BAB
44
Di
atas pohon itu ada dua ekor bajing tengah berlari-lari di cabang-cabang, lari
turun naik, matanya mengawasi kepada ketiga orang itu. Berani mereka itu,
mereka berani datang dekat kira-kira tiga kaki.
Oey Yong tertarik kepada
kedua bajing itu.
Seekor
bajing berani sekali, dia datang dekat dan mencium-cium nona itu. Kawannya
lebih berani pula, dia turun dan merayap di ujung bajunya Ang Cit
Kong!
Oey Yong menghela napas, ia
berkata: “Terang sudah di sini tak pernah ada manusia. Lihat, binatang ini
tidak takut orang.”
Mendengar
suara orang, bajing itu lari naik ke atas.
Oey Yong mengawasi, maka ia
dapat melihat banyak cabang-cabang pohon yang besar, yang terlibat-libat oyot
otan. Daun pohon itu pun lebat sekali.
“Sudah
engko Ceng, tak usah kau pergi mencari tempat lagi,” berkata nona ini. “Mari kita naik saja ke atas pohon ini.”
Kwee Ceng sudah ebrtindak
ketika ia mendengar suara si nona. Ia mengangkat kepalanya,
untuk melihat ke atas. Benar-benar ia mendapatkan sebuah tempat perlindungan.
Sampai disitu keduanya naik ke atas pohon itu. Mereka
menekan cabang-cabang, mereka pun membuat palangan, hingga di situ terdapat
ruangan seperti lauwteng, di mana orang bisa duduk atau rebah. Setelah selesai,
mereka turun untuk mengangkat Ang Cit Kong naik ke atas. Mereka tak usah manjat
lagi, cukup dengan mereka mendukung guru itu di kiri dan kanan, dengan
berbareng mereka mengenjot tubuh untuk berlompat ke atas. Maka dilain saat, Pak
Kay sudah dapat dipernahkan dengan baik.
“Untuk sementara kita berdiam di atas pohon ini bagaikan
burung!” berkata si nona tertawa. “Biarlah mereka itu berdiam di dalam gua
bagai binatang-binatang berkaki empat!”
“Bilang Yong-jie, kau hendak memberikan makanan atau
tidak kepada mereka?” Kwee Ceng tanya.
“Sekarang ini kita belum mendapat jalan, kita pun tidak
dapat melawan pada si tua bangka berbisa itu,” menyahut si nona, “Maka untuk
sementara baik kita menurut saja…”
Kwee Ceng berdiam. Ia mendongkol berbareng masgul sekali.
Oey Yong mengajaki pemuda itu pergi ke belakang bukit,
untuk berburu. Mereka berhasil merobohkan seekor kambing gunung, yang mereka
terus sembelih, dijadikan dua potong. Mereka menyalakan api untuk membakarnya.
Setelah dibakar matang, Oey Yong lemparkan yang separuh
ke tanah.
“Kau kencingin!” ia kata pada Kwee Ceng.
Si anak muda tertawa.
“Ah, dia tentu mendapat tahu nanti…”
“Jangan kau pedulikan! Kau kencinginlah!” berkata si
nona.
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah.
“Aku
tidak bisa….” sahutnya.
“Kenapakah?”
“Sekarang
aku belim ingin membuang air kecil…”
Mendengar itu si nona tertawa terpingkal-pingkal.
Tiba-tiba terdengar suaranya Ang Cit Kong di atas pohon.
“Kau lemparkan ke atas, nanti aku yang kerjakan!” kata si
tua bangkotan yang jenaka itu.
Kwee Ceng tertawa, ia
berlompat naik dengan daging kambing itu.
Pak Kay sudah lantas
membuktikan perkataannya itu.
Sembari tertawa Kwee Ceng lompat turun pula, terus ia
bertindak ke arah gua.
“Tunggu dulu!” Oey Yong mencegah. “Mari itu yang sepotong
lagi!”
“Apa? Yang bersih?” tanya si anak muda. Ia
menggaruk-garuk kepalanya saking heran.
“Benar!” menyahut si nona. “Kita berikan si tua bangka
yang bersih…”
Walaupun ia ada sangat tidak mengerti, Kwee Ceng toh
berbuat seperti katanya si nona yang ia sangat percayai itu. Ia menukar daging
bersih dengan daging yang telah diberi air kencing itu.
Oey Yong memanggang pula
daging yang kotor itu, kemudian ia pergi mencari bebuahan.
Juga
Ang Cit Kong
tidak mengerti perbuatannya si murid, ia menjadi heran berbareng masgul.
Oey Yong memanggang daging
hingga menyiarkan baunya yang lezat, yang membangkitkan nafsu berdahar.
Demikian Auwyang Hong di dalam guanya, hidungnya dapat mencium bau itu,
lekas-lekas ia keluar, setibanya di mulut gua, tidak menanti Kwee Ceng - yang
membawakan daging - dekat padanya, ia sudah memburu untuk menyambuti separuh
dirampas.
Hebat
nafsu dahar dari See Tok ini tetapi mendadak air mukanya berubah.
“Mana yang sebelah lagi?” mendadak ia bertanya.
Si anak muda tidak menjawab dengan mulutnya, ia cuma
menunjuk ke belakang.
Tanpa membilang suatu apa, Auwyang Hong bertindak cepat
ke bawah pohon di sana ia sambar daging kambing yang sebelahnya itu, sedang
yang berada di tangannya ia lemparkan ke tanah. Tetap dengan tidak membilang
suatu apa, kecuali ketawa dingin, ia memutar tubuhnya akan kembali ke guanya.
Kwee Ceng cepat-cepat berpaling ke arah lain, kalau
tidak, pastilah akan terlihat wajahnya yang menahan tertawa. Ia anggap lucu
sekali perbuatannya Auwyang Hong itu, yang telah terjebak Oey Yong. Baru
setelah orang pergi jauh, ia lari kepada Oey Yong, wajahnya tersungging senyum.
“Yong-jie!” katanya tertawa, “Kenapa kau ketahui dia
bakal menurkarnya?”
Si nona itu pun tertawa.
“Bukannya ilmu perang ada membilang,” menyahut si noa,
“Bahwa yang kosong itu berisi, dan yang berisi ialah kosong? Si tua bangka
berbisa itu pasti menduga kita menaruhkan racun di daging yang kita berikan
padanya, dia tak sudi kena diakali, tetapi aku, aku justru menghendaki dia
terpedaya!”
“Hebat!” memuji si anak muda, yang terus membeset daging
itu, untuk dibawa naik ke ranggon pohonnya yang istimewa, untuk menyuguhkan
kepada gurunya, kemudian bersama si nona ia pun turut dahar.
Auwyang Hong dan keponakannya dahar daging panggang itu
dengan bernafsu. See Tok merasakan bau engas, ia menyangka daging itu memang
demikian bau asalnya, ia menangsal terus.
Bertiga Oey Yong berhadar dengan hati mereka riang
gembira.
“Yong-jie,”
berkata Kwee
Ceng kemudian. “Akalmu ini bagus tetapi berbahaya…”
“Mengapa?” tanya si nona.
“Umpama kata si tua bangka berbisa tidak menukar,
bukankah kita bakal makan daging yang kotor dan bau itu?”
Oey Yong tertawa terpingkal-pingkal, hingga tubuhnya
miring dan jatuh ke tanah, tetapi ia dapat jatuh berdiri, maka dilain detik ia
sudah berada di atas pula.
“Benar, benar, memang berbahaya sekali!” katanya.
Ang Cit Kong bersenyum, tetapi ia menghela napas ketika
ia berkata: “Anak-anak yang tolol, kalau benar dia tidak menukarnya, apakah
kamu tidak dapat makan daging bau pesing itu?”
Kwee Ceng melengak, lalu ia tertawa hingga ia pun terguling-guling
dari tempat duduknya, jatuh ke tanah seperti si nona tadi.
Setelah sang gelap petang datang, Auwyang Kongcu merintih
karena rasa nyerinya, sedang Auwyang Hong pergi ke bawah pohon.
“Budak kecil, kau turun!” ia memanggil Oey Yong, suaranya
bengis.
Si nona terkejut. Ia tidak menyangka orang datang
demikian lekas.
“Mau apa?!” ia terpaksa menyahuti.
“Keponakanku menghendaki air the, pergi kau melayani
dia!” menitah See Tok.
Kaget ketiga orang di atas pohon itu, berbareng dengan
itu, panas hari mereka.
“Lekas!” terdengar pula suara Auwyang Hong. “Kau mau tunggu apa lagi?!”
“Mari kita mengadu jiwa dengannya!” berkata Kwee Ceng
perlahan.
“Lebih baik kamu berdua kabur ke belakang gunung,” Ang
Cit Kong bilang. “Jangan kau pedulikan aku lagi…”
Dua-dua jalan itu, mengadu jiwa dan merat, telah
dipikirkan Oey Yong. Dua-dua jalan itu pasti akan mengakibatkan kebinasaannya
Ang Cit Kkong. Inilah ia tidak menginginkannya. Maka akhirnya ia pikir baik
mereka mengalah saja. demikian ia lompat turun.
“Baiklah, nanti aku lihat lukanya!” ia kata.
“Hm!”
See Tok mengasih dengar suaranya yang dingin. “Eh, bocah she Kwee, kau juga
turun!” ia menambahkan, membentak. “Apakah kau ingin enak-enak tidur nyenyak?!
Bagus betul!”
Dengan
menahan sabar sebisanya, Kwee
Ceng berloncat turun.
“Malam
ini kau mesti menyediakan untukku seratus potong balok yang besar,” menitah si
Bisa dari Barat, “Kalau kurang sepotong saja, kakikmu sebelah akan kuhajar
patah! Kalau kurang dua, dua-duanya kakimu patah semua!”
“Buat
apa balok itu?!” Oey
Yng tanya.
“Laginya malam gelap buta rata seperti ini, cara
bagaimana orang mencarinya dan mengerjakannya?!”
“Budak
cilik, kau banyak bacot! Lekas kau rawati keponakanku! Ada apa hubungannya kau dengan urusan si
bocah cilik ini? Pergi kau, kalau kau main gila, siksaan akan menjadi
bagianmu!” Ia mengancam pada Kwee Ceng.
Oey Yong memberi tanda kepada si anak muda untuk
bersabar, lantas ia bertindak pergi, diikuti si Bisa dari Barat.
Kwee Ceng mengawasi sampai orang tak terlihat lagi, ia
lantas menjatuhkan diri, berduduk dengan memegangi kepalanya. Ia berpikir keras, gusarnya dan mendongkol dan berduka juga, hampir air
matanya turun mengucur.
Tiba-tiba terdengar suaranya Ang Cit Kong: “Kakekku,
ayahku, juga aku semasa kecilku, kita menderita sangat dari bangsa Kim, kita
menjadi budak, maka itu apakah artinya kesengsaraan seperti ini?”
Kwee Ceng terkejut, ia
mendusin.
“Kiranya
dulu suhu pernah menjadi budak…” hatinya bekerja. “Siapa sangka kemudian suhu
menjadi stau ahli silat kenamaan dan ketua dari Partai Pengemis!
Kalau sekarang aku bersabar, boleh apakah?”
Karena
ini, si anak muda mengambil ketetapannya. Dengan membawa obor kayu cemara, ia
pergi ke gunung belakang. Ia bekerja dengan menggunai pukulan Hang Liong
Sip-pat Ciang, merobohkan pohon-pohon sebesar mulut mangkok yamng besar. Ia
berbesar hati, ia berlaku ulet. Ia percaya betul Oey Yong
bakal dapat meloloskan diri, sebagaimana dulu si nona lolos dari istana Chao Wang.
Ilmu
silat Hap Liong Sip-pat Ciang itu memerlukan tenaga besar dan keuletan, inilah
berat untuk Kwee
Ceng yang masih muda, yang tenaga
dalamnya masih meminta latihan. Belum sejam lamanya, ia sudah berhasil
merobohkan duapuluh satu pohon, ketika ia menghajar pohon yang keduapuluh dua,
ia merasakan tangannya sakit, maka itu pohon tidak roboh, sebaliknya dadanya
sakit pula. Ia terkejut, lekas-lekas ia duduk bersila, untuk memusatkan
semangatnya, untuk meluruskan nafasnya.
Setelah
satu jam lamanya ia beristirahat seperti itu, ia berbangkit untuk memulai
dengan pekerjaannya. Pohon itu dapat juga dirobohkan. Tetapi, ketika ia hendak
mulai lagi kali ini ia merasa lemas sekali. Ia mengerti bahwa ia tidak bisa
memaksakan diri, atau ia bakal terluka di dalam. Hanya ia menjadi bingung. Di pulau kosong ini di mana ia bisa dapat golok atau
kampak! Dengan tangan kosong, bagaimana ia dapat bekerja terus? Ia jadi
berkhawatir seklai untuk kedua kakinya. Ia masih membutuhkan hampir
delapanpuluh batang lagi.
“Keponakannya
telah patah kedua kakinya,” kemudian ia berpikir lebih jauh, “Karena itu
tentulah dia sangat membenci sekali padaku, kalau malam ini aku bisa
menyediakan seratus batang, mungkin lain malam ia akan meminta seribu batang
lagi. Kapan habisnya pekerjaan ini? Dia pun tidak dapat dilawan. Di sini pasti tidak bakal ada penolong untuk kita…”
Pemuda
ini menghela napas, ia berputus asa.
“Taruh
kata tempat ini bukan pulau kosong, siapa yang dapat menolongi kita?” ia
ngelamun pula. “Suhu telah runtuh ilmu silatnya, nasibnya belum ketahuan
bagaimana. Ada
ayahnya Yong-jie tetapi ia pun sangat membenci padaku. Coan Cit Cit Cu dan
keenam guruku dari Kanglam juga bukan tandingannya See Tok ini. Tinggallah
kakak angkatku, Ciu Pek Thong, tetapi ia pun sudah terjun ke laut di mana dia
membunuh diri…”
Mengingat
Ciu Pek Thong, Kwee
Ceng jadi bertambah benci dan
murka kepada Auwyang
Hong. Ia merasa berkasihan kepada
kakak angkatnya itu, yang paham Kiu Im Cin-keng tetapi yang tidak hendak
menggunainya. Kakak itu pun pandai ilmu silat memecah diri menjadi sebagai dua
orang - dua pikirannya. Sayang kepandaian itu menjadi tidak ada gunanya.
“Ah,
Kiu Im Cin-keng! Kepandaian dua tangan kiri dan kanan saling berkelahi
sendiri….”
Berpikir
sampai di situ, Kwee
Ceng seperti melihat bintang
terang di langit yang gelap.
“Memang
sekarang aku tidak dapat melawan See Tok,” demikian ia mendapat pikiran baru,
“Tetapi Kiu Im Cin-keng ada pelajaran istimewa seperti istimewanya cara berkelahi dengan dua tangan itu. Kenapa aku
tidak hendak menyakinkan itu bersama Yong-jie, menyakinkan terus bersama-sama
siang dan malam, sampai tiba saatnya mengadu jiwa dengan si tua bangka berbisa
itu?”
Keras Kwee Ceng berpikir, ia tidak
memperoleh kesudahan yang memuaskan.
“Ah,
mengapa aku tidak mau menanyakan pikirannya suhu?” kemudian ia ingat lagi.
“Suhu kehilangan kepandaiannya tetapi tidak ingatannya, ia dapat memberi
petunjuk padaku…”
Tidak
ayal lagi, Kwee
Ceng pulang. Di
atas pohon, ia utarakan apa yang ia pikir barusan terhadap gurunya.
Agaknya Ang Cit Kong setujui pikirannya muridnya ini.
“Sekarang
coba kau membaca perlaha-lahan bunyinya Kiu Im Cin-keng,” berkata sang guru
ini, “Nanti aku lihat ada daya apa yang dapat mempercepat pernyakinanmu…..”
Kwee Ceng menurut, ia mulai membaca.
Tempo si anak muda membaca bagian “Orang tahu dengan
duduk berdiam dia akan memperoleh kemajuan, tetapi dia tahu untuk mencapai
kemahiran dibutuhkan keinsyafan, ketenangan dan kecerdasan, tubuh dan pikiran
harus bekerja berbareng. Kita harus bergerak seperti berdiam, walaupun kita
dibentur, kita tetap tenang,” mendadak Cit Kong berlompat bangun seraya
mulutnya berseru: “Oh…!”
“Kenapa,
suhu?” tanya Kwee Ceng
heran.
Pak Kay tidak menyahuti, ia
hanya terus berpikir. Ia memahamkan artinya kata-kata dari Kiu Im Cin-keng itu.
“Coba
kau mengulangi satu kali lagi,” katanya kemudian.
Kwee Ceng girang, ia percaya
gurunya ini sudah memperoleh sesuatu ingzan, maka ia membaca lagi.
“Benar,”
Cit Kong berkata sambil mengangguk-angguk.
“Kau melanjuti terus….”
Kwee Ceng menurut, ia
menghapal terus-terusan, di dekat akhirnya, ia membaca: “Mokansukojie pintek
kim-coat-ouwsongsu kosannie…”
“Apa kau bilang?” tanya Cit Kong heran. Dia memotong.
“Aku pun tidak tahu artinya,” sahut Kwee Ceng. “Ciu Toako
tidak menjelaskannya.”
“Nah, kau bacalah terus.”
Kwee Ceng membaca pula, “Kiatjie-hoatsu katlo…” demikian
seterusnya, untuk itu ia mengeluarkan suara gigi dan lidah.
“Oh, kiranya kitab itu pun memuat mantera menangkap
iblis…” berkata Cit Kong kemudian. Hampir ia meneruskan mengatakannya, “Kiranya
si imam busuk gemar main gila untuk memperdayakan orang…” tetapi ia dapat
membatalkan itu. Ia mengerti Kiu Im Cin-keng mestinya istimewa sekali.
“Anak Ceng,” katanya selang sesaat, “Kitab Kiu Im
Cin-keng memuat ilmu yang lihay luar biasa, tak dapat itu dipahamkan hanya
semalam dan seharian…”
Kwee Ceng menyesal, ia putus asa.
“Sekarang pergilah lekas kau membuatnya duapuluh batang
pohon itu menjadi sebuah getek,” kata Cit Kong. “Daya yang paling utama untukmu
ialah menyingkirkan diri. Aku akan berdiam bersama Yong-jie di sini, aku akan
melihat selatan.”
“Tidak suhu!” berkata Kwee Ceng. “Mana dapat aku
meninggalkan kau…”
“See Tok jeri terhadap Oey Lao Shia, tidak nanti dia
mencelakai Yong.jie,” Cit Kong memberi penjelasan. “Aku sendiri, aku sudha
tidak berguna lagi….”
Kwee Ceng menjadi panas hatinya dan mendongkol, saking
penasaran ia melampiaskannya dengan menghajar batang pohon di depannya. Hebat
serangannya itu, suaranya sampai terdengar jauh dan berkumandang.
“Eh, anak Ceng,” tanya Cit Kong heran. “Barusan kau memukul dengan tipu silat apa itu?”
“Kenapa, suhu?”
“Kau menghajar hebat tetapi batang pohon itu tak bergeming…”
Si anak muda menjadi merah mukanya. Ia mengaku karena
kehabisan tenaga, ia tidak dapat memakai tenaga lagi.
“Bukan,
bukannya begitu,” kata guru itu. “Pukulan itu ada sedikit aneh. Coba kau
mengulanginya sekali lagi!”
Kwee Ceng tetap heran tetapi ia menurut. Ia menghajar
pula. Hebat suara hajaran itu tetapi tetap pohon itu tidak gempur. Sekarang ia
sadar sendirinya. Maka ia lantas berkata: “Sebenarnya inilah pukulan
Kong-beng-kun yang terdiri dari tujuhpuluh dua jurus yang diajarkan oleh Ciu
Toako.”
“Kong-beng-kun?”
tanya Cit Kong.
“Belum pernah aku dengar itu…”
“Kong-beng-kun”
ialah pukulan Tangan
Kosong. Arti sebenarnya yaitu
“kosong terang”.
“Selama Ciu Toako
dikurung di Tho Hoa To,” Kwee
Ceng memberi keterangan, “Dia
menganggur tiap hari. Lantas ia menciptakan ilmu pukulannya itu. Dia
mengajarkan aku enambelas huruf yang menjadi rahasia tipu silatnya itu, ialah
‘Berhasil besar seperti pecah, kegunaannya tak buruk, terlalu penuh seperti
meletus, kegunaannya tak habisnya.’ Baiklah kalau sekarang muridmu
menjalankannya untuk suhu lihat?”
“Sekarang
ini malam gelap, tidak dapat aku melihatnya,” menyahut sang guru. “Lagi pula
inilah ilmu silat mahir, tidak usah dijalankan lagi. Kau menuturkan saja untuk
aku mendengarnya.”
“Kwee
Ceng lantas menutur, mulai dari jurus pertama “Mangkok kosong diisi nasi”,
jurus kedua “Rumah kosong ditinggali orang”, demikian seterusnya. Ia pun
menjelaskan maknanya setiap huruf.
Ciu
Pek Thong berandalan dan jenaka, maka jenaka juga namanya semua jurusnya itu.
Ang Cit Kong cerdas sekali,
setelah mendengar sampai di jurus kedelapanbelas ia memegat: “Sudah cukup tidak
usah kau menuturkan terlebih jauh. Sekarang kita dapat menempur See Tok!”
“Dengan
menggunai Kong-beng-kun ini?” tanya Kwee Ceng
heran. “Aku khawatir aku belum berlatih mahir.”
“Aku
ketahui ini tetapi kita mesti mencari kehidupan di antara kematian, kita harus
mencoba menempur bahaya. Bukankah kau membawa pisau belati pengasihnya Khu Cie
Kee?”
Kwee Ceng menghunus pisaunya
itu, yang di dalam gelap masih berkelebat sinarnya.
“Sekarang
kau pergi menebang pohon dengan memakai pisau ini dengan menggunakan ilmu silat
Kong-beng-kun itu,” menitah Cit
Kong.
Kwee Ceng bersangsi. Pisauny
aitu panangnya cuma sekaki lebih dan bagian tajamnya pun tipis.
“Aku
mengajarkan kau Hang Liong Sip-pat Ciang,” berkata gurunya. “Itulah ilmu silat
pihak Luar, Gwa-kee. Kong-beng-kun sebaliknya ilmu silat pihak Dalam, Lay-kee.
Maka kalau kau gunai kedua ilmu silat itu dengan dirangkap, piasu ini tajam
sehingga dapat memotong emas dan kumala! Apakah artinya baru pohon? Ingat, asal
diwaktu menggunai tenaga kau mengutamakan itu huruf rahasia ‘kosong’.”
Kwee Ceng lantas saja mengerti, maka lantas ia lompat
turun. Ia mencari sebuah pohon yang besar. Untuk menghajar, ia menggunai tenaga
dari Kong-beng-kun, tenaga yang ringan, seperti acuh tak acuh. Ia hanya
mengurat bongkot pohon, menggurat ke sekitarnya, tetapi kesudahannya, pohon itu
roboh. Bukan main girangnya ia. Ia mencoba terus, sebentar saja ia sudah dapat
belasan pohon. Dengan begitu, tak usah sampai terang tanah, ia sudah berhasil
menyediakan seratus pohon yang dimintai itu.
“Anak Ceng, mari naik!” tiba-tiba Cit Kong memanggil.
Murid itu melompat naik.
“Benar berhasil, suhu!” ia berseru. “Sedikit pun aku tak
usah menggunai tenaga besar.”
“Dengan menggunai tenaga besar artinya tak berhasil,
bukan?”
“Benar, suhu.”
“Untuk menebang pohon, tenagamu berlebihan,” berkata sang
guru. “Untuk
melawan See Tok, masih kurang. Maka itu kau mesti meyakinkan dulu Kiu Im
Cin-keng, baru ada ketikanya untuk menangi dia. Mari
kita memikirkan daya untuk melawannya…”
Bicara
dari hal berpikir, atau mencari akal, Kwee Ceng
tidak dapat ebrbuat apa-apa, maka itu, ia berdiam saja.
“Aku
juga belum dapat memikir,” kata Cit
Kong selang sekian lama. “Kita
tunggu saja besok, biar Yong-jie yang memikirkannya. Anak Ceng,
mendengar kau membaca Kiu Im Cin-keng aku ingat suatu apa, setelah aku
memikirkannya, rasanya aku tidak memikir salah. Sekarang mari
kau pegangi aku, hendak aku turun untuk bersilat…..”
Kwee Ceng terkejut.
“Jangan,
suhu!” ia mencegah. “Lukamu masih belum sembuh! Mana bisa suhu berlatih?”
“Tetapi
kitab toh menyebutnya, ‘…tubuh dan pikiran harus bergerak berbareng, bergerak
tapi seperti diam, walaupun dibentur, kita tetap tegar’. Maka marilah kita
turun.”
Kwee Ceng masih tetap tidak
mengerti tetapi dia toh memondong gurunya itu.
Ang
Cit Kng berdiri sambil memusatkan pikirannya, sesudah itu ia memasang
kuda-kudanya. Ketika ia meninju, dengan samar-samar Kwee Ceng
melihat tubuh gurunya terhuyung, ia segera maju untuk menolongi, tetapi begitu
lekas juga, guru itu sudah berdiri tetap pula, hanya napasnya sedikit memburu.
“Tidak mengapa,” berkata sang guru itu.
Dilain
saat, Cit Kong meninju dengan tangan kirinya. Kwee Ceng melihat kembali guru itu terhuyung, kali ini dia diam saja, ia
mengawasi terus.
Cit Kong meninju pula, berulang-ulang dari perlahan
hingga sedikit cepat. Nyatanya makin lama dia semakin tetap. Mulanya ia
bernapas keras, kemudian napasnya lurus. Diwaktu memutar tubuh, kuda-kudanya
pun tetap.
Bersilat terus, Ang Cit Kong bisa menjalankan habis Hang
Liong Sip-pat Ciang, karena ia merasa masih kuat, ia meneruskan dengan Hok Houw
Kun, ilmu silat Menaklukkan Harimau.
Begitu lekas gurunya sudah berhenti bersilat, karena
girangnya Kwee Ceng berseru, “Kau telah sembuh, suhu!” Ia girang bukan
kepalang.
“Pondong
aku naik!” Ang
Cit Kong
meminta.
Kwee Ceng menurut, ia bawa gurunya berlompat ke atas.
“Bagus, suhu, bagus!” ia memuji.
“Bagus apa!” kata guru itu, menghela napas. “Apa yang aku
jalankan barusan cuma bagus dipandang, gunanya tak ada…”
Kwee Ceng heran.
“Setelah terluka, aku cuma beristirahat saja,”
menerangkan gurunya itu, “Tidak tahunya sebenarnya semakin berlatih dan banyak
bergerak, semakin baik. Sekarang ini sudah terlambat, walaupun jiwaku
ketolongan, kepandaianku tidak bakal pulih kembali.”
Kwee Ceng hendak bicara, tak tahu ia harus bicara apa,
maka kemudian ia bilang saja. “Sekarang hendak aku memotong kayu pula.”
Murid ini belum berlompat turun ketika gurunya berkata:
“Anak Ceng, sekarang aku dapat akal untu menggertak si tua bangka berbisa itu.
Coba kau lihat, akalku bakal berjalan atau tidak?”
Guru ini terus menuturkan akalnya itu.
“Bagus,
suhu!” Kwee Ceng berseru. “Ini tentu berhasil!”
Smapai
di situ, murid ini pergi turun pula, untuk bekerja, untuk bersiap.
Besok
paginya, Auwyang ong muncul untuk memeriksa jumlah pohon, ia mendapatkan cuma
sembilanpuluh, masih kurang sepuluh lagi. Ia tertawa dingin, terus ia
berteriak: “He, anak campur aduk, lekas kau mengelinding keluar! Mana yang
sepuluh pohon lagi?!”
Perih
rasa hati Oey
Yong mendengar perkataan orang
yang kotor itu. Semenjak sore ia mendampingi Auwyang Kongcu,
untuk merawatnya dengan terpaksa. Kapan ia mendengar rintihan pemuda itu,
hatinya menjadi lemah. Sebaliknya, mengingat kecewirisan orang, ia jemu. Ketika
pagi itu Auwyang Hong keluar, diam-diam ia keluar juga, maka itu, ia dapat
dengar suara yang kasar dari See Tok.
Atas
pertanyaanya Auwyang
Hong tidak ada jawaban. Di atas pohon sepi saja. Maka See Tok lantas
mengawasi ke atas, kupingnya pun dipasang. Tiba-tiba ia mendengar suara desiran
angin dari gunung belakang, suara angin dari orang yang tengah bertempur. Ia
menjadi heran, lekas-lekas ia lari untuk melihat. begitu lekas ia menampaknya,
ia menjadi kaget.
Di sana Ang Cit Kong lagi bertempur sama Kwee Ceng,
hebat gerakan tangan dan kaki keduanya.
Oey Yong pun menyaksikan, ia
juga heran bukan main. Ia hanya heran bercampur girang.
Rupanya tenaga gurunya itu sudah pulih kembali, maka juga ia bisa bersilat dan
dapat berlatih kembali dengan Kwee Ceng.
“Anak Ceng, hati-hatilah kau dengan jurus ini!” terdengar
pemberian ingat dari Pak Kay ketika ia hendak menyerang. Ia terus saja menolak.
Kwee Ceng menggeraki tangannya, untuk menangkis, hanya
belum lagi tangan mereka beradu, ia sudah mencelat mundur seperti yang tertolak
denagn keras, bahkan tubuhnya itu membentur sebuah pohon di belakangnya.
“Bruk!” demikian satu suara keras. Pohon itu roboh dan
tubuh si anak muda terpelanting.
Pohon itu tidak terlalu besar, kira-kira sebesar mulut
mangkok, tetapi toh heran telah roboh terbentur tubuh Kwee Ceng.
Menyaksikan itu, Auwyang Hong berdiri tercengang,
mulutnya menganga.
“Suhu!” Oey Yong berteriak. “Pukulan lihay dari
Pek-kong-ciang!”
Ang Cit Kong tidak menjawab murid ini, hanya ia serukan
Kwee Ceng: “Anak Ceng, luruskan napasmu, untuk menjaga kau tidak sampai terluka
di dalam!”
“Teecu tahu, suhu!” menyahut Kwee Ceng, yang sementara
itu sudah maju pula, untuk melanjuti pertempuran. Hanya beberapa jurus, kembali
ia terhajar terpelanting mundur, bahkan kembali membentur pohon hingga pohon
itu roboh seperti yang semula tadi.
Auwyang Hong terus berdiri diam. Ia mengawasi latihannya
guru dan murid itu. Hebatnya saban-saban Kwee Ceng kena dihajar mental mundur,
saban mental dia membentur pohon, pohonnya roboh seketika. Dari itu, cepat
sekali, sepuluh pohon sudah rebah di tanah.
Oey Yong menghitung.
“Sepuluh
pohon!” dia berseru.
Kwee Ceng bernapas
sengal-sengal, agaknya ia letih sekali.
“Teecu
tidak kuat berlatih lebih lama lagi…” katanya susah.
Ang Cit Kong tertawa, ia berkata:
“Ilmu silat Kiu Im Cin-keng ini benar-benar luar biasa! Aku tengah terluka
parah,tetapi pagi ini, sekali saja berlatih, aku berhasil!”
Auwyang Hong heran dan bercuriga,
maka ia dekati pohon-pohon yang roboh itu, untuk memeriksa. Ia mendapatkan,
bagian yang patah itu meninggalkan bekas yang licin seperti bekas dipotong atau
digergaji.
“Benarkah
kitab ini begini lihay?” ia berpikir. “Kelihatannya si pengemis bangkotan ini
menjadi terlebih lihay daripada yang sudah-sudah…. Kalau mereka bergabung
menjadi satu, mana sanggup aku melawan mereka? Tidak boleh ayal lagi, aku pun
mesti lekas berlatih!”
Ia melirik kepada tiga orang itu, terus ia memutar
tubuhnya untuk lari ke gua. Setibanya, ia keluarkan bungkusannya dalam mana
terisi naskah kitab Kiu Im Cin-keng, yang ditulis Kwee Ceng, ia buka untuk
dibaca, untuk memahaminya, untuk nanti melatih diri.
Cit Kong dan Kwee Ceng menanti sampai See Tok sudah
lenyap dari pandangan mata mereka, lantas mereka tertawa terbahak-bahak.
Oey Yong menghampirkan mereka.
“Suhu, inilah hebat!” pujinya. “Luar biasa isi kitab
itu!”
Cit Kong tengah tertawa tak sempat ia menyahuti muridnya
itu.
“Kami sedang bersandiwara!” Kwee Ceng memberitahu.
Si nona heran, ia mengawasi.
Si pemuda tidak menanti lama untuk membeberkan
rahasianya. Ialah mereka berlatih kosong, sedang semua pohon itu, lebih dulu
sudah dipotong, ditinggalkan sedikit bagian tengahnya agar tidak roboh, maka
dengan ditabrak Kwee Ceng, robohlah semua dengan segera. Kwee Ceng pun
terpental bukan karena serangan, hanya berbareng diserang, ia mencelat mundur
seperti terpelanting, sengaja ia membentur setiap pohon itu. Auwyang Hong tidak
tahu rahasianya itu, tentu ia kena diakali.
Mendengar itu, kalau tadinya ia tertawa, Oey Yong menjadi
berdiam, sepasang alisnya pun dikerutkan.
Ang Cit Kong tertawa, ia berkata: “Aku si tua bangka bisa
menggeraki pula tangan dan kakiku, untuk berjalan, ini pun sudah membuatnya aku
beruntung. Sekarang ini aku tidak memikirkan itulah ilmu silat yang tulen atau
yang palsu! Yong-jie, adakah kau berkhawatir kemudian See Tok bakal mengetahui
rahasia kita ini?”
Oey Yong mengangguk. Jitu terkaan gurunya itu.
“See Tok sangat bermata tajam dan cerdas, memang tak
selayaknya dia dapat diakali. Tapi, segala apa sukar diduga-duga, maka sekarang
ini tak usahlah kita berkhawatir. Aku sekarang ingat Kwee Ceng, di situ ada
bahagian pelajaran ‘ menukar urat menguatkan tulang’ itulah luar biasa, aku
pikir, selagi kita luang tempo, baik kita sama-sama menyakinkannya.”
Sabar bicaranya sang guru, tetapi Oey Yong menginsyafi
artinya.
“Baik, suhu,” katanya. “Mari kita mulai!”
Cit Kong menitahkan Kwee Ceng membaca di luar kepala
hingga dua kali bagian itu yang berfasal “Ie Kin Toan Kut Pian”, lalu ia
memberikan penjelasan, terus ia suruh kedua muridnya berlatih, sesudah itu, ia
pergi untuk memancing ikan, untuk kemudian menyalakan api dan mematangai
ikannya. Ia melarang kedua muridnya membantunya, ia mewajibkan kedua muridnya
berlatih terus.
Dengan lekas tujuh hari sudah berlalu, Oey Yong dan Kwee
Ceng telah memperoleh kemajuan. Berbareng dengan mereka, Auwyang Hong pun
berbuat keras dengan kitab Kiu Im Cin-keng yang palsu buatan Kwee Ceng itu.
Hari kedelapan, sambil tertawa Ang Cit Kong menanya Oey
Yong, “Yong-jie, bagaimana rasanya daging kambing panggangan gurumu?”
Oey Yong tertawa sambil mainkan mulutnya,
menggeleng-geleng kepala.
“Ya, aku juga memakannya tak turun…” Cit Kong berkata
pula, tetapi sambil tertawa. Kemudian ia menambahkan: “Pelajaranmu babak
pertama sudah selesai, sekarang kamu mesti beristirahat, jikalau tidak, pernapasanmu
bisa tertutup dan akan merusak kesehatanmu. Sekarang begini: Yong-jie, pergi
kau memasak, aku bersama Ceng-jie akan pergi membikin getek.”
“Membikin
getek?” tanya Kwee Ceng
dan Oey Yong berbareng.
“Memang!”
menjawab sang guru.”Apakah kamu pikir kita dapat berdiam terus di pulau kosong
ini sambil menemani si bisa bangkotan itu? Tidak!”
Dua-dua muda-mudi itu menjadi sangat girang.
“Bagus!” seru mereka.
Kedua pihak lantas berpisahan.
Kwee Ceng pergi ke tumpukan pohonnya yang seratus buah
itu. Dadungnya pun sudah tersedia, bekas menolongi Auwyang Kongcu. Ia lantas
bekerja mengikat batang-batang pohon itu. Ketika ia menarik dadung, tiba-tiba
dadung itu terputus. Ia mengulangi lagi, lagi dadung putus. Ia menjadi heran.
Ia merasa tidak menggunai tenaga terlalu besar. Mungkinkah dadungnya yang tak
kuat? Saking heran, ia menjadi berdiam saja.
Sementara itu Oey Yong mendatangi sambil berlari-lari,
tangannya membawa seekor kambing. Si noa pergi berburu, ia bertemu sama kambing
itu. Ia menyediakan beberapa butir batu, untuk dipakai menimpuk batok kepala
kambing itu. Ketika ia berlari untuk mengubar, rasanya baru beberapa tindak,
tahu-tahu ia telah datang dekat sang kambing, maka batal menimpuk, ia berlompat
menyambar. Hanya dengan sekali saja ia dapat mencekuknya. Inilah diluar
dugaannya, maka ia girang berbareng heran dan segera lari pulang untuk
memberitahukan pengalamannya itu.
Mendengar
itu, Ang Cit Kong
tertawa.
“Jikalau
begitu adanya, terang sudah Kiu Im Cin-keng bukannya untuk main-main saja,”
bilangnya. “Pula
tidaklah penasaran itu beberapa orang kosen yang telah berkorban jiwa untuk
kitab ini…”
“Suhu,”
menanya Oey Yong girang, “Apakah sekarang kita bisa
menghajar si tua bangka berbisa itu?”
“Masih
jauh, anak,” menyahut Cit
Kong menggoyang kepala. “Kau masih
memerlukan tempo pernyakinan tiga sampai lima
tahun lagi. Kau harus ketahui hebatnya Kuntauw Kodok
dari si bangkotan itu. Kecuali It-yang-cie dari Ong Tiong Yang, tidak ada lain
ilmu yang dapat memecahkannya…”
Si nona membikin moyong mulutnya.
“Kalau begitu percuma kita belajar lagi lima tahun, kita
toh tak dapat mengalahkan dia!” katanya mendelu.
“Tentang itu tak dapat dikatakan pasti,” Cit Kong
membilang. “ada kemungkinan yang isinya kitab ada jauh terlebih lihay daripada
dugaanku.”
“Sudah, Yong-jie, jangan kau terburu nafsu,” Kwee Ceng
campur bicara. “Tidak ada salahnya jikalau kita menyakinkan terus.”
Lagi tujuh hari telah lewat, sekarang kedua murid itu
sudah selesai dengan babak yang kedua. Pula telah selesai pembuatan geteknya
Kwee Ceng. Untuk mendapatkan layar, mereka membuat bahannya dari babakan pohon.
Bahkan air minum serta lainnya makanan sudah disiapkan juga.
Selama itu Auwyang Hong mengawasi saja orang bekerja dan
bersiap-siap itu. Ia tidak membilang suatu apa, malah mengawasinya pun secara
acuh tak acuh, membiarkan orang repot bekerja.
Datanglah sang malam dengan segala
persiapannya yang sudah sempurnya. Tinggal menanti besok pagi, Cit Kong bertiga
bakal pergi berlayar. Selagi hendak tidur, Oey Yong tanya, apa besok perlu
mereka pamitan dari Auwyang Hong.
“Bahkan kita harus membuat perjanjian akan bertemu lagi
dengannya sepuluh tahun kemudian,” menjawab Kwee Ceng. “Kita telah diperhina begini rupa, mana bisa kita berdiam saja?”
“Benar!” si nona bertepuk tangan. “Aku mohon kepada Thian
supaya dua jahanam itu dipayungi hingga dapat mereka kembali ke Tionggoan!
Semoga si tua bangka berbisa diberi umur panjang lagi sepuluh tahun!”
Besok paginya, Ang Cit Kong yang mendusin paling dulu. Ia
berkuping terang, lantas saja ia mendengar suara apa-apa di tepi laut. Ia
bangun untuk berduduk, ia memasang kuping pula. Itulah suara air.
“Ceng-jie, dengar!” ia memanggil Kwee Ceng. “Suara apa
itu di tepian?”
Kwee Ceng emndusin, segera ia melompat turun dari pohon,
terus lari ke tempat yang tinggi, dari sana ia memandang ke laut, apa yang ia
saksikan membuatnya mengutuk dan mencaci kalang kabutan, lalu ia berlari-lari
ke arah tepian.
Oey Yong pun turut mendusin dan berlari-lari.
“Ada apa engko Ceng?” tanyanya sambil lari menyusul.
“Kedua jahanam itu telah pakai getek kita!” sahut Kwee
Ceng sengit sekali.
Oey Yong kaget sekali.
Begitu lekas mereka tiba di tepian, Auwyang Hong sudah
memondong keponakannya menaiki getek, yang terus saja ditolak, hingga sekejap
kemudian getek itu sudah terpisah beberapa tombak dari daratan…
Saking
murkanya Kwee
Ceng hendak melompat ke air, untuk
berenang mengejar.
Oey Yong tarik tubuh orang.
“Tak
dapat mereka disusul!” berkata si nona, mencegah.
Segara
pun terdengar tertawa lebar dari Auwyang Hong.
“Terima
kasih untuk persiapan kamu dari hal getek ini!” katanya mengejek.
Kwee Ceng berjingkrakan, ia
melampiaskan kemendongkolannya dengan mendupak sebuah pohon di sampingnya.
Ketika
pohon itu bergoyang karena dupakan, tiba-tiba Oey Yong
ingat suatu apa.
“Ada jalan!” serunya. Ia pun sudah lantas menjumput
sebuah batu besar. Ia bawa itu ke pohon, untuk diselipkan di batangnya. Ia kata
pula, “Kau traik pohon itu, kita menjepret menembak padanya!”
Kwee Ceng girang. Ia hampirkan pohon, untuk menjambret
batangnya bagian atas untuk ia menariknya hingga melengkung, sesudah mana ia
melepaskannya, maka pohon itu mejepret balik, membuatnya batu besar itu
terlempar, tepat ke arah getek. Hanya jatuhnya di samping, airnya muncrat,
suaranya berdeburan hebat.
“Sayang!” Oey Yong mengeluh. Tapi lekas-lekas ia “mengisikan”
pula meriamnya yang istimewa itu.
Serangan yang kedua ini mengenai tepat kepada getek,
hanya karena pembuatannya tangguh, getek itu tak rusak karenanya.
Serangan diulangi hingga tiga kali, yang dua gagal.
melihat
kegagalannya itu, Oey
Yong mendapat pikiran pula.
“Mari, aku yang akan menjadi pelurunya!” ia berseru.
Kwee Ceng melengak, akan sedetik kemudian ia sadar.
Bukankah si nona lihay ilmunya ringan tubuh dan pandai berenang? Maka
lekas-lekas ia menyerahkan pisau belatinya.
“Hati-hati!” ia memesan. Segera ia menarik pula batang
pohon itu. Oey Yong sendiri segera memanjatnya.
“tembak!” berseru si nona setelah ia siap.
Kwee Ceng menurut, ia
melepaskan cekalannya. Maka dalam sekejap itu juga tubuh si nona terlempar
melesat, di tengah udara ia berjumpalitan. Tetapi getek sudah berlayar terus,
ia kecebur di air terpisah jauhnya tiga tombak. Bagus cara
jatuhnya itu dan air muncrat bagaikan bunga rontok tersebar.
Auwyang Hong dan keponakannya
kagum hingga mereka tercengang.
Oey Yong tidak menjadi putus asa.
Segera ia selulup, untuk berenang di dalam air untuk menyusul getek itu.
Sebentar saja ia tiba di bawahnya getek.
Auwyang Hong mencoba membela
diri, dengan galah kejennya ia menyerang di empat penjurunya, menyerang ke air,
tetapi ia tidak berhasil menusuk atau mengemplang si nona.
Di dalam air, Oey Yong
sudah lantas bekerja. Mulanya ia membabat dadung itu, untuk meloloskan semua
balok pohon itu, atau mendadak ia ingat suatu akal, maka ia batal membabat, ia
cuma menggurat perlahan-lahan, di sana-sini. Ia hendak membikin perahu istimewa
itu tiba di tengah laut, nanti setelah digempur gelombang pergi datang, dadung
itu bakal putus sendirinya.
Habis bekerja, si nona tetap selulup, berdiam di dalam
air, setelah sekian lama, baru ia timbul di muka air. Sekarang ia terpisah
sepuluh tombak lebih dari getek itu, lalu ia berteriak-teriak bahwa ia tidak
dapat menyandak….
Auwyang Hong tertawa berkakakan, ia membiarkan geteknya
berlayar terus, maka itu lewat sedikit lama, ia sudah terpisah jauh dari
daratan pulau terpencil itu.
Oey Yong berenang ke pinggir, ketika ia mendarat, Cit
Kong pun tiba di sana, guru ini bersama Kwee Ceng masih mencaci kalang kabutan
kepada See tOk yang jahat dan licik itu. Mereka heran menampak roman si nona
bergembira.
“kenapa kau girang?” tanya sang guru.
Kwee Ceng pun turut menanya.
Oey Yong menuturkan perbuatannya barusan.
“Bagus!”
berseru Ang Cit Kong dan Kwee Ceng.
Mereka pun girang sekali.
“Walaupun
kita sudah kirim mereka itu untuk terkubur di tengah lautan, kita sendiri harus
bekerja dari baru pula,” berkata si nona kemudian.
“Tidak
apa, mari kita bekerja pula!” kata Kwee Ceng.
Mereka
balik, untuk sarapan setelah itu dengan semangat penuh, mereka pergi memotong
pepohonan, mengumpul balok-balok diikat satu dengan lain dijadikan getek. Mereka
membuatnya pula tali.
Berselang
beberapa hari rampung sudah getek mereka, Maka sekali lagi mereka membuat
persiapan.
Tepat
di harian angin tenggar mulai meniup keras, Kwee Ceng
memasang layarnya untuk memulai dengan pelayarannya. Tujuan mereka ialah barat.
Oey Yong memandang ke pulau,
yang nampak makin lama makin kecil. Di
akhirnya ia menghela napas.
“Hampir
kita bertiga mengorbankan jiwa kita di pulau kosong itu,” katanya. “Hanya hari
ini, dengan kepergian ini, aku merasa berat juga…”
“Lain
hari, jikalau tempo kita luang, boleh kita pesiar ke sini!” berkata Kwee Ceng.
“Bagus!” berseru si nona gembira. “Bagus lain kali kita
datang pula ke mari! Tapi ingat, jangan kau salah janji! Sekarang mari kita
memberi nama dulu pada pulau ini. Suhu, kau pilih nama apa yang bagus?”
“Kau menggunai batu besar, menindih bangsat cilik itu,”
menyahut Ang Cit Kong si guru, “Maka itu baiklah diberi nama Ap Kwie To, yaitu
pulau menggencet iblis.”
“Nama itu kurang menarik,” kata si nona.
“Kau hendak cari yang menarik? Kalau begitu, tak usah kau
tanya aku si pengemis tua bangka!” berkata sang guru. “Tapi si bisa bangkotan
itu pernah merasakan air kencingku, lebih baik kita namankan saja Pulau Minum
Kencing!”
Oey Yong tertawa tetapi ia menggoyang-goyangkan tangan,
lalu ia miringkan kepalanya untuk memikir. Ia melihat sinar layung yang indah,
yang menaungi pulau terpencil itu.
“Baiklah diberi nama Beng Hee To,” katanya kemudian.
Artinya Pulau Sinar Layang.
Tetapi Cit Kong menggeleng kepala.
“Tak tepat itu,” katanya. “Nama itu terlalu bagus.”
Kwee Ceng membiarkan itu murid dan guru berkutat berdua,
ia cuma tersenyum saja.
Mereka berlayar terus, sampai dua hari lamanya, tujuan
angin masih belum berubah.
Dimalam kedua, Ang Cit Kong dan Oey Yong tidur, Kwee Ceng
memegang kemudi. Mendadak di antara siuran angin, ia mendengar teriakan:
“Tolong! Tolong!” Suara itu keras seperti bergeram, seperti cecer pecah
dikapruki satu dengan lain.
Ang Cit Kong pun dapat mendengar teriakan itu, maka ia
bangun berduduk.
“Itulah suara si tua bangka berbisa!” katanya.
Kembali mereka mendengar jeritan itu.
Oey Yong, yang mendusin,
menjambret tangan gurunya.
“Hantu!
Hantu!” katanya.
Ketika
itu akhir bulan keenam, di langit tidak ada si putri makam, bahkan bintang pun
jarang, maka itu sang laut menjadi gelap gulita. Memang juga, dalam suasa
seperti itu, jeritan itu menyeramkan.
“Apakah
kau si tua bangka berbisa?” kemudian Ang Cit Kong menanya. Tetapi ia telah runtuh
tenaga dalamnya, suaranya itu tak terdengar jauh.
Kwee Ceng mengumpul
semangatnya, lalu ia pun berseru: “Apakah paman Auwyang di sana?”
“Benar,
aku Auwyang Hong!” menjawab orang yang berteriak minta
tolong itu. “Tolong!” ia mengulangi jeritannya.
“Tidak
peduli dia manusia atau iblis, mari
kita jalan terus!” berkata Oey
Yong.
“Tolong
padanya!” tiba-tiba Cit
Kong berkata.
“Jangan, jangan!” mencegah si nona. “Aku takut!”
“Dia bukannya iblis,” kata Cit Kong.
“Biarnya begitu tidak seharusnya dia ditolong!”
“Menolong orang itulah aturan kami kaum Kay Pang,” kata
guru itu. “Kita berdua adalah Pangcu Kay Pang dari dua turunan, tidak dapat
kita merusak aturan kita yang dihormati itu.”
Oey Yong terpaksa berdiam, ia mengawasi Kwee Ceng
menggunai pengayuh menuju ke arah darimana datang jeritan minta tolong itu.
Setelah datang mendekat, daalm suasana gelap itu, dengan
remang-remang terlihat dua kepala orang yang lagi terombang-ambing sang
gelombang, disampingnya ada sebatang pohon, yang terang adalah lepasan getek.
Karena pertolongannya batang pohon itu, Auwyang Hong dan keponakannya tidak
sampai kelelap mampus.
Kwee Ceng membungkuk, untuk menyambar lehernya Auwyang
Kongcu, untuk diangkat naik ke geteknya.
Cit Kong baik budi, sampai ia melupakan dirinya sendiri.
Ia mengulur tangannya, untuk menolongi Auwyang Hong. See Tok mengerahkan
tenaganya, dengan meminjam tenaga Pak Kay, ia menggenjot tubuhnya hingga ia
mencelat naik. Tapi celaka buat Cit Kong, dia kena tertarik hingga ia kecebur
ka air!
Kwee Ceng dan Oey Yong kaget sekali, keduanya segera
terjun untuk menolongi.
Gusar si nona, maka ia menegur See Tok: “Guruku baik
hati, dialah yang menolongi kamu, kenapa kau justru menarik dia kecebur ke
laut?!”
“Aku…aku bukannya sengaja,” menyahut Auwyang Hong
perlahan. Ia tahu Cit Kong musnah kepandaiannya, tetapi ia pun sudah sangat
lelah saking letih, lapar dan haus, terpaksa ia mesti merendahkan diri.
“Saudara Cit, aku menghanturkan maaf kepadamu.”
Pak Kay tertawa tergelak.
“Bagus, bagus katamu!” katanya. “Hanya sayang, rahasia
kepandaiannya aku si pengemis tua telah pecah di hadapanmu….!”
Semua orang kuyup basah pakaiannya, tidak ada pakaian
lain untuk menukarnya, maka itu mereka membiarkannya.
“Nona yang baik, kau bagilah kami sedikit barang
makanan,” Auwyang Hong meminta. “Sudah beberapa hari kami kelaparan dan
berdahaga…”
“Persediaan makanan di sini cuma cukup untuk kami bertiga,”
menyahut Oey Yong. “Membagi kamu tidaklah sukar. Hanya, habis kita mesti dahar
apa?”
“Kalau begitu, nona kau membagi sedikit saja kepada
keponakanku,” berkata pula Auwyang Hong. “Dia pun sakit kedua kakinya, dia tak
bakalan sanggup bertahan……”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar