Selasa, 30 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 45



BAB 45
Ciu Pek Thong

 “Jikalau demikian, marilah kita berjual beli,” berkata si nona. “Ularmu yang jahat telah melukai guruku, sampai sekarang guruku masih belum sembuh. Kau keluarkan obatmu pemunah bisa ular.”
Auwyang Hong segera merogoh ke dalam sakunya, mengeluarkan dua peles kecil. Ia mengangsurkan kepada si nona.
“Kau lihat sendiri, nona,” katanya. “Peles ini telah kemasukan air, obatnya lumer dan habis…”
Oey Yong periksa kedua peles ini, yang berisikan air. Ia menggoyang-goyangnya, ia membauinya juga.
“Sekarang kau beritahukan saja resepnya,” kata ia kemudian. “Mari kita mendarat untuk membeli bahan-bahan obatnya.”
“Jikalau aku hendak menipu barang makanan, dapat aku menulis resep ngacobelo,” Auwyang Hong memberi keterangan. “Kau toh tidak ketahui resep itu tulen atau palsu? Apakah kau sangka aku ada demikian hina? Baiklah aku omong terus terang padamu. Ularku ada ular paling luar biasa di kolong langit ini, bisanya bukan main hebatnya, siapa terpagut satu kali saja, biar orang sangat gagah dan kuat, selewatnya delapanpuluh delapan hari, kendati dia tidak mati, dia mestinya bercacad, dan menjadi piansiewie, bercacad seumur hidupnya. Pula tidak ada halangannya untuk memberikan resep pada kamu, tetapi kau mesti mengerti juga, bahan-bahannya sangat sukar dicari, bahkan itu memerluka musim dingin dan musim panas selama tiga tahun berturut-turut, setelah itu barulah dapat dibikin obatnya. Aku telah bicara, andaikata kau menghendaki aku mengganti jiwanya kakak Cit ini, terserah kepada kamu…!”
Oey Yong dan Kwee Ceng mau percaya keterangan orang itu, pun mereka mengagumi ketulusan orang, yang tidak takut mati.
“Yong-jie, dia tidak berdusta,” Cit Kong juga bilang. “Hidup manusia itu telah ditakdirkan, maka itu aku si pengemis tua tidak takut suatu apa. Kau bagilah mereka makanan.”
Oey Yong menjadi sangat berduka, ia mau percaya gurunya tidak bakalan sembuh. Meski begitu, dengan terpaksa ia memberikan sepaha daging kambing kepada itu paman dan keponakannya.
Auwyang Hong membeset beberapa potong untuk keponakannya, baru ia membeset untuknya sendiri. Selagi ia menggayem, Oey Yong berkata padanya: “Paman Auwyang, kau telah lukai guruku, maka diwaktu pertemuan yang kedua kali di gunung Hoa San, kau pasti bakal menjagoi! Maka sekarang aku beri selanat lebih dulu padamu!”
“Itu belum tentu, nona,” berkata See Tok. “Di kolong langit ini masih ada serupa benda yang dapat menyembuhkan sakitnya kakak Cit ini…”
Oey Yong dan Kwee Ceng berjingkrak mendengar perkataan orang ini, sampai getek mereka miring sebelah.
“Benarkah itu?” keduanya menanya, berbareng.
Auwyang Hong menggerogoti paha kambingnya. Ia mengangguk.
“Cuma benda ini sangat sukar didapatkannya,” ia menyahut. “Gurumu pastilah mengetahui benda apa itu.”
Kedua murid itu segera menoleh, mengawasi guru mereka.
Cit Kong tertawa.
“Memang aku tahu, tapi apa gunanya menyebutkannya itu?” katanya.
Oey Yong menarik ujung baju gurunya itu.
“Suhu, bilanglah,” ia memohon. “Biar bagaimana kita akan mencarinya sampai dapat! Aku nanti minta bantuannya ayahku, pasti dia suka membantu kita mencarinya!”
“Hm!” Auwyang Hong bersuara hidung.
“Kenapa hm?!” Oey Yong menegur. Ia mendongkol.
“Dia menertawakan kau yang menganggap ayahmu itu bisa segala apa,” kata Cit Kong. “Kau tahu, benda itu ada di tubuh manusia, sekalipun ayahmu, ia tak dapat mengambilnya.”
Si nona heran tak terkira.
“Orang?” katanya. “Siapakah dia?”
“Jangan kata orang itu lihay ilmu silatnya,” Cit Kong menjelaskan pula, “Meski dia tidak mempunyai tenaga untuk hanya menyembelih ayam, untuk kepentingan diriku tidak nanti aku mencelakai lain orang…”
“Suhu!” berkata si nona, yang bertambah heran. “Ilmu silat yang lihay? Oh, aku mengerti sekarang! Bukankah dia Lam Tee Toan Hong Ya? Suhu bilanglah, barang apakah itu? Kenapa itu dapat merugikan lain orang?”
“Sudahlag, kau tidur saja,” Cit Kong bilang, singkat. “Tak usah kau menanyakan lagi, aku larang kau menanyakan lagi. Kau mengerti tidak?”
Oey Yong menurut. Ia pergi rebahkan diri. Karena ia khawatir Auwyang Hong nanti mencuri barang makanannya, ia ambil tempat di antara tahang air dan perbekalannya.
Besoknya pagi, setelah mendusin dan melihat Auwyang Hong serta keponakannya, nona Oey terkejut. Muka mereka kuning dan bengkak, tubuh mereka juga bagaikan melar. Teranglah itu akibat beberapa hari lamanya mereka merendam di air, tanpa dahar dan minum.
Perahu dilayarkan sambil dibantu sama pengayuh, kira-kira jam tiga atau empat lohor, di kejauhan tertampak garis-garis hitam samar-samar, beroman seperti daratan. Kwee Ceng girang hingga ia berseru.
Sesudah berjalan lagi sekira waktu semakanan nasi, sekarang terlihat tegas garis-garis hitam itu, yang benar daratan adanya.
Ketika itu angin sirap, gelombang tenang, hanya sang surya tengah memperlihatkan pengaruhnya yang dahsyat, sinarnya menyorot panas sekali.
Selagi orang mengawasi ke darat, mendadak Auwyang Hong berlompat bangun dibarengi gerakan kedua tangannya, dengan masing-masing sebelah tangannya, ia mencekuk Kwee Ceng dan Oey Yong, sedang dengan gerakan kakinya ia menotok Ang Cit Kong.
Muda mudi ini kaget sekali. Sungguh mereka tidak menyangka. Lantas mereka merasakan terpencet keras sampai tubuh mereka seperti mati separuh.
“Kau bikin apa?!” keduanya berseru.
See Tok menyeringai, ia tidak menjawab.
Ang Cit Kong ditotok, hingga ia tak sanggup bergerak, tetapi mulutnya merdeka.
“Oh, tua bangka beracun!” katanya menghela napas. “Seumurnya, tidak pernah dia sudi menerima budi orang. Kita telah berlaku baik hati menolongi dia, beginilah pembalasannya. Mana dia sudi hidup bersama kita di dalam dunia ini? Ah, dasar aku, dalam malam gelap buta rata aku menolongi orang, hingga sekarang aku mencelakai kedua anak ini…”
“Kau sudah tahu, itulah bagus!” berkata Auwyang Hong. “Laginya Kiu Im Cin-keng telah berada di tanganku, mana aku dapat membiarkan bocah itu hidup lebih lama sebab cuma-cuma dia bakal membahayakan diriku…!”
Mendengar orang menyebut Kiu Im Cin-keng, mendadak Ang Cit Kong berkata dengan nyaring: “Nouwjie-cit-liok, hapkwajie, lenghiat-kiatpian, pengtojin…”
Auwyang Hong melengak. Itulah kata-kata dalam Kiu Im Cin-keng sebagaimana ditulis Kwee Ceng. Ia tidak dapat artikan maksudnya itu, sekarang Pak Kay dapat menghapalnya. “Mungkinkah dia mengerti artinya itu?” pikirnya. “Kata-kata itu bisa jadi ada rahasianya Kiu Im Cin-keng, maka kalau sekarang aku binasakan mereka ini bertiga, pastilah di dalam dunia tidak ada orang lain lagi yang mengerti…. Kalau itu benar, percuma saja aku mendapatkan kitabnya.”
“Apakah artinya itu?” ia lantas tanya Pak Kay.
“Kunhoa-catcat, soatkin-hiepattow, biejiebiejie…” lanjut Pak Kay lagi.
Auwyang Hong berpikir keras. Ia mau percaya kata-kata si Pengemis dari Utara itu mesti ada punya arti dalam.
Selagi orang diam menjublak, mendadak Ang Cit Kong berseru: “Ceng-jie, turun tangan!”
Hebat Kwee Ceng, begitu mendengar suara gurunya itu, tangan kirinya menarik, tangan kanannya menyerang, dibarengi sama tendangan kaki kirinya!
Sebenarnya, dengan dipegangi Auwyang Hong, Kwee Ceng dan Oey Yong sudah habis daya, siapa tahu Ang Cit Kong cerdik, ia mengoceh untuk mengganggu pikiran orang. Dan ia berhasil.
Kwee Ceng menendang dengan jurus kedua dari Ie Kin Toan-kut-pian. Ia menendang secara biasa, begitu pun tarikan tangannya untuk membebaskan diri serta serangannya yang membarengi itu.
Auwyang Hong terperanjat. Di getek yang kecil itu, ia tidak dapat bergerak dengan leluasa. Maka itu sambil terus memegangi si nona ia menangkis dan berkelit.
Kwee Ceng tidak berhenti menyerang setelah serangannya yang pertama itu, ia lantas menyerang terus dengan bertubi-tubi. Ia mengerti baik sekali, jikalau Auwyang Hong diberi bernapas, hingga ia sempat menggunai ilmu silatnya yang istimewa, yaitu Kuntauw Kodok, mereka bertiga sukar dapat pertolongan lagi.
Benar-benar See Tok kena terdesak mundur.
Oey Yong juga tidak berdiam saja, walaupun tangannya sebelah tidak merdeka, ia menggeraki tubuhnya akan membentur si Bisa dari Barat itu.
Tubuh See Tok tidak bergeming, bahkan dalam hatinya ia tertawa dan berkata: “Budak cilik ini membentur aku, kalau dia tidak mental ke laut, itulah hebat!”
Sementara itu benturan si nosa sudah mengenai sasarannya. Benar-benar Auwyang Hong tidak berkelit atau menangkis, ia pasang dadanya. Mendadak ia merasakan dadanya sakit. Baru sekarang ia kegt dan ingat orang memakai baju lapis berduri - joan-wie-kah dari Tho Hoa To. Ia berada di tepi getek, setengah tindak ia tidak dapat mundur. Tidak ada jalan lain, maka ia melepaskan cekalannya, ia berkelit, mendorong.
Tidak tempo lagi, tubuh si nona terpelanting ke arah laut, akan tetapi sebelum ia kecebur, Kwee Ceng keburu menyambar, menarik tangannya, sedang dengan tangan kirinya, si anak muda melanjuti serangannya terus-menerus.
Segera setelah itu Oey Yong menghunus pisau belatinya, untuk maju menyerang.
Auwyang Hong memasang kuda-kuda di pinggir getek, air laut muncrat membasahkan kakinya, bagaimana juga muda-mudi ini mendesak padanya, ia tidak bisa dipaksa mundur.
Ang Cit Kong dan Auwyang Kongcu tidak dapat bergerak, menyaksikan pertempuran itu, hati mereka sama-sama bergoncang keras sebab mengkhawatirkan keselamatan orang di pihaknya. Mereka pun menyesal yang mereka tidak dapat memberikan bantuan mereka.
Auwyang Hong lihay melebihkan Kwee Ceng dan Oey Yong akan tetapi sekarang ia terhalang di dalam tiga hal. Pertama-tama, ia sudah kerendam lama, tenaga dan kegesitannya hilang hampir separuh. Kedua meskipun Oey Yong lemah, dia tapinya memakai baju lapis maka tubuhnya tak dapat diserang. Si nona juga memegang pisau yang sangat tajam. Ketiga Kwee Ceng menyerang dengan Hang Liong Sip-pat Ciang, dengan Kong-beng-kun juga, sedang ia bertubuh kuat berkat sudah minum darah ular. Dia pun mengerti ilmu berkelahi sendiri dengan kedua tangannya kiri dan kanan, ia cukup mahir dengan ilmu Coan Cin Pay. Dan yang paling belakang ini, ia mulai menyakinkan Kiu Im Cin-keng bagian Ie-kin Toan-kut-pian itu, ilmu melatih urat dan tulang.
Demikan mereka itu jadi bertarung seru.
Lama-lama terlihat nyata Auwyang Hong menjadi semakin lihay, sebaliknya Kwee Ceng dan Oey Yong nampak mulai reda rangsakannya. Ang Cit Kong menyaksikan itu, hatinya keder.
Dalam perlawanannya itu, Auwyang Hong memperoleh ketikanya. Dimana ia tidak dapat menghajar tubuh si nona, ia menggant itu dengan tendangan. Lantas si nona terjungkal, kecebur ke laut. Dengan begitu, seorang diri, Kwee Ceng jadi berada di dalam bahaya.
Si nona kecebur di sebelah kiri getek, ia lantas muncul pula si sebelah kanan, di sini ia berlompat naik untuk terus menikam punggungnnya si Bisa dari Barat itu.
Karena diserang dari belakang, Auwyang Hong mesti memutar tubuhnya, karena itu Kwee Ceng di lain bagian, keadaan mereka kembali menjadi seimbang.
Sekarang si nona berkelahi sambil mengasah otaknya. Ia menginsyafinya, karena kalah gagah, dengan berkelahi terus secara begitu, akhirnya pihaknya yang bakal kalah. Maka ia pikir, baiklah ia nyebur ke laut.
Cepat si nona berpikir, sebat ia bekerja. Mendadak ia membabat ke arah dadung layar. Tepat babakannya itu, layar roboh seketika juga. Dengan begitu, getek pun tak maju tak mundur, hanya memain mengikuti gelombang. Si nona sudah lantas mundur, dengan dadunya layar itu ia melibat tubuh Ang Cit Kong beberapa libatan, kemudian ia mengikat lain ujungnya di sepotong balok getek.
Karena ditinggali si nona, Kwee Ceng segera terdesak See Tok. Di jurus ke empat dari musuhnya, terpaksa ia mundur. Ia didesak dengan serangan yang kelima dan keenam. Saking terpaksa, si pemuda menangkis juga serangan yang ketujuh, ia memakai jurus “Ikan lompat meletik”. Di jurus ke delapan ia terpaksa mundur lagi setindak. Tiba-tiba kakinya itu, kaki kiri, menginjak tempat kosong. Tapi ia tidak bingung, berbareng ia menendang dengan kaki kanan, supaya musuh tak dapat mendesak. Karena ini, tampak ampun, ia pun kecebur ke laut!
Karena robohnya si pemuda, getek goncang keras , justru itu, Oey Yong pun turut berlompat, maka lagi sekali terjadi goncangan. Di dalam air, muda-mudi ini tidak berdiam saja. Mereka mendekati getek yang mereka angkat, untuk dibikin terbalik karam.
Auwyang Hong terkejut. Ia dapat membade maksudnya anak-anak muda itu. Ia mengerti, kalau getek terbalik, keponakannya mesti mati kelelap. Ia sendiri, ia pun sulit melawan dua musuh itu. Maka segera ia bertindak. Ia angkat sebelah kakinya, mengancam hendak menendang batok kepala Ang Cit Kong. Ia pun berseru dengan ancamannya: “Bocah-bocah, dengar! Lagi satu kali kamu bergerak, akan aku menendang!”
Gagal akalnya yang pertama itu, Oey Yong tidak putus asa. Segera ia menjalankan akalnya yang kedua, yang ia sudah lantas dapat pikir. Ia menyelam, dengan pisaunya ia memotong dadung yang mengikat semua balok getek itu. Ia tahu, mereka sudah mendekati daratan, maka dapatlah ia berenang ke daratan sambil menyeret balok besar dimana gurunya terikat.
Lekas sekali terdengar suara dadung-daung putus, setelah mana, getek lantas berpisah menjadi dua bagian. Auwyang Kongcu di getek kira, Auwyang Hong dan Ang Cit Kong di getek kanan. Auwyang Hong kaget, ia sambar keponakannya itu. Ia terus mendongko, bersiap menyambar mencekuk si nona apabila nona itu muncul di muka air.
Nona Oey di dalam air dapat membuka matanya. Ia mendapat lihat bayangan si Bisa dari Barat itu. Maka ia tidak mau menimbulkan diri. Ia berdiam terus di dalam air, pikirannya bekerja.
Untuk sementara, suasana sunyi. Pertempuran berhenti sendirinya. Dengan sinarnya matahari, laut menjadi terang sekali.
“Kalau getek itu dipecag dua lagi, gelombang bakal mendamparnya terbalik,” si nona berpikir.
Auwyang Hong sebaliknya terus menjaga, untuk menghajar mampus si nona. Ia percaya, Kwee Ceng seorang tak usah dibuat khawatir.
Disaat tegang itu, mendadak Auwyang Kongcu menunjuk ke kiri dan berseru-seru: “Perahu! Perahu!”
Ang Cit Kong segera berpaling, begitu pun Kwee Ceng. Benarlah, mereka melihat sebuah perahu besar berkepala naga-nagaan yang layarnya dipasang, laju memecah gelombang.
Auwyang Konngcu bermata awas, ia lantas melihat seorang yang berdiri di kepala perahu, yang tubuhnya tertutup jubah suci warna merah. Ia pun segera mengenali Leng Tie Siangjin. Segera ia memberitahukan pamannya.
Auwyang Hong kumpul semangatnya, terus ia berseru: “Di sini kawan! Lekas datang ke mari!”
Oey Yong dai dalam air belum tahu apa-apa, tetapi Kwee Ceng berkhawatir bukan main. Maka ia selulup untuk menarik tangan kekasihnya, buat memberi tanda atas datangnya musuh baru.
Oey Yong memberi tanda untuk pemudanya bersedia menangkis pukulan Auwyang Hong, ia sendiri hendak mencoba mengutungi lagi dadung getek.
Kwee Ceng tahu musuh sanat lihay dan ia terancam bahaya, tetapi keadaan sangat genting, ia terpaksa. Ia lantas menggeraki kedua kakinya untuk timbul, kedua tanganya diangkat ke atas.
Benar-benar Auwyang Hong sudah lantas menyerang dengan kedua tanganyna.
Kedua pihak tangan bentrok di muka air, hingga air muncrat dengan suaranya bergebyar. Berbareng dengan itu, dadung pun putus, sedang perahu besar sudah mendatangi tinggal lagi sepuluh tombak dari getek itu.
Oey Yong beniat muncul, untuk menyerang Auwyang Hong, ketika ia mendapat lihat tubuh Kwee Ceng diam saja, tubuh itu tenggelam turun dengan perlahan. Ia menjadi kaget, ia lantas berenang menghampirkan. Ia menarik tangan orang, untuk diajak berenang hingga terpisah jauh dari getek. Di situ barulah ia muncul di muka air, si anak muda ia angkat. Nyata sekarang, pemuda itu pingsan, kedua matanya meram, mukanya pucat pasi.
Ketika itu perahu besar sudah nempel sama getek, orang di atas lantas menyambuti Auwyang Hong dan keponakannya naik ke perahu. Begitu juga Ang Cit Kong, yang diangkat naik bersama.
“Engko Ceng!” Oey Yong memanggil, hatinya goncang.
Kwee Ceng diam saja, walaupun kemudian ia dipanggil dua kali.
Dalam bingungnya, Oey Yong mengambil keputusan berbahaya.
“Biar perahu ada perahu musuh, aku mesti naik ke sana,” demikian pikirnya. Maka ia berenang pula, ke arah perahu.
Anak buah perahu sudah lantas menyambuti tubuh Kwee Ceng, buat diangkat naik, kemudian ketika mereka hendak menyambuti si nona, mendadak si nona berloncat, melientik bagaikan ikan, naik ke perahu, hingga mereka terkejut.
Kwee Ceng tergempur hebat ketika tadi ia menangkis serangannya Auwyang Hong, ia pingsan seketika. Ketika ia mendusin, ia tampak dirinya dalam rangkulan Oey Yong, dan mereka berada di sebuah perahu kecil. Ia memainkan napasnya, ia merasa tak terluka di dalam, maka itu, ia geraki alisnya, ia tersenyum pada si nona.
Oey Yong juga tersenyum, karena hatinya lega. Sekarang ia bisa mengawasi ke perahu besar, untuk mendapat ketahui siapa penghuninya perahu itu. begitu ia melihat nyata, ia mengeluh di dalam hatinya.
Tujuh atau delapan orang tertampak di kepala perahu dan mereka semuanya adalah jago-jago yang ia telah temui beberapa bulan yang lalu di istana Chao Wang, umpama Cian Ciu Jin-touw Pheng Lian Houw yang matanya tajam, Kwie-bun Liong Ong See Thong yang kepalanya botak lanang, Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay yang jidatnya ditumbuhkan tiga buah kutil, Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong yang rambutnya putih tetapi romannya segar seperti bocah, begitupun Leng Tie Siangjin si paderi Tibet yang mengenakan jubah suvi warna merah. Beberapa lagi yang lainnya tak ia kenal.
Oey Yong segera merasakan kesulitan untuk menyingkir dari orang-orang kosen itu. Melihat kemajuannya ilmu silat Kwee Ceng dan ia sendiri, kalau satu lawan satu, tak usah mereka jerikan segala Pheng Lian Houw itu, ia sendiri mungkin tak dapat menang tetapi Kwee Ceng pasti, hanya di situ ada si tua bangka berbisa dan jumlah mereka itu besar sekali…
Di atas perahu itu orang heran mendengar suaranya Auwyang Hong, kemudian keheranan mereka bertambah apabila mereka pun dapat melihat Oey Yong dan Kwee Ceng. Mereka mengawasi Auwyang Hong, yang memondong keponakannya, dan Kwee Ceng serta Oey Yong yang menolongi Ang Cit Kong. Dua rombongan orang itu saling susul naik ke perahu besar.
Segera juga terlihat keluarnya seorang dari dalam perahu, seorang yang memakai jubah sulam yang indah. Kapan matanya itu bentrok sama mata Kwee Ceng, keduanya lantas saja terperanjat agaknya. Sebab orang itu, yang kumisnya sedikit tetapi romannya tampan adalah Chao Wang Wanyen Lieh, putra keenam dari raja bangsa Kim. Setelah kabur dari rumah abu keluarga Lauw di Poo-eng, lantaran khawatir nanti dikejar Kwee Ceng, pangeran ini tak berani kembali ke Utara, kebetulan ia bertemu rombangannya Pheng Lian Houw, lalu bersama-sama mereka menuju ke Selatan untuk mencuri surat wasiat Gak Hui.
Pada ketika itu angkatan perang Mongolia tengah menyerang negara Kim, kotaraja Yan-khia atau Tiong-touw sudah semenjak beberapa bulan kena dikurung rapat. Daerah Yan In yang terdiri dari enambelas (ciu), semuanya sudah terjatuh ke dalam tangan bangsa Mongolia. Maka itu, keadaannya negara Kim menjadi lemah setiap hari. Kejadian itu membuatnya Wanyen Lieh menjadi berduka dan berkhawatir. Tentara Mongolia kosen sekali, walaupun jumlah tentara Kim sepuluh kali lipat lebih banyak, setiap bertempur tentara Kim-lah yang buyar duluan. Keran ini, Wanyen Lieh tumpahkan pengharapannya kepada surat wasiat Gak Hui. Ia percaya surat wasiat itu nanti bisa membantu ia membangun negaranya, kalau berperang tentulah ia menang selalu, seperti Gak Hui sendiri sebelum dia terfitnah dan terbinasa di tangan dorna Cin Kwee.

Dalam perjalanannya ke Selatan ini, Wanyen Lieh bertindak secara diam-diam. Ia khawatir pihak kerajaan Selatan (Song) nanti dapat ketahui dan berjaga-jaga hingga ia tak bakal berhasil dengan niatnya. Inilah sebabnya kenapa ia menggunakan perahu. Ia ingin secara rahasia mendarat di pesisir Ciatkang dan memasuki kota Lim-an, dimana pencurian bakal dilakukan. Pernah Chao Wang mencari Auwyang Kongcu yang lihay itu, yang ia percaya bisa membantu padanya, tetapi pemuda itu tak dapat ditemukan, maka terpaksa ia berjalan terus. Sungguh diluar dugaan, sekarang ia bertemu sama Kwee Ceng di tengah laut ini. Ia hanya belum tahu apa maksudnya pemuda she Kwee ini.
Menghadapi musuh besar yang telah membunuh ayahnya, Kwee Ceng menjadi sangat gusar, ia mengawasi dengan bengis.
Dilain pihak Oey Yong yang bermata tajam dapat melihat di sebelah dalam perahu ada tubuh yang keluar dan kemudian menyelip masuk, samar-samar ia mengenali Yo Kang.
Auwyang Kongcu lantas membuka mulutnya, untuk mengajar kenal pamannya.
“Paman, inilah pangeran keenam dari negara Kim terbesar yang paling haus dengan orang-orang pintar dan gagah!” demikian sang keponakan. Ia juga perkenalkan pangeran itu kepada pamannya.
Wanyen Lieh tidak ketahui kegagahannya Auwyang Hong akan tetapi karena Auwyang Kongcu yang memperkenalkannya, ia angkat kedua tangannya untuk memberi hormat.
Sebaliknya Pheng Lian Houw dan See Thong Thian serta lainnya, mendengar orang ini See Tok yang termasyhur, maka mereka buru-buru memberi hormat sambil memberikan pujian untuk mengangkat-angkat si Bisa dari Barat itu.
Auwyang Hong menjura separuh membalas pemberian hormat.
Leng Tie Siangjin si orang Tibet tidak pernah mendengar namanya See Tok, ia cuma merangkap kedua tangannya, ia tidak membilang suatu apa.
Wanyen Lieh adalah seorang cerdik, menyaksikan Pheng Lian Houw semua yang beradat tinggi, begitu mengghormati Auwyang Hong tidak peduli See Tok bermuka kuning dan bengkak serta dandannya tidak karuan, mirip orang yang berpenyakitan, ia lantas memperlakukannya dengan hormat, ia mengeluarkan kata-kata memuji.
Di atas perahu itu, pada ketika itu, adalah Som Sian Lao Koay yang perasaannya paling berbeda daripada yang lainnya. Ia tengah menghadapi Kwee Ceng, orang yang telah menghisap darah ularnya, ular yang ia pelihara sekian lama, yang menjadi harapannya. Ia menghadapi musuh besarnya, bagaimana ia tidak menjadi sangat gusar? Tetapi di samping si anak muda ada Ang Cit Kong, yang paling ia malui, mau tidak mau, ia mesti mengendalikan diri, terpaksa ia memperlihatkan wajah berseri-seri, sambil menjura dalam ia memberi hormat dan berkata dengan merendah: “Yang rendah Nio Cu Ong menghadap Ang Pangcu. Adakah Pangcu banyak baik?”
Mendengar suaranya Som Sian Lao Koay, semua orang terperanjat. Dua-dua See Tok dan Pak Kay ada sangat terkenal, tadinya mereka belum pernah melihatnya, siapa tahu sekarang keduanya itu muncul dengan berbareng. Tentu sekali, mereka itu hendak turut memberi hormat pula, ketika terdengar Ang Cit Kong tertawa dan berkata: “Aku si pengemis tua sedang malang, aku telah digigit anjing jahat hingga setengah mati setengah hidup, maka perlu apa kamu memberi hormat padaku? Paling benar kau sediakanlah barang makanan untuk aku dahar!”
Semua orang heran, mereka semua mengawasi Auwyang Hong, akan mencari tahu apa tindakannya See Tok itu.
Auwyang Hong sangat cerdik, ia sudah lantas memikir rencana untuk nanti menurunkan tangan jahatnya. Tentu saja, paling dulu Ang Cit Kong yang mesti disingkirkan. Kwee Ceng adalah yang kedua, sebab Kwee Ceng mesti dipaksa dulu menguraikan rahasianya kitab Kiu Im Cin-keng. Oey Yong pun mesti dibunuh tidak peduli Auwyang Kongcu sangat mencintainya. Selama Oey Yong masih hidup, ia tetap terancam bahaya, hanya karena segan kepada Oey Yok Su, tidak mau ia turun tangan sendiri, hendak ia meminjam tangan orang lain. Terutama di depan mata ini, ia tidak sudi memberi ketika kepada mereka itu bertiga membuka rahasia kejahatannya. Maka berkatalah ia menghadap Wanyen Lieh: “Tiga orang ini sangat licin, mereka juga lihay ilmu silatnya, maka itu aku mohon ongya menjaga baik-baik kepada mereka.”
Mendengar suaranya Auwyang Hong, Nio Cu Ong menjadi sangat girang. Ia maju satu tindak kepada Kwee Ceng, tangannya diangsurkan untuk menarik.
Kwee Ceng memutar balik tangannya yang hendak dicekal itu. “Plak!” maka tangannya itu menghajar bahu orang. Itulah pukulan jurus “Melihat naga di sawah”, cepat dan berat, biarnya Som Sian Lao Koay lihay, ia toh terhajar mundur hingga dua tindak dan tubuhnya terhuyung-huyung. Inilah ia tak sangka sama sekali.
Pheng Lian Houw dan lainnya baik di muka kepada Nio Cu Ong, di dalam hati mereka membenci, maka senanglah mereka menyaksikan Som Sian Lao Koay mendapat hajaran itu. Meski begitu, mereka sudah lantas bertindak, membubarkan diri, untuk mengurung Ang Cit Kong bertiga itu. Mereka sudah memikir akan turun tangan setelah si orang she Nio itu dirobohkan…
Sebenarnya Nio Cu Ong mengulurkan tangan sambil bersiap-siap kalau Kwee Ceng menyerang ia dengan jurus Hang Liong Yoe-hoei, si Naga Menyesal, ia tidak sangka, baru berselang satu bulan, si anak muda sudah mempelajari habis semua jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, maka itu dalam segebrak saja ia kena dihajar tanpa ia sempat menghindarkan diri. Ia menjadi bertambah panas hati. Kwee Ceng tidak saja mengubar dia untuk menyerang lebih jauh, maka ialah yang bertindak. Dengan menjejak dengan kaki kiri, ia berlompat maju, kedua tangannya digeraki berbareng, menyerang dengan pukulannya yang ia paling andalkan, yaitu tipu silat “Liauw-tong Ya-ho Kun-hoat” atau kuntauw “Rase liar dari Liauw-tong”. Dengan serangan ini ia hendak merampas jiwanya si anak muda, untuk membalas malunya barusan sekalian membalas juga sakit hatinya sebab si anak muda menghisap darah ularnya….
Kuntauw Rase Liar itu adalah suatu ilmu silat kesohor untuk wilayah Liauw-tong. Satu kali Som Sian Lao Koay pergi mencari kolesom di gunung Tian Pek San, kebetulan ia menyaksikan pertempuran di antara anjing pemburu dengan seekor rase liar, yang bergulat di atas salju. Rase itu sangat gesit dan licin, dia berlompatan ke segala penjuru menghindari tubrukan-tubrukannya si anjing yang galak. Sampai sekian lama, anjing itu belum berhasil juga. Menyaksikan kegesitan rase itu, Nio Cu Ong mendapat ilham, maka ia lantas menciptkan ilmu silatnya itu. Ia batal mencari kolesom, ia membuat gubuk di gunung itu. Satu bulan lamanya ia mengeram diri hingga berhasillah ia dengan ilmu silatnya yang baru itu. Sejak itu, kecuali roboh di tangan Ang Cit Kong, belum pernah ada orang yang sanggup menandingi padanya, maka heranlah ia sekarang ia kena dihajar Kwee Ceng. Karena ini, ia jadi tidak berani berlaku sembarangan, hendak ia menggunai kegesitannya. Ia berlompat sambil berkelit, meskipun orang tidak serang padanya, lalu ia menjatuhkan diri, habis mana barulah ia menyerang benar-benar.
Kwee Ceng merasa aneh atas ilmu silat orang. Belum pernah ia melihat ilmu semacam itu. Tapi ia cuma heran, ia melawan dengan tabah dan sabar. Ia turut pengajarannya Ang Cit Kong, biar musuh gesit dan hebat, ia tidak kasih dirinya dipermainkan. Dengan tetap ia menggunai Hang Liong Sip-pat Ciang untuk melayaninya.
Setelah lewat beberapa jurus, semua penonton lainnya pada menggeleng kepala. Mereka semua lihay, mereka menjadi heran sekali.
“Bukankah Nio CU Ong lihay, dan ia menjadi kepala dari satu pertai persilatan?” demikian mereka berpikir. “Kenapa sekarang, menghadapi satu bocah, dia selalu main lompat-lompatan saja? Senantiasa berkelit tidak hendak ia menyerang secara sungguh-sungguh?”
Pertandingan berjalan terus. Selama itu Kwee Ceng terus mendesak. Lagi sedikit, maka Som Sian Lao Koay bisa terdesak sampai dia bakal kecebur ke laut…
Nio Cu Ong heran dan gelisah juga mendapatkan kuntauw Rase Liarnya itu tidak berjalan terhadap si anak muda, terpaksa ia memikir untuk menggunai lain tipu silat. Apa celaka, ia tidak bisa mewujudkan pikirannya itu, Kwee Ceng mendesak terus-menerus, ia tidak diberi ketika.
Selagi angin kepalan berderu-deru, terdengarlah seruannya Ang Cit Kong yang sedari tadi nonton sambil berdiam saja, cuma matanya yang dipasang awas: “Turunlah!”
Menyusul seruan itu, Kwee Ceng menyerang dengan jurusan “Menunggang enam naga”, tangan kirinya menyapu hebat sekali.
Nio Cu Ong terkejut, hendak ia berkelit, tetapi tanpa ia berkuasa, tubuhnya terjun ke luar perahu!
Semua orang heran. Kecuali Auwyang Hong, tidak ada yang dapat melihat gerakannya Kwee Ceng itu. Mereka lantas lari ke tepi perahu, ke arah mana tubuh Nio Cu Ong terpelanting, untuk melihat. Tengah mereka berlari, dari arah laut terdengar suara tertawa nyaring dan panjang, yang mana disusul sama meluncurnya tubuh Som Sian Lao Koay itu, yang kembali ke dalam perahu di mana dia roboh di lantai tanpa dapat bergerak pula, cuma jatuhnya itu yang terdengar keras sekali.
Semua orang menjadi terlebih heran lagi. Mungkinkah air laut, sang gelombang, yang membuatnya tubuh orang membal balik? Dari itu, semua lalu melihat ke bawah, ke muka air. Segera mereka mendapatkan seorang tua, yang rambut dan kumisnya telah putih semua, lagi mondar-mandir cepat sekali di laut di dekat perahu. Dengan mengawasi sebentar saja, dapatlah diketahui, orang tua itu tengah menunggang seekor ikan hiu yang besar. Pantas dia dapat bergerak denag cepat dan gesit.
Kwee Ceng pun dapat melihat orang tua itu, ia kaget berbareng girang sekali.
“Ciu Toako!” ia memanggil, keras. “Aku di sini!”
Memangnya juga, orang tua yang menunggang ikan hiu itu adalah Loo Boan Tong Ciu Pek Thong si orang tua berandalan, jenaka dan kocak.
Pek Thong dapat dengar suaranya Kwee Ceng, yang ia kenali, ia pun girang luar biasa. Ia mengetok samping mata kiri dari ikannya, lantas ikan itu mutar ke kiri, berenang mendekati perahu besar.
“Kwee Hiantee di sana?” menanya si jenaka. “Baik-baikah kau? Di depan sana ada seekor ikan lodan yang besar, sudah satu hari satu malam aku mengejarnya, aku gagal, maka sekarang hendak kau mengejar pula! Nah, sampai ketemu lagi!”
“Toako, naik kemari!” berteraik Kwee Ceng. Ia takut saudara tua itu pergi pula. “Lekas toako, di sini ada banyak manusia jahat yang lagi menghina adikmu!”
“Oh, begitu!” berseru Pek Thong, yang lantas saja menjadi gusar. Ia terus mengulur tangannya ke mulut ikannya, terus ia menarik. Entah apa itu yang ditariknya. Sang ikan segera berontak, berlompat tinggi bersama-sama penunggangnya, tiba di atas perahu di mana ia melewati banyak kepala orang.
“Kurang ajar, siapa yang bernyali begitu besar?!” membentak si orang tua ini. “Siapakah yang berani menghina adik angkatku?!”
Di atas perahu itu, semua adalah orang-orang yang luas pandangnya dan pintar, akan tetapi munculnya Ciu Pek Thong dengan caranya ini yang luar biasa membuat mereka tak habis pikir, maka semuanya berdiri tercengang, mata mereka mendelong, mulut mereka di pentang lebar-lebar.
Heran Ciu pek Thong kapan ia melihat Oey Yong ada di situ.
“Ah, adik kecil, mengapa kau pun ada di sini?” ia menanya.
“Memang aku di sini!” menjawab si nona yang lantas tertawa. “Mari lekas kau ajari aku menunggang ikan ini!”
“Sabar, adik kecil!” menyahut si tua berandalanb ini. Ia lantas memandang ke sekitarnya, menyapu kepada semua orang di atas perahu itu, kemudian ia mengawasi See Tok seraya berkata: “Aku tahu lain orang tidak nanti berani berbuat sangat kurang ajar, kiranya benar-benar kau tua bangkat bangkotan!”
Auwyang Hong bersikap tawar ketika ia menyahuti!: “Seorang yang tidak mentaati kata-katanya, walaupun ia mencuri hidup di dalam dunia ini, ia hanya bakal ditertawakan orang-orang gagah!”
“Itulah benar!” berkata Pek Thong. “Aku memang hendak mencarik kau untuk membuat perhitungan! Sekarang kau berada di sini, tidak ada ketika yang terlebih baik daripada ini! Eh, pengemis bangkotan, kaulah saksinya, kau bangunlah untuk memberikan jawaban peradilanmu!”
Ang Cit Kong tetap rebah di lantai, tetapi ia tertawa. Ia tidak menjawab.
Oey Yong yang mewakilkan gurunya itu.
“Si tua bangkotan berbisa ini ada sangat jahat!” berkata nona ini. “Dia mendapat bahaya, sang maut tengah menghampirkan padanya, lantas guruku ini menolongi dia, tetapi dia jahat seperti manusia berhati serigala, berjantung anjing, bukannya dia balas budi, ia justru membalas jahat, ia melukai guruku, dia menotok juga jalan darahnya!”
Pek Thong segera menghampirkan, untuk menotok jalan darah sahabatnya itu kiok-tie-hiat dan yongcoan-hiat.
“Percuma Loo Boan Tong, tidak ada faedahnya,” Cit Kong berkata.
Memang hebat totokannya Auwyang Hong, kecuali dia sendiri atau Oey Yok Su, tidak ada lain orang yang dapat menitok membebaskannya.
Puas Auwyang Hong menyaksikan kegagalan Pek Thong itu.
“Eh, Loo Boan Tong, kalau kau mempunyai kepandaianmu, kau totoklah ia hingga ia bebas!” ia mengejek.
Belum lagi si orang kocak menjawab, Oey Yong sudah mendahulukan dia. Si nona tidak dapat menolong gurunya itu tetapi ia ketahui tentang totokan itu. Ia monyongkan mulutnya dan berkata: “Apakah yang aneh dengan ilmu totokmu ini? Dengan hanya setiupan debu, ayahku dapat membebaskannya! Bukankah ini dia yang dinamakan Touw-kut Ta-hiat-hoat, ilmu totok menembusi tulang?!”
Mendengar itu, Auwyang Hong tercengang, tetapi ia tidak heran yang nona itu mengetahuinya. Ia tidak memperdulikannya, ia memandang kepada Ciu Pek Thong, akan berkata: “Kau telah kalah bertaruh, kenapa kau bicara seperti melepas angin busuk?!”
“Angin busuk?!” Pek Thong menanya. Dan ia menekap hidungnya. “Sungguh bau! Sungguh bau! Sekarang hendak aku menanya kau, kita bertaruh apa?”
“Di sini kecuali si bocah she Kwee dan itu budak cilik, semua adalah orang-orang gagah yang telah kenamaan,” menyahut Auwyang Hong. “Maka itu aku minta tuan-tuan ini memberikan suaranya yang adil!”
“Baik, baik!” menyahut Pheng Lian Houw. “Auwyang Sianseng, silahkan bicara!”
“Tuan ini adalah Ciu Pek Thong dari Coan Cin Kauw,” See Tok lantas berkata, “Dialah yang orang Kangouw menyebutnya Loo Boan Tong si Bocah Tua yang bandel. Dia berderajat bukannya rendah, sebab dialah paman guru dari Khu Cie Kee dan Ong Cie It sekalian anggota Coan Cin Cit Cu.”
Sudah belasan tahun Pek Thong berdiam di pulau Tho Hoa To, lebih dulu daripada itu, namanya memang tidak terlalu terkenal, tetapi sekarang, mendengar ialah pama guru dari Coan Cin Cit Cu, orang menjadi kagum, orang percaya dialah bukan sembarang orang, maka mereka lantas kasak-kusuk. Pheng Lian Houw pun menjadi kecil hatinya. Ia sudah berjanji akan bertempur di lauwteng Yan Ie Lauw di Kee-hin, kalau Cioan Cin Cit Cu dibantu “manusia aneh” ini, sungguhlah orang ada seperti harimau yang tumbuh sayap…
Auwyang Hong meneruskan akata-katanya. “Ini saudara Ciu telah dikurung ikan hiu di tengah laut, aku telah tolongi dia. Aku kata, ikan hiu ikan tak berarti, asal satu kali aku menggeraki tanganku, semua ikan itu bakal mampus semua. Saudara Ciu tidak percaya padaku, maka itu kita berdua lantas bertaruh. Saudara Ciu, benarkah begitu?”
Pek Thong menangguk.
“Sedikit juga tidak salah!” sahutnya. “Hanya apakah pertaruhan itu, kau perlu menyebutkannya kepada orang banyak ini.”
“Akur! Aku telah membilang jikalau kau kalah, apa pun yang kau katakan, akan aku kerjakan, jikalau aku menyangkal, akan aku terjun ke laut, supaya tubuhku digegaras ikan. Dan kalau kau yang kalah, kau pun begitu. Bukankah benar demikian?”
Pek Thong mengangguk pula, bahkan berulang-ulang.
“Sedikit juga tidak salah,” sahutnya pula. “Kemudian bagaimana?”
“Bagaimana? Kemudian kaulah yang kalah!”
Kali ini Pek Thong menggeleng-geleng kepalanya berulang-ulang.
“Salah, salah!” ia berkata. “Yang kalah ialah kau, bukannya aku!”
See Tok menjadi gusar.
“Satu laki-laki, dapatkah ia putar balik omongannya?” dia menegur keras. “Dapatkah orang main menyangkal? Jikalau aku yang kalah, kenapa kau rela membuang dirimu ke laut untuk membunuh diri?”
Pek Thong menghela napas.
“Benar, sebab memangnya nasibku yang buruk,” ia berkata. “Aku telah kalah itu waktu…Hanya setelah aku masuk ke laut, Thian telah membuatnya aku bertemu sama suatu hal yang kebetulan sekali, setelah mana tahulah aku bahwa kaulah si tua bangka berbisa yang kalah, bahwa Loo Boan Tonglah yang menang!”
“Apakah hal kebetulan itu?!” tanya Auwyang Hong yang menjadi heran sekali.
Juga Ang Cit Kong dan Oey Yong turut menanyakan.
Ciu Pek Thong membungkuk, tangannya dimasuki ke mulut ikan, di mana ada sebatang tongkat pendek, ia mencekal itu dengan apa ia pun mengangkat ikan itu.
“Hal kebetulan itu ialah aku bertemu sama binatang tungganganku ini!” ia menyahut. “Kau lihatlah! Inilah perbuatannya keponakanmu yang kau sayang bagaikan mustika! Benar tidak?!”
Memang itu perbuatannya Auwyang Kongcu, yang mengganjal mullut ikan, supaya ikan tak dapat makan dan menjadi mati sendirinya. Auwyang Hong menyaksikan sendiri perbuatan curang dari keponakannya itu. See Tok pun mengenali ikan ini, yang mulutnya pun luka bekas kena pancing.
“Habis bagaimana?!” ia menanya pula.
Ciu Pek Thong menepuk tangan.
“Itulah artinya kau kalah!” ia memberikan jawabannya. “Pertaruhan kita ialah semua ikan hiu mesti dibikin mati, akan tetapi ia satu ekor, karena ia dapat pertolongan keponakanmu itu, karena dia tak dapat memakai bangkai bangsanya yang keracunan, dia tidak terkena bisa, dia hidup sampai sekarang ini! Kau lihat bukankah Loo Boan Tong yang menang?”
Dan ia pun tertawa terbahak-bahak.
Auwyang Hong sebaliknya melengak. Ia terdiam.
Kwee Ceng girang sekali.
“Toako, selama ini beberapa hari kau di mana saja?” Ia menanya kakak angkatnya itu. “Sungguh sengsara aku memikirkan nasibmu…”
Pek Thong tertawa riang.
“Aku pelesiran dengan puas!” ia menyahut. “Tidak lama setelah aku terjun ke laut, aku bertemu makhluk yang tengah megap-megap di permukaan air, agaknya dia sedang penasaran sekali. Maka aku tanya dia ‘Eh, ikan, ikan hiu, bukankah hari ini kau dan aku sama nasibnya yang harus dikasihani?’ Segera aku lompat ke punggungnya. Atas itu dia segera selulup ke dalam air. Aku menunggang terus, maka aku menahan napas. Dengan kedua tanganku aku memegang erat-erat lehernya. Sebaliknya dengan kedua kakiku, aku mendupak dia tak hentinya. Dia menimbul pula, hanya belum lagi aku bernapas, kembali ia selam. Demikian kita berdua saudara, kita bertemput di tengah laut. Hanya sesudah berselang sekian lama barulah ia menyerah dan menjadi jinak karenanya, suka ia mendengar perkataanku. Aku menghendaki ia pergi ke timur, dia pergi ke timur, aku mengingini ia menghadap utara, ia menghadap ke utara juga. Pendeknya ia menurut sekali….”
Dan ia tepuk-tepuk kepalanya ikan itu, agaknya ia sangat puas.
Selagi lain-lain orang heran, Oey Yong sangat mengagumi ikan itu, ia segera mengiri untuk pengalaman luar biasa dari si tua berandalan. Kedua matanya bersinar ketika ia berkata: “Bertahun-tahun aku main-main di laut, kenapa aku tidak memikirkan kepelesiran semacam ini? Sungguh aku tolol!”
“Lihat mulutnya,” berkata Pek Thong. “Lihat giginya! Tanpa mulutnya ditunjang tongkat ini, beranikah kau menaikinya?”
Oey Yong tidak mengambil mumat, ia hanya menanya: “Apakah selama beberapa hari ini kau terus-terusan naik ikan ini?”
“Kenapa tidak?” Pek Thong membaliki. “Kami berdua bersaudara, dalam hal menangkap ikan, kami pandai sekali. Kapan aku melihat seekor ikan, aku suruh saudaraku ini mengejar, setelah kecandak, aku menghajar dengan kepalanku, aku bikin ikan itu mampus! Belum pernah aku gagal! Dalam sepuluh bagian ikan itu, aku makan cuma satu bagian, yang sembilan bagian ialah yang gegaras habis!”
Si kocak menyebutnya ikan hiu itu sebagai saudaranya…
Oey Yong mengusap-usap perut ikan itu.
“Apakah kau beleseki ikan mati ke dalam perutnya?” si nona menanya pula. “Tanpa menggunai giginya, bisakah ia menelannya?”
“Dia pandai sekali,” menjawab Pek Thong. “Ada satu kali…”
Gembira ini si tua dan si nona, mereka pasang omong seperti juga di situ tidak ada lain orang serta tidak ada bahaya mengancam. Sedang sebenarnya Auwyang Hong tengah memikirkan daya upaya untuk menghadapinya.
“Eh, makhluk berbisa bangkotan, kau menyerah kalah atau tidak?!” tiba-tiba Pek Thong menegur See Tok.
Auwyang Hong tidak gampang-gampang mau menyerah kalah tetapi ia habis daya.
“Kalau aku kalah, bagaimana?!” ia balik menanya.
“Kalau begitu, aku mesti memikir sesuatu untuk kamu melakukannya!” berkata Pek Thong. “Bagus, aku ingat sekarang! Bukankah kau tadi mendamprat aku si tua seperti si angin busuk? Nah, sekarang aku menitahkan kau segera mengeluarkan angin busukmu itu!”
Tidak puas Oey Yong mendengar Pek Thong cuma mewajibkan Auwyang Hong membuang balas. Untuk orang biasa memang sukar tak karuan mengeluarkan angin busuk, perbuatan itu tak dapat dilakukan semua orang, tidak demikian dengan seorang yang ilmu dalamnya sudah mahir. Sebaliknya, sungguh gampang buat orang sebangsa See Tok. Maka ia lantas berteriak mencegah: “Tidak bagus, itu tidak bagus! Lebih dulu dia dimestikan membebaskan totokannya kepada guruku, kemudian baru kita bicarakan pula!”
Ciu Pek Thong tertawa.
“Kau lihat!” katanya kepada See Tok, “Sekalipun nona cilik ini takut pada angin busukmu itu! Baiklah, aku bebaskan kau dari kewajibanmu ini, aku juga tidak hendaki memustikan kau melakukan lainnnya, cukup asal kau mengobati lukanya si pengemis tua. Kepandaiannya si pengemis tua tidak ada dibawahanmu, coba tidak kau menggunai akal busuk, tidak nanti kai dapat melukai dia! Kau tunggu sampai dia sudah sembuh betul, maka kamu berdua boleh bertempur pula secara laki-laki sejati, itu waktu aku Loo Boan Tong suka menjadi saksinya!”
Auwyang Hong ketahui Ang Cit Kong tidak dapat disembuhkan, dia tidak takut si raja pengemis nanti menuntut balas padanya, hanya sekarang ia merasa sulit untuk desakan Ciu Pek Thong ini. Dia pun didesak di muka banyak orang. Menerima baik, sukar dilakukannya, menyangkal, ia malu. Karena itu, tidak bisa lain, ia membungkuk, terus ia totok Ang Cit Kong guna membebaskan dia dari totokannya.
Kwee Ceng bersama Oey Yong segera maju untuk membantui gurunya bangun.
Ciu Pek Thong sendiri segara menyapu dengan sinar matanya yang tajam kepada semua orang di atas perahu itu, kemudian ia berkata; “Aku, Loo Boan Tong paling takut mencium bau amis dari daging kambing yang biasa digegares orang bangsa Kim, oleh karena itu lekas kamu turunkan perahu kecil untuk mengantarkan kami berempat ke darat!”
Auwyang Hong pernah menyaksikan Pek Thong bertempur dengan Oey Yok Su, ia mengetahui baik bahwa orang berilmu tinggi, kalau ia yang menempurnya, belum tentu ia kalah tetapi juga pasti sulit untuk ia memperoleh kemenangan, lantaran itu, ia terpaksa menahan sabar, ia hendak menanti sampai ia sudah paham Kiu Im Cin-keng, baru ia ingin membuat perhitungan. Maka berkatalah ia: “Baiklah, siapa suruh nasibmu bagus hingga kau menang bertaruh!” Kemudian ia berpaling kepada Wanyen Lieh, untuk meneruskan berkata; “Ong-ya, tolong menurunkan sebuah perahu untuk mengantarkan ini empat orang mendarat.”
Wanyen Lieh tidak lantas meluluskan permintaan itu, di dalam hatinya ia berpikir; “Gampang untuk mengantarkan mereka ke darat, hanya rahasia kita yang hendak pergi ke Selatan ini, tidak dapat itu diketahui mereka…”
Sementara itu Leng Tie Siangjin tidak puas terhadap sikapnya Auwyang Hong. Semenjak tadi ia mengawasi saja tanpa membilang suata apa. Ia pikir: “Kalau kau sangat lihay, belum tentu kau dapat mengalahkan kita yang terdiri dari banyak orang pandai..” Maka, melihat si pangeran bersangsi, ia bertindak maju seraya berkata: “Jikalau kejadian di atas getek, Auwyang Sianseng dapat berbuat apa yang ia pikir baik, kami tidak nanti berani banyak mulut. Hanya di sini setelah Sianseng naik di perahu besar, sudah selayaknya kau mendengar segala kata-katanya ong-ya!”
Mendengar itu, hati semua orang menjadi tergerak, semua lantas mengawasi Auwyang Hong.
Auwyang Hong memandang Leng Tie Siangjin dengan sepasang matanya yang tajam, ia melihat ke atas dan ke bawah bergantian. Kemudian ia dongak ke langit.
“Apakah tuan paderi yang mulia ini hendak mempersulit aku si orang tua?” ia menanya, suaranya tawar.
“Itulah aku paderi yang rendah tak berani,” menyahut Leng Tie. “Aku yang tinggal di Tibet, aku hidup menyendiri, sedikit pendengaranku, dari itu barulah ini hari aku mendapat dengar nama sianseng yang termashur, maka itu ada apakah sangkutannya di antara kita berdua..?”
Belum lagi paderi ini menutup mulutnya, Auwyang Hong sudah maju satu tindak, selagi tangan kirinya dikibaskan, tangan kanannya sudah menyambar tubuh Leng Tie yang besar kekar itu, hanya dengan sekali mengerahkan tenaganya saja, ia telah membuatnya tubuh orang jungkir balik, kepala di bawah, kaki di atas!
Orang semua kaget dan heran. Tidak mereka lihat sambaran See Tok, tahu-tahu tubuh besar dari Leng Tie, dengan jubah merahnya yang bergerombongan, sudah seperti berkibar-kibar di udara. Mereka pikir entah ilmu apa yang digunai See Tok ini.
Leng Tie Siangjin tinggi besar melebihkan lain-lain orang tetapi Auwyang Hong dapat mencekuk batang lehernya dan terus diangkat, itulah hebat. Leng Tie sendiri pun heran. Ketika tubuhnya diputar, kepalanya terpisah dari kira tanah empat kaki. Ia tidak dapat berbuat apa-apa, cuma kedua kakinya menendang udara secara kalang kabutan dan suaranya memperdengarkan kemurkaannya.
Tatkala Leng Tie Siangjin bertempur sama Ong Cie It di istana Chao Wang, semua orang telah menyaksikan kepandaiannya itu yang lihay, maka aneh sekarang, dengan gampang saja ia dipermainkan Auwyang Hong, seperti kedua tangan itu telah patah, sedikit pun kedua tangan itu tidak dapat dipergunakan.
Auwyang Hong sendiri masih tetap dongak ke udara, ia berkata: “Hari ini adalah yang pertama kali kau mendengar namaku, kau lantas tidak memandang mata kepada aku si orang tua, benarkah?”
Leng Tie kaget, heran dan gusar sekali, beberapa kali ia mencoba mengerahkan tenaganya, untuk berontak, saban-saban ia gagal, tak dapat ia meloloskan diri dari cekalan orang.
Pheng Lian Houw semua tidak berani campur tangan, tahulah mereka Auwyang hong tengah memperlihatkan pengaruhnya terhadap Leng Tie dan lainnya juga.
“Kau tidak memandang kepada aku si orang tua, itu masih tidak apa,” berkata pula Auwyang Hong, lagu suaranya tetap tawar, “Sekarang dengan memandang muka ongya, tidak ingin aku berpemandangan sama cupatnya seperti kau. Bukankah kau hendak menahan kepada Loo Boan Tong Ciu Looya-cu serta Kiu Cie Sin Kay Ang Looya-cu? Apakah yang kau andalkan maja kau berniat berbuat demikian? Loo Boan Tong, kau sambutlah!”
Tidak kelihatan gerakan tangan dari See Tok atau tahu-tahu tubuh besar dari Leng Tie sudah terlempar melayang ke arah kanan. Paderi ini merasakan ia telah terlepas dari cekalan, maka ia teruskan menjumpalitkan diri seperti ikan meletik, untuk dapat melempangkan tubuh, untuk dapat berdiri. Justru itu ia merasakan batang lehernya sakit. Ia menjadi kaget sekali, di dalam hatinya ia berseru: “Celaka!” Ia lantas menggeraki tangan kirinya, untuk menyerang. Tapi tangan kiri itu lantas kesemutan dan kaku, hilang tenaganya, hingga ia mesti mengarih turun melonjor di luar keinginannya. Berbareng dengan itu juga tubuhnya sudah terangkat naik kembali seperti tadi. Sebab diluar tahunya, dia sudah dicekuk Ciu Pek Thong, yang bertindak sama seperti Auwyang Hong barusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar