Minggu, 21 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 25



Bab 25. Tipusilat “Naga Menyesal”




Ketika itu Ang Cit Kong berkata dengan dingin kepada si nona, “Ayahmu ada mempunyai kepandaian tinggi sekali, kenapa kau masih menghendaki aku mengajari dia?”
Oey Yong terkejut, “Eh, kenapa dia mengenali ilmu silat ayahku ini, yang ayah ciptakan sendiri?” pikirnya. Lantas ia menanya: “Cit Kong, kenalkah kau ayahku?”
“Tentu saja!” sahut si pengemis, temberang. “Dia Tong Shia dan aku Pak Kay! Selama beberapa tahun, entah kita sudah bertempur beberapa puluh kali!”
Oey Yong heran. Ia berpikir pula : “Dia pernah berkelahi sama ayhku dan dia masih belum mati, sungguh dia berkepandaian tinggi.” Lalu ia menanya pula: “Lojinkee, bagaimana kau mengenali aku?”
“Pergilah kau kacakan dirimu!” sahut pengemis itu. “Kau lihat alismu, matamu, tidakkah itu mirip dengan alis dan mata ayahmu? Mulanya aku tidak mengenali kau, aku cuma merasa seperti mengenal, setelah melihat ilmu silatmu barusan – hm! Walaupun aku belum pernah melihatnya, tetapi aku tahu betul, ilmu itu cuma dapat dibetelori oleh ayahmu itu yang licin bagai iblis itu!”
Oey Yong tidak gusar ayahnya dikatakan sebagai iblis, sebaliknya ia tertawa. “Bukankha lojinkee hendak membilang ayahku sangat lihay?” ia menanya.
“Memang ia lihay,” sahut Ang Cit Kong dingin. “Tetapi dia bukanlah yang nomor satu di kolong langit ini!”
Oey Yong bertepuk tangan, gembira sekali dia. “Kalau begitu adalah lojinkee yang nomor satu!” serunya.
“Itulah bukan,” berkata si pengemis, mengaku. “Pada lebih daripada duapuluh tahun yang lampau, kita, ialah Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong berlima berkumpul di atas puncak gunung Hoa San, kita membicarakan tentang ilmu silat bertangan kosong dan menggunai pedang, kita telah bertanding selama tujuh hari tujuh malam, kesudahannya ternyata Tiong Sin Thong yang paling lihay, kita berempat mengakui dia adalah yang nomor satu di kolong langit ini.”
“Siapa itu Tong Sin Thong?” Oey Yong menanya.
“Apakah ayahmu tidak pernah omong tentang dia?” tanya si pengemis.
“Tidak. Bahkan ayah mendamprat aku, dia tidak menyukai aku, dari itu aku minggat. Untuk selanjutnya ayah tidak menghendaki aku lagi…” kata si gadis dengan sedih.
“Ha, siluman tua itu!” Ang Cit Kong memaki. “Benar-benar dia sesat!”
Oey Yong memperlihatkan roman tidak senang. “Aku melarang kau memaki ayahku!” ia berkata.
Ang Cit Kong tertawa terkakak. “Sayang sekali orang mencela aku si pengemis melarat, tidak ada wanita yang sudi menikah denganku,” katanya, “Kalau tidak, dengan adanya kau yang begini manis, pastilah tidak rela aku mengusir kau buron…”
Oey Yong pung tertawa. “Itulah pasti, lojinkee! Dengan kau mengusir aku, siapa nanti yang masaki kau sayur?”
Pengemis itu menghela napas. “Kau benar, kau benar,” ujarnya. Ia berhenti sejenak, lalu ia meneruskan; “Tiong Sin Thong itu ada kauwcu, ialah kepala dari Coan Cin Kauw, namanya Ong Tiong Yang. Setelah ia menutup mata, sekarang sukar dibilang, siapakah dikolong langit ini menggantikan dia sebagai yang nomor satu…”
“Coan Cin Kauw, lojinkee bilang? Ah, bukankah disana masih ada si imam she Khu dan she Ong? Bukankah mereka itu lihay ilmu silatnya?” tanya Oey Yong lagi.
“Mereka itu ialah murid-muridnya Ong Tiong Yang. Aku dengar dari tujuh muridnya, Khu Cie Kee adalah yang paling lihay, tetapi walaupun demikian dia tidak dapat menandingi paman gurunya, Ciu Pek Thong.” jawab Cit Kong.
Mendengar disebutkannya nama Ciu Pek Thong itu, Oey Yong terperanjat, hendak ia bicara tapi mendadak ia mengurungkannya.
Sejak tadi Kwee Ceng hanya memasang kuping saja, sekarang ia menyelak. “Oh, kiranya Ma Totiang masih mempunyai paman guru…” katanya.
“Ciu Pek Thong itu bukannya imam dari Coan Cin Kauw,” Cit Kong memberi keterangan. “Dialah seorang biasa, yang tidak memegang agama. Ilmu silatnya itu diajarkan sendiri oleh Ong Tiong Yang. Ah, bukankah ayahmu tidak menyukai ini bocah tolol yang menjadi kawanmu?”
Pengemis ini mengatakan Kwee Ceng, inilah yang tidak disangka-sangka si anak muda. Ia menjadi bungkam.
Oey Yong tidak menjadi gusar, ia malah tertawa. “Ayahku belum pernah melihat dia,” ia menyahuti. “Jikalau lojinkee sudi memberi pelajaran padanya, dengan memandang kau, pastilah ayahku nanti menyukai dia.”
“Hai, iblis cilik!” seru si pengemis. “Kepandaian ayahmu belum kau dapatkan satu bagian saja, tetapi mata iblisnya kau telah wariskan semuanya! Aku tidak senang diumpak-umpak orang dipakaikan kopiah tinggi, aku si pengemis tua juga tidak pernah menerima murid, maka siapakah kesudian bocah tolol ini sebagai murid? Hanyalah kau sendiri yang memandangnya dia sebagai mustika!”
Sehabis berkata begitu, Ang Cit Kong berbangkit, dengan membawa tongkatnya, dia ngeloyor pergi.
Kwee Ceng heran, dia berdiri menjublak mengawasi kepergian orang tua itu. “Yong-jie,” katanya selang sesaat, “Tabiatnya locianpwee ini sungguh luar biasa.”
“Sebenarnya ialah seorang yang baik hatinya!” menyahuti Oey Yong, yang kupingnya sangat terang, hingga ia dapat mendengar satu suara sangat perlahan di atas pohon di samping mereka, hingga ia menduga kepada si pengemis aneh itu. “Dia juga terlebih lihay daripada ayahku…”
Kwee Ceng memperlihatkan roman aneh. “Kau belum pernah menyaksikan kepandaiannya, mengapa kau bisa bilang begitu?”
“Aku dengar itu dari ayahku,” jawab Oey Yong.
“Apakah kata ayahmu?” tanya si pemuda lebih lanjut.
“Ayahku bilang, sekarang ini, orang yang kepandaiannya lihay yang dapat memenangkan ayah cuma tinggal Ang Cit Kong seorang. Sayang orang tua itu tidak ketentuan tempat kediamannya, tidak dapat kita sering berkumpul dengannya untuk menyakinkan ilmu.” sahut si nona.
Dugaan si nona tepat, Ang Cit Kong tidak berlalu terus. Stelah tak nampak oleh Kwee Ceng dan si nona, lekas-lekas ia kembali. Ia jalan mutar, terus ia lompat naik ke atas pohon, dari itu ia bisa mendengar pembicaraannya muda-mudi itu. Ia pun puas mendengar suaranya Oey Yok Su seperti dikatakan si nona.
“Pada wajahnya Oey Yok Su tidak pernah mengagumi aku, siapa tahu di dalam hatinya dia memandang hormat,” pikirnya. Dan ia puas sekali. Ia tidak tahu Oey Yong melainkan mengarang cerita.
“Sayang belum berarti aku menuntut pelajaran dari ayahku,” Oey Yong berkata pula, ia bersandiwara terus. “Mengenai itu aku harus menyesalkan diri sendiri. Kenapa dulu aku gemar main-main saja, tidak mau aku belajar dengan rajin. Sekarang kebetulan sekali kita bertemu dengan Ang Cit Kong, asal dia suka memberikan satu-dua pelajaran, bukankah itu terlebih baik daripada pengajaran ayahku sendiri? Menyesal aku telah keterlepasan omong, aku menyebabkan locianpwee itu tidak senang hati….” Habis berkata begitu, ia lantas menangis.
Kwee Ceng menghiburi kekasihnya itu, tetapi justru itu, dari berpura-pura, Oey Yong menjadi menangis sungguhan.
Ang Cit Kong di atas pohon melihat dan mendengar semua itu, hatinya tertaeik. Oey Yong menangis tersedu-sedu.
“Pernah aku dengar ayah bilang,” katanya kemudian, “Kiu Cie Sin Kay ada mempunyai semacam ilmu silat yang di kolong langit ini tidak ada saingannya, yang sejak jaman dahulu senantiasa menjagoi sendiri, sampaipun Ong Tiong Yang jeri juga terhadapnya. Ilmu silat itu dinamakan……dinamakan…..Ah, aku lupa, sedang barusan aku ingat….. Sebenarnya, ingin aku minta diajari ilmu silat itu, namanya….namanya….Ah, aku lupa lagi!”
Ang Cit Kong masih tidak sadar bahwa orang tengah mengepul terus, ia tidak dapat mengendalikan diri dari ataas pohon, hingga ia langsung berseru: “Itulah Hang Liong Sip-pat Ciang!” Dan ia pun lompat turun dari pohon tempat bersembunyinya itu.
Oey Yong berpura-pura terkejut, tapi habisnya ia girang bukan kepalang. “Benar, benar, ah , kenapa aku tidak ingat itu?” dia berseru. “Ayah sering sekali menyebut ilmu silat itu, dia kata itulah ilmu yang ia paling malui….”
“Kiranya ayahmu itu masih suka omong terus-terang!” Ang Cit Kong berkata. “Aku tadinya menyangka, semenjak meninggalnya Ong Tiong Yang, dia menganggap dirinya sebagai si orang kosen nomor satu di dalam dunia ini…!” Dia memandang Kwee Ceng, terus ia berkata, “Eh, bocah, bakatmu kalah dengan bocah perempuan ini, itulah sebabnya kenapa kau tidak dapat menandingi padanya. Eh, nona cilik, pergilah kau pulang ke pondokmu!”
Oey Yong tahu si pengemis hendak memberi pelajaran pada Kwee Ceng, ia girang bukan main, dengan lantas ia lari pulang.
Lantas Ang Cit Kong memandang tajam pada si anak muda. “Lekas kau berlutut dan mengangkat sumpah!” Katanya, bengis. “Tanpa perkenan dari aku, aku larang kau mewariskan kepandaian yang aku ajarkan ini kepada lain orang, termasuk juga itu istrimu yang licin bagai iblis cilik!”
Kwee Ceng menjadi bingung. “Kalau Yong-jie memintanya, mana dapat aku menolak?” ia berpikir. Karena ini, ia berkata: “Cit Kong, aku tak ingin belajar! Biarlah dia tetap jauh terlebih gagah daripada aku…”
Cit Kong heran. “Eh, kenapa begitu?” dia menegaskan.
“Sebab kalau dia minta aku mengajarinya,” sahut Kwee Ceng, “Apabila aku tidak suka mengajarinya, aku jadi berlaku tidak pantas terhadapnya. Sebaliknya jikalau aku meluluskan permintaannya dan mengajarinya, aku malu terhadap kau, aku jadi melanggar sumpahku.”
Mendengar keterangan ini, Ang Cit Kong tertawa lebar. “Anak tolol, matamu tajam, hatimu baik!” katanya. “Kau jujur sekali! Sekarang begini saja, aku ajarkan kau jurus Kang Liong Yoe Hoei. Aku tahu Oey Yok Su itu sangat angkuh, seumpama kata ia sangat mengagumi pengajarkan ini, tidak nanti dia menjadi tidak tahu malu dengan mencuri mempelajari kepandaianku yang istimewa ini…”
Setelah mengatakan begitu, Ang Cit Kong lantas menekuk kakinya yang kiri, tangan kanannya ditarik mutar sebagai lingkaran, lalu mendadak ia majukan itu ke depan. Kesudahannya sebuah pohon di depannya itu patah batangnya, roboh dengan berisik sekali.
Kwee Ceng terperanjat kagum. Ia tidak sangka tolakan tangan demikian perlahan akibatnya sehebat itu. Itulah emposan tenaga dalam yang sangat besar.
“Pohon ini adalah benda yang tidak bergerak-gerak!” Cit Kong menerangkan, “Kalau manusia, dia pasti dapat mundur berkelit. Mempelajari ilmu pukulanini, sukarnya ialah mencegah agar lawan tidak dapat mundur, supaya dia itu tidak bisa berkelit, kalau cegahan itu dapat dilakukan, dia pasti bakal roboh seperti pohon ini.”
Lagi sekali si pengemis menjalankan pukulannya itu, sampai dua kali, ia sekalian mengajarkan emposan pernapasannya. Untuk ini ia mesti menggunai tempo cukup lama. Sebabnya ialah bakat yang kurang dari Kwee Ceng, yang otaknya bebal, hingga ia selamanya mesti belajar lama barulah ingat dan hapal. begitulah, selang dua jam barulah ia mengerti betul.
Cit Kong berkata: “Perempuan cilik itu, permainan silatnya lebih banyak gertakannya daripada pukulan yang sebenar-benarnya, kalau kau bertanding dengannya dan repot membela diri, pasti sekali kau dipermainkan dia. Kau boleh gesit dan lincah, kau tetap tidak nanti dapat menangi dia. Kau boleh menduga pukulannya yang benar-benar, kenyataannya ialah gertakan belaka. Saban-saban dia bisa membikin kau tidak dapat menerka.”
Kwee Ceng mengangguk-angguk.
“Karenanya jikalau kau ingin memecahkan ilmu silatnya itu,” Cit Kong membeber rahasia terlebih jauh, “Jangan kau usil pukulannya itu gertakan atau benar-benar, kau tunggu pukulannya tiba, palsu atau benar, kau sambut dengan Kang Liong Yoe Hoei. Apabila dia melihat seranganmu itu, mesti ia menangkis, asal dia menangkis, kalahlah dia!”
“Kemudian bagaimana!” Kwee Ceng tanya.
“Kemudian bagaimana?!” si pengemis mengulangi. “Ha, anak tolol! Dia ada punya berapa banyak kepandaian hingga ia sanggup melawan ini pukulan yang aku ajarkan kau?”
Si pemuda tak berani mananya lagi, ia terus berlatih. Ia pilih sebuah pohon yang kecil, ia hajar itu. Ia kena menghajar dengan tepat, tetapi pohon itu tidak roboh, melainkan bergoyang-goyang.
“Anak tolol!” mendamprat si pengemis. “Mau apa kau menggoyang-goyang pohon itu?! Kau hendak menangkap bajing atau mau memetik buah cemara?!”
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah, ia tertawa menyeringai.
“Sudah aku bilang, kau mesti bikin lawan tidak dapat mundur, tidak bisa berkelit!” Ang Cit Kong berkata pula. “Pukulan barusan tepat tetapi kurang bertenaga, dengan pohon bergoyang, tenagamu menjadi buyar. Mestinya pohon dihajar tanpa ia bergoyang, baru ia dapat dibikin patah.”
Kali ini Kwee Ceng sadar. “Jadinya aku mesti sebat sekali supaya lawan tak keburu bersiaga,” katanya.
“Memang! Apa mesti disebutkan pula?!” sembrot si pengemis.
Anak muda ini berdiam, ia berlatih pula. Untuk beberapa puluh kali ia memukul, pohon masih bergoyang-goyang. Ia tidak menjadi bosan, ia tidak berputus asa, terus ia mencoba. barulah hatinya menjadi terbuka ketika kemudian bergoyangnya pohon perlahan sekali. Itu tandanya ia peroleh kemajuan. Sementara itu tangannya telah jadi bengkak dan merah, tetapi ia tidak pedulikan, masih ia berlatih terus.
Ang Cit Kong tidak sabaran, ia duduk menyender, lalu pulas, menggeros keras.
Ulet si anak muda, segera juga ia bisa bikin pohon tidak bergoyang. Ia jadi semakin bersemangat. Kembali ia memukul. Diakhirnya, robohlah pohon itu, terpatah dua! Hampir ia bersorak.
“Bagus!” begitu terdengar suaranya Oey Yong, yang terlihat mendatangi dengan perlahan-lahan, tangannya membawa kotak makanan. Cit Kong belum membuka matanya, hidungnya sudah mencium bau wangi makanan.
“Harum! Harum!” katanya seraya ia berlompat bangun, segera ia membuka tutup kotak hingga ia lihat ayam panggang dan bebek serta setumpuk lumpia. tanpa diundang lagi, ia menyambar dengan tangan kiri dan kanan, memasuki ayam dan bebek itu bergantian ke mulutnya untuk digeragoti. “Lezat! Lezat!” ia memuji, tapi karena mulutnya penuh, tak nyata pujiannya itu.
Ketika sebentar kemudian ayam dan bebek itu habis, tinggal tulang-tulangnya saja, baru ia ingat Kwee Ceng belum dahar. Agaknya ia jengah snedirinya. Tapi lekas ia berkata: “Mari, mari! Lumpia ini pun lezat….! Lebih lezat dari bebek…!”
Dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong tidak menjadi tidak senang, malah si nona tertawa.
“Cit Kong, kau belum dahar masakanku yang paling jempol!” katanya si nona.
Si pengemis menjadi mengilar. “Msakan apa itu? Masakan apa itu?” ia menanya, mendesak.
“Tidak dapat aku sebutkan semua itu sekarang,” menjawab si nona. “Ada peecay goreng, ada tauwhu tim, ada juga sup daging!”
Cit Kong menjadi semakin ngilar. “Bagus, bagus!” katanya. “Sudah aku bilang, kau memang anak manis! Apa boleh aku pergi membelikan peecay dan tauwhu sekarang?”
“Tak usah, Cit Kong. Kau yang beli pun tidak cocok sama pilihanku!”
“Ya, benar-benar, mana orang lain dapat memilih seperti kau sendiri!”
Nona Oey itu lantas memutar haluan. “Barusan aku lihat dia menghajar pohon patah dan roboh, sekarang ia lebih lihay daripadaku!” katanya mengenai Kwee Ceng.
Si pengemis itu menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak, tidak!” katanya cepat. “Pukulan apa itu, pohon bergoyang-goyang dan melengkung? Mestinya sekali pukul pohon patah dan runtuh!”
“Toh pukulannya barusan sudah hebat, aku tentu tidak sanggup menahannya,” kata pula si nona. “Dasar kau yang berat sebelah! Kalau nanti ia menghina aku, bagaimana?”
Cit Kong hendak mengambil hati orang yang pandai masak itu, ia tidak menjadi kurang senang yang ia disesalkan. “Habis kau mau apa?” tanya.
“Kau mesti ajarkan aku ilmu, yang dapat menangi dia,” kata si nona. “Sesudah aku paham, aku nanti masaki kau barang hidangan.”
“Baiklah! Dia baru belajar serupa ilmu, tidak sukar untuk menangi dia. Nanti aku ajari kau Yang Siang Hoei.” Baru ia tutup mulutnya, sudah ia berlompat, untuk terus bersilat. Kedua tangan bajunya yang lebar berkibar-kibar, tubuhnya berlompatan ke Timur dan Barat, pesat gerakannya.
Diam-diam Oey Yong perhatikan sesuatu gerakan orang, maka tempo Cit Kong berhenti bersilat, ia sudah ingat separuhnya, selebihnya ia minta penjelasannya. Dasar ia berotak terang, belum dua jam, ia sudah mengerti seanteronya, dapat ia jalankan ilmu silatnya itu, tinggal memahirkan latihannya saja.
Yang Siang Hoei atau Burung Walet Terbang Berpasangan, terdiri dari tigapuluh enam jurus, gerakannya mirip dengan burung walet terbang menari-nari. Beda adalah Kang Liong Yoe Hoei, atau Naga Menyesal, yang singkat saja, tetapi untuk Kwee Ceng merupakan pelajaran yang sulit.
Habis berlatih, Oey Yong tertawa. “Engko Ceng, sekarang aku lebih menang pula daripada kau!” katanya gembira. “Sekarang aku mau pergi beli sayur!” Dan lantas dia lari pergi.
“Bocah itu cerdik melebihkan kau seratus lipat!” kata Cit Kong pada si anak muda seberlalunya si nona jenaka itu.
“Memang. Barusan aku melihat lojinkee bersilat, mataku kabur, aku cuma ingat tiga empat jurus.”
Cit Kong tertawa, tanpa membilang apa-apa, dia pulang ke pondokan. Kwee Ceng berdiam, ia mengikuti pulang.
Malam itu Oey Yong benar memasakkan peecay goreng dan tim tauwhu, peecaynya dimasak dengan minyak ayam dicampur ceker bebek, sedang tauwhunya dicampuri ham. Maka puaslah Cit Kong menangsel perutnya. Habis bersantap, ia heran melihat muda-mudi itu tidur terpiash kamar.
“Apa? Apakah kamu belum menikah?” dia menegaskan.
Oey Yong tukang bergurau, tetapi ditanya begitu, merah mukanya, hingga di antara cahaya api, dia tampak makin cantik.
“Awas Cit Kong!” dia mengancam, “Kalau kau ngaco lagi, besok aku tidak akan masaki kau makanan yang lezat!”
“Apa, eh? Apakah aku ngomong salah?” tanya si pengemis, kaget. Tapi segera ia mendusin, “Ah, aku tolol betul! Bukankah kamu baru mengikat janji sendiri, belum lagi mendapat perkenan orang tua kamu, belum ada rekokan comblang? Jangan takut, aku si pengemis yang nanti jadi comblangnya! Jikalau ayahmu tidak mau menerima, nona, nanti aku tempur dia! Biar kita bertempur lagi tujuh hari tujuh malam, biar sampai ada yang mampus dan hidup!”
Senang hatinya Oey Yong, sembari bersenyum ia memasuki kamarnya.
Besoknya pagi-pagi Kwee Ceng sudah pergi ke rimba untuk menyakinkan pula pukulan Kang Liong Yoe Hoei, yang sebenarnya adalah satu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, ilmu silat Menakluki Naga. Hanya kali ini ia berlatih kosong, tidak lagi ia menghajar pohon, sebab ia khawatir merusak pohon kayu penduduk situ. Baru menghajar duapuluh lebih kali, ia sudah mandi keringat. Tetapi ia girang sekali, sebab ia telah memperoleh kemajuan. Selagi ia beristirahat, tiba-tiba ia dengar suara orang di luar rimba.
“Suhu, kali ini mungkin kita telah melalui tigapuluh lie lebih!” demikian pendengarannya. Terang orang itu adalah murid berbicara sama gurunya. “Nyatanya ilmu lari kamu telah ada kemajuannya,” menjawab seorang yang lain.
Kwee Ceng lantas saja kaget. Ia kenali suara orang yang belakangan ini. Ia pun lantas melihat orangnya – berempat – ialah Kaoy Nio Cu Ong, si tua tetapi romannya tetap muda. Ia mengeluh, lantas saja ia kabur mengambil arah ke penginapan.
Juga Nio Cu Ong sudah lantas melihat dan mengenali pemuda itu. “Kau hendak kemana?!” dia membentak seraya terus mengejar.
Tiga yang lain benar adalah murid-muridnya Soam Sian Loa Kaoy, mereka lantas turut memburu, malah dengan berpencaran, untuk memegat dan mengurung.
Kwee Ceng lari terus. Ia mengerti, asal ia dapat keluar dari rimba, dekat sudah ia dengan pondokannya. Tapi ia dapat dipegat murid kepala musuhnya itu.
“Bangsat cilik, tekuk lututmu!” membentak pemegat itu, yang terus menyerang.
Kwee Ceng menekuk kaki kirinya, tangan kanannya diputar, lalu ia menolak. Itulah jurus Kang Liong Yoe Hoei yang baru saja ia pelajari.
Murid Nio Cu Ong itu hendak menjambak, karena ditolak, hendak ia menangkis. Inilah hebat untuknya. Segera ia terserang hingga lengannya itu patah dan tubuhnya terpental enam tujuh kaki, roboh tak sadarkan diri. Sekalipun ia berkelit, belum tentu ia bebas.
Kwee Ceng sendiri heran. Sebenarnya ia memakai tenaganya cuma lima bagian, tapi akibatnya dahsyat sekali. Untuk sejenak ia tercengang, ketika ia mendusin, lekas ia lari pula.
Nio Cu Ong melihat muridnya dirobohkan, ia kaget berbareng gusar, dia mengejar terus. Tepat dimuka rimba, ia dapat memegat.
Kwee Ceng kaget dan khawatir, sebab si musuh tangguh menghalangi di tengah jalan. Hampir tanpa berpikir, ia tekuk lagi kaki kirinya, tangannya dilingkarkan, lalu ia menolak dengan keras. Kembali ia menggunai jurus Naga Menyesal itu.
Soam Sian Loa Koay terperanjat. Ia tidak kenal pukulan itu, yang nampaknya hebat, terpaksa ia berkelit dengan menjatuhkan diri ke tanah dan bergulingan. Dengan begitu ia bebas, tapi justru itu, Kwee Ceng dapat menerobos untuk lari terus. Ketika ia berlompat bangun, dengan niat mengejar terus, ia dapatkan bocah itu sudah tiba di muka pondokannya.
“Yong-jie! Yong-jie!” Kwee Ceng berteriak. “Lekas minta Cit Kong tolongi aku!”
Oey Yong dapat mendengar teriakan itu, ia muncul dengan lantas. Segera ia melihat Nio Cu Ong.
“Eh, kenapa siluman bangkotan ini berada di sini?” pikirnya. “Bagus ia datang, hendak aku menguji Yan Siang Hoei!” Terus ia berteriak; “Engko Ceng, jangan takut! Lawan dulu padanya, nanti aku bantui kau!”
Kwee Cneg cemas hatinya, karena ia tahu Nio Cu Ong lihay dan Oey Yong belum tahu apa-apa. Tapi tidak sempat ia berpikir lama, musuhnya sudah menyandak. Ia memutar tubuhnya, kembali ia menyerang dengan pukulan Kang Liong Yoe Hoei.
Nio Cu Ong berlompat ke samping, kali ini ia kurang sebat, meski ia bebas, tangan kanannya terserembet juga, hingga ia merasakan sakit dan panas. Tentu sekali ia menjadi heran luar biasa. Baru beberapa bulan mereka berpisah, bocah ini telah menjadi demikian lihay. Ia menduga itulah disebabkan Kwee Ceng menminum darah ular. Ingat ini, ia menjadi tambah mendongkol.


Kwee Ceng lihat orang berkelit, ia menyusuli serangannya, dengan pukulan yang serupa.Nio Cu Ong cerdas dan lihay, segera ia mendapat kenyataan, pukulan orang hanya serupa, maka setelah berkelit pula, dia tertawa dan berkata; “Ha, bocah, kau mempunyai cuma satu jurus ini?”
Kwee Ceng polos, ia tidak tahu orang memancing dia. “Ya,” jawabnya. “Toh kau tidak mampu menangkis!” Ia lantas menyerang pula.
Nio Cu Ong berlompat. Sekarang tahu ia bagaimana harus mengelakkan diri. Tiga kali lagi ia diserang, tiga kali ia berkelit, di samping itu, ia membalas menyerang. Kwee Ceng gagal berulang-ulang, ia lantas menjadi repot.
Oey Yong menonton pertempuran itu, ia melihat kawannya terdesak. “Engko Ceng, nanti aku lawan dia!” ia berseru. Ia berlompat ke arah dua orang itu, tubuhnya melayang bagaikan seekor burung walet. Begitu tiba, kepalan kiri dan kaki kanannya segera dikasih bekerja dengan berbareng.
Nio Cu Ong berlompat mundur, habis itu ia membalas menyerang.
Kwee Ceng lantas mengundurkan diri, lalu ia berdiri menonton.
Oey Yong menggunai Yang Siang Hoei dengan baik, tetapi dasar masih baru dan ia pun kalah Iweekang, ia tidak berdaya merobohkan jago tua itu, sebaliknya hampir-hampir ia kena dihajar beberapa kali oleh lawannya, syukur ia memakai tameng joan-wie-kah. Habis tigapuluh enam jurus, ia pun kenas terdesak.
Dua muridnya Nio Cu Ong menolongi kakak seperguruannya, yang mereka pepayang, mereka menonton pertempuran itu, mendapatkan guru mereka unggul, mereka berteriak-teriak menganjurkan guru mereka itu. Kwee Ceng berkhawatir untuk kekasihnya itu, terpaksa hendak ia maju membantui.
Justru itu ia dengar suara nyaring dari Ang Cit Kong, yang berada di aling jendela: “Dia bakal menggunai jurus Anjing Galak Memegat Jalan!”
Oey Yong mendengar itu, ia melengak. Ia melihat Nio Cu Ong memasang kuda-kuda terpentang dan kedua tangan dikasih rata. Ia kenali itulah sikap jurus Harimau Galak Memegat Jalan. Ia tertawa di dalam hatinya. Kiranya Cit Kong tukar ‘Harimau’ dengan ‘Anjing’. Ia hanya heran kenapa Cit Kong dapat membade niat orang. Ia lantas membela diri.
Kembali Cit Kong berseru: “Dia bakal menggunai Ular Bau Mengmbil Air!”
Oey Yong sangat cerdas, lantas ia mengetahui, tentulah itu dimaksudkan jurus Naga Hijau Menyedot Air. Jurus itu lihay di depan, kosong di belakang. Karenanya dengan lincah ia berlompat nyamping, terus ke belakang lawannya.
Nio Cu Ong benar-benar menyerang dengan pukulan Naga Hijau Menyedot Air itu. Tentu saja ia gagal, karena si nona sudah mendahului menghalau diri. Malah ia jadi terluang punggungnya. Syukur ia lihay, dapat ia berkelit dari serangan si nona. Segera ia memandang ke arah jendela rumah penginapan.
“Orang pandai siapa di situ? Mengapa kau tidak mau memperlihatkan diri?” dia berseru dengan pertanyaannya.
Ang Cit Kong dengar suara menantang itu, ia membungkam.
Oey Yong ada tulang punggungnya, ia jadi berani sekali. Ia menerjang. Dalam murkanya Nio Cu Ong melawan dengan bengis, ia menggunai pukulan-pukulan yang membinasakan. Tentu sekali, si nona segera terdesak pula.
“Jangan takut!” terdengar pula teriakannya Cit Kong. “Dia bakal menggunai Pukulan si Kunyuk Kempolan Biru Manjat Pohon!”
Oey Yong tertawa cekikikkan, ia lantas mendahului menyerang dengan tinjunya.
Nio Cu Ong benar-benar hendak menyerang dengan jurusnya yang disebut Cit Kong itu, hanya si pengemis aneh itu sengaja tukar namanya jurus itu, yang sebenarnya Kera Sakti Manjat Pohon. Melihat ia diserang, terpaksa ia membatalkan niatnya untuk membela diri, guna menukar jurus. Karena ia tahu, percuma ia melanjuti serangannya dengan tipu silat itu. Dasar ia lebih lihay, tidak sukar untuk ia menolong dirinya. Hanya ia jadi semakin heran. Ia tanya dirinya, “Kenapa orang itu ketahui aku bakal menyerang dengan jurusku itu?”
Oey Yong menyerang terus. Nio Cu Ong membela diri, habis mana, dia berlompat pula keluar kalangan. Ia berteriak ke arah pondokan: “Saudara yang baik, jikalau kau tetap tidak hendak memperlihatkan diri, jangan menyesal apabila aku tidak berlaku murah hati lagi!”
Di mulutnya Som Sian Lao Koay mengatakan demikian, tangannya berkerja. Ia maju menyerang Oey Yong, hebat serangannya itu, maka dalam beberapa jurus saja, si nona terdesak pula.
Cit Kong tidak bersuara pula, ia pun tidak muncul.
Kwee Ceng melihat kekasihnya terdesak dan kelabakan hingga ia mesti main berkelit saja, ia lantas maju untuk membantui. Segera ia menyerang denagn pukulannya Naga Menyesal itu!
Nio Cu Ong mengetahui hebatnya jurus itu, ia lompat mencelat.
“Hajar padanya, engko Ceng!” Oey Yong menganjurkan. “Serang terus-terusan hingga tiga kali beruntun!”
Habis menganjurkan, nona itu memutar tubuhnya, lari ke dalam pondokan. Kwee Ceng menuruti anjuran pacarnya, ia memasang kuda-kudanya. Ia mau menunggu io Cu Ong merangsak, hendak ia menyambutnya.
Som Sian Loa Koay menjadi gusar berbareng mendelu, pun ia merasa lucu juga. Dalam hatinya ia berkata: “Setahu darimana bocah ini dapat pelajari kurusnya ini…Toh ia cuma mempunyai satu jurus….” Walaupun begitu, ia tidak berani keras lawan keras, bahkan tidak berani ia datang mendekati.
Karena terpisah cukup jauh, Kwee Ceng tidak bisa menyerang. Dengan begitu, pertempuran jadi mandek, mereka berdiri berhadapan saja.
“Anak tolol, awas!” io Cu Ong berteriak kemudian, terus ia berlompat, untuk menyerang.
Kwee Ceng menanti, lantas ia menyambuti dengan serangannnya.
Tapi orang she Nio itu menggunai akal. Dia tidak menyerang terus. Belum lagi tubuhnya datang dekat, tangannya sudah terayun, lalu tiga batang jarum Touw-kut-ciam menyerang si anak muda di tiga jurusan, atas, tengah dan bawah!
Kwee Ceng melihat bahaya, terpaksa ia batalkan serangannya, ia terus berkelit.
Ketika ini digunai Nio Cu Ong berlompat maju, tangannya menyambar ke batang leher orang, menjambak leber baju.
Kwee Ceng terdesak, ia menyundul dengan kepalanya. Tapi Nio Cu Ong benar-benar lihay, si anak muda merasakan ia seperti membentur kapas. Nio Cu Ong puas sekali, hendak ia menghajar anak muda itu.
Kali ini Oey Yong muncul dengan tiba-tiba. “Siluman tua, lihat apa ini?!” dia berteriak.
Nio Cu Ong kenal orang licin, lebih dulu ia pencet jalan darah Kin-ceng-hiat dari Kwee Ceng, baru ia menoleh kepada si nona nakal. Dia lantas mendapatkan Oey Yong menghampirkan dengan tindakan perlahan-lahan, tangannya mencekal sebuah tongkat bambu warna hijau seperti kumala huicui. Untuk kagetnya, dia mengenali tongkat itu hingga ia berseru tertahan: “Ang…Ang Pangcu!”
Oey Yong tidak meladeni, hanya dia membentak: “Masih kau tidak hendak melepaskan tanganmu?!”
Jinak agaknya si jago ini, ia segera melepaskan cekalannya kepada Kwee Ceng. Sejak tadi ia sudah heran, kenapa Oey Yong ada yang mengajari cara bagaimana harus melawan dia dan niat penyerangannya dibeber. Ia mau menduga kepada Ang Cit Kong, ia ragu-ragu, sebab ia tahu, sudah belasan tahun Ang Cit Kong tidak pernah terlihat di dalam dunia kangouw. Sekarang ia lihat tongkat si kepala pengemis, kagetnya bukan main.
Oey Yong mendekati, ia terus memegangi tongkat dengan kedua tangannya. Ia berkata pula dengan membentak: “Cit Kong bilang bahwa ia sudah perdengarkan suaranya tetapi kau bernyali besar, kau tetap berani main gila disini! Maka Cit Kong tanya, kenapa kau berani berlaku kurang ajar begini?!”
Nio Cu Ong sudah lantas menekuk lututnya. “Dengan sesungguhnya aku yang rendah tidak mendapat tahu Pangcu ada disini,” katanya dengan hormat, “Kalau aku yang rendah mengetahui, tidak nanti aku berani berbuat salah terhadap Pangcu.”
Oey Yong heran. “Dia sangat lihya, kenapa dia takuti Cit Kong begini rupa? Kenapa dia pun memanggil Ang Pangcu?” Tapi, pada parasnya, ia tetap berlaku keren. “Taukah kau apa dosamu?”
“Nona tolong sampaikan kepada Pangcu, bahwa Nio Cu Ong sudah menginsyafi kesalahannya dan minta Ang Pangcu sukalah mengasih ampun,” berkata Som Sian Lao Koay.
“Ingat olehmu!” berkata si nona, “Mulai hari ini sampai seterusnya, untuk selamanya tidak boleh kau mengganggu kami berdua!”
“Aku yang rendah tadinya tidak tahu apa-apa,” menyahut Nio Cu Ong. “Aku tidak mengandung maksud sengaja, maka itu aku minta sukalah jiwi memaafkannya.”
Dengan “jiwi” – “tuan berdua” dimaksudkan Kwee Ceng dan si nona.
Oey Yong menjadi sangat puas, ia tersenyum, lantas ia tarik tangannya Kwee Ceng, buat diajak ngeloyor pergi, masuk ke dalam rumah penginapan. Di dalam pondok itu Ang Cit Kong tengah berduduk menghadapi empat mangkok besar terisi barang hidangan, tangan kirinya mengangkat cawan arak, tangan kanannya mencekal sumpit, mulutnya menggayem dan mencegluk air kata-kata.
“Cit Kong!” kata si nona tertawa. “Dia berlutut, sama sekali dia tidak berani berkutik!” Ia pun sampaikan permohonannya Nio Cu Ong.
Cit Kong menoleh kepada Kwee Ceng, “Pergi kau hampirkan dia, kau hajar serintasan, tidak nanti dia berani melawan!” katanya.
Kwee Ceng melongok di jendela. Ia lihat Nio Cu Ong terus berlutut di antara panasnya matahari, dua muridnya pun berlutut di belakangnya, roman mereka itu runtuh sekali. Ia menjadi tidak tega. “Cit Kong, kasihlah dia ampun,” katanya.
“Hai, makhluk tidak tahu diri!” membentak si pengemis. “Orang hajar padamu, kau tidak mampu melawan, aku si tua bangka menolongi padamu, sekarang kau memintakan ampun untuknya! Apakah artinya ini?!”
Ditegur begitu, Kwee Ceng berdiri diam. Ia tidak sangka si pengemis, yang biasanya jenaka dan manis budi, sekarang menjadi galak begini.
Oey Yong tertawa, dia datang sama tengah. “Cit Kong, nanti aku yang hajar dia!” katanya.
Dan lantas ia bertindak keluar dengan masih membawa tongkat istimewa itu. Ia hampirkan Nio Cu Ong, yang berlutut tanpa bergeming, wajahnya wajah ketakutan. Oey Yong lantas menegur: “Cit Kong bilang kau jahat, hari ini sebenarnya kau mesti disembelih, tetapi syukur ada aku punya engko Ceng yang hatinya murah, dia telah memintakan ampun untumu, ia memohon lama juga barulah Cit Kong meluluskannya.”
Kata-kata itu ditutup dengan diangkatnya tongkat, dihajarkan ke kempolan orang.
“Nah, kaupergilah!” akhirnya si nona mengusir.
Nio Cu Ong tidak segera mengangkat kaki, ia hanya memandang ke arah jendela. “Ang Pangcu, aku ingin bertemu padamu, untuk menghanturkan terima kasih yang kau telah tidak membunuh aku,” katanya.
Dari dalam pondokan tidak ada terdengar suara apa-apa.
Nio Cu Ong terus bertekuk lutut.
Sampai sekian lama, barulah Kwee Ceng muncul. Ia menggoyang-goyang tangan, ia berkata dengan perlahan: “Cit Kong lagi tidur, kau jangan bikin berisik disini!”
Baru sekarang Nio Cu Ong berbangkit, ia mendelik kepada itu muda-mudi, lalu ia ngeloyor pergi dengan mengajak ketiga muridnya.
Oey Yong dan Kwee Ceng membiarkan orang melotot mata, bersama-sama mereka balik ke dalam pondokan. Benar-benar Cit Kong terlihat lagi menggeros dengan kepalanya diletaki di atas meja. Si nona pegang pundak orang, ia menggoyang-goyang.
“Cit Kong, Cit Kong,” katanya. “Tongkat bambu mustikamu ini sangat besar pengaruhnya, jikalau kau tidak pakai, kau berikan saja padaku! Bolehkah!”
Cit Kong mengangkat kepalanya, ia menguap, ia pun mengulet. “Enak saja kau membuka suaramu!” katanya tertawa. “Bendaku ini adalah alat peranti mencari makan dari kakekmu. Seorang pengemis tanpa tongkat pemukul anjing mana bisa jadi pengemis?”
Oey Yong bermanja. “Ilmu silatmu sudah sangat lihay, orang jeri padamu, habis untuk apa kau menghendaki tongkat ini?” dia mendesak.
“Hai, budak tolol!” tertawa si pengemis. “Sekarang lekas kau masaki aku beberapa rupa barang hidangan yang lezat, sebentar aku menutur perlahan-lahan padamu.”
Oey Yong menurut, ia lantas pergi ke dapur. Ia menyiapkan tiga rupa masakan. Apabila sudah selesai, ia bawa itu keluar.
Cit Kong memegang cawan araknya dengan tangan kanan, tangan kirinya memegang sepotong ham, yang ia gerogoti. Ia mengunyah perlahan-lahan. “Makhluk di dalam dunia ini tidak ada yang tidak berkumpul dengan seterunya,” ia berkata kemudian. “Hartawan yang kemaruk uang satu rombongan, orang Rimba Hijau tukang membegal atau merampok satu rombongan juga. Demikian kami si tukang minta-minta, kami pun berkumpul dalam satu golongan….”
“Aku tahu sudah, aku tahu sudah!” Oey Yong memotong seraya ia menepuk-nepuk tangan. “Tadi Nio Cu Ong memanggil kau Pangcu, kau jadinya adalah pemimpin dari tukang minta-minta!”
Cerdik nona ini, ia lantas dapat menerka.
“Benar!” Cit Kong mengaku. “Kami bangsa pengemis biasa orang hinakan, bisa digigit anjing, apabila kami tidak bersatu, mana dapat kami hidup? Maka juga ini sebatang tongkat serta ini sebuah cupu-cupu, semenjak jaman Cian Tong Ngo tay sampai hari ini, sudah beberapa ratus tahun, selamanya dipegang oleh orang yang menjadi Pangcu, ialah pemimpin kepala, jadi inilah mirip dengan capnya seorang kaisar atau capnya satu pembesar negeri.”
Mendengar itu, Oey Yong meleletkan lidahnya. “Syukur kau tidak mengasihkan padaku!” katanya.
“Kenapa?” Cit Kong tertawa.
“Jikalau semua pengemis di kolong langit ini pada mencari aku, untuk aku mengurus mereka, apakah itu tidak cade?” sahutnya.
Cit Kong tertawa pula. Ia gerogoti pula sepotong ceker. Ia berkata pula: “Rakyat negeri di Utara diurus oleh negeri Kim, rakyat negeri di Selatan diurus oleh kerajaan Song, tetapi pengemis di kolong langit ini..?” “Tidak peduli mereka yang dari Selatan atau Utara, semua mereka diurus oleh kau , lojinkee!” Oey Yong mendahului.
Ang Cit Kong tertawa terbahak, ia mengangguk.
“Pantaslah itu siluman bangkotan she Nio sangat jeri padamu!” si nona menyambungi. “Kalau semua pengemis di kolong langit ini mencari dia, untuk mengganggu, nah, bukan main sulitnya dia! Umpama satu pengemis menangkap seekor tuma itu ditaruh di lehernya, tidakkah ia bakal mampus kegatalan?”
Kwee Ceng tertawa.
Ang Cit Kong tidak gusar, ia malah turut tertawa.
“Tetapi,” menjelaskan si raja pengemis kemudian, “Dia takuti aku bukannya karena itu…”
“Habis karena apa?” tanya Oey Yong.
“Itulah kejadian pada kira-kira duapuluh tahun yang lampau. Itu hari aku bertemu dengannya di Kwan-gwa, kebetulan ia tengah melakukan satu pekerjaan buruk dan aku pergoki dia…”
“Pekerjaan buruk apakah itu?” tanya si nona.
Cit Kong agaknya bersangsi tetapi ia menerangkan juga: “Siluman tua itu percaya kepada omongan sesat tentang memetik bunga untuk menambah tenaga atau panjang umur, dia lantas cari banyak nona-nona untuk dirusaki kesucian dirinya…”
“Apakah itu yang dinamakan merusak kesucian nona-nona?” tanya si nona kembali.
Oey Yong polos, ia belum mengetahui tentang hal kesucian yang dirusak itu. Ketika ia dilahirkan, ibunya lantas menutup mata disebabkan sukar melahirkan, dari itu semenjak bayi ia dirawat oleh ayahnya, kemudian terjadi Oey Yok Su murka besar disebabkan Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong, kedua muridnya itu, yang memainkan lelakon asmara dan minggat, saking kalapnya, dia putuskan urat-urat semua muridnya yang lainnya, yang ia pun usir pergi dari pulau Tho Hoa To, maka di pulau itu ketinggalan saja beberapa bujang tua, hingga si nona belum pernah dengar soal-soalnya pemuda dan pemudi dewasa. begitulah sampai usianya limabelas tahun, ia tetap gelap mengenai hal itu. Kalau toh ia suka sama Kwee Ceng, itulah karena perasaannya yang wajar, perasaan yang ia rasakan manis, apabila mereka berpisahan, segera ia merasa sunyi seorang diri. Tapi ia tahu, kalau orang menjadi suami-istri, orang tidak bakal berpisahan pula seumur hidupnya, maka itu ia anggap Kwee Ceng sudah menjadi sebagai suaminya; lain daripada itu, ia gelap.
Untuk sejenak itu, Cit Kong pun dipersulit pertanyaan si nona, hingga ia tidak lantas memberikan jawabannya.
“Setelah satu nona dirusak kesuciannya, apakah dia lantas dibunuh?” Oey Yong tanya pula.
“Bukannya begitu,” Cit Kong tertawa. “Wanita yang diperhina secara demikian, hebatnya melebihkan daripada dibunuh. Maka juga ada pembilangan, ‘Hilang kesucian urusan besar, mata kelaparan urusan kecil’”
“Habis, apakah dia dihajar kempolannya?” si nona tanya pula.
“Cis!” berludah Cit Kong tetapi dia tertawa. “Bukannya begitu, budak! Baiklah kau pulang untuk menanyakan keterangan ibumu!”
“Ibu sudah lama tutup mata.” sahut si nona.
“Oh….” si pengemis melengak. “Nanti saja, kapan tibanya kamu berdua merayakan pernikahanmu, kau bakal mengerti sendiri.”
Mukanya si nona menjadi merah, ia memonyongi mulutnya. “Sudahlah jikalau kau tidak sudi menerangkan!” katanya. Samar-samar ia mulai mengerti duduknya hal. Ia menanya pula: “Habis bagaimana sesudah kau pergoki si siluman bangkotan itu berbuat buruk?”
Lega si pengemis mendengar orang bicara dari lain soal.
“Pasti sekali aku urus dia!” ia menyahuti, “Orang she Nio itu telah kena aku bekuk, aku hajar dia, aku paksa ia mengantari pulang semua nona-nona itu kerumahnya masing-masing. Lain dari itu aku paksa ia mengankat sumpah bahwa dilain waktu dia tidak lagi berbuat sejahat itu, dan aku ancam, apabila aku mempergokinya pula, ia bakal mati tidak, hidup pun tidak!”
“Oh, kiranya demikian!”
Kemudian, habis bersantap, Oey Yong berkata, “Cit Kong, kalau sekarang kau kasihkan tongkatmu kepadaku, aku juga tidak sudi menerimanya, hanya masih ada satu saol. Bukankah kita tidak bakal berdiam bersama-sama untuk selama-lamanya? Bagaimana kalau dilain waktu kami berdua bertemu pula sama siluman she Nio itu dan dia membilangnya padaku, ‘He, budak yang baik, dulu hari kau mengandalkan Ang Pangcu, kau menghanjar aku dengan tongkatnya, sekarang aku hendak membalas sakit hati!’ Kalau sampai terjadi begitu, bagaimana kami harus berbuat?”
Ang Cit Kong tertawa. “Ha! Kau sebenarnya menghendaki aku mengajari pula lain ilmu silat kepada kau berdua! Kau kira aku tidak tahu? sekarang pergilah kau masak syaur lagi, bikinlah banyakan, kau boleh percaya Cit Kong tidak nanti membikin kau kecele!”
Oey Yong menjadi sangat girang, ia sambar tangannya si pengemis, untuk dibawa ke rimba tadi.
Ang Cit Kong mengajarkan pula jurus yang baru kepada Kwee ceng, yaitu jurus kedua dari Hang Liong Sip-pat Ciang, namanya “Hoei Liong Thay Thian” atau “Naga Terbang ke Langit”. Jurus ini mewajibkan Kwee Ceng lompat tinggi sekali, lalu dari atas ia menyerang turun, hingga tenaganya menjadi luar biasa besar. Untuk ini, Kwee Ceng memerlukan tempo tiga hari, baru ia dapat melatih dengan baik. Selama tiga hari itu, Oey Yong sendiri sudah mendapatkan pelajaran lain, ialah untuk dengan tempuling ngo-bje-cie memecahkan sebatang golok. Semenatar itu Ang Cit Kong sendiri telah menikmati belasan macam makanan lezat dari si nona.
Demikianlah hari-hari lewat. Tidak sampai satu bulan, Cit Kong sudah wariskan limabelas jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, dari “Naga Menyesal” sampai pada “Liong Thian Ie Ya” atau “Naga bertempur di tanah datar”.
Ilmu silat Cit Kong ciptakan sendiri setelah ia memehami kitab “Ya Keng”, jurusnya terbatas sekali tetapi kegunaannya besar, sebab setiap jurusnya hebat. Hanya ketika dulu di puncak Hoa San ia mengadu silat sama Oey Yok Su beramai, ilmu ini belum ia pelajarkan habis, meski begitu, Ong Tiong Yang toh memuji ilmunya itu. Cit Kong menyesal yang ia belum sempat menyelesaikan itu, kalau tidak, mungkin ialah yang menjadi pemenang nomor satu. Mulanya dia hendak mengajari Kwee Ceng dua tiga jurus saja, untuk si anak muda pakai menjaga diri, tetapi masakan Oey Yong hebat sekali, setiap hari ditukar denagn hari lewat hari, kejadian ia mewariskan limabelas jurus itu. Maka dalam tempo satu bulan itu, Kwee Ceng telah seperti salin rupa. Oey Yong sendiri telah memperoleh beberapa jurus yang luar biasa, yang campur aduk!
Pada suatu pagi sehabis sarapan, Cit Kong berkata kepada kedua bocah itu; “Eh, anak-anak, kita sudah berkumpul sebulan lamanya, sudah tiba waktunya kita berpisahan.”
“Oh, tidak!” Oey Yong mencegah. “Aku masih mempunyai beberapa macam masakan yang hendak aku bikin untuk aku suguhkan kepada kau, lojinkee!”
“Ingat, anak, di kolong langit ini tidak ada pesta yang tidak bubar. Kau tahu biasanya aku si tua bangka belum pernah mengajari orang lebih daripada tiga hari, tetapi terhadap kamu, aku telah memakai tempo satu bulan, kalau mesti tambah hari lagi, oh itulah hebat sekali!” kata si pengemis.
“Kenapa begitu, Cit Kong?” tanya si nona heran.
“Dengan begitu, habislah semua kepandaianku diturunkan kepada kamu!” sahut si raja pengemis.
Oey Yong tersenyum tetapi ia kata: “Cit Kong, orang baik mesti sekali berbuat baik seterusnya berbuat baik hingga diakhirnya. Jikalau kau ajarkan semua delapanbelas jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang kepadanya, bukankah itu baik sekali?”
“Fui!” si pengemis berseru. “Ya, buat kamu baik, tetapi aku si pengemis tidak!”
Oey Yong menjadi bingung. Ia lantas memikirkan daya apa untuk menahan orang tua itu, akan tetpai belum ia dapat pikiran, Cit Kong telah menggendol cupu-cupunya dan mengangkat tongkatnya ngeloyor pergi, jalannya sambil menyeret sepatunya…..
Kwee Ceng menjadi bingung juga, ia lari menyusul. Hebta Cit Kong sebentar saja ia telah lenyap di dalam rimba.
“Cit Kong! Cit Kong!” Kwee Ceng menyusul dan berteriak-teriak. Tidak ada jawaban.
Oey Yong juga menyusul, ia pun memanggil-manggil. Tapi ia pun tidak peroleh penyahutan.
Tapi belum lama, terlihatlah suatu bayangan dan Cit Kong muncul dengan tiba-tiba.
“Ha, kamu berdua budak busuk, mau apa kamu melibat aku?” ia menanya, agaknya ia mendongkol. “Apakah kau masih minta aku mengajari silat? Oh, itulah sukar di atas sukar!”
“Lojinkee sudah mengajarkan banyak, teecu telah puas,” berkata Kwee Ceng, yang menyebut dirinya teecu atau murid. “Tidak nanti teecu berlaku temaha, cuma teecu belum dapat membalas budimu yang besar sekali.” Ia lantas jatuhkan dirinya, berlutut, untuk paykui kepada itu guru sembatan.
“Ha, tahan!” mendadak si pengemis berseru. “Aku mengajarkan kau silat sebab aku gegaras sayur masakan dia itu, untuk itu, pengajaranku itulah bayaranku! Di antara kita tidak ada soal guru dengan murid!” Mendadak ia pun berlutut, membalas hormatnya si anak muda.
Kwee Ceng kaget sekali, hendak ia paykui pula, untuk membalas, tetapi ia tidak dapat berbuat begitu, tiba-tiba saja si pengemis mengulurkan tangannya dan ia kena ditotok jalan darah dirusuknya hingga ia berdiri dengann kedua kaki ditekuk, tak dapat ia menggeraki tubuhnya!
Cit Kong mengangguk sampai empat kali, guna membalas penghormatan orang, baru ia menotok pula membebaskan jalan darah orang. Ia kata: “Ingat, sekarang jangan kau mengatakannya sudah memberi hormat padaku, bahwa kaulah muridku!”
Kwee Ceng berdiam, tidak berani ia membuka mulut lagi. Sekarang ia menginsyafi benar-benar tabiat kukoay bin aneh dari si raja pengemis yang berjeriji sembilan itu.
Cit Kong lantas memutar tubuhnya, untuk mengangkat kaki, atau mendadak ia bersuara “Ih!” lantas ia membungkuk, tangannya diulurkan ke tanah, di antara rumput, dua jarinya menjepit seekor ular hijau panjangnya dua kaki.
“Ular!” Oey Yong menjerit kapan si pengemis angkat tangannya. Cuma sebegitu ia berseru, atau pundaknya telah ditolak Ang Cit Kong hingga ia terpental jauhnya setombak lebih!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar