denagn mana sebuah tangan yang halus menutup mulutnya dan tangan yang lain menarik tangannya. Merdu bisikan itu……
Cuma sejenak itu, pemuda ini insyaf akan kekeliruannya, maka ia menoleh kepada si nona manis di sisinya dan bersenyum. Karena itulah Oey Yong yang mencegah padanya. Kemudian ia mengintai pula ke dalam kamar.
“Tua bangka she Bok itu sangat licin,” terdengar pula suaranya Wanyen Kang. “Telah aku bujuki dia, dia tak mau makan umpan. Maka biarlah dia ditahan lagi beberapa hari, untuk lihat akhirnya dia suka menurut atau tidak.”
“Aku lihat nona itu bagus romannya dan gerak-gerakinya, aku suka dia,” berkata si nyonya. “Aku pikir hendak bicara dengan ayahmu, supaya kau diijinkan menikah dengannya. Bukankah dengan begitu selesai sudah semuanya?”
“Ah, mama, ada-ada saja!” berkata sang putra sambil tertawa. “ Kita dari keluarga apa? Cara bagaimana aku bisa menikah dengan satu nona kangouw? Ayah sering bilang padaku bahwa dia hendak mencarikan satu jodoh dari keluarga agung. Sayangnya ialah ayah bersaudara dengan raja yang sekarang…”
“Apakah yang dibuat sayang?” nyonya itu bertanya.
“Sebab,” menyahut sang putra, “Kalau tidak, pasti aku kana mendapatkan putri raja dan aku bakal menjadi menantu raja!”
Nyonya itu menghela napas, ia tak bicara lagi.
“Ma, ada satu lagi hal yang lucu,” Wanyen Kang berkata pula, tak ketinggalan tertawanya. “Tua bangka she Bok itu bilang ingin bertemu sama kau, ingin dia bicara sendiri, untuk mendapat kepastian, setelah itu barulah dia mau mempercayai aku.”
“Tidak nanti aku bantui kau memperdayakan orang, itulah perbuatan yang tidak baik!” berkata pula si ibu.
Wanyen Kang tertawa geli, ia jalan mondar-mandir di dalam kamar.
Oey Yong dan Kwee Ceng dapat kesempatan memperhatikan kamar itu. Semua meja dan kursi terbuat dari kayu kasar. Pembaringan serta perlengkapannya mirip dengan kepunyaan kebanyakan petani di Kanglam, semua kasar dan jelek. Di tembok ada tergantung tombak serta sebuah pacul. Di pojokan ada sebuah mesin tenun. Maka, menyaksikan semua itu, mereka menjadi heran.
“Wanita ini mulia sebagai selir, mengapa ia tinggal dalam kamar dengan perlengkapan semacam ini?” mereka itu berpikir.
Justru itu Wanyen Kang menekan ke dadanya, ke sakunya, lalu terdengar dua kali pekikan perlahan.
“Eh, apakah itu?” sang ibu tanya.
“Oh, hampir aku lupa!” sahut putranya itu, agaknya ia terperanjat. “Tadi di tengah perjalanan pulang aku melihat seekor kelinci yang terluka, aku bawa dia pulang. Mama, coba kau tolong obati dia…”
Ia lantas keluarkan kelinci putih itu, diletaki di atas meja. Dengan kakinya patah, binatang itu tidak dapat jalan.
“Anak yang baik!” berkata si nyonya. Ia lantas mencari obat, untuk mengobati kelinci itu.
Lagi-lagi darahnya Kwee Ceng bergolak. Ia sungguh membenci orang punya kelicinan dan kekejaman itu, terutama untuk memperdayakan seorang ibu yang hatinya demikian mulia. Tidakkah binatang yang harus dikasihani itu sengaja disakiti? Bukankah ibu telah didustai, untuk mengobati binatang yang sengaja disiksa? Kalau terhadap ibu sendiri saja ia mendusta demikian, maka bisalah diketahui buruknya sifat anak itu.
Oey Yong yang tubuhnya menempel sama tubuh si anak muda merasakan tubuh orang bergemetar. Ia menginsyafi bahwa orang ada sangat gusar. Tentu saja ia khawatir kawan ini perluap hawa amarahnya itu hingga Wanyen kang bisa pergoki mereka. Ia lantas pegang tangannya si pemuda itu, yang ia tarik untuk diajak mengundurkan diri.
“Jangan pedulikan dia, mari kita pergi cari obat,” bisiknya.
“Tahukah kamu obat itu disimpan di mana?” Kwee Ceng tanya.
Nona itu menggeleng kepala. “Aku tidak tahu,” sahutnya. “Mari kita cari…”
Kwee Ceng bersangsi. Dimana mesti mencari obat di istana demikan besar? Bukankah berbahaya kalau mereka kepergok See Thong Thian atau lainnya? Ia tidak sempat berpikir lama-lama. Pikirannya itu berhenti secara tiba-tiba. Sebab kupingnya segera mendengar orang mengoceh seorang diri dan di depan matanya berkelebat sinar api.
“Anak yang manis, kalau kau tidak mencintai aku, kau mencintai siapa lagi? Maka, kau kasihanilah aku…”
Sembari perdengarkan suaranya yang berlagu, terlihatlah seorang bertindak dengan perlahan-lahan. Dia mencekal sebuah tenglong.
Selagi Kwee ceng hendak menyembunyikan diri di belakang sebuah pohon, Oey Yong justru maju memapak orang itu, hingga ia menjadi tercengang, lalu lantas saja ia diam bagai patung, hatinya goncang keras. Oey Yong telah ancam dia dengan sebatang pisau belati.
“Siapa kau?” si nona menanya, membentak tapi perlahan.
Orang itu kaget dan ketakutan, selang berepa detik baru ia dapat menyahuti, suaranya tidak lancar. Ia adalah pengurus surat-surat di istana itu.
“Kau menjadi pengurus, bagus!” kata si nona. “Di mana disimpannya obat-obatan yang hari ini pangeranmu yang muda menitahkan orang membeli?!”
“Semua itu siauw-ongya yang simpan sendiri, aku…aku tidak tahu…”
Oey Yong cekal tangan orang dengan tangan kirinya untuk memencet, sedang ujung pisaunya ditempel kepada kulit leher. Orang itu kesakitan akan tetapi ia tidak berani berteriak.
“Kau hendak bilang atau tidak?!” si nona mengancam.
“Benar-benar aku tidak tahu….” jawab orang itu dengan gugup.
Oey Yong kerahkan tenaga di tangan kirinya itu, lalu dengan menerbitkan suara membeletak, patahlah tangan kanan si pengurus itu. Ia buka mulutnya, untuk berteriak tetapi dengan cepat si nona sambar kopiah orang, untuk dipakai menyumbat mulutnya. Maka hanya sekali saja dia itu mengasih dengar suara keras tertahan, lalu ia roboh dengan pingsan.
Kwee Ceng tidak menyangka satu nona demikian cantik dan halus gerak-geriknya dapat berbuat demikian telengas, ia menjadi tercengang, tak dapat ia membilang apa-apa.
Oey Yong menotok dua kali kepada iganya pengurus istana itu, lantas ia sadar. Ia tarik kopiah orang, untuk dibelesaki ke kepelanya.
“Apakah kau ingin tangan kirimu pun dipatahkan?” ia tanya.
Pengurus itu lantas saja menangis, ia menjatuhkan diri berlutut. “Dengan sebenarnya aku tidak tahu, percuma umpama nona membunuh aku,” katanya.
Sekarang Oey Yong mempercayainya, tetapi ia kata: “Sekarang pergi kau kepada pengeranmu itu, bilang bahwa kau jatuh dan patah tanganmu. Kau kasih tahu bahwa tabib membilang kau perlu obat hiat-kat, gu-cit, thim-tha dan bu-yok. Obat itu semua tak dapat dibeli di kota raja ini, maka kau mintalah kepada pangeran itu.”
Pengurus itu sudah membuktikan si nona tidak pernah main gila, ia suka menurut.
“Siauw-ongya ada pada ibunya, lekas-lekas kau pergi padanya!” Oey Yong bilang. “Aku akan ikuti padamu. Jikalau kau tidak dengar aku dan sengaja kau membuka rahasia, akan aku patahkan batang lehermu, akan aku kerek matamu!”
Tubuhnya orang itu bergemetar, ia merayap bangun, lalu dengan menggertak gigi, menahan sakit, ia lari ke arah kamarnya onghui, si selir.
Wanyen Kang masih ada pada ibunya, mereka masih pasang omong. Ia heran ketika ia lihat datangnya pengurus itu, yang bermandikan peluh dan air mata, dengan separuh mewek dia mohon diberi obat. Dia mengaku seperti ajarannya Oey Yong.
“Kasihlah dia obat!” berkata onghui, yang hatinya lemah. Ia lihat muka orang berpucat-pasi dan ia merasa kasihan.
Wanyen Kang mengkerutkan alisnya. “Semua obat itu ada apa Nio Losianseng,” katanya. “Pergi kau mengambil sendiri!”
“Tolong ongya memberikan sehelai surat,” si pengurus meminta.
Onghui itu sudah lantas sediakan perabot tulisnya. Wanyen Kang menulis beberapa kata-kata, untuk si Nio Losianseng, ialah io Cu Ong.
Pengurus itu mengangguk-angguk mengucapkan terima kasihnya.
“Lekas kau pergi!” menitah onghui. “Sebentar sesudah sembuh baru kau haturkan terima kasihmu!”
Pengurus itu lantas saja bertindak keluar. Ia baru jalan beberapa tindak, atau pisau belati telah tertanda di pundaknya.
“Pergi kepada Nio Losianseng!” menitah Oey Yong separuh berbisik.
Orang itu berjalan, baru beberapa puluh tindak, ia sudah terhuyung, rupanya tak sanggup ia menahan rasa sakitnya.
“Sebelum kau dapatkan obat itu, jangan harap jiwamu selamat!” si nona mengancam pula.
Kaget hamba itu, ia mengeluarkan keringat dingin, entah dari mana, datanglah tenaga kekuatannya, maka dapat ia berjalan terus. Sekarang ia jalan dengan menemui beberapa hamba lainnya, mereka itu lihat ia diikuti si nona dan pemuda, mereka itu heran tetapi tidak ada di antara mereka yang menanya apa-apa.
Tiba di kamarnya Nio Cu Ong, pintu kamar tertutup terkunci. Pengurus itu tanya satu hamba, ia dapat jawaban bahwa Nio Losianseng lagi menghadari perjamuannya pengeran di ruang Hoa Cui Kok.
Kwee ceng lantas merasa kasihan menampak orang seperti tidak kuat jalan, ia lantas mencekal tubuh orang, untuk dipepayang. Bersama-sama mereka menuju ke tempat pesta itu.
“Berhenti! Siapa kamu!” Itulah teguran oleh dua orang, yang memapaki sekira beberapa tindak dari Hoa Cui Kok. Mereka itu masing-masing memegang golok dan cambuk.
“Aku hendak menemui Nio Losianseng,” sahut si pengurus, yang perlihatkan suratnya siauw-ongya. Dia lantas dikasih lewat. Ketika Kwee Ceng dan si nona ditanya, pengurus itu mendahului menerangkan: “Mereka kawan kita.”
Oey Yong berlaku tenang. Ia kenali dua orang itu, ialah dua dari keempat Hong Ho Su Koay, yaitu Sim Ceng Kong dan Ma Ceng Hiong. Mereka ini sebaliknya tidak mengenali orang, yang telah dandan sebagai asalnya, seorang nona. Hanya melihat Kwee Ceng, mereka tercengang, lantas mereka mau seraya angkat tangan mereka. Tapi sejenak itu, tidak dapat mereka menyerang dengan golok dan cambuk mereka. Tiba-tiba saja iga mereka kaku. Karena dengan kesebatannya yang luar biasa, Oey Yong sudah totok mereka.
Kwee Ceng kagum vukan main. Ia berada di samping si nona tetapi ia tak sempat melihat gerakan tangan orang. Mendadak ia mengingat kejadian di rumah makan di Kalgan, tempo kawanan nona-nona serba putih hendak rampas kudanya, tahu-tahu mereka itu roboh tanpa berkutik.
“Pastilah mereka telah terkena tangan lihay dari si Yong ini,” pikirnya lebih jauh.
“Eh, kau pikirkan apa?” menegur si nona sambil tertawa menampak orang termenung. Ia lantas saja tarik Sim Ceng Kong dan Ma Ceng Hiong ke belakang pot-pot kembang, untuk disembunyikan, kemudian ia tarik tangan si pemuda, untuk menyusul si pengurus.
Di depan Hoa Cui Kok, Oey Yong tolak tubuh si pengurus, untuk ia masuk, ia sendiri bersama Kwee Ceng lantas lompat naik ke payon, guna mengintai dari jendela, hinngga mereka dapat melihat jelas ke dalam.
Terang sekali ruang dalam itu di mana ada sebuah meja penuh dengan pelbagai barang hidangan dan arak, tetapi yang membuat Kwee ceng terperanjat adalah kapan matanya bentrok sama hadirin yang duduk mengitari meja itu, sampai hatinya berdenyutan. Ia lihat dan mengenali Auwyang Kongcu dari pek To San, Kwie-bun Liong-ong See Thong Thian, Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay, Som Sian Lao-koay Nio Cu Ong dan Cian-ciu Jin-touw Pheng Lian Houw. Menemani mereka itu, duduk di sebelah bawah adalah Chao Wang Wanyen Lieh, yaitu Liok-hong-cu atau pangeran keenam dari negara Kim. Duduk di samping, di atas kursi tay-su-ie yang besar dan tebal amparnya, adalah Tay-cu-in Leng Tie Siangjin, kedua mata siapa terbuka sedikit dan mukanya bagaikan kertas kuning, suatu tanda lukanya tak enteng.
Diam-diam Kwee Ceng girang sekali, maka ia kata di dalam hatinya: “Kau hendak mencelakai Ong Totiang, kau juga dapat merasakan enak….”
Si pengurus bertindak masuk untuk terus berlutut di depan Nio Cu Ong, kedua tangannya mempersembahkan suratnya siauw-ongya.
Nio Cu Ong menyambuti, ia baca surat itu, terus ia awasi si pembawa surat, kemudian ia angsurkan surat itu kepada Wanyen Lieh. “Ongya, benarkah ini tulisannya siauw-ongya?” ia tanya.
Chao Wang membaca surat itu, ia mengangguk. “Benar,” katanya. “Berikanlah dia obat itu.”
Nio Cu Ong menoleh kepada kacung di sisinya. “Tadi siauw-ongya ada mengirimkan empar macam rupa obat,” katanya. “Kau ambilkan masing-masing itu satu tail, berikan kepada koankee ini.”
Bocah itu menyahuti, lalu ia ajak si koankee atau pengurus itu mengundurkan diri. Kwee Ceng berbisik di kupingnya Oey Yong: “Mari kita pergi, lekas! Semua mereka itu sangat lihay!”
Oey Yong tertawa perlahan, ia menggeleng kepala. Oleh karena ia menggoyang kepalanya,rambutnya si nona mengenai mukanya si pemuda, hingga Kwee Ceng merasa gatal dari muka terus ke hatinya.
Pemuda ini tidak hendak berbantahan, ia hanya lantas geraki tubuhnya untuk melompat turun. ia baru bergerak, atau si nona telah sambar tangannya, untuk ditahan. Untuk itu, nona itu mesti menyantel keras kedua kakinya pada payon, habis mana perlahan-lahan ia kasih turun tubuh si pemuda.
Kwee Ceng terkejut, di dalam hatinya ia kata, “Ah, aku semberono sekali. Tidakkah ini berbahaya? Bukankah orang-orang di dalam itu lihay semua? Jikalau aku berlompat mundur, bagaimana mereka tidak dapat memergokinya?” ia insyaf, dasar baru masuk dalam dunia kangouw, ia jadi kurang berpengalaman. Dengan lantas ia ikuti si pengurus dan kacung itu. Satu kali ia menoleh ke belakang, ia dapatkan Oey Yong masih belum turun, dengan masih bergelantungan nona itu mengawasi ke dalam ruangan.
Oey Yong tidak segera berangkat. Untuk mencari tahu orang di dalam ketahui tentang dirinya atau tidak, ia mengintai terus. Ia lakukan itu setelah itu setelah ia lihat Kwee Ceng sudah pergi belasan tembok jauhnya. Katika ia mengawasi ke dalam, sinar matanya bentrok sama sinar mata tajam dari Pheng Lian Houw, ynag kebetulan berpaling. Ia tidak berani mengawasi terus, ia hanya memasang kuping.
Seorang yang suaranya serak, berkata; “Saudara-saudara, bagaimana pandangan kamu mengenai Ong Cie It? Adakah ia datang dengan maksud sengaja atau itu cuma kebetulan saja?”
“Peduli ia datang dengan sengaja atau bukan!” berkata seseorang, yang suaranya nyaring dan keras sekali. “Dia telah merasai tangannya Leng Tie Siangjin, jikalau ia tidak mampus, sedikitnya ia mesti bercacad seumur hidupnya!”
Oey Yong lantas mengawasi pula. Ia dapatkan orang itu adalaha Pheng Lian Houw yang matanya tajam, yang tubuhnya kate dan kecil.
Seorang, yang suaranya tedas sekali, berkata smabil tertawa; “Selama aku berada di wilayah Barat, aku pernah dengar namanya Coan Cin Cit Cu yang kesohor itu, sekarang terbukti mereka benar-benar lihay, coba Leng Tie Siangjin tidak menghadiahkan dia pukulan Tay-ciu-in, pastilah hari ini kita roboh di tangan mereka itu.”
Seorang yang suaranya keras tetapi dalam berkata; “Auwyang Kongcu, janganlah kau menempeli emas di mukamu….. Kita berdua pihak sama-sama nampak kerugian, siapa juga tidak ada yang menang…”
Orang yang dipanggil Auwyang Kongcu itu berkata pula: “Biar bagaimana, kalau ia tidak kehilangan jiwanya, dia bakal bercacad. Siangjin cuma perlu beristirahat sekian waktu.”
Sampai di situ, tuan rumah mempersilahkan tetamunya mengeringi arak mereka.
Habsi itu terdengar seorang berkata: “Tuan-tuan telah memerlukan datang dari tempat ynag jauh, atas itu siauw-ong sangat berterima kasih. Sungguh inilah keberuntungan dari Negara Kim yang tuan-tuan telah dapat diundang!”
“Dia tentulah Chao Wang Wanyen Lieh,” pikir Oey Yong.
Atas kata-kata itu, beberapa orang perdengarkan suara yang merendah.
Setelah itu, terdengar pula suaranya Chao Wang: “Leng Tie Siangjin adalah paderi suci mulia dari Tibet, Nio Losianseng adalah guru silat kenamaan Kwan-gwa, Auwyang Kongcu biasa hidup berbahagia di wilayah Barat dan belum pernah datang ke Tionggoan. Pheng Ceecu jago dari Tionggoan dan See Pangcu jago dari sungai Hong Hoo. Dari lima tuan-tuan, satu saja sudi datang membantu, pasti uasaha besar dari Negara Kim bakal berhasil, apapula sekarang lima-limanya telah datang semua. Hahahaha!”
Agaknya bukan main gembiranya pangeran itu.
“Jikalau ongya ada titah apa-apa, pasti kami akan lakukan itu dengan sepenuh tenaga kami,” berkata Nio Cu Ong sambil tertawa. “Apa yang dikhawatirkan adalah tenagaku tidak cukup nanti dan mensia-siakan kepercayaan ongya yang dilimpahkan kepada kami. Jikalau itu sampai terjadi, pastilah kami akan kehilangan muka kami.” Ia pun lantas tertawa.
Kelima orang itu adalah bangsa jago dari beberapa puluh tahun, maka itu meskipun mereka bicara secara merendah, masih tetap tak hilang sifat jumawanya.
Chao Wang mengangkat pula cawannya, mempersilahkan mereka itu minum. Terus ia kata: “Siauw-ong telah mengundang tuan-tuan, pasti sekali siauw-ong akan menaruh kepercayaan kepada tuan-tuan, urusan bagaimana besar juga, tidak nanti siauw-ong sembunyikan, dilain pihak, apabila tuan-tuan telah ketahui segala apa, aku percaya tidak nanti tuan-tuan beritahukan itu kepada lain orang siapa juga, untuk mencegah pihak yang bersangkutan nanti mendapat ketahui dan dapat bersiap sedia….”
Semua orang itu mengerti maksudnya pangeran ini, yang mempercayai mereka tetapi secara tidak langsung masih memesan untuk mereka menyimpan rahasia itu.
“Baik Ongya tetapkan hati, tidak nanti kami membikin rahasia bocor,” kata mereka. Dengan sendirinya mereka itu tegang hatinya. Mereka percaya, Chao Wang bakal percayakan mereka satu rahasia besar.
“Di tahun Thian-hwee ketika dari Sri Baginda Thay Cong kami dari Negara Kim,” berkata pula Chao Wang kemudian, “Itulah tahun Soan-hoo ketujuh dari Kaisar Hiw Cong dari Keluarga Tio. Ketika itu dua Panglima besar kami ienmeho dan Kanlipu telah pimpin angkatan perangnya menerjang kerajaan Song, mereka berhasil menawan kedua Kaisar Hwie Cong dan Kim Cong dari kerajaan musuh itu. Sejaka jaman dahulu, belum pernah negeri kami sekuat itu, walaupun demikian, sampai sekarang ini, Keluarga Tio itu yang tetap duduk sebagai raja di Hangciu. Tahukah tuan-tuan sebab dari pada itu?”
Semua orang terdiam. Mereka heran raja muda itu membicarakan urusan negera. Cuma Nio Cu Ong yang lantas memohon penjelasan.
“Duni telah ketahui yang kerajaan kami telah berulang-ulang kalah di tangan Gak Hui, tentang ini tak usah disembunyikan lagi,” berkata pula Chao Wang. “Wunchu, panglima kami, pandai mengatur tentara, akan tetapi menghadapi Gak Hui, dia selamanya kena dipecundangi. Benar kemudian Gak Hui dapat dibinasakan Cin Kwee yang dititahkan pemerintah kami, akan tetapi tenaga kami sudah lemah, kami tidak sanggup lagi berperang ke Selatan. Atas ini, aku tidak puas, tanpa mengukur tenaga sendiri, ingin aku mendirikan suatu jasa besar untuk negeraku. Untuk ini, tidak dapat tidak, aku mebutuhkan bantuan tuan-tuan.”
Orang saling memandang, bagi mereka belum jelas maskudnya raja muda ini. Mereka bukan orang peperangan tukang merobohkan atau merampas kota.
Chao Wang tampaknya sangat puas den bernafsu ketika ia berbicara pula, suaranya sedikit menggetar. Katanya: “Baru beberapa bulan yang lalu, diluar dugaanku, aku telah dapat menemui sebuah surat peninggalan pemerintahku yang dulu. Itulah suratnya Gak Hui yang bunyinya luar biasa. Selang beberapa bulan, barulah aku dapat terka maksudnya surat itu. Gak Hui menulis itu ketika ia dipenjarakan. Rupanya ia mengerti bahwa ia tidak bakal hidup lebih lama lagi, tetapi ia sangat mencintai negaranya, maka ia tinggalkan warisannya itu. Itulah surat yang merupakan rahasia ilmu perang, bagaimana harus mendidik tentara dan berperang. Ia mengharapkan warisannya itu terjatuh di dalam tangan seorang yang nanti bisa pakai itu untuk melawan negara Kim. Tapi Cin Kwee menjaga keras sekali, sampai hari matinya Gak Hui, surat itu tidak dapat diberiakan kepada orang luar.
Para hadiran sangat tertarik hatinya, sampai mereka melupakan arak dan barang hidangan mereka. Oey Yong pun ketarik hatinya.
“Gak Hui dapat mengetahui warisan itu tidak dapat diloloskan, ia terus simpan itu ditubuhnya,” Chao Wang melanjuti. “Sebagai gantinya, ia meninggalkan sepucuk surat warisan, yang bunyinya tidak keruan junterungannya. Cin Kwee mempunyai kepandaian sebagai conggoan, ia masih tidak dapat menangkap artinya surat wasiat itu, maka surat itu ia dikirim ke negriku. Selama beberapa puluh tahun, surat itu disimpan di dalam istana. Dipihak kami juga tidak ada yang bisa mengartikan surat itu, orang hanya menduga, saking berduka dan penasaran, disaat-saat kematiannya, Gak Hui menulis ngaco belo. Tidak tahunya, itu adalah sebuah teka-teki istimewa.”
Orang heran tetepi sekarang mereka memuji kecerdikan Chao Wang itu.
“Gak Hui begitu pandai, kalau kita bisa dapatkan surat warisan ilmu perangnya itu, bukankah gampang untuk negaraku mempersatukan benua ini?” berkata Chao Wang.
Mendengar itu barulah semua orang dapat menerka maksudnya pangeran ini. Mereka pada berkata dalam hati masing-masing. “Kiranya Chao Wang mengundang kita untuk minta kita menjadi pembongkar kuburan…”
“Turut dugaanku semula, surat wasiat itu mestinya dibawa Gak Hui ke dalam liang kubur,” Chao Wang berkata pula. Ia berdiam sebentar, agaknya ia berpaling. “Tapi….Tuan-tuan adalah orang-orang yang gagah, mustahillah aku nanti meminta tuan-tuan pergi mencuri dengan membongkar kuburan? Di samping itu, ada satu keberatan lainnya. Gak Hui itu memang musuh negaraku, tetapi ia adalah satu orang gagah dan setia, satu pencinta negara, yang siapa pun menghormatinya, dari itu, cara bagaimana aku berani mengganggu tempat perkuburannya? Karena ini, aku sudah lantas memikirkannya terlebih jauh. Aku pun telah membongkar surat-suratnya kerajaan Song, yang telah dikirim semenjak dulu-dulu. Diakhirnya, aku telah berhasil memperoleh suatu sumber lain. Ketika itu hari Gak Hui menjalankan hukuman mati di paseban Hong Po Teng, dia dikubur di tepinya jembatan Ciong An Kio di dekat paseban itu, baru kemudian kaisar Song Hauw Cong memindahkan kuburannya ke tepi telaga See Ouw, dimana pun didirikan sebuah rumah abu untuknya. Dilain pihak lagi, pakaian dan kopiahnya Gak Hui disimpan di tempat lain, ialah di kota raja Lim-an. Karena itu tidak gampang untuk mencari surat wasiat itu. Pada ini ada satu rahasia yang tidak boleh didengar lain orang, atau orang nanti mendahului kita mengambilnya. Harus diketahui di wilayah Selatan ada banyak sekali orang-orang gagah. Maka itu, setelah memikir lama, tidak ada jalan bagiku kecuali mengundang tuan-tuan, yang terhitung orang-orang Rimba Persilatan kelas satu.”
Mendengar ini, para hadiran itu pada mengangguk.
“Pernah aku menduga, mungkin surat wasiat itu telah diambil lain orang,” Wanyen Lieh berkata lebih jauh. “Bukankah pakaiannya Gak Hui itu telah dipindahkan? Ada kemungkinan, selama perpindahan itu, suratnya telah diambil orang. Hanya kalau surat itu sampai ada yang ambil, orang itu mesti mengerti kepentingannya itu. Siapa yang menghormati Gak Hui, dia tentu tidak berani menggangu pakaiannya. Aku percaya, belum ada lain orang yang mengetahuinya. Kalau kita sudah sampai di sana, aku percaya, kita bakal dapatkan surat itu. Memang, kalau dikata sukar, sukarnya bukan main, akan tetapi di mata orang lihay, gampangnya bukan buatan. Sebenarnya surat wasiat itu disimpan di…..”
Baru Chao Wang mengucapkan sampai di situ, tiba-tiba pintu ruang ada yang tabrak hingga terbuka terpentang, lalu satu orang terlihat menebros masuk, matanya bengkat dan mukanya matang biru. Dia lantas lari ke Nio Cu Ong.
“Suhu…!” dia berseru, lantas suaranya tertahan.
Segera orang kenali, dia adalah si kacung yang tadi Nio Cu Ong titahkan pergi mengambil obat……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar