Bab 25. Tipusilat “Naga Menyesal”
Ketika itu Ang
Cit Kong
berkata dengan dingin kepada si nona, “Ayahmu ada mempunyai kepandaian tinggi
sekali, kenapa kau masih menghendaki aku mengajari dia?”
Oey
Yong terkejut, “Eh, kenapa dia mengenali ilmu silat ayahku ini, yang ayah
ciptakan sendiri?” pikirnya. Lantas ia menanya: “Cit Kong, kenalkah kau
ayahku?”
“Tentu
saja!” sahut si pengemis, temberang. “Dia Tong Shia dan aku Pak Kay! Selama
beberapa tahun, entah kita sudah bertempur beberapa puluh kali!”
Oey
Yong heran. Ia berpikir pula : “Dia pernah berkelahi sama ayhku dan dia masih
belum mati, sungguh dia berkepandaian tinggi.” Lalu ia menanya pula: “Lojinkee,
bagaimana kau mengenali aku?”
“Pergilah
kau kacakan dirimu!” sahut pengemis itu. “Kau lihat alismu, matamu, tidakkah
itu mirip dengan alis dan mata ayahmu? Mulanya aku tidak mengenali kau, aku
cuma merasa seperti mengenal, setelah melihat ilmu silatmu barusan – hm!
Walaupun aku belum pernah melihatnya, tetapi aku tahu betul, ilmu itu cuma
dapat dibetelori oleh ayahmu itu yang licin bagai iblis itu!”
Oey
Yong tidak gusar ayahnya dikatakan sebagai iblis, sebaliknya ia tertawa.
“Bukankha lojinkee hendak membilang ayahku sangat lihay?” ia menanya.
“Memang
ia lihay,” sahut Ang Cit Kong dingin. “Tetapi dia bukanlah yang nomor satu di
kolong langit ini!”
Oey
Yong bertepuk tangan, gembira sekali dia. “Kalau begitu adalah lojinkee yang
nomor satu!” serunya.
“Itulah
bukan,” berkata si pengemis, mengaku. “Pada lebih daripada duapuluh tahun yang
lampau, kita, ialah Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong
berlima berkumpul di atas puncak gunung Hoa San, kita membicarakan tentang ilmu
silat bertangan kosong dan menggunai pedang, kita telah bertanding selama tujuh
hari tujuh malam, kesudahannya ternyata Tiong Sin Thong yang paling lihay, kita
berempat mengakui dia adalah yang nomor satu di kolong langit ini.”
“Siapa
itu Tong Sin Thong?” Oey Yong menanya.
“Apakah
ayahmu tidak pernah omong tentang dia?” tanya si pengemis.
“Tidak.
Bahkan ayah mendamprat aku, dia tidak menyukai aku, dari itu aku minggat. Untuk
selanjutnya ayah tidak menghendaki aku lagi…” kata si gadis dengan sedih.
“Ha,
siluman tua itu!” Ang Cit Kong memaki. “Benar-benar dia sesat!”
Oey
Yong memperlihatkan roman tidak senang. “Aku melarang kau memaki ayahku!” ia
berkata.
Ang
Cit Kong tertawa terkakak. “Sayang sekali orang mencela aku si pengemis
melarat, tidak ada wanita yang sudi menikah denganku,” katanya, “Kalau tidak,
dengan adanya kau yang begini manis, pastilah tidak rela aku mengusir kau
buron…”
Oey
Yong pung tertawa. “Itulah pasti, lojinkee! Dengan kau mengusir aku, siapa
nanti yang masaki kau sayur?”
Pengemis
itu menghela napas. “Kau benar, kau benar,” ujarnya. Ia berhenti sejenak, lalu
ia meneruskan; “Tiong Sin Thong itu ada kauwcu, ialah kepala dari Coan Cin
Kauw, namanya Ong Tiong Yang. Setelah ia menutup mata, sekarang sukar dibilang,
siapakah dikolong langit ini menggantikan dia sebagai yang nomor satu…”
“Coan
Cin Kauw, lojinkee bilang? Ah, bukankah disana masih ada si imam she Khu dan
she Ong? Bukankah mereka itu lihay ilmu silatnya?” tanya Oey Yong lagi.
“Mereka
itu ialah murid-muridnya Ong Tiong Yang. Aku dengar dari tujuh muridnya, Khu
Cie Kee adalah yang paling lihay, tetapi walaupun demikian dia tidak dapat
menandingi paman gurunya, Ciu Pek Thong.” jawab Cit Kong.
Mendengar
disebutkannya nama Ciu Pek Thong itu, Oey Yong terperanjat, hendak ia bicara
tapi mendadak ia mengurungkannya.
Sejak
tadi Kwee Ceng hanya memasang kuping saja, sekarang ia menyelak. “Oh, kiranya
Ma Totiang masih mempunyai paman guru…” katanya.
“Ciu
Pek Thong itu bukannya imam dari Coan Cin Kauw,” Cit Kong memberi keterangan.
“Dialah seorang biasa, yang tidak memegang agama. Ilmu silatnya itu diajarkan
sendiri oleh Ong Tiong Yang. Ah, bukankah ayahmu tidak menyukai ini bocah tolol
yang menjadi kawanmu?”
Pengemis
ini mengatakan Kwee Ceng, inilah yang tidak disangka-sangka si anak muda. Ia
menjadi bungkam.
Oey
Yong tidak menjadi gusar, ia malah tertawa. “Ayahku belum pernah melihat dia,”
ia menyahuti. “Jikalau lojinkee sudi memberi pelajaran padanya, dengan
memandang kau, pastilah ayahku nanti menyukai dia.”
“Hai,
iblis cilik!” seru si pengemis. “Kepandaian ayahmu belum kau dapatkan satu
bagian saja, tetapi mata iblisnya kau telah wariskan semuanya! Aku tidak senang
diumpak-umpak orang dipakaikan kopiah tinggi, aku si pengemis tua juga tidak
pernah menerima murid, maka siapakah kesudian bocah tolol ini sebagai murid?
Hanyalah kau sendiri yang memandangnya dia sebagai mustika!”
Sehabis
berkata begitu, Ang Cit Kong berbangkit, dengan membawa tongkatnya, dia
ngeloyor pergi.
Kwee
Ceng heran, dia berdiri menjublak mengawasi kepergian orang tua itu.
“Yong-jie,” katanya selang sesaat, “Tabiatnya locianpwee ini sungguh luar
biasa.”
“Sebenarnya
ialah seorang yang baik hatinya!” menyahuti Oey Yong, yang kupingnya sangat
terang, hingga ia dapat mendengar satu suara sangat perlahan di atas pohon di
samping mereka, hingga ia menduga kepada si pengemis aneh itu. “Dia juga
terlebih lihay daripada ayahku…”
Kwee
Ceng memperlihatkan roman aneh. “Kau belum pernah menyaksikan kepandaiannya,
mengapa kau bisa bilang begitu?”
“Aku
dengar itu dari ayahku,” jawab Oey Yong.
“Apakah
kata ayahmu?” tanya si pemuda lebih lanjut.
“Ayahku
bilang, sekarang ini, orang yang kepandaiannya lihay yang dapat memenangkan
ayah cuma tinggal Ang Cit Kong seorang. Sayang orang tua itu tidak ketentuan
tempat kediamannya, tidak dapat kita sering berkumpul dengannya untuk
menyakinkan ilmu.” sahut si nona.
Dugaan
si nona tepat, Ang Cit Kong tidak berlalu terus. Stelah tak nampak oleh Kwee
Ceng dan si nona, lekas-lekas ia kembali. Ia jalan mutar, terus ia lompat naik
ke atas pohon, dari itu ia bisa mendengar pembicaraannya muda-mudi itu. Ia pun
puas mendengar suaranya Oey Yok Su seperti dikatakan si nona.
“Pada
wajahnya Oey Yok Su tidak pernah mengagumi aku, siapa tahu di dalam hatinya dia
memandang hormat,” pikirnya. Dan ia puas sekali. Ia tidak tahu Oey Yong
melainkan mengarang cerita.
“Sayang
belum berarti aku menuntut pelajaran dari ayahku,” Oey Yong berkata pula, ia
bersandiwara terus. “Mengenai itu aku harus menyesalkan diri sendiri. Kenapa
dulu aku gemar main-main saja, tidak mau aku belajar dengan rajin. Sekarang
kebetulan sekali kita bertemu dengan Ang Cit Kong, asal dia suka memberikan
satu-dua pelajaran, bukankah itu terlebih baik daripada pengajaran ayahku
sendiri? Menyesal aku telah keterlepasan omong, aku menyebabkan locianpwee itu
tidak senang hati….” Habis berkata begitu, ia lantas menangis.
Kwee
Ceng menghiburi kekasihnya itu, tetapi justru itu, dari berpura-pura, Oey Yong
menjadi menangis sungguhan.
Ang
Cit Kong di atas pohon melihat dan mendengar semua itu, hatinya tertaeik. Oey
Yong menangis tersedu-sedu.
“Pernah
aku dengar ayah bilang,” katanya kemudian, “Kiu Cie Sin Kay ada mempunyai
semacam ilmu silat yang di kolong langit ini tidak ada saingannya, yang sejak
jaman dahulu senantiasa menjagoi sendiri, sampaipun Ong Tiong Yang jeri juga
terhadapnya. Ilmu silat itu dinamakan……dinamakan…..Ah, aku lupa, sedang barusan
aku ingat….. Sebenarnya, ingin aku minta diajari ilmu silat itu,
namanya….namanya….Ah, aku lupa lagi!”
Ang
Cit Kong masih tidak sadar bahwa orang tengah mengepul terus, ia tidak dapat
mengendalikan diri dari ataas pohon, hingga ia langsung berseru: “Itulah Hang
Liong Sip-pat Ciang!” Dan ia pun lompat turun dari pohon tempat bersembunyinya
itu.
Oey
Yong berpura-pura terkejut, tapi habisnya ia girang bukan kepalang. “Benar,
benar, ah , kenapa aku tidak ingat itu?” dia berseru. “Ayah sering sekali
menyebut ilmu silat itu, dia kata itulah ilmu yang ia paling malui….”
“Kiranya
ayahmu itu masih suka omong terus-terang!” Ang Cit Kong berkata. “Aku tadinya
menyangka, semenjak meninggalnya Ong Tiong Yang, dia menganggap dirinya sebagai
si orang kosen nomor satu di dalam dunia ini…!” Dia memandang Kwee Ceng, terus
ia berkata, “Eh, bocah, bakatmu kalah dengan bocah perempuan ini, itulah
sebabnya kenapa kau tidak dapat menandingi padanya. Eh, nona cilik, pergilah
kau pulang ke pondokmu!”
Oey
Yong tahu si pengemis hendak memberi pelajaran pada Kwee Ceng, ia girang bukan
main, dengan lantas ia lari pulang.
Lantas
Ang Cit Kong memandang tajam pada si anak muda. “Lekas kau berlutut dan
mengangkat sumpah!” Katanya, bengis. “Tanpa perkenan dari aku, aku larang kau
mewariskan kepandaian yang aku ajarkan ini kepada lain orang, termasuk juga itu
istrimu yang licin bagai iblis cilik!”
Kwee
Ceng menjadi bingung. “Kalau Yong-jie memintanya, mana dapat aku menolak?” ia
berpikir. Karena ini, ia berkata: “Cit Kong, aku tak ingin belajar! Biarlah dia
tetap jauh terlebih gagah daripada aku…”
Cit
Kong heran. “Eh, kenapa begitu?” dia menegaskan.
“Sebab
kalau dia minta aku mengajarinya,” sahut Kwee Ceng, “Apabila aku tidak suka
mengajarinya, aku jadi berlaku tidak pantas terhadapnya. Sebaliknya jikalau aku
meluluskan permintaannya dan mengajarinya, aku malu terhadap kau, aku jadi
melanggar sumpahku.”
Mendengar
keterangan ini, Ang Cit Kong tertawa lebar. “Anak tolol, matamu tajam, hatimu
baik!” katanya. “Kau jujur sekali! Sekarang begini saja, aku ajarkan kau jurus
Kang Liong Yoe Hoei. Aku tahu Oey Yok Su itu sangat angkuh, seumpama kata ia
sangat mengagumi pengajarkan ini, tidak nanti dia menjadi tidak tahu malu
dengan mencuri mempelajari kepandaianku yang istimewa ini…”
Setelah
mengatakan begitu, Ang Cit Kong lantas menekuk kakinya yang kiri, tangan
kanannya ditarik mutar sebagai lingkaran, lalu mendadak ia majukan itu ke
depan. Kesudahannya sebuah pohon di depannya itu patah batangnya, roboh dengan
berisik sekali.
Kwee
Ceng terperanjat kagum. Ia tidak sangka tolakan tangan demikian perlahan
akibatnya sehebat itu. Itulah emposan tenaga dalam yang sangat besar.
“Pohon
ini adalah benda yang tidak bergerak-gerak!” Cit Kong menerangkan, “Kalau
manusia, dia pasti dapat mundur berkelit. Mempelajari ilmu pukulanini, sukarnya
ialah mencegah agar lawan tidak dapat mundur, supaya dia itu tidak bisa
berkelit, kalau cegahan itu dapat dilakukan, dia pasti bakal roboh seperti
pohon ini.”
Lagi
sekali si pengemis menjalankan pukulannya itu, sampai dua kali, ia sekalian mengajarkan
emposan pernapasannya. Untuk ini ia mesti menggunai tempo cukup lama. Sebabnya
ialah bakat yang kurang dari Kwee Ceng, yang otaknya bebal, hingga ia selamanya
mesti belajar lama barulah ingat dan hapal. begitulah, selang dua jam barulah
ia mengerti betul.
Cit
Kong berkata: “Perempuan cilik itu, permainan silatnya lebih banyak gertakannya
daripada pukulan yang sebenar-benarnya, kalau kau bertanding dengannya dan
repot membela diri, pasti sekali kau dipermainkan dia. Kau boleh gesit dan
lincah, kau tetap tidak nanti dapat menangi dia. Kau boleh menduga pukulannya
yang benar-benar, kenyataannya ialah gertakan belaka. Saban-saban dia bisa
membikin kau tidak dapat menerka.”
Kwee
Ceng mengangguk-angguk.
“Karenanya
jikalau kau ingin memecahkan ilmu silatnya itu,” Cit Kong membeber rahasia
terlebih jauh, “Jangan kau usil pukulannya itu gertakan atau benar-benar, kau
tunggu pukulannya tiba, palsu atau benar, kau sambut dengan Kang Liong Yoe
Hoei. Apabila dia melihat seranganmu itu, mesti ia menangkis, asal dia
menangkis, kalahlah dia!”
“Kemudian
bagaimana!” Kwee Ceng tanya.
“Kemudian
bagaimana?!” si pengemis mengulangi. “Ha, anak tolol! Dia ada punya berapa
banyak kepandaian hingga ia sanggup melawan ini pukulan yang aku ajarkan kau?”
Si
pemuda tak berani mananya lagi, ia terus berlatih. Ia pilih sebuah pohon yang
kecil, ia hajar itu. Ia kena menghajar dengan tepat, tetapi pohon itu tidak
roboh, melainkan bergoyang-goyang.
“Anak
tolol!” mendamprat si pengemis. “Mau apa kau menggoyang-goyang pohon itu?! Kau
hendak menangkap bajing atau mau memetik buah cemara?!”
Mukanya
Kwee Ceng menjadi merah, ia tertawa menyeringai.
“Sudah
aku bilang, kau mesti bikin lawan tidak dapat mundur, tidak bisa berkelit!” Ang
Cit Kong berkata pula. “Pukulan barusan tepat tetapi kurang bertenaga, dengan
pohon bergoyang, tenagamu menjadi buyar. Mestinya pohon dihajar tanpa ia
bergoyang, baru ia dapat dibikin patah.”
Kali
ini Kwee Ceng sadar. “Jadinya aku mesti sebat sekali supaya lawan tak keburu
bersiaga,” katanya.
“Memang!
Apa mesti disebutkan pula?!” sembrot si pengemis.
Anak
muda ini berdiam, ia berlatih pula. Untuk beberapa puluh kali ia memukul, pohon
masih bergoyang-goyang. Ia tidak menjadi bosan, ia tidak berputus asa, terus ia
mencoba. barulah hatinya menjadi terbuka ketika kemudian bergoyangnya pohon
perlahan sekali. Itu tandanya ia peroleh kemajuan. Sementara itu tangannya
telah jadi bengkak dan merah, tetapi ia tidak pedulikan, masih ia berlatih
terus.
Ang
Cit Kong tidak sabaran, ia duduk menyender, lalu pulas, menggeros keras.
Ulet
si anak muda, segera juga ia bisa bikin pohon tidak bergoyang. Ia jadi semakin
bersemangat. Kembali ia memukul. Diakhirnya, robohlah pohon itu, terpatah dua!
Hampir ia bersorak.
“Bagus!”
begitu terdengar suaranya Oey Yong, yang terlihat mendatangi dengan
perlahan-lahan, tangannya membawa kotak makanan. Cit Kong belum membuka
matanya, hidungnya sudah mencium bau wangi makanan.
“Harum!
Harum!” katanya seraya ia berlompat bangun, segera ia membuka tutup kotak
hingga ia lihat ayam panggang dan bebek serta setumpuk lumpia. tanpa diundang
lagi, ia menyambar dengan tangan kiri dan kanan, memasuki ayam dan bebek itu
bergantian ke mulutnya untuk digeragoti. “Lezat! Lezat!” ia memuji, tapi karena
mulutnya penuh, tak nyata pujiannya itu.
Ketika
sebentar kemudian ayam dan bebek itu habis, tinggal tulang-tulangnya saja, baru
ia ingat Kwee Ceng belum dahar. Agaknya ia jengah snedirinya. Tapi lekas ia
berkata: “Mari, mari! Lumpia ini pun lezat….! Lebih lezat dari bebek…!”
Dua-dua
Kwee Ceng dan Oey Yong tidak menjadi tidak senang, malah si nona tertawa.
“Cit
Kong, kau belum dahar masakanku yang paling jempol!” katanya si nona.
Si
pengemis menjadi mengilar. “Msakan apa itu? Masakan apa itu?” ia menanya,
mendesak.
“Tidak
dapat aku sebutkan semua itu sekarang,” menjawab si nona. “Ada peecay goreng,
ada tauwhu tim, ada juga sup daging!”
Cit
Kong menjadi semakin ngilar. “Bagus, bagus!” katanya. “Sudah aku bilang, kau
memang anak manis! Apa boleh aku pergi membelikan peecay dan tauwhu sekarang?”
“Tak
usah, Cit Kong. Kau yang beli pun tidak cocok sama pilihanku!”
“Ya,
benar-benar, mana orang lain dapat memilih seperti kau sendiri!”
Nona
Oey itu lantas memutar haluan. “Barusan aku lihat dia menghajar pohon patah dan
roboh, sekarang ia lebih lihay daripadaku!” katanya mengenai Kwee Ceng.
Si
pengemis itu menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak, tidak!” katanya cepat.
“Pukulan apa itu, pohon bergoyang-goyang dan melengkung? Mestinya sekali pukul
pohon patah dan runtuh!”
“Toh
pukulannya barusan sudah hebat, aku tentu tidak sanggup menahannya,” kata pula
si nona. “Dasar kau yang berat sebelah! Kalau nanti ia menghina aku,
bagaimana?”
Cit
Kong hendak mengambil hati orang yang pandai masak itu, ia tidak menjadi kurang
senang yang ia disesalkan. “Habis kau mau apa?” tanya.
“Kau
mesti ajarkan aku ilmu, yang dapat menangi dia,” kata si nona. “Sesudah aku
paham, aku nanti masaki kau barang hidangan.”
“Baiklah!
Dia baru belajar serupa ilmu, tidak sukar untuk menangi dia. Nanti aku ajari
kau Yang Siang Hoei.” Baru ia tutup mulutnya, sudah ia berlompat, untuk terus
bersilat. Kedua tangan bajunya yang lebar berkibar-kibar, tubuhnya berlompatan
ke Timur dan Barat, pesat gerakannya.
Diam-diam
Oey Yong perhatikan sesuatu gerakan orang, maka tempo Cit Kong berhenti
bersilat, ia sudah ingat separuhnya, selebihnya ia minta penjelasannya. Dasar
ia berotak terang, belum dua jam, ia sudah mengerti seanteronya, dapat ia
jalankan ilmu silatnya itu, tinggal memahirkan latihannya saja.
Yang
Siang Hoei atau Burung Walet Terbang Berpasangan, terdiri dari tigapuluh enam
jurus, gerakannya mirip dengan burung walet terbang menari-nari. Beda adalah
Kang Liong Yoe Hoei, atau Naga Menyesal, yang singkat saja, tetapi untuk Kwee
Ceng merupakan pelajaran yang sulit.
Habis
berlatih, Oey Yong tertawa. “Engko Ceng, sekarang aku lebih menang pula
daripada kau!” katanya gembira. “Sekarang aku mau pergi beli sayur!” Dan lantas
dia lari pergi.
“Bocah
itu cerdik melebihkan kau seratus lipat!” kata Cit Kong pada si anak muda
seberlalunya si nona jenaka itu.
“Memang.
Barusan aku melihat lojinkee bersilat, mataku kabur, aku cuma ingat tiga empat
jurus.”
Cit
Kong tertawa, tanpa membilang apa-apa, dia pulang ke pondokan. Kwee Ceng
berdiam, ia mengikuti pulang.
Malam
itu Oey Yong benar memasakkan peecay goreng dan tim tauwhu, peecaynya dimasak dengan
minyak ayam dicampur ceker bebek, sedang tauwhunya dicampuri ham. Maka puaslah
Cit Kong menangsel perutnya. Habis bersantap, ia heran melihat muda-mudi itu
tidur terpiash kamar.
“Apa?
Apakah kamu belum menikah?” dia menegaskan.
Oey
Yong tukang bergurau, tetapi ditanya begitu, merah mukanya, hingga di antara
cahaya api, dia tampak makin cantik.
“Awas
Cit Kong!” dia mengancam, “Kalau kau ngaco lagi, besok aku tidak akan masaki
kau makanan yang lezat!”
“Apa,
eh? Apakah aku ngomong salah?” tanya si pengemis, kaget. Tapi segera ia
mendusin, “Ah, aku tolol betul! Bukankah kamu baru mengikat janji sendiri,
belum lagi mendapat perkenan orang tua kamu, belum ada rekokan comblang? Jangan
takut, aku si pengemis yang nanti jadi comblangnya! Jikalau ayahmu tidak mau
menerima, nona, nanti aku tempur dia! Biar kita bertempur lagi tujuh hari tujuh
malam, biar sampai ada yang mampus dan hidup!”
Senang
hatinya Oey Yong, sembari bersenyum ia memasuki kamarnya.
Besoknya
pagi-pagi Kwee Ceng sudah pergi ke rimba untuk menyakinkan pula pukulan Kang
Liong Yoe Hoei, yang sebenarnya adalah satu jurus dari Hang Liong Sip-pat
Ciang, ilmu silat Menakluki Naga. Hanya kali ini ia berlatih kosong, tidak lagi
ia menghajar pohon, sebab ia khawatir merusak pohon kayu penduduk situ. Baru menghajar
duapuluh lebih kali, ia sudah mandi keringat. Tetapi ia girang sekali, sebab ia
telah memperoleh kemajuan. Selagi ia beristirahat, tiba-tiba ia dengar suara
orang di luar rimba.
“Suhu,
kali ini mungkin kita telah melalui tigapuluh lie lebih!” demikian
pendengarannya. Terang orang itu adalah murid berbicara sama gurunya. “Nyatanya
ilmu lari kamu telah ada kemajuannya,” menjawab seorang yang lain.
Kwee
Ceng lantas saja kaget. Ia kenali suara orang yang belakangan ini. Ia pun
lantas melihat orangnya – berempat – ialah Kaoy Nio Cu Ong, si tua tetapi
romannya tetap muda. Ia mengeluh, lantas saja ia kabur mengambil arah ke
penginapan.
Juga
Nio Cu Ong sudah lantas melihat dan mengenali pemuda itu. “Kau hendak kemana?!”
dia membentak seraya terus mengejar.
Tiga
yang lain benar adalah murid-muridnya Soam Sian Loa Kaoy, mereka lantas turut
memburu, malah dengan berpencaran, untuk memegat dan mengurung.
Kwee
Ceng lari terus. Ia mengerti, asal ia dapat keluar dari rimba, dekat sudah ia
dengan pondokannya. Tapi ia dapat dipegat murid kepala musuhnya itu.
“Bangsat
cilik, tekuk lututmu!” membentak pemegat itu, yang terus menyerang.
Kwee
Ceng menekuk kaki kirinya, tangan kanannya diputar, lalu ia menolak. Itulah
jurus Kang Liong Yoe Hoei yang baru saja ia pelajari.
Murid
Nio Cu Ong itu hendak menjambak, karena ditolak, hendak ia menangkis. Inilah
hebat untuknya. Segera ia terserang hingga lengannya itu patah dan tubuhnya
terpental enam tujuh kaki, roboh tak sadarkan diri. Sekalipun ia berkelit,
belum tentu ia bebas.
Kwee
Ceng sendiri heran. Sebenarnya ia memakai tenaganya cuma lima bagian, tapi
akibatnya dahsyat sekali. Untuk sejenak ia tercengang, ketika ia mendusin,
lekas ia lari pula.
Nio
Cu Ong melihat muridnya dirobohkan, ia kaget berbareng gusar, dia mengejar terus.
Tepat dimuka rimba, ia dapat memegat.
Kwee
Ceng kaget dan khawatir, sebab si musuh tangguh menghalangi di tengah jalan.
Hampir tanpa berpikir, ia tekuk lagi kaki kirinya, tangannya dilingkarkan, lalu
ia menolak dengan keras. Kembali ia menggunai jurus Naga Menyesal itu.
Soam
Sian Loa Koay terperanjat. Ia tidak kenal pukulan itu, yang nampaknya hebat,
terpaksa ia berkelit dengan menjatuhkan diri ke tanah dan bergulingan. Dengan
begitu ia bebas, tapi justru itu, Kwee Ceng dapat menerobos untuk lari terus.
Ketika ia berlompat bangun, dengan niat mengejar terus, ia dapatkan bocah itu
sudah tiba di muka pondokannya.
“Yong-jie!
Yong-jie!” Kwee Ceng berteriak. “Lekas minta Cit Kong tolongi aku!”
Oey
Yong dapat mendengar teriakan itu, ia muncul dengan lantas. Segera ia melihat
Nio Cu Ong.
“Eh,
kenapa siluman bangkotan ini berada di sini?” pikirnya. “Bagus ia datang,
hendak aku menguji Yan Siang Hoei!” Terus ia berteriak; “Engko Ceng, jangan
takut! Lawan dulu padanya, nanti aku bantui kau!”
Kwee
Cneg cemas hatinya, karena ia tahu Nio Cu Ong lihay dan Oey Yong belum tahu
apa-apa. Tapi tidak sempat ia berpikir lama, musuhnya sudah menyandak. Ia
memutar tubuhnya, kembali ia menyerang dengan pukulan Kang Liong Yoe Hoei.
Nio Cu Ong berlompat ke samping, kali ini ia kurang
sebat, meski ia bebas, tangan kanannya terserembet juga, hingga ia merasakan
sakit dan panas. Tentu sekali ia menjadi heran luar biasa. Baru beberapa bulan
mereka berpisah, bocah ini telah menjadi demikian lihay. Ia menduga itulah
disebabkan Kwee Ceng menminum darah ular. Ingat ini, ia menjadi tambah
mendongkol.
Kwee Ceng lihat orang berkelit,
ia menyusuli serangannya, dengan pukulan yang serupa.Nio Cu Ong cerdas dan
lihay, segera ia mendapat kenyataan, pukulan orang hanya serupa, maka setelah
berkelit pula, dia tertawa dan berkata; “Ha, bocah, kau mempunyai cuma satu
jurus ini?”
Kwee
Ceng polos, ia tidak tahu orang memancing dia. “Ya,” jawabnya. “Toh kau tidak
mampu menangkis!” Ia lantas menyerang pula.
Nio
Cu Ong berlompat. Sekarang tahu ia bagaimana harus mengelakkan diri. Tiga kali
lagi ia diserang, tiga kali ia berkelit, di samping itu, ia membalas menyerang.
Kwee Ceng gagal berulang-ulang, ia lantas menjadi repot.
Oey
Yong menonton pertempuran itu, ia melihat kawannya terdesak. “Engko Ceng, nanti
aku lawan dia!” ia berseru. Ia berlompat ke arah dua orang itu, tubuhnya
melayang bagaikan seekor burung walet. Begitu tiba, kepalan kiri dan kaki kanannya
segera dikasih bekerja dengan berbareng.
Nio
Cu Ong berlompat mundur, habis itu ia membalas menyerang.
Kwee
Ceng lantas mengundurkan diri, lalu ia berdiri menonton.
Oey
Yong menggunai Yang Siang Hoei dengan baik, tetapi dasar masih baru dan ia pun
kalah Iweekang, ia tidak berdaya merobohkan jago tua itu, sebaliknya
hampir-hampir ia kena dihajar beberapa kali oleh lawannya, syukur ia memakai
tameng joan-wie-kah. Habis tigapuluh enam jurus, ia pun kenas terdesak.
Dua
muridnya Nio Cu Ong menolongi kakak seperguruannya, yang mereka pepayang,
mereka menonton pertempuran itu, mendapatkan guru mereka unggul, mereka
berteriak-teriak menganjurkan guru mereka itu. Kwee Ceng berkhawatir untuk
kekasihnya itu, terpaksa hendak ia maju membantui.
Justru
itu ia dengar suara nyaring dari Ang Cit Kong, yang berada di aling jendela:
“Dia bakal menggunai jurus Anjing Galak Memegat Jalan!”
Oey
Yong mendengar itu, ia melengak. Ia melihat Nio Cu Ong memasang kuda-kuda
terpentang dan kedua tangan dikasih rata. Ia kenali itulah sikap jurus Harimau
Galak Memegat Jalan. Ia tertawa di dalam hatinya. Kiranya Cit Kong tukar
‘Harimau’ dengan ‘Anjing’. Ia hanya heran kenapa Cit Kong dapat membade niat
orang. Ia lantas membela diri.
Kembali
Cit Kong berseru: “Dia bakal menggunai Ular Bau Mengmbil Air!”
Oey
Yong sangat cerdas, lantas ia mengetahui, tentulah itu dimaksudkan jurus Naga
Hijau Menyedot Air. Jurus itu lihay di depan, kosong di belakang. Karenanya
dengan lincah ia berlompat nyamping, terus ke belakang lawannya.
Nio
Cu Ong benar-benar menyerang dengan pukulan Naga Hijau Menyedot Air itu. Tentu
saja ia gagal, karena si nona sudah mendahului menghalau diri. Malah ia jadi
terluang punggungnya. Syukur ia lihay, dapat ia berkelit dari serangan si nona.
Segera ia memandang ke arah jendela rumah penginapan.
“Orang
pandai siapa di situ? Mengapa kau tidak mau memperlihatkan diri?” dia berseru
dengan pertanyaannya.
Ang
Cit Kong dengar suara menantang itu, ia membungkam.
Oey
Yong ada tulang punggungnya, ia jadi berani sekali. Ia menerjang. Dalam
murkanya Nio Cu Ong melawan dengan bengis, ia menggunai pukulan-pukulan yang
membinasakan. Tentu sekali, si nona segera terdesak pula.
“Jangan
takut!” terdengar pula teriakannya Cit Kong. “Dia bakal menggunai Pukulan si
Kunyuk Kempolan Biru Manjat Pohon!”
Oey
Yong tertawa cekikikkan, ia lantas mendahului menyerang dengan tinjunya.
Nio
Cu Ong benar-benar hendak menyerang dengan jurusnya yang disebut Cit Kong itu,
hanya si pengemis aneh itu sengaja tukar namanya jurus itu, yang sebenarnya
Kera Sakti Manjat Pohon. Melihat ia diserang, terpaksa ia membatalkan niatnya
untuk membela diri, guna menukar jurus. Karena ia tahu, percuma ia melanjuti
serangannya dengan tipu silat itu. Dasar ia lebih lihay, tidak sukar untuk ia
menolong dirinya. Hanya ia jadi semakin heran. Ia tanya dirinya, “Kenapa orang
itu ketahui aku bakal menyerang dengan jurusku itu?”
Oey
Yong menyerang terus. Nio Cu Ong membela diri, habis mana, dia berlompat pula
keluar kalangan. Ia berteriak ke arah pondokan: “Saudara yang baik, jikalau kau
tetap tidak hendak memperlihatkan diri, jangan menyesal apabila aku tidak
berlaku murah hati lagi!”
Di
mulutnya Som Sian Lao Koay mengatakan demikian, tangannya berkerja. Ia maju
menyerang Oey Yong, hebat serangannya itu, maka dalam beberapa jurus saja, si nona
terdesak pula.
Cit
Kong tidak bersuara pula, ia pun tidak muncul.
Kwee
Ceng melihat kekasihnya terdesak dan kelabakan hingga ia mesti main berkelit
saja, ia lantas maju untuk membantui. Segera ia menyerang denagn pukulannya
Naga Menyesal itu!
Nio
Cu Ong mengetahui hebatnya jurus itu, ia lompat mencelat.
“Hajar
padanya, engko Ceng!” Oey Yong menganjurkan. “Serang terus-terusan hingga tiga
kali beruntun!”
Habis
menganjurkan, nona itu memutar tubuhnya, lari ke dalam pondokan. Kwee Ceng
menuruti anjuran pacarnya, ia memasang kuda-kudanya. Ia mau menunggu io Cu Ong
merangsak, hendak ia menyambutnya.
Som
Sian Loa Koay menjadi gusar berbareng mendelu, pun ia merasa lucu juga. Dalam
hatinya ia berkata: “Setahu darimana bocah ini dapat pelajari kurusnya ini…Toh
ia cuma mempunyai satu jurus….” Walaupun begitu, ia tidak berani keras lawan
keras, bahkan tidak berani ia datang mendekati.
Karena
terpisah cukup jauh, Kwee Ceng tidak bisa menyerang. Dengan begitu, pertempuran
jadi mandek, mereka berdiri berhadapan saja.
“Anak
tolol, awas!” io Cu Ong berteriak kemudian, terus ia berlompat, untuk
menyerang.
Kwee
Ceng menanti, lantas ia menyambuti dengan serangannnya.
Tapi
orang she Nio itu menggunai akal. Dia tidak menyerang terus. Belum lagi
tubuhnya datang dekat, tangannya sudah terayun, lalu tiga batang jarum
Touw-kut-ciam menyerang si anak muda di tiga jurusan, atas, tengah dan bawah!
Kwee
Ceng melihat bahaya, terpaksa ia batalkan serangannya, ia terus berkelit.
Ketika
ini digunai Nio Cu Ong berlompat maju, tangannya menyambar ke batang leher
orang, menjambak leber baju.
Kwee
Ceng terdesak, ia menyundul dengan kepalanya. Tapi Nio Cu Ong benar-benar
lihay, si anak muda merasakan ia seperti membentur kapas. Nio Cu Ong puas
sekali, hendak ia menghajar anak muda itu.
Kali
ini Oey Yong muncul dengan tiba-tiba. “Siluman tua, lihat apa ini?!” dia
berteriak.
Nio
Cu Ong kenal orang licin, lebih dulu ia pencet jalan darah Kin-ceng-hiat dari
Kwee Ceng, baru ia menoleh kepada si nona nakal. Dia lantas mendapatkan Oey
Yong menghampirkan dengan tindakan perlahan-lahan, tangannya mencekal sebuah
tongkat bambu warna hijau seperti kumala huicui. Untuk kagetnya, dia mengenali
tongkat itu hingga ia berseru tertahan: “Ang…Ang Pangcu!”
Oey
Yong tidak meladeni, hanya dia membentak: “Masih kau tidak hendak melepaskan
tanganmu?!”
Jinak
agaknya si jago ini, ia segera melepaskan cekalannya kepada Kwee Ceng. Sejak
tadi ia sudah heran, kenapa Oey Yong ada yang mengajari cara bagaimana harus
melawan dia dan niat penyerangannya dibeber. Ia mau menduga kepada Ang Cit
Kong, ia ragu-ragu, sebab ia tahu, sudah belasan tahun Ang Cit Kong tidak
pernah terlihat di dalam dunia kangouw. Sekarang ia lihat tongkat si kepala
pengemis, kagetnya bukan main.
Oey
Yong mendekati, ia terus memegangi tongkat dengan kedua tangannya. Ia berkata
pula dengan membentak: “Cit Kong bilang bahwa ia sudah perdengarkan suaranya
tetapi kau bernyali besar, kau tetap berani main gila disini! Maka Cit Kong
tanya, kenapa kau berani berlaku kurang ajar begini?!”
Nio
Cu Ong sudah lantas menekuk lututnya. “Dengan sesungguhnya aku yang rendah
tidak mendapat tahu Pangcu ada disini,” katanya dengan hormat, “Kalau aku yang
rendah mengetahui, tidak nanti aku berani berbuat salah terhadap Pangcu.”
Oey
Yong heran. “Dia sangat lihya, kenapa dia takuti Cit Kong begini rupa? Kenapa
dia pun memanggil Ang Pangcu?” Tapi, pada parasnya, ia tetap berlaku keren.
“Taukah kau apa dosamu?”
“Nona
tolong sampaikan kepada Pangcu, bahwa Nio Cu Ong sudah menginsyafi kesalahannya
dan minta Ang Pangcu sukalah mengasih ampun,” berkata Som Sian Lao Koay.
“Ingat
olehmu!” berkata si nona, “Mulai hari ini sampai seterusnya, untuk selamanya
tidak boleh kau mengganggu kami berdua!”
“Aku
yang rendah tadinya tidak tahu apa-apa,” menyahut Nio Cu Ong. “Aku tidak
mengandung maksud sengaja, maka itu aku minta sukalah jiwi memaafkannya.”
Dengan
“jiwi” – “tuan berdua” dimaksudkan Kwee Ceng dan si nona.
Oey
Yong menjadi sangat puas, ia tersenyum, lantas ia tarik tangannya Kwee Ceng,
buat diajak ngeloyor pergi, masuk ke dalam rumah penginapan. Di dalam pondok
itu Ang Cit Kong tengah berduduk menghadapi empat mangkok besar terisi barang
hidangan, tangan kirinya mengangkat cawan arak, tangan kanannya mencekal
sumpit, mulutnya menggayem dan mencegluk air kata-kata.
“Cit
Kong!” kata si nona tertawa. “Dia berlutut, sama sekali dia tidak berani
berkutik!” Ia pun sampaikan permohonannya Nio Cu Ong.
Cit
Kong menoleh kepada Kwee Ceng, “Pergi kau hampirkan dia, kau hajar serintasan,
tidak nanti dia berani melawan!” katanya.
Kwee
Ceng melongok di jendela. Ia lihat Nio Cu Ong terus berlutut di antara panasnya
matahari, dua muridnya pun berlutut di belakangnya, roman mereka itu runtuh
sekali. Ia menjadi tidak tega. “Cit Kong, kasihlah dia ampun,” katanya.
“Hai,
makhluk tidak tahu diri!” membentak si pengemis. “Orang hajar padamu, kau tidak
mampu melawan, aku si tua bangka menolongi padamu, sekarang kau memintakan
ampun untuknya! Apakah artinya ini?!”
Ditegur
begitu, Kwee Ceng berdiri diam. Ia tidak sangka si pengemis, yang biasanya
jenaka dan manis budi, sekarang menjadi galak begini.
Oey
Yong tertawa, dia datang sama tengah. “Cit Kong, nanti aku yang hajar dia!”
katanya.
Dan
lantas ia bertindak keluar dengan masih membawa tongkat istimewa itu. Ia
hampirkan Nio Cu Ong, yang berlutut tanpa bergeming, wajahnya wajah ketakutan.
Oey Yong lantas menegur: “Cit Kong bilang kau jahat, hari ini sebenarnya kau
mesti disembelih, tetapi syukur ada aku punya engko Ceng yang hatinya murah,
dia telah memintakan ampun untumu, ia memohon lama juga barulah Cit Kong
meluluskannya.”
Kata-kata
itu ditutup dengan diangkatnya tongkat, dihajarkan ke kempolan orang.
“Nah,
kaupergilah!” akhirnya si nona mengusir.
Nio
Cu Ong tidak segera mengangkat kaki, ia hanya memandang ke arah jendela. “Ang
Pangcu, aku ingin bertemu padamu, untuk menghanturkan terima kasih yang kau
telah tidak membunuh aku,” katanya.
Dari
dalam pondokan tidak ada terdengar suara apa-apa.
Nio
Cu Ong terus bertekuk lutut.
Sampai
sekian lama, barulah Kwee Ceng muncul. Ia menggoyang-goyang tangan, ia berkata
dengan perlahan: “Cit Kong lagi tidur, kau jangan bikin berisik disini!”
Baru
sekarang Nio Cu Ong berbangkit, ia mendelik kepada itu muda-mudi, lalu ia
ngeloyor pergi dengan mengajak ketiga muridnya.
Oey
Yong dan Kwee Ceng membiarkan orang melotot mata, bersama-sama mereka balik ke
dalam pondokan. Benar-benar Cit Kong terlihat lagi menggeros dengan kepalanya
diletaki di atas meja. Si nona pegang pundak orang, ia menggoyang-goyang.
“Cit
Kong, Cit Kong,” katanya. “Tongkat bambu mustikamu ini sangat besar
pengaruhnya, jikalau kau tidak pakai, kau berikan saja padaku! Bolehkah!”
Cit
Kong mengangkat kepalanya, ia menguap, ia pun mengulet. “Enak saja kau membuka
suaramu!” katanya tertawa. “Bendaku ini adalah alat peranti mencari makan dari
kakekmu. Seorang pengemis tanpa tongkat pemukul anjing mana bisa jadi
pengemis?”
Oey
Yong bermanja. “Ilmu silatmu sudah sangat lihay, orang jeri padamu, habis untuk
apa kau menghendaki tongkat ini?” dia mendesak.
“Hai,
budak tolol!” tertawa si pengemis. “Sekarang lekas kau masaki aku beberapa rupa
barang hidangan yang lezat, sebentar aku menutur perlahan-lahan padamu.”
Oey
Yong menurut, ia lantas pergi ke dapur. Ia menyiapkan tiga rupa masakan.
Apabila sudah selesai, ia bawa itu keluar.
Cit
Kong memegang cawan araknya dengan tangan kanan, tangan kirinya memegang
sepotong ham, yang ia gerogoti. Ia mengunyah perlahan-lahan. “Makhluk di dalam
dunia ini tidak ada yang tidak berkumpul dengan seterunya,” ia berkata
kemudian. “Hartawan yang kemaruk uang satu rombongan, orang Rimba Hijau tukang
membegal atau merampok satu rombongan juga. Demikian kami si tukang
minta-minta, kami pun berkumpul dalam satu golongan….”
“Aku
tahu sudah, aku tahu sudah!” Oey Yong memotong seraya ia menepuk-nepuk tangan.
“Tadi Nio Cu Ong memanggil kau Pangcu, kau jadinya adalah pemimpin dari tukang
minta-minta!”
Cerdik
nona ini, ia lantas dapat menerka.
“Benar!”
Cit Kong mengaku. “Kami bangsa pengemis biasa orang hinakan, bisa digigit
anjing, apabila kami tidak bersatu, mana dapat kami hidup? Maka juga ini
sebatang tongkat serta ini sebuah cupu-cupu, semenjak jaman Cian Tong Ngo tay
sampai hari ini, sudah beberapa ratus tahun, selamanya dipegang oleh orang yang
menjadi Pangcu, ialah pemimpin kepala, jadi inilah mirip dengan capnya seorang
kaisar atau capnya satu pembesar negeri.”
Mendengar
itu, Oey Yong meleletkan lidahnya. “Syukur kau tidak mengasihkan padaku!”
katanya.
“Kenapa?”
Cit Kong tertawa.
“Jikalau
semua pengemis di kolong langit ini pada mencari aku, untuk aku mengurus
mereka, apakah itu tidak cade?” sahutnya.
Cit
Kong tertawa pula. Ia gerogoti pula sepotong ceker. Ia berkata pula: “Rakyat
negeri di Utara diurus oleh negeri Kim, rakyat negeri di Selatan diurus oleh
kerajaan Song, tetapi pengemis di kolong langit ini..?” “Tidak peduli mereka
yang dari Selatan atau Utara, semua mereka diurus oleh kau , lojinkee!” Oey
Yong mendahului.
Ang
Cit Kong tertawa terbahak, ia mengangguk.
“Pantaslah
itu siluman bangkotan she Nio sangat jeri padamu!” si nona menyambungi. “Kalau
semua pengemis di kolong langit ini mencari dia, untuk mengganggu, nah, bukan
main sulitnya dia! Umpama satu pengemis menangkap seekor tuma itu ditaruh di
lehernya, tidakkah ia bakal mampus kegatalan?”
Kwee
Ceng tertawa.
Ang
Cit Kong tidak gusar, ia malah turut tertawa.
“Tetapi,”
menjelaskan si raja pengemis kemudian, “Dia takuti aku bukannya karena itu…”
“Habis
karena apa?” tanya Oey Yong.
“Itulah
kejadian pada kira-kira duapuluh tahun yang lampau. Itu hari aku bertemu
dengannya di Kwan-gwa, kebetulan ia tengah melakukan satu pekerjaan buruk dan
aku pergoki dia…”
“Pekerjaan
buruk apakah itu?” tanya si nona.
Cit
Kong agaknya bersangsi tetapi ia menerangkan juga: “Siluman tua itu percaya
kepada omongan sesat tentang memetik bunga untuk menambah tenaga atau panjang
umur, dia lantas cari banyak nona-nona untuk dirusaki kesucian dirinya…”
“Apakah
itu yang dinamakan merusak kesucian nona-nona?” tanya si nona kembali.
Oey
Yong polos, ia belum mengetahui tentang hal kesucian yang dirusak itu. Ketika
ia dilahirkan, ibunya lantas menutup mata disebabkan sukar melahirkan, dari itu
semenjak bayi ia dirawat oleh ayahnya, kemudian terjadi Oey Yok Su murka besar
disebabkan Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong, kedua muridnya itu, yang
memainkan lelakon asmara dan minggat, saking kalapnya, dia putuskan urat-urat
semua muridnya yang lainnya, yang ia pun usir pergi dari pulau Tho Hoa To, maka
di pulau itu ketinggalan saja beberapa bujang tua, hingga si nona belum pernah
dengar soal-soalnya pemuda dan pemudi dewasa. begitulah sampai usianya
limabelas tahun, ia tetap gelap mengenai hal itu. Kalau toh ia suka sama Kwee
Ceng, itulah karena perasaannya yang wajar, perasaan yang ia rasakan manis,
apabila mereka berpisahan, segera ia merasa sunyi seorang diri. Tapi ia tahu,
kalau orang menjadi suami-istri, orang tidak bakal berpisahan pula seumur
hidupnya, maka itu ia anggap Kwee Ceng sudah menjadi sebagai suaminya; lain
daripada itu, ia gelap.
Untuk
sejenak itu, Cit Kong pun dipersulit pertanyaan si nona, hingga ia tidak lantas
memberikan jawabannya.
“Setelah
satu nona dirusak kesuciannya, apakah dia lantas dibunuh?” Oey Yong tanya pula.
“Bukannya
begitu,” Cit Kong tertawa. “Wanita yang diperhina secara demikian, hebatnya
melebihkan daripada dibunuh. Maka juga ada pembilangan, ‘Hilang kesucian urusan
besar, mata kelaparan urusan kecil’”
“Habis,
apakah dia dihajar kempolannya?” si nona tanya pula.
“Cis!”
berludah Cit Kong tetapi dia tertawa. “Bukannya begitu, budak! Baiklah kau
pulang untuk menanyakan keterangan ibumu!”
“Ibu
sudah lama tutup mata.” sahut si nona.
“Oh….”
si pengemis melengak. “Nanti saja, kapan tibanya kamu berdua merayakan
pernikahanmu, kau bakal mengerti sendiri.”
Mukanya
si nona menjadi merah, ia memonyongi mulutnya. “Sudahlah jikalau kau tidak sudi
menerangkan!” katanya. Samar-samar ia mulai mengerti duduknya hal. Ia menanya pula:
“Habis bagaimana sesudah kau pergoki si siluman bangkotan itu berbuat buruk?”
Lega
si pengemis mendengar orang bicara dari lain soal.
“Pasti
sekali aku urus dia!” ia menyahuti, “Orang she Nio itu telah kena aku bekuk,
aku hajar dia, aku paksa ia mengantari pulang semua nona-nona itu kerumahnya
masing-masing. Lain dari itu aku paksa ia mengankat sumpah bahwa dilain waktu
dia tidak lagi berbuat sejahat itu, dan aku ancam, apabila aku mempergokinya
pula, ia bakal mati tidak, hidup pun tidak!”
“Oh,
kiranya demikian!”
Kemudian,
habis bersantap, Oey Yong berkata, “Cit Kong, kalau sekarang kau kasihkan
tongkatmu kepadaku, aku juga tidak sudi menerimanya, hanya masih ada satu saol.
Bukankah kita tidak bakal berdiam bersama-sama untuk selama-lamanya? Bagaimana kalau
dilain waktu kami berdua bertemu pula sama siluman she Nio itu dan dia
membilangnya padaku, ‘He, budak yang baik, dulu hari kau mengandalkan Ang
Pangcu, kau menghanjar aku dengan tongkatnya, sekarang aku hendak membalas
sakit hati!’ Kalau sampai terjadi begitu, bagaimana kami harus berbuat?”
Ang
Cit Kong tertawa. “Ha! Kau sebenarnya menghendaki aku mengajari pula lain ilmu
silat kepada kau berdua! Kau kira aku tidak tahu? sekarang pergilah kau masak
syaur lagi, bikinlah banyakan, kau boleh percaya Cit Kong tidak nanti membikin
kau kecele!”
Oey
Yong menjadi sangat girang, ia sambar tangannya si pengemis, untuk dibawa ke
rimba tadi.
Ang
Cit Kong mengajarkan pula jurus yang baru kepada Kwee ceng, yaitu jurus kedua
dari Hang Liong Sip-pat Ciang, namanya “Hoei Liong Thay Thian” atau “Naga
Terbang ke Langit”. Jurus ini mewajibkan Kwee Ceng lompat tinggi sekali, lalu
dari atas ia menyerang turun, hingga tenaganya menjadi luar biasa besar. Untuk
ini, Kwee Ceng memerlukan tempo tiga hari, baru ia dapat melatih dengan baik.
Selama tiga hari itu, Oey Yong sendiri sudah mendapatkan pelajaran lain, ialah
untuk dengan tempuling ngo-bje-cie memecahkan sebatang golok. Semenatar itu Ang
Cit Kong sendiri telah menikmati belasan macam makanan lezat dari si nona.
Demikianlah
hari-hari lewat. Tidak sampai satu bulan, Cit Kong sudah wariskan limabelas
jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, dari “Naga Menyesal” sampai pada “Liong
Thian Ie Ya” atau “Naga bertempur di tanah datar”.
Ilmu
silat Cit Kong ciptakan sendiri setelah ia memehami kitab “Ya Keng”, jurusnya
terbatas sekali tetapi kegunaannya besar, sebab setiap jurusnya hebat. Hanya
ketika dulu di puncak Hoa San ia mengadu silat sama Oey Yok Su beramai, ilmu
ini belum ia pelajarkan habis, meski begitu, Ong Tiong Yang toh memuji ilmunya
itu. Cit Kong menyesal yang ia belum sempat menyelesaikan itu, kalau tidak,
mungkin ialah yang menjadi pemenang nomor satu. Mulanya dia hendak mengajari
Kwee Ceng dua tiga jurus saja, untuk si anak muda pakai menjaga diri, tetapi
masakan Oey Yong hebat sekali, setiap hari ditukar denagn hari lewat hari,
kejadian ia mewariskan limabelas jurus itu. Maka dalam tempo satu bulan itu,
Kwee Ceng telah seperti salin rupa. Oey Yong sendiri telah memperoleh beberapa
jurus yang luar biasa, yang campur aduk!
Pada
suatu pagi sehabis sarapan, Cit Kong berkata kepada kedua bocah itu; “Eh,
anak-anak, kita sudah berkumpul sebulan lamanya, sudah tiba waktunya kita
berpisahan.”
“Oh,
tidak!” Oey Yong mencegah. “Aku masih mempunyai beberapa macam masakan yang
hendak aku bikin untuk aku suguhkan kepada kau, lojinkee!”
“Ingat,
anak, di kolong langit ini tidak ada pesta yang tidak bubar. Kau tahu biasanya
aku si tua bangka belum pernah mengajari orang lebih daripada tiga hari, tetapi
terhadap kamu, aku telah memakai tempo satu bulan, kalau mesti tambah hari
lagi, oh itulah hebat sekali!” kata si pengemis.
“Kenapa
begitu, Cit Kong?” tanya si nona heran.
“Dengan
begitu, habislah semua kepandaianku diturunkan kepada kamu!” sahut si raja
pengemis.
Oey
Yong tersenyum tetapi ia kata: “Cit Kong, orang baik mesti sekali berbuat baik
seterusnya berbuat baik hingga diakhirnya. Jikalau kau ajarkan semua
delapanbelas jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang kepadanya, bukankah itu baik
sekali?”
“Fui!”
si pengemis berseru. “Ya, buat kamu baik, tetapi aku si pengemis tidak!”
Oey
Yong menjadi bingung. Ia lantas memikirkan daya apa untuk menahan orang tua
itu, akan tetpai belum ia dapat pikiran, Cit Kong telah menggendol cupu-cupunya
dan mengangkat tongkatnya ngeloyor pergi, jalannya sambil menyeret sepatunya…..
Kwee
Ceng menjadi bingung juga, ia lari menyusul. Hebta Cit Kong sebentar saja ia
telah lenyap di dalam rimba.
“Cit
Kong! Cit Kong!” Kwee Ceng menyusul dan berteriak-teriak. Tidak ada jawaban.
Oey
Yong juga menyusul, ia pun memanggil-manggil. Tapi ia pun tidak peroleh
penyahutan.
Tapi
belum lama, terlihatlah suatu bayangan dan Cit Kong muncul dengan tiba-tiba.
“Ha,
kamu berdua budak busuk, mau apa kamu melibat aku?” ia menanya, agaknya ia
mendongkol. “Apakah kau masih minta aku mengajari silat? Oh, itulah sukar di
atas sukar!”
“Lojinkee
sudah mengajarkan banyak, teecu telah puas,” berkata Kwee Ceng, yang menyebut
dirinya teecu atau murid. “Tidak nanti teecu berlaku temaha, cuma teecu belum
dapat membalas budimu yang besar sekali.” Ia lantas jatuhkan dirinya, berlutut,
untuk paykui kepada itu guru sembatan.
“Ha,
tahan!” mendadak si pengemis berseru. “Aku mengajarkan kau silat sebab aku
gegaras sayur masakan dia itu, untuk itu, pengajaranku itulah bayaranku! Di
antara kita tidak ada soal guru dengan murid!” Mendadak ia pun berlutut,
membalas hormatnya si anak muda.
Kwee
Ceng kaget sekali, hendak ia paykui pula, untuk membalas, tetapi ia tidak dapat
berbuat begitu, tiba-tiba saja si pengemis mengulurkan tangannya dan ia kena
ditotok jalan darah dirusuknya hingga ia berdiri dengann kedua kaki ditekuk,
tak dapat ia menggeraki tubuhnya!
Cit
Kong mengangguk sampai empat kali, guna membalas penghormatan orang, baru ia
menotok pula membebaskan jalan darah orang. Ia kata: “Ingat, sekarang jangan
kau mengatakannya sudah memberi hormat padaku, bahwa kaulah muridku!”
Kwee
Ceng berdiam, tidak berani ia membuka mulut lagi. Sekarang ia menginsyafi
benar-benar tabiat kukoay bin aneh dari si raja pengemis yang berjeriji
sembilan itu.
Cit
Kong lantas memutar tubuhnya, untuk mengangkat kaki, atau mendadak ia bersuara
“Ih!” lantas ia membungkuk, tangannya diulurkan ke tanah, di antara rumput, dua
jarinya menjepit seekor ular hijau panjangnya dua kaki.
“Ular!”
Oey Yong menjerit kapan si pengemis angkat tangannya. Cuma sebegitu ia berseru,
atau pundaknya telah ditolak Ang Cit Kong hingga ia terpental jauhnya setombak
lebih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar